Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
BAB 6 – Demi Dirimu
Membuat seorang kekasih itu sulit.
Alasannya? Terlalu banyak aturan tak tertulis.
Perasaan wanita, sikap gentleman, dan berbagai hal lainnya.
Sejak masuk SMP, tiba-tiba jumlah pasangan yang terbentuk
meningkat drastis. Tapi dari mana mereka semua belajar cara mendapatkan pacar?
Aku benar-benar penasaran.
Dulu, hanya bisa berbicara dengan cewek sudah cukup untuk
membuatku puas. Tapi jujur saja, sejauh ini aku hanya mengandalkan
keberuntungan.
Kalau dipikir-pikir, hubunganku dengan Remi pun tak lebih
dari hasil keberuntungan semata. Ada begitu banyak interaksi yang hanya bisa
terjadi di antara kami karena status kami sebagai teman masa kecil.
Tapi saat berbicara tentang proses mendapatkan pacar,
keberuntungan saja tidak cukup.
Ada dinding besar yang menghadang—momen ketika seseorang
bisa merasakan "chemistry" dengan lawan jenis.
Seperti dalam manga, di mana kita harus membaca volume
pertama sebelum bisa menikmati kelanjutannya.
Atau seperti dalam game gacha, di mana kita harus
menyelesaikan tutorial sebelum bisa menarik karakter yang diinginkan.
Seorang kekasih hanyalah hadiah yang diberikan kepada
mereka yang berhasil melewati tahap "chemistry" ini.
Namun, ada tantangan tersendiri dalam menciptakan
chemistry itu sendiri.
Pertama, jika kita melewatkan satu kesempatan, belum
tentu akan ada kesempatan lain yang datang.
Kedua, jika sudut pandang kita terhadap chemistry itu
berbeda dengan lawan jenis, risikonya bisa sangat besar.
Semakin banyak orang di sekitarku yang berhasil melewati
rintangan ini, semakin besar pula rasa cemas yang kurasakan.
Sebagai seseorang yang belum pernah memiliki pacar, aku
mulai merasa semakin terasing ketika membicarakan soal cinta dengan teman-teman
laki-lakiku.
Sejak masuk SMA, perasaan itu semakin terasa, dan
satu-satunya tempat di mana aku bisa merasa nyaman hanyalah bersama Takeru.
Aku selalu mengatakan kepada orang-orang, "Aku tidak
kepikiran punya pacar sekarang," untuk menghindari tekanan. Tapi di dalam
hati, aku takut akan tiba-tiba mencapai usia di mana semuanya sudah terlambat.
Aku ingin melawan perasaan negatif ini, tapi kenyataan
justru semakin menjauhkanku dari tujuanku.
Aku gagal mengungkapkan perasaanku kepada Remi Nikaido
karena aku melewatkan momen yang tepat.
Aku juga gagal menyatakan cinta kepada Yuuka Hanazono
karena trauma masa lalu masih menjadi beban bagiku.
Seandainya aku tidak mengalami insiden di musim dingin
saat kelas dua SMP, mungkin aku akan berani mengungkapkan perasaanku kepada
Hanazono pada saat yang tepat, dan mungkin hasilnya akan berbeda.
Setidaknya, aku tidak akan menghadapi kenyataan pahit
bahwa aku ditolak lagi sejak awal masa SMA.
Akar dari semua masalah ini adalah musim dingin di kelas
dua SMP.
Trauma akibat perbedaan persepsi tentang
"chemistry" itu masih membelengguku hingga sekarang.
Jika saja Yuzuha tidak menolongku, mungkin aku akan terus
terjebak dalam situasi yang sama hingga kelulusan.
Jika saja Hanazono Yuuka tidak ada, mungkin aku sudah
benar-benar hancur secara mental.
Aku berhasil lepas dari cengkeraman seseorang itu, tapi
akibatnya, aku meninggalkan luka yang membuatku sulit menjalani hubungan
romantis.
Satu-satunya cara bagiku untuk bisa menjalin hubungan
adalah dengan belajar mengenali chemistry yang sebenarnya.
Dan mungkin, inilah akibat terbesar dari trauma itu—pola
pikir yang begitu rumit.
Tapi akhir-akhir ini, aku mulai berpikir…
Mungkin aku hanya sedang mencari-cari alasan agar tidak
perlu mengungkapkan perasaanku kepada siapa pun.
***
Sudah satu minggu sejak Remi pindah sekolah.
Para siswi di kelas dua sudah hampir semuanya melakukan
kontak pertama dengan Remi, dan sekarang, para cowok yang cukup berani mulai
mendekatinya dengan hati-hati.
Reputasi para pria yang sudah berhasil berbicara dengan Remi
bisa dirangkum seperti ini:
"Nikaido-san itu pendiam, tapi punya kehadiran yang
kuat..."
"Setuju. Dia kelihatan anggun, tapi juga punya
sedikit aura gyaru, dan tetap terlihat berkelas."
"Gue sih simpel aja, pengen pacaran sama dia!"
Popularitasnya sudah menyebar bahkan ke kelas lain, dan
dia juga sangat disukai oleh para siswi.
Di tengah semua orang yang tertarik padanya, aku tidak
bisa menghindari kenyataan ini—
Remi telah berubah.
Saat masih kecil, Remi adalah tipe yang keras kepala dan
menjalani hidup dengan caranya sendiri.
Saat memasuki kelas atas di SD, dia berkembang menjadi
sosok dengan kepemimpinan yang luar biasa, yang selalu mengambil inisiatif
dalam segala hal.
Tapi sekarang, dia sudah belajar untuk memberi ruang bagi
orang lain.
Meskipun saat kelas enam dia sudah cukup ramah, sikapnya
yang kini hampir tidak pernah menonjolkan dirinya sendiri adalah kebalikan dari
dirinya yang dulu.
"Oh ya? Wah, keren banget! Bisa gitu ya!"
Balasan yang aman dan tidak menyinggung siapa pun.
"Serius? Drama itu kayaknya seru deh. Aku juga
pengen coba nonton!"
Respon yang sesuai dengan apa yang diharapkan lawan
bicara.
Dan akhirnya, senyuman lembut yang meluluhkan hati
teman-teman sekelas.
Sebagai teman masa kecilnya, aku satu-satunya yang
merasa ada sesuatu yang janggal dalam perkataannya.
Mungkin karena aku tahu bahwa ini semua hanyalah
"peran" yang dia mainkan sebagai murid pindahan.
Atau mungkin karena aku tahu bagaimana dirinya yang
sebenarnya.
Remi sendiri pernah mengatakan bahwa dia ingin menjalani
kehidupan baru yang aman sebagai murid pindahan, dan aku bisa memahami
perasaannya, jadi aku tidak menyinggung hal itu.
Tapi... apakah aku boleh membicarakan masa lalu kami pada
Remi yang sekarang?
