NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Chikatetsu de Bishoujo o Mamotta Ore V1 Chapter 11 — 20

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 11: Tujuan


Setelah kencan dengan Hinami berakhir, aku akhirnya tiba di rumah dengan selamat.

"Aah, akhirnya sampai. Gila, capek banget… Aku pengen langsung tidur aja."

Aku langsung menuju kamarku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur.

Rasa tegang dan lelah langsung menyerang tubuhku. Ternyata, menghabiskan hampir setengah hari bermain dengan seorang gadis itu cukup melelahkan.

Aku merasa nyaman terbungkus dalam kelembutan kasur ini, dan sepertinya tidak masalah jika aku langsung tertidur. Tapi aku belum mandi, belum sikat gigi, dan belum makan. Kalau aku tidur sekarang, pasti adikku bakal datang dan membangunkanku dengan paksa.

Sambil melawan rasa kantuk, aku menatap langit-langit dengan kosong.

Beberapa masalah memang muncul berturut-turut hari ini, tapi setidaknya aku berhasil menghindarinya dengan baik.

Jika Hinami sampai mengetahui identitasku, itu akan sangat merepotkan.

Saat ini, aku diperlakukan seperti pahlawan oleh masyarakat, jadi mengungkap jati diriku bukanlah pilihan. Yang terbaik adalah tetap diam dan berada di sisinya dengan tenang.

Saat aku berpikir seperti itu—

"Onii, aku masuk ya!"

Seperti biasa, Michika masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

"Berapa kali harus kukatakan, tolong ketuk pintu dulu. Ini kamar cowok yang sudah cukup umur, jangan seenaknya masuk!"

"Ah, males. Lagipula, paling juga Onii lagi nonton video mesum, kan? Udah ketahuan kok, jadi tidak perlu malu-malu, kan?"

"Hei! Meskipun kau tahu, tetap saja lebih baik kalau kau tidak mengatakannya!"

Seperti biasa, cara dia memperlakukanku benar-benar kasar. Aku sudah berusaha keras hari ini, bisakah kau sedikit lebih lembut padaku?

"Jadi, ada apa? Makan malam?"

"Salah. Ini, ada telepon buat Onii."

"Hah? Telepon?"

Michika mendekat dan menyerahkan gagang telepon padaku.

Telepon, ya…

Entah kenapa, meski belum diberi tahu siapa yang menelepon, aku sudah bisa menebaknya.

"Orang yang menelepon itu… Koi-san, ya?"

"Benar! Kok tahu sih?"

Tentu saja…

Wajar saja kalau dia menelepon untuk menanyakan kesan setelah kencan.

Tapi aku benar-benar kelelahan saat ini, dan berbicara di telepon dengan seseorang yang sadisnya kelewatan seperti dia… Tidak mungkin!

Sama sekali tidak mungkin!

"Michika, bilang saja kalau Onii sudah tidur nyenyak dan sulit dibangunkan. Kalau aku bicara dengan Koi-san sekarang, mungkin aku bakal mati."

Maaf, Koi-san, tapi aku kabur dulu! Aku akan menelepon balik setelah tenaga dan mental ku kembali pulih!

"Oh ya, hampir lupa. Aku tidak menekan tombol tahan panggilan, loh. Koi-san bilang jangan ditekan."

"APA?!?!"

Sialan!

Jadi dia sudah memperkirakan aku bakal mencoba kabur, dan sengaja meminta Michika untuk tidak menekan tombol tahan panggilan!

Semua percakapan tadi kedengeran, dong!

"Baiklah, baiklah! Aku akan menjawabnya! Jadi, keluar dari kamarku sekarang, Michika!"

"Siap."

Setelah menyerahkan telepon, Michika keluar dari kamarku.

Ruangan menjadi sunyi. Aku menempelkan gagang telepon ke telingaku dengan perlahan.

"H-hello…?"

Setelah beberapa detik hening, terdengar suara Koi-san dari seberang telepon.

"Bagaimana dunia mimpi tadi? Menyenangkan? Atau kau lebih menikmati menonton video mesum?"

"Uh… maaf…"

Sial! Dia mendengar semuanya, jadi aku tidak bisa kabur atau mencari alasan!

"Kau pikir bisa kabur dariku?"

"Benar-benar maaf…"

"Ya sudahlah. Kau punya waktu sebentar? Mari kita mengobrol."

Hahaha… Ngobrol dengan Koi-san, ya…

Aku hanya punya firasat buruk tentang ini!

"Ngobrol tentang apa?"

"Sebelum itu, kenapa kau bicara pakai bahasa formal? Seperti sedang berbicara dengan atasan yang suka menekan bawahan."

"Ya, karena aku memang merasa seperti sedang ditekan…"

"Apa kau baru saja mengatakan sesuatu?"

"Tidak! Sama sekali tidak!"

Aku tidak mungkin bisa melawan seorang sadis seperti dia!

Selain itu, Koi-san adalah satu-satunya orang di dunia yang mengetahui identitasku. Kalau aku sampai memancing emosinya, entah apa yang akan dia lakukan padaku.

"Oh, begitu. Langsung saja, aku akan masuk ke topik utama."

"O-oke…"

Aku menelan ludah.

Aku terjepit antara rasa cemas dan ketegangan, hingga keringat dingin tak berhenti mengalir. Setelah kencan, kira-kira apa lagi yang harus aku lakukan?

Tolong, jangan sampai ini seperti permintaan gila yang sering ada di film-film Hollywood…

Saat aku menegang, kata-kata yang keluar dari mulut Koi-san justru di luar dugaanku.

"Kau menikmati kencan hari ini?"

"…Hah? Maksudnya kesan?"

"Ya. Bagaimana rasanya bersenang-senang dengan Hinami?"

"U-uh… Menyenangkan sekali. Aku juga jadi tahu sisi lain dari Hinami yang tidak kuduga sebelumnya."

"Hooh…"

A-apa maksud dari gumaman yang terdengar penuh arti itu? Apakah aku mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya?

Tidak, aku hanya mengungkapkan kesan biasa. Seharusnya tidak ada hal tabu yang aku sentuh.

"Begitu, ya. Kau cukup bisa diandalkan juga."

"Diandalkan? Aku benar-benar tidak melakukan apa pun."

"Aku tidak sedang membicarakan hal seperti itu."

"Hah? Lalu maksudnya apa?"

"Kau berhasil membangun kepercayaan."

"Kepercayaan?"

"Ya."

Koi-san melanjutkan perkataannya.

"Sebelum pergi kencan, kau masih memanggilnya dengan nama keluarganya, Kujo. Tapi sekarang kau sudah memanggilnya Hinami. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang jelas, kalian semakin akrab."

O-orang ini… Benar-benar tajam! Dia menganalisis aku dengan sangat baik!

"Y-ya, mungkin begitu."

"Bagaimana menurutmu setelah mengetahui sisi lain dari Hinami?"

"Apa, ya… Aku jadi semakin yakin kalau dia memang anak yang baik."

"Begitu. Aku senang mendengarnya. Berarti tujuanku sudah tercapai."

"Tujuan?"

"Ya. Menurutmu, aku menyuruhmu pergi kencan tanpa alasan?"

Apa maksudnya?

Bukankah dia hanya ingin menggodaku dengan menyuruhku pergi berkencan?

Saat aku masih dipenuhi rasa curiga, Koi-san melanjutkan pembicaraannya seolah tidak peduli.

"Kau dipuja sebagai pahlawan oleh masyarakat, dan karena itu kau ingin menyembunyikan identitasmu. Aku mengerti perasaan itu. Kalau aku berada di posisimu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Tapi… aku tidak ingin kau menjauhi Hinami hanya karena alasan itu.

Dia benar-benar anak yang polos, naif, dan ceroboh… Tapi di saat yang sama, dia juga lebih baik daripada siapa pun. Aku ingin kau memahami itu.

Kalau kau tidak membencinya, tetaplah berada di sisinya."

Setelah memahami maksud Koi-san, aku terdiam.

Aku benar-benar mengira dia hanya ingin mempermainkanku. Tapi ternyata, bukan itu tujuannya.

Dia hanya ingin aku lebih dekat dengan Hinami.

Itulah yang ada dalam pikirannya. Jika kencan hari ini tidak terjadi, aku tidak akan pernah tahu berbagai sisi Hinami.

Kami juga tidak akan sedekat ini.

Jika aku terus-menerus menjauh darinya, bagaimana jadinya?

"Aku punya sifat seperti ini, jadi awalnya aku tidak bisa beradaptasi dengan kehidupan sekolah dengan baik.

Nilai akademikku memang tinggi, tapi aku pendiam dan sulit didekati. Orang-orang berkata seperti itu tentangku, dan aku dijauhi dalam waktu yang lama.

Tapi hanya Hinami yang berbeda.

Dia tetap mendekatiku dengan ceria meskipun aku seperti ini.

Berkat dia, aku bisa lebih akrab dengan orang-orang di sekitarku.

Aku tidak ingin Hinami mengalami hal yang sama denganku.

Dijauhi tanpa alasan itu… lebih menyakitkan dari yang kau bayangkan."

"…Begitu, ya. Sekarang aku mengerti. Aku terlalu sibuk menyembunyikan identitasku sampai tidak sadar kalau aku menjauh dari Hinami tanpa alasan.

Dia memang anak yang baik. Aku tidak punya alasan untuk menghindarinya. Aku tidak akan menjauhinya lagi."

"…Begitu. Terima kasih."

"Bukan, aku yang seharusnya berterima kasih. Kalau bukan karena Koi-san, aku tidak akan sedekat ini dengannya."

"Aku tidak butuh ucapan terima kasih darimu.

Oh, dan satu lagi… Aku akan tetap menggodamu, jadi bersiaplah."

"Serius, nih…?"

"Kau lucu, soalnya."

"Kau ini benar-benar wanita jahat…"

"Tentu saja. Inilah diriku."

"Tapi ternyata kau juga punya sisi yang perhatian dan peduli pada teman."

"Eh?"

"Karena kau sudah merencanakan semuanya agar aku lebih dekat dengan Hinami, dan juga berusaha menjaga identitasku tetap rahasia. Kau cukup baik, ternyata. Meskipun kau suka menggodaku."

"B-berhenti menggodaku! Aku akan menghancurkanmu! Aku hanya ingin kau mengetahui kebaikan Hinami!"

Eh… Hah?

Apakah barusan… nada bicara Koi-san sedikit berubah?

Mungkinkah dia sebenarnya lemah terhadap pujian?

"U-uh, sepertinya sudah waktunya. Aku akan menutup telepon. Oh, ada satu hal yang hampir lupa kukatakan."

"Hah? Apa?"

Suuuh—

Aku bisa mendengar suara Koi-san menarik napas dari seberang telepon.

Apa dia berencana mengatakannya dengan suara keras?

"Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi dengarkan baik-baik."

Lalu, Koi-san berkata:

"Terima kasih telah melindungi sahabatku dari penyerangan acak waktu itu. Aku sangat berterima kasih, Ryo."

Begitu dia mengatakannya, tanpa memberi kesempatan padaku untuk merespons, dia langsung menutup telepon begitu saja.

Hari ini aku memang telah mengetahui banyak sisi lain dari Hinami…

Tapi tanpa kusadari, aku juga menemukan sisi lain dari Koi-san.

Dia mungkin gadis sadis tingkat ekstrem…

Tapi ternyata, dia juga peduli pada teman-temannya dan punya sisi tsundere.

*** 

Minggu berlalu, dan tibalah hari Senin.

"Fuaaah… ngantuk. Ngantuk banget."

Dengan mata setengah tertutup, aku berjalan menuju sekolah.

Jalan dari stasiun terdekat ke sekolah hanya satu arah, tapi cukup jauh. Saat ini masih musim semi, jadi tidak masalah, tapi kalau sudah musim panas, pasti bakal melelahkan.

Saat aku sedang berpikir seperti itu—

"Selamat pagi, Ryo-kun!"

Terdengar suara yang memanggil namaku dari belakang.

Aku langsung tahu siapa itu hanya dari suaranya.

"Yo, Hinami. Selamat pagi."

Saat aku menoleh, di sana berdiri Hinami—gadis yang oleh netizen disebut sebagai "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun".

Sebenarnya aku tidak perlu repot-repot menoleh, tapi setidaknya aku harus melihat wajahnya saat memberi salam.

Setelah Hinami sampai di sampingku, kami mulai berjalan bersama.

"Ryo-kun selalu berangkat ke sekolah jam segini?"

"Iya. Kalau sampai telat kan repot, jadi aku usahakan datang lebih awal."

"O-oh, begitu… A-aku juga biasanya berangkat jam segini."

"Hee, kebetulan juga ya."

"Y-yeah…."

Hinami terus melirik ke arahku dengan ekspresi seolah ingin mengatakan sesuatu.

Jangan-jangan…

Dia ingin berangkat sekolah bersamaku?

Aku tidak punya bukti pasti, tapi sepertinya begitu.

Begitu terpikirkan hal itu, percakapanku dengan Koi-san pada hari Sabtu kembali terlintas di pikiranku.

Aku sudah berjanji, jadi harus menepatinya.

"Kalau mau, besok kita berangkat bareng?"

Begitu mendengar saranku, mata Hinami langsung berbinar seketika.

"Benarkah!? Kalau tidak merepotkan, a-aku ingin berangkat bersama mulai besok!"

"Tidak merepotkan kok. Oke, kita ketemu di stasiun jam segini ya."

"Iya!"

Hinami tersenyum cerah di sampingku.

Aku tidak bisa melanggar janjiku pada Koi-san, dan Hinami memang gadis yang baik. Aku tidak akan menjauh darinya lagi.

Aku akan tetap di sisinya.

Tentu saja, sambil tetap merahasiakan identitasku.

Chapter 12: Hari-Hariku Bersama Yuri

Suatu sore sepulang sekolah. Di meja resepsionis perpustakaan sekolah, aku dan Yuri menatap kosong seperti ikan mati.

“Bosan banget ya, Ryo-san.”

“Iya, bener banget, Yuri-san.”

“Beneran bosan banget.”

“Iya.”

Percakapan seperti ini sudah berlangsung sekitar lima menit.

Di perpustakaan hanya ada aku dan Yuri, dan karena semua pekerjaan sudah selesai, kami tidak ada yang bisa dilakukan.

Benar-benar bosan sampai tidak tahu harus berbuat apa.

Tugas di perpustakaan sepulang sekolah adalah tanggung jawab anggota pustakawan. Hari ini, pustakawan dari kelasku yang bertugas. Seharusnya, Yuri dan Aizawa-san ada di sini.

Namun, hari ini Aizawa-san tidak masuk sekolah.

Sebagai gantinya, aku—ketua kelas—ditugaskan untuk mengisi kekosongan. Tentu saja, karena dipaksa oleh Hana-Sensei.

Hari ini sekolah hanya sampai siang karena ada rapat guru. Itulah kenapa perpustakaan terasa sangat sepi.

Wajar saja, siapa yang mau tetap di sekolah untuk membaca buku dengan tenang saat mereka bisa pulang lebih awal?

Pasti semua orang pergi bermain atau bekerja paruh waktu.

Sial… aku juga seharusnya sekarang sudah di kamar, menikmati permainan rhythm favoritku.

“Ryo~ ayo main shiritori.”

“Kita baru saja main tadi.”

“Gak apa-apa kan? Aku mulai duluan ya. Ringo (apel).”

“Gohan (nasi). Selesai.”

“Eh, jangan gitu dong! Main yang serius!”

“Kita udah main shiritori tujuh kali, tahu? Aku udah bosan.”

“Tapi kita gak ada kerjaan lain!”

“Tapi kalau main shiritori sebanyak ini, mikir kata-kata malah jadi makin males.”

“Tapi kita beneran gak ada yang bisa dikerjain! Masih tiga puluh menit lagi sebelum tugas kita selesai, bosan banget!”

Yuri kemudian menempelkan dahinya ke meja dan rebahan.

Saking bosannya, bahkan Yuri—yang biasanya ceria—terlihat seperti bunga layu, kehilangan semangatnya.

Bukan hanya karena tidak ada yang bisa dilakukan, tapi juga karena kami harus tetap berada di perpustakaan selama tiga puluh menit lagi.

Ini penyiksaan. Terlalu bosan itu malah menyakitkan.

“Ryo~, karena aku bosan, aku mau shutdown aja, ya. Pas waktunya selesai, tolong tekan tombol power-ku.”

“Mana ada tombol kayak gitu? Emang kamu komputer?”

“Tolong dong, Ryo-san?”

Setelah memanggilku dengan embel-embel ‘san’, dia lalu menatapku dengan mata berbinar layaknya anak kecil yang sedang merengek meminta sesuatu.

Matanya berkilau dan dia berkedip beberapa kali. Kalau cuma dilihat sekilas, dia memang terlihat sangat imut, tapi kalau diperhatikan baik-baik, jelas sekali dia sedang berusaha memohon.

Dasar licik.

“Haaah… ya udah deh. Kalau kamu mau tidur, silakan. Nanti aku bangunin pas waktunya. Aku bakal main game rhythm di HP aja.”

“Makasih~. Aku jadi terbantu~. Ah, ngomong-ngomong…”

“Hm?”

“Kamu main game rhythm apa di HP?”

Aku dan Yuri adalah teman yang memiliki hobi yang sama.

Dengan rambut yang diwarnai, riasan wajah, dan kuku yang dihias, Yuri benar-benar terlihat seperti gadis SMA yang berkilauan. Tapi siapa sangka dia punya hobi yang tidak terduga, yaitu bermain game rhythm.

“Aku lagi main game ini sih akhir-akhir ini. Tidak terlalu terkenal, tapi susah banget dan seru.”

Saat aku menunjukkan layar HP-ku ke Yuri—

“Eh!? Aku juga punya game ini di HP-ku!”

Yuri, yang tadi tampak seperti bunga layu, tiba-tiba kembali bersemangat dan langsung mengangkat wajahnya.

“Serius, Yuri?”

“Serius!”

Game yang aku mainkan ini punya tingkat kesulitan yang tinggi, bahkan di kalangan pemain game rhythm pun tidak banyak yang memainkannya. Aku pikir tidak akan pernah bertemu orang lain yang juga memainkannya, tapi ternyata ada di dekatku sendiri.

Memang, teman sehobi itu luar biasa.

“Yuri, kita masih punya banyak waktu. Mau tanding sampai waktu tugas selesai?”

“Wah, ide bagus! Ayo kita main!”

Baru saja kami berdua mengeluh karena tidak ada yang bisa dilakukan, tapi akhirnya kami menemukan cara untuk mengusir kebosanan.

Kami pun membuka aplikasi game itu dan memilih mode multiplayer.

"Aku kasih tahu dulu, ya. Aku udah lumayan jago main ini, jadi aku cuma bisa menang!"

Dengan senyum jahil seperti anak kecil, Yuri menyeringai.

"Bagus. Ayo kita lihat siapa yang lebih hebat."

"Kamu yang ngomong gitu, ya? Kalau gitu, yang kalah harus traktir es krim waktu pulang!"

"Jangan tiba-tiba bilang batal di tengah jalan, ya?"

"Tentu saja! Aku pasti menang, kok!"

Dari cara dia mendengus kecil, jelas banget dia penuh percaya diri.

Tapi maaf ya, Yuri.

Aku ini peringkat satu digit di ranking nasional Jepang untuk game ini.

________________________________________

Dua puluh menit setelah permainan dimulai.

"Uwaaaaahhh! Kenapa sih miss-mu dikit banget?! Kamu kuat banget!"

Di sebelahku, Yuri memegangi kepalanya sambil berteriak kencang.

Meski dia punya aura gadis SMA yang ceria, aku tidak menahan diri sama sekali. Aku menunjukkan perbedaan skill yang jelas.

Kami sudah bertanding sepuluh kali, dan aku menang semuanya. Skor kami punya selisih yang sangat jauh—seperti beda satu digit nol.

"Kamu curang! Pasti pakai cheat, kan!"

"Mana mungkin. Aku cuma main biasa aja."

"Lalu kenapa bisa sejauh ini perbedaannya?! Kesel banget!"

Yuri mengatupkan matanya erat-erat dan menggigit bibirnya. Melihat dia seperti itu, aku mulai merasa kalau ini sedikit keterlaluan.

Peringkatku ini di level nasional. Menang dengan selisih sejauh ini juga gak ada gunanya.

"Sekali lagi! Pertandingan berikutnya yang kalah yang traktir! Semua yang tadi kita anggap latihan aja!"

"Kalau dihitung total, aku udah menang mutlak sih... tapi ya udah, ayo kita tentukan pemenangnya di ronde berikutnya."

"Kali ini aku gak akan kalah!"

Yuri tampak bersemangat, tapi beberapa menit kemudian...

"Uwaaaaahhh! Aku kalah lagi! Pasti kamu pakai cheat!"

Reaksinya sama persis dengan tadi.

"Kali ini beneran yang terakhir! Ini pertandingan yang sesungguhnya!"

"Kamu tadi bilang gitu juga. Sampai kapan kita begini?"

"Sampai aku menang!"

"Kira-kira itu bakal terjadi hari ini, gak ya..."

"Aku pasti menang kali ini! Pasti!"

"Tapi lihat deh, waktunya udah hampir habis. Kita buat ini pertandingan terakhir."

Aku melirik jam—hanya tinggal beberapa menit sebelum tugas kami selesai. Kalau lanjut main di perpustakaan pun, kuota dataku bakal terkuras. Aku juga sudah ingin pulang.

"Eh, ya udah deh~. Tapi ini benar-benar yang terakhir, ya! Setuju!?"

Kami pun mulai pertandingan terakhir.

Aku berpikir untuk menyelesaikan ini dengan kemenangan mutlak.

