Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Chapter 3
"Pengakuan Cinta"
♣♣♣
Beberapa hari kemudian, di pagi hari.
Aku sedang berada di Starbucks yang terletak di stasiun yang lebih baru dari dua stasiun utama di kota ini. Duduk di meja luar, aku menatap kosong ke arah arus para pekerja kantoran yang lalu-lalang.
…Bahkan saat libur musim panas, masyarakat tetap berjalan, ya.
Itu hal yang jelas, tapi entah kenapa terasa begitu bermakna. Dan dalam dua tahun lagi, kami pun akan menjadi bagian dari mereka. Kalau dipikir-pikir, liburan musim panas kali ini jadi terasa makin berharga.
Saat aku tenggelam dalam pikiran itu, sebuah mobil asing berwarna hitam yang sudah kukenal berhenti di area drop-off. Tentu saja, itu mobil milik Hibari-san. Begitu kulihat Himari turun dari kursi penumpang, aku pun berjalan menghampirinya.
Hari ini, Himari mengenakan kemeja tipis berlengan panjang dan legging yang dipotong selutut. Ia juga memakai topi jerami bergaya untuk melindungi diri dari sinar matahari.
Begitu melihat Frappuccino karamel di tanganku, Himari mendecak kagum kecil.
“…Yuu. Serius deh, kamu minum yang semanis dan sekream itu pagi-pagi begini?”
“Hah? Emang aneh, ya?”
“Aku cuma mikir… itu enggak bikin perutmu mules apa?”
“Nah, itu belum seberapa dibandingkan Yoghurppe yang kamu minum.”
Himari tertawa kecil sambil berkata, “Ya juga, sih,” lalu menyesap Yoghurppe dari kemasan kartonnya.
Aku menyapa Hibari-san dari jendela sisi pengemudi.
“Hibari-san. Selamat pagi.”
“Hai, Yuu-kun. Pagi.”
Ia melepas kacamata hitamnya dan tersenyum hangat, memperlihatkan deretan gigi yang berkilau. Giginya masih saja luar biasa rapi.
“Bunga matahari itu pilihan yang bagus, menurutku. Soalnya Kureha-kun dari dulu memang suka hal yang mencolok.”
“Yah, kami belum memutuskan desain aksesori yang pas, sih…”
“Tenang aja. Kalau buru-buru, nanti kualitasnya bisa turun. Semoga kamu nemu bunga yang bagus hari ini.”
“Terima kasih.”
Aku pun melemparkan senyuman yang sama ke arah Himari.
“Kalau begitu, Himari. Selamat bersenang-senang.”
“Okaaay~.”
Hibari-san pun menyalakan mobil kesayangannya dan melaju, menghilang ke arah kota yang masih diselimuti pagi. …Kalau cuma lihat dari sisi kayak gitu, dia tuh kelihatan kayak kakak yang baik-baik aja, ya.
“Yosh, kalau gitu aku juga mau beli sesuatu, ah~.”
“Kalau gitu, aku ke tempat pembelian tiket dulu.”
“Eh—! Yuu juga ikut antri bareng aku, dong~.”
“Antri di Starbucks sambil bawa minuman dari Starbucks tuh... mentalmu kuat banget, sih.”
Meninggalkan Himari yang cemberut tak puas, aku pun melangkah ke arah loket tiket.
Di loket yang kini jauh lebih bersih dan modern dibanding sebelum direnovasi, aku menyebutkan nama stasiun tujuan. Setelah membayar biaya tiket, aku menggenggam tiket itu dan keluar dari area penjualan.
Saat aku melongok ke dalam Starbucks yang seluruh dindingnya kaca, kulihat Himari masih berdiri mengantri di depan kasir.
Aku pun masuk ke FamilyMart di sebelahnya dan berniat membeli roti untuk sarapan… tapi akhirnya memilih onigiri saja. Soalnya aku hampir tiap hari makan roti dari konbini di rumah, jadi sesekali makan nasi putih juga nggak ada salahnya.
Sekalian, aku juga membeli permen karet buat ngusir rasa kantuk, lalu keluar dari FamilyMart—pas banget Himari datang menghampiri.
“Kasihan Enocchi, ya~. Enggak bisa ikut gara-gara enggak dapet libur dari kerjaan.”
“Ya, soalnya dadakan juga sih. Enggak bisa disalahin. Semoga aja kita bisa nemu oleh-oleh bagus buat dia.”
Kami ikut mengantri bersama para pekerja kantoran yang memegang kartu langganan, lalu melewati gerbang tiket manual yang masih dipakai di sini, dan tiba di peron yang luas dengan suasana terbuka khas daerah pedesaan. Sambil menatap pemandangan tenang kota kecil ini, kami menunggu kereta datang—sekitar sepuluh menit kemudian, suara sirene berbunyi, dan kereta express pun masuk ke stasiun.
Aku mengernyit melihat bentuk keretanya yang mirip shinkansen.
“…Kelihatannya sih, jarak antar kursinya sempit.”
“Duh, hati-hati, Yuu. Jangan sampe kepalamu kebentur…”
Kami pun naik sambil ngobrol begitu—dan ya, kepalaku langsung nabrak plafon di pintu masuk!
“Aduh, sakit…”
“Puhaha. Yuu, kamu heboh banget, sih?”
“Cerewet. Kereta di jalur ini tuh kadang bagus, kadang nyebelin.”
Kami pun memilih tempat duduk kosong di gerbong non-reservasi.
Aku menjatuhkan diri ke kursi tepat di belakang tempat duduk dekat jendela yang diduduki Himari. Begitu aku duduk, Himari menoleh dengan ekspresi bingung, seolah tanda tanya beterbangan di atas kepalanya.
“Eh? Yuu, kok di belakang? Duduk aja sebelah aku.”
“Eh, umm… itu…”
Aku refleks jadi gugup.
Kereta ini sempit. Kursinya juga, kalau dibilang lega sih… jelas enggak.
Dengan kata lain, kalau aku duduk di sebelah Himari, kami bakal nempel banget. Mentalku bisa tumbang sebelum sampai tujuan. Tapi karena enggak mungkin bilang terus terang, aku pun cuma bisa ngeles.
“Aku pengin selonjoran, sih…”
“Ya ampun. Sekarang sih enggak apa-apa, tapi kalau nanti makin rame, malah ganggu orang, kan? Mending duduk sini aja.”
“Umm… soalnya, aku punya penyakit aneh gitu. Kalau ada orang duduk di sebelahku, aku bisa mati, lho.”
“Alasannya ngasal banget, deh. …Yah, terserah, sih.”
Himari menghela napas dan kembali menghadap ke depan.
Sirene pun berbunyi, dan kereta mulai melaju perlahan. Ada rasa aneh di tubuh—seperti sedikit melayang. Kami sama-sama memandangi pemandangan di luar jendela yang perlahan mulai bergerak semakin cepat.
Tak lama kemudian, Himari menjulurkan wajahnya dari sela kursi di depan. Sebenarnya aku sempat mikir, kamu sendiri juga ganggu penumpang lain, tahu, tapi rasanya bakal jadi ribet kalau diomongin, jadi kutahan.
Dengan nada riang, Himari berkata:
“Rasanya udah lama banget ya, sejak terakhir kali kita pergi jauh bareng kayak gini.”
Kalau dipikir-pikir, kayaknya memang iya.
Terakhir kali kami pergi jauh bersama adalah saat libur musim semi, waktu kami menonton film baru di AEON besar di Ōita. Rasanya mengejutkan bahwa sejak saat itu baru empat bulan berlalu. Musim semi di tahun kedua SMA ini benar-benar dipenuhi begitu banyak hal.
Dan tak diragukan lagi, semuanya dimulai dari pertemuanku kembali dengan Enomoto-san.
“Eh, Yuu.”
“Hm? Kenapa?”
“Mau coba tebak enggak, kamu lagi mikirin apa sekarang?”
“…Coba aja.”
Himari menyipitkan mata dan tersenyum jahil.
Dengan dagu disandarkan di sandaran kursi, dia memiringkan kepala sedikit.
“Lagi ngerasa sedih karena Enocchi enggak ikut, ya~?”
“…………”
Salah! Tebakanmu jauh banget.
Memang, aku tadi sempat mikirin soal Enomoto-san, tapi bukan dalam konteks itu.
Aku menghela napas. Kalau dipikir-pikir, Himari memang sering ngomong hal-hal seperti ini waktu bulan April lalu. Bukannya dia sudah berhenti berusaha menjodohkanku dengan Enomoto-san?
“Jawaban yang benar adalah... aku lagi mikir, ‘enaknya makan apa ya buat makan malam nanti.’”
“Hei, ini masih pagi, tahu~?”
“Ah. Iya juga. Barusan aku beli onigiri, ya.”
Aku pun mengeluarkan onigiri dari kantong belanjaan konbini.
Lalu kucoba sejajarkan dengan Frappuccino karamel yang tadi belum habis diminum.
“...Harusnya tadi sekalian beli teh juga.”
Soalnya aku biasanya cuma makan roti, jadi enggak kepikiran.
“Himari. Di kereta express ini, ada vending machine-nya enggak, ya?”
“Kayaknya ada, tapi mungkin cuma di gerbong tempat duduk khusus…”
Kereta berguncang dengan bunyi gatan.
Himari berseru pelan, “Ah,” lalu menyelipkan tangan ke dalam tasnya. Tanpa disangka, dia mengeluarkan sebotol teh dan langsung menyodorkannya padaku.
“Nih, Yuu. Ini teh yang aku bawa dari rumah. Buat kamu.”
“Serius? Makasih banget!”
Apa dia bisa nebak aku bakal nyari minuman? Tapi, masa sih dia sebegitu siapnya? Himari, kamu enggak lagi pasang chip di otakku, kan?
Yang jelas, sekarang aku bisa makan onigiri-nya. Soalnya, bahkan buat orang yang doyan manis sepertiku, minuman penuh krim dan okaka itu jelas bukan kombinasi yang cocok.
“...Huh?”
“Ah…”
Aku dan Himari sama-sama sadar di saat yang bersamaan.
Isi botol teh yang dia berikan tadi, sedikit berkurang. Sepertinya dia sempat meminumnya sekali, lalu lupa, dan langsung menyerahkannya padaku.
Entah kenapa, teh itu sekarang terasa seperti memancarkan aura mengerikan, kayak Kotak Pandora. Ya, mungkin cuma perasaanku aja. Tapi tetap saja, efeknya ke mental lumayan besar.
(Apa aku balikin aja, ya? Tapi kita kan udah bukan di tahap merasa jijik cuma gara-gara minum dari botol yang sama...)
Rasanya kalau aku bereaksi, malah bikin semuanya canggung, seolah aku terlalu sadar soal ini.
Waktu aku masih ragu-ragu, tiba-tiba Himari berkata pelan,
"...Apa ini bakal nyakitin perasaan Enocchi?"
“Eh?”
Himari masih menatap ke luar jendela.
Tapi aku yakin dia sebenarnya sedang melihat bayangan wajahku yang memantul di kaca. Entah kenapa, aku merasa begitu.
"Belakangan ini, Yuu tuh kayak ngejauh dari aku, kan?"
"Ugh…"
Dengan agak menghindari tatapan, Himari bertanya.
"Itu karena… kamu ngerasa enggak enak sama Enocchi, ya?"
"Bukan, aku enggak bermaksud begitu…"
"Kalau gitu, kenapa?"
