Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Epilog
Dia Mendekat, Manja, dan Kemudian──
Tanpa kusadari, liburan musim panas sudah berakhir.
Kalender sudah menunjukkan bulan September. Kalau dilihat dari musim, seharusnya sudah memasuki musim gugur, tapi rasa panasnya masih tersisa.
Namun begitu, saat malam hari, angin yang berhembus mulai terasa sejuk. Sepertinya sebentar lagi cuaca akan mulai bersahabat.
Itulah kisah yang terjadi di masa-masa ketika awal musim gugur mulai terasa.
Hari ini adalah awal semester baru. Karena selama liburan musim panas aku menjalani hidup yang malas, seperti yang kuduga, pelajaran hari pertama setelah libur terasa sangat mengantuk dan berat.
Yah, aku memang sempat tertidur sedikit karena kalah dari rasa kantuk, tapi untungnya pelajaran selesai dengan aman.
"Yohei-kun, dengarkan ini. Kata Onee-chan, dia naik dua kilo selama liburan musim panas, jadi dia bilang akan berjuang untuk diet selama semester dua ini."
Tentu saja, Hime juga masuk sekolah hari ini.
Sepertinya dia sudah benar-benar sembuh dari masuk anginnya dan sekarang tampak penuh semangat. Seperti biasa, setelah pulang sekolah kami menghabiskan waktu bersama dengan santai.
"Diet, ya... kira-kira bakal berhasil gak, ya?"
"Kurasa akan sulit kalau cuma mengandalkan dirinya sendiri. Soalnya dia malas banget... ah, ngomong-ngomong, terima kasih atas oleh-oleh waktu menjengukku. Sekitar delapan puluh persennya sudah dimakan Onee-chan, tapi setelah sembuh aku sempat mencicipi juga. Enak sekali."
"Kalau cocok di lidahmu, aku senang."
...Ngomong-ngomong, meski ini sudah agak telat, sebenarnya hari ini adalah kali pertama aku bertemu Hime lagi sejak hari aku menjenguknya.
Dari saat itu baru berlalu sekitar satu minggu.
Syukurlah dia sembuh total tanpa gejala yang memburuk... meski sejujurnya, aku ingin bertemu lebih cepat.
Tapi aku nggak bisa memaksanya, jadi ini tidak bisa dihindari.
(Kapan ya, aku harus menyatakan perasaan?)
Kalau soal kesiapan mental, aku sebenarnya sudah siap kapan saja kalau momen yang tepat datang.
Tapi sampai sekarang, belum ada satu pun kesempatan yang muncul. Karena kami harus mengikuti pelajaran, dan saat istirahat pun selalu ada orang lain, jadi wajar saja.
Namun, sekarang sudah waktunya pulang sekolah. Situasinya hanya kami berdua, jadi ini adalah momen yang sempurna.
"...Hime?"
"Ya. Ada apa?"
Gadis yang duduk di sebelahku itu langsung merespons saat aku memanggil namanya.
"Ehehe."
Dengan senyum polos, dia menunggu apa yang ingin kukatakan.
(I-I... imut...!)
Senyum polosnya langsung menusuk hatiku.
Lalu, saat benar-benar ingin menyampaikan perasaan, rasa gugup pun mulai datang. Akibatnya, aku malah jadi ragu.
"Ah... maaf, nggak jadi. Nggak ada apa-apa."
"Begitu, ya."
Pasti kelihatan mencurigakan banget.
Tapi Hime tidak menunjukkan tanda-tanda khawatir. Dia tetap menatapku lurus.
Seolah-olah dia bilang kalau waktu seperti ini terasa sangat menyenangkan.
Hal-hal kecil tidak penting. Yang penting adalah bisa bersama. Itulah perasaan yang tampak dari tindak-tanduknya, dan entah kenapa aku jadi malu sendiri.
Aku bisa merasakan cinta yang tak terbantahkan.
Perasaan Hime begitu terasa hingga membuat hatiku sesak.
"...Yohei-kun?"
"Eh? Kenapa?"
"Tidak, tidak ada apa-apa."
"N-nggak ada apa-apa?"
"Ya. Aku cuma ingin memanggilmu saja."
