Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 11 - Keluarga Hinami
"Wah, capek juga ya~. Semuanya, kerja bagus~"
Di depan gerbang SMA Seirin, YurI meregangkan tubuhnya dengan kuat.
Baru saja kami menyerahkan barang belanjaan yang dibeli kepada Hana-sensei. Dengan ini, tugas kami untuk hari ini selesai, dan akhirnya kami berempat bisa pulang bersama.
Waktu sudah melewati pukul delapan belas, sudah cukup larut. Sudah selama ini rupanya.
Sejak pagi kami sudah sibuk dengan persiapan, jadi wajar kalau tenagaku sudah terkuras.
Kakiku terasa berat, tubuhku pun mulai lelah.
"Semuanya, kerja bagus. Tugas hari ini sudah selesai, ayo kita pulang."
Setelah tersenyum ke arahku dan Yuri, Kusanagi mendekati Hinami, lalu—
"Baiklah, Kujo-san. Ayo kita pulang."
Dia melingkarkan tangannya di pinggang Hinami, lalu kembali menempel padanya.
Seolah-olah tak ingin melepaskannya, tak ingin ada yang mengganggu, Kusanagi semakin merapatkan tubuhnya ke Hinami.
Hinami pun tampak kebingungan dengan tindakannya ini. Sepertinya dia merasa sedikit tidak nyaman, tetapi mengingat sifatnya, dia pasti kesulitan untuk menolaknya.
Sialan, Kusanagi! Karena rencananya mengganggu belanja tadi gagal, sekarang dia berusaha memanfaatkan momen saat pulang sekolah.
"Oh begitu, jadi Hinami pulang bareng Kusanagi-san ya? Kalau begitu, Ryo, ayo pulang bareng aku! Ada kafe lucu yang ingin aku coba dekat sini~. Yuk kita mampir!"
Begitu tahu bahwa Hinami akan pulang dengan Kusanagi, kini Yuri malah menangkapku.
Sial, timing-nya buruk banget...
Aku senang dia mengajakku, tapi kenapa harus sekarang?!
Kenapa selalu di saat yang tidak tepat?! Kalau begini, Hinami akan benar-benar jatuh ke tangan Kusanagi!
"Hm? Kenapa, Ryo? Wajahmu kelihatan pucat, lho."
"Eh? A-Ah, tidak, aku baik-baik saja."
"Kalau begitu, ayo kita pulang bareng!"
"Karena Sasami-san dan Keido-kun juga sudah menentukan pasangan, ayo kita bubar saja. Sudah malam, aku akan mengantarmu ke stasiun, Kujo-san."
Dengan hampir memaksa, Kusanagi menarik Hinami menuju stasiun.
"Kalau begitu, kita berangkat juga, ya, Ryo!"
Mengikuti Kusanagi, Yuri mulai menarik lenganku.
Sial. Aku semakin jauh dari Hinami.
Kalau dibiarkan begini... rencana Kusanagi akan berjalan mulus.
Sial, apa yang harus kulakukan?! Bagaimana caranya?!
Saat aku masih bingung, mataku tak sengaja bertemu dengan Hinami yang berjalan ke arah berlawanan. Dalam tatapan matanya yang sesaat itu, sesuatu dalam diriku bergejolak.
Jika aku membiarkan Kusanagi bebas begitu saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Hinami nanti. Jika terjadi sesuatu, aku tidak akan bisa langsung menolongnya.
Jika aku tidak melakukan apa-apa sekarang, aku pasti akan menyesal!
"Tunggu sebentar!"
Tanpa sadar, kata-kata itu meluncur dari mulutku.
Tapi, karena sudah terlanjur mengatakannya, aku harus melakukannya! Aku harus bergerak dan mengubah situasi ini!
"A-anu... Sebenarnya aku dan Hinami punya janji setelah ini. Kami sudah sepakat untuk pulang berdua. Maaf, ya!"
Dengan alasan yang tiba-tiba terlintas di kepalaku, aku segera melepaskan diri dari Yuri, menggenggam tangan Hinami, lalu—
Kabur dari tempat itu bersama Hinami.
"Ryo-kun!? Kenapa tiba-tiba begini?!"
Aku bisa mendengar suara Hinami yang kebingungan.
Tapi aku tetap menggenggam tangannya dan terus berlari.
Lebih baik aku malu sekarang daripada membiarkan Kusanagi berbuat sesuka hatinya!
"Maaf, Hinami! Temani aku sebentar!"
Mendengar suaraku yang serius, Hinami sedikit memerah dan menundukkan kepala.
"Eh? U-Umm... baiklah, Ryo-kun."
Setelah itu, dia tidak berkata apa-apa lagi. Kami terus berlari bersama, angin berembus melewati kami.
Eh? Kenapa tangan Hinami terasa hangat?
Ah, mungkin karena kami berlari, jadi suhu tubuhnya naik. Aku tak terlalu memikirkannya dan terus berlari.
Namun, saat kami semakin menjauh dari SMA Seirin,
"Mereka benar-benar akrab, ya~"
Suara Yuri yang samar-samar terdengar di kejauhan.
***
"Haa, haa, haa. Maaf ya, Hinami. Aku tiba-tiba mengajakmu berlari."
Setelah berlari sampai tempat di mana sosok Kusanagi dan Yuri tak lagi terlihat, kami akhirnya berhenti.
Karena kami berlari cukup jauh, paru-paruku terasa nyeri. Ditambah dengan persiapan sepanjang hari ini, tubuhku terasa sangat berat. Akibatnya, meskipun jaraknya tak seberapa, aku sudah kehabisan tenaga.
"U-umm, tidak apa-apa, Ryo-kun."
"Benar-benar maaf. Ini semua jadi seperti ini…"
Kalau tadi aku diam saja, pasti Kusanagi akan berbuat sesuatu kepada Hinami.
Satu-satunya cara untuk mencegah itu adalah dengan melakukan ini.
Mungkin ada cara lain yang lebih baik. Tapi, dalam situasi ini, hanya ini yang terpikirkan olehku.
"Tapi, kenapa tiba-tiba seperti ini? Ada sesuatu yang terjadi dengan Kusanagi-san? Aku yakin Ryo-kun tidak akan melakukan hal seperti ini tanpa alasan."
"A-ah, itu… uhm… seb-benarnya, aku hanya ingin pulang berdua denganmu hari ini! La-lagipula, akhir-akhir ini kita jarang punya waktu berdua. Itu sebabnya… A-ahaha…"
Aku berkeringat dingin dan mataku bergerak ke sana kemari dengan panik.
Karena bertindak tanpa berpikir, aku tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal!
Sial, bagaimana kalau dia menganggapku orang aneh!?
Ahh! Andai saja aku punya otak seperti Koi-san!
Tapi, kalau dipikir-pikir, paling tidak aku tidak berbohong. Karena aku memang ingin memisahkan Hinami dari Kusanagi supaya bisa pulang bersamanya, jadi… dalam arti tertentu, ini juga benar.
"Su-sungguh? Aku jadi sedikit senang. Ehe~"
Aku kira dia akan melihatku dengan tatapan aneh, tapi ternyata Hinami malah tersenyum bahagia.
A-apa ini? Kenapa dia jadi terlihat sangat imut!?
Tidak, tidak! Kalau aku terus melihatnya, aku bisa kehilangan akal sehat!
Lebih baik aku melihat langit saja.
"Eh? Kenapa kamu melihat ke atas?"
Seakan curiga dengan sikapku yang tiba-tiba menghindari tatapannya, Hinami mendekat dan menatapku.
Jarak kami hanya sekitar dua puluh sentimeter.
Walaupun aku mencoba mengalihkan pandangan, aroma wangi dari Hinami tetap menggelitik hidungku!
Eh, aroma manis apa ini!?
Hari ini dia sudah banyak bergerak, pasti dia banyak berkeringat. Tapi kenapa dia tetap wangi seperti ini!?
"Ryo-kun, kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat."
"Eh, ah… Ti-tidak, aku baik-baik saja! Aku hanya melamun melihat langit. Su-sudahlah, ayo kita jalan saja!"
"Iya, kamu benar. Nafasku juga sudah lebih tenang. Ayo kita jalan!"
Nyaris saja. Kalau kita bicara sambil berjalan, mungkin pikiranku bisa lebih tenang.
Kami pun berjalan beriringan menuju stasiun.
Matahari sudah tenggelam di balik cakrawala, digantikan oleh malam yang datang.
Banyak kejadian terjadi sehari sebelum festival olahraga ini.
Awalnya Kusanagi mencoba pergi belanja berdua dengan Hinami, dan ketika aku berusaha menghentikannya, malah Yuri yang muncul. Semuanya berjalan di luar dugaan.
Besok, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang bisa kulakukan hanya berharap rencana Koi-san berjalan dengan baik.
"Rasanya sudah lama kita tidak berjalan berdua seperti ini ya, Ryo-kun."
"Iya, memang benar."
Seperti yang Hinami katakan, belakangan ini kami memang jarang punya waktu untuk berdua. Saat berangkat sekolah, selalu ada Yuri dan yang lainnya, dan selama persiapan festival olahraga, selalu ada Kusanagi.
Karena itu, rasanya jarak antara aku dan Hinami semakin jauh.
"Ryo-kun, kamu tidak suka dengan Kusanagi-san?"
"Hm? Kenapa kamu tanya begitu?"
"Soalnya, setiap kali dia ada di dekatmu, kamu terlihat tidak begitu senang. Selama persiapan festival olahraga, aku hampir tidak pernah melihat kalian berbicara. Dan tadi saat belanja, kamu juga kelihatan tidak nyaman."
"Ti-tidak, bukan seperti itu… Tapi, akhir-akhir ini kamu sering memperhatikan aku, ya?"
Begitu aku mengatakannya, Hinami tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan panik.
"Eh!? Ti-tidak, aku tidak melihatmu sesering itu!? Aku hanya sesekali ingin tahu kamu sedang apa, jadi aku melihatmu sebentar saja! Itu benar-benar kebetulan!"
"O-oh… Begitu ya."
Tapi itu bukan kebetulan, kan?
Tapi kalau aku menanyakan itu sekarang, Hinami pasti akan panik. Lebih baik aku simpan pertanyaanku dalam hati.
"Tadi aku memang kaget saat kamu tiba-tiba mengajakku berlari, tapi… terima kasih sudah menciptakan waktu untuk kita berdua, ya. Entah kenapa, kalau Ryo-kun ada di dekatku, aku merasa tenang."
Mendengar kata-kata Hinami yang tiba-tiba itu, aku merasa jantungku berdegup kencang.
Hinami memiliki kepribadian dan penampilan yang sempurna. Karena itu, mendengar kata-kata seperti ini darinya membuat hatiku bergetar.
Ahh, tidak, tidak! Aku tidak boleh berharap terlalu tinggi.
Hinami mungkin hanya mengatakannya sebagai seorang teman.
Aku tidak mau berharap terlalu banyak lalu kecewa.
"Aku senang mendengarnya. Ah, ngomong-ngomong, Hinami, aku mau tanya sesuatu. Boleh?"
Aku mengubah arah pembicaraan di sini.
Sekarang kami hanya berdua. Aku ingin memanfaatkan situasi ini untuk mendengar langsung dari mulut Hinami tentang perasaannya saat ini dan apa yang ia pikirkan tentang Kusanagi.
"Eh? Apa itu?"
"…Soal Kusanagi, apakah kau percaya dengan semua yang dia katakan?"
"Eh?"
Wajah Hinami sedikit meredup.
Dari sudut pandangnya, mungkin terdengar seolah-olah aku sedang meragukan Kusanagi, yang adalah penyelamat hidupnya.
Menanyakan ini saat kami akhirnya bisa berbicara berdua mungkin tidak sopan. Bisa jadi ini adalah kesalahan.
Tapi aku tetap ingin tahu perasaan Hinami yang sebenarnya.
Jika ternyata dia sudah menyukai Kusanagi, maka satu-satunya jalan bagiku mungkin hanya dengan mengungkapkan jati diriku.
Namun, jika dia belum menyukainya, masih ada kemungkinan. Aku ingin memastikan itu.
Setelah diam beberapa detik, Hinami mengangkat wajahnya perlahan dan menatap langit sebelum berbicara.
"…Sejujurnya, aku sendiri tidak begitu yakin…"
"Tidak yakin?"
"Iya. Kusanagi-san orang yang sangat baik. Dia lembut, pintar, dan juga atletis. Selain itu, dia menyelamatkanku dari penyerang misterius. Bagiku, dia adalah penyelamat hidupku. Aku ingin selalu dekat dengannya dan lebih banyak mengobrol dengannya. Tapi entah kenapa… hatiku merasa aneh."
"Aneh? Maksudmu?"
"Aku sulit menjelaskannya dengan kata-kata… Tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Aku seharusnya bahagia bisa bertemu kembali dengan penyelamat hidupku, tapi di dalam hatiku ada perasaan yang entah kenapa terasa negatif."
"Perasaan negatif, ya…"
"Entahlah… Aku merasa ada sesuatu yang janggal. Aku sama sekali tidak merasa familiar dengan punggungnya. Aku merasa belum pernah melihatnya sebelumnya. Padahal sudah cukup lama sejak kejadian itu, jadi mungkin aku hanya lupa."
"Begitu ya…"
Jika memikirkan sifat Hinami, dia bukan tipe orang yang mudah mencurigai orang lain. Dia lebih cenderung mempercayai apa yang dikatakan seseorang.
Karena itulah, dia tidak berpikir kalau Kusanagi berbohong.
Dia gadis yang ceria dan polos, itulah sebabnya dia kini terjebak dalam dilema ini.
Namun, aku sedikit merasa lega.
Kalau saja dia sudah benar-benar menyukai Kusanagi, maka aku tidak akan punya kesempatan lagi.
Tapi jika pikirannya masih belum mantap, aku masih bisa melakukan sesuatu. Mungkin Hinami sendiri akan sadar pada akhirnya.
Kalau itu terjadi, maka aku dan Koi-san akan menang. Permainan ini belum berakhir.
"Itulah kenapa… besok saat festival olahraga, aku akan menanyakan sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan padanya."
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Iya. Waktu aku tahu kalau dia adalah penyelamatku, aku terlalu senang sampai lupa menanyakannya. Jadi besok, saat festival olahraga, aku akan meminta waktu untuk bertanya padanya."
"Begitu ya. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Itu adalah…"
Tepat saat Hinami akan berbicara…
"Purupuuuuuu!!"
Tiba-tiba, suara klakson yang keras menggema dari belakang kami, membuat gendang telingaku bergetar hebat.
Eh? Apa-apaan ini?
Kami berjalan di trotoar, jadi tidak mungkin ada alasan bagi seseorang untuk membunyikan klakson ke arah kami, kan?
Dengan rasa heran, aku menoleh ke belakang dan melihat sebuah mobil putih serta seorang wanita muda yang duduk di kursi pengemudi.
Mobilnya adalah mobil biasa, tapi wanita yang mengemudikannya terlihat sangat familiar.
Dia mungkin berusia sekitar dua puluhan, dan dia sangat cantik.
Wajahnya kecil, dan kecantikannya bisa menyaingi aktris terkenal. Rambutnya panjang, memberinya aura seorang kakak perempuan yang anggun.
Tapi tetap saja, rasanya aku pernah melihat wajahnya di suatu tempat… Dia mirip dengan seseorang…
Saat aku menatap wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu, Hinami di sebelahku tiba-tiba berseru.
"Ah! Ibu! Kenapa Ibu ada di sini!?"
…Hah?
Tunggu sebentar. Apa yang baru saja dia katakan?
Aku barusan mendengar kata "Ibu", kan?
Tapi wanita yang sedang mengemudi ini jelas-jelas hanya terlihat seperti gadis berusia dua puluhan! Tidak mungkin dia adalah ibu Hinami!
Tapi kemudian, wanita yang dipanggil "Ibu" itu menurunkan kaca jendela di sisi penumpang dan berkata dengan ceria.
"Hinami, selamat datang! Ibu baru pulang kerja nih. Mau ikut naik mobil?"
"Iya! Terima kasih, Ibu!"
Ah, dia benar-benar memanggilnya "Ibu". Tidak salah lagi.
Eh? Jadi maksudnya wanita cantik dan muda ini adalah ibu Hinami!?
Seriusan!?
Bagaimana mungkin!?
Seorang wanita muda dan cantik seperti kakak perempuan ini adalah ibu Hinami!?
Gen keluarga Kujo ini benar-benar luar biasa! Dan kenapa ibunya Hinami tiba-tiba muncul di sini!?
Chapter 12 - Rumah Hinami
Siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira dia adalah kakak perempuan, kan?
Mungkin dia memakai riasan, tapi tetap saja, tidak mungkin dia seumuran dengan ibuku.
Aku memang merasa pernah melihatnya di suatu tempat, tapi tak kusangka dia adalah ibu Hinami.
Sekarang aku akhirnya mengerti kenapa Hinami bisa secantik itu.
Hinami mewarisi banyak sekali gen dari ibunya, makanya wajahnya begitu sempurna.
Ibunya luar biasa, sungguh.
"Bu, biasanya pulang lewat jalan ini?"
"Tidak juga. Tadi aku mampir ke supermarket yang lagi ada diskon khusus, lalu menjemput Mikan dari tempat penitipan anak. Jadi hari ini kebetulan lewat jalan ini. Kamu sendiri, kenapa masih di luar selarut ini?"
"Aku sibuk menyiapkan festival olahraga besok! Terus, kebetulan ditugaskan belanja, jadinya agak telat pulang."
"Hmm, begitu ya. Baiklah, tapi ngomong-ngomong..."
Ibu Hinami mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu tiba-tiba tersenyum licik saat tatapan kami bertemu.
Dia terlihat senang entah karena apa, lalu berkata,
"Anak yang di sebelahmu ini... pacarmu?"
"A-a-a-apa?! Bukan, Bu! Sama sekali bukan pacar!"
Oke, baru saja aku mendapat penolakan telak dari Hinami. Bahkan dia menolaknya dalam waktu kurang dari satu detik.
Ya, aku mengerti. Pasti dia langsung membantahnya seketika.
Bagaimanapun juga, saat SMP, aku sering ditakuti oleh anak perempuan hanya karena tatapan mataku yang dianggap menyeramkan.
Ada bahkan yang sampai kehilangan semangat hanya karena kebetulan duduk di sebelahku. Jika aku mengingat kembali masa SMP yang menyedihkan itu, rasanya hampir membuatku ingin menangis.
"T-t-t-tidak, Bu! Dia cuma teman sekelas, namanya Ryo! Hubungan kami biasa saja!"
Hinami berkata begitu dengan wajah merah padam.
Melihat reaksi putrinya, ibunya malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha! Apa itu, Hinami!? Kamu malu, ya!?"
"T-tentu saja tidak!"
"Hinami, kamu benar-benar mudah ditebak! Sebagai ibu, aku bangga memiliki putri yang begitu ekspresif dan menggemaskan!"
"Jangan menggodaku!"
Hinami menggembungkan pipinya dan menatap ibunya dengan kesal.
Orang lain yang melakukan hal serupa mungkin akan terlihat benar-benar marah.
Tapi Hinami adalah "gadis tercantik dalam seribu tahun." Bahkan ekspresi kesalnya tetap terlihat imut.
Kecantikannya bisa menyaingi para idola.
"Oh! Hinami, wajahmu terlihat bagus sekali sekarang! Oke, tetap diam sebentar. Aku mau ambil foto!"
"Kenapa harus difoto!?!? Dasar ibu bodoh!"
"Ah, jangan marah begitu~ Biarkan ibumu mengambil foto anaknya yang menggemaskan ini!"
"Kenapa harus sekarang!?"
"Iya, iya~"
Setelah puas menggodanya, ibu Hinami kembali menatapku.
"Jadi, namamu Ryo, ya? Mau ikut naik mobil?"
"…Eh? Aku juga?"
"Iya. Hmm, jangan-jangan kamu tipe yang mudah mabuk perjalanan?"
Ah, jadi aku tidak salah dengar.
Jadi, aku sekarang diundang untuk ikut berkendara? Bersama "gadis tercantik dalam seribu tahun" dan ibunya?
Kedengarannya menarik, tapi... tunggu, kok bisa tiba-tiba begini!?
"Kamu kenapa diam saja?"
Ibunya menatapku dengan ekspresi sedikit khawatir.
Tatapannya sangat mirip dengan milik Hinami, seolah bisa menarik siapa pun yang menatapnya.
Kalau seorang pria menatapnya selama sepuluh detik, bisa-bisa dia lupa kalau wanita ini adalah ibu seseorang dan malah jadi tertarik padanya.
"Ah, eh... Aku suka naik mobil, kok. Tapi... kenapa aku juga diajak?"
"Yah, rasanya kasihan kalau cuma Hinami yang pulang naik mobil, kan? Kamu juga naik saja, aku antar pulang."
"Tapi, rasanya aku merepotkan..."
"Sama sekali tidak~ Aku malah tertarik padamu. Aku ingin mengobrol lebih banyak denganmu. Ayo, naiklah."
"Eh, ah... b-baiklah."
Karena terus didesak, akhirnya aku tidak bisa menolak dan ikut naik mobil mereka.
Ya sudahlah, lebih baik menurut saja.
Tapi... tadi dia bilang apa?
Kenapa dia bilang...
──"Aku tertarik padamu."
Kenapa dia mengucapkan kata-kata itu?
Aku berpikir begitu sambil meletakkan tanganku di pegangan pintu belakang dan perlahan membukanya. Lalu, di dalamnya, ada seorang gadis kecil berusia sekitar empat tahun yang duduk dengan manis.
Wajahnya kecil, dengan rambut cokelat bergaya bob sedang. Matanya bulat seperti boneka, dan pipinya menggembung.
Apa-apaan, anak sekecil ini, tapi menggemaskan sekali?
Ah, ngomong-ngomong, tadi ada pembicaraan tentang menjemput dari taman kanak-kanak, kan?
Jadi, anak ini adalah adiknya Hinami.
Masih kecil, tapi ada sedikit kemiripan dengan Hinami. Mungkin kalau dia besar nanti, dia juga akan jadi gadis cantik.
Saat aku memikirkan hal itu, aku bertemu pandang dengan adik Hinami. Dia langsung memiringkan kepalanya dan berbicara kepada ibu Hinami yang duduk di kursi pengemudi.
"Mommy, ada orang aneh yang naik ke mobil~. Siapa ini~?"
Eh, aku dianggap sebagai orang mencurigakan.
Dibilang begitu oleh anak kecil yang polos rasanya cukup menusuk hati. Apa aku memang terlihat seperti orang mencurigakan?
"Heiii, Mikan, jangan bicara seperti itu. Dia teman Hinami."
"Hinami-nee punya teman?"
"Iya, teman kakakmu."
Adik Hinami—Mikan-chan—kembali menatapku. Dari matanya, aku merasa dia meminta perkenalan diri.
"Umm, aku Keido Ryo. Senang bertemu denganmu, Mikan-chan."
Aku tersenyum sebaik mungkin agar disukai anak kecil. Lalu, Mikan-chan juga tersenyum lebar dan menundukkan kepalanya.
"Aku Mikan! Senang bertemu denganmu! Calon suami Hinami-nee!"
"Iya, Mikan-chan, senang bertemu deng—EH!? Apa yang barusan kamu bilang!?"
Aku secara refleks bertanya balik. Di belakang, Hinami juga terkejut dan bertanya, "Mikan, barusan kamu bilang hal aneh, kan!?"
Menanggapi itu, Mikan-chan membuka mulutnya lebar-lebar dan mengucapkannya lagi dengan perlahan.
"Aku bilang, ca-lon su-a-mi Hinami-nee!"
"TIDAK, BUKAN!"
Aku dan Hinami menolaknya secara bersamaan.
Kenapa sih, orang-orang selalu menganggap kami pasangan atau tunangan?
Dan ini masih anak TK, kan, Mikan-chan? Dari mana dia belajar kata 'calon suami' itu?
Hinami terlihat kesal dengan ucapan Mikan, tapi aku tidak tega memarahinya, jadi aku langsung masuk ke kursi belakang. Hinami pun ikut masuk ke dalam mobil.
"Umm, terima kasih. Tolong turunkan aku di stasiun terdekat saja."
Aku memberi salam kepada ibu Hinami yang duduk di kursi pengemudi. Saat itu—
"Gruuuu~"
Perutku mengeluarkan suara yang sangat memalukan.