"Kenapa, ya…"
Sebenarnya, aku mulai melihat kamu sebagai cewek, dan jujur aja aku selalu deg-degan tiap kali bareng kamu, sampai rasanya mau mati. Tapi aku juga punya target buat buka toko, dan terus terang aku enggak yakin harus nyatain perasaanku sekarang...—ya mana mungkin aku bisa ngomong gitu!?
O-oke, lebih baik aku bersikap kayak biasa aja. Dari tadi aku tegang banget, mulut rasanya lengket dan enggak enak. Kalau tahu begini, harusnya tadi aku enggak males dan cari mesin minuman aja sekalian…
“…Bukan karena aku ngehindar atau gimana, dan ini enggak ada hubungannya sama Enomoto-san.”
"…………"
Eh, apaan!?
Tiba-tiba, Himari merebut botol teh itu dari tanganku.
Dia langsung menenggaknya dalam sekali minum—gok-gok-gok—lalu dengan gaya santai, menyeka mulutnya dengan punggung tangan.
“Puhhaaah! Tehnya enak banget!”
“Enak, apanya! Itu tadi apa sih!? Tiba-tiba banget!”
Celana jeans-ku jadi agak basah, tahu!
Waktu aku memprotes, Himari tertawa keras, “Puhahaha,” lalu mengeluarkan handuk kecil dari tasnya.
“Maaf, maaf! Nih, pakai ini buat ngelap, ya?”
“Tunggu dulu, serius deh—sebenarnya kamu mau ngapain, sih? Teriak pas banget di sebelah kuping gitu hampir bikin jantungku copot, tahu!”
"Barusan kamu sempat bersikap serius, kan?"
Begitu aku berkata, Himari tertawa pelan dengan cara yang mencurigakan.
"Hehehe... Soalnya aku pengin ngukur seberapa besar cinta Yuu ke Enocchi."
"Dan kamu mikir caranya itu dengan ngasih teh bekas minum? Gimana sih logikanya? Lagian soal Enomoto-san tuh—"
"Iya iya. Yuu-kun ini emang enggak bisa jujur, ya."
"Kita bahkan enggak nyambung ngobrolnya..."
Yah, yang penting untuk saat ini, situasinya sudah mereda.
Sebagai gantinya, aku jadi super capek. Terus juga lapar. Aku pengin makan onigiri. Tapi tenggorokanku kering banget, kalau nekat makan nasi putih sekarang bisa-bisa aku tersedak dan mati.
Saat aku lagi mikirin itu, Himari berdiri dari kursinya.
"Sebagai permintaan maaf, biar aku yang beliin sesuatu buat kamu."
“Eh? Enggak, ini urusanku, jadi biar aku aja yang pergi…”
"Enggak boleh. Yuu jaga barang-barang di sini, ya~"
Begitu bilang begitu, dia langsung pergi hanya dengan membawa dompetnya.
Aku cuma bisa memandangi punggungnya yang perlahan menghilang ke gerbong depan, sambil merasa benar-benar lemas.
...Serius deh, aku beneran enggak ngerti apa yang dipikirin sahabatku itu.
♢♢♢
PoV
Inuzuka Himari
Tiga gerbong setelah berjalan maju.
Di ruang kecil di depan mesin penjual otomatis.
Di tengah suara angin kencang dan deru roda yang menggema keras, aku sedang jatuh dalam kegalauan, sepenuhnya, sepanjang—
zuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun—begitu dalamnya.
“Haaaaaaaah…”
Sambil menghela napas, aku menekan-nekan tombol teh di mesin penjual otomatis berkali-kali. Dari lubang pengeluaran di bawah, botol-botol teh bermunculan satu demi satu.
(…Hari ini semuanya jadi jelas, ya.)
Yuu akhir-akhir ini ngehindar dari aku. Kenapa sih dia milih duduk depan-belakang gitu? Aneh banget. Bahkan belakangan ini dia kayaknya beneran enggak suka sama “puhaaa~” aku. …Apa cowok memang berubah segitunya kalau lagi suka sama seseorang?
(Enggak boleh. Enggak boleh mikir lebih jauh dari ini. Kalau enggak, yang jelek-jelek bakal keluar lagi…)
Dari jendela kaca, aku bisa lihat pemandangan di luar.
Pemandangan pedesaan yang melesat cepat. Di kaca jendela, bayangan diriku tampak tercermin. Hari ini pun, aku tetap luar biasa imutnya. Benar-benar ciptaan Tuhan yang dikasihi-Nya.
Tapi, Enocchi lebih imut. Bukan soal penampilan, tapi soal isi hatinya.
Aku mungkin dilahirkan untuk dicintai, tapi Enocchi dilahirkan untuk bahagia. Semakin sering aku bersama Enocchi, perasaan itu makin terasa nyata.
Dan mungkin, kebahagiaan Enocchi itu satu paket sama Yuu.
Semakin Yuu memperlakukan aku dengan tulus, semakin besar sisi gelap dalam diriku. Aku enggak bisa memalingkan pandangan dari kenyataan bahwa ada seseorang yang jauh lebih baik dariku yang ada di dekatnya.
Dulu, Makishima-kun pernah bilang:
"Sebelum terlihat jelas bahwa tekadmu enggak sebanding sama keberanian Natsu yang udah siap ninggalin segalanya, seharusnya kamu udah nentuin hasilnya dari awal."
Waktu itu aku cuma bisa bilang, “Hah?”, tapi sekarang aku agak ngerti maksudnya.
Aku ini pengecut dan egois banget. Kalau enggak merasa cukup, aku enggak bisa tahan. Bahkan, aku enggak segan buat nyakitin orang lain. Justru karena itulah, semuanya harus diselesaikan sebelum sisi burukku muncul ke permukaan.
Aku benar-benar enggak bisa ngelakuin ini dengan baik. Padahal aku tahu yang penting itu ujungnya bisa punya Yuu, tapi rasa cinta yang aku rasain sekarang malah bikin semua jadi susah. Diriku yang pengin tetap jadi sahabatnya makin kalah sama diriku yang pengin jadi pacarnya.
Sejak aku kenal cinta, hidupku jadi terasa menyenangkan.
Tapi di saat yang sama, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu.
“Kalau aja enggak ada Enocchi—”
…Hah!?
Cepat-cepat aku tampar pipiku sendiri pelan.
Enggak, enggak boleh!
Aku nyaris mikirin sesuatu yang benar-benar jahat barusan. Duh, aku keterlaluan banget. Sama sekali enggak cocok buat karakter yang katanya selalu disayang semua orang. Ayo bangkit, aku! …Kayak pegawai kantoran yang berjuang demi cinta dan karier, gitu?
Sambil membagikan botol-botol teh yang tadi kebanyakan kubeli ke para penumpang, aku balik ke tempat Yuu.
Dan Yuu… ternyata dengan setia masih belum makan onigiri-nya. Dia cuma memandangi pemandangan di luar jendela. Matanya sedikit menyipit terkena cahaya matahari pagi.
Aku tahu pasti siapa yang lagi dia pikirin. Sambil menahan rasa sesak kecil di dada, aku duduk di sampingnya dengan senyum yang kubuat-buat.
"Yuu, maaf ya udah bikin nunggu lama."
"Ah, Himari. Makasih… eh!? Teh sebanyak itu, dari mana?"
"Mm~ Lagi pengin banget pencet-pencetin tombol aja sih. Jadi, ya kebablasan deh☆"
"Apa-apaan tuh. Enggak masuk akal banget sih? Terus, serius deh, teh sebanyak itu mau diapain?"
Yuu menerima sebotol teh sambil tertawa kecut.
Ekspresi santainya itu—entah kenapa—terlihat seperti sesuatu yang cuma aku yang boleh lihat, dan rasanya seperti jantungku diremas tiba-tiba.
Aku ini cewek yang nyebelin.
Aku tahu, aku udah enggak punya peluang lagi. Tapi kalau Yuu tersenyum untukku… aku tetap ngerasa bahagia banget, dan itu… bener-bener nyebelin.
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Setelah berguncang di atas kereta bersama Himari selama kurang lebih satu jam.
Kami pun sampai di kota tujuan.
Kalau dibandingin sama kota asal kami... ya, kurang lebih mirip-mirip lah. Dari segi pemandangan, rasanya nggak kayak pergi jauh-jauh juga.
Kami keluar dari stasiun kayu beratap genteng yang tampak tua dan penuh nuansa sejarah.
Katanya, dari stasiun ke tempat tujuan butuh waktu sekitar dua puluh menit naik mobil. Selama naik taksi, sambil lihat-lihat suasana kota yang nggak jauh beda dari kampung halaman, aku ngobrol sama Himari.
“Himari. Mau makan siang di mana?”
“Hmm~ enaknya makan apa, ya…”
“Oh iya, dulu pernah ada restoran gyoza yang masuk acara ‘Dunia Yang Tidak Dikenal Matsuko’, kan?”
Kalau ngomongin gyoza, biasanya Utsunomiya atau Hamamatsu yang terkenal,tapi di daerah sini juga katanya termasuk salah satu tempat dengan persaingan ketat. Kabarnya, mereka juga jualan online, tapi sejak muncul di TV, aku dengar sekarang pesannya harus nunggu sampai setengah tahun.
Tapi Himari kayaknya enggak terlalu dengar. Dia cuma melamun sambil ngeliatin pemandangan di luar jendela.
“Hmm…”
“Himari?”
Baru saat itu dia akhirnya menoleh ke arahku.
“Hm?”
“Ya, soal makan siang.”
“Oh, iya. Apa aja juga boleh, kok.”
“O-oke…”
Entah kenapa dia kelihatan lebih kalem.
Sejak tadi pas dia pergi beli teh, dia jadi kayak gini. Padahal ini perjalanan jauh pertama kami setelah sekian lama—kupikir dia bakal lebih semangat.
“Yah, yang penting kan bunganya.”
“...Ya juga, sih. Nanti aja kita putusin setelah acaranya selesai.”
Lalu, pemandangan di luar jendela taksi mulai berubah, menampilkan hamparan ladang yang luas.
Di salah satu bagiannya—meskipun bilang “salah satu” kayaknya enggak cukup karena luas banget—berdiri deretan bunga matahari setinggi orang dewasa. Ladang yang tampak sampai ke cakrawala itu dipenuhi bunga matahari yang berbaris rapi, dan pemandangannya benar-benar luar biasa.
Dengan menandai tempat dari aneka spanduk warna-warni, kami turun dari taksi. Melihat dinding bunga matahari yang menjulang tinggi itu, aku langsung semangat banget.
“Himari! Gila! Lihat deh! Semua bunga matahari! Tingginya ngalahin aku, lho! Jauh lebih gede daripada yang dijual di toko bunga, ya!? Eh, kita boleh ambil semua ini!?”
“Nfufu~. Yuu, aku ngerti banget perasaanmu, tapi coba tenang dulu, ya?”
Aku langsung sedikit kehilangan semangat karena dia menasihati dengan cukup serius.
Himari menahan topi jeraminya dan menyipitkan mata karena silau.
“Araki-sensei pernah cerita sih… tapi ternyata beneran luar biasa ya.”
Tempat ini adalah salah satu perkebunan terbesar di Jepang yang dikenal sebagai produsen bunga matahari nomor satu.
Kabarnya, setiap tahun sekali diadakan festival musim panas seperti ini. Di panggung yang didirikan dekat ladang bunga matahari, ada pertunjukan dari komedian dan band lokal. Lalu, ada juga wahana seperti labirin bunga matahari yang memanfaatkan ladang itu. Deretan stan makanan berjajar rapi, menjadikan acara ini hiburan seru untuk keluarga.