Hime membalas dengan tindakan yang sama seperti yang kulakukan tadi.
Karena tingkahnya yang manis itu, aku jadi sedikit lebih rileks. Berkat Hime, rasa gugupku pun menghilang.
Memang ya, berada bersama gadis ini terasa nyaman sekali.
Hatiku jadi tenang, dan perasaan bahagia pun muncul. Rasanya seperti bisa kembali menjadi diriku yang biasa, tanpa ada tekanan atau kegugupan aneh.
"...Ah, benar. Omong-omong, hari ini aku juga bawa camilan, lho."
Sejak tadi aku hanya fokus memikirkan kapan harus menyatakan perasaan, jadi aku sampai lupa.
Tahun ajaran baru. Karena hari ini adalah pertemuan pertamaku dengan Hime setelah satu minggu, aku pun membawa camilan.
Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil seukuran telapak tangan dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.
"Ah, itu cokelat bambu. Sudah lama tidak makan, ya."
Benar. Camilan yang kubawa hari ini adalah cokelat berbentuk bambu yang pernah kami makan sebelumnya.
Biasanya aku berusaha membawa cemilan yang berbeda dari yang sudah pernah kumakan bersama Hime, tapi hari ini mataku tertuju pada yang ini.
"Aku jadi ingat waktu pertama kali makan cemilan bareng Hime, jadi aku nggak bisa menahan diri untuk membelinya."
"Padahal itu baru beberapa bulan yang lalu, tapi entah kenapa rasanya nostalgia sekali."
Memang ya, rasanya cukup nostalgia.
Kalau tidak salah, aku memberikan cokelat bambu itu pada bulan Juni. Jadi baru sekitar tiga bulan lebih yang lalu.
Tapi karena waktu yang kami habiskan terasa begitu bermakna, rasanya seperti sudah lama sekali.
"Aku mau makan, dong. Boleh aku ambil?"
"Tentu. Makanlah sepuasnya."
"Aku senang sekali. Kalau begitu... aa~n."
Setelah itu, Hime menutup matanya sambil membuka mulut.
Dia sedang menunggu. Seperti biasa, dia ingin aku yang menyuapinya.
"Silakan."
Dulu, saat pertama kali melakukan ini, aku sempat merasa malu.
Tapi sekarang aku sudah terbiasa. Aku membuka bungkus camilannya, lalu memegang salah satu dengan jari dan menyuapkannya ke mulut Hime.
Saat aku meletakkan cokelat itu dengan lembut di atas lidah kecilnya, Hime langsung menutup mulutnya dengan "pak".
Bersama jariku juga, dia mulai mengunyah pelan-pelan.
Hime sedang memakan cokelat.
Rasanya seperti digigit lembut, jadi agak geli. Tapi melihat Hime memakannya dengan lahap seperti itu membuatku sama sekali tak ingin menarik jariku.
Dia terlihat sangat bahagia. Tentu saja aku tak ingin mengganggu momen seperti ini.
"Manis banget... Kalau Yohei-kun yang menyuapi, rasanya jadi lebih manis dan seperti rasa bahagia."
Setelah dia selesai mengunyah cokelatnya, akhirnya jariku pun dilepaskan.
Ekspresi Hime sekarang benar-benar melunak. Senyum lembutnya terasa seperti bisa meluluhkan hatiku dan juga melonggarkan pertahananku.
Karena itulah, aku mengucapkannya tanpa sadar.
"Hime—aku menyukaimu."
Seperti kata-kata yang keluar begitu saja karena meluapnya perasaan.
Bukan sebuah pernyataan yang penuh tekad. Lebih tepat dibilang kata-kata yang terlepas tanpa bisa ditahan.
"Aku juga menyukaimu, lho?"
Mungkin karena aku mengatakannya dengan terlalu alami.
Reaksi Hime pun tidak terlalu besar. Mungkin dia menganggap ini bukan pengakuan cinta, tapi sekadar obrolan biasa.
Kalau mau mundur, sekaranglah kesempatan terakhir.
Pada saat ini, aku masih bisa menarik kembali ucapanku. Bisa saja berpura-pura tak terjadi apa-apa, melupakan jawaban Hime barusan, lalu melanjutkan hari-hari seperti biasa, seperti dulu.
