Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
~Kekalahan Keempat~
Siapa Sebenarnya Musuh Para Wanita?
Hari pelaksanaan festival olahraga SMA Tsuwabuki. Harapan pupus begitu saja—cuaca cerah menyilaukan tanpa satu awan pun.
Pemilihan ketua OSIS telah berakhir tanpa hambatan, dan setelah festival ini usai, OSIS yang sekarang akan resmi dibubarkan.
Tentu saja, sebagian besar siswa SMA Tsuwabuki tidak peduli soal itu, dan buatku sendiri, karena pemilihan sudah selesai, itu juga bukan urusanku lagi──
Sambil memikirkan hal itu, aku memandangi para anak populer yang berlari sambil mendapat sorakan dukungan.
Aku sudah ikut lomba lari estafet dan tarik tambang yang wajib diikuti semua peserta, dan sekarang tubuhku sudah kelelahan total.
Khususnya soal lomba lari, karena sejak Maret lalu aku berhasil mencapai level lari di atas rata-rata siswa kelas satu, aku pikir bisa bertarung secara seimbang. Tapi ada satu hal yang kuperhitungkan salah.
──Semua orang sudah naik ke kelas dua.
Dan yang lebih buruk, kelima orang yang lari bersamaku jelas bukan orang biasa—mereka semua dari klub olahraga, termasuk klub atletik, dan juga Hakamada Sosuke.
Si Hakamada itu bahkan mengalahkan cowok-cowok dari klub atletik dan jadi juara satu, sungguh efek protagonis yang menakutkan. Tentu saja, aku berada di posisi terakhir.
Entah kenapa bahuku juga mulai nyeri. Sampai segitunya hanya karena tarik tambang… sepertinya aku memang sudah tidak punya harapan lagi.
"Hei, Nukumizu, sebentar lagi giliran kita."
"Yah, aku tahu."
Aku dan Ayano saling bertukar pandang, lalu kembali mengalihkan pandangan ke lapangan.
Yang sedang berlangsung sekarang adalah lomba estafet campuran antar kelas.
Buatku yang tak punya hubungan dengan lomba-lomba anak populer, ini bukan hal yang perlu diperhatikan. Tapi kali ini, aku tak bisa mengabaikannya.
Yakishio akan tampil sebagai pelari terakhir untuk kelas 2-E.
Aku dan Ayano, yang berdiri di dekat tikungan keempat, memperhatikan saat tongkat estafet diberikan ke Yakishio.
"Lihat, tongkatnya dikasih ke Lemon saat dia masih di posisi pertama!"
"Udah lihat, jadi jangan tarik bajuku."
Pelari terakhir harus menempuh jarak 400 meter, lebih panjang dari yang lain.
Begitu Yakishio mulai berlari, sorakan terdengar dari seluruh lapangan.
Tak terbayangkan bahwa dia bukan spesialis lari jarak menengah—ia langsung menembus tikungan pertama dengan kecepatan luar biasa.
…Cepat sekali. Memang sejak tahun lalu dia sudah cepat, tapi sekarang auranya makin gila.
Saat aku terpukau melihatnya, Ayano menyilangkan tangan dan mengangguk-angguk puas.
"Kau tahu nggak? Sebenarnya si Lemon juga catatan waktunya di lari jarak pendek meningkat, lho."
"Eh, masa sih?"
"Iya. Katanya tadi sebelum estafet sempat uji coba, dan dia pecahin rekor pribadinya."
Melihat Ayano tampak bangga, aku sengaja mengangkat bahu dengan gaya sok.
"Rekor pribadi itu catatan resmi sebelum tanding lawan aku, kan? Sayangnya, dia sudah pecah rekor waktu tanding lawan aku Maret lalu."
Ayano menyipitkan mata dan kacamatanya memantul cahaya.
"Kalau begitu, kau tahu nggak? Lemon pas hari tanding, dia nggak makan makanan padat. Katanya supaya mudah atur kondisi, dia cuma minum jus dan makan jelly."
Wah, begitu ya. Itu sih nggak mungkin ditiru Yanami.
Tapi, terlepas dari itu, rasanya aneh aja cowok yang udah punya pacar ngomong seolah dia ‘mengerti’ banget Yakishio.
"Kalau begitu, Ayano, kau tahu nggak. Yakishio itu sebelum lomba biasanya dengerin musik buat fokus."
"Oh, tentu saja aku tahu."
"Yah, sudah kuduga sih. Nah, ini poin pentingnya. Di turnamen terakhir, katanya dia lupa nyolok earphone dan suaranya keluar dari speaker. Katanya malu banget."
"Ahaha, khas Lemon banget."
"Kan?"
Saat kami sibuk bertarung dalam perang informasi soal Yakishio, dia sudah sampai tikungan keempat.
Sesaat, mata kami seperti bertemu──dan di detik berikutnya, Yakishio mengacungkan telunjuk ke arahku, lalu melesat melewatiku dalam sekejap.
Lalu dengan sekali lagi memacu kecepatannya, dia berhasil lolos dari kejaran lawan laki-laki dan melewati garis akhir.
Dengan sorakan menggema di belakangnya, Yakishio melompat ke tengah lingkaran teman-teman sekelasnya di 2-E.
Kami yang tadi terpukau oleh larinya Yakishio pun saling memandang dan berkata:
"──Barusan, dia ngasih kode ke arahku, kan?"
Kenapa harus kompak ngomongnya?
Aku menghela napas dan menaruh tangan di bahu Ayano.
"Coba pikir dengan logis, Ayano. Meski kita temannya, agak aneh kalau Yakishio ngasih kode ke cowok yang udah punya pacar. Jadi, secara eliminasi, jelas dia ngasih kode ke aku."
