NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jikan wo Tomete Dere Makuru, Saikyou Muteki no Kurono-san V1 Chapter 3

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 3

Dia Adalah Siswa SMA Biasa, dan Itu Adalah Kebohongan


1 — Perspektif: Kai Rou —


Kai Rou adalah seorang siswa SMA biasa.


Usianya 17 tahun, tinggal di sebuah apartemen yang berjarak sekitar 15 menit jalan kaki dari sekolah.


Nilai dan kemampuan atletiknya rata-rata. Tinggi dan berat badannya pun standar.


Satu-satunya hal yang mencolok adalah rambutnya yang berwarna putih kusam. Namun, itu bukan karena gaya atau fashion, memang warna aslinya sejak lahir.


"Sudah masuk musim panas, ya."


"Benar."


Sebuah jawaban yang jernih terdengar dari sampingnya.


Yang berjalan di sebelahnya adalah seorang gadis yang keberadaannya melampaui batas siswa SMA biasa, seakan melesat menembus langit dengan roket.


Namanya Kurono Shia.


Gadis dengan nilai akademik sempurna, kemampuan atletik di luar nalar, dan wajah luar biasa cantik.


Rambut hitam panjangnya tampak berkilau saat diterpa cahaya matahari pagi. Kulit putihnya sehalus salju. Mata hitam kemerahannya seperti batu permata yang tertanam pada wajahnya yang tanpa ekspresi, bagaikan boneka yang dibuat dengan sempurna.


Seragam lengan pendeknya membentuk lekuk tubuhnya yang anggun. Rok kotak-kotaknya yang agak pendek menampilkan kakinya yang indah.


Punggungnya tegap saat berjalan. Suasana yang ia pancarkan tajam seperti pedang yang telah diasah, namun tetap tenang seolah tidak terpengaruh oleh teriknya sinar matahari awal musim panas.


Kesimpulannya, dia adalah gadis yang tak tertandingi dalam hal kecantikan dan ketenangan.


Pemandangan berangkat sekolah bersama gadis seperti itu sudah menjadi rutinitas selama hampir setahun.


"Hmm. Kai-kun, apa kamu sudah sarapan?"


Kurono yang mengatakan bahwa ia lupa sarapan malah memandang Kai dengan tatapan sedikit menyalahkan.


"Ah, iya. Aku makan nasi, sup miso, irisan salmon, dan asparagus."


"Sehat sekali. Itu bagus."


"Terima kasih. Tapi dipuji hanya karena makan pagi rasanya agak aneh, ya."


Kai menggaruk pipinya. Dipuji untuk hal sepele seperti ini terasa memalukan.


Atau mungkin, ini karena yang memuji adalah Kurono.


Walaupun sudah terbiasa melihatnya, Kurono adalah tipe gadis yang akan membuat 11 dari 10 orang menoleh jika mereka melewatinya di jalan.


Sebagai remaja laki-laki seusianya, tidak mungkin dia tidak menyadari keberadaannya.


(Tapi tetap saja...)


Bagi Kai, Kurono hanyalah tetangga, teman sekelas, dan rekan satu klub.


Bukan seseorang yang ia lihat sebagai calon pasangan. Setidaknya, begitulah yang ingin ia yakinkan pada dirinya sendiri.


Ada alasan mendalam di balik itu.


Namun saat itu.


"──!!"


Tiba-tiba, Kurono kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.


Secara refleks, Kai mengulurkan tangannya.


Dalam waktu sepersekian detik, ia berhasil menahan tubuhnya sebelum terbentur aspal.


Gerakannya sangat cepat, seolah-olah ia sudah tahu sebelumnya bahwa Kurono akan jatuh.


"Eh...?"


Kurono menatapnya dengan bingung, terdiam sesaat.


Satu detik. Dua detik...


Hangat tubuh gadis itu terasa melalui lengannya.


Wajah mereka terlalu dekat. Kai yang tidak tahan dengan tatapan mata Kurono akhirnya membuang muka.


"Kurono-san, kamu nggak apa-apa? Aku kaget, tiba-tiba kamu jatuh begitu saja."


"A-ah... Aku baik-baik saja."


Jawaban Kurono terdengar lemah.


Kai menahan diri untuk tidak mengeluh tentang satu hal yang jauh lebih mengejutkan.


Yaitu, fakta bahwa Kurono tiba-tiba meraih tangannya dan mengelusnya selama hampir satu jam.


Sampai di sini, kai pasti sudah paham.


Kai Rou.


Dia—


Lagi-lagi, waktu berhenti.


Dia menyadari dunia yang dibekukan oleh kemampuan Kurono Shia.


(Lagi? Serius?)


Ia mengenali fenomena ini dengan sempurna.


Dengan kata lain—di tengah jalan yang sepi karena waktu terhenti, Kurono berteriak.


Kalimat yang pasti ia tidak ingin ada orang lain mendengar.


"Aaaahhh! Kai-kun, aku suka padamuuuu!!"


Kai mendengar semuanya.


Dan setelah mendengar itu—


(A-apa yang kau lakukan pagi-pagi begini, dasar idiottt!!)


Ia sadar bahwa jantungnya berdebar secepat milik Kurono.


2 — Perspektif: Kai Rou —


Semua ini dimulai sekitar satu setengah tahun yang lalu.


Saat itu, Kai Rou masih berusia 15 tahun.


Musim dingin di tahun ketiga SMP.


"Aku pulang."


Suatu hari libur, setelah menghabiskan waktu di dojo panahan sebagai selingan dari belajar untuk ujian masuk SMA, Kai kembali ke rumah.


Namun, tidak ada siapa pun di sana.


Keluarga Kai terdiri dari ayah, ibu, dan seekor kucing peliharaan.


Orang tuanya mungkin sedang keluar, tapi anehnya, kucingnya, Nuruhachi, yang biasanya berlari menyambutnya di pintu, juga tidak terlihat.


Merasa ada yang tidak beres, Kai masuk ke ruang tamu.


Di atas meja, ia menemukan selembar surat.


Dengan firasat buruk, ia membukanya dan membaca isinya.


Kepada Rou. Sebenarnya, keluarga kita punya utang dua miliar yen, jadi Ayah dan Ibu akan kabur ke luar negeri.


Kamu sudah cukup besar, jadi mulai sekarang, hiduplah sendiri.


Oh, dan sebentar lagi, rentenir akan datang menagih utang. Uruslah sendiri.


P.S. Karena kasihan, kami membawa Nuruhachi pergi.


Kai melempar surat itu dan buru-buru mengeluarkan ponselnya.


Namun, semua pesan yang dikirim ke orang tuanya tidak terkirim.


Panggilan telepon juga tidak tersambung.


Dengan frustasi, ia mengacak-acak rambut hitamnya dan berteriak.


"Sialan!! Dasar orang tua brengsek!!"


Bagaimana bisa mereka berutang sebanyak dua miliar yen, jumlah yang setara dengan gaji seumur hidup pegawai kantoran?


Dan mereka tega meninggalkan anak semata wayang mereka hanya dengan selembar surat?


Dan lebih buruk lagi, mereka membawa pergi Nuruhachi!


Dari semua anggota keluarga, kucing itu jelas lebih menyayangiku!


Namun, orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas semua ini sudah tidak ada di sini.


Kai hanya bisa mengepalkan tangan dan menggerutu pelan.


"…Sebenarnya, aku sudah curiga dari dulu."