"Bukankah kamu bilang bakal berusaha buat melewati
tahap ‘chemistry’ itu?"
Aku tahu.
Aku tahu.
Tapi perbedaan antara Remi yang ada dalam ingatanku dan
dirinya yang sekarang membuatku ragu untuk melangkah maju.
Saat jam istirahat siang, aku berjalan ke loker untuk
menyimpan buku pelajaran. Tapi sebelum aku sampai, seseorang sudah ada di sana.
"Ah."
Hanazono berhenti begitu melihatku.
Sepertinya dia sudah selesai membereskan
barang-barangnya.
Karena kami sudah terlanjur bertemu, rasanya ingin
mengatakan sesuatu.
Meskipun aku pernah ditolak—atau lebih tepatnya, ditepis
secara halus—itu tidak berarti kami harus bersikap seperti orang asing.
Lagipula, baru dua minggu lalu dia berkata "Kamu
sama sekali tidak ngajak ngobrol."
Hanazono tersenyum tipis dan tetap berdiri di
tempatnya.
...Ini pertama kalinya kami bertatapan langsung sejak
aku ditolak. Tapi kalau dia tidak pergi, itu berarti aku boleh mengajaknya
bicara, kan?
Aku mengambil napas dan memberanikan diri untuk
menyapanya.
"Ehm... Aku harus ngajak ngobrol, kan?"
"Fufu, siapa juga yang mulai percakapan kayak
gitu?"
Hanazono tertawa kecil, lalu mengangguk.
"Iya. Makasih ya udah ngajak ngobrol."
"J-jadi... gimana kabarmu?"
"Aku baik-baik aja. Kamu sendiri gimana,
Yocchi?"
Dia bertanya dengan polos, membuatku buru-buru
menambahkan,
"M-maksudku, waktu itu kamu bilang mau berteman sama
Yuzuha. Udah sempat ngobrol sama dia belum?"
Jujur saja, koreksi itu terdengar sangat lemah.
Apalagi percakapan waktu itu terjadi hanya karena
Hanazono mengira aku dan Yuzuha pacaran.
Kalau dia bisa dekat dengan Yuzuha, maka akan lebih mudah
baginya untuk berbicara denganku.
Tapi sekarang, ketika jarak di antara kami kembali terasa
jauh, kata-kataku tadi rasanya tidak lagi relevan.
Dalam kepalaku, aku mengomel pada diri sendiri.
Ayolah, bisa lebih tegas dikit tidak, sih?
Tapi kalau bagian diriku yang lebih tenang memang
bisa bicara dengan baik, dia pasti sudah melakukannya sejak tadi.
Untungnya, Hanazono tidak terlihat terganggu dengan
caraku berbicara yang berantakan dan menjawab dengan santai.
"Ah, maksudmu itu? Aku belum sempat ngobrol sama
Yuzuha-san. Lagipula, baru beberapa waktu lalu kita ngebahas itu."
"Tapi...
dua minggu udah lewat, lho. Itu setengah bulan."
"Hmm,
kalau dibilang setengah bulan, rasanya memang lama juga, ya... Jangan-jangan
Yocchi ini tipe guru yang suka mendesak muridnya?"
Dia
tersenyum lembut seperti biasa, dan entah kenapa, aku merasa lebih tenang.
Hanazono ini
tipe orang yang selalu menjawab dengan ramah, bahkan ketika lawan bicaranya
sangat buruk dalam mengobrol.
Orang sering menyamakan percakapan dengan permainan
lempar-tangkap. Jika benar begitu, maka Hanazono adalah tipe yang akan selalu
menangkap bola dengan hati-hati dan melemparkannya kembali tanpa kesalahan.
Memiliki seseorang seperti dia di kelas ini rasanya
seperti keajaiban.
Saat aku sedang terhanyut dalam pikiran itu, Hanazono
tiba-tiba berkata,
"Oh iya, Yocchi kenal juga sama Nikaido-san, ya?
Dari minggu lalu aku penasaran soal itu."
"K-kamu penasaran lagi?"
Mendengar ucapanku, Hanazono mengedipkan mata sebentar.
"…Iya, aku penasaran lagi. Jangan-jangan, dia itu
teman masa kecil yang pernah kamu ceritain?"
"Benar. Pasti bisa ketebak, ya? Soalnya aku sempat
nyebut-nyebut soal ini pas SMP."
"Oh,
begitu. Aku sudah menduganya…"
Hanazono
tersenyum lega, dan entah kenapa, senyum itu membuat dadaku terasa sedikit
dingin.
"Bagus,
ya. Mungkin akhirnya musim semi bakal datang buat kamu."
"Hmm…
yah… tidak tahu juga sih."
"Aku dukung kamu, kok."
"…Makasih."
Hanazono memang orang yang baik.
Tapi semakin lama aku berbicara dengannya, semakin aku
menyadari sesuatu.
Dulu, ada kemungkinan kalau kami sempat hampir jadi
sesuatu.
Tapi sekarang, kemungkinan itu sudah tidak ada lagi.
"Kalau gitu, aku mau makan dulu, ya."
"D-dengan siapa?"
"Seperti biasa. Sampai nanti."
…Bukan pacarnya, kan?
Aku memang tidak punya hak buat ikut campur, tapi kalau
memang begitu, aku lebih memilih untuk tidak tahu.
Setidaknya, sampai aku benar-benar bisa melupakan
semuanya.
Kupikir, satu atau dua minggu sudah cukup untuk
melupakan, tapi kenyataannya, aku masih kepikiran juga. Itu cukup
mengejutkan, bahkan buat diriku sendiri.
"Yoshiki—Yoshiki—!"
"Hm?"
Saat aku
menoleh ke arah suara, seorang gadis berambut kuncir kuda pirang menjulurkan
kepalanya dari dalam kelas.
Yuzuha
melambaikan tangannya dengan riang, rambutnya ikut bergoyang.
Saat aku mendekat, dia berbisik di telingaku,
"Wow, kamu beneran bisa ngobrol sama Hanazono.
Tapi kayaknya tidak ada harapan deh?"
"…Aku juga tidak ngarep apa-apa. Dan lagi, kamu nguping, ya!?"
"Ahaha, kebetulan aja! Tapi beneran tidak ngarep? Serius?"
Yuzuha tersenyum licik, seperti bisa melihat isi
kepalaku.
"Dari yang aku denger tadi, kayaknya aku bisa
bantu, lho. Mau aku bantuin?"
Yuzuha ini tipe yang tidak bakal berhenti melempar
bola, bahkan kalau aku belum siap menangkapnya.
Tapi justru karena itu, kadang-kadang di antara
bola-bola yang dia lempar, ada satu yang berkilau berbeda.
"Bantuin? Kayaknya ada udang di balik batu,
deh."
