NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Elf Watanabe Volume 1 Chapter 5


Penerjemah: Flykitty 
Proffreader: Flykitty 


Chapter 5
Fuka Watanabe Sangat Paham Tentang Nama Keluarga Jepang


"Mana bisa aku langsung pulang begitu saja!!"

"Senpai, kenapa kamu tiba-tiba teriak begitu keras!?"

Izumi, yang mengikuti Yukuto melewati pintu portal, menatap dengan mata membelalak. Bahkan Watanabe tampak terkejut dengan reaksi Yukuto yang begitu heboh.

"Oki-kun!? Ada apa!?"

"Tidak mungkin aku langsung pulang!!" Yukuto mengulangi hal yang sama.

"Eh, bukannya tadi Oki-kun terlihat sangat cemas waktu datang ke Nache Rivira?"

"Ya, aku memang cemas tadi! Tapi aku baru sepuluh meter dari pintu masuk sudah mau pulang lagi? Itu terlalu cepat, kan!?"

"Eh, e-eh..."

"Pikirkan baik-baik! Kalau seseorang pergi ke Okinawa, tapi tidak keluar dari Bandara Naha, apakah dia bisa bilang dia sudah ke Okinawa? Kalau seseorang pergi ke Hokkaido tapi tidak keluar dari Bandara Shin-Chitose, apakah dia bisa bilang dia sudah ke Hokkaido?"

"Aku sih belum pernah ke Okinawa, tapi menurutku, Bandara Shin-Chitose cukup memberi suasana Hokkaido yang lumayan terasa."

"Aku tidak peduli soal itu! Aku belum pernah ke Okinawa ataupun Hokkaido! Ngomong-ngomong, ternyata Watanabe-san pernah ke Hokkaido, ya?"

"Oh, benar, Fuka-chan sering membawakan oleh-oleh dari Hokkaido, kan?"

Watanabe yang memilih oleh-oleh Hokkaido untuk sahabatnya itu membuat Yukuto penasaran, tapi sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu.

"Pokoknya! Kalau ada yang bilang mau mengajakmu ke Okinawa atau Hokkaido, tapi kemudian menyuruhmu langsung pulang tanpa keluar dari bandara, siapa pun pasti akan bertanya-tanya, kan!? Aku tidak bilang aku ingin berpetualang atau mendapatkan kekuatan super, tapi setidaknya aku ingin melihat sesuatu yang baru, sedikit saja!"

"Apakah memang seperti itu?"

"Ya, memang seperti itu! Ngomong-ngomong, Watanabe-san tadi soal Sun Elf, Raja Iblis, dan pulau penjara terapung. Itu kan bukan hal biasa! Tolong ceritakan dengan lebih serius, jangan cuma disebutkan begitu saja!"

"Oh, ya, Fuka-chan memang sering begitu," komentar Izumi.

"Tapi, Oki-kun, coba pikirkan lagi. Kalau orang Jepang menceritakan rahasianya pada seseorang, apakah dia akan bilang, ‘Nama keluarga Watanabe berasal dari garis keturunan Sagagenji yang membunuh iblis terkenal Shuten-dōji’? Menurutmu, apakah orang Jepang akan bicara seperti itu?"
(Tln: Singkatnya disini Sagagenji itu adalah klan legendaris Jepang yang terkenal karena membunuh Shuten-dōji, iblis terkenal dalam mitologi Jepang).

"Tidak... sih, tapi ini kan bukan soal seperti itu, kan!?"

"Aku mengerti apa yang Oki-kun ingin katakan, tapi untukku, ya, ini sama saja."

Watanabe tersenyum lembut sambil menundukkan pandangan.

"Ngomong-ngomong, nama keluarga Oki katanya berasal dari keluarga bangsawan di Shimousa atau Chikugo. Dulu, nama itu diucapkan sebagai ‘Ogi’ dan konon juga terkait dengan keluarga Suwa Shinto."

"Siapa sangka aku akan mengetahui asal-usul nama keluargaku di dunia lain, dan yang menceritakannya adalah seorang Elf. Apa-apaan ini?"

"Bukan begitu! Nama keluarga Oki itu cukup langka! Peringkatnya berada di bawah 300 dalam jumlah populasi Jepang tau!"

"Kenapa kamu tahu begitu banyak tentang nama keluargaku!? Aku yakin orang tuaku saja tidak tahu hal itu!"

"Karena nama keluarga Oki adalah nama yang sering dipilih oleh Elf!"

"Itu pertama kalinya aku mendengar istilah ‘nama yang sering dipilih oleh Elf’ dalam bahasa Jepang! Ini aneh! Datang ke dunia lain, lalu tahu asal-usul nama keluargaku, dan tahu kalau itu sering dipilih oleh Elf!?"

