Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 6
Kisah Romantis Adalah Sesuatu Yang Buruk,Hina, Dan Menyedihkan
Sudah dua hari berlalu sejak insiden penguntit yang berubah dari kebohongan menjadi kenyataan.
Amada memang dihajar habis-habisan oleh si penguntit palsu, tapi untungnya (meski bagiku ini sial) lukanya ternyata ringan meski tampak parah, sehingga ia hanya absen sehari dan kembali masuk sekolah keesokan harinya.
Tentang si pria yang melarikan diri setelah berpura-pura jadi penguntit, keberadaannya sampai sekarang masih belum diketahui.
Namun, Hitsujitani melaporkan ke teman-teman sekelas bahwa ada surat yang masuk ke kotak surat apartemennya, bertuliskan, "Dasar pelacur sialan, aku tidak akan mendukungmu lagi."
Sepertinya pria itu sudah tidak berniat berurusan lagi dengan Hitsujitani.
Di kehidupan pertamaku, (meskipun pria yang berbeda) si penguntit palsu itu tertangkap polisi, sedangkan di kehidupan kedua ini, meskipun berubah menjadi penguntit yang menggunakan kekerasan, dia malah tidak tertangkap.
Mana yang sebetulnya lebih benar sebagai akhir cerita, ya──ah, sejujurnya, itu bukan urusanku.
Yang penting hanyalah lingkungan orang-orang yang kusayangi.
Karena Hidaka tidak jadi diperlakukan sebagai pelaku pembocoran informasi, itu sudah cukup bagiku. Kalau bisa, aku ingin hasil yang sempurna──
"Kazuki~, Mikoto~, hari ini aku juga bawa makan siang enak buat kita!"
Untuk menyelesaikan insiden ini, kami juga harus membayar "harga" tertentu.
Saat jam istirahat siang, yang datang dengan senyum lebar sambil menggendong kotak makan besar di kedua tangan adalah Tsukiyama Ouji.
Sejak Amada kembali ke sekolah, dia lebih sering menghabiskan waktu dengan Amada, tapi sejak insiden berakhir, dia nempel ke aku dan Hidaka dengan kecepatan luar biasa. Jujur saja, sangat mengganggu.
"Kemarin juga sudah aku bilang, kau itu menyebalkan dan menjijikkan, tahu?"
"Eh? Aku, menyebalkan dan menjijikkan? Uhe! Uhehehe!"
Karena selama ini dia diperlakukan dingin oleh teman seangkatannya, hinaan kecil macam itu bukan hanya tidak berpengaruh, malah membuatnya senang.
Sepertinya dia sangat senang karena dalam insiden itu aku dan Hidaka mau bekerja sama dengannya, padahal seharusnya dia bertindak sendiri.
Tingkat keakrabannya langsung melonjak, berubah dari seperti permen karet bekas jadi lem super kuat.
"Tsukiyama. Seperti yang kubilang kemarin, aku dan Hidaka sudah bawa bekal. Jadi, cukup bawa makananmu sendiri."
"Apa yang kau katakan! Kalau nggak banyak, kita nggak bisa tukar-tukaran, kan? Bekal kalian itu, entah kenapa, rasanya spesial. Seperti ada rasa kehangatan keluarga gitu."
"Rasakan itu di keluargamu sendiri."
"Itu nggak mungkin. Ayah dan ibuku akur saja tidak, bahkan sudah pisah rumah. Ibuku juga sudah tiga tahun ini hampir tidak menunjukkan wajahnya ke aku ataupun ayah. Aku bilang kemarin, kan?"
Dia memasang senyum nakal, seolah mengatakan "balas dendamku berhasil." Kenapa bisa santai bicara soal masalah keluarga seberat itu?
"Obrolanmu berat, tahu."
"Tenang saja! Aku sendiri nggak terlalu memikirkannya. Lagian, walaupun tanpa ibu, ayah selalu baik padaku."
Ngomong-ngomong, ayah Tsukiyama memang sangat menyayangi anaknya.
Mungkin karena kasih sayang itu diberikan berlebihan untuk menutupi kekosongan tanpa ibu, makanya hasilnya seperti ini──
Hidaka mencubit seragamku.
"Kazupyon, bawa Ouji juga ya......"
Biasanya Hidaka akan ikut menolak seperti aku, tapi setelah mendengar cerita tentang keluarga Tsukiyama, dia jadi jauh lebih lembut padanya.
Ya, aku juga merasa kasihan sih... (lebih tepatnya sangat kasihan.)
"Baiklah..."
"Makasih, Hidaka~!"
"Ng... Tapi jangan panggil aku begitu. Jijik rasanya."
"Eh? Tapi kalau manggil pakai nama, kayaknya malah bisa salah paham, kan?"
Kenapa pola pikirnya bisa begitu? Panggil saja pakai nama keluarga seperti biasa, bodoh.
Kami bertiga duduk di meja luar kantin dan mulai makan bekal.
Bekal yang dibawa Tsukiyama memang mewah, penuh bahan makanan mahal yang biasanya tidak bisa kami makan. Tapi pada akhirnya, bekal buatan ibuku (dan Hidaka) tetap lebih enak.
"Ngomong-ngomong, nggak apa-apa Amada dibiarkan sendirian?"
Aku bertanya sambil memakan roast beef yang dipaksa diberikan Tsukiyama.
"Nggak apa-apa kok. Ada Iba, Ushimaki, sama Hitsujitani yang menemani dia. Malah, kurasa aku lebih baik nggak ikut-ikutan..."
Dia berkata begitu dengan ekspresi sedikit sedih.
Yah, dia benar juga sih.
Amada menganggap dirinya sebagai tokoh utama cerita romcom, dan Tsukiyama adalah sahabatnya.
Tapi dalam romcom, karakter sahabat biasanya jarang tampil.
Mereka lebih seperti roda kecil yang hanya dipanggil saat diperlukan cerita.
"Aku merasa... kayak nggak dibutuhkan. Aku anggap Teru itu sahabat, tapi mungkin Teru nggak menganggap aku begitu... ya, mungkin ini cuma perasaanku saja."
Mungkin, di kehidupan pertamanya, Tsukiyama juga sudah sadar tentang perasaan Amada.
Tapi meskipun sadar, dia tidak punya tempat lain untuk pergi. Karena itu, dia memaksa dirinya untuk tetap menjadi sahabat Amada dan tetap di sisinya.
"Aku dan Hidaka juga nggak pernah merasa butuh kamu, tahu?"
"Kalau begitu, aku akan berusaha supaya dibutuhkan!"
Jangan colek pipiku!
Kalau kau melakukan sesuatu, Hidaka juga akan terpengaruh dan bertindak agresif──ah, seperti yang kuduga, pipiku langsung dicolok dari kedua sisi.
Begitu pulang sekolah, Tsukiyama hanya mengucapkan salam ringan lalu bergegas ke klub.
Setelah itu, saat aku hendak pergi kerja paruh waktu bersama Hidaka, seorang yang menyebalkan muncul.
Aroma mirip cairan disinfektan memenuhi hidungku, sedikit mengganggu.
"Ishii, bisa luangkan waktu sebentar?"
"Amada, bukankah aku sudah bilang jangan berhubungan lagi denganku?"
Aku menatap tajam, tapi dia sama sekali tidak bergeming, malah menunjukkan tatapan serius khas karakter utama.
"Hal yang tak terduga terjadi. Jadi, aku ingin kau mendengarkan ceritaku."
