NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Himono ni Naritai Ore wa, Yandere ni Kawareru Koto ni Shita V1 Chapter 4

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Taman Hiburan Yandere


Roller coaster menukik tajam, membuat para pengunjung berteriak di antara tawa mereka.


Di dalam taman yang penuh dengan melodi ceria, maskot yang membagikan balon dengan gerakan konyol mengulurkan satu ke arahku—hanya untuk ditabrak dengan brutal saat aku berlari sekuat tenaga, membuatnya terjatuh telentang.


Anak-anak yang melihat kejadian itu langsung menangis histeris.


Balon-balon warna-warni melayang ke langit.


Dengan ekspresi putus asa, aku menerobos kerumunan dan berlari keliling taman dengan panik.


"Selanjutnya!? Selanjutnya di mana, Maria!?"


"Tunggu sebentar! Aku juga kebingungan... Uhh, janji ketemu dengan Minatsuki Yui di depan wahana 'Seluncur Air'! Tiga puluh menit setelah itu, rencana naik 'Highland Go' dengan Sumire-chan! Dan Yura-senpai sudah menunggu di depan 'Putar-Putar Cumi'!"


"Mana mungkin!?"


"Bukan urusanku! Tapi kalau gagal, game over, kan!?"


Aku berteriak ke telepon, dan balasan dari seberang penuh dengan keputusasaan.


"Minatsuki Yui dan Sumire-chan punya insting yang tajam, dan Yura-senpai juga peka terhadap perubahanmu! Kalau berbohong sembarangan, kau bakal langsung ketahuan!"


"Kenapa... kenapa bisa begini...!?"


Aku berlari kencang di taman hiburan, mandi keringat dan dikelilingi oleh bayangan kematian.


"Kenapa ini bisa terjadi!?"


Aku telah membuat triple booking kencan dengan para yandere dan harus bertahan hari ini tanpa ketahuan—sebuah misi yang mustahil yang harus kupaksa jadi mungkin.


*


"Ini tiket taman hiburannya."


"Eh, kenapa tiba-tiba sekali?"


Aku sedang berjalan bersama Yura ke ruang guru untuk memberi tahu bahwa masalah penguntit sudah selesai. Saat itu, Unya-sensei menyodorkan tiket padaku.


"Hah? Kalian pacaran, kan?"


Begitu mendengar ucapan guru, wajah Yura langsung memerah, menunduk malu, dan mencuri pandang ke arahku sambil memainkan poninya.


"Sensei, apakah Anda mau pacaran dengan ATM yang kosong? Tidak, kan? Maka jangan pernah salah paham lagi, dan segera transfer dua juta yen ke rekening yang aku tunjuk."


"Jangan ngomong seakan-akan wajar untuk meminta dua juta ke wali kelas! Tadi kau bilang, 'Aku akan membahagiakannya' seperti sedang melamar, kan?"


"Aku hanya menyatakan janji yang pernah kubuat pada seseorang... Tapi soal membahagiakannya, kan bukan harus aku yang melakukannya."


"Maksudnya?"


"Aku akan menjadikannya manusia yang lebih baik."


Sambil memakan manju, guru menghela napas dalam.


"Memang sih, perubahan Kinugasa mengejutkan. Tapi meskipun aturan sekolah kita cukup longgar, tetap saja tidak boleh pakai wig hitam ke sekolah... Untuk menyerahkan tanggung jawab ke Kiritani..."


Tolong jangan menggumamkan perasaanmu dengan suara sekecil itu.


"Kinugasa, kau sendiri bagaimana?"


Yura melirikku dari balik rambutnya, lalu dengan ragu-ragu mencubit ujung lengan bajuku.


"A-Aku ingin bersama Akira-sama..."


"Apa? Akira-sama?"


Aku buru-buru menutup mulutnya.


"Ini cuma permainan tuan-hamba! Dia budakku pagi, siang, dan malam! Tidak ada masalah sama sekali!"


"Masalahnya justru semuanya!"


Ya, sih.


"Serius, Kiritani. Kalau aku guru yang kaku, kau sudah diangkut ke ruang bimbingan siswa."


Untunglah guruku punya selera humor.


"Pokoknya, tiket taman hiburan ini buat kalian. Nih."


"Bolehkah?"


Tiket itu adalah tiket pasangan ke taman hiburan baru yang dibuka di kota. Aku menerimanya sambil membuka situs penjualan kembali tiket.


"Apa yang kau lakukan?"


"Ya, kupikir lebih baik dijual saja... Maaf! Aku akan pergi dengan Yura!"


Tatapan guru yang mengangkat kursi putar penuh dengan niat membunuh.


"Aku akan cek nanti dengan Kinugasa. Kalau kau tidak pergi dengannya, berarti kau menjual tiket itu, dan aku akan membunuhmu."


Guru macam apa yang mengancam nyawa muridnya hanya karena ‘menyangka’ sesuatu?


