[Bonus terbatas e-book SS] Ayo bermain di
kolam renang
Hari keempat
perjalanan sekolah, setelah menyelesaikan tujuan kami di gereja—bahkan lebih
dari sekedar menyelesaikan tujuan—aku dan Nanami akhirnya kembali ke hotel
bersama semua orang.
Di perjalanan
pulang dengan bus, terjadi sedikit keributan karena aku dan Nanami, tapi pada
akhirnya, semuanya kembali dengan selamat tanpa masalah.
Apa yang
terjadi?
Untuk
menjelaskan itu, aku harus menceritakan sedikit lebih detail tentang kejadian
setelahnya.
Setelah
peristiwa di gereja, aku dan Nanami berada dalam suasana yang… entah bagaimana
terasa canggung. Kami kembali ke titik pertemuan dengan diam dan tidak banyak
bicara.
Seolah-olah
keheningan yang terjadi di antara kami adalah sebuah kebohongan.
Bahkan jika
seseorang sangat dekat, ada kalanya percakapan berhenti sejenak.
Dulu, aku
selalu merasa tidak nyaman dengan momen-momen sunyi seperti ini. Tapi di sisi
lain, aku juga merasa sulit untuk memulai pembicaraan sendiri, jadi akhirnya,
keheningan itu terus berlanjut.
Dan ada banyak
alasan mengapa sebuah percakapan bisa berhenti—karena malu, karena lelah, atau
bahkan karena bertengkar.
Kali ini,
ketika aku dan Nanami bergabung kembali dengan yang lain dalam keadaan hampir
tidak berbicara, sesaat… benar-benar hanya sesaat, orang-orang di sekitar kami
mengira bahwa kami bertengkar di Hawaii.
Ini bukan
hanya karena kami tidak banyak bicara, tapi juga karena jarak fisik kami
sedikit lebih jauh dari biasanya. Itu memang kesalahan kami. Aku benar-benar
merasa bersalah soal itu.
Maksudku,
jaraknya cuma sedikit lebih jauh dari biasanya, tapi tetap saja orang-orang
terkejut.
Tapi alasannya
bukan karena kami bertengkar. Kami hanya terlalu malu sampai tidak tahu harus
berkata apa. Tidak mungkin kami bertengkar.
Rasanya
seperti kembali ke masa awal kami mulai berkencan. Bahkan menggenggam tangan
pun terasa canggung. Saat tangan kami bersentuhan, kami secara refleks langsung
melepasnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengalami hal seperti
itu.
…Tidak, bahkan
di awal hubungan kami, aku tidak ingat sampai seperti ini. Itu menunjukkan
betapa kuatnya dampak yang diberikan oleh kejadian di gereja tadi terhadap
perasaan kami berdua.
Sebenarnya,
aku sendiri yang membuat ini jadi seperti ini, tapi sekarang malah merasa aneh
sendiri.
Serius, ini benar-benar
misterius. Kenapa kalau sudah merasa malu, hal-hal yang sebelumnya bisa
dilakukan dengan mudah tiba-tiba jadi sulit?
Padahal tidak
ada yang berubah. Malah, bisa dibilang hubungan kami semakin dekat.
Tapi tetap
saja tidak bisa.
Saat mencoba menggenggam tangannya, aku malah merasa gugup, jantungku berdegup
kencang, dan akhirnya hanya bisa menyentuhnya sebentar lalu buru-buru
melepaskannya lagi.
Yah, kalau
dipikir-pikir, mungkin ini hal yang bagus karena berarti perasaan kami tetap
segar seperti dulu.
Kembali ke
cerita tadi—kesalahpahaman kalau aku dan Nanami bertengkar… langsung teratasi
dalam hitungan detik.
Kenapa?
Karena kami
berdua tiba-tiba memakai cincin yang sebelumnya tidak ada.
Sebenarnya,
aku sempat terpikir untuk melepasnya sebelum bergabung kembali dengan yang
lain, tapi entah bagaimana, kami akhirnya tetap memakai cincin itu saat
kembali.
