NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Chikatetsu de Bishoujo o Mamotta Ore V1 Chapter 6 — 10

Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


 Chapter: 6 Sulit Menjadi Orang Populer


Dua minggu telah berlalu sejak upacara penerimaan siswa baru yang penuh dengan rangkaian kejadian sial.

Sebagai siswa SMA baru, aku mulai terbiasa dengan kehidupan sekolah, dan pelajaran pun sudah dimulai.

Seperti yang diharapkan dari sekolah unggulan, cara mengajarnya mudah dipahami. Selain itu, suasana kelas yang tenang membuatku bisa fokus sepenuhnya pada pelajaran. Benar-benar luar biasa.

Atau, seharusnya begitu.

Sayangnya, ada satu masalah yang sangat mengganggu.

Dan masalah itu selalu datang bersamaan dengan bunyi bel yang menandakan dimulainya jam istirahat siang.

Ah, bel sudah berbunyi. Berarti sebentar lagi itu akan terjadi lagi.

Tepat seperti dugaanku, masalah yang selalu muncul setiap jam istirahat siang terulang lagi hari ini.

"Ah! Itu Kujo-san! Ayo makan siang bareng! Boleh minta kontaknya?"

"Jadi dia 'Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun' itu?! Gila, dia cantik banget! Aku mau follow dia di Instagram!"

"Aku belum pernah lihat cewek secantik itu! Kujo, ayo ke kantin bareng!"

Setiap jam istirahat siang, siswa dari kelas lain berbondong-bondong masuk ke kelasku, semuanya mencari Kujo, yang duduk di sebelahku.

Mereka datang seperti gelombang tsunami, dan aku, yang hanya duduk di kursiku sendiri, malah dianggap sebagai penghalang.

Akhirnya, aku selalu diusir dari kursiku.

Hari ini saja sudah yang kelima kalinya.

Dan ini tidak hanya terjadi padaku—siapa pun yang duduk di sekitar Kujo mengalami nasib yang sama.

Belakangan ini, makin banyak siswa yang ingin lebih dekat dengan Kujo, jadi mereka mengelilinginya seperti penggemar berat. Tentu saja, ini sangat mengganggu siswa lain.

Jujur saja, aku bisa sedikit memahami perilaku mereka.

Wajah secantik itu, ditambah lagi dia adalah gadis yang sedang jadi pusat perhatian nasional—ibarat bintang besar yang bersekolah di sini.

Jadi, tidak aneh kalau ada yang ingin mendekatinya.

Tapi tetap saja, kenapa harus seobsesif ini?!

Apa mereka begitu ingin pamer di Instagram atau Twitter?!

Aku sendiri tidak tertarik dengan media sosial, jadi aku tidak begitu mengerti. Tapi orang yang punya hasrat pamer tinggi memang merepotkan.

Apa dengan mengunggah satu foto bersama Kujo, hidup mereka bisa berubah drastis?

Aku hanya bisa menghela napas dan menikmati bekal makan siangku di tempat duduk kosong yang tersedia.

Sesekali, aku melirik ke arah Kujo.

Dia tampak bingung dan terpaksa tersenyum sambil menghadapi para penggemarnya.

Kasihan sih... tapi, mau bagaimana lagi?

Akhirnya, aku hanya bisa fokus makan siang sambil bersabar menghadapi hiruk-pikuk ini.

________________________________________

Hari berikutnya, saat jam istirahat siang

Ketika aku kembali dari toilet, kelas terasa lebih ramai dari biasanya.

Aku langsung berpikir, "Apa aku harus minggir lagi?" dan merasa sedikit tertekan.

Tapi begitu mendengar suara para siswa, aku sadar ada sesuatu yang berbeda hari ini.

"Hah?! Kujo-san gak ada! Ke mana dia?!"

"Hei, ada yang tahu Kujo-san di mana?"

"Kenapa dia gak ada di kelas?! Aku tadi sudah cek toilet perempuan, tapi dia juga gak ada!"

Benar. Hari ini, Kujo menghilang.

Seolah terkena fenomena hilang secara misterius, dia tiba-tiba lenyap tanpa jejak.

Siswa-siswa yang biasa mencari Kujo tampak sangat kecewa dan panik.

Bagi mereka, Kujo sudah seperti seorang superstar.

Jadi, kehilangan 'bintang' mereka adalah bencana besar.

Namun yang lebih mengejutkan, ini bukan cuma terjadi hari itu saja.

Hari berikutnya.

Lalu hari setelahnya.

Setiap jam istirahat siang, Kujo selalu menghilang.

Siswa dari kelas lain mulai patah semangat karena tidak bisa menemui Kujo, dan lama-kelamaan jumlah mereka berkurang.

Sampai akhirnya, setelah seminggu berlalu, hanya tersisa sedikit orang yang masih penasaran.

Mereka bahkan mulai mengintip ke dalam kelas sebelum masuk untuk memastikan apakah Kujo ada atau tidak. Jika tidak ada, mereka langsung balik ke kelas masing-masing.

Jujur, aku sangat bersyukur.

Akhirnya, aku bisa makan siang dengan tenang di tempat dudukku sendiri.

Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku.

Ke mana sebenarnya Kujo pergi setiap jam istirahat siang?

Sebagai orang yang duduk di sebelahnya, aku penasaran dan mencoba bertanya langsung padanya.

Namun, Kujo selalu menghindari pertanyaanku.

Jawabannya selalu sama:

"Aku ada urusan di ruang OSIS."

"Aku dipanggil guru."

Jawaban standar yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Bahkan teman-temannya, Yuri dan Furuoi-san, juga mendapat jawaban yang sama.

Apa kerja OSIS seberat itu?

Apa para guru benar-benar sering menyuruhnya ini-itu?

Aku penasaran, tapi...

Aku memilih untuk tidak mencari tahu lebih jauh.

Salah satu alasanku tidak mencoba mendekatinya lebih dari yang diperlukan adalah karena dia berusaha menyembunyikan jati dirinya.

Namun, itu bukan satu-satunya alasan.

Setiap kali jam istirahat siang tiba, Kujo selalu pergi sendirian meninggalkan kelas—dengan ekspresi yang terlihat sedikit kesepian.

Melihat itu, aku tidak tega untuk memaksanya menjawab pertanyaanku.

*** 

Saat hari-hari berlalu tanpa ada seorang pun yang tahu di mana Kujo berada saat jam istirahat siang, aku akhirnya mengetahui alasannya—dan itu terjadi karena kejadian yang sama sekali tidak aku duga.

Semuanya bermula pada suatu siang.

"Haaah… capek banget… Cuma karena aku cowok, masa aku doang yang disuruh jadi pesuruh…?"

Aku berjalan sendirian di sepanjang koridor gedung tambahan dengan langkah lesu.

Tiba-tiba, wali kelasku, Hana-sensei, memanggilku, dan sebelum aku sempat memahami apa yang terjadi, dia menatapku dengan senyum misteriusnya dan berkata:

"Kamu kan ketua kelas, jadi pasti mau bantuin, kan?"

Tanpa bisa membantah, aku akhirnya menghabiskan setengah jam istirahat siangku untuk mengurus pekerjaan kelas.

Di SMA Tokinozawa, ada dua gedung utama—gedung utama tempat siswa dan guru mengadakan pelajaran, serta gedung tambahan yang digunakan untuk menyimpan materi pelajaran dan ruang kuliah.

Hari ini, ada tugas menata bahan ajar di gedung tambahan, dan entah bagaimana, aku yang harus mengerjakannya.

Wali kelasku benar-benar suka menyuruh-nyuruh orang…

Aku menghela napas dalam-dalam dan menundukkan bahu dengan pasrah.

Ketika aku mengecek ponsel, setengah waktu istirahatku sudah habis.

"Sial… berarti aku gak bisa makan bekal dengan santai…"

Saat aku menggerutu sendiri—

"Eh? Kenapa pintunya terbuka?"

Aku kebetulan melewati salah satu ruang kosong di gedung tambahan dan melihat pintu yang sedikit terbuka.

Biasanya, semua ruangan di gedung ini tertutup rapat, jadi ini cukup aneh.

Ada seseorang di dalam?

Didorong oleh rasa penasaran, aku perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam.

Dan di sana, aku melihat—

"EHHH!? Keido-kun!? Kenapa kamu ada di sini!?"

Yang ada di dalam ruangan adalah Kujo.

Si "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun" itu ternyata sedang makan bekal sendirian.

Dia sangat terkejut melihatku, sampai-sampai mulutnya menganga lebar seolah cukup untuk memasukkan satu tomat utuh, dan sosis yang ia pegang dengan sumpit jatuh begitu saja, tanpa ia sadari.

"Kenapa kamu makan bekal di ruangan kosong kayak gini?"

"E-ehh… itu… i-ini… a-anu…"

Matanya melirik ke sana kemari, wajahnya memerah.

Tentu saja dia bakal panik kalau ketahuan makan sendirian.

Aku pun berkata,

"Aku gak akan nanya kenapa kamu ada di sini, tapi bukankah lebih enak makan di kelas atau di kantin?"

Saat aku mengatakan itu—

"Itu gak boleh."

Seketika, ekspresi paniknya menghilang, berganti dengan tatapan sedih.

"Kalau aku ada di sana, semua orang jadi terganggu… Mereka gak akan bisa makan dengan tenang…"

Dia menunduk dan bergumam pelan.

Dari kata-katanya dan kenyataan bahwa dia makan sendirian di sini, aku pun menyadari semuanya.

"Jadi… kamu sengaja makan di sini karena takut mengganggu orang lain kalau makan di kelas atau kantin?"

Kujo mengangguk pelan.

Sebagai seorang gadis yang memiliki paras luar biasa cantik, Kujo Hinami telah menjadi perhatian publik.

Karena kecantikannya yang hampir tak nyata, netizen menjulukinya "Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun," membuatnya menjadi seorang sosok terkenal yang hampir semua orang di negeri ini pernah lihat.

Dengan statusnya yang luar biasa itu, wajar jika banyak siswa dari berbagai kelas berbondong-bondong ingin bertemu dengannya.

Ditambah lagi, Kujo memiliki kepribadian yang sangat baik.

Dia tidak hanya cantik, tetapi juga lembut dan ramah pada semua orang.

Karena itu, dia tidak bisa secara tegas menolak orang-orang yang terus mendekatinya.

Akhirnya, dia memutuskan bahwa menyendiri adalah solusi terbaik, dan itulah alasan dia selalu makan sendirian di ruangan ini.

"Jadi, Keido-kun… tolong jangan bilang siapa-siapa ya. Kalau orang lain tahu, mereka pasti bakal datang ke sini juga…"

"Oke, aku janji gak bakal bilang siapa-siapa. Tapi boleh aku tanya satu hal?"

"E-eh? Apa…?"

"Kujo… sampai kapan kamu mau terus sendirian seperti ini?"

Mendengar pertanyaanku, Kujo terdiam.

Dia pasti tidak pernah benar-benar memikirkan masa depannya.

Dia hanya berusaha bersembunyi dan menghindari masalah, tanpa tahu sampai kapan ini akan berlangsung.

Sebenarnya, ini bisa saja terus terjadi sepanjang semester pertama.

"Aku gak tahu… Tapi… aku harus terus melakukan ini sampai semua orang mulai tenang. Tapi gak usah khawatir! Aku gak kesepian kok! Aku baik-baik saja, jadi kamu gak perlu memikirkanku! Aku benar-benar gak apa-apa!"

Dia mengatakannya dengan senyum cerah.

Tapi di mataku, dia tidak terlihat baik-baik saja sama sekali.

Baik saat dia meninggalkan kelas setiap jam istirahat, maupun saat aku membuka pintu tadi— ekspresinya selalu terlihat sedih.

Dan aku juga tahu satu hal—

Ketika seorang gadis mengatakan "Aku baik-baik saja!" dengan senyum seperti itu…

Itu berarti dia sedang berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"…Begitu ya. Aku sudah selesai dengan urusanku, jadi aku balik ke kelas dulu. Jangan khawatir, aku gak akan bilang siapa-siapa soal ini."

Sambil mengatakan itu, aku mulai menutup pintu dengan pelan.

"Oke, aku mengerti. Makasih ya, Keido-kun. Sampai nanti di pelajaran kelima!"

Setelah mendengar kata-katanya, aku pun mulai melangkah kembali menuju kelas.

Selama ini, aku menyembunyikan jati diriku demi menjalani kehidupan sekolah yang damai.

Karena itu, aku tidak berniat mendekati Kujo lebih dari yang diperlukan atau terlalu terlibat dengannya.

Tapi sejujurnya… aku gak bisa membiarkannya begitu saja.

Aku tahu ini kontradiktif. Mungkin yang terbaik adalah mengabaikannya.

Tapi tetap saja—

Fakta bahwa Kujo harus menderita padahal dia tidak melakukan kesalahan apa pun—itu jelas salah.

