Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Anak Laki-Laki Itu Datang di Malam Hari
1 — Perspektif: Kai Rou —
Sekarang. Sudah hampir satu tahun berlalu sejak hari Kai dan Kurono bertemu dan menjadi tetangga di apartemen yang sama.
Di dalam kelas saat jam istirahat makan siang, Kai mengeluarkan kotak bekalnya dari tas dan meletakkannya di meja. Sekilas, ia menatap tangan kanannya.
Ia merasa seolah masih ada sisa kehangatan tubuhnya di sana, padahal mereka bahkan tidak pernah bersentuhan. Sejak pagi tadi, saat waktu sempat terhenti dan tangannya digenggam olehnya.
Kai menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu, lalu membuka kotak bekalnya. Isinya sederhana, sisa makanan tadi malam, makanan beku, dan nasi putih dalam porsi setengah-setengah.
Dari kursi sebelah, Kurono melirik dan menyapa.
"Kai-kun, hari ini bawa bekal lagi ya. Kelihatannya enak."
"Nggak juga. Cuma makanan seadanya kok, rasanya juga biasa aja sih. Kamu masih makan CalorieMate lagi?"
"Iya, ini makanan fungsional."
"Oh… gitu ya. Kamu suka rasa cokelat?"
"Tidak juga. Aku tidak terlalu peduli soal rasa makanan."
Mereka duduk bersebelahan, tetapi tidak pernah menyatukan meja untuk makan bersama.
Sejak hari kepindahan itu, Kai tetap menjalani hari-hari seperti biasa, seperti yang disarankan oleh Sotomichi.
Walaupun ia tahu tentang perasaan Kurono, ia berpura-pura tidak menyadarinya.
Dalam keseharian seperti itu, Kai akhirnya bisa melihat kembali kejadian hari itu dengan lebih jernih. Dan semakin ia memikirkannya, semakin muncul satu pertanyaan.
Kenapa Kurono begitu menyukai dirinya?
Ia tidak mengerti.
Bagaimanapun, Kurono adalah seorang gadis luar biasa cantik, bahkan bisa dibilang berada di level yang berbeda. Selain itu, dia juga memiliki kemampuan menghentikan waktu dan merupakan agen terkuat dari suatu organisasi internasional yang entah apa namanya.
Saat pertama kali dia menyatakan perasaannya, jantung Kai memang berdebar kencang. Bahkan sekarang pun, perasaan itu masih ada.
Namun, lebih dari itu, ada perasaan tidak nyaman yang terus mengusiknya.
Setiap kali ia menyadari perasaan Kurono, ia juga semakin sadar betapa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gadis itu.
Dengan pikiran seperti itu, Kai memakan bekalnya dengan sumpit. Dan saat itu juga, waktu berhenti.
(Apa-apaan ini!?)
Kenapa tiba-tiba? Tanpa alasan yang jelas, tanpa tanda-tanda sebelumnya, waktu kembali terhenti.
Di tengah pemandangan yang membeku, Kurono bergerak mendekat dengan lincah.
"...Kai-kun."
Dengan ekspresi tidak senang, ia menatapnya seperti sedang merajuk.
(Apa sekarang lagi terjadi apa?)
Kai menegang.
Kurono menggembungkan pipinya sedikit dan berkata dengan nada kesal.
"Pagi ini, seorang siswa laki-laki menyatakan perasaannya padaku."
(Oh… sekarang aku ingat.)
Saat jam istirahat tadi, Kai memang sempat mendengar gosip tentang itu.
"Lalu kenapa… kamu belum menanyakannya sama sekali?"
(Hah?)
Bukankah sudah jelas? Kurono pasti sudah menolaknya, tanpa ampun.
Ia bahkan bisa membayangkannya dengan mudah.
Setelah satu tahun berada di kelas yang sama, mengikuti klub yang sama, dan menjadi tetangga, ia sudah paham bahwa Kurono sangat populer.
Ia juga tahu bahwa reputasi "si gadis cantik berambut hitam yang super dingin" itu dibangun di atas banyaknya pria yang telah mengalami penolakan pahit darinya.
"Tentu saja aku langsung menolaknya."
Lihat, benar kan?
Tapi rupanya, bukan itu yang ingin disampaikan oleh Kurono.
"...Aku ingin Kai-kun lebih memperhatikanku."
Dengan suara kecil, Kurono berkata jujur, tampak begitu polos dan kekanak-kanakan, sangat berbeda dari dirinya yang biasanya dingin.
"Tapi… ya sudahlah. Aku tahu tidak ada gunanya mengatakan ini."
Mungkin itu adalah perasaan yang ia ungkapkan justru karena tahu tidak akan sampai.
Namun, bagi seorang pemuda yang sedang berusaha menjaga jarak, kata-kata itu justru sampai dengan sangat jelas.
(Sial…)
Di tengah waktu yang berhenti, Kai tidak bisa menahan diri untuk menganggapnya imut.
Lalu, waktu kembali bergerak.
Kai akhirnya bisa menyuapkan potongan ayam goreng ke dalam mulutnya.
Namun saat itu juga, seorang siswa laki-laki lewat di depan matanya, menarik perhatiannya tanpa sengaja.
Ia tidak mengenalnya. Lebih tepatnya, Kai tidak pernah melihatnya di kelasnya sendiri.