"Yang akan mati itu kau, Kiritani."


Ya, aku. Aku berpikir itu hanya lelucon, tapi ekspresinya sama sekali tidak main-main.


"Uh... S-Sensei... Terima kasih..."


"Tidak masalah. Kau juga murid yang penting bagiku."


Dia mengusap kepala Yura dengan lembut dan tersenyum hangat.


"Nikmati waktumu, Kinugasa."


"Y-Ya..."


"Hahaha! Kalau dipikir-pikir, memberi tiket pasangan ke murid itu berarti... Unya-sensei tidak punya pacar! Hahaha! Semakin kupikirkan, semakin..."


Tawaku langsung terhenti saat melihat Unya-sensei mengangkat meja.


Tiga guru laki-laki berusaha menahannya. Sungguh pemandangan yang absurd.


Sebelum napasku juga ikut terhenti, aku cepat-cepat kabur dari ruang guru.


Aku dan Yura berjalan kembali ke kelas berdua—tapi tiba-tiba dia terhuyung, duduk di lantai, dan wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan.


"Oi, ada apa, Yura!?"


"S-Saat bersama Akira-sama... dada ini terasa sesak... meskipun aku bahagia, rasanya menyakitkan..."


Dia mengeluarkan replika wajahku yang entah kapan dibuat, lalu mencium bagian bibirnya.


"Akira-sama... Akira-sama... Aku suka sekali padamu... Aku mencintaimu..."


Kapan dia sempat membuat itu!?


"Dan kenapa kau tidak memanggilku ‘Akira-kun’ seperti dulu?"


"B-Bagiku, Akira-sama tetap seperti dewa... Lagipula, aku yakin Maria juga ingin begitu... Bahkan aku berencana membuat merchandise..."


Kenapa kalian berdua menganggap hak asasi manusiaku seperti bahan gratisan!?


"Kalau setidaknya menguntungkan, aku mungkin bisa terima... Tapi ini cuma merugikan—"


"Kiritani Akiraaa!!"


Aku menghindari bola keras yang melayang dari belakang dengan gerakan menghindar, lalu menangkap Maria yang melompat ke arahku—dan tanpa sengaja meremas dadanya.


Meskipun sudah repot-repot membantunya mendarat,

penyerang yang bertingkah seperti korban itu malah menatapku dengan wajah merah padam sambil menutupi dadanya dengan kedua tangan.


"K-Kamu gila, ya!? Apa kepalamu baik-baik saja, hah!?"


Kinugasa Maria, yang memiliki kepribadian ceria dan gaya modis yang berlawanan dengan Yura, menatapku dengan wajah merah yang bisa diartikan sebagai amarah atau rasa malu.


"Aku pikir hal yang paling kau benci adalah pelecehan, jadi kupilih itu."


"Mati saja! Sungguh, mati saja! Gara-gara Yura-senpai, aku sempat menilaimu lebih baik, tapi ternyata aku tetap membencimu!"


Kau dijadikan umpan tapi masih sempat menilainya lebih baik? Otaknya bagaimana, sih?


"Aku hanya tipe yang membayar kembali utang, bukan berarti aku orang baik. Kalau bukan karena permintaan itu, kau pasti sudah pergi ke alam baka saat aku sedang asyik main game. Beruntung sekali kamu ya."


"Pokoknya! Jangan pernah mendekati Yura-senpai lagi!"


"Akira-sama... A-aku mencintaimu... Akira-sama... Aku akan selalu di sisimu..."


Sadarlah pada kenyataan.


"Ngomong-ngomong, kau tidak perlu kembali ke kelas?"


"Hah?"


Maria mengalihkan pandangannya dan bergumam.


"Soalnya... situasinya sudah kacau balau."


Merasa firasat buruk, aku langsung berlari.


Aku menerobos lorong dan membuka pintu kelas 2-C dengan kasar.


"...Apa-apaan ini?"


Di dalam kelas yang ramai, tempat dudukku telah berubah menjadi altar berkilauan yang penuh dekorasi.


Di kursiku, duduk sebuah patung emas Akira yang bersinar terang, seolah menggantikanku.


Di atas meja, terdapat stiker-stiker bertuliskan pujian seperti "Akira-sama luar biasa!", "Akira-sama terbaik!", yang menempel di mana-mana.


Di sekitar kursi yang mencolok itu, berjejer lilin warna-warni, dan entah kenapa ada sesuatu yang mirip sosis tersebar di sekitarnya.


"G-Gimana menurutmu...?"


Dengan pipi bersemu merah muda, Yura menggenggam ujung bajuku sambil menatap penuh harap, meminta pendapatku.


"A-Aku membuat altar ini untuk memperlihatkan kemuliaan dan kewibawaan Akira-sama kepada dunia... Ini... hadiah untukmu... S-Sungguh memalukan..."


Jangan seret aku dalam rasa malu yang kau ciptakan sendiri.


