Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Epilog
Tangga Menuju Kedewasaan
Satu malam telah berlalu sejak pengakuan yang mengejutkan itu.
Karena semalam aku hampir tidak bisa tidur, aku menjalani waktu pulang sekolah dalam keadaan kurang tidur.
Aku berdiri di ruang cetak, memandangi naskah yang keluar dari mesin fotokopi dengan tatapan kosong.
... Tiara-san kemarin. Dia benar-benar serius, ya.
Kalau dipikir lagi, kenapa aku tidak langsung menjawab saat itu juga?
Kalau saja aku bilang "ya" pada pengakuannya, saat itu juga aku sudah punya pacar.
Pacar, lho. Sesuatu yang selama ini terasa hanya ada di dunia dua dimensi, nyaris muncul di dunia nyata.
Andai saja Tiara-san tak peduli pada perasaanku dan langsung menyerbu masuk begitu saja...
"Nu, Nukumizu. Mesin fotokopinya berhenti."
Yang memutus lamunanku adalah Komari.
Sambil merapikan naskah yang sudah selesai dicetak, dia menatapku dengan cemas.
"A-apa kau tidak apa-apa? Ma-matamu terlihat lebih mati dari biasanya."
"Ah... Komari, rupanya kau di sini."
"Ma-mati saja kau."
Tak heran kalau dia memaki. Karena setelah pulang sekolah, aku dan Komari memang bertugas mencetak buletin klub.
Aku menghela napas panjang sambil menatap langit-langit.
"...Hei, Komari."
"A-apa?"
"Kau pernah... jatuh cinta?"
Brak brak brak. Tumpukan kertas di tangan Komari jatuh berhamburan ke lantai.
"Ada apa? Kau juga capek, Komari?"
"Ma-mati saja! Sekarang juga!"
Kenapa dia semarah itu? Aku tidak mengerti.
Saat aku jongkok untuk memunguti kertas-kertas itu, Komari ikut jongkok di sampingku dan mengulurkan tangan.
"Nu, Nukumizu. No-novel ini... urutannya salah."
Eh, iya juga. Bagian akhir malah muncul di awal.
"Ya tapi, kalau ini memang gaya penceritaannya sih—"
"Di-diam. Ulangi dari awal."
"...Iya."
Novel Yanami sudah memasuki babak baru.
Kehidupan SMA-ku juga seharusnya sudah bisa naik ke tahap selanjutnya—kalau saja aku tidak menghentikannya sendiri.
"Ngomong-ngomong, Komari, kali ini kau juga nggak nulis ya. Lagi buntu, ya?"
"Uwek?!"
Entah kenapa Komari terlihat panik.
Hah, jangan-jangan... dia sedang menulis cerita BL. Pasti begitu. Pasti dia merasa itu nggak bisa diperlihatkan ke orang lain.
Aku tersenyum lembut dan menyerahkan kertas-kertas yang kukumpulkan ke Komari.
"Yah, kau sibuk kan, aku ngerti kok."
"A-apa itu, jijik banget kamu."
Sikap malu-malunya itu, bagiku sekarang malah terasa menggemaskan.
Soalnya aku ini laki-laki yang nyaris punya pacar. Tapi ya ampun, kenapa sih aku nggak langsung jawab waktu itu...
Saat aku kembali merenung, Komari menatapku dengan pandangan curiga.
"Ma-masih aneh aja sih kamu hari ini. Be-beneran nggak apa-apa?"
"Aku nggak apa-apa kok. Bisa dibilang, mungkin aku udah bukan aku yang dulu lagi."
Komari menghela napas seolah putus asa, lalu menunjuk pintu ruang cetak.
"Si-sisanya biar aku yang beresin. K-kamu tunggu aja di ruang klub."
"Ah, iya."
Aku tak bisa membantah. Dikeluarkan secara kejam dari tugas ini, aku pun mengangguk patuh.
Laporan Kegiatan Klub Sastra
~ Yanami Anna, ‘Selamat Pagi Untukmu’
Renovasi minimarket yang selalu aku kunjungi setiap pagi akhirnya selesai. Lama juga.
Aku duduk di bangku depan bangunan itu dan membuka bungkus roti kari yang ditempeli stiker diskon.