Jadi, yang
terjadi adalah…
Kami bertemu kembali dengan yang lain dalam suasana yang agak canggung → Mereka
mengira kami bertengkar → Beberapa dari mereka melihat cincin di jari kami →
Mereka menyadari ada sesuatu yang terjadi → Kami langsung dikepung dengan
pertanyaan.
Dan tentu
saja, Hitoshi langsung berkata:
“Apakah kalian melakukannya?!”
Atau sesuatu seperti itu
Tentu saja aku
langsung membalas "Tentu saja tidak!!"
Tapi saat itu,
aku dan Nanami pasti sama-sama mengingat kejadian di pemandian pada malam
ketiga.
Bukan berarti
kami benar-benar melakukan sesuatu, tapi sejak mendengar pertanyaan seperti
itu, ingatan tentang kejadian itu otomatis muncul di kepala kami.
Tapi berkat
semua pertanyaan itu, suasana canggung di antara kami langsung hilang begitu
saja.
Dan akhirnya,
di dalam bus perjalanan pulang… semuanya kembali seperti biasa.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Saat kembali
ke hotel, matahari masih bersinar terang, dan sepertinya masih butuh waktu
sebelum benar-benar tenggelam. Di tengah suasana seperti itu, rasanya mewah
sekali bisa rebahan begitu saja di atas kasur.
Aku berbaring
tengkurap di tempat tidur, memainkan ponsel sambil main game dan membaca buku…
Yah, ini juga bukan pilihan yang buruk, kan?
Lagipula, aku
sudah mulai terbiasa dengan kasur yang agak keras ini…
Saat sedang
berpikir begitu—tiba-tiba ada sesuatu yang berat menekan punggungku.
"Yoouushiiin! Ayo main~!"
“Guehh?!”
Aku
mengeluarkan suara aneh. Serius, sejak kapan Nanami ada di sini? Aku sama
sekali tidak menyadarinya.
Dengan
semangat seperti anak SD yang mengajak temannya bermain, Nanami tetap berada di
atas punggungku sambil sedikit memutar pinggangnya.
Aku
bertanya-tanya apa yang dia lakukan, sampai akhirnya menyadari kalau berat
badannya perlahan berpindah ke pinggangku—sepertinya dia sedang mengubah
posisinya.
"Na-Nanami… sejak kapan
kamu…?"
"Surpriiiise, berhasil!"
Aku melirik ke
samping dan melihat Hitoshi sedang duduk di kasur sebelah sambil menunjukkan
tanda peace. Di sekelilingnya, ada Otofuke-san, Kamoenai-san, Shizuka-san, dan
Teshikaga-kun.
Mereka semua
juga menunjukkan tanda peace.
…Eh? Aku sama
sekali tidak menyadari kalau orang sebanyak ini masuk ke kamar?!
Aku sedikit
kaget dengan betapa buruknya kemampuan deteksiku sendiri. Setelah mendengar
penjelasan mereka, rupanya mereka semua diam-diam pindah ke sini saat aku
terlalu fokus pada ponselku.
Entah kenapa
rasanya seperti kena prank.
"Jadi? Youshin, apa yang sedang
kamu lakukan?"
"Whoa?!"
Beban di
sekitar pinggangku tiba-tiba menghilang, digantikan oleh sesuatu yang lembut
yang menyebar di punggungku. Selain itu, wajah Nanami sekarang berada tepat di
sampingku, membuatnya terdengar seperti sedang berbisik di telingaku.
Aku secara
refleks mengeluarkan suara aneh, tapi Nanami sama sekali tidak memedulikannya.
Tatapannya hanya terfokus pada layar ponselku—tepat ke manga yang sedang
kubaca.
Dan sialnya…
yang muncul di layar adalah adegan yang agak mesum.
"Ah... Hmmm...?"
Hanya dengan
kata-kata itu, aku merasa punggungku menjadi dingin.
Kata-kata yang masuk melalui telingaku langsung terserap oleh otakku, kemudian
menyebar ke seluruh tubuhku.
Sensasi itu
membuat kulitku merinding, hingga aku tanpa sadar gemetar sekali.
Tidak, Nanami
sebenarnya tidak menyampaikan sesuatu yang spesifik. Dia hanya berkata
"Hmmm." Hanya itu. Dan aku yang secara sepihak langsung panik
sendiri.
