Penerjemah: Eina
Proffreader: Eina
Chapter 4 : Cincin,
Sumpah, dan Berkah
...Aromanya enak.
Manis seperti permen, harum seperti
bunga, dan ada kehangatan aneh yang terasa, membuatku merasa tenang dari
hati...
Aroma itu membuatku bangun.
Dalam keadaan mengantuk, aku
bertanya-tanya betapa bahagianya aku jika bisa terlelap sambil menikmati aroma
ini, tetapi aku menahan diriku dari pikiran itu.
Aku bertanya-tanya dari mana aroma
ini berasal dan ingin mencari tahunya...Tapi kemudian aku menyadari kalau aroma
itu datang dari depanku.
Karena mataku tertutup, mungkin
indra lainku lebih tajam dari biasanya? Dengan semangat ingin mengetahui asal
dari aroma ini, aku perlahan membuka mataku.
Yah, aku sudah bisa menebak apa
itu. Ini semacam proses konfirmasi.
Meskipun ada tirai, aku merasakan
cahaya di dalam ruangan yang menyilaukan, dan dalam pandanganku, tiba-tiba
muncul wajah Nanami. Dan itu cukup dekat.
Ini... Aku tidak mengharapkan ini.
Aku memang tahu Nanami akan ada di sini, tapi...
Nanami yang sedang tidur nyenyak
bernafas dengan nyaman. Tapi kenapa... Nanami ada di sebelahku?
Ketika aku melihat Nanami... Eh?
Dia tidak pakai apa-apa...?!
Dengan panik, aku langsung duduk
dan memeriksa apakah pakaianku ada... Tidak, aku benar-benar memakainya.
Dan Nanami... setelah tenang dan
melihatnya dengan lebih teliti, dia juga memakai pakaiannya. Mungkin karena dia
memakai pakaian yang tipis, dan dengan selimut yang membalutnya, aku sempat
berpikir... Kalau dia tidak memakai apa-apa.
Ya, Nanami mengenakannya pakaian
dengan rapi. Meskipun sedikit tipis, dia mengenakan pakaiannya dan selimut itu
menutupi tubuhnya dengan lembut.
Tentu saja, tidak ada yang terjadi.
Nanami, meskipun berpakaian tipis, mengenakan pakaiannya dengan rapi. Aku
terlalu menekankan pakaiannya yang tipis, tapi aku bertanya-tanya bagaimana aku
bisa menahan diri malam kemarin. Aku ingin memuji diriku sendiri.
Etto... sebenarnya apa yang kami
lakukan tadi malam? Sambil menikmati wajah tidur Nanami, aku perlahan mulai
mengingat apa yang terjadi tadi malam.
Benar. Aku sedikit mengobrol dengan
Nanami kemarin lalu tertidur.
Dia mengatakan kalau itu kamar ini terasa
seperti kamar double meskipun kasurnya twin, dan tempat tidurnya sangat lebar
sehingga terasa seperti kasur double. Dia tertawa dan mengatakan kalau ada
banyak ruang bahkan untuk dua orang.
Kami berdua berbaring di kasur yang
sama dan mulai mengobrol, seolah-olah telah menemukan suatu alasan.
Rasanya seperti kami saling memberi
alasan satu sama lain dengan “Mau bagaimana lagi”. Pada akhirnya kami pun
tertidur.
(Tln: Bagi yang bingung, maksudnya alasan untuk seranjang)
Alasan kami begitu dekat adalah
karena kulit kami sedikit bersentuhan. Memeriksa sengatan matahari. Nanami
mengatakan dia ingin mencoklatkan kulitnya.
Lalu dia bertanya padaku apakah aku
menyukai Nanami mode coklat...
Tidak tidak, mari kita mengingat
cerita itu lagi lain kali.
Yah, aku penasaran siapa yang tidur
lebih dulu tadi malam... Jika aku mengingatnya dengan benar... Nanami tertidur lebih
dahulu, dan sepertinya aku langsung tertidur setelah melihatnya juga.
Benar sekali. Jika kuingat dengan
benar, tepat sebelum Nanami tertidur...
"Kalau hanya sedikit... aku
tidak keberatan melakukan hal nakal..."
Dia mengatakan itu... Tapi tidak
ada yang bisa kulakukan.
Tidak, yah... Melihat kejadian di
kamar mandi kemarin, masuk akal. Dan saat mengeringkan rambutnya... Un.
Dan juga, aku memikirkan tentang
apa yang dia anggap “sedikit nakal” dan apa batasannya... Lalu aku pun tertidur.
Aku mengingatnya dengan samar.
Rasanya aku menyesalinya tapi juga
lega karena tidak melakukannya. ...Aku pikir perasaan legaku lebih kuat.
Aku kira semua orang menjadi sangat
berani karena kita sedang berada di Hawaii.
...Tetapi ini bukan saatnya untuk
menganalisis situasi dengan tenang.
Untuk saat ini, aku mengalihkan
pandanganku ke Nanami, yang matanya tertutup dan tidur di depanku.... Nanami
tidur dengan ekspresi damai dan lembut.
Kapan terakhir kali aku melihat
muka tidurnya seperti ini?
Aku pernah tidur bersama Nanami
beberapa kali, tapi ini pertama kalinya kami sedekat ini... ini pertama kalinya
kami secara sadar tidur di ranjang yang sama.
Itu adalah ungkapan yang mudah
disalahpahami.
Tapi tetap
saja, saat aku menginap di rumah Nanami, atau saat kami pergi liburan… atau
waktu aku tanpa sengaja meletakkan tanganku di perutnya, atau saat berkemah…
Apa lagi ya?
Sebenarnya,
kami sudah tidur bersama dalam beberapa situasi yang cukup khusus. Jadi, tidur
berdampingan di ranjang seperti ini—setahuku—mungkin bukan pertama kalinya.
Situasi yang
paling mirip mungkin waktu kami ketiduran saat menelepon. Kalau bukan karena
pengalaman itu, aku pasti akan jauh lebih panik pagi ini.
Aku mungkin
sudah panik, ribut, dan akhirnya membangunkan Nanami.
Wajah tidurnya
benar-benar seperti malaikat… atau lebih tepatnya, dia sendiri adalah malaikat…
atau mungkin bahkan seorang dewi? Bagaimanapun juga, melihat Nanami di ranjang
seperti ini benar-benar seperti lukisan yang indah.
Apa aku… harus
menciumnya?
Tidak, jangan. Aku akan
membangunkannya. Lagipula, kalaupun aku melakukannya, lebih baik saat dia sudah
bangun… Tunggu, apa yang kupikirkan?
Aku pikir aku
sudah tenang, tapi sepertinya aku tidak setenang itu. Masih pagi… Mungkin
percakapan tadi malam dengan Nanami masih membekas di pikiranku.
Karena AC
masih menyala, ruangan ini tidak terlalu panas. Setidaknya, Nanami tidak akan
terbangun karena kepanasan.
…Kalau di
pikir-pikir, Hitoshi kemana? Hmm… Kalau tidak salah, tadi malam… Nanami datang
ke kamarku… Hitoshi yang pengertian membiarkan kami berdua…
Saat aku
mengalihkan pandangan ke ranjang di sebelah, ternyata kosong. Sepertinya dia
belum kembali.
Jadi itu
berarti… sekarang, di kamar ini, hanya ada aku dan Nanami berdua.
Begitu aku
menyadari itu, jantungku langsung berdegup kencang.
Aku mengubah
posisiku sedikit, dari berbaring menyamping menjadi telentang. Langit-langit
terlihat jauh lebih tinggi dari biasanya.
Saat aku
melirik ke samping, wajah tidur Nanami masih di sana, tidak berubah.
Dia masih
belum bangun? Dia terlihat begitu damai… Rasanya sayang kalau harus
membangunkannya.
…Apa aku
benar-benar harus menciumnya?
Saat aku
berpikir seperti itu, Nanami tiba-tiba bergumam pelan "Mmm…" sambil
sedikit bergerak.
Aku terkejut
dan tubuhku langsung menegang. Kasurnya pun ikut bergetar karena gerakanku.
Nanami yang
baru saja bergerak juga berbaring terlentang sepertiku… dan kedua bukit
besarnya terlihat begitu mencolok… Maksudku, mereka benar-benar bisa bergerak
seperti itu?
Saat ini, baik
aku maupun Nanami mengenakan pakaian yang cukup santai. Karena itu, lekuk tubuh
Nanami terlihat dengan jelas. Padahal dia mengenakan pakaian dengan lengkap,
tapi rasanya seolah-olah dia tidak memakai apa-apa di depanku…
Lalu, bayangan
Nanami tadi malam muncul di pikiranku. Tidak, tidak, hentikan, diriku…
Kendalikan dirimu. Tetap tenang. Paksa dirimu untuk memikirkan hal lain.
Kenangan itu
tidak bisa dihapus, tapi setidaknya untuk saat ini, aku harus berusaha untuk
tidak memikirkannya.
…
Ngomong-ngomong, sekarang jam berapa? Dengan perbedaan waktu, mungkin di Jepang
sekarang masih malam. Mungkin aku harus mengalihkan pikiranku dengan melihat
pemandangan di luar.
Aku bisa
mendengar suara burung samar-samar dari luar jendela. Di dalam kamar,
satu-satunya suara yang terdengar adalah dengungan AC dan napas tenang Nanami.
Oh, dan suara napasku sendiri juga.
Pelan-pelan,
aku mengangkat tubuhku tanpa membangunkan Nanami, lalu dengan hati-hati turun
dari tempat tidur. Aku berjalan ke dekat jendela… Dan di luar, hamparan laut
yang indah terbentang luas.
Jadi ini yang
disebut dengan ocean view. Pantai berkilauan di bawah sinar matahari
pagi, dan aku bisa melihat bayangan orang-orang yang sedang berlari di tepi
pantai. Ada juga orang yang bangun pagi sekali, ya.
Kalau tidak
salah, pemandu wisata kami pernah bilang kalau orang-orang di Hawaii terbiasa
bangun pagi kan?
Dengan cuaca
sebagus ini… Dan matahari pagi yang bersinar terang, mungkin wajar saja mereka bisa
bangun lebih awal. Aku sendiri tidak terlalu suka lari pagi, tapi sepertinya
ini lingkungan yang bagus untuk pelari.
Biasanya,
ketika aku memikirkan alam yang luas, yang terbayang di pikiranku adalah
pegunungan hijau. Tapi di sini, alam yang luas itu berwarna biru.
…Aku ingin
melihat pemandangan ini bersama Nanami. Mungkin nanti aku akan membangunkannya
agar kami bisa melihatnya bersama.
Saat aku
sedang menikmati pemandangan dari jendela… tiba-tiba aku mendengar suara klik
dari pintu. Bukan suara pintu yang terbuka, tapi lebih seperti suara kunci yang
dibuka.
Aku menoleh ke
arah pintu… dan pintunya perlahan, dengan sangat perlahan mulai terbuka.
Terlihat jelas seseorang berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara.
Kemudian, dari
celah kecil yang terbuka, perlahan… sangat perlahan, Hitoshi mengintip ke
dalam.
Apa aku
benar-benar membuatnya menghabiskan malam di kamar lain…? Ah, aku jadi merasa
bersalah…
Saat Hitoshi melihatku, dia memberi
isyarat dan memanggilku. Tapi… dia tidak masuk ke dalam kamar?
Aku sedikit
memiringkan kepalaku karena penasaran, tapi tetap berjalan perlahan
mendekatinya tanpa mengeluarkan suara.
Saat itu,
Hitoshi masuk ke dalam kamar dengan sangat pelan, lalu menutup pintu dengan
gerakan yang sama lambatnya. Gerakannya begitu hati-hati… Seperti seorang
ninja.
Lalu, saat aku
sudah cukup dekat, dia berbisik padaku…
“Udah selesai?”
“Kamu… itu hal pertama yang kamu tanyakan…?”
Aku telah mendengar hal luar biasa.
Maksudku, serius... Tapi ekspresinya sendiri sangat serius. Jadi aku mencoba
sedikit lebih serius juga.
"Dasar bodoh, ini pertanyaan
penting tahu? Kalau benar-benar “sudah”, aku harus keluar sebentar dan mengulur
waktu sampai semuanya beres bukan."
Ah… iya juga.
Kalau dipikir-pikir, masuk akal.
Lalu, Hitoshi
menambahkan “Walaupun kurasa kemungkinannya nol besar sih.” Itu agak menyebalkan,
tapi dia benar juga, jadi aku tidak bisa melawannya.
Jadi itu
sebabnya dia tidak melihat ke arah kasur sama sekali ya? Wah, ternyata dia
cukup perhatian juga.
Setidaknya, aku paham alasan kenapa
dia bertanya. Dan yah, seperti yang dia katakan, aku emang tidak mempunyai
keberanian untuk hal itu.
"...Jadi? Sebenarnya?"