"Itu nggak ada hubungannya. Ngasih isyarat ke temen yang nyemangatin itu biasa aja, bukan hal aneh."
"Kalau begitu, bisa aja dia ngasih kode ke aku juga, kan? Toh, yang bilang aku temannya Yakishio itu kau sendiri."
Ayano berpikir sejenak, lalu mendorong kacamatanya ke atas dengan ujung jarinya.
"…Kacamata."
"Apa maksudmu?"
"Kacamataku yang mantulin cahaya, makanya Lemon sadar aku di sini. Kalau nggak begitu, mana mungkin dari segitu banyak orang dia bisa nemu aku."
"Mungkin justru silau dan bikin risih. Aku jadi ngerasa dia sebenarnya ngacungin jari tengah, bukan telunjuk."
Kami saling melempar pandang tajam dalam diam. Tepat ketika ronde kedua akan dimulai──
"Mitsuki-san!"
Yang muncul adalah Asagumo-san. Setelah memberi anggukan ringan padaku, dia tersenyum pada Ayano.
"Tadi lihat lari Yakishio-san? Keren banget ya."
"Iya, Chihaya juga lihat, ya. Dia emang luar biasa."
"Benar. Nukumizu-san, boleh pinjam Mitsuki-san sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan."
Saat aku mengangguk tanpa bicara, Asagumo-san menggenggam kedua tangan Ayano.
"Chihaya, mau ngomong apa?"
"Ada yang ingin dibicarakan. Ayo ngobrol di sana, ya."
Aku menyatukan kedua tangan dan mengirim doa ke punggung Ayano yang sedang dibawa pergi.
…Percakapan tadi, sepertinya dia dengar semuanya.
Yah, yang salah itu cowok yang sudah punya pacar tapi masih genit ke cewek yang sudah dia tolak. Introspeksi, dong.
Nah, perlombaan pagi sudah hampir selesai.
Apa lagi ya yang tersisa…
Saat aku mengorek-ngorek kantong untuk mencari jadwal pertandingan, Yanami tiba-tiba berlari menghampiriku.
"Ketemu juga!"
"Ada apa? Kenapa buru-buru begitu?"
Yanami mengatur napasnya, lalu menatapku dengan mata jernih sambil mengulurkan kedua tangannya.
"Nukumizu-kun, kasih aku bekal makan siangmu!"
"Nggak mau."
Aku langsung menjawab, dan Yanami hanya mengangkat bahu seperti bilang 'yah, sudah kuduga'.
"Yah, kalau begitu, aku jelasin supaya Nukumizu-kun bisa ngerti, ya?"
"Jawabanku tetap enggak berubah, tahu?"
Meski aku menegaskan lagi, Yanami tetap melanjutkan bicaranya.
"Tahu kan, pertunjukan yel-yel itu di awal sesi siang? Nah, kita itu begitu masuk waktu istirahat langsung ganti baju, terus sambil makan siang kita diskusi buat pertunjukannya."
"Hmm."
Apa hubungannya itu denganku?
Aku menjawab dengan malas, dan Yanami menatapku tajam.
"Nah, kan, kita udah olahraga dari pagi, jadi perut juga lapar. Makanya..."
"…Kau makan lebih dulu, ya."
"Aku cuma nyicip sedikit kok. Tapi ternyata bekalnya enggak punya nyali, langsung kalah."
"Nyali," katanya. Sejak kapan bekal punya parameter tersembunyi begitu?
Aku paham keadaannya, tapi aku nggak bisa ngasih bekal spesial buatan Kaju ke orang yang nggak ngerti nilainya.
"Kenapa nggak beli roti aja di kantin?"
"Soalnya abis ini aku ikut lomba makan roti, jadi enggak sempat beli. Tolong beliin, ya."
"Terus kenapa nggak kamu makan aja roti lomba itu buat makan siang?"
"Menurutmu cukup?"
Ya, enggak cukup sih. Salahku.
Saat aku mengangguk, Yanami mengucapkan terima kasih dan mau pergi.
"Tunggu, duit buat rotinya. Ngutang itu enggak bagus, kan?"
"…Aku kelihatan kayak cewek yang enggak bayar utang, ya?"
No comment soal itu. Yanami mengorek saku celana pendeknya dan mengeluarkan koin 500 yen.
"Kalau gitu, tolong cariin roti yang kelihatan punya nyali, ya."
Sambil melambaikan tangan, Yanami berlari pergi. Aku menatap kepergiannya sambil memiringkan kepala.
Roti yang punya nyali… kayak gimana, ya?
â—‡
Dalam perjalanan pulang dari kantin, aku menenteng roti sampai penuh kedua tanganku.
Aku berhasil mendapatkan tujuh roti kari diskon yang habis masa berlakunya hari ini.
Roti kari itu kelihatan kuat, jadi Yanami pasti senang.
Sambil bersenandung kecil, aku berjalan menyusuri lorong dekat taman tengah. Lalu, dari arah depan, muncul seorang siswi imut.
Shiratama-san.
Begitu dia melihatku, dia langsung berlari kecil mendekat. Imut sekali. Dia memang imut, itu tak terbantahkan, tapi hari ini dia kelihatan lebih spesial.
Di kepalanya ada bando telinga binatang, dan dia mengenakan kostum berbulu lengkap dengan ekor binatang.
Tingkat keimutannya naik drastis.
Shiratama-san mengangkat kedua tangannya di hadapanku dan berkata,
"Ketua~! Grawrr~!"
Dengan gaya bercanda yang super imut.
"Itu kostum buat pertunjukan yel-yel, ya?"
"Betul! Kelas aku bakal nari tarian Compoko rubah dan rakun. Aku jadi rakunnya!"
Dia menjulurkan lidah sambil bilang "tehe". Aneh banget. Tapi imut.