Yukuto, yang merasa lelah karena banyak bertanya, hampir berjongkok sambil bertumpu pada lututnya di padang rumput luas itu.

"Nama yang paling sering dipilih oleh Elf yang tinggal di Jepang adalah ‘Mori.’"

"Seperti konten video pendek ya."

"Lalu, posisi kedua adalah ‘Oki.’ Dalam pandangan Elf, nama ‘Yukuto’ itu sangat keren, sampai-sampai terdengar terlalu sempurna."

Jangan bilang nama itu keren sambil terlihat malu-malu begitu. Itu membuat jantungku berdetak lebih kencang, pikir Yukuto. Ia segera berdehem untuk menenangkan diri, lalu memberi isyarat pada Watanabe agar melanjutkan.

"...Ngomong-ngomong, posisi ketiga, keempat, dan kelima?"

"Osugi, Watanabe, dan Jugami."

"Jugami?"

"Huruf kanjinya berarti ‘pohon besar’ dan ‘dewa.’ Nama itu berasal dari jiwa pohon, yang berkembang menjadi nama keluarga. Biasanya dibaca ‘Kodama,’ tapi karena sering rancu dengan nama ‘Kodama’ yang berarti ‘anak-anak,’ banyak Elf memilih nama itu dibaca ‘Jugami’ atau ‘Jigami.’ Nama ini cukup sering ditemukan di Prefektur Aichi."
(Tln: Hell naw, nama-nama jepang mana ngerti aku).

"Jadi nama itu benar-benar ada ya... Tapi dari penjelasanmu, sepertinya cukup banyak Elf yang tinggal di Aichi, ya?"

"Entahlah. Aku pribadi tidak punya kenalan di sana, sih..."

Jawaban itu mengisyaratkan bahwa Elf di Aichi mungkin memang ada, meskipun bukan kenalannya langsung. Yukuto merasa sedikit merinding. Setidaknya, sudah pasti bahwa Elf seperti Watanabe bukan satu-satunya Elf yang ada di Jepang.

"Lalu, kalau begitu, nama-nama yang berhubungan dengan pohon memang terdengar seperti nama Elf. Tapi, kalau begitu, kenapa nama ‘Watanabe’?"

"Sejak zaman Watanabe no Tsuna, nama keluarga Watanabe sering dipakai oleh orang-orang yang bekerja sebagai pengangkut barang atau pembuat kapal. Jadi, menurutku, nama itu cocok untuk Elf yang datang dari wilayah perbatasan Nache Rivira ke ujung timur dunia lain."

Yukuto, yang tidak pernah terlalu memikirkan asal-usul nama keluarganya sendiri, merasa entah bagaimana pendapat Watanabe itu masuk akal.

Namun, ketika ia hampir setuju, komentar dingin Izumi yang selama ini diam mulai menusuk.

"Maaf mengganggu kepuasanmu, Senpai. Tapi, apakah kamu benar-benar merasa cukup datang ke dunia lain hanya untuk tahu lima nama keluarga favorit Elf?"

"Ah, tentu saja tidak cukup! Tidak cukup, tapi...!"

Yukuto bergantian memandang Izumi dengan tatapan dinginnya dan Fuka Watanabe, sang elf dengan senyuman lembut, lalu berkata lemah.

"Apa yang ingin kuketahui sebenarnya sudah, yah, sebagian besar sudah kumengerti... karena itu."

"Hah? Kamu serius mengatakan itu?"

"Um, iya, soalnya aku sudah tahu kalau kamu, Watanabe-san, salah satu dari elf dari suku Sun Elf dari Nache Rivira, memiliki tanggung jawab untuk menebus dosa leluhur kalian. Dahulu kala, seorang 'Raja Iblis' yang berasal dari Sun Elf menyebabkan kekacauan di Nache Rivira. Sebelum berhasil dikalahkan, dia melarikan diri ke suatu tempat di Bumi. Sejak itu, selama dua ratus tahun terakhir, Sun Elf tidak diizinkan meninggalkan Pulau Penjara Terapung Astotiran tempat kita berdiri sekarang. Jadi, untuk memburu Raja Iblis yang melarikan diri ke dunia lain, para leluhur elf kalian berbaur dan menyembunyikan diri di Bumi demi menebus dosa mereka. Rahasia itu adalah rahasia keluargamu, dan kamu sendiri sudah mengatakannya padaku sejak awal, kan?"

"Oki-kun, luar biasa. Baru mendengar sekali saja sudah paham."

"Itu karena Watanabe-san yang mengatakannya."

"Fuka-chan, ini bukan momen untuk jadi terharu sebagai gadis muda. Ini saatnya sedikit tercengang."

