Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
BAB 7 –
Matahari Kelas
Sudah
seminggu sejak aku menerima tiket kencan dari Remi.
Mungkin
karena musim hujan semakin dekat, burung walet terbang rendah berputar-putar di
udara.
Tak lama lagi, mereka pasti akan
menghilang dari pandangan.
Meski kelembaban sebelum musim hujan
membawa hawa gerah, aku dan Yuzuha tetap membuka bekal makan siang di atap
sekolah.
"Panas banget... Kenapa kita makan
di atap, sih...?"
Meskipun aku duduk di tempat yang
teduh, panasnya tetap menjalar ke dalam tubuh seperti sedang direbus perlahan.
"Karena
makan siang bareng Yoshiki tuh langka banget! Aku pikir bakalan turun salju, tapi
ternyata tidak!"
"Jawabanmu asal banget, ya.
Sekarang ini musim yang paling jauh dari musim dingin, tahu? Ngomong-ngomong,
kenapa kau bisa punya kunci atap, sih? Kau bukan anggota OSIS, kan?"
Makan siang bersama Yuzuha memang
jarang terjadi, tapi lebih dari itu, masuk ke atap sekolah adalah sesuatu yang
hampir mustahil. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sini.
Gadis gyaru yang mengajakku ke sini
menampilkan ekspresi seolah pertanyaanku itu konyol.
"Hah? Jelas aja aku
mencurinya."
"Jelas dari mana!? Itu kan gawat!
Kalau ketahuan, kita pasti bakal dimarahi habis-habisan!?"
"Ahaha, jangan penakut gitu!
Santai aja, aku cuma nemu kuncinya jatuh di lorong, kok."
Yuzuha menjawab dengan santai, lalu
tiba-tiba mengambil satu pangsit dari bekalku sambil berseru,
"Makasih!".
Masalah kunci yang jelas-jelas tidak
baik itu langsung hilang dari pikiranku.
"Dasar pencuri... Aku tidak akan
memaafkanmu...!"
"Yoshiki
dari dulu emang rakus banget, ya."
"Wajar dong! Itu kan makananku!
Balikin, atau tukar dengan lauk yang lebih enak!"
"Kalau gitu, aku kasih daging babi
jahe deh. Tidak cuma satu, tapi dua."
"Eh, serius!?"
Melihat makanan favorit cowok masuk ke
dalam bekalku, semangatku langsung naik.
Saat aku menatap Yuzuha, dia tertawa
lebar.
"Ahaha,
kau tuh gampang banget dibujuk! Lucu!"
"Sial...
Aku benci betapa mudahnya aku terpancing...!"
Tapi, meskipun begitu, makanan tetaplah
makanan.
Begitu aku memasukkan daging jahe itu
ke mulut, rasa manis dari daging yang berair langsung menyebar.
Aku mengira rasanya akan lebih pedas,
tapi ternyata ini enak. Bahkan sangat sesuai dengan seleraku.
Mungkin ekspresi puas di wajahku
terlalu kentara, karena Yuzuha tiba-tiba mengambil sepotong lagi dari bekalnya.
"Nih, Yoshiki. Aaa~n."
"Eh, masukin ke bekalku aja, deh.
Rasanya agak canggung, tahu."
"Hah? Kok gitu, sih? Dasar polos
banget!"
"Emang
ada tingkat kepolosan, ya? Kayaknya tidak ada, deh."
"Jelas
ada!"
"Oh...
Begitu ya..."
Kalau gitu,
aku bakal nunjukin kalau aku bukan cowok polos! (Padahal aku masih polos.)
Aku
meletakkan sumpitku, menghadap ke Yuzuha, lalu menutup mata.
"Wah,
pinter! Nih, aaan~"
"…Aaaan~"
"Oke,
sekarang buka mata. Seperti yang kau mau, aku sudah menaruh dagingnya di
bekalmu."
"Dasar
kau!!"
Yuzuha
tertawa sampai memegangi perutnya.
Sepertinya
dia benar-benar menikmati bagaimana aku terus-menerus dipermainkan olehnya.
"Udah
cukup! Aku tetap makan daging jahe ini, tapi aku tidak bakal makan siang bareng
kau lagi!"
"Maaf, maaf! Sebagai permintaan
maaf, aku kasih telur dadar! Kali ini aku tidak bakal ngerjainmu, kok. Ini
resep rahasia keluarga Yuzuha, jadi tidak bakal rugi kalau kau coba!"
"Ugh..."
Telur dadar memang makanan yang umum
ada di bekal, tapi rasanya beda-beda tergantung rumah masing-masing.
Resep rahasia keluarga Yuzuha... Jujur,
aku jadi penasaran.
"Baiklah. Aku terima."
"Yes! Oh iya, telur dadar di
rumahku manis banget. Kau tidak masalah, kan?"
"Aku
cuma suka telur dadar yang ada ham di dalamnya. Selain itu, aku tidak mengakuinya
sebagai permintaan maaf."
"Telur dadar pakai ham? Gimana
ceritanya tuh? Unik banget!"
Yuzuha berkata dengan nada senang entah
kenapa, lalu membagikan telur dadarnya padaku.
Begitu masuk ke mulut, rasanya memang
manis. Keseimbangan gulanya pas, dan jujur saja, ini lumayan enak.
"Gimana?"
"Enak. Keluarga Yuzuha cukup jago
juga."
"Oh, syukurlah! Soalnya ini aku
yang buat, lho."
Aku terdiam, menatap Yuzuha.
Gadis gyaru nomor satu di sekolah ini
sedang menatapku ke atas dengan sedikit ekspresi gugup.