Dan yang paling menarik, di sini pengunjung bisa membeli bunga matahari yang mereka panen sendiri. Itulah tujuan utama kami datang ke sini.
Jauh lebih meriah dari yang aku bayangkan setelah dengar cerita dari Araki-sensei. Hanya saja, memang kebanyakan pengunjungnya sudah cukup berumur. Ada keluarga yang datang bersama anak-anak, tapi pasangan pelajar SMA seperti kami sepertinya cukup langka.
Di panggung, pembawa acara yang sudah berumur memandu dengan celetukan-celetukan ringan, disambut tepuk tangan dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang menonton. Kami berjalan melewati mereka, langsung menuju ke area penjualan langsung bunga matahari.
“Whoa. Ini... gimana ya, ehm…”
“Jarang banget bisa lihat bunga segede ini, ya. Rasanya kayak bunga dari film Ghibli!”
“Wah, itu! Itu yang mau aku bilang!”
“Hmm. Aku ngerti kamu semangat, tapi energi Yuu tuh agak melelahkan…”
Kok dia ngomong gitu… jahat banget.
Bunga matahari.
Bunga musim panas yang tak perlu lagi diperkenalkan.
Ciri khasnya adalah bunga besar berwarna kuning cerah, layaknya matahari.
Tinggi tanaman bunga matahari bisa mencapai tiga meter. Diameter bunganya sendiri bisa mencapai tiga puluh sentimeter. Saking besarnya, rasanya seperti sedang menengadah ke arah raksasa.
Jauh lebih besar dari yang pernah kami tanam waktu SMP dulu. Inilah bunga matahari saat sedang musimnya. Batang dan daunnya pun tampak kokoh dan tebal, sebanding dengan bunganya.
Waktu aku membelai batang itu, Himari berkata sambil mengamati dengan serius.
“Kita emang tahu soal bunga matahari, tapi ternyata jarang banget lihat aslinya, ya?”
“Bunga matahari tuh sebenarnya terdiri dari dua jenis bunga, lho.”
“Uwaah, Yuu mulai ceramah, deh.”
“……Yah, kalau enggak mau dengar sih enggak apa-apa.”
Aku langsung kehilangan semangat karena disela kayak gitu. Saat aku hendak berjalan pergi sambil manyun, Himari buru-buru menarik ujung hoodie-ku.
“Ufufu~. Bercanda kok. Aku pengin dengar pengetahuan kecilnya Yuu, boleh ya?”
“Ngomong dalam situasi kayak gini, waktu harapannya udah setinggi langit, tuh rasanya kayak siksaan…”
“Kan cuma aku doang yang dengar, enggak apa-apa lah~. Jadi gimana maksudnya kelopak bunganya ada dua jenis?”
“…Haaah.”
Ya sudahlah.
Aku kembali menatap bunga matahari raksasa itu.
“Bunga matahari kelihatannya kayak satu bunga besar, tapi sebenarnya itu kumpulan bunga-bunga kecil. Ini disebut ‘capitulum’, khas bunga-bunga dari keluarga Asteraceae…”
“Eh, maksudnya gimana? Aku enggak terlalu ngerti.”
Aku lalu menarik pelan salah satu bunga matahari yang lebih pendek agar lebih mudah dilihat.
Pertama, ada deretan kelopak besar yang mengelilingi kepala bunga matahari, bentuknya mirip lidah api. Kelopak-kelopak itu disebut bunga ligulata, dan masing-masing punya alat reproduksi seperti benang sari dan putik. Jadi, tiap kelopak itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai bunga mandiri.
Lalu bagian di dalam yang penuh bintik-bintik itu disebut dasar bunga. Banyak orang yang mengira bagian itu adalah benang sari atau putik bunga matahari, tapi sebenarnya, itu juga kumpulan bunga-bunga kecil. Disebut bunga tabung atau bunga pipa (tubular florets), dan kalau diperhatikan baik-baik, masing-masing punya mahkota bunga kecil. Tentu saja, semuanya juga memiliki organ reproduksi sendiri.
“Hmm? Jadi maksudnya, bunga matahari itu bukan kayak satu rumah besar, tapi kayak apartemen yang isinya bunga-bunga kecil gitu, ya?”
“Tepat banget. Dengan cara seperti ini, satu serangga aja bisa membantu penyerbukan dalam jumlah besar. Itu salah satu alasan kenapa tanaman dari keluarga Asteraceae bisa berkembang biak dengan pesat.”
Sudah lama aku enggak ngobrol soal bunga, jadi rasanya lega juga bisa cerita kayak gini. Akhir-akhir ini, Himari juga udah cukup terbiasa dengan bunga, jadi jarang banget ada kesempatan kayak gini.
Saat aku mulai berpikir, “Nanti pas pulang, kasih tahu juga ke Enomoto-san, ah,” tiba-tiba aku sadar Himari sedang menatapku sambil tersenyum.
“Apa, sih?”
“Enggak, aku cuma mikir… Yuu tuh beneran suka banget sama bunga, ya.”
“Jangan ngegodain, deh.”
“Aku enggak ngegodain, loh. Punya sesuatu yang kamu suka itu hal bagus, kan?”
Entah kenapa, meski dia bilang begitu, aku tetap merasa agak gimana gitu.
Yah, sudahlah. Yang penting sekarang adalah menikmati bunga-bunga besar luar biasa ini. Bisa memilih bunga dalam situasi seperti ini jelas cuma terjadi setahun sekali.
“Ngomong-ngomong, mendingan kita cepat-cepat amankan bunganya, deh.”
Festival ini sendiri kabarnya digelar selama dua hari berturut-turut.
Tapi karena kita memetik bunganya langsung, bunga yang bagus pastinya jadi rebutan. Dalam hal itu, datang pagi-pagi di hari pertama jelas keputusan yang tepat. Dan sepertinya orang-orang yang datang sekarang ini memang kelihatan seperti para pencinta bunga sejati.
Kami melangkah hati-hati memasuki area ladang. Melewati celah-celah sempit di antara tiap batang bunga matahari, sambil berusaha agar tidak menyentuh atau melukai bunga-bunganya.
Seperti yang diduga, bunga yang dirawat oleh tangan para profesional memang luar biasa indah. Terlihat jelas bahwa bunga-bunga ini dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Ada kelembutan yang menawan dan kekuatan hidup yang kuat. Dua kesan yang bertolak belakang itu, entah bagaimana, bisa hidup berdampingan dalam bunga matahari ini.
Dulu, Araki-sensei pernah bilang, yang paling penting saat memilih bunga adalah keseimbangan.
Kalau bunganya terlalu besar atau daunnya terlalu lebat, juga tidak bagus. Bunga yang ideal adalah yang punya keseimbangan pas antara keduanya—bunga seperti itulah yang akan mudah dekat dengan tangan manusia.
Aku memelototi bunga-bunga matahari yang ada, dan mulai memilih satu per satu bunga yang paling cocok buatku. Karena setiap bunga punya kepribadian sendiri, jadi enggak semudah kelihatannya.
“…………”
Bentuk daun yang ini agak aneh, kelihatan kayak susah diatur.
Yang itu bunganya kebesaran, kesannya sombong banget.
(Ah, yang ini…)
Tiba-tiba, pandanganku terpaku pada satu bunga matahari.
Bunga itu sangat indah. Sebenarnya sih, enggak jauh beda dari yang lain. Tapi entah kenapa, menurutku bunga ini terasa berbeda dari yang lainnya.
Bentuk bunganya nyaris bulat sempurna, daunnya pun punya bentuk oval yang cantik. Ukuran kelopak bunganya seragam, dan bagian kepala bunganya tersusun rapi. Rasanya seperti aku pernah melihat bunga ini sebelumnya.
(Bunga ini… cocok banget buat Himari…)
Tiba-tiba, pikiran itu melintas begitu saja.
Sahabatku. Dan orang yang kusukai.
Aku ingin membuat aksesori dari bunga ini dan memberikannya pada Himari. Cuma membayangkannya saja, entah kenapa membuatku merasa malu sendiri.
Aku teringat sesuatu yang pernah dikatakan Enomoto-san sambil melihat-lihat album di rumah Araki-sensei.
"Ini... kayaknya cocok banget sama Hii-chan, ya. Bagus, deh."
Karangan bunga Natal dari bunga matahari itu.
Begitu melihat fotonya, aku langsung yakin: cuma itu yang pas. Enomoto-san juga bilang kelihatan bagus.
Pameran pribadi di musim dingin itu.
Kalau aku ingin merebut kembali lima puluh karya yang pernah kutitipkan ke Himari, sekaranglah waktunya. Dan kalau aku ingin mengangkat aksesoriku ke tingkat yang lebih tinggi melalui perasaanku pada Himari, tidak ada bunga lain yang lebih cocok selain bunga matahari ini.
Saat aku merasakan keyakinan yang makin kuat, Himari muncul dari barisan bunga di seberang dan menghampiriku. Ia menatap bunga matahari itu, lalu berseru kagum, "Wah, keren! Kamu pilih yang ini?"
"Iya. Sebenarnya, aku masih mau lihat beberapa lagi sih. Tapi entah kenapa, aku tertarik banget sama yang ini."
“Hehe. Tadi aku lihat mata kamu langsung berbinar, makanya aku mikir, ‘Oh?’ Tapi ya, ini emang khas Yuu banget.”
“Apa aku ini sejenis monster luar angkasa…?”
Seperti biasa, aku enggak bisa ngerti cara pikirnya Himari.
Kadang, dia malah kelihatan jauh lebih aneh dariku. Tapi ya, itu juga salah satu hal yang bikin Himari menarik.
Saat aku lagi mikir begitu, tiba-tiba Himari berbisik pelan.
“Kayaknya aku lebih cocok dilahirin jadi bunga, deh…”
“…Hah? Maksudnya gimana?”
Waktu aku menoleh, Himari cuma tersenyum cerah seolah berkata, “Hmm? Kenapa emangnya?” Ekspresi santainya bilang jelas-jelas: mending pura-pura enggak dengar aja.
Itu khas Himari banget… tapi entah kenapa, hari ini dia terasa agak beda juga.
Atau mungkin cuma perasaanku aja. Pasti Himari juga lagi tegang menjelang lomba ini.
Aku harus fokus ke aksesori dulu. Kalau aku enggak bisa menang lawan Kureha-san, bisa-bisa hari-hariku bareng Himari juga ikut hilang.
♢♢♢
PoV
Inuzuka Himari
Waktu Yuu memilih bunga matahari pertamanya, dia kelihatan senang banget.
Senyumnya begitu lembut—kayak sedang menyayangi bunga itu dengan penuh kasih. Rasanya seolah dia sedang membayangkan seseorang yang dia suka lewat bunga itu.
Apa mungkin… dia lagi membayangkan wajah bahagia Enocchi?
Ya, masuk akal juga sih. Lagipula, Enocchi sendiri yang bilang kalau bunga matahari itu cocok.
Sebenarnya, Yuu pasti pengin datang ke sini bareng Enocchi hari ini, kan?
Apa mungkin, karena sekarang dia main ke sini sama aku, dia malah merasa kayak selingkuh? Makanya dari tadi pagi sikapnya jadi dingin begitu?
(Katanya, persahabatan antara laki-laki dan perempuan bakal rusak begitu salah satu punya pacar… Duh, kedengarannya masuk akal, dan itu nyebelin.)
Padahal aku udah mutusin buat tetap di posisi sahabat ini… sampai aku berhasil mewujudkan mimpiku.