Kai bergumam. Tanda-tandanya sudah ada.


Musim panas tahun pertama SMP, ayahnya tiba-tiba berkata bahwa dia akan pensiun dini dengan investasi dan berhenti dari pekerjaannya.


Seminggu setelah itu, Kai melihat ayahnya mengenakan jas lagi dan pergi untuk wawancara kerja part-time.


Musim gugur tahun kedua SMP, ibunya mulai mengatakan bahwa dia bisa menghasilkan satu juta yen per detik dengan bisnis sampingan.


Tiga hari setelah itu, sejumlah besar air mineral yang mengaku sebagai air hidrogen alami dikirim ke rumah.


...Jika dipikir-pikir dengan tenang, mungkin saat itu Kai seharusnya meminta bantuan dari orang dewasa lainnya.


Namun, sekarang sudah terlambat.


Keringat dingin yang lebih dingin dari suhu kamar musim dingin mengalir di punggung Kai.


Meskipun orang tuanya bodoh, masa depannya terasa begitu menakutkan.


Jika dia melanjutkan ujian masuk SMA, apakah dia bisa bersekolah mulai musim semi?


Atau, bagaimana jika penagih utang datang? Apakah listrik, air, dan gas masih bisa digunakan?


Semua masalah itu berputar-putar di pikirannya, masalah yang tak bisa ditangani oleh seorang remaja.


Yang dia inginkan hanyalah ada seseorang yang bisa membantu.


Kai menatap ponselnya yang menempel karena keringat tangan. Haruskah dia menghubungi kerabat orang tuanya, atau malah polisi dulu? Jari-jarinya yang gemetar terus bergerak di antara aplikasi pesan, daftar kontak, dan panggilan darurat. Saat itu, bel rumah berbunyi dengan keras.


Deringan itu membuat Kai, yang sudah mencapai puncak kebingungannya, akhirnya berhenti berpikir.


Secara refleks, dia pergi ke pintu depan seperti biasa.


Di depan pintu, ada dua pria berpakaian hitam yang tidak dikenal.


"Orang tua kamu di mana?"


"...Tidak ada."


Ah, buruk. Ini jelas orang-orang dari kelompok yang satu itu.


Kai baru kali ini merasakan betapa dia tidak ingin berdiri di depan orang seperti ini, bahkan lebih buruk dari guru yang menghadapi siswa yang lupa mengerjakan tugas.


"Kamu tahu kan tentang utang orang tuamu?"


"...Ya."


"Kalau begitu, maaf, kamu harus membayarnya dengan tubuhmu."


Tanpa sempat melawan, Kai dibawa masuk ke dalam mobil.


Kai yang ditutup matanya, dibawa ke suatu tempat yang seperti rumah sakit.


Dia tidak tahu pasti. Tempat itu hanya terbayang sebagai rumah sakit karena dia baru saja disuntik di sana.


Tentunya tidak ada penjelasan tentang apa yang disuntikkan.


Kai bahkan sempat berpikir, ini pasti melanggar undang-undang medis, tapi dia kehilangan kesadaran seketika.


Lalu dia terbangun di atas tempat tidur.


Yang pertama dia rasakan adalah sakit kepala. Ketika dia menyentuh kepalanya, tampaknya ada perban yang melilit.


"Sukses... Apakah uji coba di lapangan berhasil?"


Dari suatu tempat terdengar suara, tetapi karena sakit kepala yang sangat menyakitkan, Kai tak bisa memikirkan apa-apa.


Entah sudah berapa lama, setelah beberapa kali terbangun dan tidur lagi, pria berbaju hitam itu berdiri di hadapan Kai.


Kemudian, dia dipaksa keluar dari tempat tidur dan dibawa ke dalam mobil.


Dan akhirnya... dia diantar pulang ke depan rumah.


Orang yang mengenakan pakaian hitam itu diam-diam menurunkan Kai dari mobil dan pergi tanpa berkata sepatah kata pun.


"...Eh?"


Kai yang ditinggalkan sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.


Namun, ketika melihat pintu rumah yang sudah dikenalnya, dia merasa lega hingga segalanya tampak tak penting.


Kai pulang ke rumah. Setelah merasa tenang, perutnya terasa lapar. Dia bertanya-tanya apakah masih ada mie instan tersisa, lalu masuk ke ruang tamu.


"Selamat datang pulang, onii-chan."


"...Eh?"


Ada seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalnya.


Meski musim dingin, dia hanya mengenakan tanktop hitam dan hotpants. Kulitnya yang terbuka sangat pucat, bahkan tampak sakit, dan entah kenapa dia memakai apron.


Di bawah potongan rambut pendek berwarna pirang yang tampak seperti anak anjing dengan bercak putih, gadis itu tersenyum ceria dan jelas-jelas menatap Kai.


Dalam kebingungannya, Kai tidak bisa berkata apa-apa, dan gadis misterius itu mulai memperkenalkan diri.


"Perkenalkan, namaku Sotomichi Koa. Mulai hari ini, aku akan menjadi bagian dari keluargamu, jadi aku harap kita bisa berhubungan baik, onii-chan."


"...Ah, ya."


Kai merasa takut, ini jelas orang asing. Secara refleks, dia mencoba berbalik dan melarikan diri.


Namun, entah mengapa tubuhnya tak bisa bergerak seketika.


"Tou!!"


Dia dijatuhkan oleh tendangan dropkick dari belakang dan terjatuh ke lantai.


"Ugh."


"Jangan coba melarikan diri, onii-chan."


Ketika Kai mencoba bangun, gadis itu duduk di punggungnya ya

ng tengkurap tanpa rasa sungkan.


Menghujamkan pandangannya ke Kai yang tergeletak, gadis itu—Sotomichi—tersenyum lebar dan berkata dengan suara rendah.


"Sebab aku adalah anggota dari sebuah organisasi jahat. Kamu akan membantu kami dengan eksperimen sebagai jaminan utang orang tuamu."


3 — Perspektif: Kai Rou —


"Jadi, kamu tidak mau makan, onii-chan? Sebagai tanda perkenalan, ini kari cinta buatan adikmu."


Beberapa saat setelah kejadian mengejutkan itu, Kai kini duduk di ruang tamu yang sudah dikenalnya, disodori sepiring kari oleh adik yang baru dikenalnya.


Apa yang sedang terjadi ini? Situasinya terlalu membingungkan untuk dimengerti.


Sejak orang tuanya menghilang, Kai merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak ada kaitannya sama sekali.


Kemudian, gadis yang melepaskan apron-nya, Sotomichi, duduk di hadapannya dan berkata.


"Seperti yang sudah aku katakan. Kami adalah orang-orang dari 'organisasi' jahat yang melakukan berbagai kejahatan untuk tujuan keuntungan. Kami datang ke rumahmu karena informasi pelanggan dari rentenir yang memberi utang kepada orang tuamu telah dijual kepada kami. Jadi, kami ingin kamu, sebagai anak tunggal, untuk membantu dalam eksperimen tertentu."


"Ini tidak masuk akal. Lagipula, organisasi jahat itu bahkan anak SD zaman sekarang juga—"


Tiba-tiba, Sotomichi meletakkan pistol di atas meja dengan keras.


(Ini palsu, senjata mainan)


Pikir Kai, namun tepat setelah itu.


Seolah bisa membaca pikirannya, Sotomichi memutar pistol itu di jarinya, lalu menarik pelatuknya mengarah ke langit-langit.