"Kau ini bercanda—"


"Kiritani Akira, ikut aku sebentar."


Maria, yang sepertinya ikut datang, menarik tanganku dan menyeretku keluar ke lorong.


"Apa?"


"Berbahagialah."


"Hah?"


"Yura-senpai tidak punya maksud buruk. Jadi, bersyukurlah."


Coba kau bersyukur saat seseorang meninju wajahmu tanpa maksud buruk.


"Kau mau aku tetap duduk di kelas dengan kondisi seperti ini?"


"A-Aku tidak sampai segitunya! Tapi, dekorasi itu butuh waktu tiga jam untuk dibuat oleh dua orang!"


Jangan bilang kau ikut membantunya!


Aku berbalik untuk kembali ke kelas dan membongkar semua itu tanpa berkata apa-apa.Namun, seakan memahami niatku, Maria langsung mencengkeram pinggangku dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan.


"Kumohon! Tolong! Cukup sekali saja! Setidaknya, tunjukkan kalau kau senang! Yura-senpai sudah berusaha keras hanya demi mendapat pujian darimu!"


"Dasar bodoh. Sekali saja aku membiarkan ini, kejadian selanjutnya bakal makin parah. Kau mungkin tidak mengerti karena kau lemah, tapi yang namanya yandere seperti ini."


"S-Seharusnya kau bisa menangani itu! Kau kan seorang profesional!"


Memangnya ada sertifikasi ahli yandere?


"Kalau aku bersedia menuruti permintaanmu, apa yang akan kau lakukan untukku?"


"Hah?"


Maria menatapku dengan bingung.


"Hukum setara. Kau pikir aku akan melakukan sesuatu untukmu tanpa imbalan?"


"T-Tapi, aku tidak punya apa pun yang bisa kuberikan padamu—"


Tiba-tiba, wajahnya memerah, dan ia menutupi dadanya dengan kedua tangan.


"K-Kau benar-benar manusia terburuk! Apa yang ada di pikiranmu!?"


"Yang berpikiran aneh itu cuma kamu saja. Tidak ada manusia yang tertarik pada tonjolan kecil yang tidak jelas itu."


"Jangan seenaknya mengatasnamakan seluruh umat manusia! D-Dadaku juga punya daya tarik, tahu!"


Aku mulai merasa bodoh karena harus berdebat tentang ukuran dada di tengah lorong sekolah.


Aku melirik jam tangan... sudah hampir waktunya Minatsuki masuk ke kelas. Kalau ini berlarut-larut, semuanya akan makin merepotkan.


"Baiklah. Aku anggap ini utang satu. Kau harus membayarnya dua kali lipat nanti."


"Hah? U-Um, terima kasih..."


Aku tidak tahu bagaimana reaksi dia saat melihat patung emas aneh itu, tapi yang jelas, dampaknya pasti akan berbalik padaku meskipun aku tak bersalah.


Dengan berat hati, aku memutuskan untuk mengalah dan masuk kembali ke kelas.


"A-Akira-sama, a-apa yang anda bicarakan dengan Maria—"


"Waah! (Nada datar) Hebaaat! (Nada datar)"


"E-Eh...?"


Yura mengedipkan mata dan tersenyum malu-malu.


"Ka-kau membuat ini untukku, ya. (Nada datar rendah) Aku sangat senang bisa melihat isi hati si pembuat. (Nada datar tinggi) Terima kasih, Yura. (Nada datar paling tinggi)"


Agar tidak menimbulkan rumor aneh, aku berdiri di depan tubuhnya untuk menutupi pemandangan dan mengusap kepalanya.


Menerima pujian palsu itu, Yura tersenyum malu sambil menatap ke atas.


"E-Ehehe..."


"Ka-Kalau dengan ini saja Akira-sama bisa senang... a-apa mungkin... kalau melihat loker sepatu Akira-sama, anda akan lebih bahagia...?"


"Sialan, kau taruh apa di lokerku—Aku tak sabar melihatnya! (Nada datar)"


Saat tadi pinggangku ditahan, sepertinya sesuatu dicuri dariku.


Di luar jendela kelas, aku melihat Maria dengan senyum puas, memperlihatkan tiket pasangan ke taman hiburan yang ia jadikan sandera—tiket yang menjadi nyawaku.


"Hebat, Yura-senpai!"


Maria masuk ke kelas, lalu memeluk Yura dan menggosokkan pipinya.


Pelaku yang mengubah mejaku menjadi panggung penuh kreativitas untuk ajang pamer diri, menatapku dengan senyum bahagia.


"Ma-Maria juga membantuku... Ja-jadi, apakah kotak sepatu juga akan disambut baik...?"


"Tentu saja! Aku menghabiskan delapan jam untuk itu!"


Satu-satunya pilihan adalah membuang seluruh kotak sepatu!


"Hei, Maria."