Saat aku melirik ke arah kelas, aku melihat banyak siswa yang tampaknya tertarik dengan percakapan antara aku dan Amada, menatap kami dengan penuh perhatian. Meski sudah agak terbiasa, aku tetap tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Aku ada shift kerja hari ini. Jadi, aku nggak bisa luangin waktu."
"Kerjamu mulai jam lima sore, kan? Harusnya kamu masih punya sedikit waktu."
Senyuman penuh percaya diri. Sikapnya jelas, seolah mengatakan bahwa dia sudah yakin menang dan aku tidak diizinkan untuk menolak. Dan, yang menyebalkan, apa yang dia katakan memang benar.
Pelajaran di SMA Hirasaka biasanya selesai sekitar pukul tiga sore. Jadi, kalau aku langsung berangkat ke tempat kerja, biasanya masih ada cukup waktu luang. Biasanya, aku akan mampir ke suatu tempat atau menghabiskan waktu di ruang belakang minimarket, tapi kelihatannya hari ini aku nggak akan sempat.
"Cuma aku saja?"
Ketika Amada mendekat seperti ini setelah sekolah, aku teringat kejadian 'penghakiman palsu' yang dulu pernah terjadi. Tapi waktu itu, Iba dan Ushimaki ada di samping Amada. Hari ini, dia sendirian. Tidak ada Iba, Ushimaki, ataupun teman masa kecil lainnya, Hitsujitani.
"Tidak, aku mau Mikoto juga ikut."
"…………"
Aku merasa kesal mendengar Amada memanggil nama Hidaka. Tapi lebih dari itu, aku dipenuhi rasa curiga.
Rencana Hitsujitani yang berusaha menuduh Hidaka sebagai pelaku kebocoran informasi palsu seharusnya sudah dihancurkan waktu itu. Seharusnya sekarang Amada tidak punya alasan apa pun untuk menyerang kami lagi.
Tapi kenapa dia masih bertingkah seperti protagonis penuh percaya diri ini?
Sangat menyebalkan untuk diakui, tapi di kehidupan pertama, aku tidak tahu persis bagaimana Kitami dulu dijatuhi hukuman sebagai pelaku kebocoran informasi. Aku hanya mendengar hasil akhirnya. Karena itu, aku juga tidak tahu apakah situasi sekarang mirip dengan yang terjadi waktu itu.
"Baiklah. Mau bicara di sini?"
"Nggak. Aku rasa ini bukan hal yang sebaiknya didengar orang lain. Mari cari tempat lain."
Tampaknya kali ini dia tidak berencana mempermalukan kami di depan umum seperti sebelumnya.
Itu sendiri sebenarnya membuat rencana ini jadi agak sia-sia. Tujuan Amada adalah memaksa Hidaka pindah sekolah. Dan akhirnya, dia sendiri pun ingin pindah sekolah untuk bisa menjalani kisah cinta baru di lingkungan baru.
"Ikut aku, ya?"
"…Iya."
Sial. Selama aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak punya pilihan selain mengikuti Amada.
Aku dan Hidaka, dengan langkah agak berat, mengikuti Amada. Kami akhirnya tiba di ruang klub atletik.
Awalnya kupikir akan ada kegiatan klub, karena ini jam setelah sekolah. Tapi rupanya hari ini latihan ditiadakan, jadi tempat ini cocok untuk ngobrol diam-diam.
Di dalam ruangan, ada Ushimaki yang merupakan anggota klub atletik, serta Iba dan Hitsujitani.
"Halo, Ishii-san, Hidaka-san."
"H-Halo... Ishii-kun, Hidaka-san."
"…………"
Iba tetap bersikap anggun seperti biasa, Hitsujitani menampakkan wajah tegang, dan Ushimaki tetap diam.
Meskipun ekspresi mereka berbeda-beda, begitu melihat ketiga orang ini berkumpul, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
"Di sini, nggak ada yang bakal dengar, jadi tenang saja."
"Itu juga berlaku buatmu, kan?"
"Mungkin saja."
Aku sedikit merasa lega.
Kelihatannya Amada ingin sekali lagi menjebak Hidaka sebagai pelaku penyebaran informasi ke si penguntit. Tapi sekarang dia belajar dari kegagalan sebelumnya: bukan mempermalukan kami di kelas, melainkan di ruangan sepi ini.
Kalau misalnya gagal lagi, tidak ada saksi. Itu jadi semacam jaring pengaman. Dengan kata lain, Amada sendiri tidak yakin rencananya bakal berhasil. Dia makin jauh dari kesan 'protagonis' sejati.
Bukannya seorang protagonis seharusnya berani maju tanpa takut gagal?
"Kalian sudah tahu kalau stalker-nya Miwa kabur, kan?"
"Ya. Dengan suara sekencang itu, mana mungkin nggak dengar?"
Di kehidupan pertamaku, stalker itu tertangkap polisi. Tapi di kehidupan kedua ini, dia berhasil kabur.
Meski hasilnya terasa lebih buruk, setidaknya keselamatan Hitsujitani tetap terjaga. Lagipula, kurasa Amada sebenarnya nggak peduli apa yang terjadi pada Hitsujitani.
"Kalau dia udah janji nggak akan ganggu lagi, bukankah masalahnya selesai?"
"...Kalau memang begitu, bagus. Tapi..."
Dengan nada penuh makna, Hitsujitani menyelipkan kata-kata itu.
"Kamu tahu, Ishii-kun. Ada satu hal yang aneh dalam kasus ini."
"Hal aneh?"
Menanggapi pertanyaanku, Iba menjawab.
"Hitsujitani-san pindah sekolah untuk melarikan diri dari stalker."
"Namun, stalker itu tahu di mana dia tinggal. Dia bahkan mengejarnya sampai ke alamat barunya."
Ushimaki menyambung. Sepertinya Ushimaki memanggil Hitsujitani dengan sebutan "Hii-chan".
Sungguh, bagi kami ini masalah yang sudah seharusnya selesai. Kenapa mereka masih berusaha mengungkitnya lagi?
"Kalau begitu, artinya ada seseorang yang memberi tahu stalker itu tentang keberadaan Miwa, kan?"
Seolah mengakhiri pembicaraan, Amada menambahkan kalimat itu.
Semuanya sesuai dengan yang aku duga. Amada ingin menciptakan sosok 'pelaku kebocoran informasi' yang baru. Dia ingin membuat seolah-olah ada 'dalang sebenarnya' yang menyebabkan Hitsujitani terancam.
Tapi setelah ini, apakah dia benar-benar berencana menjerat Hidaka?
Kalau begitu, itu sungguh perhitungan yang sangat naif.
"Dan kami juga sudah tahu siapa pelakunya."
"Oh ya? Gimana caranya kalian cari tahu?"
"Miwa yang berusaha keras. Padahal pastinya dia sangat ketakutan..."
Pandangan Amada beralih ke Hitsujitani. Dengan senyum lembut, ia menatap seolah berkata, "Kamu sudah berusaha dengan baik."
Tentu saja, makna sebenarnya dari "berusaha dengan baik" itu pastilah berbeda.
Saat aku menunjukkan ekspresi heran, Hitsujitani mulai berbicara.
"Aku... pernah sekali membalikkan keadaan dan membuntuti si penguntit. Setelah aku berhasil kabur dan membuatnya kehilangan jejak, aku malah membalikkan situasi dan mengikutinya diam-diam."
"Untuk apa?"
"Aku berpikir... mungkin saja si penguntit itu punya seseorang yang memberinya informasi tentang aku. Jadi, kalau dia kehilangan jejakku, mungkin dia akan menemui orang itu..."