Namun, saat itu—

"Hoo~. Kukira kenapa perpustakaan jadi ramai, ternyata kalian malah asyik main game, ya… Berani juga kau, Sazanami Keido."

"Hah?"

Tiba-tiba terdengar suara dari depan kami, dan aku serta Yuri serempak berseru.

Suara ini...

Dengan perasaan tidak enak, aku dan Yuri perlahan mengangkat kepala.

Dan di depan kami—

Berdiri Hana-Sensei, dengan alis berkerut dan ekspresi penuh amarah.

Berbeda dari biasanya, ada aura tekanan yang luar biasa dari tubuhnya, seakan kemarahan dan niat membunuh menguar di belakangnya.

Bahkan, efek suara "GOGOGO" seperti di manga bisa kulihat dengan jelas.

Gawat. Marah banget dia... Kami terlalu asyik main sampai tidak sadar dia masuk.

Aku dan Yuri gemetar di bawah tekanan luar biasa dari Hana-Sensei.

"Meski membawa ponsel ke sekolah diizinkan, bermain game itu dilarang, kan? Kalian berdua?"

"I-iya…"

"Bukan cuma melanggar peraturan, tapi kalian juga bermain saat sedang menjalankan tugas komite. Menurut kalian, apa perlu ada hukuman untuk murid-murid yang kurang ajar seperti ini?"

"……"

Setelah beberapa detik hening, Hana-Sensei tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke kami dan berkata:

"Sebagai hukuman, setelah tugas komite selesai, kalian berdua harus mencabuti rumput di halaman tengah. Me-ng-er-ti?♡"

Tiba-tiba, dari wajah penuh kemarahan, ekspresi Hana-Sensei berubah menjadi senyuman cerah yang sangat tidak alami.

Serem banget! Dan kenapa harus sedekat ini!?

Meskipun dia tersenyum, aku malah merasa merinding.

Ada emotikon hati di akhir kalimatnya, tapi ini lebih ke ancaman, kan!?

Dia jelas-jelas bilang kalau menolak bukan pilihan!

"Jawabannya?"

"Ba-baik… Kami akan melakukannya…"

Sial! Tinggal sedikit lagi aku bisa pulang! Tapi malah harus lanjut babak tambahan!?

*** 

Karena ketahuan bolos oleh Hana-Sensei, kami akhirnya harus mencabuti rumput di halaman tengah.

Sudah sekitar satu jam kami terus melakukan pekerjaan ini.

Aku mulai merasa lelah. Sampai kapan sih kami harus melakukannya?

Rumput liar yang tumbuh subur ada di mana-mana. Meskipun kami mencabutnya berdua, rasanya tidak mungkin selesai hari ini.

Apa kami harus terus melakukan ini sampai sore?

"Haaah... Kenapa jadi begini..."

Sambil mencabuti rumput, aku bergumam pelan.

Ketika melirik ke arah Yuri, yang juga sedang mencabut rumput di dekatku, wajahnya tampak benar-benar kelelahan.

Wajar saja. Kami seharusnya bisa menikmati waktu luang karena tidak ada kelas siang ini, tetapi malah harus melakukan ini. Tentu saja rasanya jadi lesu dan tak bersemangat.

"Sampai kapan kita harus melakukan ini..."

Hari ini cuacanya cerah. Langit biru membentang luas tanpa satu pun awan.

Di hari seperti ini, rasanya lebih enak jika bisa pergi bermain atau tidur siang.

Sementara itu, murid-murid lain pasti sedang menikmati waktu mereka. Aku ingin cepat pulang...

Saat aku sedang berpikir begitu, Yuri yang sedang mencabut rumput di dekatku tiba-tiba berdiri dan menatapku dengan mata berbinar.

"Nene, Ryo! Lihat ini!"

"Hm? Eh, itu..."

Benda yang dipegang Yuri adalah sebuah bola tenis.

Salah satu bola milik klub tenis putri tampaknya terjatuh di halaman tengah.

"Aku capek. Ayo main tangkap bola sebentar!"

"Main tangkap bola, ya... Hmm, boleh juga. Hitung-hitung menyegarkan pikiran."

Aku pun berdiri mengikuti Yuri.

Setelah kami saling menjaga jarak sekitar sepuluh meter—

"Aku lempar ya, Ryo!"

"Siap!"

Di bawah langit biru, kami mulai bermain tangkap bola.

Aku menangkap bola yang dilempar Yuri, lalu melemparkannya kembali padanya.

Karena belakangan ini aku hanya main game ritme, rasanya menyenangkan bisa bergerak sedikit.

"Hei, Ryo. Aku mau tanya sesuatu, boleh?"

"Tentu saja."

"Belakangan ini kamu sering bareng Hinami, kan? Ada sesuatu yang terjadi?"

...Gik!

Aku langsung merasa canggung mendengar pertanyaannya.

"Kayaknya kalian makin sering bareng. Jangan-jangan, kalian pacaran?"

Dengan seringai jahil, Yuri menatapku seperti anak SMP yang sedang menggoda pasangan.

"T-tidak! Kami tidak pacaran! Hanya saja, yaaa... kami agak lebih akrab, mungkin... e-ehm..."

Karena terjebak dalam perangkap Koi-san, aku dan Hinami jadi lebih dekat. Tapi aku tidak mungkin mengatakan hal itu terus terang, jadi aku hanya bisa mencari alasan sambil mengalihkan pandangan.

Tapi karena aku tampak kebingungan, Yuri justru semakin menyeringai.

"Jadi, kamu berhasil jadi cukup dekat hingga bisa saling memanggil nama dengan 'Gadis Cantik Seabad Sekali' itu, ya~. Ryo juga lumayan jago, nih~."

"B-bukan gitu! Ada banyak hal yang terjadi, makanya begini!"

"Tidak usah disembunyikan~. Mau aku kasih tahu kelemahan Hinami?"

"Kelemahan?"

"Yup! Hinami itu lemah banget kalau dikelitiki di pinggang! Coba deh nanti iseng kelitiki dia! Lucu, lho~!"

"Mana mungkin aku menyentuh pinggang seorang cewek! Itu tidak boleh, tahu!"

"Dengan hubungan kalian sekarang, pasti bisa! Semangat!"

"Cukup menggoda aku, Yuri..."

Aku menatap Yuri dengan kesal.

"Hehe, maaf~. Cuma bercanda kok."

Dia menjulurkan lidahnya sedikit, lalu melempar bola kembali padaku.

Sejujurnya, aku memang semakin sering bersama Hinami akhir-akhir ini.

Dari luar, mungkin wajar jika orang-orang mengira kami pacaran. Tapi untungnya, identitas asliku belum ketahuan, jadi masih lebih baik.

"Serius, aku tidak pacaran dengannya. Jangan sampai menyebarkan gosip aneh, ya?"

"Aku tahu, kok! Tidak usah khawatir~."

Karena percaya pada Yuri, aku tidak menekankan hal itu lebih lanjut.

Setelah itu, kami terus bermain tangkap bola sambil mengobrol.

Tentang pelajaran, tentang acara perkemahan yang akan datang, dan berbagai hal sepele lainnya.

Walaupun percakapannya tidak terlalu penting, entah kenapa rasanya menyenangkan, sampai-sampai kami lupa waktu.

Namun, waktu menyenangkan ini tiba-tiba berakhir dengan cara yang tragis.

"Oh iya! Boleh tidak aku melempar dengan serius sekali saja?"

Semuanya berawal dari perkataan Yuri itu.

"Hah? Serius?"

"Iya! Aku pengen coba melempar seperti pemain bisbol profesional~"

Sepertinya Yuri mulai bosan dengan permainan tangkap bola biasa, jadi dia tiba-tiba mengusulkan ide itu.

Aku bisa memahami keinginannya untuk mencoba melempar seperti seorang pitcher profesional. Aku sendiri dulu saat masih SD, setiap memegang bola bisbol pasti otomatis meniru gaya para pemain pro.

"Boleh aja, tapi pastikan lemparannya tepat sasaran, ya. Aku malas kalau harus mengambil bolanya jauh-jauh."

"Tentu saja! Aku yang jadi pitcher, Ryo yang jadi catcher, ya!"

"Oke, oke."

Yuri mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak denganku, sementara aku menekuk lutut dan bersiap seperti seorang catcher.

"Aku siap kapan aja."

Begitu aku memberikan aba-aba, Yuri pun mulai memasang kuda-kuda layaknya seorang pitcher profesional.

"Oke, aku lempar ya! Kalau bolanya meleset, aku yang akan mengambilnya, jadi jangan khawatir!"

"Baik."

"Oke, aku lempar!"

Yuri mengangkat pahanya dengan gerakan mantap, lalu mengayunkan tangannya dengan kuat untuk melempar bola—

Namun saat itu juga—

"Byuuuh!"

Angin kencang tiba-tiba bertiup dan mengangkat rok Yuri dengan cukup tinggi.

Di saat yang sama, bagian paha putihnya yang biasanya tertutup rok terlihat jelas.

Dan yang lebih buruk lagi—

Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat...

Ya, aku melihat celana dalam Yuri dengan sangat jelas.

Warnanya biru, sama seperti warna rambutnya yang mencolok.

Aku langsung tersentak melihatnya.

I-ini bukan salahku! Ini semua gara-gara angin! Ini murni kecelakaan!

Kalau pun sampai dipermasalahkan, aku akan bersikeras kalau aku tidak bersalah!

Yuri, yang sepertinya sama sekali tidak sadar kalau roknya tersingkap, tetap melempar bola tanpa rasa malu.

Namun, karena angin yang tiba-tiba itu, lemparannya melenceng jauh dari jalurnya.

"Aduh! Gara-gara angin, bolanya jadi melenceng!"

Sambil mengikuti arah terbangnya bola, Yuri berkata seperti itu.

Aku juga menoleh ke belakang untuk melihat ke mana bola itu pergi. Sepertinya cukup jauh.

Sepertinya nanti aku harus mencarinya...

Atau setidaknya itulah yang kupikirkan.

Namun, tragedi sebenarnya terjadi saat itu juga.

"Sasanami, Keido! Kalian beneran mencabuti rumput, kan? Ibu guru datang untuk mengecek kalian!"

Dari sudut halaman tengah, guru wali kelas kami, Hana-Sensei, datang untuk memeriksa keadaan kami.

Dan tepat saat dia melangkah masuk ke halaman—

"DUS!!"

Bola yang dilempar Yuri mengenai dahinya dengan suara yang cukup mengerikan.

Saat melihat kejadian itu, aku merasa seperti jatuh ke dalam lautan es di Antartika.

Tubuhku langsung terasa dingin, dan di saat yang sama, aku menyadari nasibku sudah berakhir.

Bola itu jatuh ke tanah, dan Hana-Sensei, dengan senyum manisnya, berkata—

"Aku datang untuk memastikan kalian benar-benar mencabuti rumput… Tapi ternyata kalian malah bermain tangkap bola, ya? Dan kalian juga berani-beraninya melempar bola ke kepalaku?"

"..."

"..."

Aku dan Yuri menelan ludah.

A-aku tidak bisa bilang apa-apa… Tidak ada satu pun kata yang terlintas di kepalaku!

Sambil menggerakkan jari-jarinya hingga berbunyi "krek krek", Hana-Sensei mendekati kami dengan senyum di wajahnya.

"Sudah bolos dari tugas perpustakaan, sekarang malah bolos mencabuti rumput juga… Sepertinya kalian butuh hukuman yang setimpal, bukan?"

"E-eh, umm..."

"Jangan takut begitu. Aku tidak akan membunuh kalian kok♡"

Serem banget! Ini lebih menakutkan dari film horor mana pun!

"Sasanami, Keido… Kalian harus…"

Wajah Hana-Sensei yang sebelumnya tersenyum, dalam sekejap berubah seperti wajah dewa kematian yang menjaga gerbang neraka—

"Menulis esai refleksi sebanyak LIMA RIBU KATA!!"

"M-maafkan kaamiii!!"

Di hari yang cerah dengan langit biru yang membentang sejauh mata memandang ini—

Aku dan Yuri akhirnya bisa pulang setelah jam delapan malam…

Kenapa hari ini aku sial banget, sih?


Chapter 13: Perkemahan Sekolah

Sekitar satu bulan telah berlalu sejak aku menjadi siswa SMA. Saat itulah acara besar pertama dalam kehidupan sekolah menengahku tiba.

"Baik, semuanya! Aku akan menjelaskan tentang perkemahan sekolah. Dengarkan baik-baik, ya!"

Hana-Sensei, wali kelasku, mengumumkan dengan suara yang bergema di seluruh kelas.

"Perkemahan sekolah adalah acara yang bertujuan untuk mempererat hubungan dalam kelas. Meskipun hanya berlangsung selama satu malam dua hari, gunakan kesempatan ini untuk mendapatkan banyak teman!"

Di sekolah ini, perkemahan sekolah diadakan setelah masuk untuk mempererat hubungan antar siswa dalam kelas.

Sepertinya ini adalah acara tahunan yang sudah menjadi tradisi, dan tetap diadakan meskipun sekolah ini sudah berubah menjadi sekolah campuran untuk laki-laki dan perempuan.

"Baiklah, sekarang kita akan menentukan kelompok dengan undian."

Sambil mengatakan itu, Hana-Sensei meletakkan sebuah kotak di atas meja guru dan melanjutkan penjelasannya.

"Di dalam kotak ini ada kertas dengan huruf A sampai H, masing-masing empat lembar. Kita akan menentukan kelompok berdasarkan hasil undian ini."

Di kelas ini ada total 32 siswa. Dengan empat orang per kelompok, berarti akan ada delapan kelompok.

Dan bagi diriku, undian kelompok ini sangatlah penting.

Karena—

Aku belum punya satu pun teman laki-laki!

Sejak awal masuk sekolah, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Hinami, sehingga bukan hanya teman sekelas laki-laki, tetapi hampir seluruh siswa laki-laki di angkatanku menjaga jarak denganku. Ditambah lagi, dari pagi hingga pulang sekolah, aku selalu bersama Hinami, Koi-san, dan Yuri. Akibatnya, interaksiku dengan siswa laki-laki hampir tidak ada.

Kalau dipikir-pikir, aku selalu bersama tiga gadis itu.

Sementara itu, jumlah siswa laki-laki di kelas ini tidak terlalu banyak, dan mereka sudah membentuk kelompok sendiri, sehingga terasa sulit bagiku untuk mendekati mereka.

Karena itu, melalui pembagian kelompok ini, aku ingin mendapatkan teman laki-laki! Aku harus mempererat hubungan dengan mereka!

"Baiklah, mulai dari siswa yang duduk di sisi lorong, silakan ambil undian satu per satu. Kotaknya akan diteruskan, jadi ambil secara bergiliran."

Setelah mendengar instruksi itu, satu per satu siswa mulai mengambil undian.

Akhirnya, giliran kotak itu sampai padaku.

Dengan jantung berdebar, aku memasukkan tanganku ke dalam kotak dan mengambil satu kertas.

Aku belum akan melihat isinya. Lebih baik aku menenangkan diri dulu sebelum memeriksanya.

Saat aku mencoba menenangkan diri, suara dari sebelahku terdengar.

"Eh? Ryo tidak langsung lihat isi kertasnya?"

Yuri menatap wajahku dengan ekspresi penasaran.

"Iya. Aku ingin menenangkan diri dulu sebelum melihatnya. Aku benar-benar deg-degan…"

"Serius!? Sampai segitunya cuma buat pembagian kelompok!?"

"Yuri, kau tidak mengerti situasiku sama sekali. Aku belum punya banyak interaksi dengan siswa laki-laki di kelas ini! Jadi pembagian kelompok ini sangat penting bagiku!"

Melihat mataku yang penuh dengan semangat membara, Yuri hanya tersenyum canggung dan berkata,

"O-oh begitu… Tenang saja! Aku yakin kau pasti satu kelompok dengan siswa laki-laki lainnya!"

"Semoga saja begitu…"

"Hmm, kira-kira Ryo satu kelompok dengan siapa, ya? Koi-chi dan Hinami dapat kelompok apa?"

Mendengar pertanyaan Yuri, kami langsung melihat ke arah Koi-san dan Hinami yang sudah mengambil undian mereka.

Orang pertama yang menjawab adalah Koi-san.

"Aku di kelompok B."

Setelah itu, Hinami pun ikut berbicara.

"Serius!? Aku juga kelompok B! Yay! Aku bisa satu kelompok dengan Koi-chan!"

Oh, begitu rupanya.

Berarti dari empat orang di kelompok B, sudah ada dua orang yang diketahui.

Yang pertama, si putri sadis, Koi-san.

Yang kedua, "gadis tercantik dalam seribu tahun", Hinami.

Kelompok yang unik banget, sumpah.

"Benarkah!? Kalian berdua juga di kelompok B!? Aku juga!"

Eh, serius!?

Tiga gadis yang selalu bersama bisa berada di kelompok yang sama? Itu peluang yang luar biasa kecil! Sepertinya dewa benar-benar murah hati kali ini.

"Yay! Setelah Koi-chan, sekarang Yuri juga satu kelompok denganku! Aku senang sekali!"

Hinami melompat kegirangan di sebelahku.

Sementara itu, Koi-san hanya merespons dengan tenang,

"Wah, ternyata keajaiban itu bisa terjadi di sekitar kita, ya."

Dia menerimanya dengan santai seperti biasa.

Beda banget dengan Hinami yang ceroboh dan ekspresif, Koi-san memang selalu tampak tenang dan dewasa.

"Tinggal satu orang lagi, ya. Hmm… Jangan-jangan Ryo juga satu kelompok dengan kita? Tapi kayaknya tidak mungkin, sih~"

"Hei, jangan asal bikin flag!"

Kenapa rasanya seperti skenario klasik yang menandakan hal ini akan benar-benar terjadi?

Aku seakan bisa melihat hasil undianku hanya dari alur yang sedang terjadi ini.

Tapi tidak, tidak, tidak! Ini cuma flag! Ini belum tentu kenyataan!

Maaf, tapi demi mendapatkan teman laki-laki, aku sangat berharap aku tidak masuk kelompok B!

Tolonglah, Tuhan! Berikan aku keajaiban!

Setelah menenangkan diri, aku akhirnya membuka kertas undianku.

Dan begitu aku melihat huruf yang tertulis di sana…

Aku langsung membeku seakan berada di tengah badai salju yang membekukan.

Tidak mungkin…

"Eh? Ryo-kun, kenapa tiba-tiba diam setelah melihat hasil undian?"

Hinami, yang penasaran dengan reaksiku, mengintip ke arah kertas yang kupegang dari samping.

"Hmm, kelompok Ryo-kun adalah… Eh? Sama dengan kita di kelompok B! Senang bisa sekelompok denganmu!"

Mendengar itu, Koi-san dan Yuri juga langsung mendekat dengan ekspresi yang jelas menunjukkan keterkejutan mereka.

"Wah, beneran kejadian! Flag-nya kepenuhan sampai beneran kejadian!"

"Oh, ternyata orang terakhir di kelompok kita adalah kamu. Agak mengecewakan, sih."

Sial…

Kenapa begini?

Kenapa selalu begini?!

*** 

Sudah seminggu sejak undian kelompok dilakukan.

Akhirnya, hari yang dinanti tiba—hari keberangkatan ke perkemahan sekolah.

Di alun-alun tempat kami berkumpul, wali kelas kami, Hana-Sensei, berdiri di depan para siswa tahun pertama dengan megafon di tangannya dan mulai berbicara penuh semangat.

"Selamat pagi, semuanya! Hari ini adalah hari perkemahan sekolah yang telah kalian tunggu-tunggu! Ini adalah acara besar pertama di kehidupan SMA kalian, jadi nikmatilah sepuasnya! Buatlah banyak kenangan! Mengerti?!"

Di pagi buta ini, beliau sudah berteriak dengan penuh semangat, sementara para siswa di sekitarku pun langsung merespons dengan suara lantang.

"OOOOOOOOH!!"

Suasana terasa seperti sekumpulan pemburu yang siap berburu. Semua orang tampaknya sangat bersemangat.

"Bagus! Jawaban yang luar biasa! Itu baru siswa SMA! Oh, pas sekali! Busnya juga sudah datang! Sekarang, kalian akan pindah ke dalam bus sesuai kelas masing-masing! Dengarkan baik-baik arahan dari wali kelas kalian!"

Seperti yang dikatakan Hana-Sensei, beberapa bus besar telah berhenti di dekat alun-alun, siap untuk mengangkut kami.

Sesuai ekspektasi dari sekolah bekas khusus putri, bus yang disediakan memiliki nuansa mewah. Rasanya seperti ada lampu gantung di dalamnya! Perjalanan ini sepertinya akan sangat nyaman.

"Kelas A naik ke bus ini! Duduklah dari bagian belakang sesuai urutan!"

Mengikuti arahan Hana-Sensei, kami dari Kelas A mulai naik ke bus yang sudah dipersiapkan.

Perjalanan menuju penginapan akan memakan waktu hampir dua jam.

Dan dua jam di dalam bus berarti kesempatan emas untuk mempererat hubungan dengan teman sekelas!

Aku harus duduk di sebelah anak laki-laki dan memastikan aku bisa akrab dengan mereka!

Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini! Aku akan mendapatkan teman laki-laki di perkemahan sekolah ini, apapun yang terjadi!

Namun, tepat ketika siswa pertama hendak menaiki bus...

"Hana-Sensei, boleh saya bicara sebentar?"

Suara Koi-san menarik perhatian Hana-Sensei dan para siswa lainnya.

"Hmm? Ada apa, Koi?"

"Mengenai tempat duduk di bus, bagaimana jika kita duduk berdasarkan kelompok? Dengan begitu, akan lebih mudah untuk melakukan kegiatan kelompok nantinya."

…Eh?