Itu pun bukan sesuatu yang buruk. Itu pun bisa jadi kebahagiaan tersendiri.
Tapi aku sudah tidak bisa puas hanya dengan sebatas itu. Karena aku sudah mencintai gadis ini terlalu dalam.
"Yang kumaksud bukan ‘imut seperti adik perempuan’, tapi maksudku yang lain."
Aku membenarkannya dengan sungguh-sungguh.
Agar bisa tersampaikan dengan baik, aku menyusun kata-kata yang benar-benar mencerminkan perasaanku.
"Sebagai seorang perempuan, aku menyukai Hime."
Aku sudah siap.
Memang aku sempat bingung dan ragu, tapi berkat Hijiri-san, aku jadi sadar akan perasaanku sendiri.
Aku suka Hime.
Perasaan itu adalah sebuah kebenaran yang tak bisa ditutupi.
"………Eh?"
Hime terdiam dengan ekspresi bingung.
Apakah dia terkejut, atau sedang kebingungan.
Entah yang mana, tapi sepertinya dia belum sepenuhnya memahami situasinya, jadi aku memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini dan menyampaikan semuanya.
"Maaf waktu itu aku nggak bisa menjawabmu dengan baik. Kamu bilang aku nggak perlu membalas, tapi sejak saat itu aku terus merasa nggak tenang. Perasaanku pada Hime waktu itu masih belum tertata, dan aku juga nggak punya cukup keyakinan. Tapi sekarang aku sudah mengerti. Aku suka Hime bukan sebagai adik, tapi dengan perasaan yang berbeda."
Akhirnya aku sadar, bahwa yang benar-benar ingin kulakukan adalah menyampaikan perasaanku ini.
Karena itu jugalah aku merasa gelisah waktu tak bisa membalasnya.
Aku menyesal karena tak bisa mengatakan "aku menyukaimu", padahal memang benar aku menyukainya.
Itulah sebabnya, setelah bisa menyampaikannya seperti ini, aku merasa lega.
"Kalau bersama Hime, rasanya nyaman sekali. Sekadar mengobrol saja sudah sangat menyenangkan, dan setiap melihat senyummu aku merasa disembuhkan. Aku sudah jatuh cinta padamu sampai-sampai merasa sepi membayangkan hari-hari tanpamu."
Kalau hanya sebatas menganggapmu sebagai adik yang lucu, aku nggak akan merasakan hal seperti ini.
Karena aku tidak berpikir, "aku ingin Hime bahagia," tapi malah, "aku ingin membuat Hime bahagia." Itu jelas bukan perasaan seperti terhadap keluarga—aku benar-benar yakin akan hal itu.
"Jadi, ya... Begitulah maksudku..."
Semua yang ingin kukatakan, akhirnya berhasil kusampaikan.
Tentu saja, hanya karena aku mengatakan bahwa aku menyukainya, bukan berarti hubungan kami akan langsung berubah.
Aku tidak sedang mencari hubungan seperti pacaran atau menjadi sepasang kekasih. Aku hanya ingin memberi tahu Hime bahwa perasaan kami saling bersambut.
"Hime, mulai sekarang juga... ayo terus akrab, ya."
Aku ingin kami tetap dekat dan akrab, seperti biasanya.
Dengan sikap yang lebih formal, aku merapikan posisi dudukku dan mengulurkan tangan pada Hime.
Namun, tanganku tidak digenggam.
"──Nn."
Bukan berarti dia menolakku.
Mungkin dia merasa jabat tangan saja tidak cukup. Seolah ingin menyampaikan hal itu, Hime langsung memelukku.
"Whoa. H-Hime?"
Aku buru-buru menangkap tubuhnya. Dorongannya lebih kuat dari yang kupikir, sampai-sampai aku hampir jatuh dari kursi dan harus menahan diri supaya tidak terjatuh.
Tapi Hime tak peduli dengan hal itu. Dengan wajah tertanam di dadaku, dia berkata lirih dengan suara yang teredam.
"Aku senang sekali. Dari lubuk hatiku, sangat... sampai rasanya ingin menangis."