Mungkin, di kehidupan pertama, Kitami dijebak dengan cara seperti ini. Namun itu cerita di kehidupan pertama. Dalam kehidupan kedua ini, Kitami bukanlah target.
Lebih dari itu, menjebak Hidaka juga sebenarnya mustahil. Karena, saat kasus stalker ini berakhir, aku sudah mengumumkan di depan semua orang.
Bahwa pria itu pernah mendekati Hidaka di minimarket dan mencoba memberinya uang.
Dengan informasi itu, bahkan jika ada foto yang memperlihatkan Hidaka berbicara dengan stalker sekalipun, dampaknya sangat kecil, bahkan hampir tidak ada. Masa mereka nggak ngerti juga sih?
"Hmm. Lalu, bagaimana hasilnya?"
"Aku berhasil mengambil foto saat itu... Dan anak yang memberi informasi tentang aku itu, ternyata orang yang Ishii-kun juga kenal baik. Karena itu, aku minta bicara diam-diam seperti ini..."
Seriusan? Mereka benar-benar berusaha menjebak Hidaka dalam situasi sekacau ini?
Rencana Hitsujitani kali ini benar-benar penuh lubang dan sangat ceroboh. Sampai-sampai membuatku merasa bodoh karena sebelumnya sempat waspada terhadap mereka.
"Kalau begitu, perlihatkan fotonya."
Begitu aku berkata begitu, Amada mengangguk dengan tatapan serius, seolah memang menunggu kata-kataku.
Ruangan klub yang hanya berisi enam orang ini kini dipenuhi ketegangan aneh. Di tengah suasana itu, Amada menunjukkan layar ponsel pintarnya ke arahku.
"Ini anak yang membocorkan informasi tentang Miwa kepada si penguntit."
Dan yang terlihat di layar adalah...
"Yuzu?"
Orang yang ada di foto itu bukan Hidaka Mikoto, melainkan adikku, Ishii Yuzuki.
"Haah!? Jangan bercanda! Yuzu dituduh sebagai orang yang membocorkan informasi ke si penguntit!? Mana mungkin!"
Dengan amarah yang meledak, aku berteriak. Bahkan Hidaka pun kehilangan kata-kata. Namun, Amada tetap tenang, terus berbicara dengan sikap santai.
"Namun, ada foto yang menunjukkan dia menerima uang."
Saat aku memeriksa ponsel Amada, memang terlihat si penguntit palsu itu menyerahkan uang kepada Yuzu.
Meskipun begitu, Yuzu tampak memperlihatkan ekspresi bingung dan tidak tampak berniat menerima uang itu.
Namun, mengetahui hal itu saja tidak cukup. Masalahnya adalah, foto semacam ini sudah cukup untuk menimbulkan masalah.
"Pertama-tama, untuk apa Yuzu menjebak Hitsujitani!? Yuzu sama sekali tidak punya alasan──"
"Itu ada alasannya," kata Hitsujitani, mengambil alih pembicaraan dari Amada.
"Ishii-kun, kamu ingat tidak, waktu itu aku pergi ke sekolah bersama kamu? Hari itu, Yuzu-chan sudah tahu kalau aku ini adalah Hanatori Miyabi, kan?"
"……T-Terus kenapa!?"
Memang, Yuzu tahu bahwa Hitsujitani adalah Hanatori Miyabi. Aku yang memberitahunya.
Awalnya, aku takut Yuzu, yang sangat menyukai si streamer Hanatori Miyabi, akan dimanfaatkan untuk hal-hal buruk setelah bertemu langsung dengan Hitsujitani. Jadi, setelah berdiskusi dengan Hidaka, aku memberitahu Yuzu siapa sebenarnya Miyabi. Namun, meski sempat terkejut, Yuzu tidak menunjukkan ketertarikan besar pada Hitsujitani.
"Walaupun dia tahu itu, bukan berarti dia punya alasan untuk membocorkan informasi, kan!"
"Aku juga sempat bingung. Kenapa Yuzu-chan memberitahu si penguntit tentang aku…?"
Yuzu jelas tidak melakukan apa-apa. Dia tidak mungkin melakukan itu. Meski begitu, Hitsujitani berbicara seolah-olah Yuzu benar-benar pelakunya, dan itu membuatku tidak bisa memaafkannya.
"Kurasa... itu salahku…"
"Apa?"
"Kamu dan Yuzu-chan kelihatan sangat dekat, kan? Kalian saling menyayangi satu sama lain. Aku bisa merasakannya, dan terus terang, aku merasa iri."
Kata "iri" yang ia ucapkan di akhir itu terdengar sangat tulus.
Mungkin Hitsujitani sadar bahwa perasaannya terhadap Amada tidak dibalas dengan perasaan yang sama. Karena itu dia berkata iri. Namun, rasa kasihan tidak akan membuatku memaafkannya.
"Mungkin, buat Yuzu-chan, aku, yang tiba-tiba dekat dengan kakaknya yang dia sayangi, terasa seperti gangguan. Dan tanpa sadar, dia mengambil langkah yang salah untuk menjauhkan aku…"
"Itu semua cuma spekulasimu, kan!"
"Meski begitu, spekulasi itu cukup untuk menimbulkan kecurigaan."
"Amadaaaa…"
"Apa, Ishii?"
Senyum bengkok penuh rasa percaya diri muncul di wajahnya.
Rencana Amada kali ini sejak awal memang bertingkat dua. Yang dia harapkan adalah membongkar Hidaka sebagai pembocor informasi, lalu pindah sekolah berdua dengannya.
Namun, dia sadar aku mungkin akan menghalangi itu. Seperti sebelumnya, dia tahu bahwa mencoba menjebak orang bisa berbalik menjebak dirinya sendiri. Karena itu, dia menjadikan rencana itu sebagai umpan.
Dengan sengaja membuat rencana yang ceroboh untuk membuatku lengah... supaya rencana sebenarnya berjalan lancar.
Yaitu, menjebak Yuzu, bukan Hidaka.
Orang mungkin berpikir, menjebak Yuzu, yang masih SMP dan belum bersekolah di SMA Hirasaka, tidak ada gunanya. Tapi itu kesalahan besar. Karena Hitsujitani punya sisi lain sebagai Hanatori Miyabi.
Hanatori Miyabi adalah V-Tuber populer — artinya dia punya kekuatan untuk menyebarkan sesuatu ke banyak orang.
Di kehidupan pertamaku, Hitsujitani menyebarkan informasi pribadi tentang ayah dan Yuzu lewat siarannya. Akibatnya, mereka berdua akhirnya kehilangan nyawa.
Kalau aku tidak bisa membersihkan nama Yuzu kali ini, semuanya akan terulang.
Yuzu akan mengalami perundungan di sekolah. Meski sebenarnya menderita, dia akan berusaha menahan diri agar tidak membebani aku, sampai akhirnya jiwanya hancur perlahan, tak sadar menyeberang jalan saat lampu merah... dan meninggal secara tragis.
Aku masih belum bisa melupakan wajah Yuzu saat itu, yang kulihat di rumah sakit setelah semuanya berakhir.
Padahal dia pasti sangat menderita, sangat tersakiti... namun lebih dari itu, dia menyesal karena telah merepotkanku. Dengan ekspresi sedih, matanya tetap terpejam, meskipun aku terus memanggilnya, dia tidak pernah membuka mata lagi.
Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi untuk kedua kalinya.
"Dari awal, Hitsujitani dan si stalker sudah bekerja sama, kan!? Dia berusaha jadi korban agar menarik perhatian orang yang dia sukai! Ini semua cuma rekayasa!"