Pemuda itu memakai kacamata hitam bergaya, berambut merah cerah yang mencolok, dan memiliki tinggi badan yang cukup jauh di atas rata-rata siswa SMA, bahkan lebih tinggi 10 cm dari Kai.
Kalau tidak salah, dia adalah Marusu Aren dari kelas lima.
Ace tim sepak bola, siswa populer, dan salah satu orang terkenal di angkatannya.
"Ku-Kurono-san. Halo. Boleh aku bicara sebentar?"
Entah kenapa, Kai bisa langsung menebaknya. Pasti dia orang yang menyatakan perasaannya pada Kurono tadi pagi.
Apa dia kembali untuk mencobanya lagi?
Seluruh siswa yang masih berada di kelas langsung tertarik dan mulai mengamati mereka.
Kai juga tak bisa mengalihkan pandangan.
Entah kenapa, meskipun bukan dirinya yang sedang mengungkapkan perasaan, ia ikut merasa gugup.
Tapi tentu saja, yang paling gugup pasti Marusu sendiri.
Dengan tubuhnya yang atletis tapi terlihat sedikit tegang, ia berbicara.
"Maaf soal tadi pagi ta. Aku tiba-tiba menyatakan perasaan tanpa berpikir panjang… Sekarang aku sadar, Kurono-san pasti belum mengenalku dengan baik, jadi wajar saja kalau menolakku. Aku menyesalinya. Jadi… bolehkah aku mencoba lagi setelah kamu lebih mengenalku?"
"Singkat saja."
"Tolong beri aku satu kesempatan lagi! Aku akan melakukan apa saja, kumohon!"
Marusu membungkuk dalam-dalam.
Sikapnya yang begitu langsung dan penuh tekad membuat seluruh kelas terkejut.
Bahkan ada yang bersorak menyuruh Kurono untuk memberikan kesempatan.
Terus terang, Marusu berhasil mengubah suasana menjadi menguntungkannya.
Dengan percaya diri, ia melanjutkan pembicaraannya.
"Baiklah, aku akan menyebutkan kelebihanku satu per satu, jadi tolong pertimbangkan jawabannya lagi. Pertama, aku tampan."
(Ya… itu memang terlihat sih.)
Seakan ingin memastikan semua orang tahu, Marusu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih bersih.
"Kedua, meskipun aku dari klub sepak bola, aku sebenarnya jago di semua olahraga. Nih, lihat otot lenganku… Aku cukup percaya diri dengan bisepku."
(Aduh… jangan pamer otot… Sumpah, jangan deh.)
Dari tempatnya duduk, Kai sampai menutupi wajahnya dengan tangan.
Tapi sudah terlambat.
"K-ku-Kurono-san, gimana? Kalau mau, kamu boleh sentu—"
Untuk memotong pembicaraan Marusu, Kurono meletakkan siku kanannya di atas mejanya dan mengangkat lengannya sedikit. Jelas sekali, ini adalah posisi persiapan untuk adu panco.
Melihat itu, Marusu berkedip beberapa kali lalu menggaruk pipinya dengan raut wajah canggung.
"Eh, tidak, itu agak… Aku tidak mau membuat seorang gadis cedera."
"Kalau kau bisa mengalahkanku, aku tidak keberatan untuk berpacaran denganmu."
"──Aku menerima tantangan ini."
Seseorang dalam kerumunan terdengar menelan ludah. Dari sudut pandang logis, pertandingan ini bahkan tidak bisa disebut sebagai pertarungan. Namun, semua orang di sana merasakan hal yang sama.
Melihat ekspresi tenang Kurono, mereka mulai berpikir bahwa mungkin akal sehat mereka tidak berlaku untuknya.
Marusu menggulung lengan bajunya dengan hormat. Begitu kedua tangan mereka saling menggenggam di atas meja, Kurono berbicara.
"Tapi kalau kau kalah, jangan pernah bicara denganku lagi."
"Eh?"
"Ayo mulai."
Begitu aba-aba diberikan, Marusu segera mengerahkan tenaganya. Mungkin awalnya dia tidak menggunakan seluruh kekuatannya, tetapi itu hanya di awal saja.
Dalam hitungan detik, wajah Marusu memerah, sepatunya beberapa kali tergelincir di lantai, dan dia mulai meronta-ronta seolah-olah berusaha mencengkeram meja untuk bertahan.
Siapa pun yang melihat bisa tahu bahwa dia sudah mengerahkan semua tenaganya tanpa peduli pada penampilan. Namun, Kurono tetap tenang, punggungnya tegak seperti sebelumnya.
Dan kemudian, pertarungan berakhir dalam sekejap.
Dengan begitu santainya, seperti membalikkan tangan bayi, Kurono membanting tangan Marusu ke meja dengan keras.
Kelas pun terdiam dalam keheningan penuh keterkejutan.
Dengan ekspresi kosong, Marusu memegangi lengannya yang gemetar.
"Um, Kurono-san… Bagaimana kalau kita anggap ini tidak pernah terjadi…"
"Tidak bisa."
"A-aku sebenarnya lebih percaya diri dalam bidang akademik daripada kekuatan fisik. Di ujian tengah semester kemarin, aku peringkat empat di angkatan."
"Aku peringkat satu."
"…Orang tuaku punya rumah sakit, keluargaku kaya raya."
"Oh begitu. Aku tidak tertarik. Ngomong-ngomong, bisakah kau menepati janjimu?"
