Penerjemah: Nobu
Proofreader: Nobu
Chapter 1
"Kebahagiaan Cinta"
Akhir Agustus.
Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian saat aku menahan Himari yang hendak mengikuti Kureha-san.
Sore itu, aku mengayuh sepeda di jalan raya nasional yang masih disinari matahari tinggi.
Meski panasnya sedikit lebih bersahabat dibanding siang hari, tetap saja panas ya tetap panas. Cahaya matahari dari arah barat membakar kulitku, nafasku mulai memburu, dan keringat bercucuran. Sepertinya aku bakal sedikit telat dari waktu janjian dengan Himari.
Semua gara-gara terlalu lama memilih baju.
Kupikir, mumpung ada kesempatan, kenapa enggak coba pakai sesuatu yang beda dari biasanya?
Sayangnya, di dalam kotak bajuku, enggak ada satu pun pakaian yang belum pernah Himari lihat. Andai aku punya baju khusus buat momen spesial seperti ini. Tapi selama setahun terakhir, tinggi badanku tumbuh pesat kayak orang bodoh, jadi rasanya sayang kalau beli baju yang ujung-ujungnya cepat kekecilan. Alhasil, aku cuma beli hoodie buat dipakai sehari-hari.
Dan ujung-ujungnya, ya tetap saja berakhir dengan hoodie dan jeans seperti biasa. Enggak lucu.
(Apa dia bakal marah ya...)
Biasanya, aku enggak pernah merasa khawatir seperti ini tiap kali janjian dengan Himari.
Lagipula, Himari bukan tipe yang bakal marah cuma gara-gara aku telat. Perasaan panik ini, sejujurnya, lebih aku arahkan ke diriku sendiri.
Setidaknya untuk hari ini, aku ingin tampil lebih rapi dan serius.
Dari jalan raya, aku membelok ke arah balai kota, lalu mengambil jalur lama. Di kedua sisi jalan, deretan spanduk khas berdiri berjajar dengan jarak yang teratur.
Di spanduk itu tertulis nama festival musim panas daerah kami. Sesekali aku melihat para gadis berkebaya yukata berjalan menuju lokasi festival.
Yukata itu memang luar biasa. Dari sekian banyak jenis pakaian, tak ada yang bisa menyatu seindah itu dengan bunga. Apalagi kalau rambutnya disanggul dan memperlihatkan tengkuk—udah, cukup itu aja, langsung menang.
Himari juga, hari ini pasti…
"Hmm?"
Sekilas, aku merasa melihat salah satu gadis dalam rombongan itu memakai hiasan rambut dari bunga awetan. Apa mungkin anak sekolah kami? Tapi, rasanya juga mirip anak SMP…
Karena cuma sekejap, aku enggak bisa melihat dengan jelas. Setidaknya kalau tahu jenis bunganya… ah, sudahlah. Kalau aku balik lagi cuma buat memastikan, nanti dikira mesum. Lagipula, sekarang ada hal yang lebih penting buatku.
Aku memarkirkan sepeda. Biasanya sih numpang parkir di minimarket, tapi hari ini rasanya nggak enak sendiri kalau harus nyusahin orang.
Aku mengunci ban sepedaku, lalu berjalan ke Lawson terdekat. Saat kulirik jam tangan, ternyata aku sudah telat sepuluh menit pas. Ya, meskipun “pas” itu agak ironi juga dalam konteks ini, tapi entah kenapa, dengan bilang begitu, rasanya kesalahannya jadi terasa lebih ringan, kan?
(Tapi yang penting… Himari udah datang belum ya?)
Aku mengintip ke dalam toko dari luar, dan langsung menemukan sosok yang kucari.
Inuzuka Himari.
Gadis cantik bak peri, dengan mata besar berwarna biru laut yang memesona. Kecantikannya kelewat batas, sampai-sampai pernah hampir direkrut oleh agensi hiburan di Tokyo tanpa sengaja. Benar-benar tipe heroine sejati.
Dia adalah model tetap untuk aksesori buatanku, dan sejak seminggu lalu, hubungan kami naik level jadi… sedikit lebih spesial. Hari ini, rambut bob pendeknya ditata dengan kepangan kecil, menambah kesan manisnya jadi 300 persen lebih mematikan dari biasanya.
