NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Make Heroine ga Oosugiru Volume 8 Chapter 3 - Interlude 3

Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


~Kekalahan Ketiga~

Rapsodi Merah


Sudah satu minggu berlalu. Hari-hari tenang terus berlanjut seolah semua keributan sebelumnya hanya mimpi belaka.


Itu karena Tiara-san dan Sakurai sedang sangat sibuk dengan persiapan pekerjaan terakhir mereka sebagai anggota OSIS—festival olahraga.


Lalu tibalah hari Minggu di akhir pekan. Aku, Yanami, dan Komari pergi bersama naik kereta dan subway dari Stasiun Toyohashi selama beberapa puluh menit, dan tiba di stadion atletik di Kota Nagoya.


Di sinilah Yakishio akan bertanding dalam Turnamen Atletik SMA—pertandingan penentu kelolosan ke tingkat nasional alias Inter-High.


Yakishio sudah melewati babak penyisihan 1500 meter pagi tadi dengan waktu tercepat. Jika dia masuk enam besar dalam final yang sebentar lagi akan dimulai, maka dia akan lolos ke tingkat nasional.


Di bangku tribun penonton yang tak terlalu ramai, Komari yang duduk di antara aku dan Hachimi berdoa sambil berbisik pelan.


"Y-Yakishio bakal baik-baik aja, ya…?"


Melihat Komari yang cemas, Yanami menjawab sambil mengaduk-aduk kantong popcorn-nya.


"Tenang aja. Lemon-chan larinya kenceng, kok."


"T-Tapi semua orang di sini juga cepat larinya!"


Tepat saat Komari memberi bantahan yang masuk akal, dia tiba-tiba berdiri.


Yang muncul dari tangga tribun adalah—mantan anggota klub sastra, Tsukinoki Koto. Begitu dia melihat kami, dia melambaikan tangan dengan lebar.


"Maaf, maaf! Aku telat, ya!"


Suara yang akrab, tapi juga terasa nostalgia.


"S-Senpai!"


Komari langsung berlari kecil dan menyambutnya dengan gembira sambil menggenggam tangannya.


Saat aku dan yang lain hendak ikut bergabung, mantan ketua klub Tamaki juga muncul dari tangga.


"Lama nggak ketemu, semuanya."


Setelah saling menyapa, kami melihat para cewek bersenang-senang bercanda riang, lalu Tamaki-senpai duduk di sebelahku.


"Gimana kuliahmu?"


"Ya… aku sih cuma bisa sebatas ngikutin. Nggak nyangka dari tahun pertama aja udah segitu sibuknya gara-gara praktikum dan laporan."


"Berarti kamu nggak sempat nonton anime atau baca LN, dong."


"Ah, nggak juga. Hidup sendiri itu luar biasa. Ada kebebasan atas nama tanggung jawab pribadi."


Tamaki-senpai menyeringai kecil.


"Dengar baik-baik, anime itu bisa ditonton sambil bikin laporan. Kalau mau baca manga atau LN, tinggal nggak tidur aja."


Dengan semangat tinggi, dia mengepalkan kedua tangannya.


"Kamu bisa nempel poster atau tapestry bahkan sampai ke langit-langit, dan nggak ada yang bakal protes. Kalau kamu mau, peluk guling juga—"


"Tsukinoki-senpai nggak protes?"


"…Dibanding kamarnya Koto, itu sih kayak mainan anak-anak."


Mendadak pandangan Tamaki-senpai menjadi jauh.


"Di mana pun kamu melihat, ada cowok setengah telanjang yang saling bertatapan di kamarnya. Dan sepanjang waktu, audio drama BL diputar kayak BGM kafe."


Sepertinya begitulah sarang cinta mereka. Entah ini pamer atau tidak, tapi setidaknya mereka akur.


"Keliatannya hubungan kalian baik, ya."


"Yah, lumayanlah. Ngomong-ngomong, kamu gimana, Nukumizu?"


"Gimana apanya?"


Saat aku menanggapi dengan bingung, Tamaki-senpai mendekatkan wajahnya.


"Nggak ada perkembangan dengan siapa pun? Jangan-jangan kamu beneran sama si murid baru yang dirumorin itu?"


"Nggak ada apa-apa, kok. Lagian aku juga nggak diperlakukan sebagai cowok, tahu."


Aku tertawa untuk mengalihkan pembicaraan, tapi balik bertanya karena penasaran.


"Eh, Senpai tahu soal anggota baru itu?"


"Dengar-dengar dia punya bakat yang luar biasa. Dia nggak datang hari ini?"


Bakatnya sih luar biasa, dalam hal tertentu… 


Ngomong-ngomong, dia sempat bilang bakal datang sebelum final dimulai.


Saat aku menoleh ke sekitar, pas banget Shiratama Riko muncul dari tangga. Begitu tatapannya bertemu denganku, dia melambai dan berlari kecil ke arah kami.


"Ketua~! Maaf telat~!"


"Masih belum mulai, kok. Nggak apa-apa."


………Shiratama-san, larinya lambat banget, ya.


Akhirnya sampai juga di hadapanku, dia menaruh tangan di dada dan mengatur napas.


"Fufu, aku lari karena pengen cepat-cepat ketemu Ketua~"


Lalu, seolah baru menyadari, dia menatap Tamaki-senpai dengan mata berbinar.


"Jangan-jangan ini… Tamaki-senpai dari alumni klub sastra? Salam kenal, aku Shiratama Riko."


"Iya, salam kenal juga. Aku Tamaki, dulu sampai tahun lalu di klub ini. Yang di sana itu Tsukinoki—"


Belum selesai bicara, Tamaki-senpai tiba-tiba tangannya dipegang dua tangan oleh Shiratama-san.


"Eh!?"


"Jangan-jangan… ini kunci punyamu? Nih, silakan."


"Eh? Ah, iya. Makasih…"


Sambil tetap menggenggam tangan Tamaki-senpai, Shiratama-san tersenyum manis.


"Hati-hati ya. Kalau aku anak nakal, bisa-bisa aku nyelonong masuk ke rumahmu, lho."


"Kalau anak seperti kamu sih… malah aku sambut…"


Apa-apaan yang dia bilang, panik banget sih orang ini. Meskipun dia berusaha menahan diri, mukanya udah senyum-senyum sendiri.


Saat aku masih tercengang, Tsukinoki-senpai tiba-tiba menyelak masuk di antara mereka berdua.


"Kamu Shiratama-san? Senang bertemu denganmu. Aku ini alumni klub—"


"Ah, jangan-jangan... kamu Tsukinoki-san? Aku sudah sering dengar soal kamu!"


Begitu melepaskan tangan Tamaki-senpai, Shiratama-san langsung membungkuk sopan.


"Yah, kabar soal aku pasti nggak bagus-bagus amat, kan?"


"Tidak kok, aku malah kaget karena senpai secantik yang diceritakan. Para senior di klub sastra semuanya keren banget, jadi aku jadi makin gugup."


"Be-begitu ya..."


Tsukinoki-senpai berdiri terpaku, kehilangan semangat.


Merasa suasana yang agak aneh, Shiratama-san menoleh heran dan memiringkan kepala.


"Ada apa? Yuk, kita duduk dan ngobrol sama-sama?"


â—‡


Setelah dari toilet, aku kembali ke tribun utama tempat penonton berkumpul.


Final 400 meter putri akan segera dimulai. Giliran Yakishio tinggal 20 menit lagi. Entah kenapa aku juga mulai gugup...


Saat hendak kembali ke tempat duduk, tiba-tiba ada seseorang dari belakang yang merangkul pundakku.


"Yo, Nukumizu-kun."


"Ah, halo..."


Yang menyergapku seperti sudah menunggu itu ternyata Tsukinoki-senpai.


Atau lebih tepatnya, dia memang benar-benar menungguku. Tatapan matanya di balik kacamata memancarkan kilat tajam.


"Aku dengar-dengar, belakangan ini kamu sering bareng dengan Basori-chan ya."


"Eh, ya... cuma bantuin kampanye aja sih."


"Kalau begitu, kalau dia terpilih, kamu mau masuk OSIS?"


"Aku nggak ada niat begitu, kok."


Aku melepaskan diri dari pelukannya.


"Pas kelas dua, senpai pernah jadi wakil ketua OSIS, kan? Waktu itu kampanyenya gimana?"


"Ribet banget. Soalnya ketuanya asal-asalan. Dia ngajak aku ikut tapi nggak pernah serius kampanye sama sekali."


"Eh, jadi semua persiapannya senpai yang urus?"


Tsukinoki-senpai menggeleng pelan.


"Nggak juga, aku juga nggak ngapa-ngapain. Paling cuma pidato dukungan doang."


"Eh? Tapi tetap kepilih?"


"Eh iya. Setelah pidato, malah dikerubungin sama para guru. Sekarang sih jadi kenangan manis, ya."


...Dia ngapain, sih? Saat aku terlalu takut buat nanya, Tsukinoki-senpai melanjutkan ceritanya dengan wajah nostalgia.


"Kalau dipikir sekarang, aku juga nggak ngerti kenapa ketua ngajak aku. Nilai aku juga jelek, guru juga nggak suka-suka amat sama aku."


"Begitu ya..."


Tapi dia nggak melanjutkan pembicaraan, hanya menatap ke arah lapangan.


Aku mengikuti arah pandangannya—seorang peserta terakhir di lomba 400 meter baru saja melewati garis finis.


Di satu lapangan, ada pemenang dan pecundang.


Saat aku termenung menatap pemandangan itu, Tsukinoki-senpai tiba-tiba pelan-pelan membuka suara.


"Setelah pemilu nanti, Nukumizu-kun mau ngapain?"


"...Eh?"


Aku sudah bilang nggak akan masuk OSIS. Tapi pertanyaannya terasa lebih dalam dari itu.


Saat aku masih memikirkan maksudnya, dia tersenyum kecil.


"Maaf, pertanyaanku aneh, ya. Yuk, balik ke tempat yang lain."


"Ah, iya. Udah hampir waktunya juga."


Saat kami berjalan berdampingan, Tsukinoki-senpai tiba-tiba mengacak-acak rambutku dengan tangan.


"Wah, sudahlah, jangan gitu dong."


"Nukumizu-kun, hidupmu juga akan makin berat mulai sekarang. Semangat, ya."


Padahal sekarang pun sudah cukup berat...


Dengan tatapan kosong, aku pasrah rambutku terus diacak-acak olehnya.


â—‡


Final 1500 meter putri. Yakishio ada di lintasan nomor lima.


Begitu namanya disebut lewat pengeras suara, dia mengangkat sebelah tangan dan membungkuk hormat.


Berbeda dengan hari saat dia bertanding denganku, kali ini dia memancarkan aura yang jauh lebih dewasa.


Kami semua menahan napas, menanti detik-detik dimulainya lomba.


Oh iya, Shiratama-san yang duduk di sebelahku wangi banget, ya. Apa parfumnya ganti lagi...?


Saat aku terganggu oleh aroma Shiratama-san—


── On your marks.


Kalimat yang sudah akrab di telinga terdengar dari pengeras suara.


Para pelari mengambil posisi menunduk di garis start, dan pada detik berikutnya, seiring suara pistol, Yakishio langsung melesat memimpin.


Sorak-sorai terdengar dari barisan depan tempat duduk penonton, dari anggota cadangan klub atletik Tsuwabuki.


Yanami dan yang lainnya langsung berseru. Sementara itu, Komari hanya diam menatap jalannya lomba sambil menggenggam tangan di depan dadanya.


Meski Komari terlihat khawatir, kecepatan Yakishio terus meningkat.


Tak peduli soal taktik atau posisi. Seolah dia adalah satu-satunya orang di lintasan, dia meninggalkan semua pesaingnya jauh di belakang.


── Aku akan menjuarai tingkat nasional.


Hari itu di UKS. Yakishio memang mengatakan itu.


Dia payah dalam hal sosial, lebih sensitif dari penampilannya. Tapi justru karena itu, dia lebih kuat dari siapa pun.


Lap terakhir. Jaraknya dengan posisi kedua semakin jauh. Tinggal menyentuh garis finis.


Tanpa sadar aku berdiri dan berteriak memanggil nama Yakishio.


Padahal lombanya sudah jelas dimenangkan. Tapi entah kenapa emosiku memuncak sampai begini.


Di sebelahku, Komari juga berdiri dan bersorak.


Dengan selisih belasan detik dari posisi dua, Yakishio melintasi garis finis. Dia mengangkat tangan kirinya ke arah penonton sambil memperlambat langkah dengan wajah sedikit tak puas.


"Ya, ya, ya! Keren! Hebat banget!"


Komari yang terbawa suasana berusaha memelukku—lalu buru-buru mengubah arah dan malah melompat sambil berpelukan dengan Yanami. Yah, wajar sih.


Saat aku bingung harus apa dengan kedua lenganku, Tamaki-senpai menepuk pundakku.


"Kalau kamu mau, dadaku kosong nih."


"Terima kasih, tapi aku pass dulu."


Saat kami tertawa dengan suasana aneh itu—


"Kalian berdua, dadaku juga kosong, lho?"


Shiratama-san membuka tangan lebar di depan kami.


...Eh, beneran boleh nih?


Saat aku ragu untuk memutuskan, Tsukinoki-senpai tiba-tiba memeluk Shiratama-san dari belakang dan mengangkatnya.


"Baiklah, senpai akan mengisi kekosongan di hatimu!"


"Uwaa, Tsukinoki-san kuat juga, ya. Aku dibawa ke mana, nih?"


...Shiratama-san diculik.


Mungkin semua perempuan yang pernah mencoba mendekati Tamaki-senpai selama ini, disingkirkan dengan cara seperti itu.


Belum sempat menarik napas, tiba-tiba bayangan kecil berlari menghampiri dengan cepat.


Itu Asagumo-san. Keningnya bersinar dan dia mengayunkan kedua tinjunya ke atas dan bawah dengan semangat.


"Kita berhasil! Lemon-san hebat sekali!"