Meski pada akhirnya pengakuan seperti ini terasa memalukan dan membuat geli.
Tapi kalau dia bisa sebahagia ini karenanya, aku senang telah mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"...Kalau bisa, aku lebih senang kalau kamu tersenyum. Karena aku sangat suka senyuman Hime."
Melihat wajahnya yang seperti akan menangis, rasanya hatiku ikut mencelos. Walau aku tahu itu air mata bahagia, tetap saja, aku lebih ingin melihat senyumnya.
Setelah mendengar itu, Hime menggosok-gosokkan wajahnya ke dadaku, lalu perlahan mengangkat wajahnya.
"Ehehe."
Dan dia tersenyum padaku.
Senyuman yang polos, kekanak-kanakan, dan begitu menggemaskan.
Aku jatuh cinta pada senyuman ini. Dan semakin merasa sayang padanya... aku pun memeluk Hime erat-erat.
"Hime, terima kasih."
Terima kasih karena sudah menyukaiku.
Terima kasih karena sudah memilihku.
Terima kasih karena sudah mengakui seseorang sepele sepertiku.
Berkat Hime, hidupku berubah sepenuhnya.
Hari-hari yang membosankan, datar, dan tak ada kejadian apa pun sebenarnya sudah cukup damai dan tak buruk.
Tapi hari-hari bersamamu, Hime, jauh lebih dipenuhi kebahagiaan.
Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu denganmu.
Aku sungguh-sungguh merasa seperti itu. Mungkin karena itulah, ucapan terima kasih itu keluar tanpa kusadari.
"──Eheheh."
Aku yakin, perasaanku sampai padanya.
Begitu aku mengucapkan terima kasih, pipi Hime mengendur senang sejadi-jadinya... lalu tiba-tiba dia mendekatkan wajahnya.
Saat aku masih bingung dan memperhatikan apa yang terjadi... ada sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh pipiku.
Jangan-jangan ini...
"...Jangan bilang-bilang ke Onee-chan, ya?"
Setelah menjauhkan wajahnya, Hime tersenyum nakal.
Senyum yang berbeda dari biasanya—tidak polos, tapi sedikit menggoda. Aku sempat merasa gugup karenanya.
"A-Aku mengerti."
Meski agak panik, aku tetap mengangguk.
Hime pun perlahan menjauh dariku.
"P-Pokoknya, rahasia ya?"
Wajahnya memerah sekali saat berkata begitu.
Sepertinya Hime juga malu. Biasanya dia terlihat tenang, jadi melihatnya malu-malu begini cukup langka.
"Ehem. Yohei-kun... aku juga, mohon bantuannya mulai sekarang."
Setelah satu kali batuk kecil untuk mengalihkan suasana, Hime menggenggam tanganku.
Sepertinya dia benar-benar ingat kalau kami belum sempat berjabat tangan tadi. Dia menjawabnya dengan sangat sopan.
(Memang, aku suka banget sama dia...)
Setiap gerak-geriknya terasa begitu menggemaskan.
Aku bisa menghabiskan waktu bersama gadis sebaik dan semanis ini dari sekarang dan seterusnya.
Dan itu... membuatku sangat bahagia.
"...Mau makan camilan lagi?"
"Tentu. Aku akan menerimanya dengan senang hati."
Lalu sekali lagi, aku dan Hime mulai menikmati camilan bersama.
Meskipun baru saja saling menyatakan perasaan, jarak di antara kami tidak berubah. Seperti biasa, kami ngobrol santai dan menunggu kedatangan Hijiri-san.
Tapi waktu seperti ini... adalah sesuatu yang tak tergantikan.
Begitulah akhirnya—aku dan Hime pun menjadi saling menyukai.
Awalnya, aku mengira dia hanya gadis jenius yang lulus lebih cepat dan tak mau dekat dengan siapa pun.
Tapi karena suatu hal, dia jadi dekat padaku, manja padaku, dan bahkan... menyukaiku.
Dan aku pun, untuk pertama kalinya dalam hidupku, bisa menyukai seseorang sedalam ini.
Aku yakin, ke depannya aku akan bisa menghabiskan waktu bahagia bersama Hime.