"Kayaknya ini pertama kalinya
teman-temanku mencicipi masakanku."
"…Serius?"
Saat aku hampir bersorak dalam hati,
tiba-tiba bayangan masa SMP muncul di benakku.
Kalau dipikir-pikir, Yuzuha dulu sering
banget tukar-tukaran makanan sama anak cowok lain, kan?
"Eh, tapi bukannya tahun lalu,
waktu tidak ada makan siang di sekolah, kau sering tukeran makanan sama yang
lain?"
"Uwah, ketahuan! Ingatanmu tajam
banget!"
"Tidak juga, kita baru kenal satu
atau dua tahun, kan? Lagian, jangan bohong dong!?"
"Baru satu atau dua tahun, tuh,
udah lumayan lama tahu! Kalau cowok tidak bisa menghargai orang lain, nanti
bakal ditinggalin sama Hana dari kelas dua atau Sono dari taman bunga,
lho!"
"Itu
spesifik banget! Dan juga, jangan ngelantur!"
Saat aku
mengomelinya, Yuzuha malah tertawa terbahak-bahak.
Dari dulu,
setiap aku kesal, dia selalu tertawa.
Sepertinya
dia memang suka banget mengerjai orang.
"Oh
iya, ngomong-ngomong, gimana hasil tes kecil Bahasa Jepang yang dikembalikan
hari ini?"
"81."
"Aku
100!"
"Bohong!"
"Ketahuan?
Yah, 93 sih sebenarnya."
Aku
langsung berhenti mengunyah telur dadarku.
"…Beneran?"
"Iya,
cuma salah satu soal. Dari tadi aku udah gatal pengen pamer!"
"Aku kalah sama gyaru…!?"
"Kok jahat!?"
Jadi, gyaru ini ternyata pintar juga?
Kupikir karena kita masuk sekolah yang
sama, level kita tidak jauh beda, tapi aku tidak nyangka bisa kalah.
Padahal dia
sering telat, lho.
"Fufufu~"
Sepertinya
reaksiku membuatnya puas, karena Yuzuha mulai bersenandung kecil.
Aku yang
masih kesal akhirnya memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah
menggangguku sejak tadi.
"Ngomong-ngomong, ayo bahas inti masalahnya. Gimana
caranya kau bakal ngenalin aku ke Hanazono?"
"Oh, itu ya? Aku belum kepikiran
sama sekali, sih."
"Terus kenapa ngajak aku ke
sini!?"
"Aku mau pamer tadi!"
"Alasannya segitu doang!?"
"Ahaha!"
Yuzuha tertawa puas.
"Oh, satu lagi. Sejak Nikaido
pindah ke sekolah ini, gosip tentang kita berdua langsung hilang tanpa sisa.
Jadi kupikir sekarang kita udah bisa mulai jalan bareng lagi."
"…Jadi, kau juga sekalian mau
ngetes itu?"
"Tepat!"
Dia tetap seenaknya seperti biasa, tapi
kalau dia memang memikirkan aku dan Hanazono, sulit bagiku untuk mengkritiknya.
Padahal dulu kami pernah terlambat
bareng ke kelas, tapi dia sepertinya sudah lupa soal itu.
Yah, kalau begitu, sekalian saja aku
laporkan soal kejadian ini.
"Oh iya, ngomong-ngomong, aku
dapet tiket kencan dari Nikaido. Aku masih bingung kapan mau pakainya."
Mata Yuzuha membelalak.
"Tiket kencan? Apaan tuh?"
"Yah, istilah yang sering muncul
di light novel gitu lah."
"Light novel? Apaan tuh?"
"Aduh, hati ini mulai sakit…"
Aku menekan dadaku, lalu menceritakan
sebagian kejadian dengan Remi.
Begitu aku selesai menceritakan garis
besarnya, Yuzuha tiba-tiba berdiri dan menatapku dari atas.
"Uwaah—bodoh!? Serius bodoh!? Itu
kalau kau sedikit merayunya, pasti bisa berhasil! Atau setidaknya kau harusnya
langsung nge-Line hari itu juga!?"
"Di mana ada unsur merayunya!? Dan
tolong, aku bisa melihatnya! Rokmu pendek, jangan berdiri sembarangan tanpa
waspada begitu!"
"Sekarang bukan soal rok! Kalau
terus begini, kau tidak bakal bisa pacaran seumur hidup!"
"Bisa, kok! Asal bukan romansa
aneh khas gyaru, ya!?"
"Hei,
aku ini normal, tahu!?"
"Tapi
kemarin kau bilang ‘Buatku, normal itu beda’ kan? Itu berarti beda sama
standarku!"
Perdebatan
kecil seperti ini sudah sering terjadi di antara kami.
Tapi kali ini, Yuzuha tiba-tiba terdiam
seperti baru saja dipukul.
…Reaksi ini jarang terjadi.
Dia lalu merengut, mengembungkan
pipinya sedikit sebelum akhirnya duduk kembali dan menghela napas kecil.
"…Hei, kenapa tiba-tiba lesu
gitu?"
"…Tidak apa-apa. Aku cuma
kepikiran kalau ternyata Yoshiki juga menganggapku tidak normal."
"Yah… ya wajar sih. Soalnya kau
‘Matahari Kelas Dua’, jadi pasti beda. Aku tidak sama sepertimu."
Alih-alih meminta maaf secara canggung,
aku memilih untuk menenangkannya.
Namun,
Yuzuha hanya tersenyum kecut sambil menatap ke langit.
Dari langit yang kelabu, sedikit sinar
matahari menerobos turun.