"......"
Nanami tidak
mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya diam dan terus menatap layar ponselku...
atau lebih tepatnya, manga yang sedang terpampang di sana. Keheningan ini...
maksudnya apa ya...?
"…Youshin, tunjukkan halaman
berikutnya."
"Ah, iya…"
Aku menurut
dan menggeser layar ke halaman berikutnya. Adegan ecchi masih
berlanjut...
Nanami tetap
diam.
Saat aku masih
berusaha memahami arti dari keheningan itu, dia tiba-tiba menggerakkan tubuhnya
sedikit. Sensasi yang tadi terasa di punggungku sempat menghilang sebentar,
lalu aku mendengar suara lirihnya seperti sedang berpikir keras.
Setelah
beberapa saat, Nanami kembali bersandar di punggungku.
Lalu... dia
berbisik di telingaku. Atau, sebenarnya tidak berbisik. Tapi bagiku, dalam
situasi ini, itu terdengar seperti bisikan.
“...Youshin, kamu menyukai hal
seperti ini?”
"Eh?"
"Maksudku... kupikir kalau aku
melakukan hal seperti ini... Youshin akan lebih tergoda."
"Apa maksudmu... hal seperti ini?"
"Aku sempat berpikir, kalau aku yang terlalu agresif malah membuatmu jadi
ilfeel... Tapi kalau kamu ternyata tidak keberatan dengan yang seperti ini,
mungkin... pakaian dan gayanya juga bisa kusesuaikan..."
Di manga ini,
sang heroine mengenakan pakaian tipis transparan seperti negligee yang sangat
seksi, lalu menggoda si tokoh utama dengan penuh keberanian.
(Tln: Negligee itu kayak gaun tapi buat tidur,
harusnya di manga banyak)
Sementara itu,
sang tokoh utama terlihat merah padam, tapi tetap menerima godaan heroine
tersebut...
Maksudnya
diterima, atau lebih tepatnya, si tokoh utama tidak bisa melawan…? Bagaimanapun
juga, ini adalah adegan seksi dalam manga. Bahkan, efek "cahaya
misterius" yang belakangan sering muncul juga bersinar dengan
menyilaukan.
…Jadi, Nanami
ingin melakukan ini?
"Hmm...Aku tidak punya gaun
tidur... Mungkin aku harus membelinya... Kalau begitu, aku juga harus
mencocokkannya dengan celana dalam..."
"Tunggu Nanami, Nanami tunggu.
Ini hanya manga, ini murni fiksi."
Bukan berarti
aku membencinya, sih. Tapi adegan seperti ini jelas sangat sulit untuk terjadi
di dunia nyata!
Terus, mau melakukannya dimana?
Astaga… dan
kenapa semua orang malah bisik-bisik seolah berpura-pura tidak melihatnya?
Terutama Shizuka-san, jangan bilang "Aku juga mau mencobanya" Lihat,
Teshikaga-kun jadi kebingungan.
Dan jangan bilang kamu iri Hitoshi.
Suatu hari nanti kamu akan punya pacar yang akan melakukannya untukmu. Dan
jangan mengatakan hal seperti semua cowok menyukainya, nanti Nanami akan
semakin bersemangat.
"Jadi, Youshin, kamu tidak
menyukai hal seperti ini...?"
Tanya Nanami lagi—kali ini tepat di
telingaku. Aku langsung membeku di tempat. Tadi aku masih bisa
bergerak sedikit meski Nanami duduk di punggungku, tapi sekarang… aku
benar-benar berhenti seperti sedang di-pause.
Kalau ditanya
suka atau tidak…
"Bukan berarti aku tidak
menyukainya..."
Mendengar jawabanku,
Nanami terlihat senang. Dia langsung melingkarkan tangannya di leherku dan
memelukku erat. Sedikit sulit bernapas, tapi… rasanya sama sekali tidak buruk.
Nanami tidak
berkata apa-apa, tapi dari reaksinya ini, aku bisa menebak… Dia pasti akan
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ini suatu saat nanti.
Dan jujur
saja… aku sedikit takut. Takut, tapi di saat yang sama… aku juga menantikannya.
