Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Takdir yang Terikat
1
Malam Senin, keesokan harinya.
Aoma menelepon Nanaka.
"Kemarin aku sudah bilang sedikit, tapi aku ingin bertemu dengan orang tuamu."
Dia langsung ke intinya.
"Kamu memang sempat menyebut waktu itu. Aku sih tidak keberatan, tapi kenapa?"
"Ada sesuatu yang menggangguku. Aku ingin bicara dengan mereka. Aku mau menyelidiki bagaimana mereka tiba-tiba kecanduan judi."
"Oke. Tapi kalaupun kamu bertemu mereka, bagaimana caranya? Jujur saja, aku tidak yakin mereka mau mendengarkanmu."
"Bawa aku ke rumahmu. Tunjukkan dirimu lebih dulu. Mereka pasti menganggapmu menghilang, jadi kalau tiba-tiba muncul, mereka pasti kaget dan ingin penjelasan. Saat itulah aku muncul dan menjelaskan situasinya."
"Bukankah itu akan terlihat seperti aku menginap di luar bersama pacarku? Kesan yang sangat buruk, tahu!?"
"Begitu ya?"
"Uhhm, kalau kamu merespons sepolos itu, aku malah merasa diriku yang kotor... Baiklah. Lagipula, kalau aku ada di sana, akan lebih mudah untuk berbicara. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak bisa sembarangan keluar, bukan?"
"Tidak masalah. Aku akan menggunakan sihir 'pengelabuan'."
Terdengar suara Yuri di sebelah Nanaka.
"Pengelabuan?"
Aoma bisa membayangkan Nanaka sedang memiringkan kepala dengan bingung.
"Dengan sihir ini, Okishima-san akan menjadi tak terlihat bagi siapa pun kecuali mereka yang mendapat izin dariku. Tentu saja, jika ada seseorang yang bisa menembus sihirku, itu pengecualian. Tapi di dunia ini, hanya ada satu orang yang mampu melakukannya."
"Jadi ada seseorang yang bisa?"
"Tentu saja. Tidak ada yang mustahil bagi Gent-sama."
Kali ini, Aoma bisa membayangkan Yuri membusungkan dadanya dengan bangga.
"Yuri-chan benar-benar sangat menghormati Aoma, ya?"
"Kau harus lebih menghormati Gent-sama! Tidak sopan sekali memanggilnya begitu saja! Jika bukan karena kemurahan hati beliau, aku sudah mencabik-cabikmu!"
"Ahaha, serem banget~"
Obrolan mereka pun melantur ke hal lain, tapi akhirnya mereka sepakat untuk bertemu keesokan harinya, Selasa, di depan gerbang sekolah. Sebenarnya, Aoma bisa menjemput Nanaka ke rumah Yuri, tapi lebih cepat kalau Nanaka langsung datang dari sekolah ke rumahnya.
Hari Selasa.
Begitu sekolah selesai, Aoma bertemu Nanaka di depan gerbang sekolah.
"Wah, benar-benar tidak ada yang menyadari keberadaanku...!"
Nanaka berkata begitu saat melihat teman-teman sekelasnya melewatinya begitu saja.
"Ah, kalau aku bicara, bakal ketahuan nggak ya?"
"Yuri mungkin juga menyembunyikan suaramu, jadi harusnya aman."
"Begitu ya... Kalau begitu, eii!"
Saat mulai berjalan, Nanaka tiba-tiba melingkarkan lengannya ke lengan Aoma.
"!? "
"Ka-Kalau aku begini, Aoma juga bakal ikut tak terlihat, kan?"
"Itu... mungkin saja..."
"Bukankah ini lebih baik? Kalau mereka melihatmu datang ke rumahku, bisa jadi masalah."
Pendapat Nanaka masuk akal, jadi mereka pun berjalan seperti itu, meski agak sulit bergerak.
Rumah Nanaka berjarak cukup dekat dari sekolah. Itu adalah rumah dua lantai di kawasan perumahan yang tenang.
"Tunggu sebentar."
Begitu tiba di depan rumah, Nanaka menyuruh Aoma menunggu di depan pintu dan masuk sendiri.
"Soalnya kalau Papa dan Mama ada di rumah, mereka pasti kaget kalau aku tiba-tiba membawa anak laki-laki."
"Sebegitu mengagetkannya?"
"Ya iyalah! Bawa cowok pulang ke rumah itu sesuatu hal yang besar!"
Aoma mulai mengerti, ternyata membawa teman lawan jenis ke rumah memang bisa mengejutkan.
"Eh? Kenapa ekspresimu seolah terkejut? Jangan-jangan kamu menganggapku anak nakal? Padahal aku bahkan belum pernah punya pacar!"
"Aku tidak menyangka saja. Kamu imut, sepertinya banyak yang menyukaimu."
"A-Apa!? Imut!? Aaaah, sudahlah! Jangan bercanda! Aku masuk dulu!"
Dengan wajah sedikit memerah, Nanaka pun masuk ke dalam rumah.