"Duh, nyebelin! Aku cuma pengen bantu karena
kelihatan seru aja!"
"Nah, itu dia masalahnya!"
Seperti yang kuduga, alasannya tidak masuk akal sama
sekali.
Tapi justru karena itulah, aku jadi bisa percaya.
Kalau dia bilang "Aku cuma mau nolongin kamu,"
aku pasti bakal menolak mentah-mentah.
"Terus, maksudmu mau nyambungin gimana?"
"Yah, ada banyak cara, kan? Gimana kalau kamu serahin ke aku aja?"
"…"
Aku terdiam.
Mungkin Yuzuha menganggap itu sebagai persetujuan, karena
dia tiba-tiba menepuk dadaku pelan.
"Yoshiki juga pengen punya kisah cinta, kan?"
Kalimat itu yang membuatku akhirnya memutuskan.
"…Asal tidak sampai ganggu Hanazono, ya."
"Ya ampun, tentu saja! Aku ini siapa, sih menurut
kamu? Pokoknya, kalau kamu udah siap buat ngelangkah lebih jauh, kasih tahu
aku, ya!"
"Eh?"
"Kan kamu mau pastiin dulu perasaanmu ke
Nikaido-san. Kalau udah ada jawabannya, baru kita pikirin langkah selanjutnya,
kan?"
…Jadi intinya, kalau aku sudah yakin setelah bicara
dengan Remi, saat itu juga Yuzuha bakal mulai mengatur langkah berikutnya
supaya aku bisa lebih dekat dengan Hanazono.
Itu memberiku waktu untuk benar-benar menata pikiranku.
Jujur saja, ini tawaran yang sangat menguntungkan.
"Yuzuha, kenapa kamu sampai segitunya mau bantu?
Masa cuma karena seru?"
Memang benar kami sudah kenal sejak SMP, tapi baru
beberapa bulan terakhir ini kami sering menghabiskan waktu berdua.
Orang-orang mulai mengira kami pacaran sejak awal masuk
SMA, tepatnya bulan April lalu.
Sebenarnya, kedekatan seperti ini bukan sesuatu yang
spesial bagi Yuzuha.
Setelah mendengar pertanyaanku, Yuzuha berpikir sejenak
sebelum menjawab.
"Hmm… Kayaknya aku bakal seneng kalau Yoshiki punya
pacar."
"…Biar orang-orang tidak salah paham lagi,
ya?"
"…Ya, mungkin itu juga ada sedikit."
Yuzuha menjawab dengan nada ringan, seakan itu bukan hal
besar.
Sepasang mata besarnya yang berwarna ungu menatapku.
Sesaat, keheningan menyelimuti kami berdua.
Kalau suatu saat aku benar-benar punya pacar, kira-kira
hubungan kami akan jadi seperti apa?
Bisa saja orang-orang salah paham dan mengira kami
terlibat dalam hubungan terlarang. Apakah Yuzuha sudah mempertimbangkan itu?
…Tidak, kalau itu Yuzuha, dia pasti tidak bakal
memikirkan hal-hal yang ribet seperti itu.
Lagipula, aku bahkan belum punya pacar. Memikirkan
hal ini sekarang hanya buang-buang waktu.
"Baiklah, aku bakal terima rasa terima kasih aja
dulu."
"Ahaha, gitu dong, gitu dong."
"Oke. Kalau gitu, aku mau bahas strategi. Kamu udah
ada janji sama siapa hari ini pas istirahat siang?"
"Kayaknya hari ini susah deh. Aku mau makan siang
sama Maki dan yang lain."
Yuzuha mengarahkan pandangannya ke pintu kelas.
Ketika aku ikut melihat ke arah yang sama, kulihat dua
temannya yang biasa bersamanya, beserta beberapa orang lainnya, sedang
mengobrol sambil menunggu Yuzuha.
"Baiklah, kalau gitu nanti aku ajak lagi."
Yuzuha mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis.
"Jangan ditunda-tunda lagi, ya. Lagipula, kenapa tidak langsung tanya aja ke
Hanazono?"
Setelah mengatakan itu, Yuzuha berbalik.
"Nanti ajak lagi, ya!"
"Padahal tiap aku ajak, kamu tidak pernah
datang."
"Lho, kemarin aku kan datang ke ruang
audiovisual!"
"Itu kan aku tidak ngajak kamu!"
"Ah, tidak usah ribet, sih!"
Sambil menjulurkan lidah, Yuzuha pun pergi dan
bergabung dengan teman-temannya.
Saat kembali
ke tempat duduk, aku mulai berpikir lagi.
"Kenapa
tidak langsung tanya aja ke Hanazono?"
Yuzuha
ngomongnya enteng banget.
Kalau aku memang bisa melakukan hal seperti itu
dengan gampang, aku tidak bakal seribet ini sekarang.
Aku tahu diri.
Tidak mungkin aku tiba-tiba nyerocos soal cinta ke
Hanazono.
Setelah ditolak, ngobrol biasa aja udah cukup bikin
tegang.
"…Ya, kalau Yuzuha sih bisa aja."
Kalau aku punya wajah sebagus Yuzuha, mungkin aku bakal
lebih percaya diri.
Aku tahu kalau traumaku bikin aku jadi pengecut.
Tapi bukan cuma itu.
Ada juga kegagalan saat mencoba nembak Remi, kehilangan
kedekatan dengan Hanazono karena keteledoranku, dan baru saja menyadari kalau
hubungan kami malah semakin menjauh.
Semua kesalahan itu menumpuk, membuat langkahku semakin
berat.
Lagipula, aku bahkan tidak benar-benar tahu banyak soal
Hanazono.
Tidak heran kalau suatu hari aku tiba-tiba dengar dia
sudah punya pacar.
Jadi, satu-satunya orang yang bisa kutanyai soal ini ya
cuma teman masa kecilku.
"GYAHAHA!"
Tiba-tiba, suara tawa keras mengalihkan perhatianku.
Kulihat sekelompok anak laki-laki sedang berjalan keluar
kelas.
…Kayaknya sekarang bukan saat yang tepat buat mikirin
soal cinta.
Saat aku melihat ke depan, kulihat kursi Takeru sudah
kosong.
Sepertinya, saat aku ngobrol dengan Yuzuha tadi, Takeru
sudah pergi makan siang bersama kelompoknya.
Saat aku melihat sekeliling, kelompok anak laki-laki yang
kadang-kadang ngobrol denganku juga sudah keluar ke lorong.
Dengan kata lain, aku tidak punya teman makan siang hari
ini.
"…Sial, gawat ini…!"
Aku bisa aja gabung sama kelompok anak laki-laki dari
kelas lain. Tapi, tidak seperti Takeru, mereka belum tentu menerimaku dengan
tangan terbuka.
Sebelum terpikir untuk mengejar kelompok laki-laki, aku
malah teringat masa-masa makan sendirian di toilet saat SMP.