"‘Matahari Kelas Dua’, ya…
Mungkin, maksudnya beda dari yang kau pikirkan."
"Eh? Maksudnya?"
Aku berkedip beberapa kali.
Wajah Yuzuha kini terlihat sedikit
muram.
"Tentu saja, ada orang yang
memakai julukan itu dengan makna baik, seperti kau."
"…Jadi ada juga makna buruknya?
Maaf, aku tidak sadar."
"Tidak apa-apa. Aku tahu kau tidak
ada maksud buruk."
Yuzuha mengangkat bahu.
"Jadi, kau tidak suka dipanggil
begitu?"
"…Mungkin kalau dari kau, aku tidak
suka."
"Kenapa? Maksudnya apa?"
Rumor tentang Yuzuha pasti menyebar
dengan cepat.
Tapi, mengingat semua orang tahu aku
cukup dekat dengannya, sekarang aku mulai mengerti kenapa dia bereaksi begini.
"Yang sering pakai julukan itu
cuma anak laki-laki, kan? Dari situ aja harusnya kau bisa paham."
"Kalau dipikir-pikir, iya juga
sih… Tapi, maaf,
aku beneran tidak bisa nebak. Aku baru tahu soal ini."
"Haaah…"
Yuzuha menyipitkan mata dengan malas,
lalu menghela napas.
"Yah, kalau kau sih tidak
masalah."
"Itu maksudnya, aku dianggap
gampang diajak tidur."
Aku terdiam.
…Serius?
Sudah berapa kali aku memanggilnya
begitu?
Dan setiap kali aku mengatakannya,
apakah itu membuatnya merasa tidak nyaman?
…Sekarang kalau dipikir lagi, ini
pertama kalinya Yuzuha membicarakan hal seperti ini padaku.
Meskipun dia seperti pemimpin kelas,
tetap saja, mendengar rumor keji tentang dirinya pasti menyakitkan.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa
untuk menenangkan hatinya.
Sementara aku sibuk berpikir, Yuzuha
hanya tersenyum kecut dan mengayunkan sumpitnya ke kiri dan kanan.
"Ahaha,
tidak usah canggung gitu. Aku tahu kau tidak sengaja kok."
"Tapi tetap aja… Aku udah
terlanjur mengatakannya di kelas… Sial, kenapa bisa ‘matahari’ punya arti kayak
gitu, sih!?"
"Hmm… Matahari itu menyinari siapa
saja, kan? Katanya sih, maknanya berasal dari situ."
"…Jadi gara-gara itu, ya.
Kira-kira Takeru tahu tidak?"
"Arinochi? Hmm, mungkin tidak tahu
sih. Aku juga kurang yakin."
…Memang, dia sebenarnya tidak sedekat
itu sama Yuzuha.
Takeru selalu bilang dia hanya sekadar
"penggemar" Yuzuha, jadi sepertinya dia tidak akan mengatakan hal
yang bisa menyakitinya.
Kalau diingat-ingat, sikap Yuzuha
terhadap Takeru memang selalu agak dingin.
Itu semua hanya karena dia tidak bisa
mempercayai apakah orang-orang berbicara buruk tentangnya atau tidak.
"Setelah mendengar ini, menurutmu
gimana, Yoshiki? Apa kau juga berpikir aku bakal gampang diajak tidur?"
Saat aku mengalihkan pandangan, seragam
Yuzuha yang dikenakannya dengan santai terlihat di sudut penglihatanku.
Seperti sebelumnya, Yuzuha tidak suka
suasana yang canggung.
Aku berusaha menciptakan atmosfer yang
lebih santai, memutar otak untuk menemukan kata-kata yang tepat.
Dan yang akhirnya keluar dari mulutku
adalah—
"Jadi…
begitu, ya?"
Yuzuha
berkedip beberapa kali.
Lalu—
"S-serius!? Itu parah banget!? Tidak percaya, bukannya teman itu
harusnya menghibur di saat seperti ini!?"
"Maaf! Aku cuma berusaha
mencairkan suasana, tapi gagal total! Aku sumpah tidak berpikir kayak gitu!
Serius, aku beneran minta maaf!!"
Aku buru-buru mengibaskan tangan dengan
panik melihat ekspresi terkejut Yuzuha.
Sungguh, kali ini aku benar-benar
kelewatan.
Dalam sekejap, aku kembali menjadi
diriku yang ceroboh seperti saat berdebat dengan Remi.
Hanya karena aku tidak pandai
berbicara, bukan berarti aku boleh menyakiti orang lain dengan kata-kataku.
Kepribadianku yang asal bicara ini
kadang menghasilkan ucapan yang sembrono.
Sial, aku ingin bisa seperti Remi—mengatakan
hal yang ingin didengar lawan bicara.
Setidaknya, aku ingin bisa menciptakan
suasana yang lebih baik.
Aku selalu berpikir hal-hal yang tidak
perlu, tapi saat situasi genting, kenapa aku justru kehabisan kata-kata?
Saat aku masih mencari cara untuk
meminta maaf, Yuzuha malah tersenyum miring.
"Jadi itu gerakan khas perjaka,
ya. Yah, kalau begitu, tidak apa-apa deh."
"Beneran tidak apa-apa!?"
Saat aku terkejut, Yuzuha menunjukkan
senyum yang lebih lembut dari biasanya.
"Hmm, tidak apa-apa. Nyatanya
suasana jadi cair juga. Ahaha, sepertinya aku benar-benar kena jebak nih."
"Aku tidak yakin ini baik atau
buruk, tapi… terima kasih atas kelapangannya."
"Iya. Lagipula, ini khas Yoshiki
banget."