Tatapan serius Yukuto, yang secara akurat mengulang semua yang telah Watanabe katakan dari sudut pandangnya, membuat Izumi terkejut dan jujur saja, merasa agak takut.

"Jadi, jujur saja, pada titik ini aku yang hanya tahu sedikit tentang dunia ini atau para elf, aku tidak bisa memberikan pendapat atau ikut campur dalam situasi di sekitarmu, Watanabe-san."

"Kamu serius?"

"Serius. Paling tidak, dengan kita berada kurang dari sepuluh meter dari pintu masuk lemari itu, aku tidak bisa membuat pernyataan sembrono yang dangkal atau tidak bertanggung jawab. Tapi... ada satu hal yang membuatku penasaran dan ingin kucoba."

Setelah mengatakan itu, Yukuto menoleh ke arah batasan lemari tersebut.

"Kita masih bisa balik, kan?"

Setelah memastikan, dia melepas sandal dengan rapi di depan batas tersebut, kembali ke kamar Watanabe, lalu segera kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.

Melihat itu, Watanabe terkejut, sedangkan Izumi mendengus sedikit tidak puas.

"Aku ingin mencoba memotret Watanabe-san di dunia ini, bolehkan?"

Dengan kamera analog SLR-nya di tangan, Yukuto bertanya pada elf Watanabe.

"Aku belum tahu apa penyebab dan efek 'sihir' Watanabe-san bergantung pada apa, tapi bolehkah aku memotretmu di sini?"

"Ah, um... bagaimana ya..."

Untuk pertama kalinya, Watanabe, yang selama ini aktif menarik Yukuto ke dunia lain, menunjukkan sikap ragu.

"Tentu saja, aku tidak akan menunjukkan foto-fotonya pada siapa pun."

"Meski kamu bilang begitu, bukankah kamera film harus dicetak dulu?"

Mendengar pertanyaan Izumi, Yukuto justru menjawab dengan penuh percaya diri.

"Aku ini ketua klub fotografi, tahu. Aku bisa mencetaknya sendiri di ruang klub. Untungnya, sekarang klub fotografi hanya beranggotakan aku sendiri, bahkan tidak ada anggota sementara, jadi tidak ada risiko orang lain melihatnya secara tidak sengaja."

"Apa-apaan itu, menyebalkan sekali. Kamu ini senpai, tapi malah menyombongkan diri."

Izumi, yang pernah berpura-pura menjadi anggota sementara untuk menjebak Yukuto, memasang ekspresi kesal.

"Lagipula, dengan kamera film seperti ini, selama belum dicetak, data tidak akan bocor ke mana-mana. Kalau ada hal yang tidak boleh difoto, aku tidak akan memotretnya. Sudah jelas, kalau aku memotret Watanabe-san, aku juga tidak akan menggunakannya untuk kontes. Tidak boleh... ya?"

Yukuto, yang biasanya tidak terlalu memaksa, kali ini bersikeras. Sebagai seorang fotografer, dia tidak bisa mengabaikan kemungkinan untuk menangkap subjek yang mungkin belum pernah dilihat orang sebelumnya, meskipun dia tahu dirinya kurang bisa bersikap tenang dalam situasi seperti ini.

Bahkan, dia harus menahan keinginan untuk memotret langit atau awan di dunia lain ini, yang tidak akan menunjukkan tanda-tanda spesifik dunia tersebut.

"Begini, sebenarnya pengambilan gambar tidak masalah. Izumi-chan juga sering memotret dengan ponselnya."

"Eh? Serius?"

"Iya."

Izumi mengangkat ponselnya untuk menunjukkan sesuatu pada Yukuto. Di layarnya terlihat foto makhluk artropoda berwarna-warni, ukurannya lebih besar dari buaya kecil.

"Apa itu!?"

"Apa, ya? Waktu itu aku menemukannya secara kebetulan di dalam hutan beberapa tahun lalu. Katanya, makhluk itu membawa keberuntungan bagi suku Sun Elf."

Mendengar bahwa lipan raksasa itu dianggap sebagai simbol keberuntungan, Yukuto hanya bisa merasa bingung.

"Makhluk ini disebut 'bahan sihir hidup' karena efisiensi penyimpanan dan konduksi sihirnya sangat tinggi. Dalam bahasa Jepang, kami menyebutnya hōmaritsu."

"Hōmaritsu."

Mendengar istilah itu, Yukuto hampir ingin menyela karena istilah tersebut terdengar asing, tetapi dia menahan diri.

"Cangkangnya digunakan untuk baju zirah, kakinya untuk senjata dan alat, organ dalamnya untuk obat, dan kepalanya diyakini membawa keberuntungan. Satu ekor dewasa bisa dijual dengan harga yang cukup untuk menghidupi keluarga selama setahun. Tapi foto Izumi-chan ini sepertinya masih anakannya, jadi dia hanya memotretnya dari jauh."