Kesadaran itu membuatku semakin takut—pada diriku sendiri kali ini.
"Ya...Yang lebih penting,
Nanami, kamu datang ke sini untuk bermain kan? Mau main apa??"
Aku tahu itu percuma,
tapi aku tetap mencoba mengalihkan pembicaraan dengan paksa. Tadi, Nanami
sendiri yang bilang mau main saat masuk ke kamar ini, jadi topik ini masih
relevan… seharusnya.
Sepertinya
Nanami baru teringat kembali tujuan awalnya datang ke sini.
Dia pun melonggarkan pelukannya dan berkata dengan semangat dan berkata.
“Youshin, ayo pergi ke kolam
renang.”
Kolam
renang...Oh…tadi siang dia memang bilang ingin pergi. Jadi dia serius waktu
itu? Ya, kalau soal ini, Nanami memang selalu serius, sih.
Masih banyak waktu tersisa, dan
pergi ke kolam renang bersamanya sepertinya menyenangkan juga. Lagipula, kalau
mau bersantai, aku juga bisa melakukannya di tepi kolam.
"Apakah kamu akan kembali ke
kamarmu dulu untuk siap-siap?"
"Hmm? Soal itu, coba lihat ke
sini."
Aku disuruh
menoleh, tapi… Aku masih dalam posisi tengkurap, dan Nanami masih duduk di
punggungku— Tapi tiba-tiba, semua sensasi itu hilang. Panas tubuh, tekanan, dan
sentuhannya lenyap dari punggungku.
"Oke, sekarang boleh
lihat~"
Entah kenapa,
kata-katanya barusan terasa aneh. Tapi karena tubuhku akhirnya bebas, aku pun
menggulingkan diri dan berbaring terlentang.
Dan di
sana—Nanami berdiri di atas tempat tidur, menatapku dari atas.
Dia berdiri
dengan posisi seperti sedang mengangkangi tubuhku.
Mungkin sedikit kurang sopan, tapi dari sudut pandangku… pemandangannya luar
biasa.
Pakaian Nanami
tidak terlalu mencolok. Celana pendek, ditambah kaus kebesaran yang agak
longgar. Di Hawaii, gaya seperti ini cukup umum.
…Tapi, apa
kausnya selalu sebesar ini?
"Etto, aku sudah balik,
tapi...?"
Aku yang masih
bingung hanya bisa bertanya, sementara Nanami tersenyum kecil. Jujur saja, dari
sudut ini, sebagian wajahnya terhalang dadanya sendiri, jadi senyumannya tidak
terlihat sepenuhnya.
Dan
lalu—Nanami melakukan sesuatu yang tidak terduga. Seperti seorang gadis
bangsawan yang mengangkat ujung roknya, Nanami mencubit bagian bawah kausnya,
lalu…
Dengan
perlahan, dia menurunkan tubuhnya dan duduk di atas dadaku dalam posisi
berlutut. Aku semakin bingung.
Dan kemudian,
dia mengangkat kausnya lebih lebar—menariknya ke atas sampai kain itu
menggantung di atas wajahku. Apa yang dia lakukan?!
Dengan kausnya
terangkat, pandanganku langsung tertuju pada perutnya yang ramping dan pusarnya
yang terlihat jelas. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi satu-satunya
arah lain yang bisa kulihat adalah… dadanya.
Tidak, tidak,
tidak! Aku harus menahan diri—Tapi sebelum aku bisa melawan godaan itu, aku
sudah terlanjur melihatnya.
Dan saat aku
menyadarinya—
“Baju renang?”
“Benar, aku memakai baju renang di
bawahnya.”
Nanami tertawa
dengan bahagia sambil menunjukkan isi dalam bajunya padaku. Mungkin dia berpikir
itu tidak memalukan karena hanya pakaian renang, tapi tetap saja, pemandangan
ini cukup luar biasa.
Kemudian,
Nanami perlahan menurunkan tubuhnya. Gerakannya seperti seekor predator yang
hendak memangsa, dan menarik wajahku ke dalam bajunya.
Aku tidak bisa
melawan. Rasanya seperti katak yang ditatap oleh ular—aku benar-benar tidak
bisa bergerak.