Kalau tidak ada yang membantunya, dia akan terus terjebak dalam situasi ini.

Dan itu… tidak boleh terjadi.

"Haaah… gak ada pilihan lain, huh."

Sambil mengacak-acak rambutku dengan frustasi, aku membulatkan tekad untuk melakukan sesuatu demi mengubah keadaan ini.

Pertama-tama… aku akan meminta bantuan dua orang itu.

*** 

Keesokan harinya. Saat ini, waktu istirahat siang sedang berlangsung.

Aku membawa dua orang siswa ke depan ruang kosong tempat Kujo berada.

"Baiklah, aku akan membukanya, jadi tunggu sebentar."

Setelah berkata begitu kepada dua orang yang berdiri di belakangku, aku dengan pelan membuka pintu.

"Yo, Kujo! Hari ini juga sendirian di sini?"

"Eh!? Keido-kun!? Kenapa kau datang lagi!?"

Seperti yang kuduga, dia ada di sini lagi hari ini.

Kujo menunjukkan reaksi yang hampir sama seperti kemarin saat melihatku masuk.

"A-ada apa!? Kau butuh sesuatu dariku!?"

"Iya, aku memang ada urusan. Sebenarnya, ada orang yang ingin makan siang bersamamu. Jadi aku membawa mereka ke sini."

Aku melirik ke belakang untuk memberi isyarat, dan dua siswa pun melangkah masuk ke dalam ruangan.

Kata pertama yang keluar dari mereka bukanlah permintaan nomor kontak atau ajakan untuk bermain bersama, melainkan—

"Yo, Hinami! Aku sempat bertanya-tanya kenapa kamu gak pernah kelihatan pas istirahat siang, ternyata kamu ngumpet di sini, ya!"

Suara ceria yang bisa membuat siapa saja merasa lebih baik hanya dengan mendengarnya—itulah Yuri.

Dengan senyuman lebar dan kedipan mata yang menggemaskan, dia mendekati Kujo.

Menyusul di belakangnya—

"Seriusan, Hinami? Kamu sampai makan siang sendirian di tempat kayak gini…"

Orang yang terlihat seperti loli tetapi berjiwa sadis—Koi.

Dengan tangan di dahi, dia tampak agak terkejut melihat Kujo benar-benar makan sendirian.

"Eh!? Yuri? Koi-chan!? Kenapa kalian ada di sini!?"

Setelah terkejut dengan kehadiran mereka, Kujo menatap ke arahku.

"Keido-kun, ini kamu yang membawa mereka? Tapi… kenapa tiba-tiba?"

"Aku sudah bilang tadi, kan? Ada orang yang ingin makan siang bersamamu, jadi aku membawanya ke sini. Tentu saja, aku gak bilang ke siapa pun yang lain, jadi tenang aja."

Kemarin, setelah melihat apa yang terjadi saat istirahat siang, aku diam-diam berbicara dengan Yuri dan Koi.

Kenapa Kujo selalu menghilang saat istirahat?

Kenapa dia gak bilang ke siapa pun dia ada di mana?

Setelah menjelaskan semuanya kepada mereka, aku pun meminta bantuan mereka.

"Kalau kalian gak keberatan, maukah kalian menemani Kujo saat istirahat di gedung ini?"

Tanpa sedikit pun menunjukkan rasa keberatan, mereka langsung menyetujui permintaanku.

Dan sekarang, inilah hasilnya.

"Ryo sudah cerita semuanya. Jadi, kamu sengaja menghindar ke sini biar gak bikin repot kami, kan!? Duh, kalau kayak gitu bilang aja dari awal!"

Yuri mengembungkan pipinya kesal, lalu mendekati Kujo. Koi pun ikut mendekat.

"Yuri benar, Hinami. Kalau kamu kesulitan, katakan saja kapan pun. Gak perlu ragu, meskipun itu hal yang merepotkan. Karena kita ini…"

Lalu, dengan tatapan serius, mereka berkata dengan tegas dan jelas.

"Karena kita teman!"

Kata-kata itu sepertinya menusuk hati Kujo.

Aku bisa melihat air mata berkilauan mulai muncul di sudut matanya.

Selama ini, saat istirahat siang, dia selalu sendirian.

Dia bersembunyi di sini dalam kesepian, tidak bisa meminta bantuan karena tidak ingin merepotkan orang lain.

Tapi akhirnya, dia menemukan orang-orang yang mau menemaninya.

Merasa begitu bahagia, suaranya mulai bergetar.

"U-uh… Terima kasih, Yuri, Koi-chan… Maaf aku gak pernah bilang apa-apa. Aku… senang sekali kalian datang."

Huh… Jadi Kujo juga bisa berbicara dengan suara seperti itu, ya? Agak mengejutkan.

Yah, sepertinya dia gak akan makan siang sendirian lagi.

Sekarang dia bisa menikmati makan siang bersama teman-temannya setelah sekian lama.

Aku mungkin akan mengganggu kalau terus di sini.

Jadi lebih baik aku pergi saja.

Aku menutup pintu dengan pelan, lalu kembali ke kelasku.

Tugasku sudah selesai.

Sekarang, aku hanya perlu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa saat berhadapan dengan Kujo.

*** 

Sore itu, sepulang sekolah.

Saat jam HR (home room) dimulai, Hana-Sensei sedang menyampaikan beberapa pengumuman.

"Keido-kun, terima kasih untuk hari ini. Aku benar-benar terbantu."

Kujo, yang duduk di sebelahku, mengatakannya dengan suara pelan.

"Gak perlu terima kasih. Jangan dipikirkan. Aku cuma cerita ke Yuri dan Koi, gak melakukan apa-apa. Kalau mau berterima kasih, bilang ke mereka berdua."

"Tentu saja aku sudah mengucapkan banyak terima kasih pada mereka. Tapi, kalau kamu gak cerita, ini semua gak akan terjadi. Jadi, benar-benar terima kasih ya."

"B-bukan masalah besar, kok."

Saat Kujo tersenyum lebar, aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat.

Sial. Kenapa dia bisa secantik ini!?

"Ah, iya! Sebelum aku lupa, ada sesuatu yang ingin kuberikan. Mau menerimanya?"

Kujo mengambil secarik kertas kecil dari saku roknya dan menyerahkannya padaku.

"Ini apa?"

"I-ini… rahasia ya. Tapi… di kertas itu ada kontak pribadiku. Jadi, kalau ada keperluan, hubungi aku lewat situ… mungkin?"

Sambil memutar-mutar ujung rambutnya dengan jari, Kujo melirik ke arahku sesekali, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

Jika yang dia katakan benar… berarti di kertas ini tertulis kontak pribadi Kujo…?

T-tunggu dulu! Etidak mungkin kan!? Aku pasti salah dengar!

Untuk memastikan, aku bertanya lagi.

"Jadi ini kontak pribadimu, dan aku harus menambahkannya?"

Jawabannya tetap sama. Aku gak salah dengar.

Aku menatap kertas yang sudah kuterima, dan memang benar—tertera nomor ponsel serta ID LINE milik Kujo.

…Hah?

Serius nih!?

Aku… benar-benar mendapatkan kontak Kujo, gadis yang disebut sebagai ‘Kecantikan Seabad Sekali’!?

"K-kenapa tiba-tiba ngasih kontakmu!?"

"S-soalnya… aku percaya sama Keido-kun… mungkin?"

Saat aku panik, Kujo terlihat gelisah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan malu-malu.

"Eh? Kamu percaya padaku?"

"Iya."

Setelah itu, dia melanjutkan.

"Aku tahu ini terdengar aneh kalau aku yang bilang sendiri, tapi sejak kejadian penyerangan acak itu, aku jadi sangat terkenal. Karena itu, banyak orang tiba-tiba ingin tahu kontakku atau mengajakku pergi. Tapi… aku gak nyaman untuk langsung bertukar kontak atau pergi bareng mereka, jadi aku selalu menolak dengan cara yang gak menyakiti mereka."

"Jadi, alasan kamu selalu tersenyum itu karena hal ini?"

"Iya. Tapi Keido-kun berbeda dari yang lain. Kamu gak pernah memaksa masuk ke dalam urusan pribadiku, dan saat aku butuh bantuan, kamu benar-benar menolongku. Makanya aku merasa… kamu orang yang bisa dipercaya. Aku gak mau cuma jadi teman sekelas, aku ingin kita benar-benar berteman. K-kamu keberatan?"

Matanya menatap langsung ke mataku dengan penuh keseriusan.

Aku bisa merasakan kejujuran dalam kata-katanya.

Berbeda dari orang-orang lain yang mendekatinya hanya karena popularitas, aku tidak pernah memaksakan diri untuk mendekatinya.

Ironisnya, justru itu yang membuatku mendapat penilaian tinggi di matanya.

Padahal aku hanya ingin menyembunyikan identitasku, dan berusaha untuk tidak terlibat lebih jauh dengannya…

Tapi meski begitu, Kujo tetap memilih percaya padaku, bahkan berani mengambil risiko dengan memberiku kontak pribadinya.

Jika aku menolaknya sekarang, aku akan menghancurkan perasaan Kujo.

Sebagai laki-laki—tidak, sebagai manusia—itu adalah hal terburuk yang bisa kulakukan.

Tujuanku adalah menjaga rahasiaku tetap tersembunyi.

Tapi menyakiti Kujo demi itu adalah sesuatu yang gak boleh terjadi.

Dengan pelan, aku menyimpan kertas itu ke dalam saku celanaku.

"Baiklah. Aku akan menyimpannya dan mendaftarkan kontakmu saat sampai di rumah."

"Benar-benar!? Terima kasih! Tapi jangan sampai kasih tahu siapa pun, ya?"

"Aku tahu. Aku gak akan bilang ke siapa pun, jadi tenang aja."

"Yaay! Terima kasih, Keido-kun!"

Di akhir percakapan, Kujo memberikan senyuman paling cerah yang pernah kulihat.

Seketika, aku merasa akal sehatku hampir hilang karena betapa lucu dan berharganya dia.

Tapi aku berhasil menggertakkan gigi dan menahan diri.

*** 

Setelah home room berakhir, aku langsung pulang ke rumah. Begitu sampai di kamar, aku langsung menjatuhkan diri ke atas tempat tidur.

Sambil menatap langit-langit, aku mengambil kontak yang ada di sakuku dan segera menyimpannya di ponsel.

Untuk mencoba, aku mengirim pesan:

"Yoroshiku!" (Senang berteman denganmu!)

Tak disangka, balasannya datang dengan cepat.

"Yaho~ Keido-kun! Yoroshiku ne!"

Setelah itu, dia mengirim stiker anjing Shiba dengan tulisan ‘Yoroshiku da wan!’

Oh? Jadi Kujo suka anjing Shiba?

…Tapi itu bukan hal penting sekarang.

Ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.

Aku berusaha tidak terlalu terlibat dengannya, tapi malah dapat kontak pribadinya diam-diam?

Tunggu…

Bukannya ini malah bikin aku semakin dekat dengannya!?



Chapter 7: Identitasku Terbongkar!?

Sudah tiga hari sejak aku bertukar kontak dengan Kujo.

Hari ini juga berjalan tanpa masalah, dan setelah pulang sekolah, aku sedang bermain game ritme di kamar.

Meskipun pada hari upacara masuk sekolah aku mengalami berbagai peristiwa yang bisa menghancurkan hidupku, akhir-akhir ini hidupku terasa tenang.

Tidak ada kejadian yang bisa membuat identitasku terungkap, dan tidak ada flag yang terpancang.

Inilah kehidupan sekolah yang kuinginkan.

Pergi ke sekolah setiap hari, lalu pulang dan melakukan hal yang kusukai. Jika aku bisa mempertahankan pola hidup seperti ini, itu sudah cukup bagiku.

Selama aku bisa mempertahankan hari-hari yang damai seperti ini, identitasku tidak akan terbongkar.

Oh! Aku hampir menyelesaikan mode tersulit dengan full combo!

Demi menyelesaikan full combo yang kudambakan—yaitu menyelesaikan level tertinggi tanpa kesalahan—aku mengerahkan seluruh konsentrasiku ke dalam game.

Sedikit lagi... Sedikit lagi dan aku berhasil!

Ini dia! Bagian terakhir! Jika aku bisa melewati ini—

"Onii~, aku masuk ya~"

"AAAAAAAHH! Aku hampir full combo, tapi kenapa harus ada gangguan dari adikku!?"

Padahal tinggal sedikit lagi! Sial!

Kenapa setiap kali aku bermain game ritme, selalu ada yang mengganggu!?

"Apa? Onii, lagi main game?"

"Aku sedang mengerahkan seluruh fokusku ke game! Tinggal sedikit lagi aku bisa full combo! Tapi tunggu, kamu udah ketuk pintu belum!?"

"Ribet, jadi aku skip."

"Kenapa kamu malah SKIP!? Gara-gara kamu aku gagal!"