Aku bakal wujudin impianku, dan bikin Yuu ngakuin kalau aku ini satu-satunya yang enggak tergantikan. Setelah itu, aku bakal rebut Yuu dengan bangga.
Tapi… kalau Yuu beneran jadian sama Enocchi, apa artinya aku harus pamit sebelum sempat membuka tokoku?
(…Eh?)
Sebuah pikiran tiba-tiba melintas di benakku.
Eh, kenapa ya aku masih mikir seolah mereka belum jadian?
Apa jangan-jangan… sebenarnya mereka udah diam-diam pacaran? Makanya akhir-akhir ini mereka sering bareng terus secara sembunyi-sembunyi?
Jangan-jangan, waktu istirahat siang kemarin juga, mereka lagi ngobrol sambil “suap-suapan ♡” begini:
“Enomotocchi… Kayaknya kita udah waktunya ngasih tahu Himaricchi soal hubungan kita, deh?”
“Ih, enggak boleh ♡ Sebelum jujur, kita harus bikin dia lebih geregetan dulu dong ♡”
“Hyuuh, jahat banget~ Emang beneran deh, kamu itu cewek paling licik yang cuma milikku ☆”
“Siapa ya, yang bikin aku jadi cewek kayak gini… hmm? ♡ (nyolek-nyolek ujung hidung Yuu)”
Kalian berdua tuh sebenarnya siapa, sih.
Aku terlalu panik sampai-sampai rasanya kayak nyium aroma khas era awal Heisei. Meski Ibuku doyan banget sama drama sekolah yang penuh idola, bukan berarti dia boleh ikut-ikutan masuk ke dunia khayalan aku juga. Big no, deh.
Tenang, Himari! Tarik napas dalam-dalam! Kamu tuh cewek keren, ingat?
Langkah pertama, tanyain langsung ke Yuu soal hubungannya sama Enocchi. …Tapi, itu mungkin enggak bakal berhasil, ya? Soalnya Yuu sendiri enggak pernah ngomong jujur, makanya aku jadi terus-terusan galau gini.
Eh, tapi masa gitu aja nyerah sih?
Kamu lupa siapa dirimu? Ini aku, si ‘maho no onna’—cewek mematikan yang udah jago banget urusan ngadepin cowok. Ngerayu Yuu sampai dia ngaku sejujurnya? Itu mah semudah sarapan pagi. Tinggal colek dikit pakai jari kelingking, kelar!
Oke deh, saatnya mulai!
“Y-Yuu… aku mau nanya sesuatu, nih… hm?”
Tapi pas aku nyapa Yuu dari belakang, dia enggak bereaksi sama sekali.
Dia masih asyik memilih bunga matahari yang kedua.
Lagi diabaikan? Ya, kelihatannya gitu, tapi ini beda dari biasanya.
Yuu lagi fokus banget sama bunga, sampai-sampai kayak enggak lihat apa pun selain itu. Itu kebiasaan buruknya Yuu... tapi juga bagian dari dirinya yang paling aku suka.
Padahal pas baru sampai ke ladang bunga matahari tadi, dia semangat banget kayak anak kecil. Tapi begitu mulai serius milih bunga, langsung berubah—jadi tenang dan fokus banget. Sampai-sampai dia kayak lupa kalau aku ada di sini dari awal.
Kalau aku muter ke depan Yuu sekarang, pasti bisa lihat lagi mata beningnya yang berbinar-binar itu. Soalnya kalau udah urusan bunga, Yuu tuh selalu total banget. Apa pun yang dia pikirin, semua bakal dikesampingin. Enggak ada yang bisa ganggu.
Aku rasa... bahkan aku atau Enocchi pun enggak bisa ganggu hubungan Yuu sama bunganya.
(...Jadi dari awal, aku memang bukan orang yang paling penting buat Yuu, ya.)
Dulu waktu aku mulai jadi model aksesori Yuu, alasannya cuma satu—aku pengin, walau cuma sebentar, bisa punya sorot mata penuh semangat itu buatku sendiri.
Cemburu sama bunga? Konyol banget, ya.
Tapi di sisi lain, aku juga iri.
Soalnya aku sendiri belum nemu hal yang bisa bikin aku sepenuh hati kayak gitu.
Katanya Kureha-san pernah bilang kalau aku itu cantik karena bakat. Tapi... itu enggak cukup buat jadi orang paling penting buat Yuu. Bisa dibilang, hal itu justru bukan senjataku buat menangin hati dia.
Dan jujur aja, dipuji soal itu tuh... Enggak bikin aku senang sama sekali.
Andai aja aku terlahir jadi bunga.
Aku pengin banget ditatap sama mata penuh gairah milik Yuu, sambil tubuh ini diberi tanda bahwa aku milik dia. Cuma itu aja, dan aku udah bisa hidup bahagia sampai tubuhku layu dan hancur.
Aku lempar suara ke arah punggung Yuu.
“Yuu. Bunga mataharinya, cantik banget ya.”
“…………”
Seperti yang kuduga, suaraku enggak sampai.
“Tahun depan, kita ajak Enocchi juga, ya—”
“…………”
Padahal aku tahu kata-kataku nggak bakal nyampe, tapi aku tetap ngucapinnya. Kata-kata kosong, cuma buat mengisi udara.
Yuu masih membelakangiku, terus memilih bunga matahari dalam diam. Tangannya terulur ke arah bunga yang tinggi. Dia menyentuh bunga itu, mirip orang yang mendongak untuk mencium, sangat lembut.
Mata itu, bersinar terang penuh api.
Padahal dia itu anak pendiam yang pemalu, tapi tiap kali menyentuh bunga, dia kelihatan begitu bersemangat. Dan bertolak belakang dengan itu, sentuhannya tetap lembut.
Sesaat, aku merasa... nggak bisa memaafkan itu.
“...Yuu, aku suka kamu. Bukan bunga, tapi aku... lihat aku aja.”
Aku melemparkan perasaan tulusku—yang aku tahu enggak akan pernah sampai padanya.
Cemburu sama bunga? Kedengarannya konyol, ya?
Tapi bukankah yang aneh justru kalau seseorang enggak kehilangan akal karena cinta pertamanya?
Aku ini cewek yang pengecut.
"Aku cuma bisa bilang perasaanku yang sebenarnya kalau aku tahu itu enggak akan pernah nyampe ke dia.
Aku cuma bisa maju ke medan perang kalau yakin aku bisa menang.
Apakah Dewi Kemenangan benar-benar akan tersenyum pada cewek pengecut kayak aku?
(Yah, sudahlah. Mending aku istirahat aja di tempat peristirahatan yang di sana, deh...)
Aku menghela napas kecil, lalu berbalik.
“H-Himari...?”
Itu suara Yuu.
Begitu aku menoleh, mata kami saling bertemu. Posisi tubuhnya seperti sedang menyelaraskan bunga matahari yang dipegangnya dengan sosokku. Sekilas, dia tampak seperti pelukis yang sedang mengarahkan pensil ke arah model untuk menggambar sketsa.
Tapi entah sejak kapan, sorot penuh semangat dari matanya menghilang, dan kini ia menatapku dengan pandangan kosong dan terdiam.
"…………"
"…………"
Hah?
Butuh waktu sedikit untuk bisa memahami situasi ini. Selama beberapa detik itu, kami hanya saling menatap tanpa sepatah kata pun.
Yuu sedang menatapku. Oke. Sampai sini masih bisa dimengerti.
Tapi aku enggak bisa nerima begitu aja. Soalnya kalau Yuu udah tenggelam dalam dunia bunganya, dia enggak bakal balas ngomong walau apa pun yang terjadi. Bahkan waktu di ruang praktik IPA di sekolah, aku pernah sampai mecahin vas bunga di sebelahnya pun dia enggak nyadar, lho?
Tapi sekarang, Yuu justru sedang menatapku.
Dan wajahnya... merah padam kayak apel matang.
"…………"
Jantungku berdetak makin kencang, bak-buk, bak-buk, bak-buk. Buat memastikan kebenaran dari semua ini, aku memilih kata yang paling aman buat diucapkan.
"Yuu. Jangan-jangan... kamu dengar yang barusan?"
Saat aku bertanya begitu, Yuu langsung memalingkan wajahnya dengan canggung.
"Waktu aku lagi mau ngecek apakah bunga ini cocok dengan image kamu... aku dengar, sedikit aja."
Bunga matahari yang ia peluk erat di lengannya seperti sedang menatapku lekat-lekat.
Dalam hati, aku langsung menutupi wajahku pakai kedua tangan dan menjerit sekuat tenaga.
Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh!!
Tenang, tenang dulu.
Barusan dia bilang cuma sedikit yang dia dengar, kan? Jadi artinya... dia enggak dengar semuanya?
Terus, bagian mana yang kedengeran, dong? Yang “suka”? Atau yang “lihat aku aja, bukan bunganya”? Dua-duanya gawat banget, tahu!
Gimana ini, gimanaaa!?
Masa sih, dia beneran dengar? Eh, tapi kenapa justru momen itu yang dia dengar, sih!? Aneh banget, kan? Dewi keberuntungan, kamu benci aku, ya!? Ya udah sih, kalau aku jadi kamu juga, aku enggak bakal ngebiarin diriku menang, tapi tetep ajaaa!
Waktu aku lagi panik sendiri begitu, tiba-tiba Yuu menghela napas.
“...Haa. Himari, bisa enggak sih kamu berhenti becanda kayak gitu di saat-saat beginian?”
“Eh?”
Yuu, sambil berusaha menutupi wajah merahnya, menggaruk kepala dengan kesal.
“Sekarang aku lagi milih bunga buat lawan tanding sama Kureha-san, kan? Kalau di kereta atau tempat santai sih masih oke, tapi sekarang tuh bukan waktunya buat digangguin pake candaan kayak gitu, tahu.”
“…………”
Sakit. Dada ini rasanya sesak dan nyeri.
Aku bisa dengar suara retakan yang membelah hatiku.
Apa-apaan sih itu?
Apa-apaan sih itu??
Ujung-ujungnya, bakal jadi kayak gini juga?
Meski aku udah sungguh-sungguh ngulurin tangan, perasaan ini tetep enggak bakal sampai juga?
Padahal aku udah berusaha sekuat tenaga buat buka toko bareng kita… tapi ujung-ujungnya, semuanya bakal diambil sama Enocchi?
Kalau gitu, selama ini aku capek-capek berjuang tuh buat apa?
Hidupku ini tuh buat apa, sih?
Apa nilai diriku memang cuma segitu doang?
Ya, emang sih, ini semua salahku, tapiiiiiiiiiiiiii!!
Tanpa pikir panjang, aku langsung merebut bunga matahari yang lagi dipeluk sama Yuu.
“Ah, Himari!?”
Aku berbalik dan mulai berlari di antara ladang bunga matahari.
Bahkan aku sendiri enggak tahu lagi apa yang sedang kulakukan. Kepalaku rasanya mendidih dan berputar-putar, seperti akan meledak. Mungkin ini gara-gara heatstroke? Tapi aku ‘kan udah pakai topi… Harusnya tadi lebih banyak minum air. Hal-hal enggak penting kayak gitu justru terus berputar di kepalaku.
“Himari, tunggu!”
Yuu mengejarku. Ngomong-ngomong, waktu kita pertama kali bertengkar hebat bulan Mei lalu, kita juga sempat kejar-kejaran kayak gini, ya? Tapi waktu itu… kenapa aku lari, sih…?