Hari ini dia mengenakan camisole berbahan ringan yang dihiasi ruffle, dipadukan dengan celana pendek denim. Sedikit kecewa karena dia enggak pakai yukata, tapi kalau dipikir-pikir, dia justru hampir selalu pakai yukata di rumah, kan?
Himari sedang berdiri di depan rak majalah, memperhatikan majalah fashion dengan serius. Begitu aku masuk ke dalam toko, aku langsung menyapanya.
“Himari. Maaf, aku tel—”
Kalimatku terputus di tengah jalan.
Alasannya sederhana.
…Himari kelihatan benar-benar sedang bad mood.
Dia melotot ke arahku, lalu tanpa sepatah kata pun, terus menatapku tajam—tajam banget—seolah sedang mengintimidasi. Memang sih, auranya masih kalah dibanding kakaknya, Hibari-san, tapi buat membuatku terintimidasi, itu sudah lebih dari cukup.
“Um… Himari-san? Aku… ada salah apa, ya?”
“...Natsume Yuu-kun. Kamu masih ingat janji kita?”
Nama lengkap dan bahasa formal.
Aku langsung merinding, lalu buru-buru mencoba mengingat-ingat dan menyebutkan kemungkinan penyebabnya.
“Janji, janji… ehm. Maaf, tadi aku sempat ribet pas mau keluar rumah. Aku tahu salah karena enggak sempat kasih kabar, tapi beneran tadi aku buru-buru banget dan…”
“Bukan soal kamu telat. Coba ingat baik-baik.”
Waduh. Nada formalnya makin dingin aja.
Rasanya seperti lagi ngerjain soal listening bahasa Inggris. Dengan keringat dingin mengucur deras, aku memutar otak sekuat tenaga.
Dan akhirnya aku ingat.
“Eeeh… yang itu, ya? Janji buat nge-Line sekali sehari…?”
“…………”
Mata Himari yang biru laut itu langsung berkilat tajam.
Dan di detik berikutnya, dia menerjangku sambil berteriak, "MOGYAAAAAAAH!!"
“Seminggu penuh enggak ada kabar, kamu pikir kepala kamu isinya apa sih, dasar manusia enggak tahu diri────!!”
“Aku enggak bisa apa-apa juga, oke!? Selama seminggu ini, Saku-neesan nyita hapeku, tahu!!”
Faktanya, meski aku kalah dalam pertarungan dengan Kureha-san, aku tetap mencoba menahan Himari—dan itu cukup untuk membuat Saku-neesan naik pitam. Sebagai hukuman, selama liburan musim panas, aku bukan cuma kehilangan ponselku, tapi juga dijebloskan ke jadwal kerja di minimarket keluarga kayak orang bodoh. Bahkan untuk janjian hari ini pun, aku harus minta tolong ibu Himari lewat telepon rumah. Dan ini, adalah kali pertama dalam seminggu aku bisa bicara langsung lagi dengan Himari.
Dengan mata berkaca-kaca, Himari menggenggam ujung hoodie-ku sambil gemetar dan menggeram, “Gununununu…”
“Kamu ngerti enggak sih!? Setelah akhir bahagia yang dramatis banget itu, tiba-tiba besoknya aku langsung di-‘read enggak dibalas’ selama seminggu penuh! Kamu kebayang enggak gimana perasaan aku!? Terus hari ini, pas kamu enggak datang juga tepat waktu, aku sampai mikir, ‘Eh? Jangan-jangan aku cuma korban prank besar-besaran yang makan waktu satu liburan penuh?’ Gitu lho!! Perasaan cewek yang nungguin tuh gimana coba—!!”
“Eh, eh, eh! Tunggu dulu!? Tenang, ya? Ini di dalam toko, dan aku juga enggak bawa papan ‘PRANK BERHASIL!!’ atau apa gitu, jadi...”
Karena Himari udah mode full ngamuk, aku buru-buru menggandengnya keluar dari konbini. Tatapan hangat tapi nyelekit dari ibu-ibu kasir yang bilang, “Ya ampun, anak muda zaman sekarang ya~,” rasanya kayak tusukan halus di punggungku.