"Gome."

"Bahkan minta maaf pun disingkat!?"

Adikku, Michika, berbeda denganku—dia seorang sosialita sejati.

Meskipun masih SMP, rambutnya sudah dicat cokelat, dan tubuhnya juga cukup berkembang. Setiap hari dia selalu membaca majalah fashion dan melihat produk kosmetik, menunjukkan betapa pedulinya dia pada penampilan.

Dan yang terpenting, di rumah dia selalu bersikap dingin kepadaku.

…Yah, adik perempuan seusia itu memang begitu pada umumnya.

"Terus? Ada apa?"

"Barusan ada telepon. Katanya teman sekelasmu, jadi aku bawain teleponnya."

"Hah? Telepon? Buatku?"

"Iya. Katanya ada urusan denganmu. Cepetan angkat."

Michika melemparkan gagang telepon kepadaku, lalu keluar dari kamar begitu saja.

Serius, dia itu bener-bener dingin.

Aku menempelkan telepon ke telinga dan menjawab.

"Halo, ini Ryo."

Siapa yang meneleponku?

Jujur saja, aku sedikit deg-degan…

Namun, begitu mendengar suara di ujung telepon—

Aku langsung merinding.

"Kau cukup akrab dengan adikmu, ya? Agak mengejutkan."

"Suara ini… Koi-san?"

Tunggu… TUNGGU DULU!?

Kenapa Koi-san menelepon ke rumahku!?

Kenapa dia tahu nomorku!?

Kenapa ini terasa menakutkan!?

Apa yang ingin dia katakan!?

"Padahal aku belum menyebutkan namaku, tapi kau bisa langsung menebaknya. Hebat juga."

"Suaramu yang dingin itu cuma milikmu seorang, Koi-san!"

"Kau bilang dingin? Itu kejam sekali. Aku ini gadis yang polos, tahu?"

"Gadis polos tidak akan bilang dirinya polos sendiri. Terus? Ada urusan apa? Dan lebih penting lagi… gimana caranya kamu tahu nomor rumahku!?"

"…Begini. Kalau saja kau tidak menjatuhkan buku siswa di jalan pulang, aku juga tidak akan tahu."

"Hah? Buku siswa?"

"Oh? Kau tidak sadar? Aku menemukan buku siswamu tergeletak di jalan tadi."

"Serius!?"

"Tentu saja. Di dalamnya ada kartu pelajar yang mencantumkan nomor rumahmu, jadi aku bisa menghubungimu. Coba cek tasmu."

Sesuai saran Koi-san, aku segera memeriksa isi tasku.

…Tidak ada.

Buku siswa yang seharusnya selalu ada di tasku… hilang.

A-apa mungkin aku menjatuhkannya tadi saat mengeluarkan earphone!?

Aku benar-benar sudah selesai…

"Maaf, Koi-san. Aku bahkan tidak sadar kalau menjatuhkannya. Terima kasih sudah repot-repot menelepon untuk memberitahuku."

"Tidak apa-apa. Aku ini orang yang baik, tahu. Super baik. Bahkan iblis pun bisa bertobat karena hatiku yang luas dan baik."

"Eh, biasanya orang tidak bilang hal begitu sendiri, kan? Dan lagi, kamu bilang tiga kali."

Tapi, dia memang baik. Berkat telepon ini, aku bisa menyadarinya.

Lain kali bertemu, aku traktir minuman, deh.

"Oh iya, selain soal buku siswa, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan."

"Eh? Hal lain?"

Apa? Selain buku siswa, ada hal lain?

"Aku semakin yakin setelah melihat kartu pelajarmu. Kamu…"

Setelah beberapa detik hening, Koi-san berkata dengan tenang.

"Kamu adalah siswa laki-laki yang menyelamatkan Hinami dari penyerang itu, kan?"

"…Hah?"

Eh, tunggu, jangan bercanda…

Kenapa…

Kenapa bisa ketahuan?!

Baru saja aku merasa hidupku tenang, tiba-tiba ada event kehancuran di mana teman sekelasku tahu identitasku!

Kenapa harus begini?! Kenapa hidup SMA-ku tidak bisa tenang?!

Dan yang mengetahui rahasiaku justru dia—si putri dominan Koi-san!

Aku ingin beralasan, tapi apakah itu akan berhasil padanya…?

Dia adalah orang pertama yang menyadarinya. Pasti dia sudah memastikan semuanya dengan bukti yang kuat sebelum menyimpulkan.

Tapi tetap saja, bagaimana dia bisa menebak aku?!

Bahkan netizen pun belum berhasil mengungkap identitasku.

Kepalaku kacau, pikiranku berantakan.

"Kamu diam saja. Jangan-jangan, saking terkejut dan cemasnya, kamu sampai lupa bagaimana cara bicara?"

"Eh, etidak, cuma… Aku kaget karena kamu tiba-tiba bilang begitu…"

"Oh, begitu. Tapi kamu tidak menyangkal, kan? Itu artinya, kamu mengakuinya, bukan?"

"Tidak, tidak, tidak! Aku sama sekali tidak terlibat dalam kejadian itu! Aku cuma bingung harus merespons bagaimana karena kamu tiba-tiba bicara aneh!"

"Hmm, begitu ya? Kalau begitu, boleh aku jelaskan kenapa aku bisa menebak kalau itu kamu?"

"…Eh? Ya, coba jelaskan."

Setelah aku menjawab,

Aku hanya bisa terdiam mendengar analisis sempurna Koi-san.

"Kartu pelajarmu mencantumkan alamat rumahmu, jadi aku tahu stasiun terdekatmu adalah tempat di mana siswa laki-laki itu menghilang. Kalau dihitung dari waktu selesai ujian SMA Tokinosawa, kamu pasti ada di kereta bawah tanah yang sama dengan si penyerang. Dengan kata lain, setelah ujian, kamu naik kereta bawah tanah yang ditumpangi penyerang itu dan turun di stasiun tersebut. Ini bukan kebetulan."

Sungguh…?

Otak macam apa yang dia punya?!

Dia bisa menyimpulkan sejauh ini hanya dengan melihat kartu pelajarku? Detektif SMA pun kalah darinya!

"Bagaimana? Itu baru hipotesisku. Benar atau tidak?"

Kalau aku bilang "iya," maka aku tidak akan bisa lari lagi.

Jika aku terus mendengarkan analisisnya yang sempurna, aku akan kehabisan tenaga untuk mengelak.

Aku harus mengubah arah pembicaraan. Ini satu-satunya cara!

"T-tapi, hanya dengan itu, masih sulit untuk memastikan kalau itu aku, kan? Ada banyak siswa laki-laki lain di kereta waktu itu."

Bagaimana dengan ini?

Memang analisisnya sempurna, tapi belum cukup sebagai bukti mutlak.

Ayo, bagaimana reaksimu, Koi-san?!

Tadi memang dia yang memegang kendali, tapi tidak kali ini!

"Oh, begitu. Kamu pikir aku hanya mengumpulkan bukti sebanyak itu saja?"

"Masih ada lagi?!"

"Tentu saja, ada."

Lalu, Koi-san kembali melanjutkan hipotesisnya.

"Kamu tahu kalau Hinami menemukan jimat doa kelulusan, kan? Aku mencari tahu tentang jimat itu, dan ternyata, jimat itu hanya bisa didapatkan dari kuil Inari yang dekat dengan rumahmu. Aku menemukannya dalam pencarian sederhana. Kamu adalah siswa yang sedang ujian, jadi tidak aneh kalau kamu membawa jimat itu."

A-aku kehabisan kata-kata! Dia terlalu tajam!

"Lalu, kamu pernah belajar bela diri, kan? Itu menjelaskan kenapa kamu bisa mengalahkan si penyerang. Siswa yang hanya fokus belajar tidak akan bisa melakukannya. Oke, mari kita rangkum. Siswa laki-laki yang menyelamatkan Hinami memiliki tiga ciri:

1. Kemungkinan besar tinggal dekat kuil Inari.

2. Tahun ini sedang menjalani ujian masuk SMA.

3. Memiliki pengalaman dalam seni bela diri.

Ketiga ciri ini, semuanya cocok denganmu."

Aaaahhh! Aku benar-benar sudah selesai…

Semuanya tepat sekali!

Bagaimana bisa dia memikirkan semuanya sampai sejauh itu!?

"Tapi, mungkin ada orang lain selain aku yang juga cocok dengan ciri-ciri itu... Mungkin."

Aku mencoba beralasan dengan putus asa, tapi kemudian, Koi-san memberikan kepastian terakhirnya.

"Kalau begitu, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?"

"Eh? Pertanyaan?"

"Ya. Kenapa kamu... terlihat tegang setiap kali Hinami ada di dekatmu? Seolah-olah kamu merasa tidak boleh bersamanya. Waktu tahu kalau tempat duduk kalian bersebelahan, dan saat kalian berdua menjadi ketua kelas, ekspresimu juga sama. Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Padahal, biasanya orang akan senang bisa lebih dekat dengan gadis secantik dia, bukan?"

"Apa!?"

"Aku tahu ini aneh kalau aku yang mengatakannya, tapi Hinami itu sangat populer, lho. Sejak wawancara tentang insiden itu, jumlah total pengikutnya di media sosial sudah melebihi seratus ribu. Tawaran dari agensi model terkenal pun berdatangan, dan dia sampai dijuluki 'gadis tercantik dalam seribu tahun'. Semua orang yang melihatnya pasti menganggapnya cantik. Tapi anehnya, kamu justru menunjukkan sikap menghindarinya. Itu yang pertama kali membuatku curiga. Seperti seseorang yang mati-matian menyembunyikan rahasia yang tak boleh terbongkar. Begitulah yang aku lihat."

Sial!

Jadi ekspresiku benar-benar terlihat!?

Memang, aku berusaha menghindarinya. Tapi aku tidak menyangka kalau Koi-san bisa menangkapnya dengan begitu tajam!

Bagaimana aku harus mengelak? Bagaimana aku harus membalasnya!?

Ah! Tidak bisa! Aku tidak bisa memikirkan apa pun! Kepanikanku membuat pikiranku berantakan!

"U-uh, itu... begini..."

"Alasan kamu menghindari Hinami adalah untuk menyembunyikan identitasmu. Di tengah ekspektasi publik yang semakin tinggi, kamu takut untuk mengungkapkan siapa dirimu yang sebenarnya. Benar, kan? Selain itu, aku baru saja mendapat informasi dari Hinami tentang ciri-ciri fisik siswa laki-laki yang menyelamatkannya. Tingginya sekitar seratus tujuh puluh sentimeter lebih, dengan rambut berdiri. Semuanya cocok denganmu. Meskipun orang yang mengatakan itu sama sekali tidak menyadari siapa dirimu sebenarnya."

Sempurna...

Bahkan alasan menghindar pun dia tebak dengan tepat. Aku tidak bisa mengelak. Setiap usahaku pasti akan dipatahkan.

Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya?

Tapi ini Koi-san. Dia pasti sudah menyiapkan sesuatu.

Apa yang harus aku lakukan!?

"Kamu diam saja, berarti kamu sedang mati-matian mencari alasan untuk menyangkalnya, tapi tidak menemukan satu pun, kan?"

Tidak bisa. Aku harus menyerah. Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku mencoba macam-macam.

Aku tidak menyangka akan ketahuan secepat ini... Selamat tinggal, kehidupan sekolahku yang damai...

"Ya. Aku mengaku, Koi-san. Aku adalah siswa laki-laki itu. Kumohon, jangan sebarkan hal ini. Aku tidak mau menghadapi masalah yang bisa muncul nantinya."

Setelah mendengar jawabanku yang jujur, Koi-san tiba-tiba terdiam selama beberapa detik.

Karena ini melalui telepon, aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresi atau gerak-geriknya.

Apa yang sedang dipikirkan Koi-san sekarang?

Aku ingin sekali tahu, tapi jika dia diam seperti ini, aku tidak akan pernah bisa mengetahuinya.

"U-uh, Koi-san? Ada apa? Apakah sinyalnya buruk sampai kamu tidak bisa mendengar?"

Begitu aku mengatakan itu, dia tiba-tiba kembali berbicara dengan nada seperti sebelumnya, seolah-olah baru saja kembali ke dunia nyata.

"Maaf, aku hanya sedang berpikir. Aku memang sudah menebaknya, tapi tetap saja, sulit dipercaya kalau kamu benar-benar siswa laki-laki itu. Lagipula, kamu benar-benar buruk dalam berbohong. Aku tadinya hanya setengah yakin saja."

"Mana mungkin aku bisa berbohong padamu, Koi-san..."

"Itu benar. Tapi tenang saja. Aku bisa memahami alasanmu untuk tidak mengungkapkan identitasmu. Dianggap sebagai pahlawan di seluruh negeri pasti tidak mudah. Jadi, aku akan merahasiakannya, dengan satu syarat."