“Aku belum melakukan apa pun, tapi…
Nanami mengenakan pakaian yang agak tipis, jadi aku akan sangat menghargainya
jika kamu bisa memberiku sedikit waktu lagi…”
Hitoshi membuat lingkaran dengan
jarinya(👌) dan
perlahan keluar dari kamar. Dia tahu kapan harus mundur dalam situasi seperti
ini.
Dia benar-benar tipe orang yang
perhatian. Kadang ucapannya memang ngawur, tapi dalam hal seperti ini, aku
ingin belajar darinya.
...Eh? Kalau dipikir-pikir, kemana
saja Hitoshi selama ini?
Aku mencoba memanggilnya, tapi
Hitoshi sudah pergi. Aku kehilangan kesempatan untuk bertanya, tapi ya
sudahlah. Nanti saja kutanyakan lagi.
Baiklah,
sebenarnya aku ingin membiarkan Nanami tidur sedikit lebih lama, tapi aku harus
membangunkan Nanami dan bersiap untuk hari ini.
Aku mendekati
tempat tidur dan kembali melihat wajah tidur Nanami. Saat itu juga, dia
menggumamkan namaku dalam tidurnya dengan cara yang benar-benar klise.
Aku penasaran,
mimpi apa yang sedang dia alami…? Mungkin aku akan menanyakannya setelah dia
bangun.
Dan tidak, aku
tidak cemburu dengan "aku" yang ada di dalam mimpinya. Sama sekali
tidak.
"Nanami~...Nanami, selamat
pagi. Ini sudah pagi. Ayo bangun dan sarapan."
“Uhh... Huh? Youshin? Kami di sini?
Beberapa saat yang lalu... kita mengenakan baju renang... bersamaku..."
Tunggu, jangan tidur lagi, Nanami.
Baju renang… apa?! Ah, tidak, Nanami masih setengah sadar dan hampir kembali ke
alam mimpi… Maksudnya baju renang apa?!
Jangan-jangan, di
dalam mimpinya dia masih di dalam permandian atau sesuatu semacam itu…? Aku menggoyangkan
tubuhnya pelan-pelan, tapi dia hanya menggumamkan sesuatu dengan mata setengah
tertutup.
Begitulah pagi hari
keempat kami di Hawaii dimulai—hanya aku dan Nanami.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Seperti yang tadi aku bilang, study
tour ini terasa cepat sekali—sekarang sudah hari keempat. Dan hari keempat…
bisa dibilang hari terakhir dari perjalanan ini.
Secara teknis, besok pagi kami
masih akan bangun di Hawaii, tapi besok hanya untuk pulang ke Jepang. Jadi,
hari ini adalah kesempatan terakhir untuk jalan-jalan.
Hari terakhir study tour.
Memikirkannya
lagi, rasanya agak emosional. Banyak pengalaman yang sudah kualami… tapi entah
kenapa, yang muncul di kepalaku cuma kejadian kemarin…
Yah, memang
terlalu berkesan sih.
"...Aaah...Aku ingin tinggal
di Hawaii lebih lama lagi~...Aku ingin pergi ke Oahu juga~...Aku ingin bermesraan
dengan Youshin..."
Entah dia menyadari dengan
perasaanku atau tidak, Nanami merebahkan badannya di sampingku seperti sedang
meleleh. Rasanya dia benar-benar meleleh.
Katanya kucing itu seperti cairan, tapi kalau melihat ini, sepertinya Nanami
juga begitu.
"Benar, aku juga ingin tinggal
lebih lama di sini..."
“Dan kita juga belum melakukan hal
nakal…”
“Apakah kamu bisa lebih
berhati-hati dengan perkataanmu?”
Memang, dia tidak salah, tapi ini
bukan tempat yang tepat untuk mengatakan hal itu.
Dan lihat—orang-orang mulai melirik ke sini…
Maksudku, dia
cuma bilang "belum melakukan hal naka;" jadi tidak perlu
di permasalahkan… Tapi sepertinya Nanami mulai lelah dari semua aktivitas
kelompok, makanya dia semakin lengah dengan perkataannya di tempat umum.
Sekarang, kami
lagi di dalam bus menuju ke kota. Itu berarti teman-teman satu kelompok dan
seluruh kelas juga ada di sini.
Sampai
kemarin, sebagian besar aktivitas kami itu tur keliling atau kegiatan yang
diatur sekolah, tapi hari ini adalah hari bebas—jadi kami punya waktu
untuk jalan-jalan sendiri.
Kami bisa
memilih ingin ikut tur yang opsional, atau naik bus sekolah untuk jalan-jalan
di kota. Tentu saja, bersantai di hotel juga diperbolehkan.
Ada juga
kelompok yang memilih ikut dengan guru yang menyewa mobil. Karena di Hawaii,
kalau mau ke mana-mana, katanya harus pakai mobil.
Sebagian
mungkin berpikir bisa numpang dengan gratis, tapi ada juga yang memang ingin jalan-jalan
bersama guru yang akrab dengan mereka.
Para guru juga
kerepotan ya…
Guru wali
kelas kami juga sempat menwarkan pada kami untuk ikut dengan rombongan mereka
yang pakai mobil sewaan, tapi kami menolak.
Tapi, kami
dapat peringatan keras untuk berhati-hati dan jangan macam-macam.
Terutama aku dan Nanami. Kenapa mereka begitu khawatir dengan kami?
Meskipun ini
hari bebas, tetap saja kami harus melapor ke sekolah soal rencana kami, jadi tidak
mungkin sebebas itu…
Oh. Tunggu.
Apa mereka takut kalau aku dan Nanami akan terlau mesra di tempat umum? …Oh.
Begitu ya.
Jangan khawatir,
Sensei. Kami baik-baik aja.
Mengingat
percakapan itu, aku sedikit ketawa.
"Ayo, kita bersenang-senang
sepenuhnya hari ini... Lagipula ini perjalanan sekolah kita bersama."
"Benar, aku juga ingin
melakukan banyak hal hari ini... Ah, saat kembali ke hotel nanti, ayo ke kolam
renang. Kita sudah ke pantai, tapi belum ke kolam renangnya bukan?."
“Kamu sudah memikirkan saat kembali
ke hotel? Dan juga…bukankah kita sudah ke kolam renang waktu itu?”
"Waktu itu cuma lihat-lihat
saja!. Aku ingin pergi ke kolam renang dengan baju renangku!."
Saat Nanami bersenang-senang, aku
pun ikut bersenang-senang. Semua orang membicarakan tentang apa yang akan
mereka lakukan hari ini.
Kami
sebenarnya sudah menyusun rencana sebelum datang ke Hawaii, tapi begitu sampai
di Hawaii… daftar tempat yang ingin dikunjungi malah semakin panjang.
Jujur saja,
empat hari tidak cukup. Semakin kami jalan-jalan, semakin banyak tempat yang terlihat
menarik.
Cuma bersantai
di hotel atau main ke pantai saja sudah menyenangkan. Mungkin inilah yang bikin
tempat wisata itu terasa istimewa…
Dan mjuga,
kami baru sempat ke Pulau Utama Hawaii. Masih ada pulau Oahu dan pulau-pulau
lainnya. Wajar saja kalau Hawaii jadi destinasi wisata yang populer.
"Suatu hari nanti...Aku ingin
datang ke sini lagi"
"Benar, aku juga."
“Hanya kita berdua?”
"Ya...Hanya kita berdua."
Jika hanya kami berdua, aku pikir
aku harus bekerja lebih keras di pekerjaan paruh waktuku. Jika aku datang ke
sini lagi...mungkin setelah liburan kelulusan? Tapi biasanya orang-orang akan
pergi dengan teman dekat mereka...
Itu berarti perjalanan ke tempat
lokal lebih cocok setelah kelulusan. Mungkin saat kuliah nanti?
Saat aku lagi memikirkan kapan kami
bisa ke sini lagi, Nanami tiba-tiba mendekat dan berbisik dengan pelan di
telingaku, supaya tidak ada yang mendengarnya.
“…Lain kali, kita ke sini saat
bulan madu yang sebenarnya ya?”
Dia langsung
menjauh, wajahnya yang agak kecokelatan karena matahari menjadi sedikit merah.
Dengan senyum malu-malu, dia menatapku. Aku juga tersenyum kecil…Seolah
mengiyakannya.
Perjalanan ini
sempat dianggap sebagai pra-honeymoon(bulan madu) kami, tapi karena banyaknya
kegiatan kelompok, aku jadi lupa soal itu. Sekarang, tiba-tiba aku memikirkannya
lagi—dan kali ini, lebih serius.
Tidak lama
kemudian, bus sampai di kota. Kami mendengarkan pengumuman guru soal peraturan
dan waktu berkumpul kembali… Lalu akhirnya, guru pergi.
"Sampai ketemu nanti!
Kembalilah dengan selamat!"
Kata Hitoshi sambil menyeringai dan
melambaikan tangannya ke arah kami bersama Otofuke-san dan lainnya, semuanya
tersenyum ceria.
"Kalian berdua...Selamat
bersenang-senang."
“Guru, hati-hati di jalan.”
Shizuka-san dan Teshikaga-kun,
berjalan ke arah pantai berdampingan. Tapi jarak di antara mereka terasa agak
canggung—seolah-olah mereka ragu mau bergandengan tangan atau tidak.
“Baiklah… kalau begitu, ayo pergi
juga.”
"Ya!"
Setelah mengantar mereka pergi, aku
dan Nanami mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan mereka.
Kami berdua memakai kacamata hitam,
topi Hawaii yang dibeli di sini, dan… baju aloha yang serasi dan berjalan-jalan
di kota.
Hari ini, Nanami mengenakan topi,
kacamata hitam, kemeja aloha dengan tube top di dalamnya, serta celana pendek
denim.
(Tln: Tube top itu kayak baju tapi cuma nutup area dada perut)
Aku juga pakai pakaian yang mirip.
Bedanya cuma aku pakai celana pendek selutut.
Kenapa baju kami bisa serasi? Karena
kami memilih baju bersama setelah bangun pagi tadi… eh, tunggu, itu bisa
disalahartikan. Tapi sebenarnya, memang begitu kan?
Kami tidak
ganti baju di tempat yang sama tentunya. Hanya saja kami sepakat untuk
menggunakan pakaian serasi. Teman-teman kami sempat menggoda kami sedikit karena
hal ini.
Sampai
kemarin, kami memakai baju aloha yang dipinjam dari Genichiro-san dan Ibu
Nanami, tapi hari ini, kami mengenakan baju yang dipinjam dari orang tuaku.
Desainnya
sama, hanya warnanya saja berbeda. Membayangkan ayah dan ibuku pernah memakai
ini dulu rasanya agak aneh.
“Ehehe, apakah ini cocok untukku?”
"Un, sangat cocok. Kamu
terlihat imut."
Nanami bertanya dengan sedikit
malu-malu, tapi dia benar-benar terlihat menawan. Bagian dadanya agak terbuka
lebih dari yang kukira, tapi tetap terlihat bagus dan elegan.
Sambil bergandengan tangan seperti
ini… pemandangan belahan dadanya jadi sulit untuk dihindari.
Sebenarnya, awalnya Nanami mengancing
bagian bawah kemejanya hingga tepat di bawah dadanya, tapi kami memutuskan
untuk tidak melakukannya karena terlalu menonjolkan dadanya—dan jujur saja,
terlalu seksi.
Meskipun Hawaii itu tempat yang
cukup aman, tetap saja ini di luar negeri, jadi lebih baik berjaga-jaga sebisa
mungkin.
…Meskipun sekarang, dia masih
sangat seksi.
"Kalau dilihat-lihat... Kamu
jadi semakin coklat ya..."
"Ehehe, kulitku jadi sangat
mulus kan~? Untung aku bertanya pada Nao-chan cara tanning yang bagus. Bagaimana?
Apakah Youshin menyukai Nanami versi seksi ini?"
(Tln: Tanning mencoklatkan kulit)
"Tentu saja...Sudah jelas"
"Ehehehe. Lihat, meskipun aku
tanning, kulitku tetap halus tahu! Coba, sentuh di sini~."
Nanami dengan
polos menyodorkan lengannya ke arahku, dan mengisyaratkan agar aku menyentuh
kulitnya yang eksotis. Aku ragu-ragu sebentar, lalu menyentuhnya.
(Tln: Eksotis kayak daya tarik tapi yang ga terkenal
gitu)
Kulitnya
sedikit berkeringat karena panas, dan terasa lembut dan lembap di tanganku—tapi
sama sekali tidak lengket.
Bukannya licin
seperti yang kukira, tapi lebih seperti… halus dan lembut? Rasanya mirip dengan
sutra. Atau mungkin sedikit berbeda?
Hangat,
elastis, dan lembut… tapi bukan seperti mochi atau dango… Rasanya berbeda dibandingkan
saat aku menyentuhnya sebelumnya.
"Bagaimana?"
"…Nanami, kulitmu benar-benar
cantik. Maksudku, aku mengetahuinya dari dulu, tapi sekarang kayak… Semakin menyadarinya."
"Komentar macam apa
itu~?"