Di waktu seperti ini, kamu memilih untuk berbunyi, ya, perut!? Sungguh memalukan!
"Hahaha! Apa itu? Ryo-kun lapar, ya?"
"Uh, iya… Hari ini aku seharian bekerja di luar, jadi…"
"Oh, begitu~. Kalau begitu pasti capek dan lapar, ya. Ah, bagaimana kalau makan di rumah kami, Ryo-kun?"
"Tidak, tidak! Itu terlalu merepotkan! Kalian sebaiknya makan bersama keluarga saja!"
Aku menolak dengan sekuat tenaga, tapi ibu Hinami tidak menyerah. Justru, semangatnya malah bertambah.
"Ah, tenang saja! Sebenarnya, suami dan anak kedua tidak makan malam di rumah hari ini. Aku baru tahu setelah selesai belanja. Aku sudah keburu membeli banyak bahan makanan, jadi ayo makan bersama. Ya? Tolonglah!"
"Uhh… uhh…"
Aku hanya bisa terdiam. Lalu, ibu Hinami mengirim kode dengan matanya ke Hinami dan Mikan-chan, seakan memberi sinyal terakhir.
"Mikan, Hinami, kalian tidak keberatan, kan?"
"Aku tidak keberatan! Aku mau makan malam bareng calon suami Hinami-nee!"
"Aku juga tidak keberatan, tapi Mikan! Berhenti mengatakan hal itu! Aku dan dia belum seperti itu!"
Seperti yang bisa dilihat, Mikan-chan dan Hinami langsung setuju begitu saja.
Keluarga ini terlalu ramah!
Aku… tidak bisa kabur. Ini sudah game over. Sungguh tidak mungkin bagiku untuk menolak ini.
"Jadi, bagaimana? Semua yang ada di sini setuju, lho?"
"Aku… aku mengerti. Kalau begitu, aku akan menerima tawaran kalian dan ikut makan malam."
"Baik! Ayo, kita pulang!"
Dengan ekspresi percaya diri, ibu Hinami akhirnya berhasil membujukku.
Dan begitu aku berkata demikian, mobil perlahan bergerak dan mulai melaju.
Jadi, aku akan pergi ke rumah Hinami dan makan bersama semua orang di sini.
Sulit dipercaya.
Tapi kumohon, jangan sampai terjadi masalah aneh.
Aku memohon pada Tuhan dalam hati.
Chapter 13 – Janji
「Aku pulang~」
Ibunya Hinami—Yuki-san membuka pintu rumahnya dan langsung masuk ke dalam.
Baru saja kami tiba di rumah Hinami.
Rumah Hinami memiliki halaman yang luas, garasi yang cukup untuk dua mobil, dan luas tanah yang hampir dua kali lipat dari rumah pada umumnya.
Dari manapun aku melihatnya, rumah ini pasti mahal. Luas, besar, dan memiliki jendela yang juga besar.
Sungguh luar biasa... Aku juga ingin punya kemampuan finansial untuk tinggal di rumah semewah ini.
「Ayo masuk dan bersantai, Ryo-kun. Kamu tamu, kan?」
「Ah, iya」
Mengikuti kata-kata Yuki-san, aku melepas sepatuku di pintu masuk dan melangkah masuk ke rumah keluarga Kujo.
Saat berjalan melewati lorong, hal pertama yang langsung menarik perhatianku adalah ruang tamu yang sangat luas—aku bahkan tidak bisa menebak berapa tatami ukurannya—serta dapur yang terletak sedikit lebih dalam.
Ruang tamunya memiliki jendela besar yang menghadap ke seluruh taman. Selain itu, ada TV berukuran sekitar 100 inci dan sofa yang cukup besar untuk diduduki lima orang dengan nyaman.
Aku merasa seperti tinggal di dunia yang berbeda... Rumah ini benar-benar mewah.
Aku sampai kehilangan kata-kata karena kemewahan ini. Sebenarnya, pekerjaan apa yang dilakukan ayah Hinami?
「Hinami~ Tolong mandikan Mikan, ya. Sementara itu, ibu akan memasak makan malam」
「Baik, ibu! Ayo, Mikan, kita mandi!」
「Aichaa!」
Hinami dan Mikan langsung pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamar mandi. Sementara itu, Yuki-san pergi ke dapur dan mulai menyiapkan makan malam.
Yang tersisa di ruang tamu dan dapur yang luas ini hanya aku dan Yuki-san berdua.
Situasi ini terasa sedikit canggung. Berduaan dengan ibu teman yang baru pertama kali kutemui... Apa yang harus kubicarakan?
Duduk santai di rumah orang juga terasa aneh, tapi aku juga tidak bisa memikirkan cara lain untuk mengusir rasa bosan.
Akhirnya, aku memilih untuk diam dan duduk di sofa.
Lalu, dari dapur terdengar suara Yuki-san mulai memotong sayuran.
Dan sambil memasak, ia memulai percakapan denganku.
「Ryo-kun, kamu cukup akrab dengan Hinami?」
「Eh, hmm... Kurasa kami cukup dekat. Kami sudah berteman sejak awal masuk sekolah」
「Begitu, ya. Syukurlah. Sudah lama sekali sejak Hinami punya teman laki-laki, jadi ibu merasa agak lega」
「Lega? Maksudnya?」
「Ya. Ini rahasia, tapi Hinami sering bercerita tentangmu. Mulai dari dia bertemu teman baru di sekolah, bagaimana dia mendapat dukungan saat perkemahan sekolah, dan banyak hal lainnya」
「Hinami sering membicarakanku...」
「Iya. Dan dia selalu terlihat bahagia saat menceritakannya」
Setelah selesai memotong sayuran, Yuki-san mulai menumis daging di wajan.
Terdengar suara "juwaa~" saat daging mulai dimasak. Aroma yang menggugah selera pun menyebar, membuat rasa laparku semakin menjadi-jadi.
「Setiap kali ibu mendengar cerita Hinami, ibu jadi penasaran. Makanya, saat bertemu denganmu, ibu ingin mengobrol banyak」
「Jadi itu alasan ibu mengundangku makan malam?」
「Tepat sekali. Tapi selain itu, ibu juga hanya ingin memastikan kamu tidak kelaparan」
Setelah selesai menumis daging, Yuki-san menaruh wajan dan kemudian, entah kenapa, tersenyum dengan ekspresi penuh arti sambil menutupi mulutnya dengan tangan.
「Lalu? Jujur saja, bagaimana menurutmu tentang putri ibu yang cantik?」
「...Eh!?」
Ini pertanyaan yang kalau aku salah jawab, bakal menciptakan suasana yang sangat canggung setelahnya! Dan dia menanyakannya secara langsung!?
「Kenapa malu-malu? Jujur saja, kamu mulai jatuh cinta, kan?」
「Seberapa besar ibu ingin memamerkan Hinami, sih...?」
「Yah, kalau punya anak sebaik dia, ibu pasti ingin menyombongkannya. Jadi, bagaimana? Secara jujur, apakah Hinami termasuk dalam tipe gadis yang kamu sukai?」
「U-Umm...」
Aku mencoba menghindari tatapan Yuki-san dengan mengalihkan pandanganku. Tapi dia justru menatapku dengan penuh semangat, matanya berkilauan.
T-tidak bisa lari... Ini pasti jebakan!
「Ayo, ayo? Bagaimana menurutmu tentang Hinami? Jawablah~ Sebagai gantinya, ibu akan mentraktirmu makan malam」
Yah, memang benar aku makan di sini secara gratis, jadi aku harus berterima kasih...
Tapi bayarannya seperti ini!? Sial, tidak ada pilihan lain!
「E-Ehm... Aku rasa Hinami sangat imut. Dia baik dan mudah bergaul. Dia sempurna」
Begitu aku mengatakannya, tiba-tiba cahaya aneh yang penuh kebahagiaan terpancar dari belakang Yuki-san.
Uwah, silau! Cahaya apa ini!? Seberapa senang dia!?
Aku bahkan bisa membayangkan ada tulisan di sekelilingnya seperti "Senangnyaaa!" dan "Yaaay!"
「Senang sekali mendengarnya! Ryo-kun memang punya mata yang bagus! Hina-chan benar-benar anak yang bisa dibanggakan. Karena putri sulungku sebaik dan setelaten itu, adiknya Minami dan Mikan juga tumbuh menjadi anak-anak yang baik.”
“Oh begitu ya. Syukurlah kalau bisa membuat Anda senang…”
Setelah itu, aku dan Yuki-san mengobrol santai untuk menghabiskan waktu.
Kami berbincang tentang kehidupan sekolah belakangan ini, festival olahraga besok, dan juga tentang perkemahan sekolah.
Dan sekitar dua puluh menit setelah Hinami dan Mikan masuk ke kamar mandi—
Terjadilah sebuah insiden.
“Mami! Aku sudah selesai mandi!”
Terdengar suara ceria Mikan dari dalam rumah.
Sepertinya dia berlari di lorong? Suara hentakan kaki yang kuat terdengar semakin mendekat.
“Mami! Lihat ini!”
Mikan muncul di ruang tamu, tempat aku dan Yuki-san berada, dengan ekspresi bahagia.
Saat aku melihat Mikan yang baru selesai mandi, aku langsung kehilangan kata-kata.
Karena dia…
“Aku meniru Kamen Liver pakai celana dalam Hina-nee! Mirip, kan!?”
Dia mengenakan celana dalam putih di kepalanya, lalu berpose seperti pahlawan super di depan kami.
Jika yang dia katakan benar, berarti celana dalam yang dia pakai saat ini adalah milik Hinami…
Seorang anak perempuan polos berusia empat atau lima tahun sedang memakai celana dalam seorang gadis SMA di kepalanya.
A-a-aku harus bereaksi bagaimana terhadap ini!?
Aku merasa telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat!
Wajahku langsung memanas, dan aku buru-buru menutup mata dengan kedua tanganku agar tidak melihat lebih jauh.
Sebagai informasi, “Kamen Liver” yang disebutkan Mikan adalah drama yang sedang populer di kalangan remaja.
Ceritanya tentang seorang siswa SMA yang membutuhkan uang, jadi dia melakukan siaran langsung dengan mengenakan topeng agar identitasnya tidak ketahuan oleh sekolah.
Ratingnya cukup tinggi, dan banyak siswa yang membicarakannya akhir-akhir ini. Mungkin Mikan sempat melihatnya saat Hinami menonton di ruang tamu.
Karena masih kecil, dia jadi mudah meniru hal-hal yang dia suka. Tapi tetap saja, kenapa harus pakai celana dalam Hinami? Tolong, gunakan sesuatu yang lebih pantas…
Saat aku sedang berpikir seperti itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sangat cepat menghampiri kami.
Suara langkah yang berat, seolah-olah seseorang sedang berlari dengan panik.
Dan begitu tiba di ruang tamu—
“Aaaah! Hei! Apa yang kamu lakukan!?”
Setelah Kamen Liver, kini datang teriakan marah Hinami.
Meskipun aku masih menutup mata dengan kedua tangan, aku sedikit mengintip ke arah Mikan.
Dan di sana—
Ada seorang anak kecil dengan celana dalam di kepalanya, serta seorang "gadis cantik sekali dalam seribu tahun" yang hanya mengenakan handuk di tubuhnya.
Karena baru saja keluar dari kamar mandi, kulit Hinami terlihat sedikit kemerahan. Ujung rambutnya yang masih basah meneteskan air ke lantai.
Kulitnya yang sedikit merah, rambut basah yang menjuntai, dan aroma sabun mandi yang samar tercium.
Dan yang lebih buruk—gadis SMA yang baru selesai mandi hanya mengenakan sehelai handuk.
Ini buruk. Ini benar-benar buruk! Jika aku terus menatap, aku yakin kewarasanku akan runtuh!
Tidak bisa! Ini sudah melampaui batas!
Aku segera menutup celah di antara jariku dan menutup mata rapat-rapat.
“Kenapa kau ke sini hanya pakai handuk, Hinami!?”
“M-m-maaf, Ryo-kun! Soalnya Mikan tiba-tiba lari keluar, jadi aku panik dan langsung mengejarnya!”
“Pokoknya, cepat bawa Mikan kembali ke kamar! Situasi ini jelas-jelas tidak boleh terjadi!”
“A-aku tahu! Maaf banget! Mikan ini bener-bener…! Aku benar-benar minta maaf!”
Hinami tampak sangat gugup sampai kata-katanya terdengar berantakan.
“Ho-ho-ho-hoy, Mikan! Cepat kembali ke kamarku! Sudah cukup meniru Kamen Liver-nya!”
“Eeh? Tapi kan ini seru~”
“Sudah! Berhenti sekarang juga!”
“Tidaaak! Mami! Toloong!”
Dan dengan kata-kata itu, suara mereka menghilang dari ruang tamu. Aku bisa mendengar suara langkah kaki mereka menjauh ke dalam rumah.
Selesai… Sudah berakhir…
“Yuki-san. Anda yakin Mikan benar-benar anak yang baik!?”
“U-umm, yah… Mikan masih kecil, jadi wajar kalau dia kadang melakukan hal-hal tak terduga. Tapi dia sebenarnya anak yang baik, kok… Ahaha…”
Hmm… Sepertinya keluarga Hinami ini benar-benar penuh dengan kepribadian unik dalam berbagai cara.
***
"Ohh, teh ini enak banget! Aku baru pertama kali minum teh seenak ini!"
"Syukurlah! Teh ini favoritku. Enak, kan?"
Sambil menikmati aroma floral dari teh yang ada di tanganku, aku menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatannya mengalir ke dalam perut.
Setelah selesai makan malam yang dibuat oleh Yuki-san, aku kini sedang duduk bersantai di sofa bersama Hinami.
Tadi, Yuki-san memberiku teh mahal yang mungkin jarang bisa kuminum, sambil berkata, "Minumlah teh ini dan bersantailah sejenak."
Aroma bunga yang khas serta rasa manis yang lembut begitu memanjakan lidahku. Aku langsung menyukainya.
Sementara Yuki-san sedang mencuci piring, Mikan-chan—entah kenapa dalam keadaan sangat bersemangat—keluar dari ruang tamu. Aku tak tahu dia pergi ke mana.
Sebenarnya aku ingin membantu mencuci piring, tapi Yuki-san menolaknya dan malah menyuruhku untuk bersantai. "Tamu tak perlu melakukan hal seperti itu. Nikmatilah waktu luangmu," katanya.
Meskipun merasa sedikit tak enak hati, aku pun menerima kebaikannya dan membiarkan tubuhku bersandar lebih dalam ke sofa untuk mengistirahatkan diri setelah hari yang panjang.
Sofa ini benar-benar nyaman. Rasanya aku bisa langsung tertidur di sini.
Tiba-tiba, Hinami yang duduk di sampingku tampak gelisah. Dia terus menggerakkan tubuhnya sedikit-sedikit dan beberapa kali mencuri pandang ke arahku.
Ada apa? Dia terlihat agak malu.
"A-anu, Ryo... Ryō-kun... tentang kejadian tadi..."
"Kejadian tadi?"
"I-iya... tentang Mikan tadi..."
"Oh, yang itu. Jangan khawatir, aku tidak akan memberi tahu siapa pun, dan aku juga tidak terlalu memikirkannya."
"B-benarkah?"
"Iya. Aku cuma kaget karena kejadiannya mendadak. Aku tidak masalah sama sekali."
"S-syukurlah... Aku jadi lega."
Hinami tersenyum tipis, tampak sedikit lebih tenang.
Jujur, meski tadi aku cukup kerepotan gara-gara Mikan-chan, ada satu hal yang kini kusadari.
Keluarga Hinami ini benar-benar akrab dan penuh kehangatan.
Sama sekali tak ada hal yang membuatku merasa tidak nyaman. Malah, entah kenapa, aku cukup menikmati suasana ini.
"Keluargamu sepertinya menyenangkan, ya. Seperti selalu penuh keceriaan."
"Masa? Menurutku sih biasa saja."
"Aku suka suasana yang ramai seperti ini. Di rumahku, adikku malah selalu bersikap dingin padaku."
"Hah?! Serius?! Apa kalian bertengkar?"
"Etidak, sih. Tapi hubungan kakak-adik biasanya memang begitu, kan?"
"Ohh, begitu ya. Kirain kalian akur. Kalau aku jadi adik Ryō-kun, aku pasti bakal bergantung padamu terus."
"Eh? Masa?"
"Iya! Ryō-kun itu bisa diandalkan, lho. Aku selalu merasa tenang saat bersamamu."
Hinami berkata dengan penuh keyakinan sambil memainkan ujung rambutnya.
Ucapan itu cukup membuatku senang, hingga tanpa sadar aku mulai tersenyum sendiri.
Namun, momen itu tak bertahan lama.
"Baiklah, teman-teman! Di sini ada sepasang muda-mudi yang katanya sudah bertunangan! Kali ini kita akan melakukan wawancara eksklusif dengan pasangan masa depan ini!"
Tiba-tiba, di hadapan kami, berdiri Mikan-chan dengan sebuah mikrofon mainan di tangannya.
Apa-apaan ini? Sekarang dia meniru gaya seorang pewawancara?!
Jadi alasan dia tadi keluar ruangan adalah untuk mengambil mikrofon mainan ini, ya...
Dengan mata berbinar, Mikan-chan mengarahkan mikrofon mainannya kepadaku.
"Baiklah, pertama-tama, untuk calon pengantin pria! Pertanyaan pertama!"
...Bukan calon pengantin, oke?
"Bagian mana dari Hina-nee yang paling kamu sukai? Silakan berikan komentarmu!"
"MIKAN! Jangan libatkan Ryō-kun dalam permainan anehmu!"
Hinami buru-buru menegur Mikan-chan, tapi bocah kecil itu tetap melanjutkan aksinya.
"Ohh, begitu, begitu! Sepertinya pasangan ini sangat akrab, ya!"
Bagian mana dari percakapan tadi yang membuatnya berpikir begitu?! Aku bahkan belum menjawab!
Bagaimana cara kerja otak anak ini sebenarnya...?
"Baiklah, selanjutnya! Apakah kalian suka hijiki?"
"Kenapa tiba-tiba hijiki?!"
Aku dan Hinami berseru bersamaan.
Serius, aku benar-benar tak bisa memahami cara berpikir anak ini. Apa dia suka hijiki, ya...?
"Oh, sebagai tambahan, aku tidak suka hijiki!"
"Lalu kenapa kamu bertanya?!"
Aku dan Hinami kembali memberi tanggapan serempak.
Oke, sekarang aku yakin. Mikan-chan adalah tipe anak yang polos tapi penuh kejutan. Dia akan tumbuh menjadi salah satu orang yang tak bisa ditebak di kelasnya nanti.
"Kenapa kamu malah tanya hal aneh seperti itu, Mikan?"
Yuki-san yang baru saja selesai mencuci piring mendekati Mikan-chan, lalu dengan lembut mengetuk kepalanya sebagai teguran.
"Ah, Mami! Aku sedang mewawancarai pasangan masa depan!"
"Kalau begitu, kenapa pertanyaannya tidak masuk akal? Coba ajukan pertanyaan yang lebih normal."
"Eh—tapi kalau begitu jadinya membosankan~"
"Mikan, kamu benar-benar anak yang sulit dimengerti."
Setelah menghela napas panjang, Yuki-san mengalihkan pandangannya dari Mikan-chan ke arahku...
"Ryō-kun, sudah mulai larut. Bagaimana kalau aku mengantarmu ke stasiun terdekat dengan mobil? Kalau pulang terlalu malam, orang tuamu pasti khawatir."
Aku segera mengeluarkan ponsel dan mengecek waktu saat ini.
Ternyata, sudah lewat pukul 21.00.
Aku masih ingin bersantai di sini sedikit lebih lama, tapi kalau berlama-lama, Hinami dan keluarganya mungkin juga akan kesulitan untuk beristirahat.
"Benar juga. Aku akan pulang sekarang. Terima kasih banyak atas makan malamnya. Masakannya sangat lezat."
"Tentu. Kapan pun ingin berkunjung lagi, datang saja. Kami akan menyambutmu dengan senang hati. Nah, Mikan, saat seperti ini, apa yang harus dikatakan?"
Mendengar kata-kata Yuki-san, Mikan-chan langsung tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
"Bye-bye, Ryō-nii! Main lagi lain kali, ya!"
Anak kecil memang menggemaskan. Polos, penuh energi, dan senyum mereka benar-benar bisa membuat hati terasa hangat.
"Iya, sampai jumpa, Mikan-chan. Sampai bertemu lagi."
"Aii~cha!"
Aku kemudian beralih ke Hinami.
"Hinami, terima kasih untuk hari ini. Aku sangat senang."
"Aku juga! Rasanya sudah lama sekali sejak kita bisa mengobrol santai seperti ini. Besok di festival olahraga, ayo kita bersenang-senang! Kita buat banyak kenangan bersama!"
Dengan mata berbinar dan semangat tinggi, Hinami mengepalkan tangannya dalam pose penuh tekad.
Melihat senyumannya yang begitu cerah, aku bisa langsung tahu betapa dia sangat menantikan hari esok.
"Iya, ayo bersenang-senang bersama. Sampai jumpa besok."
"Iya! Sampai besok!"
Dengan kata-kata perpisahan dari Hinami, aku akhirnya melangkah keluar dari rumah keluarga Kujō dan naik ke dalam mobil.
***
Setelah berpisah dengan Hinami dan yang lainnya, aku duduk di dalam mobil yang dikendarai oleh Yuki-san. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu.
Aku duduk di kursi penumpang di sebelah Yuki-san, tetapi kami tidak banyak berbicara.
Sebelumnya, ekspresinya terlihat ceria, namun saat berkendara, wajahnya berubah menjadi serius dan fokus.
Di luar sudah gelap gulita. Jika tiba-tiba ada seseorang yang menyeberang, risiko kecelakaan akan tinggi. Mungkin karena itulah raut wajahnya berubah.
Aku memahami situasinya dan memilih untuk tetap diam.
Sebagai gantinya, radio yang menyala di dalam mobil menjadi suara yang mengisi keheningan di antara kami. Seorang selebritas yang tengah naik daun sedang membahas berbagai peristiwa terkini, berita, dan isu-isu populer.
"Baiklah, topik selanjutnya! Bocah misterius yang menjadi pahlawan setelah menggagalkan serangan di kereta bawah tanah akhirnya mengungkapkan identitasnya! Wah, akhirnya dia muncul juga ya! Selain itu, bocah ini dan gadis cantik yang ia selamatkan akan berpartisipasi dalam festival olahraga bersama! Takdir benar-benar mempertemukan mereka! Ahh... aku juga ingin mengalami kisah masa muda seperti itu!"
Pembicaraan pun beralih ke pahlawan yang sedang viral—Kusanagi.
Perhatian besar tertuju pada Kusanagi, dan secara alami, Hinami juga ikut menjadi sorotan.
Sungguh situasi yang menyebalkan. Ditambah lagi, Kusanagi hanyalah penipu. Dia sama sekali bukan pahlawan. Dia hanyalah seorang bajingan yang hanya melihat wanita dari segi fisik semata.
"Kusanagi, ya... memang mencurigakan sekali orang itu."
"Eh?"
Aku berpikir bahwa kata-kata itu secara tidak sadar keluar dari mulutku.
Namun, ternyata bukan aku yang mengatakannya. Itu adalah... Yuki-san.
Sebagai ibu Hinami, dia seharusnya menganggap Kusanagi sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan putrinya. Seharusnya dia menyukai Kusanagi. Itu hal yang wajar.
Tapi kenapa?
Kenapa dia justru menyebut Kusanagi mencurigakan?
Aku memutuskan untuk menanyakan hal itu padanya.
"Kenapa menurut Anda dia mencurigakan?"
"Alasannya, ya... Memang benar Kusanagi disebut sebagai pahlawan. Dia telah menyelamatkan putriku, jadi aku bersyukur padanya. Tapi entah kenapa, aku merasa ada yang tidak beres. Rasanya ada sesuatu yang janggal."
"Janggal bagaimana?"
"Aku memang sekarang hanya seorang ibu rumah tangga, tapi dulu aku bekerja di perusahaan besar. Aku sering berurusan dengan banyak orang dalam bisnis, dan aku juga pernah bekerja di bidang sumber daya manusia. Karena itu, instingku memberitahuku... bahwa dia itu palsu."
Yuki-san terus berbicara dengan ekspresi serius, matanya tetap fokus ke jalan.