"Asagumo-san juga datang ya. Lari mu memang luar biasa ya."


Mungkin karena kehabisan kata-kata, Asagumo-san hanya mengangguk cepat tanpa suara, lalu berbalik dan berlari pergi.


...Dia memang orang yang tidak bisa tenang. Tapi, kalau Asagumo-san di sini, berarti...


Asagumo-san kembali ke tempat Ayano berada.


Dia sedang menahan air mata dengan sapu tangan. Aku bisa paham perasaannya, tapi itu di depan pacarmu, lho...


Sambil merasa cemas walaupun ini bukan urusanku, lomba 1500m putra sudah mulai di lapangan.


Tinggal beberapa nomor lagi hari ini. Atlet dari sekolah Tsuwabuki pun sepertinya sudah menyelesaikan semua pertandingannya, tinggal menunggu upacara penghargaan.


Aku mencoba menenangkan diri dan kembali duduk di bangku.


Yakishio benar-benar menepati ucapannya, dengan selisih kekuatan yang sangat besar, dia meraih tiket menuju nasional.


Kalau begitu, ucapan "Akan menjuarai nasional" itu bisa jadi kenyataan...


"Yah, Lemon-chan cepat banget ya tadi~"


Dengan nada santai, Yanami duduk di sebelahku.


"Nggak cuma cepat. Dengan catatan waktu tadi, tahun lalu dia bisa naik podium di tingkat nasional."


"Wah, memang hebat ya Lemon-chan."


Yanami mengunyah popcorn dengan lahap.


"Terus, tinggal berapa kali menang lagi supaya bisa ke nasional?"


...Hm? Mata Yanami jernih seperti bola kaca.


"Eh, tadi itu sudah menentukan kelolosan ke nasional, lho."


"Heee~..."


Dia memasukkan lagi popcorn ke mulutnya.


"Eh? Jadi yang tadi itu final!? Lemon-chan cepet banget ya!?"


"Ah, iya, Yakishio-san memang cepat."


Sambil menunaikan tugasku sebagai penjaga Yanami, aku mengangguk sambil tersenyum.


â—‡


Senin, keesokan harinya. Bahkan setelah jam pelajaran selesai, sisa-sisa perasaan dari kemarin masih melekat di hatiku.


Dengan perasaan melayang, aku menatap poster kampanye pemilihan Sakurai-kun yang tertempel di koridor.


Sakurai-kun tersenyum cerah dan mengulurkan sebelah tangannya ke arah kamera.


Ada juga siswi yang memotret poster itu. Sakurai-kun memang populer, ya...


Di sebelah poster itu, ada lembaran pernyataan visi-misi. Isinya antara lain: Membuka akses ke OSIS, reformasi sistem klub hobi──dan lainnya.


...Eh? Tapi di bagian terakhir ada yang aneh, deh.


"Fufu, dengan ini kemenangannya sudah di tangan."


Dengan gaya dramatis mengibaskan rambut, Yanami muncul. Dengan wajah penuh kebanggaan, dia mengetuk-ngetuk lembar visi-misi itu.


"Aku yang menambahkan bagian terakhir dari visi-misi itu. Gimana? Jadi pengen milih dia, kan, Nukumizu-kun?"


Ujung jari Yanami menunjuk ke tulisan: "Menyediakan menu kantin di situs OSIS!"


Syukurlah, Sakurai-kun masih waras.


"Tapi Yanami-san kan nggak pernah makan di kantin. Bawa bekal terus."


"Ah, itu pikiran yang dangkal banget, Nukumizu-kun."


Yanami mengeluarkan sisa roti dari sakunya dan melambai-lambaikannya di depanku.


"Dengerin ya? Kalau kamu makan bekal sambil lihat menu kantin, tahu apa yang terjadi?"


"Kayaknya sih bakal tumpah. Soalnya kamu sering tumpahin makanan juga."


"Aku nggak tumpah, ya? Lagian, kalau makan sambil lihat menu kantin, rasanya kayak kamu juga makan makanan kantin. Jadi dalam satu makan siang, kamu bisa merasa kenyang seolah makan dua porsi. Itu diet paling hebat, kan?"


Dengan wajah bangga, Yanami menggigit roti itu.


Terlepas dari apa pun yang dia katakan, hanya makan sekali sehari memang sudah termasuk diet ekstrem bagi Yanami.


Sambil menerima logika aneh itu, aku memindahkan pandangan ke lembar visi-misi milik Tiara-san yang ditempel di sebelahnya.


Isinya serius: penambahan anggaran klub, transparansi aktivitas OSIS, dan sebagainya.


Ngomong-ngomong, merangkum naskah asli yang ditulis Tiara-san agar sesuai dengan batasan jumlah karakter itu sangat sulit. Terutama bagian membujuk dia supaya menyederhanakannya.


Saat aku sedang mengenang perjuangan itu, Yanami menyentuh pipiku dengan sisa roti.


"Eh, poster Basori-san mana? Belum dibikin?"


...Hah? Benar juga. Poster Tiara-san, gimana ya nasibnya?


Baru saja aku mau ambil ponsel, sebuah pesan dari Tiara-san masuk seolah menunggu momen itu.


──Bisakah kamu datang ke tempat biasanya?


â—‡


Markas besar kampanye Tiara, alias meja batu di taman tengah sekolah.


Aku sudah datang, tapi Tiara-san belum terlihat.


Memanggil orang tapi malah bikin mereka menunggu, bukan gaya Tiara-san yang biasanya suka menyergap.


Saat aku melihat-lihat sekitar, dari lorong penghubung muncul seorang gadis yang mendekat.


Itu Chikapyon (versi musim kedua) dari anime musim ini "Anak-Anak Perempuan yang Nyaris Kena Sensor".


Yang paling menawan hatiku adalah kaus kaki selutut bermotif garis vertikal itu.


Di episode 9, "Operasi Area Terlarang", dia akhirnya pakai katun 100%──


…………Chikapyon?


Gawat, jangan-jangan aku mulai halusinasi. Meski aku mengusap mata berkali-kali, Chikapyon tetap ada di sana.


Gadis itu mengenakan seragam SMA Tsuwabuki. Kaos kaki tinggi bermotif garis dan rok pendeknya menciptakan zona terlarang yang begitu memikat.


Rambutnya panjang dan lurus. Ia mengikatnya kecil di atas telinga dan menjadikannya dua cepol kecil yang disebut gaya "twintail".


Chikapyon yang berdiri di depanku punya alis yang sedikit lebih tebal dari rata-rata, dan ada tahi lalat di lehernya—


………………Apa yang sedang kau lakukan, Tiara-san?


Aku hanya bisa berdiri terpaku. Di depanku, Tiara menundukkan pandangannya dengan malu-malu.


"A-a-aku minta maaf sudah membuatmu menunggu, Nukumizu-san."


"A-ah... aku juga baru saja datang, kok."


Tiara menggambar lingkaran di tanah dengan ujung sepatunya, tampak canggung.


"A-ada sesuatu yang kau sadari, tidak?"


"Hmm. Maksudmu apa?"


Sebenarnya sih, aku menyadari banyak hal, tapi aku masih ragu harus menanggapinya seperti apa.


"L-lihat, lihat ini..."


Dengan wajah semerah tomat, Tiara-san menepuk-nepuk rambutnya yang mencuat di kanan kiri dengan telapak tangan dari bawah.


"Lihat, lihat~"


"…………"


Apa yang sebenarnya sedang terjadi?


Karena bingung harus berbuat apa, aku memutuskan untuk hanya memperhatikan dulu.


Gadis yang biasanya serius (mungkin?), Tiara, entah kenapa memperlihatkan penampilan seperti ini. Kalau aku tidak menatapnya baik-baik, rasanya malah tidak sopan.


"A-anu, Nukumizu-san... lihat, ini..."


Nada bicaranya mulai melemah. Sekarang sampai lehernya pun ikut memerah.


Saat aku masih memperhatikan sejauh mana dia akan melangkah, tubuh Tiara mulai gemetar. Wajahnya pun memucat setelah melewati merah.


"Tiara-san, mungkin sampai di sini saja—"


"Nukumizu-san! Katakan sesuatu dong!?"


Akhirnya, Tiara-san meledak.


"Eh, aku cuma... sama sekali nggak bisa mengikuti alurnya sih..."


"Soalnya, bukankah Nukumizu-san pernah bilang suka karakter ini!?"


Tiara mendekat padaku dengan penuh semangat. Memang benar aku suka, tapi kenapa kau sampai berpakaian seperti itu?


Saat aku masih diliputi kebingungan, seseorang mendekat ke arah kami.


"Maaf ganggu, kalian lagi sibuk ya~ Ini dari klub koran."


Yang muncul adalah siswi dengan kamera DSLR di tangan.

Gadis klub koran yang rok-nya sangat pendek itu menunduk sopan sambil tersenyum.


"Basori-san, foto untuk poster pemilu kamu belum ada, kan?"


"Eh? Padahal rasanya aku sudah mengirim foto ke guru, deh."


"Itu kan foto kenang-kenangan waktu pembentukan OSIS tahun lalu. Katanya harus foto yang diambil dalam tiga bulan terakhir."


Oh, begitu. Rupanya ada aturan sedetail itu juga.

Tiara-san menundukkan kepala dengan patuh.


"Maaf atas kelalaiannya. Kalau begitu, aku akan datang untuk pemotretan di lain waktu."


"Kata gurunya harus dikirim hari ini. Jadi ayo, kita pergi sekarang."


Dengan senyum ramah khas sales, gadis klub koran itu menarik tangan Tiara-san.


"Eh?! T-tunggu dulu, aku masih berpakaian seperti ini..."


"Harus dicetak hari ini juga. Gurunya dari tadi udah nunggu."


"Ehh, t-tapi, ini..."


...Dan Tiara pun diseret pergi.


Dia sempat menatapku seolah meminta pertolongan, tapi karena ini sudah jadi peraturan, tak ada yang bisa kulakukan. Kini aku sendirian di tengah taman sekolah, menatap langit yang masih terang.


Pada akhirnya... maksud sebenarnya dari cosplay Tiara-san itu apa, ya...?


â—‡


Di sisi utara arcade Tokiwadori di depan stasiun, ada sebuah kedai kopi.


Kedai ini terletak di lantai dua sebuah bangunan dan memiliki suasana klasik yang tenang, dengan pengunjung yang rata-rata cukup berumur.


"Bukan begitu... Sungguh bukan begitu..."


Sudah dua hari berlalu sejak insiden cosplay yang mengguncang itu.


Tiara-san kini menelungkupkan tubuhnya di atas meja sambil mengerang. Sayang, dia sudah kembali ke gaya rambut biasanya.


"Tapi coba lihat pose ini, kamu kelihatan semangat banget? Mungkin sebenarnya kamu menikmatinya juga?"


Di layar ponselku terpampang poster kampanye ketua OSIS: Basori Tiara.


Di sana, Tiara berpose ala Chikapyon, dengan jari telunjuk kedua tangan berputar-putar.


"Mau bagaimana lagi! Mereka bilang suruh pose, jadi aku reflek mengambil pose yang sudah kulatih—eh, jangan lihat fotonya di tempat umum seperti ini!"


Dengan cepat, Tiara-san bangkit dari posisi telungkup. Yah, setidaknya dia masih terlihat bersemangat.


Akhirnya dia menyadari situasi sekitar, dan mulai menatap sekeliling kedai dengan curiga.


"...Ngomong-ngomong, kenapa kau membawaku ke sini?"


"Karena kamu bilang ingin keluar dari sekolah, kan? Dan juga ini—karena kamu nggak kunjung balas, aku inisiatif memesankan ini untukmu."


Aku meletakkan segelas jus anggur merah di depannya. Tiara-san menatapnya heran.


"...Bukan kopi, ya."


"Kamu kan nggak terlalu suka kopi, kan?"


"Dari mana kau tahu kalau aku nggak suka kopi?"


"Waktu ke kafe board game itu, kamu menuang banyak gula dan susu, lalu langsung menenggaknya."


Aku mengangkat gelas jus anggurku sendiri.


"Dan kupikir, saat sedang lelah, yang manis-manis lebih cocok. Biasanya aku juga pesan kopi, tapi kali ini aku ikut pesan yang ini."


Tiara-san menatap gelas itu sejenak dalam diam, lalu perlahan menyedotnya dengan sedotan.


"Enak..."


"Enak, kan? Katanya anggurnya dipetik dari winery di Azumino."


Sepertinya Tiara-san pun mulai sedikit tenang sekarang.


Saat aku hendak minum jus, Tiara-san menatapku dengan mata setengah menyipit dan bergumam pelan.


"...Seperti yang kuduga, kamu sudah terbiasa ya."


"Eh, maksudmu apa?"


"Kamu itu, anehnya sangat terbiasa menangani perempuan yang sedang lemah. Membawa mereka ke kafe yang tenang dan tak terlihat dari luar, lalu meluluhkan mereka dengan yang manis-manis."


Kukira aku diperlakukan agak keterlaluan di sini.


"Aku cuma sering diajak ke sini waktu kecil bareng orang tuaku, itu saja."


"Oh, jadi itu akhirnya jadi tempat andalan untuk membawa perempuan, ya."


Sungguh tidak sopan. Selain Kaju, Tiara-san adalah orang pertama yang kubawa ke sini. Kalau dia sudah kembali jadi Tiara-san yang biasanya, sebaiknya kita mulai masuk ke inti pembicaraan.


"Jadi, waktu itu kenapa kamu pakai pakaian seperti itu?"


Gofuh. Tiara-san menyemburkan jusnya.


Sambil menekan mulut dengan sapu tangan, dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.


"Perlu dijelaskan ya?"


"Ya iyalah, itu menyangkut pemilu OSIS juga."


"Itu... soalnya..."


Hmm, kalau begitu, tak bisa dihindari.


Begitu aku memunculkan foto poster itu di layar ponsel, Tiara-san langsung membungkuk panik ke arahku.


"Rayuan! Aku mencoba merayumu supaya mau jadi pendukungku!"