"Ishii, kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin begitu."
"Diam kau! Aku nanya ke Hitsujitani!"
"B-bukan begitu... Aku benar-benar kabur dari orang itu…"
"Kabur!? Bukannya dia juga orang yang membantu siaranmu!? Kamu yang nyuruh dia berpura-pura jadi stalker, kan!"
"Kalau memang begitu, aku nggak akan membiarkan dia menyakiti Teruchi kayak kemarin!"
Suara kuat. Sepertinya, bahkan buat Hitsujitani sendiri, kekerasan yang dilakukan stalker itu di luar perkiraan.
Memang, karena aku juga ikut memprovokasi, si stalker akhirnya bertindak kelewatan. Dan kurasa Hitsujitani menyadarinya juga. Itulah sebabnya dia tidak menahan diri terhadapku.
Rasa bersalah karena kesalahannya sendiri ia tutupi dengan amarah karena Amada terluka.
"Memang benar aku dibantu beberapa orang dalam siaran... Tapi dia bukan salah satunya! Aku sembunyikan itu dari Teruchi, karena aku nggak mau disalahpahami…"
Saat Hitsujitani menatap Amada dengan tatapan lemah, Amada menunjukkan ekspresi bingung.
"Hah? Kenapa kamu harus sembunyiin itu?"
"……Teruchi…"
Dengan bibir bergetar, ia menggigit pelan bibir bawahnya. Ah, aku mengerti, kau memilih jalur itu.
Amada bertingkah seolah dia tokoh utama cerita cinta, tidak menyadari perasaan Hitsujitani. Ia memperlakukan Hitsujitani hanya sebagai teman masa kecil yang baru bertemu kembali.
Dan itu semakin membakar emosi Hitsujitani.
Karena dia belum menjadi "orang spesial" bagi Amada. Karena itu, dia ingin menjadi yang spesial.
Untuk itu, dia harus melakukan sesuatu demi kebaikan Amada.
Amada menunjukkan senyum tenang yang menyeramkan, lalu menaruh tangan kanannya di bahuku.
"Hei, Ishii. Aku sebenarnya tidak berniat memberitahukan hal ini ke semua orang."
"Apa?"
"Soalnya, begini. Kalau semua orang tahu tentang ini, adikmu pasti akan kesulitan. Walaupun aku pikir itu akibat ulahnya sendiri, tetap saja aku tidak suka melihat gadis kecil terluka..."
Jangan bicara tentang Yuzuki seakan-akan kau peduli. Di kehidupan pertama, gara-gara kau, Yuzuki mati.
Ayah dan ibu juga hilang, dan aku hanya berharap Yuzuki bisa bahagia... tapi kau bahkan merebut harapan terakhirku itu.
"Kalau begitu, kenapa kau cerita ini sekarang?"
"Ada sesuatu yang ingin kuminta."
"Minta sesuatu?"
"Jaga jarak dari Mikoto."
"…………!"
Jadi itu tujuan Amada. Memisahkan aku dan Hidaka. Untuk itu, dia menjebak Yuzuki dan mengancamku.
Kalau aku tidak menjauh dari Hidaka, dia akan menyakiti Yuzuki, bukan aku ataupun Hidaka.
"Tentu saja, aku juga tidak akan mendekati Mikoto. Aku dengar sekarang dia punya teman, kan? Katanya akrab dengan Mouka dan Hime."
Amada adalah orang yang melanggar janji tanpa rasa bersalah.
Kalaupun aku menjauh dari Hidaka, dia pasti akan mendekatinya dengan berpura-pura berbicara pada Ushimaki atau Iba.
"Aku sebenarnya nggak berteman sama si Ushi itu, tahu?"
"Hahaha. Jangan malu begitu."
Apa pun yang kukatakan, percuma saja. Amada sudah yakin dia akan menang.
Dan ini juga sekaligus ancaman untuk Hidaka. Kalau kau tetap dekat dengan Ishii, Yuzuki akan disakiti, apakah kau masih mau bertahan?
"Aku tidak akan berpisah dari Kazupyon. Aku juga tidak akan membiarkan Yuzuki-chan terluka."
Tanpa ragu, Hidaka mengucapkannya.
"Aku juga tidak berniat menyakitinya. Tapi sebagai teman masa kecil, aku khawatir saja. Kau sudah dengar alasanku melindungi Miwa, kan? Bisa jadi Mikoto yang jadi target selanjutnya."
"Sejak awal, Yuzuki-chan tidak berbuat apa-apa. Foto itu pun, sama sepertiku juga, dia hanya diajak bicara. Seperti kata Kazupyon, stalker dan Hitsujitani itu memang sudah bekerja sama dari awal."
"Kau terlalu percaya pada Ishii, Mikoto... Tapi tak apa. Suatu hari nanti kau pasti mengerti. Siapa orang yang benar-benar pantas kau percayai, siapa yang benar-benar akan melindungimu."
Jijik aku dengar omong kosongmu. Barusan kau bilang sendiri kau tidak akan mendekati Mikoto, kan?
"Lalu, bagaimana kalau Ishii sendiri menjauh dari Mikoto?"
"…………!"
Kata-kata Amada membuat Hidaka goyah. Dia menatapku, seakan mencari pertolongan.
Aku tahu. Sebenarnya kau takut pada Amada, kan? Tapi kau tetap berusaha keras. Kalau begitu, aku harus merespon keteguhan hatinya.
"Amada, aku tidak akan mengambil jarak dari Hidaka."
"Kalau begitu, bagaimana dengan adikmu?"
Intinya, kalau aku tidak menjauh dari Hidaka, dia akan menjebak Yuzuki. Tidak, bahkan kalaupun aku menjauh, dia tetap akan melakukannya. Dia hanya akan menyerahkan semuanya pada Hitsujitani.
Dan setelah semuanya terjadi, dia akan berkata pada Hidaka:
"Aku sudah mencoba menghentikannya, tapi Miwa bilang, ‘Lebih baik hati-hati’... Maaf ya, Mikoto."
Dia pikir kata-kata busuk penuh kebohongan itu akan dipercayai. Memuakkan.
"Heh, Hitsujitani. Ini saatnya bicara jujur. Kau terhubung dengan stalker itu, kan?"
"Sudah berapa kali kau tanya!? Jawabanku tetap sama! Aku tidak kenal orang itu! Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya!"
Belum pernah bertemu, katanya. Padahal waktu itu kalian berdua ke minimarket.
Kalaupun aku memaksa, dia pasti bilang, "Aku tidak sadar." Sungguh, aku tidak mengerti apa bagusnya Amada. Kalau ada kesempatan, aku ingin bertanya langsung.
Pelan-pelan, aku arahkan layar smartphone-ku ke Hitsujitani.
"Kalau begitu, bagaimana dengan foto ini? Kau kelihatan berbicara akrab dengan si stalker?"
"Apa? Eh!? Eehhh!?"
"Kenapa... kenapa bisa ada..."
Sekarang, giliran Hitsujitani yang terkejut melihat foto itu. Bahkan Amada di sebelahnya membelalak.
Dalam foto itu, Hitsujitani tampak berbicara dengan ramah pada si stalker.
"Kalian kelihatan sangat akrab, ya?"
Bodoh, Amada! Dari awal, aku sudah tahu semuanya! Aku tahu, kau bukan hanya mengincar Hidaka, tapi juga Yuzuki!