"Jangan berbisik padaku. Nafasmu mengenai telingaku itu menjijikkan."


Haruskah aku menjilatnya sampai bersih?


"Sebelum Minatsuki datang, kita harus segera bereskan ini. Kalau tidak, situasinya akan—"


"Ada apa? Kenapa ribut-ribut?"


Minatsuki masuk ke kelas dengan senyum yang dibuat-buat, menyipitkan matanya ke arah mejaku.


"…Hei? Ada apa ini, Akira-kun?"


Dengan keringat dingin bercucuran, aku perlahan melepaskan tanganku dari patung Akira yang kupeluk.


"Kamu tidak boleh membuat berantakan seperti ini... Siapa yang melakukannya?"


Jika aku menyebut nama Yura di sini, itu akan menjadi insiden berdarah kedua minggu ini. Tapi jika aku menyalahkan diriku sendiri, kebohonganku akan terbongkar dan berakhir dengan dikurung. Maka, hanya ada satu pilihan.


"Ini dia pelakunya."


"Apa!?"


Maria yang kutunjuk langsung berteriak dan mencoba mencengkeramku.


"Ja-jangan bercanda! Kenapa aku yang—"


"Kamu membantu, bukan?"


Aku berbisik menyampaikan kebenaran.


"Kamu membantu selama sebelas jam, termasuk kotak sepatu, kan?"


Maria terdiam, dan aku segera menekan lebih jauh.


"Tidak apa-apa, tenang saja. Fokus utama Minatsuki adalah aku dan perempuan yang mencoba mendekatiku. Sementara kamu, yang membenciku dari lubuk hati, berada di zona aman. Berlawanan dengan Yura, dia paling tidak suka jika ada orang yang menyukaiku."


"Be-benarkah begitu?"


"Sudah pasti."


Dikelilingi oleh para senpai, Maria mengangkat tangannya dengan senyum kaku.


"Ma-maaf. A-aku yang melakukan ini sebagai keisengan..."


"Hee..."


Minatsuki secara alami merogoh saku dalamnya. Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar dengan pesan masuk.


Yui: "Lepaskan Akira-kun dalam lima detik."

Yui: "Saat aku memberi isyarat, segera keluar bersama Kinugasa Yura."

Yui: "Setelah itu, ikuti petunjuk yang ada di dasar tempat sampah di ujung lorong."


Maria mengintip layar ponselku. Setelah membaca chat itu, ekspresinya dipenuhi keputusasaan.


"Hei, ini keisengan yang keterlaluan. Kenapa kamu sampai berusaha keras seperti ini... Eh? Eh?! Kenapa dia kabur?"


Coba periksa riwayat chat-mu sendiri.


Jika dia menjawab pertanyaannya, lima detik yang diberikan akan terlewati. Maka, Maria dengan panik menarik tangan Yura dan langsung berlari keluar kelas menuju lorong.


"Akira-kun, aku akan membantumu membereskan ini. Ahaha, patung ini detailnya luar biasa ya? Menarik sekali!"


Tertawa bisa memperpendek umur, ya.


"…Aku melihat semua percakapan kalian."


Spektrum ekspresi suara yang luar biasa!


"Hei? Kenapa kamu memuji sesuatu yang dibuat perempuan itu? Hei? Kenapa? Hei? Tidak bisa menjawab? Hei? Kamu menyembunyikan sesuatu dariku? Hei? Jawab aku? Hei? Akira-kun? Hei?"


Kamu punya ritme yang bagus, ya.


"Yui. Apa menurutmu aku benar-benar serius dengan pujian itu?"


"Eh?"


Baiklah, dia terpancing. Aku melihat secercah harapan untuk bertahan hidup.


"Sebagai seseorang yang mencintaiku, pasti Yui bisa membedakan apakah perkataanku sungguh-sungguh atau tidak, kan?"


"Ten—"


"Tepat sekali. Seperti yang diharapkan dari Yui. Itu semua bohong. Aku sengaja membacanya dengan nada datar agar tidak mengkhianatimu, Yui. Aku senang kamu mengerti."


"Ta-tapi, kamu memuji hadiah dari perempuan itu—Ah."


Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotongnya.


Kemudian, dengan gerakan alami dan halus, aku menyapu punggung tangannya dengan jari kelingkingku.


"A-Akira-kun... Ti-tidak boleh... Di tempat seperti ini..."


Ayo ayo ayo ayo! Kau lemah terhadap sentuhan tubuh, kan!? Ayo ayo ayo ayo!


"Yui ingin hubungan kita tetap rahasia, bukan? Tentu saja, aku juga. Jadi aku hanya mengatakannya sebagai basa-basi. Kamu lebih memahami perasaanku daripada kata-kata, kan, Yui?"


Ekspresi "khusus untukmu" adalah hal yang paling disukai oleh seorang yandere!


"U-uh... Ya... Ti-tidak apa-apa... A-aku mengerti..."


