NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Chikatetsu de Bishoujo o Mamotta Ore V2 Chapter 1 — 10

Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


 Chapter 1 - Berangkat ke Sekolah


Seminggu telah berlalu sejak perkemahan sekolah berakhir.

Di pagi hari yang cerah ini, aku berdiri di dalam stasiun dengan kelopak mata yang setengah tertutup, menunggu seseorang.

"Huaaah... Ngantuk banget..."

Aku menguap tanpa sadar karena terlalu mengantuk.

Kemarin aku terlalu fokus bermain rhythm game, sampai-sampai tidak tidur sama sekali. Mungkin aku hanya tidur sekitar tiga jam.

Bahkan bagi seseorang sepertiku yang terbiasa begadang, tidur tiga jam itu cukup menyiksa. Rasanya aku ingin segera kembali ke kamar dan tidur lagi.

Tapi karena aku sudah berjanji untuk berangkat ke sekolah bersama, aku tidak bisa melakukan itu.

Sekarang aku harus menahan rasa kantuk ini.

"Hmm... Seharusnya dia datang sebentar lagi."

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengecek waktu.

Layar menunjukkan kalau waktu yang kami sepakati masih lima menit lagi.

Kalau lima menit lagi, seharusnya dia akan datang segera.

Tepat setelah aku berpikir begitu—

"Ryo-kun! Selamat pagi! Maaf ya, aku selalu membuatmu menunggu!"

Aku mendengar suara seseorang memanggil namaku dari belakang.

Saat aku berbalik, kulihat seorang gadis dengan rambut hitam indah yang berayun mengikuti gerakannya, berlari kecil ke arahku dengan langkah-langkah ringan.

"Yo, Hinami. Selamat pagi."

"Iya! Selamat pagi!"

Bahkan setelah perkemahan sekolah berakhir, aku dan Hinami tetap berangkat ke sekolah bersama hampir setiap hari.

Kami berjanji akan melakukannya pada hari kami pergi berbelanja di mal.

Selain itu, karena aku sudah bertekad untuk selalu melindunginya dari bayang-bayang, aku harus berada di dekatnya sebisa mungkin.

"Baiklah, ayo berangkat."

"Iya!"

Aku dan Hinami mulai berjalan bersama di jalan panjang yang menuju SMA Tokinozawa.

Akhir-akhir ini suhu semakin meningkat. Bahkan hanya dengan berjalan, tubuh mulai terasa gerah. Kehangatan nyaman musim semi telah menghilang, digantikan oleh panas yang lembap yang semakin hari semakin terasa.

Saat upacara masuk sekolah, jalan ini dipenuhi bunga sakura yang bermekaran. Tapi sekarang, keindahan itu telah lenyap.

"Sebentar lagi sudah musim panas ya. Waktu berlalu begitu cepat."

"Belakangan ini makin panas ya, Ryo-kun."

Keringat perlahan menetes dari dahi Hinami saat dia berkata begitu.

Mungkin karena tidak tahan dengan panas, dia mulai mengipasi dirinya dengan menarik kerah seragamnya berulang kali.

"Iya, memang mulai panas. Aku juga mulai berkeringat."

"Rasanya waktu berjalan begitu cepat! Sebentar lagi kita akan menghadapi festival olahraga!"

"Oh iya... Festival olahraga?"

Aku tanpa sadar mengulang perkataannya.

"Iya! Sekitar tiga minggu lagi festival olahraga akan diadakan! Sepertinya hari ini sepulang sekolah kita akan menentukan bagian masing-masing!"

"Jadi... festival olahraga diadakan sekitar waktu ini, ya?"

Aku panik.

Aku benar-benar lupa soal festival olahraga.

Sama sekali tidak terpikirkan.

Sejak masuk SMA dan bertemu kembali dengan Hinami, terlalu banyak hal terjadi sehingga aku benar-benar melupakannya.

Jadi festival olahraga diadakan tak lama setelah perkemahan sekolah, ya?

Sepertinya waktu sebelum liburan musim panas akan semakin seru.

"Ini pertama kalinya aku mengikuti festival olahraga sebagai anak SMA, jadi aku sangat gugup. Tapi tahun ini aku sekelas dengan Yuri dan Koi-chan, jadi pasti akan banyak kenangan seru!"

"Dulu kalian tidak pernah sekelas?"

"Iya, dan itu membuat kami selalu berada di tim yang berbeda saat festival olahraga. Makanya, aku sangat menantikannya!"

Mata Hinami mulai berbinar penuh semangat, seolah ingin menantang panas yang lembap ini.

Hinami, Yuri, dan Koi-chan. Mereka bertiga adalah gadis-gadis cantik yang luar biasa.

Mereka selalu terlihat akrab satu sama lain, tapi ternyata mereka baru bisa sekelas di SMA.

Kalau beda kelas, tentu saja akan sulit untuk menikmati acara sekolah bersama.

Festival olahraga dan festival budaya biasanya dilakukan berdasarkan kelas masing-masing.

Memang bisa bersenang-senang dengan teman dari kelas lain, tapi waktu untuk bersama pasti lebih sedikit.

Mungkin karena itulah, bagi Hinami, festival olahraga tahun ini terasa lebih spesial.

"Tahun ini, aku ingin membuat banyak kenangan, tanpa peduli siapa lawan atau kawan! Aku akan mengambil banyak foto, berusaha sekuat tenaga dalam lomba, mendukung teman-teman dengan semangat, dan tentu saja, berusaha untuk menang! Ah, lalu satu lagi!"

"Hei, hei, kau terlalu bersemangat… tapi itu hal yang bagus."

"Be-benarkah? Tapi aku benar-benar senang bisa membuat kenangan di festival olahraga bersama Yuri dan Koi-chan!"

Seperti yang dia katakan, Hinami adalah orang yang baik dan sangat peduli dengan orang lain.

Nilainya selalu bagus, sikapnya pun terpuji.

Bahkan, di internet, dia dijuluki "gadis tercantik dalam seribu tahun."

Meskipun begitu, dia tidak sombong dan selalu bersikap ramah pada siapa pun.

Mungkin ini hanya prasangkaku sebagai cowok yang tidak populer, tapi biasanya gadis-gadis cantik sering memiliki sisi lain yang mereka sembunyikan. Tapi Hinami berbeda.

Dia tulus, selalu peduli pada orang lain. Bahkan terkadang, kebaikannya yang berlebihan malah membuatnya sendiri kesulitan.

Hinami benar-benar orang yang baik.

"Kalau begitu, pastikan kau tidak menyesalinya nanti."

"Iya! Ah, tapi… Ryo-kun juga harus menikmatinya! Aku juga ingin membuat banyak kenangan bersamamu!"

"…Hah? Aku juga?"

Otakku butuh beberapa detik untuk memproses kata-katanya.

A-apa aku salah dengar? Pasti begitu, kan?

"Maksudmu, aku juga ikut? Tidak mungkin, kan?"

Aku menoleh ke arahnya dengan bingung, dan Hinami hanya tersenyum cerah—senyuman yang begitu indah dan menyilaukan.

"Jangan bilang ‘aku yang seperti ini’! Ryo-kun juga harus bersenang-senang di festival olahraga bersama kami!"

"Tapi… apa tidak masalah? Aku bergabung dengan kalian bertiga?"

"Tentu saja tidak masalah! Justru aku lebih senang kalau Ryo-kun ada! Ayo kita nikmati festival olahraga bersama!"

Meskipun aku terus mempertanyakan hal itu dengan sikap pesimis, Hinami tetap tersenyum tanpa sedikit pun ragu.

U-uhh… dia benar-benar seperti malaikat…

Hinami benar-benar baik hati, sampai-sampai dia mengajakku untuk ikut serta.

Sudah beberapa bulan sejak aku masuk sekolah ini, tapi aku masih belum punya teman laki-laki.

Pagi-pagi aku pergi ke sekolah bersama Hinami, di kelas aku menghabiskan waktu dengan tiga gadis, dan saat pulang, anak-anak laki-laki yang lain biasanya masih sibuk dengan klub mereka, sedangkan aku yang tidak ikut klub selalu pulang lebih awal.

Dengan kata lain, meskipun sekolah ini sekolah campuran, aku entah bagaimana tidak punya teman laki-laki.

Haruskah aku menganggap ini sebagai kesialan? Atau justru keberuntungan karena bisa akrab dengan gadis-gadis?

Aku belum bisa menemukan jawabannya.

Tapi satu hal yang pasti, karena Hinami selalu ada di sisiku, aku tidak merasa kesepian.

Aku benar-benar harus berterima kasih padanya.

"Terima kasih, Hinami. Aku senang mendengarnya."

"Tidak, justru aku yang harus berterima kasih karena mau menemani! Ayo buat banyak kenangan bersama!"

"Benar juga. Kita harus menikmatinya tanpa ada penyesalan."

"Iya! Aku juga harus berusaha untuk semakin mempererat hubunganku dengan Ryo-kun!"

"…Eh? Hubungan kita? Maksudnya?"

Begitu aku menanyakan itu—

Mendadak, dari kepala Hinami keluar asap putih, diikuti oleh hawa panas yang menyebar di sekitarnya.

Semakin lama, suhunya semakin meningkat. Sampai-sampai rasanya air pun bisa menguap karena panasnya.

Seolah-olah aku sedang berada di dalam sauna dengan angin panas yang bertiup kencang.

"I-I-I-Itu salah bicara! Ma-Maksudku sebagai teman! Aku hanya ingin mempererat hubungan sebagai teman! Hanya itu! Benar-benar hanya itu!"

Hinami mengibaskan kedua tangannya dengan panik, matanya bergerak tak beraturan ke segala arah.

Tapi karena hawa panas yang dia keluarkan begitu kuat, aku tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan ucapannya.

Jika aku terus membahas ini, mungkin seluruh area ini akan menjadi lautan api, dan aku pasti akan terbakar hidup-hidup.

Lebih baik alihkan pembicaraan sebelum nyawaku dalam bahaya…

"Ba-baiklah! Aku mengerti! Oh iya, ngomong-ngomong, setelah festival olahraga, ada acara lain tidak?"

"Eh? Acara lain?"

Wajahnya yang tadi merah padam langsung kembali normal dalam sekejap, dan hawa panas yang tadi terasa juga tiba-tiba hilang.

Syukurlah.

Beruntung aku bisa mengalihkan topik.

Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.

"Biasanya, setelah festival olahraga ada acara seperti pesta penutupan, kan? Seperti menari bersama, misalnya."

"Pesta penutupan, ya… Aku tidak terlalu tahu soal festival olahraga di SMA, tapi sepertinya tidak ada acara seperti itu."

"Oh, begitu? Padahal kupikir pasti ada."

Di anime, biasanya ada adegan seperti pesta penutupan festival olahraga, jadi aku mengira sekolah ini juga mengadakannya.

Karena sekolah ini awalnya adalah sekolah khusus putri, wajar kalau setelah festival olahraga selesai, para siswa langsung diperbolehkan pulang.

Aku sebenarnya mengharapkan ada acara khas anak SMA, jadi agak kecewa. Tapi kalau memang tidak ada, mau bagaimana lagi.

"Meskipun tidak ada acara seperti pesta penutupan, setidaknya kita bisa menikmati festival olahraga bersama."

"Iya! Benar! Jumlah orangnya jauh lebih banyak dibanding SMP, jadi pasti lebih seru!"

Aku dan Hinami saling tersenyum sambil bertatapan.

Sepertinya festival olahraga ini akan lebih menyenangkan dari yang kuduga.

Saat aku sedang berpikir begitu—

"Ryo~! Selamat pagi~!"

Tiba-tiba, seseorang memanggilku dari belakang. Dan sebelum aku bisa bereaksi, tubuhku langsung ditarik ke belakang dan dipeluk dengan erat.

S-suara ini…

"Jangan-jangan, Yuri!?"

"Bingo~! Kaget, ya!?"

Aku menoleh ke belakang dan melihat wajah Yuri yang penuh kemenangan setelah berhasil menjahiliku.

Karena dia memelukku dari belakang, dadanya menekan punggungku cukup kuat. Sensasi lembut yang kurasakan membuat akal sehatku sedikit terguncang.

"H-Hei! Itu bikin jantungku hampir copot! Sumpah, ini tidak baik buat kesehatan!"

"Haha, maaf, maaf~. Aku cuma lihat kalian berdua jalan bareng, jadi aku ingin iseng sedikit~."

Yuri lalu melepaskanku sambil menjulurkan lidah dengan wajah jahil.

Jelas sekali dia sama sekali tidak merasa bersalah… yah, sudahlah.

"Selamat pagi, Hinami!"

"Selamat pagi, Yuri."

Setelah mereka saling menyapa, Yuri mulai berjalan di sampingku.

"Ahh, pelajaran pertama hari ini olahraga, jadi rasanya lebih santai. Aku sudah tidak sabar main voli!"

"Benar juga. Punya olahraga di jam pertama lumayan membantu. Aku kurang tidur hari ini. Kalau pelajaran pertama adalah bahasa Jepang, aku pasti langsung pingsan di kelas."

"Ahaha! Pasti karena kamu terlalu sibuk main rhythm game, kan? Rank match baru dimulai, jadi tidak heran kalau keterusan!"

"Sebagai pecinta rhythm game, aku tidak bisa melewatkan rank match ini! Aku rela mengorbankan tidur demi hasil terbaik!"

"Ohh, semangat sekali~. Mungkin aku juga harus serius memainkannya!"

Setelah Yuri berkata begitu dengan penuh semangat, Hinami pun membuka mulutnya.

"Ngomong-ngomong, Yuri. Biasanya kamu selalu berangkat bareng Koi-chan. Kenapa hari ini sendirian?"

Benar juga. Aku sering melihat Yuri dan Koi-san masuk kelas bersama. Setahuku, mereka naik kereta yang sama.

Kalau begitu, agak aneh kalau hari ini Koi-san tidak bersamanya.

"Ahh, hari ini Koi-chi dapat giliran piket, jadi dia harus datang lebih awal~. Makanya hari ini aku jadi sendirian~."

Oh, jadi begitu. Karena tugas piket, hari ini mereka harus berangkat secara terpisah.

"Kalau begitu, Ryo dan Hinami juga selalu berangkat bersama, ya?"

"…Eh?"

"…Eh?"

Aku dan Hinami sama-sama terdiam dan saling bertukar pandang.

I-ini pertanyaan yang sulit dijawab…

Kalau aku jujur dan bilang "Iya, benar," bukankah itu terdengar seperti kami pasangan?

Gimana cara jawabnya, ya…?

Saat aku masih memikirkan jawabannya—

"E-e-e-e-eh!? I-i-i-itttuuu…! A-a-anu…! U-um…!"

Sekali lagi, hawa panas muncul dari tubuh Hinami.

Panas banget! Gila, ini seperti suhu yang bisa membakar hutan!

Sepertinya dia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat dan akhirnya overheat.

Ini benar-benar seperti robot. Apa dia sebenarnya android humanoid berteknologi tinggi!?

Kalau begini terus, aku dan Yuri bisa berubah jadi abu. Aku harus mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan dengan jawaban yang masuk akal.

"Ke-kebetulan saja kami tiba di stasiun pada waktu yang sama. Makanya, kami jalan bareng. Hanya itu."

Ya, jawaban yang bagus.

Kalau aku bilang begitu, orang lain tidak akan salah paham.

Atau setidaknya, begitulah yang kupikirkan…

"Hmmm~. Begitu, ya~."

Entah kenapa, wajah Yuri yang tersenyum jahil langsung tercetak di mataku.

Ehh, kenapa dia senyum seperti itu? Apa maksudnya…?

"Kalau begitu, mulai besok aku juga boleh berangkat sekolah bareng kalian, kan? Tentu saja bersama Koi-chi juga. Aku ingin ngobrol lebih banyak denganmu, Ryo~! Tentang rhythm game dan hal-hal lainnya!"

Mendengar kata-kata Yuri, aku langsung terdiam.

Sejak perkemahan sekolah, rasanya jarakku dengan Yuri semakin dekat.

Kami mulai sering berbicara tentang hal-hal pribadi, bahkan kadang-kadang menelepon hingga larut malam. Ditambah lagi, interaksi fisiknya, seperti tadi, juga semakin sering terjadi.

Mungkin baginya aku hanyalah teman yang memiliki hobi yang sama, jadi ini semua adalah hal biasa.

Tapi… entah kenapa.

Belakangan ini aku mulai berpikir, mungkin ada perasaan lain di balik semua ini.

Mungkinkah…

"…Ryo? Hei, kamu dengar aku tidak?"

"Eh? Ah, maaf. Aku tadi kepikiran hal lain."

Saat aku tenggelam dalam pikiranku, Yuri tiba-tiba mendekat, menatapku dengan rasa penasaran.

Kulitnya yang halus terlihat jelas di mataku, dan aroma parfumnya yang lembut tercium samar di hidungku.

Wah, dekat banget! Jaraknya terlalu dekat!

Setelah menatapku beberapa saat, Yuri tiba-tiba berseru seolah baru saja mengungkap trik dalam sebuah drama detektif.

"Ah~! Jangan-jangan tadi kamu mikirin hal aneh, ya?"

"Tidak mungkin lah!"

Sama sekali tidak! Mana mungkin aku memikirkan hal aneh sepagi ini!?

"Haha, tidak usah malu-malu~. Wajar kok, namanya juga laki-laki~. Ah, tapi kita harus kembali ke topik! Jadi, boleh tidak kami ikut berangkat bareng?"

"Aku sih tidak masalah. Kalau rame-rame pasti lebih seru. Hinami juga setuju, kan?"

"U-uh! Ayo berangkat bareng, Yuri!"

Hinami segera mengangguk dan tersenyum cerah.

"Terima kasih, Hinami! Kalau begitu, mulai besok kita berangkat bareng, ya!"

Setelah mengatakan itu, Yuri tiba-tiba menggenggam lenganku dengan erat.

Lalu—

"Besok kita ngobrol banyak lagi, ya, Ryo!"

Ia berbisik lembut tepat di telingaku.

Hembusan napasnya yang hangat dan kehangatan tubuhnya langsung terasa, membuat detak jantungku meningkat drastis. Sekujur tubuhku mulai terasa panas.

Disikapi seperti ini oleh seorang gadis cantik, mana mungkin aku bisa tetap tenang!?

Sambil merasa bingung dengan tindakan Yuri, aku melirik ke arah Hinami yang berjalan di sampingku.

Namun, berbeda dengan sebelumnya, ekspresinya tampak murung seperti bunga yang layu. Ada sedikit aura kesedihan yang menyelimutinya.

Apa yang terjadi? Kemana perginya semangatnya yang tadi?

Di bawah sinar matahari pagi yang menerangi jalan menuju sekolah, dua gadis di sampingku menunjukkan reaksi yang berlawanan.

Satu tampak begitu gembira, sementara yang lain terlihat sedikit kecewa.

Apa-apaan ketimpangan ini…?

Setelah itu, Yuri terus berbicara dengan penuh semangat, membuatku sulit untuk memperhatikan Hinami.

Hanya aku yang menyadari perubahan kecil pada dirinya.



Chapter 2: Bola Voli


Setelah beberapa waktu berangkat sekolah bersama Hinami dan yang lainnya, akhirnya tiba giliran pelajaran olahraga.

Hari ini kami bermain voli. Pertandingan dilakukan secara campuran antara laki-laki dan perempuan, dan jumlah kemenangan tim akan dihitung sebagai skor.

Saat ini, kami sedang melakukan pemanasan berpasangan sebelum bertanding.

Aku akan langsung saja mengatakannya. Aku merasa sekarat bahkan sebelum pertandingan dimulai. Jika ini terus berlanjut, aku mungkin akan segera menuju surga…

Alasannya sangat sederhana. Karena…

"T-tunggu, Koi-san! Sakit banget, tahu!? Sendi panggulku hampir mati!"

"Hah? Apa yang kau bicarakan? Peregangan sendi panggul harus dilakukan sampai terasa seperti mau mati, itulah yang terbaik. Jangan mengeluh, gigit saja gigimu dan… bersiaplah untuk mati."

"Mana ada peregangan kayak gitu!? Kamu ini mau membunuhku, ya!?"

Seperti yang bisa dilihat, aku berpasangan dengan sang putri sadis, Koi-san.

Awalnya aku berencana memilih pasangan secara asal, tapi justru Koi-san yang langsung mengajakku.

Dia menggenggam pundakku erat-erat seakan tidak akan melepaskanku, lalu dengan senyum menyeramkan, dia berkata, "Kita akan berpasangan, kan?"

Saat mendengar kalimat itu, aku langsung sadar. Ah, ini pasti situasi yang tidak bisa kuhindari.

Tak bisa melarikan diri, aku terjebak dan hampir dibunuh hanya karena sesi pemanasan.

Saat ini, kami sedang melakukan peregangan sendi panggul.

Gerakannya cukup sederhana: duduk dengan kaki terbuka lebar, lalu membungkukkan badan ke depan.

Karena tubuhku tidak terlalu lentur, jelas mustahil bagiku untuk menyentuhkan dadaku ke lantai. Namun, Koi-san justru…

"Ayo, lebarkan kakimu lebih jauh, lalu tempelkan dadamu ke lantai. Seperti ini, contohnya."

Lalu, dia mulai menginjak bagian belakang kepalaku dengan kakinya yang telanjang.

Dengan tekanan tumitnya, dia menekanku semakin keras.

Sakit! Ini benar-benar sakit! Dan yang lebih penting, tolong jangan injak kepalaku dengan kaki!?

"F-Koi-san!? Tolong tekan punggungku saja, bukan kepalaku! Dan pakai tangan, bukan kaki! Ini sakit banget!"