Musim telah berganti dan sebentar lagi musim panas akan datang. Tapi aku tidak punya rencana apa pun untuk musim panas.
Saat aku menghela napas dengan suasana hati yang melankolis, XX-kun berdiri di sisi lain bangku.
"A-san, renovasinya udah selesai ya."
Katanya sambil menatap papan nama toko itu.
Aku terus makan rotiku tanpa menanggapinya, tapi XX-kun tetap bicara.
"Kalau nggak salah, kau bilang kau menantikan renovasinya selesai, kan?"
Ya, aku memang bilang begitu. Tapi memangnya kenapa?
Aku tetap diam, dan XX-kun menatap papan nama bangunan itu lagi.
"Jadi, maksudmu waktu itu sebenarnya apa?"
Dasar cowok menyebalkan. Pantas saja dia nggak punya teman.
Tapi meski nggak punya teman, kenapa dia malah lengket terus sama cewek-cewek? Harusnya dia hentikan itu.
Sambil menggigit roti kari, aku ikut menatap papan nama itu.
Tertulis besar: "Surga Laundry".
Ya, minimarket yang biasa aku kunjungi sekarang telah direnovasi menjadi tempat laundry koin.
Aku kira bakal buka minimarket baru, jadi rasanya sangat mengecewakan. Pasti ini semua salah XX-kun. Meski aku juga nggak tahu kenapa.
"A-san, kau suka laundry koin ya?"
Tidak, aku tidak suka-suka amat.
Mendengar jawabanku, XX-kun hanya bergumam "Oh begitu," lalu duduk di ujung bangku dan mulai makan roti melon.
Sangat tidak peka.
Kenapa begitu? Karena belakangan ini aku sedang menghindari makanan manis. Alasannya rahasia.
Saat aku memalingkan pandangan, aku melihat papan nama besar yang menghadap ke jalan.
Kenapa ya, gambar di papan nama itu gambar rakun?
Saat aku mengucapkannya, XX-kun memandangku dengan wajah sebal.
"Itu rakun, tahu. Polanya beda banget."
Ya, aku tahu. Karena kalau bicara soal mencuci, ya jelas rakun dong.
Karena baru bangun, aku cuma sedikit ceroboh.
Orang yang tidak peka terhadap perasaan perempuan seperti ini… pasti hanya aku yang bisa mau berkencan dengannya.
Aku tidak tahu kenapa dia makan roti di sini, tapi pasti dia merasa kesepian.
Sesekali, tidak apa-apa kalau aku menemaninya sarapan.
Begitu aku selesai makan roti kare dan melirik ke arahnya, dia membalikkan badan menjauh dariku.
"Apa? Aku nggak mau kasih, tahu."
Betapa kasarnya orang ini. Apa aku terlihat seperti perempuan yang suka meminta makanan orang lain?
Tapi cowok yang perhatian biasanya memberi sepotong tanpa aku harus memintanya, kan?
Haa… Sepertinya aku harus terus menjaga anak kecil ini untuk sementara waktu…
â—‡
Setelah terusir dari ruang percetakan, aku berjalan di lorong menuju ruang klub.
Memang sih, aku agak aneh hari ini karena kurang tidur.
Tadi malam aku susah tidur sampai tengah malam, lalu Kaju yang setengah tidur malah nyelonong masuk ke tempat tidurku. Kami sempat ribut sedikit…
Dia salah masuk kamar waktu balik dari kamar mandi. Kaju juga ceroboh.
Saat hendak lewat depan papan pengumuman, aku buru-buru menghentikan langkah.
Di sana tertempel──edisi terbaru koran sekolah.
Edisi kali ini penuh dengan berita seperti pemilihan OSIS dan festival olahraga.
Halaman utama tentu saja menyorot pemilihan OSIS.
Ada foto Tiara-san sedang berteriak tanpa peduli mimisan, ditampilkan besar-besaran.
Dia pasti sudah baca ini…
Saat aku membaca lebih lanjut, ternyata insiden dalam pidato kemarin adalah keributan yang melibatkan seorang murid laki-laki A, yang disebut sebagai musuh wanita.