Aku langsung tersenyum kecut pada cara pikiranku bekerja.
Saat itulah—
"Yoshiki-kun."
"Hm?"
Saat kusadari, Remi sudah berdiri di depanku, menatap ke
bawah.
Sebagian besar teman sekelas sudah berpindah ke tempat
lain, dan hanya setengah dari mereka yang masih ada di kelas.
Aku bisa merasakan bahwa perhatian setengah orang itu
sekarang tertuju padaku.
"Kalau kamu tidak keberatan, bisa antar aku ke
kantin?"
"Eh… Kenapa? Boleh sih,
malah aku yang senang banget."
"Yuzuha bilang, kamu hafal semua menu di kantin.
…Bener tidak?"
"Eh?"
Sementara Remi menatapku dengan mata menyipit curiga,
aku malah refleks melirik ke pintu kelas.
Di sana, aku melihat Yuzuha yang seharusnya sudah
pergi.
Seakan sudah memperkirakan reaksiku, Yuzuha langsung
menggerakkan bibirnya tanpa suara.
"Lakukan yang terbaik!"
Setelah menyampaikan pesan itu, dia pun menghilang ke
lorong.
…Apakah ini yang disebut berkah dari "Matahari
Kelas Dua"?
Setidaknya, aku tidak perlu makan sendirian hari ini.
"Kenapa bengong?"
"Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Jadi, tadi kamu
bilang apa soal kantin?"
Remi sempat berkedip beberapa kali, lalu mendekatkan
wajahnya padaku dan berbisik cepat.
"Jangan tiba-tiba manggil nama depan! Nanti orang
salah paham!"
"Oh, maaf, kelepasan. …Tapi, manggil pakai nama
belakang malah bikin canggung. Kalau aku harus ubah cara manggil dan jadi susah
ngobrol, aku tidak mau."
"Gitu ya… Kalau begitu… pakai nama depan juga tidak
apa-apa, sih…"
Remi mengangguk dengan sangat enggan, lalu menjauhkan
wajahnya.
Responnya jauh dari kata "baik", tapi dengan
waktu yang sudah berlalu sejauh ini, wajar saja.
Malah, dalam hal bertanya tentang "perasaan
baik", hubungan kami sekarang mungkin dalam posisi yang paling pas.
"Jadi, kita ke kantin?"
"Ah, aku sih tidak masalah. Tapi kamu tidak makan bareng teman-teman
cewekmu?"
Aku melirik ke arah papan tulis, tempat sekelompok anak
perempuan melambai.
Terutama ke arah Remi, tentu saja.
Remi membalas lambaian mereka dengan senyum ramah, lalu
kembali menatapku dengan wajah datar.
"Aku diajak, sih. Tapi Yuzuha sudah merekomendasikan
kamu di depan mereka semua. Jadi, kalau urusannya soal nanya menu, kupikir
lebih baik dengan Yoshiki-kun. Aku cuma menjaga harga diri mereka."
"Kok pikirannya kayak zaman Showa? Tidak ada harga diri segala buat tukang antar ke
kantin. Lagian, tugas itu udah selesai minggu lalu."
"Gitu, ya?"
"Iya. Terus, Remi juga harus berhenti panggil
aku Yoshiki-kun."
Saat aku mengeluh, Remi mengernyitkan alisnya.
"Kenapa sih? Cara ngomongmu kasar banget. Apa aku
harus manggil kamu dengan sesuatu yang lebih kamu suka?"
"Pokoknya, aku bakal lebih senang kalau kita tidak
bikin jarak yang aneh."
Seandainya aku bisa ngomong kayak gini ke cewek lain
juga, mungkin aku bakal lebih santai.
Dengan itu, aku menyingkirkan pikiranku dan berdiri.
Dari belakangku, kudengar gumaman serius Remi.
"Menjaga jarak yang pas antara laki-laki dan
perempuan… Tapi kalau suatu saat orang tahu kita teman masa kecil, panggilan
‘kamu’ malah lebih aneh…? Bisa dianggap dingin, tidak ya…? Padahal kupikir
kalau cuma sekadar teman masa kecil, tidak masalah juga kalau orang lain
tahu…"
***
Suasana ramai dan riuh.
Dulu, aku pernah berpikir kalau kantin adalah sahabat
bagi para siswa SMA.
Tapi, harga satu porsi makan yang mencapai 500 yen terasa
sedikit terlalu mewah bagi dompet anak SMA.
Aku tidak ngerti soal dampak kenaikan harga barang atau
hal-hal sejenis itu, tapi kalau bisa sih, harga makanannya turun jadi 300 yen.
Paling tidak, 400 yen.
"Serius? Hampir semua menu di sini harganya pas satu
koin!? Kantin itu ternyata menguntungkan, ya!"
"Ini… yang disebut kesenjangan ekonomi…!"
Aku menggertakkan gigi sambil menundukkan kepala.
Dengan uang sakuku yang terbatas, aku hanya bisa
makan di kantin sekitar sekali atau dua kali dalam sebulan.
Hari ini adalah salah satu kesempatan langka itu, tapi
dari cara bicara Remi, sepertinya dia bisa makan di sini setiap hari.
…Kalau nanti dia ngajak aku ke kantin lagi, aku bakal
bawa roti dari rumah aja.
Dengan penuh tekad, aku membeli semangkuk ramen asin
seharga 450 yen dan pindah ke kursi di sudut kantin.
Remi datang sedikit terlambat, duduk di hadapanku,
dan—seperti biasa—membawa serta tatapan penasaran dari para cowok di sekitar.
Berusaha tidak terlihat peduli, aku melirik makan
siangnya.
"Whoa, baru kali ini aku lihat ada yang pesan itu di
sekolah ini."
Itu adalah menu spesial yang jadi incaran banyak
orang.
Isinya ada ikan mackerel dengan saus miso, plus tiga
potong karaage.
Saat aku melihat daftar harga yang ditempel di
konter, aku bisa melihat angka 900 yen tertera di sana.
"Ini termasuk menu yang jarang dipesan?"
"Aku iri banget…!"
Padahal aku suka ramen asin, tapi entah kenapa hari
ini rasanya jadi setengah—atau mungkin hanya sepertiga—dari biasanya.
Melihat reaksiku, Remi tertawa kecil.
"Apa? Kamu mau ini?"
"Boleh!?"
"Kalau kamu menatapnya seperti itu… ya sudah, ambil
saja."
"Serius!? Makasih banget!"
Aku langsung mengulurkan sumpit ke piringnya, tapi
tiba-tiba berhenti.
Dulu, aku biasa langsung ambil tanpa ragu, tapi sekarang
aku merasa harus menunggu sampai dia sendiri yang memberikannya.
"Santai aja. Ambil sendiri."
"O-oke. Makasih."
…Dia bisa baca pikiranku.
