NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shujinkou no Osananajimi ga, Wakiyaku no Ore ni Guigui Kuru V2 Chapter 5

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 5

Kisah Romantis Tidak Datang Kepada Mereka Yang Percaya Padanya


Dunia ini diciptakan untuk menjadi tidak menguntungkan bagiku. Tapi, itu bukan sesuatu yang istimewa.


Penampilan, bakat, lingkungan tempat lahir.


Bagi kebanyakan manusia, dunia ini memang tidak menguntungkan, dan seolah-olah sebagai kompensasi, hanya sebagian kecil manusia yang mendapatkan kemudahan.


Dan, salah satu dari segelintir orang yang berada di sisi yang menguntungkan itu adalah Amada Teruhito.


Padahal dia sudah mengalami hal seperti itu sebelumnya, tapi dengan mudahnya muncul heroine baru yang menyelamatkannya dari keputusasaan.


Biasanya tidak ada seorang pun yang mau menolong.


Tak peduli seberapa menderitanya seseorang... tidak, justru karena seseorang menderita, orang-orang lain tak mau membantu demi memuaskan rasa superioritas mereka sendiri. Di kehidupan pertamaku, aku sudah memahami itu sampai muak.


Entah mengapa kalau dunia ini tidak adil. Aku sudah menerima takdir sebagai peran figuran. Tapi, aku tak sudi terus menderita.


Karena itulah aku melawan. Siapa pun yang berusaha menyakitiku atau orang-orang yang kucintai, akan kuhancurkan tanpa ampun.


Kali ini pun begitu.


Heroine yang mengaku diteror stalker, Hitsujitani Miwa. Di kehidupan pertamaku, aku pikir hal seperti gadis cantik yang ketakutan karena stalker hanya ada di manga atau light novel, tapi aku salah. Di kehidupan keduaku, aku mengetahui kebenaran.


Hitsujitani Miwa sebenarnya mengatur stalker palsu untuk mempererat hubungannya dengan Amada, orang yang disukainya, dan membentuk dirinya sebagai heroine gadis malang.


Bahkan dengan wajah cantik seperti itu, bahkan setelah sukses sebagai streamer, Hitsujitani Miwa tetaplah seseorang dari 'sisi tidak menguntungkan', sama sepertiku.


Hanya satu hal yang sungguh-sungguh dia inginkan, dia tak mampu mendapatkannya. Karena itu, dia rela melakukan hal kotor untuk meraihnya. Perasaannya... aku cukup mengerti. Aku pun serupa.


Tapi justru karena aku mengerti, aku tidak akan memaafkan kalau dia berani menyakiti orang-orang berharga bagiku.


Kalau dibiarkan, Hidaka akan dijebak sebagai pelaku yang membocorkan informasi kepada stalker.


Di kehidupan pertama, Kitami Sae yang dijadikan tersangka mengalami bullying parah dan akhirnya pindah sekolah dari SMA Hirasaka.


Hidaka bukan tipe yang akan menyerah dan memilih pindah meski di-bully, tapi dari sudut pandangku, hanya dengan terdesak ke situasi itu saja sudah cukup membuatku marah.


Selain itu, mungkin saja walaupun Hidaka bisa bertahan, bullying-nya akan semakin parah, bahkan aku dan Kitami yang akrab dengannya bisa ikut terseret. Kalau sampai begitu, bahkan Hidaka pasti tak punya pilihan selain pindah.


Sejujurnya, aku cukup pusing memikirkannya. Di kehidupan kedua ini, berbagai hal sudah banyak berubah, baik ke arah baik maupun buruk.


Bagaimana Hitsujitani berencana menjebak Hidaka? Itulah satu-satunya hal yang tidak bisa kupastikan. 


Namun berkat Hitsujitani yang kalah oleh keinginannya untuk tetap menjadi heroine, aku akhirnya bisa membongkarnya.


Mereka akan memisahkan aku dari Hidaka, membuat situasi di mana Hidaka tidak bisa bergerak, lalu si stalker palsu mendekatinya. Mungkin, bukan hanya mendekati, tapi juga akan memberikan uang.


Kalau momen itu difoto, bukti akan sempurna.


Kalaupun Hidaka menolak menerima uang, foto saat uang itu disodorkan saja sudah cukup menjadi bukti. Ini benar-benar skenario yang tidak menguntungkan bagi kami.


Bagaimana cara melawannya? Yang jelas, mencegah Hidaka dan stalker palsu berinteraksi bukan solusi. Terus terang saja, rencana Hitsujitani ini penuh lubang dan sangat ceroboh.


Tapi, kalau kami terlalu cepat membongkarnya dan terus menggagalkannya, mereka akan sadar kalau kami sudah mencium rencana mereka.


Kalau itu terjadi, mereka pasti akan mencoba metode lain, dan kali ini, akan lebih rapi dan sulit dihadapi. Kalau kembali ke titik awal, kami akan berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan.


Karena itu, kami harus berpura-pura masuk ke dalam perangkap Hitsujitani. Membuat mereka percaya bahwa rencananya berjalan mulus, lalu membalikkan keadaan di saat-saat terakhir. Itu satu-satunya dan juga cara terbaik yang kumiliki.


Untuk itu, aku harus benar-benar bekerja sama dengan Hidaka untuk menyusun langkah ke depannya—


"Terlalu nempel, Miko-chan! Jauh-jauh dikit!"


"Maaf, Yuzu-chan. Tapi aku tak bisa mengendalikan kekuatan dahsyat dalam diriku ini..."


"Jangan keluarkan suara penuh keputusasaan sambil pasang wajah super bahagia kayak gitu!?"


Teriakan malaikatku menggema di jalan menuju sekolah pagi ini.


Hidaka Mikoto berjalan sambil memeluk erat lenganku, menggunakan kedua tangan dan seluruh tubuhnya.


Sudah bukan kerja sama lagi, ini mah sudah menyatu.


"Kazu, apa yang kau lakukan pada Miko-chan?"


Tatapan curiga yang luar biasa menusuk. Terlalu imut sampai bikin pusing, tapi sekarang aku harus jujur menjelaskan.


"Waktu istirahat makan siang kemarin, aku ngajak dia makan bareng... terus jadi begini."


Sebenarnya, aksi brutal Hidaka ini sudah mulai dari kemarin, bukan hari ini. Lebih tepatnya, sejak istirahat makan siang kemarin.


Sepertinya dia sangat senang aku mengajaknya makan, dan sejak itu, semangat "harus menyerang di saat yang tepat" dalam dirinya semakin membara.


Waktu sarapan di rumahku, dia masih cukup tenang, tapi begitu keluar rumah, dia langsung lepas kendali.


Begitulah sampai sekarang.


"Hah!? Masa cuma gara-gara itu jadi kayak—"


"Kazupyon ngajak aku makan siang bareng... indah, indahnya indahnya indah sekali!"


"Lihat kan! Dia beneran kayak gitu!"


"Selanjutnya, Kazupyon bakal ngajak aku pegangan tangan. Kalau sudah begitu, pertunangan tinggal selangkah lagi... indah."


Jarak dari bergandengan tangan sampai ke prosesi lamaran itu, terasa sedekat dari Shin-Maruko ke Musashi-Kosugi, dan itu benar-benar merepotkan.


Yuzuki mengeluh padaku.


"Terus, kenapa sih Kazu nerima aja? Rasanya kayak lagi jalan sama pasangan mesra gitu, aku nggak suka."


"Hm. Sebenarnya ada alasan yang cukup dalam..."


"Apa?"