Kami berhenti di bawah spanduk promosi Karaage-kun.
Himari yang hampir menangis mulai sesenggukan kecil sambil menatapku dengan pandangan menyudutkan.
“Terus?”
“A-apa? Apa lagi sekarang?”
Dengan wajah sedikit manyun, Himari menyandarkan dahinya ke dadaku. Saat matanya bertemu dengan mataku, dia cepat-cepat memalingkan wajah sambil pipinya memerah.
...Lalu, dengan suara kecil dan pelan, dia berkata,
“Setelah nungguin seminggu penuh, pacar lucu kamu ini... dapet hadiah apa, hmm?”
"…………"
Guhahh... Rasanya aku nyaris muncrat darah dari mulut.
Eh, maksudnya gimana? Hadiah? Kalau dipikir-pikir, justru aku yang banting tulang kerja selama seminggu kayak kuda, jadi aku juga pantas dapet hadiah, dong? Dan lagi, dia barusan bilang “pacar” langsung ke mukaku gitu? Gila, itu enggak adil banget, tahu enggak!? Tapi... sisi enggak adilnya yang kayak gitu juga yang bikin dia kelihatan imut banget kayak iblis kecil!
Yakin nih? Mau main manis-manisan kayak gini? Jangan nyesel sendiri nanti dan tiba-tiba bilang, “Aduh, geli sendiri~!” ya!?
“Terus... kamu mau hadiah apa?”
Aku enggak bisa nyalahin diriku sendiri karena tanpa sadar nada suaraku jadi agak keren—ya, namanya juga situasi mendukung.
Himari meremas-remas jemarinya malu-malu, lalu menatapku dari bawah dengan mata berbinar.
“Coba tebak~?”
"…………"
Astaga. Nyebelin banget.
Sifat Himari yang kayak gini… sumpah, ngeselin banget. Serius deh, dari dulu enggak berubah. Maksudku, justru karena sikapnya yang ribet beginilah kita sering banget berantem, kan? Harusnya dia udah belajar dari semua itu dong, ya.
…Yah, meskipun, Himari yang ceroboh dan enggak bisa jujur ini juga tetap aja keliatan imut sih, karena cuma bisa narik perhatianku dengan cara-cara nyebelin kayak gini!
Haaah… ya udahlah. Aku enggak tahu dia maunya apa, tapi terserahlah, apa pun itu aku bakal kasih. Selama seminggu ini, aku kerja siang-malam di minimarket—dari jaga kasir, ngisi stok, sampai bersihin toko—dan semua uang sakuku hasil kerja rodi itu akan aku persembahkan padamu, Yang Mulia Himari. Oke, ada batas dua puluh ribu yen, kayak beli camilan pas karyawisata, tapi apa pun yang kamu mau, aku siap!
“Himari, nyerah deh. Kasih tahu aja dong.”
Lalu Himari, setelah pura-pura mikir dan ngasih penantian panjang kayak biasa, akhirnya bilang sambil senyum jail,
“Aku pengin… gandengan tangan sama Yuu.”
Sambil bilang, “Uups~ keluar juga~☆”, dia menempelkan tangannya ke pipi dan senyum girang banget.
…Hah?
Apa, barusan apa?
Kamu barusan ngomong apa, hah??
Lho, kamu tuh sebelumnya juga biasa-biasa aja gandeng tangan, kan? Sekarang tiba-tiba harus pake izin segala? Gitu tuh anak SD juga udah sering lakukan. …Pacar paling imut sedunia milikku ini, terlalu hemat tapi efeknya kebangetan. Bisa-bisa aku tenggelam dalam pesonanya sampe enggak bisa keluar.
“Y-ya udah deh. Nih, tanganku.”
Himari pun mengulurkan tangannya ke arahku. Gila, bahkan garis tangan cewek secantik dia pun bisa keliatan imut, gimana sih!?
Tapi, deg-degan banget sumpah… Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku yang mulai duluan buat gandeng tangan. Sekarang dia bukan cuma sahabat—dia pacarku. Jantungku rasanya udah enggak karuan, bisa meledak kapan aja.