...Apakah
begini rasanya sebelum dimakan? Pikiran itu melintas samar di benakku.
“Yah, itu cukup berani.”
Saat aku terbungkus dalam baju Nanami tanpa bisa melawan, aku
tidak bisa mengetahui siapa yang baru saja mengucapkan kata-kata itu.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇
"Ini sedikit berbeda di
banding saat malam hari..."
Ketika aku melihat kolam itu lagi,
kesanku biasa saja.
Di malam hari, kolam ini diterangi
lampu-lampu, hampir seperti kolam malam yang mewah. Tapi sekarang, lebih
terlihat seperti kolam renang outdoor yang luas.
Meskipun begitu, tetap terasa ada
nuansa khas Hawaii... atau semacamnya.
Mungkin karena jumlah orangnya
lebih sedikit dari yang kukira, jadi tidak terlalu ramai? Atau mungkin karena
di bagian dalam sana ada tempat yang menjual minuman?
Ada juga orang-orang yang berbaring
di pinggir kolam sambil menikmati minuman warna-warni.
Beberapa lainnya sedang makan es
serut yang juga berwarna-warni, sandwich, atau roti yang entah dari mana mereka
dapatkan. Dan ukurannya benar-benar besar.
Mungkin ini yang membuat suasananya
terasa seperti di Hawaii? Aku cukup suka dengan atmosfer santai ini.
"Youshin, ayo ke sini."
"Nanami, sejak kapan?"
Saat aku
menatap kolam renang sambil melamun, aku baru menyadari kalau Nanami, yang tadi
ada di sebelahku, sudah berada di dalam air. Saat kuperhatikan lagi,
Otofuke-san dan yang lainnya juga sudah masuk ke kolam.
Mereka memang
tidak saling menyiram air seperti saat di pantai, tapi tetap bermain dan
bersenang-senang di dalam kolam.
Tidak ada yang
berenang dengan serius, beberapa hanya mengapung di air, sementara yang lain
bersandar di tepi kolam dengan kaki terjulur—masing-masing menikmati waktu
mereka dengan caranya sendiri.
Saat melihat
Nanami, tiba-tiba aku berpikir—mungkinkah begini penampilan seorang peri air?
Saat tadi aku
memikirkan suasana Hawaii, aku tidak menyadarinya, tapi warna airnya
benar-benar berbeda.
Biru kobalt...?
Atau sesuatu seperti itu. Cahaya matahari yang dipantulkan oleh air membuatnya berkilauan
dengan kejernihan yang luar biasa.
Terlihat
seperti jeli berwarna yang indah, tapi saat kusentuh, tentu saja itu hanya air
bening. Walaupun itu hal yang wajar, rasanya tetap seperti sesuatu yang ajaib.
Dan di tengah
birunya air itu, ada Nanami. Warna airnya berbeda dari air laut atau yang ada
di bawah laut, yang membuatnya terlihat seperti seorang peri.
Mungkin karena
menyadari tatapanku, Nanami tersenyum dengan sedikit rasa malu.
"Hei, kenapa kamu menatapku
seperti itu?"
"Yah... kamu terlihat seperti seorang peri."
Tanpa sadar
aku mengatakannya, dan pipi Nanami langsung memerah. Menyadari kata-kata yang
baru saja keluar dari mulutku, wajahku sendiri ikut terasa panas.
Untuk
mendinginkan diri, aku buru-buru melompat ke dalam kolam. Sensasi dingin dari
air yang menyegarkan membuat tubuh dan pikiranku lebih tenang.
Nanami, yang
kini menjauh dari Otofuke-san dan yang lainnya, perlahan bergerak mendekatiku.
Saat
kuperhatikan lagi... sekarang Nanami hanya mengenakan pakaian renangnya. Tadi,
dia masih memakai celana pendek dan kemeja longgar di atasnya, tapi sekarang
sudah dilepas.
Bikini putih
yang biasa ia pakai.
Tapi entah
kenapa, melihatnya dalam pakaian renang itu sekarang justru membuatku merasa
sangat lega. Bikininya berlapis, jadi semuanya tertutup dengan baik.