"Coba pikirkan. Kenapa dia tidak segera mengungkapkan identitasnya setelah menyelamatkan Hinami dari penyerangan? Kalau menurutku, mungkin saja anak laki-laki yang benar-benar menyelamatkan Hinami itu memiliki prioritas lain. Dia tidak ingin terkenal secara nasional. Dan perasaan itu mungkin tidak akan berubah. Coba bayangkan, berita ini sudah tersebar luas di televisi, dan dia juga menyelamatkan putriku yang sangat cantik. Kalau dia benar-benar ingin diakui, seharusnya dia sudah muncul sejak lama."
Kejeniusannya dalam menganalisis sesuatu luar biasa… Tidak kalah dengan Koi-san.
Mungkin saja dia memang orang yang sangat berbakat saat masih bekerja di perusahaan dulu.
Alasan aku tidak pernah mengungkapkan identitasku ada dua.
Yang pertama, aku hanya ingin menjalani kehidupan sekolah yang damai.
Yang kedua, karena aku masih dihantui oleh rasa bersalah atas kegagalanku menyelamatkan sahabatku di masa lalu.
Aku tidak pantas disebut sebagai pahlawan.
"Mungkin aku terlalu skeptis atau berpikiran negatif. Tapi sebagai ibu Hinami, ada sesuatu yang terasa janggal bagiku. Karena itu, aku merasa Kusanagi hanyalah seorang penipu."
Setelah mengungkapkan semua isi hatinya, Yuki-san lalu tersenyum padaku, seolah ingin mencairkan suasana.
"Maaf ya, aku sampai membicarakan hal seperti ini. Tapi aku benar-benar ingin memberitahumu."
"Eh? Kepadaku?"
"Ya. Dibandingkan Kusanagi, aku jauh lebih bisa mempercayaimu. Hinami sering sekali bercerita tentangmu. Aku sudah lama tidak melihatnya begitu bersemangat membicarakan seorang laki-laki. Dari situ aku bisa tahu betapa besar kepercayaannya padamu. Dan setelah berbicara denganmu hari ini, aku juga mengerti... Aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, tapi aku merasa bisa mempercayaimu."
Tepat setelah Yuki-san mengatakannya, lampu lalu lintas berubah menjadi merah, dan mobil pun berhenti.
Pada saat yang sama, ekspresi Yuki-san berubah menjadi sedikit cemas.
Setelah menghela napas dalam-dalam, dia menatap langit malam yang penuh bintang melalui kaca depan.
"Tapi akhir-akhir ini, Hinami tampak ragu."
"Ragu?"
"Ya. Dulu, ada seseorang yang dia sukai. Tapi baru-baru ini, dia mengetahui bahwa orang itu ternyata memiliki pertemuan kembali yang tak terduga dengan teman masa kecilnya. Dia mulai berpikir, apakah dia boleh ikut campur? Apakah dia pantas mengganggu hubungan mereka? Saat dia sedang bingung, tiba-tiba Kusanagi muncul."
"Jadi, keraguan Hinami itu..."
"Ya, seperti yang kau pikirkan. Dia bimbang antara Kusanagi atau orang yang awalnya dia sukai. Hinami sering berbicara padaku tentang perasaannya, jadi aku tahu betul. Aku sedikit khawatir dengan perasaan anakku. Perasaannya mulai berubah, dan itu membuatku cemas."
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku sama sekali tidak menyadari bahwa Hinami sedang bingung tentang perasaannya sendiri.
Dia tidak ingin mengganggu hubungan dua orang yang dipertemukan kembali oleh takdir. Tapi di sisi lain, dia juga tidak ingin mengabaikan perasaannya sendiri.
Saat dia sedang dalam kebimbangan itu, Kusanagi muncul.
Karena kemunculan Kusanagi di momen ini, dia tampak seperti seseorang yang juga ditakdirkan untuk Hinami.
Apa ini? Kenapa situasinya jadi seperti ini?
Bagiku, ini benar-benar skenario terburuk. Dia tiba-tiba mengklaim sesuatu yang bukan miliknya, dan sekarang temanku hampir saja tertipu.
"Karena itu, ada sesuatu yang ingin aku minta darimu. Mau mendengarkan?"
"Permintaan?"
Saat aku bertanya kembali, Yuki-san terdiam, masih menatap langit berbintang.
Dalam keheningan, hanya suara radio yang terdengar. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara.
"Maukah kau terus mendukung Hinami?"
"Eh? Aku?"
"Ya. Hinami itu anak yang serius, polos, peduli pada orang lain, dan sangat baik hati. Sebagai seorang ibu, aku benar-benar bangga padanya. Karena itu, aku tidak ingin melihatnya terluka. Jika hal itu terjadi, aku ingin kau tetap berada di sisinya, meskipun hanya sedikit."
"Bukan Kusanagi, tapi aku...?"
"Hinami jarang mempercayai laki-laki sampai sejauh ini. Itu sebabnya aku ingin memintamu. Setelah berbicara denganmu hari ini, aku yakin bahwa kau adalah seseorang yang bisa dipercaya. Setidaknya, selama masa SMA, aku ingin kau menjaga Hinami."
Wajah Yuki-san... benar-benar serius.
Aku bisa melihat dari matanya bahwa dia tidak sedang bercanda. Kata-katanya benar-benar terasa sampai ke hatiku.
Dia mungkin tidak menyadari siapa diriku sebenarnya. Tapi meskipun begitu, dia tetap mempercayaiku.
Hinami, dalam arti baik maupun buruk, kini sudah menjadi sosok yang terkenal.
Di era informasi ini, tidak ada yang tahu kapan seseorang akan menjadi target orang-orang jahat.
Mungkin, bahkan saat ini, ada orang yang sedang mengincarnya.
Menjadi terkenal di seluruh negeri memiliki konsekuensi yang besar.
Itulah mengapa Yuki-san begitu mengkhawatirkan Hinami. Dia peduli pada anak-anaknya, tapi sebagai seorang gadis SMA, Hinami adalah yang paling rentan.
Di masa depan, pasti akan ada lebih banyak orang seperti Kusanagi—laki-laki yang mendekatinya dengan niat yang tidak baik.
Karena itu...
Dia ingin seseorang yang bisa dipercaya berada di dekat Hinami.
Aku yakin itulah yang dipikirkan Yuki-san.
Tepat setelah dia selesai berbicara, lampu merah berubah menjadi hijau.
Mobil-mobil lain mulai bergerak, dan Yuki-san pun menginjak pedal gas.
Dulu, saat masih SMP, aku gagal melindungi seseorang yang sangat berharga bagiku dari perundungan. Aku tidak pantas disebut sebagai pahlawan.
Namun, jika ada masa depan yang bisa kuselamatkan dengan perjuanganku...
Jika ada seseorang yang bisa kulindungi...
Maka aku tidak akan ragu untuk memilih jalan itu.
"Jangan khawatir. Sejak awal, aku memang berniat untuk melakukannya."
Mendengar jawabanku, Yuki-san sedikit tersenyum. Seolah merasa lega dan bahagia.
Sambil menyetir, dia berkata dengan suara pelan,
"Begitu ya... Terima kasih, Ryo-kun."
***
Setelah itu, aku diantar sampai stasiun terdekat dan pulang ke rumah.
Sebelum mandi, aku teringat dengan janjiku pada Koi-san, jadi aku segera meneleponnya.
Tak sampai tiga kali nada sambung, Koi-san langsung mengangkat teleponnya.
"Halo, ini Koi."
"Ah, Koi-san, ini aku, Keido."
"Lama sekali kau menelepon. Apa yang kau lakukan sampai larut malam begini?"
Tentu saja dia penasaran... Aku memang pulang jauh lebih lambat dari yang dia perkirakan.
Aku sama sekali tidak bisa mengatakan, "Aku makan malam di rumah Hinami dan bersantai di sana."
Kalau aku mengatakan itu, dia pasti akan mengomel, "Berani-beraninya kau membiarkan aku menunggu." atau "Jadi maksudmu, kau mengabaikan janjimu denganku demi bersantai di rumah Hinami?" lalu terus mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan tajam.
"Yah... Aku hanya menyelesaikan beberapa urusan di rumah."
"Hmmm... Mencurigakan, tapi baiklah, aku tidak akan mempermasalahkannya. Bagaimana dengan belanja tadi?"
"Aku berhasil mencegah Kusanagi dan Hinami berduaan."
"Begitu. Kalau begitu, syukurlah. Maaf ya, aku tidak bisa membantu karena ada urusan lain."
"Akan lebih mudah kalau kau ada, tapi semuanya berjalan lancar, jadi tak perlu khawatir."
"Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, ya."
"Tidak masalah. Oh iya, Koi-san, bagaimana dengan rencana kita?"
"Semuanya sudah siap. Dengarkan baik-baik, aku akan menjelaskannya sekarang. Pertama, soal strategi untuk lomba ‘Borrowed Item Race’..."
Setelah itu, aku mendengarkan seluruh rencana dari Koi-san.
Dia sudah memprediksi bagaimana Kusanagi akan bergerak, serta cara untuk menggagalkan rencananya.
Hasil dari festival olahraga besok akan menentukan segalanya.
Chapter 14 - Festival Olahraga
Pagi pun tiba, dan akhirnya hari pelaksanaan festival olahraga pun datang.
Cuaca hari ini benar-benar cerah, langit biru terbentang luas tanpa satu pun awan yang terlihat.
Sinar matahari yang terik terasa membakar kulit, ditambah dengan hawa panas yang naik dari permukaan tanah.
Saat ini, upacara pembukaan festival olahraga sedang berlangsung, dan seluruh siswa dari kedua sekolah berbaris rapih di lapangan SMA Seirin.
Tahun ini, festival olahraga diadakan secara gabungan dengan sekolah saudara, sebuah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Festival olahraga dibagi menjadi dua tim, yaitu Tim Putih dan Tim Merah. Aku dan Hinami ada di Tim Putih, sedangkan Kusanagi ada di Tim Merah.
Pemenang akan ditentukan berdasarkan jumlah poin yang dikumpulkan oleh masing-masing tim. Selain itu, satu orang dari tim pemenang akan dipilih sebagai MVP, dan orang tersebut berhak memilih pasangan dansanya di acara malam penutupan.
Demi mencegah Kusanagi dan Hinami menjadi pasangan, aku tidak boleh kalah darinya, apa pun yang terjadi.
— "Selanjutnya, perwakilan dari Tim Putih dan Tim Merah, silakan maju ke depan."
Mendengar suara siswi pembawa acara dari panitia festival olahraga, Hinami dan Kusanagi perlahan melangkah ke depan, berdiri di hadapan seluruh siswa.
Mereka berdiri sejajar di depan mikrofon yang telah disiapkan, lalu mengucapkan janji dengan serempak.
"Kami Bersumpah!"
"Akan menjunjung tinggi sportivitas!"
"Bertanding dengan jujur dan tidak menyerah sampai akhir!"
"Dengan ini, kami bersumpah!"
Begitu mereka selesai berbicara, tepuk tangan meriah menggema di seluruh lapangan.
Dikelilingi oleh tatapan banyak orang, keduanya perlahan kembali ke tempat masing-masing.
Pembawa acara yang berada di tenda panitia memastikan mereka telah kembali sebelum melanjutkan penjelasan mengenai MVP dan acara malam penutupan.
— "Terima kasih kepada kedua perwakilan! Selanjutnya, izinkan saya menjelaskan tentang MVP dan acara malam penutupan. MVP akan dipilih berdasarkan suara dari sepuluh guru yang menjadi juri. Dari tim pemenang, satu siswa yang dianggap paling berkontribusi akan dipilih sebagai MVP! Dan yang lebih menarik, MVP akan mendapatkan hak istimewa untuk memilih pasangan dansanya di acara malam penutupan! Siapa yang akan terpilih? Kita tunggu saja!"
Begitu penjelasan mengenai MVP selesai, lapangan segera dipenuhi suara bisikan para siswa yang mulai membahasnya.
Jika mendengarkan dengan saksama, aku bisa menangkap beberapa percakapan mereka.
"MVP, ya… Kayaknya Kusanagi dari kelas satu punya peluang besar. Dia keren dan jago olahraga juga."
"Kalau aku yang jadi MVP, aku pasti bakal pilih Kusanagi-san sebagai pasangan dansaku!"
"Kusanagi itu populer dan seperti pahlawan. Dia pasti terpilih sebagai MVP."
Seperti biasa, popularitas Kusanagi memang luar biasa.
Mendengar semua pujian itu, pasti dia sedang memasang ekspresi penuh kemenangan sekarang.
Karena dia mendapat banyak perhatian, jika dia berhasil tampil gemilang, dia akan langsung menarik perhatian para juri.
Jika aku dan Koi-san tidak melakukan sesuatu untuk menghentikan Kusanagi, situasi bisa berakhir buruk.
Aku hanya bisa berharap semua berjalan sesuai rencana.
"Hei, Ryo. Menurutmu siapa yang bakal jadi MVP?"
Saat aku masih memikirkan cara untuk menghadapi Kusanagi, Yūri, yang berdiri di sebelahku, tiba-tiba berbisik kepadaku.
"MVP, ya…."
Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya. Selama ini, aku hanya fokus mencari cara untuk menjegal Kusanagi.
Kalau dia tidak terpilih, lalu siapa yang akan jadi MVP…?
Aku mencoba memikirkan kemungkinan lain, tapi tetap saja tidak menemukan jawabannya.
"Yah, siapa pun yang terpilih, aku sih tidak terlalu peduli."
Aku menjawab seadanya agar Yūri tidak curiga.
Yang penting bukan Kusanagi. Kalau aku mengatakannya secara terang-terangan, pasti Yūri bakal curiga.
Lebih baik bersikap netral supaya tidak menimbulkan masalah.
"Hmm, begitu ya. Memang sih, kamu bukan tipe yang peduli hal-hal seperti ini."
"Ya, lagipula aku juga tidak mungkin terpilih."
"T-tapi… bagaimana dengan acara malam penutupan?"
"Eh? Malam penutupan?"
Sial. Aku benar-benar lupa soal itu.
Sekarang setelah dipikir-pikir, semakin dekat festival olahraga, semakin banyak orang yang mulai mencari pasangan dansa mereka.
Bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting itu…?
Tapi, ya… Apa ada seseorang yang mau berdansa denganku?
Sepertinya aku hanya akan menghabiskan malam dengan melihat para siswa populer menari, sementara aku sendiri duduk sendirian menatap matahari terbenam dengan perasaan hampa….
Lagipula, acara malam penutupan tidak wajib diikuti.
Kalau tidak ada yang menarik, aku bisa pulang lebih awal.
"Ryo, kamu sudah punya pasangan?"
"T-tidak… Aku benar-benar lupa soal itu."
"O-oh, begitu ya. Kalau begitu, Ryo... kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau aku—"
Tepat saat Yūri hendak mengatakan sesuatu—
— "Baiklah! Dengan ini, kami nyatakan Festival Olahraga gabungan antara SMA Seirin dan SMA Tokinozawa resmi dimulai! Semuanya, lakukan yang terbaik!"
Sebuah suara lantang menggema di seluruh lapangan, begitu keras hingga suaranya terasa menusuk gendang telinga.
Sepertinya mereka sengaja menaikkan volume mikrofon karena suasana mulai ramai. Tapi tetap saja, itu terlalu keras…
"Suara tadi luar biasa keras, ya. Ngomong-ngomong, tadi kamu mau bilang apa?"
"Ah, t-tidak… Tidak perlu dipikirkan! Aku akan mengatakannya nanti saja!"
Meski aku mencoba menanyakannya, Yūri justru membuang muka dengan pipi yang sedikit memerah.
Hah? Apa yang barusan dia ingin katakan?
Jangan-jangan… dia mau mengajakku berdansa?
Tidak, tidak mungkin. Ini Yūri yang kita bicarakan. Dia pasti sudah memiliki pasangan sendiri.
Kemungkinan besar dia hanya ingin menawarkan bantuan, seperti "Mau aku bantu carikan pasangan?" atau semacamnya.
"O-oh, begitu ya. Baiklah, kalau begitu nanti saja. Aku harus bersiap untuk pertandingan pertama."
"Iya! Semangat ya!"
Setelah itu, kami berpisah dan menuju posisi masing-masing.
Aku langsung menuju area persiapan untuk pertandingan pertama tanpa kembali ke bangku penonton.
Namun, di tengah perjalanan, ponsel di sakuku bergetar.
Sebuah pesan masuk:
"Persiapan selesai. Jalankan rencanamu dengan penuh keyakinan."
Tidak perlu ditebak siapa pengirimnya.
Sepertinya Koi-san sudah melakukan persiapan sesuai rencana.
Jika semuanya berjalan lancar, aku bisa menjegal Kusanagi.
***
"Baiklah, semuanya! Terima kasih sudah menunggu! Akhirnya, lomba ‘Mencari Pasangan’ akan segera dimulai! Ini adalah program pembuka Festival Olahraga gabungan SMA Tokinozawa dan SMA Seirin! Bagaimana hasilnya nanti?! Para peserta laki-laki tahun pertama, silakan masuk ke lapangan!"
Suara komentator menggema di seluruh lapangan, diiringi oleh musik energik yang mulai diputar. Sesuai irama, para peserta berjalan dengan langkah yang seragam dan rapi.
"Semangat, siswa tahun pertama! Jangan kalah dari tim merah!"
"Ayo, tim putih! Kami mendukung kalian! Semangat!"
"Buktikan kemampuan kalian, siswa tahun pertama!"
Sorakan terdengar dari berbagai arah, terutama dari para anggota tim pendukung yang menari dengan penuh semangat sambil meneriakkan dukungan mereka.
Lomba Mencari Pasangan ini adalah pertandingan di mana setiap peserta harus mengambil selembar kertas dari sebuah kotak, lalu mencari seseorang yang sesuai dengan deskripsi yang tertulis di dalamnya. Setelah menemukan orang tersebut, mereka harus mencapai garis finis dengan cara yang sudah ditentukan dalam peraturan.
Yang perlu diperhatikan adalah metode penyelesaian yang sudah ditetapkan.
Peserta tidak hanya harus menemukan orang yang sesuai, tetapi juga memastikan mereka bisa menyelesaikan perlombaan dengan cara yang benar.
Karena metode penyelesaiannya tidak bisa ditebak, lomba ini bisa menjadi sangat merepotkan.
Selain itu, seseorang yang sudah "dipinjam" oleh peserta lain tidak bisa ikut serta lagi di dalam perlombaan berikutnya.
Dalam lomba ini, jika peserta memilih pasangan dari tim yang sama, mereka akan mendapatkan tambahan sepuluh poin.
Namun, jika mereka memilih pasangan dari tim lawan, poin tambahan yang diberikan hanya lima.
Jadi, memilih pasangan dari tim sendiri lebih menguntungkan. Namun, aturan tidak melarang memilih dari tim lawan.
Di kategori peserta laki-laki tahun pertama, aku dan Kusanagi ikut serta dalam lomba ini.
"Kyaaa! Kusanagi-senpai! Semangat ya!"
"Ayo, pahlawan kami! Kami menaruh harapan padamu!"
"Kusanagi-senpai! Kamu keren banget!"
Sorakan untuk Kusanagi benar-benar luar biasa. Dari berbagai arah, suara-suara dukungan terus bermunculan, terutama dari para siswi.
Kusanagi, meskipun palsu, adalah sosok tampan, tinggi, dan atletis yang sering muncul di TV. Tidak heran jika dia memiliki banyak penggemar.
Sambil melambaikan tangan ke arah para pendukungnya, Kusanagi berjalan di sebelahku.
Kami benar-benar seperti cahaya dan bayangan. Kusanagi adalah cahaya, sedangkan aku hanyalah bayangannya.
"Wah, ini gawat. Kalau mendapat perhatian sebanyak ini, aku jadi sedikit gugup," katanya dengan nada santai.
"Bukankah itu bagus? Itu berarti mereka menaruh harapan padamu," jawabku tanpa berpikir panjang.
"Tapi karena banyak yang memperhatikan, tekanannya jadi lebih besar. Tapi tidak masalah. Dalam lomba Mencari Pasangan ini, bagaimanapun caranya, aku akan menang. Aku tidak akan kalah darimu, Keido-kun," ucapnya sambil menatapku dengan tajam.
"Heh, aku juga tidak akan kalah."
"Aku suka semangatmu, Keido-kun," katanya sambil menyeringai, lalu berjalan menuju lintasannya dengan tangan tetap di saku. Aku pun mengikuti dari belakang.
Secara kebetulan, lintasan kami berada tepat di sebelah satu sama lain. Lagi-lagi aku harus terus berhadapan dengannya.
"Baiklah! Lomba Mencari Pasangan akan segera dimulai! Karena ini adalah pertandingan pembuka, perhatian semua orang tertuju ke sini! Sebelum kita mulai, mari kita bahas sedikit aturan perlombaan!"
Komentator mulai menjelaskan aturan.
"Dalam lomba ini, peserta akan berlari sekitar 20 meter hingga mencapai sebuah kotak di lintasan masing-masing. Di dalam kotak tersebut, terdapat kertas yang berisi tantangan yang harus mereka cari! Mereka harus menemukan seseorang dari tribun yang sesuai dengan deskripsi dalam kertas tersebut! Setelah menemukan pasangan, mereka harus kembali ke tempat di mana mereka mengambil kertas dan menuju garis finis! Namun, ada satu hal penting yang perlu diingat! Mereka harus mencapai garis finis dengan cara yang sudah ditentukan dalam tantangan mereka!"
Sambil mendengarkan penjelasan aturan, aku melirik ke arah Kusanagi yang berdiri di sebelahku.
Dia dikelilingi oleh sorakan dan pujian, benar-benar seorang "pahlawan" di mata banyak orang.
Namun, wajahnya jelas menunjukkan satu hal—dia sangat yakin akan menang.
Selain itu, tatapannya yang penuh arti mengarah ke tribun, tempat di mana Hinami duduk bersama Yūri dan Koi-san.
Tapi… tidak.
Pertandingan ini akan menjadi milikku.
Aku akan memenangkan pertandingan ini.
Aku akan menjadi MVP Festival Olahraga ini.
Begitu terlihat seolah-olah dia mengatakannya.
Karena aku tahu sifat aslinya, aku bisa sedikit memahami apa yang sedang dipikirkan oleh Kusanagi sekarang.
『Persiapan sudah selesai! Akhirnya, lomba "Peminjaman Orang" akan dimulai! Bersiaplah. Siap—』
Mendengar kata-kata komentator, detak jantungku langsung bertambah cepat.
Ini akan segera dimulai. Sial, aku jadi gugup. Aku tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku harus mengerahkan segalanya.
Aku menurunkan posisi tubuhku, mengepalkan kedua tanganku dengan erat, dan bersiap. Di sebelahku, Kusanagi tetap mempertahankan ekspresi datarnya, bersiap dalam posisi yang sama denganku.
Beberapa detik keheningan berlalu.
『Dor!』
Dengan suara pistol start, lomba "Peminjaman Orang" pun dimulai.
Karena gugup, aku sedikit tertinggal di awal, tapi aku tetap berlari lurus menuju kotak berisi tantangan yang telah disiapkan.
Aku mengayunkan tangan sekuat tenaga saat berlari, tapi Kusanagi sudah satu langkah lebih cepat dariku.
Melihat Kusanagi yang berlari dengan kecepatan penuh, para penonton pun terpaku.
「Kusanagi-saaaan! Semangat!」
「Wah! Pendatang baru yang penuh harapan, Kusanagi, unggul satu langkah di depan!」
「Kyaa! Kusanagi-san keren banget!」
Sorak-sorai dari tribun penonton berfokus sepenuhnya pada Kusanagi, terdengar dari segala penjuru.
Dia benar-benar sudah menjadi idola sekolah. Sial, ini bikin kesal...
Aku tidak tahu di mana peserta lainnya berada, tapi yang terlihat dalam pandanganku hanya punggung Kusanagi.
Di awal lomba, Kusanagi memang unggul satu langkah. Tapi aku tidak boleh panik. Pertandingan ini masih panjang!
Aku terus berlari dengan sekuat tenaga untuk mengejarnya. Namun, bagaimanapun juga, aku tidak bisa menyusulnya, dan Kusanagi akhirnya sampai lebih dulu di kotak tantangan.
『Yang pertama mencapai kotak adalah Kusanagi Hideooo! Tantangan seperti apa yang akan dia dapatkan?! Oh! Sedikit terlambat, Keido juga telah tibaaa! Cepat sekali! Kedua peserta ini memiliki kecepatan yang luar biasa! Siapakah yang akan menang?!』
Kusanagi berdiri di depan kotak tantangan, lalu menoleh ke arahku yang baru saja tiba.