Namun tepat setelah itu—
"Kau pikir bisa bawa laki-laki seenaknya ke rumah ini, hah!?"
Dari dalam rumah terdengar suara pria berteriak marah, disusul suara keras seperti sesuatu yang terhempas.
Aoma segera membuka pintu depan dan bergegas masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju ke sumber suara, ruang tamu.
Di sana, Nanaka terlihat meringkuk kesakitan. Seorang pria menendang punggungnya, sementara seorang wanita di belakangnya terus mengomelinya. Wajah keduanya memerah karena mabuk, dan ruangan itu dipenuhi bau alkohol.
"Berhenti!"
Aoma melantunkan mantra pendek dan mengarahkan telapak tangannya ke pria dan wanita itu. Lingkaran sihir muncul dan mengurung mereka berdua, membuat mereka tak bisa bergerak.
"Kau baik-baik saja, Nanaka? Maaf. Aku tidak menyangka mereka akan langsung main tangan begitu melihat putrinya yang hilang."
Aoma memang sempat mempertimbangkan kemungkinan mereka marah karena Nanaka menghilang tanpa kabar. Namun, dia tidak menyangka mereka bahkan tidak merasa khawatir dan langsung melakukan kekerasan.
"A-Aku baik-baik saja... Terima kasih... Papa dan Mama?"
Nanaka menatap kedua orang tuanya dengan cemas.
"Tenang saja. Ini hanya sihir untuk menghentikan gerakan mereka. Tidak akan ada dampak pada kesehatan mereka."
"Be-Begitu ya... Kalau Aoma yang bilang, mungkin tidak apa-apa...?"
Meski masih ragu, Nanaka tetap memperhatikan kedua orang tuanya dengan khawatir.
"Jangan khawatir, aku hanya perlu memeriksa sebentar, lalu akan segera mengembalikan mereka seperti semula. Seperti yang kuduga, ada rune sihir yang tertanam pada mereka."
Aoma mengangkat tangannya di depan dahi kedua orang tua Nanaka.
"???"
"Mereka dikendalikan oleh sihir. Kamu juga bilang ada sesuatu yang aneh, bukan? Bagaimana mungkin mereka tiba-tiba kecanduan judi? Ini penyebabnya."
Setelah menjelaskan, Aoma mulai merapal mantra, dan lingkaran sihir terbentuk.
"Ayo kita mulai."
Begitu mantra diaktifkan, mata kedua orang tua Nanaka kehilangan fokus sejenak, lalu kembali normal. Wajah mereka terlihat bingung, seolah baru saja terbangun dari tidur panjang.
"Apa yang terjadi padaku...?"
"Aku...?"
Lalu, tiba-tiba mereka menatap Nanaka yang masih meringkuk di lantai dengan ekspresi terkejut.
"Nanaka!!"
"Papa... Mama...?"
"Nanaka... maafkan kami... Papa....."
Ayahnya ambruk dan memeluk Nanaka erat-erat.
"Maafkan Mama, Nanaka. Kami benar-benar minta maaf..."
Di sebelahnya, ibunya jatuh berlutut di lantai, terlihat penuh penyesalan.
Setelah Aoma menghapus rune sihir mereka, efek pengendalian pikiran pun lenyap. Saat kesadaran mereka pulih, mereka mulai mengingat semua perbuatan mereka selama berada di bawah pengaruh sihir.
"Syukurlah... Papa dan Mama sudah kembali seperti semula."
"Iya... Kenapa kami bisa sampai seperti itu..."
"Aku tidak tahu apakah kalian bisa mempercayainya, tapi... kalian berdua telah dikendalikan dengan sihir agar kecanduan judi."
Aoma menjelaskan.
"Aku percaya. Aku melihat sendiri apa yang Aoma lakukan."
Nanaka langsung mengiyakan.
"Aku juga ingin percaya... Itu tidak akan menghapus kesalahanku, tapi aku tidak bisa membayangkan aku melakukan semua itu dalam keadaan sadar..."
"Aku juga... Aku tidak mungkin mengatakan hal seburuk itu pada Nanaka..."
"Aku juga percaya, Papa, Mama. Aku tahu kalian bukan orang seperti itu. Pasti ini semua karena sihir."
"Nanaka... Terima kasih..."
Kedua orang tuanya mengangguk, air mata mengalir di wajah mereka.
"Tapi... kenapa ada orang yang melakukan ini?"
Nanaka bertanya.
"Untuk memaksamu ikut dalam Death Game. Dan bukan hanya sebagai peserta, tapi sebagai Game Master—peran yang jauh lebih berat. Mereka sengaja membuatmu berada dalam situasi yang sangat sulit, baik secara finansial maupun mental, agar kau tidak punya pilihan lain selain ikut."
"Tapi... kenapa harus aku? Banyak orang yang butuh uang, kan, kenapa mereka memilih cara seribet ini? Apalagi, sebagai Game Master, aku tidak perlu mempertaruhkan nyawa sendiri. Aku memang tidak suka, tapi pasti ada orang lain yang mau melakukannya."