(Uwaah…)
Wajah Marusu menjadi pucat seperti baru direndam dalam pemutih.
Tak tahan melihatnya, Kai akhirnya buka suara.
"Um, Kurono-san. Menyuruhnya untuk tidak pernah bicara lagi itu agak terlalu kejam, menurutku."
Kurono menatap Kai dengan terkejut, lalu dengan enggan mengangguk, tampak tidak puas.
"Baiklah… Kalau Kai-kun yang meminta."
Bagian terakhir ucapannya cukup pelan sehingga hanya Kai yang berdiri di sebelahnya yang bisa mendengarnya.
"Kalau begitu, demi Kai-kun, aku akan menganggap janji tadi tidak pernah ada."
"…T-terima kasih banyak."
"Tapi jawaban untuk pengakuan cinta tetap tidak berubah. Berapa kali pun kau mencoba lagi, hasilnya akan tetap sama selamanya—"
"Daahh!? Tunggu sebentar, Kurono-san! Apa yang kau katakan!?"
"Eh? Kalau dia terus menggangguku lagi dan lagi, itu sangat menyebalkan…"
"Y-ya, mungkin begitu, tapi menginjak-injaknya lagi dalam situasi ini itu kejam, tahu!"
"B-benarkah…? Ini sulit."
Sial. Menjelaskan perasaan pria padanya ternyata sangat sulit.
Kai mengusap kepalanya dengan frustasi, lalu secara tak sengaja bertemu pandang dengan Marusu.
"…Hei, anak berambut putih yang keren."
"Terima kasih. Ini rambut asliku."
"Oh, oke. Ngomong-ngomong, kau dekat dengan Kurono-san ya?"
"Tenang saja. Aku hanya satu klub dengannya, jadi kami kadang mengobrol."
Marusu menatapnya dengan mata tajam, membuat Kai buru-buru mengalihkan topik.
"…Ngomong-ngomong, klub apa?"
Tanpa berpikir panjang, Kai menjawab.
"Klub panahan."
Saat itu, dia belum menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.
1 — Perspektif: Kai Rou —
Sepulang sekolah, saat datang ke klubnya, Kai tanpa sadar bergumam.
"…Serius?"
"Aku telah mengundurkan diri dari klub sepak bola karena alasan pribadi! Mulai hari ini, aku bergabung! Aku Marusu Aren dari kelas 2-5! Hobi aku adalah latihan otot dan membaca! Mohon bimbingannya!"
Di sana, berdiri seorang pemuda tinggi berkacamata dengan rambut merah, menyapa dengan penuh semangat.
Sementara itu, dari luar dojo, suara isakan para anggota klub sepak bola terdengar.
"Kau bilang kita akan bersama-sama meraih kejuaraan! Itu bohong, ya!?"
"Tolong! Aku rela melakukan apa saja, jadi tolong pikirkan lagi!"
"Kalau kau ingin pacar, aku akan berdandan jadi cewek untukmu!"
…Sungguh pemandangan yang sulit untuk didengar. Kai melirik ke samping.
Kurono tampak bukannya terkejut, tapi lebih seperti sedikit tercengang dan menatap dengan tatapan setengah mata.
"Eh… Jadi, karena Marusu masih pemula, siapa yang mau membimbingnya… Kai saja, ya? Tolong ya."
Kapten klub yang duduk di tahun ketiga memutuskan begitu saja, membuat Kai secara resmi menjadi pelatih Marusu.
Latihan pun dimulai, dan di sudut dojo, dua pria saling berhadapan.
"Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik, Kai-kun… Oh, ngomong-ngomong, boleh kupanggil namamu langsung?"
"Ah, ya, terserah sih. Tapi ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apa kau masih waras?"
"Tidak waras. Tapi aku serius. Aku telah memutuskan untuk menaklukkan Kurono-san. Demi itu, aku harus berada dalam posisi yang strategis, yaitu berada di klub yang sama dengannya."
Baru beberapa saat yang lalu dia ditolak mentah-mentah, namun Marusu masih bisa berbicara dengan wajah santai.
"Masih ada satu setengah tahun lagi di masa SMA. Terlalu dini untuk menyerah. Akan lebih baik jika aku memberikan segalanya sekarang daripada menyesal setelah lulus, bukan?"
Dia benar-benar selalu berpikir positif, seperti tokoh utama dalam manga olahraga, pikir Kai.
"Ngomong-ngomong, apa kau masih punya rasa ingin kembali ke klub sepak bola?"
"Sama sekali tidak. Aku sudah melupakan masa lalu."
Marusu, yang belum memiliki seragam khusus, masih mengenakan jaket olahraga sambil memegang busur dan mengamatinya dengan penuh minat.
Kai mengumpulkan kembali pikirannya dan memutuskan untuk mengajarkan dasar paling mendasar dalam memanah hari ini, yaitu delapan tahap teknik memanah dan membuatnya mengulanginya berulang kali.
"Pertama, langkah kaki. Condongkan badan sedikit ke depan, letakkan pusat gravitasi di pangkal ibu jari kaki, lalu—"
"Hmm, oke, seperti ini?"
Seperti yang diduga, Marusu memang berbakat dalam bidang olahraga. Hanya dengan satu kali penjelasan, ia langsung bisa melakukannya dengan baik. Dengan kecepatan seperti ini, dia pasti bisa segera berdiri di depan target.