「Keido-kun, ternyata kau cukup cepat juga. Aku agak terkejut karena jaraknya tidak terlalu jauh.」
Kusanagi tampaknya terkejut dengan kecepatanku. Dia selalu menganggapku sebagai orang yang tidak menarik, jadi mungkin dia benar-benar tidak menyangka aku bisa berlari sekencang ini.
Hei, aku bukan orang yang benar-benar buruk dalam olahraga, tahu?
「Tapi, pertandingan ini tetap akan kumenangkan. Aku tidak akan kalah darimu.」
Kusanagi berkata demikian sambil mengepalkan tangannya erat-erat dan menyodorkannya ke dalam kotak tantangan.
Namun, pada saat itu—
Ekspresi percaya diri Kusanagi yang sebelumnya yakin akan kemenangannya...
Langsung hancur dalam sekejap.
Dia terlihat sangat kebingungan, tidak bisa memahami apa yang baru saja terjadi, tubuhnya bahkan tampak membeku di tempat.
「Ti-tidak mungkin... Kenapa... Kenapa warna kertas di dalam kotak berbeda?!」
Seperti yang kuduga.
Aku melirik Kusanagi yang kini menunjukkan wajah panik dan semakin yakin bahwa prediksi Koi-san memang benar.
________________________________________
Kemarin malam, dalam panggilan telepon, Koi-san menjelaskan rencananya terkait lomba "Peminjaman Orang".
「Dengar baik-baik. Kusanagi pasti akan mencoba berbagai cara untuk memastikan bahwa Hinami adalah tantangan yang harus dia ambil. Dia pasti akan melakukan kecurangan.」
「Kemungkinannya memang tinggi, tapi bagaimana dia akan melakukannya?」
「Kemungkinan besar, dia sudah menyiapkan kertas yang sama dengan yang ada di dalam kotak, lalu menggenggamnya sepanjang berlari. Dia akan menuliskan tantangan yang langsung berkaitan dengan Hinami di kertas itu.」
「Begitu ya... Memang, kalau dia sudah menyiapkan tantangan sebelumnya, dia bisa memastikan bahwa Hinami akan ikut dengannya dalam perlombaan ini.」
Dalam lomba "Peminjaman Orang", para peserta harus mengambil kertas secara acak dari dalam kotak yang berisi tantangan.
Tidak ada yang tahu tantangan apa yang akan mereka dapatkan sampai mereka mengambilnya.
Tapi kalau Kusanagi sudah menyiapkan kertas tantangannya sendiri, dia bisa berpura-pura mengambilnya dari dalam kotak.
Dengan cara ini, dia bisa memastikan Hinami menjadi pasangannya dalam lomba ini, dan kecurangannya pun tidak akan mudah terungkap.
「Ya, kemungkinan besar itulah rencananya. Dia akan menggunakan kesempatan ini untuk mendekatkan diri dengan Hinami, meskipun mereka berada di tim lawan.」
「Kalau begitu, bagaimana cara mencegahnya? Apakah aku harus lebih cepat darinya dan membawa Hinami lebih dulu?」
「Kalau begitu, bagaimana kalau dia memang jauh lebih cepat darimu? Kalau kau lebih lambat dari dia, maka tidak ada cara untuk menghalanginya. Kita butuh strategi yang tetap bisa berhasil meskipun kau kalah cepat.」
「Hmm... Ada cara lain?」
Saat aku masih berpikir keras, Koi-san tersenyum kecil seperti anak nakal yang sedang merencanakan kejahilan.
「Fufu, ini sebenarnya cukup sederhana. Kita hanya perlu membuat kertas yang dia siapkan tidak bisa digunakan. Kertas dalam kotak seharusnya berwarna putih biasa. Sebagai anggota panitia olahraga, Kusanagi pasti tahu hal itu. Jadi, kita tinggal mengubah warna kertas dalam kotak di menit-menit terakhir.」
Ini adalah isi strategi lomba lari mencari barang yang diceritakan oleh Koi-san.
Di tengah setiap jalur, ada kotak berisi kertas dengan tema tertulis di dalamnya. Biasanya, kertas dalam kotak itu berwarna putih. Seharusnya Kusanagi juga sudah menyesuaikan diri dengan itu.
Namun, tepat sebelum perlombaan dimulai, Koi-san diam-diam mengganti semua kertas dalam kotak tersebut.
Dia menulis tema pada kertas berwarna lain dan menukarnya dengan yang ada di dalam kotak.
Jika ada seseorang yang mengambil kertas dengan warna berbeda dari yang ada dalam kotak, maka kecurangannya akan langsung terbongkar. Itu berarti Kusanagi tidak bisa menggunakan kertas yang sudah dia siapkan.
Email yang tadi dikirim juga untuk momen ini. Memang luar biasa, Koi-san!
“Apa!? Kertasnya diganti tepat sebelum lomba!? Sial! Kenapa bisa begini!?”
Melihat ekspresi Kusanagi yang menggigit giginya dengan penuh frustrasi, tampaknya ini benar-benar membuatnya stres.
Strategi ini berhasil. Dengan begitu, kecurangan Kusanagi bisa digagalkan. Sekarang dia tidak bisa mengikuti perlombaan bersama Hinami.
Sementara Kusanagi terlihat panik, aku menghela napas lega dan memasukkan tanganku ke dalam kotak.
Sekarang, aku hanya perlu memastikan bahwa aku bisa mencapai garis finis lebih dulu.
Aku mengambil selembar kertas secara acak, lalu membukanya untuk melihat tema yang tertulis di dalamnya.
Dan di sana tertulis:
"Bawa seorang gadis yang bisa digendong seseorang dalam gaya pengantin, lalu bawa dia sambil berlari ke garis finis."
Begitu melihat tulisan itu, aku langsung menutup kertasnya dengan kedua tangan.
Ah… tidak, tidak. Pasti aku hanya kelelahan. Mataku pasti salah membaca karena kelelahan.
Pasti begitu, kan? Ini pasti hanya salah lihat…
Dengan keringat dingin mengalir di dahiku, aku kembali membuka kertas itu dan membaca isinya lagi.
Ternyata memang benar:
"Bawa seorang gadis yang bisa digendong seseorang dalam gaya pengantin, lalu bawa dia sambil berlari ke garis finis."
……
KENAPA AKU BISA MENDAPATKAN TEMA SEPERTI INI!?
Menggendong seorang gadis dalam gaya pengantin di depan begitu banyak orang!? Itu terlalu mustahil!
Tapi… tidak ada gunanya mengeluh!
Jika aku ragu-ragu, Kusanagi bisa saja mendahuluiku. Mau tidak mau, aku harus menjalankannya.
Baiklah, sekarang aku harus mencari gadis yang bisa kugendong dengan gaya pengantin!
Hmm…
Aku mencoba memikirkan seseorang yang cocok untuk tantangan ini. Entah kenapa, orang pertama yang muncul dalam pikiranku adalah Hinami.
Memang, aku yakin aku bisa menggendong Hinami.
Tapi… melakukan itu di depan banyak orang, mengajaknya begitu saja, pasti akan sulit.
Dalam situasi ini, mungkin lebih baik memilih Koi-san, karena dia yang paling pendek dari kami bertiga. Kemungkinan besar dia juga yang paling ringan.
Ah, sudah tidak ada pilihan lain!
Aku menggenggam kertas itu erat-erat dan berlari ke arah tribun penonton.
"Oh! Keido adalah orang pertama yang bergerak! Tema apa yang dia dapatkan, dan siapa yang akan dia bawa!? Ini semakin menegangkan!"
Saat aku mulai berlari, Kusanagi juga mulai bergerak, tampaknya dia sudah mengambil keputusan.
"Keido dan Kusanagi, yang pertama mencapai kotak, kini menuju tribun penonton! Siapa yang akan mereka bawa!? Oh, lihat itu! Keido berdiri di depan barisan terdepan tribun!"
Akhirnya, aku sampai di depan Hinami, Yuri, dan Koi-san, yang sedang bersorak memberi semangat.
Aku menatap Koi-san sambil terengah-engah dan mengulurkan tangan.
“Maaf, Koi-san. Aku harus membawa seorang gadis yang bisa digendong dalam gaya pengantin. Tolong ikut denganku!”
Namun…
“……Hmmm.”
Koi-san hanya menatapku kosong tanpa ekspresi.
Sama sekali tidak ada reaksi. Bahkan otot wajahnya tidak bergerak sedikit pun. Dia tetap seperti biasanya, tanpa menunjukkan emosi apa pun.
Apa-apaan reaksi itu…
Dia yang akan dibawa sebagai peserta, tapi kenapa dia tidak terlihat panik sama sekali?
Atau… jangan-jangan dia memang sengaja bersikap seperti ini?
“Hmmm… Aku mengerti. Memang, dari kami bertiga, aku yang paling pendek, jadi aku yang paling cocok untuk ini. Yah, meskipun aku tidak suka dipilih hanya karena tinggi badanku, baiklah, ayo pergi.”
“Terima kasih, Koi-san!”
Koi-san pun perlahan berdiri dari tempat duduknya.
Syukurlah… Awalnya aku pikir dia tidak akan setuju, karena ekspresi wajahnya tadi seperti tidak tertarik. Tapi untungnya, dia mau ikut.
Namun, aku langsung menyadari sesuatu setelah itu—alasan mengapa dia tidak bereaksi tadi.
“Baiklah, mari kita pergi… Ah, maaf. Begitu aku berdiri, aku tiba-tiba merasa pusing. Oh tidak, kepalaku terasa berputar. Ini sangat serius. Kalau aku tetap ikut lomba, aku bisa saja pingsan dan harus pulang lebih awal… (nada datar). Sayang sekali. Hinami, kau ikut menggantikanku ya. Terima kasih.”
"Eh!?"
Aku dan Hinami langsung berteriak bersamaan karena terkejut.
Apa-apaan ucapan tanpa emosi itu!?
Jadi sejak awal, dia memang berencana menyerahkan ini pada Hinami!?
Dia pasti sudah memikirkan ini sejak aku pertama kali memintanya.
“K-K-K-Koi-chan! I-Ini terlalu mendadak! Aku belum siap!”
“Tidak ada pilihan lain. Aku tidak bisa banyak bergerak karena pusing. Kalau aku memaksakan diri, aku bisa pingsan dan harus pulang.”
Hinami mencoba menolak dengan panik, tapi Koi-san yang tetap tenang berhasil membuatnya tak berkutik.
“Ka-Kalau begitu, kenapa tidak Yuri saja!? Aku… aku…!”
“Tapi Yuri masih ada lomba berikutnya, kan?”
“Eh? Ah, iya, aku memang akan ikut lomba setelah ini…”
“Kalau begitu, lebih baik dia menghemat energi. Kalau ingin menang, kita tidak boleh menghabiskan energi di tempat yang tidak perlu. Jadi, Hinami, kau yang harus ikut. Dengan pria biasa ini.”
Siapa yang kau sebut pria biasa, hah!? Oke, mungkin kalau dibandingkan Hinami, aku memang biasa saja, tapi tetap saja…
“Hinami, kita kehilangan waktu. Kalau kau menunda terlalu lama, peserta lain bisa mengejar kita.”
“T-T-Tapi! A-A-Aku! Ahaha… Mungkin lebih baik lain kali, di lomba tahun depan saja…”
"K-A-U A-K-A-N I-K-U-T, B-U-K-A-N?"
Koi-san mendekatkan wajahnya ke Hinami dan mengucapkan setiap kata dengan penuh tekanan.
Bahkan aku yang hanya melihat dari samping bisa merasakan aura luar biasa darinya…
Meski Koi-san adalah yang paling pendek di antara kami, entah kenapa dia terasa begitu besar dan menakutkan.
Mungkin karena itu, akhirnya Hinami pun menyerah.
“H-H-H-H-Haiiii…”
Setelah mendengar jawaban Hinami, Koi-san tersenyum puas dan duduk kembali di kursinya.
“Bagus. Sekarang aku serahkan semuanya pada kalian. Semoga berhasil.”
Sambil berkata demikian, dia mengedipkan mata padaku.
Melihat itu, aku langsung menyadari maksud Koi-san.
Dalam lomba mencari barang ini, peserta yang sudah dipilih sebagai pasangan tidak bisa dipilih lagi oleh orang lain.
Itu berarti, jika aku membawa Hinami sekarang, dia tidak akan bisa ikut lagi di sesi berikutnya.
Meskipun aku sudah menggagalkan kecurangan Kusanagi, aku tidak tahu trik apa lagi yang mungkin dia gunakan.
Mungkin saja dia atau temannya akan mencoba mengganggu Hinami.
Itulah alasan kenapa Koi-san mendorongku untuk membawa Hinami sekarang.
Aku harus melakukan ini dengan cara yang lebih baik... Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh. Aku harus mengubah pikiranku!
"Hinami! Datanglah! Kita tidak punya pilihan selain melakukan ini!"
"D-Doeehh!?"
Kenapa reaksinya begitu? Tidak perlu sekaget itu, kan?
Hinami terlihat panik, tapi aku tetap mengulurkan tanganku padanya.
"Ayo, Hinami."
"R-Ryo-kun. Apa benar aku tidak masalah?"
"Ya! Kita harus melakukannya!"
"U-Umm! Baiklah. Aku akan berusaha!"
Mungkin caraku terlalu memaksa, tapi aku tetap menggenggam tangan Hinami yang kecil dan lembut, lalu mulai berlari bersamanya.
Aku bisa merasakan tangannya semakin hangat, mungkin karena malu.
Saat aku melirik ke arahnya, aku melihat dia menunduk dengan wajah merah padam, berusaha menyembunyikan ekspresinya.
Maaf, Hinami. Aku tahu ini sangat memalukan, membuatmu jadi pusat perhatian seperti ini.
Tapi ini semua demi melindungimu dari Kusanagi! Jadi, tolong bertahanlah!
Masih menggenggam tangan Hinami, aku terus berlari menuju tempat di mana kami harus mengambil kertas berisi tantangan.
________________________________________
"OHHH! Keido memilih Hinami-san! Baru saja kompetisi dimulai, dan kita sudah disajikan dengan kejutan besar! Akankah Keido dan Hinami berhasil mencapai garis finis!?"
Dengan aku membawa Hinami, suasana di arena langsung menjadi ramai.
Aku bisa mendengar berbagai komentar dari orang-orang yang melihat kami.
"Hei, seharusnya dia kasih kesempatan buat Kusanagi, dong..."
"Hah? Siapa dia? Aku bahkan tidak kenal."
"Siapa sih cowok culun itu? Tidak asik banget."
Komentar negatif di mana-mana. Ya, aku sudah menduganya.
Hinami adalah gadis cantik yang terkenal di seluruh negeri, sedangkan aku hanyalah seorang siswa biasa—bahkan mungkin lebih rendah dari itu di mata mereka.
Dari sudut pandang orang-orang, kombinasi kami ini jelas tidak masuk akal dan tidak bisa diterima.
Tapi aku harus melakukannya.
Jika aku ingin melindungi Hinami tanpa menimbulkan keributan lebih lanjut, seseorang harus mengambil peran sebagai "penjahat" di sini.
Karena kalau tidak... aku tidak akan bisa melindungi orang yang berharga bagiku.
"Ryo-kun. Aku dengar banyak kata-kata buruk dari mereka, tapi jangan diambil hati, ya!"
Hinami berkata dengan nada tulus saat kami terus berlari bersama. Sepertinya dia juga mendengar komentar negatif itu.
Aku tersenyum untuk menenangkannya.
"Aku baik-baik saja, Hinami. Aku tidak peduli."
"Ryo-kun..."
"Tapi tetap saja, rasanya agak kesal. Jadi, ayo kita tunjukkan kepada mereka! Saat kita meraih posisi pertama!"
"Iya! Kita harus jadi nomor satu!"
Dengan suara Hinami yang penuh semangat, kami berhasil kembali ke titik awal lebih cepat dari peserta lainnya.
Sekarang, tantangan selanjutnya adalah berlari ke garis finis bersama orang yang kita bawa.
Saat aku melihat ke belakang, aku bisa melihat Kusanagi dan beberapa orang lainnya mulai mengejar kami.
Jika kami lengah, mereka bisa saja menyalip kami.
"Baiklah, Hinami. Kita lanjutkan!"
"U-Umm..."
Aku berjongkok sedikit, lalu meletakkan tanganku di pinggang dan kaki Hinami.
Kemudian, dalam sekali gerakan, aku mengangkatnya ke dalam gendongan putri.
Saat itu juga, mata Hinami melebar karena terkejut, wajahnya semakin memerah seperti tomat.
Maaf... Ini pasti memalukan, tapi aku butuh cara paling efektif untuk berlari secepat mungkin.
Dengan perasaan malu yang luar biasa, aku mulai berlari sekencang mungkin sambil menggendong Hinami.
Aku bisa merasakan paha lembutnya, kehangatan tubuhnya, serta wangi parfumnya yang samar-samar.
Aku hampir kehilangan akal sehatku, tapi aku tetap fokus. Aku hanya bisa melihat garis finis di depan.
________________________________________
"A-A-A-A-Astaga! Keido berhasil melakukannya! Dia menggendong Hinami dalam gaya putri dan mulai berlari! Dari tribun penonton, para pria yang dipenuhi kecemburuan mulai menatap dengan mata yang penuh kebencian, seperti pemburu yang mengincar mangsanya dalam kegelapan!"
"Di sisi lain, Hinami terlihat... sangat malu! Ini terlalu imut! Mataku hanya bisa melihatnya sebagai seorang putri sejati dalam pelukan pangeran!"
Saat aku melirik ke arah tribun, aku bisa melihat banyak pria menggertakkan gigi mereka, menatapku dengan penuh amarah.
Ya, aku mengerti. Aku benar-benar mengerti perasaan kalian.
Siapa pun pasti kesal jika melihat seorang pria culun sepertiku menggendong "gadis tercantik dalam seribu tahun" seperti ini.
Tapi maaf, aku tidak akan mundur.
Tidak peduli berapa banyak orang yang membenciku, tidak peduli berapa banyak yang mengejekku, aku akan melindungi Hinami.
Aku mengabaikan rasa malu ini dan terus berlari dengan kecepatan penuh.
Kami berhasil melewati setengah lintasan tanpa tertandingi.
Jika begini terus, kami bisa memenangkan lomba ini! Kami bisa mengalahkan Kusanagi!
Namun, saat aku mulai merasa yakin...
"Oh!? Keido masih memimpin! Tapi tunggu sebentar...! Di belakangnya, Kusanagi dan pasangannya mulai mengejar!"
"Lihat itu! Kusanagi membawa temannya dengan cara menggendong di punggungnya! Kecepatannya luar biasa! Matanya memancarkan tekad membara! Akankah Keido berhasil mempertahankan keunggulannya, atau Kusanagi akan melakukan comeback luar biasa!? Siapa yang akan menang!?"
Mendengar suara itu, aku merinding.
Aku segera menoleh ke belakang, dan di sana—
Dengan ekspresi bagaikan iblis, alis mengerut dalam amarah, dan tatapan tajam menusuk ke arahku, wajah Kusanagi terlihat dengan sangat jelas.
Ini gawat. Kalau begini terus, dia bisa mengejarku.
Aku tidak menyangka dia akan mengejar sampai sejauh ini. Dan yang lebih mengejutkan, meskipun menggendong seorang siswa laki-laki bertubuh kecil di punggungnya, dia masih bisa berlari secepat itu.
Tidak, ini bukan waktunya untuk kagum.
Apa pun yang terjadi, aku harus menjadi yang pertama mencapai garis finis. Aku harus melindunginya!
"Hinami! Kusanagi semakin mendekat dari belakang, tapi percayalah padaku! Aku pasti akan mencapai garis finis pertama!"
"E-eh, eeeh, h-hapiii!?"
Aku tidak tahu apa yang barusan dia katakan, terdengar seperti bahasa asing. Tapi meski begitu, aku tetap fokus ke depan dan terus menggerakkan kakiku sekuat tenaga.
Namun, lambat laun, suara langkah kaki Kusanagi semakin terdengar jelas dari belakang.
Aku bisa merasakan kecepatannya meningkat. Dari tribun penonton, banyak sorakan mendukung Kusanagi.
Tapi, meskipun tidak ada yang mendukungku, aku harus menggertakkan gigi dan terus berusaha.
Aku mengerahkan seluruh sisa tenaga yang ada dan berlari sekuat tenaga.
"Uoooooooohhh!!"
Kusanagi juga berteriak penuh semangat saat semakin mendekat dari belakang. Aku panik dan berusaha memperlebar jarak dengan meningkatkan kecepatanku ke batas maksimal.
Kami berdua berlari dengan segenap tenaga, dan jarak ke garis finis semakin dekat—10 meter, 5 meter, semakin berkurang.
Kusanagi kini tepat di belakangku, dan saat jaraknya tinggal satu meter lagi—
Aku berhasil menyentuh pita garis finis lebih dulu, meski hanya selangkah!
"GOOOOOOOL! Pemenang lomba lari ‘Bawa Teman’ untuk kategori laki-laki kelas satu adalah—KEIDO-SENSHUUU!!! Dia berhasil bertahan! Bintang kita, Kusanagi-senshuu, harus puas di posisi kedua meski hanya selisih sedikit!!"
"Tadi lucu banget! Kujo-san bener-bener menggemaskan!!"
"Kusanagi-san, sayang sekali! Tapi jangan menyerah! Kami tetap mendukungmu!"
"Kusanagiiii! Semangat buat yang berikutnyaaa!!"
Yang terdengar hanyalah sorakan untuk Hinami dan Kusanagi.
Hahaha... Aku sudah berusaha sekeras ini, tapi tidak ada satu pun sorakan untukku. Yah, memang wajar sih.
Sambil terengah-engah, aku perlahan menurunkan Hinami.
Meskipun tubuhnya ramping, tetap saja menggendongnya sambil berlari itu melelahkan. Sudah pasti besok aku akan kena nyeri otot.
Saat aku sedang mencoba mengatur napas, Kusanagi yang berkeringat dan tampak kesal mendekatiku.
"Hah… hah… hah… Aku tidak menyangka kau akan memilih Kujo-san. Ini sungguh di luar dugaanku."
"Apa boleh buat… Hah… hah…"
"Begitu ya… Beruntung sekali kau ini. Tapi lain kali, aku tidak akan kalah, Keido-kun."
Setelah mengatakan itu, Kusanagi berbalik dan pergi.
Namun, pada saat itu—
"Tsk. Dasar pengganggu."
Aku samar-samar mendengar suara dingin dan penuh kebencian keluar dari mulutnya.
Jelas sekali, sikapnya sangat berbeda antara di depan umum dan di belakang layar. Sejujurnya, aku ingin segera membongkar sifat aslinya, tapi mengingat dia begitu didukung banyak orang, risikonya terlalu tinggi. Aku malah bisa dianggap sebagai orang aneh.
Seperti kata Koi-san, lebih baik menunggu sampai dia menunjukkan belangnya sendiri.
Oh, ngomong-ngomong, bagaimana dengan Hinami?
Meski tadi aku yang membawanya, tetap saja, ini perlombaan yang cukup melelahkan.
"Kau baik-baik saja, Hinami? Maaf ya, aku benar-benar memaksamu tadi."
Saat aku menoleh ke samping untuk melihat Hinami—
"A-ahahya… je-jen-jen-jen-jen-ten-ten tidak apa-apa kok…"
Dia rusak.
Seperti robot yang kepanasan dan mengalami kegagalan sistem, tubuhnya nyaris mengeluarkan asap putih, matanya berputar-putar, dan bicaranya kacau balau.
Selain itu, dia bahkan tidak bisa berbicara dengan benar. Aku tidak mengerti satu kata pun dari yang dia ucapkan.
Ma-maaf… Aku benar-benar minta maaf.
Bisa dimengerti sih. Setelah diangkat dalam posisi bridal carry di depan semua orang, pasti ini terlalu memalukan untuknya hingga dia mengalami ‘overheat’.
"Hinami, kau baik-baik saja? Kau bisa mendengar suaraku? Bisa bicara dengan benar?"
"J-ja-jan-ten-ten-ten tidak apa-apa… Aku bi-bi-cha-sa…"
Uhm… Ini benar-benar tidak baik, kan?
Aku merasa ini tidak baik sama sekali.