"A-a-apaan ini!? Aku nggak tahu soal foto ini! Ini pasti hasil editan atau─"
"Bukan, kok. Karena aku yang ambil fotonya."
"Haa!?"
"Eh?"
Suara yang tidak disangka-sangka itu membuat Amada dan Hitsujitani semakin kebingungan. Dengan bibir bergetar, Amada memanggil nama perempuan itu.
"Mouka?"
Dengan wajah tenang, Ushimaki Fuuka menyatakan fakta itu. Salah satu mantan heroine Amada.
"Itu susah banget, tahu. Aku harus pergi ke minimarket tempat Ishii kerja, malam-malam… Sambil sembunyi-sembunyi supaya nggak ketahuan... Aku bahkan sempat diajak ngobrol sama pria aneh... Tapi berkat itu, aku berhasil dapetin fotonya."
Masalah besar yang kuhadapi kali ini adalah ini. Kalau mereka mencoba menjebak Hidaka dan Yuzuki, aku butuh bukti tandingan.
Aku perlu menangkap momen saat Hitsujitani dan stalker-nya berbicara akrab. Tapi kesempatan seperti itu sangat langka.
Dulu, saat aku bertemu stalker lain di department store, itu pun hanya karena Yuzuki sering menonton siaran Hanatori Miyabi — sebuah kebetulan ajaib.
Tidak mungkin keberuntungan seperti itu datang dua kali.
Karena itu, aku harus sengaja menciptakan situasi itu.
Yang kugunakan untuk itu adalah momen sebelumnya... saat mengambil bukti untuk menjebak Hidaka. Saat itu, setelah mengambil foto seolah-olah Hidaka dan si stalker palsu melakukan transaksi uang, Hitsujitani pergi.
Namun, itu belum selesai. Masih perlu ada fase untuk memeriksa foto yang diambil bersama-sama.
Tentu saja, bagi Hitsujitani, itu hanyalah langkah yang merepotkan, tapi bagi stalker palsu yang tergila-gila pada Hitsujitani, waktu itu justru yang paling membahagiakan.
Karena itu, aku mengincar saat tersebut.
Bukan aku atau Hidaka yang sudah diwaspadai, melainkan Ushimaki, yang tidak dicurigai, yang bergerak untukku.
"Moeka-chan, kenapa..."
"Kenapa apanya?, aku dari awal memang nggak percaya sama kamu. Aku cuma pura-pura ada di dekat kamu sambil mikir kamu itu mencurigakan."
"Moeka, tapi kan kamu dan aku..."
"Amada. Sudah jelas, aku lebih benci kamu."
"……!"
Amada, otakmu penuh bunga-bunga, ya, sampai kamu membuat asumsi sepihak.
Kamu pikir, kalau heroine sudah cukup menyesal dan minta maaf, mereka akan memaafkanmu, kan?
Mana mungkin begitu. Ushimaki sama sekali tidak memaafkanmu. Dia muak padamu. Tapi tetap saja, dia kembali ke sisimu karena ada alasan.
Dari awal, dia pura-pura berdamai untuk mengorek rencanamu. Kalau aku atau Hidaka yang mendekat, kami akan dicurigai. Tsukiyama juga tidak cukup dipercaya Amada.
Tapi heroine itu beda. Karena Amada percaya heroine akan bergerak sesuai keinginannya, seperti protagonis love-comedy.
Dan kalau Ushimaki sudah mengkhianatimu, tentu saja satu lagi juga sama.
"Sebenarnya aku menyarankan agar Moeka-san menggunakan rayuan untuk memancing si stalker palsu, namun sayangnya ditolak, dan aku menyampaikan rasa kecewaku."
Iba Kouki pun ternyata berpihak pada kami, bukan ke pihak Amada.
"Wajar saja! Kenapa aku harus sampai sejauh itu!"
"Namun, kau mengatakannya, bukan? Kalau demi Ishii-san, kau rela melakukan apapun──"
"Diamlahhhh!!"
"Haa... Karena itulah heroine lugu itu menyusahkan..."
"Aku tidak lugu! Aku cuma berterima kasih, itu saja!"
Dengan muka merah padam, Ushimaki berusaha keras membantah sesuatu. Sementara itu, Hidaka menatapnya dengan wajah sangat seram.
Yah, tadi juga dia sudah bilang dengan tegas. Kalau dia "bukan teman" dengan Ushimaki. Karena itu, Iba langsung terbebas dari masalah.
"Hime!"
"Tolong jangan panggil dengan nama panggilan itu. Menjijikkan."
Keduanya bergerak dari belakang Amada dan mendekat ke arahku.
Dengan gerakan yang mulus, Iba berdiri di samping Hidaka, sedangkan Ushimaki awalnya mau ke sebelahku, tapi buru-buru pindah ke samping Iba setelah mendapat tatapan tajam dari Hidaka. Ushimaki tampak murung.
"Kenapa sih? Hime, Moeka, kalian bilang mau memaafkanku, kan!?"
"Fakta bahwa kamu percaya ucapan seperti itu dengan begitu mudah, justru menunjukkan betapa menjijikkannya dirimu."
Ugh! Itu juga kena ke aku...
Karena sejujurnya, aku juga sempat berpikir kalau Iba dan Ushimaki berpihak pada Amada.
Yang membuatku sadar bahwa itu salah adalah berkat Hidaka. Hari itu, Iba mendekati Hidaka seolah-olah memberinya motif untuk menjebak Hitsujitani.
Awalnya, memang pembicaraan itu terkesan memberikan motif kepada Hidaka. Tapi sebenarnya, itu semua hanya untuk membuat Amada lengah.
Untuk membuat Amada berpikir bahwa heroine sekali lagi bergerak untuk dirinya. Namun tujuan sejati Iba ada di kalimat selanjutnya:
──Ngomong-ngomong, Hidaka-san punya teman yang suka dengan streamer, kan?
Awalnya kupikir itu tentang Kitami. Tapi ternyata bukan hanya itu. Bukan cuma Kitami. Yuzuki juga termasuk "teman yang suka streamer."
──Ah, ini hanya obrolan santai saja. Tapi kalau temanmu nanti dalam masalah, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan kami. Kami pasti akan membantu.
Itu adalah kata-kata kedua.
Pada titik ini, Hidaka sadar kalau Iba tidak mengkhianatinya. Iba sedang memberi tahu Hidaka bahwa Yuzuki menjadi target. Dan selanjutnya, tentangku.
──Ishii-san, kau berpikir selama wanita penting bagimu tetap aman, tidak peduli apa yang terjadi pada Hitsujitani, bukan? Bahkan, kau rela melakukan hal kotor apapun untuk melindungi wanita penting itu, kan?
──Benar. Kalau Iba dan yang lain merasa bersalah pada aku, lebih baik mereka memprioritaskan keselamatan pihak kita.
Itu adalah percakapan yang terjadi di antara kami.
Aku dan Hidaka sedang dalam pengawasan.
Untuk membuat Amada dan Hitsujitani lengah, aku harus pura-pura hanya melindungi Hidaka. Kalau begitu, aku tidak bisa melindungi Yuzuki. Karena itu, aku mempercayakan Yuzuki kepada Iba dan Ushimaki.
Aku memutuskan untuk percaya pada mereka.
Dan setiap pulang sekolah, Iba dan Ushimaki selalu ada di dekat Yuzuki.
Syukurlah, si stalker palsu tidak sampai bertindak kasar kepada Yuzuki, tapi tetap saja aku benar-benar berterima kasih.
Tentu saja, aku sempat ragu untuk mempercayai Iba dan Ushimaki, mengingat di kehidupan pertama mereka menjebakku.