Yah, baju
renang baru yang kulihat di kamar hotel juga menutupi semuanya sih, tapi...
rasanya berbeda. Dari segi kualitas, sudut pandang, dan lainnya...
Dulu aku pikir
bahkan baju renang ini sudah cukup terbuka dan luar biasa seksi. Tapi setelah
melihat yang lebih berani, sepertinya aku jadi kebal... Ternyata itu memang
bisa terjadi ya?
Mungkin Nanami
menyadari apa yang kupikirkan.
"Kamu lebih suka baju renang
yang sebelumnya?"
"Etto, itu......"
Nanami menyeringai nakal, seperti
anak kecil yang ingin mengerjai seseorang—tapi baik penampilannya maupun apa
yang dia coba lakukan sama sekali tidak bisa disebut kekanak-kanakan.
"Baju renang yang itu... lebih
cocok dipakai saat kita berdua saja..."
Kata-kata itu
keluar begitu saja, tapi sejujurnya... kesempatan untuk hanya berdua di kolam
renang itu sangat jarang terjadi. Selain itu, rasanya aku pernah mengatakan hal
yang mirip tentang baju renang ini juga.
Pada akhirnya,
kalau dia harus memakai sesuatu di depan orang lain, aku merasa lebih tenang
jika itu baju renang model one-piece yang lucu daripada bikini.
Itulah
maksudku, tapi sepertinya Nanami menangkapnya dengan cara yang berbeda.
"K-kalau begitu... lain kali,
pas kita mandi bareng, aku akan memakai yang itu lagi ya..."
Serius? Ke situ pikirannya? Yah,
kalau dipikir-pikir, kalau soal berdua saja dan berhubungan dengan air, memang
cuma itu satu-satunya situasi yang memungkinkan... Tapi sekarang baju renang
itu sudah dianggap sebagai pakaian mandi.
Meskipun
terlihat malu-malu, Nanami menatapku dengan ekspresi yang penuh harapan dan
juga dengan sedikit tekad.
Sepertinya...
tujuan dari baju renang itu sudah diputuskan. Atau lebih parahnya, mungkin di
masa depan Nanami akan membeli baju renang yang lebih berani lagi.
Haruskah aku
menghentikannya? Atau membiarkannya saja...? Tidak, soal baju renang yang lebih
berani itu cuma imajinasiku. Tapi tetap saja...
"...Aku menantikannya."
Aku
mengatakannya... Aku mengatakannya, tapi ya mau bagaimana lagi? Ini memang
perasaanku yang sebenarnya. Dia sudah berusaha melakukan banyak hal untukku—aku
tidak bisa menolaknya begitu saja kan...?
Tapi kalau
suatu saat ini benar-benar kelewatan, aku pasti akan menghentikannya.
“Hehe, nantikan itu.”
Nanami berkata dengan senyum polos,
tapi entah kenapa, perasaan "menantikan sesuatu" itu terasa agak
berbahaya. Inikah yang disebut dengan kesenjangan kepribadian?
"Heeei, kalian berdua yang
lagi mesra-mesraan! Kenapa tidak memakai ini saja?"
"Eh? Whoa?!"
Sebuah pelampung besar dilempar ke
samping kami dengan suara *plop*.
Saat aku menoleh ke atas, aku melihat Hitoshi, Teshikaga-kun, dan Shizuka-san
berdiri di pinggir kolam, masing-masing memegang pelampung.
Sepertinya mereka sudah menyewa
pelampung untuk kami. Teshikaga- kun dan Shizuka-san… entah kenapa, mereka terllihat
lebih dekat dari biasanya. Atau mungkin hanya perasaanku?
Ketiga cewek
itu memakai baju renang baru, termasuk Shizuka-san.
Karena itu, yah… Teshikaga-kun terlihat bingung ingin melihat ke mana, wajahnya
penuh kebingungan.
Tapi tetap
saja, mereka terlihat lebih dekat dibanding tadi pagi.
Pasti ada
sesuatu yang terjadi saat mereka berdua bersama.
Ya, pasti begitu. Maksudku…
"Teshikaga-kun, bagaimana
dengan teman-teman sekelasmu?"
"Santai aja! Aku hampir tidak punya teman di kelas!!"