Aku terus berlari, menyusuri celah di antara bunga-bunga matahari. Yuu yang tinggi badannya jauh di atasku, jadi harus membungkuk supaya bisa lewat. Karena itu, kali ini dia susah nyusul aku.
(Aduh! Aku harus gimana ini!?)
Pandangan mataku mulai berkunang-kunang. Kontras warna kuning dan hijau bunga matahari rasanya bikin semua indraku tumpul. Ini pasti mimpi. Begitu aku bangun nanti, aku bakal tidur di ranjang yang empuk, bangun lima menit sebelum alarm berbunyi, lalu ngaca sambil mikir “hari ini aku juga imut banget, deh!” sambil pasang muka bangga, terus bersiap buat pergi ke ladang bunga matahari bareng Yuu.
Ternyata mimpi yang bisa nebak masa depan tuh beneran ada, ya. Mantap. Kalau begini, aku bisa tetap pasang aksi sahabat yang sempurna. Enggak akan pernah lagi aku bilang suka. Napas aku sesak banget. Rasanya mau mati. Ini… beneran mimpi? Kakiku mulai lemas. Otakku kekurangan oksigen. Aaaarggh, kenapa sih semuanya nyebelin banget! Aku yang enggak bisa ngelakuin apa pun dengan baik, Yuu yang jelas-jelas enggak suka sama aku—semuanya nyebelin! Nyebelin nyebelin nyebelin!!
(…Ah, ini batasnya.)
Kepalaku kosong total, dan akhirnya aku berhenti.
Baru kusadari suaranya terdengar makin jauh, jadi aku menoleh ke belakang. Tapi Yuu yang tadi mengejarku, sudah enggak kelihatan lagi. Rupanya, dia menyerah di tengah jalan. Haha… hebat juga, ya, aku ini…
Aku menengadah, seakan berharap bisa mendapat oksigen dari langit.
Di sekelilingku, hamparan bunga matahari berdiri tegak. Rasanya seperti semuanya sedang menatapku lekat-lekat. Tiba-tiba aku teringat cerita bohong yang aku buat waktu kita di kafe beberapa waktu lalu.
Saat itu, aku dan Yuu seolah-olah menghilang dari dunia, tersembunyi di balik tirai bunga matahari.
Dari kejauhan, terdengar suara Yuu.
“Himari, kamu di mana!?”
Di sini, cuma ada kita berdua.
Kalau sekarang… mungkin suaraku akan sampai padanya.
“Yuu, aku di sini.”
Bisikku pelan.
Mustahil suaraku bisa terdengar.
Enggak mungkin suara sekecil ini bisa ditemukan.
"…………"
Suasana jadi hening.
Suara Yuu yang tadi terdengar jelas… sekarang sudah menghilang entah ke mana. Mungkin dia sedang mencari ke arah lain.
Tuh, kan. Memang enggak bisa.
Sekalipun dunia berakhir, dan cuma kita berdua yang tersisa…
Yuu pasti tetap bakal bilang kalau aku cuma sahabatnya. Dan suaraku enggak akan pernah sampai padanya. Sepertinya, memang begitu takdir yang diberikan pada kita sejak awal.
(...Hah?)
Padahal harusnya begitu. Tapi—bunga matahari di sampingku bergoyang.
Namun sesaat kemudian, Yuu tiba-tiba muncul dari balik bunga matahari dengan wajah panik.
“Himari, kamu di sini!”
Dia penuh lumpur. Tubuhnya basah oleh keringat, bajunya kotor, dan wajahnya… kelihatan kayak mau nangis. Sumpah, bikin ketawa banget.
Padahal dia sama sekali enggak kelihatan keren, tapi entah kenapa… dadaku jadi sesak.
“Himari. Kamu tuh… harusnya ngomong lebih keras, biar aku bisa… eh?”
Aku menarik kerah jaket hoodie Yuu dan menyeretnya mendekat.
Wajah Yuu makin dekat. Dan bayangan diriku yang terlihat di matanya—pipi memerah, mata berkaca-kaca, nafas hangat—benar-benar kayak cewek yang lagi jatuh cinta.
“H-Himari? Kamu mau ngapain?”
Mau ngapain, katanya?
Ya, kayak gini.
Supaya dia enggak bisa lagi anggap semua ini cuma lelucon, aku bakal meninggalkan bekas yang enggak bisa dihapus di dalam dirinya.
Perlahan, aku melepas choker dari leherku. Lalu, aku menyelipkannya ke tangan Yuu.
Aku enggak butuh lagi cincin ‘sahabat’ itu.
Hal terakhir yang tertangkap di mataku adalah warna kuning cerah dari bunga matahari.
Dikelilingi oleh bunga-bunga yang hanya diam menatap kami…
──aku pun mencium Yuu.
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Setelah itu, jujur saja, ingatanku agak kabur.
Seolah ada sebagian memori yang hangus terbakar, dan aku baru sadar kembali saat tiba di sekolah yang sepi selama libur musim panas.
Yang pasti, aku dan Himari pulang sambil membawa bunga matahari dan oleh-oleh berupa gyoza beku. Dan entah sejak kapan, choker Himari yang bermotif bunga anemon Jepang sudah ada dalam genggamanku.
Sekarang, aku sendirian di ruang laboratorium IPA sekolah, langsung mulai menangani bunga matahari itu. Memang sebaiknya bunga diproses selagi masih segar.
Tanganku bekerja tanpa henti.
Ini adalah peralatan terbesar yang pernah kupakai, sudah lama tidak kugunakan. Setelah melewati berbagai tahap, akhirnya aku mengisi wadah dengan larutan khusus dan merendam bunga matahari itu.
Tanpa kusadari, matahari di luar jendela mulai condong ke barat.
Sejak pagi aku pergi jauh, kembali lagi, dan menyelesaikan tahap pertama pemrosesan bunga.
Sungguh hari yang begitu padat. Rasanya, dalam sehari ini saja sudah seperti mengalami peristiwa selama seminggu. Aku berhasil mendapatkan bunga matahari terbaik, memutuskan motif aksesori yang akan kubuat, membeli oleh-oleh gyoza untuk Saku-neesan, dan... untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mencium seorang gadis.
“…………”
Aku berjalan ke pojok ruang laboratorium IPA, lalu duduk bersila seperti anak SD.
Dengan kedua tangan menutupi wajahku, aku menjerit sekuat-kuatnya.
“Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!”
Kenapa, kenapa, kenapa!?
Kenapa Himari bisa ngelakuin hal kayak gitu!?
Saking enggak masuk akalnya, perasaanku kayak ditinggal jauh di belakang! Kalau dipikir-pikir lagi… enggak, bahkan tanpa dipikir pun, itu udah jelas gawat banget, kan!?
(Hah? Maksudnya apa? Jadi kayak gitu!? Tapi kayak gimana emangnya!?)
Kepalaku penuh dengan pikiran yang berputar-putar, dan aku benar-benar enggak bisa tenang.
Aku membuka lemari baja di bagian belakang ruang IPA, lalu mengambil planter LED yang berjajar di dalamnya. Alat ini luar biasa, karena bisa dipakai buat menanam tanaman di dalam ruangan. Waktu itu, Himari bukan cuma menanam benih dan umbi di taman bunga, tapi juga di sini. Aku menyusun pot kecil yang sudah mulai bertunas itu di atas meja panjang untuk enam orang, lalu duduk di hadapannya.
“Rapat darurat dimulai.”
Aku menatap para bunga dan menyatakan dengan tegas.
Tsumugi (Cosmos) bertanya, “Apa topik rapatnya?” …yah, kira-kira begitu.
“U-uh, tentang alasan… kenapa Himari tiba-tiba… nyium aku…”
Mio (Colchicum) menyahut dengan nada menantang, “Jawabannya udah jelas, kan? Masa kamu bahkan enggak ngerti hal kayak gitu?”
Ya, secara logika sih aku ngerti maksudnya. Himari memang sering pacaran sama cowok, tapi dia orangnya cukup dingin soal begituan. Bukan tipe yang asal cium siapa aja. Jadi, kalau dia nyium aku… maksudnya emang kayak gitu…?
Hinako (Cyclamen) berkata pelan, “Tapi kan ini Himari-chan… Gimana kalau kamu terlalu cepat narik kesimpulan? Bisa bahaya, lho…”
Iya, benar banget. Aku sepenuhnya setuju.
Selama itu Himari, aku harus tetap waspada terhadap kemungkinan "puhhaa~!" ala dia. Jangan-jangan ini semua cuma jebakan biar aku ke-GR-an. Kalau aku malah langsung nembak dia terus situasinya jadi enggak bisa dibalikin lagi, aku pasti nyesel setengah mati.
Kaoru (Saffron) ketawa keras dan bilang, “Ya sudahlah, santai aja. Dia yang mulai duluan, kan? Ayo jadiin dia sahabat yang… ehem, lebih intim~!”
Itu enggak bisa! Dan apa maksudnya ‘sahabat yang lebih intim’!?
“…Aku bodoh banget, ya, sampai sempet mikir bisa minta saran dari kalian…”
Bunga-bunga itu mendengus kesal, seolah protes. Ah, maaf. Aku jadi kelepasan ngomong sesuatu yang enggak aku maksud. Nanti aku siram kok… jadi maafin ya…
Saat aku sibuk menyiram tanaman, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
“Wah, Natsu. Seru banget ya ngomong sama bunga sendirian?”
“…Oh, kamu toh, Makishima.”
Saat aku menoleh, kulihat Makishima masih mengenakan seragam sekolahnya, bersandar di ambang jendela.
Dia mengipas dirinya dengan kipas lipat sambil berkata, “Huuuh. Adem banget di sini, ya. Kayak di surga.”
“Latihan klub hari ini udah selesai?”
“Iya. Tinggal dua mingguan lagi sebelum turnamen utama. Tapi hasil latihannya belum sesuai harapan.”
“Jarang banget kamu ngomong kayak gitu, Makishima.”
“Bukan soal aku, kok. Ini tentang kakak kelasku. Kami bakal ikut turnamen individu berdua, tapi… dia malah kelihatan nggak semangat sama sekali. Padahal ini turnamen terakhirnya.”
Ngomong-ngomong, katanya tahun ini hanya Makishima dan mantan ketua klub yang lolos ke tingkat nasional.
Makishima menutup kipas lipatnya lalu menggaruk leher dengan ujungnya.
“Katanya sih, dia ngerasa bersalah karena enggak bisa lolos bareng teman-teman seangkatannya. Dia doang yang kepilih buat ikut tanding, sedangkan yang lain enggak. Kalau dipikir positif, dia orangnya baik. Tapi kalau negatifnya, ya… dia kurang punya jiwa bersaing.”
“Yah, kayaknya itu bukan masalah buatmu, kan?”
“Ahaha, jangan gitu dong. Aku enggak sedingin itu, kok. Aku bahkan mikir, kalau nanti ketemu senpai itu di babak nasional, aku bakal sedikit ngalah. Tapi ya, kalau dia serius, aku sih pasti kalah total.”
“Heh. Emangnya dia sekuat itu?”
“Dia itu sebenarnya dulu udah ditawarin sama sekolah unggulan di luar daerah. Tapi dia milih nolak, cuma gara-gara pengin nikmatin masa muda bareng temen-temennya. Gila, ya?”
Makishima tertawa renyah dan berkata, “Tapi ya, aku sih enggak benci sama orang kayak gitu,” sambil melangkahi jendela dan masuk ke ruang laboratorium. …Eh, padahal pintunya kebuka, tinggal masuk lewat situ aja, kan?