Barusan Koi-san bilang apa?

Duduk berdasarkan kelompok?

"Oh, itu ide yang bagus! Baiklah! Mulai sekarang, duduklah sesuai kelompok! Kelompok A masuk dulu dan duduk di bagian belakang!"

...

"Tunggu sebentar!!"

APA-AN ITU, KOI-SAN!?

Aku sudah menantikan perjalanan ini untuk bisa lebih dekat dengan anak laki-laki di kelas, tapi sekarang semuanya hancur!!

Kenapa selalu ada yang menghalangi masa mudaku?! Ini tidak masuk akal! Dan kenapa dia tiba-tiba mengusulkan ini?!

"Yuri, ayo duduk bersama."

"Oke! Aku tidak masalah kok~"

Setelah mengajak Yuri duduk bersamanya, Koi-san menoleh ke arahku.

Eh? Kenapa dia melihat ke arahku?

Atau lebih tepatnya... seolah sedang mengamati reaksiku?

Tunggu sebentar.

Hana-Sensei barusan bilang bahwa kita harus duduk berdasarkan kelompok, kan?

Kelompokku terdiri dari Koi-san, Yuri, dan…

...Ah.

Saat itulah aku menyadari kenapa Koi-san melihat ke arahku.

Kursi di sebelahku... secara otomatis jatuh ke Hinami!

Apa dia sudah merencanakan ini sejak awal?!

Wajahku langsung menegang saat aku menyadari hal ini.

Melihat reaksiku, Koi-san hanya menyeringai kecil.

Dasar pelaku utama!!

Aku dijebak lagi!!

Jangan bilang dia sengaja mengusulkan ini ke Hana-Sensei hanya agar aku duduk di sebelah Hinami?!

Dasar Ratu Sadis!! Aku akan menuntutmu suatu hari nanti!!

"Baiklah! Kelompok A, silakan masuk ke bus dulu! Waktunya terbatas, jadi cepatlah!"

Dipaksa oleh perintah Hana-Sensei, aku tidak punya pilihan selain mengikuti kelompokku dan duduk di bagian belakang bus.

Aku mungkin bisa melawan, tapi melawan kombinasi wali kelas dan Ratu Sadis ini? Mustahil.

Aku hanya bisa bersabar.

Perkemahan sekolah baru saja dimulai. Masih ada waktu untuk berbaur dengan anak laki-laki nanti.

Aku harus menahan diri untuk saat ini.

Saat aku mencoba menenangkan diri di kursiku...

"Ryo-kun, boleh duduk di sebelahmu?"

Aku menoleh dan melihat Hinami menatapku dengan ekspresi agak cemas.

"O-Oh. Tidak masalah kok. Silakan duduk."

"Benarkah!? Terima kasih!"

Begitu aku mengizinkannya, wajah Hinami langsung berseri-seri.

Sementara itu, di kursi seberang, duduklah si penyebab utama kekacauan ini: Koi-san dan Yuri.

Kalau saja Ratu Sadis itu tidak ada, aku pasti bisa duduk dengan anak laki-laki sekarang!

Aku menatap Koi-san dengan penuh kebencian dan dendam.

Tatapanku ini seharusnya terlihat seperti seekor binatang buas yang sedang mengancam mangsanya.

Setelah beberapa detik menatapnya tajam, Koi-san akhirnya menyadarinya.

Bagaimana? Takut, kan?

Namun, sayangnya, dia tidak gentar sedikit pun.

Dia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya yang biasa.

Bahkan, dia tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke depan dan menggerakkan bibirnya tanpa suara.

"Sini, kasih tangan."

AKU BUKAN ANJING!!

Dulu, tatapan ini cukup untuk menakuti banyak gadis di SMP, tapi sama sekali tidak mempan padanya!!

"Nikmatilah perjalanan ini."

Setelah itu, dia memberikan senyum iblis dan mengedipkan matanya.

Tidak salah lagi. Dia benar-benar seorang Ratu Sadis.

Aku yakin dia menikmati menyiksaku.

Tolong seseorang, selamatkan akuuuuu!!

--- 

Satu jam setelah bus berangkat.

Di dalam bus, suara obrolan ceria teman-teman sekelas terdengar dari berbagai arah.

Aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan, tapi dari nada suara mereka, jelas sekali kalau mereka sedang sangat bersemangat.

Sementara yang lain sibuk mengobrol, aku sendiri malah...

“Hinami, kamu benar-benar tidak apa-apa…?”

“Ugh… Aku merasa sangat mual…”

Aku merasa tegang. Seperti yang bisa didengar dari percakapan ini, ‘gadis tercantik dalam seribu tahun’ yang duduk di sebelahku ternyata mabuk perjalanan.

Ke-kenapa bisa begini...? Kenapa selalu ada masalah yang datang bertubi-tubi?

“Maaf ya, Ryo-kun... Aku jadi merepotkanmu gara-gara mabuk begini…”

“Tidak apa-apa, jangan dipikirkan.”

Melihat wajah Hinami yang pucat pasi, aku jadi merasa kasihan. Dia kelihatan benar-benar kesulitan.

Tapi kalau kulihat lebih dekat, dia tetap terlihat sangat imut meskipun dalam keadaan lemah seperti ini.

Di sekolah, dia selalu dikenal sebagai siswi yang serius, cerdas, dan dihormati oleh guru maupun murid lainnya.

Melihat sosok sempurna seperti Hinami dalam keadaan lemah begini, entah kenapa hatiku terasa terenyuh.

Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja dan ingin membantunya.

“Ugh... Pusing banget...”

“Sebentar lagi kita sampai di area peristirahatan. Bertahanlah sampai itu.”

“O-oke...”

Hinami berusaha keras menahan mabuknya dengan suara lemah. Tapi tepat ketika dia hampir bisa bertahan, sebuah pengumuman datang sebagai pukulan terakhir.

“Ehem, pemberitahuan untuk para siswa SMA Tokinosawa.”

Tiba-tiba, suara pria paruh baya terdengar di dalam bus. Itu adalah suara sopir.

“Ada kecelakaan di jalan depan sehingga terjadi kemacetan. Kami akan mengubah rute dan melewati jalan berkelok. Harap berhati-hati.”

...Apa? Jalan berkelok? Aku punya firasat buruk tentang ini...

Tak lama setelah itu, bus berbelok dari jalan tol dan masuk ke jalur pegunungan yang penuh tikungan.

Setiap kali bus bergoyang ke kanan dan kiri, wajah Hinami semakin pucat.

Ini gawat! Ini benar-benar buruk!

“Ryo-kun… Aku tidak kuat… Guncangannya bikin makin pusing… Ugh...”

Tubuh Hinami kecil dan ramping. Dalam keadaan seperti ini, dia sama sekali tidak bisa melawan gaya dorong dari bus.

Kalau aku membiarkannya begini terus, nanti dia…

Itu bakal jadi bencana!

Ti-tidak ada pilihan lain! Ini benar-benar darurat!

“Hinami! Pegang lenganku! Dengan keseimbanganku, aku bisa mengurangi guncangan tubuhmu. Pegang erat dan bertahanlah!”

“Ti-tidak, itu bakal merepotkanmu...”

“Tidak apa-apa! Cepat pegang saja!”

“O-oke!”

Hinami langsung menggenggam lenganku dengan erat, bersiap menghadapi guncangan.

Dulu aku pernah belajar bela diri dan melatih keseimbangan tubuhku, jadi aku cukup percaya diri. Aku yakin tubuhku tidak akan banyak terpengaruh oleh guncangan bus.

Tapi… Apa ini? Kenapa rasanya ada sesuatu yang lembut menyentuh lenganku...?

Aku sedikit menoleh ke arah Hinami untuk memastikan…

Tunggu… Yang lembut ini…

I-i-itu kan dada Hinami!?

Dia terlalu fokus memegang lenganku sampai tidak sadar kalau dia menekannya ke tubuhku!

Gawat! Apa yang harus aku lakukan!? Haruskah aku memberitahunya!?

Tapi kalau aku bilang, genggamannya bisa melemah dan mabuknya akan semakin parah.

Aku tidak boleh membiarkan itu terjadi.

Artinya...

Aku harus bertahan sampai kita sampai di tempat peristirahatan!

Serius!? Aku harus menahan perasaan ini, sementara dada Hinami terus menempel ke lenganku setiap kali bus berbelok!?

“Kalau aku berpegangan ke Ryo-kun, guncangannya terasa lebih ringan dan aku lebih tenang. Terima kasih ya...”

Melihat Hinami yang sedang berjuang menahan mabuknya di sebelahku, aku tidak bisa mengatakan apa-apa soal ini!

Ah, sial! Aku tidak punya pilihan lain! Aku harus bertahan sampai kita tiba di tempat peristirahatan!

Dengan sekuat tenaga, aku menahan diriku agar tetap waras.

Tapi… Sejujurnya, aku baru sadar kalau ternyata Hinami punya dada yang cukup besar.

Sambil menahan diri, pikiranku sempat sedikit melayang ke arah itu...

*** 

Setelah beristirahat sejenak di tempat peristirahatan, kondisi Hinami perlahan membaik. Saat kami tiba di penginapan, dia sudah kembali seperti semula, seolah-olah tidak pernah mabuk perjalanan sebelumnya.

Mungkin karena selama perjalanan dia terus berpegangan pada lenganku, sehingga guncangan bus tidak terlalu berpengaruh padanya.

Tentang kejadian di mana dadanya menempel pada lenganku… akan kusimpan dalam-dalam di sudut ingatanku.

Setelah tiba di penginapan, kami langsung memulai aktivitas kelompok.

Kegiatan pertama kami adalah memasak kari di tempat memasak outdoor yang ada di dekat sini.

Karena memasak dilakukan per kelompok, aku bekerja bersama Hinami, Koisan, dan Yuri.

"Baiklah! Ayo kita buat kari yang lezat!"

"Ya! Kari yang kita buat bersama pasti enak!"

Dengan penuh semangat, Yuri dan Hinami mengambil pisau dan mulai memotong kentang, wortel, serta daging babi.

Melihat mereka begitu percaya diri, aku sedikit merasa tenang… tapi itu hanya sebentar.

Ketika aku mengintip cara mereka memotong dari samping…

"Eh? Aku cuma mau mengupas kulit kentangnya, tapi kenapa dagingnya ikut terkupas banyak, ya?"

"U-u-u-uh, bagaimana ini, Yuri!? Aku mau mengupas kulit wortel, tapi malah terbelah dua!"

…Seberapa parah kemampuan memasak kalian berdua, sih…?

Kentang yang tadinya besar kini sudah menyusut drastis, sementara wortel… aku bahkan tidak paham bagaimana mungkin seseorang bisa mengupas kulitnya dan malah membelahnya jadi dua.

"Jangan bilang kalau kalian berdua tidak pernah masak sebelumnya?"

"Eh? Tentu saja pernah!"

"Ya! Aku juga pernah!"

"...Serius?"

Tidak mungkin! Kalau mereka memang punya pengalaman memasak, kenapa hasilnya seperti ini!?

"Kalau begitu, masakan apa yang paling kalian kuasai?"

"Umm… kalau aku, mie instan!"

"Aku juga sama seperti Yuri! Aku paling ahli bikin mie instan! Rasa favoritku yang seafood!"

"Itu bukan masakan, woy! Semua orang juga bisa bikin! Rasanya boleh beda, tapi cara bikinnya tetap sama!"

Gawat!

Di anime romansa, biasanya ada trope di mana heroine tidak bisa memasak, tapi level mereka berdua bahkan jauh lebih buruk dari itu!

Mereka bahkan belum mencapai level memasak dasar!

Kalau begini, kari yang seharusnya enak bisa berubah menjadi sup dari neraka. Makan siang kami bisa berantakan.

A-apa yang harus kulakukan…?

Saat aku hampir putus asa dengan keterampilan memasak mereka, tiba-tiba secercah harapan muncul.

"Hah… Yuri, Hinami, kalian masih saja sama. Sudahlah, minggir sebentar. Aku yang akan mengerjakannya."

Yang berkata demikian adalah Koisan, sang 'Putri Sadis' kelas kami.

Tunggu…!

Dari penampilannya, Koisan terlihat seperti orang yang cekatan.

Pasti dia bisa menggunakan pisau dengan baik!

"Baiklah, saatnya aku serius."

Begitu Koi-san menggenggam pisau di tangannya…

Tantantantantan!

Dia mulai memotong wortel dengan ritme yang sangat rapi.

Sungguh luar biasa!

Seperti yang kuduga, Koi-san memang bisa diandalkan!

"Keren banget, Koi-san. Kamu jago masak, ya?"

"Aku diajari orang tuaku sejak kecil. Jadi, sedikit banyak aku bisa memasak."

"Oh, begitu ya…? Eh, tunggu sebentar. 'Sedikit banyak' maksudnya apa?"

Aku merasa firasat buruk… dan ternyata benar.

Baru saja dia dengan lincah memotong wortel, tiba-tiba…

Bersh!

Terdengar suara samar, dan jari Koi-san teriris sedikit.

"A-aku… melakukannya lagi… Ugh… tanganku sakit…"

"Hah!? Koi-san, kamu tidak apa-apa!?"

"Tenang saja, ini cuma luka kecil."

Se-seriusan…?

Baru bilang bisa masak, tapi dalam waktu kurang dari semenit sudah terluka!?

Untungnya lukanya tidak dalam, hanya goresan ringan, tapi… ke mana perginya aura 'aku bisa masak' tadi!?

"Ahaha~ Koi-cchi masih seperti dulu ya, begitu pegang pisau langsung kena jarinya sendiri."

Yuri berkata dengan ekspresi seolah sudah terbiasa melihat kejadian ini.

"Masih seperti dulu? Maksudnya apa?"

"Koi-cchi itu separuh cekatan, separuh ceroboh. Teknik pisau dia memang keren, tapi dia selalu kena sendiri. Dari dulu tidak berubah sama sekali~"

"…Seriusan?"

Jadi…

Berarti aku satu-satunya orang di kelompok ini yang bisa menggunakan pisau dengan benar!?

Baru saja aku lega karena berhasil sampai di tempat perkemahan, sekarang malah ada masalah baru!?

Tidak ada pilihan lain!

Sambil mengacak-acak rambutku, aku mengambil pisau dari tangan Koi-san.

"Baiklah! Aku yang akan memotong bahan-bahannya, kalian kerjakan bagian lainnya!"

"Baik, mengerti, Ryo-kun!"

"Wah! Ini baru bisa diandalkan! Serahin ke kamu deh, Ryo!"

"Yah… kalau saja tanganku tidak terluka, aku bisa mengerjakannya sendiri. Tapi, untuk kali ini, aku akan mempercayakannya padamu."

Mereka bertiga pun mulai mengurus tugas masing-masing.

Hinami mencuci sayuran, Yuri mulai mencuci beras, dan karena Koi-san tangannya terluka, dia menyalakan api.

Walaupun pengalaman memasakku tidak seberapa, setidaknya aku yang paling bisa di sini.

Dibanding kelompok lain, aku satu-satunya yang bisa memakai pisau, jadi ini bakal memakan waktu lebih lama.

Aku harus bekerja cepat agar tidak tertinggal!

Aku pun mulai memotong bahan-bahan satu per satu.

Saat itulah…

"Yuri, apinya sudah menyala. Bawa kuali ke sini."

"Oke, Koi-cchi!"

Aku menoleh ke arah mereka, dan melihat api menyala dengan cukup besar.

Bagus, ternyata mereka cukup cepat menyalakan api.

Yuri memasukkan beras yang baru saja dicuci ke dalam kuali dan mulai berjalan pelan menuju api.

Sejauh ini, semua berjalan lancar.

Atau setidaknya… itulah yang kupikirkan sebelum kejadian tak terduga terjadi.

"Ah! Bahaya! Ryo, minggir!"

Mendengar suara panik Yuri, aku segera menoleh ke arahnya…

Dan yang kulihat adalah kuali yang terlepas dari tangannya, meluncur lurus ke arah wajahku.

Eh…?

Tunggu, maksudnya apa ini…?

Sebelum sempat bereaksi, kuali itu menghantam kepalaku dengan keras.

Dosh!

Air bercampur beras tumpah ke mana-mana.

Bukan hanya kepalaku yang basah, tapi juga jaket olahragaku.

"G-g-g-gomen, Ryo! Aku kesandung batu dan tanpa sengaja melepaskan pegangan! Maaf banget! A-apa yang harus kita lakukan!?"

Yuri panik, pandangannya melompat ke sana kemari. Dari ekspresinya, jelas sekali kalau dia tidak sengaja.

Memang benar, tempat memasak outdoor ini penuh dengan batu kecil dan besar yang membuatnya mudah tersandung.

"Tidak apa-apa, Yuri. Aku tahu kamu tidak sengaja. Bisa ambilin baju ganti di ranselku? Ada baju olahraga di dalamnya."

"O-oke! Aku segera ambil handuk dan baju ganti!"

Meskipun panik, Yuri segera berlari secepat mungkin. Dalam waktu kurang dari satu menit, dia sudah kembali dengan ransel dan handukku.

"Ini ranselnya, kan!?"

"Iya. Bisa ambilkan atasan baju olahragaku? Waktu kita mepet, jadi aku ganti baju di sini aja."

"Oke!"

Aku langsung melepas jaketku. Baju dalamku juga basah kuyup.

Jujur saja, ada sedikit rasa canggung harus bertelanjang dada di depan para cewek, tapi dalam situasi ini, aku tak punya pilihan lain.

Saat aku hendak mengenakan baju olahragaku…

"Eh…?"

Tiba-tiba, Yuri terdiam dengan ekspresi terkejut.

A-ada apa? Kenapa dia tiba-tiba bengong begitu?

Sebelum sempat bertanya, Yuri perlahan mengulurkan tangan dan menyentuh pundak kananku.

"Ryo… kenapa ada luka di bahu kananmu…? Lu-luka ini… mungkinkah…"

Tatapan Yuri tertuju pada bekas luka di bahuku, penuh dengan kesedihan yang sulit dijelaskan.

"Ini, ya… Aku dapat luka ini waktu masih kelas satu SD, gara-gara kecelakaan lalu lintas. Ada teman yang tiba-tiba lari ke jalan, jadi aku berusaha menyelamatkannya… dan akhirnya terluka begini."

Ada bekas luka yang cukup mencolok di bahu kananku.

Dulu, ketika aku masih kelas satu SD, aku berlari ke jalan untuk menyelamatkan seorang gadis kecil dari kecelakaan. Sebagai akibatnya, aku tertabrak dan mendapatkan luka ini.

Untungnya, hanya bahu kananku yang terkena bagian mobil, jadi aku selamat tanpa cedera serius. Tapi bekas luka ini masih tetap ada hingga sekarang.

Sementara gadis kecil itu… dia sudah pindah ke tempat lain. Aku sama sekali tidak tahu di mana dia sekarang dan apa yang sedang dia lakukan.

Meski begitu, aku tidak pernah merasa perlu menyembunyikan luka ini. Aku tidak merasa malu, juga tidak menganggapnya sebagai kelemahan.

Jadi, biasanya, aku tidak pernah peduli jika ada yang melihatnya.

Tapi kali ini berbeda.

Reaksi Yuri saat melihat luka di bahuku membuatku sedikit bingung.

"Jangan-jangan… Ryo itu anak yang waktu itu…? Tapi… mana mungkin…?"

Ekspresi Yuri berubah seketika, seperti sedang mengingat kembali sesuatu yang traumatis.

Biasanya, dia ceria, penuh energi, dan agak suka bercanda.

Namun kali ini, citra itu perlahan mulai retak.

"Ada apa, Yuri? Kenapa kamu terus menatap luka di bahuku? Apa menurutmu kelihatan menyakitkan?"

"N-ntidak! Sama sekali tidak! Aku cuma… kepikiran sesuatu aja!"

"Oh… kalau begitu, ya sudah."

Ada yang aneh… Tapi aku memutuskan untuk tidak memperdalamnya.

Ekspresi Yuri tadi memang membuatku penasaran, tapi aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Setelah berganti baju, kelompok kami akhirnya berhasil menyelesaikan makan siang tepat waktu.

Walaupun nyaris terlambat, pada akhirnya semuanya berjalan lancar. Kami bisa menikmati makanan dengan lahap.

Namun, selama makan siang, beberapa kali aku menangkap ekspresi sedih di wajah Yuri.

Dan itu terus membebani pikiranku.

*** 

Setelah makan siang, waktu berlalu dengan cepat, dan langit sudah benar-benar gelap.

Meskipun baru pukul delapan malam, suasananya hampir tidak berbeda dengan tengah malam.

Karena berada di tengah pegunungan, sekelilingnya gelap gulita. Ditambah lagi, tidak ada suara kendaraan sama sekali.

Kesunyian dan kegelapan. Dua hal itulah yang mendominasi tempat ini.

Seluruh siswa tahun pertama dikumpulkan di sebuah lapangan kecil di kaki gunung.

Beberapa menit kemudian, wali kelas kami, Hana-Sensei, muncul di hadapan semua siswa sambil membawa megafon.

Setelah menarik napas dalam-dalam, beliau mendekatkan mulutnya ke megafon.

"Oke semuanya! Kalian sudah berkumpul, kan!? Sekarang kita akan memulai acara terakhir hari ini—uji nyali! Nikmatilah masa muda kalian, anak-anak!"

"YEEAAAAAHHH!!"

Siswa-siswa lain berteriak dengan penuh semangat, tidak kalah dari energi yang dikeluarkan Hana-Sensei.

Tepat di belakang kami, ada jalan setapak kecil yang membentang hingga ke tengah gunung.