Saat melihat roti kari yang aku bawa, mata Shiratama-san langsung membelalak.
"Waaah, Ketua makannya banyak, ya!"
"Eh, ini bukan untukku sih—"
"Untuk Yanami-san, ya?"
Shiratama-san terkekeh kecil dan menatapku dari bawah dengan mata berbinar.
"Ketua, nanti lihat pertunjukan yel-yel kelas 1-E, ya?"
"Eh? Umm, asal enggak bentrok sama kelas kita sih…"
Aku menjawab agak ragu, dan Shiratama-san tersenyum secerah bunga mekar.
"Yay, aku jadi semangat! Nanti waktu aku nari, aku bakal kasih tanda ke Ketua, ya. Pokoknya harus lihat, ya!"
"Eh, ke aku?"
"…Cuma ke Ketua, lho."
Bisiknya lirih dan manis. Begitu dia berbalik, ekor rakun di kostumnya berayun lembut di udara.
â—‡
Perlombaan pagi pun selesai, dan waktu istirahat siang pun dimulai.
Sakurai-kun dan Ayano ikut dalam tim yel-yel, jadi aku makan siang sendirian di sudut lapangan sekolah.
Di bawah bayangan pohon, angin berdesir di antara dedaunan.
Sesekali, suara burung terdengar dari atas.
"Sekali-kali punya waktu tenang begini juga enak, ya…"
Sekarang, setelah baecon telur puyuh, aku mau makan yang mana ya.
Mini oden di tusuk atau karaage yang jadi menu andalan… Saat aku menatap bekal spesial buatan Kaju, bayangan menutupi tanganku.
Saat aku menengadah, di sana berdiri Komari, membawa bungkusan bekal.
"U-umm… anu…"
Komari memainkan poni rambutnya sambil gelisah.
"Eh? Bukannya anggota tim pertunjukan lagi makan bekal sambil rapat bareng?"
"Ak—aku nggak ada peran pas penampilan aslinya. Mu—musik juga diputar sama panitia kok."
"Oh, gitu ya. Terus kenapa kamu ada di tempat kayak—"
"Uwaa?! I—it—itu karena..."
Melihat Komari yang panik, aku mengangguk besar. Oh, jadi begitu maksudnya.
"Paham kok, kamu lagi nyari tempat yang nggak terlalu kelihatan orang, kan?"
"...Eh?"
Aku menunjuk dengan ibu jari ke arah belakang.
"Saranku, di balik semak-semak itu. Tenang, terus ada rumput mirip rumput lapangan yang enak buat duduk. Aku pilih di sini soalnya bisa denger suara burung, tapi secara keseluruhan, di sana lebih unggul."
Bagus, aku udah berbuat baik. Sesama anak introvert, harus saling bantu dong.
Saat aku puas dan mulai mengambil sepotong karaage dengan sumpit, Komari bergumam pelan.
"...Ma—mati aja sana."
Kenapa dihina?
Aku masih bingung dengan penghinaan mendadak itu saat angin membawa aroma bunga yang semerbak.
Lalu BGM yang megah dan bersemangat makin mendekat—
"Syukurlah, ketemu juga!"
Yang datang berlari adalah Himemiya Karen dengan kostum cheerleader.
Begitu Himemiya-san mengerem mendadak di depan Komari, impian para pria ikut memantul naik-turun karena hukum inersia.
…Luar biasa. Aku nggak bilang apa, tapi memang luar biasa.
Saking terpesonanya aku sampai terpaku, Himemiya-san menggenggam tangan Komari dengan kuat.
"Komari-chan, mau ikut tampil di pertunjukan semangat, ya!"
"Eh?!"
"Tadi Takanashi-chan keseleo kakinya. Dia itu perannya yang diangkat, jadi butuh pengganti!"
Takanashi-san itu, kalau nggak salah, cewek mungil seukuran Komari, ya.
Himemiya-san terus mendekat ke arah Komari.
"Kamu kan hafal semua alurnya, Komari-chan? Jadi tolong gantikan Takanashi-chan buat peran yang diangkat, ya!"
"U—uhm..."
Komari yang ketakutan menatap ke arahku minta bantuan. Aku berpaling diam-diam.
"Tolong banget, cuma bisa minta tolong ke kamu, Komari-chan!"
"Ka—kan bisa minta ke Yanami..."
"Soalnya Anna itu... be—berat—eh maksudku, punya power yang besar, jadi cocoknya buat ngangkat. Nggak apa-apa kok, kita semua bantu!"
Kilau senyum Himemiya-san yang berkilauan membuat semangat hidup Komari perlahan menghilang.
Kepalanya tertunduk lemas.
Himemiya-san menganggap itu sebagai persetujuan, lalu menyeret Komari dengan paksa.
…Kayaknya bakal berat nih.
Sambil memegang tusuk oden, aku memandang dahan pohon di atas.
Oh, tadi itu suara burung Jobitaki. Apa dia gagal migrasi ke utara...?
Dengan suara burung yang terdengar sedih di telinga, aku menggigit konnyaku yang penuh rasa.
â—‡
Tak lama, bagian siang pun dimulai.
Dari speaker lapangan terdengar musik ceria, menandakan dimulainya pertunjukan semangat kelas 2-C.
Penampilan kelas kami adalah tim cheerleader & tim yel-yel dengan seragam sekolah.
Gerakan dansa yang longgar khas festival olahraga ini cukup menghibur, tapi bukan itu fokusnya.
—Himemiya Karen. Daya tarik dada yang mengguncang dan wajah cantik. Ditambah aura bersinar yang mendominasi sekeliling.
Di sekitar dia seakan hukum fisika lain yang berlaku, sesuatu penuh impian melayang di udara.