Nanami tertawa kecil lalu menarik
kembali tangannya, membuat tanganku menggantung di udara dengan canggung. Ugh,
rasanya aku tiba-tiba kehilangan kosakataku…
"Tapi kalau kulitku sudah
semakin gelap seperti ini, bagaimana kalau aku mencerahkan warna rambutku?
Kayaknya aku akan lebih cocok kalau agak pirang."
"Hmm, iya sih, rambut pirang akan
cocok juga dengan kulitmu… Tapi apakah sekolah tidak melarangnya? Apakah itu
akan baik-baik saja?"
"Itu akan baik-baik saja
bukan? Warna rambut Ayumi bahkan diperbolehkan."
"Iya juga. Tapi menurutku, kamu sudah cukup imut dengan warna rambutmu yang sekarang. Warnanya juga sudah cocok dengan warna kulitmu sekarang…"
"Masa,
sih…?" Nanami sedikit cemberut. Mengubah warna rambut agar cocok dengan
warna kulitnya… Itu bukan sesuatu yang terpikirkan olehku. Aku bahkan belum
pernah mengecat rambutku sebelumnya.
Aku selalu
menghormati orang-orang yang berusaha keras dalam fashion seperti itu. Soalnya,
aku sendiri tidak pernah terlalu memikirkan hal itu.
Tapi kemudian,
Nanami malah menatap kulitku dengan serius. Ada apa? Memang, kulitku juga jadi
lumayan…Cukup kecokelatan.
Lagipula,
Nanami juga sempat mengoleskan minyak tanning ke tubuhku, jadi kulitku
kelihatan semakin rata warnanya. Kami bahkan sempat saling membantu mengoleskan
minyak satu sama lain…
Mungkin ini
pertama kalinya kulitku jadi sebagus ini setelah berjemur.
“Yoshin… Bagaimana kalau kamu
mengecat rambutmu juga?”
"Eh... Rasanya kamu pernah
mengatakan hal ini sebelumnya."
Nanami menggenggam tanganku sambil
menyentuh lenganku dengan tangan satunya. Rasanya sedikit geli, tapi karena ini
Nanami, aku tidak bisa begitu saja menolaknya.
Aku… mewarnai rambutku?
Aku mencoba membayangkannya. Aku
yang sudah mulai lebih coklat, lalu memutuskan untuk mengecat rambutku juga…
“Bukankah... Agak memalukan?"
"Eh~? Tidak kok. Aku yakin
akan keren banget."
Tapi bagaimana ya? Aku merasa
Hitoshi akan tertawa terbahak-bahak. Nanti malah terlihat seolah aku memaksakan
diri untuk jadi keren, dan malah jadi terlihat aneh.
Karena ini permintaan Nanami, aku
sebenarnya ingin menuruti keinginannya… tapi tetap saja, aku ragu. Dulu dia mengatakan
ini sebelum liburan musim panas kan…?
Oh iya, bahkan Tooru-san, penata
rambut langganan Nanami, juga sempat menyarankan hal yang sama. Hmmm…
"Ngomong-ngomong, katanya cuma
orang Jepang yang tidak suka kulitnya jadi gelap. Di luar negeri, orang malah
sengaja tanning supaya kulit mereka jadi lebih eksotis."
“Muu... Kamu jelas ingin mencoba
mengganti topiknya!"
"U-Umm… Anggap saja ini tugas diskusi
selama study tour kita… Aku akan memberikan jawabanku setelah kita kembali."
"Tugas?!"
Walaupun Nanami tahu aku
menghindari topik ini, aku tetap bertahan. Untungnya, dia juga tidak memaksaku
untuk benar-benar mewarnai rambutku, jadi pembicaraan itu pun berakhir di situ.
Tapi aku yakin dia belum menyerah. Banyak orang mungkin berpikir Kalau itu bisa bikin pacarmu melihatmu dengan
lebih keren, cat rambut bukanlah masalah besar.
Tapi kalau sudah
menolak sesuatu selama ini, pasti susah untuk langsung berubah pikiran. Yah… Mungkin
coba sedikit tidak masalah…
Saat kami
terus berjalan di jalanan Hawaii, kami akhirnya tiba di suatu tempat.
"Apakah tempat ini semacam
festival?"
Ternyata
tempat itu penuh dengan stand-stand bergaya Jepang. Atau lebih tepatnya, roten—stand
terbuka yang lebih mirip pasar tradisional.
(Tln: Roten stand taulah ya, yang bisa di bongkar
pasang kalau kayak ada acara di jalanan)
Orang-orangnya
sangat banyak, dan suasananya sangat ramai. Banyak juga yang sepertinya orang
Jepang. Rasanya kayak tiba-tiba masuk ke festival di Jepang. Wah, orang-orang
terus berdatangan dan keluar…
Kayaknya
masuknya gratis. Ini semakin terasa kayak festival asli. Nanami juga terlihat
tertarik, matanya berbinar-binar. Kayaknya akan seru kalau kita mampir
sebentar.
“Apakah kamu ingin mampir
sebentar?”
"Iya, ayo."
Keliling
sebelum sampai tujuan utama itu juga salah satu keseruan dari jalan-jalan.
Dengan pikiran itu, kami pun masuk.
Setelah
dilihat lebih dekat, ada papan nama di pintu masuk yang bertuliskan “Pasar”.
Pasar… ini
semacam pasar loak ya? Aku belum pernah ke tempat seperti ini, tapi katanya
seru untuk sekedar melihat-lihat.]
(Tln: Pasar loak, pasar yang tidak menetap dan
muncul kalau ada acara aja)
…Tapi bagaimana
kalau mereka tidak menyukai pengunjung yang cuma melihat-lihat tanpa membeli
sesuatu? Tidak mungkin kan?
Di dalam,
bukan cuma area depan yang menghadap jalan utama, tapi sangat banyak stand yang
berdiri, hampir seperti sebuah labirin. Rasanya kayak tantangan escape room
atau semacamnya.
(Tln: Taulah ya escape room, tantangan keluar dari
labirin / ruangan penuh teka teki)
“Jangan sampai terpisah ya.”
"Un. Tapi...Ini sangat ramai..."
Aku
mengulurkan tanganku ke Nanami, dan dia langsung menggenggamnya dengan bahagia.
Seperti yang dia bilang, tempat ini agak sesak. Aku jadi penasaran, mereka menjual
apa saja?
Di stand-stand
itu… Ada berbagai macam barang. Buah-buahan, sayur-sayuran, sosis dan makanan
lainnya, dan minuman seperti jus segar…
Ada cincin,
kalung, dan aksesoris lainnya, juga kerajinan kayu…? Bahkan ada barang-barang
yang aku sama sekali tidak tahu fungsinya.
Serius, di
sini ada sangat banyak barang unik, dan semuanya terlihat seperti buatan
tangan.
“Ah , jusnya itu terlihat enak
."
Seorang kakek berbadan besar dengan
janggut putih tebal sedang menjual jus buah. Kelihatannya laku, karena
pelanggan terus berdatangan untuk membelinya.
“Ayo kita coba….Apakah aku bisa membelinya?”
Karena kakek
itu orang Hawaii, aku sedikit ragu untuk memesannya. Apakah dia bisa mengerti?
Dengan sedikit gugup, aku mencoba memesan jus menggunakan gerakan tangan.
Kupikir akan
susah kalau pakai bahasa Inggris… tapi ternyata dia bisa bahasa Jepang. Dan
cukup lancar juga.
Sangat keren…
Kalau aku ada di posisinya, kira-kira apakah aku akan bisa pakai bahasa
Inggris? Katanya lebih baik belajar langsung daripada teori, jadi kalau aku
tinggal di Hawaii, mungkin aku juga akan jago bahasa Inggris.
Setelah
menerima jus kami, kakek itu tersenyum dan memberi isyarat tangannya. Kami pun
membalas dengan senyuman. Hanya refleks, tapi… kira-kira aku melakukannya
dengan benar atau tidak ya?
Aku
menyerahkan jus itu ke Nanami, dan begitu dia menyeruputnya, rasa manis-asam
yang segar langsung menyebar di mulutnya. Rasanya agak tropis.
(Tln: Rasa tropis kurang tahu tapi kayaknya
gabungan beberapa buah daerah tropis)
Jusnya juga dingin,
semakin bagus. Jalan-jalan keliling pasar sambil minum jus dingin bersama
Nanami di tengah cuaca panas… rasanya sangat bahagia.
Banyak juga
aksesori di sini, tapi harganya tidak semahal yang kukira. Banyak yang cuma
beberapa ribu yen, bahkan sedikit yang mendekati sepuluh ribut yen. Tentu, ada
juga yang mahal.
Rasanya kayak
lagi tur ke toko perhiasan. Jarang-jarang aku melakukan ini bersama Nanami,
jadi rasanya segar.
Di Jepang jarang ada pasar seperti ini. Atau mungkin ada, tapi aku saja yang tidak
mengetahuinya? Mungkin bukan pasar terbuka, tapi toko biasa…
Nanami terlihat
sangat tertarik dengan sebuah cincin, matanya berbinar-binar saat melihatnya.
Bahkan pegawai tokonya ikut memberikan promosi dalam bahasa Jepang.
Mereka
menjelaskan tentang pola khas Hawaii, desainnya, dan hal-hal lainnya…
Cincin,
kalung, anting, jepit rambut—banyak jenis aksesori, dan masing-masing memiliki
artinya sendiri.
"Jalan-jalan lihat aksesori seperti
ini seru juga ya? Dulu aku sering melakukannya bersama Hatsumi dan yang lain,
tapi belakangan jadi jarang."
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita
jalan-jalan bersama lain kali?”
"Aku senang dengan hal itu,
tapi… Apakah kamu tidak akan bosan? Aku suka lihat-lihat agak lama, jalan ke
banyak tempat… Kadang cuma lihat saja tanpa membelinya."
"Mungkin aku akan baik-baik
saja...?"
Karena kami
selalu pergi kencan bersama, kalau tujuannya ditentukan oleh Nanami, aku rasa
itu tidak ada masalah.
Selain itu,
aku juga ingin memastikan sesuatu.
Katanya, menemani
pacar belanja itu membosankan… jadi, apa aku juga akan merasa seperti itu?
Menurutku,
selama aku bersama Nanami, pasti akan menyenangkan, jadi aku tidak akan bosan.
Tapi, aku tidak akan tahu kalau belum mencoba.
Saat aku
menjelaskan itu ke Nanami, dia terlihat sedikit heran.
“Normalnya, orang akan
menyembunyikan pemikiran seperti itu untuk dirinya sendiri tahu…?”
"Tidak, lihat, aku ingin
memberitahumu untuk tidak perlu mengkhawatirkannya. Dari apa yang kamu katakan
sebelumnya, kamu mungkin terlalu memikirkannya."
Nanami tersenyum kecil dengan wajah
yang terlihat sedikit bermasalah, lalu menggenggam tanganku lebih erat.
Memperhatikan perasaan orang lain itu penting, tapi kalau sampai kepikiran
berlebihan sampai tidak bisa menikmati momennya, tidak akan ada gunanya.
"Kalau seperti itu,
lihat-lihat aksesori di sini juga bisa dibilang bagian dari tes bukan?
Setidaknya… aku tidak merasa bosan sekarang."
“Hmmm....Aku merasa ini agak
berbeda. Jadi...Saat kita kembali ke Jepang, temani aku berbelanja, oke? Janji.
Janji jari kelingking... Kita tidak bisa melakukannya sekarang."
Soalnya kami lagi pegang jus. Sulit
untuk melakukannya. Tapi, rasanya sekarang ada satu lagi hal yang
kutunggu-tunggu setelah pulang nanti.
“Ah, cincin ini sangat lucuu.”
Nanami
berhenti di depan sebuah toko yang menjual cincin. Ada banyak cincin dipajang,
dengan berbagai macam desain.
Aku tidak mengerti
cincin mana yang bisa dibilang lucu, tapi kalau Nanami bilang begitu, berarti itu
memang lucu.
"Aloha~! Selamat datang!
Silakan mencobanya kalau mau!"
Orang yang menyambut kami berbicara
dalam bahasa Jepang, tapi dia wanita luar negeri. Dia memiliki rambut pirang
yang panjang dan tato mencolok di lengan kiri serta disekitar pusarnya.
“Bahasa Jepang Anda bagus.”
“Terima kasih, suamiku orang
Jepang.”
"Pernikahan internasional ya?
Betapa indahnya!"
Nanami
terlihat senang saat melihat satu per satu cincin yang dipajang. Aku juga ikut
melihatnya, dan setiap desainnya berbeda—semuanya terlihat seperti buatan
tangan.
Dulu aku
pernah membuat aksesori untuk Nanami, tapi ya… jelas saja, ini buatan
profesional. Semua desainnya benar-benar indah.
“Apakah ini buatan tangan?”
"Iya, aku yang membuatnya.
Kalau ada yang kamu suka, aku akan memberimu diskon. Bagaimana kalau mengambil
cincin serasi dengan suamimu?"
S-Suami!?
Ah, maaf, tapi
belum… Kami belum menikah. Saat aku menjelaskan itu, dia malah berkata
"Oh, aku kira kalian sudah menikah. Soalnya orang Jepang terlihat lebih
muda."