Aku yakin hanya segelintir orang di dunia ini yang akan senang diperlakukan seperti ini oleh seorang gadis loli dan sadis.

Aku tidak punya fetish aneh seperti itu, jadi tolong hentikan!?

"Menurutku, ini adalah tekanan yang paling pas. Kalau baru segini saja kamu sudah mengeluh, berarti kamu masih lemah. Oke, akan kutambah tekanannya sedikit."

Dan dengan itu, Koi-san menekan lebih keras lagi.

Sakit! Kepalaku sakit, sendi panggulku juga sakit!

Dasar sadis!!

"Hah, baru saja kamu membangkang dalam hati, kan? Dasar budak tak tahu diri. Sepertinya kamu butuh hukuman?"

"Eh!? Kok kamu tahu aku kepikiran itu!?"

"Tentu saja aku tahu. Aku ini majikan budak, lho."

"Sejak kapan kita punya hubungan seperti itu!?"

"Sejak hari kamu lahir."

"Aku jadi budakmu sejak lahir!? Itu keterlaluan!"

"Kamu ribut sekali. Kalau masih bisa banyak bicara, berarti aku harus menambah tekanannya, ya?"

Mendengar itu, tubuhku langsung berkeringat dingin. Dan seketika, aku mulai gemetar.

"T-tunggu! Tolong jangan—AARGH! Koi-san, terlalu kuat!"

Dengan tekanan terkuat sejauh ini, Koi-san kembali menginjak belakang kepalaku.

Tubuhku yang kaku dipaksa semakin dekat ke lantai, sementara sendi panggulku menjerit kesakitan.

Saat aku menahan rasa sakit yang luar biasa, Koi-san justru…

"Hmph."

Mengejekku dengan napasnya.

Brengsek! Kenapa rasanya aku malah semakin kesal!?

"Ingat baik-baik. Dalam kamusku, peregangan itu sama dengan pelatihan budak."

"Itu gila! Tidak ada orang normal yang berpikir begitu! Tolong, ada yang bisa menyelamatkanku!?"

Di saat kelompok lain menikmati sesi pemanasan mereka dengan tenang…

"Tidaaaaaak!!"

Aku sendirian yang harus mengalami ‘pelatihan’ oleh Koi-san…

***

Setelah sesi death stretch bersama Koi-san berakhir, akhirnya pertandingan voli pun dimulai.

Pertandingan pertama mempertemukan timku dan Hinami melawan tim Koi-san dan Yuri.

Biasanya, tim akan dibagi berdasarkan gender. Namun, SMA Tokinozawa baru saja menjadi sekolah campuran tahun ini setelah sebelumnya merupakan sekolah khusus putri.

Di setiap kelas, jumlah murid laki-laki hanya lima orang.

Awalnya, pihak sekolah berencana menerima lebih banyak siswa laki-laki, tetapi meskipun sudah menjadi sekolah campuran, jumlah pendaftar perempuan tetap jauh lebih banyak.

Karena kekurangan laki-laki, kami akhirnya harus bermain dalam tim campuran.

Dalam tim, aku berperan sebagai libero, bertugas menerima bola lawan agar Hinami, sang attacker, bisa melakukan spike.

Sementara itu, di tim lawan, Koi-san juga menjadi libero, sedangkan Yuri adalah attacker.

Koi-san memiliki kemampuan menerima bola yang sangat baik, dan Yuri mampu melakukan spike yang sangat kuat.

Kerja sama mereka membuat tim kami kehilangan beberapa poin.

Namun, Hinami juga tak kalah dari Yuri. Dengan spike kuatnya, dia berhasil mengumpulkan poin untuk tim kami.

Alur pertandingan pun berpusat pada tiga gadis berbakat ini—Hinami, Yuri, dan Koi-san.

Tiga gadis cantik yang tidak hanya pintar dalam akademik, tetapi juga luar biasa dalam olahraga.

Betapa high spec mereka, sih!?

"Baiklah, aku mulai!"

Dari sisi lapangan yang berlawanan, Koi-san bersiap melakukan servis.

Begitu bola memasuki lapangan kami…

"Ryo-kun! Bolanya datang!"

"Serahkan padaku!"

Aku segera menurunkan posisi pinggangku dan dengan hati-hati menerima bola.

Pak!

Suara nyaring terdengar saat bola menyentuh lenganku.

Bola yang kuterima jatuh dengan mulus ke arah setter.

Sang setter lalu melemparkan umpan ke sisi kanan, di mana Hinami sudah bersiap.

"Hup!"

Dia melompat dan memukul bola dengan kuat menggunakan tangan kanannya.

Karena dia mengenai bagian tengah bola dengan sempurna sambil melayang di udara, kekuatan dan kecepatan spike-nya mencapai level pemain berpengalaman.

Tak ada satu pun lawan yang bisa bereaksi dengan baik, dan tim kami mendapatkan satu poin.

Setelah mencetak poin, Hinami tersenyum senang dan langsung berlari ke arahku.

"Kita berhasil! Ryo-kun, poinnya masuk!"

"Nice spike! Itu tadi benar-benar tak terbendung!"

"Tidak juga. Ini semua berkat Ryo-kun yang menerima bola dengan baik, jadi aku bisa menyerang dengan lancar."

"Tapi tetap saja, kamu yang mencetak poin, jadi harus lebih percaya diri."

"B-benarkah? Tapi ini juga berkatmu, Ryo-kun."

Meski berkata dengan rendah hati, pipinya tampak sedikit memerah.

Melihat momen itu, Yuri yang berada di seberang net langsung menunjukkan semangat membara.

"Wah, hebat juga ya, Hinami. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkanmu mencetak poin dengan mudah!"

Seperti saat bermain rhythm game, Yuri memang sangat kompetitif. Dia selalu ingin menang, dan tak akan menyerah sampai benar-benar menang.

Tapi, itu juga salah satu sisi baiknya.

"Oke, kita harus tetap fokus dan berusaha lebih keras, semuanya!"

Yuri menyemangati timnya dan bersiap untuk ronde berikutnya.

Kami juga tidak boleh lengah. Spike Yuri cukup kuat, jadi kalau kami kehilangan fokus, mereka bisa membalikkan keadaan dalam sekejap.

"Baiklah, ayo tetap waspada dan lakukan yang terbaik!"

Setelah aku memberi semangat pada tim, pertandingan kembali dimulai dengan servis dari pihak kami.

Bola melayang ke arah tim lawan, dan Koi-san dengan sigap menerimanya.

Dia menurunkan posisi pinggang dan lututnya, lalu melakukan receive dengan postur sempurna.

Bola melayang membentuk lengkungan indah menuju setter lawan.

Sang setter lalu melemparkan umpan tinggi ke arah langit-langit.

"Nice toss!"

Yuri langsung mengambil ancang-ancang sesuai kecepatan jatuhnya bola.

Kemudian, dengan langkah cepat dan lompatan kuat, dia melesat ke udara.

Duk! Suara kakinya menghentak lantai terdengar jelas.

"Aku akan menyerang, Ryo!"

"Ayo, coba saja! Aku tak akan membiarkan bola ini jatuh!"

Sesaat sebelum melakukan spike, mataku bertemu dengan Yuri, yang tengah menyala-nyala penuh semangat.

Hanya dengan melihatnya, aku bisa langsung tahu—dia sama sekali tidak menahan diri dan benar-benar serius ingin mencetak poin.

Baiklah, ayo datang, Yuri!

Aku ikut terbakar semangat, tetapi…

Aku tiba-tiba menyaksikan pemandangan yang mengejutkan.

Saat Yuri melompat tinggi ke arah langit-langit, seragam olahraganya tersingkap sedikit.

Sehingga, aku bisa melihat perutnya.

Otot perutnya yang ramping dan pusarnya yang indah terpampang jelas di depan mataku—di depan mata seorang remaja laki-laki yang sedang berada di puncak masa pubertas.

Tanpa sengaja, aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat, dan itu membuat pikiranku kacau.

Aku begitu terpesona hingga sepenuhnya lupa bahwa sebentar lagi Yuri akan melakukan spike yang kuat.

Sial, apa-apaan perasaan ini!?

Dalam sekejap, pikiranku tersedot ke dalam pemandangan tersebut.

"Ryo-kun! Bolanya datang!"

Suara Hinami membangunkanku dari lamunan.

Namun, semuanya sudah terlambat.

Bersamaan dengan suara Hinami yang memasuki telingaku… spike Yuri menghantam wajahku dengan telak.

PAANG!

Suara benturan nyaring menggema di seluruh gedung olahraga.

Kekuatan pukulan itu begitu dahsyat hingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur.

"Ugh, sakit!"

Bersamaan dengan jatuhnya tubuhku, bagian belakang kepalaku membentur lantai dengan keras.

Betapa memalukannya…

Hanya karena tergoda oleh pemandangan sekilas, aku harus menerima hasil seperti ini?

Tapi, tapi… bukankah semua remaja laki-laki juga akan tergoda dalam situasi seperti tadi!?

Ini bukan salahku, kan? Aku cuma manusia biasa!

Siapa pun pasti akan tergoda jika melihat sedikit bagian tubuh seorang gadis secantik Yuri!

"Ryo-kun, kau baik-baik saja!?"

Saat aku masih sibuk mencari pembelaan untuk diriku sendiri, Hinami langsung berlari ke arahku dengan ekspresi khawatir.

"Ryo! Kau tidak apa-apa!? Maaf ya, sepertinya aku memukul ke arah yang salah. Aku benar-benar minta maaf!"

Setelah Hinami, Yuri juga langsung berlari menghampiriku, bahkan sampai melewati net.

Sebagai orang yang melakukan spike, Yuri tampak pucat pasi karena merasa bersalah.

Sial, ini jelas kesalahanku, tapi malah membuat mereka repot begini.

"T-tenang saja. Aku hanya sedikit kehilangan fokus tadi. Ini bukan salahmu, Yuri, jadi jangan khawatir. Aku benar-benar baik-baik saja."

Aku mencoba berdiri, meskipun tubuhku masih terasa goyah.

Bagian belakang kepalaku dan hidungku terasa seperti ditekan kuat-kuat.

Astaga, sakit sekali…

"Sudahlah, aku baik-baik saja. Ayo lanjutkan pertandingannya!"

Namun, saat aku berkata begitu…

Tetes… Tetes…

Aku mendengar suara air menetes dari bawahku.

Bersamaan dengan itu, aku juga merasakan sesuatu mengalir keluar dari hidungku.

Eh, ini…

"Ryo-kun! Kau… kau mimisan!"

"Wah, parah ini! Kau harus segera ke UKS!"

Setelah mendengar kata-kata Hinami dan Yuri, aku menyentuh hidungku.

Tanganku langsung berlumuran darah.

Ugh, sudah lama aku tidak mimisan. Baiklah, aku akan menekan hidungku dengan tangan kanan saja untuk menghentikannya.

T-tunggu, ini kan karena bola yang menghantam wajahku, kan?

Bukan karena aku memikirkan hal-hal mesum, kan!?

"Aku benar-benar minta maaf… semua ini salahku…"

Melihatku terluka, ekspresi Yuri langsung muram.

"Aku baik-baik saja. Ini bukan salahmu, Yuri. Aku bisa ke UKS sendiri, jadi kalian lanjutkan saja pertandingannya."

Saat aku hendak pergi ke UKS sendirian…

"Aku ikut!"

Yuri langsung mengikuti dari belakang dan menatapku dengan mata penuh tekad.

"Eh, tidak perlu. Aku benar-benar baik-baik saja. Lagi pula, ini salahku sendiri."

"Tapi, orang yang membuatmu terluka harus bertanggung jawab! Lagipula, kepalamu terbentur, jadi lebih baik ada yang menemani, kan?"

"T-tapi, sungguh, aku tidak apa-apa…"

"TIDAK BOLEH! Aku ikut! Titik!"

"…Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, tolong bantu aku."

Pada akhirnya, aku kalah dengan semangat tanggung jawab yang aneh dari Yuri, dan kami pun berjalan menuju UKS bersama.

Sungguh, aku tidak pernah menyangka kalau gara-gara tergoda oleh heso-chira (perut yang terlihat sekilas), aku bakal berakhir begini.

*** 

Setelah beberapa menit berjalan keluar dari gedung olahraga, aku dan Yuri akhirnya sampai di depan UKS.

Yuri membuka pintu geser.

"Permisi. Saya Sazanami Yuri dari kelas 1-A. Teman sekelas saya... Hah? Kok tidak ada siapa-siapa?"

Aku mengikuti Yuri yang mengintip ke dalam UKS dan ikut melihat ke dalam.

Ternyata, ruangan itu kosong dan sunyi.

Kami mencoba memanggil guru beberapa kali, tapi tidak ada respons. Mungkin beliau sedang ada urusan di luar.

"Yah, sial. Kita sudah sampai sini, tapi gurunya tidak ada. Hmm, yaudah, sambil nunggu, kita kasih pertolongan pertama dulu aja, ya?"

"Setuju. Cuma duduk diam juga buang-buang waktu."

Kami pun masuk ke dalam UKS yang sepi dan mulai melakukan perawatan sederhana.

Pertama, aku mencuci darah yang menempel di sekitar hidung di wastafel UKS hingga bersih.

Saat melihat cermin di wastafel, hidungku masih agak merah, tapi setidaknya darahnya sudah berhenti.

Syukurlah, aku tidak perlu menyumpal hidungku dengan tisu. Kalau anak SD sih masih wajar, tapi kalau anak SMA harus jalan-jalan dengan tisu di hidung? Itu sih tidak banget.

"Oh! Kayaknya udah berhenti tuh darahnya. Syukurlah!"

Yuri menatap wajahku dari samping dan terlihat lega.

"Tidak usah terlalu merasa bersalah, ya? Toh, ini juga salahku karena meleng saat main."

"Ya, tetap aja aku merasa bersalah sih... Tapi beneran, aku lega banget!"

Begitu mengatakannya, Yuri tersenyum cerah seperti matahari.

Ugh... Manis banget senyumnya.

Melihat senyum tiba-tiba itu, aku merasa tidak sanggup menatapnya langsung, jadi aku sedikit mengalihkan pandanganku.

"Oke, sekarang kita cari ice pack buat mendinginkan bagian belakang kepalamu! Cedera di kepala itu bahaya, lho!"

"Y-ya, benar juga."

Setelah itu, kami mulai mencari ice pack untuk mengompres belakang kepalaku...

Tapi nihil.

Sudah hampir lima menit mencari, tapi tidak ketemu juga.

Dimana sih letaknya...?

Karena tidak berhasil menemukannya, aku dan Yuri akhirnya duduk di atas ranjang UKS sambil menunggu guru datang.

Tapi guru yang ditunggu-tunggu juga tidak datang-datang. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda beliau akan muncul.

"Ice pack tidak ketemu, guru juga tidak datang. Bener-bener gabut nih, Ryo-san."

"Betul banget, Yuri-san."

"Kita udah nunggu guru sepuluh menit, tapi tidak datang-datang. Bener-bener gabut nih~"

"Setuju. Eh, tunggu! Kayaknya kita pernah ngobrol kayak gini sebelumnya, deh!?"

Karena terlalu bosan, kami jadi ngobrol hal tidak penting seperti orang bodoh. Ini rasanya kayak kejadian waktu kerja sebagai anggota pustakawan, kan?

"Soalnya bosen banget sih~"

"Ya mau gimana lagi, sabar aja. Oh iya, aku bisa nunggu sendirian, kok. Kamu balik aja ke gedung olahraga. Prioritaskan kelasmu, jangan khawatir sama aku."

"Tidak mau! Tidak mungkin aku lebih milih kelas daripada Ryo!"

Yuri menggembungkan pipinya dan menatap mataku dari jarak dekat.

Eh, eh, jangan sedekat itu! Ini situasinya cuma berdua di UKS, lho! Jarak segini tuh bahaya banget!

"M-maksudku, guru juga pasti bakal datang sebentar lagi, jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Tidak boleh! Gimana kalau sebelum guru datang, kondisi Ryo malah memburuk? Aku bakal nemenin dan jagain sampai guru datang, jadi tenang aja!"

"T-tapi..."

"Udah, tidak usah banyak alasan! Oh! Gimana kalau kita ngobrolin cinta buat ngisi waktu? Aku pengen tahu tentang kehidupan percintaan Ryo! Ini momen yang pas buat ngobrol, kan?"

"Kenapa tiba-tiba ngomongin cinta sih...? Aku bukan orang yang banyak pengalaman dalam hal itu, jadi tidak ada yang bisa diceritain."

"Tidak masalah! Aku cuma pengen tahu tipe cewek yang Ryo suka, atau cerita tentang orang yang dulu Ryo suka pas SMP!"

Sebenernya aku tidak berniat buat ngobrol soal kisah cintaku, tapi karena semangat Yuri yang begitu besar, aku akhirnya menyerah.

Jadilah, sampai guru datang, kami menghabiskan waktu dengan ngobrolin cinta.

Sejujurnya, aku tidak terlalu bersemangat, tapi karena Yuri kelihatan antusias, ya sudah, aku ikuti saja.

"Kalau gitu, pertama-tama kasih tahu aku dong, tipe cewek yang Ryo suka! Aku penasaran banget~"

"Tipe cewek yang aku suka, ya? Hmm, aku tidak terlalu mikirin sih, tapi mungkin yang senyumnya indah. Terus... aku juga suka cewek yang berambut panjang."

"S-sungguh? ...Kalau gitu, mulai besok aku harus lebih banyak tersenyum, ya. Rambutku juga panjang, jadi tidak masalah, kan? Oke, siap!"

Begitu aku menjawab, Yuri mengepalkan tangannya kecil-kecil dengan ekspresi penuh semangat.

Eh? Kenapa dia malah kelihatan senang?

"Kalau gitu, sekarang cerita dong tentang kisah cinta Ryo pas SMP! Aku pengen tahu lebih banyak tentang kehidupan cintamu~"

"A-aku sih tidak keberatan, tapi sebenarnya tidak ada yang bisa diceritain. Karena mataku keliatan tajam, cewek-cewek cenderung menghindar dariku. Jadi, aku tidak pernah pacaran sama siapa pun."

"Eh~? Serius? Jangan-jangan kamu bohong?"

"Ngapain juga aku bohong soal itu..."

"Hmm, gitu ya... Tapi aku agak kaget sih. Aku kira Ryo dulu cukup populer di SMP."

"Bayanganmu terlalu berlebihan. Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan percintaan. Aku cuma anak biasa yang hidup jauh dari dunia para pasangan bahagia."

"Wah~ tidak nyangka! Kalau gitu, aku boleh lanjut ke pertanyaan berikutnya?"

"Masih ada lagi?"

"Pastinya! Ini soal perkemahan sekolah kita!"

"Oh? Memangnya kenapa?"

"…Pas acara uji nyali waktu itu, aku kan sempat nyium pipi Ryo... Itu pertama kalinya kamu dicium cewek?"

"Hah?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan mengejutkan dari Yuri.

Dalam beberapa detik yang terasa panjang, tidak ada percakapan di antara kami. Yang terdengar hanya suara jarum jam yang bergerak.

Eh, tunggu. Apa-apaan ini? Kenapa Yuri tiba-tiba nanya kayak gitu!?

Wajahnya juga, dibanding tadi, kelihatan lebih merah...

Dia beberapa kali melirik ke arahku, seolah-olah sedang menunggu reaksiku.

A-apa maksud dari semua ini!?

Aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya!

"S-soalnya... Jawab dong, Ryo."

Setelah beberapa saat hening, Yuri akhirnya kembali bicara.

Tapi kali ini, dia tiba-tiba mendekat, sampai bahu kami saling bersentuhan.

Dia perlahan bersandar ke bahuku, tubuhnya terasa ringan, dan aroma manis parfumnya langsung menyerang inderaku.

"Y-ya... Itu pertama kalinya. Yuri adalah yang pertama."

"S-sungguh? Ehe... Aku senang dengarnya. T-terus, gimana perasaanmu waktu itu? Senang?"

"A-aku... Iya, aku senang. Meskipun awalnya kaget."

Sekarang pun, kalau aku mengingatnya lagi, rasanya masih agak malu.

Lagipula, mana mungkin seseorang tidak merasa apa-apa saat pertama kali dicium oleh seorang cewek?

Dan faktanya, aku memang merasa senang waktu itu.

Siapa pun pasti bakal senang kalau yang mencium mereka adalah cewek seperti Yuri.

"Makasih, Ryo. Aku waktu itu mikir, kalau Ryo yang pertama, aku tidak masalah memberikan ciuman pertamaku."

"Hah? Itu... ciuman pertamamu?"

"U-uhm... Iya. Ryo itu berbeda dari cowok lain, dia sangat spesial buatku. Makanya..."

Yuri berhenti sejenak.

Lalu, dengan wajah yang semakin memerah sampai ke ujung telinganya, dia menatapku dalam-dalam dan berkata dengan suara lirih namun penuh keyakinan.

"R-Ryo... Kalau kamu mau lanjut... Aku tidak keberatan."

Dalam sekejap, aku merasakan semacam guncangan hebat di seluruh tubuhku, seperti tersambar petir.

Saking terkejutnya, otakku langsung kosong selama beberapa detik.

T-tunggu dulu...

Kalau aku tidak salah dengar, di ruangan yang cuma berisi kami berdua ini...

Dia baru saja bilang kalau aku boleh "melanjutkan"!?

T-tapi, kenapa cuma aku yang diperlakukan spesial!? Apa karena kita sudah berteman sejak kecil!?

Atau... mungkinkah—

"T-Yuri... Aku boleh tanya sesuatu?"