Pendapat Nanaka masuk akal. Namun, Aoma sudah menemukan jawabannya.
"Ini hanya dugaanku, tapi mereka memang mengincar orang yang tidak akan mau ikut dan tidak akan mau menjadi Game Master sejak awal."
"Jadi mereka sengaja mencari orang yang bakal menolak dan memaksanya ikut?"
"Tepat."
"Maaf aku terus bertanya, tapi kenapa?"
"Ada satu jenis sihir yang mungkin terlibat... Sihir yang mengubah emosi menjadi energi sihir."
Nanaka dan kedua orang tuanya mengerutkan kening, tampaknya belum sepenuhnya mengerti.
"Emosi manusia sebenarnya mengandung energi yang sangat besar, hanya saja tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Dibandingkan mengumpulkan energi sihir biasa, mengubah emosi menjadi sihir jauh lebih efisien. Masalahnya, proses konversinya sangat sulit... Tapi jika itu bisa dilakukan, hasilnya akan luar biasa."
Sihir Emosi—sebuah sihir tingkat tinggi yang membutuhkan keahlian luar biasa, tetapi bukan sesuatu yang mustahil jika banyak orang mengerjakannya bersama.
"Namun, emosi yang kuat hanya muncul dalam situasi tertentu saja. Tidak mudah untuk mendapatkan emosi semacam itu secara alami."
"Jadi mereka menciptakan situasi Death Game untuk mengumpulkan emosi?"
"Tepat sekali. Kau cepat mengerti, itu sangat membantu. Dan bukan hanya sekedar ikut serta—mereka ingin seseorang yang mengalami konflik batin. Semakin besar gejolak emosinya, semakin besar pula energi sihir yang dihasilkan. Itulah kenapa mereka menjadikan seseorang sepertimu sebagai Game Master."
"Ugh..."
Nanaka menggigit bibirnya, terlihat frustasi.
Orang tuanya kecanduan judi, terjerat hutang, dan dia kehilangan pekerjaannya sebagai model yang sangat disukainya. Lalu, dia hampir dipaksa untuk terlibat dalam pembunuhan. Tidak heran jika dia merasa begitu frustasi.
"Di permainan berikutnya, kita akan membalas dendam pada penyelenggara. Aku akan mengembalikan kehidupanmu seperti semula."
Aoma meletakkan tangannya di bahu Nanaka.
"Aoma..."
"Kita perlu merencanakan ini. Ayah, Ibu, bolehkah kami menggunakan ruangan ini sebentar?"
"Tentu saja."
"Aku akan membawakan minuman untuk kalian."
Ayah dan ibunya keluar dari ruangan.
"Baiklah, serahkan tugas pencatatan padaku."
"Waah!?"
Nanaka terkejut ketika Yuri muncul bersamaan dengan kabut.
"K-Kapan kau datang!?"
"Aku sudah disini sejak awal. Hanya saja, dalam misi penyelamatan orang tuamu, aku tidak dibutuhkan, jadi aku diam-diam menghilang."
"Menghilang!?"
Yuri menjelaskan dengan wajah datar, sementara Nanaka masih kebingungan.
Aoma hanya bisa tersenyum masam.
"Kalau kau ingin bekerja sama dalam operasi seperti ini, kau harus mulai terbiasa."
"Jadi, ini hal yang biasa di dunia yang penuh sihir? Sepertinya aku butuh waktu lama untuk terbiasa..."
*
"Sialan, dia terlalu baik hati...!"
Di atas atap rumah keluarga Okishima, berdiri seorang sosok.
Meski sesekali ada orang yang lewat, tidak ada satupun yang menyadari kehadirannya. Itu karena dia telah menghapus jejak keberadaannya sepenuhnya. Bahkan jika seseorang secara kebetulan melihat ke arahnya, mereka tidak akan merasa ada yang aneh karena dia seolah menyatu dengan pemandangan sekitarnya.
Dialah Shiranami Yua.
Dari atas atap, dia mengintip percakapan Aoma dan yang lainnya dengan menyusupkan familiar berbentuk tupai ke dalam rumah Okishima.
Dia tidak terkejut mendengar bahwa Nanaka adalah Game Master Death Game. Dia sudah menduga bahwa orang-orang dari Genesis Brigade akan melakukan hal semacam ini.
Begitu pula dengan Aoma. Dia juga sudah memperkirakan bahwa pemuda itu akan bertindak seperti ini. Namun tetap saja, dia tak bisa menahan diri untuk menghela napas.
Rasanya seolah Aoma tidak belajar apa pun dari pengalaman mereka di dunia lain.
(Padahal kau sudah mengorbankan begitu banyak hal untuk kami, tapi manusia tetap saja...)
Yua menggigit bibirnya, merasa frustasi, baik terhadap dirinya sendiri maupun keadaan yang ada.
Namun di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini memang tipikal Aoma.