Apa pemandangan kayak gini emang boleh muncul di sekolah negeri siang-siang begini...?
Tahu-tahu, penonton jadi banyak banget. Pasti seluruh siswa laki-laki ngumpul di sini.
Ngomong-ngomong, Yanami yang makan tujuh roti kari juga masih segar bugar.
Desain kostum cheerleader yang kadang memperlihatkan perut sempat bikin khawatir, tapi perut lembek Yanami nggak terlalu kelihatan. Sejak dikatai "gendut" oleh keluarga Shiratama, sepertinya dia rajin diet.
Tapi, semua roti itu masuk ke mana ya...?
Sambil memikirkan perut Yanami yang kadang kelihatan, aku mencari-cari keberadaan Komari.
Baru aku khawatir dia kabur, aku melihat Komari sedang mengayunkan pom-pom kecil dari belakang para cewek.
...Dia pintar banget ngumpet di blind spot. Oh, dia ngilang lagi.
Aku menatapnya seperti sedang mengamati hewan liar, lalu musik pun masuk ke klimaks.
Formasi cheerleader berubah, semua mengelilingi seseorang.
Yang ada di tengah adalah—Komari.
Saat Ayano dari tim yel-yel meniup peluit kencang, para cheerleader pun mengangkat Komari yang lemah menolak hingga setinggi bahu.
Komari yang disorot banyak orang, dengan wajah pucat seperti robot, mengangkat pom-pom ke atas kepala.
Tepat di saat itu, musik berhenti.
Setelah peluit berbunyi lagi, dengan aba-aba—cheerleader melempar Komari ke udara.
Suara jeritan Komari menggema di seluruh lapangan, lalu tubuhnya yang jatuh ditangkap dengan aman oleh cheerleader lainnya. Dan saat itu—tepuk tangan meriah pun pecah. Sukses besar.
Melihat Komari yang dikerubungi teman-teman perempuan, aku mengangguk terharu.
Komari, kamu sudah jadi gadis yang hebat. Walau kelihatannya lagi pingsan sih.
â—‡
Sekarang, giliran aku nonton penampilan Shiratama-san.
Aku mengambil posisi yang pas buat melihat penampilan kelas 1-E, lalu menyilangkan tangan dan memperhatikan.
Tentu saja, ini demi tugas sebagai ketua klub yang mendukung juniornya. Bukan karena tadi dibilang akan dikasih kode terus aku langsung datang dengan harapan tinggi. Tapi… kayaknya kalau lebih dekat, bakal lebih kelihatan, ya…
Penampilan kelas 1-E melibatkan cowok dan cewek berdandan jadi rubah atau rakun dan menari bersama.
Pemandangan mereka bercanda bareng itu benar-benar bikin iri—eh maksudku, menyenangkan.
Shiratama-san sangat mencolok di antara mereka, tapi kok dia cuma berinteraksi sama cowok-cowok ya…?
Begitu musik dimulai, seluruh kelas 1-E mulai menari dengan gerakan lucu seperti kucing keberuntungan. Para cowok juga ikut bergerak lucu demi mengundang tawa—sepertinya memang itu tujuannya.
Dan saat gerakan mereka mulai serempak, Shiratama-san semakin mencuri perhatian. Setiap gerakannya imut seperti idol, dan pose menggoda dengan tangan mengisyaratkan orang untuk mendekat sudah mencapai tingkat profesional.
Kalau ini adalah grup idol sungguhan, sudah pasti grupnya akan bubar karena kesenjangan popularitas.
Mungkin karena pesona Shiratama-san mulai terasa, jumlah penonton pun perlahan bertambah.
...Kalau begini, nggak mungkin dia ngasih isyarat cuma buatku.
Ya, Shiratama-san memang idol semua orang. Bukan milikku seorang lagi.
Saat aku merasa sedikit sedih, tiba-tiba pandanganku bertemu dengan mata Shiratama-san.
Dia tersenyum manis, lalu mengirimkan flying kiss ke arahku dengan kedua tangan.
...Perempuan itu, benar-benar nekat.
Rasanya malu dan entah kenapa, jantungku juga berdebar.
Saat aku sibuk dengan perasaan aneh itu, para cowok di sekelilingku mulai ribut.
"Barusan dia ngirim flying kiss ke aku, kan?"
"Ngaco, jelas-jelas ke aku!"
"Nggak, udah pasti itu buat aku!"
Aku cuma bisa tersenyum kecut dalam hati sambil mengibaskan rambutku.
Maaf, sebenarnya yang dia kasih isyarat tadi memang aku. Tapi tetap dukung Shiratama-san dengan batas yang wajar, ya.
"Eh, jadi kamu juga nonton ya, Nukumizu-kun."
"Ah, iya."
Tiba-tiba saja, Tanaka-sensei sudah berdiri di belakangku.
Beliau sedikit menekuk lutut dan berbisik di dekat telingaku.
"Belakangan ini, kamu dan Riko-chan gimana?"
Gimana ya... Kurasa dia mulai akrab juga dengan kami. Mungkin.
"Umm, ya lumayan tenang sih. Tiba-tiba aja dia tukaran kontak sama adikku juga."
"Adikmu? Maksudmu, adik kandungmu, Nukumizu-kun?"
Tanaka-sensei terlihat terkejut entah kenapa.
"Iya, awalnya sih mereka nggak terlalu akur. Tapi belakangan ini, kalau Shiratama-san main ke rumah pun, adikku udah nggak nyiramin garam lagi. Jadi kurasa mereka udah baikan."
"Garam...? Dan Riko-chan, dia udah pernah main ke rumahmu?"
"Yah, sesekali sih."
Oh iya, Tanaka-sensei masih mengira aku pacaran sama Shiratama-san, ya. Tapi ya sudahlah. Toh kami memang nggak benar-benar pacaran. Nanti juga dia sadar sendiri.