"E-eh? I-iya..."

"T-Yuri, jangan-jangan kamu... s-suka—"

Saat aku baru saja akan menyelesaikan pertanyaanku...

"Ryo-kun? Yuri? Kalian masih di UKS?"

Bersamaan dengan suara seseorang yang memanggil kami, pintu geser UKS pun terbuka.

Eh? Suara ini...? Jangan bilang...!

Saat aku menoleh ke arah pintu geser, aku melihat Hinami mengintip ke dalam UKS dengan hati-hati.

Mataku bertemu dengan matanya, sementara tubuhku masih dalam posisi menempel dengan Yuri.

Setelah beberapa detik saling menatap, Hinami kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Yuri, yang duduk sangat dekat denganku.

Di dalam UKS yang sepi, seorang laki-laki dan perempuan remaja duduk berdampingan dengan jarak yang hampir tidak ada.

Melihat pemandangan seperti itu, ekspresi Hinami langsung berubah...

Mulutnya sedikit terbuka, dan dia tampak benar-benar terkejut. Seolah-olah jiwanya baru saja menghilang dari tubuhnya, dia kehilangan semua ekspresi hidup.

Sial... Ini buruk.

Pasti dia salah paham!

"T-tenang dulu, Hinami! Kami tidak ngapa-ngapain! Kami cuma nunggu guru UKS, itu aja! Tidak ada yang aneh, serius!"

Aku buru-buru mencoba meluruskan kesalahpahaman ini.

Tapi tiba-tiba, tubuh Hinami mulai tampak seperti pasir yang perlahan-lahan runtuh, seolah-olah jika ada angin bertiup sedikit saja, dia bakal hilang terbawa.

Gawat! Kalau ini terus berlanjut, Hinami benar-benar dalam bahaya, dalam segala arti!

Aku mulai panik, dan sepertinya Yuri juga berpikiran sama. Dia segera ikut membela diri.

"Tunggu, Hinami! Ini cuma kesalahpahaman! Kami cuma tidak nemu kantong es, jadi kami nunggu guru UKS datang! Sambil nunggu, kami ngobrol biasa aja!"

"Be... benarkah...?"

Mendengar pertanyaan itu, aku dan Yuri langsung mengangguk bersamaan.

Begitu melihat reaksi kami, tubuh Hinami yang hampir menjadi pasir pun kembali seperti semula, dan rona wajahnya pun kembali cerah.

Dalam sekejap, dia kembali seperti Hinami yang biasa, seolah tadi dia sama sekali tidak hampir lenyap jadi pasir.

"Huft! Jangan bikin aku kaget gitu dong! Waktu aku ngintip tadi, aku lihat kalian berdua duduk nempel di atas ranjang UKS, aku sampai tidak bisa berkata-kata!"

"Ma-maaf... Sumpah, kami cuma ngobrol doang."

Syukurlah, dia tidak salah paham lebih jauh.

Tapi, ngomong-ngomong... Kenapa Hinami ada di sini? Bukannya pelajaran olahraga masih berlangsung?

Saat aku bertanya padanya, dia menjawab,

"Soalnya kalian lama banget tidak balik! Sekarang tim kami lagi istirahat, jadi aku menyelinap ke sini buat cek keadaan kalian!"

Ah, jadi begitu. Dia sampai repot-repot ke UKS karena khawatir.

Memang benar, sudah cukup lama sejak aku datang ke UKS.

"Yuri, Hinami sampai khawatir dan datang ke sini. Mungkin sebaiknya kamu segera kembali ke lapangan. Jangan khawatirkan aku."

Aku menoleh ke Yuri yang duduk di sebelahku.

Dia menghela napas kecil, lalu bangkit berdiri dengan ekspresi seperti, "Ya udahlah, mau gimana lagi."

"Yah, aku udah bikin Hinami khawatir juga. Baiklah, aku balik ke lapangan. Ryo, kamu yakin tidak perlu ditemani?"

"Aku baik-baik aja. Lukanya tidak separah itu kok."

"Baiklah kalau kamu bilang begitu. Aku dan Hinami balik dulu, ya!"

"Ya. Hinami, maaf sudah bikin kamu khawatir."

"Tidak apa-apa, Ryo-kun! Yang penting, kamu pastikan diperiksa dengan benar, ya?"

"Siap."

Setelah kata-kata terakhir itu, Hinami dan Yuri pun meninggalkan UKS.

Aku mendengar suara langkah kaki mereka semakin menjauh.

Saat keheningan mulai menyelimuti ruangan, aku merebahkan diri di ranjang UKS.

Kepalaku masih agak sakit, tapi kalau dikompres dingin pasti bakal membaik.


Chapter 3 - Pertemuan Takdir


Setelah berpisah dengan Ryo-kun, aku dan Yuri berjalan kembali menuju gymnasium.

Sambil berjalan, aku kembali mengingat pemandangan tadi—Yuri dan Ryo-kun yang begitu dekat satu sama lain.

Aku tahu kalau sejak perkemahan sekolah, Yuri mulai menyukai Ryo-kun.

Pagi ini juga sama. Yuri terus berusaha memperpendek jarak dengan Ryo-kun.

Sementara itu, aku hanya bisa merasa malu.

Rasanya seperti aku tidak bergerak maju sama sekali.

Selama ini, aku selalu pergi ke sekolah bersama Ryo-kun setiap pagi. Tapi mulai besok, Yuri dan Ko-chan juga akan ikut, jadi waktu berdua dengannya hampir tidak akan ada lagi.

Kenapa aku tidak bisa melakukan apa pun?

"Hm? Ada apa, Hinami?"

Saat aku sedang berpikir dalam-dalam, Yuri menatap wajahku dengan ekspresi khawatir.

"Eh? Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma lagi kepikiran sesuatu."

"Hmm~. Hinami kepikiran sesuatu? Itu jarang banget terjadi~. Ah, jangan-jangan... ini soal cinta!?"

"Eh!? T-tentu saja tidak! A-aku tidak sedang galau soal cinta atau apa..."

"Ah! Kamu baru saja mengalihkan pandangan~. Berarti tebakanku benar, ya~?"

Aku buru-buru memalingkan wajah, tapi Yuri tidak membiarkanku kabur.

Dari nada suaranya, aku bisa membayangkan dia sedang menyeringai seperti iblis kecil.

"Ayolah, Hinami! Ceritakan dong~"

Sambil berkata begitu, Yuri menggenggam kedua bahuku dan mengguncangnya pelan.

"Hii~nami! Kita kan sahabat! Kalau ada yang ingin kamu katakan, jangan ragu buat cerita! Kalau kamu lagi galau, aku siap mendengarkan dan membantu sebisaku!"

Mendengar kata-kata itu, rasanya malah tidak sopan kalau aku tetap diam.

Benar juga. Kami sudah bersahabat sejak SMP.

Aku harus mengungkapkan apa yang ada di pikiranku!

"Ehm... Aku cuma mau bertanya satu hal, boleh?"

"Oh! Ternyata kamu memang mau nanya sesuatu! Baiklah, tanya aja, aku pasti jawab!"

"Terima kasih, Yuri."

Setelah menarik napas dalam, aku akhirnya mengutarakan pertanyaanku.

"Aku kepikiran sesuatu... akhir-akhir ini, kamu dan Ryo-kun terlihat makin dekat. Aku tahu mungkin ada sesuatu yang terjadi waktu perkemahan sekolah, tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu..."

"Jadi kelihatan banget ya dari luar~. Ehehe~. Tapi, aduh, rasanya agak malu juga~."

Wajah Yuri langsung berbinar. Sambil menggaruk bagian belakang kepalanya, dia menunjukkan ekspresi malu-malu.

Pipinya sedikit memerah. Dia mungkin malu, tapi juga terlihat bahagia. Aku bisa memahami perasaannya.

"Ya, aku bisa ngerti kenapa kamu penasaran. Tapi karena kamu sahabatku, aku bakal cerita. Jangan bilang ke siapa-siapa ya?"

Setelah itu, Yuri melanjutkan ceritanya.

"Sebenarnya... waktu kecil, aku dan Ryo sering main bareng. Tapi suatu hari, aku hampir tertabrak mobil, dan Ryo menyelamatkanku."

"Eh!? Serius!?"

"Iya. Tapi gara-gara itu, justru Ryo yang tertabrak. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Aku selalu ingin minta maaf dan bertemu dengannya lagi, tapi aku tidak pernah bisa."

"Aku... tidak nyangka ada masa lalu yang begitu menyedihkan..."

"Tapi tidak semuanya menyedihkan, kok. Waktu perkemahan sekolah, aku baru sadar kalau Ryo adalah anak yang pernah menyelamatkanku dulu. Aku benar-benar tidak nyangka. Takdir itu memang ada, ya."

Setelah mengetahui masa lalu Yuri dan Ryo-kun...

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Benar-benar tidak bisa.

Aku juga menyukai Ryo-kun.

Tapi alasanku menyukainya adalah karena dia baik, keren, dan—entah kenapa—aku selalu melihat sosok anak laki-laki yang pernah menyelamatkanku dalam dirinya.

Tapi Yuri berbeda.

Dia telah melewati masa lalu yang menyakitkan, lalu akhirnya bisa bertemu lagi dengannya.

Mereka bisa bertemu kembali setelah sekian lama.

Dibanding aku, pertemuan Yuri dan Ryo jauh lebih terasa seperti takdir.

Akhirnya bisa bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama ingin ditemui, bersekolah di SMA yang sama, dan menciptakan banyak kenangan bersama.

Di antara mereka berdua...

Apakah aku boleh mengganggu?

Saat perkemahan sekolah, Ryo-kun memberiku semangat. Dia memberiku keberanian untuk mengambil langkah pertama dalam cinta.

Tapi...

Apakah aku boleh mengganggu hubungan antara Yuri dan Ryo-kun, yang telah dipertemukan kembali dengan cara yang begitu takdir?

"S-soal itu... Benar-benar pertemuan yang luar biasa ya..."

"Terima kasih, Hinami. Aku benar-benar bersyukur kepada Tuhan~."

Setelah kata-kata itu, kami berjalan dalam diam untuk beberapa saat. Dan saat kami hampir sampai di gymnasium...

Aku berhenti melangkah dan akhirnya menanyakan hal ini.

"Y-Yuri... kamu suka Ryo-kun?"

"Iya! Aku sangat menyukainya!"

Dengan senyum cerah di wajahnya, Yuri menjawab tanpa ragu sedikit pun.

Ah... Begitu ya.

Dengan pertemuan yang seindah ini, akan aneh jika dia tidak menyukainya. Dibandingkan denganku, Yuri jauh lebih cocok dengannya.

Ryo-kun memberiku keberanian untuk jatuh cinta.

Dia membuatku menyadari bahwa aku pun berhak untuk mencintai seseorang.

Tapi... tetap saja, rasanya Yuri jauh lebih ditakdirkan untuk bersama Ryo-kun dibandingkan aku...

Hari itu, hatiku terguncang hebat, dan cerita Yuri terus terngiang di pikiranku.


Chapter 4 - Festival Olahraga


Setelah pelajaran olahraga berakhir, tibalah pelajaran terakhir hari ini—pelajaran umum.

Di depan papan tulis, Hana-sensei mulai berbicara.

"Baiklah, semuanya. Acara yang kalian tunggu-tunggu akhirnya akan dimulai! Hari ini, kita akan membahas acaranya dan menentukan pembagian peran!"

Kemudian, beliau mulai menulis sesuatu di papan tulis. Tulisan itu:

"Festival Olahraga"

Ya, sekitar tiga minggu lagi festival olahraga akan diadakan.

Aku sudah pernah mengalaminya saat SMP, tapi katanya festival olahraga di SMA akan lebih meriah. Bagaimanapun juga, jumlah muridnya lebih banyak, dan ini adalah kesempatan sempurna untuk menikmati masa muda.

Kalau tidak ikut bersemangat, rasanya rugi dalam hidup.

"Yes! Festival olahraga!"

"Aku tidak sabar!"

"Ini festival olahraga pertama di SMA, jadi aku agak gugup..."

Suasana kelas langsung ramai, teman-teman sekelasku mulai bersemangat.

Namun, di tengah antusiasme itu, Hana-sensei tampak sedikit muram. Hampir semua siswa sedang bersemangat, tapi beliau tampak seperti ingin mengatakan sesuatu.

Setelah memperhatikan reaksi murid-muridnya sejenak, Hana-sensei berdeham untuk menarik perhatian kami.

"Ada sedikit perubahan dalam festival olahraga tahun ini. Seperti yang kalian tahu, sekolah kita baru saja menjadi sekolah campuran tahun ini, tetapi jumlah murid laki-laki masih sangat sedikit. Jadi, tidak memungkinkan untuk mengadakan pertandingan yang terpisah berdasarkan gender. Oleh karena itu, kami telah memutuskan untuk mengadakan festival olahraga bersama dengan SMA Seirin—sekolah khusus laki-laki."

"""EHHHHHHH!?"""

Semua orang di kelas terkejut, termasuk aku.

Sekolah Seirin adalah sekolah khusus laki-laki yang letaknya tidak jauh dari SMA Tokinozawa. Sekolah itu memiliki standar akademik yang cukup tinggi dan dikenal sebagai sekolah unggulan.

Tak kusangka kami akan mengadakan festival olahraga bersama mereka...

Tapi, memang benar jumlah murid laki-laki di sekolah kami sangat sedikit dibandingkan dengan murid perempuan. Jadi, mungkin ini satu-satunya cara.

"Aku mengerti kalian kaget. Tapi, kapan lagi kalian punya kesempatan untuk mengadakan festival olahraga bersama sekolah lain? Ini akan menjadi pengalaman yang berharga, jadi lakukan yang terbaik!"

Hana-sensei melanjutkan penjelasannya.

"Festival olahraga akan diadakan di Seirin karena lapangan mereka lebih luas. Dan sekarang, kita perlu menentukan panitia pelaksana dan petugas di hari acara. Tidak semua siswa harus mendapat tugas, tapi jika ada yang ingin berpartisipasi, silakan maju! Jadi, siapa yang mau menjadi panitia pelaksana?"

Begitu Hana-sensei bertanya, dua orang langsung mengangkat tangan.

Dan mereka duduk tepat di dekatku.

Orang pertama adalah Yuri, gadis yang duduk di sebelahku dan memancarkan aura siswi SMA yang ceria.

"Sensei! Aku ingin menjadi panitia pelaksana festival olahraga!"

Orang kedua yang mengangkat tangan adalah...

"Sama seperti Yuri, aku juga ingin menjadi panitia pelaksana."

Dia adalah Koi-san, yang duduk tepat di belakangku. Meskipun terlihat seperti gadis kecil, dia sebenarnya seorang sadis yang manipulatif.

Ini di luar dugaanku. Yuri memang tipe orang yang akan tertarik dengan acara seperti ini, tapi aku tidak menyangka Koi-san, yang memiliki kepribadian dingin, mau berpartisipasi dalam acara seperti festival olahraga.

"Sekolah khusus laki-laki, ya? Sepertinya aku bisa menemukan 'mainan' yang menarik," katanya dengan nada misterius.

...Tunggu. Aku baru saja mendengar sesuatu yang menakutkan dari belakangku.

Itu hanya perasaanku, kan...? Suaranya terdengar sangat mirip dengan Koi-san, tapi... tidak mungkin, kan?

"Aku sangat menantikannya. Fufu."

Begitu mendengar kata-kata itu, tubuhku langsung menggigil dan suhu tubuhku turun drastis.

O-Oi. Dia benar-benar hanya ingin mencari korban baru untuk dijadikan mainannya!

Dia berencana menggunakan festival olahraga untuk berburu "mainan" baru! Kalau seseorang menjadi targetnya, kehidupannya akan jadi sulit. Seperti aku, misalnya.

Semoga dia tidak menemukan mainan baru dan tidak ada yang jadi korban.

Dan lebih baik aku pura-pura tidak mendengar monolognya tadi.

Kalau aku sampai menegurnya, bisa-bisa aku ikut kena sial.

"Wow! Dua orang sudah mengajukan diri! Ini sangat membantu! Karena tidak ada lagi yang mengajukan diri, kita akan memilih mereka berdua sebagai panitia pelaksana!"

Tentu saja, Hana-sensei tidak menyadari niat tersembunyi Koi-san dan langsung menunjuk mereka berdua sebagai panitia pelaksana.

Jadi, panitia pelaksana festival olahraga ditetapkan—Yuri dan Koi-san.

Yah, berbeda dengan mereka, aku tidak akan ikut berpartisipasi. Aku hanya akan menikmati acara ini sebagai penonton.

Bisa ikut berpartisipasi dalam acara saja sudah cukup. Selama aku bisa menikmati festival olahraga dengan santai, itu sudah lebih dari cukup.

"Oh iya, hampir lupa. Aku ingin dua panitia pelaksana ini mewakili kelas satu dalam rapat koordinasi dengan SMA Seirin lusa nanti. Kalian akan berdiskusi bersama Hinami dari OSIS serta siswa kelas dua dan tiga untuk menentukan kebijakan ke depan. Sebagai siswa kelas satu, pasti ada banyak hal yang baru bagi kalian, tapi tetaplah berusaha!"

"Baik, kami mengerti."

Hinami pernah menjadi ketua OSIS saat SMP dan sekarang, meskipun baru kelas satu, dia sudah menjadi salah satu pengurus OSIS.

Ditambah lagi, trio sahabat ini bisa bekerja bersama dalam tugas yang sama. Mereka memang beruntung.

Namun, entah kenapa…

Ada sesuatu yang membuatku gelisah. Perasaan tidak enak mulai muncul.

"Sekarang, meskipun sekolah kita sudah menjadi sekolah campuran, tetap saja festival olahraga ini didominasi oleh para siswi, ya…"

Saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, Hana-sensei tiba-tiba menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti ketidakpuasan.

Perasaan tidak enak ini makin kuat…

"Kayaknya kita butuh lebih banyak laki-laki, tidak sih?"

Begitu mendengar kalimat itu, aku langsung mengalihkan pandanganku dan menundukkan kepala, berusaha menghilangkan keberadaanku.

T-tolonglah, Hana-sensei. Jangan melihat ke arahku.

Tolong tunjuk orang lain! Aku berdoa dalam hati…

Tapi, tentu saja, Tuhan tidak mengabulkan doaku.

"Oh, Sensei! Bagaimana dengan dia yang duduk di depan saya? Dia kelihatannya santai sekali. Padahal, dia sebenarnya cukup kuat. Pasti akan sangat membantu kalau dia ikut juga."

…Eh? S-seriusan, Koi-san!?

Orang yang merekomendasikanku adalah si putri sadis tingkat dewa—Koi-san.

Kenapa sih dia selalu menjadikanku target keisengannya…

Secara refleks, aku menoleh ke belakang. Koi-san hanya menyilangkan tangan dan tersenyum puas melihat reaksiku.

Dia menjebakku!

Dia sengaja mencalonkan aku!

Dasar sadis!

"Benar juga. Kei, kamu sepertinya pilihan yang cocok! Dari semua anak laki-laki di kelas ini, kamu yang paling dekat dengan mereka bertiga! Jadi aku ingin mempercayakan ini padamu!"

Hana-sensei menatapku dengan sorot mata penuh harapan. Tatapan itu memiliki tekanan yang luar biasa. Tidak mungkin aku bisa menolaknya…

Di depan ada Hana-sensei, di belakang ada Koi-san. Tidak ada celah untuk kabur. Ini benar-benar misi mustahil.

Haaah… Ya sudahlah.

"B-baiklah… Aku akan membantu mereka."

"Oh! Terima kasih, Kei! Kamu memang bisa diandalkan! Berarti kalian berempat akan ikut rapat lusa nanti! Aku percayakan ini pada kalian!"

Mata Hana-sensei berbinar-binar, tampak senang karena aku menerima tugas ini.

Kenapa sih selalu begini…

Pasti, siswa dari Seirin yang akan datang nanti adalah cowok-cowok tampan dan keren. Aku pasti bakal kelihatan aneh di antara mereka…

Serius deh, kenapa masa mudaku penuh dengan masalah seperti ini?

Koi-san… suatu hari nanti, aku pasti akan membalasmu.

Namun… Aku tidak tahu bahwa bencana yang sesungguhnya baru akan dimulai dari sini.

Aku sama sekali tidak menyangka akan mengetahui rencana gila itu…


Chapter 5 – Palsu


Sudah beberapa hari sejak aku dipaksa menjadi panitia pelaksana festival olahraga, dan akhirnya hari ini adalah hari rapat koordinasi dengan SMA Seirin.

Bersama para senior panitia festival olahraga, aku menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit sebelum akhirnya tiba di gerbang utama sekolah tersebut.

“Jadi… ini SMA Seirin…”

Aku tanpa sadar bergumam saat melihat bangunan sekolah khusus laki-laki yang berdiri megah di depanku.

SMA Seirin bukan hanya unggul dalam akademik, tetapi juga sangat menonjol di bidang olahraga. Dalam beberapa tahun terakhir, klub atletik, renang, dan sepak bolanya telah berpartisipasi dalam kejuaraan nasional.

Namun, meskipun fokus pada olahraga, mereka tidak mengabaikan akademik. Setiap tahun, banyak siswanya yang berhasil masuk ke universitas negeri dan swasta bergengsi.

Berbeda dengan SMA Tokinosawa, yang memiliki atmosfer tenang dan elegan khas sekolah putri bangsawan…

SMA Seirin memiliki nuansa yang sangat berbeda. Aura maskulin yang telah mengakar selama bertahun-tahun seolah menyelimuti seluruh bangunan sekolah.