Setelah itu, Yuzuha tersenyum tipis dan
menutup kotak bekalnya.
Sekilas, isi bekalnya masih tersisa
cukup banyak.
"Aku sadar, sih. Kalau
dipikir-pikir, memang wajar kalau orang-orang menganggap aku gampang diajak
tidur. Aku memang sering menunjukkan kulit, kan? Bahkan tadi juga, kalau kau tidak
menegur soal rokku, aku sama sekali tidak kepikiran."
"Mungkin kau memang sering
memperlihatkan kulit, tapi itu bukan alasan untuk berpikir seperti itu."
"Hmm, menurutmu begitu?"
Yuzuha berdiri tegak, lalu berputar
menghadapku.
Roknya berkibar, dan sekilas aku merasa
melihat lebih dari yang seharusnya.
"Sebenarnya aku tidak terlalu
keberatan soal begituan. Yang bikin kesal itu justru kalau aku
diremehkan."
Menyadari maksud dari kata-katanya, aku
memilih kata-kata dengan hati-hati.
"…Tapi tetap aja, menjadikannya
sebagai julukan itu udah tidak masuk akal. ‘Matahari’ harusnya berarti populer
atau penuh energi. Tapi karena makna itu bercampur, jadinya makin
menjengkelkan."
"Di situ aku setuju."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak
menolaknya?"
"Hmm… mungkin karena aku bisa
memahami sebagian dari itu. Aku kan sudah bilang, ‘Normal bagiku berbeda dengan
normal bagi orang lain.’"
"…Ah."
…Jadi itu yang dia maksud.
Aku pikir
dia hanya berbicara tentang perbedaan antara "gyaru" dan
"normal".
Tapi ternyata, itu juga tentang julukan
"Matahari" yang diberikan kepadanya.
Sial, kalau begini, pasti masih banyak
hal lain yang aku lewatkan.
"Kau bilang kelas ini berjalan
dengan baik, Yoshiki, tapi sebenarnya tidak begitu. Mungkin karena kita masih
baru masuk sekolah, jadi kelihatannya seperti itu."
"…Kalau sampai ada orang yang
menyebarkan rumor seperti itu tentangmu, pasti ada masalah, ya."
"Itu memang salah satu alasannya.
Tapi kalau kelas ini benar-benar baik-baik saja, gosip soal kita pacaran hanya
akan jadi candaan. Tidak akan sampai ada orang yang menjelek-jelekkanmu."
Yuzuha
bersandar ke dinding.
"…Memang,
saat itu aku sempat dibicarakan, tapi kesannya yang lebih banyak bergosip
justru anak-anak dari kelas lain. Lagipula, kelompokmu juga ikut membela, jadi
semuanya langsung mereda, kan?"
Angin
hangat berhembus perlahan.
Yuzuha
memainkan ujung pita seragamnya dengan jemarinya, lalu mengangkat bahunya
sedikit.
"Karena kita baru saja masuk
sekolah, makanya bisa melindungi dia. Tapi kalau itu terjadi saat musim dingin,
entah bagaimana jadinya. Grup kita memang paling mencolok, tapi semua anak SMA
punya ego masing-masing. Aku juga bukan tipe yang pandai mengatur orang lain,
atau lebih tepatnya, aku memang tidak cocok buat itu?"
Itu adalah pernyataan yang jarang
terdengar darinya—nada yang sedikit negatif.
…Aku merasa tahu alasannya.
Di akhir masa SD, Remi secara alami
mulai berperan sebagai pemimpin.
Namun, Yuzuha baru menjadi pemimpin
saat kelas tiga SMP.
Kalau saja aku tidak mengalami kejadian
di mana aku diisolasi oleh para gadis, mungkin Yuzuha tidak akan pernah menjadi
pemimpin.
Seorang pemimpin yang muncul bukan
karena bakat alami, melainkan karena keadaan yang memaksanya.
Jika hanya berbicara soal keberadaan
dan pengaruh, maka Remi masih sedikit lebih mencolok dibanding Yuzuha, pemimpin
saat ini.
Meskipun begitu...
"Walaupun kamu bilang tidak cocok,
faktanya sekarang yang bikin kelas jadi hidup itu kamu, Yuzuha. Pas jam
istirahat, orang-orang di sekitarmu selalu terlihat paling bahagia."
Mata Yuzuha berkedip beberapa kali.
Lalu, dia tiba-tiba tertawa kecil.
"Ya ampun, gombalan macam apa
itu?"
"Aku serius."
Sama seperti di kelas waktu itu—tapi
kali ini, giliranku yang menatapnya.
Yuzuha terlihat sedikit kikuk.
"Aku ini kan gyaru cantik, jadi
wajar kalau orang-orang memperhatikanku?"
"Jangan
muji diri sendiri gitu. Tapi ya, mungkin itu ada benarnya, tapi yang jelas,
gaya bicaramu yang ceria juga bikin suasana jadi seru. Setidaknya, aku
berterima kasih untuk itu."
Saat aku
mengatakannya, Yuzuha perlahan memainkan rambutnya.
Jari-jarinya
yang dihiasi cat kuku berwarna mencolok membelit helai-helai rambut pirang
keemasan miliknya.
"…Kalau begitu, aku terima saja
rasa terima kasihmu. Makasih ya."
"…Oke."
"Eh-hehe."
Yuzuha
tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Lalu,
"Yah,
sepertinya tidak akan ada masalah besar, jadi ini bukan alasan buat Yoshiki tidak
pacaran. Buruan deh, pastikan dulu perasaanmu dengan baik, oke?"
"Lah,
kok ujung-ujungnya malah ke situ!?"