"Ngomong-ngomong, sensei sendiri gimana? Akhir-akhir ini akur juga sama Shiratama-san?"
Pertanyaanku cukup to the point, tapi Tanaka-sensei hanya tertawa ringan dan itu menenangkan.
"Ah iya. Barusan dia manggil aku juga, katanya mau ngasih isyarat, jadi minta aku nonton."
"Hah? Shiratama-san sampai segitunya... heh..."
Shiratama Riko... dasar cewek itu...
Pertunjukan kelas 1-E pun selesai, dan Tanaka-sensei bertepuk tangan.
Aku ikut bertepuk tangan sambil melirik wajah samping Tanaka-sensei yang terlihat tenang.
...Kurasa beliau juga nggak akan pernah nyangka kalau Shiratama-san mungkin sedang mengincarnya.
"Ngomong-ngomong, Riko-chan katanya suka nulis novel, ya?"
"Eh? Ya... semacam itulah."
Tanaka-sensei menatapku dengan penuh rasa ingin tahu.
"Aku udah minta berkali-kali, tapi dia malu dan nggak pernah mau nunjukin. Jadi penasaran, dia nulis kayak gimana sih?"
Novel Shiratama-san itu... tokoh utamanya berdasarkan Tanaka-sensei, tunangannya sudah meninggal, dan adik dari tunangan itu adalah heroine-nya. Hmm... jelas nggak bisa ditunjukin.
"Itu novel sejarah, sih. Tapi ya, novel yang ditulis keluarga tuh, dibaca atau nunjukinnya sama-sama berat. Aku sendiri juga butuh mental buat baca novel yang ditulis adikku."
"Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga, ya."
Tanaka-sensei mengangguk, tampak seperti mengerti dari pengalaman sendiri.
"Nanti kalau udah agak rapi, aku bakal kasih, kok."
"Ah, aku tunggu ya."
Tanaka-sensei menepuk punggungku lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Aku sempat melirik Shiratama-san yang sedang dikerumuni cowok-cowok, lalu melangkah menuju kelas sendiri.
Waktunya lomba halang rintang sudah hampir tiba.
Baiklah, kali ini aku harus bisa menunjukkan sisi kerenku—walaupun cuma sedikit.
â—‡
Tenda utama panitia pelaksana festival olahraga juga berfungsi sebagai ruang P3K darurat.
Alasan aku jauh-jauh ke sini... ya karena lututku lecet habis jatuh.
Tadi aku berhasil lewat jaring rintangan dengan keren, tapi begitu mau lari, kakiku malah nyangkut dan jatuh. Festival olahraga itu bahaya, sebaiknya dilarang aja.
"Umm..."
Dengan hati-hati aku memanggil dari luar tenda, dan Konuki-sensei yang mengenakan jas lab menoleh.
"Eh, ada apa, Nukumizu-kun? Datang untuk menemuiku, ya?"
"Enggak, aku cuma luka di kaki, jadi mau minta antiseptik."
"Masih tetap dingin, ya. Ayo, duduk di kursi itu."
Setelah memeriksa lukanya, Konuki-sensei melambai memanggil seorang murid di belakangnya.
"Kalau begini cukup dibersihkan saja. Panitia, bisa tolong?"
"Baik, aku mengerti."
Orang yang menggantikan Konuki-sensei adalah—Sakurai. Sambil tersenyum kecut, dia duduk di kursi seberang.
"Barusan, kerja bagus. Sayang sekali, ya."
Enggak juga sih, aku cuma peringkat lima dari enam peserta, tapi setidaknya bukan yang terakhir, itu saja sudah cukup bersyukur.
Setelah pemilihan selesai, Sakurai sibuk sekali dengan persiapan festival olahraga, dan kami hampir tak punya waktu untuk bicara. Aku membuka mulut, sedikit merasa canggung.
"Kau bahkan bantu-bantu begini juga?"
"OSIS juga merangkap jadi panitia pelaksana. Ini semacam tugas terakhirku. Oke, agak perih, ya."
Sakurai menepuk-nepuk luka dengan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik.
Sambil mengamati gerakannya yang terampil, aku tanpa sadar membuka mulut.
"Orang yang menyarankan Basori-san ke para senior itu ternyata kamu, ya."
Sakurai menghentikan tangannya, lalu bicara dengan ragu.
"Waktu kami ikut relawan bareng, ada sekelompok orang yang nggak suka sama Basori-chan. Mereka ngomongin macam-macam yang nggak benar, cukup parah."
Wajah Sakurai terlihat suram, seakan sedang mengingat sesuatu.
"Tapi waktu ketua kelompok itu terlibat masalah dan dijauhi, satu-satunya yang berdiri di pihaknya itu—"
"Itu Basori-san, ya."
Sakurai mengangguk tanpa suara, lalu kembali melanjutkan perawatannya.
…Jadi Tiara-san punya masa lalu seperti itu, ya.
Dibenci orang, dan tetap membela mereka yang membenci—itu memang sangat mencerminkan dirinya.
Tiga orang dari OSIS tahu banyak sisi baik Tiara-san, dan mereka menganggapnya sebagai teman yang berharga.
Mungkin aku memang nggak perlu terlalu ikut campur.
Dan kegiatan relawan di sekolah ini… ternyata cukup berantakan juga, ya. Menyeramkan…
"Oke, sudah selesai."
Di atas luka di lututku, sekarang ada kain kasa yang menutupinya.
Saat aku masih terkesan, seorang siswi masuk ke tenda dengan langkah cepat.
Rambut dikuncir ketat dan alis yang tegas. Ketua OSIS berikutnya, Tiara-san.