Sambil terengah-engah, dia minum jus anggurnya.


Jadi selama ini aku sedang dirayu di tempat umum? Aku sama sekali tidak menyadarinya.


"Jadi maksudmu, dengan pakaian itu kamu mau bilang sesuatu seperti, ‘jadi pendukungku, nyan~’?"


"Ya! Meskipun aku tidak akan bilang ‘nyan’!"


Tiara-san yang kini sepenuhnya pasrah, meletakkan gelas kosongnya dengan bunyi keras.


"Jadi sekali lagi... maukah kamu mempertimbangkannya? Aku ingin kamu mendukungku."


Dengan punggung tegak dan nada serius, Tiara-san menatapku tajam.


...Kenapa sampai sejauh itu? Aku membuka mulut sambil diliputi keraguan.


"Kenapa harus aku? Kalau minta tolong ke guru, pasti suaramu lebih banyak."


"Mungkin memang begitu. Tapi aku tetap ingin memintanya padamu."


Ini tidak akan ke mana-mana. Dalam situasi seperti ini, aku harus menolaknya dengan tegas.


Saat aku hendak menyatakan penolakanku, Tiara-san membuka suara lebih dulu, seolah ingin mendahuluiku.


"Kamu tahu kenapa aku ditunjuk jadi wakil ketua OSIS?"


"Kalau tidak salah, karena Shikiya-senpai merekomendasikan dirimu, bukan?"


Tiara-san mengangguk dan menatap gelas kosong di depannya.


"Padahal sebelumnya aku hampir tak pernah bicara dengannya. Aku bahkan takut untuk bertanya kenapa dia merekomendasikanku dan menunjukku sebagai wakil ketua."


Tiara-san melanjutkan, seolah mengais kembali ingatannya.


"Aku pertama kali berinteraksi dengan para senior saat ikut membantu OSIS sebagai sukarelawan. Sejujurnya, waktu itu pun aku tidak banyak membantu."


"Ah, nggak juga, kok—"


Tiara-san perlahan menggelengkan kepala.


"Seperti yang kamu tahu, aku ini keras kepala dan tidak fleksibel. Sering bentrok dengan orang lain, dan beberapa kali ketua OSIS harus turun tangan untuk menengahi. Jadi waktu aku diminta jadi pendukung dalam pemilihan ketua tahun lalu, kupikir itu cuma lelucon."


Dia menggenggam gelas air dengan kedua tangan dan menatap permukaan air yang bergoyang.


"Kalau dipikir-pikir sekarang, mungkin itu karena rasa kasihan. Karena aku sering bentrok dengan orang lain, dia mungkin ingin menempatkanku di tempat yang bisa dia awasi."


Tiara-san mengangkat wajahnya.


"Itulah kenapa aku ingin menang. Agar bisa tetap bersama anggota OSIS sebagai teman yang setara."


"Jadi... kenapa tetap aku?"


"Karena para ketua OSIS sangat memperhatikanmu. Aku merasa ada sesuatu dalam dirimu yang tidak ada padaku."


Pandangannya sangat serius. Aku tak bisa mengalihkan tatapan dari mata Tiara-san dan hanya tersenyum canggung.


"Itu terlalu dilebih-lebihkan."


"Tidak, ini bukan dilebih-lebihkan."


Tiara-san menjawab dengan nada tanpa keraguan.


"Saat aku menyampaikan pidato dukungan untuk Ketua Hokobaru tahun lalu, kakiku gemetar."


"Oh iya, Basori-san juga menyampaikan pidato dukungan waktu itu, ya."


"...Kamu juga mendengarnya, kan?"


Yah, kalau dipikir-pikir, sepertinya memang begitu.


Tiara-san berdeham dan melanjutkan bicara lagi.


"Orang-orang bilang aku terlalu sombong. Bahwa aku hanya menumpang nama besar ketua OSIS dan bersikap tinggi hati... Setahun ini, aku terus mendengar itu. Tahun ini, aku sendiri yang jadi kandidat. Aku harus berdiri di sana, di posisi yang sama dengan ketua tahun lalu. Sejujurnya, aku sangat takut."


Dia meletakkan tangan di dadanya, menarik napas dalam-dalam, dan melanjutkan.


"Aku ingin kata-katamu. Sekadar simbolis pun tidak apa-apa. Dengan itu saja, aku merasa bisa berdiri tegak di sana. Jadi..."


Tiara-san menatapku lurus-lurus.


"Setidaknya untuk sekarang... maukah kamu mendukungku—hanya aku?"


Kalimat itu seperti monolog dari hati Tiara-san. Karena ketulusannya yang luar biasa, aku tak bisa menemukan kata-kata untuk membalas, hanya bisa diam.


"Maaf, tiba-tiba bicara seperti ini."


"Enggak, aku gak masalah, tapi..."


Keheningan kembali turun. Mungkin ingin mengubah suasana, Tiara-san memanggil pelayan yang lewat.


"Biar aku yang traktir. Ayo pesan kopi."


"Eh, bukannya kamu gak suka kopi?"


"Benar, aku memang gak suka. Tapi kalau kamu suka, aku ingin perlahan-lahan mulai membiasakannya."


Kenapa kalau aku suka kopi, dia jadi merasa perlu membiasakan diri...?


Saat aku masih bingung, Tiara-san mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari dalam tasnya.


"Ngomong-ngomong, aku sudah mencetak koran sekolah. Analisis pemilihannya lumayan bagus, lho."


Tiara-san membentangkan kertas itu di atas meja.


"Klub koran sampai menganalisis pemilu, ya."


"Sepertinya mereka melakukan survei tentang arah suara. Coba lihat bagian ini."


Di ujung jarinya yang ramping, tertera grafik lingkaran berisi tingkat dukungan.


Sakurai 45, Tiara 30, belum memutuskan 25──


Bahkan ada juga data berdasarkan angkatan dan jenis kelamin.


Sakurai unggul di kalangan siswi kelas 1 dan 3 serta siswa kelas 2, sedangkan Tiara cukup bersaing di kalangan siswa kelas 1. 


Saat ini, tak ada data yang bisa dibilang menguntungkan.


Melihat ekspresi serius Tiara, aku mengambil koran sekolah itu.


"Tapi koran ini kan isinya cuma gosip, jadi jangan terlalu diambil hati. Mereka bilang Sakurai-kun musuh perempuan, isinya ngawur begitu."


Walaupun lawan, aku tetap nggak nyaman kalau Sakurai-kun difitnah seenaknya. Mendengar ucapanku, Tiara-san menunjukkan ekspresi rumit yang sulit dijelaskan.


"Ada apa?"


"...Aku rasa, yang dimaksud 'musuh perempuan' itu, kamu, Nukumizu-san."


"Hah?! Aku bahkan nggak pernah pacaran, apalagi selingkuh."


"Ya, aku tahu. Soalnya kamu lebih suka laki-laki, kan?"


"Bukan begitu!"


Tanpa sadar aku membantah dengan bahasa sopan. Tiara-san lalu mengeluarkan buku catatan dari tasnya.


"Apa yang kamu lakukan?"


"Maaf mendadak. Kalau ada hal yang perlu dipertimbangkan, aku biasakan untuk menuliskannya dulu di catatan, lalu nanti kubaca ulang saat pikiranku jernih."


Berarti sekarang pikirannya nggak jernih dong. Padahal tadi kita sudah ngobrol lama.


Sambil bergumam, Tiara-san mulai menulis di bukunya.


"Jadi, Nukumizu-san itu... tak pandang bulu... laki-laki maupun perempuan..."


Itu juga salah. Dan jangan lihat-lihat ke arahku sambil nulis hal aneh begitu.


Ingin rasanya menimpali, tapi kuputuskan untuk menahan diri. Jangan mengganggu proses penyembuhan.


Untuk menghindari pandangan mencurigakan, aku kembali menatap koran sekolah.


Kalau kupikir lagi dengan menganggap itu tentang diriku, tulisannya memang ngawur banget.


Katanya aku cuma genit ke cewek-cewek tapi nggak pernah benar-benar pacaran, dasar brengsek.


Dan si "Gadis cantik kelas 2 bernama A-san" itu pasti maksudnya Yanami Anna.


Bahkan lebih parah daripada aku, isinya sembarangan banget, tapi anehnya penafsirannya justru agak cocok... itu yang bikin pusing.


──Pak. Suara buku catatan yang ditutup menyudahi lamunanku.


"Maaf menunggu. Sekarang aku sudah baik-baik saja."


Dengan senyum lega, Tiara-san mencicipi kopi yang baru saja datang, sedikit ragu.


"Bisa minum kopi hitam?"


"Sepertinya, lumayan bisa. Tapi aku tambahkan sedikit gula, ya."


Sambil tersenyum melihat Tiara-san menambahkan gula, aku ikut menyesap kopi.


"...Ini enak banget, ya? Kita pesan yang mana tadi?"


"Kilimanjaro. Katanya raja dari semua kopi."


Itu yang mahal, lho. Untung aja ini traktiran... kan?


Aku yang sudah jadi curigaan gara-gara seseorang, menyeruput kopi sambil melirik Tiara-san yang melihat jam tangannya.


"Nah, sebentar lagi jam enam sore."


Hm? Apa dia ada jam malam atau semacamnya?

Tiara-san mengambil ponselnya dari dalam tas.


"Edisi kedua koran sekolah terbit jam enam."


"Yang ada tulisan 'lanjutannya di web', ya."


"Aku nggak begitu paham caranya, tapi katanya kalau bayar, bisa baca semua lanjutannya. Karena katanya paket tahunan lebih murah, jadi aku langganan."


Yah... kalau nggak paham, jangan sembarang langganan dong.


Dengan wajah serius menatap layar ponselnya, Tiara-san tiba-tiba menunjukkannya padaku.


"Nukumizu-san, lihat ini!"


"Eee... Wakil Ketua Basori tampil cosplay, kontennya premium──"


"BUKAN ITU!"


Yang ditunjukkannya adalah hasil terbaru survei pemilih.


Sakurai naik sedikit jadi 50. Dan Tiara──naik 15 poin jadi 45.


Mata Tiara-san berbinar saat ia membungkuk ke depan.


"Lompatan besar! Sepertinya pidato pernyataan visiku benar-benar menyentuh hati semua orang!"


"Mungkin saja. Boleh aku lihat rincian suaranya?"


Aku membandingkan artikel terbaru dengan hasil survei sebelumnya.


"Yang paling banyak naik itu suara dari siswa laki-laki. Sebaliknya, suara perempuan malah turun. Umm, ini agak susah diucapkan, tapi..."


Saat aku ragu melanjutkan, Tiara-san langsung mendekat.


"Apa? Katakan saja, jangan sungkan."


"Poster kampanye cosplay itu... kayaknya cukup berhasil."


Mendengar itu, tubuh Tiara-san tersentak kaget.


"A-akuu... pakai baju itu...?"


Iya, yah, sebenarnya nggak jelek juga sih. Aku meminjam ponselnya, lalu membaca artikel secara menyeluruh.


"Oh, situs koran sekolah ternyata punya papan diskusi."


"Papan diskusi? Isinya apa?"


"Bentar, tunggu ya."


Aku menutupi layar ponsel dari pandangannya. Ini forum anonim anak SMA. Nggak tahu omongannya segila apa.


[Orang ini kenapa cosplay segala?]

[Ini sih udah kelewatan]

[Modal jual seksi, nih?]


Yup. Ternyata banyak komentar negatif.


Foto di poster kampanye waktu itu sangat menarik, termasuk ekspresi Tiara-san yang gugup, tapi sepertinya terlalu menggoda untuk siswa Tsuwabuki yang cenderung serius.


Postingan-postingan selanjutnya juga makin panas, jadi ini jelas tak bisa kutunjukkan padanya──


[PASTI aku akan pilih dia!]

[Chikapyon! Chikapyon!]

[Chikapyonpyon!]


...Iya, ini jelas tak bisa dia lihat.


"Ada apa?"


"Hal-hal seperti ini... lebih baik tak dilihat langsung oleh yang bersangkutan."


"Setelah memperlihatkan penampilan seperti itu ke seluruh siswa, masa sekarang malu?"


Ucap Tiara dengan masuk akal, lalu langsung merebut ponsel dari tanganku. Dia menatap layar tanpa sepatah kata, lalu menyipitkan matanya.


"…Ada reaksi yang kuperkirakan, dan ada juga yang tidak kuperkirakan."


"Eh, teriakan-teriakan kayak gitu tuh, parodi dari episode 8 musim pertama anime baseball itu, lho…"


"Aku tahu kok. Sebelum mengenakan kostum itu, aku sudah nonton semua 12 episode anime Giri Giri Auto na Musume-tachi."


Begitu ya. Musim keduanya juga sudah mulai tayang, jadi sempatkan juga untuk menontonnya.


"Apa maksud dari 'Ore no auto ga girigiri pyon' ini?"


"Entahlah. Tapi yang jelas, jangan pernah kamu cari di internet."


Siswa Tsuwabuki… ternyata banyak juga yang bisa diajak berteman.


Bagaimanapun, Tiara sepertinya tak terlalu peduli soal fitnah (?) di papan pesan itu.


Itu hal bagus. Tapi yang mengkhawatirkan adalah hasil terbaru dari survei rencana pemilih. Selisihnya hanya lima poin, dan pemilih yang belum memutuskan juga tinggal lima poin. Bahkan jika suara sesuai hasil survei, dia baru bisa menyamai jika menguasai semua suara mengambang.


Kalau mau menang, dia harus menembus basis pendukung Sakurai.


"Ada juga yang membahas soal Sakurai-kun. Pendukungnya kebanyakan perempuan ya."


"Jangan terlalu percaya sama jenis kelamin di papan pesan."


Sambil mengajarinya etika internet, aku merenungkan posisi kubu Sakurai. Kalau Sakurai menang, maka Yanami akan jadi wakil ketua OSIS.


Padahal anggota klub sastra sudah sedikit, dan akhir-akhir ini Komari pun makin jarang menulis. Kami tak bisa kehilangan kekuatan lagi...