Setiap siswa akan berjalan berpasangan melalui jalan setapak yang gelap itu. Pasangannya ditentukan secara acak melalui undian. Dan tentu saja, di sepanjang jalan, para guru sudah menyiapkan berbagai kejutan untuk menakut-nakuti kami.

"Oke, sekarang setiap wali kelas akan membawa kotak undian! Ambil satu kertas, lalu cari pasangan dengan nomor yang sama! Setelah semuanya siap, uji nyali akan dimulai!"

Setelah mendengar perintah Hana-Sensei, para wali kelas mulai membagikan undian.

Pasangan harus berasal dari kelas yang sama, tetapi bisa laki-laki atau perempuan, semuanya acak.

Sebenarnya, bagian undian ini cukup membuatku bersemangat, tapi aku bukan orang bodoh.

Sudah banyak kejadian aneh yang kualami sejauh ini. Aku tahu betul bagaimana hasilnya.

Pada akhirnya, pasti akan terjadi sesuatu seperti biasa!

Baiklah, mari kita hadapi saja!

"Baik, berikutnya Keido. Ayo, ambil kertas undianmu. Nomornya sudah tertulis di dalam, dan pasanganmu adalah orang dengan nomor yang sama. Mengerti?"

"Baik, Bu."

Aku sudah pasrah dengan hasilnya, jadi aku dengan santai mengambil undianku.

Sebenarnya, tanpa melihat pun aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Tapi tetap saja, aku melihat nomornya.

Tertulis angka "13".

Hah… Pasti "gadis tercantik dalam seribu tahun" juga mendapatkan nomor 13.

Sambil menggenggam kertas undianku, aku berjalan ke arah Hinami, yang sudah lebih dulu selesai mengambil undian.

"Hinami, nomormu berapa? Jangan-jangan 13?"

"Eh? Tidak, kok. Aku dapat nomor 7."

"Oh, gitu ya… Oke, kalau begitu kita siap-siap—Eh? Tunggu sebentar. Barusan kamu bilang apa?"

"Aku dapat nomor 7…"

"TUJUH!?!"

Apa-apaan ini!? Kalau mengikuti pola sebelumnya, bukankah seharusnya aku berpasangan dengan Hinami!?

Ini aneh!

"Ryo-kun dapat nomor 13?"

"A-ah, iya. Aku dapat 13."

"Oh, begitu… Padahal aku ingin sepasang denganmu…"

"Eh, maaf, barusan kamu bilang apa?"

Karena suaranya tiba-tiba mengecil, aku secara refleks bertanya lagi.

"N-tidak! Bukan apa-apa! A-aku mau cari pasanganku dulu! Sampai nanti, ya!"

"O-oh, baiklah…"

Hinami pun pergi meninggalkanku.

Sepertinya dia agak kecewa, atau itu hanya perasaanku saja?

Tapi tunggu dulu.

Yang lebih penting… siapa pasanganku!?

Aku sudah yakin bahwa Hinami yang akan menjadi pasanganku, tapi ternyata tidak.

Lalu siapa…?

Aku mulai melihat ke sekeliling untuk mencari orang dengan nomor 13. Saat itu, aku mendengar seseorang berbicara.

"Oh, nomorku 13! Kira-kira siapa pasanganku, ya?"

Hm?

Barusan dia bilang 13, kan? Dan suara serta cara bicaranya ini…

Jangan-jangan…

Aku mendekati Yuri, yang baru saja selesai mengambil undiannya.

"Yuri… Kamu dapat nomor 13?"

"Iya! Benar! Ryo dapat nomor berapa?"

"A-aku juga 13…"

"Eh… Serius?"

"Serius."

"Berarti aku berpasangan dengan Ryo, ya?"

"Sepertinya begitu. T-tolong kerja samanya, ya."

"I-iya! Tolong kerja samanya juga!"

Tunggu dulu… Ini bagaimana, Tuhan!?

Bukankah biasanya aku berpasangan dengan Hinami!?

Aku merasa ini akan menjadi malam yang panjang…

Tolong, jangan ada kejadian aneh…!! 



Chapter 14: Masa Lalu

Beberapa saat setelah undian, akhirnya giliran kami tiba.

"Oke! Pasangan berikutnya, ayo maju. Ke sini!"

Sesuai instruksi Hana-Sensei, aku dan Yuri berjalan mendekati pintu masuk.

"Dengar baik-baik, Keido dan Sazanami. Kalian hanya perlu berjalan lurus di jalan setapak di depan ini. Nanti akan ada percabangan, tapi sudah ada papan petunjuk. Ikuti saja arah yang ditunjukkan. Nah, nikmati masa muda kalian!"

Setelah memberikan senyum ceria, Hana-Sensei mendorong punggung kami dengan penuh semangat.

"Baiklah, ayo berangkat."

"Uh-huh!"

Aku dan Yuri pun mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit dan gelap gulita.

Sudah sekitar sepuluh menit sejak kami mulai berjalan.

Awalnya kupikir perjalanan ini hanya akan memakan waktu sepuluh menit, tapi karena belum juga melihat percabangan, tampaknya akan memakan waktu lebih lama dari yang kuduga.

"Woah, jebakan tadi bikin merinding, ya! Ternyata uji nyali ini lumayan menyeramkan!"

Dengan senyum cerah yang sangat mencolok di tengah kegelapan, Yuri tampak sangat menikmati ini.

Sepanjang perjalanan, para guru dan panitia perkemahan sudah menyiapkan berbagai macam jebakan seram.

Tiba-tiba muncul orang berpakaian putih, lalu terdengar suara tawa aneh, dan sebagainya.

Biasanya, para siswi akan menjerit ketakutan saat melihat hal seperti itu…

Tapi Yuri berbeda.

"Whoa! Ryo, lihat itu barusan!? Realistis banget, ya!"

"Hah!? Kok ada suara tawa!? Ayo kita dekati sumber suaranya!"

"Kira-kira bisa tidak, ya, aku berteman dengan hantu?"

Dan reaksi seperti itu terus berlanjut. Bukannya takut, dia malah semakin penasaran, sampai-sampai para pemeran hantu bingung harus bereaksi bagaimana.

"Seriusan, tadi kamu bilang merinding? Matamu malah berbinar-binar gitu, loh."

"Yah, dari dulu aku memang tertarik sama hantu dan fenomena supranatural! Aku suka banget sama hal-hal mistis! Jadi kalau bisa melihatnya secara langsung, aku jadi super excited!"

"O-oh, gitu ya… Itu cukup langka, sih."

Melihat Yuri yang begitu antusias di sebelahku, aku hanya bisa tersenyum canggung.

Tapi serius, ini kenapa jadi keluar dari pola biasanya?

Seharusnya aku berpasangan dengan Hinami, lalu terjadi kekacauan, begitu kan?

Fakta bahwa itu tidak terjadi justru membuatku merasa tidak tenang.

Sambil memikirkan hal itu, kami terus berjalan… hingga tiba-tiba, Yuri berhenti.

"Hm? Ada apa, Yuri?"

"Ada percabangan jalan."

Benar seperti yang dia bilang, di depan kami ada jalan bercabang dengan papan petunjuk di tengahnya.

Salah satu petunjuk bertuliskan, "Untuk uji nyali, lanjutkan ke kanan."

Seperti yang dikatakan Hana-Sensei sebelumnya, kami hanya perlu mengikuti petunjuk ini.

Aku pun bersiap melangkah ke arah kanan, tapi anehnya, Yuri tidak mengikutiku.

"Ada apa?"

"Ryo, gimana kalau kita… lewat kiri?"

"Hah? Kiri?"

"Iya. Sebelum uji nyali dimulai, aku sempat lihat peta. Kalau kita ambil jalan kiri, kita tetap akan sampai di tempat tujuan. Memang agak lebih lama, sih."

"Ehh, tapi lebih baik kita ikuti jalur yang seharusnya, kan?"

"Masih ada banyak waktu. Ayolah, kita lewat kiri saja. Lagipula…"

Yuri mengalihkan pandangannya dan berkata pelan,

"Aku… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Berdua saja."

Setelah sedikit berdiskusi, aku akhirnya mengalah dan setuju untuk mengikuti saran Yuri. Kami pun mulai berjalan menyusuri jalan di sebelah kiri.

Seperti yang kuduga, jalan di sebelah kiri jauh lebih sepi.

Jika sebelumnya ada berbagai jebakan di sepanjang jalan, di jalur ini tidak ada apa-apa.

Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah jeritan dari kelompok lain di kejauhan dan suara burung malam yang terdengar menyeramkan.

Di tengah keheningan ini, hanya ada aku dan Yuri.

Tadi aku sama sekali tidak merasa gugup, tapi sekarang, entah kenapa, aku mulai merasa sedikit tegang.

Mungkin… karena kata-kata Yuri tadi.

"Aku… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."

Selain itu, dia sengaja memilih jalan yang tidak akan diganggu siapa pun, menciptakan situasi di mana kami bisa berdua saja.

Kalau dipikir-pikir lagi, ini sebenarnya situasi yang cukup serius, bukan?

"A-ano, Ryo. Boleh bicara sebentar?"

Yuri, yang sebelumnya diam saat berjalan, tiba-tiba membuka suara.

"Eh? O-oh..."

Dia terdiam sejenak, lalu dengan ekspresi muram, dia mulai berbicara.

"Aku harus memberitahumu sesuatu tentang luka di bahumu."

"…Hah? Luka di bahuku?"

"Iya. Aku sendiri masih sulit mempercayainya… Tapi aku harus mengatakannya. Jadi, tolong dengarkan."

Aku mengangguk pelan.

"Siang tadi, kamu bilang soal luka di bahumu, kan? Katanya kamu mendapatkannya saat menyelamatkan seorang gadis dari kecelakaan."

"Oh… Iya. Waktu itu dia hampir tertabrak, jadi aku buru-buru menyelamatkannya, tapi malah aku yang tertabrak."

"Kalau aku bilang… gadis yang kamu selamatkan itu ada di depanmu sekarang… apa yang akan kamu lakukan?"

"Hah?"

Tunggu sebentar. Apa maksudnya ini?

Kalau yang dikatakan Yuri itu benar, berarti gadis yang aku selamatkan waktu itu adalah…

"Yuri… Jadi kamulah gadis itu!?"

Yuri terdiam beberapa detik, lalu mengangkat wajahnya dengan tegas.

"Iya. Gadis yang kamu selamatkan waktu itu… adalah aku."


Chapter 15: Masa Laluku

(POV Sazanami Yuri)

Saat aku masih kelas satu SD—aku, Sazanami Yuri, tidak memiliki satu pun teman.

Semua orang memanggilku pemurung, dan aku tidak punya kepercayaan diri terhadap wajahku sendiri.

Sekarang kalau kupikirkan lagi, rasanya aku tidak memiliki rasa percaya diri sama sekali. Karena itu, aku sulit bergaul dengan orang lain dan lebih sering sendirian.

Satu-satunya teman perempuan yang bisa kuajak bicara di sekolah tinggal jauh dari rumahku, dan kami bahkan berada di kelas yang berbeda. Karena itu, aku tidak bisa cukup dekat dengannya untuk menyebutnya sebagai sahabat.

Di sekolah, aku hanya membaca buku sendirian setiap hari. Hampir tidak pernah aku berbicara atau bermain dengan siapa pun.

Karena itulah, teman-teman memberiku julukan ini:

"Gadis Pendiam Berambut Acak-acakan."

Rambutku selalu berantakan, dan aku hampir tidak pernah berbicara.

Itulah alasan mereka memberiku julukan itu.

Setiap hari, aku selalu menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Aku mulai membenci hidup seperti itu dan akhirnya berkata kepada orang tuaku bahwa aku tidak ingin pergi ke sekolah lagi.

Akhirnya, selama liburan musim semi kelas satu, aku pindah ke tempat lain.

Aku berpikir bahwa mungkin, di sekolah lain, aku akan bisa diterima. Mungkin saat aku naik ke kelas dua, sesuatu akan berubah.

Aku menyimpan harapan itu di dalam hatiku.

Aku tidak sabar ingin segera pindah ke sekolah baru.

Saat aku menghabiskan liburan musim semi dengan harapan itu—aku mengalami pertemuan yang mengubah takdirku.

Hari itu adalah hari cerah tanpa awan, dengan angin musim semi yang sejuk. Aku masih mengingatnya dengan jelas.

Karena bosan berada di rumah, aku pergi ke taman dan bermain pasir sendirian. Saat itulah—

"Hei! Kamu lagi ngapain sendirian di sini?"

Seorang anak laki-laki yang tidak kukenal tiba-tiba menyapaku.

"Eh...? U-um, siapa kamu...?"

"Aku Ryo! Kemarin aku baru pindah ke sekitar sini karena pekerjaan ayahku!"

Mata anak laki-laki itu—mata Ryo—bersinar penuh semangat.

Kehidupan baru dan pertemuan baru. Aku bisa melihat dari matanya yang bersinar bahwa dia begitu bersemangat menyambut semuanya.

Dia adalah kebalikan dariku. Seperti cahaya dan bayangan.

"O-oh begitu... Tapi sebaiknya kamu tidak berbicara denganku..."

"Di Sekolah Dasar Pertama, mereka memanggilku ‘Gadis Pendiam Berambut Acak-acakan.’"

"Eh!? Kamu dari Sekolah Dasar Pertama!? Setelah liburan musim semi, aku juga akan masuk ke sana sebagai murid kelas dua!"

"...Eh!?"

Aku masih ingat betapa terkejutnya aku saat itu.

Saat aku pindah dari Sekolah Dasar Pertama, Ryo malah masuk ke sana.

"Wah, aku senang sekali! Aku sudah punya teman baru!"

"T-tunggu. Sebenarnya... setelah liburan musim semi, aku akan pindah ke sekolah lain... Jadi kita tidak bisa pergi ke sekolah yang sama."

"Eh!? Serius!?"

"Iya..."

"Oh... Sayang sekali..."

Saat mendengar kata-kata itu, aku merasa sedikit lega. Aku tidak ingin merusak kesan pertama Ryo di sekolah barunya.

Jika dia berteman denganku, dia mungkin juga akan diejek.

Tidak mungkin ada anak laki-laki yang mau berteman denganku.

Aku sudah yakin akan hal itu.

Namun—

"Kalau begitu, ayo kita main bersama sampai kamu pindah!"

"Eh!?"

Saat itu, aku merasa seperti mendengar suara kaca tebal yang menyelimuti hatiku pecah berkeping-keping.

Selama ini, tidak pernah ada orang yang berkata "ayo bermain" kepadaku.

Sejak taman kanak-kanak, aku selalu merasa tidak bisa berbaur dengan teman-teman sebayaku. Bahkan di SD, aku selalu sendirian.

Bagiku, kesepian sudah menjadi hal yang biasa. Aku pikir bermain dengan seseorang adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Tapi, dengan kata-kata sederhana itu, pemikiran itu runtuh.

Perkataan Ryo benar-benar membuatku bahagia. Aku ingin mendengarnya lagi.

Tapi meskipun tembok kaca yang menutupi hatiku telah pecah, aku masih tidak memiliki keberanian untuk melangkah maju.

Aku takut ditinggalkan.

Aku begitu takut sampai tanpa sadar aku berkata—

"A-aku ini membosankan... Dan kalau orang lain melihatmu bersamaku, mereka pasti akan mengejekmu juga."

Kaca yang menyelubungi hatiku telah hilang. Tapi aku masih terjebak dalam cangkang yang kubuat sendiri.

Aku tidak berani melangkah keluar. Aku tidak bisa mengambil langkah pertama yang penting.

Namun, mendengar kata-kataku, Ryo menjawab dengan suara yang penuh keyakinan—

"Aku tidak peduli soal itu! Sendirian itu menyedihkan dan membosankan! Ayo main bersamaku!"

Saat itu, mata Ryo menatap lurus ke arahku.

Tatapannya benar-benar tertuju padaku, tanpa ada kebohongan atau kepalsuan sedikit pun.

Hanya dengan melihat matanya, aku bisa langsung menyadarinya.

"Benar-benar mau bermain denganku?"

Suaraku kecil meskipun aku sudah mengumpulkan keberanian untuk bertanya, tapi Ryo tetap menjawab dengan tegas.

"Tentu saja! Ayo kita main!"

"B-benar…? Kamu mau bermain denganku yang seperti ini?"

"Iya!"

Jika aku menggenggam tangan ini, mungkin masa depanku akan berubah.

Mungkin aku bisa berubah.

Mungkin aku bisa mulai percaya diri.

Dengan seluruh keberanianku, aku perlahan tapi kuat menggenggam tangan yang dia ulurkan.

"T-terima kasih... S-senang bertemu denganmu, Ryo."

"Iya! Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu. Siapa namamu?"

"A-aku Yuri! Namaku Sazanami Yuri!"

"Yuri, ya! Senang bertemu denganmu! Ayo kita main pasir! Aku mau bikin kastil keren!"

"U-uuh! A-aku juga mau membuat istana seperti tempat tinggal seorang putri!"

Kami bermain pasir tanpa memikirkan waktu yang berlalu.

Itu menyenangkan. Benar-benar menyenangkan.

Aku tidak pernah tahu bahwa bermain bersama seseorang bisa sebegitu menyenangkannya.

Seandainya aku bisa bertemu Ryo lebih cepat…

Kurasa ini pertama kalinya dalam waktu yang lama aku tertawa sebebas ini di depan orang lain selain keluargaku.

Aku hampir lupa—ternyata, saat tertawa, kita bisa merasa sedikit lebih bahagia.

________________________________________

Begitulah, menjelang kepindahanku, aku akhirnya memiliki seorang teman laki-laki untuk pertama kalinya.

Kami hanya bisa bersama selama dua minggu sebelum aku pindah.

Tapi kami tidak memikirkan itu sama sekali. Setiap hari, kami bermain bersama tanpa henti.

Ryo selalu bersenang-senang dengan sepenuh hati. Awalnya aku heran, tapi perlahan, aku pun mulai mengikuti semangatnya.

Dibandingkan sebelum liburan musim semi, aku menjadi jauh lebih ceria dan bersemangat.

Seandainya hari-hari seperti ini bisa terus berlanjut…

Saat itu, aku yang masih kelas satu SD benar-benar menginginkannya.

Tapi waktu terus berjalan tanpa menghiraukan perasaanku.

Hari-hari yang menyenangkan itu akhirnya berakhir.

Sehari sebelum kepindahanku—

"Karena ini terakhir kalinya," kata Ryo, sambil membawaku ke kaki gunung tempat kami pernah bermain sebelumnya.

Kami mulai mendaki jalan setapak di gunung bersama.

Aku bertanya kepadanya apa yang akan kami lakukan, tapi dia tidak mau menjawab.

"Nanti juga kamu tahu sendiri," katanya singkat.

Ryo berjalan cepat di depan, dan aku hanya bisa berusaha mengejarnya.

Ketika aku mulai lelah dan kakiku terasa sakit, tiba-tiba Ryo berhenti melangkah.

"Kita sampai! Yuri, sini! Ikut aku!"

Dia langsung berlari, meninggalkanku.

"Tunggu, Ryo!"

Aku berlari sekencang mungkin, berusaha mengejarnya.

Tapi langkahnya lebih cepat, dan aku butuh waktu untuk menyusulnya.

Begitu aku berhasil keluar dari jalan setapak dan sampai di sebuah lapangan terbuka—

Aku langsung terdiam, menahan napas karena terkejut.

"Gimana? Keren, kan!?"

Di depan mataku…

Ada hamparan bunga yang bermekaran di mana-mana, menyambut datangnya musim semi.

Bunga-bunga seperti nanohana, krokus, dan forsythia tumbuh memenuhi tempat itu.

Setiap kali angin berhembus, kelopak-kelopak bunga beterbangan dengan indah.

Aku masih ingat betapa ajaib pemandangannya.

Sungguh, itu sangat indah.

"I-ini luar biasa…! Benar-benar luar biasa!"

"Iya, kan!? Beberapa waktu lalu aku mendaki gunung ini, terus aku cerita ke paman pemilik toko permen. Dia yang memberitahuku tentang tempat ini! Sejak itu, aku sudah memutuskan untuk menunjukkan pemandangan ini padamu di hari perpisahan kita!"

Jadi itu alasannya…

Dia bersikeras membawaku ke sini demi memperlihatkan tempat ini kepadaku.

"T-terima kasih, Ryo! Aku benar-benar senang!"

"Syukurlah! Hahaha!"

Mendengar tawanya, aku pun tertawa lepas.

Aku pikir aku tidak akan pernah bisa tertawa bersamanya lagi.

Jadi, aku tertawa sekeras mungkin, sampai rasanya kehabisan napas.

Dan ketika tawa kami akhirnya mereda, Ryo menatapku dengan serius lalu berkata,

"Yuri. Kamu harus lebih percaya diri! Kamu itu sangat imut, dan aku benar-benar senang bisa bersamamu. Jadi jangan pernah berpikir kalau dirimu tidak berharga, ya?"

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia ucapkan.

Dia bilang aku imut…?

Di sekolah, aku selalu diejek sebagai "gadis pendiam berambut berantakan," jadi aku sama sekali tidak percaya diri dengan penampilanku.

Lagipula, tidak pernah ada anak laki-laki yang mengatakan hal seperti itu kepadaku sebelumnya.

"B-benarkah…? Aku… imut?"

"Tentu saja! Kalau kamu lebih ceria, pasti banyak yang bakal suka sama kamu! Kamu pasti bisa jadi lebih cantik lagi! Aku yakin itu!"

"T-terima kasih… A-aku benar-benar senang…"

Saat itu, aku pasti sudah semerah apel matang.

Sampai sekarang, aku masih ingat betapa bahagianya aku saat itu.

Bagaimanapun juga, aku ini…

Aku selalu berpikir negatif tentang diriku sendiri.

Tapi kata-kata Ryo mengubahku.