Memikirkan masa depan bersamanya saja sudah cukup membuatku tak sabar menyambut hari esok──
After Story
Rasanya Sudah Seperti Seorang Ayah
(Ci–ciuman!?)
Hijiri Hoshimiya membuka matanya lebar-lebar.
Saat mengintip lewat jendela kecil di pintu kelas agar tidak ketahuan, dia melihat adegan di mana adik perempuannya sedang berciuman.
Tentu saja, itu hanya ciuman manis yang ringan menyentuh pipi Yohei... tapi Hijiri begitu terkejut sampai kakinya gemetar hebat.
(Padahal aku pun belum pernah... tapi Hime-chan malah terus melesat ke depan!)
Dia tidak pernah membayangkan adik perempuannya akan lebih dulu menaiki "tangga menuju kedewasaan".
Rapat OSIS selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Berpikir mereka masih menunggu di kelas, dia bergegas datang dan sekadar melihat sekilas ke dalam kelas... lalu menemukan pemandangan yang tak terduga.
(Kalau mereka berciuman, berarti Yohei sudah menyatakan cinta, ya!? Begitu... begitu yaaa)
Sebagai orang yang mendukung hubungan mereka, dia memang selalu penasaran akan akhir cerita ini.
Melihat mereka bersatu dalam bentuk yang paling indah, Hijiri jadi diliputi perasaan melankolis.
Selain itu, kalau dia masuk ke kelas sekarang, mereka pasti sadar kalau Hijiri melihat kejadian tadi. Hime dan Yohei juga masih saling menempel erat, jadi dia memutuskan menunggu sebentar.
Dia mengalihkan pandangan dari keduanya dan bersandar ke dinding.
"Haaah..."
Hijiri menarik napas dalam-dalam dan meletakkan tangannya di dada.
Jantungnya berdebar. Tentu saja, karena terkejut.
Tapi tidak ada perasaan negatif sama sekali. Justru hatinya terasa hangat. Kepalanya juga sedikit terasa ringan.
Setelah memastikan itu, Hijiri tersenyum kecil.
(Aku benar-benar... sangat mencintai Hime-chan ya)
Dia merasa bahagia.
Hijiri sungguh-sungguh merasa bahagia karena cinta adiknya terbalas.
(Kupikir aku bakal sedikit cemburu...)
Memang, Yohei adalah orang yang sempat terpikir bisa disukai olehnya.
Tapi sepertinya itu bahkan belum bisa disebut bibit cinta.
Hijiri sempat bersiap untuk kemungkinan merasa patah hati. Namun ternyata... karena rasa cintanya yang terlalu besar pada sang adik, dia tidak merasa apa-apa.
Justru sebaliknya. Perasaan hangat jauh lebih dominan, dan itu membuat Hijiri merasa senang.
(Apa aku ini sebenarnya... cukup parah juga sebagai siscon?)
Dia terlalu menyayangi adiknya.
Sampai-sampai, dia malah sedikit cemburu pada Yohei, bukan pada Hime.
Tentu saja itu cuma perasaan kecil. Seperti perasaan seorang ayah saat melepas putrinya menikah—sesuatu yang lucu dan mengharukan.
(Aku akan terus mengawasi mereka berdua ke depannya)
Kebahagiaan Hime adalah kebahagiaan Hijiri.
(Hmm…... Kalau Yohei jadi adik ipar juga tidak buruk)
Kemungkinan itu sangat besar untuk terjadi di masa depan.
Dan Hijiri tidak menganggapnya buruk. Bahkan, dia merasa pas karena memang selalu ingin punya adik laki-laki.
Pasti, hari-hari mereka ke depannya akan jauh lebih meriah daripada sebelumnya.
Memikirkan itu saja membuat Hijiri tersenyum tanpa sadar.
"...Ufufu. Sniff..."
Dia tertawa, lalu menyeka air mata yang muncul tanpa diduga.
(Baik-baik saja sekarang, ya... Hime-chan, aku benar-benar senang untukmu)
Hijiri memang mudah menangis kalau menyangkut Hime.