"Tapi begitu ya... Jadi Okishima Nanaka adalah Game Master..."
Nanaka hanyalah seorang Game Master bayaran.
Di baliknya, ada pihak penyelenggara yang mengendalikan semuanya—sosok bayangan yang ingin Yua temukan dan hancurkan.
Dia harus memikirkan bagaimana cara mencapai mereka.
Untuk saat ini, dia memutuskan untuk mengirim laporan ke markas di kastil.
Dengan cepat, dia mengetik pesan di ponselnya:
Okishima Nanaka adalah Game Master Death Game.
Orang tuanya telah dicuci otak.
Informasi ini sekarang berada di tangan Shiranami Aoma.
Setelah mengirim pesan itu, Yua melompat dari atap ke atap, menuju rumahnya.
2
Saat Yua kembali ke rumah dan mengurung diri di kamarnya, terdengar suara ketukan.
"…Ya?"
"Aku. Boleh masuk?"
Itu suara Aoma.
Dia tidak ingin berbicara dengannya sekarang. Jika mereka berbicara, dia mungkin akan menunjukkan celah. Tapi menolak masuknya juga terasa mencurigakan sebagai seorang adik perempuan.
"Silahkan saja."
Akhirnya, Yua mengizinkannya.
Aoma masuk dengan tenang. Meski sudah pulang, dia masih mengenakan seragamnya. Kebiasaannya yang ceroboh tidak berubah sejak dunia sebelumnya.
"Yua... maaf."
Permintaan maaf yang tiba-tiba.
Lalu, Aoma mengangkat tangan kanannya.
"!?"
Reaksi Yua adalah refleks murni.
Dia dengan cepat melafalkan mantra pendek dan membentuk tiga lingkaran sihir, menciptakan penghalang Anti-Magic yang kuat di hadapannya.
Hampir bersamaan, pusaran api muncul dari tangan Aoma, mengarah ke Yua. Namun, api itu terhalang oleh penghalang Anti-Magic dan menghilang ke belakangnya.
Itu nyaris. Jika dia terkena serangan itu, tubuhnya di dunia ini tidak akan selamat.
"Kenapa tiba-tiba menyerang!?"
"Haha, luar biasa sekali, Pahlawan Sharin. Bahkan setelah bereinkarnasi, naluri sihirmu tidak tumpul sedikit pun."
"!?"
Sial.
Selama ini, dia sengaja menjaga agar statusnya sebagai Pahlawan tetap ambigu—apakah dia mengingat kehidupan masa lalunya atau tidak, apakah dia tahu bahwa Aoma adalah Raja Iblis atau tidak.
Namun, karena dia berhasil menangkis serangan Aoma dengan sempurna, dia secara tidak langsung telah mengkonfirmasi bahwa dia memiliki ingatan sebagai pahlawan dan telah mengenali Aoma sebagai musuhnya.
Yua menggertakkan giginya.
Dia telah terpancing.
Tapi saat ini, dia tidak bisa melakukan apapun. Aoma jauh lebih unggul dalam kecepatan dan pengendalian sihir. Tidak ada waktu untuk berpura-pura terkejut.
"Maaf, Yua. Tapi kalau aku tidak melakukan hal seperti ini, kau tidak akan pernah menunjukkan celah. Satu-satunya cara untuk membuatmu mengakui bahwa kau adalah seorang Pahlawan, adalah dengan cara ini."
Aoma menundukkan kepala dalam-dalam.
Yua, yang kini mulai sedikit tenang, menatapnya dari atas dan berpikir.
Selama ini, Aoma juga menjaga jarak. Dia pun belum pernah secara terang-terangan mengakui atau menyangkal siapa dirinya sebenarnya.
Tapi kenapa tiba-tiba... kenapa sekarang?
"Yua... Sudah waktunya kita berbicara jujur. Aku butuh kekuatanmu."
Aoma mengangkat kepalanya dan berkata,
"Kekuatanmu..."
Yua melihat sekeliling. Tidak ada kerusakan di kamar ini.
Tanpa mantra. Lingkaran sihir langsung terbentuk. Kekuatan luar biasa. Namun, kendali yang begitu sempurna hingga tidak ada yang terkena serangan selain dirinya.
Dia sedang berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih kuat. Rasa tegang yang sudah lama tidak dia rasakan.
Dan kini, sosok yang jauh lebih kuat itu menundukkan kepalanya, meminta bantuannya. Situasi ini bisa dianggap sebagai ancaman juga—seolah-olah jika dia menolak, kali ini serangannya tidak akan meleset.
Tapi Yua tahu, Aoma tidak berniat mengancamnya. Itu bukan caranya.
Aoma benar-benar, dengan tulus, meminta bantuannya.
Yua menghela napas, mengendurkan ketegangan di tubuhnya.
"Baiklah, Raja Iblis Gent... tidak, Onii-chan. Ayo bicara."