Ternyata kemunculan tiba-tiba Shikiya-san juga adalah bagian dari rencana murid laki-laki A, dan pidato misterius A-san hanyalah pelampiasan setelah ditolak. Gila juga nih cowok A.
Tapi fitnahnya parah juga. Dibilangnya anggota OSIS suka sama aku──
…………Tapi, nggak semuanya fitnah sih.
Tiara-san memang menyukaiku.
Kalau kupikir-pikir lagi dengan premis itu, bukankah aku lumayan nyebelin sejauh ini...?
Saat aku sibuk menyusun kenangan masa lalu di benakku, mataku tertuju pada satu iklan di koran sekolah.
—-Menjual foto-foto eksklusif Yakishio yang lolos ke kejuaraan nasional?
Memanfaatkan ini buat cari duit sih agak… tapi mengkritik tanpa melihat juga nggak adil.
Eh, gimana cara beli versi berbayarnya, ya...
Saat aku arahkan kamera ke kode QR,
"Nu-kun, lagi ngapain?"
Dengan suara ceria, Yakishio menepuk punggungku keras. Sakit.
"Cuma lihat koran sekolah kok. Kamu sendiri, kenapa nggak latihan?"
"Lagi istirahat, makanya lari-lari keliling sekolah. Soalnya kalau lari di lapangan pas istirahat, aku dimarahin pelatih."
Yakishio menunjukkan ekspresi nakal sambil menekan-nekan sikuku ke pinggangku.
"Apa sih?"
"Ada yang mau kamu bilang ke aku nggak?"
...Oh iya, aku belum ngomong langsung karena sibuk kemarin.
"Ah, selamat ya, lolos ke tingkat nasional."
Saat aku mengucapkannya dengan canggung, Yakishio tersenyum tak puas.
"…Cuma itu?"
"Eh? Bukan itu maksudmu?"
"Itu sih iya. Tapi aku lolos dua cabang loh, kamu kayak nggak senang-senang banget sih? Gimana gitu, kayak ‘Hya-hoi!’ terus peluk aku, kek!"
Nggak akan. Cowok introvert kayak aku hidup dengan waspada 24 jam.
"Kan kamu masih ada kelanjutannya, kan? Targetmu juara nasional, ‘kan?"
"Yap, aku kejar itu."
Yakishio tersenyum lebar penuh percaya diri.
"Kalau gitu, kalau aku juara nasional, boleh minta pelukan ya?"
Apa itu. Untung besar buat aku.
Sambil aku membayangkan pelukan bersama Yakishio dengan seragam olahraganya, dia melirik papan pengumuman dengan mata bundarnya.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu lagi lihat apaan? Koran sekolah?"
"Ah, ini sih──"
Semakin lama dia membaca, ekspresinya makin serius.
Begitu selesai, dia menatapku dengan tatapan tajam.
"…Ah, nemu nih. Musuh wanita."
"Itu fitnah! Lagian nggak pasti juga kan kalau murid laki-laki A itu aku?"
"Itu kamu, Nu-kun."
Yah, memang aku sih, tapi tetap aja…
Saat aku bingung mau jelasin gimana, Yakishio menatap ponselku terus.
"Apa sih?"
"……Jangan-jangan kamu tadi mau beli foto aku ya?"
Sial! Aku lupa kamera masih aktif!
"Enggak, itu, cuma nggak sengaja kepencet, terus kameranya nyala sendiri..."
Sambil panik dan cari alasan, Yakishio tersenyum lebar──lalu menepuk punggungku dengan keras. Sakit banget.
"Kenapa sih?!"
"Nu-kun, kamu memang musuh wanita deh. Aku kasih tahu Chiha-chan, ah."
"Kenapa ke Asagumo-san?!"
Nggak ada hubungannya, tapi aku nggak suka. Serem soalnya.
Setelah menepuk punggungku sekali lagi, Yakishio melompat ringan dan berlari pergi.
â—‡
Saat aku kembali ke ruang klub, di sana tersaji pemandangan yang menghangatkan hati.
"Yanami-senpai, aaan~"
"Iya, aaan~"
Begitu Yanami membuka mulut lebar-lebar, Shiratama-san melemparkan chikuwa mungil ke dalamnya.