Saat para siswa SMA Seirin pulang sekolah dan berjalan melewati kami, aku bisa merasakan semacam tekanan yang membuat suasana semakin mendominasi.

"Jadi ini SMA Seirin, ya? Suasananya benar-benar berbeda dari sekolah kita," ujar Koi-san di sampingku dengan nada kagum yang jarang kudengar darinya.

Bukan hanya aku, para gadis juga tampaknya bisa merasakan atmosfer yang kuat ini.

"Benar, Koi-chan! Rasanya sulit berkata-kata!" tambah Hinami, mengangguk setuju.

Saat kami masih terintimidasi oleh suasana sekolah ini, tiba-tiba para siswa bertubuh kekar yang sedang berjalan di sekitar kami mulai berhenti satu per satu dan menatap kami dengan penuh perhatian.

"Eh? Itu seragam SMA Tokinosawa, kan? Jangan-jangan mereka ke sini untuk rapat festival olahraga?"

"Kurasa begitu… tapi para cewek ini levelnya tinggi banget, tidak sih?"

"Benar juga! Mereka semua cantik banget!"

Percakapan seperti itu mulai terdengar dari berbagai arah.

Ya… masuk akal sih. Kalau ada sekumpulan gadis SMA berpenampilan luar biasa seperti mereka, wajar saja kalau menarik perhatian.

Saat aku memikirkan hal itu, tiba-tiba Koi-san yang berdiri di sebelahku menepuk bahuku.

Aku menoleh ke arahnya dan—

“Hmph.”

Dia mendengus kecil dan menyeringai…

Lagi!? Setelah sebelumnya menjebakku, sekarang dia malah meremehkanku lagi!?

Jadi dia merasa superior karena mendapat pujian dari siswa sekolah lain!?

Apa-apaan ekspresi penuh kemenangan itu!? Menyebalkan banget!

Saat aku mulai kesal, aku kembali mendengar obrolan dari siswa SMA Seirin di sekitarku.

"Eh, tapi cowok yang bareng mereka itu siapa, ya? Kok kelihatannya biasa aja?"

"Setuju. Kenapa dia bisa bareng mereka?"

"Kurasa dia cuma anak buangan. Karena tidak ada tempat untuknya, akhirnya dia dikasihani dan diajak bergabung."

"Oh, masuk akal juga."

Salah besar!

Aku itu hampir dipaksa masuk ke grup ini! Aku cuma ditunjuk oleh Hana-sensei untuk jadi pendukung mereka! Jangan seenaknya bikin asumsi sendiri!

Saat aku mulai geram dengan komentar mereka, tiba-tiba Koi-san kembali menepuk bahuku.

“Pffft… Don’t mind. Pfft—hahaha.”

Ketika aku menoleh, dia menutup mulutnya dengan satu tangan, berusaha menahan tawa.

Jadi dia tertawa karena cuma aku yang tidak mendapat pujian!? Dasar… dia benar-benar menikmati ini!

"Hei, Koi-san! Kamu sengaja menikmati situasi ini, kan!? Kamu benar-benar menikmatinya, kan!?"

"Ya, tentu saja. Ini momen paling lucu sepanjang hidupku."

"Kamu bahkan tidak mencoba menyembunyikannya!? Kamu terlalu blak-blakan!"

Serius, orang ini benar-benar sadis. Bagaimana caranya dia bisa berkembang dengan kepribadian seperti ini?

Aku jadi penasaran… seperti apa sebenarnya orang tuanya?

Karena terlalu sibuk dengan Koi-san, aku baru menyadari sedikit terlambat bahwa semakin banyak siswa SMA Seirin yang mengelilingi kami.

Sekitar tiga puluh orang membentuk lingkaran, dan semua tatapan mereka terfokus pada satu titik.

Apa yang mereka lihat…

"Lihat dia! Itu ‘Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun’! Ini pertama kalinya aku melihatnya secara langsung!"

"Benar! Aku tidak salah lihat! Itu dia! ‘Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun’ yang asli!"

"Astaga, dia benar-benar cantik banget! Aku pengen salaman sama dia!"

Seperti yang diduga, mereka semua menatap Hinami.

Sepertinya mereka baru saja menyadari bahwa gadis SMA yang berdiri di depan mereka bukan hanya sekadar cantik biasa, tetapi juga ‘Gadis Tercantik dalam Seribu Tahun’ yang terkenal itu.

Para siswa SMA Seirin langsung memasuki mode euforia, seolah-olah melihat dewi turun dari langit.

Mereka menatap Hinami dengan penuh semangat, napas mereka memburu layaknya anjing yang bersemangat menunggu diberi camilan.

Tatapan intens dari para siswa laki-laki itu tampaknya membuat Hinami terkejut, bahunya mulai sedikit gemetar.

Jumlah siswa yang berkumpul semakin banyak, hingga akhirnya mereka berdesakan begitu dekat sehingga tak ada celah untuk bergerak. Saat itulah—

"Apa yang kalian lakukan!? Kalian membuat mereka ketakutan!"

Sebuah suara jernih dari seorang siswa laki-laki tiba-tiba terdengar dari arah gedung sekolah.

Begitu suara itu terdengar, seluruh siswa Seirin yang berkerumun langsung berhenti bergerak seketika. Seakan mendapat perintah tak kasat mata, mereka pun mulai membentuk barisan.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah belakang barisan yang mereka buat, dan melihat seorang siswa berdiri sendirian.

Siapa dia?

Saat aku masih berusaha menebak, para siswa Seirin serempak membungkukkan badan dan berseru dengan lantang dari dalam perut mereka.

"Selamat sore, Kusanagi-san!"

A-apa-apaan ini!? Kenapa mereka seperti pasukan militer yang disiplin!?

Tapi kalau dipikir-pikir, kalau sampai dihormati segini banyak orang, jangan-jangan dia itu sosok yang menakutkan?

Saat aku masih menduga-duga, siswa yang berdiri di ujung barisan itu mulai berjalan perlahan mendekat ke arah kami.

Semakin dekat jaraknya, semakin jelas pula wajahnya terlihat.

Aku sempat membayangkan dia adalah pria bertubuh kekar dengan ekspresi garang bak iblis.

Tapi kenyataannya berbeda. Bahkan sangat jauh dari dugaanku.

Rambutnya pirang, auranya segar dan menyenangkan. Ditambah tinggi badan menjulang dan wajah setampan model.

A-apa-apaan ini!? Kenapa ada pria super tampan seperti ini!?

Aku bahkan merasa seakan ada angin sepoi-sepoi yang bertiup saat dia berjalan mendekat. Wajahnya begitu menawan!

Kalau saja aku memakai kacamata, pasti lensanya sudah retak sekarang.

Saking luar biasanya, sosok bernama Kusanagi ini tampak seolah bercahaya.

Jadi, pria setampan ini yang memimpin segerombolan siswa kekar ini?

Sungguh tak bisa dipercaya...

"W-wow... Pria super tampan datang... Kupikir dia bakal pria berbadan kekar..."

Yuri juga terkesima saat melihat Kusanagi dan tanpa sadar mengucapkan isi hatinya.

Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikiran sama. Kusanagi benar-benar pria tampan luar biasa.

Kalau dia mendekati seorang gadis, pasti gadis itu akan jatuh hati hanya dalam sekali serangan.

"Maaf ya, teman-temanku sudah merepotkan kalian. Tapi sekarang kalian tak perlu khawatir lagi."

Dengan senyum lembut dan suara menenangkan, Kusanagi menyambut kami.

"E-ehm, kami dari SMA Tokinozawa, datang ke sini untuk membahas persiapan festival olahraga..."

"Begitu ya. Jadi kalian dari Tokinozawa. Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Aku Kusanagi Mahiro, anggota OSIS sekaligus panitia festival olahraga tahun pertama. Terima kasih sudah datang hari ini. Selamat datang."

T-tahun pertama!?

Jadi dia seumuranku, tapi sudah dihormati sebanyak ini!?

Bahkan dia juga anggota OSIS. Punya kharisma, disukai banyak orang, dan wajah sempurna.

Orang apa ini!? Dia sama sekali tak terlihat seperti anak SMA seumuranku!

Karena terlalu terkejut dengan kesempurnaannya, aku sampai kehilangan kata-kata.

Kusanagi mengalihkan tatapannya ke tiga gadis yang bersamaku.

Lalu, saat matanya menangkap salah satu dari mereka, pandangannya berhenti. Seolah telah mengunci targetnya.

Tatapan itu tertuju pada... Hinami.

Kusanagi berjalan mendekatinya, lalu tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak terduga.

"Eh? Bukankah kamu... Kujo-san yang dulu pernah aku selamatkan dari penyerangan di kereta bawah tanah!? Sungguh kebetulan! Tak kusangka kita bisa bertemu di tempat seperti ini! Ini benar-benar takdir!"

......

Hening beberapa detik.

"Lhooooooo!?!"

Suara kaget keluar dari mulutku secara refleks.

Tentu saja bukan hanya aku, hampir semua orang di sini mengeluarkan reaksi serupa.

B-bohong... K-kok bisa...

Kenapa dia tiba-tiba mengaku sebagai pahlawan yang menyelamatkan Hinami dari penyerangan waktu itu!?

Siapa sebenarnya orang ini!?

"Eh, eh!? J-jadi Kusanagi-san adalah orang yang menyelamatkanku waktu itu!?"

"Maaf kalau mengejutkanmu, Kujo-san. Aku merasa tak perlu menceritakan ini ke siapa pun, tapi begitu melihatmu, aku tak bisa menahan diri untuk mengatakannya."

Dengan sedikit tersipu, Kusanagi mengedipkan sebelah matanya dengan gaya manis ke arah Hinami.

B-brengsek... Apa yang dia omongkan!? Bukankah akulah yang menyelamatkan Hinami waktu itu!?

Kenapa dia menceritakannya seolah itu adalah jasanya!?

Level amarahku mulai meningkat drastis.

Tak salah lagi. Dia sedang berusaha menipu Hinami!

Aku tak tahu apa tujuan sebenarnya, tapi jelas dia sedang berusaha mendekatinya!

Brengsek!

Aku mengepalkan tanganku erat-erat, lalu tanpa pikir panjang, aku hendak mengungkapkan kebenaran.

 



Saat itu juga—

"M-Masa iya!? Jadi Kusanagi-san adalah pahlawan itu!? Aku baru tahu!"

"Tapi kalau dipikir-pikir, ciri-cirinya memang sama persis dengan yang ditulis di forum!"

"B-Benar juga! Tinggi, tampan! Itu jelas-jelas Kusanagi-san!"

Para siswa laki-laki yang sebelumnya berbaris mulai bergumam dengan heboh.

Mendengar kata-kata mereka, aku sedikit lebih tenang dan melonggarkan kepalan tanganku.

Jadi begitu... Ciri-ciri fisik Kusanagi memang cocok dengan deskripsi yang tersebar di forum internet.

Tapi mereka tidak tahu kalau informasi itu salah. Hanya aku dan Koii-san yang tahu kebenarannya.

Berarti Kusanagi hanya memanfaatkan kebetulan ini, menyadari kalau ciri-cirinya cocok dengan rumor palsu itu, lalu mengaku sebagai pahlawan!

Sial! Orang ini memang licik!

Ditambah lagi dengan reputasinya yang begitu baik. Kalau ada yang meragukannya, justru itu yang akan dianggap aneh.

Kalau aku mengungkapkan kebenaran sekarang, pasti tak ada yang percaya.

Mereka pasti mengira aku cuma siswa menyedihkan yang iri pada pria tampan dan mengarang kebohongan.

Brengsek! Aku tak bisa berbuat apa pun!

"A-anda adalah pahlawan yang telah menyelamatkan saya waktu itu...? Penyelamat hidup saya..."

"Menolong orang adalah hal yang wajar bagiku. Tapi bisa bertemu lagi seperti ini... Mungkin ini takdir, ya?"

Mata Hinami tampak berkaca-kaca, tersentuh oleh kemunculan "pahlawan"-nya.

Setetes air mata hampir saja jatuh dari matanya.

Sial. Situasi ini buruk.

Kalau dipikirkan dari sudut pandang Hinami, reaksinya memang wajar. Tapi orang ini palsu.

A-apa yang harus kulakukan!?

Kalau aku mengungkapkan kebenaran sekarang, tak akan ada yang percaya. Justru aku yang akan terlihat aneh.

Sial! Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa!

"Kamu tidak mengalami trauma setelah kejadian itu? Apakah ada yang mengganggu kehidupan sehari-harimu?"

"T-tidak! Saya baik-baik saja!"

"Syukurlah. Aku sempat khawatir kalau itu meninggalkan trauma. Tapi kalau kamu mengatakan baik-baik saja, aku lega."

"Terima kasih banyak telah menyelamatkanku waktu itu!"

"Jangan khawatir. Seperti yang kubilang, melindungi orang lain adalah hal yang wajar."

Kusanagi tersenyum hangat dan mulai mengusap kepala Hinami dengan lembut.

Hinami, yang pelan-pelan dibelai kepalanya, pipinya...

Mulai memerah sedikit.

Brengsek! Brengsek!!

Tahan. Aku harus bertahan! Kalau aku bertindak gegabah sekarang, situasi ini hanya akan makin kacau!

Pasti ada celah yang bisa kupakai. Aku harus menahan diri!

"Baiklah, Kujo-san. Kita langsung saja ke ruang rapat untuk membahas festival olahraga. Para panitia lainnya sudah menunggu."

Lalu, Kusanagi dengan santainya... melingkarkan lengannya di pinggang Hinami dan merapat ke tubuhnya.

Seolah mereka adalah sepasang kekasih yang sangat mesra, tubuh mereka begitu dekat tanpa celah.

"Aku akan mengantarmu ke sana, ayo kita pergi bersama."

"A-ah, baik! Tolong bantuannya!"

Hinami pun mulai berjalan menuju gedung sekolah bersama Kusanagi.

Aku hanya bisa mengepalkan tangan erat-erat, menatap punggung mereka yang semakin menjauh.

Melihat Hinami yang perlahan pergi...

Aku merasakan hubungan kami juga ikut perlahan menjauh.

*** 

Kusanagi menyembunyikan identitas aslinya dan mendekati Hinami.

Meskipun situasinya berkembang di luar dugaanku, kami tetap melanjutkan rapat persiapan untuk festival olahraga.

Topik utama yang dibahas adalah jadwal ke depan serta jenis perlombaan yang akan diadakan.

Sekesal apa pun aku pada Kusanagi, aku tidak bisa membiarkan emosi pribadiku menghambat jalannya rapat.

Meskipun rasa marah membuat perutku terasa tidak nyaman, aku tetap duduk diam di kursiku.

Karena Kusanagi bertindak sebagai fasilitator, rapat berjalan relatif lancar tanpa masalah berarti.

Namun, seperti saat di gerbang sekolah tadi, Kusanagi dan Hinami masih terlihat sangat dekat. Mereka duduk bersebelahan dan sepanjang rapat terus tersenyum satu sama lain.

Berkali-kali aku melihat mereka berbincang dengan akrab.

Meskipun jalannya rapat cukup lancar, kenyataan bahwa hubungan mereka semakin erat justru membuat stresku meningkat.

Kalau aku terus melihat senyum Kusanagi, rasanya kepalaku akan meledak.

Waktu juga sudah cukup lama berlalu, jadi mungkin ini saat yang tepat untuk istirahat sejenak.

Tepat ketika aku mengangkat tangan untuk mengusulkan waktu istirahat, sayangnya Kusanagi lebih dulu membuka suara.

"Hmm. Kita sudah menyelesaikan setengah dari agenda yang ingin dibahas, jadi menurutku ini waktu yang pas untuk istirahat. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang ingin kusampaikan."

Semua orang di ruangan langsung mengalihkan pandangan ke Kusanagi.

Dalam suasana penuh perhatian, Kusanagi pun melanjutkan.

"Karena ini adalah festival olahraga gabungan, aku berpikir untuk menambahkan sesuatu yang berbeda dari tahun lalu. Gimana menurut kalian?"

"Wah, ide bagus!"

"Setuju! Mumpung ada kesempatan, kita harus buat sesuatu yang menarik!"

"Aku juga setuju!"

Satu per satu anggota rapat mulai mendukung usulan Kusanagi.

Aku tidak mempercayai orang ini, tapi idenya sendiri tidak terdengar buruk.

Bagaimanapun, ini adalah festival olahraga yang spesial. Mengadakan acara besar setelahnya tentu akan membuatnya lebih berkesan.

"Aku punya satu usulan. Bagaimana kalau kita mengadakan acara malam penutupan? Setelah festival olahraga selesai, kita bisa mengadakan dansa berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tapi kalau hanya sekadar berdansa, pasti terasa membosankan. Jadi aku ingin menambahkan aturan di mana pasangan yang memenangkan perlombaan akan dipilih satu MVP. MVP ini nanti bisa memilih siapa pun yang ingin dia ajak berdansa. Menurutku, ini bisa menambah keseruan acara."

Malam penutupan, ya?

Klasik, tapi justru karena itu terasa simpel dan menarik.

Konsep MVP juga terdengar cukup menarik.

Pasti banyak orang yang akan berjuang mati-matian demi bisa berdansa dengan orang yang mereka sukai.

Setelah festival olahraga selesai, MVP akan mendapatkan hak istimewa untuk memilih pasangan dansanya.

Sungguh konsep yang sangat mencerminkan festival olahraga di masa SMA.

Pasti acara ini akan menjadi sangat meriah.

Tak ada satu pun yang menentang usulan ini.

Sebaliknya, semua orang tampak menyambutnya dengan antusias.

"Sepertinya tidak ada yang keberatan. Kalau begitu, kita akan mengadakan malam penutupan dengan dansa berpasangan. Untuk kriteria pemilihan MVP, nanti kita bahas lebih lanjut. Sekarang, kita istirahat dulu."

Dengan kata-kata Kusanagi sebagai tanda, rapat pun memasuki waktu istirahat.

Aku berdiri dari kursiku dan keluar ruangan, berniat pergi ke toilet untuk menyegarkan pikiran.

Namun, entah kenapa perasaanku tidak enak.

Ada sesuatu yang terasa aneh.

Seolah-olah... semuanya berjalan terlalu lancar.

*** 

Setelah keluar dari ruangan, aku masuk ke toilet dan langsung menuju bilik pribadi.

Aku kembali teringat kejadian tadi—Kusanagi yang menyembunyikan identitasnya dan mendekati Hinami.

"Sial, apa sih maunya dia...? Apa tujuannya?"

Tanpa sadar aku menggumam dan menghela napas panjang.

Kalau dia memang menyukai Hinami dan hanya ingin mendekatinya, aku mungkin masih bisa menerimanya. Tapi kenapa dia harus menyembunyikan identitasnya?

Dan lagi, senyumannya yang terlihat begitu ramah itu... entah kenapa sangat membuatku kesal.

Memang, dalam rapat tadi dia berperan sebagai fasilitator dan memastikan semuanya berjalan lancar, tapi aku tetap tidak bisa menganggapnya sebagai orang baik.

Hanya membayangkan dia tersenyum dan berbincang akrab dengan Hinami saja sudah cukup membuat emosiku naik.

Sial, rasanya benar-benar kesal.

Baiklah! Dalam situasi seperti ini, lebih baik aku mengalihkan pikiranku ke hal lain supaya lebih tenang.

Aku mengeluarkan ponsel dari sakuku, duduk di kloset, lalu mulai memainkan game ritme.

Ya, bermain game bisa membantuku melupakan hal-hal yang mengganggu pikiranku.

Aku memasang earphone, lalu mulai bermain. Aku mengetuk layar mengikuti irama lagu.

Oh, bagian reff sudah hampir tiba! Jika aku bisa melewati ini, aku bisa menyelesaikan permainan dengan full combo! Sedikit lagi...!

Saat itu juga—

"Serius, aku tidak nyangka ‘Si Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali’ itu benar-benar ada di sini. Dia beneran cakep banget, kan? Setuju tidak?"

Hah? Suara itu...

Aku bisa mendengarnya meskipun sedang memakai earphone.

Kalau tidak salah, itu suara Manabe dari panitia festival olahraga sekolah Seirin...

Aku langsung menghentikan permainan dan mulai mendengarkan percakapan mereka.

"Ya, selama ini aku cuma lihat gambarnya di internet, tapi ternyata aslinya lebih gila lagi. Dia cantik banget."

Suara ini... Kusanagi!

Suara khasnya yang tegas dan berkarisma membuatku langsung mengenalinya.

Tapi ada yang aneh...

Nada suaranya jauh lebih rendah dibandingkan saat berbicara di gerbang sekolah atau dalam rapat.

Suaranya terdengar dingin.

Apa karena dia sedang bicara dengan sesama laki-laki?

"Ya kan, Kusanagi? Dia benar-benar cantik. Jadi, gimana? Bisa dapetin dia?"

"Apa maksudmu?"

"Udah jangan pura-pura bego."

Setelah beberapa detik terdiam, Manabe akhirnya mengucapkan sesuatu yang membuatku terkejut.

"Apa kamu kira bisa tidur dengan ‘Si Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali’ itu?"

A-Apa?!

Apa yang mereka bicarakan ini?!

Tidur... Apa mereka membicarakan Hinami?!

Kalau mereka bicara soal pacaran, aku masih bisa mengerti. Tapi ini... terdengar seolah mereka hanya melihat tubuhnya saja...

Merasa ada yang tidak beres, aku sedikit membuka pintu bilik dan mengintip ekspresi mereka.

Kusanagi berdiri di depan urinoir dengan senyum menyeramkan di wajahnya.