3
Meskipun caranya agak kasar, Aoma berhasil membuat mereka berdua mengungkapkan identitas masing-masing. Dia merasa lega.
Yua—pahlawan—adalah orang yang keras kepala. Sekali dia membuat keputusan, dia tidak akan mengubahnya dengan mudah. Jika dia memutuskan untuk tidak memberi tahu Aoma tentang siapa dirinya, maka tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dengan tindakan ekstrem seperti tadi.
"Pertama-tama, mari kita rangkum informasi yang kita miliki."
Yua duduk di tepi tempat tidurnya dan mengangguk pelan.
"Kita sudah tahu bahwa Nanaka adalah Game Master, dan aku juga punya gambaran tentang sihir yang akan digunakan penyelenggara."
"Sihir yang mengubah emosi manusia menjadi kekuatan sihir itu, ya?"
Yua juga sepertinya sudah menyadari soal Sihir Emosi.
"Ya. Aku pun tahu cara menggunakannya sejak dulu, tapi karena berbahaya dan tidak praktis, aku tidak pernah memakainya."
Faktanya, Aoma lah yang menemukan bahwa emosi manusia dan iblis bisa diubah menjadi kekuatan sihir. Dia bahkan sempat merancang dasar teknik Sihir Emosi. Namun, dia merasa jijik dengan penelitian yang mempermainkan hati manusia dan akhirnya menghentikannya.
Setelah itu, sebagian iblis melanjutkan penelitian tersebut hingga akhirnya berhasil menciptakan sihir tingkat tinggi. Namun, karena sulit dikendalikan dan bisa menghasilkan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan beberapa negara jika gagal, tidak ada yang berani menggunakannya.
Toh, menggunakan Summoned Beast dalam pertempuran jauh lebih efisien.
"Kalian juga tidak pernah menggunakannya, kan?"
"Kami memang tidak bisa. Dulu, kami belum cukup terlatih. Tapi..."
"Tapi akhirnya ada manusia yang berhasil menguasainya setelah penelitian lebih lanjut, ya?"
"Ya."
Aoma menatap langit-langit.
"Mengapa mereka mengungkit kembali sihir terkutuk itu? Aku hanya bisa memikirkan satu alasan, tapi aku benar-benar tidak ingin percaya bahwa mereka sebodoh itu."
Yua tersenyum masam.
"Mereka memang sebodoh itu."
"Tidak mungkin... Bukankah dunia ini sudah damai setelah dunia manusia dan dunia iblis terpisah?"
Jika tidak, maka semua yang telah dia lakukan akan sia-sia.
"Ya, dunia memang menjadi damai. Tapi... manusia itu benar-benar bodoh."
Dengan ekspresi sedih, Yua mulai menceritakan apa yang terjadi setelah perpisahan dunia manusia dan dunia iblis.
*
Setelah Summoned Beast disegel dan hubungan dengan dunia iblis terputus, dunia manusia seharusnya menjadi tempat yang damai.
Tapi kenyataannya, tidak demikian.
Tanpa musuh bersama yang bisa mereka lawan, yaitu iblis—hubungan antara negara-negara manusia memburuk.
Meskipun belum sampai terjadi perang besar, konflik kecil dan perang saudara meletus di berbagai wilayah.
Memang, dibandingkan perang besar melawan iblis, ini masih jauh lebih ringan. Namun tetap saja, darah terus tertumpah.
Sebagai Pahlawan Sharin, Yua menggunakan pengaruhnya untuk berkeliling ke berbagai tempat, berusaha meredakan konflik.
Dia berbicara dengan para pemimpin negara yang bertikai, mencari cara agar mereka bisa berdamai.
Itu pekerjaan yang sulit. Tapi Yua tetap melakukannya.
Karena dia ingin menjaga perdamaian yang diperjuangkan Aoma, bahkan dengan nyawanya sendiri.
Tanpa ancaman iblis, jika dunia kembali jatuh ke dalam kekacauan, maka itu sepenuhnya kesalahan manusia.
Dengan pemikiran itu, Yua terus berjuang.
Namun, satu tahun setelah dia memulai misinya, segalanya berakhir.
Pada hari itu, dia baru saja menyelesaikan negosiasi antara dua negara.
Dalam perjalanan pulang, sesuatu terjadi.
Tiba-tiba, kereta yang dia naiki terkena Teleportasi.
Sesaat kemudian, kereta itu langsung dibakar.
Yua melompat keluar dengan cepat, melapisi tubuhnya dengan Anti-Magic untuk perlindungan.
Serangan terus berdatangan—api, bilah es, bilah angin, hujan batu, tapi dia menangkis semuanya.
Saat dia memeriksa sekeliling, dia menyadari bahwa dia berada di tengah padang tandus, jauh dari kota mana pun.
Sepertinya, banyak orang bekerja sama untuk menjalankan Teleportasi ini.
Dan mereka adalah—
"Genesis Brigade..."
Begitu melihat pakaian orang-orang yang mengelilinginya, Sharin langsung tahu siapa mereka.