Simbol keberuntungan yang terdengar begitu pragmatis itu membuat Yukuto sedikit tersenyum kembali.

"Begitu, ya. Aku ingin lebih banyak melihat dan mendengar hal seperti itu, dan memotretnya."

Di dunia manapun, keinginan untuk menjelajahi hal baru adalah naluri manusia, terlebih lagi jika itu bisa membantu Yukuto memahami lebih jauh asal-usul Watanabe, si elf.

"Iya, memotret itu tidak masalah sih. Kalau ada waktu luang, aku juga bisa membawamu ke desa Sun Elf, dan kamu bisa memotret di sana. Tapi..."

Elf Watanabe melirik ke kamera Yukuto dengan ekspresi ragu.

"Aku merasa, menggunakan kamera itu mungkin bukan ide bagus."

"Eh?"

Alasan keraguan Watanabe membuat Yukuto secara refleks menatap kameranya.

"Kalau boleh, lebih baik gunakan smartphone atau kamera digital biasa. Kalau pun fotonya bocor, informasi lokasi pengambilan gambar di sini tidak akan tercatat. Kalau ada yang melihat tumbuhan, hewan, atau manusia di dunia ini, mereka hanya akan mengira itu cosplay atau CGI."

Kebocoran informasi dari dunia lain tampak begitu santai dan ceroboh, tetapi jika itu yang dikatakan oleh Watanabe, tidak ada pilihan lain selain menerima penjelasan tersebut.

Namun, jika itu masalahnya, alasan mengapa Watanabe tampak keberatan dengan kamera film analog semakin sulit dipahami. Akhirnya, dengan wajah memerah dan tampak berusaha mengatasi rasa ragu, Watanabe menyampaikan pemikirannya.

"Kalau aku salah, maaf ya. Tapi aku pikir kamera milikmu itu mungkin bukan kamera film biasa, Oki-kun."

"!!"

Yukuto terdiam, menahan nafas.

"Selama ini aku merasa aneh. Tentang festival bunga krisan tahun lalu."

"Apanya yang aneh?"

"Dengan begitu banyak bunga krisan lain yang luar biasa di sana, mengapa kamu langsung memotret bunga milikku, bahkan sebelum kamu tahu itu milikku?"

"Itu karena..."

Yukuto mencoba menjelaskan bahwa dia melihat nama Fuka Watanabe di labelnya, atau bahwa dia hanya menganggap bunga itu sangat indah sebagai subjek foto. Namun, dia menahan diri untuk tidak mengatakannya.

Jika Yukuto memiliki kepribadian yang lebih licik, atau jika dia kurang tulus terhadap Fuka Watanabe, dia mungkin bisa langsung memberikan alasan itu. Tetapi nurani Yukuto tidak membiarkannya berbohong, walaupun hanya sedikit.

Dia ingin mencintai Fuka Watanabe, Elf yang berada di depannya, sekali lagi dengan lebih dalam. Karena itu, dia tidak bisa menyembunyikan kebohongannya.

Alasan sebenarnya dia memotret itu adalah karena bunga tersebut tampak bersinar melalui jendela bidik kameranya.

Baru setelah memotret dan menyadari keindahannya, dia melihat nama Fuka Watanabe pada label bunga itu. Yukuto tidak pernah menceritakan pengalaman ini kepada siapa pun, termasuk kepada Watanabe.

"Oki-kun mulai memotretku dengan kamera itu tepat sebelum... sebelum kamu me-mengaku cinta padaku, kan? Dan setelah itu, kamu..."

Fuka Watanabe berhenti sejenak, ragu melanjutkan kata-katanya.

Sejak Yukuto menembak Watanabe, dia mulai melihat Fuka Watanabe sebagai Elf.

Sebenarnya, Yukuto mulai memotretnya beberapa hari sebelum pengakuan cinta itu, tapi reaksinya sekarang membuatnya jelas bahwa detail itu tidak penting.

"Itu sebabnya aku berpikir, mungkin kamera itu memiliki semacam kekuatan magis atau mekanisme yang aneh, yang bisa menangkap atau bahkan menembus energi magis kami."

Yukuto tidak bisa menyangkalnya.

Ketika dia melihat melalui jendela bidik kameranya, subjek foto tampak memancarkan cahaya dan terasa seolah-olah meminta untuk difoto. Fenomena ini jelas di luar pengetahuan ilmiah Yukuto, dan dia tidak pernah benar-benar memikirkan penyebabnya sampai sekarang.

"Tunggu, apa itu benar?" tanya Izumi Kotaki, dengan wajah bingung melihat reaksi Yukuto.