"Terima kasih, Koi-san. Eh? Tunggu, apa tadi?"

"Kamu tidak mendengarnya? Aku bilang, aku akan merahasiakan ini dengan satu syarat."

Serius!?

Tapi, selama aku menuruti syarat itu, dia tidak akan membocorkannya.

Tidak ada pilihan lain!

"Baiklah, Koi-san. Terima kasih. Jadi, apa syaratnya?"

"Tidak ada yang sulit. Besok, yaitu hari Sabtu, aku ada keperluan belanja. Temani aku."

"Eh? Cuma itu?"

"Ya, cuma itu."

"Syarat yang aneh untuk ukuranmu. Kukira kamu akan menyuruhku melakukan sesuatu yang lebih berat."

"Oh? Jadi, kamu ingin aku menggantinya? Aku tidak keberatan. Malah lebih baik kalau aku punya tambahan bawahan."

"Tidak, tidak! Aku setuju dengan syarat yang pertama!"

Jadi dia sudah punya bawahan lain? Serem juga...

"Bagus. Kalau begitu, aku akan memberitahumu waktu dan tempat pertemuan. Jangan sampai terlambat, atau aku tidak akan memaafkanmu."

"Baik! Aku janji tidak akan terlambat!"

Setelah itu, aku mendengar semua detail rencana untuk besok dari Koi-san.

Ternyata, dia akan pergi ke pusat perbelanjaan besar dekat SMA Tokinosawa, dan entah kenapa, aku juga harus ikut menemaninya.

Tapi kalau hanya menemani belanja sudah cukup untuk menjaga rahasiaku, aku sangat bersyukur.

Tunggu dulu. Mungkin saja aku harus mentraktir semua belanjaannya.

Ugh... yah, kalau hanya soal uang, itu masih bisa diatasi.

"Itulah rencana untuk besok. Ada pertanyaan?"

"Tidak, tidak ada. Aku benar-benar hanya perlu menemanimu belanja?"

"Ya. Tapi pastikan penampilanmu rapi. Kalau datang dengan pakaian yang norak, langsung dicoret."

"O-oke, aku mengerti."

"Baiklah, pembicaraan selesai. Aku ada urusan, jadi aku tutup teleponnya."

"Dimengerti. Ah, tunggu sebentar, boleh tanya satu hal?"

"Apa? Singkat saja."

"Berapa nilai rata-rata akademismu atau IQ-mu, Koi-san?"

Aku bertanya begitu hanya karena penasaran.

Koi-san bisa menebak identitasku dengan hanya sedikit informasi. Jelas dia sangat cerdas.

Jadi aku ingin tahu, apakah dia hanya seorang penggemar teka-teki atau benar-benar seorang jenius.

"Hmm... sebenarnya aku tidak suka menyombongkan diri, tapi waktu kelas tiga SMP, aku mengikuti ujian simulasi SMA kelas tiga dan mendapat nilai rata-rata tertinggi, 73. Untuk IQ, aku belum pernah mengukurnya, jadi tidak tahu. Sudah ya, sampai jumpa besok."

Setelah mengatakan itu, Koi-san menutup telepon, mengakhiri percakapan.

Setelah mendengar angka itu, aku benar-benar bisa memahami segalanya.

Jadi, selain punya kepribadian sadis, dia juga luar biasa cerdas.

Mengikuti ujian simulasi untuk siswa SMA kelas tiga saat masih SMP kelas tiga? Dan mencapai nilai 73? Itu sudah level yang berbeda.

Ternyata ada jenius seperti ini yang duduk di belakangku selama ini. Tidak heran kalau identitasku terbongkar.

Serius, kenapa masa mudaku selalu penuh dengan masalah...

*** 

Keesokan harinya—hari yang aku janjikan dengan Koi-san.

Aku sedang menunggu di stasiun, tempat kami sepakat untuk bertemu. Sesuai perjanjian kemarin, waktu pertemuan adalah pukul sepuluh pagi.

Agar tidak terlambat dan menimbulkan masalah, aku datang lebih awal—bukan hanya lima menit, tapi sepuluh menit sebelumnya.

Tapi tetap saja, orang di sini banyak sekali.

Mungkin karena ini hari Sabtu, di setiap sudut stasiun terlihat kerumunan. Pasti pusat perbelanjaan juga akan sangat ramai.

Di satu sisi, aku merasa malas, tetapi di sisi lain, aku juga sedikit gugup. Aku tahu pasti akan diperlakukan seperti pesuruh, tapi bagaimanapun juga, aku akan pergi bersama seorang gadis seumuranku.

Apakah ini yang disebut dengan "kencan"?

Bagi seseorang sepertiku yang belum pernah punya pacar, ini adalah peristiwa yang seharusnya tidak mungkin terjadi, tapi tiba-tiba terjadi begitu saja.

Yah, aku sudah sangat paham dengan sifat sadis Koi-san. Aku hanya bisa pasrah dan bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi.

Oke, sudah hampir waktunya.

Aku melihat layar ponsel untuk mengecek waktu, tapi ternyata masih lima menit lagi.

Menunggu selama lima menit seperti ini terasa jauh lebih lama dari seharusnya.

Saat aku sedang berpikir begitu, tiba-tiba ada suara yang memanggilku dari belakang.

"Hah? Kenapa Keido-kun ada di sini?"

Suaranya begitu jernih dan indah, mampu memikat siapa pun yang mendengarnya.

Pada saat yang sama, suara ini terdengar sangat familiar.

Dengan sedikit rasa takut, aku berbalik ke arah suara itu, dan di sana—

Kujo, mengenakan pakaian kasual yang sangat imut, sedang menatapku dengan ekspresi penasaran.

Apa-apaan pakaian itu...?

Sangat berbeda dari seragam sekolahnya, kali ini dia tampak begitu modis dan memiliki aura anggun yang kuat.

Biasanya dia selalu berambut lurus, tapi hari ini dia mengikatnya menjadi kuncir kuda!

Keanggunan dan kelucuan—dua hal yang sempurna berpadu dalam penampilannya yang luar biasa. Aku sampai kehilangan kata-kata.

Saat aku melihat sekeliling, banyak orang yang berhenti berjalan dan menatap Kujo dengan terpana.

Tidak salah jika dia dijuluki "Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali".

Tapi tunggu! Aku kenapa malah terpesona juga?!

Lebih penting lagi, kenapa Kujo ada di sini? Apa ini kebetulan?

Tidak, apa mungkin itu hanya kebetulan? Situasi seperti ini terlalu langka untuk terjadi begitu saja!

"A-aku... oh, pagi, Kujo. Kebetulan sekali, ya. Kamu sedang menunggu seseorang juga?"

"Ya, aku memang ada janji bertemu jam sepuluh. Kebetulan sekali, ya. Aku tidak menyangka bisa bertemu Keido-kun di sini."

"Aku juga. Tidak sering kan, kita punya janji di tempat yang sama, di hari yang sama, pada waktu yang sama?"

"Benar! Ini seperti keajaiban!"

"Iya, ngomong-ngomong, sudah hampir waktunya, tapi dia belum juga datang. Padahal dia sendiri yang bilang jangan sampai terlambat…"

"Benar juga. Orang yang kutunggu juga belum datang. Padahal dia bilang janji temu jam sepuluh. Kenapa lama sekali, ya?"

Lalu, seolah-olah sudah direncanakan, aku dan Kujo berkata bersamaan.

"Koi-san, jangan-jangan dia ketiduran?"

"Koi-chan, jangan-jangan dia ketiduran?"

Setelah beberapa detik hening, aku dan Kujo kembali berkata dengan kompak.

「「……Hah? Barusan bilang apa?」」

Tunggu, tunggu sebentar!

Apa yang baru saja Kujo katakan? Hah? Dia menyebut nama Koi-san? Atau itu cuma salah dengarku?

"Jangan-jangan, Kujo juga ada janji bertemu dengan Koi-san di sini?"

"Eh? U-umm, iya. Tapi kenapa nama Koi-chan keluar dari mulutmu, Keido-kun? Aku kan belum bilang apa-apa."

"A-aku juga. Dia memintaku datang kemarin sore, jadi aku ada di sini sekarang."

Ada yang aneh. Aku datang ke sini karena diminta oleh Koi-san, tapi dia sendiri malah tidak ada. Sebaliknya, yang ada justru Kujo.

Apa mungkin Koi-san lupa memberi tahu bahwa Kujo juga akan ikut?

Tidak mungkin. Koi-san bukan tipe orang yang ceroboh seperti itu. Dia bahkan bisa mengungkap identitasku lebih cepat dari siapa pun hanya dengan sedikit informasi.

Kalau begitu, dia sengaja menyembunyikan informasi ini?

Tapi untuk apa?

Saat aku masih berusaha mencari jawaban, tiba-tiba ponsel di saku celanaku berdering.

Di layar tertulis "Nomor Tidak Dikenal".

Siapa ini?

Dengan sedikit waspada, aku mengangkat teleponnya.

"Halo, ini Keido."

"Oh, bagus. Syukurlah kamu langsung mengangkatnya. Ini aku, aku."

Suara dari telepon itu adalah—tidak salah lagi—Koi-san!

Jangan-jangan dia menelepon dengan melihat nomor ponsel yang tertera di buku siswa?

Ah, bukan itu yang penting!

Aku harus segera menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di sini!

"Hei, Koi-san! Kenapa—"

Tapi sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, Koi-san memotongnya dengan nada santai.

"Aku sudah tahu. Pasti kamu ingin bertanya, ‘Kenapa Kujo ada di sini!?’ kan?"

"K-Kenapa kamu bisa tahu...? Jadi, kamu memang tahu Kujo ada di sini?"

"Tentu saja. Hinami itu selalu datang lima menit lebih awal, jadi aku sudah memperkirakan kalau sekarang dia pasti sedang berdiri di sampingmu."

"S-serius...? Lalu, kamu sendiri sekarang di mana? Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya kalau Kujo juga akan datang? Aku jadi kaget, tahu!"

"Maaf ya, aku lupa bilang."

"Koi-san, kamu jelas sengaja, kan?"

"Kebetulan saja aku lupa. Mungkin. Fufu~."

"Jadi memang sengaja, ya?!"

Belum pernah aku mendengar kebohongan yang dikatakan dengan begitu santainya!

"Yah, kita lupakan itu dulu. Kalau tidak, kita tidak akan bisa lanjut bicara."

"Hah? O-oke... Lalu, kapan kamu akan datang ke sini? Sudah hampir waktunya, lho."

"Maaf ya. Aku rasa hari ini aku tidak bisa pergi."

"Hah?! Barusan bilang apa?"

"Sebenarnya, perutku saaaaakit banget (nada datar). Saking sakitnya, aku sampai menangis (nada datar). Tolongin aku dong~ (nada datar). Jadi ya, aku serahkan semuanya padamu."

"WOI! TUNGGU, KOI-SAN! Kenapa bacaanmu kayak akting jelek?! Jelas-jelas kamu tidak sakit, kan?! Terus, aku dan Kujo harus gimana?!"

Di sini ada Kujo, yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kalau aku sendirian, mungkin aku sudah pulang saja, tapi tidak mungkin aku tega melakukan itu padanya.

Dia sudah datang tepat waktu sesuai janji, jadi dia sama sekali tidak bersalah.

Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja!

Tapi sebelum aku bisa membantah, suara Koi-san terdengar lagi dengan nada santai.

"Apa yang kamu bicarakan? Kemarin aku sudah bilang, kan? Aku minta kamu menemani seseorang berbelanja. Jadi lakukanlah."

"Hah?! Tapi kalau kamu tidak datang, itu tidak bisa dilakukan, kan?!"

"Aku tidak pernah bilang bahwa yang harus kamu temani adalah aku."

"……Eh?"

Aku terdiam dan mencoba mengingat kembali percakapanku dengan Koi-san kemarin.

Saat itu, dia berkata, "Sabtu nanti aku ada sedikit urusan belanja, temani aku."

Kalau itu bukan berarti aku harus menemaninya berbelanja, lalu...?

Jangan-jangan—!!

"Jadi, yang harus kutemani belanja itu... Kujo!?"

"Akhirnya kamu menyadarinya. Aku tidak pernah berniat menipumu, lho. Aku tidak pernah sekali pun mengatakan bahwa itu adalah belanjaanku sendiri. Jadi, aku tidak berbohong. Ini hanya fakta."

"T-tapi tetap saja...!"

"Dan kamu juga sudah setuju dengan syaratnya. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan, bukan?"

Sial... aku kena jebakan.

Akhirnya aku paham kenapa Kujo ada di sini untuk bertemu dengan Koi-san.

Jadi awalnya, Koi-san yang seharusnya menemani Kujo berbelanja, tapi sekarang peran itu dialihkan kepadaku.

Dengan sifatnya yang sadis seperti itu, tidak mungkin dia benar-benar sakit perut. Dia jelas sengaja mengatur semua ini!