Menang! Victory fanfare.


Saat aku menikmati rasa kemenangan melawan takdir, Maria kembali dengan napas terengah-engah.


Dengan gerakan kaku seperti robot, dia menyodorkan tiket pasangan ke taman hiburan yang dia curi kepadaku.


"Kiritani, maaf. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Dan ini untukmu."


Naskah yang buruk, ya!


"A-ah, te—"


"Waah! Apa itu?! Tiket pasangan ke taman hiburan baru? Wah, keren banget! Aku ingin sekali pergi ke sana!"


Minatsuki berteriak dengan nada yang berlebihan.


Senyum manisnya, yang paling imut di sekolah ini, ditujukan padaku dengan sudut terbaik.


"Tapi, kalau ini tiket pasangan... Akira-kun, kamu mau mengajak siapa? Pacarmu? Apa kamu punya?"


"Ti-tidak ada..."


Pertanyaan yang tidak bisa kujawab dengan kata 'iya.' Aku jelas sedang diarahkan.


"Lho? Jadi, kamu sebenarnya mau mengajak siapa? Ayah? Ibu? Hmm, tapi tiket pasangan bukan sesuatu yang cocok untuk keluarga, kan? Kalau begitu, siapa ya... Mungkin seseorang yang selalu membantumu?"


"I-iya, mungkin begitu."


Dengan senyum yang indah seperti bunga lily setelah hujan, Minatsuki bertanya dengan nada manis.


"Lalu... siapa itu?"


Jadi, kau membantuku beres-beres demi ini! Kemampuanmu memanfaatkan trik benar-benar luar biasa!


"……Kamu akan mengajakku, kan?"


Seperti bayangan yang selalu menempel tanpa bersuara, Minatsuki mendekat padaku tanpa suara.


"Kamu akan… mengajakku, kan?"


Suara itu bukan sesuatu yang seharusnya keluar dari pita suara manusia.


"Minatsuki-san! Kalau kamu mau, ini! Bagaimana kalau pergi bersama seseorang—atau lebih tepatnya, bagaimana kalau kita pergi bersama!? Mumpung ada kesempatan!"


Tatapan tajam menusuk kulitku dari depan, membuat mulutku bergerak sendiri, berbicara tanpa henti, dan secara otomatis memilih rute bertahan hidup.


"Eh, sungguhan!? Aku senang sekali! Aku menantikannya!"


"A-aku juga menanti—"


Di kaca pintu kelas, dua mata menatap ke dalam, dengan kedua tangan dan wajah menempel di sana—Yura, yang menggerakkan mulutnya dengan kecepatan tinggi, menatap langsung ke arahku.


Dalam sekejap, aku memasukkan tanganku ke dalam saku.


Tanpa melihat layar, aku mengetuk ponsel dengan jariku, menelepon Yura.


Begitu melihatnya mengambil ponsel, aku langsung memutus panggilan dan mengirim pesan yang sudah kusiapkan sebelumnya.


Akira: "Hari ini! Aku ingin kencan!"


"Aku senang bisa pergi kencan dengan Yui!"


"A-Akira-kun, suaramu kebesaran… b-bodoh…"


Aku mengalihkan perhatian Minatsuki dengan sentuhan ringan dan pembicaraan yang tepat.


Sementara itu, aku menangani Yura secara bersamaan.


Jika mereka bertemu di sini, pasti akan terjadi pertumpahan darah! Aku harus mengarahkan Yura melalui chat sambil tetap membuat Minatsuki fokus padaku!


Akira: "Kita pergi setelah pulang sekolah! Aku ingin bicara! Sekarang juga, pergi ke loker sepatu!"


Yura tersenyum lebar seperti bunga yang mekar.


Ia menggenggam ponselnya dengan erat dan mengangguk berulang kali dari balik pintu.


Yura: "Aku mencintaimu, Akira-sama!"


Ini bukan saatnya bicara soal cinta atau benci, enyahlah secepatnya!


"Akira-kun? Kenapa kamu berkeringat—saku bajumu?"


Nada suara Minatsuki berubah, membuat seluruh tubuhku merinding.


Matanya kehilangan cahaya, dan perlahan-lahan ia mengulurkan tangan ke arah celanaku—aku langsung melepaskan jahitan sementara di saku, menjatuhkan ponsel ke lantai melalui lubang yang sudah kusiapkan.


"Ah!"


Berpura-pura terkejut, aku mundur selangkah.


Untuk menutupi suara ponsel yang jatuh, aku sengaja menabrak meja dan pada saat yang sama menggunakan tumitku untuk menyelipkan ponsel ke belakang.


"A-Akira-kun! Kamu nggak apa-apa? Ma-maaf, Yui hanya merasa terganggu karena kamu terus memasukkan tangan ke dalam saku…"


"Aku baik-baik saja, Yui. Aku hanya sedikit terkejut, itu saja. Ah!"