Kalau bisa, aku juga nggak mau bilang. Tapi kalau yang nanya Yuzuki tersayangku…


"Aku pikir, kalau beruntung, Yuzu mungkin bakal cemburu dan memeluk lengan kosongku..."


"Kalau kamu nggak mau pisah, besok aku bakal berangkat sekolah sendiri, ya?"


"Hidaka, cepat lepaskan!"


"...Sungguh menyedihkan."


Sungguh kata-kata yang mengerikan dari Yuzuki. Kalau aku nggak bisa pergi sekolah bareng Yuzuki, itu sama aja suruh aku mati.


Aku menatap Yuzuki memohon ampun, tapi dia memalingkan wajah dengan dingin. Rasanya umurku berkurang tujuh tahun.


"Yuzu, maafkan aku! Sebagai permintaan maaf, ayo kita bergandengan tangan..."


"Itu malah bukan permintaan maaf, tahu? Haa... Sudahlah, ayo jalan."


Dengan hembusan napas besar, Yuzuki menggenggam tanganku dengan kasar tanpa sekali pun menatapku.


Ahh, betapa bahagianya saat ini. Nggak ada hal yang bisa melebihi kebahagiaan ini──


"Tapi, aku juga bukannya sama sekali nggak ada apa-apa, tahu?"


"Yuzu!?"


Apa maksudnya itu!? Bukannya nggak ada apa-apa!?

Berarti Yuzuki punya cowok dekat...


"Yuzu, aku pernah bilang, kan! Masih terlalu cepat buat kamu punya pacar!"


"Kamu ngomong gitu juga nggak ada bobotnya! Kamu aja tiap hari mesra-mesraan sama Miko-chan!"


Itu kan, kesepakatan untuk nggak dibahas!


Aku, yang nggak bisa menemukan kata-kata buat membela diri, bertanya dengan takut-takut.


"Jadi... Yuzu juga punya orang yang di suka?"


Begitu aku bertanya, alis Yuzuki sedikit bergerak.

Dan tanpa menatapku, dia melirik ke arah Hidaka.


Aku ikut-ikutan menatap ke arah Hidaka, dan melihat dia memerah sampai ke telinga untuk alasan yang nggak kumengerti.


"...Bagus."


"Jangan bikin ribut lagi..."


Yuzuki menghela napas panjang. Sepertinya dia memutuskan mengakhiri topik ini, dan dengan sedikit ekspresi malas, dia bilang:


"Enggak, aku nggak suka siapa-siapa. Tapi ya, kadang ada cowok yang ngajak kenalan."


Dengan bangga Yuzuki menepuk dadanya. Begitu ya, maksudnya dia sering diajak kenalan.


Yah, aku memang nggak bisa terus-menerus mengawasi Yuzuki, dan dengan keimutan kayak dia, kalau di dalam negeri sudah ada fan club sebesar populasi Tiongkok, aku pun nggak heran. Kalau begitu, sebagai kakak, pilihanku cuma satu.


"Aku ngerti. Jadi, aku tinggal mengubur cowok-cowok yang berani ngajak kamu kenalan, ya?"


"Salah, tahu! Miko-chan juga aneh, tapi kamu lebih parah, Kazu!"


Setelah itu, sambil terus menggerutu "Harusnya aku nggak cerita," Yuzuki tetap nggak melepaskan tanganku dan terus berjalan.


Sementara itu, Hidaka yang entah kenapa kelihatan sangat malu, cuma menjepit ujung seragamku dengan jari telunjuk dan ibu jarinya sambil berjalan setengah langkah di belakangku.


Sikap itu nggak berubah sampai kami berpisah dari Yuzuki dan tiba di SMA Hirasaka.


Seperti biasa, Hidaka Mikoto penuh dengan misteri.


◇ ◇ ◇


Begitu masuk ke kelas 1-C, seperti biasa para murid laki-laki berkumpul di sekitar Hitsujitani.


Sampai segitunya jadi semacam reverse harem, biasanya bakal bikin cewek-cewek lain sebal, tapi karena cewek-cewek di sini merasa bersalah karena memilih untuk nggak terlibat dan membantu Hitsujitani yang katanya dibuntuti stalker, nggak ada satu pun yang menunjukkan permusuhan padanya.


"Hei, Hitsujitani. Yang stalker itu, dia kah? Aku lihat kemarin pas pulang."


"Aku juga ambil beberapa fotonya. Boleh tolong cek?"


Beberapa murid laki-laki nunjukin layar ponsel mereka ke Hitsujitani.


Ngerekam orang tanpa izin itu pelanggaran hukum, sih. Tapi nggak ada yang mikirin sampai ke situ.


Kalaupun ada, mereka bakal bilang, "Ini demi nolong Hitsujitani," dan yakin tindakan mereka benar. Padahal, dari awal, stalker itu nggak pernah ada.


"Aku rasa bukan. Yang pakai jas kayaknya bukan. Biasanya dia pakai pakaian biasa, soalnya..."


Hitsujitani, mungkin merasa sedikit nggak enak atas kekacauan ini, berusaha memperkecil korban dengan mengeliminasi "orang-orang yang pakai jas." Tapi itu usaha sia-sia.


"Begitu ya. Tapi kalau hari biasa pakai pakaian santai, lumayan mencolok, kan?"


Yah, nggak segitu juga──aku berpikir begitu sambil mendengarkan percakapan mereka.


Di kehidupan pertama, setelah Hitsujitani mengeluh tentang stalker, foto wajah stalker itu langsung tersebar keesokan harinya. Tapi sekarang belum terjadi.


Sebabnya sederhana: bukti untuk menjebak Hidaka belum dikumpulkan. Kalau belum ada foto Hidaka menyerahkan uang ke "stalker palsu," Hitsujitani nggak bisa menyelesaikan skenario bohong ini.


Sambil memikirkan itu, aku duduk di bangkuku.

Lalu Hidaka mendekat.


Aku sempat ngeri, takut dia masih lanjut "mode gila" dari pagi, tapi ternyata beda. Dia mendekat untuk melindungiku karena ada dua orang yang ingin berbicara denganku.


Iba dan Ushimaki.


"Selamat pagi, Ishii-san, Hidaka-san."


"Se, selamat... pagi... Ishii, Hidaka-san..."


Iba tetap santai seperti biasa, sedangkan Ushimaki tampak gugup. Nggak berubah dari kehidupan pertama. Mereka pasti punya niat buruk terhadapku dan Hidaka.


Kalau begitu, kenapa nggak sekalian kita manfaatkan saja?


"Ah."


"Wah, dingin sekali. Padahal kupikir kita sudah cukup akrab."


"Itu cuma perasaanmu saja."


Terus terang, Iba memperlihatkan senyuman santai penuh percaya diri, sedangkan Ushimaki menunjukkan ekspresi seolah-olah sedang menahan kesulitan.


Dalam situasi seperti ini, sikap Iba yang gamblang malah terasa lebih mudah dihadapi. Mungkin saja Ushimaki, karena sifatnya, merasa bersalah telah berseberangan denganku.


"Jadi, ada urusan apa?"


Dulu, teman sekelas kami tidak terlalu memedulikan kalau kami berkumpul, tapi sekarang situasinya berubah.


Karena Ushimaki dan Iba kembali berdiri di sisi Amada, perhatian mulai terarah pada kami lagi.


Ya, meskipun pada akhirnya, yang paling memperhatikan adalah Amada itu sendiri.


Sambil berpura-pura bingung dan cemas, dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan ikut campur. Singkatnya, dia mengandalkan Ushimaki dan Iba untuk menjatuhkan posisi kami.


"Aku berharap bisa mendengar pendapatmu juga soal kasus Hitsujitani."