A-aku kena jebakanaaaa!

Kupikir syaratnya terlalu mudah, ternyata ini maksudnya!

Sial... Dasar musuh bebuyutanku, Koi-san!

"Jadi begitu ya. Hari ini, temani Hinami berbelanja. Kalau kau berani kabur, kau tahu sendiri akibatnya, kan? Pastikan kau menemaninya sampai selesai. Ya sudah, sampai nanti."

Setelah mengatakan itu, Koi-san sama sekali tidak mendengarkan permohonanku dan langsung menutup telepon begitu saja.

Seolah-olah dia berkata, "Sanggahanmu tidak akan diterima!"

Sial, sekarang aku benar-benar dalam masalah. Mau bagaimana pun juga, aku sudah terjebak dalam rencana liciknya.

Dan yang lebih gawat lagi...

Aku harus pergi berbelanja berdua dengan "gadis tercantik dalam seribu tahun."

Serius, APA YANG HARUS KULAKUKAN!?



Chapter 8 - Aku Akan Berkencan, Tapi...?

Saat ini, gadis cantik yang begitu menawan hingga siapa pun akan terpikat olehnya—Kujo—berdiri tepat di sebelahku.

Banyak orang pasti akan bersemangat jika bisa berkencan dengan siswi SMA seperti ini.

Tentu saja, dalam kondisi normal, aku juga pasti termasuk di antara mereka.

Namun, situasinya sangat buruk. Sebagai seseorang yang ingin menyembunyikan identitasku, kondisi ini sangat berbahaya bagiku.

Sial... Dasar Koi-san...

"Kujo. Umm... Aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

Aku menoleh ke arah Kujo dan memberitahunya bahwa Koi-san tidak bisa datang hari ini. Tentu saja, alasan yang kuberikan adalah karena dia sedang tidak enak badan. Meskipun kenyataannya dia hanya berpura-pura sakit.

Setelah mengetahui semua alasan mengapa kami ada di sini sekarang, Kujo tidak menunjukkan ekspresi kesal sama sekali. Justru, dia tersenyum cerah.

"Begitu ya... Jadi, Koi-chan tidak bisa datang hari ini. Kalau begitu, paling tidak dia harusnya memberitahuku dulu kalau Keido-kun yang akan datang! Aku jadi kaget!"

Uhh, imut banget...

Meski hanya berdua denganku, dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi tidak suka.

Dia benar-benar manis. Bahkan dalam situasi seperti ini, dia masih bisa tersenyum. Apa dia ini dewi?

Tidak, tunggu! Aku tidak boleh lengah!

Aku harus memastikan identitasku tidak terbongkar! Aku harus berhati-hati agar tidak ketahuan!

"Keido-kun, terus... kita mau gimana sekarang? Aku tadinya mau beli baju sama Koi-chan. Jadi, gimana ya?"

Kalau saja Kujo bisa pergi berbelanja sendirian, itu akan sangat membantuku.

Tapi misi yang diberikan Koi-san adalah...

Menemani Kujo berbelanja sepanjang hari ini.

Kalau aku tidak melakukannya, identitasku pasti akan terbongkar nanti.

Aku ingin pulang, tapi kalau aku kabur sekarang, itu sama saja dengan mati. Aku tidak punya pilihan selain tetap di sini.

Baiklah... aku akan melakukannya!

Aku akan pergi berbelanja dengan "gadis tercantik dalam seribu tahun" hari ini!

"Yah, aku sudah sampai di sini juga. Jadi aku akan menemanimu berbelanja, Kujo. Toh, kalau pulang sekarang juga aku tidak ada kerjaan. Lagipula, sayang kalau ongkos transportasinya terbuang percuma."

"Eh!? Gak perlu, serius deh! Lagipula, pasti bakal membosankan kalau cuma lihat-lihat baju sama aku!"

"Gak apa-apa. Seperti yang kubilang tadi, aku gak ada kerjaan seharian ini. Kasihan juga kalau kamu harus belanja sendirian. Aku temani, deh."

"Be... beneran gak apa-apa...?"

Kujo tiba-tiba mendekat dan menatapku dengan mata besarnya yang bersinar.

Melihat wajah cantiknya dari jarak sedekat ini, aku benar-benar tidak tahu harus melihat ke mana.

"Beneran gak masalah. Toko-toko juga pasti sudah buka. Ayo, kita pergi."

"Un! Makasih ya! Ayo berangkat!"

Dan dengan itu, "kencan" satu hari antara aku dan Kujo pun dimulai secara paksa.

Bisa berbelanja bersama "gadis tercantik dalam seribu tahun" mungkin adalah hal yang diidamkan oleh banyak pria.

Tapi aku tidak punya waktu untuk menikmati perasaan puas seperti itu!

Aku harus tetap menyembunyikan identitasku sambil menemaninya berbelanja.

Tolong... jangan sampai ada masalah hari ini...

*** 

Waktu saat ini sudah lewat pukul sebelas pagi.

Sudah sekitar satu jam sejak kami tiba di pusat perbelanjaan.

Kujo telah keluar masuk beberapa toko pakaian, mencoba memasukkan gaya fesyen terbaru agar sesuai dengan kehidupan barunya sebagai seorang siswa.

"Wah! Luar biasa! Pakaian ini sangat imut! Modis, dan ukurannya juga pas banget! Ahh, tapi yang ini juga imut! Eh, tunggu sebentar! Yang ini juga bisa jadi pilihan! Ugh, aku tidak bisa memilih! Susah banget!"

Saat ini, dia memegang dua pakaian di kedua tangannya, terlihat begitu bersemangat dengan berbagai pakaian modis di dalam toko.

Dia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang kebingungan memilih mainan mana yang harus dibeli di hari ulang tahunnya.

Matanya berkilauan seperti permata, dan dia terus berbicara tanpa henti. Energi seperti ini sudah berlangsung selama satu jam penuh.

Ini tidak terduga. Terlalu tidak terduga.

Di sekolah, dia selalu terlihat sebagai gadis yang anggun dan bertanggung jawab, tetapi dalam kehidupan pribadi, ternyata dia sedikit kekanak-kanakan.

"Hei, hei, Keido-kun! Dari dua pakaian ini, menurutmu yang mana yang paling cocok untukku!?"

A-apaa? Dia menanyakan mana yang lebih cocok!?

Pakaian yang sedang Kujo pegang sekarang adalah sebuah dress putih dan sebuah blus.

Dress itu akan semakin memperkuat kesan anggunnya, menciptakan dampak yang luar biasa. Dengan rambut hitam dan pesona gadis anggun yang dimilikinya, dress ini benar-benar pilihan sempurna untuknya.

Sementara itu, blusnya memberikan kesan seorang wanita dewasa yang jauh lebih matang dari seorang siswi SMA. Ia bisa menampilkan sisi cantik dan imutnya sekaligus. Keindahan alaminya akan semakin terpancar dengan pakaian ini, menjadikannya pilihan yang sempurna.

Apa-apaan ini? Pilihan yang terlalu sulit!

Dari sudut pandangku, keduanya sangat cocok. Atau lebih tepatnya, dia terlihat terlalu cocok hingga dampaknya benar-benar luar biasa!

Dan sekarang aku harus memilih salah satu di antaranya...?

Keduanya terlalu bagus untuk diabaikan. Yang mana yang lebih baik!?

"Keido-kun? Kamu dengar aku?"

"Ah, aah, maaf. Aku tadi sedang berpikir."

"Maaf ya. Pasti membosankan buatmu membahas pakaian cewek..."

"Bukan begitu, jangan khawatir."

Aku menunjukkan senyum pada Kujo yang terlihat sedikit kecewa, lalu melanjutkan,

"Menurutku keduanya cocok untukmu. Tapi... tidak bisa beli dua-duanya?"

"Kalau bisa sih, aku ingin membeli keduanya. Tapi uangku tidak cukup, jadi aku harus memilih salah satu!"

"Susah juga ya. Ini benar-benar pilihan sulit."

"Iya! Makanya aku bingung banget!"

Kujo bergumam "Uhh, gimana ya..." dengan ekspresi serius, lalu terdiam.

Ternyata, bagi gadis masa kini yang sedang bersinar, memilih satu pakaian bisa menjadi masalah yang begitu besar.

Setelah beberapa saat diam, Kujo tiba-tiba menatapku dengan penuh tekad.

"Keido-kun, aku mau minta tolong, boleh!?"

"Eh? Yah... aku rasa tidak masalah."

Begitu mendengar jawabanku, Kujo tersenyum cerah dan berkata,

"Aku mau mencoba keduanya! Jadi aku ingin kamu menilai mana yang lebih cocok untukku!"

"...Hah?"

Ehh... tunggu. Jangan bilang...

Apa ini berarti Kujo akan mengadakan fashion show kecil-kecilan!?

"Kalau begitu, aku ganti dulu di ruang ganti yang di sana! Aku tidak sabar!"

Kujo pun langsung menuju ruang ganti.

Begitu dia masuk ke dalam,

"Hmhmm~♪"

Aku bisa mendengar dia bersenandung dari dalam. Sepertinya dia sangat bersemangat.

Fashion show pribadi Kujo akan segera dimulai, tapi... kenapa aku merasa aneh begini?

Aku tidak tahu harus senang atau menghindar. Ditambah lagi, aku mulai merasa risih dengan tatapan orang-orang di sekitar.

Sejak Kujo masuk ke toko ini, bukan hanya pelanggan lain, tapi bahkan staf toko pun mulai memperhatikannya.

"Eh, bukannya cewek tadi mirip banget sama gadis yang dijuluki ‘Gadis Cantik Seabad Sekali’ itu?"

"Dia cantik banget! Wajahnya udah sempurna, ditambah badannya juga ideal. Ini curang banget!"

"Yang masuk ruang ganti tadi... apa dia model dari suatu tempat!?"

Aku bisa mendengar suara bisikan dari para pelanggan muda di sekitar. Yah, wajar saja kalau orang-orang terpesona melihat seorang gadis cantik dengan ekspresi penuh kebahagiaan memilih pakaian.

"Oke, aku akan keluar sekarang!"

Setelah berganti pakaian, Kujo membuka pintu ruang ganti dan muncul dengan mengenakan dress putih.

Para staf dan pelanggan yang berada di sekitar ruang ganti langsung terdiam, terpukau oleh kecantikannya. Mereka semua membeku selama beberapa detik. Tentu saja, aku juga termasuk salah satunya.

Dia memang sudah memiliki aura gadis cantik yang anggun, tapi sekarang, kesan itu semakin diperkuat berkali-kali lipat.

Jika harus diibaratkan, Kujo saat ini adalah seorang dewi suci yang mengenakan dress putih.

Dress itu menonjolkan proporsi tubuhnya yang sempurna, semakin menguatkan kesan anggun dan murni, membuat siapa pun yang melihatnya tak bisa berpaling.

A-apa ini? Kenapa dia terlihat begitu bersinar!?

Kesannya yang anggun telah naik ke level selanjutnya, hingga mencapai tingkat yang benar-benar ilahi.

"U-um... Keido-kun. Gimana menurutmu...? Cocok tidak?"

Sadar bahwa aku sedang terpukau, Kujo bertanya dengan wajah sedikit memerah.

"A-aku rasa... ini sangat cocok untukmu. Sangat pas."

"Eh!? Beneran!? Aku senang sekali! Biasanya yang memujiku cuma Yurika dan Koicchan, jadi ini terasa cukup baru. Ehehe."

Begitu Kujo tersenyum cerah, aku merasa kewarasanku hampir runtuh oleh kecantikannya yang murni.

Ini benar-benar curang!

"Kalau begitu, aku coba yang satu lagi ya!"

Dia pun kembali ke ruang ganti, menutup pintu, lalu mulai bersenandung lagi.

Sementara itu, semakin banyak orang yang mulai berkumpul, sepertinya karena aura luar biasa yang tadi dia pancarkan telah menyebar ke seluruh toko.

Begitu Kujo kembali ke ruang ganti, suara-suara dari sekitar mulai terdengar lagi.

"Hei, jangan-jangan anak laki-laki itu pacarnya? Sial, iri banget."

"Jadi pacar cewek secantik itu? Gila, hebat banget."

"Aku tidak bisa mikir kata lain selain 'iri'."

Tapi kali ini, arah pembicaraan berbeda dari sebelumnya. Bukannya membicarakan Kujo, orang-orang justru berfokus padaku.

Mereka mengira aku pacarnya. Tapi... bukan. Itu cuma kesalahpahaman.

Belum lama ini aku diperlakukan seperti pahlawan karena insiden penyerangan, dan sekarang malah dikira pacar "gadis tercantik dalam seribu tahun"? Kenapa orang-orang terus salah paham dan memberikan label aneh padaku?

"Keido-kun, aku buka pintunya ya!"

Kujo yang sama sekali tak menyadari situasi ini membuka pintu ruang ganti dengan ceria.