Nanami
sepertinya senang disebut sebagai istriku, dan kelihatannya sudah memutuskan
untuk membeli sesuatu. Matanya berbinar dengan penuh semangat.
Tapi tetap
saja, semua cincin ini buatan tangan… luar biasa. Ada lebih dari sepuluh
cincin, tapi setiap desainnya berbeda.
Aku tidak
yakin apakah "luar biasa" itu kata yang tepat, tapi
melihat jumlah cincin yang ada di sini, tidak ada kata lain yang bisa mendeskripsikannya.
Mungkin di toko lain juga begitu.
Nanami masih
sibuk melihat berbagai cincin dan mencoba memutuskan mana yang paling bagus.
Karena ini masalah selera pribadi, aku pikir tidak akan tepat kalau aku ikut
campur terlalu banyak. Jadi, aku memilih untuk melihat cincin yang lain.
Lalu, di
antara banyak cincin itu, tiba-tiba ada satu yang menarik perhatianku.
Cincin itu
punya sedikit warna kebiruan di bagian dalamnya. Entah kenapa, warna birunya
mengingatkanku pada mata Nanami, dan tanpa sadar, aku langsung mengambilnya.
Dingin logam
cincin itu terasa di jari-jariku. Baik bagian luar maupun dalamnya memiliki
ukiran yang menyerupai ombak, dan warna birunya terlihat seperti lautan Hawaii.
“Kamu menyukainya?”
Sebelum aku
menyadarinya, penjualnya sudah berdiri di sampingku dan tersenyum. Sejak kapan
dia ada di sini…?
Awalnya aku
hanya mengambilnya secara spontan, tapi setelah melihatnya lebih dekat… Un, aku
benar-benar menyukainya.
Harganya juga...Oh tidak semahal
itu. Itu adalah jumlah yang bahkan mampu dibeli oleh siswa normal.
“Yah, ini… aku menyukainya.”
"Oh begitu, baguslah! Desain
ini melambangkan cinta abadi. Ini juga cincin berpasangan, jadi kalau kamu mau,
kamu bisa memberikan ini sebagai hadiah untuk pacarmu."
Jadi cincin
ini memiliki arti seperti itu. Cinta abadi…ya? Desain gelombang yang
melambangkan cinta abadi terasa agak unik, tapi mungkin ini bagian dari
tradisi.
Nanami… masih
sibuk melihat-lihat. Aku sebenarnya mau membeli dua cincin ini dan
memberikannya sebagai hadiah untuknya, tapi… kalau dia tidak menyukai
desainnya, akan jadi masalah. Sebaiknya aku bertanya padanya dulu.
“Nanami, aku sedang berpikir untuk
membeli cincin ini. Bagaimana desainnya menurutmu?”
"Eh? Kamu juga mau beli? Coba
lihat… wah, lucu! Aku juga ingin beli yang sama…"
"Soalnya ini cincin pasangan,
jadi aku berpikir untuk membelinya lalu memberikan satu padamu sebagai
hadiah…"
"Eh~? Kalau pasangan, mending
kita beli bersama saja! Lalu, kita kasih ke satu sama lain sebagai
hadiah."
Awalnya aku
cuma mau kasih ke dia sebagai hadiah, tapi aku tidak menyangka malah jadi
saling tukar cincin… Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, ini memang lebih baik.
Aku juga
sedikit ingin pamer sih, tapi kalau terlalu berlebihan saat masih SMA, rasanya
kurang baik juga…
"Kalau gitu, aku akan menerima
tawaranmu…"
"Apakah ini dihitung sebagai tawaran…?"
Yah, secara
teknis mungkin tidak. Tapi aku awalnya memang berniat membayarnya sendiri, jadi
aku pikir ini tetaplah tawaran. Sementara itu, si penjual hanya tersenyum
sambil memperhatikan kami.
Untuk
berjaga-jaga, kami mengecek ukurannya dulu, dan ternyata cincin itu sangat pas
di jari kami. Kalau ukurannya tidak pas, pasti kami akan kecewa, jadi syukurlah
ukurannya pas.
Setelah itu,
penjualnya membungkus cincin pasangan itu dengan hati-hati supaya tidak
tergores, lalu menyerahkannya kepadaku. Aku harus memastikan untuk tidak
kehilangannya…
Aku lalu menyimpannya
dengan baik di dalam tas kecil yang kubawa.
Setelah
menyimpannya, aku berpikir… mungkin kami bisa langsung memakainya di sini? Tapi
rasanya lebih baik memakai ini di tempat yang lebih spesial.
Dan, mengingat
tujuan kami berikutnya… mungkin kami akan memakainya sebentar lagi.
Saat kami
mengucapkan terima kasih kepada penjaga toko, dia menjawab dengan
"Mahalo" dan menunjukkan simbol tangan khas Hawaii. Kami pun secara
refleks ikut menirukan gerakannya.
(Tln: Mahalo kayak sama-samanya Hawaii)
Tanpa kami
sadari, kami sudah terlalu lama berada di pasar.
Rasanya
sedikit berat untuk pergi, tapi akhirnya kami meninggalkan pasar dan kembali ke
jalan utama. Saat aku menoleh ke arah jalan, aku baru menyadari bahwa di
seberang sana terbentang lautan luas.
Aroma buah
yang manis memenuhi udara, bercampur dengan suara ramai dari pasar. Pohon
kelapa yang bergoyang tertiup angin laut, orang-orang berbikini dan peselancar
berjalan di trotoar—mungkin dalam perjalanan ke pantai atau baru saja kembali.
Tempat ini
benar-benar penuh dengan energi yang khas.
Tadi aku
terlalu sibuk mengobrol dengan Nanami sampai tidak menyadari semua ini. Tapi
begitu aku mengubah cara melihatnya, pemandangan di sekelilingku terasa begitu
berbeda.
“Itu adalah keputusan yang tepat
untuk mengambil jalan memutar dulu ya.”
(Tln: Jalan memutar buat orang Jepang itu kayak buat lamain waktu
sebelum ke tempat tujuan)
Nanami juga
merasakan hal yang sama dan dia menggenggam tanganku lagi sambil menatap pantai
di seberang jalan.
Seperti yang
dia bilang… ini cuma jalan memutar. Tapi entah kenapa, rasanya seperti kami
sudah mencapai tujuan.
"Hmm... banyak orang
berjalan-jalan dengan baju renangnya... mungkin sebaiknya aku juga memakai baju
renangku?"
"Sebaiknya jangan...Lagipula kita
tidak akan pergi ke pantai."
"Yah, benar. Lagipula, pakaian
renang mungkin tidak akan di izinkan di sana..."
Benar, tujuan utama kami masih ada
di depan. Dan sepertinya, tempat itu bukan tempat yang bisa dimasuki hanya
dengan memakai baju renang. Sambil melihat sekeliling, kami pun kembali
berjalan.
Tadi, aku
hanya fokus mengobrol dengan Nanami. Tapi sekarang, saat aku benar-benar
memperhatikan sekitarku, aku sadar kalau tempat ini benar-benar indah. Meski
ini pertama kalinya aku datang, rasanya ada sesuatu yang familiar dan
menghangatkan hati.
Banyak toko
yang berjejer di sepanjang jalan, aroma kopi dari kafe-kafe tercium begitu
harum, dan di tepi pantai, penduduk lokal bermain dengan ombak, sementara para orang
tua dan anak-anak bersenang-senang di pasir.
“Apakah berselancar itu sulit?”
"Entahlah... Mungkin kita
harus mencobanya."
“Kalau begitu, lain kali kita ke
sini, ayo kita coba berselancar bersama!.”
“Ya, ayo kita coba. Masih banyak
hal lain yang ingin aku coba juga.”
Tanpa sadar, kami mulai
membicarakan kapan kami akan datang ke sini lagi di masa depan.
Panas, silau,
aroma kopi dan berbagai buah memenuhi udara, laut terlihat indah, dan angin
terasa begitu nyaman... Berjalan bersama di tempat seperti ini terasa seperti
kebahagiaan sejati.
Tidak kusangka
aku akan merasa seperti ini di Hawaii... Tempat ini benar-benar menjadi tempat
yang ingin kudatangi lagi bersama Nanami. Meskipun, tentu saja, kami tidak bisa
sering ke sini.
Setelah
berjalan sekitar lima belas menit dari pasar, kami sampai di sebuah bangunan.
Sederhana, tetapi entah mengapa terlihat begitu indah.
"Jadi ini...Gereja tertua di
Hawaii ya."
Nanami menatap
bangunan itu ke atas, dan aku mengikuti arah pandangannya. Di ujung
pandanganku, ada sebuah menara segitiga yang menjulang. Di sepanjang perjalanan
tadi, seingatku tidak ada bangunan setinggi ini.
Ya, kami telah
sampai di gereja tertua di Pulau Hawaii.
Saat tur
kemarin, kami beruntung bisa melihat pernikahan pantai. Karena diadakan di
pantai, ada banyak orang yang menonton dari kejauhan, bukan hanya para peserta yang
diundang.
Aku tidak tahu
pasti siapa saja yang menjadi tamu undangan, tetapi di tengah suasana penuh
berkah itu, seorang wanita mengenakan gaun pengantin putih berdiri di pasir
putih, dan bertukar janji suci dengan seorang pria.
Dengan lautan
biru sebagai latar belakang, mereka terlihat sangat bahagia dalam foto yang
diambil.
Aku dan Nanami
sama-sama terkejut melihat pernikahan seperti itu. Apakah di Jepang juga ada
yang seperti ini? Tapi benar-benar... itu adalah upacara pernikahan yang indah.
Bahkan aku
merasa begitu, jadi Nanami pasti lebih terkesan dariku.
Bukan karena
itu alasannya, tapi... tadi malam, saat kami mengobrol, aku mengajak Nanami
untuk mengunjungi gereja hari ini.
Hari ini
adalah hari bebas, dan kami memang berencana pergi ke kota yang memiliki gereja
tertua di Pulau Hawaii, jadi ini kesempatan yang pas.
“Aku ingin pergi...Tapi apa kamu
yakin? Youshin, apakah kamu tidak punya tempat lain yang ingin dikunjungi?”
“Tidak, aku...Tidak terlalu punya
tempat yang ingin dikunjungi.”
"Kemarin kamu ingin pergi ke
toko motor bersama Kenbuchi-kun kan?"
(Tln: Ga tau disini bike maksudnya motor atau sepeda, tapi di JP sepeda
umum aja jadi kayaknya motor)
“Itu kalau tidak ada rencana lain.”
Begitulah caraku membujuk Nanami, lalu
mengatur ulang rencana dengan Hitoshi dan yang lainnya, dan akhirnya... Kami
bersiap menikmati perjalanan hari ini.
Yah, Hitoshi
diajak oleh para gadis, dan Shizuka-san juga sedang mencari cara supaya bisa
pergi bersama Teshikaga-kun, jadi kurasa usulanku datang di waktu yang tepat
buat mereka.
Aku baru tahu
soal itu saat sarapan tadi pagi… Awalnya aku merasa agak bersalah karena sudah
mengajak Hitoshi, lalu malah mengubah rencananya, tapi dia cuma tersenyum
santai dan bilang supaya aku tidak perlu khawatir.
Dan sekarang… Di
sinilah kami, berdiri di depan gereja.
Meski ini
gereja, tidak ada tanda salib di mana pun. Kupikir akan ada salib di bagian
paling atas, tapi…
Katanya ini
gereja tua, tapi dari luar sama sekali tidak terlihat usang. Bangunannya
simpel, tapi entah kenapa terasa begitu berwibawa… atau mungkin cuma perasaanku
saja karena aku tahu ini gereja bersejarah?
"Ayo segera masuk"
"Un, ayo!."
Kami berdua
melangkah masuk melewati gerbang yang berbentuk lengkungan. Dari dekat, warna
dinding gereja terlihat agak aneh. Rasanya berbeda dari bangunan pada umumnya.
Abu-abu dan
hitam… ditambah warna putih yang agak kekuningan? Coraknya juga tidak
beraturan, tapi justru terlihat alami… Dan memberikan suasana yang tenang dan
damai.
(Tln: Gereja Mokuaikaua, kalau kalian mau lihat dan merasakan feelnya)
"Rasanya… berjalan masuk ke
gereja berdua seperti ini kayak upacara pernikahan ya?"
Nanami berkata
dengan suara penuh semangat. Kalau dipikir-pikir, begitu melewati gerbang, kami
langsung masuk ke dalam gereja… jadi mungkin memang terasa seperti itu.
Pernikahan,
ya…? Kalau begitu…
“Apakah kamu mau bergandengan
tangan?”
Nanami mengedipkan matanya atas
saranku.
Aku berhenti berjalan dan perlahan
melepaskan tangan Nanami. Nanami juga perlahan melepaskan tangannya saat aku
berbicara.
Lalu, aku sedikit menekuk lenganku
untuk memudahkan Nanami merangkul lenganku. Kami kadang melakukan ini, tapi
melakukannya di depan gereja… entah kenapa bikin aku sedikit gugup.