Ketika Kai mengungkapkan pujiannya dengan nada yang kurang lebih seperti itu, tiba-tiba—
"Kai, saat Kurono-san menarik busur, dia terlihat sangat cantik, bukan?"
Tampaknya Marusu benar-benar memperhatikan arahan Kai dengan serius… sambil sepenuhnya melihat ke arah lain.
Di balik kaca matanya, tatapannya tertuju pada Kurono, yang mengikat rambut hitamnya dengan gaya ponytail dan sedang menarik busur.
"Ya, memang sih. Baiklah, kita lanjut ya. Selanjutnya, tentang posisi memegang busur—"
"Tunggu, apa-apaan reaksimu yang datar itu? Kau ini pasti terbuat dari polimer asam amino, kan!"
"Aku juga manusia, jadi tentu saja aku terdiri dari protein. …Hei, Marusu, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa? Kalau tentang aku, aku tinggi 181 cm, berat 76 kg, berzodiak Pisces, golongan darah B, 16 tahun. Penghasilan orang tuaku tiga puluh juta yen."
"Aku bukan tanya profil untuk aplikasi kencan."
"Kai, kau tahu kan, di bawah 18 tahun dilarang menggunakannya?"
"Aku tak peduli, dan aku juga tak pakai itu! …Kenapa kau sangat menyukai Kurono?"
Kai bertanya dengan suara pelan, dan Marusu menjawab tanpa sedikit pun rasa malu.
"Aku hanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Setiap kali berpapasan dengannya di lorong atau melihatnya dari kejauhan, aku selalu berpikir, 'Dia cantik sekali.' Lama-kelamaan, aku mulai berpikir ingin berkencan dengannya."
Lalu dia menambahkan dengan nada yang seolah itu hal yang wajar.
"Aku ini sangat populer, tahu. Wajahku tampan, tubuhku tinggi, pintar dalam akademik dan olahraga, dan orang tuaku kaya. Jadi, sampai sekarang, aku selalu berhasil berkencan dengan semua gadis yang aku incar."
Terlepas dari isi ucapannya, yang mengejutkan, suaranya tidak terdengar sombong.
"Karena itu, awalnya aku pikir bisa mendapatkan Kurono-san dengan cara yang sama….. tapi aku ditolak dengan sangat cepat. Aku tidak bisa menerimanya, jadi aku mencoba lagi."
Marusu tersenyum masam.
"Aku merasa frustrasi dan sakit hati. Kepercayaan diri yang selalu menyokongku selama ini hancur berkeping-keping."
Suaranya terdengar berat dan suram. Namun, di detik berikutnya, ia tersenyum lagi.
"Tapi kalau dipikir-pikir, aku… di momen itu, rasanya luar biasa."
"Hah?"
Kai mengira dia salah dengar.
"Itu pertama kalinya aku ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis, dan pertama kalinya aku dipandang dengan tatapan sedingin itu… Gawat, aku jadi merinding. Ini pasti takdir!"
Namun, itu bukan salah dengar.
"Jadi aku benar-benar ingin berkencan dengan Kurono-san. Atau setidaknya, kalaupun tidak bisa, aku ingin terus dipandang dengan tatapan dingin itu. Kau juga pasti berpikir begitu, kan, Kai?"
"Tidak, sama sekali tidak!"
Kai menyadari satu hal. Orang ini… aneh.
…Namun.
(Wajahnya, kehebatannya dalam olahraga, kecerdasannya, bahkan keluarganya… dia jauh di atas levelku.)
Yang paling menyilaukan bagi Kai adalah bagaimana Marusu bisa mengungkapkan perasaannya pada Kurono dengan begitu percaya diri.
Mungkin karena itu, Kai merasakan sesuatu yang tidak nyaman mengganjal di hatinya.
3 — Perspektif: Kai Rou —
Hari itu, banyak hal terjadi setelah jam sekolah.
Saat Kai hendak pulang setelah latihan klub, teman sekelasnya, anggota klub panahan perempuan bernama Amafuro Tete, tiba-tiba memintanya untuk mengajarinya memanah, sehingga ia harus tinggal lebih lama.
Entah kenapa, Kurono juga memutuskan untuk tetap tinggal bersamanya. Setelah berlatih bersama, Amafuro mentraktir mereka makan malam di restoran keluarga sebagai ucapan terima kasih, dan selama makan malam itu… yah, berbagai hal terjadi.
Saat akhirnya pulang, Kai menutup pintu dengan satu tangan di belakang, dan suara yang seperti sudah menunggu menyambutnya.
"Selamat datang, onii-sama. …Kau pulang terlambat, ya."
"Aku sudah mengabarinya, kan? Aku mampir ke restoran keluarga dengan teman-teman klub."
Dia adalah adik perempuan yang tinggal bersamanya, secara teknis, lebih tepat disebut sebagai setan licik.
Seperti biasa, dia hanya mengenakan camisole tipis dan hot pants sebagai pakaian di rumah, dengan rambut acak-acakan yang masih menyisakan bekas tidur.
Benar-benar adik yang masa depannya tidak menjanjikan. Syukurlah dia bukan adik kandungnya.
Saat Kai melepas sepatu dan hendak masuk ke dalam, tiba-tiba gadis itu berdiri di depannya, menghalangi jalan dengan tubuh mungilnya.
"Heh? Ada apa?"
Saat Kai ragu untuk mendorongnya ke samping, gadis itu sedikit tersenyum.