Aku menatap tajam ke belakang Minatsuki.


"Eh?"


Begitu Minatsuki menoleh ke arah pintu—


Aku cepat-cepat membungkuk, meraih ponsel, dan menyimpannya ke saku yang lain.


"Yui, lihat baik-baik… Itu…!"


"Ada apa? Perempuan itu ada di sana? Jangan khawatir, Akira-kun, Yui akan selalu melindungimu seumur hidup!"


Tolong, lindungi aku dari Minatsuki Yui.


"Ah, ternyata bukan. Itu orang dari kelas lain. Maaf, aku salah lihat."


"Begitu ya, syukurlah."


Setelah memastikan situasi aman, aku tersenyum pada Minatsuki.


Apakah dia sama sekali tidak mencurigai apa pun? Dia tampak lega dan menepuk dadanya.


"Kalau begitu, mari kita bereskan."


"Ya, terima kasih."


Dari depan kelas ke loker sepatu butuh satu atau dua menit. Yura masih akan butuh waktu untuk sampai ke sana. Jika aku mengatur waktu dengan tepat dan mengirim chat yang sudah kusiapkan saat jam home room mulai, situasi ini bisa teratasi.


Dengan ini, sementara waktu aku—


Namun, wajah Yura yang memerah karena berlari, dengan napas tersengal-sengal, kini sudah berada di depan pintu kelas—aku segera menempelkan ponsel ke telinga.


"Eh? Akira-kun?"


"Aku bilang tunggu di loker sepatu! Aku tidak pernah menyuruhmu langsung pergi dan kembali ke sini, kan!?"


Aku berteriak cukup keras hingga bisa terdengar dari balik pintu.


Minatsuki menatapku dengan curiga.


Sementara teman sekelas lainnya memberikan tatapan seperti, "Oh, Kiritani lagi."


Yura, yang sedang melihat ponselnya sambil bermain-main, mendengar teriakanku dan mengangguk sebelum berlari pergi.


"Akira-kun, itu tadi apa?"


"Ah, maaf. Itu ibuku. Sepertinya dia membawakanku kotak bekal yang ketinggalan di rumah dan mengantarkannya ke loker sepatu… Tapi karena ada sedikit kesalahpahaman dalam pesan kami, dia malah kembali ke rumah."


"Oh, begitu ya. Kalau begitu, dia akan datang lagi ke loker sepatu, kan? Kalau begitu, sekalian aku ingin menyapa—"


Aku segera meraih kedua bahu Minatsuki dan memaksanya menoleh ke arahku.


Entah apa yang dia pikirkan, dia mulai gagap dan wajahnya berubah merah padam.


"T-tidak boleh… di dalam kelas…"


Bahkan di luar kelas pun, kau tetap akan bertindak seperti ini, kan?


"Bagaimanapun juga, kamu belum pernah bertemu dengan ibuku sebelumnya. Jika ingin menyapa, sebaiknya di tempat yang lebih pantas. Bertemu dengan ibuku di loker sepatu mungkin bukan situasi yang tepat."


"I-iya… kamu benar…"


Paniklah terus! Panik selamanya!


"Home room dimulai! Kembali ke tempat duduk kalian!"


Saat Unya-sensei memasuki kelas, aku diam-diam mengangkat kepalan tangan dalam kemenangan.


"Hah? Kiritani, apa-apaan posisi dudukmu itu? Jangan bilang ada yang baru lagi?"


Gaya menganggap yandere seperti kecoak itu, aku suka.


"Tidak, ini hanya hari biasa. Maaf, aku sedang beres-beres, jadi silakan mulai home room dulu."


"…Kalau mulai tidak terkendali, laporkan saja. Baiklah, ayo mulai."


Saat home room pagi dimulai, aku akhirnya bisa bernapas lega.


*


"Halo? Mama? Iya, iya… Ah, benar! Aku membawa kotak bekal milik Onii-chan!"


Dengan senyum ceria, dia berkata,


"Aku sedang mengantarkan bekal makan siang untuk Onii-chan sekarang. Iya, guru juga sudah mengizinkan, jadi tidak masalah."


Tentu saja, tidak mungkin seorang guru membiarkan seorang siswi SMP keluar sendirian... bahkan jika jam pertama adalah waktu belajar mandiri.


Tanpa menunjukkan tanda-tanda bahwa dia baru saja berbohong, dia mengakhiri panggilan dan bergumam sendirian.


"Onii-chan, kalau aku datang, dia akan senang tidak ya?"


Sambil melompat-lompat kecil, Sumire berjalan menuju loker sepatu tempat Yura sedang menunggu.


*


Sumire: "Adik perempuan Onii-chan, Sumire, akan mengantarkan bekal makan siang sampai ke loker sepatu~"

Sumire: "(Stiker penguin yang memegang hati)"

Sumire: "Bekal yang Onii-chan bawa tadi pagi sebenarnya kosong, lho. (LOL)"


Dari semua kemungkinan, skenario terburuklah yang menimpaku.