Bagi dia, ini hanya sesi coba baju biasa.

Tapi, dengan wajah dan pesona yang bisa membuat siapa pun terpesona, bagaimana reaksi orang-orang saat dia muncul dengan pakaian modis dan senyum cerah?

Sudah bisa ditebak.

"Baju blus itu juga super imut!"

Begitu Kujo keluar dengan blusnya, orang-orang di sekitar—tanpa berencana sebelumnya—berteriak serempak.

Jika tadi dia terlihat seperti dewi dalam balutan gaun putih, sekarang auranya berubah total. Dia tampak seperti wanita kantoran cantik yang anggun. Pesona seorang wanita dewasa nan elegan benar-benar terpancar darinya.

Ini gawat.

"Keido-kun, menurutmu bagaimana?"

Sama seperti sebelumnya, Kujo bertanya dengan wajah memerah sambil sedikit memiringkan kepalanya.

Mana yang lebih bagus?

Itu pertanyaan bodoh.

Dua-duanya jelas sangat imut!

________________________________________

Pada akhirnya, karena keduanya terlihat cocok, aku asal saja merekomendasikan gaun putih.

Kujo tampak senang saat membelinya, tapi bagiku, keduanya sama saja.

Tapi ada satu hal yang bisa kupastikan—

Jika sesi fashion show mini tadi terus berlanjut, akal sehatku pasti sudah hancur total.

Itu sudah jelas.

*** 

Setelah fashion show mini Kujo selesai, tujuan berikutnya kami adalah food court.

Karena sudah memasuki waktu makan siang, aku berpikir tempatnya pasti penuh. Namun, begitu sampai, kami langsung menemukan meja untuk dua orang tanpa kesulitan.

"Baiklah, saatnya makan siang. Ah, tapi sebelum itu, boleh aku ke toilet dulu? Seingatku, toilet ada di sekitar area ini."

Aku meletakkan barang bawaanku di kursi dan mengalihkan pandangan ke arah Kujo.

"Oh, oke! Aku jaga barang-barangnya di sini, ya!"

"Thanks, aku segera kembali."

Setelah berjalan sebentar, aku segera melihat tanda toilet pria. Aku harus cepat menyelesaikan urusanku agar tidak membuat Kujo menunggu lama.

Sambil mempercepat langkah, aku tiba-tiba teringat semua kejadian yang terjadi sejauh ini.

Saat dijebak oleh Koi-san tadi, aku sempat berpikir ini akan menjadi hari yang buruk. Tapi ternyata, segalanya masih bisa terkendali.

Baiklah, setelah makan siang, aku harus tetap semangat!

Dengan pikiran yang sudah kembali segar, aku berjalan menuju meja tempat Kujo menunggu.

Namun, begitu dia masuk dalam pandanganku, ada empat pria asing yang berdiri di dekatnya.

Sekilas, mereka tampak seperti pekerja paruh waktu atau mahasiswa.

Tapi gaya rambut dan pakaian mereka... memberi kesan yang berbeda.

Mereka punya potongan rambut undercut, dan salah satu dari mereka mengenakan jaket olahraga dengan sulaman naga di punggungnya.

Saat aku melihat ekspresi para pengunjung di sekitarnya, mereka semua tampak ketakutan dan menundukkan kepala.

Sial, tidak mungkin mereka ini teman Kujo, kan?

Perasaan tidak enak mulai menjalar di dadaku.

Jangan-jangan... Kujo sedang diganggu oleh preman!?



Chapter 9: Mirip

"Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak berniat bermain dengan kalian! Pergilah!"

Begitu Keido-kun pergi ke toilet, empat pria yang tampak seperti preman mendekatiku dan mulai berbicara.

Dari penampilan mereka, kemungkinan besar mereka memiliki pengalaman dalam bela diri.

Tubuh mereka kekar, tinggi menjulang, dan lengan mereka hampir dua kali lebih besar dari lenganku.

Ugh… menakutkan sekali.

Jika aku membuat mereka marah, sudah jelas aku akan mengalami hal yang buruk. Tapi jika menurut begitu saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.

T-tenang. Jika aku menatap mata mereka dengan tegas dan menolak dengan jelas, mereka pasti akan menyerah!

Itulah yang kupikirkan… tapi kenyataan tidak semudah itu.

Salah satu preman, yang sepertinya pemimpinnya, menyeringai licik sambil memperlihatkan layar ponselnya padaku.

Aku penasaran dan melirik layar itu.

Yang terlihat di sana adalah…

Sebuah gambar diriku saat sedang diwawancarai setelah insiden penyerangan di jalan.

"Eh~, jangan jual mahal begitu. Ngomong-ngomong, kamu ini… 'Gadis Cantik yang Muncul Sekali dalam Seribu Tahun' yang viral di internet, kan? Lihat, wajahmu persis dengan yang ada di foto ini."

Mereka pasti berpikir kalau dengan menunjukkan gambar ini, aku akan menurut.

Tapi jika aku menyerah di sini, semuanya akan berakhir. Aku harus berusaha mengusir mereka sendiri!

"I-itu tidak penting! Aku tidak tertarik bergaul dengan kalian!"

"Eh~, jangan gitu dong~. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, tahu? Dan lagi, kalau kamu tidak menyangkal soal foto ini, berarti kamu mengakuinya, kan?"

"I-itu…"

"Wah, tidak nyangka bisa ketemu seleb internet secara langsung. Kita beruntung banget! Memang beneran cantik, ya~. Pantes dapat julukan ‘Gadis Cantik yang Muncul Sekali dalam Seribu Tahun’."

"A-aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak tertarik berurusan dengan kalian!"

"Duh, sakit hati, deh~. Tapi, kami tahu sekolahmu, lho. Kalau tidak salah… SMA Tokinozawa, kan? Jadi, kalau kamu menolak atau mencoba minta bantuan—"

Setelah mengatakan itu, pemimpin preman tersebut mengucapkan sesuatu yang membuatku terdiam.

"Kami bisa mampir ke sekolahmu kapan-kapan~."

T-tidak… kenapa jadi seperti ini?

Kalau mereka benar-benar datang ke sekolah, Yūri dan Koi-chan juga akan terkena imbasnya.

Tidak, bukan cuma mereka.

Siswa lain juga bisa berada dalam bahaya.

A-apa yang harus kulakukan…?

Aku tidak bisa memikirkan cara apa pun untuk meyakinkan mereka pergi.

T-tunggu…

Kenapa tanganku gemetar? Kenapa nafasku jadi tidak teratur?

"Jadi? Mau ikut atau gimana?"

Bahkan saat melihatku gemetar ketakutan, mata para preman itu tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.

Mereka menatapku seolah sudah yakin akan menang.

M-maaf, Keido-kun.

Aku tidak bisa membiarkan orang lain terkena imbasnya. Aku ingin melindungi Yūri dan Koi-chan. Aku tidak mau melihat mereka terluka.

"A-aku… mengerti. Aku akan ikut. Jadi, t-tolong… jangan datang ke sekolah. Jangan ganggu teman-temanku… Aku akan menanggung semuanya. J-jadi, tolong…"

"Eh? Seriusan!? Yaudah, ayo kita pergi. Kalau kamu nurut, kami tidak bakal datang ke sekolah, kok. Asal kamu lakukan semua yang kami mau."

"…B-baik. Aku mengerti."

Aku takut. Aku sangat takut.

Pasti nanti mereka akan melakukan banyak hal buruk padaku.

Tapi… selama hanya aku yang terluka, itu tidak masalah, kan? Aku tidak mau melihat Yūri dan Koi-chan tersakiti.

Aku harus bertahan. Aku harus menahan air mataku.

"Baiklah, ayo pergi."

Saat pemimpin preman itu meletakkan tangannya di bahuku dan hendak membawaku pergi—

"Hei, kalian. Lepaskan Kujo."

Aku refleks menoleh ke arah suara itu.

Di sana, Keido-kun berdiri dengan tatapan tajam yang mengancam para preman itu.

Meskipun berhadapan dengan empat pria bertubuh besar, Keido-kun sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.

Bahkan, ekspresinya terlihat lebih seperti sedang mengintimidasi mereka.

"Hah? Lu siapa? Pacarnya nih cewek?"

"Bukan. Aku cuma teman belanja."

"Hah? Ngomong apa sih lu? Udah, tidak usah ikut campur, deh!"

Ekspresi pemimpin preman itu kini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Tatapan matanya berubah seperti binatang buas yang siap memburu mangsanya, auranya semakin menekan.

Namun, tak peduli seberapa besar aura membunuh yang dipancarkan lawannya, Keido-kun sama sekali tidak mundur selangkah pun.

Bahkan, dia justru semakin mendekat, hingga jarak mereka hanya seujung hidung. Dia lalu meraih tangan pemimpin preman itu, yang masih berada di pundakku, dan menggenggamnya erat.

"Maaf, tapi bisakah kau segera melepaskan Kujo? Selain itu, kau juga mengganggu pelanggan lain di sini."

"Hah? Siapa lu? Sok berani banget tiba-tiba muncul."

"Aku ulangi sekali lagi. Lepaskan Kujo sekarang juga."

"Wah, pede banget lu? Dengan badan kayak lidi gitu, lu pikir bisa menang lawan aku?"

Dari segi fisik, perbedaan ukuran tubuh antara Keido-kun dan pemimpin preman itu memang sangat mencolok.

Kalau sampai terjadi sesuatu padanya… bagaimana ini?

Kecemasan itu menyergapku, membuatku refleks menatap ke arah Keido-kun.

"K-Keido-kun… t-tolong hentikan. Aku akan mendengarkan mereka, jadi semuanya akan baik-baik saja. Tidak perlu sampai membuat dirimu terluka."

"Kalau begitu, kenapa harus cuma kau yang terluka?"

"…Eh?"

"Aku mengerti kalau kau tidak ingin menyusahkan orang lain. Tapi sebagai manusia, aku tidak bisa diam saja melihat ini terjadi. Lagipula, meskipun kau berusaha bersikap kuat, tubuhmu sudah gemetar sejak tadi. Aku ingin mendengar isi hatimu yang sebenarnya. Apa yang kau inginkan?"

A-apa yang aku inginkan…?

Itu sudah jelas. Aku hanya punya satu jawaban.

"T-tolong… selamatkan aku…"

Begitu mendengar kata-kata itu, Keido-kun menoleh ke arahku dan tersenyum.

"Itulah yang kutunggu. Tenang saja, aku akan mengurus semuanya."

Melihat senyum itu, mendengar kata-kata itu, entah kenapa aku merasa tenang.

A-apa ini… perasaan ini?

Aneh… rasanya aku pernah melihat senyum ini sebelumnya.

Saat aku masih mencoba mengingat-ingat, tiba-tiba sebuah kenangan dari masa lalu melintas di pikiranku.

Pada hari saat aku diserang oleh penyerang misterius…

──"Aku akan mengurus semuanya."

Aku pernah mendengar kata-kata ini sebelumnya.

Peristiwa itu terjadi hampir dua bulan yang lalu, dan aku tidak terlalu mengingatnya dengan jelas.

Saat itu, kepalaku kosong dan aku hanya bisa merasakan ketakutan yang luar biasa.

Namun, entah bagaimana…

Tidak, lebih tepatnya, naluriku mengatakan satu hal.

Bahwa Keido-kun sangat mirip dengan siswa laki-laki yang menyelamatkanku saat itu.

Jangan-jangan… Keido-kun adalah…


Chapter 10: Mengusir Musuh

Aku tidak bisa diam saja melihat Kujo diganggu oleh para preman itu.

Jika identitasku terbongkar, kehidupan sekolahku bisa dianggap berakhir. Segalanya pasti akan menjadi merepotkan.

Tapi tetap saja.

Melihat temanku tampak kesulitan tepat di depan mataku, aku tidak bisa hanya berpangku tangan.

Begitu Kujo meminta tolong, aku langsung menatap preman di depanku dengan tajam.

"Tidak tahu lu siapa, tapi mendingan mundur deh. Kalau tidak, bakal sakit sendiri nanti."

"Itu seharusnya kalimat aku."

"Hah? Lu sok jadi pahlawan gitu? Gila, norak banget sumpah."

Laki-laki yang tampaknya pemimpin preman itu langsung meraih kerah bajuku dengan kasar.

Mereka ada beberapa orang. Sedangkan aku sendirian.

Dari segi jumlah, jelas aku yang kalah. Tapi aku tidak bisa gentar hanya karena itu.

"Aku kasih tahu ya, aku punya pengalaman di dunia bela diri. Mau aku tunjukin bedanya level kita?"

Menarik. Dari postur tubuhnya, ucapannya itu sepertinya bukan omong kosong.

Tapi kemungkinan besar dia tidak punya kemampuan yang berarti. Soalnya, tidak ada bekas luka di wajah atau tangannya.