"Ti-tidak, itu tidak benar! Kameraku tidak memiliki fungsi fantasi semacam itu! Tapi..."

Yukuto tidak tahu bagaimana menjelaskan fenomena itu. Subjek fotonya memang terlihat "bersinar," tetapi bukan dalam pengertian literal cahaya. Itu lebih seperti sebuah sensasi yang hanya bisa dia rasakan melalui kamera itu.

"Kalau begitu, apa sebenarnya maksudmu? Jangan-jangan memang ada sesuatu yang aneh tentang kameramu senpai"

"Tidak mudah menjelaskannya. Rasanya sangat subjektif, dan kalau aku salah bicara, aku mungkin tidak akan diizinkan lagi untuk memotret Watanabe-san..."

"Baik, kalau begitu aku tidak akan mengizinkanmu memotret Fuka-chan lagi. "

"Kotaki-san, apa kamu benar-benar membenciku?"

"Aku hanya ingin melindungi Fuka-chan dari manusia mencurigakan sepertimu. Kalau itu berarti menghukummu, aku tidak masalah."

Izumi terdengar protektif, dan Yukuto tahu dia harus mengatakan sesuatu sebelum semuanya menjadi lebih buruk.

"Baiklah, baiklah! Aku akan jujur. Aku belum pernah memberi tahu ini kepada siapa pun karena aku sendiri tidak yakin ini berlaku untuk orang lain."

"Baik, aku akan mendengarkan 'pembelaan terakhirmu.'"

"Padahal pembelaan pertamaku saja tidak kamu dengarkan." 

Yukuto mengeluh, tetapi akhirnya mengalah. Dia menyerahkan kameranya kepada Izumi.

"Melalui jendela bidik ini, aku melihat subjek foto tampak bersinar."

"Apa? Maksudmu?"

"Ketika aku melihat sesuatu melalui jendela bidik kamera ini, benda itu seperti memancarkan cahaya, seolah-olah memintaku untuk memotretnya. Dan hasil fotonya yang biasa saja malah terlihat cukup bagus."

"Itu tidak masuk akal! Tidak mungkin kamera seperti itu ada."

"Kalau begitu, kenapa dunia lain, sihir, dan Elf bisa ada?"

Karena dunia lain di balik lemari geser atau pulau penjara melayang benar-benar ada, bukankah seharusnya sedikit keanehan seperti kamera yang secara sukarela menunjukkan subjek foto yang bagus bisa diterima?

Yukuto merasa seperti dihadapkan pada ketidakadilan terbesar sepanjang hidupnya dan akhirnya berteriak.

"Kalau begitu, aku pinjamkan saja kameranya sekarang! Coba lihat sesuatu melalui jendela bidik ini!"

"Eh? Aku tidak mau mendekatkan wajahku ke kamera yang sudah penuh dengan keringat dan darahmu, Senpai."

"Kenapa kamu mengakui bahwa aku sudah berusaha keras sampai kamera ini dipenuhi darah dan keringat?!"

Di tengah percakapan absurd dengan Izumi, Yukuto tidak menyadari bahwa Fuka, sang Elf, telah menahan nafas kecil dan wajahnya menegang.

"Yah, kurasa aku tidak punya pilihan. Aku tahu bahwa sihir benar-benar ada. Kalau Elf seperti Fuka-chan juga ada di Jepang atau di suatu tempat di Bumi, maka adanya hal-hal aneh seperti itu tidak mustahil. Berikan kameranya, Senpai. Aku akan memastikan apakah yang kamu katakan itu benar atau tidak."

"Kamu bicara seperti bos saja. Tapi jangan sampai menjatuhkannya, ya."

"Walaupun aku banyak bicara, aku tidak akan memperlakukan perangkat berharga seperti ini dengan sembarangan..."

Izumi mencoba menerima kamera dari tangan Yukuto dengan hati-hati, tetapi tiba-tiba terdengar suara.

"Tunggu sebentar!"

Kaget oleh suara Fuka yang tiba-tiba, mereka berdua segera menarik tangan mereka.

"Watanabe-san?"

"Ada apa, Fuka-chan? Tadi itu berbahaya."

"A-aku minta maaf! Tapi, aku... aku ingin aku saja yang memeriksanya, bolehkah?"

"Eh? Apa?"

"Kameranya, yang katanya membuat sesuatu di dalam jendela bidik terlihat bercahaya... Itu memang terdengar aneh dan mungkin terkait dengan sihir. Jadi, kurasa aku yang lebih cocok untuk memeriksanya. Kau tahu, Izumi-chan tidak akan bisa memastikan apakah itu benar-benar sihir atau tidak."

"Itu benar, tapi kalau percaya pada apa yang Senpai bilang, tidak masalah kalau aku yang melihatnya, kan?"