Dulu, Iba membuat motif palsu untuk menjebak Hitsujitani, dan sekarang dia mau membuat motif palsu tentangku juga. Bedanya, motifku tentu soal melindungi Hidaka.


Iba dan Ushimaki sudah tahu pasti bahwa kasus penguntitan Hitsujitani itu bohong. Entah karena Hitsujitani sendiri yang meminta bantuan mereka, atau mereka sadar sendiri, aku tidak tahu pasti.


Dan Amada... dia tidak tahu apa-apa (atau setidaknya Hitsujitani percaya begitu).


Pola yang sama seperti sebelumnya.


Melakukan pekerjaan kotor lewat heroine, sementara dirinya sendiri menunggu kesempatan di zona aman. Bukan bertobat, malah makin rusak. Amada itu memang brengsek sejati.


"Aku nggak punya pendapat apa-apa. Lagipula, kalaupun aku punya, aku nggak akan bilang ke kalian."


"Mengapa begitu? Hitsujitani-san sedang kesulitan, lho?"


Aku tidak melewatkan sedikit pun saat ujung bibir Iba terangkat samar.


Tujuan Iba sejak awal bukan untuk mendengar pendapatku.

Dia hanya ingin menunjukkan pada teman-teman sekelas betapa tidak kooperatifnya aku, supaya kepercayaanku turun.


Kalau aku jatuh, tentu lebih gampang untuk menjebak Hidaka. Karena itulah dia sengaja memasukkan kata-kata "Hitsujitani sedang kesulitan" — supaya orang-orang bersimpati.


Sungguh, perempuan ini memang ribet banget.


"Kalian nggak lupa apa yang udah kalian lakukan padaku, kan?"


"…………!"


Sekali ucapanku itu keluar, ketegangan dalam kelas langsung meningkat tajam.


Di sekolah ini, aku memang bukan orang yang sangat dipercaya.


Kalau dipikir buat masa depan, mungkin aku sebaiknya berusaha mendapatkan kepercayaan teman-teman.


Tapi ada cara yang jauh lebih mudah dan kotor. Bukan menaikkan diriku, melainkan menjatuhkan lawan.


"U-untuk soal itu... kami sudah minta maaf. Kami sudah berubah──"


"Kalian berharap aku percaya cuma lewat kata-kata doang? Ngimpi tau."


"Guuh!"


Kalau dulu, mereka mungkin masih punya cukup banyak kepercayaan dari orang lain. Tapi setelah insiden itu, kepercayaan pada mereka sudah hancur.


Bahkan sekarang, kalau bukan karena alasan "Hitsujitani butuh bantuan," teman sekelas juga pasti nggak mau berurusan sama Amada, Iba, ataupun Ushimaki.


Makanya aku sekalian mengingatkan mereka semua soal itu.


"Yah, Kazuki juga benar, sih..."


"Iya. Aku juga agak takut sama Iba dan yang lainnya..."


Terdengar suara para cowok dari kejauhan.

Sepertinya rencanaku berjalan lancar.


"Biar aku perjelas. Aku nggak percaya sama kalian. Aku curiga kalian bakal bikin masalah lagi, terutama kau, Iba."


"Itu... itu sebabnya, aku bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk Hitsujitani──"


"Kalau begitu, jangan tanya-tanya aku. Pikirkan sendiri apa yang bisa kau lakukan buat Hitsujitani. Aku nggak mau terlibat sama urusan stalker atau orang gila."


Biasanya, ngomong kayak gini bakal bikin reputasiku jatuh sebagai orang dingin, tapi kali ini nggak masalah.


Selain karena image-ku dari awal sudah begitu, para cewek di kelas juga menolak ikut terlibat dengan alasan yang sama.


Artinya, kalau mereka menyalahkanku, itu sama saja menyalahkan semua cewek di kelas juga. Mana ada yang mau nanggung risiko sebesar itu.


"K-kamu benar juga..."


Sambil menahan amarah sampai wajahnya merah padam, Iba tetap melanjutkan.


"Jadi, menurutmu, selama perempuan yang kau anggap penting selamat, kau nggak peduli apa yang terjadi pada Hitsujitani, begitu? Bahkan, kalau untuk melindunginya, kau rela melakukan hal-hal kotor?"


"…………"


Jadi itu skemamu, ya… Sekarang, jawaban seperti apa yang benar?


Kalau aku mengiyakan kata-katanya terlalu gamblang, nanti saat aku membela Hidaka, efeknya bakal berkurang. Tapi kalau aku membantah, itu juga bukan pilihan terbaik.


Kalau begitu... aku akan mainkan peran ini.


"Benar."


"Jadi, bagimu, urusan benar atau salah nggak penting, yang penting cuma kepentingan pribadimu?"


Sungguh, dia jago banget memelintir kata-kata supaya aku terlihat seburuk mungkin. Nggak salah lagi, perempuan ini punya kepribadian busuk.


Tapi sekarang, itu malah menguntungkanku. Kalau aku membawa-bawa masalah lama terlalu besar sekarang, itu bisa memancing reaksi berlebihan dari mereka, dan malah bikin masalah makin ribet.


"Betul. Kalau kalian merasa bersalah sama aku, lebih baik utamakan urusanku dulu."


"Kalau begitu, bisakah aku menyerahkan ini pada Moeka-san? Aku sih nggak mau kena bahaya."


"Haah!? Kenapa harus aku!?"


"Nggak mau pakai 'moe'."


"Itu malah nyakitin aku, tahu!"


Akhirnya, Ushimaki (dan sekalian Hidaka) juga buka suara.

Yah, cuma buat protes doang sih.


Hidaka langsung tegas menolak, sampai-sampai Ushimaki hampir menangis. Sementara itu, aku sendiri... rasanya ususku sudah terpelintir karena jengkel. Mau diapain mereka ini, ya.


"Udah cukup. Cepat pergi."


Tanpa banyak protes, Iba dan Ushimaki pun pergi.


Aku melirik ke arah Amada, bukan ke punggung kedua orang itu. Dia menatap Iba dan Ushimaki dengan pandangan seolah-olah merasa kecewa.


Pasti dalam hatinya bilang, "Mereka ini nggak berguna."


Padahal, Iba dan Ushimaki sudah cukup membuat posisiku buruk, tapi masih belum cukup baginya rupanya.


Jangan lihat orang yang berjuang demi orang lain dengan pandangan kayak gitu, brengsek.


Karena sudah waktunya pulang sekolah, aku dan Hidaka meninggalkan SMA Hirasaka dan menuju tempat kerja paruh waktu.


Untuk hari ini, tidak ada perkembangan dalam masalah penguntitan Hitsujitani. Yah, itu sudah jelas. Bagaimanapun, persiapan untuk menjebak Hidaka belum selesai.


Tapi, tetap saja, kalau terus-menerus menunda seperti ini, pasti ada batasnya, dan aku sendiri juga ingin cepat menyelesaikan masalah ini. Dari segi itu, kepentinganku dan Amada mungkin sejalan.


Meski tujuan kami benar-benar bertolak belakang.


"Permisi."


"Ah, ya."


Karena tidak banyak pelanggan, aku menyerahkan kasir pada Hidaka dan fokus mengisi ulang stok barang.


Di belakang, aku mengisi keranjang dengan camilan dan membawanya ke bagian makanan ringan.


Kebetulan ada pelanggan yang sedang memilih-milih, jadi aku menegur mereka agar sedikit menyingkir, lalu mulai mengisi rak.


Kalau mengingat kejadian kemarin, kurasa sebentar lagi dia akan datang... dan benar saja.


"Fufufu. Hari ini juga kamu semangat, ya."