Dengan gugup setengah mati, aku pun menggenggam tangan Himari.
Lembut banget. Maksudnya, dulu juga udah sering ngerasain lembutnya tangan dia, tapi kali ini beda. Entah kenapa, rasanya… lebih hangat, lebih nyata. Soalnya sekarang dia itu pacarku.
Dan sebelum aku sadar, jariku bergerak sendiri—menyusup dan saling mengaitkan jari dengan jari Himari. Refleks. Dan begitu Himari melihatnya, dia langsung tersentak kecil.
“Ah…”
“Eh? E-eh, salah ya? Maaf, aku balikin lagi ke cara biasa—”
Aku buru-buru mencoba mengubah posisi genggaman tangan kami jadi biasa aja.
Tapi, Himari malah menggenggam tanganku erat dan menghentikan gerakanku. Dia menyunggingkan senyum lebar, lalu dengan tangan satunya, nyeletuk manja sambil nyeplak ujung hidungku dengan jari.
“Jawaban yang benar ♪”
“Ugh…”
Rasanya kayak lagi dipermainkan di telapak tangannya sendiri.
Gila, malu banget. Tapi yah… jauh lebih baik daripada dia teriak “puhhaa!” tadi sih. Apalagi, dia kelihatan lucu banget.
“Yuk, kita ke festival?”
“I-iya… ayo.”
Kami pun mulai berjalan, menyusul para murid lain yang sudah lebih dulu melangkah dengan yukata mereka.
Senja di penghujung musim panas.
Pelan-pelan, keringat membasahi kemejaku.
Sedikit demi sedikit, cahaya matahari senja mulai mewarnai kota kecil ini.
Himari memainkan sedikit kepangan di rambutnya, lalu tersenyum dengan wajah yang terlihat benar-benar meleleh bahagia.
“Puhehe…”
Guhahh.
Dan aku hampir muntah darah saking gemasnya.
Apa-apaan itu “puhehe”? Jangan bilang itu versi tsundere berubah jadi dere dari “puhhaa~!” kemarin!? Itu mah terlalu gampang ditebak, tahu enggak.
Tapi ya ampun… bahkan sisi gampang ketebak dari Himari pun tetap aja yang paling imut sedunia!
♣♣♣
Festival musim panas ini diadakan di kawasan pertokoan terbesar di kota kami.
Semakin kami mendekati pusat festival, deretan lapak warna-warni mulai memenuhi sisi jalan. Orang-orang yang datang dari berbagai penjuru terus berdatangan, seolah menyatu ke dalam arus sungai besar. Hingga akhirnya, keramaian begitu padat sampai-sampai sulit bernapas, dan tubuh mulai basah oleh keringat—bukan karena udara musim panas, tapi karena hawa panas dari kerumunan itu sendiri.
Yah, tapi di trotoar yang sesak kayak gini juga… jadi punya alasan buat nempel terus sama Himy, kan!
“Himari, kamu enggak apa-apa?”
Aku bertanya karena agak khawatir, dan Hiiro menjawab dengan senyum manis.
“Karena aku bisa nempel sama Yuu, aku sih enggak masalah ♪”
Hyu~.
Seperti yang diharapkan dari kami—mitra sejati sekaligus rekan sehidup semati. Bahkan sampai ke isi kepala pun bisa sinkron gini, keren banget, kan? Padahal kemarin-kemarin kita masih sering enggak nyambung, tapi sekarang cocoknya udah kayak puzzle yang pas banget. Harusnya dari dulu aja kita begini, ya.
“Setiap tahun aku mikir, dari mana sih asal semua orang ini? Rasanya kota sekecil ini enggak mungkin punya penduduk sebanyak ini.”
Suara-suara riuh dari segala arah menyerbu telinga, menciptakan hiruk-pikuk bagaikan derau yang menyesakkan kepala.
Dari tadi aku juga sebenarnya ngomong lumayan keras. Tapi anehnya, cuma suara nyaring cewek SMP yang teriak, “Eh, kamu juga datang yaa~?” yang tetap terdengar jelas di tengah keramaian kayak gini. Aneh tapi nyata.
Memang rasanya agak sesak, tapi bukan jenis sesak yang bikin enggak nyaman.