Suara ledakan yang menyakitkan telinga.


Kai yang kaget hingga hampir terjatuh dari kursinya, menatap dengan takut ke atas, melihat sebuah lubang kecil di langit-langit yang terlihat hangus.


"Bagaimana? Apakah ini cukup meyakinkan? Baiklah, mari lanjutkan."


Sotomichi meletakkan pistolnya di atas meja dan melanjutkan berbicara.


Kai kini sudah tidak bisa lagi menyela.


"Perkenalkan, namaki Sotomichi Koa. Aku adalah agen remaja yang dikirim oleh 'organisasi' untuk mengawasi dan mengontrolmu, dan mulai hari ini, aku adalah adik perempuanmu dalam setting ini."


"...Nama itu ditulis dengan kanji apa?"


"Sotomichi Koa."


"Tidak ada orang dengan nama seperti itu, kan!?"


Kai tak bisa menahan diri dan berbicara spontan. Siapa yang memberi nama itu, pikirnya.


Sotomichi, tanpa terpengaruh sedikit pun, tersenyum dan melanjutkan.


"Onii-chan, kamu sudah menjalani operasi, kan?"


"...Operasi?"


Kai mengulang pertanyaannya, menyadari itu adalah pertanyaan bodoh. Rumah sakit?. Perban yang melilit kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya, kini dijelaskan lagi oleh Sotomichi.


"Operasi yang kamu jalani adalah 'operasi anti-waktu berhenti'."


"Waktu... berhenti... apa?"


"Operasi anti-waktu berhenti. Ini adalah teknologi yang dikembangkan oleh 'organisasi' untuk melawan seorang individu dengan kemampuan khusus."


"Individu dengan kemampuan khusus...?"


Seketika, ujung pistol mengarah ke Kai di atas meja.


"Maaf. Silakan lanjutkan ceritanya."


"Baiklah. Mari kita mulai dengan gadis bernama Kurono Shia."


Penjelasan yang diberikan selanjutnya benar-benar tidak masuk akal.


Ternyata, ada kepolisian rahasia yang menangani kejahatan serius yang dikerjakan oleh pemerintah di seluruh dunia, sebuah organisasi kepolisian internasional.


Gadis bernama Kurono Shia ini adalah seorang pengguna kekuatan khusus yang bisa menghentikan waktu, dan seperti yang bisa dibayangkan, dia sangat kuat.


Karena kekuatan Shia ini, organisasi-organisasi kriminal di seluruh dunia mengalami kerugian besar, dan organisasi jahat yang Sotomichi ikuti tidak terkecuali.


Untuk itu, 'organisasi' menciptakan operasi anti-waktu berhenti untuk mengalahkannya.


"Operasi ini memungkinkan orang yang menjalani prosedur untuk bertindak meski di dalam waktu yang telah berhenti. Namun, karena ini masih dalam tahap percobaan, kami ingin kamu menjalani uji coba langsung."


"Uji coba langsung? Apa yang harus aku lakukan?"


"Seperti uji klinis. Tahu kan? Tidak tahu? Intinya, kamu akan minum obat dan kami ingin melihat bagaimana tubuhmu bereaksi setelahnya. Kamu yang sudah menjalani operasi, kami ingin mendapatkan data tentang bagaimana ini mempengaruhi kesehatanmu dan yang terpenting, apakah ini efektif."


Kai berusaha untuk memahami informasi ini dan mulai bertanya lebih spesifik.


"Jadi... apa yang akan aku lakukan, dan di mana?"


"Kurono Shia. Kamu akan masuk ke sekolah yang sama dengannya mulai musim semi ini dan sebisa mungkin menghabiskan waktu dekat dengannya di sekolah. Intinya, kamu harus berteman dengannya."


Begitu berkata, Sotomichi meletakkan tablet di atas meja.


Jari-jarinya yang ramping menggulir layar. Dokumen yang tampaknya merupakan panduan masuk sekolah swasta di Tokyo muncul. Sotomichi menghentikan jarinya di sebuah gambar.


Itu adalah foto seorang gadis berambut hitam.


"Ini dia, Kurono Shia."


Di dalam bingkai foto yang hanya memperlihatkan wajah dan bagian dada, ada seorang gadis dengan rambut panjang hitam, tampak seperti boneka yang sangat halus.


Kai tidak bisa menahan diri dan menatap gadis itu di foto.


"Onii-chan, tatapanmu tampaknya... agak nakal."


"Nggak kok! ...Lalu? Apa yang harus aku lakukan, cuma berteman dengan gadis ini saja?"


Kai bertanya hati-hati, dan Sotomichi mengangguk.


"Untuk saat ini, iya."


"Jika kami mengumpulkan data yang berguna, kamu akan dibebaskan setelah lulus. TETAPI... tubuhmu sudah dipasangi alat penyadap, GPS, dan kamera kecil, jadi jika kamu mencoba memberitahukan seseorang sesuatu, aku akan segera mengetahuinya. Maksudku..."


Sotomichi menghentikan kata-katanya dan, dengan gerakan cepat, meraih kerah Kai dan menariknya ke depan.


Tangan gadis itu yang kuat, seperti bukan milik seorang gadis, menarik tubuh Kai ke arahnya.


Muka mereka saling berhadapan di atas meja. Mata hitam pekat milik Sotomichi menatap Kai dengan aura yang begitu menakutkan, seakan-akan dia bukan gadis yang lebih muda darinya.


"Perhatikan baik-baik, karena ini sangat penting—Jika kamu sampai berbicara pada siapa pun, aku akan bunuh kamu."


Suara rendah yang terdengar seperti menunjukkan sifat aslinya mengandung bobot yang tak terlihat, yang meskipun dibandingkan dengan orang dewasa, tidak kalah hebat. Rasanya, ini serius.


Keringat dingin mengalir di punggungku. Tanpa sadar, aku menelan air liurku.


Kemudian, tiba-tiba—perutku mengeluarkan suara dengkuran.


Setelah bangun di tempat tidur dan dibawa ke mobil, aku baru sadar aku belum makan apapun sejak saat itu.


Sotomichi terkejut, matanya terbuka lebar, dan dengan cepat menarik tangannya dari kerahku.


"Ahahaha, meskipun sedang diancam, kamu masih tenang ya. Kare-nya sudah siap, silahkan makan."


"…Terima kasih."


Aku mengambil sendok dan mulai makan nasi kari yang ada di atas meja.


Dengan rasa takut dan malu yang bercampur dalam pikiranku, naluri membawaku untuk membawa sendok ke mulut.


Satu suapan, dua suapan, saat makan kari yang sudah agak dingin, pikiranku mulai bisa tertata.


Keluargaku sudah tidak ada. Lalu, aku mendapat adik perempuan aneh dan diancam.


Apa yang harus aku lakukan?


Aku tahu kalau orang-orang berpakaian hitam itu, tempat yang seperti rumah sakit itu, dan Sotomichi ini adalah orang-orang berbahaya.


Aku juga sadar kalau mengikuti mereka mungkin bukan hal yang tepat.


Tapi, kalau hanya harus berteman dengan gadis bernama Kurono itu, sepertinya tidak ada yang terlalu berbahaya atau kriminal, kan?


Lagipula, jika aku mengikuti ini, aku bisa masuk ke sekolah.


Memang, semua ini karena utang yang dibuat oleh orang tuaku, meski begitu, awalnya itu juga karena aku yang berutang.