Death flag yang tiba di tengah-tengah homeroom mempercepat kecepatan berpikirku untuk mencari jalur bertahan hidup.


Akira: "Terima kasih, ya. Tapi, aku akan beli roti saja siang ini."

Akira: "(Stiker petugas lalu lintas yang mengangkat papan bertuliskan 'STOP')"


Sumire: "Apa ada sesuatu yang tidak beres kalau aku datang?"

Sumire: "(Stiker anjing yang menyamar sebagai Sherlock Holmes sedang mengintip lewat kaca pembesar)"


Ahh~ ketahuan~!


"Akira-kun? Wajahmu pucat, kamu baik-baik saja?"


"Uh, iya... Sepertinya aku harus ke UKS."


Aku harus segera keluar dari kelas dan menjauhkan Yura dari loker sepatu—


"Kalau begitu, Yui akan menemanimu!"


"Aku sembuh total."


Sial. Kalau aku tidak menemukan alasan yang masuk akal, aku tidak akan bisa lolos dari pengawasan Minatsuki. Tapi, aku juga tidak bisa hanya mengandalkan chat untuk membuat Yura atau Sumire menjauh dari loker sepatu.


Jika Sumire sampai tiba di sana, dia pasti akan bertemu dengan Yura, yang sekarang sedang menungguku di depan loker sepatu. Tidak diragukan lagi, adikku akan bertanya pada Yura, "Kenapa kau ada di sini?"


Bertemu saja sudah masalah, apalagi jika mereka berbicara di tengah situasi yang merepotkan ini.


Adikku ini punya kecenderungan brother complex yang akut, dan meskipun Yura sudah tidak sefanatik dulu, tetap saja pasti ada hal merepotkan yang akan terjadi.


Akira: "Berapa menit lagi sampai?"


Pon— suara notifikasi masuk.


Sumire: "Sekitar dua menit?"


Jika aku berlari, aku bisa sampai ke loker sepatu dalam satu menit.


Melewati Minatsuki dalam waktu 60 detik dan menuju loker sepatu dari kelas... tidak mungkin. Kalau begitu, aku tidak punya pilihan selain pergi bersama dia.


"Maaf, Yui. Sepertinya aku benar-benar tidak enak badan... Bisakah kamu menemaniku ke UKS?"


"Eh? U-Uh, tentu saja! Aku akan menjilat—maksudku, mengelap tubuhmu!"


Kau ini yokai apa!?


"Ayo cepat pergi! S-Sensei! Akira-kun sepertinya tidak enak badan, jadi aku akan mengelap tubuhnya, ehh, dan melakukan ini dan itu!"


Kembalilah ke akhir tahun lalu dan hilangkan semua nafsumu, dasar yandere sialan.


"Oh, oh... Minatsuki bercanda ya? Ini langka sekali."


Suasana kelas dipenuhi tawa riang. Saat Minatsuki wajahnya memerah karena malu, hanya aku yang berdiri di sana dengan ekspresi datar.


"Ayo, Akira-kun... kita pergi?"


Di sepanjang jalan menuju UKS, Minatsuki menempel padaku.


Sambil membayangkan denah sekolah di kepalaku, aku menyadari bahwa jika aku berlari, aku bisa sampai ke loker sepatu dari UKS dalam waktu sekitar 30 detik.


"A-Akira-kun, aku punya permintaan... bolehkah aku mengatakannya?"


Meskipun aku bilang tidak mau dengar, kau pasti tetap akan memaksaku mendengarnya, kan?


"Apa itu?"


"Aku ingin... memotretmu."


Permintaan yang normal!? Ini kejadian langka!


"Foto Akira-kun yang telanjang dengan kalung anjing di lehernya, sebanyak seribu foto."


Ya jelas bukanlah!


"Dan juga, aku ingin menulis 'Minatsuki Yui' di kulit putih dan lembut Akira-kun dengan spidol permanen! Berkali-kali! Di seluruh tubuhmu! Tanpa tersisa sedikit pun! Untuk menunjukkan bahwa kamu adalah milikku! Dengan tanganku sendiri! Berkali-kali! Berkali-kali! Berkali-kali! Berkali-kali! Berkali-kali! Berkali-kali! Aku ingin menulis namaku di seluruh tubuh Akira-kun yang putih dan lembut! Karena Akira-kun milikku! Seluruh dirimu adalah milikku, kan!?"


Dia benar-benar kehilangan kendali!


"B-bolehkan?"


Dari dalam tas yang sejak tadi membuatku curiga, dia mengeluarkan kamera DSLR besar. Napasnya mulai memburu saat dia mendekatiku dengan wajah yang awalnya manis, kini terlihat sangat mendistorsi.