"Tenang saja. Dari cara dia berbicara, aku bisa tahu kalau Kujo itu gadis polos. Dia tipe yang mudah tertarik pada cowok tampan sepertiku kalau dibujuk dengan kata-kata manis. Gampang banget. Pasti bisa. Lagipula, dia sama sekali tidak curiga kalau aku ini palsu."

T-Tidak mungkin...

Kusanagi yang terlihat ramah dan baik itu ternyata hanya mengincar tubuh Hinami?!

Gila! Ini benar-benar gawat!

Aku memang sudah curiga ada sesuatu di balik sikapnya, tapi aku tidak menyangka tujuannya sekejam ini!

"Seperti yang diharapkan dari Kusanagi! Aku pengen lahir jadi cowok cakep kayak kamu. Bisa tidur sama cewek-cewek cantik kayak gitu tuh impian banget."

"Tenang aja. Aku yang akan mengambil keperawanannya, tapi setelah itu kalian juga bisa mencicipinya. Tentu saja setelah aku melatihnya dulu sesuai seleraku."

"Kamu gila sih. Kira-kira bakal kamu apain tuh anak polos? Tapi serius, bisa tidur dengan ‘Si Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali’ itu kesempatan emas. Aku bakal manfaatin tubuhnya sebaik mungkin! Untung ada kamu, Kusanagi. Aku kan anak sekolah khusus cowok, jadi jarang ada kesempatan begini."

"Haha, tunggu saja. Rencanaku sebenarnya baru akan dimulai di hari festival olahraga, tapi ternyata aku bisa bertemu dengannya lebih awal. Semuanya berjalan sesuai rencana. Tak lama lagi, dia akan menjadi milikku."

T-Tidak bisa dipercaya...

Dia menggunakan wajah tampannya untuk memperdaya perempuan dan tidur dengan mereka...

Dan yang lebih parah, setelah puas, dia menyerahkan mereka ke teman-temannya?!

Sial! Jadi ini alasannya dia begitu dihormati oleh anak-anak laki-laki di sekolahnya?!

Dia menjadikan perempuan-perempuan yang dia taklukkan sebagai hadiah untuk mereka!

"Ngomong-ngomong, cowok yang tadi bersama dia, Keido atau siapa itu, dari penampilannya kayaknya bukan pacarnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirin. Kasihan juga dia. Tidak sadar kalau temannya bakal kuhabisi."

"Benar juga!"

"Ini benar-benar sempurna. Sekarang jumlah cewek yang sudah kutiduri ada sembilan puluh sembilan orang. Dan gadis ke-seratus... akan menjadi ‘Si Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali’ itu."

"Gilaa! Aku tidak sabar nunggu giliran!"

"Tenang, Manabe. Aku sudah mengatur semuanya. Festival olahraga akan menjadi awal rencanaku yang sesungguhnya. Lagipula, aku sudah memastikan aturan MVP dan acara dansa malam diterima dalam rapat tadi."

...Hah? MVP?

Tunggu, tadi sebelum istirahat, Kusanagi memang mengusulkan aturan tentang MVP dan dansa malam, kan?

Semua orang setuju begitu saja tanpa keberatan...

Tunggu dulu! Jangan-jangan—

"Kalau Kusanagi menang dan terpilih sebagai MVP, dia bisa berdansa dengan ‘Si Gadis Cantik Seribu Tahun Sekali’ itu. Dia bakal menciptakan momen yang romantis, bikin dia jatuh cinta, dan dari sana semuanya berjalan lancar, kan?"

"Betul. Itu sebabnya aku mau repot-repot jadi fasilitator. Dengan posisi itu, aku bisa lebih mudah memasukkan usulanku."

Jadi inilah alasan kenapa semuanya berjalan terlalu lancar!

Benar, konsep MVP dan dansa malam memang terdengar menarik.

Bahkan, dalam festival olahraga gabungan pertama ini, kejutan seperti itu memang terasa pas.

Tapi ternyata... ini semua adalah bagian dari rencana kotor Kusanagi!

Namun, Kusanagi memanfaatkan situasi itu dengan cerdik.

Saat semua orang sibuk menciptakan kenangan indah masa remaja mereka, Kusanagi akan berdansa dengan Hinami, dan kemudian…

Membuatnya jatuh cinta. Dia berencana menaklukkan Hinami.

Dia sudah menyusun skenario yang menguntungkan agar bisa memilikinya.

Sial! Kenapa aku tidak menyadarinya saat rapat tadi?!

Memang ada kemungkinan Kusanagi tidak terpilih sebagai MVP. Tapi jika semuanya berjalan sesuai keinginannya, itu akan menjadi mimpi buruk...

"Hahaha... Aku akhirnya bisa berdansa dengan gadis yang selama ini aku impikan. Tidak mungkin dia tidak terpesona. Dia pasti akan jatuh cinta padaku."

"Wow! Ini benar-benar luar biasa! Kalau begitu, aku akan melakukan segala cara agar Kusanagi yang terpilih!"

"Ya, bantu aku. Jika kita memenangkan festival olahraga, maka semuanya akan berjalan sempurna."

"Aku mengandalkanmu, Kusanagi! Kau selalu berhasil menjerat cewek dengan mudah. Kali ini juga, aku percaya padamu!"

"Tentu saja. Aku pasti akan membuatnya jadi milikku."

Kusanagi menyeringai dengan ekspresi menjijikkan sebelum akhirnya mereka berdua keluar dari toilet laki-laki.

Ini gawat.

Benar-benar gawat! Apa-apaan ini?! Orang gila seperti dia mengincar Hinami!

Setelah insiden penyerangan tempo hari, sekarang gadis itu malah menarik perhatian seorang bajingan?!

Aku harus melindunginya dari brengsek itu. Jika tidak, ini akan menjadi bencana besar.

Festival olahraga tahun ini... akan menjadi ajang kekacauan dalam berbagai arti!



Chapter 6 - Rapat Strategi


Sudah satu jam sejak aku mengetahui tujuan sebenarnya Kusanagi di toilet, dan akhirnya rapat pun selesai.

Sekarang, kami sedang dalam perjalanan pulang bersama para anggota panitia dari SMA Seirin di depan gerbang utama sekolah mereka.

"Rapatnya jadi lama sekali, ya, Kujo-san. Kamu sedikit lelah?"

Kusanagi, yang berdiri di sebelah Hinami, tersenyum cerah dan perlahan melingkarkan tangannya di bahunya.

Di depan umum, Kusanagi tiba-tiba memperpendek jarak di antara mereka. Hinami tampak sedikit bingung, tetapi pada saat yang sama, dia terlihat senang.

"Ah, iya! Tapi demi meramaikan festival olahraga, aku harus berusaha sebaik mungkin!"

"Kujo-san memang pekerja keras, ya. Aku suka tipe orang seperti itu."

Mendengar kata-kata itu, wajah Hinami langsung merona merah. Tangannya bergerak panik, dan pandangannya berusaha mencari tempat lain untuk dialihkan.

"E-eh!? A-aku bukan satu-satunya! Masih banyak orang yang jauh lebih rajin dariku!"

"Benarkah? Tadi saat rapat, kamu yang paling aktif dalam mengoordinasikan pembicaraan. Dan katanya, dulu di SMP kamu adalah ketua OSIS, kan? Itu luar biasa."

"A-ah, iya... T-terima kasih banyyak..."

Sepertinya Hinami sangat senang mendengar pujian Kusanagi. Dia tersenyum lebar, tetapi wajahnya tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Bahkan, dia sampai tergagap dalam bicaranya.

Jika orang lain melihat interaksi mereka, pasti mereka akan mengira keduanya adalah pasangan.

Tapi hanya aku yang tahu.

Kusanagi itu seorang bajingan. Dan Hinami sedang diperdaya olehnya.

Aku ingin memberitahunya sekarang juga. Aku ingin melindungi Hinami saat ini juga.

Tapi... aku tidak punya bukti untuk menunjukkan bahwa dia itu penipu.

Aku tidak bisa mengungkapkan siapa diriku sebenarnya, dan bahkan jika aku mencoba, mungkin tak ada yang akan percaya.

Di forum internet, informasi palsu telah menyebar, menggambarkan pria yang menyelamatkan Hinami sebagai sosok tinggi dan tampan.

Dengan situasi seperti ini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada jalan keluar.

Aku tidak menolong Hinami karena ingin disukai olehnya.

Aku hanya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama—kesalahan yang membuatku kehilangan sahabatku di masa lalu. Saat Hinami meminta tolong, aku tidak bisa berpaling begitu saja. Aku hanya mengikuti naluriku dan bertindak.

Tapi sekarang, Kusanagi seenaknya mengklaim jasaku dan mendekati Hinami lebih jauh? Betapa liciknya dia.

"Kujo-san, hari sudah mulai gelap. Biar aku antar kamu sampai ke stasiun terdekat."

"T-tidak perlu! A-aku bisa pulang sendiri, jangan khawatirkan aku!"

"Tapi kita sudah lama tidak bertemu. Setidaknya untuk hari ini, izinkan aku menemanimu, ya?"

"A-aku... Baiklah... Kalau begitu, aku serahkan padamu, Kusanagi-san."

Terpengaruh oleh kata-kata Kusanagi, Hinami akhirnya setuju, dan mereka pun berjalan menuju stasiun bersama.

Jarak di antara kami semakin jauh.

Seharusnya aku bisa menyusul mereka kapan saja, tapi entah kenapa, rasanya mereka semakin sulit dijangkau.

Aku merasa, meski aku berlari, aku tidak akan bisa mengejar mereka.

Jika terus begini... mungkin hubungan kami akan semakin menjauh.

Di lubuk hatiku yang terdalam, aku merasa takut akan hal itu.

*** 

Malam itu.

Aku yang kelelahan dalam berbagai arti hanya bisa berbaring terlentang di atas tempat tidur, menatap kosong ke arah langit-langit.

Aku hanya merasa cemas dengan festival olahraga yang akan datang.

Kusanagi menipu Hinami dan berusaha memanfaatkannya. Dia ingin menjadikan Hinami sebagai pacarnya.

Bukan berarti aku keberatan jika dia ingin menjadikannya pacar. Tapi aku tidak terima kalau dia mendekatinya dengan menyembunyikan niat aslinya hanya demi tubuhnya.

Hinami itu polos, ceria, dan memiliki kepribadian yang baik serta tulus. Kalau dia sampai tertipu oleh bajingan seperti itu dan kelemahannya dimanfaatkan...

Hanya membayangkannya saja sudah membuatku marah.

Tapi aku tidak punya cara untuk membalikkan situasi ini. Justru Kusanagi yang lebih unggul. Dia sangat dihormati oleh para siswa Seirin High School, punya tubuh tinggi, dan wajah tampan.

Ditambah lagi, informasi palsu yang tersebar di internet cocok dengan ciri-ciri fisiknya.

Apa yang harus kulakukan...? Ini mustahil.

Kenapa bajingan itu bisa mengaku sebagai siswa yang mengalahkan penyerang acak itu?!

Dia benar-benar memanfaatkannya hanya karena aku tidak muncul dan mengaku sebagai orang yang sebenarnya!

Arrrghhh! Stresku semakin menumpuk dan rasanya akan meledak!

Mungkin karena stres dan frustrasi, aku tanpa sadar mengacak-acak rambutku dengan kedua tangan sambil menggeliat seperti ulat di tempat tidur.

Aku tahu tindakanku aneh, tapi aku tidak bisa menahannya! Hanya membayangkan wajah Kusanagi saja sudah membuat stresku memuncak!

"Kusanagi tidak akan kumaafkan! Senyum manis itu hanya kedok untuk menyembunyikan sifat liciknya! Dia benar-benar manusia paling busuk!"

Saat aku menggerakkan tubuhku dan mengoceh sendiri—

"...Onii, dari tadi kelakuanmu jijik banget. Lagi ngapain sih?"

Begitu suara adikku, Michika, terdengar, tubuhku langsung kaku seketika.

Karena rasa malu dan betapa menyedihkannya aku saat ini, aku tidak bisa bergerak selama beberapa detik.

...Eh, tunggu. Kenapa dia ada di sini? Ini kan kamarku?

Apa dia masuk karena ada keperluan? Kalau begitu, apa dia sudah mengetuk pintu?

Setelah beberapa detik, aku akhirnya bisa menggerakkan tubuhku dan menoleh ke arah suara itu.

Di sana, Michika berdiri sambil menatapku dengan ekspresi sedingin es, seolah-olah aku ini sampah.

Ugh... Gawat. Dia pasti melihat semua gerakanku tadi.

I-ini... Aku sudah tidak dianggap sebagai kakaknya lagi. Atau bahkan sebagai manusia.

Haha... Aku sudah resmi turun pangkat dari kakak menjadi sampah. Menyedihkan sekali. Padahal waktu kecil dulu kami sangat akrab.

Dan sekarang aku diperlakukan seperti sampah.

"Onii, tadi gerakanmu itu apa? Apa kau ikut drama sekolah dan dapat peran sebagai ulat? Kalau iya, sebagai adikmu, aku malu. Jadi tolong batalkan peran itu sekarang juga."

"Mana mungkin! Dan sekalipun aku dapat peran sebagai ulat, itu tetap peran yang penting, jadi jangan meremehkannya."

"Etidak, serius. Kalau keluargaku sampai dapat peran sebagai ulat, aku bakal malu banget. Bayangkan saja onii menggeliat di lantai seperti ulat, aku pasti tidak akan sanggup pergi ke sekolah lagi. Jadi tolong hentikan."

"Yah, aku senang setidaknya kau masih menganggapku keluarga, tapi itu agak keterlaluan, tahu?"

"Hah? Apa sih? Kalau teman-temanku tahu, aku benar-benar tamat."

Kenapa adikku sekejam ini...

Di anime-anime, kan, biasanya ada adik perempuan yang manis dan sayang kakaknya.

Sekarang aku merasa bisa menulis novel ringan dengan judul "Tidak Mungkin Adikku Begitu Dingin."

"Baiklah, baiklah. Tapi kenapa kau masuk ke kamarku tanpa izin? Aku sedang berusaha menghilangkan stres sendirian, tahu? Kau sudah mengetuk pintu?"

"tidak."

"Kenapa setiap kali kau masuk ke kamarku, kau tidak pernah mengetuk!? Ini kamarku! Ini ruang pribadiku! Tolong jangan masuk ke kamar seorang remaja laki-laki tanpa izin!?"

Aku berkata dengan penuh semangat, tapi ekspresi Michika sama sekali tidak berubah. Dia tetap menunjukkan ekspresi datar yang sedingin es.

Sama sekali tidak terpengaruh. Menyedihkan sekali.

"Mengetuk pintu itu merepotkan. Lagipula aku tidak peduli dengan kehidupan pribadimu."

"Berani sekali kau berkata begitu. Kalau begitu, lain kali aku juga akan masuk ke kamarmu tanpa izin!"

Begitu aku mengatakannya, Michika tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia sedikit menundukkan kepala dan menyembunyikan ekspresinya.

E-eh? Kenapa ini terasa menakutkan?

Saat aku mulai merasa takut, Michika tiba-tiba mengeluarkan aura membunuh yang luar biasa. Rasanya seperti tubuhku membeku seketika.

Setelah beberapa detik hening, Michika menatapku dengan tatapan paling dingin yang pernah kulihat dan berkata—

"...Mau kubunuh?"

"A-ah. Maaf."

S-serammmm!!

Ketakutan oleh aura pembunuh Michika, semangatku yang tadi berkobar langsung lenyap, dan aku mengecilkan tubuh seperti tupai ketakutan.

Adikku yang berdiri di depanku ini terlalu menakutkan!

"Cuma sekadar info, aku bisa mengirimmu ke alam baka kapan saja. Jadi ingat itu baik-baik."

"Kapan kau jadi pembunuh bayaran...?"

Meski dia bercanda, ekspresi Michika sangat dingin dan mengerikan, jadi mungkin dia tidak benar-benar berbohong.

Kalau dia sampai marah sungguhan, dia mungkin akan membawa pisau.

"Bahkan tanpa jadi pembunuh bayaran pun, itu mudah dilakukan. Sama seperti membunuh nyamuk."

"Jadi aku dianggap serendah serangga, ya..."

Astaga, Michika memperlakukanku dengan sangat buruk. Apa aku tidak punya hak asasi manusia?

"Jadi, Michika. Kembali ke topik awal, kenapa kau datang ke kamarku?"

Aku mengganti pembicaraan dan bertanya alasan Michika datang ke sini.

Michika kemudian mengulurkan sesuatu ke depan wajahku dengan tangan kanannya.

I-ini... gagang telepon?

"Onii, ada telepon untukmu. Orang di seberang bilang, 'Dia pasti tahu siapa aku, jadi langsung saja berikan gagangnya.'"

Ah, pasti itu Koi-san. Hanya dia yang bisa mengatakan sesuatu seperti itu.

"Michika, aku mau konfirmasi. Kau sudah menekan tombol hold, kan?"

Michika diam sejenak, lalu mengangguk pelan.

Fiuh, untung saja. Terakhir kali dia tidak menekan tombol hold, dan aku malu setengah mati karena percakapanku terdengar.

Kali ini aman.

"Baiklah. Aku akan mengangkatnya, jadi bisakah kau keluar dari kamarku?"

"Roger."

Setelah menyerahkan gagang telepon kepadaku, Michika keluar dari kamarku.

Baiklah, sekarang—

Aku ingin lenyap dari dunia ini setelah ketahuan oleh adikku dalam keadaan yang memalukan, tapi sekarang aku harus menerima telepon dari si sadis ini juga?

Bukankah ini terlalu menyebalkan?

Kalau jujur, aku tidak ingin mengangkatnya. Karena aku yakin, si sadis ini pasti akan mengolok-olokku sejak awal percakapan.

Tapi, kalau dipikir-pikir, Koi-san tidak mungkin meneleponku tanpa alasan. Aku bisa menebak niatnya.

Mungkin ini tentang Kusanagi. Aku tidak bisa memikirkan alasan lain.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menekan tombol tahan panggilan dan menempelkan gagang telepon ke telingaku.

"H-halo..."

"Akhirnya kamu angkat juga, ya. Lama sekali membuatku menunggu."

"M-maaf..."

"Butuh waktu beberapa menit bagimu untuk mengangkat telepon. Kalau dipikir-pikir, apakah kamu baru saja ketahuan melakukan sesuatu yang memalukan oleh adikmu? Misalnya, menggumamkan masalahmu sambil melakukan gerakan aneh yang menjijikkan?"

"Kok bisa tahu, sih? Jangan-jangan, kamu memasang kamera pengawas di kamarku? Memata-matai privasiku?"

"Aku tidak butuh hal semacam itu. Pikiran orang biasa itu mudah ditebak. Sangat mudah, tahu?"

"Jangan ulangi 'orang biasa' dua kali! Aku tahu kamu jenius, tapi aku tidak pantas diperlakukan seperti itu!"

Kenapa si sadis ini selalu suka mengusikku setiap kali ada kesempatan?

"Responmu tetap sebagus biasanya. Sungguh menghibur. Terima kasih, ya. Ini benar-benar cara yang bagus untuk menghilangkan stres."

"Jangan jadikan aku alat pelepas stresmu!"

"Bodoh sekali. Itu cuma bercanda. Pria yang tidak bisa memahami lelucon tidak akan populer, tahu?"

"O-oh... Jadi cuma bercanda? Syukurlah..."

"Iya. Sekitar sepuluh persen dari itu adalah bercanda."

"Berarti sisanya serius dong!? Hampir tidak ada unsur bercandanya, kan!?"

Kenapa si sadis ini selalu memperlakukanku dengan sangat kasar!?

Aku ingin sekali membuatnya tidak bisa berkata-kata suatu hari nanti.

Tapi masalahnya, dia bukan hanya cerdas, dia juga punya kemampuan debat di tingkat tertinggi.

Aku selalu diolok-olok dan tidak pernah bisa membalasnya. Sebelum lulus SMA, aku harus menemukan cara untuk membalasnya!

Saat aku sedang memikirkan itu—

Plop.

Aku mendengar suara tetesan air jatuh melalui gagang telepon.

Hah? Suara itu...?

Selain itu, sejak tadi suara Koi-san terdengar agak bergema... Jangan-jangan...

"Koi-san, kamu lagi di kamar mandi?"

"Oh? Peka juga, ya. Benar. Aku sedang mandi sekarang."

"A-apa!? K-kenapa kamu menelepon sambil mandi...?"

"Kenapa tidak? Aku suka berendam lama, jadi ini sekalian untuk mengusir kebosanan."

"O-oh, begitu..."

Jadi dia meneleponku sambil mandi...

Terserah dia kapan mau meneleponku, tapi ini jelas aneh, kan!?

Seorang gadis seusianya berbicara denganku melalui telepon sambil telanjang... Ini gawat banget, kan!?

Tunggu! J-jangan berpikiran aneh! Jangan sampai berkhayal macam-macam! Jaga pikiran tetap bersih!

"Mandi memang menyenangkan, ya. Tapi kalau dipikir-pikir, ada satu hal yang unik. Soalnya, satu-satunya situasi di mana kita bisa menikmati sesuatu sambil telanjang hanyalah saat mandi. Saat kita telanjang. Te-la-njang."

"Koi-san! Bisa jangan mengulang kata 'telanjang' tiga kali!? Dan kenapa yang terakhir ditekankan banget!?"

Sialaaaan!

Aku sudah berusaha keras untuk menjaga pikiranku tetap bersih, tapi dia malah mengulang kata itu terus-terusan!?

Ini pasti disengaja! Dia sengaja mengatakannya untuk menggodaku, kan!?