Tiara-san menatap layar dalam diam, lalu menghela napas panjang.


"Sampai minggu lalu aku pikir tak ada harapan. Tapi sekarang, sepertinya bisa jadi pertarungan yang seimbang."


Ia menatapku dengan mata serius.


"Aku ingin menang. Bukan karena dikasihani, tapi dengan kekuatanku sendiri aku ingin jadi ketua OSIS. Aku tak akan memaksamu masuk OSIS. Tapi sebagai orang yang merekomendasikan, tolong bantu aku."


…Dia tak jadi wakil ketua karena dikasihani.


Ketua, Shikiya, dan Sakurai semua percaya pada Tiara-san.

Tapi pasti mereka juga sama khawatirnya padanya. Mungkin karena itu, Tiara-san sendiri belum bisa sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri.


Aku meneguk habis kopi yang mulai dingin, lalu meletakkan cangkirnya.


"...Aku tak suka bertaruh di pertarungan yang pasti kalah."


Tiara-san mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa.


"Kalau aku jadi pendukung resmimu, ada satu permintaan."


"?! Ja-jangan-jangan—"


"Bukan yang seperti kau pikirkan."


Sambil membatalkan kesalahpahamannya, aku menampilkan poster kampanye di layar ponsel.


"Saat pidato kandidat nanti, aku ingin kamu tampil dengan kostum ini."


"Kalau cuma itu—eh?!"


Tiara-san menatap tajam ke foto di poster kampanye.


"…Aku mengerti. Jadi maksudmu begitu, ya."


"Kamu paham?"


Ia mengangguk dalam-dalam.


"Jadi ini semacam… shame play—"


"Bukan."


Orang ini… benar-benar parah. Aku mulai menjelaskan sambil merasa seperti sedang menghadapi anak kecil.


"Kalau lihat hasil survei tadi, dukungan dari siswa tahun pertama, khususnya cowok, meningkat drastis, kan?"


"Tapi suara dari cewek malah menurun, ya?"


"Yang turun itu suara cewek tahun kedua. Karena sebagai teman seangkatan, gampang jadi sasaran kritik. Tunjukkan lagi hasil surveinya."


Tiara-san membuka kembali laman koran sekolah dan meletakkan ponsel di tengah meja.


"Sebaliknya, Sakurai-kun naik karena didukung hampir seluruh suara cewek. Suara cowok malah stagnan, bahkan turun di kelas 1 dan 3."


Aku dan Tiara-san sama-sama menatap layar ponsel.


"Sakurai-kun memang imut, tapi daya tariknya tak begitu menjangkau cowok. Bahkan, cowok yang merasa tertarik justru mungkin menolak perasaannya sendiri dan memilih kandidat lawan."


"……Memangnya ada yang begitu?"


Ada. Tapi tak akan kujelaskan detailnya.


"Jadi intinya, dengan kostum Chikapyon, kamu bisa menarik suara cowok sebanyak mungkin. Hanya itu satu-satunya cara membalikkan keadaan."


"Nanti cewek-cewek malah makin benci padaku?"


"Kamu memang sudah nggak populer, jadi nggak masalah."


"Ugh!"


Tiara-san memegangi dadanya. Fakta menyakitkan, tapi harus diakui agar bisa maju.


"Jadi, bagaimana?"


"…Ba-baik. Itu janji, ya."


Tiara-san mengangkat wajah dari layar ponsel dengan pipi memerah.


"Kalau aku harus berpidato dengan pakaian itu di hari pemungutan suara Senin depan..."


"Ya, aku akan berpidato mendukungmu sebagai orang yang merekomendasikanmu."


Aku pun mengangkat wajah dari ponsel.


Saat aku mencondongkan tubuh ke depan, wajah Tiara-san tepat di hadapanku──


".....!"


Kami berdua buru-buru menarik tubuh ke belakang dan, merasa canggung, sama-sama meraih cangkir kopi.


"…Eh, ya. Mari kita jalani seperti itu saja."


"Ah, iya. Tolong bantu aku ya."


Kami lalu mencoba minum kopi pada waktu yang sama, tapi menyadari isinya sudah habis, lalu sama-sama tersenyum kecut dan meletakkan kembali cangkirnya.


"Ada apa, Nukumizu-san? Kau kelihatan menahan tawa."


"Kau juga, Tiara-san. Nggak perlu ditahan, kok."


Kami saling bertatapan, lalu akhirnya tertawa bersama.


Setelah puas tertawa, Tiara-san menyeka sudut matanya dengan saputangan.


"Jangan buat aku ketawa terus, dong. Oh iya, Nukumizu-san."


"Apa?"


"Jangan panggil aku dengan nama depan, ya."


Tiara-san berkata begitu dengan nada yang terdengar sangat menyenangkan.


â—‡


Setelah memutuskan jadi orang yang merekomendasikannya, waktu berlalu dengan sangat cepat.


Malam Minggu, sehari sebelum pemungutan suara.


Aku duduk di meja belajar di kamarku, berbicara pada ponsel yang diatur dalam mode speaker.


"Kalau begitu, kita anggap naskah pidatonya sudah selesai, ya."


[Ya, terima kasih atas kerja kerasnya.]


Setelah menyelesaikan salam formal lewat telepon, Tiara-san tiba-tiba terkikik kecil.


"Ada yang lucu?"


[Tidak. Hanya saja… yang paling lama justru naskah pidato dukunganmu, dan itu agak lucu.]


Ugh… kalau dibilang begitu, harga diriku sebagai anggota klub sastra agak goyah.


"Nggak, itu karena kita baru mulai persiapannya belakangan, kan? Dan juga harus beda dari pidato Basori-san kan."


[Oh? Hari ini kamu nggak manggil dengan nama depanku ya]


"Itu karena…"


Dia jelas sedang menggodaku.


Aku buru-buru mengakhiri telepon, lalu meletakkan pulpen biru ke atas buku catatan.


"Baik, sekarang tinggal salin ulang naskahnya…"


Kekuatan utama Tiara-san adalah dia sudah pernah jadi wakil ketua meskipun masih kelas satu.


Strateginya: aku akan mengangkat semua prestasinya dalam pidato dukunganku, lalu Tiara-san menyampaikan pidato calon ketua untuk meninggalkan kesan sebagai penerus pemerintahan Hokobaru-senpai.


Pidato akan disampaikan setelah istirahat siang besok.


Segera setelah itu, pemungutan suara dilakukan, jadi kesan dari pidato akan langsung berpengaruh pada hasil──


"Onii-sama, mau istirahat sebentar?"


Tiba-tiba terdengar suara Kaju di telingaku.


Kaju meletakkan cangkir teh panas di meja. Aromanya… teh chamomile.


"Sejak kapan kamu ada di sini?"


"Yah, kira-kira sejak kapan, ya?"


Kaju menjawab sambil bercanda, lalu membuka tirai kamar.


"Hari ini mendung, jadi nggak kelihatan bulan, ya."


"Iya, katanya nanti malam juga bakal turun hujan."


Aku menghirup aroma manis dari teh chamomile, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.


Padahal awalnya nggak berniat, tapi entah kenapa aku jadi orang yang merekomendasikan Tiara-san. Kalau terus begini, jangan-jangan aku juga bakal dipaksa jadi wakil ketua…?


──Aku nggak percaya, tapi aku percaya.


Tiba-tiba aku teringat ucapan Komari.


Itu satu hal yang harus kutolak. Meski kelihatannya seperti ini, aku adalah orang yang bisa bilang "tidak".


Saat aku mengembalikan cangkir ke atas piring, Kaju yang tampaknya sudah menunggu langsung menoleh dari jendela.


"Onii-sama, apa kau akan masuk OSIS?"


"Nggak ada niat sih… eh, tunggu. Jadi kau tahu tentang pemilu OSIS?"


"Ya, Kaju tahu segalanya tentang Onii-sama."


Sambil bercanda yang nggak lucu, Kaju menjatuhkan diri ke tempat tidur.


Karena Kaju cukup kenal dengan anak-anak OSIS, jadi semua info pasti cepat sampai ke dia…


"Aku nggak akan masuk OSIS. Aku cuma bantu Tiara-san karena dia nyalonin jadi ketua OSIS."


"Begitu ya. Sedikit mengecewakan sih."


Kaju duduk di atas tempat tidur sambil mengayun-ayunkan kakinya.


"Kalau tahun depan Onii-sama yang menyambutku di acara penerimaan murid baru, pasti akan sangat menyenangkan."


"Itu cuma bisa terjadi kalau kau lulus ujian masuk dulu."


Dengan nada agak jahil, aku berkata begitu dan Kaju langsung tersenyum sambil rebahan di atas kasur.


"Kaju juga sudah belajar sungguh-sungguh, kok. Nanti aku akan ke sekolah naik sepeda berdua bareng Onii-sama."


"Berboncengan dengan sepeda itu nggak boleh tahu."


Memang sih, belakangan ini Kaju benar-benar mulai serius belajar dan jadi jarang kelihatan di Tsuwabuki.


Aku membiarkan Kaju yang berguling-guling di atas kasur, lalu menyalakan laptopku.


Sekitar dua puluh menit berlalu. Setelah menyelesaikan naskah pidato dukungan, aku meregangkan tubuh di atas kursi.


…Huh? Sekarang aku sadar, Kaju kok diam banget.


Saat kulihat ke arah tempat tidur, Kaju sudah tertidur nyenyak sambil memeluk bantal.


Aku menyelimuti Kaju, lalu berjalan ke dekat jendela untuk menutup tirai yang setengah terbuka.


── Di papan pengumuman situs klub koran, jumlah postingan terus bertambah sejak terakhir kulihat.


Cosplay Tiara-san masih menimbulkan pro dan kontra, dan meski populer di kalangan laki-laki, kritik dari para perempuan pun tak henti-hentinya.


Dia bilang tidak peduli, tapi sampai-sampai melaporkannya padaku—artinya dia pasti merasa terluka.


Apakah pilihanku untuk membiarkannya berpidato dengan pakaian itu memang sudah benar…?


"Harus menang, bagaimanapun juga…"


Saat bergumam pelan dan menatap ke luar jendela, aku menyadari ada bayangan hitam yang berkeliaran dengan goyah di depan rumah.


……? Apa itu? Setelah kupelototi dengan seksama, ternyata itu sosok manusia.


Hanya ada satu orang yang kukenal yang bisa menyatu dengan kegelapan seperti itu…


Saat itulah, suara nada dering nyaring seperti kaca pecah terdengar dari ponselku yang tergeletak di meja.


── Panggilan dari Shikiya-senpai.


â—‡


Di depan pintu rumahku, aku menyerahkan power bank ke Shikiya-san.


"Terima kasih… besok… kukembalikan ya…"


Alasan dia memanggilku ke depan rumah ternyata sederhana: baterai ponselnya hampir habis, jadi dia ingin meminjam power bank.


Ngomong-ngomong, pernah juga ada cewek yang masuk ke rumahku karena alasan yang sama…


Wajah Shikiya-san terlihat samar-samar diterangi cahaya dari ponselnya. Aku melihatnya tanpa sadar, lalu membuka mulut setengah tanpa sadar juga.


"Kenapa kamu ada di sini malam-malam begini?"


"Akhir-akhir ini… aku lagi latihan naik bus sama kereta… mungkin karena itu?"


Shikiya-san memiringkan kepala dan terdengar seperti karakter putri bangsawan di manga.


"Ngomong-ngomong, kamu biasanya dijemput sampai setengah perjalanan waktu berangkat sekolah, kan?"


"Iya… soalnya kadang… tahu-tahu udah di tempat asing… jadi aku nggak naik bus…"


Shikiya-san bergoyang ringan.


"Tapi… nggak bisa… terus-terusan begitu…"


Kalimatnya yang lenyap ke dalam gelap malam itu entah kenapa membekas di hatiku.


Sebelum aku sempat memahami apa artinya, tatapan Shikiya-san mulai gelisah.


"Halte… yang mana…?"


"Ah, kalau jalan terus ke arah sana, nanti tembus ke jalan besar."


"Baiklah… maaf ya… malam-malam begini…"


Shikiya-san mulai melangkah pergi, lalu berhenti dan membelakangiku sambil berbisik pelan.


"Ehmm… kamu dan… Tiara-chan…"


"Ada apa dengan Tiara-san?"


Shikiya-san hanya diam.


Saat aku hendak bertanya lagi, rambutnya tiba-tiba bergerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin sama sekali.


"Bukan apa-apa…"


Ia kembali melangkah, dan sosok punggungnya begitu samar seolah menyatu dengan kegelapan.


Seakan akan menghilang begitu saja, begitu rapuh dan gelap── Karena perasaan itu, aku mengambil satu langkah ke depan.


"──Aku… akan mengantarmu sampai setengah jalan."


Langkah Shikiya-san terhenti.


Dia menoleh dengan tajam, dan bola matanya yang putih memantulkan sosokku.


"Iya… tolong ya…"


……Beberapa menit berjalan menuju jalan besar, kami terus melangkah tanpa berkata apa-apa.


Entah kenapa, langkah Shikiya-san malam ini terasa sedikit lebih lambat dari biasanya.


Sambil mencoba memahami perasaan yang menggumpal di dadaku, kami berdua menapaki malam Minggu ini.


Padahal ada banyak hal yang ingin kukatakan, tapi entah mengapa tak satu pun keluar dari mulut.


Suara mobil yang melintas di kejauhan semakin mendekat.


Saat kami terus berjalan dengan perasaan enggan berpisah, kami pun tiba di jalan tempat trem melintas.


Di samping perempatan, ada lentera batu besar yang menyala terang. Halte trem terletak di tengah jalan, tepat setelah menyeberangi zebra cross.


Shikiya-san berhenti di depan lentera batu itu.


"Ehmm… aku… juga belajar naik sepeda sekarang…"


"Eh, itu nggak berbahaya kah? Harusnya pakai roda bantu dulu, deh."


Meskipun ucapanku terdengar cukup lancang, Shikiya-san hanya tersenyum sambil mengayun tubuhnya ringan.