Orang yang benar-benar berlatih bela diri pasti punya bekas luka. Lagipula, kalau dia benar-benar ahli, dia tidak akan repot-repot pamer di tempat umum seperti ini.

Paling-paling dia cuma pernah mencoba sedikit. Level amatir. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dibandingkan guruku dan penyerang misterius waktu itu, preman ini sama sekali tidak menakutkan.

"Kenapa diem aja lu, hah?! Takut sama aku, ya?!"

Begitu dia berkata begitu, preman itu langsung memperpendek jarak dan mengayunkan tinjunya ke wajahku.

"Keido-kun!"

Melihat serangan itu datang, Kujo tanpa sadar berseru.

Di matanya, mungkin dia sudah melihatku kalah.

Tapi aku ini orang yang pernah belajar seni bela diri dan bahkan bertarung melawan penyerang bersenjata tajam tanpa terluka.

Pukulan seperti ini? Gampang banget!

BAM!

Aku menangkap tinjunya dengan satu tangan. Dibandingkan serangan penyerang misterius waktu itu, ini sama sekali bukan ancaman!

"Haah?!"

Preman itu terkejut bukan main.

Wajar saja. Orang yang dia remehkan barusan berhasil menahan pukulannya hanya dengan satu tangan. Siapa yang tidak kaget?

"L-lo… siapa sebenarnya?!"

"Tidak siapa-siapa… Aku cuma siswa SMA biasa."

Sambil tetap menggenggam tangannya, aku memutar badanku dan langsung melemparkannya dengan teknik seoi nage.

BAM!

Suara tubuhnya membentur lantai bergema di ruangan.

Preman yang aku lempar itu merintih kesakitan, tidak mampu bangkit lagi.

Aku lalu mengalihkan pandanganku ke preman lainnya, menatap mereka tajam.

"Udah cukup, kan? Sekarang pergi. Dan kalau kalian berani ganggu temanku lagi, aku tidak bakal tinggal diam."

Mereka pasti sadar kalau melawan aku itu berbahaya.

Karena itu—

"Sial! Aku bakal ingat muka lo! Lo bakal nyesel udah ikut campur hari ini!"

Preman-preman itu akhirnya memilih untuk menuruti perkataanku, lalu pergi sambil menyeret pemimpinnya.

Fiuuh…

Akhirnya para bajingan yang mengincar Kujo sudah pergi. Seharusnya dia aman sekarang.

"Kalau ada apa-apa lagi, bilang aja. Kujo itu orang terkenal, jadi pasti ada aja yang mau ganggu. Tapi tenang, aku bakal selalu nolongin lo."

Kujo adalah salah satu gadis tercantik di Jepang. Bahkan dia dijuluki kecantikan yang hanya muncul sekali dalam seribu tahun.

Jadi tidak aneh kalau ada orang-orang seperti mereka yang mencoba mendekatinya.

Walaupun aku harus menyembunyikan identitasku, aku tidak bisa membiarkan temanku dalam bahaya.

Aku tidak mau melihatnya terluka.

"T-terima kasih, Keido-kun…"

Begitu mata kami bertemu, Kujo langsung menundukkan wajahnya.

Hah? Apa aku barusan ditolak?

Saat aku mulai merasa sedikit cemas, aku mendengar dia bergumam pelan.

"K-kamu… kelihatan keren banget…"

Dengan wajah merah padam dan ekspresi malu-malu, dia berkata seperti itu.

Jujur saja, aku agak terkejut.

Koi-san, gara-gara lo aku jadi kena banyak masalah, tapi untuk saat ini, aku bakal ucapin terima kasih.

Serius deh, cewek ini emang cantik banget!

*** 

Setelah makan siang, kami meninggalkan pusat perbelanjaan dan melanjutkan kencan di sore hari.

Masih ada waktu, dan rasanya terlalu sayang jika pulang sekarang, jadi aku memutuskan untuk tetap bersama Kujo.

Di satu sisi, aku ingin terus menyembunyikan identitasku, tapi di sisi lain, aku merasa senang dengan situasi ini.

Awalnya aku menganggap ini merepotkan, tapi Kujo benar-benar orang yang baik dan sangat imut.

Tidak setiap hari aku bisa berkencan dengan gadis seperti ini. Selama aku bisa menyembunyikan identitasku, tidak ada salahnya menikmati momen ini sedikit.

Dengan pemikiran itu, kami pun pergi ke pusat permainan (game center).

Tempat hiburan bagi orang yang tidak punya banyak uang memang terbatas. Game center cukup bagus untuk menghabiskan waktu dan tetap bersenang-senang.

Kami mencari permainan yang bisa dimainkan berdua, lalu segera mulai bermain.

"Uwaaahhh! K-Keido-kun! Z-zombi-nya banyak sekali!? A-a-apa yang harus kulakukan!?"

Game pertama yang kami mainkan adalah World Panic, sebuah permainan menembak zombi.

Dengan senjata di tangan, pemain harus menembak zombi sebanyak mungkin. Konsepnya sederhana tapi penuh ketegangan, jadi cukup populer.

Aku sudah terbiasa dengan game seperti ini, jadi life point-ku masih penuh. Tapi Kujo? Dia hampir kehabisan nyawa.

Tak kusangka dia begitu payah dalam bermain game. Dia terlihat serius dan serba bisa, tapi ternyata cukup ceroboh juga.

"Dalam situasi seperti ini, sulit untuk bertahan hanya dengan menembak. Gunakan granat tangan," kataku.

"A-aku mengerti! Tapi... aku tahu tombol granatnya, tapi bagaimana cara melemparkannya?"

"Ada tombol arah di samping senjata, tekan ke arah yang ingin kau lempar."

"Baik! Aku akan mencobanya!"

Kujo segera melempar granat, tapi entah bagaimana arahnya malah mengarah kepadaku.

Granat itu jatuh tepat di kakiku dan—

BOOM!

Ledakan besar terjadi di bawah kakiku. Life pointku langsung nol dan aku terkena game over.

"Hey! Kenapa kau melemparnya ke arahku!?"

"A-aku minta maaf! Aku salah lempar!"

Astaga, dia benar-benar ceroboh. Ini kesalahan paling konyol yang pernah kulihat.

"A-apa yang harus kulakukan, Keido-kun!? Granatku sudah habis, dan zombi-zombi itu—!"

"Kujo, dengan sisa life point itu, kau tidak akan bertahan lama."

Seperti yang kuduga, dalam hitungan detik, dia diserang oleh gerombolan zombi dan langsung terkena game over.

Belum pernah aku mengalami akhir permainan seperti ini.

"M-maaf, Keido-kun... Aku sudah membuatmu kalah..."

Melihat Kujo menundukkan kepala dengan ekspresi sedih, aku juga jadi ikut merasa bersalah.

"Jangan dipikirkan. Ini cuma game. Lagipula, ini cukup menyenangkan."

"B-benar? Kau tidak marah?"

"Mana mungkin aku marah hanya karena ini. Tapi..."

"Tapi?"

"Aku jadi tahu kalau kau ceroboh dan sangat payah dalam bermain game. Sepertinya aku harus memberitahukan ini pada teman-teman di sekolah."

"T-tolong jangan bilang siapa-siapa!!"

Sambil wajahnya memerah, Kujo meraih bajuku dan mengguncang tubuhku dengan panik.

Bahkan saat marah seperti ini pun, dia tetap terlihat menggemaskan.

"Aku bercanda. Aku tidak akan bilang pada siapa pun."

"Sungguh? Kau berjanji?"

"Tentu saja."

Tanpa perlu berjanji pun, aku memang tidak berniat mengatakannya.

"Terima kasih! Kalau begitu, Keido-kun! Ayo main game lain!"

"Baiklah."

Dengan semangat baru, Kujo menggenggam tanganku erat dan mulai berjalan.

Tunggu...

Dia menggenggam tanganku!?

Tangan Kujo ternyata sangat lembut, mungil, dan kenyal, seperti tangan bayi.

Saat aku masih terhanyut dalam perasaan itu, tiba-tiba langkahnya berhenti.

"Hmm? Ada apa, Kujo?"

Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya bergetar.

Apa dia melihat hantu?

Tapi ini masih siang. Belum waktunya hantu berkeliaran.

"K-Keido-kun. Itu... orang-orang itu..."

Aku mengikuti arah pandangannya, dan di sana...

Sekelompok berandalan yang tadi siang, kini berjalan ke arah kami.

"Sial, kenapa mereka ada di sini!? Apa mereka belum kapok!?"

Baru saja aku memperingatkan mereka, dan sekarang mereka sudah melanggar lagi!?

Ini sungguh tak terduga. Aku sendiri tidak akan melakukan hal sebodoh ini.

"M-mungkin ini hanya kebetulan... Mereka sepertinya tidak menyadari kita," kata Kujo dengan suara ragu-ragu.

Mendengar itu, aku kembali memperhatikan para berandalan dengan lebih cermat.

Mereka tampak sibuk melihat-lihat mesin permainan dan sama sekali tidak mengarahkan pandangan ke arah kami. Bahkan, mereka terlihat asyik mengobrol dengan ceria. Jadi, mereka benar-benar hanya kebetulan ada di sini?

Kenapa sih masalah terus datang bertubi-tubi begini...?

"A-apa yang harus kita lakukan, Keido-kun!? Mereka semakin mendekat! Kalau begini, kita pasti ketahuan!"

Di sampingku, Kujo mulai panik dan gelisah.

"Kita harus bersembunyi dulu. Kalau sampai mereka melihat kita, bakal repot."

"B-benar juga! K-kalau begitu, ayo kita sembunyi di sini, Keido-kun!"

Begitu mengatakan itu, Kujo tiba-tiba menggenggam tanganku erat dan menarikku dengan paksa.

"H-hey! Kita mau ke mana!?"

"Tempat yang kupilih ini pasti aman! Tidak mungkin mereka masuk ke sini!"

Meski sedang panik, matanya penuh dengan keyakinan. Sepertinya dia benar-benar tahu tempat persembunyian yang bagus.

Tempat yang pasti tidak akan dimasuki oleh para berandalan itu...

Tempat seperti apa itu...?

"Kita sampai! Di sini kita pasti aman!"

Dan tempat yang dia maksud ternyata adalah...

Di depan mesin foto purikura.

Memang, kalau tujuan kita bersembunyi, ini adalah tempat yang sempurna. Tidak mungkin para berandalan itu masuk ke sini sendirian.

Tapi ini kan... tempat khusus untuk cewek atau pasangan! Masa kita harus masuk ke dalam!?

"Kalau kita masuk ke dalam, kita pasti aman! Ayo cepat masuk!"

"O-oke..."

Aku sebenarnya tidak terlalu ingin, tapi tidak ada pilihan lain. Para berandalan itu semakin mendekat setiap detiknya.

Bertemu langsung dengan mereka di sini pasti lebih buruk daripada bersembunyi.

Akhirnya, aku dan Kujo masuk ke dalam salah satu bilik purikura dan bersembunyi di dalamnya.

Pintu masuk purikura tertutup dengan tirai, jadi wajah kami tidak akan terlihat. Kecuali seseorang sengaja mengintip ke dalam, kemungkinan kami ketahuan sangat kecil.

"Fiuh... untung saja!"

Kujo menghela napas panjang, tampak lega setelah merasa aman.

"Kita tunggu sebentar di sini. Setelah situasi aman, kita keluar dari game center."

"Iya, aku setuju dengan itu!"

Aku senang karena dia setuju dengan rencanaku, tapi sekarang ada masalah lain.

Kami berdua berada di ruang kecil yang sempit, hanya berdua.

Serius, sekarang apa yang harus kulakukan?

Tadi kami bisa bersenang-senang karena ada banyak permainan di sekitar. Tapi sekarang, tidak ada apa pun di sini selain layar kontrol purikura.

Bagaimana cara menghabiskan waktu?

Saat aku masih berpikir, tiba-tiba terdengar suara otomatis dengan nada ceria, seolah-olah ada not musik di akhir kalimatnya.

"Selamat datang! Silakan sentuh layar untuk memilih mode pemotretan!"

Sepertinya suara ini otomatis berbunyi begitu ada orang yang masuk. Berbagai pilihan mode foto muncul di layar.

Jadi begini rasanya berada di dalam purikura... Ini pertama kalinya aku masuk, jadi terasa cukup menarik.

Saat aku tanpa sadar terus memperhatikan layar dengan rasa penasaran...


"Ke-Keido-kun... mau coba foto?"

Kujo berbisik pelan, mengusulkan sesuatu dengan ragu-ragu.

Matanya terus bergerak ke arah layar, tapi sesekali dia mencuri pandang ke arahku.

Dia sangat penasaran dengan jawabanku, ya...?

Jujur saja, berfoto di purikura berdua dengan seorang cewek yang bahkan bukan pacarku terasa cukup memalukan.

Tapi, kalau hanya berdiri di sini tanpa melakukan apa-apa, rasanya juga aneh.