"Kenapa tidak? Aku bebas mengatakan apa pun yang aku mau. Hmm? Atau mungkin... kamu sedang membayangkan tubuh telanjangku sekarang? Kalau iya, itu menjijikkan. Membayangkan tubuh seseorang tanpa izin lalu merasa terangsang, itu sangat tidak sopan."

"Aku tidak sedang terangsang ataupun membayangkan hal semacam itu!"

"Oh, begitu. Tapi itu sedikit mengecewakan, ya. Bayangkan, ada gadis remaja yang sedang telanjang, tapi tidak ada yang menginginkannya. Itu cukup menyedihkan."

"Jadi aku harus bilang apa, dong!? Tidak ada pilihan yang benar, kan!?"

"Bodoh. Jawaban yang benar itu sederhana. Kamu seharusnya berkata, 'Aku tanpa sadar membayangkan tubuh indah Koi Koharu-sama'."

"Mana ada yang bisa ngomong kayak gitu!?"

Dia bahkan dengan santainya menyebut tubuhnya sendiri 'indah'!? Memang sih, Koi-san itu cantik dan punya tubuh bagus, tapi dadanya...

Tidak, tidak, tidak, tidak!

Jangan lanjutkan pikiran itu. Ini bisa berakhir dengan sangat buruk. Lebih baik diam saja.

Kalau sampai Koi-san benar-benar marah, aku pasti tamat. Secara sosial.

"S-sebaiknya kita masuk ke topik utama sekarang? Meskipun kamu suka berendam lama, kalau kita terus ngobrol begini, kamu bisa pingsan karena kepanasan."

"Kamu benar. Baiklah, kita hentikan obrolan ringan ini dan mulai pembahasan utama. Aku tidak suka membuang waktu dengan percakapan yang tidak produktif."

"Padahal tadi justru kamu yang mulai pembicaraan ini..."

"Oh ya? Hmm, sudahlah, tidak penting."



"Tidak, jangan pura-pura tidak tahu."

"Aku yakin ini semua dimulai darimu, Koi-san. Sejak awal, kamu terus mengusikku."

"Kamu pasti sudah bisa menebak alasan aku meneleponmu hari ini, kan?"

"…Ah. Ini tentang Kusanagi, kan?"

"Ya, benar."

Kusanagi mengaku sebagai pahlawan yang menyelamatkan saat itu di depan Hinami dan yang lainnya.

Hanya ada dua orang di dunia ini yang tahu bahwa itu bohong.

Aku yang merupakan pahlawan sebenarnya, dan Koi-san, yang lebih cepat dari siapa pun dalam mengungkap identitasku hanya dengan sedikit petunjuk.

Bagi Koi-san, perilaku Kusanagi pasti sulit diabaikan.

"Untuk berjaga-jaga, aku ingin menegaskan sekali lagi, Koi-san. Semua yang aku katakan sejauh ini adalah benar. Tidak ada kemungkinan bahwa aku berbohong selama ini dan ternyata Kusanagi adalah yang asli."

Meskipun Koi-san adalah seorang sadis yang selalu menggodaku, dia juga orang yang paling memahami diriku.

Jika aku kehilangan satu-satunya sekutu di dunia ini, aku benar-benar akan tamat.

"Apakah kau pikir aku meragukanmu? Tidak mungkin aku percaya omongan pria yang sepanjang waktu hanya menampilkan senyum cerah yang menjijikkan itu. Tenang saja. Aku tidak pernah meragukan bahwa kau adalah yang asli, dan aku lebih mempercayaimu dibanding pria lain mana pun."

"Te-terima kasih…"

Aku senang karena dia mempercayaiku, tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam kata-katanya barusan.

—"Aku lebih mempercayaimu dibanding pria lain mana pun."

Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu.

Ternyata, meskipun sering menggodaku, dia tetap memiliki sisi lembut.

"Aku benar-benar tidak bisa menerima sikap Kusanagi tadi. Dia dengan seenaknya menyentuh tubuh Hinami, dan lebih dari itu… aku tidak bisa memaafkannya karena telah menipunya."

Aku merasakan hal yang sama.

Dia memanfaatkan perasaan tulus Hinami demi mendekatinya sesuka hati.

Meski dia punya banyak teman dan tampak seperti pria tampan yang penuh pesona, pada dasarnya dia hanya melihat perempuan sebagai objek untuk melampiaskan nafsunya. Dia pria yang paling rendah.

"Aku juga berpikir begitu. Dia menggunakan perasaan Hinami dan bertindak sekehendaknya."

"Benar. Aku tidak bisa memaafkan seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain hanya demi mendekati seseorang. Kalau dia benar-benar menyukai Hinami, harusnya dia mendekatinya dengan jujur."

"Ah, um… Koi-san. Kusanagi… sebenarnya tidak menyukai Hinami."

"…Eh? Apa maksudmu?"

Secara alami, siapa pun akan berpikir bahwa Kusanagi berpura-pura menjadi pahlawan demi bisa bersama Hinami.

Tapi kenyataannya berbeda.

Di balik senyuman cerahnya, dia menyembunyikan sifat aslinya yang kelam.

"Koi-san, tadi saat ada jeda dalam rapat, aku bermain game di dalam bilik toilet pria. Dan secara kebetulan, aku mendengar percakapan Kusanagi dan teman-temannya."

"Percakapan? Apa yang mereka bicarakan?"

"Kusanagi… mengincar tubuh Hinami. Dia berniat menjadikannya pelampiasan nafsunya."

Koi-san tampak begitu terkejut hingga tak bisa langsung berkata-kata.

Itu wajar.

Bahkan Koi-san yang cerdas pun pasti tidak menyangka bahwa Kusanagi mendekati Hinami hanya untuk memanfaatkan tubuhnya.

Sulit dipercaya, sampai-sampai dia kehabisan kata-kata.

Setelah terdiam beberapa detik, dengan suara lebih kecil dari sebelumnya, Koi-san bertanya lagi.

"Apa… itu benar?"

"Ya. Aku mendengarnya dengan jelas."

Aku melanjutkan pembicaraan.

"Saat rapat tadi, Kusanagi tiba-tiba membahas soal MVP dan dansa di pesta penutupan, kan?"

"Ya, tapi… ah, jangan bilang!"

"Tepat sekali. Dia ingin menjadi MVP agar bisa berdansa dengan Hinami di pesta penutupan. Membuat kenangan indah yang tak terlupakan berdua saja, lalu sisanya bisa kau tebak, kan?"

"Dia berusaha membuat Hinami jatuh cinta lalu memiliki tubuhnya. Menjijikkan."

"Kusanagi akan memanfaatkan MVP dan pesta penutupan untuk mendapatkan Hinami. Dia hanya melihat perempuan dari segi fisik."

"Begitu rupanya. Kalau begitu, tidak heran dia berpura-pura menjadi pahlawan."

"Ya. Dia ingin Hinami menganggapnya sebagai penyelamatnya, agar lebih mudah menurunkan pertahanannya."

Sejauh ini, rencana Kusanagi berjalan dengan mulus.

Tidak hanya Hinami, tapi juga banyak orang lain yang telah berhasil dia tipu dan berpihak padanya.

Bajingan itu memang licik, tapi kalau dipikirkan baik-baik, dia benar-benar menghitung semuanya dengan cermat.

"Gimana caranya kita bisa melindungi Hinami, Koi-san? Jujur aja, otakku tidak bisa nemuin cara buat keluar dari situasi ini."

Kalau dipikir-pikir, hari ini aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku hanya bisa menggenggam tanganku erat sambil melihat dari belakang Hinami dan Kusanagi berbicara dengan akrab. Mungkin situasi ini tidak bakal berubah ke depannya.

Hinami akan terus bersama Kusanagi, dan orang-orang di sekitar mereka akan menerimanya.

Kalau dua orang yang punya wajah menarik melakukan sesuatu yang khas anak muda, tidak ada yang bakal keberatan.

Apalagi, siswa-siswi Seirin High School menganggap Kusanagi seperti dewa. Soalnya dia sering membagi-bagikan cewek yang dia tiduri ke mereka.

Dengan pengaruh sebesar itu, gerakan sembarangan bisa jadi bumerang.

Untuk keluar dari situasi yang serba tertutup ini... aku tidak punya pilihan selain meminta bantuan Koi-san.

"Aku paham situasinya. Yang jelas, kita harus mencegah si brengsek itu bisa bersama Hinami. Aku mau melindunginya sebagai teman. Jadi, ayo kita kerja sama."

"Terima kasih banget. Aku bener-bener terbantu."

"Tidak usah dipikirin. Aku juga pengen melindungi Hinami. Lagipula, aku tidak mau Kusanagi bisa berbuat sesuka hatinya. Dia udah menipu temanku. Aku tidak bakal membiarkannya lolos begitu aja. Aku bakal bikin dia menyesal terlahir ke dunia ini."

"Ke-kenapa serem banget, sih... Tapi, kalau dipikir-pikir, sifat sadismu bener-bener kepake di saat kayak gini, ya?"

"Aku anggap itu sebagai pujian. Aku pengen ajarin ke Kusanagi apa yang terjadi kalau berani membuatku marah."

"Haha... Be-begitu, ya. Kasihan calon suamimu nanti."

"Kamu barusan ngomong sesuatu?"

"T-tidak! Aku tidak ngomong apa-apa!"

Bahaya banget!

Untung aku ngomongnya agak pelan, jadi dia tidak denger jelas. Kalau sampai denger, pasti aku bakal ngalamin neraka yang tidak terbayangkan.

Aku bisa aja dihajar sebelum sempat menghadapi Kusanagi.

Kalau Koi-san udah marah, aku tidak tahu dia bakal ngapain. Kalau dia lagi niat, mungkin dia bisa ketawa sambil muter-muterin gergaji mesin.

"Jadi, Koi-san... Balik ke topik utama, aku harus ngapain?"

Inilah bagian terpentingnya. Saat ini, situasi kami benar-benar buruk.

Orang-orang di sekitar percaya sepenuhnya pada Kusanagi, dan informasi palsu yang menyebar di internet justru berpihak padanya.

Siapa sih yang pertama kali nyebar kabar kalau dia itu cowok tinggi dan ganteng?

Intinya, pilihan yang bisa kita ambil sangat terbatas.

"Pertama-tama, jangan kasih tahu siapa pun bahwa Kusanagi itu palsu. Bahkan ke Hinami pun jangan."

"Hah!? Tidak boleh bilang!? Aku kira kita harus cari bukti dan ngumumin ke semua orang."

Aku terkejut, tapi Koi-san menjelaskan alasannya dengan tenang.

"Memang, itu salah satu cara. Tapi karena kita tidak bisa menunjukkan siapa yang asli, menyebarkan kabar ini malah bisa jadi bumerang. Kalau ada yang nanya, 'Kalau Kusanagi palsu, lalu siapa yang asli?', kamu mau jawab apa?"

"Ugh... Benar juga. Aku tidak bakal bisa jawab."

"Nah, makanya. Selain itu, informasi ini juga udah menyebar di media sosial."

"Hah!? Udah menyebar?"

"Coba cek trending di media sosial. Aku yakin salah satu kenalannya Kusanagi yang mulai menyebarkan kabar ini. Ada videonya juga, saat dia ngaku sebagai sang pahlawan."

Aku mengikuti saran Koi-san dan membuka ponsel.

Saat aku melihat bagian trending, di sana tertulis—

#SiswaYangMenjatuhkanPelakuPenyerangan

Serius, nih?

Baru sehari belum berlalu, tapi udah trending?

Aku buru-buru membaca beberapa postingan yang memakai tagar itu.

— "Siswa yang menyelamatkan gadis tercantik sepanjang milenium dari pelaku penyerangan ternyata sekeren ini!?"

— "Gila! Aku langsung jatuh cinta sama cowok ini!"

— "Satu-satunya cowok yang bisa bersaing dengan gadis tercantik sepanjang milenium, lol."

Hampir semua postingan seperti itu.

Terutama yang menyertakan foto Kusanagi, jumlah like-nya luar biasa banyak.

Dari sudut pandang publik, mungkin wajar kalau mereka heboh begitu setelah tahu bahwa pahlawan yang selama ini tidak muncul ternyata sekeren itu. Rasanya dia bisa punya fanclub sendiri dalam waktu dekat.

Sialan. Dia bener-bener memanfaatkan kesempatan ini.

Gara-gara aku memilih tetap diam, dia malah mengklaim pencapaianku dan jadi pusat perhatian dunia.

Karena dia udah terlanjur ngaku, aku makin sulit buat membantahnya.

"Sekarang paham, kan? Dengan perhatian publik sebesar ini, menuduhnya palsu tanpa bisa menunjukkan yang asli itu tindakan yang sangat berisiko. Kalau kita memaksakan diri, bisa-bisa malah dianggap cuma haters yang iri."

"Setelah lihat ini, aku juga sadar kalau itu mustahil. Orang-orang pasti malah ngejek kita balik."

"Tepat. Dan kita juga tidak bisa sekadar memberi tahu Hinami. Soalnya, kita harus menjelaskan dari mana kita tahu bahwa Kusanagi itu palsu."

"Kalau kita bilang dia palsu, artinya kita tahu siapa yang asli. Begitu maksudmu?"

"Benar sekali. Kamu mulai paham, ya."

Melihat situasi saat ini, aku harus mengakui bahwa Koi-san benar.

Kalau kita menuduh Kusanagi sebagai penipu, satu-satunya cara untuk meyakinkan orang lain adalah dengan menunjukkan pahlawan yang asli.

"Jadi, ini benar-benar tidak ada jalan keluar, kan? Aku tidak bisa bilang ke orang lain, dan aku juga tidak bisa bilang ke Hinami. Terus, harus gimana...?"

"Masih terlalu cepat untuk menyerah. Masih ada yang bisa kita lakukan."

Aku yang hampir putus asa, tapi beda dengan Koi-san.

Bahkan dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan ini, dia tetap punya strategi. Memang luar biasa.

"Saat ini, ada dua hal utama yang bisa kita lakukan."

"Dua hal?"

"Iya. Dengar baik-baik. Yang pertama, kita harus menghalangi Hinami dan Kusanagi sebisa mungkin, setidaknya sampai dia membuat kesalahan. Setelah festival olahraga berakhir, mereka mungkin akan mulai menjauh. Selama itu, kita hanya bisa mencoba menghambat mereka."

Hmm, masuk akal. Kalau seseorang terus berbohong, pada akhirnya pasti ada celah. Sampai saat itu tiba, aku dan Koi-san harus bekerja di balik layar untuk mencegah mereka jadi pasangan.

Ini adalah permainan bertahan. Kita hanya perlu terus bertahan sampai lawan melakukan kesalahan.

"Itu strategi pertama. Yang kedua, kita harus membuat Hinami sadar kalau Kusanagi itu palsu. Kalau dia sendiri yang menyadarinya, situasi bisa berubah drastis."

Membuat Hinami sadar kalau Kusanagi adalah penipu. Itu memang yang paling ideal, tapi rasanya sulit.

Bisakah dia melihat dengan mata sendiri dan mempertanyakan orang yang sudah menyelamatkannya? Jujur saja, aku ragu.

Mungkin bukan hal yang mustahil kalau ada bukti yang kuat, tapi untuk sekarang, rasanya terlalu sulit.

"Saat ini, hanya dua strategi itu yang terpikir olehku. Tapi aku ingin mendengar pendapatmu sebagai orang yang sebenarnya."

"Uhh, menurutku lebih baik yang pertama. Membuat Hinami sadar itu butuh usaha besar. Lebih baik kita main panjang, menunggu Kusanagi membuat kesalahan, atau menemukan bukti kuat untuk menjatuhkannya."

"Setuju. Aku juga berpikir begitu. Kalau kita bisa menahan situasi lebih lama, cepat atau lambat, dia akan membuat kesalahan."

"Kalau begitu, kita pakai strategi ini?"

"Iya. Setidaknya sampai festival olahraga selesai, kita harus terus mengawasi mereka dan mencegah mereka semakin dekat."

"Oke. Kita sudah punya rencana sekarang."

Tapi masalah sebenarnya dimulai dari sini. Kusanagi pasti akan melakukan sesuatu di festival olahraga. Terutama di hari H, dia pasti akan melakukan segala cara untuk menang.

Dan setelah memenangkan kompetisi, dia akan menjadi MVP... lalu berdansa dengan Hinami di pesta malam, akhirnya mereka akan resmi jadi pasangan.

Secara teori, ini adalah skenario romantis yang sempurna. Tapi karena aku tahu sifat asli Kusanagi, semua ini hanya terasa menjijikkan bagiku.

Aku harus melindungi perasaan murni Hinami. Kalau tidak, sesuatu yang tidak bisa diperbaiki akan terjadi.

Karena insiden dengan penyerang di stasiun bawah tanah, Hinami sekarang sudah menjadi sosok terkenal, baik atau buruk.

Karena itu, aku akan bertanggung jawab untuk tetap berada di sisinya dan melindunginya sampai akhir.

"Selama persiapan festival olahraga, aku bisa terus bersama Hinami. Tapi gimana pas hari H? Kusanagi pasti akan bergerak."

"Benar juga. Selama masa persiapan, kamu tetap di sisi Hinami, dan aku akan merancang strategi dari belakang. Lalu saat festival berlangsung, aku akan mengamati gerakan mereka dan memberimu instruksi."

"Baiklah, aku setuju. Kau adalah otaknya, jadi jangan ragu untuk memberiku perintah."

"Oh? Itu kata-kata yang menyenangkan untuk didengar. Kalau begitu, aku tidak akan ragu untuk memberimu banyak perintah."

"Tunggu, tunggu! Aku bercanda! Tolong jangan berikan perintah yang gila-gilaan!"

Sial, aku terlalu sok keren. Aku lupa kalau Koi-san itu sadis. Kalau aku bilang "apa saja", aku tidak bisa membayangkan hal mengerikan apa yang bakal terjadi padaku.

"Kalau kamu tetap konsisten dengan kata-katamu, pasti akan terlihat keren. Yah, terserah. Kalau aku punya perintah untukmu, aku akan segera memberitahumu."

"Oke, aku mengerti. Aku mengandalkanmu, Koi-san!"

"Tentu saja."

"Kita kasih nama untuk strategi ini tidak? Kayaknya bakal lebih keren kalau ada namanya."

"Kebanyakan nonton film, ya? Kita ini bukan mata-mata atau tentara."

"Y-ya juga sih..."

Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi kalau ada nama strateginya, pasti rasanya lebih semangat, kan?

"Tapi kalau kamu benar-benar ingin memberi nama, aku punya ide. Mau dengar?"

"Hah? Serius? Apa?"

"Nama strateginya adalah... 'Operasi Hancurkan Si Bajingan Playboy'."

"Uh... kita tidak usah pakai nama strategi aja, deh."

Dan seperti itu, aku dan Koi-san akhirnya bekerja sama secara diam-diam.

Kami memulai misi untuk menghalangi Kusanagi dan Hinami agar tidak menjadi pasangan, setidaknya sampai festival olahraga berakhir.

Aku yang sebenarnya, akan mengalahkan si penipu.

Bersiaplah, Kusanagi. Aku akan membuatmu menyesal telah menipu Hinami!

...Ngomong-ngomong, Koi-san kayaknya tidak punya selera dalam memberi nama, ya?


Chapter 7 – Timing


Setelah rapat persiapan festival olahraga bersama selesai, aku—Kujo Hinami—berendam di bak mandi sambil mengingat kembali kejadian hari ini.

Orang yang selama ini ingin kutemui. Pahlawan yang menyelamatkan nyawaku.

Akhirnya dia muncul di hadapanku...!

Kusanagi-san sangat baik dan memberikan rasa nyaman. Sepertinya dia juga pintar, dan bahkan jago olahraga.

Sungguh mengejutkan bahwa orang sehebat ini ternyata adalah orang yang menyelamatkanku.

Dia terlalu sempurna, sampai-sampai rasanya agak menakutkan.

Berbicara dengannya sangat menyenangkan. Hatiku terus berdebar. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya.

Benar-benar keajaiban. Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu lagi dengannya dalam waktu kurang dari satu tahun.

"Aku ingin tahu lebih banyak tentang Kusanagi-san..."

Aku menatap langit-langit kamar mandi dan menggumamkan itu pelan.

Sampai festival olahraga berakhir, aku ingin banyak berbicara dengannya dan mencari cara untuk membalas budi.

Karena dia telah menyelamatkanku saat itu, aku harus memberinya balasan terbaik.

Tapi... kenapa, ya...?

Kenapa hatiku terasa gelisah...?

Aku merasa senang, tapi di saat yang sama... aku tanpa sadar terus mengingat punggung Ryo-kun.

Kenapa?

Saat melihat punggung Kusanagi-san, aku tidak merasakan apa-apa. Tapi entah kenapa, saat mengingat punggung Ryo-kun, aku merasa seakan ada sesuatu yang menggugah jiwaku.

Mungkin hanya perasaanku saja?

Walaupun aku mencoba melupakannya, aku tetap saja membandingkan. Punggung Ryo-kun dengan punggung orang yang menyelamatkanku saat itu.

Aku tidak tahu kenapa, tapi pikiranku terus kembali ke sana tanpa kusadari.

Mungkin karena aku menyukai Ryo-kun.

Tapi...

Ryo-kun sudah punya Yuri.

Setelah bertemu kembali di perkemahan sekolah, hubungan mereka semakin dekat. Seperti takdir, mereka dipertemukan kembali.

Kalau dipikirkan, Yuri jauh lebih cocok untuknya dibandingkan aku.

Aku ingin tetap menyukai Ryo-kun. Aku ingin bersamanya.