Seperti yang diharapkan dari teman masa kecil. Aku pun
mengambil sepotong karaage dari piringnya.
"Ngomong-ngomong, siapa sih pemimpin di kelas dua?
Padahal baru akhir Mei, tapi suasana kelas sudah terasa akrab banget."
"Mungkin aku?"
"Ditolak."
"Hah!? Bisa gitu ditolak!?"
"Aku serius, loh."
Remi menyesap air minumnya sebelum melanjutkan.
"Kalau aku bisa memahami hubungan di kelas sejak
awal, nantinya bakal lebih mudah. Seperti yang sudah kubilang, aku ingin hidup
dengan aman dan nyaman."
"Oh ya? Kalau gitu, informasi ini bocor ke orang
lain bisa jadi masalah besar, ya?"
"Iya."
Jawaban Remi terdengar santai.
Kalau dia mengatakan hal seperti ini hanya dua minggu
setelah pindah sekolah, kemungkinan besar dia bakal dianggap sombong oleh teman
sekelas.
Meskipun niatnya tidak buruk, tetap saja butuh waktu bagi
mereka untuk menerima keberadaannya.
Apalagi, Remi Nikaido bukan orang biasa—kehadirannya saja
sudah mencolok. Tentu butuh waktu lebih lama bagi kelas untuk bisa mencernanya.
"Makanya aku bertanya pada Ryou-ta. Karena kita
sudah sering bersama sejak dulu, apapun yang kukatakan tidak bakal bikin
suasana jadi tegang. Dalam hal ini, keberadaanmu cukup membantu."
"Baguslah kalau begitu. Tapi buatku sih, sayang aja
kamu sekarang tidak lagi kayak dulu yang keras kepala dan selalu ingin menang
sendiri."
"Kamu juga sih, sekarang jadi lebih punya rasa peka
di depan umum. Sayangnya."
"Itu kan hal bagus buatku, kan!?"
"Hal yang bagus juga buatku, dong!?"
Setelah membantah, Remi langsung melihat ke
sekeliling.
Untungnya, sepertinya tidak ada yang memperhatikan.
Aku pun menyeruput ramenku, sambil berpikir.
Karena suasana di antara kami mulai kembali seperti
dulu, selama berbicara dengannya aku bisa merasa lebih percaya diri, seperti
aku yang dulu.
Kalau dipikir-pikir, itu hal yang wajar.
Semakin dekat seseorang, semakin mudah dia melihat sisi
asli dirimu.
Dalam kasus Remi, butuh waktu hanya beberapa jam untuk
membongkar benteng itu dan membawaku kembali ke masa lalu.
Itu hampir sama seperti kembali ke kepribadianku sebelum
mengalami trauma.
Mungkin, menghabiskan waktu lebih banyak dengan Remi bisa
membantuku menyembuhkan luka itu.
Meskipun itu hanya penyembuhan sementara, kalau pada
akhirnya bisa membantuku mengatasinya, itu sudah lebih dari cukup.
Sambil merapikan pikiranku, aku meneguk kuah ramen asin.
"Tapi ya, karakter ‘murid pindahan’ yang kamu
mainkan itu ternyata lumayan cocok juga."
"Dari cara ngomongmu, kayaknya kamu tidak begitu
suka, ya?"
“……Bukan soal aku tidak menyukainya,
sih.”
Ada ego dalam diriku yang merasa sedih melihat Remi yang
dulu aku kagumi perlahan menghilang.
Perasaan ini, jika dikatakan dengan cara lain, mungkin
bisa disebut sebagai "tidak menyukai".
Namun, sebagai teman masa kecil, sudah menjadi tugasku
untuk menghormati pilihan Remi.
Aku mengangkat bahu dan melanjutkan perkataanku.
“Anting dan
warna inner rambutmu cukup mencolok, kan? Rasanya agak bertentangan dengan
keinginanmu untuk menjalani hidup dengan 'aman'.”
“Ah, ini ya?”
Remi menyibakkan rambutnya dengan tangan.
Dari cara rambutnya melambai, aku bisa langsung tahu
bahwa ia benar-benar merawatnya dengan baik.
Bahkan aku, seorang cowok yang tidak terlalu peduli
dengan fashion, bisa merasakannya. Itu berarti ia pasti menghabiskan banyak
waktu untuk merawatnya.
”Justru
karena aku tidak ingin membuang jati diriku, aku harus lebih berhati-hati dalam
bertindak dan berbicara.”
“…Begitu ya. Aku lega mendengarnya.
Setidaknya, dalam hal itu, kau masih sama.”
Meskipun warna rambut dan gayanya berubah, pemikiran Remi
masih mirip dengan Yuzuha.
Dengan kata lain, ini adalah bentuk ekspresi diri.
Seragam yang dikenakannya dengan rapi, serta gayanya yang
mencerminkan kepercayaan diri, membuatnya tampak semakin menonjol.
Meski apa yang ia sebut sebagai "hidup dengan
aman" atau "anggun" terdengar agak bertolak belakang dengan
penampilannya, jika ia bisa menjaga sikap dan perkataannya dengan baik, mungkin
ia tidak akan menimbulkan banyak reaksi negatif dari sekitarnya.
Mungkin, menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar
seperti ini adalah langkah pertama menuju kedewasaan.
Sambil memikirkan itu, aku meneguk air.
“Tapi serius, penampilanmu benar-benar
berubah. Kau hampir
tidak terlihat seperti orang yang ada dalam ingatanku.”
Yang paling mencolok bukanlah wajahnya, melainkan
perubahan pada posturnya.
Bahkan setelah melihat Yuzuha dan terbiasa dengan
perubahan, aku tetap merasa terkejut. Tak heran jika
orang-orang di sekitar terus membicarakannya.
“…Hei, kau melihat ke mana saat mengatakan
itu?”
Remi menyipitkan matanya dengan tatapan curiga.
“Hah? Eh… hahaha.”
Sekarang aku sudah bisa berbicara dengan Remi seperti
dulu.
Meskipun masih ada sedikit jarak antara dirinya yang ada
dalam ingatanku dan dirinya yang sekarang, mungkin sudah waktunya untuk menguji
seberapa jauh aku bisa berbicara dengannya.
Oke, jawaban paling berani yang bisa aku berikan
dalam situasi ini adalah…
“Aku melihat dadamu.”
“A… a…”
Kurasa aku terlalu blak-blakan.
Remi membuka mulutnya tanpa bisa berkata-kata, lalu
wajahnya langsung memerah.
“Kalau kau memang punya niat seperti
itu, setidaknya cobalah untuk menyembunyikannya! Kenapa kau bisa menjawabnya
dengan begitu santai!?”
“Bukan begitu! Ada alasan di baliknya!
Aku hanya ingin menguji apakah kita sudah kembali bisa berbicara tanpa batasan
seperti dulu!”