Dengan senyum lembut, Hitsujitan berbicara pelan padaku. Sudah kuduga dia akan datang lagi hari ini. Seperti yang aku perkirakan.


"Kamu kurang waspada terhadap stalker, tahu?"


"Bukannya begitu. Kalau di sini, Kazuki-kun pasti melindungiku, kan?"


Kalau ini adalah kehidupanku yang pertama, mungkin aku akan salah paham besar.


Seorang gadis cantik yang pindahan, Hitsujitani Miwa, menunjukkan sikap spesial hanya padaku.


Bahkan sekarang, pertemuan ini pun tidak diketahui oleh Amada. Mungkin aku akan mengira aku punya kesempatan.

Tapi, sayangnya (untukku), ini adalah kehidupanku yang kedua.


Aku bisa langsung tahu ke mana arah perasaan Hitsujitani dan apa yang ada di pikirannya.


"Kamu nggak dengar obrolanku dengan Iba dan yang lainnya tadi pagi?"


"Aku dengar, kok. Tapi Kazuki-kun keterlaluan, tahu. Kasihan Kouki-chan sama Moeka-chan."


"Mana aku peduli. Awalnya mereka yang salah."


"Ya, mungkin sih."


Sambil terus bekerja, aku menjawab ucapan Hitsujitani, dan dia tersenyum puas.


Mungkin karena awalnya aku bersikap dingin, tapi sekarang aku mau menanggapi, dia merasa sudah mendapatkan kepercayaanku sampai tingkat tertentu.


Karena itu, untuk saat ini, aku membiarkannya berpikir begitu. Aku sengaja mengobrol cukup banyak dengannya. Aku juga sudah dapat izin dari Hidaka (walau dengan muka sangat tidak suka dan meminta kompensasi).


"Ugh! Kazuki-kun, Hidaka-san menyeramkan, tolong dong, apa nggak bisa kamu lakukan sesuatu?"


Meski sudah setuju, kelihatannya Hidaka belum sepenuhnya menerima hal ini. Dia menatap Hitsujitani dengan tatapan sangat mengerikan.


Bahkan itu pun coba dijadikan bahan obrolan oleh Hitsujitani. Mentalnya memang kuat.


"Nggak bisa. Menyerah sajalah."


"Aku sih mau berteman baik juga sama Hidaka-san, tahu?"


Bohong. Padahal sama-sama teman masa kecil Amada, tapi hanya Hidaka yang mendapatkan perhatian penuhnya. Bagi Hitsujitani, Hidaka pasti tidak lebih dari seseorang yang membuatnya kesal.


"Eh, Hidaka-san pakai kacamata gitu karena hobimu ya, Kazuki-kun?"


"Bukan. Dia sendiri yang mau begitu."


Dulu Hidaka memang menyamar saat kerja paruh waktu dengan gaya rambut kepang dan kacamata.


Tapi setelah masalah Amada selesai, dia tetap melanjutkan gaya itu entah kenapa. Katanya alasannya, "Ini aku yang spesial hanya untuk Kazupyon."


Kalau mau mengucapkan hal imut begitu, setidaknya sadar dulu sama penampilannya sendiri. Aku beneran deg-degan.


"Terus, Kazuki-kun dan Hidaka-san selalu ada tiap aku datang, ya? Kalian kerja setiap hari?"


"Nggak tiap hari. Kadang libur juga."


"Hee~. Kalau gitu, besok?"


"Kenapa aku harus ngasih tahu kamu?"


"Eh? Soalnya kalau Kazuki-kun nggak ada, aku nggak ada alasan buat datang, dong."


Jadi dia mau menyelesaikan kasus stalker ini di hari-hari kami kerja paruh waktu. Kalau tahu latar belakangnya, rasanya benar-benar beda cara dengarnya.


"Aku sama Hidaka besok juga kerja. Jadi, kalau mau datang, terserah."


"Eeh~. Kazuki-kun, apa kamu pengen aku datang?"


"Mana mungkin."


Nikmatilah masa-masa bisa ketawa itu sekarang.

Karena sebentar lagi, kamu nggak bakal bisa tertawa lagi.


◇ ◇ ◇


"Kazupyon, aku nemu dia. Dia sembunyi di tempat yang nggak kelihatan dari sini."


"Aku agak penasaran gimana kamu bisa nemuin dia padahal dia sembunyi di tempat yang nggak kelihatan..."


"Fufun. Kalau sudah jadi pekerja keras agresif kayak aku, itu gampang banget."


Selesai kerja, Hidaka Mikoto membusungkan dada dengan bangga di ruang staf.


Sambil mendengarkan percakapan yang cuma kami berdua yang ngerti, manajer toko bergumam, "Kalian ini, kadang omongannya aneh, ya."


By the way, yang sembunyi itu tentu saja Hitsujitani Miwa, dan juga pria yang bakal dijadikan stalker.


Awalnya aku yang mau mencari mereka sambil membersihkan depan toko sebelum selesai shift,

tapi setelah mendengar Hidaka berkata dengan sangat meyakinkan, "Hal kayak gini itu bidang keahlianku," aku menyerahkan tugasnya, dan dia menemukan mereka dengan mudah.


Memang luar biasa, si pekerja keras agresif.


Setelah pamitan sama manajer, aku keluar dari minimarket bersama Hidaka. Begitu keluar, aku berhenti dan meletakkan ponsel di telinga.


Berpura-pura sedang menelepon, aku berbicara pelan dengan Hidaka.


"Nanti kalau kelihatan bahaya, langsung kabur, ya? Aku juga bakal cepat nyusul..."


"Gak apa-apa. Kalau sampai bahaya, aku bakal terima dampaknya minimal, terus Kazupyon harus bertanggung jawab."


"Kalau begitu, mending batalkan operasi ini──"


"Ayo, eksekusi."


"...Baiklah."


Dengan enggan, aku berpura-pura sedang menelepon seseorang, seolah-olah tidak ingin Hidaka mendengarnya, lalu kembali masuk ke dalam toko.


Sepertinya hal ini di luar perkiraan Hitsujitani juga, karena dia mengintip keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengawasi kami. Tentu saja, dia tidak sendiri; ada seorang laki-laki lain yang bukan Amada bersamanya.


Tuh kan, ini situasi "Hidaka tidak bisa bergerak dari tempatnya" yang kalian semua inginkan.


Sambil sekilas mengkonfirmasi kalau laki-laki yang kemungkinan besar akan dijadikan peran "stalker" itu mendekati Hidaka, aku masuk ke ruang belakang minimarket.


Tiga menit kemudian, setelah memastikan pesan dari Hidaka masuk, aku langsung keluar dari toko.


Isi pesannya berbunyi, "Aku diganggu. Kalau kamu tidak balas dalam tiga detik, kamu harus bertanggung jawab."


Jadi aku cepat-cepat mengirimkan stiker yang sudah kusiapkan sebelumnya. Dalam arti baik dan buruk, aku benar-benar mulai terbiasa dengan Hidaka.


Begitu keluar, aku melihat laki-laki itu sedang bicara pada Hidaka. Di tangannya ada tiga lembar uang sepuluh ribu yen.

Saat memeriksa sekeliling, Hitsujitani sudah menghilang.

Mungkin dia merasa bukti palsu sudah cukup, jadi kabur sebelum ketahuan.


Aku berdiri di samping Hidaka, lalu mengucapkan beberapa patah kata.


"Terima kasih, Hidaka."


"Kalau untuk Kazupyon, ini mudah banget. Aku mengharapkan hadiah."


Hidaka tersenyum kecil dan mengangkat tangan membentuk tanda V. Dia juga tanpa malu-malu menuntut hadiah.