Apakah itu
benar-benar baik-baik saja…? Sepertinya teman-teman sekelasnya masih agak takut
padanya. Bahkan di perjalanan sekolah ini, itu tidak berubah.
Tapi karena
sekarang dia bisa terus bersama Shizuka-san, mungkin ini menguntungkannya.
…Mungkin
itulah sebabnya aku merasa sedikit terhubung dengan Teshikaga-kun. Meskipun dia
tipe yang benar-benar berbeda dariku, rasanya aneh. Belum lagi, dia jauh lebih
tampan dariku.
"Oryaa!!"
"He?"
Hitoshi tiba-tiba melompat, dan
langsung terjun ke kolam. Cipratan air besar menyebar yang membasahi kami juga.
"Kamu...jangan melompat ke
kolam..."
"Banyak orang di sekitar kita
juga melakukannya tahu?"
"Serius?"
…Mungkin ini
bisa dilakukan karena kolamnya sangat luas.
Beberapa turis asing juga bercanda dan melompat ke dalam kolam.
Betapa bebasnya mereka.
Ah,
Shizuka-san juga mau melompat, tapi Teshikaga-kun menghentikannya. Ya, masuk
akal. Kalau dia melompat dengan baju renangnya yang seperti itu, bisa jadi
bencana.
Melihat mereka
berdua, aku dan Nanami saling memandang dan tersenyum kecil.
"Kalau begitu, ayo main."
"Ohhh"
Nanami mengangkat tangannya dengan
gembira, dan aku juga mengangkat tanganku sebagai tanggapannya. Setelah itu,
kami memutuskan untuk bermain di kolam hingga matahari terbenam.
Kami bermain di air, lalu berbaring
di tepi kolam saat lelah, dan ketika merasa kedinginan, kami masuk ke jacuzzi
air hangat yang ada di dekatnya.
(Tln: Jacuzzi, bathup kecil yang biasanya dipakai kayak mini onsen
untuk Amerika)
Karena ini kolam renang dalam
hotel, kami boleh membawa ponsel, jadi kami pun mengambil banyak foto saat
bermain bersama.
Beberapa siswa lain juga terlihat
bermain di sekitar kami, tapi pada akhirnya… hanya kami yang bertahan sampai
akhir.
Setelah bermain sepuasnya seakan tidak
ingin mengakhiri hari, kini kami berbaring di kursi besar di tepi kolam, dan menatap
matahari terbenam.
Air yang tadinya berwarna biru kini
memantulkan cahaya oranye keemasan dari matahari yang mulai tenggelam. Hampir
tidak ada awan di langit, sehingga sekeliling kami juga dipenuhi cahaya
keemasan itu.
Matahari
perlahan, sangat perlahan, mulai tenggelam, dan warna oranye itu semakin pekat
seiring berjalannya waktu. Pada akhirnya, ketika matahari benar-benar
menghilang, kegelapan akan menggantikannya.
Dalam suasana
senja itu, kami hanya diam menikmati pemandangan matahari terbenam.
"Hehe, aku akan mengambil
foto."
Hitoshi mengambil foto kami dan
semua orang dengan ponselnya dan mengirimkannya ke grup. Seolah ingin
memberikan sesuatu kembali, aku pun memotret Hitoshi.
Semua orang berbaring dan tertawa,
mungkin karena lelah bermain tadi.
Berbicara tentang Nanami, dia
tersenyum lembut di sampingku. Senyumannya, yang disinari matahari terbenam,
sungguh indah tak terlukiskan.
"Ini indah ya."
"...Ya, itu indah."
Nanami pasti sedang membicarakan
tentang matahari terbenam, tapi maksudku berbeda ketika mengatakan itu indah.
Saat Nanami menatap mataku, dia tersenyum bahagia lagi.
Semua orang diam-diam menyaksikan
matahari terbenam.
Cahaya matahari yang bersinar
terang ke arah kami terasa seperti sebuah perpisahan, dan menghadirkan sedikit
rasa sedih. Seolah mencerminkan perasaan itu, bayangan yang terbentuk oleh
cahaya senja pun semakin gelap.
Sampai matahari benar-benar tenggelam, kami terus menatapnya.
<Akhir>
Previous Chapter | ToC |