"Ya, itu memang benar, tapi... lihat, kamera Oki-kun tidak punya layar LCD. Untuk melihat melalui jendela bidik, wajah, h-hidung, atau bagian lainnya akan menyentuh kamera!"

"Dan? Memangnya kenapa?"

"Karena itu, kali ini biarkan aku yang memeriksa! Oki-kun, iya kan?"

"Eh? U-uh, ya. Bagiku, selama fenomena itu bisa dilihat orang lain, tidak masalah siapa yang memeriksa."

"Kalau begitu, aku saja!"

Watanabe mengucapkannya dengan penuh tekad, wajahnya memerah. Dia mengulurkan kedua tangannya ke arah Yukuto.

"O-oke, ini."

Terpukul oleh semangatnya, Yukuto menyerahkan kameranya.

"Akan aku jaga baik-baik!"

Dengan rasa gugup, Fuka menerima kamera itu. Dia terkejut dengan beratnya tetapi segera memegangnya dengan kokoh di kedua tangannya sambil menghela nafas panjang.

"Ini pertama kalinya aku memegang sesuatu yang begitu kokoh."

Dia mengangkat kamera ke depan wajahnya, mengamati dengan seksama. Dengan nada gugup dan nafas yang sedikit terengah, dia berbicara.

"Kamera Oki-kun... besar sekali ya."

"Eh? Ah, ya, memang."

"Tanganku kecil, jadi sulit menggenggamnya. Bagian yang kasar di samping ini kupikir akan lembut, tapi ternyata keras sekali."

"Fuka-chan, sebenarnya kamu sedang bicara tentang apa sih?"

"Eh? Kamera, tentu saja. Kenapa wajahmu terlihat aneh, Izumi-chan?"

"Aku lega kamu masih bisa mengatakan itu dengan santai meskipun sudah SMA, tapi aku cukup khawatir. Dan, Senpai, kalau kau memikirkan hal aneh, aku akan benar-benar membunuhmu."

Meski sebenarnya Izumi-lah yang mencoba memancing kesalahpahaman dengan caranya menggarisbawahi ucapan Fuka, Yukuto tidak berani membantah karena pandangan membunuh Izumi yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Beneran deh, ini gak masuk akal.

"Baik, kalau begitu... permisi."

Sementara Izumi dan Yukuto terlibat adu argumen singkat, Fuka memberikan sedikit hormat kepada kamera itu sebelum mendekatkan wajahnya ke jendela bidik.

Melihatnya, Yukuto tidak bisa menahan perasaan aneh.

Wajah Fuka, seorang Elf yang begitu indah dan berkarisma, menempel pada bagian kamera yang biasa dia gunakan, yang mungkin masih menyimpan bekas keringat dari hidungnya di hari-hari panas.

Andai saja dia sempat membersihkannya dengan tisu alkohol sebelum menyerahkan kamera itu...

Namun, sudah terlambat. Fuka telah menatap ke dalam jendela bidik.

Elf yang memiliki postur sempurna dan wajah memukau itu, bahkan dengan sebagian besar wajahnya tertutup kamera, masih tampak begitu indah.

"A-anu, pastikan jangan melihat ke arah matahari..."

Ketika Yukuto memberikan peringatan sederhana seperti itu, Fuka mengangguk kecil, sementara Izumi bergantian menatap tajam ke arah keduanya.

Setelah mengarahkan lensa ke langit, padang rumput, awan, dan hutan di kejauhan secara berurutan, Fuka melihat Izumi dengan ekspresi biasa saja. Kemudian, dia mengarahkan pandangannya ke Yukuto. Saat itulah kejadian itu terjadi.

"Eh... ahhh!"

Bersamaan dengan suara jernih seperti kaca tipis yang pecah, Fuka menjerit dan mundur terhuyung-huyung.

"Fuka-chan!"

"Watanabe-san!?"

Lalu, seolah kehilangan seluruh kekuatan tubuhnya, dia jatuh berlutut.

"Kameranya... aku... menjatuhkannya..."

Namun, sebelum benar-benar terjatuh ke padang rumput, Fuka memeluk kamera Yukuto untuk melindunginya, lalu dia roboh tak sadarkan diri.

"F-Fuka-chan! Apa yang terjadi padamu!?"

"Watanabe-san!"

Yukuto dan Izumi segera berlari mendekat.

Kamera itu tetap berada dalam pelukan Fuka, namun tangan yang memegangnya tak lagi memiliki kekuatan. Ketika Izumi mencoba memindahkannya, tangan Fuka dengan mudah terlepas tanpa perlawanan.

"Apa yang terjadi!? Fuka-chan! Fuka-chan, jawab aku!"

Tidak ada respons dari Fuka. Wajah Izumi berubah pucat saat melihat kondisi temannya.