Pakaian serba hitam. Di punggung mereka terukir lambang khas—tiga mata yang melambangkan kebijaksanaan umat manusia.
Simbol dari Genesis Brigade.
"Matilah, Pahlawan."
Serangan sihir menghujani Sharin sekaligus. Tapi kali ini, dia tidak menggunakan Anti-Magic. Tidak perlu. Selama bukan serangan mendadak, sihir selevel ini bisa dia hindari dengan mudah.
"Memobilisasi sebanyak ini hanya untuk membunuhku… Hmm, sepertinya aku cukup mengganggu ya?"
"Bukan itu. Kau telah mengkhianati umat manusia."
"......?"
"Penyegelan 66 Summoned Beast dan pembangunan Barrier of Lamentation—itu semua kau lakukan bersama Raja Iblis, bukan?"
Itu tidak mungkin. Hanya Sharin dan beberapa orang terdekatnya yang tahu tentang itu.
Di mata dunia, Raja Iblis dianggap bertindak sendiri.
Secara resmi, dunia percaya bahwa Raja Iblis membangun penghalang sebagai perlindungan terakhirnya dari serangan manusia. Cerita yang disebarkan adalah bahwa manusia menang—mereka kehilangan wilayah, tapi iblis akhirnya kabur dengan ekor di antara kaki mereka.
Genesis Brigade, sekte fanatik ini, seharusnya tidak mungkin tahu kebenarannya. Mereka tidak pernah berada di dekat Sharin.
Jadi siapa yang membocorkannya?
Siapa yang…
"Pengkhianat harus mati!"
"Berani juga kau! Coba saja kalau bisa!"
Tidak ada gunanya berpikir sekarang. Hancurkan mereka semua dulu, baru cari tahu nanti.
"Meski kau Pahlawan, melawan sebanyak ini tidak mungkin kau menang!"
Dengan penuh keyakinan, anggota Genesis Brigade terus menyerang. Tapi tidak satu pun serangan mereka yang mengenainya.
"Jangan meremehkanku. Sampah yang berkumpul tetaplah hanya tumpukan sampah. Dan itu bisa kuhancurkan dalam sekali serang—"
"Kami tahu kau akan berkata begitu, jadi kami sudah menyiapkan ini."
Melihat apa yang mereka angkat tinggi-tinggi, Sharin tiba-tiba berhenti bergerak.
".......!!"
Salib.
Banyak sekali salib.
Dan di setiap salib itu, anak-anak berpakaian lusuh dipaku di sana.
Anak-anak dari panti asuhan yang sama dengannya.
"Sungguh malang, ya. Hanya karena berasal dari panti asuhan yang sama dengan Pahlawan, mereka harus mengalami ini. Dengarkan baik-baik, jika kau bergerak sedikit saja, anak-anak ini akan mati."
"...Kalian benar-benar sampah."
Sharin tetap diam di tempat.
Seharusnya, anak-anak ini adalah pengorbanan kecil. Demi menyelamatkan dunia, dia mungkin harus mengorbankan mereka agar bisa menghabisi kejahatan yang lebih besar.
Tapi hatinya sudah hancur.
Dia telah mengorbankan orang yang paling dia hormati—Raja Iblis Gent—demi mendapatkan perdamaian.
Namun, manusia justru mencoba menghancurkan perdamaian itu dengan alasan bodoh.
Kalau begitu, untuk apa mengorbankan anak-anak yang tak bersalah ini?
Untuk apa… dia bertarung?
Sharin melepaskan perlawanan.
"Lakukan sesukamu. Kalian semua sebaiknya musnah saja."
Begitu dia menyerah, sihir membakar tubuhnya tanpa ampun.
──Raja Iblis.
Apakah aku bisa pergi ke tempat di mana kau berada?
Kau bilang suatu hari nanti, saat ajal menjemput, kau akan jatuh ke neraka.
Tapi aku selalu berpikir, pada akhirnya kau pasti akan pergi ke surga.
Lalu aku?
Apakah aku, yang gagal melindungi dunia yang kau coba lindungi, bisa pergi ke surga juga?
*
"Aku dibunuh oleh Genesis Brigade."
Sambil duduk di tempat tidur di kamarnya, Yua berkata dengan nada mencemooh dirinya sendiri.
"Kau boleh menertawakanku. Ini hanya perselisihan sesama manusia. Padahal dunia sudah damai, tapi lihatlah hasilnya—menyedihkan, bukan?"
"Tidak semua manusia seperti mereka juga. Ada juga orang seperti dirimu."
Aoma mencoba menyangkalnya Dia tidak bermaksud menghibur, hanya mengungkapkan isi hatinya.
"Perang terjadi justru karena kita mulai menggeneralisasi, mengkotakkan manusia dan iblis begitu saja."
"Kamu benar, aku akan berhati-hati."
Yua mengangguk.
"Bagaimanapun juga, berkatmu, aku akhirnya bisa melihat keseluruhan gambaran Death Game ini. Aku ingin menghancurkannya sepenuhnya. Bisakah kau bekerja sama denganku?"