Hinami yang biasanya serius dan pintar, sampai mengalami error seperti ini…
"Hah… Sepertinya butuh waktu cukup lama sampai Hinami kembali normal."
Akhirnya, dengan bantuan Yuri dan Koi-san, butuh hampir dua puluh menit untuk menenangkan Hinami. Karena suhu tubuhnya naik drastis, kami juga menghabiskan banyak kantong es untuk mendinginkannya.
Ini benar-benar merepotkan.
Tapi karena dia sangat lucu, ya sudahlah, aku maafkan.
Chapter 15 – Kamuflase
『Nah, akhirnya bagian siang dari festival olahraga akan dimulai! Saat ini, skor total menunjukkan bahwa Tim Merah memiliki lima ratus poin. Sementara itu, Tim Putih memiliki empat ratus lima puluh poin! Apakah Tim Putih bisa membalikkan keadaan!?』
Setelah istirahat makan siang berakhir, akhirnya bagian siang festival olahraga pun dimulai.
Di bawah sinar matahari yang terik menerangi lapangan, aku berdiri diam di tempat tunggu di ujung lapangan, menanti pertandingan berikutnya dimulai.
Seperti yang diumumkan tadi, kami dari Tim Putih saat ini kalah dalam perolehan poin dibandingkan dengan Tim Merah.
Salah satu penyebab kekalahan kami adalah kurangnya latihan. Itu memang benar, tapi alasan terbesar adalah karena kami kesulitan menghadapi taktik licik dari Kusanagi.
Kusanagi adalah bagian dari panitia festival olahraga. Dia memanfaatkan posisinya itu dengan cerdik untuk mengecek daftar peserta Tim Putih dan mengatur agar anggota timnya, yang berasal dari klub olahraga, bisa mengeksploitasi kelemahan kami.
Sekolah Kusanagi adalah sekolah khusus laki-laki. Ada kemungkinan besar bahwa kelas dengan lebih banyak atlet sengaja dimasukkan ke dalam Tim Merah.
Karena perbedaan postur dan stamina, kami dari Tim Putih tertinggal oleh semangat juang mereka yang gigih.
Namun, bukan berarti kami tidak memiliki peluang untuk membalikkan keadaan.
Pada bagian siang festival ini, akan ada banyak cabang olahraga dengan poin tinggi yang bisa kami menangkan.
Salah satunya adalah pertandingan kibasen (pertempuran kuda-kudaan), yang akan segera dimulai. Jika kami menang di sini, kami bisa meraih poin besar. Kusanagi juga ikut bertanding dalam pertandingan ini, jadi aku tidak boleh kalah.
Dalam pertandingan kibasen ini, setiap tim—baik Tim Merah maupun Tim Putih—akan membentuk kelompok beranggotakan empat orang sesuai keinginan mereka. Dengan total 40 peserta di masing-masing tim, akan ada 10 kelompok dari masing-masing tim.
Setiap kelompok akan menentukan peran masing-masing: satu orang menjadi penunggang kuda, sementara tiga lainnya bertindak sebagai kudanya. Penunggang harus mempertahankan hachimaki (ikat kepala) mereka agar tidak diambil oleh lawan, sambil berusaha merebut hachimaki lawan.
Secara umum, aturan kibasen ini sama seperti biasanya.
Namun, ada sedikit perbedaan dalam cara menentukan pemenangnya.
Satu-satunya cara untuk memenangkan pertandingan ini adalah dengan mengambil hachimaki dari "Raja" tim lawan.
Setiap tim menunjuk satu orang sebagai "Raja".
Identitas Raja ini juga akan diberitahukan kepada tim lawan sebelum pertandingan dimulai, sehingga tantangannya adalah bagaimana cara mempertahankan hachimaki Raja sambil menghadapi serangan lawan.
Di tim kami, Raja yang ditunjuk adalah Hinami. Sementara itu, Raja dari Tim Merah adalah Kusanagi.
Jika kami gagal melindungi hachimaki Hinami, peluang kami untuk menang akan semakin kecil.
Untuk menghentikan Kusanagi meraih gelar MVP, kami harus menang dalam pertandingan ini.
Hinami dan aku berada dalam tim yang sama. Aku, tentu saja, menjadi bagian dari kuda bersama dua laki-laki lainnya, sementara Hinami adalah penunggangnya. Sementara itu, Yūri dan Koi berada di tim lain dan juga bertindak sebagai penunggang kuda.
Hinami dan Kusanagi. Siapa pun yang lebih dulu kehilangan hachimaki-nya, akan menentukan arah pertandingan.
Aku tidak akan kalah, Kusanagi! Aku pasti menang!
Saat aku berdiri di tempat tunggu dengan tekad membara, suara mikrofon yang terlalu keras tiba-tiba menusuk gendang telingaku.
『Nah, festival olahraga yang sangat sengit ini akhirnya memasuki bagian siang! Pertandingan pertama di bagian siang ini adalah kibasen untuk siswa kelas satu! Pertarungan seperti apa yang akan terjadi!? Aku tidak sabar untuk mengetahuinya! Dan sekarang, pertama-tama, mari kita sambut para peserta dari Tim Merah!』
Setelah pengumuman itu, para anggota klub musik di tribun mulai memainkan alat musik mereka.
Seiring dengan musik yang ceria, para peserta Tim Merah yang sebelumnya berada di tempat tunggu mulai masuk ke lapangan satu per satu.
「Semua anggota Tim Merah! Kita memang kalah di lomba sebelumnya, tapi kali ini kita pasti menang!」
Kusanagi melangkah masuk sambil tersenyum dan melambaikan tangan ke para pendukungnya yang terus bersorak.
Melihat senyum segarnya, para siswi di tribun langsung berteriak,
「「「Kyaaa!!」」」
Mata mereka langsung berubah menjadi bentuk hati yang besar.
Memang, meskipun dia brengsek di dalam, wajahnya tetap tampan. Orang yang tidak tahu sifat aslinya pasti akan terpesona.
「Baiklah semua! Kita harus menjalankan strategi yang sudah kita rancang untuk mengalahkan Tim Putih! Rebut hachimaki Raja mereka!」
「「「Oooh!!」」」
Dengan ekspresi percaya diri, Kusanagi meneriakkan seruan penyemangat, membakar semangat para rekannya.
Melihat para peserta Tim Merah, aku bisa melihat beberapa orang bertubuh besar. Walaupun kibasen ini adalah pertandingan campuran antara laki-laki dan perempuan, jumlah atlet yang mereka miliki cukup banyak. Menghadapi mereka pasti akan sulit.
『Semua peserta dari Tim Merah sudah memasuki lapangan! Seluruh arena terpukau oleh karisma Kusanagi! Sungguh luar biasa! Begitu gagah dan tampan! Dengan Kusanagi sebagai Raja mereka, bagaimana strategi Tim Merah akan berjalan!? Dan sekarang, giliran Tim Putih untuk memasuki lapangan!』
Akhirnya, giliran kami dari Tim Putih untuk masuk ke lapangan.
Tepat sebelum kami bergerak dari tempat tunggu, Hinami berbicara kepada semua orang.
「Semua! Jalankan strategi sesuai yang sudah direncanakan Koi-chan! Jika Tim Merah bergerak seperti yang diperkirakan, segera eksekusi rencana kita!」
Strategi yang Koi-san buat adalah sebagai berikut:
Pertama, di awal pertandingan, kami akan mengamati pergerakan lawan dan mencoba mengambil sebanyak mungkin hachimaki dari selain Raja mereka untuk mengurangi jumlah pasukan mereka. Karena Kusanagi adalah Raja, dia pasti akan berada di belakang dan memberikan instruksi kepada timnya. Jadi, alih-alih langsung menyerangnya, kami harus mengurangi jumlah lawan terlebih dahulu.
Setelah itu, ketika situasi memungkinkan, Yūri dan Koi-san akan menjadi umpan dengan menerobos ke dalam pertahanan lawan untuk mengalihkan perhatian mereka.
Saat perhatian lawan teralihkan, kami akan memanfaatkan celah itu untuk mengerahkan semua pasukan yang tersisa dan menerjang Kusanagi langsung.
Tiba-tiba, ketika sejumlah besar musuh mendekat dengan cepat, bahkan seseorang seperti Kusanagi pasti akan merasa terguncang.
Selama Kusanagi fokus pada pertahanan, kami akan mendekatinya dari belakang, dan Hinami yang menjadi penunggang kuda akan merebut ikat kepala darinya.
Itulah garis besar strategi kami.
Tidak ada jaminan bahwa strategi ini akan berhasil, tetapi peluang kami untuk menang masih cukup besar.
『Para siswa kelas satu dari tim putih mulai memasuki arena! Raja tim putih adalah Kujo Hinami! Bagaimana mereka akan bertarung sambil melindunginya? Sangat menarik untuk disaksikan!』
Di tengah sorakan yang meriah, kami berjalan menuju posisi kami. Dari arah lawan, Kusanagi tampak berdiri dengan ekspresi penuh percaya diri.
Di sekelilingnya, ada banyak orang yang tampaknya merupakan anggota klub olahraga. Bahkan dari sini, aku bisa merasakan semangat juang yang membara.
Mereka berniat untuk menang dengan kekuatan fisik. Sebaliknya, di tim kami, tidak ada banyak orang yang bertubuh besar.
Bagi Kusanagi, mungkin dia sudah menganggap dirinya sebagai pemenang.
Aku merasa sedikit kesal melihat ekspresinya, tetapi aku tetap berjalan ke posisi yang telah ditentukan dan bersiap untuk membentuk kuda.
Aku berada di bagian depan, sementara dua siswa laki-laki lainnya berada di sisi kiri dan kanan. Kami bertiga membentuk kuda, dan Hinami naik ke atas kami sebagai penunggang.
Saat aku melihat sekeliling, sebagian besar anggota tim kami juga telah menyelesaikan persiapan mereka.
『Kedua tim telah berada di posisi mereka, dan tampaknya semuanya sudah siap untuk bertanding! Bagaimana pertandingan ini akan berlangsung? Baiklah… pertandingan dimulai!』
Dengan aba-aba dari komentator, tim putih langsung bergerak!
"Pasukan depan! Maju!"
Begitu pertandingan dimulai, Hinami langsung memberikan perintah kepada pasukan depan, dan lima kuda segera melaju.
Sementara itu, sebagai kebalikan dari pasukan depan, kelompok pengalihan yang terdiri dari Tomozato dan Koike serta pasukan pelindung tetap berada di belakang untuk melindungi Hinami.
Sebagai tanggapan, Kusanagi juga bergerak.
"Baik, kita juga maju! Pasukan depan! Bergerak!"
Kusanagi dengan sigap memberikan instruksi agar timnya bergerak.
Lima kuda merah melaju ke depan untuk menghadapi kami.
Di belakang mereka, Kusanagi dan empat kuda pengawalnya membentuk formasi pertahanan yang kuat.
Mereka membagi tim mereka menjadi dua: bagian depan untuk menyerang dan bagian belakang untuk bertahan. Bagian pertahanan terdiri dari anggota tim yang bertubuh besar, jelas untuk menjaga pertahanan tetap kokoh.
Dengan perlindungan ketat ini, Kusanagi bisa dengan tenang memberikan instruksi. Lalu, ketika jumlah kuda tim putih berkurang, dia akan maju dan merebut ikat kepala Hinami.
Strategi Kusanagi cukup jelas. Demi meraih gelar MVP, dia perlu menciptakan momen kemenangan dengan tangannya sendiri. Dengan empat kuda yang melindunginya, dia akan diam di tempat sampai saat yang tepat untuk menyerang tiba.
Formasi awal kami hampir sama dengan tim merah.
Pasukan depan bertugas untuk melemahkan lawan, sementara barisan belakang melindungi Hinami.
Awal pertandingan berjalan seimbang, tapi perbedaannya terletak pada bagaimana kami akan bergerak dari titik ini.
『Oh! Tim merah dan tim putih saling berhadapan! Kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran sengit!』
Di bawah arahan Hinami dan Kusanagi, pasukan depan dari kedua tim bertarung dengan sengit.
Tubuh mereka bertabrakan dengan keras saat mereka mencoba merebut ikat kepala satu sama lain.
Dari belakang, aku bisa melihat bahwa kekuatan tim merah dan tim putih hampir seimbang.
Dalam situasi ini, siapa pun yang pertama kali berhasil merebut ikat kepala akan mendapatkan keuntungan.
Karena Kusanagi telah mengalokasikan banyak anggota bertubuh besar untuk bertahan, kekuatan serangan mereka mungkin sedikit berkurang.
Jika kami berhasil mengurangi jumlah kuda lawan, maka kami akan berada dalam posisi yang lebih menguntungkan saat menghadapi Kusanagi.
Jika kami bisa merebut satu ikat kepala lebih dulu, maka…
Namun, kenyataan tidak semudah yang kami harapkan.
"Baik! Tim A dan Tim B! Lakukan sekarang!"
"Dimengerti!"
Tiba-tiba, Kusanagi memberikan instruksi dari belakang, dan tim merah mulai bergerak secara tidak terduga.
Salah satu kuda yang sedang bertarung tiba-tiba menghentikan pertarungan dan mulai mundur dengan cepat.
"Hah!? Mereka tiba-tiba mundur!? Kenapa!?"
Penunggang dari tim putih terkejut melihat lawan mereka melarikan diri.
Bukan karena ada perbedaan kekuatan yang besar. Justru, pertarungan berlangsung seimbang. Namun, lawan tiba-tiba mundur, membuat semua orang bingung.
Mengapa mereka melarikan diri?
Dari tempatku berdiri, aku tidak langsung memahami alasannya. Tapi setelah melihat pergerakan mereka selanjutnya, aku baru menyadari apa yang terjadi.
Mereka tidak melarikan diri. Mereka hanya mengubah target mereka.
Kuda yang tampak mundur itu sebenarnya hanya berpura-pura mundur untuk kemudian menyerang kuda tim putih yang lain secara tiba-tiba.
Di garis depan, lima kuda dari tim merah dan lima kuda dari tim putih sedang bertarung satu lawan satu.
Semua orang fokus menghadapi lawan di depan mereka, saling bertarung dengan sengit.
Namun, kuda tim merah yang tampaknya mundur justru berputar dan bergerak langsung menuju salah satu kuda tim putih dari belakang.
Kuda tim putih yang menjadi sasaran tidak menyadari bahwa mereka sedang diserang dari belakang.
"Bahaya! Dari belakang!"
Aku berteriak memperingatkan mereka, tetapi sudah terlambat.
Karena fokus mereka hanya tertuju pada lawan di depan, mereka gagal memperhatikan serangan mendadak dari belakang.
Dalam sekejap, tim merah memanfaatkan kelengahan ini dan dengan cekatan merebut ikat kepala dari tim putih dengan serangan mendadak dari belakang.
『Tim Merah! Mereka berhasil merebut hachimaki Tim Putih dari belakang! Dengan strategi serangan dari dua arah, mereka berhasil mencuri satu hachimaki!』
Sial… Mereka berhasil mengambil langkah pertama…
Si brengsek Kusanagi. Jadi dari awal dia memang berencana melakukan serangan dari dua arah.
Tim depan kita berjumlah lima. Kita mengamati bagaimana gerakan lawan terlebih dahulu, lalu menyesuaikan jumlah tim untuk bertarung satu lawan satu.
Setelah situasi satu lawan satu terbentuk, mereka langsung menjalankan strategi serangan dari dua arah.
Kusanagi sudah memikirkannya dengan matang.
Aku menggertakkan gigi dan menatapnya tajam dari kejauhan. Dia sama sekali tidak menyadari tatapanku, tapi melihat dari senyumnya yang sedikit terangkat, dia pasti puas karena berhasil menciptakan situasi yang menguntungkan.
Jika ini terus berlanjut, kita akan kembali diserang dari belakang saat sedang fokus bertarung.
Dalam kondisi empat lawan lima, kita sangat tidak diuntungkan. Jika diserang dari belakang, semuanya akan berakhir.
Apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita mengirim kuda dari barisan pertahanan ke depan?
Tidak… Bisa jadi ini juga bagian dari strategi Kusanagi.
Sialan.
Saat aku sedang menggigit bibir memikirkan solusi, Koi-san tiba-tiba angkat bicara.
"Tenang dulu! Strategi lawan adalah menyerang dari belakang! Kita harus berpasangan dan saling melindungi punggung satu sama lain saat bertarung! Tim pertahanan tetap di tempat! Jika kita bergerak, kita hanya akan masuk ke dalam jebakan mereka!"
Dengan tenang, dia memberikan instruksi kepada seluruh tim Putih yang mulai panik dan cemas.
Melihat dia bahkan memberikan arahan pada tim pertahanan yang melindungi Hinami, aku yakin Koi-san sudah membaca strategi Kusanagi dan mengambil keputusan berdasarkan itu.
Kita harus tetap tenang dan mengikuti arahannya.
Di bawah komando Koi-san, tim Putih segera membentuk pasangan. Mereka mulai bertarung dengan saling melindungi punggung dari serangan mendadak Tim Merah.
『Tim Putih! Mereka dengan cepat berpasangan untuk saling melindungi dari serangan belakang! Dengan ini, strategi serangan dari dua arah Tim Merah tidak akan berhasil! Ini adalah reaksi cepat yang sangat brilian untuk menggagalkan strategi lawan!』
Mungkin memang benar bahwa kita berhasil menggagalkan strategi Kusanagi.
Tapi jumlah tim depan sekarang adalah empat lawan lima, situasi yang masih tidak menguntungkan bagi kita.
Meskipun Kusanagi menggunakan atlet untuk bertahan, kondisi ini tetap buruk bagi kita.
Faktanya, saat aku melihat dari belakang, aku bisa melihat teman-teman kita mulai kelelahan.
Tentu saja, mereka bertarung dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Dengan bergerak dalam pasangan, sulit bagi mereka untuk mundur dan menyusun ulang strategi.
Jika ini terus berlanjut, tim depan kita akan habis.
"Koi-san, apa yang harus kita lakukan...? Memang kita berhasil menahan strategi mereka, tapi teman-teman kita kehabisan tenaga."
"Memang, secara jumlah kita kalah. Jika begini terus, tim depan kita akan kalah."
"Hah? Itu buruk, kan!?"
"Bodoh, kau pikir aku tidak mempertimbangkan itu? Walaupun ini tim campuran, jumlah atlet di tim lawan jauh lebih banyak. Ditambah lagi, jumlah laki-laki dari SMA Seirin juga lebih banyak. Kita harus memanfaatkan situasi ini. Itulah kenapa ada tim pengalih perhatian seperti kami."
Setelah mengatakan itu, Koi-san bertukar pandangan dengan Tomosato. Begitu melihat tatapan itu, Tomosato langsung tersenyum lebar seolah mengerti maksudnya.
Apa-apaan ini? Telepati rahasia para cewek?
"Tomosato, Koi-chan, kalian yakin? Benar-benar akan berhasil?"
"Tenang saja, Hinami! Kami akan mengurusnya!"
"Benar. Jangan khawatir, Hinami. Ayo, Tomosato, kita masuk ke tahap kedua."
Hinami masih terlihat sedikit cemas, tapi kedua orang itu terlihat sangat percaya diri. Aku sendiri belum tahu detailnya, tapi bagaimana mereka berencana mengalihkan perhatian lawan?
Saat aku masih berpikir, kedua gadis itu mulai bersiap.
Kemudian, dengan suara yang selaras, mereka berteriak.
"「GO!」"
Begitu mendengar kata itu, kuda yang ditunggangi Tomosato dan Koi-san menghentakkan kaki mereka ke tanah dengan kuat dan langsung berlari ke arah tim depan.
『Apa yang terjadi!? Dua kuda dari tim Putih yang tadi melindungi raja mereka tiba-tiba bergerak! Apakah mereka akan membantu tim depan!? Tidak! Mereka justru berlari bebas di lapangan!』
"Ayo, ayo, tim Merah! Kejar kami kalau bisa!"
"Ayo sini, bocah-bocah cupu~"
Tomosato dan Koi-san mulai berlari-lari di sekitar lapangan sambil terus memprovokasi Tim Merah.
Tim Merah unggul di tim depan dan juga memiliki pertahanan yang kuat.
Mereka mencoba menciptakan celah dengan mengganggu konsentrasi lawan.
Faktanya, beberapa pemain Tim Merah mulai kehilangan fokus dan melihat ke arah Tomosato dan Koi-san.
Bagus. Jika mereka terpancing dan bergerak, kita bisa membalikkan keadaan.
Saat formasi lawan mulai kacau, kita bisa langsung menyerbu Kusanagi dan merebut hachimakinya.
Suasana lapangan mulai riuh, dan beberapa pemain Tim Merah mulai ragu. Tapi kemudian—
"Jangan terpancing oleh mereka! Itu hanya pengalihan perhatian! Tetap di posisi masing-masing dan jalankan tugas kalian!"
Suara tajam itu langsung mengubah suasana.
Pemilik suara itu adalah Kusanagi, yang berdiri di belakang memberikan instruksi.
Dia menyadari bahwa itu hanya pengalihan perhatian dan langsung memberikan perintah agar timnya tetap dalam formasi.
Celah yang hampir terbentuk… kembali tertutup.
Dia memang hebat. Tetap tenang dalam situasi seperti ini.
『Pemain Kusanagi! Dengan tenang melihat melalui tindakan lawan! Seperti yang diharapkan dari bintang kami!』
Sia-sia saja pengalihan perhatian itu, dan situasi pun kembali sulit.
Saat suasana negatif mulai menyelimuti tim putih, tiba-tiba—
Yuri dan Kui-san, yang tadi berlari-lari di lapangan, tiba-tiba menyeringai.
Mereka berdua terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang benar-benar jahat.
Apa itu? Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu.
Apa yang akan mereka lakukan? Bagaimana mereka akan menghancurkan formasi lawan lagi?
Saat aku berpikir seperti itu dan mengawasi dari belakang, aku mendengar sesuatu yang tak terduga keluar dari mulut mereka.
"Ah~ ngomong-ngomong, ini 'kan hari olahraga, tapi aku belum dapat pasangan untuk menari. Ada yang mau menari denganku? Ah, aku tahu! Kalau begitu, aku ingin berdansa dengan orang yang berhasil merebut ikat kepalaku~. Setelah menari, mungkin kita bisa menghabiskan waktu berdua~. Aku juga ingin punya pacar segera."
Yuri mengakhiri ucapannya dengan mengedipkan mata manis ke seluruh tim merah.
Para pemain laki-laki dari tim merah langsung membeku.
Mengikuti itu, Kui-san mengeluarkan dua lembar kertas dari sakunya dan berkata:
"Aku baru ingat kalau aku menang tiket perjalanan untuk dua orang. Ah, tapi ini tiket khusus untuk pasangan. Aku tidak bisa pergi sendirian. Aku 'kan mungil, jadi aku ingin pergi dengan pria yang berotot, penuh semangat, dan bisa melindungiku. Hanya kita berdua, pria dan wanita muda. Fufu. Malamnya pasti menyenangkan. Sepertinya akan menjadi hari yang penuh gairah."
Kui-san menjilat bibirnya sambil memamerkan tiket pasangan itu.
Dan itulah pukulan terakhir.
BAGIN!
Terdengar suara seperti akal sehat para lelaki tim merah hancur berkeping-keping.
Beberapa detik kemudian, keheningan menyelimuti lapangan.
Lalu tiba-tiba—
"OOOOOOOOOOHHHHHHH!!!"
Para pemain laki-laki tim merah langsung berubah ekspresi, berteriak liar, dan berlari ke arah Kui-san dan Yuri.
"Yuri-chan! Ayo menari denganku!"
"Kui-chan! Aku bisa melindungimu kapan pun!"
"Ayo pergi liburan bersamaku, Kui-chan!"
Tiga kuda-kuda yang tadinya bertarung di garis depan dan dua yang menjaga pertahanan kini dengan mata berbinar penuh harapan mengejar mereka berdua mati-matian.
Astaga… Jadi ini rencana Kui-san sejak awal…?
Sekarang yang mengejar mereka berdua kebanyakan adalah pemain laki-laki tim merah.
Sementara itu, para pemain perempuan yang membentuk kuda-kuda lain tetap diam di tempat.
Mereka malah memandang para lelaki yang berlari itu dengan tatapan dingin seperti melihat sampah.