Jika aku melawan, aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku.


Meskipun aku mulai sadar bahwa semua pemikiranku ini menjadi alasan untuk meyakinkan diriku sendiri, akhirnya, aku menerima keadaan ini.


"…Ngomong-ngomong."


"Ada apa, onii-chan?"


"Kare-nya rasanya nggak enak banget."


"Uwaaaah! Onii-chan bakaaa!"


4 — Perspektif: Kai Rou —


Dan dua bulan lebih sedikit setelahnya, pada bulan April saat bunga sakura mekar.


Kai mulai masuk ke SMA swasta di pusat kota Tokyo.


Sekolah SMA Swasta Asagi. Salah satu sekolah bergengsi di Tokyo... meskipun sebenarnya peringkatnya hanya sedikit di atas rata-rata, dan melihat nilai Kai, masuk dengan aman agak meragukan.


Namun, entah bagaimana, apakah karena 'organisasi' yang mengatur, dia berhasil masuk melalui pintu belakang.


Sambil berpikir, semoga ini tidak ketahuan nanti dan berdampak buruk di masa depan, Kai menggaruk kepalanya yang tampak bingung.


Dan yang benar-benar membuatnya bingung, adalah warna rambutnya yang kini menjadi putih pudar.


Dua bulan yang lalu, hari ketika perban di kepalanya dilepas untuk pertama kalinya. Teriakan Kai terdengar di kamar mandi pagi.


"Ap-apaan ini!?"


"Ada apa, onii-chan? Kok ribut banget pagi-pagi... ah, itu ya."


Sotomichi, yang baru bangun tidur dengan mata setengah terpejam, berkata demikian.


"Itu efek samping dari operasi anti-penghentian waktu. Meskipun kamu coba mewarnainya, warnanya langsung pudar dan jadi putih lagi, jadi sudah tidak bisa diubah lagi."


"A-apa aku harus pergi ke sekolah dengan rambut kayak gini...?"


"Sekarang ini sih nggak terlalu aneh, kan?"


Memang, jika rambutnya coklat atau pirang, mungkin tidak akan ada yang aneh. Kai bahkan pernah berpikir ingin mewarnainya suatu saat. Namun, tiba-tiba jadi putih susu begini seperti memulai dengan roket, terlalu ekstrim.


Dan sekarang, seperti yang diperkirakan, Kai merasakan perhatian yang tajam dari sekitar.


"Hei, rambutmu itu kamu cat sendiri ya? Keren banget buat debut sekolah."


"Ah, ini rambut asli, cuma ada masalah sedikit sih."


"Ah... begitu ya, maaf."


Dia memberikannya rasa canggung sebagai balasan, sekalian melampiaskan sedikit kekesalan.


Lagipula, karena itu bukan kehendaknya, mungkin itu bukan bohong juga.


Setelah upacara masuk sekolah, ada waktu untuk memperkenalkan diri di kelas masing-masing.


"Aku Kai Rou. Hobi aku manga dan game, keahlian aku... eh, kepala batu. Senang bertemu kalian."


Suara tepuk tangan yang sedikit terputus-putus. Kai memberikan penghormatan dan duduk kembali.


Tepat setelah itu, dari kursi tepat di belakangnya yang terletak sesuai urutan abjad, terdengar suara seseorang berdiri.


"––Namaku Kurono Shia."


Kai tanpa sadar menoleh.


Di sana berdiri seorang gadis yang sama persis seperti di foto yang ditunjukkan sebelumnya, dengan rambut hitam panjang, tubuh yang proporsional, dan tangan serta kakinya yang ramping teratur, berdiri dengan anggun seperti seorang dewi.


"Hobi ku tidak ada. Keahlianku olahraga. Aku tidak berniat berteman. Itu saja."


Matanya yang agak merah, dengan sikap yang tampak bosan, mengucapkan kata-kata tersebut dengan datar.


Dan Kai langsung menyadari.


(Ah, dia nggak berniat bikin teman, nih.)


Setelah sekolah itu, Kai pergi untuk mencoba bergabung dengan klub panahan.


Alasannya sederhana: karena dia memang berniat untuk bergabung.


Setelah upacara perkenalan diri, dia tidak pernah bisa berbicara dengan Kurono di kelas. Sepertinya, dia memiliki ruang pribadi yang menolak siapa pun berada dalam jarak satu meter dari dirinya.


(Bagaimana ya...)


Mau gimana lagi, hanya ada satu cara: berbicara dengan berani mulai besok.


Namun, saat dia menemukan Kurono di antara peserta percobaan klub panahan yang sama, Kai hampir tidak percaya. Dalam dua arti.


(…Tunggu, tunggu, bagaimana caranya menarik busur sampai bisa menghancurkannya?)


Jika dibandingkan dengan baseball, ini seperti memukul bola dengan bat logam yang langsung patah karena tekanan angin. Ini bukan fenomena fisik yang seharusnya terjadi pada tubuh manusia. Sehingga, dia lebih cocok dianggap bukan manusia, tapi gorila. Meskipun, bahkan gorila pun sepertinya tidak akan mampu.


Sebelum mulut Kai sempat berbicara, Kurono yang dimaksud sudah berbicara beberapa kata dengan anggota senior klub, lalu pindah ke pojok dojo yang agak jauh.


Sepertinya dia diperintahkan untuk dipisahkan, atau lebih tepatnya mengamati.


(Begitu ya…)


Sepertinya klub panahan ini kekurangan anggota, karena beberapa senior yang lain terlalu sibuk melayani peserta percakapan lain, jadi tidak ada yang memperhatikan Kurono.


Dan Kai, setelah menginformasikan bahwa dia sudah berpengalaman, segera diberikan busur dan disarankan untuk bebas mengamati. Artinya, dia dibiarkan begitu saja. Sehingga, ini adalah kesempatan.


Dia bisa berbicara dengannya besok di kelas. Tidak perlu terburu-buru.


Lagipula, hampir bisa dipastikan, dia tidak akan menerima reaksi yang ramah.


Namun, melihat Kurono yang berdiri sendirian tanpa ekspresi di sudut, Kai merasa tidak tega untuk membiarkannya begitu saja.


Akhirnya, Kai memberanikan diri.


"…Siapa kamu?"


Kurono yang rambutnya diikat ponytail itu berbalik.


Wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman, dan mata yang menatapnya seakan menusuk tanpa emosi.


Kai langsung merasa seperti ingin berbalik dan pergi, menahan rasa malu yang datang dengan keberaniannya.


"Maaf, aku tiba-tiba mengganggu. Eh, aku teman sekelasmu—"


"Paramecium."


"Kenapa... itu?"


Begitu kasar memanggilnya untuk pertama kali.


"Maaf, aku nggak ingat nama teman sekelasku."


Kai berpikir, Dapat pelajaran macam apa sih dia ini?


Komunikasinya parah banget. Bahkan kalau dia ternyata gorila, mungkin lebih baik. Kalau beli pisang, mungkin kita bisa jadi teman.


Namun, sekali sudah berbicara, tidak bisa dihindari lagi.


Kai memberikan busur yang dipinjamkan kepadanya kepada Kurono.


"Ini."


"…Kamu akan meminjamkannya?"


Kai mengangguk.


"Coba deh, kali ini tarik tanpa mengandalkan kekuatan lengan."


"Hah?"


Kurono menatapnya dengan setengah terpejam, seperti meragukan.