"Bisa melakukan sesuatu… perlahan-lahan bertambah… rasanya menyenangkan…"


"Begitu ya. Kedengarannya bagus."


Kemajuan demi kemajuan kecil dari Shikiya-san… entah kenapa terasa seperti makin menjauhkan jarak antara aku dan dirinya.


……Besok, antara Tiara-san atau Sakurai yang akan ditentukan sebagai ketua OSIS berikutnya.


Setelah festival olahraga, OSIS yang sekarang akan dibubarkan.


Shikiya-san dan ketua Hokobaru pasti akan mulai serius menyiapkan masa depan mereka selepas musim semi nanti.


── Lulus itu terjadi begitu cepat.


Begitulah kata Tsukinoki-senpai waktu itu. Saat bertemu minggu lalu, dia sudah tampak sangat dewasa.


Rasanya seperti dia bukan lagi Tsukinoki Koto yang dulu di Tsuwabuki.


Semua orang seakan tumbuh dewasa dan meninggalkanku, dan aku merasa tertekan karena itu— Tapi siapa pun pada akhirnya harus melangkah ke dunia berikutnya, mau tak mau.


Walau tanpa persiapan, walau belum punya tekad sekalipun, aku pun suatu saat pasti akan berubah──


Shikiya-san memandangi wajahku yang terlarut dalam lamunan.


"Kenapa… bengong…?"


"Aku cuma berpikir… Shikiya-senpai itu kelihatan dewasa, ya."


Ucapan jujur yang keluar begitu saja dari mulutku membuat Shikiya-san menggeleng pelan seolah bingung.


"Aku... masih anak-anak, kok...?"


Dengan gerakan yang tampak ragu, Shikiya-san mengulurkan tangannya padaku. Tapi sebelum sempat menyentuh wajahku, dia menghentikan tangannya.


"Begini... soal pemilu besok... tentang Tiara-chan..."


Jadi, seperti yang kuduga, Shikiya-senpai datang malam ini untuk bicara soal pemilu besok.


Shikiya-senpai yang akrab dengan Tiara, dan lawannya adalah Sakurai. Wajar saja kalau dia merasa khawatir.


Saat aku menunggu lanjutannya, Shikiya-san tiba-tiba ragu-ragu, hal yang jarang kulihat darinya.


"Senpai?"


"Soalnya... aku... pidato..."


Dia kembali terdiam.


Tubuh Shikiya-san yang terus bergoyang pelan itu, tiba-tiba menunduk dengan ekspresi sedih.


"Jangan-jangan... aku memang... dihindari sama Tiara-chan...?"


"Enggak, bukan begitu──"


Kali ini, aku yang kehilangan kata-kata.


Selama masa kampanye ini, Tiara-san memang sengaja menjaga jarak dari pengurus OSIS yang sekarang.


Dia ingin keluar dari bayang-bayang para senior──agar bisa bersinar dengan cahayanya sendiri.


"Kalau OSIS-nya bubar nanti... Tiara-chan pasti langsung pulang..."


"Itu bukan berarti dia menghindari Shikiya-senpai, tapi──"


──Yang dihindari bukan hanya Shikiya-san. Tapi kenyataan itu, tak akan jadi penghiburan bagi orang yang berdiri di depanku sekarang.


"...Akhir-akhir ini dia bantu aku nulis naskah pidato dukungan. Mungkin karena itu dia sibuk."


Shikiya-san tidak memberikan reaksi apapun atas ucapanku, hanya berdiri diam, seolah menghapus dirinya ke dalam kegelapan.


Lampu dari mobil yang melintas di Jalan menyorot tubuh Shikiya-san, seakan menariknya kembali ke dunia nyata.


"Kumohon... bantu Tiara-chan... agar bisa menang..."


Ucapnya nyaris tak terdengar, lalu dia melangkah mundur dengan tubuh goyah.


"Senpai, hati-hati di depan!"


Saat Shikiya-san melangkah ke zebra cross yang masih merah, aku langsung menarik tangannya dengan sekuat tenaga.


Tanpa perlawanan, tubuhnya jatuh ke dalam pelukanku.


Tempat Shikiya-san berdiri tadi, kini dilewati truk besar yang bergetar saat melaju kencang.


...Sambil menenangkan napas, aku tetap memeluknya erat.


Shikiya-san bersandar padaku dengan tubuh yang lemas, menatapku dengan mata putihnya yang tak memperlihatkan emosi.


Tubuhnya terasa sangat kecil. Seolah akan hancur kalau aku menambahkan sedikit saja kekuatan.


"Senpai──"


"...Sakit... sedikit..."


Tampaknya aku secara tidak sadar memeluknya terlalu kuat.


Meski aku melepaskan pelukanku, Shikiya-san masih bersandar padaku, tak bergerak sedikit pun.


Aroma samar keringat yang tercampur samar-samar tercium dan membuat kepalaku terasa ringan.


"Kamu enggak terluka?"


"Un... aku baik-baik saja..."


Dalam posisi itu, dia mencengkeram ujung bajuku dan menatap mataku.


Aku mengalihkan pandangan sedikit dan melangkah mundur.


Lampu penyeberangan ke arah halte sudah berubah hijau.


"Senpai, lampunya udah hijau."


Tapi Shikiya-san tidak juga bergerak dari tempatnya.


"Beneran enggak apa-apa nih? Hati-hati di jalan, ya."


Begitu aku merasa dia mulai bergerak perlahan──


"...Punch~"


Posun. Tinju kecil mendarat ringan di dadaku.


"Eh, senpai?"


Tanpa menjawab, Shikiya-san membalikkan badan dan menyeberang ke halte.


Di tengah jalan, dia sempat menoleh sekali──dan berbisik dengan suara nyaris tak terdengar.


Suara lirihnya nyaris tertelan oleh lalu lintas yang ramai. Tapi bisikan itu akhirnya berhasil sampai ke telingaku.


──Musuh perempuan, katanya.


â—‡


Pagi hari pemilu.


Langit diselimuti awan tebal yang suram, dan kota tampak seperti masih belum melewati waktu fajar.


Aku datang lebih awal dari biasanya dan menyusuri jalan pohon liriodendron yang sepi sambil membaca ulang naskah pidato dukunganku.


Waktu pidato dukungan hanya tiga menit. Bagian awal memperkenalkan kepribadian Tiara-san, lalu menyorot pencapaiannya.


Harus hati-hati agar tidak terdengar seperti memuji diri sendiri, dan mengalir lancar menuju pidato kampanye dari Tiara──


"...Kenapa aku malah deg-degan begini."


Waktu itu aku menyanggupi dengan semangat, tapi sekarang malah kepikiran buat nolak...


Saat mencoba menenangkan diri dengan melihat ke arah lapangan, aku melihat latihan pagi klub atletik sedang berlangsung.


Yakishio sudah memastikan tiket ke nasional, baik untuk 1500 meter maupun 3000 meter.


Di antara anggota klub atletik, dia tampak paling mencolok, sudah mulai berlari saat yang lain masih peregangan.


Saat aku melihat dari kejauhan, Yanami tiba-tiba menyapa dengan suara riangnya.


"Semangat banget, ya, Nukumizu-kun!"


"Selamat pagi. Kamu juga datang lebih pagi dari biasanya, Yanami-san."


"Yah, aku juga lagi semangat. Nih, makan ini."


Yanami menyodorkan wadah berisi sandwich katsu.


Akhir-akhir ini dia terus-terusan makan sandwich katsu, dan saku bajunya selalu diisi dengan remah roti sisa bikinan.


Saat kami berjalan di sepanjang jalan yang dipenuhi pohon sambil makan bersama, rasa tegangku perlahan mulai mereda.


Karena remah-remah roti yang dijatuhkan oleh Yanami, sekarang burung-burung pipit pun ikut mengikuti kami…


"Ngomong-ngomong, Yanami-san juga akan memberikan pidato dukungan, kan? Nggak apa-apa tampil di depan orang banyak?"


Sambil menjilat saus yang menempel di jarinya, Yanami mengedipkan mata.


"Aku sudah siap. Kau tahu, trik yang menyamakan orang-orang dengan sayuran itu."


"Ah, maksudmu yang bayangkan penonton sebagai kentang dan labu, ya."


Dia mengangguk, lalu mengambil potong katsu sandwich berikutnya.


"Yap, itu dia. Kentang enak dibuat potato smash, labu enak direbus, wortel juga bisa dimakan mentah, kan? Kalau dipikir kayak gitu, gugup pun langsung hilang—ah, gawat, air liurku keluar."


Seorang cewek yang sambil makan katsu sandwich malah mikirin makanan lain. Dasar, dari pagi udah mode normal.


Tapi katsu sandwich ini, lemak daging babinya dan rasa sausnya yang kuat seimbang banget sama irisan kol. Padahal kupikir makan gorengan di pagi hari bakal berat…


"…Enak juga, ya."


Tanpa sadar aku mengucapkannya, dan Yanami menyeringai di ujung bibirnya.


"Tuh, kan? Nih, makan lagi, Nukumizu-kun. Kau harus nambah daging sedikit lagi."


"Ini tuh makanan keberuntungan, jadi harusnya kau kasih ke Sakurai-kun, bukan ke aku."


Entah kenapa aku merasa kesal saat mengatakannya, dan senyum pun menyebar di wajah Yanami.


"Heeh, jangan-jangan cemburu ya? Karena aku akrab sama Sakurai-kun?"


"Hah? Bukan, kok."


Aku menyangkal dengan tegas, tapi Yanami menepuk-nepuk pundakku.


"Jangan cemburu, dong. Hari ini terakhir kampanye, kan? Mulai besok kita balik jadi teman biasa. Jadi, nggak usah tegang-tegang."


"Ya, memang sih… tapi bukan berarti aku cemburu."


"Nukumizu-kun nggak jujur banget, sih. Nggak apa-apa kok ngaku."


Dia tetap menyebalkan seperti biasa, tapi ada benarnya juga.


Tiara-san ingin diakui oleh anggota OSIS sebagai seorang individu, bukan hanya sebagai teman.


Tapi itu berarti, dia harus menghadapi risiko menghancurkan hubungan yang ada sekarang.


"…Mungkin memang seperti yang kau bilang, Yanami-san."


"Eh? Maksudmu gimana tuh—"


Wah, kebiasaan jelekku keluar lagi. Aku terlalu sering ngomong dalam pikiranku sendiri.


Aku berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Yanami.


"Soalnya, kalau terlalu terbiasa bersama, kadang kita malah nggak sadar akan hal-hal penting. Yanami-san juga ngerti, kan?"


"Y-ya, aku juga pernah ngalamin… jadi aku ngerti, sih."


Dia mengangguk kaku seperti robot.


Baguslah, dia mengerti. Aku buru-buru menyambung.


"Makanya, buat maju ke depan, kita perlu kesempatan buat saling meyakinkan perasaan masing-masing. Jadi aku pikir sebaiknya kita—"


"Eh?! Tunggu-tunggu! Ini tuh bukan topik buat dibahas pagi-pagi di sekolah, kan?!"


"Hah? Tapi kan pemilihannya sore ini."


Yanami mendadak membeku.


"…Nukumizu-kun, kita lagi ngomongin apa sekarang?"


"Ya, tentang Basori-san. Meskipun nanti kita balik jadi teman biasa, dia selalu all out dan nggak lihat sekelilingnya. Menurutku, nggak baik kalau hubungan dia dengan anak-anak OSIS sekarang jadi kayak musuhan—eh, kenapa kau diam, Yanami-san?"


Tanpa berkata apa-apa, Yanami menggigit katsu sandwich dan menendang kakiku.


"Ow! Eh, kenapa?!"


"Itulah masalahmu, Nukumizu-kun!"


Yanami membuang muka dan meninggalkanku, masuk ke gedung sekolah.


Hahh… apa sih maksudnya.


Sambil menyeret kakiku yang sakit, aku pun masuk ke dalam gedung, dan hampir menabrak Yanami yang tiba-tiba berhenti.


"Yanami-san, kenapa lagi?"


"Nu, Nukumizu-san, selamat pagi!"


Yang berdiri di depan loker sepatu bukan Chikapyon… tapi Basori Tiara versi spesial.


Stoking garis-garis yang naik sampai paha, memperlihatkan zona absolut.


Rambut diikat dua sisi yang mencuat lucu ke kiri dan kanan.

Dengan pipi merah, Tiara mengarahkan kedua telunjuknya ke Yanami.


"Y-Yanami-san! Maaf ya, tapi kami juga akan berusaha untuk menang…!"


Dengan pose Chikapyon yang canggung, ia menunjuk Yanami, yang hanya bisa mengangguk dengan wajah bingung.


"Y-ya… semangat, ya, kalian berdua…"


Jangan tatap aku dengan mata seperti itu, Yanami.


…Aku juga sedikit ngeri, tahu.


â—‡


Siang hari pun berlalu, dan para siswa yang bermain di gym kembali ke kelas mereka.


"Sepertinya semua kandidat dan pendukungnya sudah berkumpul. Sekarang mari kujelaskan urutannya."


Di atas panggung aula yang kini hening, Ketua Hokobaru menatap wajahku, Tiara-san, Sakurai-kun, dan Yanami satu per satu.


"Pertama, giliran kelompok Hiroto. Yanami-kun akan menyampaikan pidato dukungan selama tiga menit, lalu pidato kandidat Hiroto maksimal lima menit. Setelah itu giliran Nukumizu-kun dan Basori-kun. Setelah semua pidato selesai, para siswa langsung kembali ke kelas untuk voting. Mohon patuhi waktu yang ditentukan."


Setelah memastikan semuanya paham, senyum tipis muncul di wajah ketua.


"Rasanya aneh ya, semua orang di sini saling kenal. Tapi mungkin inilah takdir. Tuangkan semua perasaanmu tanpa penyesalan. Siswa-siswa Tsuwabuki pasti akan menerima itu."


Saat dia hendak melanjutkan, bayangan samar muncul di belakangnya.