Tapi Hidaka berkata:
──Iba itu... sungguh sangat tidak menyenangkan, tapi... Ushimaki bisa dipercaya.
Jika Hidaka mempercayainya, maka aku juga akan mempercayainya. Jika dengan aku mencoba melindunginya malah membuat Yuzuki semakin berbahaya, maka aku akan menyerahkannya pada dua orang yang dulu pernah menjebakku.
Amada membentak dengan suara keras, seolah-olah masih tidak bisa mempercayai bahwa Iba dan Ushimaki telah mengkhianatinya.
"Sudah jelas aku percaya begitu saja! Hime dan Moeka adalah orang-orang yang sangat penting bagiku! Justru karena kalian penting, makanya aku mempercayai kalian!"
"Kau kurang tepat dalam berkata-kata. Karena kami adalah orang-orang penting yang bisa memenuhi kebutuhan pengakuanmu, maka kau mempercayai kami, bukan?"
"Itu... salah...!"
"Amada, jika kau menganggap kami hanyalah boneka bagimu, maka silakan saja. Faktanya, aku memang telah merepotkan Ishii-san dan Mikoto-san karena menjadi bonekamu."
Iba melangkah satu langkah ke depan.
"Namun, sekarang sudah berbeda. Jika kau berani menyakiti Ishii-san atau Mikoto-san, aku tidak akan pernah memaafkannya. Mereka berdua adalah orang-orang yang seharusnya berbahagia. Karena itu..."
Ia menarik napas dalam-dalam. Ia mengepalkan tangannya erat, seolah-olah untuk menahan getaran di tubuhnya.
Setelah menunduk sesaat, Iba menatap lurus ke arah Amada dan menyatakan dengan tegas:
"Jika kau ingin menyerang, seranglah aku."
Aku tidak tahu kenapa Iba sampai sejauh ini demi aku dan Hidaka.
Baik di kehidupanku yang pertama maupun yang kedua, Iba jelas-jelas adalah musuhku. Tapi, Iba yang sekarang berbeda.
Ada sesuatu yang berubah dari Iba yang dulu ku kenal sebagai sosok kejam dan licik.
Karena adanya Iba seperti ini, karena Ushimaki mau bekerja sama, akhirnya kami bisa sampai pada situasi sekarang.
"Hitsujitani, tadi kau bilang kan? Kau belum pernah bertemu pria itu? Kalau begitu, foto ini apa? Bukankah terlihat sangat akrab?"
"Itu... tidak seperti yang kau pikirkan... Foto itu..."
Hitsujitani memandang Amada, berusaha keras mencari celah. Namun, kami tahu persis apa yang akan dilakukan Amada di situasi seperti ini.
"Miwa, aku kecewa padamu."
"……!!"
Dengan sangat mudah, Amada mengabaikan Hitsujitani. Begitu pria ini menyadari bahwa peluang kemenangannya hilang, ia langsung memilih untuk melindungi dirinya sendiri.
Memang menyebalkan, tapi kenyataannya, kami tidak punya bahan lagi untuk lebih menekan Amada.
Kalau saja ini terjadi di ruang kelas seperti dulu, kami mungkin bisa menjebaknya. Tapi kali ini hanya ada kami berenam di ruangan ini. Efeknya tidak sebesar itu.
Dan tindakan ini adalah yang paling merepotkan bagiku.
"Apa yang sudah kau lakukan, hah? Semua teman sekelas kita mempertaruhkan nyawa mereka demi melindungimu! Tapi ternyata, semua itu hanya rekayasa, dan kau malah mencoba menjebak Ishii dan Mikoto..."
"Tidak! Aku... aku hanya ingin... tidak dibenci oleh Teruchi..."
Dengan air mata mengalir deras, Hitsujitani tetap berusaha bersandar pada Amada.
Seperti yang pernah diceritakan Kanie, memang begitulah. Hitsujitani bertindak demi Amada, tidak ingin membuat Amada kecewa padanya. Namun, tindakan itu sendiri malah membawa hasil yang paling buruk.
Tapi, ini belum boleh berakhir. Walau tidak bisa menjatuhkan Amada sendiri, kami bisa tetap mengikis kekuatannya.
"Nah, Amada. Dulu juga sama, kan? Bagaimanapun caranya, Hitsujitani tetap bertindak demi kau. Apa kau benar-benar tidak punya perasaan khusus pada Hitsujitani?"
"Perasaan khusus untuk Miwa?"
Ini adalah pertanyaan yang sangat merepotkan untuk Amada. Karena di sini ada Hidaka Mikoto.
Bagi Amada, Mikoto adalah heroine utama, satu-satunya orang yang dengan jelas ia nyatakan cintanya.
Di depan Mikoto, tentu Amada tidak ingin mengakui ada perasaan khusus pada perempuan lain. Namun, jika ia menyangkal, itu sama saja menghapus perasaan Hitsujitani.
Dan dengan itu, ia akan kehilangan satu-satunya sekutu heroine-nya. Sesuatu yang seharusnya ia hindari.
──Begitulah seharusnya, tapi...
"Mana mungkin ada perasaan seperti itu? Kami hanya teman masa kecil."
"……!!"
Ya. Ibaratnya, umpannya berhasil.
Seperti biasa, orang bodoh ini mungkin berpikir ia bisa memperbaiki semuanya nanti, walaupun sekarang menolak dengan dingin.
Dunia tidak semanis itu.
Padahal sudah dikhianati Iba dan Ushimaki, tapi tetap saja tidak kapok.
"Kalau begitu, kalau itu yang kau katakan, baiklah."
Tidak ada ucapan terima kasih atau permintaan maaf untuk Hitsujitani yang sudah berusaha keras demi dirinya.
Amada Teruhito malah dengan mudah membuang Hitsujitani setelah ia gagal.
Melihat Hitsujitani yang hanya bisa menatap kosong ke arah Amada, aku teringat kembali pada saat dulu menyampaikan soal Amada padanya.
Lebih baik sekali melihat langsung daripada seratus kali mendengar. Mengalaminya sendiri benar-benar berbeda, bukan?
"Aku... sudah berusaha sekuat tenaga...!"
Suara dendam keluar dari bibir Hitsujitani.
Pasti terdengar oleh Amada, tapi dia benar-benar mengabaikannya dan malah membungkuk ke arahku.
"Ishii, meski semua ini hanya kesalahpahaman, aku tetap meminta maaf. Tolong sampaikan permintaan maafku juga kepada adikmu."
"Boleh, tapi ada satu hal lagi yang ingin kulakukan."
Amada mengangkat wajahnya mendengar kata-kataku.
Tanpa ragu, aku menghantamkan tinjuku ke wajahnya.
"Gyahh!"
"Biarkan aku memukulmu sekali."
"B-bukannya biasanya kasih tahu dulu...!"
Dengan rasa sakit yang tidak ia duga, Amada jatuh terduduk dengan hina.
Mengabaikan Hitsujitani yang menatap Amada dengan berlinang air mata, aku meninggalkan ruang klub bersama Hidaka, Iba, dan Ushimaki.
POV Iba Kouki
Kebahagiaan yang kupercaya, hancur begitu mudahnya.
Tidak, pemikiran seperti korban ini keliru.
Aku adalah seorang pendosa penuh dosa yang takkan pernah bisa dimaafkan.
Saat menjadi seorang siswi SMA, aku jatuh cinta. Untuk pertama kalinya dalam hidupku... cinta pertamaku.