Makishima mendekati meja, lalu melihat bunga matahari yang sedang diproses dalam alat dan berseru kagum.
“Wah, ini mewah banget. Apaan nih? Buat dijual?”
“Kamu udah dengar dari Kureha-san, kan?”
“Oh begitu. Jadi soal itu, ya. Tapi aku enggak tau, lho. Emangnya ada apa?”
“…………?”
Aku memiringkan kepala, bingung.
Pembicaraan ini rasanya agak enggak nyambung.
“Kamu sama Kureha-san kerja sama di belakang layar, kan?”
“…………”
Entah kenapa, Makishima langsung menunjukkan ekspresi males.
Dia membuka kipasnya, lalu menutup mulut dengan itu. Tatapannya dialihkan dari aku, dan dia bergumam pelan.
“Kali ini, aku enggak ngelakuin apa-apa.”
"Begitu, ya?"
Sedikit di luar dugaan.
Soalnya nama Makishima sempat disebut-sebut, jadi kupikir dia pasti yang menarik-narik benang di belakang layar. Tapi Makishima yang sepertinya bisa membaca pikiranku, malah mendecak lidahnya dengan kesal.
"Aku memang sempat coba kerja sama, tapi ujung-ujungnya cuma diperas infonya dan ditendang begitu saja. Cara dia itu lebih cocok jalan sendiri. Mungkin menurutnya, teman cuma jadi beban."
"Caranya Kureha-san, maksudmu...?"
"Semena-mena dan main pukul pakai uang."
"Ah…"
Iya, benar banget sih…
Memang beda jenis dari aura menyeramkannya Saku-neesan dan Hibari-san, tapi penjelasan barusan baru benar-benar bikin aku bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
“Aku memang sempat sok keren di depan Himari-chan, tapi kenyataannya aku cuma figuran doang. Lagian aku juga harus fokus buat turnamen nasional, jadi ya... bisa dibilang ini malah menguntungkan juga sih…”
Ia tertawa dengan nada seperti menyindir diri sendiri, “Nahahaha.”
Aku sempat berpikir sejenak. Jujur saja, aku sudah menyerah karena kupikir Makishima ada di pihak sana. Tapi kalau ternyata tidak, ceritanya jadi berbeda.
“Makishima. Kalau ternyata kamu enggak terlibat, mau bantu yakinin Kureha-san buat nyerahin Himari…”
“Itu enggak bisa kulakukan.”
Ia menjawab dengan tegas.
Sepertinya, jawaban itu sudah ia perkirakan. Saat aku menatapnya dengan kesal, ia malah tersenyum lebar seolah sedang menikmati situasinya.
“Yah, ya. Dari sudut pandangku, lebih baik kalau Himari pindah ke Tokyo. Itu bakal membantu buat nyatuin Enomoto-san dan kamu.”
“Itu memang salah satunya. Tapi kali ini, sebenarnya bukan karena itu.”
“Maksudmu apa?”
Makishima hanya mengangkat bahu.
"Itu karena aku lemah kalau soal cinta. Aku tidak akan bisa menjadi musuh Kureha-san."
"…………"
Untuk beberapa saat, hanya suara dengungan AC yang memenuhi ruang laboratorium IPA. Dari luar jendela, terdengar suara riuh gadis-gadis yang pulang dari kegiatan ekstrakurikuler, terdengar menyenangkan.
"Eh!?"
"Yah, jangan kaget begitu. Aku juga punya cewek yang benar-benar aku suka, tahu."
Bukan itu maksudnya!
Dengan perasaan sedikit bersalah, aku memalingkan pandangan dari Makishima dan berkata:
"Kupikir kamu suka sama Enomoto-san..."
"Kenapa bisa begitu? Aku kan udah bilang mau dukung cinta Rin-chan."
"Maksudku, semacam... kamu suka sama dia tapi memilih mundur, dan demi bisa move on kamu dukung cintanya. Perasaan yang rumit gitu, lah?"
Makishima mencibir sambil tertawa kecil.
"Natsu, ya ampun. Ternyata otakmu dipenuhi cinta juga, ya? Belakangan ini, bahkan di manga shoujo pun udah jarang adegan yang kayak gitu."
"Bawel! Kalau dia sampai segitunya ngejar, ya wajar dong aku mikir gitu!"
Makishima tertawa terbahak-bahak, seolah menikmati kekesalanku.
Lalu, dia mulai menepuk-nepukkan kipas lipatnya ke tangan.
"Utangku ke Rin-chan bukan soal cinta. Dan kamu enggak perlu tahu soal itu."
"Yah... aku juga enggak kepengin tahu-tahu amat sih..."
"Kalau sampai tahu, bisa-bisa pandanganmu ke Rin-chan langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Makanya, yang satu ini enggak bisa sembarangan aku ceritain."
"Kamu tuh sebenarnya mau cerita atau enggak, sih!? Jelasin yang benar!"
Kalau ngomong kayak gitu, ya jelas aku jadi makin penasaran, dong!
Apa begini rasanya jadi pria dalam kisah 'Kembalinya Sang Bangau' waktu ia mengintip? Saat aku terkulai lemas karena jengkel, nada suara Makishima berubah.
"Nah, Natsu. Gimana denganmu?"
"Hah? Maksudmu apa?"
"Udah lah, jangan pura-pura bodoh. Abis dengar cerita memalukanku, masa kamu enggak cerita balik? Teman macam apa kamu ini?"
"Hei, jangan bersikap seolah-olah aku yang memaksa mendengarkan ceritamu, padahal kamu sendiri yang tiba-tiba mengoceh begitu saja…"
Tiba-tiba dia merangkul bahuku. Eh, apa-apaan sih ini? Kok tiba-tiba deket banget? Aku enggak terlalu suka dielus-elus sama cowok, tahu!
Padahal cuma berdua di ruangan itu, tapi Makishima membuka kipas lipatnya dan berbisik di dekat telingaku.
"Jadi, ciuman sama Himari-chan itu maksudnya gimana, hah?"
"Bffuah!?"
Aku langsung menyemburkan napasku.
Tanpa sadar aku jatuh terduduk, lalu merangkak menjauh seperti laba-laba, berusaha kabur. Punggungku terbentur rak baja dengan keras, membuat peralatan di dalamnya berguncang dan berderak.
“A-Apa aku ngomong sejauh itu tadi?”
“Dengan jelas sekali, malah. Mulai sekarang, sebaiknya kamu lebih waspada saat berbicara dengan bunga-bunga itu.”
Makishima terkekeh, “Fufufufu,” sambil menepuk-nepuk kipas lipatnya dengan riang dan mendekat perlahan.
Ujung kipasnya diarahkan tepat ke ujung hidungku, membuat bulu kudukku meremang.
“Jadi? Kamu udah nembak dia?”
“Enggak, nggak sampai segitunya… Hari ini kami pergi bareng buat ambil bunga matahari… awalnya kupikir kenapa dia terus ngomongin Enomoto-san, tapi tiba-tiba dia…”
“Oh ho~?”
Aduh, mata Makishima berbinar terang banget sekarang.
Ini… sepertinya topik yang seharusnya nggak aku bahas. Tapi ya… baru sadar sekarang pun udah terlambat.
Makishima tiba-tiba membuka kipasnya lebar-lebar. Setelah mengambil pose aneh, ia tertawa terbahak-bahak dengan gaya yang benar-benar penuh kepuasan.
“Nahahahaha! Ini luar biasa! Kupikir aku takkan dapat giliran selama Kureha-san masih di sini, tapi ternyata semuanya mulai jadi menarik sekarang. Dalam setiap perubahan, selalu ada celah yang bisa dimanfaatkan!”
“Kamu kelihatan hidup banget, ya…”
Oh, jadi beginilah yang dimaksud dengan ‘seperti ikan kembali ke air’, ya…
“Eh, Makishima… sejujurnya, menurutmu Himari itu gimana, sih, pandangannya soal aku…”
“Mana kutahu. Kamu juga bukan anak kecil yang ngompol lagi, pikirkan sendiri.”
“Kejam amat, sih!?”
Makishima-kun, kamu ini… temanku juga kan, ya?
Saat aku hampir menangis, Makishima menghela napas panjang, tampak malas meladeni. Ujung kipasnya ia sentuhkan ke dadaku sebelah kiri, lalu tersenyum mengejek.
"Bagaimanapun juga, kamu bukan tipe orang yang cukup pandai untuk kembali pura-pura jadi sahabat saja dengan Himari-chan, kan? Jadi, bukankah memikirkan perasaannya yang sebenarnya itu percuma?"
"…………"
Itu memang argumen yang masuk akal… atau lebih tepatnya, kata-kata yang selama ini diam-diam ingin kudengar, dan dia bisa mengucapkannya dengan sangat mudah. Itulah Makishima.
Benar juga. Mungkin sebenarnya aku memang tidak terlalu peduli apa maksud sebenarnya Himari. Yang aku inginkan hanyalah seseorang yang mau mendorongku maju.
“Makishima. Makasih, ya.”
“Tak perlu berterima kasih. Toh pada akhirnya, kamu pasti akan marah besar kepadaku.”
“...Uhm, tolong beneran jangan keterlaluan, ya?”
Candaan macam begitu dari dia tuh, bener-bener susah ditebak. …Atau jangan-jangan dia serius? Aku juga udah nggak tahu. Terserah deh, bodo amat.
Setelah Makishima berkata, “Sampai ketemu,” dan meninggalkan ruangan, aku sendirian merenung di ruang laboratorium IPA.
Tapi ya, yang paling penting sekarang adalah menghadapi pertarunganku dengan Kureha-san. Kalau aku kalah di sana, ujung-ujungnya aku tetap bisa kehilangan Himari.
Yang bisa kulakukan sekarang cuma satu—melakukan hal seperti biasa.
Aku cuma perlu membuat aksesori terbaik. Hanya itu.
♢♢♢
PoV
Inuzuka Himari
Gyoza buatan keluarga Mawatari yang terkenal bahkan di kampung halamanku!
Ciri khasnya tentu saja kulitnya yang agak tebal dan kenyal. Kalau dipanggang sampai garing, kamu bisa menikmati kombinasi luar biasa antara renyah dan kenyal yang benar-benar memanjakan lidah. Isian di dalamnya juga juicy banget dan rasanya luar biasa. Aku juga suka!
Ayo, mochi-mochi. Mochi-mochi. Mochi-mochi. Mochi-mochi... mochi-mochi... mochi... chi... mochi... chi... mochi... chi... mo...
“...Himari?”
“Uheh?”
Ibu menatapku dengan wajah khawatir.
Ibuku adalah sosok cool beauty dengan darah Barat yang lebih kental dibanding aku. Padahal usianya sudah mendekati lima puluh, tapi kalau bilang dia masih di awal usia tiga puluhan pun orang pasti percaya—benar-benar ibu rumah tangga dengan tampilan paling awet muda.
Dan kini, Ibuku menatapku seolah sedang melihat sesuatu yang menyeramkan, lalu berkata padaku:
“...Kamu udah ngabisin semua gyoza buat kakakmu, tahu?”
“Uheh?”
Eh, enggak, enggak, enggak mungkinlah.
Mungkin kalian semua belum tahu, tapi di sekitar rumah, aku itu sering dibilang kayak peri, lho. Masa sih gadis secantik aku sampai habis-habiskan gyoza satu keluarga? Itu udah enggak sesuai aturan keluarga harmonis, kan... Eh, astaga! Gyoza yang tadi numpuk kayak gunung udah enggak ada!?