"Un!!"
Tanpa ragu,
Nanami langsung merangkul lenganku dengan penuh semangat, seperti melompat ke
dalamnya. Untungnya aku sudah siap, jadi aku tidak sampai kehilangan
keseimbanganku…
Dengan tangan
saling menggandeng, kami melangkah masuk ke dalam gereja, dan menikmati setiap
langkahnya bersama.
Di sekitar
kami, ada banyak pohon palem dan tanaman tropis lain yang tidak biasa ditemukan
di Jepang, tertanam rapi dan bergoyang kencang tertiup angin.
Lalu, kami
berdua perlahan masuk ke dalam gereja.
Sepertinya
tidak ada orang lain di dalam. Rasanya seperti kami sedang menjalani upacara
pribadi, dan saat aku berpikir begitu, tiba-tiba aku merasakan cahaya terang
dari depan.
Jendela itu...
apakah itu kaca patri? Sinar matahari yang masuk melalui jendela menerangi
bagian dalam seakan memberkati kami.
(Tln: Kaca patri itu kaca yang ada dekorasinya,
biasa dipakai buat mempercantik atau mau munculin dekorasi tertentu)
Tempat dengan
kaca patri ini... apakah ini yang disebut kapel? Kapel kayu yang tampak hangat
ini terlihat tua, tetapi tetap memiliki daya tarik tersendiri.
Altar kayu
yang sederhana, bangku kayu, pilar kayu, dan mungkin bahkan langit-langitnya
juga terbuat dari kayu. Rasanya tidak terlalu seperti suasana retro, tetapi
lebih kepada sesuatu yang memberikan rasa hening dan tenang.
Aku bukan
orang yang terlalu religius, tetapi berada di sini membuatku secara refleks
berdiri lebih tegak. Jika aku berada di sini lebih lama, mungkin aku bisa
menjadi lebih religius.
Apakah ini
yang disebut dengan perasaan suci?
Aku pernah
mengunjungi kuil bersama Nanami saat berkencan sebelumnya, tetapi perasaan ini
sedikit berbeda... Mungkin karena saat itu, ada rasa antusias ingin berdoa.
"Hanya melihat bagian dalam
gereja saja rasanya sudah mengharukan ya."
"Iya...Bayangkan betapa banyaknya pernikahan yang telah dilangsungkan di
sini sejak dulu..."
Kalau
dipikir-pikir, ini mungkin pertama kalinya aku masuk ke dalam kapel. Aku memang
pernah menghadiri pernikahan kerabatku dulu, tapi itu di sebuah hotel...
Berada di
gereja yang sesungguhnya bersama Nanami rasanya sangat membahagiakan.
Ngomong-ngomong...
Gereja di luar negeri itu lebih mirip kuil atau lebih mirip candi di Jepang,
ya?
(Tln: Shrine dan Temple, dua duanya bisa kuil sih
tapi temple kita tahunya candi di sini)
Aku tidak
begitu tahu, tetapi karena kuil adalah tempat pemujaan dewa, mungkin gereja
lebih mirip kuil?
Saat terakhir
kali aku berkencan dengan Nanami, kami mengunjungi sebuah kuil... jadi mungkin
tempat ini memiliki suasana yang mirip. Mungkin karena itu juga, saat berada di
tempat suci seperti ini, aku langsung teringat hari itu.
Kencan
peringatan satu bulan kami.
"......Terakhir kali kita ke
tempat seperti ini, saat kencan peringatan satu bulan kita ya."
"Aku juga memikirkan hal yang sama."
"Benarkah? Yah, wajar sih. Kencan itu memang tidak terlupakan kan?"
Nanami
mengangguk beberapa kali, seolah benar-benar memahaminya. Ya, kencan waktu
itu... Pasti adalah titik balik dalam hubunganku dengan Nanami.
Jika saat itu
aku memilih untuk putus dengan Nanami, atau memilih untuk tidak memaafkannya...
Maka dia tidak akan berada di sampingku sekarang.
Meskipun
kemungkinan aku mengambil pilihan itu kecil, kami tetap memiliki kebebasan
untuk memilih jalan mana pun.
Hanya untuk
sesaat, aku mencoba membayangkan bagaimana jika aku benar-benar mengambil
pilihan itu.
...Un,
tiba-tiba punggungku terasa dingin. Dan membayangkan bahwa kehidupan sekolahku
akan menjadi membosankan sepenuhnya... membuatku takut.
Jika saat itu
kami putus, pasti kehidupanku sekarang akan sangat berbeda. Atau mungkin,
setelah putus... Aku akhirnya akan menyatakan perasaanku lagi?
Berpikir
tentang skenario "bagaimana jika" memang tidak ada gunanya, tapi
tetap saja... Itu membuatku merenung.
Mungkin aku
hanya terbawa suasana tempat ini.
“Yoshin, ada apa? Ekspresimu
terlihat serius begitu.”
"Ah, tidak... Aku cuma
kepikiran tentang kemungkinan lain."
"Kemungkinan lain?"
"Kalau saat itu... Aku memilih sesuatu yang membuat kita tidak sampai ke
masa depan ini..."
Aku menceritakan apa yang
kupikirkan kepada Nanami, dan untuk sesaat, dia juga tampak berpikir dalam.
Lalu... dia tersenyum seperti biasanya.
"Kalau
itu terjadi... mungkin aku akan menyatakan perasaanku lagi padamu."
"Eh? Lagi?"
"Un. Meskipun ditolak, aku tidak akan menyerah. Aku akan terus mencobanya...
dan menyatakan perasaanku lagi. Jadi, meskipun kita putus saat itu... aku yakin
kita tetap akan sampai di masa depan ini."
"Kedengarannya
agak seperti stalker ya?" katanya sambil tersenyum jahil. Kalau mengingat
hubungan kami saat itu, mungkin... menyatakan perasaan lagi setelah putus bukan
hal yang mustahil?
Waktu itu aku memang akhirnya
menyatakan perasaanku lagi, tapi tetap saja...
"Aku juga... mungkin akan
menyatakan perasaanku lagi padamu. Sekali pun kita putus... kalau aku masih
belum bisa melupakanmu, aku pasti ingin bersamamu lagi."
"Kita sama, ya," kata
kami sambil tertawa bersama.
Di dalam gereja, hanya ada aku dan Nanami. Suara tawa kecil kami bergema di
kapel yang sunyi.
Lalu, seolah
mendapatkan ide, Nanami menjauh dariku dan naik ke altar. Dia menaiki anak
tangga dengan ringan dan berputar menghadapku.
Dia menggerakkan
tangannya, mengisyaratkan aku untuk ikut naik juga. Aku mengikutinya, lalu kami
berdiri berhadapan.
Nanami
berdeham dengan sengaja, menurunkan suaranya sedikit, dan mengangkat satu
tangannya.
"Ehem… Youshin-kun, apakah
kamu bersedia menerima Nanami-san, dalam sakit maupun sehat, dalam kaya maupun
miskin, dalam masa sulit maupun bahagia, dalam suka maupun duka… untuk
mencintai, menghargai, menghormati, saling mendukung… dan, yah, untuk bersumpah
selalu mencintainya selamanya?"
Sepertinya dia
meniru suara pendeta. Nadanya terdengar serak dan rendah, tapi di bagian akhir,
mungkin karena sulit menahan suaranya, dia kembali ke nada aslinya saat
menyelesaikan pertanyaan itu.
Bagian
akhirnya terdengar sangat “Nanami” sekali… Aku tidak tahu seberapa akurat janji
pernikahan itu, tapi jawabanku sudah jelas.
"Ya, aku bersumpah."
Aku
menggenggam tangannya dan menjawabnya tanpa ragu sedikit pun.
Nanami sempat
terkejut, matanya melebar sesaat, tapi kemudian dia segera tersenyum bahagia.
"Apa kamu yakin menjawabnya
begitu cepat Youshin? Aku baru menyadarinya belakangan ini… kalau aku mungkin
‘berat’ dalam banyak hal."
"Tidak ada masalah, malah aku senang. Lagipula, hobiku adalah latihan
beban. Aku suka menanggung beban berat."
"Oh? Latihan beban emosional ya? Kalau begitu, pastikan kamu bisa
menahanku dengan baik oke?"
"Tentu saja… Nah, sekarang
giliranku…"
Aku berdeham sekali, lalu mencoba
berbicara dengan tenang saat bertanya kepadanya.
"Nanami-san, apakah kamu
bersedia menerima Youshin, dalam sakit maupun sehat, dalam kaya maupun miskin,
dalam masa sulit maupun bahagia, dalam suka maupun duka… um… untuk mencintai,
menghargai, menghormati, saling mendukung… dan mencintai selamanya?"
Mengatakannya dengan lantang terasa
agak memalukan. Tapi aku berhasil menyelesaikannya… atau begitulah
kupikir—sampai aku menyadari kalau
Nanami tidak menjawab.
"Eh? Aku
gagal…?" pikirku.
Tapi saat aku
melihat ekspresi Nanami dengan hati-hati, aku melihat matanya berkilau dengan
air mata kebahagiaan.
Dia
benar-benar lupa kalau dialah yang melakukan ini lebih dulu. Dia bereaksi
seolah mendengarnya untuk pertama kali, dan begitu senang… lalu memelukku erat.
"Ya! Aku bersumpah!"
Suaranya yang
lantang menggema di dalam gereja saat dia mengucapkan janjinya.
Ini bukan
janji yang dibuat kepada Tuhan. Ini adalah… janji antara aku dan Nanami.
Janji kepada
Tuhan akan datang di masa depan… suatu hari nanti.
Untuk saat ini, Nanami yang begitu terharu justru semakin erat memelukku. Dia
sangat kuat.
Kalau ini
upacara yang sebenarnya, setelah ini apa yang harus dilakukan?
Umm…
"Apa kita akan bertukar
cincin…?"
Seingatku…
memang ada pertukaran, kan? Aku tidak sepenuhnya yakin, tapi aku cukup percaya
diri dengan ingatanku.
Lalu, aku
mengeluarkan kantong kecil berisi cincin yang tadi aku beli di pasar.
Aku tidak
pernah menyangka kalau cincin pasangan ini akan langsung dipakai secepat ini.
Masih dalam
posisi memelukku, Nanami sedikit menjauh dan menurunkan pandangannya ke cincin
di tanganku.
"Ah, apakah ini cincin yang
tadi...?"
Melihat cincin itu lagi. Aku
teringat wanita pembuat aksesori tadi mengatakan kalau cincin ini melambangkan
cinta abadi.
"Iya, Nanami."
Nanami
mengambil salah satu cincin itu, lalu tersenyum bahagia saat menatapnya.
Sementara cincin lainnya tetap berada di tanganku.
Bahkan setelah
melihatnya lagi, desainnya sederhana tanpa batu permata atau hiasan lain,
tetapi tetap indah.
Kami
masing-masing memegang cincin kami, dan aku kembali berdeham.
"Kalau begitu, silahkan tukar
cincin… Atau semacamnya."
Aku sedikit
bercanda, dan mencoba meniru suara seorang pendeta. Nanami langsung tertawa,
tapi kemudian senyumnya berubah menjadi lebih hangat.
Aku meraih
tangannya dan perlahan menyematkan cincin berkilau samar itu di jarinya.
Kali ini… di
jari telunjuk tangan kirinya.
Ekspresi
Nanami tiba-tiba berubah menjadi terkejut.
Tapi dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun—hanya menatap lurus mataku.
Begitu sunyi
hingga aku merasa bisa mendengar detak jantung kami berdua.
Kami saling menatap dalam diam… Gereja dipenuhi dengan keheningan.
Terakhir kali
aku memasangkan cincin ke jari Nanami, kalau tidak salah itu di tangan
kanannya.
Kali ini, aku memilih tangan kirinya karena kupikir jika bertukar cincin di
gereja, maka seharusnya di tangan kiri.
Sejujurnya,
ini bukan pertunangan resmi atau semacamnya.
Tapi tetap saja… aku ingin menciptakan suasana yang tepat.
Pertunangan
yang sesungguhnya akan terjadi setelah aku mandiri secara finansial.
Jadi untuk saat ini, aku memasangkan cincin di jari telunjuk kirinya.
Jari manis akan disimpan untuk momen yang sesungguhnya.
Jadi ini…
lebih seperti sebuah janji antara kami berdua.
Nanami sepertinya mengerti juga—dia terlihat bahagia, tapi pipinya juga merona
malu.
…Belakangan,
aku baru tahu kalau sebenarnya tidak ada aturan pasti tentang jari mana yang
harus dikenakan cincin tunangan.
Dengan kata
lain, tidak peduli di jari mana, cincin itu tetap bisa bermakna sebagai cincin
pertunangan.
Dan satu hal
lagi yang kutemukan… adalah bahwa cincin di jari telunjuk kiri melambangkan
“keberanian dan inisiatif.”