"Sakurai-kun, bisa bantu persiapan upacara penutupan? Shikiya-senpai melepaskan kancingnya, jadi—"
Dia baru sadar akan kehadiranku, lalu buru-buru menghampiri.
"Nukumizu-san, kamu terluka!? Biar aku yang rawat!"
"Ah, Sakurai-kun sudah bantu, jadi enggak apa-apa."
Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk kakiku.
"Eh, begitu ya…"
Dengan tangan masih membawa antiseptik dan perban, Tiara-san tampak kecewa. Di sisi lain, Sakurai-kun berdiri dari kursinya.
"Aku bantu persiapan upacara penutupannya, ya. Sisanya kuserahkan ke Basori-chan."
"Ah, baik. Aku terima tugasnya."
Kini tinggal kami berdua di dalam tenda. Di saat seperti ini, tentu saja Konuki-sensei entah pergi ke mana.
Sejak pemilihan "hidung berdarah" itu, kami hampir tak bicara. Rasanya agak canggung…
"Umm, kalau begitu aku juga—"
"Setelah ini aku ikut lomba ambil barang. Nukumizu-san mau nonton, kan?"
Tiara-san menyelipkan kalimatnya sebelum aku selesai bicara.
"Yah… lomba ambil barang itu cukup unik, jadi kupikir mau nonton."
"Fufu, kan? Lomba seperti itu mirip di manga shoujo, jadi aku agak mengidam-idamkannya."
Tiara-san tersenyum dengan santai, lalu menepuk punggungku dengan kedua tangan.
"Maaf sudah menahanmu. Tapi tolong, tonton baik-baik saat aku tampil, ya."
"Ah, iya. Baik."
Setelah Shiratama-san, sekarang Tiara-san juga… Pemilihan sudah selesai, jadi sebenarnya apa tujuan mereka…?
Sambil memiringkan kepala, aku kembali ke kelas.
â—‡
Lomba ambil barang adalah lomba di mana peserta harus mengambil barang yang tertulis dalam catatan di lapangan.
Barangnya bisa seperti ikat kepala atau kacamata, tapi kadang juga bisa seperti ‘orang yang kau hormati’.
Kalau di manga shoujo, biasanya tokoh cowok akan dapat catatan bertuliskan ‘harta karunmu’ dan lalu menggendong tokoh cewek utama sambil berlari ke garis akhir.
Jadi Tiara-san ternyata mengidam-idamkan hal seperti itu. Jadi dia nggak cuma cewek aneh yang hobi fantasi aja, ya…
Sambil menatap lomba ambil barang siswa tahun pertama, aku mendengar Ayano di sebelahku bicara dengan senyum malas.
"Selanjutnya Chihaya yang tampil. Kalau sampai kelewat nanti bisa ribut."
Dia memang selalu cari-cari celah buat pamer. Benar-benar bikin lengah.
"Ngomong-ngomong, tadi kau enggak apa-apa? Tadi kan dibawa pergi sama Asagumo-san, katanya mau bicara."
"Chihaya bawa aku…? Bicara soal apa?"
"Loh, habis kita dukung Yakishio pas estafet campuran itu, kan?"
"Mendukung Lemon…?"
Ayano benar-benar terlihat bingung, lalu menyilangkan tangan dan berpikir dalam.
Eh, tunggu. Asagumo-san ngapain ke Ayano tadi…?
"──Selanjutnya adalah lomba ambil barang, untuk siswa kelas dua. Para peserta harap bersiap di garis start."
Suara pengumuman menggema di lapangan, seakan mengusir rasa takutku.
Oke, soal pasangan Ayano-Chihaya, mending dilupakan saja…
Di garis start, dua belas peserta dari masing-masing kelas berdiri berdampingan, termasuk di antaranya adalah Asagumo dan Tiara-san. Saat Asagumo-san menyapa Tiara-san, Tiara-san tampak tersentak ketakutan.
Insting itu… sebaiknya dipercaya.
Begitu panitia lomba selesai menata memo berisi tantangan di depan garis start, lomba pun segera dimulai.
Bersamaan dengan suara pistol, Asagumo-san melesat maju, melihat sepintas memo yang dipilihnya, lalu langsung berlari ke arahku. Yang tertulis di memo yang dia ambil adalah—
"Temaku adalah 'kacamata'. Bisakah aku meminjam kacamatamu, Mitsuki-san?"
"Oh, tentu. Semangat, ya."
"Ya, Mitsuki-san!"
Entah kenapa, Asagumo-san malah mengenakan kacamataku sendiri, lalu mulai berlari dengan langkah goyah.
Tapi dia lari ke arah yang salah dari garis finish… semoga dia baik-baik saja.
"Harusnya kau ikut mendampinginya, Ayano. Asagumo-san lari ke arah sebaliknya, tahu?"
"Serius? Tapi aku nggak bisa lihat apa-apa tanpa kacamata, jadi nggak sadar."
Yah, wajar sih. Tapi mereka berdua kelihatannya menikmati ini, jadi biarlah.
Saat perhatianku kembali ke lapangan, seorang gadis lainnya tampak berlari ke arahku.
Itu Tiara-san. Ia berhenti di depanku, wajahnya merah karena kelelahan dan napasnya terengah.
"Um, Nukumizu-san. Bisa ikut denganku?"
"Hah? Aku?"
Apa dia dapat tantangan seperti 'anak introvert' atau semacamnya?
Sebelum aku bisa menanyakan temanya, Tiara-san langsung menggenggam tanganku.
"Kalau begitu, ayo lari!"
"Eh, tunggu dulu?!"
Dengan tatapan penasaran dari teman-teman sekelas, aku pun ditarik berlari bersamanya.
Kenapa rasanya seperti aku yang jadi tokoh utama di shoujo manga sekarang?