Aku benar-benar lega karena tidak terjadi sesuatu yang aneh padanya. Setelah menarik napas lega, aku berbicara pada laki-laki itu.


"Eh, kamu lagi ngapain?"


"A-anu... itu, eeh..."


Dia tampak gelagapan dengan kemunculanku yang tiba-tiba.

Ini laki-laki lain, bukan yang kemarin. Singkatnya, dia juga bagian dari orang-orang yang membantu siaran Hitsujitani.


Hitsujitani mungkin merasa semua rencananya berjalan mulus, tapi sebenarnya begitu juga denganku.


Dengan ini, aku berhasil membuat mereka yakin bahwa bukti palsu sudah tercipta. Kalau begitu, saatnya kita selesaikan semua ini.


Keesokan harinya.


Begitu aku dan Hidaka masuk ke kelas, Tsukiyama yang sangat bersemangat langsung menghampiri.


"Ishii, soal Hitsujitani—"


"Kamu sudah tahu wajah stalker-nya?"


"Biar aku selesai ngomong dulu, dong!"


"Tapi soal Hitsujitani, ada perkembangan, kan? Akhirnya kamu tahu wajah stalker-nya."


"Kamu yakin kamu bukan cenayang?"


Sayangnya, bukan. Aku hanya menebak dari situasinya saja.

Dan kalau sampai wajah stalker terungkap (walau aku sudah tahu sejak awal), berarti tahap pertama kasus stalker Hitsujitani sudah hampir selesai.


Nanti sore, saat Hitsujitani pulang, stalker palsu itu akan muncul, lalu anak-anak laki-laki dari kelas 1-C akan menangkapnya... tapi, namanya juga anak SMA.


Setelah menangkap, mereka tidak tahu harus berbuat apa, jadi pada akhirnya menyerahkannya ke polisi.


"Aku bisa langsung tahu cuma dari lihat mukamu."


"Eh? Kamu ngerti aku sampai segitu, ya?"


Bisa nggak sih jangan langsung merah-merah mukanya?

Yah, terlepas dari itu, ayo sedikit kita pancing.


"Kalau gitu, boleh dong kasih tahu aku juga siapa stalker-nya?"


Dulu waktu aku kasih saran soal stalker ke Tsukiyama, aku sudah minta, "Kalau kamu tahu siapa stalker-nya, kabarin aku juga." Aku berharap Tsukiyama yang setia ini akan menepati janjinya, tapi...


"Ah... maaf. Itu agak susah."


Ternyata prediksiku benar, dalam arti buruk. Dengan wajah kecut, Tsukiyama melanjutkan dengan suara kecil, hanya bisa kudengar aku.


"Sebenernya... ada yang curiga kalau ada orang dalam yang bocorin informasi ke stalker. Jadi, wajah stalker-nya cuma dikasih tahu ke orang-orang tertentu aja..."


Ternyata mereka sudah mempersiapkan tahap kedua juga.


Ngomong-ngomong, dalam hidupku yang pertama dulu, aku juga baru dapat foto wajah stalker itu setelah pulang sekolah. Hitsujitani sendiri yang bilang, "Aku cuma kasih tahu orang yang bisa dipercaya."


Waktu itu aku merasa bangga, "Aku orang yang dipercaya Hitsujitani," tapi ternyata aku sama sekali tidak pernah dipercaya.


"Tsukiyama, kamu pikir aku atau Hidaka yang ngebocorin infonya?"


"Nggak, aku nggak mikir gitu. Tapi... aku cuma nggak mau kamu dan Hidaka kebawa-bawa dalam masalah ini."


Haaah... si pangeran mengecewakan ini, baiknya kebangetan.

Sekarang pun, rasa keadilannya yang tinggi sedang dipermainkan Amada.


Padahal kami berdua sudah lama kebawa-bawa masalah ini, tapi ya sudahlah, aku tidak bilang apa-apa.


"Ya udah, semangat, ya. Toh, kalau kamu mati, yang sedih juga dikit kok."


"Itu malah bikin tambah nggak semangat, tahu!"


Setelah berbincang begitu, Tsukiyama pergi ke arah Amada, sementara aku kembali ke tempat dudukku.


Sebelum duduk, mataku bertemu dengan Amada yang menunjukkan senyum licik.


Seolah-olah mau bilang, "Kali ini aku menang."


Amada mungkin tahu aku sudah mulai sadar ada sesuatu, meski tidak tahu semuanya.


Tapi dia tetap bisa tersenyum percaya diri begitu karena dia yakin penuh dengan rencana yang dia jalankan.


Padahal dari awal, itu bukan rencanamu sendiri, tapi rencana para heroine.


◇ ◇ ◇


Setelah pulang sekolah, para siswa laki-laki langsung berkumpul di sekitar Hitsujitani.


Dari sisi perempuan, hanya Iba dan Ushimaki yang ikut. Dan hari ini saja, Amada, yang biasanya diabaikan, berdiri di samping Hitsujitani.


"Semua, terima kasih sudah mau kerja sama buat hal berbahaya kayak gini..."


"Jangan pikirin, kok."


Amada menunduk, matanya berkaca-kaca, ketika salah satu siswa laki-laki — Yoshikawa — mendekat dan menyapanya dengan lembut.


Anak laki-laki lain juga menatap Amada dengan senyum ramah, seolah-olah masing-masing ingin menjadi pahlawan. Tentu saja, itu bukanlah kebaikan sejati, melainkan upaya untuk mendapatkan poin di mata Hitsujitani.


Aku cukup terkesan melihat bagaimana Hitsujitani mampu menguasai hampir semua anak laki-laki di kelas ini, padahal belum lama sejak dia pindah.


"Kalau begitu, soal rencananya..."


Dari sana, Tsukiyama, bukan Amada, yang mulai berbicara. Tentang foto wajah si penguntit, hanya beberapa orang saja yang akan diberi tahu, bukan semuanya.


Alasannya sama seperti yang tadi pagi dijelaskan Tsukiyama kepadaku: untuk menanamkan kesan bahwa "ada yang membocorkan informasi ke penguntit" kepada semua orang.


Pada dasarnya, mereka akan bergerak dalam grup beranggotakan tiga orang, dengan hanya satu dari mereka yang diberi tahu soal foto wajah si penguntit.


Tugasnya pun terbagi: Hitsujitani akan pulang sendiri sebagai umpan, dengan Amada mengawasinya dari dekat.


Ada grup yang bergerak sedikit lebih dulu dari mereka, ada grup yang mengikuti dari belakang, dan grup lain yang mengawasi dari tempat berbeda. Semua itu adalah bagian dari rencana besar mereka.


Namun, karena tak semua orang bisa dibagi dalam grup beranggotakan tiga, Tsukiyama akhirnya bertugas sendiri.

Sama seperti dalam kehidupan pertamaku.


Aku sempat mengira, karena kali ini aku tidak ikut, pembagian grup akan lebih rapi, tapi ternyata ada beberapa anak laki-laki dari kelas lain yang ikut membantu, jadi Tsukiyama tetap sendirian.


Seperti biasa, benar-benar pangeran yang mengecewakan.


"Kalau begitu, aku duluan ya. Ayo, semua, kita pastikan untuk melindungi Hitsujitani!"


Dengan semangat tinggi, Tsukiyama keluar dari kelas.

Tugas Tsukiyama adalah sebagai pengintai.


Agak ingin menertawakan kenyataan bahwa anak SMA biasa disuruh jadi pengintai, tapi ya, mungkin itu kekuatan romcom yang dimiliki Amada.


"Ayo, Hidaka, kita berangkat ke tempat kerja sambilan."