"……"
"Ada apa?"
"Aoma… kau juga mau terlibat?"
Aoma bingung. Apa yang dia bicarakan?
"Tentu saja aku terlibat."
"Ini masalah manusia. Kamu tidak punya kewajiban untuk ikut campur. Kamu bisa mundur jika mau."
"Tapi aku juga tidak bisa begitu saja menganggapnya tak ada hubungannya denganku. Saat ini, aku adalah bagian dari dunia ini. Di sini, ada orang-orang yang penting bagiku… teman, orang tua, bawahanku… dan kamu."
"A-a-aku juga termasuk?!"
Yua terkejut, wajahnya memerah.
Apa itu begitu mengejutkan?
"Tentu saja. Kau dulu seorang Pahlawan, tapi sekarang kau adalah adikku. Keluarga."
"Adik…? Oh, jadi itu maksudmu…"
Ekspresi Yua terlihat rumit. Seperti kecewa… atau mungkin kesal?
"Yah, kau pasti tidak menyukaiku, jadi mungkin ini mengganggumu."
Mungkin dia tidak suka diperlakukan sebagai orang penting olehku. Aku mungkin sudah berkata hal yang salah.
"Terserah. Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan."
Dia berpaling dariku.
Sepertinya perasaanku tidak diterima dengan baik. Yah, kalau dia memang membenciku, tidak ada gunanya memaksakan diri.
"Tapi aku mengerti. Kau keras kepala, kalau sudah berkata begitu, pasti tidak akan berubah pikiran. Baiklah, ayo kita bertarung bersama."
4
Setelah berdiskusi dengan Yua, kami memutuskan untuk mengadakan pertemuan online dengan semua pihak yang terlibat.
Peserta rapat ini adalah aku, Yua, Yuri, dan Nanaka.
Aku dan Yua bergabung melalui ponselku di kamarku untuk video call, sementara Yuri dan Nanaka bergabung dari rumah mereka masing-masing.
"Eh!?"
Begitu kamera menyala, ekspresi Yuri langsung seperti mengalami error.
Mungkin karena melihat bukan hanya aku, tapi juga Yua di layar.
"Maaf membuatmu terkejut, Yuri. Yua ada di pihak kita. Kau tidak perlu berpura-pura menjauh dariku lagi."
"Jadi, kita bahkan meminta bantuan seorang Pahlawan?"
"Benar. Awalnya, aku berencana meminta bantuanmu untuk Death Game berikutnya, tapi semakin banyak sekutu, semakin baik, kan."
"Kalau itu perintah dari Gent-sama, aku tidak akan membantah… Tapi aku tetap punya kekhawatiran."
"Apa maksudmu? Kau takut aku akan mengkhianati kalian? Atau kau meragukan kemampuanku?"
Yua bertanya dengan nada menantang.
"Tentu saja, keduanya."
"Oh? Sejak kapan, di dunia lain dulu, kau pernah menang melawanku?"
"Hmph. Kita tidak pernah bertarung satu lawan satu, jadi aku tidak tahu. Lagipula, manusia hina sepertimu pasti tidak akan bermain adil. Aku tidak akan heran kalau ini semua hanyalah jebakan."
Ketegangan terasa di antara Yua dan Yuri, seakan ada percikan listrik di antara mereka meski hanya berkomunikasi lewat layar.
"Sudah cukup ya. Aku tahu kalian dulunya musuh, dan pasti tidak suka bekerja sama. Tapi kita punya kepentingan yang sama. Kalian berdua ingin melindungi 66 Summoned Beast dan Barrier of Lamentation, bukan?"
"Itu benar, tapi…"
"Yah, memang begitu."
"Jadi kalian setuju untuk bekerja sama?"
"Tunggu sebentar. Aku tahu Aoma adalah Raja Iblis dan Yuri adalah bawahannya, tapi… Yua, kau itu Pahlawan, kan?"
Nanaka akhirnya mengajukan pertanyaan.
"Benar. Sekarang dia adikku, tapi di dunia lain, dia adalah Pahlawan."
"Jadi, Raja Iblis dan Pahlawan yang seharusnya musuh… sekarang jadi kakak-adik?! Gila! Rumit banget ceritanya!"
"Ini bukan sesuatu yang aku pilih sendiri."
"Jadi, adik ya… Hm, kalau begitu saingan terbesarku adalah Yua-chan, huh?"
"…Saingan?"
"Tidak, tidak. Bukan apa-apa."
"Tunggu sebentar, dasar gadis liar! Kenapa aku tidak termasuk dalam perhitunganmu?"
Yuri langsung memprotes.
"Eh? Soalnya kau bawahannya, jadi aku kira kau otomatis tersingkir dari kompetisi."
"T-tapi kalau begitu, adik juga termasuk keluarga! Seharusnya dia juga tidak masuk perhitungan!"