"Jadi, onii-sama, bagaimana? Kau tadi makan bersama Kurono Shia, kan? Apa kalian saling berbagi suapan seperti 'Ayo, buka mulut, aah~'?"
"Hentikan omong kosongmu. Aku tidak melakukan itu."
"Benarkah?"
"Tentu saja tidak."
"Yah, aku sudah tahu sih, soalnya aku melihat semuanya lewat kamera yang onii-sama pasang."
"Uh…"
Senyuman licik dengan tatapan mengarah ke atas membuat wajah Kai seperti baru saja menelan sesuatu yang pahit.
Sudah sekitar setahun sejak mereka menjadi keluarga dalam hitungan detik setelah bertemu, dan Kai mulai terbiasa dengan interaksi seperti ini.
Kalau mengabaikan soal organisasi jahat dan semacamnya, Sotomichi benar-benar seperti adik perempuan yang menyebalkan.
"Ngomong-ngomong, kau sudah makan?"
"Sudah. Aku makan mi instan, dan juga menghabiskan es krim di kulkas, termasuk jatah milik onii-sama."
"Hei, dasar kau..."
Sebagai catatan, seluruh biaya hidup Kai dan Sotomichi ditransfer ke rekening mereka oleh organisasi yang entah bagaimana itu.
"Aku mau mandi dulu ya."
Setelah mengatakan itu, Kai masuk ke ruang ganti dan dengan cepat melepaskan seragamnya.
Setelah mandi air panas dan berendam di bak mandi, dia mulai mengingat kembali kejadian tadi saat perjalanan pulang.
Dia bertukar kontak LINE dengan Kurono.
Kenapa sekarang? Apakah dia masih memikirkan soal Marusu?
Saat menutup mata, ingatannya melayang ke peristiwa saat istirahat siang dan kegiatan klub hari ini.
Apa mungkin... dia tidak ingin menyerahkan Kurono kepada orang itu?
Kesadaran akan rasa cemburu itu begitu memalukan hingga Kai membenamkan wajahnya ke dalam air.
"──Aku ingin bicara."
"Apa?"
Setelah selesai mandi dan mengambil susu dari kulkas, Sotomichi memanggilnya.
Dia menuangkan susu ke dalam gelas hingga penuh dan meneguknya dengan lahap.
Mungkin karena mandi cukup lama, tenggorokannya terasa sangat segar setelah minum.
"Onii-sama, bagaimana kalau malam ini menyerang dia saat sedang tidur?"
"Pffft!?!"
Kai tersedak dan menyemburkan susu yang diminumnya.
"Ugh, jorok sekali."
"Tunggu, kau barusan bilang... me-menyerang saat tidur... Kurono!?"
"Itu hanya kiasan. Haha, onii-sama terlalu panik, mesum sekali."
Sotomichi tersenyum penuh arti.
Kai menahan diri agar tidak menampar wajah menyebalkan itu dan mendengarkan lanjutannya.
"Organisasi meminta data tentang kondisi tidur dia. Jadi, onii-sama harus menyelinap ke kamarnya dan merekam suara napasnya menggunakan mikrofon kecil ini."
"...Kau bercanda, kan?"
"Aku serius. Ini kunci cadangannya."
Dan begitu saja, pukul satu pagi hari.
Dengan tangan gemetar karena tegang, Kai perlahan membuka pintu kamar apartemen sebelah.
Dia melangkah masuk ke lorong yang gelap dengan hati-hati.
Detak jantungnya terdengar lebih keras dari biasanya, dan keringat dingin menetes dari kepalanya.
Menurut Sotomichi, selama setahun terakhir mereka telah menganalisis suara kehidupan dari kamar sebelah melalui dinding.
Berdasarkan itu, kemungkinan besar Kurono sudah tertidur lelap saat ini.
Jadi, seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi...
(...Bagaimanapun juga, ini tetap kejahatan, kan!?)
Tapi dia tidak bisa melawan.
Sotomichi tidak hanya mengetahui kelemahannya, tetapi juga bisa mengutak-atik pikirannya.
Kalau ketahuan, dia pasti habis.
Menyelinap ke kamar seorang wanita saja pasti sudah salah, apalagi targetnya adalah seseorang yang bisa dibilang seperti polisi super.
Ditambah lagi, dia bahkan bisa menghentikan waktu.
Yang lebih menakutkan, bagaimana reaksi Kurono jika melihatnya melakukan ini?
Akankah mata dinginnya dipenuhi amarah, jijik, atau malah kekecewaan?
Hanya membayangkannya saja membuat perut Kai terasa seperti diremas.
Namun, meskipun dalam keadaan seperti itu, kakinya tetap melangkah ke depan.
Entah ada masa depan atau tidak di ujung langkahnya, Kai berjalan dengan hati-hati melewati lorong.
Untuk pertama kalinya, dia melihat kamar Kurono.
Seperti yang diduga, kamar itu sangat sederhana.
Tidak ada sedikit pun nuansa feminin.
Di ruang tamu yang sempit, hanya ada satu meja, satu kotak kardus berisi CalorieMate, dan satu kotak plastik untuk pakaian di sudut ruangan.
Kurono tidur di atas kasur tipis yang langsung diletakkan di lantai, berselimut tipis, dan bernafas dengan tenang.
Cahaya bulan yang masuk melalui celah tirai samar-samar menerangi wajahnya.