Perbedaan suhu emosinya gila… Suasananya langsung jadi sedingin es. Apa perempuan memang bisa punya tatapan seseram itu? Menakutkan…
Mayoritas pemain laki-laki tim merah adalah siswa dari Seirin High. Itu berarti mereka sangat jarang berinteraksi dengan lawan jenis. Ditambah lagi, beberapa di antara mereka adalah atlet yang sibuk dengan klubnya, jadi mereka makin sedikit punya kesempatan untuk bergaul dengan perempuan.
Dalam situasi seperti itu, jika dua gadis cantik itu mengajak mereka seperti tadi, sudah pasti anak laki-laki yang sedang dalam masa pubertas akan tertarik.
Kui-san sudah memikirkannya dengan matang. Aku tidak tahu kenapa Yuri dipilih sebagai umpan, tapi ternyata mereka ingin memanfaatkan nafsu untuk menjebak lawan!
『A-Apa yang terjadi!? Tim putih! Dua gadis cantik ini baru saja mengatakan hal yang mengejutkan! Dan seperti yang diduga, tim merah tidak bisa mengabaikannya! Mereka berlari mengejar dengan sekuat tenaga! Tapi kuda-kuda Yuri dan Kui sangat cepat! Mobilitas mereka luar biasa, mereka sama sekali tidak bisa dikejar! Tim merah, apa yang akan kalian lakukan!?』
Para pemain laki-laki tim merah mencoba mengejar, tapi kecepatan mereka terlalu berbeda.
Dengan kecepatan luar biasa, Kui-san dan Yuri terus berlari mengelilingi lapangan, menghancurkan formasi lawan satu per satu.
Kuda-kuda mereka berdua memang hampir tidak punya daya serang. Sebagai gantinya, mereka dibentuk dari anggota klub atletik, jadi kecepatan mereka luar biasa. Tidak heran jika lawan tidak bisa mengejar.
"Kalian bodoh!? Apa yang kalian lakukan!? Kembali ke posisi kalian! Itu jebakan!"
Melihat situasi ini, Kusanagi berkeringat dingin dan berteriak memberi perintah.
Namun, hati para lelaki yang sudah terbakar tidak akan padam dengan mudah.
"AKU INGIN PUNYA PACAAAAAR!!!"
Sebaliknya, mereka malah semakin bersemangat. Aku bisa merasakan panasnya sampai rasanya air mendidih dalam sekejap.
Kesempatan untuk mendekati gadis cantik yang biasanya tidak bisa mereka dekati.
Kesempatan untuk menjadi seorang real ju—seorang pria yang hidupnya penuh asmara.
Godaan itu terlalu kuat, dan perintah Kusanagi pun tidak sampai ke telinga mereka.
"Sialan! Kita sudah hampir menang, tapi sekarang semuanya berantakan!"
Seperti yang dikatakan Kusanagi, formasi tim merah benar-benar berantakan sekarang.
Di garis depan, justru kini tim putih yang unggul dalam jumlah.
Selain itu, pertahanan kuat yang dibentuk oleh para atlet kini melemah.
Karena teralihkan oleh Kui-san dan Yuri, mereka tidak menyadari betapa kacau formasi mereka sendiri.
Sekaranglah saat yang tepat untuk menyerang!
"Hinami! Formasi tim merah sudah berantakan! Kalau mau menyerang, sekaranglah waktunya!"
"Baik, Ryo-kun! Semuanya! Ayo serang!"
"OUUHHH!!!"
Hinami memberikan aba-aba kepada para kuda-kuda yang berjaga dan juga teman-teman yang bertarung di garis depan.
Mereka semua memahami maksud Hinami, dan dengan cepat—
Semua kuda-kuda, kecuali yang digunakan Kui-san dan Yuri sebagai umpan, langsung melaju lurus ke arah Kusanagi!
Jumlah kuda-kuda kami ada tujuh.
Sebaliknya, meskipun pihak lawan terdiri dari para atlet, mereka hanya memiliki tiga kuda-kuda.
Kita bisa menang!
Memanfaatkan momen ketika Yuriri dan Kui-san menarik perhatian lawan, kami bergerak menuju barisan belakang tempat Kusanagi berada dan langsung menyerang dengan kekuatan penuh.
Karena diserang oleh jumlah musuh hampir dua kali lipat, bahkan Kusanagi pun kehilangan ketenangannya.
"Sial! Cepat lindungi aku! Apa yang kalian lakukan?!"
Teriakan penuh amarahnya terdengar jelas di telingaku.
Bagus, dia mulai panik. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan ini!
Ketika lawan sedang dalam kekacauan, kami diam-diam bergerak ke belakang Kusanagi.
Saat mereka fokus menghadapi musuh di depan, Hinami dengan cepat mengulurkan tangannya ke lengan Kusanagi. Lalu—
"Ketangkap!"
Dengan menggenggam erat ikat kepala Kusanagi, Hinami langsung menariknya dengan kuat dan berhasil merebutnya!
Kejadian itu berlangsung dalam sekejap, sehingga semua pemain lawan hanya bisa melongo, tidak dapat langsung memahami apa yang terjadi.
Namun, aku dan teman-teman yang berada di dekat Hinami melihat semuanya dengan jelas.
Pada detik ini, saat Hinami berhasil mengambil ikat kepala Kusanagi—yang berperan sebagai raja—kemenangan tim putih telah dipastikan!
Menyadari hal itu sedikit terlambat, komentator segera menggenggam mikrofonnya.
"A-a-apa yang baru saja terjadi?! Hinami berhasil menyelinap ke belakang Kusanagi dan merebut ikat kepalanya! Karena raja tim merah telah kehilangan ikat kepalanya, pertandingan resmi berakhir! Pemenangnya adalah tim putih!!"
"Yattaaaa!!"
Begitu hasil pertandingan diumumkan, seluruh anggota tim putih yang berpartisipasi dalam kuda-kuda bersorak gembira dan mengangkat tinju ke udara.
"Hinami-chan! Kamu luar biasa!"
"Kamu benar-benar hebat, Hinami-san!"
"Kerja bagus!"
Sorakan kemenangan dan pujian untuk Hinami bergema dari tribun penonton.
Dalam pertandingan kuda-kuda tahun pertama ini, kami berhasil menahan laju Kusanagi dan meraih kemenangan!
"Kita menang, Hinami!"
Aku menurunkan Hinami dari punggung kuda-kuda sambil menyapanya dengan penuh semangat.
"Ya, kita menang! Yay!"
Sambil tersenyum lebar, aku dan Hinami saling memberi high-five untuk merayakan kemenangan kami.
Chapter16 – Pengganggu
Pertandingan kuda-kuda telah berakhir, dan kini ada sedikit waktu sebelum aku—Kusanagi—mengikuti cabang berikutnya.
Memanfaatkan waktu luang ini, aku membawa Manabe, yang juga anggota panitia festival olahraga, ke belakang gedung sekolah.
Alasan kami datang ke tempat yang suram dan sepi ini hanya satu.
"Sialan! Apa-apaan ini?! Kenapa aku terus dihalangi oleh Keido?!"
Karena semua rencanaku gagal total, aku dipenuhi rasa frustrasi.
Untuk melampiaskan amarahku, aku mengepalkan tinju dan memukul dinding sekuat tenaga.
Suara benturan yang kering terdengar bersamaan dengan rasa sakit yang menusuk di tanganku, namun itu tidak cukup untuk meredakan kemarahanku.
Jika rencanaku berjalan dengan baik, aku pasti sudah bersinar di lapangan dan menjadi kandidat kuat untuk MVP.
Tapi kenyataannya tidak seperti itu!
Keido terus menghalangiku!
Saat perlombaan ambil benda, entah kenapa kertas dalam kotak telah ditukar, dan Kujo dibawa pergi.
Di pertandingan kuda-kuda tadi, kami malah dipermainkan oleh strategi lawan.
Setiap kali rencanaku gagal, Keido selalu ada di dekat situ.
Dia bukan orang tampan, hanya seorang penyendiri biasa, tapi kenapa dia terus merusak rencanaku?!
Sialan!
Aku kembali menghantam dinding dengan kepalan tangan, napasku memburu karena marah.
"H-hentikan, Kusanagi! Kalau kau terus seperti ini, tanganmu akan hancur!"
Manabe, yang berdiri di sampingku, mencoba menenangkan, tapi aku malah menatapnya tajam.
Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui rencanaku. Manabe telah membantu menyusun berbagai strategi, namun semuanya gagal.
Jika dipikir-pikir, mungkin ini salahnya karena membuat rencana yang mudah ditebak?
"H-hai, Kusanagi… kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Jangan pura-pura bodoh… HAH?!"
Aku meraih kerah bajunya dengan kuat, meluapkan amarahku dengan tatapan penuh ancaman.
"Kenapa kau bersikap seakan ini bukan salahmu?! Semua ini terjadi karena rencana bodohmu gagal! Kau sadar itu, hah?! Kita sudah berbohong demi mendekati 'gadis tercantik dalam seribu tahun', tapi hasilnya nihil!"
Tubuh Manabe mulai gemetar hebat.
"M-maaf! Aku benar-benar tidak menyangka kita akan diganggu terus-menerus seperti ini!"
"Hah?! Jadi apa? Kau lebih bodoh dari penyendiri menyedihkan itu?!"
"T-tidak! Bukan itu maksudku! Hanya saja… kejadian tak terduga terus terjadi, dan aku tidak bisa memperbaikinya tepat waktu! Tolong maafkan aku!"
Seandainya rencana Manabe berhasil dan pengakuan cintaku di malam festival berjalan lancar, Hinami pasti sudah menjadi milikku sekarang.
Tapi kenyataannya?
Aku unggul dalam segalanya—penampilan, reputasi—namun Keido tetap selangkah di depanku.
Sial!
"Tapi kita masih punya peluang! Skor keseluruhan menunjukkan kita masih unggul! Jika kita menang dalam lomba terakhir, yaitu estafet perwakilan antar angkatan, peluangmu menjadi MVP masih ada!"
Mendengar kata-kata itu, aku perlahan melepaskan cengkeraman di kerahnya.
Benar juga… aku masih punya kesempatan terakhir.
Estafet perwakilan antar angkatan.
Lomba ini memilih satu laki-laki dan satu perempuan dari setiap kelas untuk berlari dalam perlombaan estafet.
Jika aku menang dalam lomba ini, seperti yang dikatakan Manabe, peluangku menjadi MVP akan tetap terbuka.
Namun, jika Keido terus menghalangiku, itu akan merepotkan. Entah kebetulan atau tidak, kami selalu mengikuti cabang yang sama.
Demi memastikan kemenangan…
Manabe harus bekerja lebih keras lagi.
"Kau benar… Tapi kemenangan adalah satu-satunya pilihan. Kau kan anggota klub bisbol, bukan?"
"Hah? A-aku iya… Kenapa?"
Dalam lomba estafet, aku dan Keido akan berlari di bagian sebelum pelari terakhir.
Jika aku kalah di tahap itu, semuanya akan sia-sia.
Namun, bagaimana jika Keido mengalami cedera…?
Bagaimana jika dia tidak bisa berlari dengan kecepatan penuh…?
"Manabe, lakukan apa yang aku perintahkan. Hancurkan kakinya."
Aku membisikkan seluruh rencanaku kepada Manabe.
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, aku akan menghancurkan Keido.
***
Acara sore hampir selesai, dan sekarang saatnya untuk perlombaan terakhir—Estafet Pilihan berdasarkan Angkatan.
Estafet ini terdiri dari dua tim dari kelompok Merah dan dua tim dari kelompok Putih, yang akan bersaing untuk menentukan peringkat.
Sebagai perwakilan dari kelas A, aku dan Hinami akan ikut serta. Hinami akan menjadi pelari terakhir (anchor), sedangkan aku akan berlari tepat sebelum giliran dia.
Saat ini, kelompok Putih sedang tertinggal dalam perolehan poin. Tapi jika kami menang dalam perlombaan ini, masih ada kesempatan untuk membalikkan keadaan.
Memikirkan hal itu membuatku semakin gugup.
"Baiklah, sudah waktunya. Ayo pergi, Hinami."
"Iya! Ayo!"
Aku berdiri bersama Hinami yang duduk di sebelah bangku penonton, lalu mulai berjalan menuju tempat berkumpul.
"Sekarang kita memang tertinggal dalam skor, tapi kalau menang di sini, kita masih punya peluang untuk menang secara keseluruhan, kan?"
"Benar! Selama kita tidak menyerah, masih ada kemungkinan!"
Senyum cerah Hinami terpancar seperti cahaya matahari, begitu murni dan menggemaskan. Lelah yang kurasakan sepanjang hari ini seakan langsung menghilang sampai ke ujung dunia.
Luar biasa, hanya melihat senyumnya saja sudah cukup untuk membuat rasa lelahku menghilang.
"Benar juga. Ngomong-ngomong, Hinami, kamu luar biasa hari ini. Kamu sangat menonjol di hampir semua perlombaan yang kamu ikuti."
Selain perang kuda, Hinami juga berpartisipasi dalam lomba memasukkan bola dan lari tiga kaki berpasangan.
Yang paling luar biasa adalah lari tiga kaki.
Dia dan Yuri begitu kompak saat berlari bersama, hingga mereka memenangkan lomba dengan selisih yang jauh dari peserta lain. Sepertinya mereka bahkan mencetak rekor terbaik sepanjang sejarah sekolah ini.
Siapa pun yang melihatnya pasti setuju bahwa Hinami adalah peserta paling berprestasi di tim Putih.
"Ahaha, tidak juga! Itu semua berkat teman-teman yang membantuku. Aku sendiri tidak sehebat itu."
"Jangan merendahkan diri begitu. Itu semua bisa terjadi justru karena ada kamu. Kamu pantas bangga dengan pencapaianmu."
"Be-benar ya…? Hehe, aku jadi sedikit senang!"
"Hinami, menurutmu hari ini menyenangkan?"
Saat melihat wajahnya yang berbinar-binar penuh kebahagiaan, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Sejak lama, Hinami sudah sangat menantikan festival olahraga ini.
Sebelumnya, dia selalu berada di kelas yang berbeda dengan Yuri dan Koi, sehingga mereka bertiga tidak pernah bisa mengikuti acara sekolah bersama.
Tapi tahun ini berbeda—akhirnya mereka bisa berbagi pengalaman dalam festival olahraga ini sebagai satu tim. Itu sebabnya dia begitu bersemangat untuk menciptakan kenangan bersama.
Mungkin karena itulah aku tanpa sadar bertanya seperti itu.
"Iya! Aku sangat bersenang-senang! Aku juga berhasil mengabadikan banyak kenangan! Lihat ini, Ryo-kun!"
Hinami dengan penuh semangat menunjukkan foto-foto yang tersimpan di ponselnya.
"Ini foto aku, Yuri, dan Koi-chan yang kita ambil tadi di tribun penonton! Ah, yang ini foto Koi-chan saat dia bertanding! Dia terlihat sangat imut, kan? Terus, ini foto Yuri! Dia terlihat keren saat berlari, kan? Dan yang terakhir ini… foto Ryo-kun! Ini waktu kamu bersiap di garis start lomba lari mengambil benda! Kamu kelihatan sangat gagah!"
Hinami dengan penuh semangat menjelaskan setiap foto yang diambilnya sepanjang hari.
Aku sedikit terkejut karena dia juga mengambil fotoku, tapi karena ini adalah bagian dari kenangannya, aku sama sekali tidak keberatan.
Meskipun Kusanagi berusaha mengincar Hinami, selama aku bisa mempertahankan kemenangan di festival olahraga ini, rencananya bisa terhambat. Itu bisa memberiku waktu untuk berpikir tentang langkah selanjutnya.
"Begitu ya… Aku senang kamu bisa mendapatkan banyak kenangan hari ini."
"Iya! Nanti setelah pulang, aku akan menceritakan semuanya pada ibuku!"
"Begitu ya. Kalau begitu, ayo kita menangkan lomba estafet ini dan menutup hari ini dengan kemenangan! Kita buat lebih banyak kenangan!"
"Iya! Ayo kita lakukan yang terbaik!"
Kami saling menatap dan tersenyum.
Aku merasa optimis. Jika semuanya berjalan lancar seperti ini, kami pasti bisa memenangkan estafet. Aku juga bisa melindungi Hinami dan berkontribusi dalam menciptakan kenangan indah untuknya.
Namun, tepat saat kami berjalan menuju tempat berkumpul—
"Ah! Maaf! Aku sedang buru-buru! Permisi, aku mau lewat!"
Seseorang berlari melewatiku dengan kepala tertunduk.
—BAGH!!
Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa menjalar dari kaki kananku, seolah ada sesuatu yang menghancurkan tulangnya.
Sakit sekali! Apa-apaan ini!?
Aku yakin seseorang telah menginjak kakiku dengan sesuatu yang keras dan tajam. Dari sensasi yang terasa, sepertinya sepatu itu memiliki sol yang sangat keras—mungkin sepatu sepak bola, sepatu bisbol, atau sepatu lari dengan paku.
Rasa sakit yang mendadak ini membuatku berhenti melangkah. Aku pun berjongkok, menekan punggung kaki kananku yang terasa nyeri.
Ini tidak baik. Dia tidak menginjak ujung kakiku, tapi bagian punggung kaki. Sensasi diinjak itu masih terasa jelas.
"Eh? Ada apa, Ryo-kun?"
Hinami menatapku dengan bingung, kepalanya sedikit miring. Tapi jika aku mengeluh sekarang, situasinya tidak akan membaik.
Aku tidak ingin membuatnya khawatir.
"Ah, tidak apa-apa. Tali sepatuku terlepas. Kamu pergi duluan saja."
"Eh? Kalau cuma itu, aku bisa menunggumu kok."
"Ah, tidak. Setelah mengikat tali sepatu, aku juga mau ke toilet sebentar. Jadi, kamu pergi duluan saja."
"Oh, begitu ya? Baiklah, sampai jumpa nanti!"
"Ya!"
Hinami melanjutkan perjalanannya menuju tempat berkumpul.
Setelah memastikan dia menghilang di tengah kerumunan, aku melepas sepatuku dan melihat kaki kananku.
Seperti yang kuduga, bagian punggung kakiku memerah dan membengkak, seolah disengat lebah.
Sial…
Ini firasat buruk…
***
"Estafet Pilihan Berdasarkan Kelas kini telah memasuki tahap akhir! Saat ini, pelari dari Tim Merah unggul satu langkah di depan! Posisi pertama masih dipegang oleh Tim A Merah, diikuti oleh Tim A Putih di posisi kedua. Tim B Merah berada di posisi ketiga, sedangkan Tim B Putih di posisi keempat! Siapakah yang akan memenangkan estafet pilihan kelas satu ini?"
Sudah beberapa waktu sejak Estafet Pilihan Berdasarkan Kelas dimulai, dan sekarang perlombaan hampir mencapai puncaknya.
Aku berdiri di pinggir lintasan, mengamati jalannya perlombaan sambil menunggu giliranku. Aku dijadwalkan menjadi pelari kelima, tepat sebelum pelari terakhir atau anchor.
Namun, tadi seseorang menginjak kakiku dengan keras, dan sekarang punggung kaki kananku bengkak memerah. Rasanya sangat sakit, bahkan hanya untuk berjalan. Sementara itu, di sebelahku, Kusanagi tampak berada dalam kondisi prima, penuh percaya diri.
Ya, tentu saja.
Tim yang saat ini berada di posisi pertama adalah tim Kusanagi. Sementara itu, timku ada di posisi terakhir.
Sejak awal, timku sudah tertinggal jauh karena pelari pertama jatuh sesaat setelah start.
Lebih buruknya lagi, tim Kusanagi dipenuhi oleh atlet berpengalaman, jadi selisih antara kami semakin besar.
Baik dari segi kondisi fisik maupun peringkat saat ini, aku jelas kalah jauh.
Kalau dibiarkan, Kusanagi akan mencapai garis finis di posisi pertama, sementara timku kemungkinan besar akan berakhir di posisi terakhir. Itu adalah skenario terburuk.
Saat ini, poin total Tim Merah lebih tinggi. Jika kami kalah dalam perlombaan ini, peluang untuk membalikkan keadaan akan nyaris mustahil.
Dengan mempertahankan posisi mereka saat ini, Tim Merah akan mengamankan kemenangan.
Itulah mengapa Kusanagi terlihat begitu percaya diri dan santai.
"Kini giliran pelari keempat untuk menerima tongkat estafet! Posisi saat ini masih belum berubah, dengan Tim A Merah tetap unggul di depan! Akankah mereka bisa mempertahankan posisi ini hingga ke anchor? Para pelari kelima kini telah bersiap di lintasan!"
Aku menahan rasa sakit yang menusuk dan diam-diam bersiap di posisiku, menunggu tongkat estafet tiba.
Saat itu, Kusanagi, yang berdiri di lintasan sebelahku, memandangku dengan tatapan meremehkan.
"Keido-kun, sejak tadi kamu terlihat sedikit pincang. Apakah kamu baik-baik saja?"
Kata-katanya terdengar seperti perhatian, tapi aku tahu itu hanya kepura-puraan. Aku yakin dia sedang menertawakanku dalam hati.
Dialah dalang dari insiden ini.
Satu-satunya orang yang menyadari ada yang salah dengan kakiku adalah dia. Itu bukti bahwa dia tahu persis apa yang telah terjadi padaku.
"Aku baik-baik saja. Cuma terinjak sedikit, tidak ada masalah."
Sebenarnya, hanya untuk berjalan saja rasanya menyakitkan. Tapi aku tidak akan pernah menunjukkan kelemahanku di hadapannya.
Aku juga punya sesuatu yang harus aku perjuangkan.
"Begitu ya. Tapi jangan memaksakan diri. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," katanya sambil tersenyum ramah.
Saat aku dan Kusanagi berbincang, para pelari keempat semakin mendekat, membawa tongkat estafet ke arah kami.
"Ayo, di sini!"
Pelari keempat dari timnya mengangkat tangan dan berteriak.
Mendengar suara itu, pelari keempat Kusanagi berlari lurus ke arahnya, dan kemudian—
"Tongkat telah diteruskan ke Kusanagi! Kini giliran sang 'pahlawan' untuk berlari! Akankah ia bisa mempertahankan posisi terdepan hingga ke anchor?"
Siaran pembawa acara menggema penuh semangat. Kusanagi menggenggam tongkat erat dan melesat dengan kecepatan luar biasa.
Dengan cepat, jarak antara kami semakin jauh.
Dia berlari seperti angin, begitu lincah dan cepat.
Dari tribun penonton, suara sorakan menggema:
"Kusanagi-saaan! Semangat!"
"Ayo, kamu bisa!"
"Kami mendukungmu!"
Mendengar sorakan itu, Kusanagi tersenyum puas.
Sial, dia memulai dengan awal yang sempurna.
Setelah Kusanagi mulai berlari, akhirnya tongkat estafetku tiba.
Menerima tongkat estafet dalam posisi terakhir, aku langsung berusaha mengejar punggung Kusanagi.
Aku tidak bisa membiarkan dia menyentuh garis finis lebih dulu. Aku harus mengejarnya dan menyerahkan tongkat kepada Hinami.
Namun, kenyataannya tidak semudah itu.
Setiap kali aku berlari.
Setiap kali aku menjejakkan kaki ke tanah.
Setiap kali aku mencoba mendorong tubuhku ke depan dengan sekuat tenaga.
Rasa sakit itu semakin menusuk.
『Relai Seleksi Tiap Tingkatan Sudah Memasuki Babak Akhir! Saat ini, pelari tim merah memimpin selangkah di depan! Tim A merah berada di posisi pertama, disusul oleh Tim A putih di posisi kedua. Di posisi ketiga ada Tim B merah, dan di posisi keempat ada Tim B putih! Siapakah yang akan memenangkan relai seleksi untuk siswa kelas satu?!』
Perlombaan relai seleksi tiap tingkatan telah berlangsung cukup lama, dan sebentar lagi akan mencapai puncaknya.
Aku menonton dari tepi lintasan sambil menunggu giliranku. Aku akan berlari sebagai pelari kelima, tepat sebelum pelari terakhir atau anchor.
Namun, tadi seseorang menginjak kakiku, menyebabkan punggung kakiku memerah dan membengkak. Berjalan saja sudah terasa sangat sakit. Sementara itu, Kusanagi yang berdiri di sebelahku tampak sangat percaya diri dan dalam kondisi prima.
Ya, tentu saja.
Tim yang saat ini berada di posisi pertama adalah timnya Kusanagi. Sedangkan timku berada di posisi terakhir.