"Hibari… sensei memanggilmu…"


"Aku mengerti. Aku akan segera ke sana."


Ketua Hokobaru membalikkan badan dengan rambut tergerai, tapi Shikiya-san tak bergerak dari tempatnya.


Untuk sesaat—atau mungkin cukup lama untuk disebut lama—dia menatap Tiara tanpa berkata apa-apa.


Sebelum keheningan itu berubah menjadi beban, Shikiya-san berbalik tanpa sepatah kata.


Tersisa hanya aku di atas panggung, dan aku menghela napas panjang. Di sebelahku, Tiara-san menggenggam tangannya di depan dada dan gemetar.


"Kau gugup?"


"Y-ya. Semua siswa sebentar lagi akan berkumpul di sini, kan. Bagaimana denganmu, Nukumizu-san?"


"Aku juga gugup. Tapi setidaknya kali ini legal. Nggak perlu takut ditangkap, jadi lebih tenang, sih."


"…Nukumizu-san, kita sedang ngomongin hal yang sama, kan?"


Ups, aku keceplosan. Aku sudah berhenti dari dunia kriminal.


"Kalau kamu sendiri, Basori-san, apa kamu sudah siap untuk pidato?"


Aku mengalihkan topik secara alami, dan Tiara mengangguk dengan wajah pucat.


"Aku sudah terbiasa bicara di depan orang sebagai wakil ketua OSIS. Tapi kalau harus tampil di depan seluruh siswa dengan pakaian memalukan seperti ini…"


"Kalau dipikir-pikir?"


Glup. Suara menelan ludah terdengar. Leher putihnya yang memiliki tahi lalat tampak bergerak dengan mencurigakan.


"E-Erm, entah kenapa tubuhku terasa panas, jantungku berdebar… Apa aku gugup, ya?"


…Tiara, kau jangan-jangan mau membuka pintu aneh lagi?


Tolonglah, pastikan pintumu terkunci rapat.


â—‡


Tak lama kemudian, para siswa mulai memasuki aula.


Tempat kami berempat menunggu adalah di balik panggung sisi kanan dari sudut pandang penonton.


Di sisi sebaliknya, ketua OSIS dan Shikiya-san sedang membahas susunan acara bersama guru.


Kegaduhan di dalam aula semakin ramai, membuatku tidak tenang. Aku menarik napas dalam-dalam berulang kali.


Aku mencoba membaca ulang naskah pidato, tapi mataku hanya meluncur begitu saja, jadi aku menyerah dan menatap ke depan.


Sakurai-kun dan Yanami tampak santai, ngobrol dengan suara pelan sambil tertawa kecil.


…Entah kenapa mereka kelihatan dekat. Tapi mungkin cuma perasaanku.


Aku mencoba mengalihkan perhatian dan menoleh ke arah Tiara, yang tampak gelisah dengan roknya.


"Ada apa?"


"Rok ini terlalu pendek… Aku khawatir akan kelihatan dari bawah panggung. Di anime sih segini nggak masalah, jadi kurasa masih aman, tapi…"


"Eh, anime itu punya kekuatan misterius yang bikin bagian dalam rok nggak kelihatan. Lebih baik hati-hati."


"…Aku mau betulin dulu sebentar."


Tiara berkata begitu dan mundur ke belakang panggung.


Sial, kalau dibiarkan begitu mungkin bisa menarik suara dari para cowok──


Saat aku memikirkan hal yang tidak pantas, Sakurai tiba-tiba berdiri di sampingku.


"Maaf ya, karena keegoisanku kamu jadi ikut terseret dalam semua ini."


"Bukan salahmu kok. Siapa pun bebas mencalonkan diri dan apa pun alasannya."


Aku menjawab tanpa banyak berpikir, dan Sakurai menatapku tajam.


"Ada apa?"


"Begitu ya… Jadi memang kamu orangnya seperti itu."


Akhirnya aku juga dikomentari begitu oleh Sakurai.


Saat itu, terdengar suara pintu aula ditutup. Artinya semua siswa telah masuk.


"Maaf, tapi kali ini aku akan bermain untuk menang."


Sakurai mengatakan itu dan kembali ke sisi Yanami.


…Kenapa dia minta maaf? Saat aku masih bertanya-tanya, Tiara-san kembali.


"Maaf menunggu. Sepertinya akan segera dimulai, ya."


"Panjang roknya… kelihatannya nggak berubah banyak. Kamu yakin?"


"Menurutku tetap perlu sedikit ketegangan──eh, maksudku, perlu ada sedikit nuansa modis."


Kau yakin? Jangan-jangan pintu anehmu sudah terbuka sedikit.


Saat aku cemas, suara tenang sang ketua OSIS terdengar dari speaker.


"Semua hadirin. Sekarang, kami akan memulai pidato dari para calon ketua OSIS."


Kegaduhan di aula langsung berubah menjadi sunyi.


"──Pidato dukungan untuk calon ketua OSIS Sakurai Hiroto. Dari kelas 2-C, Yanami Anna. Mohon perhatiannya."


â—‡


Pidato Dukungan Calon Ketua OSIS Sakurai Hiroto 


Begitu berdiri di tengah panggung di balik mimbar, Yanami mulai menyesuaikan posisi mikrofon dengan semangat.


"Aa—, tes, tes."


Setelah menghabiskan cukup banyak waktu untuk tes suara, dia berdehem pelan.


"Ehm, halo semuanya, aku Yanami Anna. Aku sekelas dengan calon ketua OSIS Sakurai, dan… ya, hubunganku dengannya kurang lebih seperti itu."


Pembukaannya sangat santai, tapi sebagai pembicara pertama, dia harus menghangatkan suasana ruangan yang masih kaku. Seperti bagian pembuka dalam rakugo, dia mencoba mencairkan atmosfer sambil mengintip reaksi audiens.


Setelah melemparkan dua tiga candaan ringan, Yanami mencondongkan tubuh ke arah mikrofon.


Nah, ini dia. Bagian utama akan dimulai──


"Ngomong-ngomong, kalian tim roti atau tim nasi?"


…Atau mungkin dia mau terus begini sampai akhir.


Tanpa peduli pada kebingungan audiens, Yanami terus bicara dengan penuh percaya diri.


"Pagi-pagi aku tim roti, siang hari tim nasi. Karena pagi itu sibuk, jadi cukup makan roti, dan waktu siang aku hadapi nasi kotak penuh. Artinya, untuk menghadapi pelajaran siang dan waktu pulang yang panjang──benar, kita butuh kekuatan nasi!"


Setelah menyatakan itu dengan mantap, Yanami menyapu pandangannya ke seluruh aula.


"Sampai di sini, aku yakin kalian sudah paham apa yang ingin kusampaikan."


Maaf, aku nggak paham.


Apa nggak apa-apa nih, Sakurai? Saat aku menatap ke arahnya, dia malah tampak menikmati pidato Yanami dengan senyuman santai. Sakurai, kau ternyata sangat lapang dada…


Yanami kembali berdehem.


"Betul, Sakurai-kun itu ibarat nasi putih! Nasi bisa cocok dengan lauk apa pun, dan akan menerimanya dengan lembut. Mau itu sup krim atau oden, semuanya bisa diterima oleh nasi!"


Yanami makin bersemangat. Meninggalkan semua audiens, pertunjukan Yanami pun berlanjut.


"Kalau aku ini ibarat mentaiko, teman-teman Sakurai ada yang seperti karaage, ada yang kayak garam wijen, dan lain-lain, tapi dia nggak pernah membeda-bedakan!"


Dia menunjuk ke arah panggung samping dengan gerakan dramatis.


Di ujung telunjuknya, Sakurai muncul sedikit dari balik tirai.


"Sakurai-kun nggak pernah mengeluarkan kata-kata kasar seperti si garam wijen yang seakan mengukir hati orang dengan pahat ukir, dan dia selalu mendengarkan ceritaku dengan baik. Belajarlah dari dia, tolong, tolong dicontoh!"


Siapa pun si gawam wijen itu, dia pasti sedang tersinggung. Dan Yanami, kenapa kau menatap ke arahku?


Yanami kembali memandang ke depan.


"OSIS itu ada supaya semua orang bisa menikmati kehidupan sekolah dengan lebih baik. Tapi kadang-kadang, kami juga perlu bantuan kalian. Dan saat itu tiba, Sakurai Hiroto si nasi hangat akan menerima perasaan kalian dan menikmatinya dengan sepenuh hati!"


Bang! Yanami menepuk mimbar dengan kedua tangannya.


"Kami tidak akan membiarkan kalian merasa kelaparan! Sakurai Hiroto! Tolong bantu jadikan dia nasi putih yang baru matang dengan kekuatan kalian!"


Seketika hening.


Tepuk tangan pelan mulai terdengar dari para siswa yang terintimidasi oleh kekuatan misterius itu.


Dan begitu Yanami mengangkat satu lengannya dan turun dari mimbar—tepuk tangan meriah langsung menggema di seluruh gedung olahraga.


â—‡


Memang, suasananya jadi meriah karena dibawa arus, tapi… barusan itu pidato macam apa? Kalau tadi aku lapar, mungkin sudah tumbang…


Yanami yang baru kembali menepuk tangan dengan Sakurai.


Aku mengabaikan wajah bangganya Yanami dan mengamati ekspresi Sakurai.


Dia tersenyum tenang seperti biasa. Dengan penuh konsentrasi, dia menatap panggung tanpa mengalihkan pandangan.


Ketika suasana yang kacau karena teater Yanami belum juga reda, suara ketua OSIS menggema.


"──Selanjutnya, pidato calon ketua OSIS. Kelas 2-C, Sakurai Hiroto. Mohon perhatian kalian."


â—‡


Pidato Calon Ketua OSIS 


Sakurai menunduk sopan di depan mikrofon.


"Halo semuanya. Aku Sakurai Hiroto, bendahara OSIS saat ini."


Berbanding terbalik dengan sebelumnya, pembukaannya terasa sangat tenang.


Sakurai perlahan menyapu pandangannya ke seluruh aula.


"Meski begitu, karena aku jarang tampil di depan umum, mungkin banyak dari kalian yang tidak tahu siapa aku."


Beberapa suara nyaring perempuan dari penonton berteriak, "Kami tahu, kok~!"


Apa-apaan. Kukira aku ini temannya Sakurai.


"Aku selama ini bekerja sebagai pendukung di OSIS, jadi tidak punya pencapaian besar yang bisa dibanggakan. Tapi aku ingin memperkenalkan apa saja yang sudah dilakukan OSIS hingga saat ini."


Pidato Sakurai lebih lurus dari yang kuperkirakan.


Sebuah pidato yang sangat serius.


Karena dia juga anggota OSIS, tak aneh kalau dia memaparkan pencapaian OSIS sejauh ini.


Digitalisasi sistem reservasi fasilitas, peninjauan ulang anggaran kegiatan, pemasangan lampu penerangan di gedung olahraga putri──


Meski kelihatannya sederhana, semua kebijakan itu berdampak besar, dan dia menyebutnya dengan tepat.


Saat mendengar pidatonya, aku mulai merasa ada yang janggal.


Jangan-jangan ini…?


Tiara-san menyentuh lenganku.


"Nukumizu-san, tolong perlihatkan naskahnya."


"Ah, sebentar ya."


Dalam strategi kami, aku akan menyampaikan prestasi masa lalu lewat pidato dukungan, lalu Tiara-san akan menjelaskan visi OSIS ke depannya.


Di naskahku tertulis prestasi Tiara: digitalisasi reservasi fasilitas, peninjauan anggaran acara, dan pemasangan lampu di gedung olahraga putri──


"Jadi ini…"


Tiara-san mengangguk dengan ekspresi serius.


Benar, semua hal yang disebut Sakurai dalam pidatonya adalah kebijakan yang direalisasikan oleh Tiara-san.


──Sebuah tembakan langsung yang tepat sasaran.


Tentu saja, semua itu adalah kegiatan OSIS, dan Sakurai sendiri dengan jelas menyatakan bahwa dirinya hanya bertindak sebagai pendukung.


Dia tidak berbohong. Tidak juga menyesatkan siapa pun.


Tapi tetap saja──kalau setelah ini kami menyampaikan hal yang sama, bisa-bisa malah terkesan meniru atau bahkan merebut kreditnya.


"…Ini gawat. Aku nggak nyangka Sakurai-kun bakal ambil langkah itu."


"Itu strategi yang sah. Kita juga memanfaatkan urutan pidato untuk menciptakan dampak lewat kostum. Sakurai-kun hanya menggunakan taktik untuk mengubah kerugian jadi keuntungan."


Tiara mengepalkan tinjunya dengan ekspresi tegas.


"Kita lupakan saja naskahnya. Sebagai gantinya, tolong isi dengan keahlianmu dalam bicara spontan."


"Aku nggak punya keahlian itu?!"


Yanami menatap kami yang panik dengan bingung.


"Dari tadi ribut terus, kenapa sih? Ini giliranmu lho, Nukumizu-kun."


Tepuk tangan terdengar di telingaku. Pidato Sakurai telah selesai.


Dia membungkuk dalam ke arah penonton, lalu berjalan ke balik panggung.


Tiara menyambutnya sambil menyilangkan tangan di dada.


"Kau benar-benar melakukannya, ya, Sakurai-kun."


"Maaf ya, Tiara-chan. Nanti aku akan minta maaf sebanyak apa pun."


Seharusnya yang dia minta maaf itu aku, bukan?


…Yah, nanti saja komplainnya.


Aku buru-buru melihat kembali naskah pidatoku, tapi makin dibaca makin kelihatan seperti versi duplikat dari pidato Sakurai.


Jadi pada akhirnya aku harus maju dan bicara spontan di depan seluruh sekolah…?


"Baiklah, selanjutnya adalah pidato dukungan untuk calon ketua OSIS, Tiara Basori. Dari kelas 2-C, Nukumizu Kazuhiko. Mohon perhatian kalian."


Suara tegas dari Ketua OSIS Hokobaru menggema. Giliranku telah dimulai.