Seperti
biasa, kemampuannya mengubah topik luar biasa.
Kecepatan
dan ketegasannya dalam mengalihkan pembicaraan masih sama seperti dulu, dan
entah kenapa, itu membuatku sedikit lega.
Remi telah
berubah. Mungkin ke arah yang lebih baik.
Setiap
orang pasti akan berubah seiring waktu.
Tapi
setidaknya untuk sekarang, aku ingin Yuzuha yang ada di hadapanku tetap seperti
yang kukenal.
Alasannya mungkin karena aku merasa
sedikit kesepian. Dan mungkin juga ada alasan lainnya.
"Soalnya nih, sampai sekarang kamu
belum juga nanya ke Nikaido-san soal 'perasaan yang baik' itu. Serius deh, kamu
ngapain aja selama ini? Makanya, kamu harus tanya lagi!"
"Eh… Aku kan sudah tanya soal itu,
terus dapat tiket kencan sebagai hasilnya. Jadi jujur aja, aku merasa cukup
puas cuma dengan dapat 'item curang' itu..."
"Kalau gitu, kamu bakal tetap
jomblo terus. Bukannya kamu sendiri yang bilang ingin memastikan perasaan
dulu?"
"Aku ingin pacaran makanya mau
memastikan perasaan dulu, oke!?"
Yuzuha meneguk air dari botol minumnya,
lalu dengan suara yang lebih tenang berkata,
"…Ya, sama aja, kan?"
"Tidak sama! Jelas
beda!"
Udara yang
terasa berat, seolah menandakan datangnya musim hujan.
Namun,
seakan ingin menepis suasana itu, tawa Yuzuha yang ringan menggema di bawah
langit yang mendung.
Burung-burung
walet sudah tak terlihat lagi.
***
Setelah
menghabiskan makan siang, aku berjalan-jalan di halaman sekolah bersama Yuzuha.
Waktu istirahat siang di sekolah
berlangsung selama lima puluh menit.
Menurutku, waktu istirahat siang adalah
momen yang paling bervariasi dalam keseharian seseorang.
Bagi sebagian orang, ini adalah waktu
yang penuh kebahagiaan.
Bagi sebagian lainnya, ini adalah waktu yang membosankan.
Dan bagi
beberapa orang, ini bisa menjadi waktu yang menyiksa.
Ada siswa
yang merasa bahwa setelah makan siang, barulah istirahat yang sebenarnya
dimulai, sehingga mereka langsung berlari menuju lapangan untuk bermain. Aku
juga seperti itu saat kelas satu SMP.
Tapi di
awal kelas tiga SMP, waktu istirahat siang justru terasa menyiksa bagiku.
Sekarang,
aku tidak lagi seaktif saat kelas satu SMP, jadi biasanya aku hanya mengobrol
atau tidur siang.
Namun, sesekali berjalan-jalan juga
tidak buruk.
Saat bersama Yuzuha, waktu biasanya
terasa seperti badai yang berlalu dengan cepat. Jadi, menghabiskan waktu santai
berdua seperti ini rasanya hampir belum pernah terjadi sebelumnya.
Aku jarang berjalan-jalan di halaman
sekolah saat istirahat, tetapi ternyata Yuzuha terlihat cukup tenang dan
menikmati suasana.
Mungkin karena masalah panggilan nama
itu, Yuzuha belakangan ini juga merasa lelah.
"…Hm."
Bangku tempat aku pernah duduk bersama
Hanazono tiba-tiba masuk dalam pandangan.
Karena lokasinya yang agak tersembunyi
dari pandangan siswa lain, tempat itu mulai menjadi salah satu favorit
pribadiku.
"Yuzuha."
"Hm? Ada apa?"
"Mau duduk di bangku itu?"
"…Oh, ternyata di sini ada bangku
juga, ya. Aku bakal
digombalin sekarang, nih?"
"Bukan
begitu!"
Kalau bukan
Yuzuha yang mengatakan itu, aku pasti sudah salah paham.
Di media
sosial, sering muncul istilah "penyihir perusak pria polos." Mungkin,
istilah itu diciptakan untuk gadis gyaru di sebelahku ini.
Begitu kami
duduk di bangku, Yuzuha langsung mengajakku bicara.
"Ngomong-ngomong
soal yang di atap tadi, kalau Yoshiki benar-benar bisa memastikan perasaannya
dengan Nikaido-san pas kencan nanti, aku bakal mulai gerak buat urusan
Hanazono-san, nih. Jadi gimana?"
"…Aku
yang ngomong sendiri, tapi Yuzuha beneran sering banget ngecek kemajuan urusan
ini, ya. Aku tidak nyangka bakal dicecar sampai begini."
"Soalnya
yang mulai ngomongin soal memastikan perasaan itu kan kamu sendiri. Jangan
bikin aku kecewa, dong~"
"Ugh…"
Apa yang
dia bilang memang benar.
Kalau dia
hanya menganggap ini sebagai "hiburan," aku mungkin bisa
mengabaikannya.
"Terlebih lagi, mungkin sekarang
adalah satu-satunya waktu aku bisa maksa kamu gini. Kalau aku makin sering
telat masuk sekolah, bisa-bisa aku tidak naik kelas."
Yuzuha
menguap lebar-lebar.
…Benar
juga, hari ini dia telat lagi.
"Serius,
jangan sampai kejadian. Tidak naik kelas cuma gara-gara telat itu benar-benar
sia-sia. Padahal nilai Bahasa Jepangmu lebih tinggi dari punyaku."
"Masih
diinget aja. Iya sih, aku juga tahu, tapi ya gimana, aku susah bangun
pagi."