Di perkemahan sekolah, Ryo-kun memberiku semangat. Aku bahkan memutuskan untuk berjuang dan tidak kalah dari Yuri.

Tapi seperti saat berangkat sekolah kemarin, pada akhirnya aku tetap merasa kalah.

Selain itu, kalau dipikirkan lagi, mereka bertemu kembali setelah hampir sepuluh tahun berpisah. Aku merasa bersalah jika harus menghalangi mereka.

Bayangkan saja, seseorang yang kau kira tidak akan pernah bisa kau temui lagi, tiba-tiba muncul kembali di hadapanmu saat SMA.

Itu... hanya bisa disebut takdir.

Dan jika aku memaksa masuk di antara mereka...

Saat aku masih bingung memikirkan semua itu, Kusanagi-san tiba-tiba muncul dalam hidupku. Dan aku mengetahui bahwa dia adalah pahlawan yang menyelamatkanku.

Sama seperti Yuri, aku juga mendapat takdirku secara tiba-tiba.

Mungkin ini cara Tuhan memberitahuku bahwa Kusanagi-san lebih cocok untukku.

Mungkin ini peringatan bahwa aku tidak boleh mengganggu hubungan Yuri dan Ryo-kun.

Kalau tidak, tidak mungkin aku akan mengalami kejadian seperti ini di waktu yang begitu pas.

"Aku seharusnya..."

Aku tidak ingin menyerah pada perasaanku untuk Ryo-kun. Aku ingin tetap berada di sisinya. Aku ingin selalu bersama dengannya. Tapi aku tidak punya hak untuk itu.

Yang pantas berada di sisinya adalah Yuri.

Tapi... aku tetap ingin mencintainya.

Aah, tidak bisa.

Aku tidak bisa mengatur perasaanku. Setiap kali aku mencoba memikirkan Kusanagi-san, hatiku terasa ragu.

Tapi saat aku berpikir tentang Ryo-kun, aku langsung teringat Yuri.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa...

Blub, blub, blub.

Aku meniup gelembung kecil ke permukaan air sambil terus berpikir.

Tapi jawabannya tidak kunjung muncul.

Aku berharap, saat festival olahraga berakhir, aku sudah bisa menemukan jawabannya.



Chapter 8 - Gosip


Keesokan Paginya

Aku terbangun dengan paksa akibat alarm yang berisik, lalu bangkit dari tempat tidur dan menuju ruang makan.

Fuaaaah... Ngantuk banget. Rasanya ingin kembali ke dunia mimpi.

Sambil berpikir begitu, aku mulai sarapan mengikuti Michika dan Ibu, yang sudah lebih dulu makan.

Saat aku menyuapkan makanan ke mulut sambil melamun, tiba-tiba suara dari TV menarik perhatianku.

"Baiklah, semuanya! Seperti yang sudah ramai diperbincangkan di media sosial, akhirnya terungkap identitas pahlawan yang melindungi seorang gadis dari serangan penusukan di kereta bawah tanah! Ya, siswa laki-laki itu akhirnya diketahui siapa!"

"Wah, benar-benar butuh waktu lama, ya! Saya sudah membaca banyak artikel spekulatif tentang dia, dan sudah bisa menebak bahwa dia seorang pria tampan dengan tubuh tinggi. Tapi ternyata dia lebih luar biasa dari yang saya bayangkan! Seorang siswa SMA tampan yang menyelamatkan orang lain—ini akan menjadi legenda!"

"Benar sekali! Sosoknya jauh melebihi ekspektasi. Nah, sekarang, mari kita perkenalkan profil dari pahlawan kita, Kusanagi-kun!"

"BUEGH!"

Tanpa sadar, aku menyemburkan nasi yang ada di mulutku dengan keras.

APA!?!? Bajingan itu muncul di TV!?!?*

Aku langsung menoleh ke arah TV, dan di sana...

Wajah Kusanagi yang tersenyum tampan terpampang memenuhi layar, sementara sang pembawa acara menjelaskan tentang dirinya.

T-tidak mungkin...!

Dia sudah jadi seperti aku dulu!?

Sial... Aku sama sekali tidak menyangka dia akan sampai masuk TV.

Dengan begini, melindungi Hinami akan semakin sulit!

"Gila, ganteng banget, ya, Bu? Kalau aku diselamatkan oleh cowok sekeren itu, pasti langsung jatuh cinta! Aku pasti bakal ngejar dia mati-matian supaya bisa jadi pacarnya!"

Tch... Kalau dilihat dari sudut pandang cewek, jelas Kusanagi akan menempati posisi pertama dalam daftar "cowok idaman buat dijadiin pacar".

Ini benar-benar buruk... Sama sekali tidak lucu.

Dengan tampang tampan dan segudang keunggulan yang jadi bahan pembicaraan di mana-mana, sudah pasti banyak cewek yang bakal tergila-gila padanya.

"Keren banget, ya~. Ayah dan Ryo juga harus mencontoh dia, nih! Kalian berdua tuh benar-benar payah!"

"Bener banget! Coba kalau aku punya ayah atau kakak sekeren dia!"

Yah, kalau soal Ayah sih, dia memang tidak ada di sini, jadi terserah...

Tapi serius, mereka tega banget ngomong begitu di depan mukaku.

Buat Michika dan Ibu, Kusanagi di layar TV itu pasti terlihat seperti pangeran berkuda putih.

Tapi kenyataannya...

Pangeran itu PALSU!

***

Beberapa Jam Kemudian

Sekarang aku sudah di sekolah, duduk di kelas.

Sejak pagi, suasana hatiku sudah buruk karena Kusanagi diperlakukan seperti pahlawan yang baru debut di Hollywood.

Tapi, suasana di kelas ini justru lebih parah lagi.

Kenapa?

"Hei, Kujo-san! Beneran, ya, Kusanagi itu orang yang menyelamatkanmu!?"

"Dia itu orangnya gimana, sih!?"

"Aku lihat di TV tadi pagi! Dia keren banget, kan!?"

Suara-suara penuh antusias itu datang dari arah sebelahku—dari tempat duduk Hinami.

Semua orang mengerumuninya, mata mereka berbinar-binar penuh rasa ingin tahu, membanjiri Hinami dengan pertanyaan.

Dan Hinami, meskipun kewalahan, tetap tersenyum dan menjawab mereka dengan sabar.

Aku memperhatikan dari samping, lalu menyadari sesuatu yang mengganggu.

Wajah Hinami terlihat sangat bahagia... dan sedikit memerah.

Seolah-olah dia adalah seorang gadis yang baru pertama kali punya pacar dan sedang diledek oleh teman-temannya.

Yah... aku bisa mengerti.

Selama ini dia sangat ingin bertemu dengan orang yang menyelamatkannya. Dan ternyata, orang itu bukan hanya pemberani, tapi juga punya tampang kelas atas.

Tentu saja dia senang. Bahkan, mereka berdua bisa saja mulai berkencan.

Tsk...

"Kayaknya ini bakal jadi masalah besar. Kusanagi, brengsek..."

Aku harus melakukan sesuatu. Aku gak bisa membiarkan Hinami jatuh cinta pada Kusanagi.

Kalau sampai mereka jadian... semuanya akan berakhir.

Tahun ini, sepertinya aku gak bakal bisa menikmati festival olahraga sekolah.

Tapi kalau itu demi melindungi Hinami...

Aku akan lakukan apa pun.

Aku gak akan membiarkan brengsek itu mengambilnya!


Chapter 9 - Berbelanja


Sudah tiga minggu berlalu, dan akhirnya besok adalah hari sebelum festival olahraga.

SMA Tokinozawa dan SMA Seirin. Karena festival olahraga gabungan antara dua sekolah ini akan diadakan untuk pertama kalinya, saat ini semua orang sedang sibuk mempersiapkannya dengan sepenuh tenaga.

Hari ini tidak ada pelajaran, dan sejak pagi, kami sudah berada di lapangan SMA Seirin, tempat festival olahraga akan diadakan, untuk melakukan persiapan.

Mengangkut peralatan, mendirikan tenda, dan berbagai pekerjaan berat lainnya membuat kelelahan menumpuk.

Ngomong-ngomong, sebagian besar pekerjaan yang aku dapatkan hari ini adalah pekerjaan berat. Hampir semuanya hanya mengangkut barang-barang berat.

Saat ini pun, aku sedang mengangkut peralatan siaran sendirian ke lapangan.

Para kakak kelas panitia pelaksana ini…

Hanya karena aku salah satu dari sedikit laki-laki di SMA Tokinozawa, mereka terus saja menyuruhku melakukan pekerjaan berat.

Menyuruhku mengangkut peralatan seberat ini sendirian, sungguh keterlaluan.

Sambil menggerutu dalam hati, aku terus mengangkut peralatan siaran ke tempat yang telah ditentukan.

"Yokkoi shotto. Dengan ini, semua peralatan siaran sudah selesai diangkut..."

Aku meletakkan peralatan siaran di atas terpal dan meregangkan tubuhku.

Haa... berat sekali. Akhirnya selesai juga.

Sambil menatap langit yang mulai berwarna kemerahan, aku teringat kembali tentang Kusanagi dan Hinami.

Sejak Kusanagi mengaku sebagai pahlawan, pertemuan dengan SMA Seirin diadakan setiap minggu, dan Hinami selalu hadir dalam setiap pertemuan itu. Tentu saja, aku juga hadir.

Saat pertemuan, Kusanagi selalu duduk di sebelah Hinami dan mengobrol dengan riang. Kelasku, kelas A, adalah tim putih, sedangkan Kusanagi dari tim merah. Meski mereka adalah lawan, mereka tetap berbincang dengan senyuman.

Kalau hanya sekadar mengobrol, itu masih bisa diterima. Tapi, Kusanagi selalu berusaha menempel pada Hinami setiap ada kesempatan. Bahkan, meskipun rumah mereka berada di arah yang berlawanan, Kusanagi pernah pulang bersama Hinami.

Karena aku tidak tahu apa yang bisa terjadi, aku dan Koi-san pun ikut menemani mereka untuk memastikan mereka tidak dibiarkan berdua saja...

Namun, sepertinya Hinami semakin menyukai Kusanagi.

Jika dibandingkan dengan saat pertama kali bertemu, sekarang dia lebih sering tersenyum, dan hubungan mereka terlihat semakin dekat.

Rasanya situasinya semakin memburuk.

Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran.

Yaitu...

Sesekali, Hinami menatapku dengan ekspresi khawatir.

Saat berbicara dengan Kusanagi, dia beberapa kali melirik ke arahku.

Sepertinya dia terlihat sedikit khawatir.

Atau lebih tepatnya...

Dia tampak ragu tentang sesuatu.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya ragu, tapi jelas perasaannya mulai berubah.

Jika situasi ini terus berlanjut dan rencana Kusanagi berjalan lancar... Jika dia terpilih sebagai MVP dan mengungkapkan perasaannya saat dansa di malam terakhir festival...

Hinami mungkin tidak akan menyadari bahwa dia telah ditipu dan tidak akan pernah kembali lagi.

Aku tidak ingin itu terjadi. Sebagai teman, aku ingin melindungi Hinami.

Aku sudah bersumpah sejak perkemahan sekolah. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan saat SMP.

Dengan pikiran itu, aku memutuskan untuk pulang setelah menyelesaikan pekerjaan terakhirku.

Saat aku menundukkan kepala dan mulai berjalan menuju gerbang utama—

"Oh, kebetulan sekali. Kau juga baru saja menyelesaikan pekerjaanmu?"

Aku mendengar suara yang tidak ingin kudengar. Suara dingin dengan sedikit kesan sadis.

"Ugh... Koi-san..."

"‘Ugh’, apa maksudnya itu? Dasar pria tidak sopan."

Tatapan tajam dan ekspresi dingin Koi-san membuat tubuhku bergetar.

Tanpa sadar, aku mengucapkan apa yang kupikirkan di dalam hati...

Aku benar-benar melakukan kesalahan besar terhadap Koi-san.

"Ehm... Koi-san, kenapa kau di sini?"

"Aku datang menjemputmu. Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku lebih awal karena ada urusan setelah ini. Ayo, cepat jalan."

"Ya, ya. Aku mengerti."

"Jawabanmu tidak bersemangat. Seharusnya kau berkata, 'Baik! Dengan senang hati, Tuanku!' sambil menggoyangkan ekormu."

"Aku bukan anjingmu, tahu!"

"Oh, benar juga. Kau bukan anjing, ya. Aku salah."

"Benar! Aku bukan anjing! Bagus kalau kau mengerti!"

"Bukan anjing, tapi budak. Maaf ya, sebagai majikan, aku sampai salah mengira budakku sebagai anjing."

"Bukan itu maksudku! Bisakah kau melihatku sebagai manusia!?"

"Ayo cepat jalan, Pochi. Ikuti aku."

"Itu nama untuk anjing! Kau tetap saja melihatku sebagai anjing!"

Dengan begitu, tepat saat aku merasa benar-benar kelelahan, Koi muncul dan kami akhirnya pulang bersama.

Kami melewati lapangan sekolah dan berjalan melalui halaman dalam menuju gerbang utama.

"Lalu, menurutmu bagaimana hubungan antara Kusanagi dan Hinami?"

"Yah… sepertinya cukup baik. Dia memang brengsek kalau dilihat dari dalam, tapi kalau hanya melihat tampangnya, Kusanagi itu benar-benar tampan. Kalau pahlawan itu ternyata setampan dia, tidak heran jika perasaan Hinami mulai goyah. Tapi..."

"Tapi?"

"Kadang-kadang ekspresi Hinami tampak suram. Dia seperti sedang bingung tentang sesuatu."

Aku tidak tahu apa yang membuat Hinami ragu. Tapi jelas ada sesuatu yang membebaninya.

Bahkan saat dia bersama Kusanagi, terkadang aku menangkapnya melirik ke arahku. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi...

"Aku mengerti. Yang jelas, dia memang sedang memikirkan sesuatu, tapi di saat yang sama, perasaannya terhadap Kusanagi pasti semakin dalam. Mungkin sulit baginya untuk menyadari bahwa dia sedang ditipu."

"Itu benar. Lagipula, siapa yang akan curiga pada orang yang sudah menolongnya? Sepertinya kita hanya bisa menunggu sampai Kusanagi melakukan kesalahan."

"Nampaknya begitu. Setidaknya, jika kita bisa mencegah mereka menjadi pasangan selama festival olahraga besok, masih ada harapan."

"Benar juga. Besok kita harus berusaha menghalangi mereka dari belakang. Oh iya, ngomong-ngomong, kau sudah punya rencana?"

Rencananya adalah Koi-san yang akan merancang strategi, dan aku yang akan mengeksekusinya agar Kusanagi dan Hinami tidak menjadi pasangan selama festival olahraga.

Tapi aku belum diberi tahu tentang detailnya.

Sedikit khawatir juga, tapi melihat Koi-san tersenyum menyeringai, aku langsung merasa lebih tenang.

"Serahkan saja padaku. Aku sudah menyiapkan strategi agar Kusanagi tidak bisa menang begitu saja. Fufu... Aku tidak sabar melihat wajahnya ketika dia kalah dengan cara yang memalukan."

"Koi-san, sifat jahatmu mulai terlihat lagi..."

"Apa yang kau katakan? Aku hanya ingin memberi pelajaran pada seseorang yang mencoba menipu temanku. Dan saat kebohongannya terungkap, aku akan menghukumnya dengan berbagai cara..."

Entah seperti apa Kusanagi di dalam bayangan pikirannya Koi-san, tapi aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.

"Kau masih ingat Kusanagi akan berpartisipasi di lomba apa saja, kan?"

"Tentu saja. Perlombaan mengambil barang, kuda-kudaan, dan estafet, kan?"

"Benar. Aku ingin kau ikut dalam ketiga perlombaan itu dan menjalankan strategi yang akan kujelaskan nanti."

"Siap!"

"Baiklah, kalau begitu—"

Saat kami hendak melewati halaman dalam dan mendekati pintu masuk sekolah…

"Tunggu! Berhenti!"

Untuk pertama kalinya, Koi-san berbicara dengan nada panik dan mengulurkan tangannya untuk menghentikanku. Dia lalu menarikku dan kami berdua bersembunyi di balik bayangan pohon.

"Eh, ada apa, Koi-san?"

"Diam dan lihat ke sana. Di depan pintu masuk."

Aku mengikuti arah yang dia tunjuk dan melihat...

Di dekat pintu masuk, ada Hana-sensei bersama Hinami dan Kusanagi, mereka bertiga tampak sedang berbicara.

"Kenapa mereka berbicara dengan Hana-sensei?"

"Aku tidak tahu. Tapi mereka sedang mendiskusikan sesuatu, jadi diam dulu dan dengarkan."

Mengikuti perintah Koi-san, aku menutup mulut dan berkonsentrasi mendengarkan percakapan mereka.

"Ya ampun, terima kasih ya kalian berdua. Kalian sangat membantu."

Yang pertama terdengar adalah suara Hana-sensei.

"Sama sekali tidak masalah! Justru, aku sangat menikmati persiapan ini!"

Hinami menjawab dengan penuh semangat meskipun tubuhnya berkeringat. Aku bisa melihat dari jauh bahwa dia benar-benar tampak bersemangat.

"Aku juga sama seperti Kujo-san. Aku sangat menikmati persiapan ini dan semakin tidak sabar menunggu besok."

Kusanagi menambahkan dengan senyum lebar. Aku benar-benar tidak ingin melihat senyumanmu, dasar brengsek.

"Sebenarnya, aku ingin melepas kalian sekarang juga, tapi ada sedikit masalah mendadak."

""Masalah mendadak?""

"Ya. Ada beberapa barang yang lupa dibeli saat belanja perlengkapan tadi. Dan juga, ada beberapa tambahan barang yang perlu dibeli. Sayangnya, orang yang ditugaskan belanja sudah pulang. Jadi, Kujo dan Kusanagi, bisakah kalian berdua yang pergi membeli barang-barang itu?"

"A-Apa!?"

Mereka disuruh pergi belanja bersama!? Di waktu senja seperti ini!?

Kalau mereka pergi berdua, dan pulangnya terlambat...

Kusanagi bisa mendekati Hinami tanpa ada yang mengawasi!

Ini berbahaya! Bisa-bisa sebelum festival olahraga dimulai, mereka sudah resmi berpacaran!

"Apa yang harus kita lakukan, Koi-san!? Kalau begini, Hinami dan Kusanagi akan sendirian berduaan!"

Aku panik karena situasi tak terduga ini, tapi di sampingku, Koi-san tetap terlihat tenang seperti biasa.

Tanpa menunjukkan sedikit pun keterkejutan, ekspresi wajahnya tetap tak berubah. Apa-apaan ketenangan ini...

"K-Koi-san? Kau punya rencana?"

Aku bertanya dengan suara pelan, dan dia menjawab dengan tenang.

"Pergi berdua untuk berbelanja memang berbahaya, tapi bukan berarti tidak bisa dihalangi. Kebetulan ada seorang pengangguran di dekat sini."

"Oh, jadi kita bisa memanfaatkan pengangguran itu?"

"Tepat sekali."

"Aku mengerti... Hah? Pengangguran itu maksudnya aku, ya!?"

"Lambat sekali menyadarinya. Kau harus mencari momen yang tepat untuk menyelinap masuk. Aku akan mengawasi dari sini."

"Hei, hei! Kenapa aku harus sendirian!?"

Aku mengerti bahwa aku harus menghentikan mereka agar tidak pergi berdua. Tapi kenapa aku harus melakukannya sendirian? Bukankah lebih baik jika Koi-san juga ikut?

"Aku juga ingin ikut, tapi tadi sudah kubilang, kan? Aku ada urusan setelah ini, makanya aku menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat."

"Serius? Ini benar-benar buruk..."

"Yang bisa bergerak sekarang hanya kau. Jadi aku mohon padamu."

Koi-san mengalihkan pandangannya dari Hinami dan yang lainnya kepadaku, menatapku dengan wajah serius.

Lalu, dengan suara kecil namun penuh tekad, dia berkata,

"Gantikan aku untuk tetap berada di sisi Hinami."

Aku tidak bisa membalas kata-kata itu.

Benar juga, pasti Koi-san ingin ikut kalau bisa. Tapi dia tidak bisa. Sekarang satu-satunya yang bisa diandalkan hanyalah aku.

Akulah satu-satunya yang bisa melindungi Hinami. Kalau begitu, aku tak punya pilihan lain selain melakukannya!

"Baiklah. Kalau Koi-san tidak bisa bergerak, aku yang akan melakukannya. Aku pasti akan mengatasinya!"

Begitu aku memutuskan untuk menyusup sendirian, wajah Koi-san yang tegang pun sedikit melunak.

"Telepon aku nanti malam. Aku akan memberitahumu rencana kita saat itu."

"Siap! Aku pasti menelepon!"

Setelah berjanji untuk membicarakan rencana lebih lanjut nanti malam, aku kembali fokus mendengarkan percakapan mereka untuk mencari momen yang tepat untuk menyela.

"Yah, kalian pasti lelah, tapi aku ingin kalian berdua yang melakukannya. Memang sedikit merepotkan, tapi boleh, kan?"

"Aku tidak masalah, Hana-sensei! Serahkan saja pada kami!"

"Aku juga sama seperti Kujo-san. Aku tidak keberatan."

Hinami dan Kusanagi. Meski mereka pasti lelah, keduanya menerima permintaan Hana-sensei tanpa menunjukkan tanda-tanda keberatan.

Mendengar jawaban mereka, ekspresi Hana-sensei langsung berseri-seri.

"Terima kasih banyak! Kalian benar-benar menolongku. Oke, kalau begitu belilah barang-barang yang tertera di catatan ini di pusat perbelanjaan terdekat."