Mungkin karena
makna itu, atau mungkin karena Nanami sangat terharu dengan momen ini, tapi
setelah hari ini, keberaniannya hanya akan semakin bertambah…
Namun saat
itu, aku tidak tahu apa-apa.
Bagiku, saat
aku perlahan memasangkan cincin itu di jarinya, waktu terasa sangat panjang.
Dan dalam waktu itu, aku menyadari—ini adalah sebuah upacara.
Sebuah ritual khusus antara kami berdua.
Inilah makna
dari pertukaran cincin.
Rasanya
seperti aku juga menaruh hatiku di jarinya.
Dan cincin itu pas dengan sempurna, masuk ke jarinya tanpa hambatan sedikit
pun.
Aku merasa
perasaanku sampai kepadanya tanpa ragu sedikit pun…
Dan itu membuatku lebih bahagia dari apa pun. Benar-benar bahagia…
Cincin itu
terlihat seperti dibuat khusus untuknya.
Ukurannya, desainnya—semuanya sangat cocok dengan auranya.
Warna perak
yang sedikit redup namun tetap bersinar itu tampak indah di kulitnya yang
sedikit kecokelatan.
"Aku… jantungku berdebar
kencang. Rasanya seperti Youshin ada di sini bersamaku."
Saat dia
mengatakan itu, dia mengelus cincin dengan lembut, membuatku merasa seolah-olah
dia sedang mengelusku. Pikiran itu membuatku merasa sedikit geli.
Nanami terlihat
benar-benar bahagia… dan melihatnya seperti itu juga membuatku bahagia.
"Ini kedua kalinya aku
menerima cincin dari Youshin kan?"
"Benar juga, aku memberimu cincin pasangan saat ulang tahunmu."
"…Ehehe, kamu masih mengingatnya?"
"Tentu saja. Itu pertama kalinya aku memberikan cincin pada seseorang… dan
kamu masih sering memakainya."
Seperti saat berkencan. Dia tidak
membawanya ke Hawaii karena takut kehilangannya, itulah sebabnya aku berpikir
untuk membeli cincin lagi di pasar malam.
"Kalau begitu, sekarang
giliranku ya?"
Nanami meraih tanganku dan perlahan
memasangkan cincin di jari telunjuk kiriku. Entah kenapa, aku merasa gugup.
Apakah tadi
Nanami juga merasakan hal yang sama? Tangannya menyentuh tanganku, dan aku
melihat cincin itu perlahan meluncur ke jari telunjukku.
Begitu cincin
itu terpasang, Nanami menghela napas dengan puas dengan suara "mufu~"
dari hidungnya.
Aku yang biasanya tidak memakai aksesori, merasa sedikit asing dengan cincin di
jari telunjukku.
Permukaannya
terasa dingin, seolah membuatku merasakan kekerasan khas logam.
Tapi seperti yang Nanami katakan tadi, entah kenapa, cincin ini terasa
hangat—seolah-olah dia ada di sini bersamaku.
Mengenakan
cincin pasangan dan bertukar cincin seperti ini di gereja…
rasanya benar-benar aneh.
Seolah-olah… kami benar-benar bertunangan.
Pertunangan
sungguhan pasti akan melibatkan orang tua, dan aku yakin ada banyak prosedur
rumit kan…?
Aku tidak pernah mencari tahu soal itu, jadi ini hanya imajinasiku saja.
Aku
bertanya-tanya… apakah suatu hari nanti kami benar-benar akan bertunangan?
Yah, aku akan
meninggalkan pikiran tentang masa depan untuk saat ini. Baik aku maupun Nanami
sangat bahagia karena bisa bertukar cincin di sini, dan kami tersenyum saat
menatap cincin di tangan kami masing-masing.
Nanami,
khususnya, mengangkat tangan kirinya, dan menatap cincin itu dengan penuh
perhatian.
Aku ingat saat ulang tahunnya, dia memakainya di tangan kanan.
Saat itu, dia juga sangat bahagia.
Tapi sekarang,
meskipun dia baru saja tersenyum bahagia… ekspresi Nanami tiba-tiba berubah
sedikit tegang.
"...Ada apa?"
Perubahan
ekspresinya yang tiba-tiba membuatku panik, dan berpikir apakah aku telah
melakukan sesuatu yang aneh.
Tapi tidak,
Nanami bukan tipe orang yang akan marah karena hal seperti itu. Lalu kenapa
ekspresinya seperti ini…? Saat aku masih kebingungan, Nanami sedikit
memiringkan kepalanya.
"Belakangan ini, aku terus
menerima sesuatu dari Youshin kan? Rasanya… aku menerima terlalu banyak, jadi
seperti tidak seimbang…"
"Tidak, tidak, tidak, apa yang
kamu bicarakan? Bukan seperti itu kan?"
Ekspresinya
itu, ternyata karena dia memikirkanku. Tapi hal-hal yang kuberikan padanya
hanyalah hal kecil, dan aku juga telah menerima banyak darinya.
Terutama tadi
malam… Aku sudah melihat begitu banyak hal dari Nanami… Tidak, tunggu, kalau
aku mengingatnya, perasaanku akan menjadi aneh lagi…
Tidak, stop!
Ini gereja. Tempat suci. Aku tidak boleh memiliki pikiran kotor di sini. Aku
harus menjaga pikiranku tetap suci, harus mengendalikan diri!
"Nanami sudah memberiku begitu
banyak. Aku tidak bisa memberitahumu betapa bersyukurnya aku setiap
hari..."
Serius,
belakangan ini dia sangat aktif, sampai-sampai aku yang merasa kewalahan…
Bahkan tadi pagi, kami tidur bersama… Itu benar-benar gila…
Tapi Nanami
masih terlihat tidak puas dan bergumam "Hmm…" Dia tidak perlu terlalu
memikirkan hal ini… Namun tiba-tiba, dia bergumam dengan pelan "Ah."
Lalu, seolah
memikirkan sesuatu, dia tersenyum lebar.
"…Setelah
bertukar cincin, apa yang terjadi selanjutnya?"
"Eh?"
Setelah
bertukar cincin…? Aku tidak tahu banyak tentang upacara pernikahan, tapi
seingatku setelah mengucapkan janji suci dan bertukar cincin, setelah itu… ah.
Aku menatap
Nanami, dan ketika dia menyadari bahwa aku telah memahami maksudnya, dia pun
tersenyum cerah.
Senyumannya
sangat murni, seolah berkata "Aku sama sekali tidak merencanakan apa
pun."
Seharusnya
senyum itu cocok dengan suasana tempat ini, tapi entah kenapa, aku merasakan
tekanan besar di baliknya, sesuatu yang sangat tidak sesuai dengan tempat ini.
Jangan-jangan…
Dia benar-benar mau melakukannya di sini…? Di gereja ini…?!
"Sekarang, ciuman janji
suci..."
Nanami dengan pelan
melangkah mendekat kepadaku dan menaruh tangannya di tubuhku. Aku tidak berniat
menghindar, tetapi tetap saja, tindakannya membuatku sedikit tegang.
Aku sudah
sering mencium Nanami, tetapi lokasi yang berbeda membuat maknanya juga terasa
berbeda.
Ngomong-ngomong,
selama perjalanan sekolah ini… kami hanya berbagi satu ciuman yang benar-benar
serius kan? Saat memikirkan itu, pandanganku pun jatuh ke bibir Nanami.
Bibirnya…
meskipun aku sudah menciumnya berkali-kali, tetap saja aku ingin melakukannya
lagi. Tapi… bolehkah kami melakukannya di sini? Pikiran itu sempat
menggangguku, sampai aku menyadari sesuatu yang aneh.
...Kenapa di
sini tidak ada siapa pun?
Sejak tadi,
hanya aku dan Nanami yang berada di dalam gereja ini. Itulah mengapa kami bisa
melihat-lihat dengan sesuka hati, mengucapkan janji suci, dan bahkan saling
bertukar cincin…
Aku baru sadar
akan keanehan itu karena menjadi lebih tenang tepat sebelum mencium Nanami.
Tapi meskipun begitu, berhenti bukanlah pilihan.
Aku dan Nanami
akhirnya berciuman di altar gereja. Pada saat itu juga, entah karena awan yang
terbuka atau hanya kebetulan, cahaya masuk melalui jendela kaca patri.
Berciuman
sambil disinari cahaya hangat.
Momen klise di
mana seseorang datang tepat sebelum ciuman tidak terjadi. Tidak terjadi… tapi
kejadian tak terduga tetap saja muncul lebih cepat dari dugaanku.
"E?"
"Eh?"
Padahal kami
sedang di Hawaii, tetapi tiba-tiba mendengar bahasa Jepang, membuatku dan
Nanami langsung menjauhkan wajah kami dan menoleh ke arah suara itu. Di sana,
seorang pria tua sedang menatap kami dengan ekspresi keheranan.
Saat kami
membeku di tempat, pria tua itu memiringkan kepalanya dan berbicara dengan nada
penasaran.
"Gerbang utama tadi terbuka
ya? Padahal seingat saya, saat ini dilarang masuk..."
"Eh?" “Eh?”
Aku dan Nanami langsung berseru
bersamaan. Ehh… tadi gerbang utama memang terbuka kan…? Jangan-jangan… kita
baru saja menerobos masuk tanpa izin?
"Ma-maaf! Karena gerbangnya
terbuka, kami pikir boleh masuk!"
"Maaf, kami akan segera pergi!"
Saat kami pucat dan buru-buru
meminta maaf, pria tua itu tertawa terbahak-bahak, seolah mengusir kecemasan
kami. Melihat reaksinya, kami hanya bisa terpaku diam sesaat.
"Ahaha, ini kadang memang
terjadi, jadi jangan terlalu dipikirkan. Lagipula, ada beberapa bagian yang
memang terbuka untuk umum. Kalau dipikir-pikir, sepertinya malah aku yang
mengganggu momen romantis pasangan muda ya?"
"Ah… tidak, ini sebenarnya…"
"Etto… Itu…"
"Tidak perlu malu. Tuhan pun memaafkan pasangan muda yang sedikit dekat…
Asalkan kalian tidak melakukan hal yang lebih dari itu kan?"
Sambil menunjuk betapa dekatnya
kami, pria itu mengedipkan mata dengan nada bercanda. Rasanya agak malu juga
setelah dia mengatakan itu…
"…Biasanya dalam situasi
seperti ini, pasangan akan langsung saling menjauh bukan?"
"Aku tidak malu berdekatan seperti ini."
"Itu… jawaban yang bagus."
Pria itu tertawa puas mendengar
jawabanku, lalu tertawa lepas lagi. Aku mulai merasa sedikit canggung.
"Kalau begitu… untuk pasangan
Jepang yang menggemaskan ini, saya akan…"
Sambil memejamkan matanya, pria itu
mengucapkan beberapa kata yang terdengar asing, lalu melakukan gerakan yang
tampak seperti doa untuk kami.
Ada sesuatu
yang begitu sakral dengan gerakannya hingga aku menahan napas. Ini pasti… doa
berkat.
Aku memang
tidak memahami kata-katanya, tetapi entah mengapa, aku merasa seperti itu.
Karena itulah, aku dan Nanami secara naluriah saling menjauh dan memperbaiki
postur kami.
Seolah-olah
ini adalah pernikahan sungguhan.
Doa itu tidak
terlalu panjang. Aku tidak tahu apakah itu hanya versi singkat atau memang
seperti itu adanya, tetapi setelah selesai berdoa, pria itu membuka matanya dan
tersenyum.
“Semoga rahmat dan berkah Tuhan
menyertai kalian.”
“Terima kasih banyak.”
Mendengar
ucapan terima kasih kami, pria itu memberikan gestur dengan tangannya, lalu
melambaikannya ringan, seakan ingin mengatakan, “Jangan dipikirkan.”
Ngomong-ngomong…
tempat ini sebenarnya terlarang, kan? Kalau terlalu lama di sini, bisa-bisa
malah merepotkan. Mungkin sebaiknya kami pamit sekarang.
Aku dan Nanami
kembali mengucapkan terima kasih, tapi…
“Jika di masa depan kalian akan menikah,
mohon pertimbangkan untuk mengadakan pernikahan di gereja ini.”
Dia
mengatakannya dengan begitu anggun sehingga aku dan Nanami terdiam sesaat
karena tidak bisa langsung memahami apa yang baru saja dikatakan.
Kami memang
pernah membahas hal seperti itu hanya di antara kami berdua, tetapi mendengarnya
dari orang lain tiba-tiba membuat kami benar-benar sadar. Dan saat kesadaran
itu muncul… wajah kami langsung terasa panas.
Nanami pun
merasakan hal yang sama. Kami saling berpandangan… lalu tertawa. Dan
bersama-sama, kami menjawab:
"Ya!"
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Yah… bagaimana ya… Kami memang
menjawab dengan penuh semangat di gereja, tetapi setelah merenungkan semua yang
telah terjadi, kami sadar kalau secara tidak langsung, kami seperti berjanji
untuk menikah di masa depan…
Jadi, selama
beberapa saat sebelum bertemu kembali dengan yang lain, aku dan Nanami merasa
sedikit—hanya sedikit saja—canggung satu sama lain. Tapi… itu cerita lain.