Di area festival ini seolah-olah ada aura “sesuatu akan segera dimulai”. Atau mungkin, itu cuma karena Himari ada di sebelahku.
“Karena di desa jarang ada acara, jadinya semua orang ngumpul pas ada yang seru. Katanya kemarin ada banba odori, jadi malah lebih ramai lagi. Itu sih kata Onii-chan.”
Banba odori adalah tarian obon tradisional yang diwariskan di daerah ini.
Saat festival musim panas, biasanya masyarakat kerja sama dengan perusahaan lokal untuk bikin arak-arakan dan menari bareng. Ayahku juga kayaknya ikut, tapi aku nggak tahu detailnya.
“Hibari-san itu panitia acara, ya?”
“Iya. Onii-chan kemarin pakai happi terus mukul genderang dari atas yagura, lho.”
“Eh, serius? Aku pengin banget liat, sumpah!”
“Kayaknya Ibuku ngerekam berita yang nayangin itu, jadi nanti aku salinin buat kamu, ya.”
Sambil ngobrol begitu, kami terus saja terseret arus manusia.
Semakin padat jumlah orang, semakin kuat pula arus pergerakannya. Kalau tidak terus berjalan seperti ikan tuna, kami akan mengganggu orang-orang di belakang. Kalau sampai ada yang jatuh, bisa-bisa jadi kecelakaan besar. Dan satu-satunya yang bisa melindungi Himari dari kekuatan besar ini hanyalah aku.
“Himari, kembang apinya mulai jam berapa tadi?”
“Jam tujuh, kok.”
Itulah acara utama malam ini.
Festival musim panas di kampung kami berlangsung dua hari. Hari pertama ada banba odori, lalu hari kedua ditutup dengan pesta kembang api. Diadakan di tepi sungai kelas satu yang mengalir di dalam kota, dan para pengrajin lokal menyalakan seratus kembang api secara beruntun. Acara ini berjalan berkat sumbangan dari masyarakat, bahkan di konbini tempatku kerja juga ada kotak donasinya.
(Tahun lalu, Hibari-san sempat menyalakan kembang api dengan motif bunga. Itu bikin aku semangat banget waktu nontonnya.)
Tahun ini mereka bakal nyalain kembang api seperti apa, ya?
Himari juga bilang dia enggak tahu, jadi aku jadi makin penasaran. Lagipula, hiburan artistik seperti ini bisa jadi inspirasi bagus buat bikin aksesori.
Saat aku sedang larut memikirkan kembang api, Himari tiba-tiba mengguncang-guncangkan tanganku yang sedang dia genggam. Sakit juga sih, tapi kalau ini bentuk kasih sayang Himari, ya aku terima saja dengan senang hati.
“Yuu! Yuk, makan sesuatu di sana?”
“Ah, aku juga lapar.”
Kami pun mulai melihat-lihat deretan stan makanan di festival.
Ada jagung bakar, takoyaki, kentang goreng, juga frankfurter dan yakisoba. Aroma harum dari cumi bakar pun tercium kuat, benar-benar khas suasana festival.
Kalau bicara soal festival, makanan manis memang selalu menggoda, tapi karena perut sedang kosong, rasanya pengin makan yang berat dulu.
Tiba-tiba, Himari menunjuk ke salah satu stan sambil berseru dengan mata berbinar.
“Yuu! Itu ada hashimaki!”
“Eh, benar juga.”
Hashimaki.
Sesuai namanya, ini adalah okonomiyaki tipis yang digulung mengelilingi sepasang sumpit. Di daerah lain, makanan ini juga dikenal dengan nama "dondon-yaki" atau "kurukuru okonomiyaki." Aku pertama kali tahu soal ini waktu festival musim panas tahun lalu, gara-gara diajarin sama Hibari-san.
Makanan ini punya potensi besar sebagai hidangan festival. Karena bentuknya memanjang seperti batang, gampang dimakan sambil jalan. Kalau mau, juga bisa dibuka dan disantap pakai sumpit. Yang paling penting, makanan berbahan tepung begini lumayan mengenyangkan. Untuk ukuran makanan kaki lima, ini termasuk punya nilai yang bagus.