Untuk pertama kalinya, aku mulai percaya diri.

Mungkin itulah sebabnya aku tiba-tiba mengucapkan janji ini…

"U-umm, Ryo! Saat kita bertemu lagi nanti, aku akan jadi lebih modis! Aku akan jadi lebih cantik! Jadi… u-umm… saat kita bertemu lagi nanti, tetaplah jadi temanku, ya? Aku ingin kita bermain bersama lagi…"

Aku memejamkan mata erat-erat dan mengumpulkan semua keberanianku.

Bagaimana jika dia menolakku…?

Biasanya, aku pasti akan berpikir seperti itu.

Tapi kali ini, aku berani mengatakannya. Aku mengatakannya dengan sekuat tenaga.

Kalau aku tidak mengatakannya sekarang, aku pasti akan menyesal selamanya.

Perasaan itu yang mendorongku untuk berbicara.

"Apa yang kamu bicarakan, Yuri? Kita ini sudah teman, kan? Saat kita bertemu lagi nanti, dan kapan pun itu, kita pasti akan bermain bersama! Aku tidak sabar melihat versi kamu yang lebih cantik nanti!"

"U-uh! Iya!"

Angin berhembus, menggoyangkan rerumputan dan bunga-bunga di sekitar kami.

Aku dan Ryo mengaitkan jari kelingking kami, membuat sebuah janji.

Kami tidak tahu kapan kami akan bertemu lagi.

Tapi aku sangat ingin memperlihatkan versi terbaik dari diriku saat aku bertemu dengannya kembali.

Saat itu, aku merasa ini adalah pertama kalinya aku menyukai seseorang… begitu dalam.

Tapi setelah ini—

Sebuah tragedi menimpa aku dan Ryo.

*** 

Setelah membuat janji, aku dan Ryo menuruni gunung sebelum matahari terbenam, berjalan pulang bersama.

Sampai kami bertemu lagi, aku tidak bisa berjalan di sampingnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dari samping.

Itulah sebabnya aku ingin menggenggam tangannya untuk terakhir kalinya.

Tapi aku merasa sedikit malu, dan ada perasaan aneh yang menggelitik di dalam dadaku…

Pada akhirnya, aku tidak bisa melakukannya.

Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah mencuri pandang ke arahnya dari samping.

"Kira-kira kapan kita bisa bertemu lagi, ya?"

Sambil menatap langit yang telah berubah warna menjadi oranye senja, Ryo berkata demikian.

"A-aku tidak tahu. Tapi, sampai kita bertemu lagi, aku akan belajar banyak tentang fashion. Aku akan menjadi lebih cantik!"

"Oh! Kalau begitu aku juga harus menjadi lebih keren agar tidak kalah dari Yuri!"

"T-tapi kamu sudah cukup keren, Ryo…"

"Hah? Barusan kamu bilang apa?"

"T-tidak apa-apa! Jangan dipikirkan, aku hanya bicara sendiri…"

Aku mengatakannya dengan suara yang sangat pelan, jadi mungkin Ryo yang berdiri di sampingku tidak mendengarnya.

Ryo memang sedikit lamban dalam hal seperti ini. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur dia tidak mendengarnya atau malah kecewa.

"Kalau kita bertemu lagi nanti, ayo main bersama lagi!"

"I-iya! Mari kita buat banyak kenangan!"

Hanya dengan mendengar kata-kata itu, aku sudah merasa sangat bahagia dari lubuk hatiku.

Bertemu dengan Ryo telah mengubah banyak hal dalam diriku. Aku menjadi sedikit lebih percaya diri, rasa harga diriku pun meningkat.

Dan yang terpenting…

Aku belajar apa itu cinta. Aku bisa mencintai seseorang dari lubuk hatiku yang terdalam.

Saat aku bertemu dengannya lagi nanti, aku ingin menunjukkan versi terbaik dari diriku. Aku ingin menggenggam tangannya.

Aku ingin bermain dengannya lagi.

Sambil berjalan di samping Ryo, aku berpikir seperti itu dengan sangat kuat…

Namun saat itu juga—

Takdir yang kejam datang menghampiri.

________________________________________

"Mobil lepas kendali! Cepat menyingkir!"

Teriakan para orang dewasa di depan membuatku tersentak.

Saat itu, aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan "mobil lepas kendali". Aku hanya berhenti di tempat setelah mendengar suara mereka.

"Hei, kalian berdua di sana! Cepat lari dari situ!"

Mendengar suara itu, aku akhirnya mulai menyadari apa yang sedang terjadi.

Dari arah jalan yang tadi dilalui orang-orang dewasa, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah kami.

Aku bisa melihat dengan jelas sepasang kakek-nenek sedang mengendarainya.

Kalau terus seperti ini, aku akan tertabrak. Aku mungkin akan mati.

Aku sadar akan hal itu, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku hanya berdiri di tempat, membeku di hadapan kematian yang semakin mendekat.

Aku akan mati… Apakah aku akan mati di tempat seperti ini?

Saat pikiran itu melintas di benakku—

"Yuri! Cepat lari!"

Tepat ketika mobil itu hampir menabrakku, Ryo yang ada di sampingku tiba-tiba mendorongku dengan keras.

Dunia terasa berguncang, dan tubuhku terpental keluar dari jalur mobil itu.

Berkat Ryo, aku berhasil menghindari tabrakan tepat pada waktunya.

Tapi Ryo, yang menyelamatkanku, tidak seberuntung itu.

________________________________________

GONK!

Suara benturan keras menusuk telingaku.

Awalnya, aku tidak tahu suara apa itu. Tapi melihat reaksi orang-orang di sekitar, aku mulai memahami situasinya.

"Seorang anak tertabrak!"

"Cepat panggil ambulans!"

"Bahu anak itu berdarah! Cepat hentikan pendarahannya!"

Suara benturan tadi berasal dari tabrakan antara mobil dan bahu Ryo.

Ryo, yang tadi berjalan di sampingku, kini terlempar beberapa meter ke belakang, tergeletak di tanah.

Darah berceceran di sekitarnya, dan jelas dia mengalami luka parah.

Orang-orang dewasa segera berlari mendekatinya, mencoba menghentikan pendarahan dan memberikan pertolongan pertama.

Sementara semua orang berusaha menyelamatkannya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdiri di sana, dipenuhi rasa takut yang luar biasa.

Demi menyelamatkanku, Ryo mengorbankan dirinya sendiri.

Kenyataan itu menghancurkan hatiku.

Orang yang paling aku sayangi terluka karena aku.

Ryo, yang tadi begitu ceria dan penuh semangat, kini berjuang menahan rasa sakit dengan air mata mengalir di wajahnya.

Pemandangan itu begitu menyakitkan, sampai aku tidak sanggup melihatnya. Aku bahkan tidak bisa mendekatinya.

Seharusnya, akulah yang tertabrak.

Tapi justru Ryo yang mengalami ini…

Ini salahku.

Aku yang telah menyakitinya.

Kalau saja aku lebih sigap… Kalau saja aku segera menghindar, hal ini tidak akan terjadi.

Ryo tidak akan terluka.

Dan kalau dia mati… Itu semua salahku.

Pikiran penuh penyesalan dan ketakutan terus menghantuiku.

Pada akhirnya, aku hanya bisa menangis di tempat.

Lima menit kemudian, ambulans datang dan membawanya pergi.

Tapi aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.

Aku tidak bisa mendekatinya.

Aku bahkan tidak bisa mengatakan terima kasih padanya.

Dan begitulah… aku dan Ryo berpisah di tempat itu.

*** 

Keesokan harinya setelah kecelakaan.

Aku yang baru saja pindah rumah mengurung diri di kamar baru.

"Kemarin sore, di Kota Raraku, terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh seorang pengemudi lanjut usia. Beruntung tidak ada korban jiwa, namun sepuluh orang mengalami luka berat dan ringan akibat insiden ini. Pria berusia sembilan puluh tahun yang mengemudikan mobil tersebut mengatakan, ‘Tiba-tiba kecepatan mobil meningkat. Itu bukan salahku. Mobilnya yang bermasalah,’ dalam keterangannya kepada polisi.”

Suara siaran berita siang terdengar dari ruang tamu. Jika kata-kata pembawa berita itu benar, maka Ryo masih hidup.

Tapi dia mengalami luka parah.

Mungkin saja ada dampak jangka panjang yang tersisa akibat kecelakaan itu.

Kalau benar begitu, tidak diragukan lagi bahwa itu adalah salahku. Aku ingin meminta maaf, ingin menemuinya.

Tapi aku bahkan tidak tahu di mana rumah Ryo.

Saat ini, tidak ada hal yang bisa aku lakukan…

Sambil meringkuk di tempat tidur, aku terus-menerus menyalahkan diri sendiri.

Apakah semuanya akan berakhir begitu saja tanpa aku bisa berbuat apa-apa?

Apakah aku akan terus menyesalinya selamanya?

Akankah aku, suatu hari nanti, melupakan Ryo?

Ketika perasaan menyesal ini hampir membuat hatiku kembali tertutup oleh lapisan kaca tebal…

"Sampai kita bertemu lagi, aku akan menjadi lebih modis! Aku akan menjadi lebih cantik!"

Aku tiba-tiba teringat akan janji itu.

Ah, benar…

Aku harus berhenti menyalahkan diri sendiri.

Aku harus berhenti menangis.

Aku harus berhenti menyangkal diriku sendiri.

Karena…

Sejak aku membuat janji itu, aku telah memutuskan untuk berubah.

Aku sudah memutuskan bahwa saat kita bertemu lagi nanti, aku akan menjadi lebih modis, lebih cantik!

Aku sudah memutuskan untuk menjadi versi baru diriku yang lebih percaya diri!

Saat aku bertemu Ryo lagi nanti, aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkanku—dengan diri baruku yang telah berubah!

Tekad itu memperbaiki hatiku yang hampir hancur dan memberiku kekuatan.

Aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku ingin mengubah diriku agar siap ketika momen itu tiba!

Sejak hari itu, aku mulai berusaha untuk mengubah diri.

Aku merengek kepada ibuku agar membelikan majalah fashion terbaru, mencoba mengubah gaya rambutku, dan melakukan apa pun yang bisa kulakukan.

Suatu hari nanti, saat aku bertemu denganmu lagi, aku ingin menyampaikan rasa terima kasihku dengan versi terbaik dari diriku.

Hingga hari di mana aku bisa bertemu Ryo lagi, aku terus berusaha dan berjuang.


Chapter 16: Maaf

"Jadi, Yūri adalah gadis kecil waktu itu…?"

"Aku tahu ini mendadak dan sulit dipercaya. Tapi aku masih mengingatnya, waktu singkat yang kita habiskan bersama, Ryō. Kita pernah pergi ke gunung bersama, kan? Ke sungai juga. Kita pernah bermain game ritme di konsol. Dan kita juga pernah membuat janji di ladang bunga..."

Suara Yūri semakin lirih dan bergetar.

Lalu, tanpa kusadari…

Air mata mulai mengalir dari matanya.

Tetesan air mata jatuh perlahan di pipinya.

"Hei!? Kenapa kau tiba-tiba menangis, Yūri!?"

Yūri hanya menundukkan kepala dan terisak. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis.

Tapi melihatnya seperti itu, aku ikut merasa sedih.

Setelah beberapa saat terdiam, Yūri mengangkat wajahnya. Dengan air mata yang deras mengalir, dia berkata,

"Waktu itu… aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padamu, Ryō! Kau sudah menyelamatkanku, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa! Aku tidak bisa mengatakan apa pun! Aku… aku selalu ingin bertemu denganmu lagi..."

Dia menggenggam tangannya erat dan melanjutkan,

"Maaf… Waktu itu kau sudah menyelamatkanku, tapi aku pergi tanpa sempat mengucapkan terima kasih… Aku takut. Aku takut kau akan mati karena aku. Aku tidak bisa melakukan apa pun. Perasaan itu selalu menghantuiku… Aku sangat menyesal..."

Ah, begitu…

Akhirnya aku mengerti kenapa Yūri menangis.

Di balik pertemuan yang seharusnya mengharukan, dia justru menangis penuh kesakitan…

Karena dia menyesali kepergiannya setelah kecelakaan itu.

Saat aku sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Jujur saja, aku tidak ingat banyak tentang kejadian itu.

Ketika kesadaranku pulih sepenuhnya, beberapa hari sudah berlalu.

Tidak heran jika Yūri sudah tidak ada di sana.

Melihatnya berusaha keras mengungkapkan perasaannya, aku pun perlahan berbicara,

"Jangan menangis. Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Walaupun hanya sebentar, aku sangat menghargai kenangan yang kita buat bersama. Dan aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu lagi, Yūri."

"Ke-kenapa...? Kenapa kau begitu baik padaku...? Aku ini melarikan diri, tahu!? Kau adalah penyelamat hidupku, tapi aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih! Seharusnya kau membenc—"

"Itu tidak mungkin!"

Saat Yūri hendak melanjutkan, mulutku bergerak lebih cepat dariku.

Aku mengatakannya tanpa sadar.

"Melihat teman di ambang kematian dan tidak berbuat apa-apa, itu lebih tidak masuk akal, kan? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Aku terluka di bahu, tapi aku tidak pernah menyesalinya."

"T-tapi... Ke-kenapa kau tidak membenciku...? Aku..."

"Aku menyelamatkanmu karena aku ingin. Bagaimana bisa aku membencimu? Jika kau tidak mengalami luka serius, maka itu sudah cukup bagiku. Aku bersyukur kau baik-baik saja."

"B-benarkah...? Kau benar-benar tidak membenciku...?"

Dengan bibir yang gemetar, air mata Yūri mengalir lebih deras daripada sebelumnya.

Dari ekspresinya saja, aku bisa melihat betapa lama dia menanggung perasaan ini.

Dia ingin berbicara. Dia ingin bertemu.

Namun selama bertahun-tahun, dia tidak bisa melakukannya.

Dan akhirnya, semua perasaan itu kini terlepas.

Tidak heran kalau dia menangis seperti ini…

Aku melangkah maju, selangkah demi selangkah mendekatinya.

Lalu…

Aku dengan lembut memeluknya.

Bagi seorang laki-laki yang bahkan bukan pacarnya, ini mungkin terasa aneh.

Tapi aku tidak tahu cara lain untuk menunjukkan bahwa aku benar-benar tidak menyalahkannya.

"Yūri, jangan pikirkan lagi. Kembalilah menjadi dirimu yang ceria seperti dulu. Ayo kita bermain bersama lagi. Jadi… berhentilah menyalahkan dirimu sendiri."

Di dalam pelukanku, Yūri berbisik lirih,

"Maaf, Ryō… Aku benar-benar minta maaf..."

"Aku sudah mengerti perasaanmu. Jadi, jangan minta maaf lagi."

"…Mm."

Dengan tangan kecil dan kurusnya, Yūri perlahan melingkarkan lengannya di pinggangku dan memelukku erat.

Lalu, dengan suara pelan, dia berkata,

"Terima kasih, Ryō… Terima kasih karena telah menyelamatkanku waktu itu."

Setelah beberapa detik dalam pelukan itu, Yūri perlahan melepas tangannya dan menjauh dariku.

Saat aku melihat ekspresi Yūri sekarang, matanya masih merah dan sedikit bengkak, tetapi air matanya sudah berhenti. Wajah yang sebelumnya penuh kesedihan kini telah berubah.

"Sudah cukup menangis?"

"Iya. Aku sudah tidak apa-apa. Aku akhirnya bisa mengatakan apa yang selama ini ingin kukatakan. Terima kasih."

"Begitu ya. Kalau begitu, baguslah. Tapi tetap saja, aku sama sekali tidak menyangka kalau gadis kecil waktu itu adalah kau, Yūri."

Begitu aku mengatakannya, Yūri tiba-tiba mendekat dengan wajah penuh semangat.

"Bagaimana? Aku sudah berubah? Aku sudah memenuhi janji waktu itu?"

"Ah… Kau jadi sangat cantik."

"Terima kasih, Ryō. Fufu~."

Yūri tersenyum manis untuk terakhir kalinya.

Melihat senyuman itu, aku merasa lega. Sepertinya dia sudah tidak memiliki beban di hatinya lagi.

Rantai yang selama ini mengikat hati Yūri telah terlepas sepenuhnya.

"Baiklah! Ayo lanjutkan uji nyali kita! Kalau kita tidak segera kembali, nanti guru tahu kalau kita keluar jalur!"

"Iya! Ayo pergi!"

Kami berdua kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit dan gelap.

Masih ada jarak yang harus ditempuh, tapi kami bisa menikmatinya sambil mengobrol.

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba…

Yūri menggenggam tanganku dengan lembut.

"Eh?"

Aku terkejut dengan kejadian tak terduga ini.

Saat menoleh ke arahnya, aku melihat Yūri menundukkan kepala dengan wajah yang memerah.

A-apa-apaan ini?

Kenapa dia tiba-tiba menggenggam tanganku?

"Ka-kalau suatu hari kita bertemu lagi, aku ingin melakukan ini…"

"Eh? Apa maksudnya?"

"Ja-jangan dipikirkan! Aku hanya merasa sedikit takut, jadi aku menggenggammu. Kalau kau tidak suka, aku bisa melepaskannya."

"Kalau begitu, tidak masalah. Aku tidak keberatan."

Dengan tetap menggenggam tanganku, Yūri kembali melangkah di jalan setapak pegunungan ini.

Sepanjang kami bergandengan tangan, tidak ada obrolan di antara kami.

Aku sempat berpikir untuk memulai percakapan, tetapi ketika melihat ekspresi Yūri, aku mengurungkan niatku.

Tidak, lebih tepatnya, aku merasa lebih baik membiarkannya begitu saja.

Dia tampak sangat bahagia, dengan senyuman tipis yang hampir tidak terlihat di bibirnya.

Rasanya, diam seperti ini lebih baik daripada mengobrol.

Setelah berjalan selama lima menit, kami akhirnya melihat tujuan kami di depan.

Sebentar lagi uji nyali ini akan berakhir. Banyak hal telah terjadi, tetapi ini akan menjadi kenangan yang berharga.

"Kita hampir sampai."

"Benar! Rasanya cepat sekali, ya!"

Sekarang, wajah Yūri tidak lagi menunjukkan kesedihan ataupun rasa sakit.

Dia telah kembali menjadi Yūri yang ceria dan penuh energi seperti biasanya.

Meskipun matanya masih sedikit merah, sih.

"Kalau kita sampai dengan keadaan begini, pasti akan jadi bahan gosip. Lebih baik kita lepaskan tangan kita."

"U-uh, iya. Kau benar. Maaf, ya."

"Tidak masalah, aku baik-baik saja."

Jika kami sampai di tujuan sambil bergandengan tangan, itu pasti akan memalukan.

Aku pun perlahan melepaskan tangannya dan kembali melangkah.

Begitu kami melewati jalan kecil dan sempit ini, uji nyali akan berakhir.

Aku menguatkan diri dan mempercepat langkah.

Namun saat itu—

"Ah, maaf, Ryō! Tali sepatuku terlepas. Kau bisa jalan duluan?"

"Kau yakin bisa sendiri?"

"Tentu saja! Aku baik-baik saja! Jadi, jalan duluan saja!"

"O-oke…"

Didorong oleh Yūri, aku pun kembali berjalan.

Entah kenapa dia terdengar sedikit memaksa, tapi sudahlah.

Bagaimanapun, bisa bertemu kembali dengan gadis kecil waktu itu adalah sebuah keajaiban bagiku.

Aku sangat senang. Namun, biasanya setelah kejadian bahagia seperti ini, selalu ada masalah yang muncul.

Seperti sebuah pola yang tidak bisa dihindari.

Saat aku sedang berpikir seperti itu…

"Maaf! Aku sudah selesai mengikat talinya!"

Aku mendengar suara Yūri dari belakang.

Bersamaan dengan itu, aku juga mendengar suara langkah kaki yang kuat menendang tanah.

Dia berlari mendekat.

"Sedikit lagi, ayo semangat—"

Namun sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku,

Yūri yang berlari dari belakang tiba-tiba menarik lenganku dengan kuat.

Saat aku masih terkejut dengan kejadian yang tiba-tiba ini, Yūri berbisik pelan.

"Ini sebagai ucapan terima kasih karena kau telah menolongku waktu itu."

Sesaat setelah itu, aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.

Awalnya, aku sama sekali tidak mengerti apa yang baru saja menyentuh wajahku.

Namun, begitu aku menoleh ke arahnya—aku langsung menyadarinya.



Setelah menarik tanganku, Yūri mengecup pipiku.

"Apa!?"

Aku terkejut sampai puncaknya dan spontan mengambil jarak darinya.

T-tidak mungkin!?

Barusan… aku dicium di pipi!?

Malu dan panik bercampur menjadi satu, membuat tubuhku terasa panas dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Melihat reaksiku, Yūri hanya menyeringai seperti iblis kecil yang usil.

"Ini rahasia kita berdua, ya? Oke, aku duluan!"

Seolah tidak terjadi apa-apa, dia pun berlari mendahuluiku.

A-apa barusan itu!?

Mengucapkan terima kasih dengan ciuman!? Jangan-jangan Yūri sebenarnya…

T-tidak mungkin! Tidak mungkin!

Mungkin ini cuma kebiasaan seperti di luar negeri, di mana ciuman hanya sekadar sapaan! Tidak ada hubungannya dengan perasaan suka atau semacamnya!

Lagipula, selama ini aku tidak pernah populer di kalangan cewek!

Tapi… rasanya tetap ada yang janggal.

Jangan-jangan Yūri memang…

Ah, aku tidak tahu! Aku benar-benar tidak mengerti!

Apa maksud dari semua ini!?

Ketidakpastian itu terus berputar di dalam kepalaku, membuatku semakin bingung dan gelisah.