Epilog: Sampai Hari Kami Datang Lagi
Kesadaranku
perlahan mulai bangun. Tadi malam… karena itu adalah makan malam terakhir, kami
semua berkumpul dan bersenang-senang… lalu entah sejak kapan aku tertidur.
Aku merasa telah
begadang cukup lama, tapi anehnya aku bangun dengan perasaan segar.
Perjalanan
sekolah ini, yang sebelumnya sempat disebut-sebut sebagai "pra-bulan
madu," akhirnya akan berakhir. Empat malam enam hari berlalu begitu cepat.
Bahkan tempat
tidur ini, yang awalnya terasa agak asing, sekarang sulit untuk ditinggalkan…
"O-ha-yo♡"
…Saat aku
sedang berpikir begitu, aku mendengar suara Nanami.
Eh? Tunggu? Kita… tidur bersama…? Atau lebih tepatnya, kenapa seluruh tubuhku
terasa hangat?
Rasanya
seperti sedang dipeluk oleh sesuatu yang hangat dan lembut… dan baunya sangat
harum…
"Eh?"
Ketika aku
membuka mataku, seluruh pandanganku dipenuhi warna kulit.
Aku melirik ke
atas… dan menyadari kalau aku sedang dipeluk di dada Nanami. Rasanya seperti
seluruh tubuhku benar-benar dikelilinginya.
Apa yang
sedang terjadi…?
“Ehehe, selamat pagi?”
Nanami
menatapku dengan senyuman yang begitu lembut dan penuh kebahagiaan, sambil
mengusap kepalaku. Entah kenapa… ini mengingatkanku pada saat ibuku pernah
mengusap kepalaku waktu kecil.
Saat itu juga,
pikiranku akhirnya benar-benar sadar, dan mataku langsung terbuka lebar.
"Nanami, apa yang
kamu—?!"
"Ah… kalau kamu bicara di situ, rasanya agak aneh…!"
Sial, aku benar-benar sedang
terbenam di dadanya dan menempel erat padanya…?! Tidak, ini bukan waktunya
untuk menganalisis situasi dengan tenang.
Mungkin karena Nanami mulai merasa
malu, jadi dia perlahan melepasku.
Angin dingin
dari AC menyentuh kulitku yang sedikit berkeringat, memberikan sensasi sejuk
yang perlahan membangunkanku. Meskipun sebenarnya aku sudah bangun sejak tadi.
Nanami melepasku, lalu dengan
senyum lembut yang seolah bisa mencairkan segalanya, ia bertumpu pada sikunya
sambil berbaring tengkurap.
"…Selamat pagi."
"Are? Aku ingin membuatmu terkejut… Gagal ya…?"
"Tidak, aku benar-benar terkejut… Saking terkejutnya, aku malah tidak bisa
bereaksi."
"Ehehe, berarti berhasil~ Aku selalu ingin mencoba memelukmu seperti
bantal peluk~…"
Dia tersenyum
lemas, seperti sedang menikmati momen ini.
Alasan kenapa Nanami melakukan ini… mungkin tidak lebih dari apa yang baru saja
dia katakan.
Dia hanya
ingin mencoba sesuatu yang tidak bisa dilakukan setelah kembali ke Jepang… Itu
saja, mungkin.
…Tapi entah
kenapa, rasanya selama perjalanan ini, batasan Nanami benar-benar terlepas.
Jangan-jangan aku telah membuka pintu yang seharusnya tidak kubuka?
Sedikit merasa
merinding, aku mengintip ke tempat tidur di sebelahku.
Tempat tidur
di sebelah… Oh, ternyata Otofuke-san dan Kamoenai-san sedang tidur di sana.
Hitoshi di mana…? Oh, dia tidur di sofa. Apa dia kembali tadi malam?
…Shizuka-san
tidak ada.
Tunggu, tadi malam, Shizuka-san seingatku… Tadi malam…
Aku perlahan mengingat kembali kejadian semalam.
Karena itu
adalah malam terakhir di Hawaii, kami berkumpul dengan makanan dan minuman yang
sudah dibeli, lalu berpesta dan menikmati malam terakhir.
Intinya, ini adalah pesta perpisahan.
Sepertinya
kelompok lain juga melakukan hal yang sama, karena banyak orang yang keluar-masuk
kamar kami. Kami mengobrol banyak hal.
Dan yah…
banyak kejadian aneh yang terjadi.
Hitoshi yang tiba-tiba
menyerbu kamar anak perempuan, Otofuke-san dan Kamoenai-san yang sibuk
menelepon pacar mereka… Souichirou-san dan yang lainnya, Sedangkan Shizuka-san
pergi entah ke mana dengan Teshikaga-kun.
Otofuke-san
dan yang lainnya bahkan melakukan panggilan video untuk memberi kabar, Dan
mereka bahkan memberi fan service untuk para penggemar Souichirou-san di kelas.
Padahal tidak
ada yang minum alkohol, tapi suasananya sudah seperti pesta orang mabuk. Kalau
nanti kami benar-benar minum alkohol, apa yang akan terjadi?
Semua orang
terlalu bersemangat dan heboh…
Hingga
akhirnya, guru datang menerobos masuk ke kamar.
Atau lebih tepatnya, kami yang
membuat keributan sehingga guru yang sedang berpatroli setelah jam tidur datang
dan memarahi kami. Tapi entah kenapa, semua itu terasa begitu menyegarkan.
Ini pertama
kalinya aku benar-benar bertindak lepas… atau mungkin, terlalu lepas…
Saat itu,
Nanami menyelinap ke tempat tidurku untuk bersembunyi…
Otofuke-san dan yang lainnya bersembunyi di tempat tidur Hitoshi…
Dan akhirnya, kami menghabiskan malam seperti itu.
Siapa yang
menyangka, di hari terakhir perjalanan sekolah, aku akan mengalami situasi di
mana harus bersembunyi dari guru yang berpatroli dan tidur bersama seseorang
seperti ini.
Jadi, tentu
saja, aku dan Nanami terbungkus bersama di dalam tempat tidurku, Sementara
Otofuke-san dan yang lainnya berpura-pura sebagai Hitoshi sedang tidur.
Lalu, setelah
guru pergi, kami bingung harus bagaimana… Lalu kami pun mengobrol sedikit di
bawah selimut… Dan sepertinya kami tertidur begitu saja.
"…Nanami,
bukannya kamu ingin kembali ke kamarmu…?"
"Awalnya kupikir begitu, tapi… kalau aku kembali dan ketahuan, pasti akan
dimarahi… Jadi kupikir, lebih baik tetap di sini saja."
"Itu
jelas cuma alasan supaya kamu bisa tidur di sini kan…?"
"Ah, ketahuan? Ehehe, kamu jadi bantal peluk yang sempurna…"
Dia mendekat
selangkah, lalu menempel erat padaku lagi.
Mungkin karena
baru bangun, suhu tubuhnya terasa sedikit lebih hangat, Dan aku agak terkejut
dengan perbedaan suhu antara udara dingin dari AC dan kehangatannya.
Baju tidur
kami juga cukup tipis, jadi rasanya seperti kulit kami bersentuhan langsung…
"Pagi-pagi begini sudah begitu
bersemangat…"
"Eh? Benarkah~? Kamu cepat tidur tadi malam, jadi kupikir mungkin kamu
bosan tidur denganku…"
"Mana mungkin aku bosan…?! Itu
terdengar sangat buruk tahu!!"
Dia pura-pura menangis tapi
kata-katanya membuatku panik. Tadi malam saja, aku sudah deg-degan ketika kami
masuk ke selimut bersama.
Aku tidak tahu bagaimana
menjelaskannya, tapi… Daripada merasa gelisah, aku merasa nyaman dan aman di
samping Nanami… Bagaimana aku harus menggambarkannya…?
"Jangan-jangan… kamu merasakan
‘aura keibuan’ku dan langsung tertidur?"
"Tunggu, dari mana kamu belajar kata itu?!"
"Aura keibuan? Kotoha-chan yang memberi tahuku."
Apa yang diajarkan oleh ketua kelas
bermata sayu itu?! Jangan-jangan dia jadi gyaru gara-gara Nanami dan sekarang ingin
balas dendam?!
Aku mengira Shizuka-san itu tipe
yang serius, tapi aku benar-benar meremehkan sejauh mana dia bisa lepas
kendali.
"Nn..."
"He?"
Nanami menarik
ujung bajuku pelan-pelan, lalu perlahan membuka kedua tangannya. Seolah sedang
mengundangku masuk ke dalam pelukannya.
Aku pernah
melihat pose ini sebelumnya. Dulu, itu cuma lewat layar HP.
Tapi sekarang,
Nanami ada tepat di depanku, melakukan hal yang sama.
"Ah..."
Benar juga…
begitu kami kembali ke Jepang, kami tidak akan bisa tidur bareng begini lagi.
Berpelukan di atas ranjang seperti ini? Mustahil… kalaupun bisa, pasti sangat
sulit untuk bisa terjadi.
Bisa
bersentuhan langsung seperti ini… bukan sesuatu yang sering terjadi.
Menyadari itu,
aku mengulurkan tanganku ke arah Nanami.
Begitu
jari-jariku menyentuh tubuhnya, Nanami sedikit tersentak.
Tapi aku tetap menariknya perlahan ke dalam pelukanku.
Saat aku
memeluknya dengan erat di dadaku, Dia bersandar padaku, seolah membiarkan
tubuhnya tenggelam dalam dekapanku.
Lembut dan hangat—sensasi
ini selalu membuatku gugup.
Tapi yang lebih membuatku tegang… adalah apa yang terjadi setelahnya.
Nanami
perlahan memelukku erat.
Ketika
tangannya menyentuh punggungku—Sebuah sensasi seperti aliran listrik menjalar
ke seluruh tubuhku.
Bukan perasaan
tidak nyaman, justru sebaliknya… terasa enak. Kehangatan dari tangan Nanami
menyebar seperti gelombang.
Aku tidak kedinginan, tapi tetap merinding, Dan tanpa sadar, aku memeluknya
lebih erat.
Perlahan,
tubuhku mulai memanas, dan pikiranku terasa kosong…
Sebuah perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Saat ini yang kupikirkan cuma
'Begitu kita balik ke Jepang, kita tidak akan bisa ngelakuin ini lagi, ya…' Entah
kenapa, aku berpikir seperti itu dengan sangat tenang.
"Achoo... ah..."
Suara itu
membuatku sadar bahwa ada orang lain di sini selain kami. Nanami, yang
mendengar suara itu, langsung terkejut hebat.
Gara-gara itu,
aku merasakan sedikit nyeri di punggungku.
Sepertinya dia begitu terkejut sampai tanpa sadar mencengkeram punggungku dengan
sangat erat.
Nanami
perlahan berbalik dalam pelukanku.
Aku melonggarkan pelukanku, lalu menyesuaikan posisi supaya aku sekarang
memeluknya di sekitar perutnya.
…Tanpa
kusadari, Otofuke-san dan yang lainnya sudah bangun dan sedang menatap kami.
"...Apa yang ingin kalian
katakan?"
Dengan suara yang sangat rendah,
Nanami menatap tajam ke arah mereka berdua. Mereka hanya tertawa kecil, terlihat
sedikit canggung tapi sama sekali tidak merasa bersalah, lalu berkata…
"…Pagi-pagi sudah mesra saja
ya."
"Aku tahu kalian tidak akan melanjutkannya sampai akhir, tapi tetap saja
agak sulit untuk menyelanya~…"
Begitu mendengar itu, Nanami
langsung melompat ke arah mereka. Seperti biasa, dia berteriak
"Mou!!" sambil bermain-main di atas ranjang bersama mereka bertiga.
"Eh?! Ada apa ini?! Serangan
musuh?!"
Suara itu membuat Hitoshi terbangun, lalu tidak lama setelahnya, Shizuka-san
dan yang lain datang ke kamar. Meskipun ini hari terakhir, bukannya tenggelam
dalam perasaan melankolis… kami malah ribut dan penuh tawa.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Hari terakhir dari study tour yang
sebenarnya.
Hari ini
benar-benar hanya tentang perjalanan. Kami mengucapkan terima kasih kepada staf
hotel yang telah merawat kami, lalu mengucapkan terima kasih kepada pemandu
wisata, dan pada saat itu, aku menyadari kalau ini benar-benar sudah berakhir.
Entah kenapa,
semua orang berkata pada Nanami dan aku "Silakan datang lagi berdua suatu
hari nanti."
…Yah, kurasa maksudnya sudah jelas.
Itu sebabnya, dengan setengah bercanda, aku berbicara dengan Nanami tentang
kembali ke sini lagi. Nanami juga setuju.
Aku tidak tahu kapan, tapi yang
pasti, aku akan datang lagi ke Hawaii bersama Nanami.
Dan sekarang, kami sudah berada di
bandara, menunggu penerbangan kami untuk kembali ke Jepang. Duduk sejajar, aku,
Teshikaga-kun, dan Hitoshi, sedang menikmati udara terakhir Hawaii.