â—‡


Pidato Dukungan untuk Calon Ketua OSIS Tiara Basori 


…Tidak ada pilihan lain. Aku menutup mata dan menarik napas dalam-dalam.


Oke, aku mulai siap. Satu kali lagi tarik napas, lalu naik ke atas panggung.


"Nukumizu-san, kau sudah dipanggil!"


"Ah, iya, aku siap kok. Lagi dapet momentumnya nih, jadi tunggu sebentar—"


"Silakan lanjutkan di atas panggung!"


"Eh, tunggu dulu──"


Semua pandangan siswa tertuju padaku saat aku terdorong ke atas panggung.


Berusaha menghindari tatapan itu, aku melangkah menuju mimbar dan dengan jari yang gemetar menyalakan mikrofon.


"E-ehm, aku… aku adalah orang yang menerima kehormatan untuk merekomendasikan Basori-san, namaku adalah Nukumizu."


Aku langsung kehabisan kata-kata, jadi pura-pura berdeham.


Rasa tegang berdiri sendirian di atas panggung ini sangat berbeda dibandingkan dengan saat presentasi klub di bulan April lalu.


"Basori-san itu, um… sangat serius orangnya…"


Lagi-lagi aku terdiam, dan kesunyian di dalam aula olahraga menelanku bulat-bulat.


––Dalam kenyataan, tidak ada kekuatan tersembunyi yang akan bangkit hanya karena aku terpojok.


Merasa benar-benar patah semangat, aku melirik ke arah Basori-san yang berada di balik tirai panggung.


Yang menyambut pandanganku bukanlah wajah kecewa seperti yang kuduga––


Sebaliknya, Basori-san menatapku dengan ekspresi serius.

Dengan tatapan penuh percaya diri, dan mata yang kuat.


––"Maukah kau mendukung hanya aku saja?"


Kata-katanya di kafe tempo hari.


Bahkan sekarang, Basori-san masih mempercayaiku.

Bahkan saat aku mempermalukan diri di depan seluruh siswa.


"…Pertama kali aku bertemu dengannya adalah sebelum Festival Tsuwabuki tahun lalu."


Aku mengangkat wajahku dan menerima tatapan seluruh siswa.


Meski aku sudah bulatkan tekad, meski aku sudah pasrah––aku tetaplah siswa biasa yang tak menonjol.


Sebagai Nukumizu Kazuhiko yang biasa, aku hanya bisa berbicara tentang Basori yang bahkan belum satu tahun kukenal.


"Kesan pertamaku terhadapnya, dia adalah siswa yang sangat serius. Uh, memang sih, waktu itu dia pakai baju maid dan bilang 'nyan' saat Festival Tsuwabuki, tapi secara keseluruhan dia orangnya serius."


…Kenapa aku merasa tekanan dari balik tirai panggung makin besar?


"Dalam pemilihan ketua OSIS kali ini, di koran sekolah dan papan buletin, banyak hal yang ditulis––termasuk yang tidak benar. Banyak juga yang terdengar seperti hinaan."


Saat menyebut papan buletin itu, ekspresi Basori…


Dia berusaha terlihat biasa saja, tapi aku tahu dia pasti terluka. Setidaknya aku bisa tahu itu.


"Yah, jujur aja, banyak juga yang aku rasa cukup masuk akal. Dia orangnya kaku, keras kepala, dan sedikit keras kepala––eh, maksudku keras kepala banget. Kadang juga agak egois…"


Semakin terasa tekanan dari Basori-san, aku menarik napas panjang.


"Tapi keegoisannya itu bukan untuk dirinya sendiri––selalu untuk orang lain. Karena itu, aku merasa pencalonannya kali ini adalah pertama kalinya dia egois demi dirinya sendiri."


––Mungkin, sebenarnya lebih baik kalau Sakurai yang jadi ketua OSIS.


Dia cerdas, dan yang paling penting, dia disukai banyak orang. Kalau aku bukan orang yang terlibat langsung, aku pun pasti memilih Sakurai.


"Aku menjadi orang yang merekomendasikannya karena ingin mewujudkan keegoisan pertamanya itu. Memang sih, dibandingkan dengan ketua sekarang, dia terlihat kurang bisa diandalkan."


Tapi aku adalah orang yang terlibat. Aku adalah orang yang merekomendasikan Tiara Basori.


"Tapi dia tetaplah dirinya sendiri. Basori punya kelebihan yang hanya dia yang punya. Aku yakin dia akan jadi ketua OSIS yang hebat. Dan kalau ada yang masih berpikiran buruk tentang Basori––"


Maka selama aku berdiri di sini––aku, setidaknya aku, akan tetap mendukungnya.


"Datanglah padaku! Kalau dia dihina, aku akan memujinya berkali-kali lipat! Aku akan bicarakan semua hal tentang Basori yang canggung tapi kuat, jujur, dan penuh kepedulian––bahkan sampai pagi pun akan kujelaskan!"


Setelah meluapkan semua yang ada di pikiranku, aku menarik napas panjang dan menatap ke seluruh aula olahraga.


Para siswa terdiam membeku seolah-olah waktu berhenti.

Jangan-jangan… aku melakukan kesalahan besar…?


Dengan takut-takut, aku melirik ke balik tirai––dan melihat Basori-san dengan wajah memerah, menunjukku sambil melakukan pose chikapyon.


Eh… itu ekspresi apa?


––Saat itu, angin dingin menyapu tengkukku.


"Aku juga… ingin membicarakanmu sampai pagi…"


"?!"


Bahkan sebelum aku sempat terkejut, suara jegrek terdengar dan lampu aula olahraga tiba-tiba padam.


Aula seketika tenggelam dalam kegelapan yang tak wajar untuk siang hari, dan suara bingung terdengar dari sana-sini.


Dalam sekejap, pandanganku bergoyang, dan saat mataku mulai terbiasa dengan gelap, aku terkejut karena––


Entah bagaimana, aku sudah kembali ke sisi panggung tempat aku berdiri sebelum pidato dimulai.


Lalu, suara jegrek terdengar lagi dan lampu aula menyala serentak.


Kegaduhan pun menyebar seperti riak air.


Di tengah panggung, berdiri di depan mimbar––adalah Shikiya-san.


Saat tubuh Shikiya-san bergoyang ringan di depan mikrofon, terdengar suara feedback yang menusuk telinga.


Setelah suara itu mereda, Shikiya-san perlahan membuka mulutnya.


"Kelas 3-E… Shikiya Yumeko… ganti pemain…"


Seluruh orang di tempat itu menahan napas.


Kemudian, lampu langit-langit aula kembali berkedip, dan beberapa siswi menjerit pelan––


â—‡


Pidato Dukungan untuk Calon Ketua OSIS, Tiara Basori oleh Yumeko Shikiya.


Tentu saja, ini juga kejadian yang tidak terduga bagi Ketua Hokobaru.


Dari sisi lain panggung, dia menggelengkan kepala sambil melambaikan tangan memanggil Shikiya-senpai.


Namun Shikiya-san mengabaikannya dan mulai bicara dengan suara pelan.


"Calon ketua OSIS… Tiara-chan… seperti yang kalian tahu… sekarang menjabat… sebagai wakil ketua osis…"


Aku menatap pemandangan itu dengan melongo, dan Tiara-san menarik lenganku.


"Kenapa Shikiya-senpai ada di sana?!"


"Eh, aku juga nggak ngerti apa yang terjadi…"


Saat aku bingung, Yanami mengacungkan jempolnya ke arahku. Jangan, nanti disalahpahami orang-orang!


Sambil menenangkan Tiara-san, aku kembali melihat ke panggung. Pidato Shikiya-san masih berlanjut.


Sepertinya dia sedang menceritakan tentang waktu Tiara-san mengikuti kegiatan relawan kebersihan sekolah pada April tahun lalu.


"Tiara-chan… waktu itu nggak begitu cocok… dengan orang lain…"


Membayangkan Tiara-san berselisih dengan orang lain sangat mudah.


Dulu saat pertama bertemu dengannya, dia memang sedikit (?) tajam. Pasti banyak hal terjadi waktu itu.


"Tapi… waktu aku istirahat beberapa lama… dia membersihkan taman bunga yang penting buatku…"


Shikiya-san bergoyang pelan sambil menatap ke angkasa.

Para siswa pun ikut menengadah, meskipun tentu saja tidak ada apa-apa di atas sana.


"Aku pikir tanamannya udah mati… jadi aku senang sekali…"


Meski nadanya datar, setiap kata Shikiya-san menyiratkan perasaan canggung tapi tulus.


Bahkan aku bisa merasakannya, apalagi Tiara-san.


Bahu Tiara-san, yang sebelumnya tegang, akhirnya merosot perlahan.


"──Shikiya-senpai punya kebiasaan… mengorbankan hal yang penting buat dirinya sendiri."


Tiara-san bergumam pelan seolah bicara sendiri.


Mungkin karena sadar aku menatapnya, dia menambahkan dengan nada datar,


"Makanya orang-orang di sekitarnya harus melindungi dia."


Kisah taman bunga itu terjadi sebelum Tiara-san bergabung ke OSIS. Tapi bagaimana dia bisa memahami Shikiya-san sedalam itu?


"……Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"


"Kelihatan kok. Karena aku juga sama sepertinya."


Tiara-san menjawab sambil menatap wajahku, lalu kembali mengarahkan pandangan ke atas panggung.


Shikiya-san masih melanjutkan pidatonya dengan suara pelan.


"Anak itu… bahkan kalau orang yang dia tolong… ngomongin dia di belakang… dia tetap bantu… tanpa peduli…"


Goyangan tubuh Shikiya-san makin lama makin besar.


"Walaupun nggak ada yang lihat… walaupun nggak ada yang muji… dia tetap melakukan hal yang baik untuk semua orang…"


Begitu dia selesai bicara, gerakannya langsung berhenti.


Dia baik-baik saja nggak, ya? Apa perlu dikasih minuman pemulih tenaga?


Saat seluruh aula memandangnya dengan cemas, Shikiya-san kembali bergerak perlahan.


"Tapi… yang pertama kali menemukan anak itu… bukan aku…"


Padahal kalau tidak salah, Shikiya-san yang merekomendasikan Tiara ke OSIS.


Kupikir dia yang pertama kali mengenali potensi Tiara.


"Yang bilang… ada anak baik yang cocok buat OSIS itu… Sakurai-kun…"


"Eh?"


Di sebelahku, Tiara-san mengeluarkan suara kecil penuh keterkejutan.


Saat dia memandang ke arah Sakurai, anak itu menggaruk hidungnya sambil terlihat canggung.


"Dia bilang… ada anak yang rajin dan penuh perhatian… dan dia ingin merekomendasikan anak itu ke OSIS…"


Shikiya-san mulai mengayunkan tubuhnya dengan ceria, seperti mengikuti irama.


"Begitu ketemu langsung… dia imut… rajin… gampang dibujuk… anak yang baik banget…"


Shikiya-san terlihat sangat senang saat menyebutkan kelebihan Tiara-san.


Sementara yang sedang dipuji, yaitu Tiara-san, mulai terlihat gelisah karena malu.


"Tahi lalatnya lucu… wangi sabun… punggungnya sensitif… imut banget…"


Eh, sepertinya arah pembicaraan mulai melenceng.


Ekspresi Tiara-san yang tadinya berusaha menahan senyum malu, mulai berubah drastis.


"Ukuran bra-nya… agak nggak pas tapi tetap imut… tapi akhir-akhir ini… kayaknya mulai tumbuh…"


Ah, Tiara-san mengepalkan tinjunya dan mulai gemetar.


Setelah puas berkata-kata, Shikiya-san kembali terdiam di atas panggung sambil bergoyang pelan. Saat waktu hampir habis, dia kembali membuka mulut.


"Tiara-chan itu… anak yang bisa hidup untuk orang lain… karena itu…"


Tubuhnya tiba-tiba terhuyung ke arah mimbar, membuat seluruh aula heboh.


Sambil menahan tubuhnya dengan kedua tangan di mikrofon, Shikiya-san berkata dengan suara nyaris tak terdengar.


"Tolong… pilih Tiara-chan… semua orang…"


Dia menarik napas sekuat tenaga, seperti mengumpulkan sisa energi terakhirnya.


"Sakurai-kun juga… adik kelas yang manis… jadi… tolong pikirkan baik-baik… sebelum memilih…"


Begitu kalimat itu berakhir, cahaya matahari tiba-tiba menembus jendela aula dan menyinari Shikiya-san di atas panggung.


Seakan itu menjadi isyarat, tepuk tangan yang menggema pun mengguncang seluruh aula seolah mimpi tadi tak pernah terjadi.


â—‡


Setelah kembali ke sisi panggung, Shikiya-san langsung mendapat chop dari Ketua Hokobaru.


Lucu juga.


Saat aku melirik ke arah Tiara-san, dia menundukkan wajahnya dan tubuhnya gemetar.


"Benar-benar deh... semua orang ini...!"


Gawat, dia benar-benar hampir meledak.


"Tapi kelihatannya semua berjalan lancar, kan? Sekarang giliranmu, Tiara-san?"


"Semua orang ini egoisnya kebangetan, kan?! Bisa nggak berhenti bertingkah semaunya sendiri?!"


Jangan bilang itu ke aku dong.


"──Baiklah, maaf sudah menunggu. Kita lanjutkan pidato kandidat ketua OSIS. Kelas 2-F──Basori Tiara. Silahkan."


Tiara-san yang masih terlihat ingin mengatakan sesuatu akhirnya mengubah ekspresinya begitu mendengar pengumuman dari ketua OSIS.


Dia menaruh tangan di dada dan menarik napas dalam-dalam.


"...Kalau begitu, aku juga akan melakukannya dengan caraku sendiri."


"Eh, kamu semangat gitu?"


Tiara-san menepuk rambut kecil yang diikat di samping kepala, lalu menoleh ke arahku sambil tersenyum menunjukkan gigi putihnya.


"Kalau begitu, aku pergi dulu ya, Nukumizu-san."