Pelari pertama timku terjatuh tepat saat start, sehingga kami tertinggal cukup jauh.
Selain itu, tim Kusanagi dipenuhi oleh atlet lari, sehingga mereka unggul jauh.
Baik dari segi kondisi maupun peringkat, aku jelas berada dalam posisi yang lebih buruk.
Kalau keadaan terus seperti ini, Kusanagi akan mencapai garis finis di posisi pertama, dan timku mungkin akan tetap berada di posisi terakhir. Itu adalah skenario terburuk.
Total poin tim merah saat ini lebih tinggi. Jika kami kalah di sini, peluang untuk membalikkan keadaan hampir nol.
Jika mereka berhasil mempertahankan peringkat saat ini, kemenangan tim merah akan dipastikan.
Itulah alasan mengapa Kusanagi terlihat begitu percaya diri.
『Baton kini telah diserahkan kepada pelari keempat! Posisi masih tetap sama, dengan Tim A merah yang terus memimpin! Apakah mereka bisa mempertahankan posisi ini hingga anchor? Dan sekarang, para pelari kelima telah bersiap di lintasan!』
Aku menahan rasa sakit yang menusuk di kakiku, lalu berdiri di posisi yang ditentukan, menunggu baton datang.
Saat itu, Kusanagi yang berada di lintasan sebelah menatapku dengan ekspresi sedikit merendahkan.
"Keido-kun, sejak tadi kau terlihat agak pincang. Apa kau baik-baik saja?"
Kata-katanya terdengar seperti menunjukkan kepedulian, tetapi aku tahu itu hanya kepura-puraan. Dia pasti sedang menertawakanku dalam hati.
Dialah yang menyuruh rekannya menginjak kakiku dengan sepatu spike.
Hanya dia satu-satunya yang menyadari ada yang salah dengan kakiku—itu saja sudah cukup sebagai bukti.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit terinjak."
Padahal, berjalan saja sudah menyiksa. Tapi aku tidak akan menunjukkan kelemahan di depan orang seperti dia, sekalipun harus mati.
Aku juga punya sesuatu yang harus kulindungi.
"Begitu ya. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya?"
Kusanagi tersenyum cerah saat mengatakan itu.
Sementara kami berbicara, pelari keempat sudah semakin mendekati kami dengan baton di tangan.
『Gilirannya pelari kelima! Saat ini, baton telah diberikan kepada sang pahlawan, Kusanagi dari Tim A merah! Bisakah ia mempertahankan posisi ini hingga anchor?!』
"Sini, serahkan padaku!"
Dengan suara lantang, Kusanagi mengangkat tangannya.
Pelari keempat langsung mengarah padanya dan menyerahkan baton dengan mulus.
『Baton telah diterima oleh Kusanagi! Kini sang pahlawan telah memegang baton! Akankah ia membawa kemenangan bagi timnya?!』
Dalam sorak-sorai meriah, Kusanagi menggenggam baton erat dan melesat ke depan.
Jarak antara kami semakin jauh.
Gerakannya begitu lincah, seolah-olah membelah angin.
Dari bangku penonton, suara dukungan terdengar nyaring:
"Kusanagi-saaan! Semangat!"
"Ayo, jangan kalah!"
"Kami mendukungmu!"
Sorak-sorai itu tampaknya membuatnya semakin bersemangat, terlihat dari senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Sial. Dia berhasil memulai dengan baik.
Tak lama setelah Kusanagi berlari, baton akhirnya sampai kepadaku.
Aku menerimanya di posisi terakhir, lalu langsung mengejar Kusanagi.
Aku tidak akan membiarkannya menang begitu saja. Aku pasti akan mengejarnya dan menyerahkan baton ke Hinami!
Namun, kenyataan tidak seindah harapan.
Setiap kali aku menjejakkan kaki ke tanah—setiap kali aku mendorong tubuhku untuk berlari—
ZUKIN!
Rasa sakit yang menusuk menjalar hingga ke otakku, seolah ada paku yang dipukul masuk ke dalam kakiku.
Berlari dalam kondisi seperti ini jelas membuatku tidak bisa mencapai performa maksimal.
『Oh tidak! Keido tampak kesulitan! Apakah kakinya cedera?! Ia tidak bisa berlari seperti yang ditunjukkannya dalam lomba sebelumnya! Jika ini terus berlanjut, sulit baginya untuk menyusul pelari lain!』
Aku melirik ke bangku tim putih dan melihat teman-temanku menatapku dengan cemas.
Sial. Betapa menyedihkannya diriku.
Memang, aku mengalami insiden di mana kakiku terinjak, tetapi jika aku tidak bisa membalikkan keadaan di sini, maka semua perjuangan akan sia-sia.
Jika ini terus berlanjut, maka tak akan ada lagi peluang untuk menang…
Apakah ini akhirnya?
TIDAK!
Saat aku hampir menyerah, tiba-tiba, percakapanku dengan Yuuki-san terlintas di pikiranku.
──"Selama kau masih di SMA, aku titipkan dia padamu."
Saat kata-kata itu kembali terngiang di benakku—
Dari dalam tubuhku, kekuatan mulai mengalir kembali.
Kakiku masih terasa sakit.
Namun, meskipun dilanda rasa sakit yang luar biasa, kakiku tetap terus melaju dengan penuh kekuatan.
Aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, tapi aku merasa… kali ini aku bisa melakukannya!
Aku tidak boleh melupakan janjiku.
Aku sudah bersumpah untuk melindungi Hinami!
Aku tidak bisa menyerah hanya karena rasa sakit seperti ini!
Tunggu aku, Kusanagi!
『Apa yang terjadi?! Keido tiba-tiba meningkatkan kecepatannya! Entah bagaimana, ia berlari semakin cepat dan mulai mengejar pelari lainnya!』
Kusanagi menoleh ke belakang dengan refleks, lalu matanya membelalak saat melihatku semakin mendekat.
Ekspresi percaya dirinya yang tadi terlihat jelas mulai memudar.
Menyadari bahaya, ia kembali menatap ke depan dan berusaha berlari lebih cepat.
Tapi aku juga tidak kalah.
Satu per satu, aku mulai menyalip pelari lain.
Rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku semakin menjadi, membuatku ingin menyerah kapan saja.
Tapi aku tak bisa kalah! Aku tak bisa menyerahkan Hinami pada orang sepertimu, Kusanagi!
Saat jarak menuju garis finis tinggal tiga puluh meter—
Aku akhirnya berhasil mengejar Kusanagi dan berlari di sampingnya!
Aku menyerahkan sisanya kepada Hinami dan mengalihkan pandanganku ke belakang.
Di sana, tepat di belakangku, Kusanagi yang baru saja menyerahkan tongkat estafet berdiri terengah-engah, menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. Kepalan tangannya menggenggam erat seolah menahan perasaan yang meluap-luap.
“Ke... kenapa... Kenapa kau selalu selangkah di depanku?! Baik saat lomba lari dengan barang pinjaman maupun pertarungan kuda kemarin! Kenapa kau selalu menghalangi jalanku?!”
Pria tampan yang biasanya terlihat tenang dan berwibawa itu kini menunjukkan ekspresi penuh amarah, seperti iblis yang murka.
Sepertinya dia sangat frustrasi terhadapku.
Rencana Koi berhasil, membuat strategi Kusanagi tidak berfungsi. Dan dalam estafet terakhir ini, aku benar-benar menyusulnya dengan kekuatan murni.
Tidak heran kalau dia kehilangan ketenangannya. Sebagai bintang yang selalu mendapat sorotan, kegagalan berturut-turut seperti ini pasti menghantamnya keras. Bahkan jika tim merah menang, peluangnya mendapatkan gelar MVP sudah menipis.
Dengan tubuh yang babak belur, aku berusaha bangkit dan berdiri perlahan.
“Aku tidak bermaksud menghalangimu. Aku hanya… sedang melindungi seseorang.”
"Apa? Melindungi...?"
Kusanagi terkejut dengan jawabanku.
Siapa yang sedang kulindungi?
Sepertinya dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi aku mengabaikannya dan melangkah ke dalam lintasan.
Tak ada yang perlu kukatakan padanya.
Dan tepat setelah aku masuk ke dalam lintasan—
"Hi-Hinami berhasil finis di posisi pertamaaaa!! Dia berhasil meninggalkan tim merah A dan mencapai garis finis di urutan pertamaaa!!"
"Uooooooohhhh!!!"
Sorakan menggema di seluruh arena, menjadi puncak kegembiraan hari ini.
Setelah melewati garis finis, Hinami langsung berbalik ke arah tribun penonton.
"Semuanya! Terima kasih atas dukungannya! Aku senang bisa finis di posisi pertama!"
Sambil tersenyum, Hinami melambaikan tangannya ke arah para penonton di tribun.
Dia menerima tepuk tangan meriah dan pujian dari banyak siswa.
"Ehehe."
Dengan senyum bahagia, dia mengacungkan dua jari membentuk tanda damai ke arah tribun.
Ekspresi cerianya yang menggemaskan membuat suasana semakin meriah.
Bagus! Berkat Hinami, kami berhasil mencapai garis finis di posisi pertama.
Di tengah sorak-sorai yang ditujukan kepadanya, aku perlahan menyeret kakiku yang masih sakit dan berjalan kembali ke tribun.
Kurasa, setidaknya aku sudah berkontribusi sedikit dalam menciptakan kenangan indah untuk Hinami.
Chapter 17 – Kebenaran
Setelah estafet pilihan berdasarkan tingkatan selesai, seluruh rangkaian acara di festival olahraga pun berakhir dengan lancar.
Saat ini, kami sedang menunggu pengumuman hasil akhir. Masih ada sedikit waktu luang, sehingga kami diperbolehkan beraktivitas dengan bebas.
Aku—Kujo Hinami, memanfaatkan waktu kosong ini untuk memanggil seseorang ke belakang gedung sekolah.
Aku sengaja memilih tempat yang sepi agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan kami. Aku secara diam-diam memberitahunya bahwa aku ingin bertemu hanya berdua di sini.
Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya.
Sesuatu yang sudah lama ingin kupastikan.
Namun, karena rasa bahagia bisa bertemu dengan penyelamatku dan kesibukan dalam mempersiapkan festival olahraga, aku kehilangan kesempatan untuk menanyakannya.
Oleh karena itu, aku ingin mendengarnya sekarang. Aku ingin memastikan kebenarannya.
Apakah Kusanagi-san benar-benar orang yang menyelamatkanku waktu itu?
“A-a… ano! Maaf karena tiba-tiba memanggilmu ke sini, Kusanagi-san.”
Saat aku menatapnya dengan serius, Kusanagi-san justru tersenyum hangat padaku.
“Tidak apa-apa, Kujo-san. Aku sama sekali tidak keberatan.”
“Ah, terima kasih. Aku hanya ingin mengonfirmasi sesuatu, jadi ini tidak akan lama!”
“Oh ya? Tapi aku tidak keberatan mengobrol lebih lama di sini.”
“Ti-tidak! Ti-tidak perlu! Waktu kita terbatas, jadi aku akan langsung ke intinya!”
Aku menggelengkan kepala dengan panik dan langsung masuk ke topik utama.
“Aku memanggilmu ke sini karena ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
“Sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku?”
“Y-ya. Ini dia.”
Aku merogoh saku dan mengeluarkan sebuah benda, lalu menunjukkannya pada Kusanagi-san.
Saat aku mengetahui bahwa Kusanagi-san adalah siswa laki-laki yang telah menyelamatkanku waktu itu, aku merasa sangat bahagia.
Benar-benar bahagia.
Aku merasa ini adalah pertemuan yang ditakdirkan.
Namun…
Ada sedikit rasa tidak nyaman yang mengganjal.
Aku tidak ingat pernah melihat punggungnya sebelumnya.
Aku ingin percaya, tetapi aku tidak bisa sepenuhnya yakin.
Karena itulah, aku ingin mengetahui apakah dia mengenali jimat ini atau tidak.
“A-ano… Kusanagi-san, apakah kamu pernah melihat jimat ini sebelumnya?”
Jantungku berdegup kencang, seolah-olah akan meledak kapan saja.
Aku sangat gugup, rasanya seperti sedang mengungkapkan perasaan.
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Kusanagi-san adalah orang yang sebenarnya atau bukan.
Jika dia benar-benar siswa yang menolongku waktu itu, maka dia pasti mengenali jimat ini.
Saat aku menatapnya dengan penuh keseriusan, Kusanagi-san akhirnya membuka mulutnya.
“Tidak pernah melihatnya. Kenapa memangnya?”
Begitu mendengar jawabannya—
Pikiranku langsung menjadi kosong, dan aku tidak bisa menerima kenyataan ini.
Aku terlalu terkejut hingga tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Selama ini, dia selalu ada di sisiku.
Namun…
Semuanya ternyata hanyalah kebohongan.
Dia telah menipuku, menipu semua orang, dan menerima pujian yang bukan miliknya.
Pikiranku yang kosong perlahan mulai memahami situasi ini. Seiring dengan itu, kemarahan yang berasal dari lubuk hatiku mulai membara.
Orang ini… telah membohongiku selama ini.
Aku tidak tahu apa alasannya.
Namun, dia telah mempermainkan perasaanku dengan kebohongannya.
Dan aku sama sekali tidak menyadarinya…
“Hm? Ada apa, Kujo-san? Wajahmu terlihat pucat,” Kusanagi-san bertanya sambil menatap wajahku dengan cemas.
“Ti-tidak! Tidak ada apa-apa! Ah! Waktu kita hampir habis, jadi aku harus segera kembali! Aku akan pergi duluan!”
Aku membalikkan badan dan berlari meninggalkan tempat itu seolah melarikan diri.
Meskipun Kusanagi-san memanggil, ‘Kenapa tiba-tiba pergi?! Tunggu dulu!’, aku mengabaikannya dan terus berlari sambil menggertakkan gigi.
Aku merasa sangat menyedihkan.
Saat hatiku mulai goyah karena hubungan Ryo-kun dan Yuri, Kusanagi-san muncul.
Namun, ternyata semua itu hanya kebohongan.
Tidak ada yang namanya takdir. Aku hanya telah tertipu.
Aku merasa sangat kecewa…
Di saat yang sama, aku marah pada diriku sendiri karena begitu mudah percaya.
Kenapa aku tidak lebih curiga sejak awal?
Aku benar-benar bodoh…
Saat aku terus berlari sambil menggenggam jimat itu erat-erat, tanpa kusadari, air mataku jatuh satu per satu.
***
Waktu istirahat telah berakhir, dan akhirnya pengumuman hasil kemenangan serta MVP akan segera diumumkan.
Belum ada yang tahu kelompok mana yang akan menang dan siapa yang akan terpilih sebagai MVP.
Seluruh siswa berdiri rapat di lapangan, menunggu dengan tenang saat pengumuman hasil tiba.
Kemudian, Putri Sadis, Koi-san, yang berdiri di sebelahku, menyilangkan tangan dan menyapaku.
"Bagaimana? Apa menurutmu kita punya peluang menang di festival olahraga ini?"
"Yah, karena semua strategi Koi-san berjalan dengan sempurna, kita berhasil melaluinya. Serius, kau memang luar biasa."
"Ini hal yang biasa saja. Aku tidak melakukan sesuatu yang luar biasa."
"Sampai di titik ini, aku bahkan merasa sedikit takut padamu."
"Perempuan yang bisa membuat orang ketakutan adalah yang paling menarik, bukan? Tak peduli di organisasi mana pun, mereka selalu bisa menunjukkan kekuatan mereka."
"Y-Ya, mungkin kau benar..."
"Yang tersisa hanya memastikan kelompok putih menang dan seseorang selain Kusanagi yang dipilih sebagai MVP. Itu saja."
"Benar. Kita sudah melakukan semua yang kita bisa. Sekarang tinggal menyerahkan semuanya pada takdir."
Saat aku mengatakannya, tiba-tiba mikrofon di panggung utama dinyalakan, dan suara Hana-sensei terdengar lantang.
"Baiklah, para siswa dari kedua sekolah. Kalian semua sudah bekerja keras! Aku benar-benar menikmati pertandingan yang sangat sengit ini. Festival olahraga gabungan pertama ini berjalan dengan luar biasa, dan aku sangat senang melihatnya. Sekarang, saat yang kalian tunggu-tunggu! Pengumuman hasil! Kelompok putih atau kelompok merah, siapa yang menang? Dan siapa yang paling bersinar di festival olahraga ini? Pertama-tama, mari kita umumkan pemenangnya. Pemenang festival olahraga gabungan tahun ini adalah..."
Hana-sensei sengaja membuat jeda selama beberapa detik. Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat.
Siapakah yang akan menang!?
Saat semua orang menahan napas menunggu, akhirnya Hana-sensei mengumumkan dengan lantang:
"Kelompok putih menang! Pemenang festival olahraga tahun ini adalah kelompok putih! Selamat!"
"YAAAHHHH!"
Sontak, seluruh anggota kelompok putih bersorak penuh kegembiraan.
Ketika aku melihat sekeliling, beberapa orang saling berpelukan karena saking bahagianya, ada yang melompat-lompat kegirangan.
Aku pun ikut larut dalam euforia itu dan mengepalkan tangan dengan penuh semangat.
Baiklah! Karena kelompok kita menang, ini berarti Kusanagi tidak akan terpilih sebagai MVP!
Setidaknya, masalah terbesar telah dihindari. Aku berhasil mencegah Hinami dan Kusanagi menjadi pasangan.
"Huff... akhirnya aku bisa bernapas lega," gumamku.
"Bagus. Kita berhasil menjaga Hinami dari Kusanagi," kata Koi-san dengan nada puas.
"Ya, aku juga merasa lega," jawabku.
"Tapi jangan lengah. Ini belum berakhir. Setelah festival olahraga, masih ada kemungkinan mereka berdua semakin dekat. Jadi tetaplah waspada."
"Ya, tentu!"
Sambil menikmati kemenangan, Hana-sensei melanjutkan dengan pengumuman MVP.
"Kerja bagus juga untuk kelompok merah! Menang atau kalah, yang penting adalah menikmati momen ini! Sekarang, terakhir, mari kita umumkan MVP. Pemain terbaik festival olahraga tahun ini adalah... Kujo Hinami, yang menunjukkan performa luar biasa di pertarungan kuda dan estafet! MVP tahun ini adalah Hinami!"
Begitu nama Hinami diumumkan, lapangan langsung dipenuhi kegaduhan.
"Benar juga, Kujo memang yang paling bersinar hari ini!"
"Dia memang tampil luar biasa. Aku sudah menduganya!"
"Sudah kuduga, Hinami-san yang terpilih! Dia memang jadi pusat perhatian!"
Hinami yang dipilih sebagai MVP? Memang sih, dia tampil luar biasa, tapi aku tidak menyangka dia benar-benar akan dipilih.
Selama ini, kami hanya fokus mencegah Kusanagi menjadi MVP, sampai-sampai tidak mempertimbangkan siapa yang akan menggantikannya.
"Kalau begitu, mari kita minta MVP kita, Hinami, maju ke depan dan memberikan sedikit pidato!"
Dari barisan depan, terdengar suara lantang Hinami menjawab, "Ya!"
Dia keluar dari barisan dan berlari ke panggung utama, lalu mengambil mikrofon dari Hana-sensei.
Sambil menundukkan kepala dengan sopan, dia berbicara dengan sedikit gugup.
"A-Aku, Kujo Hinami, siswa tahun pertama dari Tokinozawa! Aku sangat senang terpilih sebagai MVP dalam festival olahraga gabungan tahun ini! Semua ini berkat kerja sama kalian semua! Terima kasih banyak!"
Seketika, tepuk tangan meriah memenuhi lapangan.
Di tengah kegembiraan itu, tiba-tiba terdengar suara dari seorang siswa senior laki-laki.
"Karena terpilih sebagai MVP, dengan siapa kau akan berdansa di pesta malam nanti!? Dengan Kusanagi!?"
Suara-suara lain segera mengikuti.
"Apakah kau akan memilih Kusanagi sebagai pasangan dansamu?"
"Seperti pahlawan sejati dan gadis yang diselamatkan, bukankah itu romantis?"
"Wuuuh! Ayo, pacaran saja dengan Kusanagi!"
Sial, aku lupa tentang ini...
Kami memang berhasil mencegah Kusanagi menjadi MVP, tetapi kami tidak memikirkan kemungkinan Hinami yang terpilih!
Mereka memiliki cerita yang hampir seperti film romantis—seorang gadis yang diselamatkan oleh pahlawan misterius, lalu bertemu kembali secara ajaib.
Ditambah lagi, keduanya memiliki penampilan menawan dan populer.
Kalau Hinami memilih Kusanagi di sini...
Semuanya akan berakhir. Kusanagi pasti akan mengaku cinta di tengah dansa, dan mereka akan resmi menjadi pasangan.
Aku melirik ke arah Koi-san dan melihatnya menggigit kukunya dengan ekspresi tegang.
"Ini buruk. Ini di luar dugaan. Aku tidak mempersiapkan skenario di mana Hinami yang terpilih. Jika dia memilih Kusanagi, semuanya tamat!"
Bahkan Koi-san yang biasanya tenang kini terlihat gelisah.
Tidak, ini sudah tamat. Hinami pasti akan memilih Kusanagi.
Dari kegembiraan menuju keputusasaan. Aku hampir menyerah.
Tapi saat itu, Hinami menggenggam mikrofon dengan erat dan berkata dengan suara lantang.
"…Aku tidak akan pernah memilih Kusanagi."
Dalam sekejap, suasana di lapangan menjadi sunyi.
Hening. Tak seorang pun berbicara.
Apa...? Kenapa dia tidak memilihnya? Bukankah Kusanagi adalah orang yang menyelamatkannya?
Semua orang pasti berpikir hal yang sama. Namun, mengapa...
Sambil semua orang kebingungan, Hinami mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan mengangkatnya agar semua bisa melihatnya.
Dari kejauhan, tidak terlalu jelas, tapi... itu sepertinya... jimat?
"Di tanganku ini ada jimat milik orang yang menyelamatkanku saat itu. Dia menjatuhkannya sebelum pergi tanpa memberitahukan namanya. Aku berjanji akan mengembalikannya jika aku bertemu dengannya lagi. Tapi... Kusanagi bilang dia tidak mengenal jimat ini. Jika dia memang penyelamatku, dia pasti akan mengenalinya. Itu sebabnya..."
Hinami menarik napas dalam-dalam dan dengan suara lantang menyatakan:
"Dia adalah penipu."
Kenyataan mengejutkan itu membuat semua orang terdiam.
Kusanagi, yang selama ini dianggap sebagai pahlawan dan mendapatkan begitu banyak pujian, kini kehilangan semua kepercayaannya dalam sekejap.
Akhirnya, kebenaran bahwa identitas asli dirinya adalah palsu menjadi terbongkar di depan semua orang.
"T-tunggu sebentar, Kujo-san! Aku adalah orang yang sebenarnya! Aku tidak berbohong! Aku hanya lupa seperti apa jimat itu karena sudah lama tidak melihatnya!"
Dari barisan kelompok merah, terdengar suara putus asa yang mencoba mencari alasan.
Namun, Hinami tetap membalas dengan tenang.
"Begitukah? Kalau begitu, di mana Anda membeli jimat ini? Atau dari kuil mana Anda mendapatkannya? Jika memang Anda adalah pemiliknya, seharusnya Anda mengingatnya dengan jelas."
"A-anu… itu…"
Tentu saja, Kusanagi tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini. Karena dia bukan orang yang sebenarnya.
Dia tidak mungkin tahu dari mana jimat itu berasal.
"Saat Anda mengaku sebagai pahlawan itu, saya benar-benar merasa sangat senang. Tapi, entah kenapa, saya tidak merasa mengenali punggung Anda. Itu adalah punggung yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya ingin memastikan kebenarannya, tetapi karena waktunya tidak tepat, saya terlambat menyadarinya. Namun, sekarang saya tahu siapa Anda sebenarnya. Kusanagi-san, Anda telah memanfaatkan perasaan saya dan menipu saya. Apa pun yang terjadi setelah ini, saya tidak akan pernah memaafkan Anda!"
Setelah mengatakan itu dengan tegas, Hinami mengembalikan mikrofon kepada guru Hana dan kembali ke tempatnya semula.
Dan pada saat yang sama,
"Tidak mungkiiiiin!!"
Suara Kusanagi yang jatuh terdengar jelas di telingaku.