*** 

Sekitar tiga puluh menit setelah aku dan Yūri mencapai garis akhir, pasangan terakhir akhirnya tiba di titik kumpul.

Selama menunggu semua berkumpul, aku menghabiskan waktu dengan menatap langit malam, jadi aku tidak terlalu merasa bosan.

Karena hampir tidak ada awan, bintang-bintang terlihat begitu jelas. Pemandangan ini sangat indah dan mengagumkan—jauh berbeda dari yang bisa kulihat di planetarium.

Namun, ada satu hal yang menggangguku...

Sejak tadi, baik saat aku melihat bintang-bintang maupun ketika aku membeli air di mesin penjual otomatis, Yūri terus tersenyum dan mengajakku berbicara.

Bahkan, beberapa kali dia diam-diam menggenggam tanganku agar tidak ketahuan oleh yang lain.

Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu, tapi aku memilih untuk tidak menanyakannya.

Entah kenapa, aku merasa bahwa tetap berada di sisinya adalah pilihan terbaik saat ini.

Aku tidak bisa dengan mudah melupakan wajah Yūri saat menangis tadi.

Yūri yang biasanya penuh semangat, menangis begitu deras dengan suara yang terdengar lemah.

Kesedihan dan penyesalannya, keinginannya untuk bertemu denganku dan meminta maaf, semua itu terasa sangat nyata bagiku.

Mungkin sebaiknya aku tetap di sisinya sampai hatinya benar-benar merasa tenang...

Bahkan saat perjalanan kembali ke penginapan setelah uji nyali selesai, aku dan Yūri tetap tidak berpisah.

Namun, ada satu hal lain yang menarik perhatianku.

Tatapan Hinami.

Beberapa kali, aku melihatnya menatap ke arahku dan Yūri.

Bukan tatapan seseorang yang ingin mengatakan sesuatu.

Ah, aku tahu tatapan itu...

Tatapan yang penuh rasa iri.

Chapter 17: Perasaanku

Setelah uji nyali berakhir, tiba waktunya untuk mandi.

Sambil berendam di pemandian air panas terbuka, aku terus teringat pada pemandangan tadi—Yūri dan Ryō-kun yang berbincang dengan ceria.

Aku tahu mereka memang sudah akrab sejak lama. Tapi... rasanya mereka tiba-tiba menjadi lebih dekat.

Terutama Yūri. Dia terus tersenyum saat berbicara dengan Ryō-kun, dan bahkan beberapa kali menggenggam tangannya.

Apa yang terjadi saat uji nyali tadi?

Aku membenamkan mulutku ke dalam air panas, meniupkan gelembung-gelembung kecil.

Saat kutanya langsung pada Yūri, dia hanya tertawa riang dan berkata, "Eh? Tidak ada apa-apa, kok~. Cuma... ada hal yang bikin aku senang aja~."

Blub, blub, blub...

Semakin kupikirkan, semakin banyak gelembung yang keluar.

Aku penasaran. Aku benar-benar penasaran.

Ini pertama kalinya aku melihat Yūri berbicara dengan seorang laki-laki dengan ekspresi sebahagia itu.

Jangan-jangan... Yūri jatuh cinta pada Ryō-kun?

Jika memang begitu, banyak hal yang tiba-tiba masuk akal.

Mungkin sesuatu terjadi saat uji nyali tadi, dan dari situlah perasaannya mulai berkembang.

Tidak, bukan mungkin. Aku yakin itulah yang terjadi.

Aku sudah bersama Yūri sejak SMP, jadi aku bisa merasakannya.

Jadi... Yūri sedang mengalami cinta baru, ya...

Sebagai sahabatnya, aku merasa senang untuknya. Aku ingin mendukungnya.

Tapi...

Tapi kenapa hatiku terasa sesak?

Kenapa aku merasa cemburu?

Blub, blub, blub, blub...

Kalau nanti Ryō-kun dan Yūri benar-benar berpacaran... bagaimana jadinya?

Kalau Ryō-kun berhenti memperhatikanku...

Kalau dia lebih mencintai gadis lain dibanding aku...

Hanya membayangkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak.

Seluruh tubuhku seakan menolak menerima kenyataan itu.

Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku jadi seperti ini?

Saat aku masih larut dalam pikiranku—

"Oh! Ini kan Kujō! Enaknya banget, ya, sendirian di pemandian terbuka. Aku boleh ikut, tidak?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu masuk pemandian. Aku langsung menoleh dan melihat Hanaka-sensei berdiri di sana dengan handuk melilit tubuhnya.

"H-Hanaka-sensei!? Sejak kapan Anda di sana?"

"Sejak tadi. Aku pengen mandi duluan sebelum guru lain datang. Bolehlah aku duduk di sebelahmu?"

Hanaka-sensei langsung masuk ke pemandian, wajahnya terlihat sangat puas saat merasakan kehangatan air.

"Ahh~ ini enak banget! Ngomong-ngomong, yang lain ke mana? Sejauh yang kulihat, cuma ada kamu di sini."

"Mereka sudah keluar duluan. Aku masuk agak telat karena butuh waktu lebih lama untuk bersiap."

"Begitu, ya~. Wah, enak juga ya, bisa menikmati pemandian berdua aja begini."

"Iya, memang..."

"...Kujō. Ada sesuatu yang terjadi, ya?"

"Eh?"

Tiba-tiba, Hanaka-sensei menatapku dengan serius.

Biasanya, dia adalah sosok guru yang santai—lebih mirip kakak perempuan daripada seorang guru.

Tapi kali ini, ada sedikit keseriusan dalam tatapannya.

"T-Tidak ada apa-apa, kok..."

"Hey, santai aja. Aku juga perempuan. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, aku siap mendengar. Ah, atau jangan-jangan... kamu lagi khawatir soal ukuran dadamu yang terlalu besar?"

"A-APA!? N-Tidak mungkin aku mikirin hal kayak gitu!"

"Wajahmu merah, lho. Hahaha, aku cuma bercanda."

Wajahku semakin panas, dan aku hanya bisa membenamkan mulutku ke dalam air lagi.

"Apapun yang terjadi, coba ceritakan padaku. Aku ini kelihatannya memang santai, tapi dulu waktu masih sekolah, aku sering jadi tempat curhat teman-temanku, lho. Mungkin aku bisa membantumu."

Hanaka-sensei biasanya suka menggoda murid-muridnya, cukup jahil dan kadang agak sadis juga.

Tapi... entah kenapa, saat melihat tatapan matanya sekarang, aku merasa dia bisa diandalkan.

Sekarang di sini hanya ada aku dan dia.

Dia pasti sadar akan hal itu, makanya dia menanyakan ini padaku.

"S-Sensei... t-tolong jangan beritahu siapa pun, ya..."

Aku berhenti mengeluarkan gelembung dan menatap Hanaka-sensei dengan serius.

"Tenang saja. Ceritakan padaku," katanya dengan lembut.

Mendengar kata-kata itu, aku mulai mengungkapkan kegelisahan yang ada di dalam hatiku.

"U-um... aku tidak mengerti perasaanku sendiri. Aku terus memikirkan seseorang, menatapnya tanpa alasan, dan itu terasa aneh bagiku. Selain itu, saat melihat orang itu akrab dengan orang lain, rasanya hatiku gelisah..."

Aku perlahan meletakkan tangan di dadaku dan melanjutkan,

"Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, jadi aku benar-benar tidak mengerti."

"Begitu, ya... Kujō, aku paham betul apa yang kau rasakan," ujar Hanaka-sensei dengan nada penuh keyakinan.

"Sensei, apa ini sebenarnya? Aku ini..."

"Kujō, kau sedang menderita suatu penyakit," jawabnya.

"Hah? Penyakit?"

Aku terdiam mendengar kata-kata itu.

Ini penyakit?

Aku memang tidak terlalu paham soal dunia medis, tapi aku tidak pernah mendengar tentang gejala seperti ini. Sulit untuk mempercayai bahwa ini adalah sebuah penyakit.

"Ini adalah penyakit yang hampir semua orang di usiamu alami. Penyakit yang cukup merepotkan."

"Penyakit yang merepotkan? Apa itu?"

Hanaka-sensei menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Setelah beberapa detik diam, ia tersenyum lembut dan berkata,

"Penyakit itu disebut... cinta."

"......Hah? Cinta?"

Aku tidak bisa langsung menerima kata-kata itu. Aku tidak bisa mempercayainya.

Bagaimana mungkin aku, yang belum pernah jatuh cinta pada siapa pun, tiba-tiba mengalami perasaan ini?

"Aku tidak tahu siapa orang itu, tapi satu hal yang pasti, Kujō, kau sedang jatuh cinta padanya. Kau terus memikirkannya, tanpa sadar menatapnya... Itu tak bisa dijelaskan selain dengan satu kata: cinta."

"T-tapi, aku jatuh cinta? Itu tidak mungkin..."

"Dari reaksimu, sepertinya ini pertama kalinya kau mengalami perasaan ini, ya? Baiklah, aku akan bertanya satu hal. Jika orang itu berpacaran dengan orang lain dan terlihat bahagia, bagaimana perasaanmu?"

"Ba-bagaimana, ya..."

"Coba tanyakan pada hatimu sendiri."

Mengikuti kata-katanya, aku menarik napas dalam dan mencoba bertanya pada diriku sendiri.

Bagaimana jika Ryō-kun berpacaran dengan orang lain?

Bagaimana jika dia mencintai seseorang yang bukan aku?

Aku memejamkan mata dan mencoba membayangkan skenario itu.

"Bagaimana? Apa yang kau rasakan?"

"......Jika dia bahagia, aku juga ingin bahagia untuknya. Ta-tapi..."

"Tapi?"

"S-sa... saat membayangkannya, hatiku terasa sakit. Aku berpikir... kenapa bukan aku?"

"Begitulah. Hatimu sudah jujur pada dirimu sendiri."

"Jadi... ini yang disebut cinta?"

"Ya, inilah cinta," jawab Hanaka-sensei dengan tenang.

"Kau ingin bersamanya, ingin membuatnya bahagia, dan ingin selalu berada di dekatnya. Jika kau merasakan itu, maka kau telah jatuh cinta."

Ah... begitu, ya.

Hati terasa sesak setiap kali memikirkannya.

Tanpa sadar selalu ingin melihatnya.

Tak bisa berhenti memikirkan dirinya.

Jadi, ini yang disebut cinta?

Aku... aku telah jatuh cinta pada Ryō-kun.

Karena aku sangat menyukainya, melihatnya bersama Yūri membuat hatiku terasa sakit.

Ini pertama kalinya aku menyukai seseorang sampai seperti ini...

"Baiklah, aku akan keluar dulu. Kau masih ingin berendam?"

"Ah, ya. Aku ingin berendam sedikit lebih lama."

"Oke. Jangan sampai kepanasan, ya? Sampai jumpa."

Sebelum pergi, Hanaka-sensei menepuk kepalaku dengan lembut, lalu meninggalkan pemandian.

Aku bersyukur telah berbicara dengannya.

Berkat Hanaka-sensei, aku akhirnya memahami perasaanku sendiri.

Tapi... apakah aku pantas untuk jatuh cinta?

Aku masih belum...

________________________________________

Aku masih belum berterima kasih kepada laki-laki yang pernah menyelamatkanku.

________________________________________

Dia telah menyelamatkanku, tapi aku belum melakukan apa pun untuknya.

Aku bahkan belum berhasil menemukannya.

Tapi di saat seperti ini, aku justru memikirkan cinta?

Apakah aku berhak untuk merasa bahagia?

Aku masih hidup sampai sekarang karena dia. Jika bukan karena dia, aku pasti sudah tidak ada di dunia ini.

Jika aku terlalu larut dalam perasaan ini, aku takut akan melupakan rasa terima kasihku padanya.

Itulah yang paling kutakutkan.

Tidak peduli apa yang terjadi, aku tidak boleh melupakan perasaan ini.

Tapi... walaupun aku terus mencari, aku tidak bisa menemukan satu pun petunjuk tentangnya.

Aku ingin menyampaikan perasaanku.

Aku ingin mengucapkan terima kasih.

Aku ingin segera menemukannya.

Tapi... aku tidak bisa.

Waktu terus berjalan tanpa memberi jawaban.

Apa yang harus aku lakukan...?

Chapter 18: Konsultasi

Setelah keluar dari pemandian terbuka, aku terus memikirkan tentang cinta.

Aku sudah tahu kalau aku sedang jatuh cinta, tapi sejujurnya, aku masih belum bisa mengatur perasaanku dengan baik.

Hatiku terasa sesak, gelisah, dan tanpa sadar aku terus memikirkan Ryo-kun.

Aku ingin lebih dekat dengannya, seperti Yūri.

Tapi bagaimana caranya mendekati seseorang?

Aku sering menonton manga dan drama romantis, jadi mungkin aku bisa mencontoh dari sana...?

Saat mengingat kembali kisah-kisah cinta yang pernah kulihat, aku baru sadar bahwa hampir semuanya memiliki adegan ciuman yang penuh gairah. Seketika, suhu tubuhku naik drastis.

T-tidak, tidak, tidak! Aku tidak mungkin melakukan itu langsung!

Bagaimanapun juga, kami belum menjadi sepasang kekasih, jadi tidak mungkin! Aku harus mengikuti langkah yang tepat!

Tapi... apakah aku pantas untuk bahagia?

Saat berjalan di taman tengah sambil memikirkan hal itu, aku melihat sosok Ryo-kun sedang berdiri sendirian, menatap langit berbintang.

Jantungku berdebar kencang.

K-kenapa Ryo-kun ada di sini!? Apa dia langsung ke sini setelah keluar dari pemandian?

Karena dia masih mengenakan baju tidur, sepertinya memang begitu.

"Wow, indah sekali... Huh? Hina, kamu sedang apa di sini sendirian?"

Ryo-kun menyadari keberadaanku yang masih bingung.

A-apa yang harus kulakukan!?

"E-eh, um... itu..."

Ah, tidak! Semakin aku menyadarinya, semakin aku jadi panik! Aku pasti terlihat sangat aneh sekarang.

Sungguh memalukan...

"Kamu ke sini untuk melihat bintang?"

"Eh? Ah, iya. Aku agak kepanasan, jadi sekalian mendinginkan diri."

"Oh, begitu. Dari sini juga bisa melihat bintang dengan indah, kan? Rasanya berbeda dari saat uji nyali tadi. Saking indahnya, aku sampai kehabisan kata-kata."

Melihat Ryo-kun tersenyum saat menatap langit berbintang, entah kenapa aku juga ikut merasa bahagia.

Saat melihat orang yang kusukai tersenyum, aku juga ikut merasa senang.

"Iya, memang sangat indah."

"Kan? Aku sampai mengambil banyak foto."

Kami pun menghabiskan waktu menatap langit malam bersama.

Siapa sangka aku bisa mengalami momen seromantis ini dengan orang yang kusukai?

Seandainya waktu bisa berhenti seperti ini selamanya...

Karena terlalu banyak berpikir, akhirnya percakapan di antara kami terhenti sejenak.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi karena gugup dan panik, aku sama sekali tidak tahu harus berbicara apa.

Di sisi lain, perasaan bersalah dalam hatiku terus menghantuiku, membuat pikiranku semakin kacau.

Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam.

"Aku sudah cukup melihat bintang, jadi sebaiknya aku kembali ke kamar sekarang."

Setelah lima menit dalam keheningan, Ryo-kun akhirnya berbicara.

Ah... jadi ini saatnya berpisah.

Tidak ada perkembangan apa pun. Karena ketidaksiapan dan perasaan bersalahku, aku tidak bisa melakukan apa pun.

Aku tidak bisa mendekatinya seperti yang Yūri lakukan.

"Hina, kalau kamu sudah cukup mendinginkan diri, sebaiknya kamu juga kembali ke kamar. Kalau terlalu lama di sini, nanti kamu bisa masuk angin. Aku duluan, ya."

Ryo-kun membalikkan badan dan mulai berjalan pergi.

Melihat punggungnya menjauh, hatiku terasa sesak. Aku ingin dia tetap di sisiku.

Aku ingin terus berbicara dengannya. Aku ingin mendengar suaranya.

Aku ingin dia tahu perasaanku.

Dan sebelum aku menyadarinya, kakiku mulai bergerak sendiri.

Meskipun masih ragu apakah aku pantas jatuh cinta, aku secara alami mulai mengejar Ryo-kun.

Aku berlari dengan sekuat tenaga, dan akhirnya...

Aku menggenggam pergelangan tangan kanannya dengan erat.

"Eh? Ada apa?"

Ryo-kun menoleh ke arahku dengan tatapan bingung.

Aku sendiri juga tidak tahu apa yang sedang kulakukan.

Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini.

Aku bahkan belum melakukan apa pun untuk orang yang pernah menyelamatkanku.

Tapi... meski begitu...

Aku ingin lebih dekat dengan Ryo-kun, walau hanya sedikit.

Aku tahu aku tidak pantas jatuh cinta. Aku mengerti itu.

Tapi tetap saja...

Aku ingin melangkah maju, meski hanya selangkah.

"Ryo-kun! Um... Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu denganmu. Kamu selalu membantuku dan ada di sisiku. Tapi aku sadar kalau selama ini aku hanya bergantung padamu. Karena itu, kalau suatu saat kamu kesulitan, jangan ragu untuk mengatakannya. Aku ingin membantumu. Aku ingin mendukungmu."

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menatap matanya dengan sungguh-sungguh.

"Aku ingin berada di sisimu..."

Aku mengatakannya. Aku benar-benar mengatakannya!?

A-a-apa yang harus kulakukan!?

Karena terlalu fokus ingin mendekatinya, aku jadi mengatakan sesuatu yang nekat!

Aduh, ini memalukan sekali. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba bicara seperti itu...

Wajahku pasti sudah memerah padam. Aku tidak bisa menatapnya lagi.

Aku menundukkan kepala, mengalihkan pandangan darinya.

Ah, sudah selesai. Ini pasti sudah berakhir...

Tapi kemudian, Ryo-kun berbicara dengan suara lembut.

"T-tidak masalah kok. Aku tidak mempermasalahkannya. Kalau ada teman yang sedang kesulitan, tentu saja aku ingin membantunya. Jadi, jangan terlalu dipikirkan."

Mendengar itu, aku langsung mengangkat wajahku.

Di hadapanku, Ryo-kun terlihat agak memalingkan wajahnya, dengan pipi yang sedikit memerah.

Dia tidak terlihat kesal... kan?

"A-aku... aku pergi dulu, ya."

"Ah, iya. Selamat malam."

Saat aku perlahan melepaskan genggamanku, Ryo-kun pergi meninggalkan taman. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Kenapa aku tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?

Sekarang setelah aku sedikit lebih tenang, aku mulai mempertanyakan tindakanku sendiri.

Aku tahu aku sedang jatuh cinta, tapi tadi aku bertindak terlalu gegabah.

Aku ini... benar-benar tidak pandai dalam hal ini, ya...

Di satu sisi, ada satu hal yang mengganjal pikiranku.

Saat aku menggenggam pergelangan tangan Ryo-kun tadi, aku bisa merasakan detak jantungnya dengan jelas.

Jadi, saat aku mengatakan "Aku ingin berada di sisimu"—kenapa detak jantungnya jadi lebih cepat?

Aku tidak tahu.

Tidak peduli seberapa banyak aku memikirkannya, aku tetap tidak tahu.

"Cinta itu benar-benar sulit dimengerti..."

Sambil merasakan semilir angin malam, aku terus menatap langit berbintang.

Kenapa saat ujian bahasa Jepang, aku bisa memahami perasaan tokoh dalam cerita, tapi dalam kehidupan nyata, semuanya jadi kacau begini...?

Chapter 19: Terima Kasih

Setelah berpisah dengan Hinami di taman tengah, aku menuju ke kamar anak laki-laki.

Apa sebenarnya maksud dari kata-kata Hinami tadi...?

Kenapa tiba-tiba dia mengatakan hal seperti itu...?

Tapi anehnya, hatiku terasa begitu penuh.

Rasanya sangat hangat, sampai-sampai aku ingin mendengarnya sekali lagi.

Ini pertama kalinya aku merasakan sesuatu seperti ini.

Apa sebenarnya perasaan aneh di dalam hatiku ini...?

Saat aku mengingat kembali kata-kata Hinami, "Aku ingin berada di sisimu," aku mulai tersenyum sendiri.

Bzzz. Bzzz. Bzzz.

Tiba-tiba, ponselku bergetar.

Telepon di saat seperti ini...?

Aku melihat layar ponsel untuk mengecek siapa yang menelepon.

Di layar, jelas tertulis nama "Putri Sadis."

...Hah? Panggilan dari Koi-san?

Aku... aku punya firasat buruk tentang ini. Tapi kalau aku tidak mengangkatnya, itu juga akan merepotkan.

Baiklah, aku akan angkat dulu. Kalau dia mulai menyuruh sesuatu yang aneh, aku akan cari cara untuk kabur.

"H-Halo?"

"Butuh empat kali dering sampai kamu menjawab. Cukup lama juga ya."

Kenapa dia sampai menghitung jumlah dering? Biasanya orang tidak peduli soal itu, kan?

"A-aku tidak langsung menyadarinya tadi."

"Hmm... jadi kamu ‘tidak langsung menyadarinya’, ya..."

Eh, kenapa nada suaranya terdengar seperti itu? Agak menyeramkan...

"Jadi, ada apa, D— eh, maksudku, Koi-san?"

"Kamu barusan hampir memanggilku ‘Putri Sadis’, kan?"

"T-tidak mungkin! Koi-san, kamu salah dengar! Pasti gangguan sinyal yang membuatnya terdengar seperti itu."