"Iya."


Begitu memastikan Tsukiyama sudah pergi dari kelas, aku dan Hidaka pun ikut keluar.


◇ ◇ ◇


"Anak SMA biasa disuruh jadi pengintai, ini beneran pengalaman ajaib."


"Kenapa kalian ngikut juga sih!?"


Begitu meninggalkan sekolah, kami mempercepat langkah mengejar Tsukiyama dan bergabung dengannya.


Karena tiba-tiba muncul dari belakang, Tsukiyama kelihatan cukup kaget, tapi ya biarin saja. Sejak tadi dia ribut banget mengeluhkan ini-itu.


"Aku kan sudah bilang! Aku nggak mau melibatkan Ishii dan Hidaka! Ini bisa bahaya juga──"


"Tentu saja karena kami khawatir."


Kemarin, waktu Hitsujitani datang, aku memang bilang, "besok aku ada kerja sambilan juga", tapi itu bohong.


Sebenarnya, aku dan Hidaka sama-sama nggak ada jadwal kerja sambilan, makanya kami bisa melakukan sandiwara semalam, supaya rencana hari ini berjalan seperti yang diprediksi.


"Hah? Khawatir? Bukannya kamu sama Hidaka nggak terlalu akrab sama Hitsujitani?"


Tatapannya penuh curiga. Yah, apa yang dia katakan memang benar, dan sudah kuduga juga.


Makanya aku sudah siap dengan jawabannya.


"Yang kami khawatirkan itu... kau."


"...Hah?."


Tapi ya, hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Komentarku yang asal-asalan itu malah membuat Tsukiyama menatapku dengan pandangan penuh kehangatan. Entah kenapa, seluruh tubuhku langsung merinding.


"Ugh! Jadi, Ishii peduli banget sama aku...! Baiklah. Kalau begitu, ayo ikut. Tapi kalau mulai bahaya, kalian harus langsung kabur, ya. Aku pasti akan melindungi kalian!"


Dengan gigi yang berkilau, si tampan ini mengacungkan jempol. Menjijikkan sekali.


"Iya. Aku akan mengandalkan kamu, daging ben──Tsukiyama."


"Barusan kamu mau bilang 'daging benteng', ya?"


"Aku mau bilang, 'kau teman yang bisa diandalkan meski menyebalkan'."


"Kalau aku dipikirin sampai segitunya sama Kazuki...! Ugh! Sampai ingus mau keluar dari mataku!"


Kumohon, jangan asal panggil namaku seenaknya. Seberapa haus akan persahabatan sebenarnya kau ini, Tsukiyama...?


"Sebagai catatan, tolong rahasiakan kalau aku dan Hidaka ikut membantu."


"Fuh, pemalu juga, ya."


Sudahlah, terserah saja.


"Terus, sekarang kita mau ngapain?"


"Sementara ini, kita cek jalur dari sini ke stasiun. Kalau ada tanda-tanda penguntit, kita langsung hubungi Teru. Untuk menghindari kecurigaan penguntit, kita harus berakting seperti sahabat karib──yah, itu sudah biasa buat kita, kan!"


"Kazupyon, ini kayaknya dua ratus juta kali lebih susah dari yang kubayangkan. Aku harus lebih waspada."


"Iya. Aku juga tidak bisa berhenti gemetar. Ini yang biasa disebut 'gugup parah', ya."


"Tenang saja! Saat darurat, sahabat sejatimu ini akan melindungimu!"


Aku tak pernah menyangka akan sampai harus berakting akrab dengan Tsukiyama. Tingkat kesulitan misinya jadi melonjak drastis.


"Eh, Tsukiyama. Boleh nggak aku dan Hidaka lihat foto si penguntit?"


"Padahal aku sudah memanggilmu pakai nama..."


Menyebalkan sekali…Kalau begitu aku juga panggil dia pakai nama──ah, nggak bisa.


Hidaka langsung menatapku tajam, seolah bilang "Masa Tsukiyama duluan dibanding aku?"


Kenapa semua ini jadi begini...


"Tsuki, boleh pinjam lihat foto si penguntit?"


"Baiklah."


Tsukiyama pun menunjukkan layar ponselnya ke arah kami. Di sana, seperti yang kuduga, terlihat pria yang semalam mencoba berbicara dengan Hidaka.


Hidaka juga tampaknya mengenali pria itu dan menunjukkan sedikit ekspresi kesal.


"Ada apa, Kazuki?"


"Nggak apa-apa. Ayo lanjut ke stasiun."


"Iya. Jangan lupa, tetap awasi sekitar juga, ya."


Sebanyak apa pun kami mencari, sepertinya si penguntit memang tidak akan muncul.


Kalau jalan cerita ini sama seperti di kehidupan pertama, si penguntit akan muncul tepat di depan Hitsujitani saat dia dalam perjalanan pulang. Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi selama ini, tapi mungkin saja dia memang tidak ingin ketahuan oleh cowok-cowok lain, karena Hitsujitani berharap bisa ditolong oleh Amada.


Sang heroine bergerak demi mempererat ikatan dengan Amada, tapi itu tidak berarti semua akan berjalan sesuai keinginannya. Itu salah satu dari sedikit kelemahan Amada.


Setelah itu, kami terus berjalan sampai ke stasiun, tapi tetap saja tidak menemukan sosok penguntit.


Hasilnya mengecewakan, tapi meski begitu Tsukiyama tetap terlihat sangat bersemangat.


"Meski nggak ketemu, sekarang kita ngapain?"


"Aku berencana bergabung dengan yang lain. Tapi bukan benar-benar gabung, cuma berada di sekitaran mereka. Kalau si penguntit muncul, baru kita bertindak. Jadi, Kazuki dan yang lain boleh pulang kalau mau. Kalian sudah cukup membantu sejauh ini."


"Apa sih yang kau omongin? Jelas aku bakal ikut sampai akhir."


"Iya. Aku juga mau ikut."


"Kazukii~ Mikotooo~..."


Kami harus menyelesaikan semua ini hari ini juga. Kalau tidak, perut kami nggak akan kuat.


Bersama Tsukiyama, kami berbalik arah dan menuju ke tempat Hitsujitani.


Di jalan, kami sempat melihat beberapa cowok lain yang ikut membantu, tapi cukup saling memberi isyarat dengan mata saja.


Sepertinya mereka sudah terbagi antara tim yang bergerak dan tim yang berjaga.


"Kita bakal memastikan posisi Hitsujitani dari sini... Tapi, Kazuki dan Mikoto, kenapa ekspresimu begitu?"


""Nggak ada apa-apa.""


"?"


Benar-benar... perjalanan sampai sejauh ini berat banget...


Karena terlalu gembira, Tsukiyama secara sepihak sudah menganggap kami sahabat karib, dan terus-terusan ngobrol tanpa rasa sungkan. Yang lebih parah, topiknya itu... bener-bener buruk.


Dasarnya cuma pamer. Cerita tentang betapa dia dulu pernah susah gara-gara cewek, cewek itu ribet, betapa dia sebenarnya populer dan digilai banyak orang — semua itu terus diulang-ulang.


Dalam hati aku berpikir, pantesan aja dia disebut Pangeran Mengecewakan.


Dari kejauhan, kami bisa melihat Hitsujitani. Sepertinya Amada bersembunyi di dekatnya, supaya bisa langsung bergerak kalau terjadi sesuatu.


Seperti yang diharapkan dari si protagonis.


Tiga menit kemudian, si penguntit muncul tepat di depan Hitsujitani.


"Ah! Itu dia! Eh, Kazuki, apa yang kau lakukan?!"