Pemandangan itu sangat mirip dengan pertunjukan singa laut di Akuarium.
"Apa yang kalian lakukan berdua?"
Saat aku masuk dan mereka menyadarinya, Shiratama-san tersenyum manis.
"Aku dapat kiriman chikuwa dari kerabat, jadi aku bagi-bagi. Ketua juga mau ‘a~n’?"
"Terima kasih. Tapi aku lewat aja, deh."
Akhir-akhir ini, entah kenapa mereka berdua terlihat akur sekali.
Kabarnya titik baliknya adalah saat Yanami menemukan dan mengangkat onigiri, bukan penghapus. Tapi situasinya seperti apa, dan apakah Yanami benar-benar memakan onigiri itu—masih menjadi misteri.
"Nukumizu-kun, udah selesai cetak buletinnya? Kita udah siap nih."
Yanami menekan stapler kosong sambil berbicara. Aku dan Komari bertugas mencetak, sedangkan Yanami dan Shiratama-san bagian menjilid.
"Dikit lagi selesai. Ngomong-ngomong, aku dipecat."
"Ah..." dua orang itu menggumam bersamaan. Tampaknya hari ini aku memang gagal total dari semua sisi.
Kalau sudah begini, sebagai ‘musuh wanita’ biar saja para cewek yang kerja, dan aku tinggal santai saja.
Saat aku duduk memandangi tembok, terdengar suara ketukan di pintu.
Setelah Yanami berkata, "Silakan masuk," pintu pun terbuka.
"Permisi, apakah Nukumizu-san ada di sini?"
Yang masuk ke ruang klub adalah Tiara-san.
Melihatku yang hampir melompat kaget, Tiara-san tampak lega.
"Eh, kamu... sampai datang ke ruang klub segala, ada apa?"
"Aku datang untuk mengantarkan barang yang dijanjikan. Kemarin kelupaan kasihnya."
...Barang yang dijanjikan? Tiara-san menyodorkan kantong kertas lucu.
Saat kulihat isinya, ternyata sekumpulan pop-up display toko Chikapyon.
"Boleh aku ambil ini? Serius?"
"Kan udah janji, ya."
Memang sih, tapi aku kaget karena rasanya ini pertama kalinya sejak masuk sekolah janji semacam ini benar-benar ditepati.
Wah, ini edisi super langka dari sebelum season pertama tayang!
Saat aku tersenyum senang sambil memandangi pop-up-nya, Tiara-san mendekat dan mengintip wajahku.
"Nukumizu-san, hari ini kamu bakal pulang agak malam, ya?"
"Umm, mungkin agak malam karena harus selesaikan buletin klub."
"Aduh, sayang sekali. Urusan OSIS-ku selesai lebih awal, jadi tadinya mau pulang bareng."
"Hah? Bareng aku?"
Clak!—suara stapler ditekan oleh Yanami.
"...Kan pemilihannya udah selesai? Kenapa kalian pulang bareng?"
"Gak ada alasan khusus. Kadang temen juga boleh dong pulang bareng kan."
Tiara-san menjawab santai, lalu menghadap Shiratama-san.
"Kalau begitu, boleh aku pinjam Shiratama-san? Mau ajak dia ikut."
"Baik, kalau sebentar saja tidak masalah."
Shiratama-san melirikku lalu berdiri. Kenapa Tiara-san tiba-tiba ajak Shiratama-san?
Melihat ekspresi bingungku, Shiratama-san mengedip manis.
"Ketua. Aku memutuskan untuk masuk OSIS."
"Eh?"
OSIS boleh dimasuki oleh orang yang pernah melakukan kejahatan? Tapi... mengingat ketua sebelumnya juga terlibat, mungkin aturannya cukup longgar.
Saat aku sudah menerima keadaan itu, Tiara-san membungkuk ringan padaku.
"Itu permintaanku. Tentu saja aku akan pastikan aktivitas klub sastra tidak terganggu."
Sebaliknya, berbagi tanggung jawab terhadap ‘bom waktu’ ini sangat membantu kami.
"Di sini tidak masalah. Kalau begitu, Basori-san, titip Shiratama-san ya."