"Eh? Kau tidak tahu, Yuri? Kalau tidak ada hubungan darah, kakak-adik tetap bisa menikah, lho?"
"A-a-apa?!"
"Maaf ya, Lily, Nanaka-san. Aku akan memanfaatkan keistimewaan sebagai 'adik' semaksimal mungkin."
Yua tersenyum licik.
"Hmph, tapi sebagai teman sekelas, aku juga punya keuntungan, lho! Aku adalah cewek yang paling baru masuk dalam hidupnya—aku masih fresh!"
"T-tunggu! Aku juga teman sekelasnya…!"
"Hah, kau sudah bersamanya lebih dari seratus tahun dan tetap tidak ada perkembangan. Jangan mimpi ya."
Yua mendengus geli.
"A-apa kau bilang?!"
Tiga gadis itu saling ribut, bercanda satu sama lain dengan heboh. Tapi melihat mereka begitu akrab, aku sedikit lega.
"Ngobrol santai memang menyenangkan, tapi bolehkah kita masuk ke pokok pembicaraan?"
Mereka bertiga menatapku dalam diam, lalu menghela napas serempak dengan ekspresi berbeda-beda.
"Yah, dia memang selalu begini, jadi mau bagaimana lagi."
"Satu-satunya kelemahan Gent-sama."
"Kalian berdua pasti sudah banyak menderita, ya~."
Entah kenapa aku merasa reputasiku menurun, tapi tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Aku harus segera masuk ke inti rencana.
"Baik, aku akan menjelaskan strategi kita."
Saat aku menjelaskan secara detail, malam pun semakin larut.
*
Di suatu tempat gelap dan kosong.
Seseorang berdiri diam—sosok berjubah hitam dengan topeng merah. Dia adalah pemilik Death Game 'Hate Breeder'.
Di sekelilingnya, melayang empat kristal bercahaya. Itu adalah sesi komunikasi rutin dengan para petinggi Genesis Brigade. Para eksekutif menciptakan dimensi tersembunyi untuk pertemuan ini, lalu memanggil si Topeng Merah ke sana agar mereka bisa berbicara dengannya.
Kristal-kristal itu adalah alat sihir yang menghubungkan mereka dengan para petinggi yang berada di dunia lain. Satu kristal terhubung dengan satu orang.
"Jadi, Raja Iblis Gent ternyata bereinkarnasi, ya."
Suaranya terdengar aneh, seolah dipenuhi gangguan audio. Itu karena identitas para petinggi hanya diketahui oleh segelintir orang. Bahkan si Topeng Merah, yang dipercaya mengelola 'Hate Breeder', tidak pernah melihat wajah atau mengetahui latar belakang mereka.
Meski begitu, fakta bahwa dia dipanggil ke sini membuktikan bahwa mereka mengakuinya sebagai bagian dari kelompok elite. Itu membuatnya bangga.
"Kukira dia akhirnya mati… tapi ternyata malah hidup kembali di tempat lain. Kalau begini, konsep 'abadi' benar-benar menjengkelkan."
"Generasi demi generasi, para pendahulu kita telah dibantai olehnya. Kita tidak bisa membiarkan kekejaman ini berlanjut."
"Kudengar 'Hate Breeder' juga mengalami gangguan, benar?"
Para petinggi berbicara satu per satu, suara mereka terdengar tenang. Namun, di baliknya tersimpan kebencian mendalam terhadap Gent dan amarah atas kekacauan yang dia sebabkan.
"Benar. Aku sudah dua kali kehilangan pertunjukan gara-garanya."
Berbeda dengan mereka, si Topeng Merah tidak terdengar marah sedikitpun. Bahkan, dia sepertinya menikmati situasi ini.
"Kau terdengar cukup santai."
"Kau tahu kan, kegagalan lebih lanjut tidak akan ditoleransi?"
"Tenang saja. Aku sudah menyiapkan langkah pencegahan."
"Oh? Jadi kau sudah menemukan cara untuk mengalahkan Raja Abadi itu?"
"Ya. Memang benar dia adalah mantan Raja Iblis, tapi sekarang dia hanya manusia biasa. Dia tidak lagi sekuat di dunia sebelumnya. Dan di pihak kita… ada Pahlawan."
"Pahlawan? Maksudmu Sharin Rose juga bereinkarnasi?"
"Benar. Aku berencana memanfaatkannya. Sudah hukum alam, bukan? Yang mengalahkan Raja Iblis adalah Pahlawan."
Si Topeng Merah tertawa kecil, suara cekikikannya bergema di ruang gelap itu.
"Kau memang bisa diandalkan. Kami menaruh harapan padamu, Roup."
"Dengan senang hati."
Si Topeng Merah—atau lebih tepatnya Shiroshita Takahide, adalah anggota Genesis Brigade bahkan sejak kehidupan sebelumnya di dunia lain. Setelah mati dalam perang dan bereinkarnasi, kesetiaannya tetap sama.
"Aku akan menyajikan permainan yang sangat menghibur. Nantikan saja.”