Chapter 18 – Identitas
Pengumuman hasil festival olahraga telah selesai, dan sebentar lagi pesta dansa malam akan dimulai.
Sementara para siswa lain sibuk bersiap-siap untuk acara tersebut, hanya aku dan Koi-san yang diam-diam bertemu di belakang gedung sekolah.
Sambil menunggu dansa dimulai, kami membahas kejadian-kejadian hari ini.
“Tak kusangka Hinami bisa menyadari sendiri identitas asli Kusanagi. Aku sendiri sudah benar-benar lupa soal jimat itu. Sepertinya kita benar-benar dibantu oleh dewa.”
“Benar juga. Aku sendiri yang menjatuhkannya, tapi aku sampai lupa kalau jimat itu ada.”
Tujuan dari rencana kami adalah untuk mencegah Kusanagi dan Hinami menjadi pasangan dalam festival olahraga.
Awalnya, kami berniat memikirkan langkah selanjutnya nanti, tapi situasi berubah.
Hinami sendiri yang berhasil membongkar identitas Kusanagi, lalu mengumumkan di depan seluruh siswa bahwa dia adalah pembohong.
Sungguh tak terduga kalau semuanya akan berakhir seperti ini.
Ngomong-ngomong, setelah kejadian itu, Kusanagi menerima hujatan besar-besaran.
"Berani-beraninya kau menipu kami!"
"Dasar pengecut!"
"Pria paling rendah dan menjijikkan!"
Serangan dari berbagai arah membuat senyum cerahnya yang biasa terlihat hancur, hingga ia menangis tersedu-sedu.
Harga yang harus dibayar karena menipu Hinami dan memanfaatkan hati semua orang sangatlah besar. Kini, ia bisa dikatakan telah kehilangan segalanya—kepercayaan, teman, dan sahabat.
Saat ini, dia sedang berada di ruang kepala sekolah SEIRIN, diinterogasi tentang alasan mengapa dia berbohong dan mengaku sebagai orang lain.
Kasus ini sudah cukup membuat media gempar, jadi jelas ini tidak akan selesai hanya dengan kata "maaf".
Kemungkinan besar dia akan diskors, atau dalam skenario terburuk, dikeluarkan dari sekolah.
“Awalnya aku pikir Koi-san yang membisikkan sesuatu pada Hinami, tapi ternyata bukan, ya?”
“Tidak. Aku tidak melakukan apa pun. Siapa sangka jimat yang dulu itu bisa membawa kita ke hasil seperti ini.”
Koi-san melanjutkan,
“Sekarang, kita tak perlu khawatir lagi soal Hinami dan Kusanagi. Itu cukup melegakan, tapi... kamu baik-baik saja? Kakimu terlihat sangat kesakitan saat lomba lari terakhir tadi.”
Dia melirik ke arah kakiku yang kanan.
Memang masih terasa sakit, tapi agar dia tak khawatir, aku tersenyum.
“Tidak apa-apa. Cuma terinjak sedikit.”
“Hm… begitu. Kalau begitu, apa kamu akan ikut dansa setelah ini?”
“Yah, kalau hanya menari, aku masih bisa. Tapi aku tidak akan ikut.”
“...Eh? Kamu tidak ikut? Kenapa? Hampir semua orang pasti ikut.”
Seperti yang dikatakannya, dansa adalah acara penutup pesta malam, jadi kebanyakan siswa akan berpartisipasi.
Terlebih lagi, tahun ini adalah festival olahraga gabungan, yang artinya kesempatan bagi siswa laki-laki dan perempuan untuk bertemu dan berpasangan lebih banyak dari biasanya.
Tapi, aku masih belum punya pasangan. Aku tidak punya seseorang untuk diajak berdansa.
Meskipun kakiku masih sakit, aku masih bisa menari sedikit. Tapi kalau tidak ada pasangan, ya percuma.
“Kalau aku ikut pun, aku tidak punya pasangan. Lagipula, aku rasa tidak akan ada yang memilihku. Jadi aku pulang saja.”
“Tapi ini hanya terjadi setahun sekali, lho. Kenapa tidak ikut saja?”
“Tujuan utama kita sudah tercapai. Jadi menurutku itu sudah cukup.”
“…Begitu ya. Yah, aku tak bisa memaksamu ikut kalau kau tak mau.”
Koi-san terlihat tidak puas. Kukira dia akan memaksaku ikut, tapi ternyata tidak. Itu sedikit di luar dugaan.
“Kalau begitu, aku tidak akan ikut dansa, jadi aku akan segera pulang. Lagipula, tidak ada gunanya aku di sini. Ah, Koi-san, sebelum aku pergi, bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Apa itu?”
Setelah jeda singkat, meski merasa sedikit gugup, aku menatap matanya dengan serius.
“…Terima kasih banyak. Kalau bukan karena kamu, semuanya tidak akan berjalan sebaik ini. Aku sangat terbantu. Terima kasih.”
Berkat bantuannya, kami bisa mencapai titik ini. Meskipun ada banyak hal yang merepotkan dan momen-momen di mana aku jadi bahan ejekan, aku yakin tanpa dia, ini tidak akan berhasil.
Itulah kenapa aku ingin mengucapkan terima kasih.
Mendengar kata-kataku, telinga Koi-san tiba-tiba memerah. Dia langsung memalingkan wajahnya dan berkata dengan nada kacau,
“B-bukan apa-apa! Ini hal yang biasa! K-kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti itu?! D-dasar idiot!”
Wah, ternyata Koi-san sangat lemah kalau dipuji.
Ini benar-benar penemuan besar.
Jadi kalau dia dipuji, dia akan langsung tersipu malu, ya?
“Berarti aku menemukan kelemahan Koi-san! Selama ini aku yang selalu jadi sasaran keisengannya, tapi kali ini aku yang akan membalasnya!”
Ketika aku baru saja merasa sedikit menang, tiba-tiba wajah Koi-san yang tadinya merah berubah datar.
Dalam sekejap, udara di sekitar kami menjadi dingin.
“…Hah? Mau aku hancurkan hidupmu? Secara sosial, maksudnya.”
"Ah, iya. Maaf..."
Ya ampun, orang ini benar-benar menakutkan! Apa-apaan tatapan itu!? Seperti binatang buas yang mengincar mangsanya! Tatapan itu jelas mengatakan, "Jangan kelewatan, ya."
Cepat sekali dia berubah sikap.
“Y-yah, kalau begitu, aku akan bersiap-siap lalu pulang.”
Aku merasa nyawaku dalam bahaya jika tetap di sini, jadi aku memutuskan untuk pergi.
Namun, tiba-tiba Koi-san meraih tanganku dan menghentikan gerakanku.
“D-dan, kenapa, Koi-san?”
“Aku juga ingin menanyakan sesuatu.”
Tanpa memedulikan reaksiku, dia mengajukan pertanyaan ini:
“Kenapa kau tidak mengungkapkan identitasmu sekarang?”
“...Hah? Maksudmu?”
“Sekarang semua orang sudah tahu bahwa Kusanagi adalah seorang penipu, bukan? Ini adalah kesempatan emas bagimu untuk mengungkapkan kebenaran. Jika kau melewatkan ini, kesempatan seperti ini mungkin tidak akan pernah datang lagi. Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan itu? Aku tahu kau masih terpikirkan temanmu yang tidak bisa kau selamatkan, tapi... apa kau akan menyembunyikan jati dirimu selamanya?”
Benar, kata-kata Koi-san ada benarnya.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Jika aku tidak melakukannya sekarang, maka aku mungkin tidak akan pernah bisa.
Tapi... tetap saja.
Aku akan tetap menyembunyikan identitasku.
“Hinami adalah cahaya yang menerangi semua orang.”
“Hah?”
“Hinami itu ceria, cantik, dan disukai oleh semua orang. Dia bisa membuat orang lain merasa bahagia hanya dengan kehadirannya. Karena itulah... aku ingin tetap berada di bayangan yang dia ciptakan. Aku hanya ingin mendukungnya dari belakang. Jadi, biarkan semuanya tetap seperti ini.”
Saat aku mengatakan itu, Koi-san perlahan melepaskan tangannya dari genggamanku, sepertinya dia sudah mengerti.
“Baiklah. Aku mengerti... Kalau begitu, teruslah melindungi dia, Pahlawan Bayangan.”
“Ya. Sampai jumpa.”
Aku pun pergi meninggalkan Koi-san.
Tugasku sudah selesai. Sekarang aku hanya ingin pulang dan beristirahat di rumah.
________________________________________
Sementara itu, Koi dan Ryo sedang berbicara diam-diam di belakang gedung sekolah agar tidak ada yang mendengar mereka.
Namun, tanpa mereka sadari, ada seseorang yang secara kebetulan mendengar percakapan mereka.
(A-apa!?)
(I-ini tidak mungkin! Jadi Ryo... dia adalah pahlawan sejati dari waktu itu!?)
Orang yang diam-diam mendengar percakapan mereka pun terkejut dan tidak bisa menutup mulutnya.
(Jadi selama ini, Ryo dan Koi-chi bekerja sama di balik layar!?)
Orang yang menguping itu adalah...
Teman sesama pemain rhythm game Ryo, Yuri.
Dia awalnya mengikuti Ryo untuk mengajaknya berdansa bersama, tetapi secara tidak sengaja malah mendengar percakapan mereka.
Mengetahui fakta mengejutkan ini, tubuh Yuri hampir kehilangan kekuatannya. Namun, dia berusaha keras menahan diri dan segera berlari menjauh dari tempat itu.
Chapter 19 - Aku...
“Bohong… kan?”
Tak mungkin! Aku sama sekali tidak menyadarinya!
Ryo… ternyata dialah pahlawan yang telah menyelamatkan Hinami!
Aku tidak tahu bagaimana Koicchi bisa mengetahui identitas aslinya, tapi yang jelas mereka berdua telah bekerja sama untuk melindungi Hinami dari Kusanagi.
Sekarang aku juga mengerti kenapa Ryo berlari di estafet terakhir dengan tubuh yang hampir roboh.
Itu semua demi melindungi Hinami.
Sungguh mengejutkan bahwa pahlawan itu selama ini ada begitu dekat denganku.
Tapi, kenapa dia tidak mengatakan yang sebenarnya kepada Hinami?
Apa ada alasan yang lebih dalam?
Aduh, aku baru saja mendengar sesuatu yang luar biasa! Aku harus bagaimana sekarang!?
Mungkin mereka belum menyadari bahwa aku mencuri dengar. Kalau begitu, lebih baik aku berpura-pura tidak tahu dan tetap mengajak Ryo berdansa?
Tapi… aku malah jadi gugup! Apa aku bisa bersikap biasa saja di depan seorang pahlawan sungguhan?
Haaah… aku harus bagaimana? Bagaimana dengan dancenya?
Setelah memastikan aku sudah cukup jauh dari belakang gedung sekolah, aku mulai berjalan di sekitar lapangan.
Saat melihat sekeliling, aku melihat banyak pasangan yang sudah berpasangan dan bersenang-senang.
Ugh… ugh! Ini para pasangan bahagia! Sekelompok riajuu!
Enaknya mereka bisa berdansa dengan orang yang mereka sukai. Aku juga ingin mengajak Ryo…
Tapi… gimana, ya? Aku agak khawatir.
A-atau… mungkin aku bisa menghubunginya lewat ponsel?
Aku merogoh saku dan mengeluarkan ponselku, bersiap untuk mengirim pesan kepada Ryo.
Namun, saat itu juga, aku mendengar suara seseorang dari belakang.
"A-ano, Hinami-san! Kalau tidak keberatan, maukah kau berdansa denganku!?"
"A-aku juga belum punya pasangan! Aku memang bukan pahlawan, tapi aku tetap ingin berdansa dengan Kujo-san!"
"Kujo-san! Tolong berdansalah denganku!"
"T-tenang dulu, semuanya!"
Saat aku berbalik, aku melihat sekelompok anak laki-laki yang mengerumuni Hinami, sementara dia tersenyum kecut karena bingung menghadapi mereka.
Ah… dia terlihat kesulitan.
Paling tidak ada sepuluh orang yang mengajaknya berdansa.
Mungkin ini wajar. Bagaimanapun juga, Hinami mendapatkan penghargaan MVP, jadi perhatian seperti ini tak terhindarkan.
Tapi… dengan siapa dia akan berdansa? Aku penasaran.
Tapi daripada memikirkan orang lain, aku harus memikirkan diriku sendiri.
Aku harus mengumpulkan keberanian dan menghubungi Ryo…
Aku bersiap mengirim pesan lewat ponsel.
Tapi…
Untuk alasan yang tak kumengerti, tanganku tidak bisa bergerak.
Pikiran tentang hubungan antara Ryo dan Hinami terus berputar di kepalaku.
Ryo telah menyembunyikan identitasnya selama ini, tetap berada dalam bayangan untuk melindungi Hinami.
Dia bahkan tidak memberi tahu siapa pun kecuali Koi-san, dan berjuang sendirian demi Hinami.
Di sisi lain, Hinami, meskipun sempat tertipu oleh seorang penipu, masih terus mencari sosok pahlawan sejati.
Mereka berdua begitu dekat, namun tidak bisa benar-benar bertemu.
Apa ini benar?
Hari ini, Ryo sudah bekerja keras untuk melindungi Hinami. Dia sudah berjuang mati-matian. Tapi sekarang dia akan pulang begitu saja tanpa ada yang mengakui jasanya?
Padahal, Hinami juga pasti ingin bertemu dengan penyelamatnya.
Setelah mengetahui hubungan mereka, apakah aku bisa dengan egoisnya menikmati dansa sendirian?
Bisakah aku benar-benar menikmatinya?
Saat memikirkan itu, tanpa sadar aku menutup layar ponselku.
Aku tidak bisa mengabaikannya.
Aku menyukai Ryo. Aku sangat menyukainya.
Tapi meskipun begitu…
Dia sudah berjuang sekuat tenaga, setidaknya dia pantas mendapatkan penghargaan. Aku tidak bisa hanya berpura-pura tidak tahu dan menikmati kebahagiaanku sendiri.
Setelah mendengar percakapan mereka, aku juga punya sesuatu yang harus kulakukan.
Jika aku hanya memikirkan kebahagiaanku sendiri, itu tidak benar!
Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana.
Lalu, tanpa ragu, aku berjalan masuk ke dalam kerumunan anak laki-laki yang mengelilingi Hinami.
Aku berdiri di hadapan Hinami, lalu meraih tangannya erat-erat.
"Eh? Yuri? Kenapa tiba-tiba begini?"
Mengabaikan ekspresi terkejut Hinami, aku menatap tajam ke arah anak-anak laki-laki yang mengerumuninya dan berkata—
"Wah~ maaf ya semuanya~. Sebenarnya, aku disuruh sensei untuk membawa Hinami. Jadi, aku pinjam dia sebentar ya!"
Tentu saja itu bohong. Hinami sama sekali tidak dipanggil oleh sensei. Tapi, aku merasa ini adalah alasan yang tepat untuk keluar dari situasi ini, jadi kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Ayo, Hinami! Kita pergi!"
"Eh!? T-tunggu sebentar, Yuri!?"
Hinami terlihat bingung, tapi aku tetap menarik tangannya dan membawanya pergi secara paksa.
"Ah, Hinami-san!"
"Hei, tunggu sebentar!"
"T-tidak! Kenapa harus sekarang!?"
Terdengar suara keluhan dari belakang, tapi aku mengabaikannya dan terus berlari lurus ke depan.
Maaf ya, Hinami. Aku tahu ini terlalu mendadak, tapi aku merasa ini satu-satunya cara untuk keluar dari situasi itu.
Setelah berlari cukup jauh hingga kami benar-benar terpisah dari para siswa laki-laki, aku akhirnya berhenti dan perlahan melepaskan genggaman tanganku.
Kurasa, sejauh ini tidak akan ada yang mengejar kami. Harusnya sudah aman.
"Maaf ya, Hinami~. Aku membawamu pergi begitu saja."
Aku menggaruk bagian belakang kepalaku sambil tersenyum canggung.
Kupikir dia akan marah, tapi ternyata tidak.
"Tidak apa-apa. Aku juga agak kesulitan tadi, jadi terima kasih sudah menolongku."
Ternyata, aku malah menyelamatkannya. Beruntung sekali.
"Jadi, kenapa aku harus dipanggil sensei?"
Hinami menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, dan aku pun memutuskan untuk berkata jujur.
"Sebenarnya… itu bohong. Aku punya permintaan untukmu."
"Permintaan?"
"Iya… J-jadi begini. Ryo sepertinya tidak punya pasangan untuk berdansa dan akan segera pulang. Jadi… kalau bisa… maukah kau berdansa dengannya?"
"Eh? Aku?"
"Iya. Aku sendiri berencana berdansa dengan Koicchi. Toh, pesta ini memperbolehkan pasangan sesama jenis juga. Kalau kamu masih belum punya pasangan dan tidak keberatan, maukah kau berdansa dengan Ryo?"
"T-tapi, Yuri… bukankah kamu menyukai Ryo-kun…?"
"Tidak usah pikirkan aku. Memang, aku menyukainya. Tapi hari ini, aku ingin mengobrol lebih banyak dengan Koicchi. Lagipula, yang selalu mendukungmu dari bayangan adalah Ryo, kan? Saat lomba estafet, saat perang kuda, dia sudah banyak membantumu. Jadi, tolonglah berdansa dengannya, ya?"
Sebenarnya, aku bisa saja langsung memberitahu Hinami tentang kebenaran ini sekarang juga.
Kalau aku melakukannya, itu pasti akan menjadi momen terbaik—sosok palsu akan menghilang, dan sosok asli akan muncul di hadapan Hinami.
Tapi… dari percakapan yang kudengar, Ryo tampaknya ingin tetap merahasiakan identitasnya.
Aku merasa tidak seharusnya mengabaikan perasaannya dan membocorkan semuanya begitu saja.
Jadi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memastikan mereka berdua menjadi pasangan dansa.
Ryo sudah berusaha begitu keras di balik layar. Aku tidak ingin dia pulang begitu saja tanpa mendapat apa pun.
Dia sudah melindungi sahabatku. Setidaknya, aku ingin melakukan sesuatu sebagai bentuk terima kasih.
Aku ingin, saat kami dewasa nanti dan mengenang masa lalu, Ryo bisa berkata, "Festival olahraga saat kelas satu SMA itu sangat menyenangkan."
Mungkin ini hanyalah tindakanku yang egois.
Tapi, aku ingin Ryo menikmatinya.
Aku menatap Hinami dengan serius dan penuh tekad.
Seakan merasakan perasaanku, Hinami pun tersenyum tipis dan berkata,
"Begitu ya… Baiklah! Aku akan mengajaknya!"
Mendengar itu, aku juga ikut tersenyum lebar.
"Itu baru Hinami! Ryo mungkin ada di dekat gerbang utama, jadi cepat temui dia!"
"Terima kasih, Yuri! Aku akan segera pergi!"
"Ya! Jaga Ryo baik-baik!"
Aku mengacungkan jempol ke arah Hinami. Itu seakan menjadi tanda, dan seketika, Hinami berbalik lalu berlari menuju gerbang utama.
Aku menatap punggungnya yang semakin lama semakin jauh.
Inilah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk sekarang.
Aah… aku sebenarnya ingin berdansa dengan Ryo…
Tapi, Ryo sudah berjuang mati-matian untuk melindungi Hinami.
Kalau aku mengambil Ryo untuk diriku sendiri sekarang, rasanya itu tidak adil.
Jadi, untuk kali ini, aku akan mengalah. Semoga berhasil, Hinami.
Tapi ingat, lain kali aku tidak akan menyerah! Aku juga ingin berjuang demi cintaku!
Chapter 20 – Undangan
Ah— Badanku sakit sekali. Aku memaksakan diri berlari saat estafet pilihan dan akhirnya terjatuh dengan keras.
Sepertinya besok aku bakal kena nyeri otot dan susah bergerak.
Dengan tubuh yang kelelahan, aku berusaha untuk tetap melangkah menuju gerbang utama.
Capek banget… Tapi kalau dipikir-pikir, semuanya berakhir dengan baik.
Identitas Kusanagi akhirnya terbongkar, dan Hinami juga sudah menyadarinya.
Aku sudah melakukan semua yang harus kulakukan, jadi lebih baik segera pulang… dan main game ritme.
Saat berjalan dengan lesu, gerbang utama mulai terlihat.
Ada beberapa siswa yang sudah keluar dan pulang, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Sepertinya jumlah siswa yang tidak ikut dansa sangat sedikit.
Menyedihkan sekali aku ini. Padahal setelah ini aku tidak ada acara apa pun, tapi tetap harus pulang.
Aku memang tidak punya pasangan. Tidak ada yang mengajakku juga. Yah, sudah wajar sih. Aku tidak punya banyak teman. Sementara itu, Hinami dan Yuri sangat populer, pasti mereka sudah punya pasangan sejak lama.
Tidak ada celah buatku. Orang seperti aku lebih baik cepat-cepat pulang saja.
Saat aku hendak melewati gerbang utama dengan pikiran seperti itu—
“Ah! Ryo— Ryo-kun!”
Terdengar suara yang memanggil namaku dari belakang. Langkahku langsung terhenti seketika.
Eh… Suara ini…
Saat aku berbalik, aku melihat—
Hinami, yang terengah-engah dengan keringat membasahi wajahnya.
Eh? Kenapa Hinami ada di sini?
“Kenapa kau lari-lari seperti itu, Hinami?”
“Eh?! A— anu… Aku, aku ada urusan denganmu. J—jadi aku buru-buru ke sini…”
Urusan denganku?
“Bagaimana kau tahu aku ada di sini? Jadi, apa urusannya?”
Saat aku bertanya, wajah Hinami langsung memerah. Ia mulai gelisah, memainkan ujung rambutnya dengan jari, dan beberapa kali melirik ke arahku.
Seperti ingin mengatakan sesuatu… Apa mungkin dia sudah tahu identitasku?
Tidak, tidak mungkin!
Tapi… Kenapa suasananya jadi begini?
Aku menunggu sebentar sampai Hinami mulai berbicara.
Ia beberapa kali membuka mulut tanpa mengeluarkan suara, lalu akhirnya berbicara pelan.
“A— anu… D-dansa pasangan… a-aku ingin menari bersamamu…”
“…Apa? Eh! Barusan kau bilang ingin menari denganku?”
“U— um…”
Hinami mengangguk pelan.
A— apa-apaan ini?!
Eh?! Aku diajak dansa?!
A— apa ini benar-benar terjadi?! Bukannya aku hanya mimpi?!
“Hi— Hinami! Apa kau yakin? Aku ini bukan siapa-siapa, lho!”
“U— um! Aku ingin menari dengan Ryo-kun! A-atau… aku tidak boleh?”
Hinami menatapku dengan mata berkaca-kaca sambil sedikit memiringkan kepala.
Seperti anak anjing terlantar yang tidak punya tempat untuk pergi… Kalau dia memandangku dengan mata seperti itu, aku tak mungkin menolaknya…
“T— tapi kenapa aku? Bukankah masih banyak kandidat lain?”
“A-anu… ada berbagai alasan, dan… Aku ingin menari dengan Ryo-kun. Yuri dan Koicchi juga ikut, jadi bagaimana kalau kita menari bersama?”
Saat mendengar itu, hatiku seperti tertembak tepat sasaran.
Eh, seriusan? Ini bukan mimpi?
Hinami benar-benar mengajakku?!
Tapi… kenapa?!
Agh, aku tidak ngerti! Aku benar-benar tidak paham alasannya!
Tapi Hinami adalah MVP hari ini, jadi dia punya hak untuk memilih pasangan.
Kalau aku menolak, aku gagal sebagai laki-laki. Itu sudah melanggar aturan.
Selain itu, Koi-san dan yang lainnya juga ikut, jadi aku bisa menjadikannya kenangan terakhir dari festival olahraga ini.
Kenangan bersama mereka semua.
“Begitu ya… Baiklah, ayo kita pergi. Kaki aku agak sakit, jadi aku tidak bisa banyak bergerak, tapi aku serahkan padamu, MVP.”
Saat mendengar kata-kataku, wajah Hinami bersinar cerah seperti matahari dan tersenyum lebar.
“Ya! Sepertinya sebentar lagi akan dimulai, jadi ayo kita pergi!”
Hinami langsung menggenggam tanganku erat.
“Baiklah, ayo.”
Aku dan Hinami pun kembali ke lapangan untuk ikut berdansa.
Post a Comment