"Kamera ini... apa-apaan sih sebenarnya!?"

Dengan amarah bercampur ketakutan, Izumi meraih tali kamera dan hampir melemparkannya ke arah Yukuto.

Dia kemudian mendekatkan telinganya ke wajah Fuka. Setelah beberapa saat, dia menghela nafas lega.

"Syukurlah, dia masih bernapas... Fuka-chan. Fuka-chan, kamu baik-baik saja kan? Bisakah kamu bangun?"

Namun, panggilan Izumi tidak mendapat balasan.

"Ini buruk... apa yang harus kita lakukan? Senpai! Kamera itu sebenarnya apa!?"

"A-aku juga tidak tahu! Selama aku menggunakannya, hal seperti ini tidak pernah terjadi!"

"Tapi begitu dia mengarahkan kamera itu ke arahmu, ini langsung terjadi! Aku melihatnya sendiri!"

"Tapi... aku benar-benar tidak melakukan apa-apa! Aku juga tidak tahu apa yang terjadi!"

Yukuto memang menyadari bahwa kejadian itu terjadi tepat saat Fuka mengarahkan lensa ke arahnya. Namun, dia sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh, sehingga dia benar-benar bingung.

"Jangan berisik! Yang jelas, ada sesuatu yang salah dengan kamera ini! Apa yang sebenarnya terjadi dengan jendela bidik-nya!?"

"T-tapi aku juga tidak tahu..."

Meski tidak mengerti, Yukuto tidak bisa hanya diam.

Di bawah desakan Izumi, dia memberanikan diri untuk melihat melalui jendela bidik kamera itu.

Namun, tidak ada yang aneh. Yang terlihat hanyalah langit, padang rumput, dan Fuka serta Izumi.

Dalam pengamatan Yukuto, "cahaya" yang biasanya dia lihat memang tidak ada, tetapi semuanya terlihat seperti biasa.

"Ini benar-benar gawat."

"Kenapa... apa yang terjadi pada Watanabe-san...?"

"Kalau Fuka-chan tidak segera sadar, ini bisa jadi masalah besar!"

"Tidak sadarkan diri? Jangan terlalu berlebihan... dia masih bernafas, kan?"

Yukuto, yang mulai takut Izumi akan menyerangnya dengan penuh kemarahan, melihat ke arah Fuka. Wajah Fuka tampak normal, nafasnya tenang, dan tidak ada tanda-tanda buruk.

"Bukan itu maksudku! Lihat ke belakangmu!"

Izumi, dengan nada frustasi bercampur marah, membentak Yukuto.

"Ke belakang?"

Yukuto pun menoleh. Yang dia lihat adalah langit, padang rumput, dan bayangan hutan di kejauhan, sama seperti sebelumnya.

Pemandangan damai ini tampak tidak mengancam. Tidak ada yang terlihat seperti "penjara melayang". Namun, saat dia memikirkan itu...

"Ah!"

Pikiran itu terhenti. Yukuto menyadari sesuatu yang penting.

Tidak ada yang aneh selain pemandangan yang seharusnya ada di tempat itu.

Hal-hal yang seharusnya ada di sana telah lenyap.

"Batas antara dunia kita dan dunia lain... hilang."



Pintu geser yang seharusnya menghubungkan kamar pribadi Watanabe dengan perbatasan yang menghubungkan Jepang dan dunia lain, Nache Riviera, sama sekali tidak terlihat.

Bahkan Yukuto, yang tidak memahami sihir atau dunia lain, bisa dengan mudah membayangkan bahwa pingsannya Fuka Watanabe memiliki hubungan erat dengan situasi ini.

Ketika Yukuto tanpa sadar melihat jam tangannya di pergelangan tangan kirinya, waktu sudah hampir menunjukkan pukul lima sore.

"Uhm... waktu di sini dan di sana itu…"

"Aku tidak tahu secara pasti, tapi kecepatan waktu berjatidak berbeda. Jika waktu di jam itu maju satu jam, di Jepang juga maju satu jam. Itu sebabnya aku terburu-buru."

"Apakah ada tanda-tanda dia akan bangun...?"

"Tidak sama sekali. Dia tidak mendengkur, jadi aku rasa bukan masalah otak atau hal semacam itu, tapi kalau aku mengguncangnya terlalu keras dan ada efek buruk, itu malah akan jadi masalah. Aku sudah coba menepuk wajahnya, tapi tidak ada respons."

Yukuto tidak tahu apa hubungan antara mendengkur dan otak, tetapi meskipun Izumi menyentuh tubuh Fuka tanpa ragu-ragu sebagai sesama perempuan, dia tampak jauh lebih tenang dibandingkan Yukuto.