Wah, bahaya! Kalau aku lengah, entah apa yang akan dia lakukan padaku.

"Yah, terserah. Lebih penting lagi, segera datang ke kamarku sekarang."

"Hah? Ke kamarmu?"

Karena kaget, aku spontan mengulang kata-katanya.

"Kenapa aku harus ke kamarmu?"

"Untuk bermain kartu. Tadinya aku berencana bermain bersama Hinami dan dua anak perempuan lainnya setelah dia kembali ke kamar. Tapi aku rasa lebih seru kalau ada tambahan satu orang lagi. Jadi, kamu juga ikut. Ini kesempatan langka untuk bermain bersama gadis-gadis SMA yang ceria, lho."

"Jangan gunakan kata-kata seperti itu untuk mengajakku! Aku bukan pria paruh baya."

"Oh? Jadi kamu tidak suka dengan kata ‘ceria’? Kalau begitu—"

"Apa pun yang kamu pilih, intinya tetap sama!"

Orang ini selalu saja mengatakan hal-hal yang tidak perlu!

"Jadi? Kamu akan datang atau tidak?"

Aku berpikir sejenak setelah mendengar pertanyaan Koi-san.

Jumlah anak laki-laki di kelasku ada lima orang, termasuk aku. Jadi, kami semua berbagi satu kamar yang sama tanpa perlu pembagian.

Karena kegiatan kelompok tadi tidak terlalu membantu kami lebih akrab, maka malam ini adalah kesempatan untuk mempererat hubungan.

Biasanya, di acara menginap seperti ini, ada sesi melempar bantal dan obrolan tentang gadis-gadis yang kami suka.

Kalau aku melewatkan kesempatan ini, aku bisa kesulitan dalam pergaulan nanti.

Maaf, Koi-san, tapi aku harus prioritaskan para pria!

"S-sayang sekali, ya. Kami anak laki-laki sedang bersiap-siap untuk perang bantal. Kami akan mulai sebentar lagi, jadi aku tidak bisa ikut bermain kartu."

Sebenarnya, kami belum merencanakan perang bantal sama sekali.

Lagipula, sejak uji nyali tadi selesai, aku bahkan belum berbicara dengan siapa pun dari kamar.

Maaf telah berbohong... semoga dia tidak menyadarinya.

"Oh begitu. Sayang sekali, ya. Kalau begitu, aku akan menutup teleponnya sekarang. Ah, tapi sebelum itu, ada satu hal yang perlu aku sampaikan."

"Hah? Apa?"

"Setelah menutup telepon ini, coba lihat ke belakang. Tolong, ya."

Setelah mengatakan itu, Koi-san langsung menutup telepon.

Apa maksudnya tadi...?

Dengan rasa penasaran, aku menoleh ke belakang... dan di ujung lorong, berdiri Koi-san, sedang memegang ponselnya, menatapku dalam diam.

...

A-aku dalam bahaya. Aku dalam bahaya besar!

Keringat dingin langsung mengalir dari seluruh tubuhku.

Saat wajahku menegang, Koi-san perlahan mendekatiku selangkah demi selangkah. Kemudian, dia berdiri tepat di depanku dan tersenyum manis.

"Kamu bilang tadi ada di kamar, tapi kenapa malah di lorong, ya? Fufu."

Eh, tidak, kenapa senyumnya seperti itu? Seram! Seram sekali!

"E-ehm, begini..."

Dengan gerakan kaku seperti robot, aku memalingkan wajah agar tidak melihat senyumannya.

Tapi meskipun aku menghindari tatapannya, bukan berarti aku bisa lolos darinya.

"Aku kebetulan melihatmu berbicara dengan Hinami di taman tengah. Jadi aku mengikutimu sebentar. Rasanya kurang seru kalau langsung membiarkanmu pulang, jadi bagaimana kalau kau ikut ke kamar?"

Jadi dia melihat kejadian tadi?! Dia membuntutiku, lalu meneleponku setelah itu?!

Sial! Aku kena lagi! Orang ini selalu berada selangkah di depanku!

"K-kamu melihatnya?"

"Iya. Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi aku melihat semuanya."

"O-oh begitu..."

"Kalau begitu, ayo ikut. Lagipula kamu sudah berani-beraninya berbohong padaku, jadi setidaknya kamu harus menebusnya, kan?"

Koi-san tersenyum lagi. Tapi yang kulihat hanyalah senyum iblis.

"H-hah... baiklah, aku ikut..."

Dan begitulah, aku akhirnya tertangkap oleh Koi-san dan dibawa ke kamar mereka.

Di kamar anak perempuan, kami bermain kartu, dan ternyata itu lebih seru dari yang aku kira.

Sejujurnya, itu cukup menyenangkan dan menjadi kenangan yang berkesan.

Tapi di tengah semua tawa itu, aku sempat memperhatikan ekspresi Hinami yang sedikit murung.

Ada apa dengannya...?

Aku penasaran dengan perasaan Hinami, tapi masalah yang lebih besar tiba-tiba muncul.

Karena terlalu asyik bermain kartu, kami tidak sadar kalau waktu sudah melewati pukul sebelas, yang merupakan jam tidur.

Kalau aku tertangkap berkeliaran di lorong pada jam segini, sudah pasti aku akan kena omelan.

Tapi kalau tetap tinggal di kamar anak perempuan, itu juga masalah besar.

Satu-satunya cara adalah kembali ke kamar anak laki-laki tanpa ketahuan.

Dengan hati-hati, aku mencoba keluar dari kamar, tapi tiba-tiba sebuah rintangan besar menghadang.

"Apa...? Seriusan...? Kenapa Hana-sensei duduk di depan kamar seperti penjaga?!"

Aku mengintip melalui lubang pintu dan melihat Hana-sensei duduk di kursi lipat di depan kamar, dengan tatapan tajam seperti anjing penjaga.

Sepertinya dia sengaja berjaga di sini untuk menangkap siswa yang berani melanggar jam tidur.

Dan yang lebih menyeramkan, di tangannya ada tongkat kayu yang tampak sangat mengancam.

"Kenapa dia berjaga di depan kamar ini?! Sial!"

Aku menghela napas frustasi.

Dengan situasi seperti ini, kembali ke kamar anak laki-laki jelas mustahil. Kalau aku ketahuan, aku tamat.

"A-a-a-apa yang harus kita lakukan?! Kalau begini terus, Ryo-kun tidak bisa kembali ke kamarnya! Apa yang harus kita lakukan?!"

Entah kenapa, Hinami yang justru panik menggantikanku.

Sementara itu, Koi-san tetap tenang dan memberikan saran dengan santai.

"Kenapa harus memaksakan diri keluar? Kenapa tidak menginap saja di sini?"

"「...Hah?」"

Aku dan Hinami langsung mengucapkan hal yang sama.

Siapa yang bisa menebak dia akan mengatakan hal seperti ini...?

"Tidak, tidak, Koi-san. Itu jelas tidak mungkin."

"Kalau kamu keluar sekarang, kita semua juga bakal kena marah. Lagipula, kita tidak tahu kapan Hana-sensei akan pergi dari sana, kan? Daripada begadang menunggu, lebih baik tidur saja. Aku juga sudah ngantuk."

"Ehh?! Tapi tetap saja, seorang laki-laki menginap di kamar anak perempuan itu tidak baik!"

A-apa ini?! Kenapa situasinya jadi seperti ini?! Dan kenapa Koi-san begitu tenang?! Dia bahkan terlihat seolah-olah sudah memperkirakan ini dari awal.

Hah...? Tunggu sebentar. Jangan-jangan...

Aku mendekati Koi-san dan berbisik pelan di dekat telinganya.

"K-Koi-san, jangan-jangan ini semua sudah kamu rencanakan? Pasti begitu, kan?"

"Siapa tahu~?"

"Kenapa malah menghindari jawabannya?!"

"Kamu salah paham. Aku tidak melakukan apa-apa, kok."

"Serius?"

"Iya. Aku cuma bilang ke Hana-sensei, 'Setelah jam tidur, mungkin ada seseorang yang akan keluar dari kamar ini, jadi sebaiknya dijaga saja,' itu saja. Tidak lebih."

"Itu justru penyebabnya!"

Dia menjebakku lagi!

Jadi dia sengaja memperpanjang permainan kartu agar aku tidak sadar waktu, lalu memastikan ada penjaga di depan kamar?!

Dasar sadis! Dia selalu melakukan hal yang tidak pernah aku duga!

"Hinami, Yuri, kalian bagaimana? Aku sih tidak keberatan kalau dia menginap di sini, tapi bagaimana dengan kalian?"

Tanpa peduli dengan reaksiku, Koi-san malah mengalihkan perhatian ke dua orang lainnya.

Seperti biasa, dia tidak peduli dengan pendapatku sama sekali.

"Hmm~. Yah, kalau Ryo sudah tidak bisa pulang, mau gimana lagi! Aku sih tidak masalah sama sekali~. Malah, aku sangat menyambutnya!"

Aku senang mendengar kata-kata Yuri, tapi dalam situasi seperti ini, aku tidak bisa begitu saja merasa bahagia.

"Bagaimana denganmu, Hinami?"

"A-aku... Kalau kalian berdua tidak keberatan, mungkin... tidak apa-apa. Lagipula, aku percaya sama Ryo-kun."

Seriusan? Jadi selain Koi-san, dua cewek ini juga setuju?

"Kalau begitu, sudah diputuskan. Kamu menginap di sini malam ini. Oke?"

"T-tapi..."

"O-ke?"

"Y-yaaa..."

Tentu saja...

Setelah pertemuan mengharukan dengan Yuri, sekarang aku harus menghadapi situasi klise seperti ini...

Kenapa hidupku selalu penuh masalah?!

Sial!

Aku benar-benar sial!!

Dan begitulah, aku akhirnya harus menerima akhir cerita yang sudah direncanakan dengan matang—menginap di kamar anak perempuan. Aku sudah memberitahu teman-teman sekelas kalau aku tidak bisa kembali karena suatu alasan, tapi sekarang aku hanya bisa berharap agar guru tidak mengetahuinya.

Oh, dan soal posisi tidur, Koi-san, yang menang mutlak dalam permainan kartu, menentukan semuanya secara sepihak.

Dari kiri ke kanan: Hinami, aku, Koi-san, lalu Yuri.

Haaah... Aku yakin malam ini aku tidak bakal bisa tidur.

*** 

Sudah beberapa jam berlalu sejak aku memutuskan untuk menginap di kamar anak perempuan.

Dalam kamar yang hanya diisi oleh suara napas para gadis yang sedang tidur, aku tetap terjaga sepenuhnya.

Sial... Seperti yang kuduga, aku benar-benar tidak bisa tidur...

Ke kanan maupun ke kiri, yang kulihat hanya gadis-gadis cantik. Tolong, hentikan semua ini...

Aku berencana untuk bangun pagi-pagi dan kembali diam-diam ke kamar anak laki-laki, tapi bagaimana aku harus bertahan sampai saat itu tiba?

Bisakah aku tetap menjaga akal sehatku di tengah-tengah tiga gadis cantik yang tertidur tanpa pertahanan?

T-tidak! Jangan berpikir macam-macam! Kalau aku mulai berpikir aneh, aku tamat!

Aku berusaha keras untuk menekan keinginan laki-lakiku dan mencoba mencapai keadaan tanpa pikiran.

Namun, semakin aku mencoba untuk tidak berpikir, semakin sulit untuk tidak memikirkannya.

Ah, sial. Kenapa masa mudaku selalu penuh dengan masalah seperti ini?

Tuhan, Kau benci aku, ya? Kenapa aku bahkan tidak punya teman laki-laki yang normal?

"Haaah, tidak bisa tidur..."

Aku bergumam pelan sambil menatap langit-langit.

Tiba-tiba, suara dari sebelahku terdengar.

"Ryo-kun masih bangun?"

Itu Hinami.

Dia menghadap ke dinding, seolah sengaja tidak memperlihatkan wajah tidurnya padaku.

"Maaf, aku membangunkanmu?"

"Tidak, tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa tidur."

"Kamu juga?"

"Iya. Aku lagi kepikiran sesuatu."

"Kepikiran sesuatu?"

"Mungkin lebih tepatnya... aku lagi galau. Sebenarnya bukan hal yang besar, sih."

Galau, ya...

Kalau kupikir lagi, saat kami bermain kartu tadi, Hinami beberapa kali terlihat murung.

Ternyata itu karena dia sedang memikirkan sesuatu.

"Kalau mau, aku bisa dengarkan ceritamu."

"Eh, t-tapi... Aku bakal merepotkanmu lagi. Aku selalu merepotkanmu, dan kalau begini terus..."

"Jangan dipikirin. Kita ini teman, kan? Lagi pula, biasanya kalau cerita, perasaan jadi lebih lega."

"T-tapi..."

"Tidak apa-apa. Jadi, coba ceritain aja."

Setelah beberapa detik diam, Hinami akhirnya mulai berbicara pelan, masih menghadap ke dinding.

"A-anu... Aku... aku kayaknya... suka sama seseorang."

"......Eh?"

Jadi yang dia pikirin itu... soal cinta?!

Aku ini belum pernah pacaran sekalipun, jadi gimana aku bisa kasih saran ke ‘gadis tercantik dalam seribu tahun’ tentang cinta?!

Serius, ini berat... Tapi Hinami sudah berusaha untuk terbuka padaku meski dia sendiri pasti merasa canggung.

Setidaknya aku harus berusaha membantu sebisaku.

"Jadi, kamu jatuh cinta, ya?"

"Iya... Setiap kali aku mikirin dia, hatiku berdebar-debar, rasanya sesak, dan kalau dia dekat sama orang lain, aku jadi cemburu. Awalnya, aku bingung sama perasaan ini, tapi lama-lama aku sadar... Aku suka dia lebih dari siapa pun. Karena aku sangat suka, aku jadi terus kepikiran dia..."

Jadi Hinami sedang jatuh cinta, ya...

Cowok macam apa yang bisa sampai disukai gadis secantik ini?

Aku penasaran siapa orangnya, tapi aku memilih untuk tidak menanyakannya.

Soalnya, aku ini tidak punya teman laki-laki. Jadi meskipun aku tahu, aku tidak yakin bisa kasih saran yang berguna.

"Jadi, waktu main kartu tadi, kamu kepikiran gimana caranya supaya dia bisa suka balik ke kamu?"

"Tidak. Bukan itu."

"Hah? Bukan?"

Aku refleks bertanya balik.

Dari alur ceritanya, aku kira dia sedang bingung tentang bagaimana cara membuat orang itu menyukainya.

Tapi ternyata bukan itu.

"Terus, yang kamu pikirin itu apa?"

Hinami terdiam sebentar, lalu berbicara dengan suara pelan.

"Apa aku boleh jatuh cinta dan bahagia?"

"Eh?"

Barusan dia bilang apa...?

Kalau aku tidak salah dengar, dia bilang, "Apa aku boleh jatuh cinta dan bahagia?"

Kenapa dia bisa berpikir sekhawatir itu?

Aku semakin penasaran, jadi aku bertanya lebih lanjut.

Hinami pun mulai berbicara lagi, suaranya sedikit bergetar.

"Waktu aku diserang sama orang asing, ada seorang siswa laki-laki yang menolongku. Dia itu penyelamat nyawaku, tapi aku belum sempat mengucapkan terima kasih secara langsung. Aku juga belum berhasil menemukannya... Kalau aku terus maju dalam percintaan dan menjadi bahagia... aku takut aku bakal melupakan rasa terima kasihku padanya. Itu menakutkan. Sangat menakutkan... Jadi aku terus kepikiran... Apa aku benar-benar boleh jatuh cinta? Apa aku benar-benar boleh bahagia...?"

Mendengar isi hatinya yang sebenarnya, aku pun terdiam.

Hinami merasa berutang budi kepada siswa yang menyelamatkannya—yaitu aku.

Dia belum sempat mengucapkan terima kasih secara langsung, dan dia takut kalau dia menjalani hidup dengan bahagia, dia akan melupakan rasa terima kasih itu.

Hinami memang orang yang baik dan sangat perhatian terhadap orang lain.

Bahkan kepada orang yang terus-menerus meminta nomor kontaknya, dia masih berusaha menolak dengan cara yang tidak menyakiti perasaan mereka.

Karena sifatnya yang terlalu memikirkan orang lain, justru itulah yang membuat hati Hinami semakin tersiksa.

Jika dibiarkan terus seperti ini, hati Hinami akan perlahan-lahan hancur.

Itu tidak boleh terjadi.

Aku harus menolongnya. Kalau tidak, semua yang kulakukan saat menyelamatkan Hinami waktu itu akan sia-sia. Jika hatinya hancur, tidak akan ada lagi yang bisa diperbaiki.

Selain itu, melihat Hinami menderita juga membuatku ikut merasa tersiksa.

"Jangan berpikir seperti itu, Hinami. Karena… kamu berhak lebih dari siapa pun untuk bahagia."

"Eh?"

Tanpa memedulikan reaksi Hinami, aku melanjutkan ucapanku.

"Membalas budi bukan hanya soal mengucapkan rasa terima kasih. Meski kata-kata tidak tersampaikan, meski perasaan itu tak sampai, tetap saja… selama kamu bisa menjalani hari-hari dengan bahagia, itulah bentuk balas budi terbaik di dunia ini. Hidup dengan bahagia itu sesuatu yang luar biasa. Itu bisa membuat orang-orang yang mendukungmu dan orang di sekitarmu ikut bahagia. Kalau ada orang yang merasa tidak senang melihatmu bahagia, maka orang itu hanyalah seseorang yang egois dan tidak bisa memahami perasaan orang lain. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kamu tidak perlu ragu. Jika ada yang mengatakan hal buruk, aku akan menghiburmu berkali-kali. Jadi… jatuh cintalah sepuasmu. Nikmati hidupmu sepuasmu. Dan… jadilah orang paling bahagia di dunia ini."

Aku bisa saja mengungkapkan jati diriku sekarang. Bahwa aku adalah siswa laki-laki yang telah menyelamatkannya, bahwa dia sebenarnya sudah menyampaikan rasa terima kasihnya kepadaku.

Namun, jika aku mengatakannya di sini, Hinami pasti akan terkejut.

Cintanya baru saja mulai tumbuh, aku tidak ingin mengganggunya.

Aku menolongnya bukan untuk menaikkan harga diriku.

Aku menolongnya karena aku merasa harus menolongnya. Hanya itu.

Bahkan, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadanya. Sejak kejadian itu, aku menjadi sangat terkenal, dan itu pasti sudah sangat merepotkan bagi Hinami.

Jadi, Hinami…

Tidak perlu ragu, tidak perlu bimbang, dan tidak perlu merasa tersiksa.

"Haaah… Ryo-kun memang luar biasa. Tidak peduli betapa sulitnya keadaanku, atau betapa terpuruknya aku, kamu selalu ada untuk menolongku."

Suaranya terdengar sedikit lemah. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia membelakangiku, tapi mungkin saja dia sedang menahan air matanya.

"Apa sekarang kamu merasa lebih baik?"

"…Iya. Kata-kata Ryo-kun membuatku merasa lebih baik. Aku sudah memutuskan. Aku akan menikmati hidup ini sepuasnya. Aku akan jatuh cinta. Dan aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia ini. Karena aku yakin, itulah balas budi terbaik yang bisa kulakukan saat ini."

"Itu keputusan terbaik. Jadi, sekarang kamu bisa tidur nyenyak?"

"Iya! Terima kasih, Ryo-kun."

Setelah mendengar suaranya kembali seperti biasa, aku merasa lega.

Tugasku sudah selesai. Sekarang, aku hanya perlu tidur.

Saat aku hendak memejamkan mata untuk masuk ke dalam tidur yang dalam, tiba-tiba…

"Oh iya, Ryo-kun. Ada satu hal yang ingin kukatakan terakhir kali."

Hinami berkata begitu, lalu dengan suara gemerisik, dia mendekat ke arahku.

Kemudian, dia berbisik pelan di telingaku.

"Aku lebih percaya padamu dibanding siapa pun. Terima kasih, ya."

Suara dan kata-katanya membuat tubuhku langsung terasa panas.

Refleks, aku menoleh ke arahnya…

Pipinya sedikit memerah, matanya yang berkilauan penuh pesona menatapku lekat-lekat.

DOKUN!

Jantungku berdegup kencang seolah dipukul dengan keras.

Karena jaraknya yang terlalu dekat, aku sampai terkejut.

Hinami lalu tersenyum puas, kemudian membalikkan badan ke arah dinding dan langsung tertidur.

A-apaan senyuman itu tadi!?

Melihat senyum seperti itu, mana mungkin aku bisa tidur!?

Kenyataannya, aku baru bisa benar-benar tertidur sekitar satu jam setelah melihat senyuman itu.

Tapi ya sudahlah.

Kalau aku berhasil menyelesaikan kegelisahan Hinami, maka anggap saja itu sebagai balasannya.

Lebih dari kata-kata terima kasih, yang paling penting bagiku adalah bisa melihat senyumnya.


Chapter 20: Masa Laluku

Bzz... Bzz...

Suara alarm bergetar di dekat telingaku, membangunkanku dari tidur.

Jam menunjukkan pukul lima pagi. Kenapa aku mengatur alarm sepagi ini?

Jawabannya hanya satu.

Aku harus bangun lebih awal agar bisa diam-diam kembali ke kamar laki-laki.

Ini adalah kamar perempuan. Sudah jelas, semua kamar di lantai ini dihuni oleh para siswi.

Jika ada yang melihatku keluar dari kamar ini...

Aku gemetar hanya membayangkannya.

Di jam segini, sebagian besar siswa seharusnya masih tertidur. Jika aku bisa kembali ke kamar laki-laki tanpa ketahuan, situasi berbahaya ini bisa teratasi.