Saat hendak meninggalkan ruangan, Tiara-san menoleh ke belakang dan berkata:
"Aneh, hari ini tidak panggil pakai nama depan, ya?"
"Soalnya aku pikir kamu nggak suka dipanggil pakai nama depan."
Menanggapi pertanyaanku itu, Tiara-san tersenyum manis.
"Kalau Nukumizu-san yang manggil, aku nggak keberatan kok pakai nama depan."
...Aku diizinkan memanggil Tiara-san dengan nama depan...?!
Aku terpaku, lalu Tiara-san terkikik sekali lagi dan pergi meninggalkan ruang klub bersama Shiratama-san.
Begitu pintu tertutup, aku langsung duduk di kursi dengan lemas.
Hari ini bisa dibilang berjalan cukup lancar, tapi ke depannya bakal berat, nih...
"...Jii~"
Yanami menatapku sambil menggumamkan suara tatapan. Maksudnya apa, sih?
"Ada yang ingin kamu sampaikan padaku?"
"Yang barusan itu apa? Kamu sedekat itu ya sama Basori-san?"
"Maksudmu ‘sedekat itu’ gimana?"
"Sama aku aja kamu selalu panggil pakai marga dan 'san', tapi sama Basori-san kamu bisa panggil nama depannya, ya? Hee~h."
Jadi itu yang dipermasalahkan. Baiklah, kalau begitu...
Aku menyandarkan kedua siku ke meja dan menyatukan jari-jari di depan mulut.
"Yanami-san, coba dengarkan. Memang benar, selama pemilihan aku dan Basori-san jadi lebih memahami satu sama lain. Bisa dibilang, membangun koneksi dengan ketua OSIS baru itu penting untuk posisi klub sastra ke depan. Bukankah itu juga sejalan dengan tujuanmu?"
Penjelasanku yang sempurna tak membuat ekspresi kesal di wajah Yanami menghilang saat dia memasukkan chikuwa ke mulutnya.
"Pemilihan OSIS itu kan, seharusnya sesuatu yang sakral untuk memilih perwakilan siswa, tahu? Tapi kalau kau malah mendekati cewek dengan dalih kampanye pemilu, bukankah itu agak nggak murni?"
"Kalau kau ngomong begitu, bukankah kau juga begitu, Yanami-san?"
"Begitu gimana?"
Ucapan yang meluncur tanpa sengaja membuat Yanami menatapku dengan bingung.
"Waktu masa kampanye, kau kan selalu bareng Sakurai-kun. Dia populer di kalangan cewek, dan aku rasa hal semacam itu juga nggak terlalu bagus."
"Sakurai-kun? Orang itu kan sibuk dengan pekerjaan OSIS, jadi kami nggak terlalu sering bersama─"
Yanami yang nyaris menyelesaikan ucapannya tiba-tiba terlihat seperti baru menyadari sesuatu.
"Kenapa, Yanami-san?"
Tanpa menjawab, dia berdiri begitu saja lalu duduk dengan keras di sampingku.
…Eh, apa? Serem banget.
Aku yang mulai panik dibuat makin gugup saat Yanami berbicara dengan nada menggoda.
"Nukumizu-kun… jadi kau cemburu juga, ya."
…Hah? Cemburu? Aku?
Apa yang kau omongin sih, Yanami-san. Aku buru-buru menggeleng.
"Bukan itu maksudku. Aku cuma nggak suka kalau Sakurai-kun diomongin macam-macam gitu."
"…Kenapa jadi bahas Sakurai-kun?"
Ekspresi Yanami berubah serius.
"Lho, bukannya dari tadi memang itu yang kita bicarakan?"
"Beda, kan?! Tadi kita ngomongin soal Nukumizu-kun yang cemburu karena aku akrab dengan Sakurai-kun!"
Itu sama aja, kan. Eh, mungkin harus kuubah cara penyampaiannya…
"Maksudku, kalau ada rumor aneh soal kau dan Sakurai-kun, kasihan dia─"
"Itu nggak aneh, tahu?!"
Cukup aneh, Yanami-san. Sepertinya aku nggak bisa menyerahkan Sakurai-kun padamu…
Yanami menghela napas, lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong chikuwa.