"D-denyut nadinya…"

"Aku juga panik! Jantungku sendiri berdebar-debar, jadi aku tidak bisa mengukur dengan akurat. Lagipula, aku tidak tahu berapa denyut nadi normal Fuka-chan."

Memang benar, denyut nadi Elf dan manusia mungkin tidak sama, tetapi karena mereka menjalani pemeriksaan kesehatan di sekolah seperti biasa, Yukuto merasa hal itu seharusnya tidak jadi masalah.

"Lagipula, aku juga tidak tahu denyut nadi normal manusia. Senpai dan aku sama-sama tidak dalam keadaan tenang sekarang. Dan karena tidak ada sinyal di ponsel, kita juga tidak bisa mencari tahu."

Itu masuk akal. Jika perbatasan ditutup, maka sinyal lemah yang sebelumnya bisa diterima dari dunia sana juga tidak akan ada lagi.

"Jadi... apakah itu berarti kita hanya bisa menunggu Watanabe-san bangun?"

"Kalau bisa begitu, ya bagus sih."

Izumi mengerutkan wajahnya dan berdiri.

"Di sini juga sebentar lagi akan malam."

"Eh?"

Ketika melihat ke atas, Yukuto tidak tahu arah mana yang timur, barat, utara, atau selatan, tetapi salah satu bagian langit jelas mulai memancarkan cahaya senja.

Karena mereka mengenakan seragam sekolah, Yukuto sebelumnya tidak memperhatikan, tetapi suhu di tempat ini hampir sama dengan Jepang. Kalau siang hari masih bisa ditoleransi, tetapi malam hari kemungkinan suhu akan turun drastis.

Selain itu, ini adalah padang rumput terbuka dengan pandangan yang luas. Tidak ada yang tahu hewan seperti apa yang hidup di tempat ini, tetapi pelangi besar yang baru saja dilihatnya membuat imajinasi Yukuto makin menuju arah yang buruk.

Padang rumput ini jelas berada di luar jangkauan peradaban manusia. Dengan seseorang yang pingsan, tinggal di tempat ini tanpa rencana hanya akan membawa masa depan yang buruk.

"A-apa yang harus... kita lakukan...?"

"Kalau ada hewan liar yang muncul, kau bisa saja memotretnya, kan?"

"Itu terlalu santai! Maksudku, serius!"

Ekspresi Izumi, yang tampaknya menikmati kebingungan Yukuto meskipun dia sendiri tidak sepenuhnya tenang, membuat Yukuto berpikir.

"Kamu tidak terlihat setegang aku. Apa mungkin kamu punya rencana, Kotaki-san?"

"Yah, ada sih. Tapi, jujur saja, aku tidak terlalu suka dengan rencana itu."

Izumi mengakui hal itu dengan santai, lalu memandang Watanabe si elf yang masih pingsan dan Yukuto secara bergantian.

"Kau lihat hutan itu? Di sana ada desa bernama Sun Elf. Aku pernah ke sana beberapa kali. Kalau kita ke sana, aku yakin mereka bisa membantu."

Izumi menunjuk ke arah yang Yukuto lihat sebelumnya

—Deretan pepohonan di dekat cakrawala.

"Kalau kamu tahu geografi tempat ini, kenapa kamu tadi kelihatan panik? Kenapa kamu tidak suka rencana ini?"

"Itu karena kamera milikmu senpai. Aku harus menjelaskan kenapa Fuka-chan jadi seperti ini, dan kemungkinan kameramu akan diperiksa oleh mereka di Sun Elf. Kemungkinan terburuknya, senpai mungkin akan dianggap pelaku yang melukai Fuka-chan."

"Itu tidak bisa dihindari. Aku juga ingin tahu apa yang terjadi dengan kamera ini. Kalau mereka bisa memeriksanya, biar saja. Kalau harus dimarahi sedikit, ya sudahlah."

"Selain itu, ada satu hal lagi. Kalau kita ke sana, kemungkinan besar mereka akan mengembalikan Fuka-chan ke Jepang—ke rumahnya. Tapi, orang yang akan membantu kita..."

Wajah Izumi berubah murung.

"Sejak dulu aku merasa tidak terlalu disukai oleh orang itu. Dan aku khawatir, kejadian ini mungkin akan membuat Fuka-chan terpaksa meninggalkan kehidupan sekolahnya di Jepang."

"Maksudmu apa? Orang itu... pejabat penting di Sun Elf?"

"Bukan soal jabatan, tapi ini lebih penting bagi kita."

Dengan wajah yang tampak berat, Izumi berkata.

"Orang yang akan kita minta bantuan di desa itu adalah ibu Fuka-chan. Namanya Ryoka Watanabe. Tentu saja, ibunya juga seorang Elf. Dia dari suku Sun Elf."


0

Post a Comment



close