"Maaf... Tentu saja, aku ingin sekali membiarkan pacarku, Yui, menulis namanya di tubuhku... Tapi aku benar-benar tidak enak badan..."


"O-Oh... M-Maaf ya... K-Kalau begitu, lain kali saja? K-Kita berdua... l-lain kali, kita lakukan bersama, ya?"


"Tentu saja."


Enggak, sama sekali enggak!


Merasa krisis kesucian, akhirnya aku tiba di UKS.


Tampaknya guru UKS sedang tidak ada, jadi aku berkata, "Aku ingin mengganti udara sebentar," lalu dengan gerakan yang alami, aku membuka jendela.


"K-kita bersihkan tubuhmu, ya... Tentu saja, pakai lidah Yui untuk membersihkannya..."


"Pertama-tama, aku akan melepas pakaianku. Aku malu jika dilihat saat melepasnya, jadi bolehkah aku menutup tirai?"


"U-uh, iya, cepat ya!"


Sambil cepat-cepat melepas pakaian, aku merekam suara gesekan kain dengan perekam suara dan sengaja menjatuhkan jaket ke celah bawah tirai untuk menciptakan titik buta.


Setelah meletakkan perekam suara yang diputar ulang terus-menerus di samping bantal, aku merayap di bawah tirai menuju jendela, lalu melompat keluar dan langsung berlari sekencang mungkin ke pintu gerbang.


"Yu-Yura!"


"A-Akira-sama!"


Begitu tiba di dekat Yura, aku melihat sosok yang tampaknya adalah adikku di sekitar gerbang sekolah.


Dengan panik, aku menarik tangannya dan menjauh dari rak sepatu.


"Sore ini! Kencan! Kita pergi beli baju buat ke taman hiburan! Tidak ada keberatan, kan!? Jawab 'ya'!"


"Y-ya... t-tapi, kenapa kamu punya tiket taman hiburan dari Minatsuki Yui—"


"Itu hanya kesalahpahaman. Penjelasannya nanti saat kencan. Kamu nggak suka kencan denganku ya?"


Terima ini! Pengalihan topik!


"T-tidak mungkin aku... a-aku tidak suka... j-jika bersama Akira-sama... a-aku akan ke mana saja..."


"Bagus. Kalau begitu, kembali ke kelas dan nantikan waktu pulang sekolah. Mengerti?"


"Y-ya! A-aku menantikannya!"


Setelah memastikan Yura menaiki tangga, aku berlari menuju pintu gerbang dengan perasaan lelah.


"Ah, Onii-chan!"


"Terima kasih untuk bekalnya! Aku sangat menyayangimu!"


Aku mengusap kepalanya 30 kali lebih cepat dari biasanya, dan dengan wajah manja, Sumire mengeluh,


"Mou~ rambutku jadi berantakan, tahu!"


"Maaf! Aku harus segera ke kelas! Onii-chan akan kembali ke kelas sekarang! Adik yang kusayangi pasti bisa mengerti, kan!?"


"Tentu saja! Tapi, sebelum itu... mmh~"


Saat dia menutup mata dan mengerucutkan bibirnya, aku mengecup dahinya. Dengan wajah yang sepenuhnya melunak, dia berbisik dengan suara lemas,


"Onii-chan ini, benar-benar siscon ya..."


"Onii-chan, nanti chat ya! Balas pesanku!"


"Oke! (Kebohongan besar)"


Sambil melambaikan tangan ke adikku yang pergi, aku berlari secepat mungkin menuju ruang guru.


Begitu masuk, aku langsung berteriak kepada Unya-sensei, yang baru saja menyelesaikan home room.


"Sensei! Guru UKS tidak ada, aku tidak tahu letak obatnya, jadi tolong segera ke UKS!"


"Hah? A-ah, baik—"


Aku melompat keluar dari jendela ruang guru, membuat para guru yang sedang menyiapkan pelajaran melotot kaget.


Sampai di UKS, aku berhati-hati masuk lewat jendela dan kembali ke balik tirai.


"...Akira-kun? Hei, dari tadi, kamu mengabaikanku? Hei? Akira-k—"


"Yui."


Aku menghentikan perekam suara, mengelap keringat sambil tersenyum, lalu membuka tirai.


"Maaf menunggu."


"J-jika begitu, sekarang juga, dengan lidahku—"


"Kiritani, kau baik-baik saja?"


Tepat saat Unya-sensei masuk, Minatsuki mendecak lidahnya dengan kesal.


Aku, yang baru saja membuat yang mustahil menjadi mungkin, hampir saja melakukan pose kemenangan karena rasa puas yang meluap-luap—


Sumire: "Aku ingin pulang bersama Onii-chan, jadi nanti aku tunggu di depan gerbang, ya?"

Sumire: "(Stiker seorang siswi yang menyerahkan surat cinta)"

Sumire: "Onii-chan, aku sangat menyayangimu, tahu?"


Aku mengutuk Tuhan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close