"Itu
masalah gampang! Setel alarm lah!"
"Aku
udah nyetel, kok. Kalau kamu mau begitu posesif, kenapa tidak kasih aku morning
call setiap hari aja?"
"Tiap
hari sih agak berat, ya…"
…Tapi,
kalau dipikir-pikir, permintaan itu sebenarnya tidak terlalu buruk.
Bisa kasih
morning call buat Yuzuha pasti jadi impian banyak cowok.
Wajahku mungkin menunjukkan ekspresi
bingung antara mau menerima atau menolak.
Tapi kalau dipikir lagi, itu bakal jadi
beban juga.
"…Eh, jangan-jangan kamu beneran
mau bangunin aku?"
"Ya, kalau aku lagi mood,
mungkin."
"Udah, bercanda doang kok!"
Yuzuha tertawa kecil, lalu dengan
ringan memukul bahuku.
Sentuhan itu meninggalkan sedikit rasa
hangat.
"Berisik. Lagian, kenapa sih kamu
susah bangun pagi? Biasanya tidur jam berapa?"
Aku bertanya sambil mencoba mengalihkan
perhatianku dari rasa panas di bahuku.
Yuzuha
tidak terlihat ragu dan langsung menjawab.
"Oh,
aku belum bilang ya? Aku tidur jam tiga pagi setiap hari. Soalnya aku kerja
part-time malam."
Aku
berkedip beberapa kali sebelum menjawab,
"…Serius? Kerja apa? Bukannya
sekolah kita melarang kerja part-time?"
"Di
tempat yang agak mencurigakan. Detailnya rahasia~♡"
"Tempat
mencurigakan…!?"
Aku
langsung berdiri dari bangku dengan kaget.
Mencurigakan? Jangan-jangan maksudnya…
yang seperti itu!?
Aku memang penasaran, tapi kalau benar,
aku tidak bisa tinggal diam.
Tapi kalau aku tanya langsung, kesannya
terlalu mencurigai dia…
Saat aku sibuk memikirkan kemungkinan
itu, Yuzuha tertawa geli.
"Ahaha, bercanda doang! Kalau kamu
percaya, berarti otakmu udah dipenuhi pikiran aneh. Wah, jangan-jangan Yoshiki
juga sebenarnya berharap sesuatu dariku, ya? Aduh, gimana dong~"
"Itu siapa aja pasti bakal kaget!
Aku tidak berharap apa-apa, oke!? Sebagai teman aja!"
"Kamu serius banget. Padahal ini tidak
ada hubungannya sama teman atau bukan. Aku sih males kalau disuruh yang
aneh-aneh sama orang yang bahkan bukan temanku."
Yuzuha
menggeliat dengan gaya menggoda.
...Sejauh mana dia serius, sih?
Sikap seperti ini jelas bisa menggugah
hati para cowok. Apa dia tidak pernah ada yang dendam gara-gara ini?
Orang yang pertama kali menyebutnya
sebagai "matahari" mungkin juga dulu merasa frustrasi karena sikapnya
ini.
Yuzuha menghela napas dengan sedikit
kelelahan.
"Yah, meskipun begitu, jujur aja
kerja part-time itu tidak menyenangkan. Aku mulai ngerasain kerasnya hidup, di
mana kalau tidak kerja, ya tidak dapet uang."
"…Serius, sih, kamu kerja
part-time di mana?"
Dengan informasi yang aku punya sejauh
ini, aku tidak bisa membayangkan dia bekerja di tempat yang baik.
"Jadi, gaya berpakaiannya juga
semacam pelampiasan stres, ya?"
"Mungkin juga. Ih, Yoshiki, kamu
nyebelin, deh."
"…Maaf. Kayaknya barusan aku
kelewatan ngomongnya."
Saat aku hendak meminta maaf lagi,
Yuzuha tiba-tiba mendekat.
Dia menempelkan telunjuknya ke bibirku,
lalu menyentuh bibirnya sendiri.
Bibirnya yang tampak kenyal itu
terlihat semakin menggoda.
Tubuhku
refleks menegang seolah tersambar listrik, dan aku langsung bersandar ke
belakang.
"Kamu tuh, jangan suka ngelakuin
hal kayak gitu…!"
"Kita kan dilarang kerja part-time
di sekolah ini. Sekarang kamu udah tahu rahasiaku, jadi aku harus nyogok kamu,
dong. Gimana? Mau tutup mulut? Atau kurang?"
"Bukan masalah kurang atau tidaknya!
Lagian,
kamu sendiri yang ngomong tadi!"
Yuzuha
melepas telunjuknya dan tersenyum jahil.
"Jadi, kamu tidak suka kalau aku
kayak gini?"
"Bukan tidak suka sih… Tapi jangan
sembarangan bilang soal kerja part-time ke orang lain. Kamu itu menonjol, bisa
aja ada yang iri atau malah nyebarin gosip."
"Kalau sampai begitu, kamu yang
harus lindungin aku, dong."
── Aku yang bakal menerangi Yoshiki.
Dulu Yuzuha
pernah bilang begitu.
Tapi ini pertama kalinya dia mengatakan
sesuatu yang berkebalikan.
Memikirkan itu, aku menjawab,
"Kayaknya itu tanggung jawab yang
berat."
"Serius!? Kok gitu!?"
"Soalnya, beda sama kamu, aku kan
orang biasa aja. Aku tidak punya kepercayaan dari banyak orang."
"Itu tuh tidak ada hubungannya!
Aku juga cuma mau tahu apa kamu mau atau tidak, itu aja!"
"Ya,
aku juga tidak bilang kalau aku tidak mau, kan?"