Aku mengusap mataku beberapa kali dan menoleh ke arah Hinami yang tidur di sebelahku.

"Suu... suu..."

Napasnya begitu tenang. Dan wajah tidurnya... luar biasa imut. Seperti seorang putri yang sedang menunggu ciuman dari pangerannya.

Perlahan, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.

Tiba-tiba, ada secarik kertas tempel yang tertempel di pintu.

"Hm? Apa ini? Ada sesuatu yang tertulis di sini."

Aku mengambil kertas tempel itu dan mulai membaca tulisannya.


"Setelah bangun, datanglah ke lobi lantai satu.
Tentu saja, datang sendiri. Aku menunggumu.

— Koi."


Begitu aku menyadari bahwa pesan itu dari Koi, aku langsung menoleh ke arah kasur.

Tidak ada...

Dia tidak ada di sini.

Hanya ada Hinami dan Yuri yang masih tertidur.

Karena tadi aku terlalu fokus melihat wajah tidur Hinami, aku tidak menyadari kepergian Koi.

"Serius...? Kenapa aku dipanggil sih?"

"Dan lebih anehnya lagi, kok dia tahu jam aku bakal bangun?"

Dengan kepala yang terasa kusut, aku mengacak rambutku lalu keluar dari kamar dengan hati-hati.

***

"Kamu datang juga, ya. Sesuai dugaanku."

Saat tiba di lobi, aku melihat Koi sedang duduk di sofa.

Meski masih pagi buta, dia sama sekali tidak terlihat mengantuk. Seperti biasa, wajahnya tetap terlihat tenang dan dingin.

"Kenapa kamu tahu jam aku bangun? Aku tidak pernah bilang, kan?"

Begitu aku bertanya, Koi terkekeh kecil.

"Apa yang kamu pikirkan itu mudah ditebak. Kamu pasti berencana bangun pagi-pagi dan kembali ke kamar laki-laki, kan? Kalau begitu, aku tinggal bangun lebih awal dari jam kamu bangun. Sesederhana itu."

"Oke, misalnya kamu bisa menebak rencanaku... tapi gimana caranya kamu tahu persis jam aku bangun?"

Aku sama sekali tidak memberi tahu tiga gadis itu tentang jam alarmku. Tapi Koi berhasil bangun lebih dulu dariku dan bahkan sempat menempelkan kertas tempel di pintu sebelum aku sadar.

Itu tidak mungkin terjadi kalau dia tidak tahu jam pastiku bangun.

"Kamu tahu tidak? Tergantung jenis ponselnya, meskipun dalam keadaan terkunci, pengaturan timer tetap bisa diubah. Setelah kamu tidur, aku melihat pengaturan alarmmu. Tapi tenang saja, aku tidak mengutak-atik hal lain."

"Na—nani?! Jadi ada cara seperti itu, ya..."

Ponsel zaman sekarang memang memungkinkan pengaturan alarm bahkan dalam kondisi terkunci. Jadi dia memanfaatkan itu untuk melihat jam berapa aku mengatur alarmku?

Serius... orang ini selalu selangkah di depanku.

"Hm? Tunggu. Kamu bilang kamu mengeceknya setelah aku tidur?"

"Iya. Gara-gara itu aku jadi kurang tidur."

Mendengar kata-kata Koi, tubuhku langsung menegang.

Kalau dia baru mengeceknya setelah aku tidur...

"Jangan-jangan... kamu mendengar percakapanku dengan Hinami!?"

"Mendengar? Lebih tepatnya, aku memang bisa mendengarnya. Kalian berbicara di sebelahku, jadi mau tidak mau aku dengar. Tapi sepertinya Yuri tertidur pulas, jadi yang tahu percakapan kalian cuma aku saja."

"Serius...?"

"Hmm... kamu cukup keren tadi malam."

"Hentikan... Jangan diungkit... Malu banget..."

Begitu mengingat kembali percakapanku dengan Hinami, tubuhku langsung terasa panas.

Malu banget. Dan kenapa yang mendengar justru si putri sadis ini!?

"Jadi... alasan kamu memanggilku ke sini, ada hubungannya dengan obrolan tadi malam?"

"Sebagian, iya. Tapi alasan utamanya, aku hanya ingin berbicara sedikit denganmu."

"Eh? Dengan aku? Berdua saja?"

"Ya."

Tatapan Koi saat itu terasa sedikit berbeda dari biasanya.

Hal itu sedikit menggangguku, tapi aku memilih untuk tidak menanyakannya.

***

"Masih bulan Mei, tapi pagi-pagi tetap terasa agak dingin ya. Harusnya aku pakai baju yang lebih tebal."

"Iya, memang agak dingin."

Untuk bisa berbicara berdua dengan leluasa, aku dan Koi memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar penginapan.

Kalau tetap di lobi, bisa saja percakapan kami terganggu oleh guru atau siswa lain.

Dikelilingi oleh pegunungan, udara di sini lebih didominasi oleh rasa dingin dibandingkan kehangatan sinar matahari pagi.

"Kamu ingin berbicara berdua denganku? Itu cukup langka, ya. Jadi, ada apa?"

Aku langsung masuk ke inti pembicaraan. Sebenarnya, aku bisa saja mengobrol santai lebih lama, tapi keinginan untuk segera kembali ke kamar lebih besar.

"Aku hanya ingin bertanya tentang insiden itu. Berdua begini pasti lebih nyaman untukmu, kan?"

"Ya, memang. Akan jadi masalah kalau ada orang lain yang mendengar."

Di dunia ini, hanya ada satu orang yang mengetahui jati diriku. Dia adalah gadis mungil di sebelahku ini—Koi. Meskipun terlihat seperti anak kecil, dia memiliki sifat sadis.

Dia memahami perasaanku dan tetap merahasiakan semuanya, tapi di sisi lain, dia juga sering mengolok-olokku.

Yah, dia memang seorang sadis, jadi mau bagaimana lagi.

"Aku berterima kasih karena kamu sudah membantu Hinami kemarin. Tapi saat aku mendengarkan obrolan kalian... tidak, lebih tepatnya, sudah sejak lama aku bertanya-tanya. Kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan jati dirimu pada Hinami?"

"Eh?"

Aku tertegun, tapi Koi melanjutkan pembicaraannya.

"Aku mengerti kenapa kamu tidak ingin mengungkapkan identitas aslimu pada orang lain. Tapi kenapa kamu juga tidak memberitahu Hinami? Dia itu gadis yang diakui sebagai kecantikan luar biasa, loh. Sampai-sampai dijuluki 'Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali'. Kalau aku berada di posisimu, aku pasti akan memberitahunya dan meningkatkan kesan baik di matanya. Kurasa orang lain juga akan melakukan hal yang sama."

Aku mengerti maksud Koi.

Memang, kalau aku mengungkapkan jati diriku hanya pada Hinami, aku bisa mendapatkan simpati darinya.

Gadis secantik itu akan merasa berterima kasih padaku dan melihatku sebagai penyelamatnya. Rasanya pasti menyenangkan.

Bukan hanya aku dan Koi yang berpikir seperti itu. Orang lain pun pasti akan melakukan hal yang sama.

Bahkan, mungkin saja aku bisa menjalin hubungan dengan "Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali" itu.

Menyimpan rahasia justru terasa lebih merugikan.

Biasanya, seseorang pasti ingin membocorkan rahasianya secara diam-diam.

"Apa yang kamu katakan itu benar... Tapi aku tidak punya hak untuk melakukan itu. Aku tidak layak menyebut diriku sebagai pahlawan."

"Maksudmu?"

Koi menatapku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Lalu aku mulai bercerita.

Tentang masa laluku.

Tentang seorang teman yang tidak bisa kuselamatkan.

"Dulu, sejak kelas dua SD, aku punya seorang teman dekat. Dia seorang perempuan, tapi kami hampir setiap hari bermain bersama. Namun, saat masuk SMP... dia mulai dibully oleh teman-teman sekelas."

"Eh...? Kenapa?"

"Tidak ada alasan khusus. Mereka hanya anak-anak nakal yang menjadikan dia targetnya. Awalnya hanya gangguan kecil, tapi lama-lama semakin parah. Sampai tubuhnya penuh luka akibat kekerasan."

"Kamu tidak melaporkannya ke guru?"

"Tentu saja aku melaporkannya. Tapi semua guru terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, tidak ada yang benar-benar peduli. Karena itu, aku memutuskan untuk melindunginya sendiri. Aku belajar seni bela diri dari seseorang, agar bisa menjaganya kapan pun dan tidak membiarkan dia terluka lagi."

"Begitu... Jadi itu alasan kamu belajar bela diri."

"Ya. Tapi... aku tetap tidak bisa menyelamatkannya. Saat dia benar-benar menderita, aku tidak ada di sisinya. Dan sebelum aku menyadarinya, dia sudah pindah ke kota lain tanpa sempat mengucapkan perpisahan."

"Aku tidak bisa melindunginya. Aku tidak bisa menyelamatkannya. Aku tidak bisa melakukan apa pun. Dengan semua itu... bagaimana mungkin aku bisa menganggap diriku sebagai pahlawan?"

Semua yang baru saja kukatakan adalah kebenaran.

Aku gagal menyelamatkan seseorang.

Aku tidak bisa membantu seseorang yang benar-benar ingin kutolong.

Aku tidak melakukan apa pun.

Jadi, tidak pantas bagiku untuk berpura-pura menjadi orang baik dan menyebut diriku sebagai pahlawan.

Begitulah yang selalu kupikirkan...

Namun,

"Ryo, lihat aku."

Koi yang sejak tadi mendengarkan ceritaku, tiba-tiba berbicara dengan suara pelan.

Biasanya, dia selalu memiliki ekspresi tenang dengan senyum jahilnya.

Tapi kali ini berbeda.

Wajahnya terlihat serius.

Dia menatap mataku secara langsung, tanpa sedikit pun rasa ragu.

Sifat sadisnya yang biasa tidak tampak sama sekali.

Ini pertama kalinya aku melihat Koi seperti ini.

Tanpa mengubah ekspresinya, dia perlahan mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pipiku, lalu membuka mulutnya untuk berbicara.

"Aku tidak pernah menyangka kalau kamu punya masa lalu seperti itu, Ryo. Aku mengerti perasaanmu. Mengungkapkan jati dirimu atau tidak, itu sepenuhnya hakmu. Aku tidak akan memaksamu lebih jauh. Tapi satu hal yang harus kukatakan—kamu tidak boleh terus terjebak di masa lalu."

"Eh?"

"Sama seperti Hinami, kamu juga harus terus maju. Jika ada masa depan yang tidak bisa kamu selamatkan, maka selamatkan masa depan orang lain sebagai gantinya. Kamu bisa melakukannya, Ryo. Saat orang lain hanya memikirkan keselamatan mereka sendiri dalam insiden itu, hanya kamu yang bergerak untuk menyelamatkan Hinami. Jika kamu bisa melakukan itu, berarti kamu memiliki kekuatan untuk melindungi seseorang. Jadi, tataplah ke depan. Hinami, baik dalam arti baik maupun buruk, telah menjadi orang yang terkenal. Di masa depan, pasti akan ada lebih banyak orang aneh yang muncul di hadapannya. Saat itu terjadi, lindungilah dia. Sembunyikan jati dirimu dan jadilah pahlawan dalam bayangan."

Kata-kata Koi ini...

Tangan yang menyentuh pipiku ini...

Begitu lembut dan hangat.

Dia memang selalu menggodaku dan tersenyum licik sendirian, tapi di saat aku sedang terpuruk, dia tetap ada untuk memberiku semangat.

Aku berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang hampir tumpah.

Aku tidak mau Koi melihat wajahku saat menangis. Kalau dia melihatnya, pasti dia akan mengolok-olokku habis-habisan.

"Tidak apa-apa kalau kamu ingin menangis, loh?"

"Aku tidak akan menangis."

"Memaksakan diri itu tidak baik. Matamu seakan berkata, 'Bolehkah aku menangis?' "

Sungguh tajam. Bagaimana dia bisa tahu?

"Dasar bodoh. Aku tidak akan menangis di depanmu, Koi."

"Sayang sekali. Padahal aku ingin memotretmu."

"Kamu mau mengambil foto!? Kamu benar-benar wanita jahat!"

"Tentu saja. Aku wanita jahat, kan? Aku akan terus mengganggu orang yang mudah digoda seperti kamu."

Setelah mengatakan itu, Koi mencubit pipiku dengan tangan yang tadi menyentuhnya dengan lembut.

"F-Koi... ini sakit, tahu...? Padahal tadi kamu mengatakan hal yang bagus, tapi semua jadi sia-sia."

"Menggodamu memang menyenangkan. Terutama kamu."

Dia menyeringai seperti iblis kecil.

Namun, perlahan dia melepaskan tangannya dari pipiku, lalu...

Dengan senyum lembut, dia berkata pelan.

"Tapi, kamu itu... cukup peduli dengan teman-temanmu, ya?"

Melihat senyum murni Koi untuk pertama kalinya, aku hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka.

Dia biasanya dingin, dan selalu mencari celah untuk menggodaku.

Tapi sekarang, gadis sadis ini menunjukkan ekspresi yang begitu manis... Ini curang.

"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"

"Ah. Aku sudah cukup bersemangat lagi. Terima kasih, Koi. Aku sudah memutuskan..."

Diterangi cahaya matahari pagi, aku mengambil keputusan.

"Aku akan melindungi Hinami... Tidak, bukan hanya dia. Aku akan melindungi semua temanku, sambil tetap menyembunyikan identitasku. Aku juga harus terus maju."

"Bagus. Senang mendengar itu."

Koi perlahan melepaskan tangannya dari pipiku dan mulai berjalan lebih dulu.

"Ayo kembali ke kamar sebelum semua orang bangun."

"Iya."

Saat kami mulai berjalan kembali menuju penginapan, burung-burung mulai berkicau dengan suara yang indah.

Dari berbagai arah, terdengar nyanyian burung yang beragam.

Aku tidak bisa memahami bahasa burung...

Tapi entah kenapa, saat itu aku merasa...

Seolah-olah mereka ikut bersukacita karena aku telah mengambil langkah maju.

***

Setelah jalan-jalan pagi bersama Koi berakhir, tidak lama kemudian waktu sarapan pun tiba.

Aku duduk di tempat yang kebetulan kosong. Meski terasa sepi karena tidak ada siapa pun di sebelahku, aku mulai makan dengan tenang.

"Banyak hal terjadi... Ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan dalam arti yang berbeda."

Fakta bahwa gadis yang dulu sering bermain denganku ternyata adalah Yuri.

Fakta bahwa aku akhirnya menginap di kamar para gadis.

Dan juga, fakta bahwa Hinami kini menyukai seseorang.

Terlalu banyak hal yang terjadi, aku merasa sudah cukup kenyang dengan semua ini.

"Kenapa sih masa mudaku selalu penuh dengan masalah?"

Aku bergumam pelan pada diri sendiri.

"Oh! Yang duduk di sini ternyata Ryo!"

Tiba-tiba, suara ceria terdengar dari belakangku. Saat aku menoleh, aku melihat Yuri yang tersenyum lebar sejak pagi. Di belakangnya, Hinami dan Koi juga ada di sana.

"Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?"

"Tentu saja! Tapi bagaimana denganmu, Ryo? Aku dengar dari Koi kalau kamu baru kembali ke kamar pagi-pagi sekali. Kenapa tidak menginap saja?"

"Apa yang akan terjadi kalau seseorang melihat kami bersama?"

"Kamu bilang begitu, tapi sebenarnya senang juga, kan? Ah, jangan-jangan... waktu kami tidur, kamu melakukan hal-hal mesum pada kami, ya?"

"T-tentu saja tidak! Aku hanya tidur biasa!"

"Eeeh~ Benarkah?"

Yuri mendekatiku dengan senyum penuh godaan, lalu merapat ke telingaku dan berbisik pelan.

"Yah, kalau itu kamu sih... aku tidak akan keberatan, kok."

"……Eh?"

Aku benar-benar terkejut hingga tubuhku membeku.

Tidak mungkin aku bisa tetap tenang setelah mendengar kata-kata seperti itu dari seorang gadis.

Apakah ini hanya lelucon...?

Atau justru ini perasaannya yang sebenarnya...?

Aku yang masih terkejut langsung bertanya balik.

"Y-Yuri... Sejauh mana kamu serius dengan perkataanmu tadi?"

"Entahlah~? Coba pikirkan sendiri~"

"T-tidak mungkin aku bisa tahu jawabannya!"

"Ryo memang lamban, ya~. Oh iya, aku ada urusan sebentar dengan anak-anak klub. Kalian makan duluan, ya. Daaah~"

Setelah mengedipkan mata padaku, Yuri pun pergi ke meja tempat murid-murid dari kelas lain duduk.

A-apa-apaan tadi itu...?

Apakah aku harus menganggap kata-katanya serius?

Tapi ini Yuri... Dia memang suka bercanda, jadi bisa saja dia hanya menggodaku.

Tapi... bagaimana kalau dia benar-benar serius...?

Aaaah! Aku tidak tahu! Sama sekali tidak tahu!

Sejak uji nyali, Yuri terasa sangat berubah. Rasanya seperti dia semakin mendekatiku.

Apa aku hanya berpikir berlebihan?

Atau mungkin dia...?

Tidak, tidak, tidak!

Aku pasti hanya membayangkan hal yang tidak-tidak! Yuri itu hanya gadis tsundere. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya.

Lagipula, aku tidak pernah populer sebelumnya. Bisa jadi ini hanya ilusiku sendiri.

Aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Hanya karena seseorang lebih dekat denganku, bukan berarti aku boleh berkhayal seenaknya.

Sambil mencoba mengabaikan kebingunganku, aku kembali fokus pada sarapanku.

"Ryo-kun, boleh aku duduk di sebelahmu?"

Suara yang menyapaku kali ini adalah Hinami.

"Oh, tentu. Silakan, Hinami."

Hinami pun duduk di sebelahku, sementara Koi memilih duduk di depanku.

Saat kami makan, kami mulai mengobrol.

"Ryo-kun, setelah uji nyali, kamu terlihat semakin akrab dengan Yuri, ya? Bahkan tadi malam saat bermain kartu di kamar, kalian terlihat begitu dekat. Ada sesuatu yang terjadi?"

"E-eh, yah, banyak hal yang terjadi. Kalau diceritakan, pasti panjang."

"A-apa mungkin... k-kalian sedang pacaran?"

"Hah? Aku dan Yuri?"

"U-uhm..."

"Tentu saja tidak! Kami tidak pacaran."

"Begitu ya... Syukurlah."

"Eh? Syukurlah? Kenapa?"

"T-tidak ada! Jangan dipikirkan! L-lihat deh, roti ini kelihatannya enak sekali!"

Entah kenapa, Hinami tiba-tiba jadi gugup dan wajahnya memerah saat dia mulai menyuap rotinya dengan cepat.

Saat aku masih kebingungan dengan tingkahnya, aku melihat Koi yang duduk di depanku tersenyum aneh.

Eh? Ada apa dengan orang ini? Kenapa dia tersenyum seperti itu? Menyeramkan...

"Koi-san, kenapa kamu menatapku sambil tersenyum?"

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir kalau ini akan menjadi sangat menarik."

"Eh? Maksudnya apa itu!?"

"Coba pikirkan sendiri~"

Apa-apaan ucapan penuh arti itu? Serius, ini menyeramkan.

Tapi, aku tahu kalau bertanya lebih jauh pun percuma. Koi yang sadis ini pasti tidak akan memberitahuku secara langsung.

"Kenapa Koi-san dan Yuri mengatakan hal yang sama..."

Sambil menggerutu, aku kembali melanjutkan sarapanku.

Sejak uji nyali dan malam di kamar para gadis, Yuri dan Hinami terasa berubah.

Yuri berhasil mengatasi trauma masa lalunya, sedangkan Hinami terbebas dari kebimbangannya dan kini sepenuhnya fokus pada perasaannya.

Sepertinya beban di hati mereka berdua sudah hilang, dan kini mereka bisa menatap ke depan. Mereka mencoba menikmati setiap momen dengan sepenuh hati.

Sebagai teman, aku senang bisa membantu mereka.

Namun, ada satu hal yang aneh...

Entah kenapa, aku merasa jarak antara kami bertiga semakin dekat dibanding sebelumnya.

Dengan suasana seperti ini sejak pagi, kami pun menjalani program hari kedua dari kegiatan perkemahan sekolah.

Kami akan meninggalkan penginapan setelah makan siang. Hingga saat itu, kami mengikuti kegiatan pembelajaran tentang kehutanan.

Kami belajar tentang kehutanan bersama para pekerja kehutanan dan penduduk setempat, serta mengikuti berbagai aktivitas praktik.

Tentu saja, semua dilakukan dalam kelompok.

Sama seperti saat sarapan, Yuri terus menggoda dan mendekatiku dengan agresif.

Sementara itu, Hinami juga tetap berada di dekatku tanpa menjauh sedikit pun.

Dan di sisi lain, Koi hanya mengamati semuanya dengan ekspresi seolah menikmati tontonan yang menarik.

Dengan hubungan segitiga yang aneh ini, kami pun menyelesaikan kegiatan kehutanan dan melahap makan siang dengan lahap.

Karena kurang tidur dan aktivitas fisik selama kegiatan kehutanan, tubuhku hampir kehabisan tenaga.

Jadi, setelah menyantap makanan yang lezat, kantuk pun menyerangku, dan aku tertidur lelap di dalam bus perjalanan pulang.

Belakangan, aku mendengar dari Hana-Sensei bahwa sekitar 80% siswa tertidur di dalam bus.

Ya, memang tidak ada hal yang lebih baik untuk dilakukan di bus perjalanan pulang selain tidur.

 

Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close