â—‡


Pidato Kandidat Ketua OSIS


Begitu Tiara-san muncul dari balik panggung, kegaduhan langsung menyebar di dalam aula olahraga.


Sampai-sampai aku hampir lupa kalau dia ini tampil sambil cosplay secara terbuka...


Setelah membungkuk dalam-dalam di samping podium, Tiara-san berdiri di depan mikrofon.


"Perkenalkan, namaku Basori Tiara, mencalonkan diri sebagai ketua OSIS berikutnya."


Awal yang terdengar sangat serius, kontras dengan penampilannya.


Suasana yang sempat mengambang karena kemunculan Shikiya-san perlahan menjadi lebih tenang.


"Sama seperti Sakurai tadi, aku juga menjabat sebagai wakil ketua dalam OSIS saat ini. Mungkin ada di antara kalian yang pernah aku bantu dalam kegiatan sekolah."


Setelah memastikan suasana aula, Tiara-san melanjutkan dengan nada yang lembut.


"Sebenarnya aku ingin menyampaikan apa saja yang sudah aku lakukan selama satu tahun ini di OSIS──tapi sepertinya sudah keburu disebut semua oleh Sakurai ya."


Dia tersenyum kecil sambil melirik ke arah Sakurai yang ada di balik panggung.


Terdengar tawa kecil dari penonton yang terbawa suasana.


Tiara-san kembali menghadap ke depan dan berbicara dengan nada yang lebih formal.


"Waktu SMP dulu, SMA Tsuwabuki adalah sekolah impianku."


...Isi yang mulai dia sampaikan terasa seperti kenangan lama, dan benar-benar berbeda dari yang direncanakan.


"Para kakak kelas di sekolah ini adalah pahlawan dan tokoh panutanku. Mimpiku adalah bisa lulus masuk Tsuwabuki dan menjalani kehidupan SMA bersama mereka."


Bukan berbicara kepada penonton, tapi seperti sedang bercakap dengan dirinya sendiri di masa lalu.


Tiara-san terus bicara seolah sedang menggumam.


"Belajar seperti biasa, berlatih klub seperti biasa, dan menjalani kehidupan sekolah seperti biasa──"


Kemudian dia berhenti sejenak dan menatap ke arah aula dengan ekspresi serius.


"Aku pikir, kalau bisa lulus ke sekolah ini, aku juga bisa menjadi bagian dari ‘kebiasaan’ Tsuwabuki. Tapi kenyataannya tidak semudah itu."


Tiara-san tampak sedikit ragu sebelum melanjutkan.


"Nilai-nilailah yang jadi masalah utamaku. Bahkan bisa dibilang sangat buruk. Tiap kali ujian, aku hanya berusaha keras supaya nggak dapat nilai merah."


──Sesuatu yang dulu dia sembunyikan mati-matian. Kompleksnya sendiri.


"Aku juga payah dalam olahraga, dan saat ngobrol dengan teman pun, sering merasa tertinggal. Aku sadar bahwa aku tidak bisa menjadi bagian dari ‘kebiasaan’ yang dulu aku impikan. Begitu masuk sekolah ini, aku langsung merasakannya."


Setelah mengatakan itu, ekspresi Tiara-san terlihat seperti sudah melepaskan beban.


"Sekitar setahun yang lalu. Saat aku ikut kegiatan sukarelawan yang dipimpin OSIS, aku diajak bergabung oleh para kakak kelas. Rupanya orang yang pertama menyebut namaku adalah Sakurai, yang ada di sana."


Dengan senyum nakal, dia melanjutkan.


"Setelah itu... yah, mungkin banyak dari kalian sudah tahu soal diriku."


Dengan nada bercanda, dia langsung menegaskan dengan serius:


"Sejujurnya, aku sudah membuat banyak masalah bagi kalian semua. Karena ketidakdewasaan, aku pernah menyakiti orang lain juga."


Entah sejak kapan Sakurai berdiri di sampingku.


Saat aku menyikutnya karena sepertinya dia ingin bicara, dia berbisik pelan, "Akhirnya berjalan baik juga. Makasih," lalu aku membalas, "Sama-sama." Dan itu cukup.


Sisanya, kami berdiri berdampingan, menyaksikan kesungguhan Tiara-san.


"──Melalui kegiatan OSIS, aku sadar. Aku memang tidak bisa menjadi pahlawan atau tokoh utama yang dulu aku kagumi. Tapi... aku bisa menjadi seseorang yang mendukung mereka!"


Tiara-san mencabut mikrofon dari dudukannya.


"Ya, kalian semua di Tsuwabuki──semua yang hadir di sini! Kalian adalah pahlawan dan tokoh utama yang selama ini aku kagumi dan ingin menjadi seperti itu!"


Suara lantangnya menggema ke seluruh aula.


"Dan aku──dan OSIS──akan menciptakan lingkungan di mana kalian bisa fokus belajar dan berlatih di klub dengan sepenuh hati!"


Tiara-san berteriak ke arah mikrofon tanpa mempedulikan suara melengking yang mengganggu.


Para siswa yang disapu oleh emosi yang begitu kuat itu tak bisa bergerak sedikit pun, hanya menatap Tiara-san.


"Meskipun begitu, mungkin aku tetap tidak cukup mampu dan membuat kalian kecewa! Mungkin kalian akan merasa tidak puas! Tapi kalau itu terjadi, silahkan lampiaskan semuanya padaku! Aku akan menerimanya! Silakan lampiaskan! Jangan ragu!"


Entah kenapa, sepertinya ada pintu lain tersembunyi di balik kata-katanya, tapi... aku pura-pura nggak dengar saja.


...Tapi, ini momen yang bagus. Meski Tiara-san terlihat agak terlalu bersemangat, para siswa tidak mundur.


Justru sebaliknya, seluruh aula terbawa oleh semangat membara Tiara yang disampaikan secara langsung tanpa basa-basi.


Selama ini, semua orang kebingungan dengan tanda tanya besar di kepala mereka, dan akhirnya bisa menyalurkan emosi itu.


Dengan wajah memerah, Tiara-san condong ke arah mimbar.


"Jadi... jadi...!"


Tapi tunggu, dia terlalu terbawa emosi. Kalau terus seperti itu──


"Aku──?!"


Dengan panik, Tiara menutup hidungnya dengan kedua tangan.


Mikrofon yang dia jatuhkan menabrak mimbar dengan suara berat yang menggema.


...Jangan-jangan.


Bahu Tiara-san mulai gemetar. Umm... jadi ini maksudnya...


Kejadian mendadak itu membuat suasana aula mulai gaduh.


"Hei, Basori-san kenapa? Kebanyakan makan ya?"


Yanami datang menghampiri sambil mengunyah sesuatu dan menatap khawatir. Hei, ini masih jam pelajaran!


Tapi itu bukan masalah sekarang. Ini... gawat.


Gawat gimana, aku juga nggak yakin, tapi pokoknya harus segera ditangani...


Saat aku mencoba merogoh kantong untuk mencari tisu, tiba-tiba getaran di tubuh Tiara-san berhenti.


Di matanya──terlihat cahaya penuh tekad.


Dengan penuh keberanian, Tiara-san melepaskan tangannya dan meraih mikrofon.


──Sambil mengalirkan darah dari hidungnya.


"Singkatnya, kalian semua adalah ‘idola’ bagiku! Karena itu!"


Dengan teriakan yang tidak peduli lagi pada penampilan dan mimisan yang mengalir...


Tiara menarik napas panjang──lalu melontarkan teriakan terbesarnya hari ini:



 "Tolong! Izinkan aku mendukung kalian semua sebagai penggemar kalian!!"


Suara melengking yang menusuk telinga terdengar dari speaker.


Aula yang sebelumnya riuh langsung hening karena kekuatan suaranya, dan hanya napas terengah-engah Tiara yang menggema di seluruh ruangan.


Lalu, dia menarik napas dalam lagi dan menunjuk lurus ke arah Shikiya-senpai yang berdiri di balik panggung.


"Dan satu lagi, Shikiya-senpai! Jangan panggil aku pakai nama depan di depan umum!"


Tiara-san menyeka darah yang masih mengalir dari hidungnya dengan lengan baju, lalu menghadap ke seluruh siswa Tsuwabuki──


"Sekian! Aku, Basori Tiara!"


Dia mengaum.


Hari itu, Basori Tiara ditunjuk sebagai ketua OSIS baru di SMA Tsuwabuki.


Dan beberapa waktu kemudian, dia pun dikenal dengan julukan ini:


──Ketua OSIS Merah Darah.


 

Interlude 3

Waktunya Beres-Beres


Sore hari di ruang OSIS.


Hibari Hokobaru dan Yumeko Shikiya sedang menuliskan sesuatu di papan tulis putih yang menempel di dinding.


Keheningan yang cukup lama akhirnya dipatahkan oleh Hokobaru.


"Shikiya, aku cukup terkejut, lho. Kalau Basori tidak terpilih, itu tidak akan bisa dianggap bercanda begitu saja."


"Mm... aku senang Tiara-chan menang…"


Dengan nada seolah itu bukan urusannya, Shikiya menggambar lingkaran bunga menggunakan spidol merah.


"Tiara-chan... sudah bisa... pulang ke rumah…?"


"Ah, dia diantar Hiroto dengan baik-baik tadi. Tidak masalah."


Sepertinya Hokobaru tidak puas dengan tulisannya barusan. Dia menghapus beberapa huruf di tengah dan mulai menulis ulang.


"Hey, Shikiya."


"Ada apa…?"


"Masih tidak bisa kupahami. Kenapa kau melakukan hal itu?"


── Hal itu.


Tak perlu dijelaskan, maksudnya adalah kejadian saat pidato dukungan itu.


Shikiya menghentikan tangannya, lalu matanya bergerak seakan mencari kata yang tepat.


"Keduanya... imut... kalau terlalu saling sikut... aku nggak suka…"


Ia sedikit memiringkan kepala dengan gerakan manja.


"Maaf ya…?"


"Kenapa minta maaf. Aku bukannya marah, kok."


"Soalnya... Sakurai-kun... jadi gagal…"


Melihat ekspresi bersalah Shikiya, Hokobaru hanya tersenyum kecut.


"Yang perasaannya lebih kuatlah yang terpilih. Itu hasil yang memuaskan."


"Beneran... nggak apa-apa…?"


"Ya. Kalau Basori yang memimpin OSIS, aku bisa tenang."


Hokobaru kembali menggerakkan spidol di atas papan tulis.


"Bukan itu… maksudku…"


Setelah berkata begitu saja, Shikiya terdiam.


Hokobaru menjawab dengan nada datar, meskipun raut wajahnya tampak bimbang.


"Itu sudah lama berlalu."


Setelah itu, yang terdengar di ruang OSIS hanya suara spidol yang meluncur di permukaan papan tulis.


Sepertinya tulisannya kali ini memuaskan. Hokobaru mengangguk besar.


"Shikiya, kau sendiri, sudah memutuskannya?"


Tubuh Shikiya tampak goyah mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu.


"Mm... pelan-pelan... sedang kupikirkan…"


"Begitu ya."


Keheningan kembali menyelimuti.


Shikiya bergumam lirih sambil menatap gambar yang dibuat Hokobaru.


"Tiara-chan... katanya mau minta Sakurai-kun jadi wakil ketua OSIS…"


"Ah, aku juga menduga begitu. Hiroto pasti setuju."


"Iya…"


"Ngomong-ngomong, anggota lainnya sudah ditanya? Kalau cuma berdua, jelas kekurangan orang."


"Tiara-chan... sepertinya... sedang memikirkan sesuatu…"


Saat hendak bertanya lebih jauh, Hokobaru menahan diri dan tersenyum masam.


"Yang akan pergi tak seharusnya terlalu ikut campur. …Oke, sudah selesai."


"Aku juga... sudah selesai…"


Keduanya menutup penutup spidol, lalu mundur beberapa langkah untuk menatap papan tulis.


Di tengah tertulis besar-besar: 

[Sisanya kami serahkan padamu!]


Di sekelilingnya, penuh dengan ilustrasi lucu dan pesan-pesan kecil.


"Hibari... ini... penguin…?"


"Lucu, kan? Ini bentuk baru manusia penguin, namanya Ojipen."


"Perlu... dipertimbangkan…"


Shikiya melangkah ke belakang Hokobaru dan bersandar di punggungnya. Lalu dia mengangkat satu tangan lebih tinggi dari kepalanya sendiri.


"Hibari... kamu... tambah tinggi…?"


"Mungkin saja. Tubuhku entah kenapa terus tumbuh ke atas."


Wajah masing-masing tak terlihat.


Tapi dari napas yang terasa lewat punggung mereka, keduanya bisa merasakan keberadaan satu sama lain.


Dengan suara lirih namun hangat, mereka membuka mulut.


"...menyenangkan, ya."


"Iya… menyenangkan banget…"


OSIS saat ini akan dibubarkan setelah acara olahraga dua hari lagi. Dan akan diserahkan pada OSIS yang baru.


Waktu terus berjalan tanpa kompromi.


Tiga tahun yang terbatas tak akan membiarkan mereka terus berada di tempat yang sama.


"Oh ya, Shikiya. Dari dulu aku ingin tanya."


Hokobaru menatap gambar kucing di papan tulis dengan bingung.


"Makhluk bernama ‘Nuko’ ini… apa maksudnya? Beda dengan ‘neko’ (kucing)?"


Gambarnya adalah ilustrasi seekor kucing yang berbaring di atas bantal besar. Judulnya: Nukomakura.


Shikiya berdiri di sebelah Hokobaru dan memiringkan kepala pelan.


"Nuko itu... lucu… jadi…"


"Karena lucu, ya. Aku mengerti sekarang."


Hokobaru mengangguk seakan benar-benar kagum.


Melihat wajahnya dari samping, Shikiya tiba-tiba berkata:


"Hibari... boleh... aku cium pipimu…?"


"Tidak boleh. Simpan itu untuk saat yang penting."


Dengan tegas Hokobaru menolak, lalu kembali memandangi papan tulis dengan ekspresi puas.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close