Kesempatan untuk berfoto dengan seorang cewek seperti ini mungkin tidak akan datang lagi.

Lagian, berfoto bersama tidak akan membuat identitas kami terbongkar atau memicu masalah baru.

Baiklah, ayo kita foto bersama.

"T-tolong bimbing aku..."

"U-uhm. Kalau aku tidak masalah..."

Wajah kami berdua memerah.

Apa-apaan situasi ini? Ini benar-benar memalukan!

Dan tolong, Kujo, jangan menatapku dengan mata seperti itu!

"O-oke, kalau begitu ayo kita foto... S-senang berfoto denganmu..."

"O-ooh. Ini pertama kalinya bagiku, jadi tolong pandu aku."

Kujo dengan cekatan mengoperasikan layar sentuh dan memilih mode pemotretan.

Lalu,

"Lima detik lagi pemotretan dimulai! Dekatkan tubuh kalian agar masuk dalam layar!"

Suara pemandu otomatis kembali berbicara dengan nada ceria.

Sudah mulai!? A-aku belum siap secara mental!

"Semua mendekat dan tersenyumlah lebar~ ♡ Ayo lebih dekat lagi~ ♡"

Begitu suara itu berbunyi, Kujo tiba-tiba merapatkan bahunya ke arahku.

"Ayo, Keido-kun! Dekatkan tubuhmu lebih lagi!"

"Hah!? T-tunggu!?"

Aku terkejut, tapi Kujo tidak peduli dan melanjutkan,

"Ayo, Keido-kun! Senyum! Tiga, dua, satu!"

"O-oke!"

Dan setelah itu, beberapa foto langsung diambil secara beruntun.

Hasilnya...?

Wajahku terlihat sangat buruk.

Serius, aku tidak bisa melihatnya tanpa merasa malu. Mata yang membesar karena efek kamera membuat proporsi wajahku terlihat aneh, seperti operasi plastik yang gagal.

A-apa ini benar-benar aku...?

Aku merasa putus asa melihat refleksi diriku di layar.

"Kujo, maaf... Aku terlihat aneh banget."

Berbeda denganku, Kujo tampak sangat cantik di setiap foto.

Serius, dia benar-benar fotogenik. Cewek cantik memang selalu kelihatan bagus di foto, ya...

Saat aku mulai merasa tertekan melihat perbedaan yang mencolok itu,

"Keido-kun, wajahmu beneran lucu banget! Kalau begitu, aku tambahin ini!"

Sambil tertawa, Kujo mengambil pena digital dan menggambar janggut lebat di wajahku.

Wajahku yang sudah aneh menjadi semakin parah. Sekarang aku lebih terlihat seperti monster daripada manusia.

"Kau berani menggambar janggut di wajahku, Kujo!"

Aku tidak bisa tinggal diam.

Sebagai balasan, aku mengambil pena digital lainnya dan mengubah warna wajah Kujo menjadi ungu pekat.

Sekarang dia terlihat seperti seseorang yang baru saja memakan jamur beracun.

"Aaaa! Kejam sekali!"

"Kalau begitu, aku akan membalasnya!"

"Eh, tunggu! Jangan—! Baiklah, kalau begitu aku juga!"

Kami mulai saling menggambar di wajah satu sama lain.

Akhirnya, foto yang dihasilkan benar-benar kacau dan tidak bisa ditampilkan kepada siapa pun.

Wajah Kujo kini terlihat seperti orang yang sedang sakit parah, sementara aku tampak seperti makhluk yang bukan manusia lagi.

Kami berdua menatap hasilnya...

Lalu,

"Pu... Puhahahaha!"

Tawa pecah begitu saja.

Melihat betapa konyolnya hasil foto itu, kami tertawa sampai perut sakit.

Mungkin kami tertawa lebih dari sepuluh detik.

Bahkan saat air mata menggenang di sudut mata, kami terus tertawa tanpa henti.

Ini pertama kalinya.

Aku tertawa seperti ini bersama seorang cewek.

*** 

Setelah tertawa terbahak-bahak melihat wajah konyol kami di foto, kami langsung kabur diam-diam dari bilik purikura dan berlari menuju pintu keluar arcade.

Saat berlari, aku sempat melirik ke arah para berandalan tadi, tapi sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan kami. Mereka bahkan tidak melihat ke arah kami sedikit pun.

Kebetulan seperti ini benar-benar menakutkan. Tapi setidaknya, kami berhasil lolos dari situasi yang berbahaya.

"Itu nyaris saja, ya, Keido-kun! Ah, benar! Sebelum aku lupa, terima ini!"

Kujo menyerahkan foto purikura yang baru saja kami ambil.

"Sebenarnya, aku bisa mengirim gambarnya langsung ke ponselmu, tapi kupikir itu mungkin akan merepotkanmu. Aku tahu pasti kamu tidak ingin menyimpan foto purikura dengan seseorang yang bahkan bukan pacarmu. Tapi setidaknya, aku ingin kamu menerima foto ini... sebagai kenangan hari ini."

Kujo sedikit memiringkan kepalanya sambil mengamati reaksiku.

Mata besarnya tampak berkilau, seakan-akan dia akan menangis jika aku menolaknya.

Astaga, kalau dia menatapku dengan mata seperti itu, bagaimana mungkin aku bisa menolak?

"Baiklah, aku akan menerimanya. Akan kujaga baik-baik."

"Terima kasih! Aku juga akan menjaganya dengan baik!"

Aku kembali melihat foto yang diberikan Kujo.

Seperti yang kuduga, wajahku benar-benar kacau.

Kulitku tampak pucat seperti habis ditaburi bedak tebal, mataku membesar tidak proporsional, dan di sekitar mulutku ada janggut lebat yang entah bagaimana bisa muncul di sana.

Lebih parah lagi, di atas kepalaku tumbuh sekuntum tulip yang sama sekali tidak masuk akal.

Seharusnya foto ini diberi peringatan "Dilarang Dilihat". Tapi untungnya, bukan hanya aku yang terlihat aneh.

Kujo juga sama buruknya.

Wajahnya sepenuhnya berwarna ungu, dan di dalam matanya terdapat gambar bintang. Kalau hanya melihat matanya, mungkin terlihat seperti karakter dalam manga shoujo, tapi secara keseluruhan, wajahnya lebih mirip tokoh dalam film horor.

Wajah kami benar-benar kacau.

Tapi, mungkin karena kami membuatnya sambil tertawa, aku merasa ini cukup menyenangkan.

"Kalau foto ini sampai dilihat orang lain, kita tamat. Harus kita lindungi dengan segala cara."

"Benar. Harus kusimpan di laci meja bagian paling dalam."

"Setuju. Oke, kalau sudah tenang, lebih baik kita pergi dari sini. Kalau sampai bertemu berandalan itu lagi, bakal merepotkan."

Kami sekarang berdiri di luar arcade, tepat di dekat pintu masuk. Jika tetap di sini, ada kemungkinan kami bertemu mereka lagi.

Selain itu, langit sudah berubah warna menjadi oranye kemerahan.

Aku melirik ponselku dan melihat jam menunjukkan pukul 17:30. Rupanya, waktu sudah cukup lama berlalu.

"Sebentar lagi jam enam. Mau makan malam dulu sebelum pulang?"

Aku mengajukan ide itu, tapi wajah Kujo sedikit berubah muram.

Dia terlihat sedikit sedih.

"Jadi sudah sesore ini, ya... Maaf, Keido-kun. Tadi pagi aku sudah bilang ke ibuku kalau aku akan makan malam di rumah."

"Oh, begitu. Kalau begitu, kita sudahi di sini saja."

"Iya, kita akhiri di sini. Tapi ayo pergi ke stasiun bersama, Keido-kun!"

Begitu dia mengatakannya...

Senyumnya yang cerah bertemu dengan sinar matahari senja, menciptakan pemandangan yang begitu indah di mataku.

Langit yang memerah, berpadu dengan senyumnya yang berkilauan.

Saat melihat kombinasi itu tepat di depan mataku, hanya ada satu kata yang muncul di benakku...

Indah.

Hanya itu yang bisa kupikirkan.

Gelar "gadis tercantik dalam seribu tahun" memang tidak berlebihan untuknya.

Setelah berjalan beberapa saat, kami akhirnya tiba di stasiun terdekat.

Saat bertemu dengan pelaku penyerangan acak tadi, aku dan Kujo kebetulan berada di kereta yang sama, jadi kupikir kami menggunakan jalur yang sama. Tapi ternyata tidak. Arah rumah keluarganya berlawanan dengan arah rumahku.

Mungkin dia sedang ada urusan, sehingga kami bisa berada di kereta yang sama saat itu.

"Keido-kun, terima kasih banyak untuk hari ini. Aku benar-benar bersenang-senang!"

Di depan gerbang tiket, Kujo mengucapkan salam perpisahan.

Melihat matanya yang tersenyum cerah, aku tahu dia benar-benar menikmati harinya.

Ini pertama kalinya aku pergi berkencan dengan lawan jenis, dan ternyata cukup menyenangkan. Sekarang aku mulai memahami sedikit perasaan orang-orang yang iri pada pasangan bahagia.

"Ah, aku juga sangat menikmatinya. Hati-hati di jalan pulang."

"Iya! Keido-kun juga ya!"

Tepat setelah Kujo berkata begitu…

"Sebentar lagi, kereta akan tiba di jalur tiga."

Pengumuman di stasiun berbunyi dengan timing yang sempurna. Kereta yang akan dinaiki Kujo sebentar lagi datang.

"Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!"

"Oh!"

Kujo membalikkan badan dan bersiap untuk berlari menuju peron, tapi setelah melangkah beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti.

Kenapa dia diam di situ?

Saat aku mulai bertanya-tanya, Kujo berbalik dan menatap mataku lekat-lekat.

"U-umm, Keido-kun… Aku punya satu permintaan…"

Dia berbisik pelan, tapi aku tetap bisa mendengarnya.

"O-oh. Ada apa?"

"A-anu… itu…"

A-apa? Dia tampak gelisah, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu untuk mengatakannya.

Apa yang ingin dia sampaikan?

Aku tidak bisa menebak maksudnya, jadi aku hanya bisa memiringkan kepala kebingungan.

Setelah beberapa detik hening, akhirnya Kujo membuka mulutnya.

"Bukan nama keluarga… aku ingin kamu memanggilku dengan nama depanku…"

"Hah? Nama depan?"

Karena tidak menyangka permintaan itu, aku secara refleks mengulanginya.

Memanggil lawan jenis dengan nama depan.

Ini adalah kebiasaan yang biasa dimulai oleh pasangan yang baru jadian. Meskipun bisa juga terjadi pada teman yang sangat dekat, tetap saja, ini adalah sesuatu yang hanya dialami oleh mereka yang hidup penuh cinta.

Sebagai seseorang yang berada di posisi berlawanan dari kehidupan seperti itu, kejadian ini terasa sangat tidak biasa bagiku.

"A-anu… Dibanding nama keluarga, aku lebih senang kalau kamu memanggilku dengan nama depanku… Jadi, aku… tanpa sadar meminta itu…"

Kujo menundukkan kepala dan berbisik dengan suara pelan.

Aku tidak tahu bagaimana situasi ini bisa terjadi.

Kujo memang seseorang yang baik dan agak polos, jadi sulit untuk menebak apa yang dipikirkannya. Tapi satu hal yang pasti, dia mempercayaiku.

Kalau tidak, dia tidak akan memintaku secara langsung seperti ini.

Aku bisa saja menolaknya. Tapi Kujo adalah orang yang baik, dan kalau kupikir lagi, tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaannya.

"…Baiklah. Mulai sekarang, senang berteman denganmu, Hinami."

Begitu aku memanggil namanya, Hinami langsung menatapku kembali dan tersenyum cerah.

"Terima kasih! Aku sangat senang! Kalau begitu, aku juga akan memanggilmu dengan nama depan, Ryo-kun! Sekarang aku harus pergi, keretanya sebentar lagi berangkat! Sampai jumpa!"

"Ah. Sampai hari Senin nanti, Hinami."

"Iya!"

Setelah memberikan senyum paling cerah yang pernah kulihat, Hinami berbalik dan berlari menuju peron.

Sambil sedikit melompat-lompat kecil dengan riang…

________________________________________

Begitulah akhirnya kencan yang terasa panjang sekaligus singkat ini berakhir.

Saat terjebak dalam perangkap Koi-san tadi, aku sempat berpikir bagaimana cara keluar dari situasi itu. Tapi ternyata, aku malah cukup menikmatinya.

Aku jadi lebih mengenal Hinami.

Dia polos dan ceria, tapi meski serius, dia juga sering ceroboh.

Dan dia sering tertawa.

Tawanya yang begitu manis.

Meskipun aku ingin terus menyembunyikan identitasku, jauh di dalam hatiku, ada bagian dari diriku yang ingin terus bersama Hinami lebih lama lagi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close