"Itulah masalahnya, Nukumizu-kun… Nih, ini enak, lho."
Yanami menyodorkan chikuwa ke mulutku. Tanpa sadar kumakan, dan aroma chikuwa langsung menyebar di mulutku.
"Ah, ini ada jahenya, ya."
"Enak, kan? Aku lagi suka banget sama yang ini."
Entah kenapa, Yanami tiba-tiba jadi ceria, lalu memasukkan potongan terakhir ke mulutnya.
Sambil memandanginya dengan kosong, aku memikirkan ucapan Yanami tadi.
…Kelihatannya dia benar-benar mengira aku cemburu.
Sakurai-kun adalah salah satu dari sedikit teman cowokku, dan memang aku merasa agak tersisih kalau dia terlalu dekat dengan Yanami.
Kalau perasaan itu disebut ‘cemburu’, mungkin memang begitu.
Jadi karena orang yang dekat dengannya itu Yanami—teman kami berdua—perasaan terasing itu jadi makin terasa…
Setelah berhasil menjelaskan perasaanku sendiri, aku pun merasa sedikit lega. Saat itu, Yanami yang baru saja menghabiskan chikuwa memutar-mutarkan ujung rambutnya sambil bertanya,
"…Ngomong-ngomong, apa sih tema lomba bawa-barang pinjaman yang didapat Basori-san waktu itu?"
"Kenapa kau nanyain itu?"
"Soalnya Basori-san menarik tangan seorang cowok dan finish di depan seluruh murid, kan? Sampai masuk koran sekolah juga. Kalau nggak dijelasin, bisa bikin salah paham, tahu?"
Salah paham… yah, nggak sepenuhnya salah juga.
Tema yang ditarik Tiara-san waktu itu adalah—‘Orang yang disukai.’
Jadi satu-satunya gosip ngawur dari koran sekolah yang benar cuma itu saja.
"Kalau dilurusin malah makin panjang urusannya. Jadi diabaikan aja paling aman."
Sip, kututup di sini. Yanami pasti sudah puas.
"Itu juga benar, sih. Jadi, temanya apa?"
…Yah, belum puas, rupanya.
Tatapannya mulai mengintimidasi, jadi lebih baik kuakali saja.
"Teman—ya, teman cowok, gitu!"
"Heeh, menarik ya. Tema yang nggak bisa ditebak siapa yang akan menarik, ternyata teman cowok."
Yanami bergumam seperti sedang berbicara sendiri, lalu menatapku tajam sambil bersandar dengan tangan menopang dagu.
"Y-ya, memang begitu…"
"Yah, terserahlah. Toh aku sudah mengirim Shiratama-chan ke OSIS."
"Itu maksudnya apa?"
"Hmm, menurutmu apa?"
Dengan nada seolah sedang berakting, Yanami menghindar dari pertanyaan dan berdiri dengan semangat.
Dia berjalan ke dekat jendela, dan dari tempatku, aku tidak bisa melihat ekspresinya.
—Waktu Tiara-san menyatakan perasaannya di atas jembatan.
Aku, sejujurnya, merasa bingung.
Bukan karena pengakuannya, tapi karena aku ragu dengan jawabanku sendiri.
Dan yang paling besar—saat aku hampir mengiyakan pengakuannya, bayangan seseorang sempat melintas di pikiranku.
Apa artinya semua itu, dan bagaimana perasaanku sebenarnya. Dalam semalam saja, aku belum bisa memahaminya.
Berapa banyak malam yang telah Tiara-san lalui sebelum akhirnya memutuskan untuk menyatakan perasaannya padaku—aku tak bisa membayangkannya.
"Sudah mulai gelap, ya."
Yanami yang menatap ke luar jendela menutup tirai.
"…Kenapa? Kenapa menatapku begitu?"
Ekspresinya campuran antara kesal, pasrah, dan perasaan lainnya. Dengan campuran berbagai emosi di wajahnya, dia hanya diam menatapku.
Keheningan yang canggung.
Saat aku tak tahan dan hendak membuka mulut, Yanami tiba-tiba—tersenyum.
"—Nukumizu-kun, kau memang musuh para perempuan, ya."
Post a Comment