"Kamu bilang apa? Kalau tidak pakai kekuatan, mana bisa menarik busur?"


"Ah, ya, memang begitu sih, tapi maksudku bukan itu. Posisi untuk menarik busur itu, kalau kamu pakai kekuatan lengan, pasti kamu tarik terlalu kuat. Jadi, Kurono-san ini kan, sepertinya agak, eh… tidak manusiawi, jadi kalau mengandalkan kekuatan lengan, busurnya bakal hancur kayak tadi."


"Walaupun begitu, secara fisik, jika tidak memberi tenaga, mana bisa ditarik?"


"Iya, itu dia. Makanya, supaya tidak terlalu keras, pakai punggungmu untuk menarik."


Kai menjelaskan dengan cara yang sama seperti saat dia mengajari pemula di dojo yang sudah sering dia kunjungi.


"Gerakkan tulang belikatmu, bayangkan tubuhmu masuk ke dalam busur yang terbuka. Lengan hanya sebagai bantuan, cukup fokus supaya siku tidak tertarik ke depan."


Setelah beberapa kali menarik busur dan menunjukkan contoh, Kurono mulai meniru dan, kali ini, busurnya tidak hancur lagi. Posisi tubuhnya pun mulai stabil.


"Eh, kamu ini, … eh, maksudku, namamu siapa ya?"


"Ah, Namaku Kai Rou. Sebenarnya sudah perkenalkan diri di kelas, sih..."


"Begitu ya. Aku baru ingat. Lalu, apakah kamu mau bergabung dengan klub ini?"


"Belum tahu sih, tapi sementara ini sepertinya iya."


"Kalau begitu, aku juga akan bergabung. Dan––"


Kurono menatapnya tajam, dengan pandangan tajam dari bawah ke atas.


"Aku pasti tidak akan kalah dari kamu."


5 — Perspektif: Kai Rou —


Kai meletakkan dua porsi kari yang sudah jadi di atas meja, lalu memanggil ke arah lantai atas.


"Makanannya sudah siap!"


Terdengar langkah kaki yang menuruni tangga. Gadis itu memiliki rambut berantakan, mengenakan kaus longgar dan hot pants. Dari penampilannya, jelas dia tidak keluar rumah seharian.


Dia tidak bersekolah dan biasanya berada di rumah saat Kai pergi ke sekolah.


"Pengangguran…"


"Jangan kasar. Aku cuma kebetulan tidak sekolah atau bekerja saja. Jadi, menu hari ini… kari, ya?"


Begitu melihat ke meja, gadis itu bergumam dengan nada ragu.


"Kamu nggak suka?"


"Tidak, aku suka sekali. Tapi aku jadi ingat seseorang berkata kejam padaku waktu itu."


Dia melirik Kai dengan tatapan penuh dendam.


"Tapi, ya, bagaimana lagi? Kari buatanmu waktu itu memang luar biasa tidak enak. Setengah matang, berair, bawang gosong, dan dagingnya keras."


"Tuh kan, onii-chan? Itu buatan tangan seorang gadis, tahu? Apa kamu punya sedikit saja perasaan?"


Kai tidak bisa berkata apa-apa saat mendengar itu.


"Selamat makan"


Suara dari mereka berdua bergema di ruang tamu.


Sejak ibunya terobsesi dengan pekerjaan sampingan yang aneh, Kai bertanggung jawab atas pekerjaan rumah. Karena itu, dia cukup percaya diri dengan kemampuannya memasak dibandingkan orang seusianya.


"Nah, onii-chan yang sudah menghina masakanku habis-habisan, mari kita lihat seberapa hebat masakanmu."


Dengan tatapan penuh dendam, gadis itu menyendok kari ke mulutnya.


"...Bagaimana?"


Kai sebenarnya belum pernah memasak untuk orang lain selain keluarganya. Sedikit gugup, dia bertanya. Gadis itu menelan makanannya pelan-pelan, lalu berkata,


"Brengsek…"


"Hah?"


Kata-kata itu sama sekali bukan komentar soal makanan.


"Sialan, masakan onii-chan enak banget! Brengsek kau!"


Dengan ekspresi sangat kesal, dia mulai makan dengan lahap.


"... Onii-chan, aku tidak keberatan kalau makan kari setiap hari."


"Akulah yang keberatan."


Di tengah waktu makan, gadis itu tiba-tiba bertanya,


"Ngomong-ngomong, bagaimana sekolahnya, atau lebih tepatnya, bagaimana dengan Kurono Shia?"


"Ini adalah laporan misi pertamamu."


Kai menjawab dengan tenang, menceritakan apa yang terjadi di kelas dan bagaimana dia akhirnya bergabung di klub yang sama dengannya.


Setelah mendengarkan semuanya, gadis itu berpura-pura mengusap matanya.


"Aku sangat terharu! Seorang onii-chan yang sejak kecil mengaku ingin menikahi adiknya, akhirnya bisa berbicara dengan gadis lain! Aku sangat lega dan terharu sampai ingin menangis."


"Jangan memfitnahku dengan ingatan yang tidak pernah ada. Dan satu hal lagi."


"Apa?"


"Kenapa kamu jadi adikku?"


"Itu pengaturan yang paling masuk akal."


Dia menjawab dengan santainya, lalu menambahkan, hubungan apa lagi yang bisa menjelaskan secara wajar kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan yang masih di bawah umur.


"Onii-chan keberatan kalau aku jadi adikmu?"


"Ya, kalau bisa memilih, aku sangat keberatan."


"Begitu ya… Kalau begitu, mulai sekarang aku adalah gadis yang kakak culik di jalan sepulang sekolah. Setidaknya, aku akan memberi tahu orang-orang yang kita temui begitu."


"...Maaf, lebih baik tetap dengan pengaturan adik."


"Baguslah, kalau begitu."


Dia mengangguk puas.


"Ngomong-ngomong, apakah target sempat menghentikan waktu?"


"Sepertinya tidak."


"Begitu, ya."


"Kalau begitu, tetaplah berada di dekatnya. Itu adalah data terpenting, jadi aku mengandalkanmu, onii-chan."


── Sudah sekitar seminggu sejak Kai dan Kurono bergabung dengan klub panahan.


Selama itu, tidak terjadi sesuatu yang mencolok dalam hubungan mereka. Kai juga tidak merasa waktu dihentikan.


Namun, ada satu perubahan yang jelas.


"Serius…?"


Di dojo panahan sepulang sekolah, Kai tanpa sadar bergumam.


Kurono semakin buruk.


Padahal sebelumnya dia begitu percaya diri.


Telinganya menangkap suara-suara di sekitar.


"Hmm, dia payah sekali."


"Coba ajak bicara, dia cantik. Kalau kita mengajarinya dengan baik, mungkin bisa akrab."


"Aku sudah mencoba, tapi gagal. Dia dingin dan tidak ramah."


Di sudut dojo, Kurono terus menarik busur dengan gerakan yang kikuk, ekspresinya tetap datar.


Dia tampak begitu fokus, seperti sedang dikejar sesuatu.


Kai tiba-tiba teringat saat pertama kali menyentuh busur.


Saat masih SD, orang tuanya membawanya ke dojo terdekat untuk melihat-lihat.


Awalnya, dia tidak bisa menarik busur sama sekali dan tidak menikmati latihan.


Namun, meskipun dia terus ngambek, gurunya yang baik hati tetap mengajarinya dengan sabar.