“Itu sama sekali bukan alasan yang bisa
diterima!”
Aku buru-buru memberi isyarat "sshh" sambil
melirik sekitar.
Remi dengan enggan menutup mulutnya, lalu menghela napas
panjang.
“Kalau dipikir-pikir, kalau kau tumbuh
tanpa berubah, kurasa hasilnya memang akan seperti ini… Para cowok memang
menyebalkan.”
“Tunggu, tunggu! Aku ingin membela para
cowok! Tidak semuanya seperti ini! Yang tadi itu hanya uji coba!”
“Dengar, kau pikir kau sedang membela
diri, tapi sebenarnya kau malah semakin memperburuk keadaan.”
Remi menatapku dengan tatapan kesal, lalu mulai merobek
daging ikan mackerel misonya dengan penuh semangat.
…Dia tidak membayangkan aku sebagai ikan itu dan
merobeknya, kan?
‘Ngomong-ngomong, kau sudah sering
melihat Yuzuha, kan? Kalian terlihat cukup dekat, apalagi sering terlambat
masuk kelas bersama.”
“Ah… itu karena dia susah bangun pagi.
Kalau dia masih setengah tidur, aku biasanya membantunya agar cepat sadar.”
“Hoo? Dulu, Ryouta yang aku kenal tidak
akan pernah melakukan hal seperti itu.”
Remi berkata begitu, lalu menyantap sepotong ikan
mackerel.
“Hei, jangan salah paham! Aku cukup
perhatian saat masih kelas enam SD, tahu!”
“Benarkah? Tapi setahuku, kau sering
menggodaku di depan semua orang, kan?”
Berbagai candaan buruk yang pernah kulontarkan dulu
langsung terlintas di kepalaku.
“I-Itu… yah, bagaimana ya… Itu hanya naluri menyedihkan anak laki-laki. Aku hanya
ingin membuat suasana menjadi lebih seru.”
“Jadi maksudmu, kau lebih memikirkan
suasana sekitar daripada diriku? Itu cukup mengejutkan.”
Remi tertawa kecil.
“…Dulu, kelompok teman-temanmu isinya
anak-anak populer semua, kan? Aku merasa kalau aku tidak ikut bercanda, aku
akan tertinggal.”
Ketika aku mengungkapkan perasaanku saat itu, Remi
sedikit memiringkan kepalanya, tampak memikirkan sesuatu.
“Aku tidak mengerti. Kenapa kau
berpikir begitu?”
“Karena… di antara mereka, aku adalah
orang yang paling membosankan.”
Tanpa sadar, aku mengungkapkan perasaan lemahnya hatiku.
Mendengar kata-kataku, Remi mengerutkan kening.
“…Kau tidak membosankan. Aku ingin kau
ada di sana, dan itu sudah cukup, bukan?”
…Ini mungkin pertama kalinya aku mendapat dukungan
sejelas ini dari Remi, bahkan sebelum ia pindah sekolah dulu.
“Kalau tidak, aku tidak akan mengajakmu
bermain hanya berdua. Kita sering
bermain di rumah, kan? Bahkan kita pernah…”
Remi berhenti berbicara di tengah kalimatnya.
Bibirnya terkatup rapat dengan sedikit ekspresi malu.
…Menginap.
Dulu, saat kami masih sangat kecil, bahkan pernah mandi
bersama.
Jika Remi masih mengingat hal itu, maka tidak aneh jika
tadi di jalan pulang dia dengan santai berkata, "Haruskah kita berpegangan
tangan?"
Kalau ditanya apakah aku juga mengingatnya—
Gambaran tubuh telanjang Remi dalam versi dirinya yang
sekarang tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
Aku buru-buru mengusir bayangan itu dari kepalaku.
Tanpa sadar, mataku hampir kembali tertuju ke dadanya,
tapi aku menggunakan seluruh kekuatan akal sehatku untuk mengalihkan pandangan.
Untungnya, Remi tampaknya mencoba mengalihkan rasa
malunya dengan fokus pada makanan. Ia terus memasukkan potongan ikan mackerel
miso ke mulutnya satu per satu.
Porsi "set menu spesial" ini terlihat cukup
besar untuk seorang gadis, tapi sepertinya dia akan menghabiskannya dengan
mudah.
Sambil menenangkan diri, aku menyeruput mi ramen
garamku. Saat itu, Remi tiba-tiba bertanya
seolah baru teringat sesuatu.
“Ngomong-ngomong, Ryouta juga dekat dengan Hanazono-san, ya? Aku tadi melihat kalian berbicara di lorong.”
“…Kau melihat itu juga, ya? Dekat atau tidak, hmm… aku tidak tahu.”
Meskipun aku sudah ditolak, aku masih merasa lebih bisa
berbicara dengannya dibandingkan cowok lain.
── Aku menganggap Yocchi sebagai teman.
Setidaknya, kalau kata-kata itu masih berlaku.
“Hahaha, kenapa wajahmu terlihat begitu rumit?
Ada sesuatu yang terjadi antara kau dan Hanazono-san?”
“Tidak… tidak ada apa-apa, sih.”
“Apa kau menyukainya?”
“PFFFFTT!!”
“KYAAA!?”
Aku menyemburkan air ke samping, membuat Remi
mengeluarkan suara yang sama sekali tidak bisa disebut anggun.
Untungnya, aku sempat menoleh ke arah dinding sebelum
menyemburkan air, tapi kalau telat sepersekian detik saja, aku pasti sudah
menyemprotnya tepat ke wajahnya. Selamat. Atau mungkin tetap gagal.
“Serius, ini gimana cara bersihinnya…!?”
“Maaf, maaf, maaf!”
Dengan panik, aku meraih kain lap di dekatku dan mulai
mengelap air di dinding serta meja.
Namun, saat tanganku menggenggam kain lap, aku malah
tidak sengaja menyenggol gelas di meja hingga jatuh dengan bunyi keras.
Airnya tumpah ke baju Remi, menciptakan noda transparan
berbentuk bercak di kainnya.
Setetes demi setetes, air yang menetes dari bajunya mulai
memperlihatkan bagian dalamnya.
…Selesai sudah.
“Aku hanya ingin memastikan satu hal. Kau sengaja?”
“Tidak! Aku benar-benar tidak
sengaja! Kalau aku bisa sengaja melakukan ini, mungkin aku sudah masuk
kejuaraan dunia di bidang tertentu!”
Aku sadar jawabanku sangat tidak masuk akal.
Remi menghela napas dengan ekspresi pasrah.
“Sudahlah, aku saja yang bersihkan.
Berikan kain lapnya.”
“Eh?”
Sebelum aku sempat bereaksi, Remi sudah mengambil kain
lap dari tanganku.
Dengan tangan putihnya yang anggun, ia mulai mengelap
meja dengan gerakan cepat dan efisien.