Saat Tsukiyama hendak bergerak, aku menahan bahunya sambil menahan rasa mual.


Di kehidupan pertama, saat penguntit muncul, Tsukiyama langsung bertindak tanpa ragu dan menahan si penguntit. Tapi kali ini, itu tidak boleh terjadi.


Kalau tidak, tujuan Amada untuk tampil keren, dan rencanaku untuk menjatuhkan Amada, sama-sama tidak akan tercapai.


"Kalau kita tangkap sekarang, ada kemungkinan dia mengelak dengan alasan salah paham. Kita tunggu dulu."


"Tapi, Hitsujitani...!"


"Tenang saja. Penguntit itu tidak akan melukai Hitsujitani."


"Kalau Kazuki bilang begitu, aku percaya ZE☆!"


Nyaris pingsan gara-gara kalimat itu, tapi aku mengingat kembali tugasku dan memaksa diri bertahan. Semoga saja, perubahan aneh ini cuma berlaku hari ini.


"Untuk jaga-jaga, kita tetap mendekat sedikit."


"Iya. Mikoto, tetap di belakang ya? Kalau ada apa-apa, aku yang akan melindungimu YO☆"


"Baik. Terima kasih banyak..."


Sepertinya Hidaka juga menerima luka batin serius.


Sampai-sampai dia berbicara dengan Tsukiyama pakai bahasa formal...


"…Miya-chan."


Penguntit itu menatap Hitsujitani dengan tatapan agak gelisah. Tapi Hitsujitani yang menilainya hanya sebagai akting, langsung membalas dengan akting ketakutan.


"Hii! Ka-kamu..."


"Tunggu!"


Lalu, ada satu cowok yang langsung berdiri di depan Hitsujitani, melindunginya dengan tubuhnya. Itu Amada.


Dia benar-benar tenggelam dalam aktingnya, sampai tidak sadar keberadaan kami di sekitar situ.


Yah, kemarin aku sudah bohong bilang "ada jadwal kerja paruh waktu," jadi mereka tidak mengira aku di sini.


"Kaulah yang sudah menyiksa Miwa selama ini, kan?! Aku tidak akan membiarkanmu!"


Sungguh, akting Amada patut diacungi jempol. Hebat banget dia bisa sekeren itu. Tapi, apa dia benar-benar aman keluar begitu saja?


Coba lihat baik-baik ekspresi si penguntit di depanmu itu.


"Miya-chan, siapa dia?"


"…………"


Cowok itu bertanya sambil tubuhnya gemetar karena marah. Tapi Hitsujitani tidak menjawab. Dia hanya menatap Amada dengan pandangan seolah-olah meminta tolong.


"Teruchii…"


"Tenang, Miwa. Aku akan melindungimu."


Bersamaan dengan kata-katanya, Amada menggenggam tangan Hitsujitani dengan lembut.


Sekarang ini, dia benar-benar mau menjadi protagonis dalam kisah cinta ini, dan mengusir si penguntit.


Karena dia tahu. Bahwa sebenarnya si penguntit dan Hitsujitani itu sudah bersekongkol.


Semua ini cuma sandiwara buatan Hitsujitani, dan si cowok itu mungkin sudah diberi instruksi untuk kalah atau kabur.


"Miya-chan, kenapa kau tidak menjawabku?"


Penguntit itu maju satu langkah. Tapi ekspresi Amada tetap tak berubah. Sepertinya dia benar-benar yakin bisa menangkap si penguntit sekarang.


"Minggirlah. Aku mau bicara dengan Miya-chan."


"Jangan main-main! Kau sudah membuat Miwa ketakutan! Jangan dekati dia lagi!"


"…Terima kasih, Teruchii."


Hitsujitani dengan manis mencubit seragam Amada dengan dua jarinya.


Iya, iya. Sungguh pasangan protagonis dan heroine yang manis, ya. Tapi apa mereka benar-benar yakin bisa terus bersantai begitu?


"Ah, jadi begitu. Jadi yang dia katakan itu benar…"


"Dia?"


Amada menunjukkan ekspresi bingung. Lalu, barulah dia sadar.


Kalau di belakang si stalker, ada aku dan Hidaka. Seketika itu juga, wajah Amada langsung terdistorsi dengan sangat jelas.


"Aaaaaaaaahhh!!"


"Tu-tunggu! Ini tuh... uwagh!"


Si pria yang berperan sebagai stalker, dengan amarah membara, langsung menghantamkan tinjunya ke arah Amada tanpa banyak bicara.


Tinju yang diayunkan penuh tenaga itu mengenai hidung Amada dengan keras, seolah-olah menghancurkannya.


"Sa-sakit! Ini bukan... aku... gihh!"


Dalam kehidupan pertamaku, sebelum stalker sempat melakukan sesuatu, Tsukiyama langsung menahannya.


Itu mungkin juga akhir yang di luar dugaan bagi Amada dan Hitsujitani, tapi di kehidupan keduaku ini, semuanya berubah menjadi jauh lebih buruk.


Amada Teruhito itu, lemah terhadap rasa sakit.


Dia menganggap dirinya sebagai protagonis dunia ini dan hanya menganggap orang lain sebagai karakter figuran. Dia sama sekali tak merasa bersalah ketika menyakiti orang lain, dan bahkan tidak pernah membayangkan dirinya sendiri bisa disakiti.


Aku masih ingat dia pernah berkata, "Romcom itu yang terbaik. Dunia yang damai tapi ada sedikit bumbu ketegangan, membuatnya terasa lebih realistis," katanya.


Amada, yang menganggap realita sebagai sesuatu yang nyaman bagi dirinya sendiri, tentu tak pernah membayangkan bahwa dirinya, si protagonis romcom, bisa menjadi korban kekerasan. Singkatnya, dia sangat lemah terhadap kekerasan.


"To-tolong... ada yang tolong aku..."


Oi, oi, kau itu protagonis, kan? Seharusnya yang kau katakan sekarang itu "Jangan dekati Miwa", bukan minta tolong.


Bahkan Hitsujitani pun tampak terkejut dengan perkembangan ini, dan buru-buru mencoba menghentikan si stalker.


"Berhenti! Ini bukan bagian dari rencana—"


"Diam kau!! Aku sudah berusaha keras demi Miya-chan, kenapa kau tidak pernah mencintaiku! Kenapa dia memilih orang seperti ini! Orang seperti ini!!"


"Ber-henti... nghhh!"


Dipenuhi amarah, si stalker terus menghujani Amada dengan pukulan.


Begitulah. Awalnya, rencanamu memang tak ada unsur kekerasan. Kau hanya ingin si stalker pura-pura terkejut dan lari setelah melihat Amada, kan?


Lalu kenapa jadi begini? Ya, itu karena aku yang mengaturnya.


Setelah selesai shift kerja kemarin, kau mungkin sempat memotret Hidaka sedang menyerahkan uang kepada pria itu lalu kabur tanpa ketahuan. Tapi, sebenarnya, ada kelanjutannya.


… …


"Kau tahu? Sebenarnya kau cuma sedang dimanfaatkan oleh Hitsujitani."


"Apa?"


Setelah berpura-pura membantu Hitsujitani mencapai tujuannya, aku kembali mendekati pria itu dan berkata begitu.


Awalnya dia tampak ingin segera kabur, tapi sepertinya dia tak bisa begitu saja mengabaikan perkataanku. Dengan tatapan cemas, dia bertanya:


"Apa maksudmu?"


"Dia menyuruhmu berpura-pura memberikan uang, kan? Lalu, berpura-pura menjadi stalker juga, demi katanya ingin lebih akrab dengan teman sekelas?"


"……! Bagaimana kau tahu itu!?"