Semuanya masuk ke perut aku!? Enggak mungkin, kan!? Tapi sumpah, di ujung sumpit yang aku pegang sekarang ada satu gyoza terakhir. Ibu memelototiku, seolah berkata lewat tatapannya, “Kalau kamu makan itu, kakakmu bakal marah, lho?”
Dan aku—langsung suap. Kulitnya kenyal, terus pas digigit, juicy banget, dagingnya meledak di mulut. Gyoza emang paling top.
“Uheh!”
Sebagai tanda ‘makasih untuk makanannya’, aku pun berdiri.
Baru aja mau jalan keluar dari dapur, aku langsung kepleset jatuh sejadi-jadinya. Ibuku yang ada di belakangku cuma bisa berdiri terpaku dengan ekspresi syok. Aku langsung kabur, merangkak kayak hewan berkaki empat, masuk kamar sambil panik.
Begitu sampai di kamar, aku langsung loncat ke tempat tidur.
Aku berguling-guling ke kiri dan ke kanan.
Sambil menatap langit-langit dengan serat kayu yang indah, aku perlahan menyentuh bibirku. Leherku yang sekarang nggak ada chokernya terasa adem dan kosong.
"……Uheh"
Aku benar-benar sudah melakukannya.
Aku beneran sudah melakukannya……
A-ku b-e-n-e-r-a-n s-u-d-a-h m-e-l-a-k-u-k-a-n-n-y-a!
Aku tengkurap, lalu menenggelamkan wajah ke bantal dengan bunyi boff.
"Uheeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee!!"
Ini bukan mimpi!
Bukan mimpi dan jelas bukan cuma candaan!
Kenapa sih!?
Kenapa sih aku enggak bisa nahan diri!?
Soalnya yang salah tuh Yuu sendiri! Padahal kita lagi jalan berdua, tapi dia malah terus-terusan mikirin Enocchi. Padahal yang ada di depannya hari ini tuh, aku!
Mataku sekilas menangkap layar ponsel.
Ah, ada notifikasi Line! Dari Yuu... eh, ternyata bukan! Harusnya dia ngirimin aku pesan dong~! Sekarang tuh bukan waktunya info stiker baru, tahu enggak sih~~!
Tapi ya, mana bisa aku yang mulai duluan...
Aku harus ngirim pesan dengan muka kayak gimana, coba~? Lagian, aku harus ngirim apa~? "Menurut kamu, yang lebih kenyal bibirku atau kulit gyoza?" — Ya ampun, tolol banget! Emang ada ya, siswi SMA di dunia ini yang ngebandingin bibirnya sama kulit gyoza!?
Dari balik pintu, Ibuku tiba-tiba membentak, “Himari, jangan ribut!”
Aku langsung menciut dan diam.
Tapi perasaanku masih berkecamuk, enggak tenang sama sekali.
(…Aku pasti dibenci.)
Ya jelas lah. Udah tahu dia suka cewek lain, tapi aku malah nyium dan maksa kayak gitu. Aku benar-benar pecundang. Enggak punya harga diri banget.
Ditambah lagi, masalah duel lawan Kureha-san juga gawat banget.
Gimana, dong. Kayaknya kondisi mentalnya Yuu sedang kacau. Kenapa sih aku harus bikin masalah kayak gitu sebelum duel lawan Kureha-san…?
Kalau sampai ketahuan sama kakak, bisa-bisa aku dibunuh. Eh, ya sudahlah. Mending mati aja sekalian. Aku mau menghembuskan napas terakhir di momen paling indah dalam hidup ini. Lalu dunia akan meratapi kematian gadis tercantik sejagat raya, yaitu aku. Kisah hidupku pun dijadikan novel autobiografi yang langsung meledak dan jadi fenomena sosial. Bahkan diangkat jadi film dan meraup untung besar-besaran. Tapi sayangnya, mereka gagal nemuin aktris yang secantik aku buat peran utamanya. Yah, mau gimana lagi. Soalnya emang enggak ada makhluk yang lebih cantik dari aku di seluruh dunia, puahahahaha!
...Bukan waktunya ngelantur kayak gini.
Baru aja aku nyadar begitu, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar.
“Himari? Kamu bangun?”
“Uheaaaah!?”
Gawat—ngomongin orangnya, langsung muncul!
Hari ini dia pulangnya cepat banget! Aku belum siap mental sama sekali!
Pasti Ibu bilang ke dia kalau sikapku aneh hari ini, makanya dia datang buat ngecek. Panik panik panik. Tapi... kalau aku bisa bersikap tenang—ya enggak mungkinlah bisa ngebohongin Onii-chan!
(Kalau sudah begini... kabur aja!)
Aku langsung bangkit dari tempat tidur, mengambil ponsel dan dompet, lalu meraih jendela kamar.
Untuk malam ini... aku harus bersembunyi di suatu tempat... tapi di mana? Rumahnya Yuu jelas bukan pilihan! Rumah Enocchi... ya ampun, ngapain juga ke sana, dasar bodoh!
Ah sudahlah! Pokoknya kabur dulu aja ke McD atau yang semacam itu...
Begitu kupikirkan, aku langsung membuka jendela dengan cepat.
“Himari. Mau ke mana, hah?”
“Uheeeeeeeeeeeeeeeh!?”
Kenapa Onii-chan ada di luar jendela sih!?
Enggak mungkin! Barusan dia kan manggil dari balik pintu!?
Aku terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di lantai kamar. Kakakku tersenyum lembut dan melangkah masuk… Eh, masuknya lewat pintu dong, minimal!
“Himari, ada apa?”
“U-uhueeh…”
“Begitu ya. Saat sedang memetik bunga matahari hari ini, kamu kesal karena sikap Yuu-kun yang enggak jelas, lalu kamu jadi emosi dan secara impulsif menciumnya. Dan kamu pikir aku bakal marah?”
Kok bisa tahu sih!?
Onii-chan enggak ngikutin kita seharian ini, kan!?
Atau jangan-jangan… ini akhir segalanya. Udah ketahuan sama Onii-chan, berarti nasibku tamat. Bukan cuma enggak bisa bantuin Yuu bikin aksesori, aku malah bikin masalah baru. Pasti aku bakal dicopot dari posisi partner bisnis Yuu, terus dibungkus rapi dan dikirim ke rumah Kureha-san sebagai permintaan maaf…
Saat aku gemetaran nunggu vonis dijatuhkan, Onii-chan cuma pasang wajah serius, berpikir dalam diam. Lalu dia bergumam pelan, “Hmm…”
“Yah, yang sudah terjadi enggak bisa diubah. Saatnya kita beralih ke langkah berikutnya.”
“...Uheh?”
Mendengar “keputusan bebas” yang keluar begitu enteng, aku sampai melongo, mataku berkedip-kedip enggak percaya.
Onii-chan menoleh dengan kepala sedikit miring, tampak bingung.
“Kenapa?”
“U-uhee…”
“Hahaha. Tentu saja tidak. Justru kamu harus dipuji karena sudah jujur menyampaikan perasaanmu. Yah, memang sih, caranya agak terlalu memaksa.”
“Uhee…?”
…Kenapa, sih? Enggak masuk akal.
Eh, tapi… Onii-chan kelihatan lagi seneng banget. Apa hari ini ada kabar bagus dari kerjaan?
Ia menyeringai lebar, gigi putihnya sampai berkilat cling.
“Lagipula, kalau kamu ditolak, aku tinggal ambil alih tugas itu tanpa beban sedikit pun. Sama sekali enggak ada masalah, kan!”
“Uheeeh…”
Benar juga. Memang begitulah orang ini.
Onii-chan menepuk bahuku, lalu berkata dengan lembut,
“Selain itu, sebuah karya cipta adalah cerminan dari kehidupan si kreator. Jadi, kalau Yuu-kun mendapatkan pengalaman baru, dalam jangka panjang itu akan menjadi sesuatu yang baik.”
“U-uhhee…”
Setelah berkata begitu, kali ini ia keluar dari kamar lewat pintu.
“Baiklah, aku juga mau ambil makan malam. Dari tadi aroma gyoza-nya bikin perutku enggak tahan. Hahaha!”
Aku hanya bisa mengantar kepergian Onii-chan yang tertawa dengan riang sambil menempelkan tubuhku ke lantai.
Syukurlah… Sepertinya aku selamat?
Hidup itu indah. Serius, luar biasa bisa tetap hidup. Mana bisa mati di usia segini, coba. Sekalipun filmnya nanti laris manis dan raup untung gede, percuma kalau akunya enggak bisa ikut nikmatin, kan!
Pokoknya, kalau begitu keadaannya… saatnya menyusun rencana. Soalnya gimana pun juga, tetap aja… ketemu Yuu dalam waktu dekat ini bakal super canggung banget!
Aku menguatkan tekad, lalu menyalakan laptop di meja belajarku. Hmm. Pertama-tama, aku harus cari tahu dulu kabar Yuu secara halus, terus kemudian… hmm～～～～？
Aku menoleh ke arah pintu tempat Onii-chan tadi keluar.
Sepertinya aku lagi ngelupain sesuatu… ah, gyoza.
Refleks, aku menjejakkan kaki ke jendela yang masih terbuka. Kabur. Naluri bertahan hidupku ngasih sinyal bahaya. Tapi sebenarnya, aku tahu betul. Nggak mungkin bisa kabur dari kakakku.
Dan tepat saat aku menyadari hal itu—pintu kamar di belakangku kembali terbuka ☆
♣♣♣
PoV
Natsume Yuu
Hari setelah pengambilan bunga matahari.
Aku sendirian, melanjutkan pekerjaan di laboratorium IPA.
Aku memperhatikan bunga matahari yang direndam dalam etanol. Keadaannya… jujur saja, aku enggak tahu.
Rasanya sudah cukup, tapi juga terasa belum. Argh, aku benar-benar enggak tahu! Atau lebih tepatnya, sejak kemarin wajah Himari terus muncul di pikiranku, jadi aku enggak bisa konsentrasi.
Mau kirim LINE pun rasanya canggung banget, dan dari dia juga enggak ada kabar sama sekali. Meskipun aku coba meyakinkan diri kalau respons dari Himari enggak penting, tetap aja aku bukan tipe yang bisa langsung bersikap cuek begitu.
Enggak, aku harus fokus. Fokus! Semangat, Yuu. Kamu pasti bisa…!
“Yuu-kun. Halo.”
“Uwah!?”
Ternyata Enomoto-san.
Dia muncul begitu saja di depanku dan menatap lurus dari jarak dekat. Imut banget, sih.
“Eh, Enomoto-san, halo. Gimana dengan kegiatan klub musikmu?”
“Ini jam istirahat makan siang, jadi aku ke sini buat lihat-lihat.”
“Ah, m-maaf. Oh iya, kita sempat janji buat makan bareng, ya…”
Enomoto-san meletakkan kotak bekalnya di atas meja dan duduk di seberangku. Ia menatap lekat bunga matahari yang terendam di dalam alat.
“Wah, warnanya memudar, ya... Kamu mau ambil bunganya sekarang?”
“Masih dipertimbangkan. Walaupun kelihatannya zat-zatnya sudah terserap dari permukaan, belum tentu bagian dalamnya juga begitu. Kalau diproses lebih lanjut saat keadaannya masih setengah matang begini, nanti hasil akhirnya bisa bermasalah.”
Enomoto-san mengangguk-angguk sambil mencatat sesuatu di ponselnya.