Dengan mata tertutup, wajah Kurono terlihat begitu indah, seperti boneka yang dibuat dengan sangat teliti.
Kai dengan hati-hati mendekatkan mikrofon kecil yang diberikan padanya—
Dan saat itu juga.
Jari yang memegang mikrofon seolah kehilangan fungsi.
Waktu berhenti.
Selimut melayang.
Dari kegelapan, sepasang mata merah berkilat.
Tubuh gadis itu melesat bangun.
Dan dalam sekejap, sebuah hantaman keras seperti dipukul pipa besi mengenai lengan Kai.
"!!!?"
Bagaimana dia bisa menyadarinya?
Kurono yang tadi tertidur lelap kini bergerak dengan refleks luar biasa, menendang tangan Kai yang terulur dengan gerakan tajam—
Dan telapak tangannya menghantam perut Kai dengan kekuatan penuh.
Begitu waktu kembali berjalan, rasa sakit yang menembus otot perutnya langsung merusak organ dalamnya.
Kai jatuh berlutut.
Dengan menahan rasa sakit, dia menatap ke atas.
Kurono tetap memejamkan mata.
"...Munya... aku... yang terkuat... tak terkalahkan... bisa bertarung bahkan dalam tidur... munya... szzzz..."
Dan kemudian, dia kembali tidur.
Dia benar-benar menyerang Kai dalam keadaan tidak sadar.
Namun yang paling mengejutkan bagi Kai bukanlah serangannya, melainkan pakaiannya.
"Ke-Kenapa kamu... tidur hanya pakai pakaian dalam...!?"
Kurono hanya mengenakan bra dan celana dalam hitam.
Dada yang besar, perut dengan otot yang samar terlihat, pinggang ramping, serta paha putihnya yang halus tampak berkilauan di bawah sinar bulan.
Kai langsung memerah malu dan memalingkan wajahnya.
Tapi tentu saja, ini bukan waktunya untuk hal semacam itu.
Dia harus segera kabur, tapi sebelum sempat bergerak...
Kelopak mata Kurono perlahan terbuka.
"...Kai-kun?"
"........"
Selesai. Kata itu berulang kali bergema di dalam kepalanya, membuat darah di seluruh tubuh Kai membeku.
Namun.
"…Kenapa Kai-kun ada di… kamarku… munya…?"
Kurono mengusap matanya dengan lamban, terlihat masih setengah sadar, lalu menyimpulkan.
"Aku mengerti… ini pasti mimpi."
Keajaiban. Itu yang dipikirkan Kai.
Karena itu, sebelum ajal menjemputnya, ia harus segera melarikan diri. Saat mencoba menguatkan kakinya yang gemetar…
"Uwoah!?"
Sebuah kekuatan mengerikan mencengkeram kerah bajunya, mengangkatnya seperti boneka.
Wajah Kurono mendekat dari jarak yang sangat dekat. Bulu mata panjang, pipi tanpa noda, dan bibir berwarna pink sakura yang mengkilap.
"Kalau ini mimpi, aku boleh melakukan apa saja, kan…?"
"Apa!? A-apa maksudmu──"
"Jangan… melawan… Kai-kun tak mungkin menang melawanku, bukan?"
Tanpa memberi kesempatan, Kai didorong kuat ke atas kasur.
Kurono kemudian menindihnya, tubuhnya menempel erat.
Aroma samar yang manis bercampur dengan wangi sampo, kulit yang lembut, dan tubuh yang empuk menekan Kai dari segala arah.
Jantung pemuda itu berdebar begitu kencang seakan hendak meledak.
"Ehehe… Hari ini, aku akan tidur bersama Kai-kun… Zzz…"
Seperti bantal peluk, Kurono merangkulnya erat.
Meskipun tubuhnya terasa lembut, kekuatannya luar biasa. Situasinya bisa dibilang setara dengan tertindih beruang grizzly yang sedang berhibernasi.
(Jangan bercanda…)
Kalau tidak melakukan sesuatu, dia akan menghabiskan malam seperti ini. Jika itu terjadi, segalanya benar-benar akan berakhir.
Namun, jika ia ceroboh dalam berusaha melarikan diri, itu justru bisa membangunkan Kurono.
Jadi, Kai memilih untuk menahan diri dan menunggu.
Kalau kekuatan genggamannya melemah, mungkin dia bisa kabur tanpa ketahuan.
Jadi, entah satu atau dua jam, dia hanya perlu bertahan dan menunggu kesempatan.
"Fumyu…"
(Tidak, ini mustahil!?)
Setiap kali Kurono yang terpejam bergerak sedikit saja, kulit halus, dada lembut, dan pahanya yang kenyal menekan tubuh Kai dengan cara yang sangat menggoda.
Tolong, hentikan.
"Kai-kun… suka… sangat suka…"
Dalam tidurnya, Kurono bergumam sambil menghembuskan nafas ke wajahnya.
Saat itu, di antara perasaan tegang dan gugup, sebuah pertanyaan kecil muncul dalam hati Kai.
Kenapa Kurono begitu menyukaiku?
Marusu diperlakukan dengan dingin. Lalu kenapa dia, yang jelas-jelas jauh lebih tidak menarik sebagai pria, malah disukai?
Dan yang lebih penting, kenapa dia sendiri merasa begitu terusik oleh hal itu?
Tiba-tiba, Kai menyadari sesuatu.