Sayangnya, saat Kai masuk SMP, sang guru berhenti datang ke dojo. Dia kemudian mendengar bahwa orang itu meninggal karena stroke di usia tua.


Kini, Kai merasa bahwa dia harus meneruskan kebaikan itu kepada orang lain.


"Kurono-san…"


"Apa?"


Tatapan sedingin es menusuk Kai. Dia sedikit gentar, tapi tetap mengeluarkan suara.


"Kalau tidak keberatan, mau berlatih bersama? Kita bisa saling memberi masukan."


"Tidak perlu."


Jawaban yang dingin. Tapi Kai sudah memperkirakan ini.


"Begitu ya."


Jadi, tanpa berkata apa-apa lagi, dia mulai berlatih di sebelah gadis itu. Namun, Kurono langsung bereaksi.


"Apa… yang sedang kau lakukan?"


"Apa, ya? Latihan."


"Tidak ada alasan untuk melakukannya di dekatku, kan?"


"Yah, latihan sendirian juga tidak akan membuatku lebih baik."


"Aku tidak berpikir begitu. Lagipula, kau punya teman latihan lain, kan? Kenapa harus datang ke sebelahku?"


"Karena…"


Dibombardir dengan pertanyaan, Kai kesulitan memilih kata.


Akhirnya, dia memutuskan untuk jujur.


"Kamu menikmati ini, Kurono-san?"


"Tidak."


Jawaban itu langsung keluar.


"Aku tidak butuh kesenangan. Aku hanya memutuskan untuk menjadi lebih baik. Jadi, aku akan mengulanginya sampai mencapai tujuanku. Perasaanku tidak ada hubungannya dengan itu."


"Begitu ya… Tapi menurutku, kalau bisa, lebih baik latihan dengan perasaan yang nyaman. Kamu tahu, ada yang bilang bahwa orang yang menikmati sesuatu akan menang."


"──Hah."


"Awalnya, aku juga tidak menikmatinya sih. Tapi, setelah menerima masukan, dipuji, dan mulai bisa melakukannya, aku jadi merasa senang. Panahan itu sebenarnya menarik. Jadi, menurutku sayang kalau hanya dilakukan secara mekanis. Mungkin ini terdengar sok tahu, tapi aku sudah cukup lama memanah dan punya rasa sayang pada olahraga ini. Aku ingin kamu juga merasakan kesenangannya."


Kai menundukkan kepala dalam-dalam.


"Kumohon, biarkan aku berlatih bersamamu."


Beberapa detik keheningan berlalu. Lalu, suara pelan terdengar dari atas kepala Kai.


"Kalau kamu sampai berkata sejauh itu… lakukan sesukamu."


Sejak saat itu, Kai mulai berlatih di sebelah Kurono.


Dan sebulan kemudian──


"Bagus."


Pan!


Suara anak panah mengenai sasaran terdengar jelas.


Kurono baru saja mengenai semua target dengan empat anak panahnya.


Melihat itu, Kai menghela nafas lega.


Ini bukan jalan yang mudah. Jika ada sedikit saja yang tidak memuaskan atau penjelasannya kurang jelas, Kurono akan menatapnya dingin dan terus mempertanyakan. Membuatnya menerima masukan adalah perjuangan tersendiri.


Tapi, entah bagaimana, semua itu juga terasa menyenangkan.


Setelah latihan berakhir, Kai sedang membereskan busurnya ketika tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.


Saat menoleh, Kurono sudah berdiri di sana.


"U-um, itu, ehm…"


Sikapnya aneh. Dia terlihat ragu-ragu, sesuatu yang tidak biasa darinya.


Kai menunggu, bertanya-tanya apa yang ingin dia katakan.


Lalu, akhirnya terdengar suara pelan.


"…Ini semua berkatmu. Terima kasih."


Kurono menundukkan kepalanya.


"........"


Seharusnya Kai hanya perlu menjawab, "Sama-sama."


Tapi dia tidak bisa.


Bukan hanya karena terkejut. Ada perasaan lain yang muncul di dadanya, membuat kata-katanya tersangkut di tenggorokan.


Sejak saat itu──


"Kai-kun."


Berbeda dari sebelumnya, Kurono mulai sering berbicara padanya.


"Bagaimana? Aku sulit menilainya sendiri."


"Eh, menurutku sudah cukup bagus. Tapi kalau harus dikoreksi, mungkin sedikit lebih rilekskan siku tangan kananmu…"


Saat itu, Kai menyadari sesuatu.


(…Aku tidak lagi setegang dulu saat berbicara dengannya.)


6 — Perspektif: Kai Rou —


Suatu hari di akhir pekan di pagi hari.


"Hoi, adik sialan."


"Ada apa?"


"Bantu bersih-bersih sedikit."


"Tidak mau. Aku sedang sibuk."


Kai menoleh ke arah seseorang yang jelas-jelas tidak terlihat sibuk sama sekali, terlentang malas di sofa ruang tamu.


Dilihat sekilas, pakaian rumahnya tampak seperti hanya kaos kebesaran yang menjulur panjang, sesuatu yang benar-benar tidak baik untuk mata. Untungnya, dia tidak punya bentuk tubuh seindah Kurono, kalau tidak, itu pasti lebih berbahaya.


"Onii-chan. Barusan kau memikirkan sesuatu yang tidak sopan, bukan?"


"Tidak, sama sekali tidak kok. Tapi, eh… itu ponselku…"


Di tangan gadis yang berguling di sofa itu, ada ponsel milik Kai.


Tapi bukan yang sekarang dia pakai. Ponsel itu adalah yang lama, sementara ponsel yang ada di sakunya saat ini adalah yang diberikan oleh dia, sudah dikunci dengan sistem aneh yang membuatnya tidak bisa menghubungi polisi atau menulis di media sosial.


"Ponsel ini sudah jadi milikku sekarang, jadi aku sedang memeriksa isinya… Hm, oh? Ada foto keluarga di cloud, ya. Wah, aku menemukan foto masa kecil onii-chan~"


"Berhenti, itu memalukan!"


Kai mengulurkan tangan untuk merebut ponselnya.


Namun, gadis itu kembali berguling, menghindar dengan mudah. Gerakan itu membuat kaosnya sedikit terbuka, memperlihatkan paha putihnya hingga hampir ke pangkal.


"……"


"Oooh? Ada apa, onii-chan?"


Kai kembali mencoba mengambil ponselnya. Gadis itu terus menghindar dengan berguling-guling, membuatnya semakin frustasi. Setiap kali dia mencoba, pahanya yang putih sedikit terlihat, membuatnya risih dan kesal.


"Lupakan itu. Ada hal penting yang ingin kubicarakan."


"…Apa?"


Saat akhirnya Kai menyerah mengejar, gadis itu mengatakannya.


"Kita akan pindah."


"Hah?"


Tiga Hari Kemudian, Seusai Klub di Sore Hari


"Um… Boleh bicara sebentar?"


"Hm? Ada apa, Kurono-san?"


Hari itu, Kurono mendekati Kai. Suaranya terdengar tidak biasa—seolah-olah dia sedang merasa lesu.


"Ini bukan masalah besar, tapi… kudengar kamu akan pindah."


Cepat sekali gosip menyebar. Kai baru sekali menyebut soal kepindahan dalam obrolan santai, tapi langsung terdengar ke mana-mana.


Dia mengangguk dengan sedikit rasa lelah.