"Hei, Tiara-san, tema apa yang kamu dapat?"
"Aku tambah kecepatannya! Jangan sampai lidahmu tergigit!"
Tiara-san tidak menjawab dan justru mempercepat langkahnya.
Dengan kondisi seperti ini, jelas tak ada waktu buat ngobrol. Aku menyesuaikan langkah dengannya menuju garis finis.
Para peserta dari kelas lain yang kami lewati menatap kami dengan terkejut.
Aku… sedang berlari sambil menggenggam tangan seorang gadis di depan seluruh murid sekolah. Tiba-tiba aku merasa gugup.
Tunggu, kaki mana yang harus aku ayunkan dulu… kanan atau kiri?
Saat aku hampir tersandung karena panik, Tiara-san menarik tanganku dengan kuat dan kami pun melewati garis finis.
Sambil masih menggenggam tanganku, Tiara-san mengatur napasnya. Tapi begitu panitia perempuan mendekat, ia pun melepasnya.
"Permisi, aku akan memeriksa tantangannya."
"Terima kasih. Ini dia."
Tiara-san mengeluarkan memo dan menunjukkannya pada panitia. Melihat isi memo, si panitia tampak membelalak dan terdiam.
Tiara-san tersenyum lembut padanya.
"Apakah tidak apa-apa?"
"Ah, ya…"
Setelah mengangguk cepat, panitia itu mundur. Tiara-san menunduk padaku.
"Terima kasih banyak, Nukumizu-san. Kau sudah membantuku."
"Gak masalah sih, tapi… temamu apa tadi?"
"Kamu penasaran?"
Ya, tentu aku penasaran. Tapi sepertinya akan merepotkan kalau ditanya lebih lanjut…
Saat aku ragu harus bereaksi bagaimana, tiba-tiba kilau cahaya memantul dan menyilaukan penglihatanku.
Ketika aku menoleh, ternyata Asagumo-san sudah ada di dekat kami, memakai kacamataku.
"Itu suara Nukumizu-san, kan? Jadi yang di sebelahmu itu Basori-san, ya."
Dengan penuh rasa ingin tahu, Asagumo-san menatap kami lewat kacamataku.
"Temaku adalah kacamata. Kalau Basori-san, temanya Nukumizu-san, ya?"
Pertanyaan polos itu membuat Tiara-san tertawa kecil dan menggenggam tangan Asagumo-san.
"Kurang lebih begitu. Asagumo-san, biar aku antarkan ke tempat tunggu, ya. Biar aman."
"Wah, terima kasih. Ngomong-ngomong, garis finishnya di mana, ya?"
"Kamu sudah sampai, kok. Ayo, ke sini."
Sambil memandu Asagumo-san, Tiara-san melewatiku.
"Jadi temanya tadi itu—"
Saat aku hendak bertanya lagi, Tiara-san menatapku dengan senyum nakal.
Lalu saat kami berpapasan, dia membisikkan sesuatu di telingaku:
"Kalau begitu, setelah pulang sekolah nanti… bolehkah aku minta sedikit waktumu?"
â—‡
Festival olahraga SMA Tsuwabuki pun berakhir, meninggalkan luka gores dan nyeri otot sebagai kenangan untukku.
Ada cheerleader dengan berbagai macam ukuran, lari gila-gilaan dari Yakishio, tarian Shiratama-san, dan bekal spesial buatan Kaju—
Semua itu sudah mulai berubah jadi kenangan, dan siapa yang menang antara tim merah dan tim putih pun… aku sudah nyaris lupa.
"Sudah hampir waktunya…"
Aku melirik tampilan digital di arlojiku, lalu menatap langit yang mulai gelap.
—Aku berada di atas jembatan kolam besar Mukaiyama, sekitar 15 menit naik sepeda dari SMA Tsuwabuki.
Terakhir aku ke sini adalah setengah tahun lalu. Saat Tiara-san memanggilku untuk mengambil doujin BL bertema makhluk hidup yang ditulis Tsukinoki-senpai.
Sejak saat itu, hari terasa makin panjang.
Langit senja yang mulai berubah dari biru muda ke biru tua terasa seperti mencampur aduk antara kegelisahan dan kerinduan. Membuat hatiku tak tenang.
Seolah ada sesuatu yang akan berlalu… tapi aku tak tahu apa. Perasaan mirip kegelisahan.
—Aku masih 16 tahun. Tapi sudah kelas dua SMA.
Tiara-san menatapku dengan lirikan bermakna.
"Umm, aku rasa sulit kalau aku. Soalnya aku ketua klub sastra… yah, dari sisi kepatutan juga agak susah, kan?"
"Oh? Ternyata kamu tahu juga kata-kata sulit, ya."
"Ya begitulah. Ngomong-ngomong, apa berarti kamu sudah nggak perlu ngajarin pelajaran Bahasa Jepang lagi?"
Saat aku berkata begitu sedikit usil, Tiara-san tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang putih.
"Tidak apa-apa. Malah sekarang aku yang akan mengajarkan padamu."
"Kalau begitu, aku mengandalkanmu."
Kami hanya berbicara omong kosong. Tertawa sebentar.
Ternyata hal sederhana seperti itu terasa menyenangkan.
Waktu yang kami habiskan untuk saling menatap jadi lebih banyak, dan sebanding dengan itu, kata-kata yang diucapkan jadi semakin sedikit.
Merasa geli seperti canggung, aku pun melepaskan tubuhku dari pagar jembatan.
"Umm… anginnya mulai dingin, ya."
"Iya, udaranya agak dingin sekarang."
Yah, sebaiknya kita kembali sebelum hari semakin gelap.
Saat aku hendak melangkah, Tiara-san tiba-tiba menahan langkahku.
"Maaf, aku lupa sesuatu."