Dalam sekejap, semua air yang tumpah sudah
dibersihkannya.
Melihat cara dia membersihkan itu, aku merasa seolah
melihat sekilas dirinya yang dulu.
…Oh iya, dia juga melakukan hal yang sama ketika aku
menumpahkan teh di rumahnya dulu.
Untuk mengelap air yang tumpah di lantai, Remi berjongkok
dengan posisi merangkak. Setelah selesai, ia menyipitkan matanya begitu sadar
aku memperhatikannya.
“Daripada cuma berdiri di situ, kenapa
tidak kau ambilkan kain lap yang baru?”
“Ah, maaf. Aku tadi cuma berpikir untuk
mengucapkan terima kasih.”
“Kalau begitu, ucapkanlah dengan
benar. ”
Setelah berkata demikian, Remi pun berdiri kembali.
Remi menepuk-nepuk bagian yang terkena noda di roknya,
gerakannya memancarkan sedikit aura keibuan. Mungkin karena ia terlihat lebih
dewasa dibandingkan teman-teman seusianya.
Saat Remi duduk kembali di kursinya, terdengar suara
tanpa sungkan dari beberapa meter di depan kami.
"Gila, bukankah itu anak pindahan?"
"Wah,
seriusan. Cantik banget!"
Alis Remi
sedikit berkedut.
Aku yang
baru saja mengangkat sumpit pun terhenti, memasang telinga untuk mendengarkan.
"Hei,
dia bahkan mungkin lebih cantik dari Hanazono di kelas dua."
"Memang
beda tipe sih, tapi aku juga lebih suka anak pindahan itu. Namanya siapa,
ya?"
"Tidak
tahu."
Melihat
warna sepatu dalam ruangan mereka, sepertinya mereka juga seangkatan dengan
kami.
Tiga cowok
dengan gaya percaya diri itu menatap ke arah kami dengan penuh rasa ingin tahu.
Aku menutup mulut dengan tanganku dan berbisik kepada
Remi.
"…Kita bisa dengar semua itu dengan jelas,
ya."
"Mereka memang sengaja bicara agar kita
mendengar. Itu cara tidak langsung untuk menarik perhatian."
"Eh, masa sih begitu?"
"Tentu saja. Ini kejadian yang sangat umum."
Remi menyesap air minumnya dengan ekspresi tenang.
Bahkan gerakan biasa seperti itu pun terlihat seperti
adegan dalam lukisan. Tidak heran jika para cowok itu terpikat.
…Mungkin sebelum pindah sekolah, Remi sudah sering
mengalami hal semacam ini.
Takeru sempat mengatakan bahwa ia merasakan adanya
"barikade pertahanan diri" dari Remi. Jika dipikir lagi, hal itu
masuk akal.
Keinginannya untuk hidup tanpa menonjol mungkin berasal
dari pengalaman seperti ini.
"Tidak capek? Jadi sejak SMP kau sudah mengalami hal
seperti ini?"
Mendengar pertanyaanku, Remi tersenyum masam.
"Naif sekali kau ini. Sejak SD pun sudah seperti
ini, tahu? Hanya saja Ryouta tidak menyadarinya."
"Serius!? Aku sama sekali tidak sadar."
"Tentu saja. Itu sebabnya aku bilang kau naif."
Saat aku hendak membalas, suara para cowok itu kembali
terdengar.
"Siapa tuh cowok di sebelahnya? Anak klub mana dia?"
"Tidak tahu. Kayaknya tidak pernah lihat dia di
gym sekolah kita."
"Oh, bukannya dia yang dulu dikabarkan dekat
sama Yuzuha dari kelas dua? Tapi katanya cuma rumor doang."
"Ah, iya! Aku tahu gosip itu! Rumor itu parah
banget, sih. Ada banyak cowok lain yang lebih cocok buat Yuzuha."
…Hei, kami bisa dengar kalian, tahu?
Tapi dibandingkan dengan hinaan langsung saat SMP, ini
masih lebih bisa diterima.
Lagipula, aku sendiri paling sadar bahwa aku dan
Yuzuha memang tidak selevel.
Tanpa dorongan dari Yuzuha dan Takeru, status
sosialku di kelas mungkin cuma "biasa saja".
Aku tidak terlalu memedulikan komentar mereka dan
meneguk airku sampai habis.
Saat itulah aku merasakan tekanan dari depan.
Ketika aku mendongak, aku melihat Remi menatapku dengan
tatapan tajam.
Kenapa malah aku yang disalahkan?
"Kenapa dia bisa duduk berdua sama anak pindahan
itu? Lagi ngegebet, ya?"
"Gila, dia mau mewujudkan mimpinya yang gagal dengan
Yuzuha? Tapi tidak mungkin, sih."
Mereka tertawa lepas.
Namun, saat itu juga, Remi tiba-tiba berdiri.
…Hei, kau mau ngapain?
Matanya yang tajam menatap ke arah para cowok itu, dan ia
mulai melangkah mendekat.
──Ini buruk.
Aku langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan cepat aku memasang senyum dan mengangkat
suara.
"Hei, kalian! Kami bisa dengar semua omongan
kalian!"
Para cowok itu langsung menyadarinya.
"Sial, ketahuan!"
Mereka buru-buru pergi, meninggalkan suara samar,
"Cepat minta maaf, woy!"
Sepertinya mereka hanya terlalu bersemangat hingga suara
mereka membesar, bukan bermaksud sengaja membuatku mendengar.
Remi yang kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu
hanya bisa berbalik dengan ekspresi kesal.
"Kenapa kau malah menghalangiku!?"
"Eh, eh, bukannya kau tidak mau menonjol? Tadi kau
kelihatan kayak mau menghancurkan mereka habis-habisan seperti dulu!?"
"Tidak mau menonjol dan tidak membalas di situasi
seperti ini adalah dua hal yang berbeda!"
Jadi benar, dia memang berniat menegur para cowok
tadi.
Inilah Nikaido Remi yang aku kenal baik.
"Aku sih menghargai niatmu. Tapi kita sudah
menjalani minggu pertama ini dengan cukup baik. Kalau mereka menyebarkan ini,
semua usahamu akan sia-sia."
Remi menggigit bibirnya, lalu menghela napas seolah
menenangkan diri.
"…Jangan remehkan aku. Sekalipun mereka
menyebarkannya, dampak negatif karena membuatku marah akan lebih besar. Aku
sudah membangun citra itu dalam seminggu ini."
"Kepercayaan dirimu memang luar biasa. Tapi
bagaimana kalau justru muncul rumor tentang hubungan kita?"
"Kalau itu terjadi, ya sudah."
Jawaban yang begitu santai.
Aku pikir dia akan sedikit lebih terkejut, tapi tampaknya
dia sudah siap dengan konsekuensi itu.