Namun, dia tidak tahu bahwa rumor yang beredar menyertakan kabar bahwa dia juga akan pindah sekolah.


"Oh, ya. Karena urusan keluarga, aku harus keluar dari rumah dan mulai hidup sendiri."


"Begitu, ya…"


(Apa, sih, ini…?)


Setelah itu, pembicaraan mereka pun berakhir.


Sabtu pagi, hari kepindahan


"Kenapa justru hari ini cuacanya cerah banget, sih?"


Belakangan ini langit sering mendung, tapi entah kenapa, justru di hari kepindahannya, langit sangat cerah dengan sinar matahari yang menyilaukan.


Kai ikut membantu menurunkan barang dari truk milik jasa angkut pribadi.


Tapi kenapa dia harus pindah mendadak?


Menurut gadis itu, alasannya adalah ini:


Apartemen yang akan dia tinggali ternyata juga tempat tinggal Kurono. Organisasi yang mengawasinya ingin Kai tinggal sedekat mungkin dengannya untuk bisa mengamatinya lebih baik.


Tentu saja, Kai tidak setuju. Tapi dia juga tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya, jadi sekarang dia hanya bisa mengangkat kotak-kotak kardus sambil naik-turun lift.


(Tapi, serius… kenapa adik bodoh itu nggak ikut bantu?)


Katanya sih, dia tidak punya tenaga, tapi jelas-jelas dia hanya malas dan ingin menghindari pekerjaan berat.


Sambil menggerutu, Kai terus membawa barang ke apartemen.


Saat sedang memindahkan kulkas, dia sedikit kesulitan di pintu masuk yang sempit. Beberapa kali kulkas itu terbentur, menghasilkan suara benturan keras.


Akhirnya, semua barang sudah masuk. Kai menghela napas dan meneguk minuman olahraga yang baru saja dia beli dari vending machine di seberang.


Namun, saat itulah—


Bang!


Pintu apartemen sebelah terbuka dengan keras, seperti ingin mengancam seseorang.


Sepertinya suara dan getaran tadi mengganggu penghuni sebelah. Kai sudah bersiap untuk meminta maaf, tapi saat menoleh ke arah pintu itu…


"Kurono-san?"


"……Eh?"


Di sana berdiri Kurono Shia.


Entah kenapa, dia mengenakan seragam sekolah yang kusut, seolah-olah dia tidur dengan itu semalaman. Seperti biasa, dia tidak memakai makeup, tapi meski begitu, kecantikannya tetap luar biasa.


Kurono menatap Kai dengan mata membulat karena terkejut.


Dan Kai pun sama terkejutnya.


Dia sama sekali tidak menyangka bahwa apartemen barunya ini ternyata tepat di sebelah kamar Kurono.


Lalu, saat dia menyadari situasinya…


(Ini pasti ulah adik itu…!!)


Kai langsung menyadari bahwa situasi ini bukanlah kebetulan.


Wajah si adik kecil yang tersenyum licik melintas di pikiran Kai, membuatnya tanpa sadar mengepalkan tangan.


Lalu, suara pelan Kurono membawanya kembali ke realitas.


"Pindah sekolah."


"Hah?"


"Bukankah kamu… akan pindah sekolah?"


"Enggak, aku nggak pindah kok."


Begitu Kai menjawab, Kurono tidak mengatakan apa-apa lagi.


Saat itu juga, Kai merasa firasat buruk.


"Kurono-san… kamu marah, ya?"


Tak ada jawaban. Gadis itu hanya menunduk, tubuhnya bergetar halus.


Apa karena suara ribut saat pindahan tadi? Atau mungkin, bagi Kurono, keberadaan Kai sebagai tetangga benar-benar tak bisa diterima? Atau malah keduanya?


"Maaf. Aku yang salah karena bikin suara berisik—"


Namun, di detik berikutnya, Kai melihatnya.


Saat Kurono mengangkat wajahnya perlahan, mata kanannya bersinar merah menyala—


Dan waktu berhenti.


Dalam sekejap, semua suara lenyap.


Dunia terasa kosong, tak ada gerakan sama sekali.


Hanya satu orang yang tetap ada: gadis di hadapannya.


(—Jadi ini…)


Kemampuan penghentian waktu milik Kurono.


Untuk pertama kalinya, Kai mengalaminya sendiri. Dan ia bisa menyadarinya dengan jelas.


Tapi…


(…Aku nggak bisa gerak.)


Bukankah dia bilang bahwa Kai seharusnya bisa bergerak dalam waktu yang berhenti? Namun, tubuhnya benar-benar terkunci. Bahkan satu jari pun tidak bisa ia gerakkan.


Rasanya seperti tubuhnya menghilang, menyisakan hanya mata dan telinga.


Saat ia masih memikirkan hal itu—


Tok.


Kurono melangkah mendekat.


Kai merasa bulu kuduknya merinding, meski seharusnya tubuhnya tidak bisa merasakan apa pun.


(…Tapi kenapa dia menghentikan waktu?)


Jangan-jangan… dia sudah mengetahui identitas asli Kai, termasuk operasi yang telah ia jalani?


Tubuhnya yang tak bisa bergerak merasakan ketakutan luar biasa.


Kurono kini berdiri tepat di depannya, cukup dekat hingga nafasnya terdengar.


Mata kanannya yang merah menyala dan mata kirinya yang kemerahan menatap Kai dengan sorot tajam.


"Begitulah. Ini semua… salahmu, Kai-kun."


Ekspresi Kurono terlihat sama seperti biasanya—datar.


Tidak… bukan begitu.


Dari matanya yang sedikit gemetar, air mata jatuh, mengalir di pipinya yang memerah.


"Karena kamu… aku jadi merasakan hal seperti ini."


Kai tidak mengerti maksudnya.


Lalu, gadis itu tiba-tiba memeluknya dengan erat.


(—Hah?)


"Tapi, aku senang… karena ini bukan perpisahan."


Tubuh Kai yang berhenti dalam waktu tidak bisa merasakan apa pun.


Namun, hatinya bisa.


"Aaaahhh! Kai-kun, aku suka padamuuuu!!”


Ucapan yang tiba-tiba itu membuat pikirannya terguncang.


7 — Perspektif: Kai Rou —


Pindahan selesai.


Di dalam apartemen barunya yang masih kosong, Kai bersandar pada tumpukan kardus, duduk dengan pandangan kosong.


Ia tak punya tenaga untuk bergerak. Tak bisa fokus melakukan apa pun.


Seluruh tubuh dan pikirannya terasa lumpuh…


Hanya karena satu kalimat yang terucap dalam waktu yang berhenti.


Dari kejauhan, terdengar suara pintu apartemen terbuka.


"Onii-chan. Pindahannya sudah selesai, kok wajahmu merah? Kenapa?"


Si adik sialan datang dengan langkah ringan, lalu berjongkok di depan Kai, menatapnya penasaran.


"Nggak ada apa-apa kok…"


Kai mencoba menghindar, tapi dia tampak tidak puas dengan jawabannya. Namun, sejenak kemudian, ia menyeringai, seolah baru menyadari sesuatu.


"Nggak salah, kan? Onii-chan sudah menyapa tetangga sebelah?"


Jadi memang dia yang merencanakan semua ini. Tapi Kai sudah terlalu lelah untuk marah.


"…Kok reaksimu biasa aja? Jangan-jangan, ada sesuatu yang terjadi? Ayo, bilang."