Amada Teruhito... Tercinta Teru-san. Dia adalah orang yang paling lembut dan luar biasa di dunia, yang telah menyelamatkanku dari penderitaan.
Namun, cinta pertamaku penuh dengan kesulitan. Teru-san adalah sosok yang sangat populer.
Ada Ushimaki Fuuka-san, Kanie Kokoro-san, Hitsujitani Miwa-san, dan juga banyak perempuan lainnya yang memiliki pesona-pesona yang tidak kumiliki, yang semuanya menaruh perasaan cinta kepada Teru-san.
Baik aku maupun banyak perempuan lainnya berusaha mendekatinya, namun tak satu pun berhasil menjadi kekasihnya, ataupun membuat Teru-san menyadari perasaan mereka. Itu karena Teru-san sudah memiliki orang yang dia sukai.
Hidaka Mikoto-san.
Seorang gadis luar biasa cantik, sampai-sampai hanya dengan melihatnya saja sudah membuatku merasa rendah diri.
Selain itu, dia juga adalah teman masa kecil Teru-san. Bagiku yang biasa saja, jelas tidak mungkin bisa bersaing.
Hari-hariku pun dipenuhi rasa iri, rasa rendah diri, dan kecemasan. Lama-kelamaan, hatiku pun patah, dan aku mulai memikirkan satu hal:
Tidak apa-apa kalau aku tidak bisa menjadi kekasih Teru-san.
Asal aku bisa tetap berada di sisinya, itu sudah cukup.
Dengan pemikiran itu, keberadaan Hidaka-san menjadi sesuatu yang sangat kusyukuri.
Dengan dirinya ada, tidak ada satu pun dari kami yang bisa menjadi kekasih Teru-san. Itu berarti, lingkungan nyaman yang kami miliki saat ini tidak akan pernah hancur.
Untungnya, Hidaka-san memiliki orang lain yang dia sukai selain Teru-san.
Ishii Kazuki-san.
Kalau dibandingkan dengan Teru-san, aku tidak tahu bagian mana yang membuatnya menarik, tapi Hidaka-san memendam rasa cinta yang kuat kepada Kazuki-san.
Karena perasaan cinta itu, Hidaka-san tidak akan jatuh cinta kepada Teru-san.
Hidaka Mikoto-san dan Ishii Kazuki-san. Berkat kedua orang ini, lingkungan nyaman kami tetap terjaga.
Aku tidak mau kehilangan cinta pertamaku.
Aku tidak mau kehilangan lingkungan ini.
Aku tidak mau mengambil langkah baru.
Perasaan pengecut seperti itu ternyata tidak hanya ada dalam diriku. Tanpa perlu mengucapkan sepatah kata pun, kami secara alami bersekongkol.
Untuk melindungi lingkungan ini, kami memutuskan untuk mendukung Teru-san tanpa pernah mengungkapkan perasaan kami.
Suatu hari nanti, Hidaka-san pasti akan menyadari pesona Teru-san dan menjadi kekasihnya.
Tapi masih ada waktu.
Untungnya, Teru-san pernah berkata, "Aku akan menyatakan cinta pada upacara kelulusan SMA."
Setidaknya selama kami bersekolah di SMA Hirasaka, kebahagiaan kami dijamin.
Kalau begitu, kami tidak perlu melakukan apa-apa. Nanti, saat upacara kelulusan tiba, kami akan lulus dari cinta pertama kami, dan melangkah maju.
Begitulah, waktu kami yang bahagia namun terbatas terus berlanjut.
Manusia selalu merasa bersemangat saat menemukan sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Membuat Teru-san tersenyum — aku menemukan semangat dalam tujuan itu, dan aku mencurahkan seluruh pengabdianku. Namun, lambat laun, rasa semangat itu berubah menjadi ketakutan.
Bagaimana jika aku tidak lagi mampu membuat Teru-san tersenyum?
Mungkin aku tidak akan bisa lagi berada di sisinya.
Mungkin aku akan kehilangan kebahagiaan ini.
Aku tidak mau dibenci olehnya, aku tidak mau membuatnya kecewa. Terseret oleh perasaan itu, aku mulai melakukan tindakan-tindakan yang salah.
Tindakan pertama yang jelas-jelas salah mungkin adalah soal Kitami Sae-san.
Kitami-san adalah teman Hidaka-san. Karena keberadaannya, waktu Teru-san berinteraksi dengan Hidaka-san berkurang.
"Kebetulan akhir-akhir ini Mikoto tampaknya punya teman dekat. Mungkin dia harus mengungkapkan perasaannya..."
Mendengar itu, kami pun membuat keputusan.
Kalau begitu, singkirkan saja Kitami-san.
Pada saat itu, aku tidak menyadari bahwa tindakan kami sudah jatuh ke dalam kegilaan.
Diseret ketakutan bahwa kebahagiaan kami akan hancur, kami segera menjebak Kitami-san. Akhirnya, dia mulai mengalami perundungan di sekolah, dan akhirnya pindah sekolah.
Setelah dia pergi, Teru-san berkata,
"Memang sayang, tapi... kalau Mikoto kesepian, aku akan berada di sisinya sebanyak mungkin!"
Aku menutupi perasaan aneh yang muncul dari senyumannya dengan rasa puas diri karena misi selesai.
Padahal, itu salah.
Teru-san adalah orang yang murni dan baik hati. Yang membuat pikiran jahat seperti ini adalah aku, manusia busuk ini. Teru-san bukan seperti itu.
Agar Teru-san yang murni tidak tercemar, aku yang akan mengotori diri ini.
Aku terhanyut dalam logika yang sesat itu.
Setelah itu pun, aku — kami — terus melakukan kesalahan demi kesalahan.
Karena bertindak bersama-sama, kami seolah merasa bahwa dosa kami terbagi rata, dan menjatuhkan orang-orang tak bersalah yang tidak ada kaitannya dengan "kebahagiaan Teru-san".
Setiap kali kami menjaga kebahagiaan Teru-san, dia selalu tersenyum kepada kami. Namun entah sejak kapan, senyuman itu tidak lagi memberiku kebahagiaan.
Keraguan yang perlahan-lahan menumpuk. Diriku yang tidak ingin mengakuinya.
Itu mungkin karena aku sudah tidak bisa kembali lagi. Namun, itu adalah sebuah kesalahan. Jika saat itu, aku masih bisa kembali. Yang benar-benar membuatku tidak bisa kembali adalah setelah kejadian tentang Ishii-san.
Suatu hari, Teru-san mengetahui bahwa orang yang disukai oleh Hidaka-san adalah Ishii-san.
"Kalau Mikoto sudah punya orang yang dia suka, mungkin aku juga harus menyerah dan mencari cinta baru," katanya.
Semua keraguan yang telah menumpuk langsung terbang, kepalaku terasa panas dalam sekejap.
Teru-san akan memulai cinta baru. Andai saja orang itu aku, tidak masalah. Tapi kalau ternyata perempuan lain?
Kebahagiaan yang dijanjikan sampai hari kelulusan bisa hilang begitu saja.
Aku yakin, bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu. Kami pun semakin erat bersatu, dan memutuskan untuk menyingkirkan Ishii-san.
Kami menjebaknya dengan tuduhan pengambilan gambar secara diam-diam, membuatnya menjadi sasaran perundungan di sekolah hingga akhirnya dia pindah.
Tidak apa-apa. Selama ini semuanya berjalan lancar, bukan? Saat kami mempersiapkan segalanya dengan tenang, suatu hari, Moeka-san berkata,
"Hey, Hime."
"Ada apa?"