Karena jenius, Hime tumbuh dengan kesepian. Sejak kecil dia sulit untuk bergantung pada orang lain. Hijiri sangat ingat bagaimana adiknya sering terlihat kesepian.
Sebagai kakak, dia sudah melakukan segalanya. Tapi tetap saja, ada kekosongan di hati yang tak bisa diisi oleh keluarga, dan itu yang selalu membuatnya khawatir.
(Kalau suatu saat aku tidak ada pun... dia akan baik-baik saja)
Bagaimana jadinya Hime kalau suatu hari dia tidak bisa lagi mendampinginya?
Itu menakutkan. Saat ini Hijiri masih bisa berada di sampingnya, tapi itu bukan sesuatu yang bisa dijanjikan selamanya.
Suatu hari nanti, Hime pasti harus berdiri sendiri.
Membayangkan saat itu, Hijiri merasa sangat cemas.
Tapi jika ada Yohei di sisinya, dia yakin semuanya akan baik-baik saja. Karena itu, air matanya pun mengalir tanpa bisa dicegah.
(Ng–nggak boleh. Aku nggak boleh sampai ketahuan kalau sedang menangis)
Hijiri menahan air mata yang hampir tumpah.
Mungkin karena sudah siap sebagai kakak, air matanya pun segera berhenti.
(...Sepertinya, sudah waktunya masuk)
Dia kembali mengintip lewat jendela kecil di pintu kelas.
Hime dan Yohei tampak sudah tenang. Mereka terlihat akrab dan sedang makan cemilan bersama. Suasana sudah kembali seperti biasa. Sepertinya sekarang aman untuk masuk.
"Yahaa~! Onii-chan datang, lho~!"
Dengan suara riang dan berlebihan, Hijiri membuka pintu geser dengan keras agar kehadirannya diketahui.
Dia bertingkah seperti kakak ceroboh dan ceria seperti biasanya, dan berpura-pura tidak melihat ciuman mereka sebelumnya.
"Ah, Onee-chan. Lebih cepat dari yang kukira, ya."
"Yup! Soalnya cuma pertemuan awal setelah libur musim panas, jadi cepat selesai. Eh, kalian makan sesuatu yang enak, ya~"
"Nih. Makan bareng, Hijiri-san."
"Boleh!? Kalau begitu, aku ambil ya~!"
...Keduanya juga tampak seperti biasa.
Pasti mereka sama sekali tidak sadar kalau Hijiri tadi sempat mengintip.
Setelah memastikan itu, Hijiri pun menghela napas lega.
Dan begitulah—hari-hari mereka bertiga pun dimulai kembali──
Afterword
Terima kasih sudah membaca volume kedua!
Aku, penulisnya—Yagami Kagami. Seperti biasa, bisa menulis catatan penutup seperti ini lagi rasanya benar-benar membahagiakan.
Ini semua berkat kalian yang terus mendukung karya ini. Aku sungguh tak bisa mengungkapkan rasa terima kasihku dengan kata-kata.
Aku sudah berusaha sebaik mungkin agar bisa membalas ekspektasi kalian, meski hanya sedikit.
Volume kedua ini penuh dengan berbagai event, dan sebagai penulis, aku benar-benar menikmatinya. Ada kolam renang, festival, main di rumah, hingga menjenguk waktu sakit… pokoknya aku masukkan semua yang ingin kutulis.
Di dalam cerita, Yohei sering mengeluh soal musim panas, tapi sebenarnya aku justru sangat suka musim panas. Mungkin karena lahir di Okinawa, aku cukup tahan panas dan nggak gampang stres karenanya.
Sebaliknya, aku lemah kalau musim dingin. Setiap tahun pasti tumbang… dua tahun lalu kena corona, tahun lalu radang usus, tahun ini kena flu. Cepatlah berakhir, musim dingin. (※ Saat tulisan ini dibuat, bulan Februari.)
Lalu ya… musim panas itu bagus karena para heroine jadi berpakaian tipis!
Di volume kedua ini, aku bisa lihat Hime dan Hijiri pakai baju renang, aku benar-benar puas. Pakaian renang itu memang luar biasa.
Selain itu, karakter baru juga muncul—Maid Mei-chan. Ngomong-ngomong, hampir di semua karyaku selalu ada karakter maid. Entah kenapa bisa begitu.