"Eh?"
Mata besar
Yuzuha berkedip beberapa kali.
Bagianku dalam pertemanan ini selalu
bergantung pada Yuzuha selama setahun terakhir. Aku tidak punya alasan untuk
menolak.
Bahkan kalaupun aku tidak punya hutang
budi kepadanya, aku tetap tidak akan menolak.
Karena…
"Teman
itu harusnya saling mendukung, kan? Kamu juga pernah bilang gitu, kan?"
"…Oh,
jadi begitu? Hm, ya udah, deh."
Yuzuha
tersenyum kecil, tampak cukup puas.
Melihat dia bisa senang hanya karena
perkataan sederhana itu, rasanya aku juga ikut senang.
Aku meneguk air dari botolku, lalu
menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan.
"Kenapa, sih, kamu percaya sama
aku?"
Yuzuha menyipitkan matanya sedikit.
"Ya, soalnya aku percaya aja.
Emang harus ada alasannya?"
"Kalau ada alasannya, aku jadi
lebih tenang. Aku udah terlalu sering dapat kebaikan dari kamu, jadi aku
khawatir bakal ada hal buruk yang terjadi sebagai gantinya."
"Haaah,
ribet banget sih kamu…"
Setelah mengatakannya dengan sangat
jujur, Yuzuha menghela napas panjang.
Dia berpikir sejenak, lalu akhirnya
bicara lagi.
"Kamu masih inget cewek yang
pernah nolak kamu? Seto Miyabi."
Dada terasa sesak.
Nama orang yang menolakku dengan sangat
kejam saat musim dingin di tahun kedua SMP.
Kalau cuma ditolak, mungkin lukanya tidak
sedalam ini.
Gosip yang
sama sekali tidak benar menyebar, dan reputasiku hancur.
Akhirnya,
aku sampai keluar dari klub handball tepat sebelum turnamen terakhir.
Keputusan itu kuambil karena Seto
Miyabi menjadi manajer klub.
Dia adalah cewek yang sampai
sebegitunya menghancurkan hidupku.
"Itu anak sebenarnya teman masa
kecilku, lho."
Aku membelalakkan mata.
"…Serius? Aku tidak tahu sama
sekali."
"Tidak ada yang tahu. Soalnya aku
hampir tidak pernah ngobrol sama dia pas SMP. Beda sama Yoshiki dan Nikaido-san,
sekarang aku udah tidak dekat lagi sama dia."
Yuzuha
tersenyum kecut dan mengangkat bahunya.
"Miyabi
sengaja menjatuhkan nama baikmu, jadi aku berusaha menghentikannya sekuat
tenaga. Tapi aku agak telat, karena waktu itu kamu udah keburu keluar dari
klub, kan?"
── Dasar
pengecut yang main licik di belakang! Yoshiki itu temanku, jadi kalau ada
masalah, bilang langsung ke aku!
…Cara
sefrontal itu buat menghentikan seseorang, cuma Yuzuha yang bisa.
Di masa SMP, aku benar-benar bakal
tamat kalau bukan karena dia.
Kesadaran itu datang dari kejadian itu.
"Jadi, ini semacam tebusan dosa,
ya? Aku sendiri sih cuma merasa tertolong."
"Bukan masalah gimana perasaanmu.
Ini lebih ke soal tanggung jawab. Kesalahan orang yang dekat sama kita, ya kita
yang harus bertanggung jawab juga."
"Tanggung jawab, ya. Jadi, itu
alasan kamu masih mau temenan sama aku?"
Entah kenapa aku merasa sedikit sinis
saat bertanya.
Yuzuha berkedip beberapa kali, lalu
tertawa lepas. Eh, jangan ketawa di situ!
"Ahaha, tenang aja! Kalau cuma
karena itu, aku tidak bakal terus-terusan bareng sama kamu, apalagi sampai
deket kayak gini. Aku tidak sebaik itu, tahu!"
Dia lalu melanjutkan dengan nada
lembut, sambil tersenyum.
"Yoshiki kan dulu sempat tidak
percaya sama aku. Kamu bahkan pernah bilang, 'Mending makan di toilet daripada makan
bareng dia.' Tapi sekarang malah lengket kayak gini, jadi ya… aku makin sayang,
lah!"
"…Serius?"
"Ya! Itu cuma awalnya aja!"
Yuzuha meregangkan tubuhnya dengan
santai.
"Serius deh, Miyabi tuh tidak
ngerti apa-apa. Padahal Yoshiki itu orang baik banget!"
Seketika, kepalaku terasa nyeri.
── Yoshiki itu orang baik, kan?
Kata-kata itu… aku pernah dengar
sebelumnya.
"Dulu,
dia juga bilang hal yang sama."
"…Oh, gitu."
Mata Yuzuha terlihat sedikit sedih.
…Ekspresi itu jarang dia tunjukkan.
Sekarang, ada banyak hal yang cuma bisa
kami bicarakan saat berdua saja.
Dan hari ini, hal itu terasa semakin
jelas.
Saat aku sedang memikirkan itu,
tiba-tiba Yuzuha tersenyum tipis.
"Jadi gini. Kalau suatu hari nanti
kamu udah tidak tahan banget pengen ngilangin status perjakamu tapi tidak ada
yang mau, bilang aja ke aku. Kalau kamu, mungkin bisa aku pertimbangkan."
Aku berkedip beberapa kali sebelum
akhirnya memahami maksudnya.
"…Hah!? Kenapa jadi gitu!?"
Melihat reaksiku, Yuzuha menyunggingkan
senyum jahil.