(Ah… Jadi begitu. Aku…)
Dia takut jika Kurono mulai bersikap dingin padanya.
Takut kalau dia dibenci.
Disukai oleh gadis secantik ini, tentu saja itu adalah hal yang menyenangkan. Tapi…
Perasaan yang tidak beralasan seperti itu, suatu saat bisa berubah tanpa alasan pula. Dan itu membuatnya takut.
Kalau Kurono kembali memperlakukannya dengan dingin seperti saat pertama bertemu, dia pasti akan merasa sangat terluka.
Itu berarti…
(Aku… pada dasarnya…)
Tak bisa dipungkiri, dia sudah mulai sadar. Tapi dia tak ingin berpikir lebih jauh dari itu.
Dengan tubuh Kurono yang menempel erat dan suara nafasnya yang terdengar lembut, entah sudah berapa lama waktu berlalu.
Dalam kegelapan dan udara yang tipis, dalam kehangatan yang nyaman dari seorang gadis, kesadaran Kai perlahan mulai memudar──
Lalu, saat akhirnya ia tertidur, dia melihat mimpi yang aneh.
Realitas yang samar.
Dunia yang langsung terasa seperti mimpi.
Seorang pria tinggi berkata kepada seseorang yang bukan Kai, melainkan Kurono.
"Shia, kau bukan manusia."
Apa maksudnya?
"Kau diciptakan untuk melindungi kedamaian dunia ini, sebagai senjata terkuat dan tak terkalahkan."
Apa yang sedang dibicarakannya?
"Jangan lengah. Jangan pernah mempercayai siapa pun. Kebahagiaan seperti manusia biasa tidak diizinkan untukmu."
Gadis itu hanya menurut pada kata-kata itu.
Lalu, dia menghentikan waktu, meninju, menendang, dan mengalahkan semua musuhnya.
Itulah satu-satunya hidup yang dia jalani.
Namun, suatu hari. Di sekolah yang ia masuki karena suatu kebetulan, dia bertemu dengan seorang pemuda.
Dan dia mengajarinya…
Perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Itulah sebabnya… dia sangat menyukainya.
"Kau terlambat, onii-sama."
"…Diamlah."
Pagi hari, Kai kembali ke kamarnya dengan langkah lemah, lingkaran hitam menghiasi matanya.
Menjelang fajar, saat genggaman Kurono melemah, dia akhirnya berhasil kabur.
Dia sempat tertidur di tengah malam, tapi untungnya bisa segera terbangun karena mimpi aneh itu.
Seorang adik sialan berambut acak-acakan yang baru bangun, menatapnya dengan tatapan penuh prasangka.
"Jangan-jangan… kau benar-benar menyerangnya?"
"Aku tidak menyerang siapa pun."
Setelah mengatakan itu, Kai langsung jatuh ke tempat tidur seolah kehabisan tenaga.
Dia memang mengantuk, tapi kesadarannya yang setengah terjaga tidak mau kembali tidur.
Sebagai gantinya, kata-kata yang masih belum bisa ia urai keluar begitu saja dari mulutnya.
"Aku mimpi aneh. Rasanya seperti… ingatan Kurono. Mungkin cuma khayalanku, tapi terasa begitu nyata."
"Onii-sama, ceritakan lebih detail."
Dalam keadaan hampir setengah tertidur, Kai menjawab seadanya.
"Hmm, menarik."
Si adik sialan itu mulai memberikan teorinya.
"Mungkin yang kau lihat adalah ingatan asli dari Kurono Shia."
"…Apa maksudmu?"
"Dengan operasi yang mengubah bagian lobus frontal otakmu, kemampuanmu dalam memahami orang lain meningkat. Otakmu bisa tersinkronisasi dengan kondisi mental orang lain, sehingga dapat menyesuaikan dengan kekuatan mereka."
"Jadi, itu efek samping ya?"
"Mungkin. Ditambah lagi, karena kau berada dalam jarak sangat dekat dan dia sedang tidur, kemungkinan besar kesadaran kalian saling bercampur tanpa disengaja. Ini adalah penemuan baru. Entah ini prestasi atau bukan, tapi aku akan melaporkannya ke oganisasi."
"…Terserah kau aja deh."
Bagi Kai, penjelasan semacam itu tidak penting.
Yang jelas, dia mengantuk. Akhirnya, otaknya yang kelelahan mulai menyerah pada rasa kantuk.
"…Hari ini aku bolos sekolah saja. Ngantuk deh."
"Tidak boleh, onii-sama."
Ketika Kai hendak kembali tidur…
"Kau sudah dengar, kan? Kita harus sebisa mungkin berinteraksi dengan target. Jadi, kau tidak boleh bolos."
4 — Perspektif: Kai Rou —
SMA Asagi. Sekolah tempat Kai dan Kurono bersekolah tidak memiliki ciri khas yang menonjol. Jika harus menyebut satu hal, sekolah ini memiliki lahan luas untuk ukuran Tokyo dan masih mempertahankan bangunan lama dari sebelum perang.
"Selamat pagi, Kai-kun."
"…Pagi, Kurono-san."
Di kelas pada pagi hari, Kai mengusap kelopak matanya yang berat dan membalas sapaan tetangganya yang bermasalah.
Sepertinya, Kurono benar-benar mengira kejadian tadi malam hanya mimpi, karena dia tidak mengingat apa pun.