Saat Hana-sensei sedang menjelaskan, aku tiba-tiba muncul di hadapan mereka dan menyela ucapannya dengan suara lantang.

"H-Hana-sensei! Aku ikut juga! Aku juga akan pergi belanja!"

Ketiga orang itu terkejut dengan kemunculanku yang tiba-tiba, tapi aku tidak peduli.

Yang penting aku bisa melindungi Hinami.

"R-Ryo-kun! Kenapa tiba-tiba?"

"Eh, um... Aku kebetulan juga ingin pergi belanja untuk urusan pribadiku. J-jadi kupikir sekalian saja aku membantu mereka."

Tentu saja, itu bohong.

Aku tidak punya urusan belanja, apalagi niat untuk pergi. Tapi jika aku membiarkan Kusanagi bebas begitu saja, ini berbahaya. Aku satu-satunya yang bisa bergerak sekarang.

Jadi aku tidak punya pilihan lain.

"Hana-sensei, apa tidak apa-apa? Bukankah lebih baik kalau ada lebih banyak orang?"

"Hmm... Yah, tidak ada salahnya. Memang barang yang harus dibeli tidak terlalu banyak, tapi ini juga bisa jadi kesempatan untuk lebih akrab dengan siswa dari sekolah lain. Pergilah."

"Terima kasih banyak!"

Aku menundukkan kepala dengan lega.

Bagus! Dengan begini, aku berhasil mencegah mereka pergi hanya berdua.

Selama aku tetap berada di antara mereka...

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba ada penyusup lain yang muncul.

"Senseiii~! Aku juga mau ikut belanja!"

Suara ceria itu datang dari belakangku.

Tunggu... suara ini!?

Aku segera menoleh, dan di sana, berdiri dengan senyum santai sambil diterpa sinar matahari senja, adalah...

Teman kami, Yuri!

"EHH!? Kenapa kau ada di sini, Yuri!?"

"Haha~ Aku tadi lihat Ryo dan Koi-san berjalan di taman sekolah, jadi aku mengikuti kalian~. Tapi Koi-san tidak ada, ya~? Apa aku salah lihat? Lagipula, Ryo tadi muncul dari balik pohon, apa yang kau lakukan?"

Yuri menggelengkan kepalanya dengan bingung, lalu mulai melihat sekeliling seolah mencari Koi-san.

Gawat!

Saat ini, Koi-san sedang bersembunyi di balik bayangan pohon. Dari sudut pandang Yuri, tempat itu berada di titik buta, jadi dia tidak bisa melihatnya. Tapi kalau begini terus, ada kemungkinan dia akan ketahuan!

“Ah, ahh. Kalau Koi-san, dia tadi lari pulang. Sepertinya ada urusan setelah ini. Jadi sekarang cuma aku di sini. Oh, tadi aku cuma sedang mengikat tali sepatu di balik pohon. Ahaha—”

Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir deras dari seluruh tubuhku. Tolonglah. Jangan sampai ketahuan!

“Oh begitu ya~. Makanya Koi-chi tidak ada. Sedih sih, tapi ya sudah deh~.”

“Ahaha—. Iya, dia udah pulang duluan.”

Hampir aja! Aku berhasil menghindari kecurigaan!

Kalau sampai ketahuan bahwa Koi-san masih ada di sini, bakal jadi ribet. Syukurlah aku bisa menghindari itu.

Saat aku merasa lega, Yuri tiba-tiba memanggil Hinami dan Kusanagi yang ada di belakang.

“Yahhoo~! Hinami! Kusanagi-san!”

“Yuri! Kerja bagus hari ini!”

“Sazanami-san, kerja bagus.”

Begitu melihat Hinami tersenyum, rasanya semua rasa lelahku hari ini langsung hilang.

Gawat. Dia imut banget. Apa mungkin di kehidupan sebelumnya Hinami itu seorang dewi atau semacamnya?

“Ohh—. Bukankah ini Sazanami? Udah selesai kerja?”

“Iya, Hana-sensei! Sudah beres semuanya!”

Yuri memberi hormat layaknya seorang tentara kepada Hana-sensei.

“Karena aku juga udah selesai kerja dan sekarang agak senggang, boleh tidak aku bantuin kalian?”

“Boleh, silakan. Berangkatlah berempat.”

“Terima kasih, Hana-sensei! Kalau begitu, Ryo, ayo berangkat!”

Yuri berkata dengan semangat lalu tiba-tiba menggenggam erat lenganku dan mulai berjalan ke arah Hinami dan Kusanagi.

A-apaan ini? Rasanya seperti pasangan yang mau pergi kencan…

“Oke! Sekarang kita pergi berempat!”

Dengan penuh semangat, Yuri melangkah menuju gerbang utama.

Aku yang terus ditarik-tarik olehnya tidak bisa bergerak bebas.

Sepertinya sampai kita tiba di pusat perbelanjaan, aku tidak akan bisa lepas dari Yuri.

Saat aku berpikir seperti itu, tanpa sengaja mataku bertemu dengan Hinami.

Ah, ini agak malu-maluin. Apa wajahku memerah sekarang?

Saat aku sedang khawatir tentang itu…

Puih.

Hinami tiba-tiba memalingkan wajahnya, seolah-olah dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat.

…Eh? Apa?

Apa aku melakukan sesuatu?

K-kenapa ini…?

Apa Hinami sedang menghindariku?

Saat aku mencoba memahami alasan kenapa dia mengalihkan pandangannya, Hinami berbisik pelan.

“…Seperti yang kuduga, Ryo-kun dan Yuri sangat cocok… Benar-benar terikat oleh benang takdir.”

A-apa?

Apa maksudnya itu?

Aku dan Yuri cocok? Takdir? Apa maksudnya!?

Aku tidak bisa memahami makna sebenarnya dari kata-kata Hinami.

Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan…?



Chapter10 - Kencan Ganda


Setelah berjalan sekitar dua puluh menit sejak keluar dari sekolah, kami akhirnya tiba di pusat perbelanjaan besar yang terletak di dekat SMA Seirin. Sekarang, kami sedang berkeliling toko secara acak.

Pada akhirnya, belanja ini dilakukan oleh empat orang, yaitu aku, Hinami, Yuri, dan Kusanagi.

Kehadiran Yuri memang di luar dugaan, tapi setidaknya aku tetap bisa mengganggu hubungan Hinami dan Kusanagi seperti yang direncanakan.

Atau setidaknya, itu yang kupikirkan… tapi kenyataan tidak berjalan sesuai keinginanku.

“Kusanagi-san, apakah barang ini dijual di toko ini?”

“Hmm, sepertinya ada, sih.”

“Terima kasih banyak!”

“Jangan khawatir. Ayo, kita masuk ke dalam toko.”

Hinami dan Kusanagi berjalan bersama, berbicara dengan akrab.

Mereka kelihatan seperti pasangan, kan?!

Bukannya menghalangi mereka, aku malah cuma bisa melihat. Sementara itu…

“Wah~ meskipun ini hari biasa, tetap ramai ya~. Menurutmu bagaimana, Ryo?”

“O-oh… Iya, sih.”

“Tidak nyangka bakal sebanyak ini orangnya~.”

Yuri masih menempel di lenganku dengan erat, seolah tak mau melepaskannya. Aku benar-benar tidak bisa menjauh darinya.

Sebagai laki-laki, tentu saja aku senang bisa sedekat ini dengan seorang gadis cantik. Tapi bukan sekarang! Ini bukan waktunya!

Ini buruk. Aku berhasil mencegah situasi di mana kami berdua akan ditinggal berduaan, tapi karena Yuri terus menempel padaku, aku jadi tidak bisa mengganggu Kusanagi.

Hinami dan Kusanagi berjalan di depan, sementara aku dan Yuri di belakang mereka. Ini benar-benar terlihat seperti double date, bukan?!

Kalau terus begini, Hinami dan Kusanagi malah akan semakin dekat.

Aaaah! Sial! Tapi apa yang harus kulakukan!?

“Hm? Ada apa, Ryo?”

“Eh?! T-tidak, bukan apa-apa.”

“Hmmm~. Mencurigakan nih. Aku mencium aroma kecurigaan~.”

Yuri menatapku dengan mata menyipit, lalu tiba-tiba tersenyum penuh arti, seolah sudah menyadari sesuatu.

“Ryo… jangan-jangan tadi kamu…”

“A-apa?”

“Kepikiran soal oppai, kan? Kamu pasti lagi mikirin itu, kan?”

“E-tidak, dong!”

“Yah~. Percuma bohong, Ryo-san? Kamu tadi pasti lagi mikirin hal mesum, kan?”

“Tidak! Sama sekali tidak!”

“Bohong banget~. Dari tadi kamu melirik-lirik ke arah bangku di sana, kan? Di mana ada kakak-kakak dengan dada besar duduk santai~.”

“Etidak, aku tidak lihat ke sana!”

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yuri. Memang, ada beberapa wanita berpayudara besar yang sedang duduk beristirahat di bangku itu.

Tapi aku tidak melihat mereka! Aku hanya fokus mengamati Hinami dan Kusanagi, lalu kebetulan mereka ada di latar belakangnya! Aku benar-benar tidak lihat mereka!

“Seperti yang kuduga, Ryo juga tetaplah seorang laki-laki~. Semua laki-laki pasti suka dada perempuan, kan? Apalagi kalau besar~.”

“Aku bilang aku tidak lihat ke sana!”

“Hmmm~.”

Setelah melihat reaksiku, Yuri tersenyum penuh arti. Lalu, tiba-tiba, dia mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik pelan.

“Menurutku, aku juga tidak kalah, lho~. Mau memastikan sendiri?”

“…Eh?”

Mendengar itu, tubuhku langsung kaku. Seketika, detak jantungku pun meningkat drastis.

A-apa maksudnya itu…?

Aku menoleh ke Yuri yang berbisik di telingaku. Wajahnya sedikit memerah.

Dia terlihat malu, tapi di sisi lain, dia juga terlihat serius.

J-jangan bilang ini bukan bercanda…?

Begitu memikirkannya, tubuhku langsung terasa panas, dan kepalaku mulai kacau.

“Y-Yuri… I-itu maksudnya…”

Saat aku hendak bertanya, Yuri tiba-tiba menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya.

Setelah terdiam beberapa saat, seolah ada sesuatu yang membuatnya sadar, dia tiba-tiba mengangkat wajah dan tertawa terbahak-bahak.

“Hahahaha! Itu cuma bercanda, kok! Ryo tetap aja lucu, ya~!”

Sambil tertawa, Yuri menepuk-nepuk punggungku dengan keras.

Sakit! Itu benar-benar sakit!

Melihatnya tertawa terbahak-bahak, sepertinya memang hanya bercanda.



Kau menggodaku, ya?!

"Yuri, dari awal kau hanya bercanda dan menikmati reaksiku, kan?!"

"Hahaha! Soalnya telingamu sampai merah banget, aku jadi kaget dan berusaha menahan tawa~. Hahaha, Ryo ternyata reaksinya imut juga ya~."

"Telingaku sampai merah?!?"

"Iya~. Awalnya seluruh wajahmu memerah seperti orang mabuk, lalu perlahan warnanya menjalar sampai ke ujung telingamu~. Itu benar-benar lucu!"

Sekarang aku mengerti kenapa tadi Yuri tiba-tiba menundukkan kepala.

Dia pasti menahan tawa saat melihat wajahku yang memerah karena panik!

Aduh, memalukan banget! Tapi ya, kalau seorang gadis seperti Yuri tiba-tiba mengatakan hal seperti itu, bukankah semua pria pasti akan bereaksi seperti aku?

Sial, dia benar-benar mempermainkan reaksiku…!

"Aha! Kau pasti lagi mikir, ‘Dia mempermainkan aku!’ kan?"

"Bagaimana kau tahu?!"

"Soalnya pipimu tadi sedikit menggembung, lho! Hahaha, Ryo memang gampang ditebak ya~."

"Sial… pikiranku terbaca semua…"

"Kamu benar-benar lucu, Ryo~. Senang rasanya bisa menggodamu~."

Yuri akhirnya puas dengan reaksiku, dan tawanya perlahan mereda.

Aku benar-benar tidak menyangka dia tiba-tiba akan mengatakan hal seperti itu.

Tapi belakangan ini, Yuri memang terasa sedikit berbeda. Sejak perjalanan sekolah ke perkemahan, rasanya dia semakin sering mendekatiku dan berinteraksi lebih intens denganku.

Apa mungkin… Yuri menyukaiku?

Tidak, tidak mungkin.

Berpikir seperti itu hanya akan membuatku terlihat seperti pria tak laku yang mudah salah paham hanya karena sedikit keakraban. Ini pasti hal yang biasa saja.

Tapi tetap saja…

Aku masih belum menemukan cara untuk menghalangi Kusanagi dan Hinami.

Saat ini, mereka masih berjalan bersama di dalam toko sambil berbicara dengan akrab. Aku harus melakukan sesuatu.

Mengobrol terus dengan Yuri memang menyenangkan, tapi itu bukan prioritas utamaku sekarang.

Aku harus menghentikan percakapan ini dan fokus ke rencana utamaku…

Apa yang akan Koi-san lakukan dalam situasi seperti ini…?

Tunggu… tidak perlu memaksa masuk ke dalam percakapan mereka, kan?

Aku tidak perlu memaksa menghentikan pembicaraan mereka. Aku hanya perlu memisahkan mereka!

"A-anu… semuanya, bisa dengar sebentar?"

"Hm? Ada apa, Keido-kun?"

Kusanagi adalah orang pertama yang merespons. Setelah itu, Yuri dan Hinami juga menoleh ke arahku.

"Mumpung kita berempat di sini, bagaimana kalau kita membagi tugas belanja? Akan lebih efisien, kan?"

"Wah~. Benar juga~."

Yuri langsung menyetujui usulanku.

Bagus! Terima kasih, Yuri! Ini akan memudahkan langkahku!

"Kedengarannya masuk akal," Kusanagi mengangguk setuju.

"I-iya, kan? Kalau begitu…"

Namun, sebelum aku sempat melanjutkan, Kusanagi tiba-tiba menyela dengan sebuah saran.

"Bagaimana kalau aku dan Keido-kun pergi belanja barang lainnya? Para pria bersama pria, dan para wanita bersama wanita. Kujo-san dan Sazanami-san bisa membeli barang-barang yang tersedia di sini."

…Apa?!?

A-a-a-apaaan ini?!?! Aku malah berpasangan dengan Kusanagi?!

Awalnya aku berencana pergi belanja dengan Hinami, tapi kenapa ini malah jadi seperti ini?!

Memang sih, aku berhasil memisahkan Hinami dan Kusanagi… tapi sekarang aku malah terjebak dengan pria lain!

"Wah~. Begitu ya~. Aku sih tidak masalah~. Bagaimana denganmu, Hinami?"

"Eh? A-aku juga tidak masalah."

Sepertinya dari sisi mereka, usulan ini memang terdengar masuk akal, karena baik Yuri maupun Hinami tidak menolak ide Kusanagi.

T-tapi kenapa?!

Kenapa Kusanagi tiba-tiba memutuskan untuk berpasangan denganku?

Bukankah seharusnya dia memilih untuk tetap bersama Hinami?

Apa yang sebenarnya dia rencanakan…?!?

*** 

Sudah sekitar dua puluh menit sejak aku berpisah dengan Hinami dan yang lainnya.

Karena aku dan Kusanagi telah menyelesaikan belanja, kami memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di dalam mal hingga waktu pertemuan yang telah disepakati dengan Hinami dan Yuri.

Kusanagi berjalan sedikit di depan, sementara aku mengikutinya dari belakang.

Dari luar, mungkin kami terlihat seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Tapi di antara kami berdua, tidak ada percakapan sama sekali.

Di sekitar kami, suasana ramai dan bising, tetapi di antara kami hanya ada keheningan. Aku memang tidak berniat untuk memulai percakapan, jadi aku tetap diam seperti ini.

Tapi tetap saja, kenapa semua ini bisa terjadi?

Kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal seperti itu tadi? Seharusnya, bagi Kusanagi sendiri, akan lebih baik jika dia tetap bersama Hinami.

Aku tidak mengerti maksudnya. Apa tujuannya? Apakah dia hanya ingin menjauhkan aku dari Hinami?

Tidak, aku hari ini bahkan belum banyak berbicara dengan Hinami. Aku juga tidak merasa melakukan sesuatu yang bisa membuatnya cemburu.

Atau jangan-jangan… dia mengetahui rencanaku dan Koi-san?!

Tidak, itu kemungkinan yang sangat kecil. Koi-san tidak mungkin melakukan kesalahan.

Argh, aku tidak paham! Kenapa dia tiba-tiba melakukan ini?!

Saat aku masih larut dalam pikiranku, tiba-tiba Kusanagi berbicara kepadaku.

"Keido-kun, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"…Hah?"

"Menurutmu, bagaimana perasaanmu terhadap Kujo-san?"

"Apa?"

Aku langsung membalas pertanyaannya dengan refleks.

Tidak, tidak, tidak. Apa yang dia bicarakan?!

Tanpa sadar, langkahku terhenti. Namun, Kusanagi tetap melanjutkan perkataannya.

"Maaf ya. Padahal tadi kamu terlihat akrab dengan Sazanami-san, tapi aku malah membuat usulan seperti itu. Hanya saja, aku memperhatikan bahwa Kujo-san sering melihatmu diam-diam dari kejauhan. Itu membuatku penasaran. Jadi, apakah kalian sebenarnya diam-diam berpacaran?"

Memang benar, Hinami beberapa kali terlihat menatapku dengan ekspresi cemas.

Aku juga tidak tahu kenapa dia melakukan itu.

Tapi ada satu hal yang pasti.

"Tidak. Aku dan Hinami tidak pacaran. Kami hanya teman."

Benar. Aku dan Hinami tidak menjalin hubungan seperti itu.

Lagipula, Hinami sudah menyukai seseorang. Jadi, dia tidak mungkin memiliki perasaan kepadaku.

Mendengar jawabanku, ekspresi Kusanagi tampak lega.

"Begitu ya. Berarti Kujo-san saat ini tidak punya pacar, kan?"

"Sepertinya tidak. Sejak awal masuk sekolah, aku tidak pernah mendengar dia punya pacar."

"Syukurlah. Aku sempat khawatir bagaimana jika ternyata dia sudah berpacaran denganmu."

Aku mulai memahami maksud sebenarnya dari Kusanagi.

Dia ingin mendapatkan Hinami.

Baginya, kehadiran seorang pacar akan menjadi penghalang yang besar.

Jika Hinami sudah memiliki pacar, akan sulit baginya untuk mengajaknya berdansa di festival malam terakhir, apalagi untuk menyatakan perasaannya.

"Jadi, kau menyukai Hinami?"

Mendengar pertanyaanku, Kusanagi tersenyum percaya diri dan menjawab tanpa ragu.

"Tentu saja. Aku sangat menyukainya. Saat aku bertemu kembali dengan Kujo-san, aku langsung yakin bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersama. Aku ingin bersamanya. Aku sangat mencintainya."

Mendengar itu, aku tanpa sadar mengepalkan tanganku erat-erat.

Siapa yang mencintai siapa itu urusan masing-masing. Tapi Kusanagi adalah seorang pembohong.

Dia memanipulasi Hinami dan juga orang-orang di sekitarnya.

Orang seperti dia tidak pantas mengatakan kata-kata itu dengan begitu mudahnya.

Dia tidak seharusnya mencintai Hinami.

"Hei… apa kau benar-benar pria yang menyelamatkannya saat itu?"

"Jika seseorang tiba-tiba muncul dan mengaku bahwa dia yang sebenarnya melakukannya, apa yang akan kau lakukan?"

Karena amarahku terhadap Kusanagi, aku tanpa sadar menanyakan hal itu.

Dia memanfaatkan fakta bahwa orang yang sebenarnya tidak pernah muncul.

Itulah sebabnya dia berpura-pura menjadi penyelamat.

Aku ingin tahu bagaimana dia akan menjawab jika seseorang tiba-tiba mengaku sebagai penyelamat yang sebenarnya.

"Keido-kun… apakah kau meragukanku?"

"T-tidak. Aku hanya… Kau sendiri tidak memiliki bukti yang bisa menunjukkan kalau kau benar-benar penyelamatnya."

"Hah, masuk akal. Tapi aku yakin, aku adalah orangnya. Saat itu, aku tanpa berpikir panjang langsung berlari untuk menyelamatkan Kujo-san."

"…Begitu ya. Aku mengerti."

"Keido-kun pasti meragukanku karena kau dekat dengan Kujo-san. Tapi tenang saja. Aku memang orangnya. Aku adalah pria yang menyelamatkan Kujo-san dari penyerangan di stasiun bawah tanah itu."

"Baiklah…"

Aku memutuskan untuk tidak berdebat lebih jauh dan menerima jawabannya begitu saja.

Kalau sampai Kusanagi mengetahui kebenaran, itu akan sangat berbahaya.

Jadi, aku harus tetap diam dan mengangguk saja.

"Yah, sebaiknya kita kembali. Waktu pertemuan sudah dekat."

"Baik. Ayo pergi."

"Ya. Kujo-san dan Sazanami-san mungkin sudah menunggu."

Aku mengikuti Kusanagi menuju tempat pertemuan.

Mungkin Hinami dan Yuri sudah menyelesaikan belanja mereka dan sedang menunggu kami di sana.

Kami mulai berlari kecil ke arah tujuan kami.

Dan saat itu, aku semakin yakin akan satu hal.

Aku tidak akan membiarkan orang seperti dia mendapatkan Hinami.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close