"Ya,
anggap aja ini bentuk tebusan dosa?"
Dia lalu
memasukkan telunjuknya ke kerah bajunya, menciptakan sedikit celah yang
menggoda.
Dari depan
memang tidak kelihatan, tapi kalau aku melihat dari atas, pasti bakal
berbahaya.
Setidaknya,
aku yakin aku bisa melihat seluruh bentuk pakaian dalamnya.
Soalnya,
bahkan dari depan saja, aku sudah bisa melihat tahi lalat kecil di kulitnya.
Untungnya, tidak ada murid lain di
sekitar. Tapi, tunggu dulu… bukan itu masalahnya!
"Aku
sih sebel kalau ada orang yang bilang aku gampang diajak tidur. Tapi, kalau
buat seseorang yang menurutku cukup spesial, ya mungkin ada kemungkinan."
"…Itu kamu serius sampai sejauh
mana, sih—"
"Serius. Aku kan jarang bohong
sama kamu, Yoshiki."
"Justru kalau ini beneran, itu
yang masalah!"
Tapi, dia
sering banget bercanda juga.
Gimana
kalau aku tipe orang yang gampang tergoda dengan kata-kata manis? Dia pasti
tetap bakal kasih jawaban yang positif.
Jangan tertipu, aku ini masih perjaka.
Saat aku mati-matian melawan godaan
manisnya, Yuzuha melanjutkan.
"Kencanmu sama Nikaido-san itu
cuma buat latihan, kan?"
"Hah? Oh, iya."
"Kalau gitu, kamu tidak bisa
ngelakuin 'hal terakhir' di akhir kencan, dong? Aku yakin Nikaido-san juga
ngomong gitu bukan dengan maksud kayak gitu."
"Ya
jelas lah. Toh, ini bukan beneran pacaran."
"Ya,
kan? Makanya, 'hal
terakhirnya' bisa aku yang urusin buat kamu, kalau mau."
Lagi.
Lagi-lagi, kepalaku terasa kesemutan
seolah mati rasa.
Yuzuha sering bilang kalau dirinya tidak
normal, dan kalau gitu, mungkin semua ucapannya barusan memang serius.
Setidaknya, kalau aku setuju di sini
dan sekarang, Yuzuha bukan tipe orang yang bakal nyebarin gosip.
Dengan kata lain, menganggukkan kepala
saat ini adalah hal yang mudah.
Tanpa risiko. Kesempatan itu cuma ada
di depan mata.
…Tapi beneran tanpa risiko?
Seperti saat musim dingin di tahun
kedua SMP, keputusan tanpa berpikir justru bisa jadi awal dari kesalahan besar.
Memang, kesalahan pertama biasanya cuma
jadi kenangan yang bisa ditertawakan di masa depan.
Tapi aku tidak mau kesalahan itu
terjadi dengan Yuzuha.
Kalau hubungan kami sendiri bisa jadi
risiko, maka…
"Kalau aku terima, kita bakal jadi
semacam 'teman buat tidur', kan? Risiko bakal canggung setelahnya tuh tidak
sebanding sama keuntungan yang bisa didapat, bahkan buat cowok di masa
pubertas."
Yuzuha membelalakkan mata lalu
menyunggingkan senyum jahil.
"Oh, jadi itu cara kamu nolak?
Nihihi, pinter juga ya, bocah ini."
"Aku ini perjaka yang masih punya
harga diri, tahu."
Aku menjawab begitu, tapi bisa jadi
nanti malam aku malah nyesel. Segitu doang harga diriku.
Tapi setidaknya, saat ini harga diriku
berhasil mengalahkan instingku, jadi izinkan aku bergaya sedikit.
"Lagian, aku tidak bisa ngelepasin
hasrat kayak gitu ke teman yang udah percaya sama aku."
"Bahkan kalau aku bilang
boleh?"
"Justru karena itu aku tidak
percaya sama omonganmu!"
"Ahaha. Yoshiki, kamu perjaka yang
bagus banget, ya."
Yuzuha berdiri dari bangku.
Dia lalu mengibaskan kerah bajunya
untuk menyejukkan dada sebelum memutar tubuhnya sekali.
"Aku senang bisa sedikit membantu
Yoshiki!"
"…Uh, ya, syukurlah kalau
gitu."
"Ngomong-ngomong, tadi aku bilang
aku percaya sama kamu, kan? Sebenarnya ada alasan lain juga, lho."
"Apa?"
"Kamu galau soal cinta, kan? Orang yang
bisa pusing sendiri gara-gara hal sesederhana itu pasti bukan orang jahat.
Cuma… perjaka aja!"
"Yang
terakhir itu tidak ada hubungannya, kan!? Lagian, perjaka tuh sebegitu
buruknya, ya!?"
Mendengar
protesku, Yuzuha tertawa terbahak-bahak.
Ya, buat
anak seumuranku, keperjakaan itu lebih baik segera dilepas.
Tapi
caranya juga harus diperhatikan, kan?
Meskipun,
pemikiranku soal ini bisa berubah dari hari ke hari…
"Jangan keterlaluan pas nguji aku.
Gimana kalau tadi aku beneran nurut?"
"Eh, tidak tahu, sih. Aku juga tidak
niat nguji, kok."
"Yakin tuh…?"
Aku menjawab singkat, lalu berdiri dari
bangku mengikuti Yuzuha.
Saat itu juga, aku melihat sosok
seseorang di lorong beberapa meter di depan kami.
Seorang gadis yang mengingatkanku pada
hewan kecil—Hanazono Yuuka.
Di sampingnya, ada seorang siswa
laki-laki yang jelas lebih tua dari kami.