(…Syukurlah.)
Hari ini, Kai tidak pergi ke sekolah bersama Kurono. Dia hampir terlambat karena baru keluar rumah di saat-saat terakhir.
"Kai-kun, hari ini kamu datang terlambat. Tidur kesiangan… ah, lingkaran hitam di bawah matamu parah sekali. Kurang tidur, ya?"
"Iya. Aku begadang sedikit tadi malam…"
Dia tentu tidak mungkin bilang, "Aku menyelinap ke kamarmu, lalu kau menarikku ke tempat tidur."
Sekilas, bayangan pakaian dalam Kurono yang terpaku jelas di ingatannya melintas di benaknya.
Kai mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak melihat wajah Kurono, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.
──Dan kemudian, tiba saatnya jam istirahat siang di kelas.
"Shia-chan, Rou-kun! Bagaimana kalau kita mengelola kafe bersama?"
Gadis berambut kembar dua berwarna pink dengan hiasan mangga di kepalanya, Amafuro, mengajukan tawaran itu.
Saat istirahat siang, entah bagaimana Kai dan Kurono akhirnya duduk bersama Amafuro, yang berasal dari kelas yang beberapa tingkat berjauhan dari mereka.
"Kafe? Maksudmu, yang dikelola klub panahan?"
Ketika Kai memastikan, Amafuro mengangguk dengan penuh semangat.
"Benar! Tahun ini, bagaimana kalau kita bertiga yang jadi penanggung jawabnya?"
Di SMA Asagi, klub panahan selalu mengadakan kafe setiap festival budaya yang diadakan pada bulan Juli.
Biasanya, pengelolaan kafe ditangani oleh murid kelas dua yang dipilih langsung oleh ketua dan wakil ketua klub.
Namun, karena tugas ini cukup merepotkan, mereka yang ingin mengambil alih tugas tersebut biasanya diperbolehkan melakukannya.
"Ah! Rou-kun, kamu pasti sedang berpikir kalau ini merepotkan, kan?"
Amafuro membaca pikirannya, membuat Kai tersenyum masam.
"Iya, mungkin. Kalau melihat para senior tahun lalu, sih…"
"Memang kelihatannya sulit sih! Tapi kita bisa menentukan menu sendiri, mendesain seragam pelayan, dan banyak hal seru lainnya! Kalau kita melakukannya bersama, pasti terasa seperti masa muda yang menyenangkan! Makanya, ayo kita lakukan bersama!"
"Meski kamu bilang begitu…"
Kai melirik sekilas ke arah Kurono. Seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, sehingga sulit ditebak apa yang dipikirkannya.
Namun, dia dengan tenang berkata,
"…Kalau kalian berdua setuju, aku tidak keberatan."
Itu di luar dugaan. Kai mengira Kurono akan menolak mentah-mentah ajakan seperti ini.
Begitu mendengar jawaban itu, Amafuro menatap Kai dengan senyuman penuh tekanan.
"Rou-kun?"
"Ah… Umm, aku harus bagaimana ya…"
Kai menggaruk pipinya, mencoba mengulur waktu untuk berpikir.
Sejujurnya, ini terasa cukymerepotkan. Tahun lalu, para senior yang mengurus kafe tampak sangat sibuk, dan membayangkan dirinya berada di posisi itu membuatnya enggan.
Namun, jika Amafuro yang lebih aktif dalam mengelola kafe, mungkin dia bisa sekadar membantu. Lagipula, menolak terlalu keras juga terasa tidak nyaman.
Kai bukan tipe yang antusias dalam kegiatan sekolah. Tapi dia juga bukan tipe yang selalu menghindar atau membolos.
Selama ada seseorang yang mengambil inisiatif, dia akan mengikuti arus. Bisa dibilang, dia memiliki mentalitas khas kebanyakan orang.
Saat itulah, pintu kelas terbuka dengan suara berderit.
Yang masuk adalah seorang gadis berambut merah panjang, berkacamata, tinggi. Itu adalah Marusu Aren.
"Kurono-san, dan juga Kai. Halo. Sekarang kita sudah satu klub, jadi bagaimana kalau kita makan siang bersama, tunggu, kamu?"
"Marusu… Kenapa kamu ada di sini?"
Sambil membawa kursi di satu tangan dan roti dari koper di tangan lainnya, Marusu melangkah mendekat. Namun, begitu bertemu tatap dengan Amafuro, keduanya langsung saling melotot dan memalingkan wajah.
(Mereka saling kenal? Kelihatannya, hubungan mereka kurang baik…)
Kai sempat berpikir begitu, tapi tidak terlalu peduli, jadi dia tidak bertanya lebih lanjut.
Sementara itu, Marusu menurunkan kursi yang dibawanya dan membuka bungkus rotinya.
"Aku datang untuk bicara dengan Kai d
an Kurono-san."
"Bicara?"
Ketika Kai bertanya, Marusu menyeringai, memperlihatkan giginya yang putih.
"Kemarin, setelah masuk klub, aku mendengar banyak hal dari para senior. Klub kita selalu mengadakan kafe saat festival budaya, kan?"
Tanpa perlu mendengar kelanjutannya, Kai sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya.
Namun, dia tetap menunggu Marusu melanjutkan.
Dan seperti yang sudah diduga semua orang di sana, Marusu mengucapkan kalimat itu.
"Ayo kelola kafe bersama!"
Post a Comment