Seperti biasa, dia serius banget…
“Tapi waktu ngerjain bunga tulip, kamu cuma butuh sehari, kan?”
“Iya, sih. Tapi bunga matahari jauh lebih sulit buat dijadikan preserved flower.”
"Begitu, ya?"
"Bunganya itu sendiri terlalu besar. Makin besar bunganya, makin lama cairannya menyerap ke dalam. Tapi kalau direndam terlalu lama juga enggak bagus."
"Hmm, ternyata serumit itu, ya..."
Ia memandangi keempat bunga matahari satu per satu dengan penuh perhatian.
"Kemarin, kamu memetik ini bareng Hii-chan, ya?"
Aku langsung merasa gugup.
Karena Enomoto-san menatapku dengan ekspresi bingung, aku buru-buru pura-pura batuk untuk mengalihkan perhatian.
"I-iya. Di ladang bunga matahari..."
"Jadi kamu sekalian metik bunga sambil ciuman sama Hii-chan, ya?"
"Enggak, lebih tepatnya aku memetik bunga matahari dulu, terus baru ciuman sama Himari... ugh."
Saat aku melirik ke arah Enomoto-san, dia sedang membuka tutup botol teh dengan wajah datar tapi tatapan tajam menusuk.
Tanpa mengubah ekspresinya, dia tiba-tiba menyelipkan tutup botol itu di jarinya. Tutup botol yang diletakkan di ujung jari telunjuknya seperti tersenyum licik—persis seperti peluncur peluru dalam gaya jentikan jari.
Dengan cepat, ia menjentikkannya kuat-kuat!
“Eii!”
“Aduh!?”
Tutup botol itu mendarat mulus di dahiku—langsung kena sasaran.
Aku lengah karena kupikir dia enggak akan pakai jurus selain Iron Claw. Tapi, kekuatan otot yang dia latih di toko kue barat benar-benar enggak masuk akal!
Sambil mengusap dahiku yang kena serangan, aku bertanya dengan hati-hati,
“...Kamu dengar dari Makishima, ya?”
“Iya.”
Orang itu... ah, sudahlah. Aku sudah tahu seperti apa Makishima itu dari awal. Lagipula, semua ini terjadi juga karena aku yang salah ngomong duluan.
Yang paling penting, aku memang berniat untuk menceritakan semuanya pada Enomoto-san—apa pun yang akan kulakukan setelah ini.
Sementara itu, Enomoto-san sedang memutar-mutarkan sebutir tomat ceri di ujung sumpitnya. Sambil mengayun-ayunkan kakinya, ia menghela napas panjang.
“Aku juga pengin ikut ke sana, sih... Kalau gitu, aku enggak bakal kalah start sama Hii-chan.”
“...Itu, aku enggak tahu harus nanggepin gimana.”
Maaf banget, tapi kalau waktu itu Enomoto-san ikut dan Himari langsung histeris, aku pasti enggak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, jadi begini, Enomoto-san...”
“Hmm?”
Jantungku berdegup kencang.
Dengan penuh ketegangan, akhirnya aku menyampaikan hal itu padanya.
“Aku... mau menyatakan perasaanku yang sebenarnya ke Himari.”
"…………"
Wajah Enomoto-san tetap seperti biasa—sedikit cemberut, seperti sedang tidak senang.
Saat aku menunggu jawabannya dengan jantung yang berdebar-debar, dia menggigit tomat ceri dengan sikap yang acuh.
"Aku rasa itu bagus."
"Eh, bagus?"
“Akan lebih baik kalau aku enggak bilang gitu, ya?”
"Ah, enggak... makasih..."
Hah? Ini aneh banget. Rasanya jadi enggak karuan.
Bukannya dia pernah bilang dia suka sama aku? Beneran, ini enggak apa-apa? Atau sebenarnya dia udah lama nyerah sama aku? Waduh, jangan-jangan selama ini aku cuma kegeeran sendiri? Malu banget...
Waktu aku lagi tenggelam dalam pikiran sendiri, Enomoto-san terkekeh kecil dan berkata, "Hehe."
"Karena, Yuu-kun mau pacaran sama Hii-chan atau enggak, itu enggak ada hubungannya sama aku."
"Eh? Maksudnya gimana?"
"Aku suka sama Yuu-kun bukan karena kamu enggak pacaran sama Hii-chan, kok. Bahkan kalau dari awal kamu udah pacaran sama dia pun, mungkin aku tetap bakal bilang suka."
"…………"
Sekarang aku ingat… Memang begini orangnya, Enomoto-san.
Punya hati sekuat baja begini, jujur aku pengin kebagian dikit aja.
"Aku cuma perlu jadi sahabat terbaiknya Hii-chan, terus dari situ pelan-pelan bikin dia setuju buat 'ngasih' Yuu-kun ke aku. Pokoknya, harus konsisten sama tujuan awal."
"Itu kedengarannya bukan kayak hubungan pertemanan, tapi lebih kayak sistem upeti yang lahir dari hierarki…"
Dengan bangga, Enomoto-san membusungkan dada besarnya.
"Dengan mempelajari Hii-chan sebagai 'contoh keberhasilan', aku bakal berkembang lebih jauh lagi."
“Maksudnya gimana...?”
“Dari hasil kejadian kali ini, bisa disimpulkan satu hal—Yuu-kun itu tipe orang yang otaknya buat cinta sama buat pertemanan nyatu jadi satu. Jadi aku rasa, pendekatan yang selama ini aku pakai udah enggak bisa dipakai lagi. Mulai sekarang, yang paling penting itu adalah membuka posisi spesial dalam tim ‘you’—khusus buat menjatuhkan otak pertemanan Yuu-kun.”
“Kamu serius!?”
Aku dulu pikir Enomoto-san itu orang yang mentalnya kuat banget, tapi sekarang aku mulai sadar… mungkin dia memang tipe yang justru makin semangat waktu lagi ada rintangan. Tekanannya besar sih, tapi anehnya, cara dia ngomong jujur kayak gitu di depan orangnya malah bikin dia kelihatan super imut.
“Kalau gitu, aku balik latihan klub dulu, ya.”
“Oke. Semangat, ya.”
Setelah menghabiskan bekalnya, Enomoto-san pun berdiri.
Dan saat dia membuka pintu ruangan, tepat di saat itu juga, Himari yang mau membuka pintu dari arah lorong malah berpapasan langsung dengannya.
“…………”
“…………”
“…………”
Ya ampun, suasananya berat banget!!
Benar-benar kejutan yang enggak aku duga. Ruang laboratorium sains langsung dipenuhi keheningan yang super canggung.
Gimana ini? Enggak, ini bener-bener kayak diserang dari arah yang enggak siap. Lagian, tanpa Enomoto-san pun, kayaknya aku tetap enggak bakal bisa ngobrol dengan normal.
Dan orang pertama yang bergerak adalah… Enomoto-san. Tangannya yang kanan langsung mencengkeram kepala Himari dengan kuat.
“Penghakiman.”
Dan di detik berikutnya, jeritan menyedihkan Himari menggema keras di lorong!
“Mogyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!?”
Setelah menjatuhkan Himari ke lantai lorong, Enomoto-san menepuk-nepukkan kedua tangannya seolah berkata, “Aku kembali menyingkirkan sesuatu yang tak berguna…” dengan senyum lega, seolah baru saja dilepaskan dari beban. Dia pun pergi begitu saja sambil berkata dingin, “Yuu-kun, nanti aku balik lagi ke sini setelah latihan, ya.”
“…………”
Enggak mungkin… Enomoto-san pasti lagi marah, kan!?
Syukurlah dia enggak pakai jurus Iron Claw-nya ke aku...!!
“Eh, Himari. Kamu… enggak apa-apa…?”
“M-mananya enggak apa-apa…? Enocchi, hari ini benar-benar serius… Aku kira bakal mati tadi…”
Jadi… biasanya itu dia masih nahan diri, ya…?
Saat aku mulai merasakan kengerian yang sama sekali bukan urusan orang lain, Himari masuk ke dalam ruangan sambil menahan kepalanya.
“…………”
“…………”
Dan suasana pun kembali hening.
Berkat—atau gara-gara?—Enomoto-san, atmosfer yang tegang sedikit mencair, tapi tetap aja masih terasa canggung. Dari tadi Himari enggak mau menatap mataku. …Dan, kalau dia bersikap kayak gitu, aku jadi makin sadar diri, tahu enggak?
Meski begitu, Himari tetap berusaha bersikap seperti biasa sambil menatap alat-alat untuk mengawetkan bunga matahari.
“Ah, ahaha~. Yuu, kamu kelihatan lancar banget, ya. Kayaknya pertandingan lawan Kureha-san juga bakal santai-santai aja, tuh…”
“Dengar, Himari.”
Sebelum dia sempat melanjutkan, aku langsung memotong ucapannya.
Himari tersentak, lalu langsung duduk di kursinya. Sambil menggigit bibirnya erat-erat, dia menunggu ucapanku seolah-olah akan dimarahi.
“Aku enggak bakal nganggep kejadian kemarin kayak enggak pernah terjadi.”
“!?”
Tubuhnya langsung menegang.
Wajahnya… sedikit—enggak, cukup kelihatan kayak mau nangis. Sepertinya dia salah paham lagi. Mungkin dia mikir, “Apa dia bakal bilang kita bubar sebagai pasangan?”—ekspresinya kelihatan kayak gitu.
Aku buru-buru menyampaikan apa yang sudah kupikirkan sejak tadi.
“Jadi, itu… Kalau aku menang lawan Kureha-san, ada sesuatu yang pengin aku bilang ke kamu.”
"…………"
Bahkan aku sendiri merasa ini terlalu klise… Tapi aku benar-benar nggak kepikiran cara lain. Enggak mungkin seseorang sepopuler Himari enggak ngerti makna di balik kata-kata tadi.
Wajahnya mendadak memerah, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit dengan gelisah… sampai akhirnya, sambil menutupi mulut dengan kedua tangan, ia menjawab pelan, “...Iya.”
"…………"
"…………"
Ugh, suasananya jadi kikuk banget!!
Ya, wajar sih. Aku juga belum menyatakan perasaan secara jelas, jadi enggak mungkin Himari langsung kasih jawaban yang lebih dari itu.
Padahal aku sudah memikirkan dengan matang apa yang mau kukatakan, tapi malah lupa memikirkan gimana kelanjutannya setelah itu.
U-uh… apa, gimana ya… ah, sudahlah. Mending angkat bunga mataharinya sekarang!
Dengan panik tapi tetap hati-hati, aku membuka wadah perendam, lalu mengangkat bunga matahari yang telah direndam dalam larutan itu.
Hasilnya, itu justru membawa keberuntungan.
Perhatian Himari pun beralih ke bunga. Ia menatapnya lama-lama, lalu bertanya padaku,
“Yuu, kamu mau bikin apa dari ini?”
“…………”
Aku sempat ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab,
“Tiara bunga matahari.”
Tiara.
Aksesori yang biasanya dipakai perempuan di kepala untuk acara formal. Sesuai definisinya, hampir selalu dikenakan hanya dalam kesempatan istimewa.
Tiara itu untuk Himari.
Apa yang dimaksud… yah, begitulah.
Dan meski usulanku itu bisa dibilang kelewat berat maknanya, Himari tersenyum kecil seolah senang mendengarnya.
“Bagus, kok.”
Senyuman itu… entah kenapa menurutku jauh lebih manis dibanding waktu pameran tunggal saat SMP dulu.
Post a Comment