"Sebaliknya, kenapa kau tidak membalas perkataan
mereka?"
Mendengar pertanyaan Remi, aku mengernyitkan dahi.
"Aku sudah membalas, kan? Buktinya mereka
pergi."
"Kau cuma bilang ‘kami bisa dengar kalian’, itu
bukan membalas!"
"Oh, maksudmu itu… Tapi mereka tidak bilang hal
yang terlalu buruk, kan?"
"…Tunggu sebentar. Jelas-jelas itu adalah
hinaan."
Nada suara Remi terdengar dingin.
Sepertinya sikapku tidak bisa diterimanya.
…Sisi kompetitifnya memang tidak berubah.
"Mungkin. Tapi itu bukan hal yang perlu
memperkeruh hubungan dengan kelas lain. Aku juga ingin menjalani kehidupan SMA
dengan baik, bukan cuma kau."
Aku tersenyum ringan, tetapi Remi menatapku dengan
ekspresi curiga.
"…Jadi begitu. Ryouta, ternyata kehidupan SMP-mu
tidak berjalan baik, ya. Kau keluar dari klub bola tangan juga
karena itu, kan?"
──Tepat sasaran.
Saat Remi pindah, aku ingin terlihat seolah-olah aku
baik-baik saja.
Tapi sepertinya, sandiwara itu akan segera terbongkar.
Ketika aku tidak bisa menjawab, Remi melanjutkan.
"…Kau kuat, ya. Bisa tidak peduli dengan perkataan
seperti itu."
"Kuat?"
"Iya. Kalau aku, aku pasti langsung menyerang
balik. Itu karena aku tidak bisa menahannya
sendirian, jadi aku meluapkannya ke luar. …Padahal itu masalahmu."
"…Tidak juga. Kau tadi mau maju ke mereka karena
memang sifatmu seperti itu."
"Eh?"
Aku selalu berpikir bahwa aku dan Remi itu sama.
Waktu kecil, kami berdua tidak kenal takut.
Tapi setelah itu, aku mulai percaya bahwa menjalani hidup
dengan aman adalah jalan terbaik, sementara aku melihat Remi tetap teguh dengan
dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, ketika aku melihatnya mulai menyesuaikan
diri, aku secara sepihak merasa kecewa.
Namun ternyata aku salah besar.
Remi tetaplah Remi.
Meskipun hinaan itu tidak ditujukan padanya, dia tetap
memiliki keberanian untuk bertindak. Dia selalu memiliki keberanian untuk
bertindak.
Dan itu adalah sesuatu yang aku tidak pernah punya.
"Kau memang keren."
"Eh… Terima kasih. Aku akan menerimanya dengan jujur
kali ini."
Remi menundukkan pandangannya, lalu melanjutkan.
"Tapi kau juga tidak boleh menanggung semuanya
sendiri. Kalau kau butuh tempat berbagi, aku selalu ada."
"…Begitu, ya. Terima kasih."
"Sama-sama."
Remi meletakkan sumpitnya dan menatapku.
"Aku cuma mau bilang, aku akan merasa senang kalau
kau mengandalkanku. Kita ini teman masa kecil. Kalau kau tidak bergantung
padaku sama sekali, justru itu yang bikin kesal."
──Kami adalah teman masa kecil.
Sebuah hubungan yang hanya terbentuk karena kebetulan
saat kecil.
Tapi jika dia menganggapnya seperti itu, maka…
"…Akhir-akhir ini, ada sesuatu yang
menggangguku."
"…Hm. Lanjutkan."
"──Kita pernah punya momen yang terasa ‘spesial’ tidak,
sih?"
"Hah?"
Remi berkedip bingung.
Keheningan pun menyelimuti kami.
Aku mulai panik dalam hati dan buru-buru menambahkan,
"Ehh, ini soal percintaan, sih. Aku tuh tidak bisa
ngeh kalau ada ‘momen spesial’, makanya sering ditolak. Itu yang jadi pikiranku
belakangan ini."
Remi sedikit memiringkan kepalanya, seolah masih belum
memahami sepenuhnya.
"…Aku tidak terlalu mengerti, tapi ternyata kau ada
sisi lucunya juga, ya."
Aku langsung terdiam.
…Haruskah aku melanjutkan pembicaraan ini?
Setelah sedikit ragu, akhirnya aku menjawab,
"Senang kau bilang begitu, tapi kita ini sudah
saling kenal sejak lama. Kalau cowok salah mengartikan situasi, itu bisa jadi
hal yang menakutkan buat cewek, kan?"
"…Mungkin. Aku juga pernah mengalami itu."
Remi tersenyum masam.
…Eh, jangan-jangan, dia ngomongin aku?
Saat aku mulai cemas, Remi menempelkan telunjuknya di
dagu.
Itu adalah kebiasaannya saat sedang berpikir.
Aku menunggu beberapa saat sampai akhirnya dia membuka
mulut dengan santai.
"Oke. Kalau begitu, aku akan menemanimu seharian di
akhir pekan nanti."
"Hah? Akhir pekan?"
Tanpa sadar, aku mengulang perkataannya.
Aku pikir dia akan melanjutkan pembicaraan ini sekarang
juga.
Tapi, menghabiskan waktu berdua di akhir pekan… bukankah
itu seperti──
"──Kencan."
Ups, aku mengatakannya dengan suara keras.
Remi berkedip beberapa kali, lalu mengangguk kecil.
"Benar. Anggap saja ini tiket kencan sehari
denganku. Mungkin dengan begitu, kau bisa lebih terbiasa berinteraksi dengan
cewek."
"…Se-serius ini?"
Setelah memastikan tidak ada teman sekelas di sekitar
kami, Remi meneguk airnya sekali lagi.
Kencan, kencan… jadi ini kencan.
Kata itu terdengar begitu manis.
Biasanya, kencan hanya terjadi setelah seseorang
berhasil melewati tahap ‘momen spesial’.
"Ini spesial, tahu? Anggap saja ini hak istimewa
sebagai teman masa kecil."
"…Terima kasih banyak. Ngomong-ngomong, tiket ini
bisa dipakai kapan aja?"
Kalau bisa digunakan kapan pun, itu akan jadi kesempatan
emas bagiku.
"Hmm… Baiklah, aku akan membiarkanmu memilih
waktunya. Jadi, pikirkan baik-baik kapan kau ingin menggunakannya."
"Lalu, kita bisa pergi ke mana saja?"
"…Asalkan masih dalam batas wajar, ya."
"T-tentu, aku paham kok."
Dengan semangat, aku menyantap ramen garam di
depanku.
Sebelumnya, ramen ini terasa kalah dibandingkan
dengan makanan Remi.
Tapi sekarang, ketika kuhirup kuah yang hanya bisa
kucicipi sebulan sekali, rasanya begitu dalam dan memuaskan.
Ternyata, ini enak banget!