Tubuhnya kecil, tapi sikapnya dewasa. Mei-chan yang punya kontras kayak gitu, aku lumayan suka. Mungkin aku memang suka tipe yang penuh rasa mengayomi.
Sedikit cerita tambahan, soal maid di dunia nyata—aku pernah ditipu di Akihabara gara-gara ditarik oleh SPG maid di pinggir jalan. Tentu nggak semua seperti itu, tapi kalian juga hati-hati ya. Memang lebih aman ke maid café yang brand besar.
Kembali ke topik.
Mungkin akhir dari volume kedua ini sempat mengejutkan kalian.
Dalam genre komedi romantis dengan heroine kecil seperti ini, perubahan hubungan yang jelas seperti itu memang agak jarang.
Keputusan ini dibuat setelah banyak diskusi dengan editor. Meskipun ceritanya tentang heroine kecil, kami memang ingin fokus pada romcom-nya dengan mengurangi unsur komedi dan slapstick.
Menulis romcom yang tenang dan serius dengan heroine kecil seperti ini adalah pengalaman pertamaku, dan meski cukup menantang, rasanya lebih banyak senangnya.
Bagaimana cara mengekspresikan pesona karakter kecil lewat tulisan—pertanyaan itu membuatku benar-benar fokus selama mengerjakan karya ini.
Sebagai penulis, aku merasa hari-hari selama menulis cerita ini sangat bermakna.
Sebenarnya, karya pertamaku saat debut profesional juga bertema heroine kecil.
Waktu itu aku pakai nama pena lain, dan karena berbagai alasan dewasa, sekarang aku nggak bisa pakai nama itu lagi. Tapi menulis cerita heroine kecil lagi seperti ini bikin aku sangat bersemangat.
Waktu itu, aku belum cukup punya kemampuan untuk menulis apa yang ingin kutulis.
Tapi sekarang, aku sudah bisa menulis cerita yang membahagiakan semua orang.
Rasanya seperti melihat perkembangan diri sendiri, dan aku sangat bangga dengan karya ini.
Bisa membuat kalian membaca karya ini adalah sebuah kebahagiaan luar biasa bagiku.
Maaf kalau jadi panjang lebar.
Sekarang izinkan aku mengucapkan rasa terima kasihku.
Kepada ilustrator Aroa-sama, terima kasih sudah menggambar Hime dan karakter lainnya dengan begitu menggemaskan, termasuk dalam pakaian renang!
Kepada editor, terima kasih sudah banyak berdiskusi denganku selama proses pengerjaan. Karena dukunganmu, aku bisa menulis cerita ini dengan penuh keyakinan meski sempat ragu dengan genre ini.
Kepada GA Bunko, penerbitku. Aku benar-benar senang bisa menulis di label yang sejak dulu menjadi impianku bahkan sebelum jadi profesional. Rasanya seperti mimpi.
Kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan karya ini, terima kasih banyak.
Dan tentu saja, kepada kalian para pembaca!
Seperti yang sudah kutulis di awal, bisa menulis catatan penutup ini semua karena kalian. Karena ada yang membaca, aku bisa terus menulis.
Terima kasih banyak!
Setiap kali menyelesaikan satu volume, aku selalu diliputi perasaan puas sekaligus cemas—apakah aku masih bisa menulis volume berikutnya? Mungkin ini adalah takdir seorang penulis light novel.
Aku akan terus berusaha agar bisa menyapa kalian lagi seperti ini.
Tolong terus dukung aku ke depannya!
Penulis
Yagami Kagami
Penulis light novel yang tinggal di Okinawa.
Suka heroine yang manja dan menggemaskan.
Sudah memasuki tahun ke-15 dalam dunia penulisan.
Akan sangat senang jika kalian bisa terus mengikuti kisah cinta kecil ini sampai akhir!
Ilustrator
Aroa
Aku yang menggambar ilustrasinya.
Kali ini juga, aku menggambar dengan penuh semangat agar Hime terlihat semakin imut!
Kami sangat menantikan surat penggemar dan kesan kalian tentang karya ini.
Post a Comment