"Umm... mungkin saja, Teru itu..."
"Jangan pikirkan hal bodoh, cepat ambil gambarnya. Aku malu, tahu."
Aku tidak mendengarkan kata-kata Moeka-san sampai akhir.
Itu tidak benar. Tidak mungkin.
Tidak mungkin Teru-san menyadari perasaan kami dan sengaja memanfaatkan kami. Kalau benar begitu, apa artinya semua yang telah kulakukan selama ini?
Tidak, aku tidak mau. Aku tidak bisa menerima bahwa semua yang selama ini kupercaya hanyalah kepalsuan.
Lalu, kami menjebak Ishii-san. Tinggal menunggu dia pindah sekolah, dan semuanya akan selesai.
Aku pikir begitu, tapi ternyata peristiwa ini berkembang menjadi tragedi yang jauh lebih besar.
Ishii-san, yang mengalami perundungan yang jauh lebih kejam dibandingkan saat kasus Kitami-san, akhirnya memilih untuk keluar dari sekolah, bukan hanya pindah.
Tidak, dia tidak punya pilihan lain. Karena, kedua orang tuanya telah kehilangan nyawa.
Saat itu, kepala yang sebelumnya panas ini langsung mendingin, dan rasa bersalah yang selama ini kupendam pun membanjir.
Apa yang telah kulakukan...?
"Orang seperti itu memang pantas mendapatkannya,"
Begitu kata orang-orang di SMA Hirasaka.
Tidak. Tidak begitu...
Semuanya salahku...
"Maaf... maaf... maaf..."
Yang bisa kulakukan hanyalah menggumamkan permintaan maaf yang tak akan pernah sampai, sendirian di dalam kamarku.
Setelah itu, Ishii-san yang sudah keluar dari sekolah mulai bekerja paruh waktu.
Untuk melindungi satu-satunya adik perempuannya yang tersisa. Namun meski begitu...
"Adik perempuan Ishii-san... meninggal...?"
Dunia ini sungguh kejam, terus memberikan penderitaan tambahan kepada mereka yang sudah malang.
Akhirnya aku tidak sanggup lagi menahan rasa bersalah dan memberitahu Teru-san.
Aku ingin menyelamatkan Ishii-san.
"Aku tidak bisa memaafkan apa yang dilakukan Ishii. Lagipula, Hime adalah korban terbesarnya. Kamu tidak perlu menyelamatkan dia. Tidak apa-apa, aku akan melindungimu."
Kenapa, Teru-san...? Bukankah kamu tidak pernah meninggalkan orang yang sedang kesulitan?
Ishii-san sama sekali tidak melakukan kesalahan. Aku yang bersalah.
Dengan tekad bulat, aku memberitahu Teru-san tentang semua yang telah kulakukan. Dengan keyakinan bahwa pria yang paling baik dan luar biasa di dunia ini akan menyelamatkan Ishii-san.
"Hime, kamu baik sekali ya. Sampai berbohong seperti itu hanya untuk melindungi Ishii."
Begitu melihat senyuman itu, rasa mual luar biasa langsung menyerangku.
Tatapan dingin seakan memandang boneka, senyuman yang penuh kepalsuan. Apakah aku selama ini mencintai orang seperti ini...?
Akhirnya aku yakin.
Dia sudah tahu semuanya sejak awal. Dia memang sengaja memanfaatkan kami.
Senyuman lembut yang selalu dia tunjukkan hanyalah tipuan.
Dia adalah pria gila yang menganggap semua bisa berjalan sesuai kehendaknya.
Lalu aku...?
Aku yang mencintai pria gila ini, dan melakukan tindakan gila ini...?
Sejak hari itu, aku menjauh dari Teru-san... tidak, dari Amada. Perasaanku menguap, berganti dengan ketakutan dan rasa bersalah setiap hari.
Sebenarnya aku ingin menyelamatkan Ishii-san. Tapi kalau aku melakukannya, mungkin aku yang akan menjadi target berikutnya.
Aku takut. Aku takut dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Seseorang, tolong hentikan pria itu. Seseorang, tolong selamatkan aku...
Aku mengutamakan keselamatanku sendiri dan meninggalkan Ishii-san, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun.
Lalu akhirnya, hari itu tiba.
Suatu hari, Ishii-san yang seharusnya sudah keluar dari sekolah muncul kembali di SMA Hirasaka.
Dengan tubuh kurus kering dan pakaian compang-camping, dia menuju ke atap. Dia melampaui pagar pembatas.
Tidak boleh, ini satu hal yang benar-benar tidak boleh terjadi.
Aku—kami semua—bergegas mengejarnya.
Namun, kami tidak sempat.
Kata-kata Hidaka-san, yang tiba lebih dulu dari siapapun, tidak sampai kepada Ishii-san.
Dia melompat.
Kami semua hanya bisa terpaku. Dengan mata bengkak karena menangis, Hidaka-san menatap kami dengan penuh amarah dan berkata:
"Hilanglah."
Seminggu kemudian.
Sambil menanggung kesalahan yang tak bisa kuhapus, aku mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini.
◆ ◆ ◆
"...Haa...! Lagi... mimpi itu lagi..."
Saat aku membuka mata, tubuhku sudah dipenuhi oleh keringat yang sangat banyak.
Hari itu... sejak hari ketika rencana kami digagalkan oleh Ishii-san, dan aku mendengar kebenaran tentang Amada, aku mulai sering bermimpi seperti ini.
Ishii-san, yang meninggal karena kesalahanku.
Hidaka-san, yang menatap kami dengan pandangan mengerikan.
Namun, itu semua hanya mimpi. Dia masih hidup, dan sekarang hubungan kami bertiga pun sudah berjalan baik.
Meskipun aku pernah melakukan hal keji dan mengalami pengalaman yang amat berat, sebenarnya sekarang ini adalah masa paling menyenangkan dalam hidupku.
Aku ini anak yang buruk, jadi rasa bersalahku kalah oleh perasaan bahagia.
Karena itu, mimpi bodoh seperti ini... itu hanya mimpi, kan?
"Tentu saja tidak mungkin."
Aku menghapus pikiran aneh yang sempat melintas di kepala. Meskipun begitu, di dalam hatiku tetap ada rasa bersalah yang jelas terasa, dan bersamaan dengan itu, muncul pula perasaan tanggung jawab yang kuat.
—Kamu sudah melakukan kesalahan besar. Kali ini, lindungilah Ishii-san dan Hidaka-san.
Rasanya seperti diriku yang lain sedang berbicara kepadaku.
Namun, sungguh omong kosong.
Melindungi Ishii-san dan Mikoto-san? Tidak mungkin aku yang seperti ini akan melakukan hal seperti itu.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu melepas piyama basah kuyup karena keringat.
Rasanya sangat lega.
Kalau aku membuka jendela dan merasakan angin sepoi-sepoi, pasti akan lebih nyaman, tapi kalau aku lakukan itu sekarang, aku akan memperlihatkan pemandangan memalukan ke luar sana.
Urusan seperti itu lebih cocok diserahkan kepada Moeka-san.
Sebelum berganti seragam, mungkin aku mandi dulu. Dengan keputusan itu, aku mengenakan pakaian seadanya dan berjalan ke pintu kamar.
Saat membuka pintu, aku berhenti sejenak, menoleh ke belakang, lalu berkata sambil tersenyum:
Kepada "aku yang lain", yang tentu saja tidak ada di dalam kamar ini.
"Bukan untuk melindungi, tapi untuk membuat mereka bahagia."
Post a Comment