Ah, benar juga. Ada hal penting yang terlupakan…!
"Barang Chikapyon itu—"
"Aku janji akan kasih tahu soal lomba bawa-barang tadi, kan."
…Eh? Aku sih nggak terlalu penasaran soal itu.
Saat aku bingung, Tiara-san mengulurkan selembar kertas kecil dengan kedua tangannya.
"Nih."
"Eh, oh… makasih."
Yah, bukan sesuatu yang harus ditolak juga.
Pasti dia sebenarnya nggak tahu harus bagaimana bilang terima kasih, jadi menjadikan ini alasan untuk memanggilku ke sini.
Dengan santai aku membuka catatan itu… dan begitu melihat isi tulisannya, aku langsung—menahan napas.
…………
………………Ini… memang tema lomba bawa-barang itu, kan?
Yang tertulis di kertas kecil itu adalah—"Orang yang kau sukai."
Ehh, kalau Tiara dapat tema ini… dan dia datang menjemputku… berarti…?
Mataku yang dipenuhi kebingungan kini bertemu dengan sorotan mata Tiara-san.
Dengan jari-jari yang saling menggenggam di depan dada, dia menatapku seperti sedang berdoa.
Lalu, seakan sudah mengambil keputusan, dia membuka mulutnya.
"Nukumizu-san, aku menyukaimu."
Sebuah pengakuan cinta yang tiba-tiba dan mendadak.
"Eh, umm…"
Tidak, tunggu dulu. Terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa ini sebuah pengakuan cinta. Kalau ini cerita romcom, pasti cuma kejadian salah paham, dan—
"Tentu saja, maksudku dalam arti romantis. Mau pacaran denganku?"
…Ini benar-benar pengakuan cinta.
Bukan salah dengar atau salah paham atau apapun.
Aku… sedang ditembak.
Adegan yang selama ini cuma kulihat di light novel, sekarang terjadi tepat di depan mataku—dengan aku sebagai pemeran utamanya.
Benarkah… aku yang dia pilih?
Tiara-san menyenangkan saat diajak ngobrol, dan penampilannya juga manis.
Jelas-jelas dia jauh di atas levelku.
Kalau aku cuma bilang "ya," gadis yang selama ini cuma hidup dalam khayalanku akan menjadi milikku—
"E-Ehm…"
Dengan bibir yang kering, aku akhirnya bisa bersuara.
"Maksudku, ya… aku selalu menganggap kamu sebagai teman, jadi…"
…Hah?
"Karena terlalu tiba-tiba, aku jadi kaget, dan…"
…Apa yang barusan aku bilang?
Tiara-san itu gadis baik, cantik, dan menyenangkan kalau diajak bareng-bareng.
Awalnya memang agak sulit didekati, tapi setelah kenal lebih jauh, senyumnya polos dan menenangkan.
"Aku… mungkin bingung karena belum pernah ada yang ngomong begini ke aku sebelumnya."
Kalau bersama dia, aku merasa tenang.
Kalau kami pacaran, pasti akan… menyenangkan.
Aku sama sekali nggak punya alasan untuk menolak. Jadi seharusnya aku tinggal bilang "ya" dan selesai.
Cuma itu yang perlu kulakukan, dan aku akan bisa bersama Tiara—
"Umm, aku…"
Aku mulai bicara, tapi tak menemukan kata selanjutnya. Lalu aku terdiam.
…Apa yang kulakukan? Kesempatan seperti ini mungkin tak akan datang dua kali.
Tepat saat aku memaksa diriku untuk mengucapkan sesuatu,
"T-Tunggu sebentar!"
Tiara-san memotong ucapanku.
"Ehm, itu…"
"Memang terlalu mendadak, ya! Sebenarnya aku juga belum siap secara mental… Kukira kalau aku nekat mengaku, aku bakal siap juga, tapi ternyata aku juga masih panik…"
Tiara-san menekan dadanya dan perlahan berjongkok di tempat.
"Kamu nggak apa-apa?"
"…Iya. Umm, Nukumizu-san."
Masih jongkok, Tiara-san menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya perlahan.
"──Apa kita mulai dari berteman dulu?"
Katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
"Berteman…? Tapi aku pikir kita memang udah berteman."
"Aku senang karena kamu sudah menganggapku teman. Tapi…"
Tiara menggenggam tanganku, lalu berdiri perlahan sambil sedikit goyah.
"Kalau kita bisa ngobrol lebih santai, atau jalan-jalan bareng… aku bakal senang."
"Yah, kalau cuma segitu sih…"
Aku menjawab agak lemas, dan Tiara-san tersenyum lembut padaku.
"Dan… kalau suatu hari nanti kamu bisa jatuh cinta padaku…"
──Itu pukulan tiba-tiba.
Nggak bisa dibilang lain.
Senyum Tiara-san menantiku setelah aku menunda jawaban. Dan itu terlalu menyilaukan untukku.
Dadaku terasa sesak.
Di hadapanku yang masih bingung dengan perasaanku sendiri, Tiara-san menepuk-nepuk pipinya yang memerah.
"Sekarang malah baru terasa gugup. Aduh, aku tadi ngomong nekat banget ya!"
Melihat itu, aku pun menggaruk pipi dengan canggung.
"Umm, aku senang banget kamu nyatain perasaan. Jadi… aku akan mikirin ini baik-baik…"
Setelah berhasil mengeluarkan kata-kata itu, Tiara-san tersenyum malu-malu.
"Iya, aku menantikan jawaban yang menyenangkan. Tapi… aku juga perempuan, jadi…"
Dengan jari-jari yang dikaitkan di belakang tubuhnya, Tiara menatapku sambil berkata:
"──Lebih baik kamu cepat-cepat jatuh cinta padaku, ya?"
3 comments