Dengan nada datar, Kai mulai menceritakan semuanya.


Pertemuannya dengan Kurono.


Bagaimana waktu dihentikan olehnya.


Dan… pengakuan perasaannya.


Dia terdiam sejenak, lalu mengangkat alis.


"Hmmm. Begitu ya… Jadi itu yang terjadi."


Anehnya, dia cemberut sedikit.


"Jadi, intinya, tubuhmu tetap nggak bisa gerak, terus setelah dia nembak kamu, dia langsung kabur, sementara kamu cuma bisa duduk di sini, kepikiran terus?"


"Bukan masalah kepikiran atau gimana sih…"


"Iya, iya. Terima kasih atas laporannya ya. Yah, setidaknya operasi pada tubuh onii-chan menunjukkan hasilnya, kan? Terus saja lanjutkan ya. Siapa tahu, kalau kamu sering kena efeknya, tubuhmu bisa mulai bergerak dalam waktu yang berhenti. Dan tentu saja, memantau pergerakan Kurono saat waktunya berhenti adalah informasi berharga bagi Organisasi."


Setelah berkata begitu, dia berdiri.


Kai menatapnya dari bawah, lalu ragu-ragu bertanya,


"Hei… menurutmu, aku harus gimana?"


"Gimana soal apa?"


"Maksudku, soal Kurono… dia sudah menyatakan perasaannya padaku."


Dia langsung menatapku dengan tajam, pipinya sedikit menggembung kesal.


"Jangan bilang kamu mau menjawab perasaannya?"


"Eh?"


"Jangan bodoh, onii-chan. Dia menyatakan perasaannya saat waktunya berhenti, kan? Kalau kau membalasnya, itu sama saja membocorkan rahasia diri sendiri. Kau mau ditangkap oleh Kepolisian Internasional dan dijadikan bahan percobaan?"


"Tunggu… bukankah Kurono dan yang lain itu pahlawan keadilan?"


Dia menghela napas panjang, lalu menatap Kai dengan pandangan seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang sangat bodoh.


"Apa onii-chan benar-benar lulus sekolah? Pahlawan keadilan bukan berarti mereka orang baik. Itu artinya mereka bisa melakukan apa pun demi keadilan yang mereka yakini."


Perkataan yang kelewat blak-blakan itu diiringi oleh helaan napas lelah dari Sotomichi.


"Kau benar-benar beruntung masih hidup, Onii-sama. Seandainya saja operasinya berhasil sepenuhnya dan tubuhmu bisa bergerak, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Yah, meskipun kalau begitu juga, itu tetap menjadi bukti keberhasilan, jadi dari sisi organisasi, tidak ada masalah."


"……"


"Jadi, karena kau sampai menanyakan hal seperti itu… apakah itu berarti Onii-sama menyukai Kurono Shia?"


"Eh, ah, bukan… maksudku, suka atau tidak itu…"


Pertanyaan yang tepat sasaran itu membuat tenggorokan Kai tercekat.


Suka. Dua kata yang dihadapkan padanya itu entah kenapa membuatnya merasa sangat malu.


Berusaha mengalihkan rasa tak nyaman itu, Kai pun membuka mulutnya lagi.


"Aku tidak punya pengalaman, jadi aku juga nggak begitu ngerti soal ini… Tapi, kalau dia bilang suka, ya, gimana ya… rasanya jadi kepikiran sih…"


"Uwaah, dasar pria brengsek."


"A-apanya yang brengsek!?"


Sotomichi mendengus kecil, seolah mengatakan bahwa itu sudah jelas.


"Kau jelas-jelas sadar dengan perasaanmu sendiri, tapi malah berusaha mempertahankan sikap terpaksa karena dia yang nembak duluan. Itu menjijikkan. Dan ini sebagai saran saja, pria yang mencoba menjaga harga dirinya sambil menjalani hubungan cinta adalah makhluk paling menyedihkan di dunia ini."


"U-ugh…!"


Terlepas dari benar atau tidaknya ucapan itu, kata-kata Sotomichi menusuk langsung ke dada Kai tanpa belas kasihan.


Beberapa detik kemudian, Kai mengacak-acak rambutnya dengan frustasi, lalu akhirnya berteriak, tak mampu menahan diri lagi.


"Aaaah, sudah, sudah! Ngerti! Aku ngerti!! Aku deg-degan waktu ditembak dia! Aku nggak tahu harus gimana, jadi malah bengong! Tapi kalau dipikir tenang-tenang, aku juga senang! Dan… mungkin aku juga kepikiran buat pacaran sama dia! Puas!?"


"Tepuk tangan~ Bagus sekali, Onii-sama. Wah, dasar pria kejam."


"Kenapa lagi!?"


"Coba kau pikir baik-baik. Informasi yang kau kumpulkan di dekatnya, juga data tentang dirimu yang sudah menjalani operasi, semua itu akan dimanfaatkan oleh organisasi untuk menjatuhkan dia. Dengan kata lain, kau bakal pacaran dengannya seolah tak terjadi apa-apa, tapi di balik layar, kau justru ikut merancang kehancurannya. Kalau itu bukan kejam, lalu apa?"


"Ugh…"


Bagaikan tersiram air dingin, Kai kembali terdiam.


Benar juga. Dia sampai lupa dengan posisinya yang telah menjalani operasi misterius.


Tapi kalau begitu…


"J-jadi, lebih baik aku menjauh dari Kurono…?"


"Jangan. Itu akan menghambat eksperimen, jadi tolong jangan lakukan itu. Untuk apa coba kau sampai pindah rumah?"


"…Itu terdengar sangat berlawanan dengan tujuan awal."


Kai menggumam dengan nada lelah.


"Kesimpulannya, kau yang masih remaja bodoh ini cukup pertahankan saja hubungan yang sekarang. Itu cara terbaik untuk berdamai dengan rasa bersalahmu."


"……"


Diamnya Kai bukanlah tanda setuju.


Namun, di kepalanya, dia tak bisa menemukan bantahan yang masuk akal.


"Tapi….."


Sotomichi tiba-tiba menyeringai cerah, lalu menatap Kai yang masih terdiam.


Jari-jari rampingnya terulur, perlahan melingkari tangan Kai.


"Kalau Onii-sama benar-benar ingin punya pacar, ya… mau bagaimana lagi. Asal kau bersedia berlutut dan memohon, aku mungkin akan mempertimbangkan jadi kandidatnya♡."


Dengan ekspresi menggoda, Sotomichi tertawa menyeringai.


Kai merasa seolah sedang diolok-olok karena patah hati, padahal dia bahkan belum sampai ke tahap itu.


"Tidak, terima kasih."


Dengan nada kesal, Kai menolak mentah-mentah.


Lalu, dia menoleh ke tumpukan kardus di belakangnya.


…Namun, kalau dipikir-pikir dengan kepala dingin, memang benar ini terlalu tinggi untuk diharapkan.


Kai hanyalah seorang siswa SMA biasa. Hanya saja, karena utang orang tuanya yang kabur, dia terpaksa menjalani operasi aneh dan kini tinggal dengan seorang gadis misterius yang mengaku sebagai adiknya.


Dengan dirinya yang seperti ini, apakah pantas baginya untuk menginginkan lebih?


(Aku menyukaimu, Kai-kun.)


Seorang gadis yang begitu cantik dan imut.


Hubungan lebih dari sekadar teman… apakah dia pantas memilikinya?


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close