Aku tetap bicara sopan karena dia sepertinya lebih tua, tapi jujur saja, aku tidak merasa dia layak dihormati.


Mungkin karena aku pakai bahasa sopan, meski dia ketakutan, dia tetap bersikap sok tinggi.


"Sayangnya, tujuan Hitsujitani bukan buat akrab dengan teman sekelas. Dia hanya ingin membuat pria yang dia suka jadi semakin menyukainya."


"Hah!? Omong kosong! Aku ini spesial untuk Miya-chan! Kami sudah janjian buat kencan berdua! Dia juga janji mau buat ASMR spesial untukku!"


Ternyata itu umpan yang digunakan Hitsujitani untuk memanipulasi pria ini.


Kencan pribadi dengan VTuber favorit, bahkan dibuatkan ASMR khusus untuk dirinya saja. Kalau fanatik, itu pasti tawaran yang sangat menggoda.


Hitsujitani, kau seharusnya minta maaf ke semua VTuber lain.

Karena orang sepertimu, image VTuber lain jadi ikut buruk.


"Lagipula, meski itu semua benar..."


"Kalau kau tidak menuruti perintahnya, kau takut dibenci, kan?"


"……"


Kan, benar saja. Kanie dulu juga pernah bilang,


"Aku tak mau dibenci. Kalau aku berusaha, mungkin dia akan menyukaiku."


Itulah alasan dia mau melakukan kejahatan demi Amada. Tapi ternyata bukan hanya heroine Amada yang begitu. Pria ini juga sama.


Takut dibenci. Tak masalah kalau tak dapat bayaran, asal tetap bisa berada di dekatnya. Kalau perlu, dia akan melakukan apa saja. Tapi, dalam kasus pria ini, ada satu syarat tambahan.


"Aku tidak akan ikut campur keputusanmu. Kau bebas percaya atau tidak. Tapi, besok kau akan tahu sendiri. Siapa sebenarnya orang yang spesial bagi Hitsujitani Miwa."


Syarat itu adalah: dirinya harus jadi yang nomor satu di mata Hitsujitani.


… …


"Aku selalu berusaha demi Miya-chan! Aku memenuhi semua permintaannya! Tapi kenapa! Kenapa malah kauuuuuuu!!"


Kasihan. Orang yang serius dan baik itu biasanya tidak populer. Mereka malah dimanfaatkan.


Apalagi kalau yang dimanfaatkan itu perempuan yang sadar betul kalau dirinya cantik, seperti Hitsujitani.


"Tolong! Berhenti! Jangan sakiti Teruchi!!"


Hitsujitani berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan, tapi pria yang berperan sebagai stalker itu tak mau berhenti. Justru karena dia sangat mencintai Hitsujitani, dia bisa memahami kenyataan itu.


Bahwa bagi Hitsujitani, dirinya bukanlah sosok yang istimewa, dan yang benar-benar spesial itu adalah Amada.


Karena itulah, rasa ketidakpuasan yang selama ini dipendam dalam hatinya akhirnya meledak. Dari stalker palsu, dia berubah menjadi stalker sungguhan, dalam arti tertentu.


"Seseorang...,"


Hitsujitani mencari pertolongan dengan pandangan putus asa. Namun, tak satu pun dari para cowok yang seharusnya melindunginya itu bergerak.


Mungkin awalnya, saat ikut dalam rencana ini, mereka membayangkan akan bisa menunjukkan sisi keren mereka di depan Hitsujitani. Tapi setelah melihat perubahan si stalker, ketakutan mengalahkan keberanian mereka.


Dengan jumlah orang sebanyak ini, pasti akan ada yang bergerak. Aku takut, jadi aku tak mau maju.


Itulah yang dipikirkan sebagian besar dari mereka. Tapi, ada satu orang yang berbeda. Tsukiyama.


"Hitsujitani, menjauh dari dia!"


"Tsukiyama-kun! Tolong, selamatkan Teruchi!"


"Lepas! Lepaskan!!"


Tsukiyama menahan stalker yang sedang memukuli Amada dari belakang. Begitu melihat itu, para cowok lain akhirnya berpikir bahwa sudah aman dan buru-buru ikut membantu.


"Ugh! A-ah..."


Setelah ditekan oleh Tsukiyama dan yang lain, si stalker sepertinya mulai sedikit tenang, dan baru menyadari rasa sakit di tangannya sendiri.


Lalu, saat melihat Amada yang tergeletak dan Hitsujitani yang menangis, dia langsung panik.


"T-tidak! Aku... aaaaaahhh!!"


"He-hey, tunggu!"


Stalker itu melepaskan diri dari cengkeraman Tsukiyama dan melarikan diri secepat mungkin. Namun, Tsukiyama yang berpikir dirinya tak bisa meninggalkan tempat ini, tetap diam, dan para cowok lain juga tak punya keberanian untuk mengejar stalker yang telah berubah begitu menyeramkan.


Hitsujitani memeluk tubuh bagian atas Amada yang tergeletak dan menangis.


"Maaf... maaf, Teruchi..."


"T-tidak apa-apa, Miwa. Jangan menangis..."


Hoo, lumayan juga.


Meskipun wajahnya sudah babak belur dipukul berkali-kali, dia tetap mempertahankan perannya sebagai tokoh utama dalam cerita romantis ini.


Aku jujur saja terkesan.


Mungkin dia masih percaya bahwa rencananya berjalan lancar. Atau bahkan mungkin dia berpikir bahwa karena telah mengalami kekerasan seperti ini, posisinya sebagai korban jadi lebih kuat.


Aku dan Hidaka perlahan mendekati Tsukiyama.


"Eh! Kenapa Ishii-kun dan Hidaka-san ada di sini!? Bukannya hari ini kerja paruh waktu..."


Hitsujitani yang menyadari keberadaan kami tampak kebingungan, tapi aku sepenuhnya mengabaikannya.


Sejak awal, aku memang tak pernah mempercayaimu. Mana mungkin aku mau jujur memberitahumu.


"Ada apa, Kazuki?"


Tsukiyama bertanya padaku. Aku merasa mual mendengarnya.


Perhatian para cowok lain juga kini tertuju padaku. Bagus, saatnya menghabisi semuanya.


"Stalker tadi, kemarin datang ke minimarket tempatku kerja. Dia tiba-tiba ngasih uang ke Hidaka dan minta dikasih nomor kontaknya. Gila, kan?"


"……!"

"Hah!?"


Begitu kata-kata itu keluar, Amada dan Hitsujitani sama-sama menggertakkan gigi, sementara Tsukiyama menunjukkan ekspresi terkejut.


Benar, Hitsujitani. Kau berencana menjebak Hidaka besok, kan?

Tapi bagaimana kalau aku sudah lebih dulu membocorkan semuanya?

Tak mungkin lagi, kan? Kau sudah tak bisa menjebaknya lagi!


"Kalau begitu, Hidaka tahu nomor kontaknya! Kalau begitu..."


"Tidak tahu. Tiba-tiba ngasih uang begitu aja tuh serem."


"Ahh, ya juga... Aku mengerti."


Tsukiyama tampak menerima penjelasanku. Sementara itu, Amada masih dalam pelukan Hitsujitani. Aku menatap Amada dari atas, lalu berkata,


"Untuk sekarang, sebaiknya kau ke rumah sakit. Bagaimanapun, masalahnya sudah beres."


"......! Iya b-benar... Makasih, Ishii."


Pasti dia merasa sangat frustrasi di dalam hatinya, tapi tak ada pilihan lain selain mengatakan itu.


Sayang sekali, ya, protagonis cerita romantis.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close