"Eh? Jadi, kalian berdua
akhirnya pacaran?"
"Ah, iya… Etto… bagaimana ya… pacaran atau tidak…"
Sesaat sebelum
naik pesawat, Teshikaga-kun menggaruk pipinya dengan malu, tetapi kata-katanya
terdengar ragu. Meski begitu, ekspresinya terlihat bahagia.
Hitoshi, yang
duduk di seberangnya, tampak sangat penasaran.
"Tadi malam, aku mengungkapkan
perasaanku pada Kotoha sekali lagi."
"Oh, akhirnya!"
"Selamat!"
Hitoshi mulai
bertepuk tangan, dan aku pun mengikutinya. Teshikaga-kun semakin malu dan
wajahnya memerah. Wow, jadi mereka berdua akhirnya bersama… aku terharu.
Tapi setelah
itu, percakapan tidak berlanjut. Bahkan, dia tidak mengatakan secara langsung
kalau mereka pacaran, jadi aku dan Nishi hanya bisa saling menatap bingung.
"…Kalian
pacaran, kan?"
"…Mungkin, sepertinya, kurasa…?"
Hah? Jawaban
macam apa itu? Hitoshi mengernyitkan dahinya, dan terlihat bingung. Aku pun
tidak mengerti maksudnya.
Teshikaga-kun
menyatukan tangannya di dadanya dengan wajah gelisah, lalu menghela napas
pelan.
"Tidak, yah, aku memang
mengatakan aku menyukainya, tapi sebelum aku bisa bilang 'ayo pacaran' Kotoha
tiba-tiba… lepas kendali, dan, yah… banyak yang terjadi…"
"…Apa kalian melakukannya?"
Tubuh besar Deshikagari-kun
langsung bergetar hebat.
Karena kursinya tersambung, guncangannya terasa seperti gempa bagi kami juga.
Nishi, yang awalnya hanya bercanda,
sekarang menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Wajahnya seolah berkata
"Eh… serius?!"
Jujur saja, aku tidak menyangka ada
yang akan bertanya begitu di sini, dan reaksi Teshikaga-kun terlalu serius
sampai aku tidak tahu harus menanggapi apa.
Setelah beberapa saat… dia perlahan
membuka mulutnya.
"Kami
tidak sampai ke tahap akhir, tapi… ya… banyak yang terjadi…"
"Ah… oke, tidak perlu melanjutkannya lagi…"
(Tln: Tahap akhir apaan tuh)
Sepertinya
Shizuka-san kehilangan kendali, jadi situasinya agak ambigu. Tapi kalau sudah
sejauh itu, bukankah bisa dibilang mereka sudah resmi pacaran?
Atau mungkin
belum? Yah, mereka bisa menentukannya sendiri setelah pulang nanti.
Shizuka-san…
saat aku melirik ke arahnya, dia sedang asik berbicara dengan Nanami dan yang
lain. Kudengar suara heboh mereka, jadi mungkin dia juga sedang melaporkan
semuanya.
"Yah, kalian sangat cepat. Aku
sendiri masih lamban dalam hal ini…"
"Tidak mungkin begitu Youshin, kamu juga cukup cepat. Kalian bahkan sudah
saling tukar cincin—apa yang kamu bicarakan...."
"Guru, seperti yang diharapkan"
"Bukan begitu!! Itu bukan cincin tunangan!!"
Hitoshi
menunjuk ke arah cincin yang bersinar di jari telunjukku dengan ekspresi heran,
sementara Teshikaga-kun malah melihatnya dengan mata berbinar. Tapi serius, ini
bukan seperti yang mereka pikirkan.
…Atau mungkin
iya?
"Menurutmu
bagaimana?"
"Kamu bertanya padaku?"
"Tidak…
sebenarnya, karena kami sudah saling tukar cincin di gereja, aku bukannya tidak
punya perasaan seperti itu… Tapi menurutku itu masih agak terlalu berat saat
SMA."
"Ya iyalah, berat. Sangat
berat. Kamu baru menyadarinya sekarang? Aku pikir Barato sudah cukup ekstrem,
tapi ternyata kamu juga sama saja Youshin."
Ugh… jadi dari sudut pandang orang
lain memang terlihat seperti itu.
Mendengarnya secara langsung begini rasanya agak menyakitkan… meskipun, yah, agak
telat untuk menyesalinya.
Saat aku masih memproses itu,
mereka sepertinya merasa tidak enak dan mencoba menenangkan situasinya.
"Tapi kalau Barato tidak
keberatan, tidak ada masalah bukan? Kalian pernah membahas ini?"
"Hmm… tidak juga. Tapi memangnya pasangan pada umumnya suka membahas hal seperti
ini?"
"Entahlah… Lagian, anak SMA jarang sampai ke tahap ini. Mungkin lebih
banyak anak kuliahan yang lebih paham soal ini?"
Oh, jadi maksudnya mahasiswa ya…?
Hmm, berarti mungkin aku bisa bertanya ke Yuu-senpai…? Eh, tapi dia kan tidak
punya pacar. Mungkin nanti aku coba konsultasi sama Baron-san dan yang lainnya?
"Ngomong-ngomong, Hitoshi
gimana? Dapat pacar selama perjalanan ini…? Aku dengar semalam kamu masuk ke
kamar cewek. Ada hasilnya?"
"Ah… ya, tidak ada,
tapi…"
"Tapi Kotoha bilang kamu semalam saling tukar kontak dengan cewek lokal. Bagaimana
ceritanya?"
Aku sudah merasa kalau Hitoshi agak
aneh, dan begitu Teshikaga-kun menyebutkannya, dia hanya tersenyum pahit. Eh?
Ada kejadian seperti itu?
Ternyata, saat
aku dan Nanami pergi ke gereja kemarin, Hitoshi sedang jalan dengan beberapa
cewek. Entah bagaimana, dia jadi akrab dengan seorang cewek lokal.
Terus, selama
jalan-jalan kemarin, dia menghabiskan waktunya bersamanya…
"Kalau ada kejadian seperti
itu, kenapa tidak cerita? Biasanya kamu selalu kepo soal kisah cinta
kami."
"Aku juga tidak tahu… rasanya kayak tidak nyata. Terus, kalau aku membahas
ini, takutnya malah cuma jadi mimpi."
Jarang-jarang, Hitoshi terlihat
agak murung sambil membuka HP-nya.
"Kami memang sempat akrab,
tapi… rasanya dia tidak akan chat juga. Kayaknya ini hanya akan jadi kenangan
perjalanan saja."
"Jadi begitu…"
(Tln: Sad)
Untuk sesaat, dia terlihat lebih
dewasa dari biasanya.
Tiga cowok duduk sejajar di kursi
ruang tunggu bandara, menatap ke langit-langit seolah sudah janjian. Kalau
dipikir-pikir, perjalanan ini membawa pengalaman yang berbeda bagi
masing-masing dari kami. Aku bersama Nanami, Teshikaga-kun dengan Shizuka-san,
dan Hitoshi dengan kisahnya di Hawaii…
Dan akhirnya, sebelum kami
benar-benar pulang, sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas dalam pikiranku dan
keluar begitu saja.
"…Apa perjalanan sekolah
memang seperti ini?"
Dua orang yang sedari tadi menatap
langit-langit tiba-tiba membeku.
Maksudku… perjalanan sekolah memang begini ya?
Eh, ini aneh… Bukankah kita terlalu
fokus ke percintaan? Eh, apakah ini normal? Begitu aku mengatakannya, yang lain
langsung buang muka, seolah sadar kalau aku benar.
“Kalau dipikir-pikir, kita harus
menulis laporan rangkuman perjalanan setelah kembali bukan...?”
"... Apa yang harus kita
lakukan?"
“Kita jelas tidak bisa menulis seadanya...
kan?”
“Yoshin, kamu harus menulis tentang
pertukaran cincinmu di gereja. Pasti akan sangat menarik.”
"Tidak mungkin aku akan
melakukan itu... Malah, Teshikaga-kun harus menulis tentang bagaimana dia
berbaikan dengan teman masa kecilnya. Setidaknya itu terdengar seperti sebuah
pencapaian... "
"Tidak mungkin. Aku akan di
skors."
“Apa yang kalian lakukan?! ”
"Bagaimana denganmu Kenbuchi?
Kayak 'Aku bertemu dan akrab dengan seorang cewek lokal' mungkin bagus?"
"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak akan bisa menulis semuanya!"
“Apa yang kamu lakukan juga?!”
Kami saling menatap
sebentar dengan ekspresi yang agak serius… lalu tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak.
Sepertinya, bahkan
saat tidak bersama, kami semua punya pengalaman masing-masing selama perjalanan
ini.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
"Jadi, perjalanan sekolah kita
berakhir di sini, ya…"
"Iya, benar…"
Di dalam
pesawat, Nanami menatap pemandangan di luar jendela dengan ekspresi sedikit
sedih. Berkat yang lain, aku bisa duduk di sebelahnya lagi saat perjalanan
pulang.
Banyak hal
terjadi dalam perjalanan sekolah ini… tapi setelah semuanya berakhir, aku
merasa perasaanku untuk Nanami semakin kuat. Meskipun Hitoshi bilang kalau itu
terlalu berlebihan.
Sebelum
berangkat, orang-orang menyebutnya bulan madu pra-nikah, tapi sayangnya, sisi
itu terasa lebih sedikit dari yang kubayangkan…
Yah, aku
sebenarnya tidak tahu seperti apa bulan madu yang normal, jadi ini hanya
berdasarkan imajinasiku.
"Kalau kita datang lagi, mau
pergi ke mana?"
Aku tidak
sengaja memikirkannya, tapi kata-kata itu keluar begitu saja. Bukan karena aku merencanakannya—benar-benar
spontan.
Nanami
menatapku dengan terkejut, lalu tersenyum kecil, meskipun terlihat agak cemas.
"...Apakah kita akan bisa
datang kembali?"
Mungkin karena
ketidakpastian tentang masa depan, masalah kehidupan nyata, hubungan kita…
perasaan khawatir yang samar-samar. Aku juga merasakannya.
Aku mengerti
perasaan itu… tapi aku sengaja mengulurkan tangan kiri dan melihat cincin di
jariku.
"‘Mungkin’ atau ‘suatu hari
nanti’—kata-kata itu terdengar ambigu kan? Tapi ayo kita buat janji. Kita pasti
akan datang lagi ke sini."
Nanami juga
melihat cincinku, lalu mengulurkan tangan kirinya dan menumpangkannya di
tanganku. Di sana, cincin yang kami tukarkan bersinar bersama.
Pasti akan
baik-baik saja.
Nanami menutup
matanya sejenak, lalu perlahan membukanya, matanya bersinar saat ia tersenyum
padaku.
"Kalau kita datang lagi, aku
ingin belanja di kota. Ada toko selai dan restoran poké bowl yang belum kita
kunjungi."
(Tln: Poke bowl kayak nasi + salad)
"Kalau begitu, sebaiknya kita bisa mengemudi saat itu. Kita bisa menyewa
mobil dan menjelajahi Hawaii dengan berkendara."
"Oh, itu ide bagus. …Apa kita
bisa pakai SIM Jepang?"
"Harusnya bisa…? Ngomong-ngomong, di sekolah apakah kita boleh mengambil
SIM?"
"Kalau tidak salah, kita boleh ambil SIM saat sudah kelas tiga, tapi aku tidak
terlalu yakin."
"Kalau begitu, nanti aku akan menyetir keliling Pulau Hawaii."
"Kalau kamu capek, aku mau gantian menyetir. Jadi, aku juga harus ambil
SIM ya?"
"Kalau begitu, kita cari tahu dulu… Lalu ikut kursus mengemudi bersama."
"Wah, itu akan menyenangkan, kursus mengemudi bersama. Tidak cuma Pulau
Hawaii, aku juga mau ke Oahu dan pulau-pulau lain. Katanya di Oahu ada banyak
tempat seru!"
Dalam
penerbangan pulang, aku dan Nanami terus berbicara tentang apa yang akan kami
lakukan saat datang ke Hawaii lagi.
Kami masih
siswa SMA, dan janji tentang masa depan kami belum tentu bisa terwujud. Tapi,
setidaknya saat ini, di sini, kami benar-benar sedang membicarakannya, dan itu
sendiri adalah janji yang nyata.
Pengalaman
yang dialami semua orang dalam perjalanan sekolah ini pasti akan menjadi
kekuatan untuk menghadapi masa depan, serta kenangan yang tidak tergantikan.
Berbagi
kenangan itu dengan seseorang yang kita cintai adalah kebahagiaan yang tiada
tara… dan dengan kenangan ini, aku merasa bisa terus berusaha ke depannya.
Lagi pula,
kami sudah membuat janji berikutnya di sini. Agar aku bisa terus menciptakan
kenangan berharga ini bersama Nanami, janji itu penting.
Sambil membicarakan masa depan yang
tak berujung dan penuh harapan, aku dan Nanami menatap ke depan, sementara
perjalanan sekolah kami pun perlahan berakhir.