Seorang bapak penjual yang tampak ramah menyapa kami saat melihat ke arah kami.
“Baru matang nih, ayo dibeli!”
“Ah, kalau gitu saya beli, ya!”
Di depan stan, deretan hashimaki tersusun rapi.
Bagian yang sudah dibeli oleh pelanggan sebelumnya tampak kosong di sana-sini. Di bagian belakang stan, adonan baru sedang dipanggang di atas wajan panas, mengeluarkan suara juu~ yang sedap didengar.
Hmm. Pemandangan yang serba asal-asalan begini justru bikin suasana festival terasa banget. Karena ini masih satu keluarga dengan okonomiyaki, variasi rasanya juga banyak.
Yang paling dasar: saus dan mayones. Ada juga yang simpel tapi mantap: topping keju. Lalu ada versi penuh daun bawang yang disebut negi-daku, atau yang dikasih kimchi. Ada pula yang pakai saus tomat, mentaiko, sampai yang pakai telur ceplok di atasnya—yang terakhir ini jelas cocok banget buat yang suka unggah foto makanan.
“Eh, Yuu mau yang mana~?”
tanya Himari sambil mengguncang-guncangkan tanganku semangat.
Dari tadi, dia terus melakukan gerakan yang sama. Jangan-jangan ini yang disebut jurus pacar manis-manis manja? Kalau udah begini, apa pun yang Himari pengin makan, ya itu juga yang pengin aku makan.
“Kamu maunya yang kimchi, kan?”
“Eh, kok Yuu tahu sih?”
“Soalnya kalau soal makanan yang kamu pengin, aku biasanya bisa nebak.”
Mendengar itu, Himari langsung menepuk-nepuk bahuku dengan ekspresi super senang.
“Yuu emang keren banget~! Kita tuh emang udah terhubung banget satu sama lain, ya~!”
“Hei, jangan ngomong begitu di tempat kayak gini. Malu tau……”
Padahal aku ngomong gitu sok kalem, tapi jujur aja, ada bagian dari diriku yang pengin nunjukin ke semua orang betapa mesranya kita. Ini tipe momen yang nanti bikin malu sendiri, ya? Tapi semua pasangan juga kayak gini, kan?
Si bapak penjual pun memasukkan hashimaki kimchi ke wadah plastik.
“Terus, kalau si pacarnya mau yang mana?”
"……Eh!?"
Yang bereaksi bukan aku, melainkan Himari.
Tiba-tiba dia pasang gaya manja, lalu memamerkan tangan kami yang saling bertautan seperti pasangan sungguhan.
“Paman~? Kami kelihatan seperti sepasang kekasih, ya~?”
“Hei, jelas banget. Kalian cocok banget, lho.”
Si bapak penjual tertawa lepas sambil berkata begitu.
Mata Himari langsung berbinar. Dia tiba-tiba menaruh tangan di pipinya sambil berteriak, “Kyaaa~!” lalu menepuk-nepuk bahuku dengan semangat.
“Dengar tuh! Dibilang cocok! Co・cok・banget!! Yah, gimana dong, aura pasangan bahagia kita udah enggak bisa disembunyikan lagi, ya~! Wajar sih, emang begitulah adanya~!”
“Sakit sakit sakit. Enggak, seriusan ini sakit……”
Tapi ya, bukankah malah aneh kalau orang enggak berpikir kita pacaran? Dan ngomong-ngomong, Himari yang sekarang ini—yang sudah sepenuhnya meninggalkan masa lalunya sebagai anti-cinta—itu lucu banget sumpah.
"Kalau gitu, saya pesan yang keju ya."
"Oke~"
Begitu aku mengeluarkan dompet, tiba-tiba Himari nyeletuk.
"Ah, iya! Biar aku aja yang bayarin punya Yuu yang keju, terus Yuu bayarin punyaku yang kimchi, ya."
"Hah? Emangnya bagi-bagi tugas kayak gitu ada artinya?"
Padahal aku memang berniat buat bayarin semuanya.
Tapi waktu itu, ekspresi Hiiro berubah jadi penuh rencana nakal sambil ketawa kecil, “pupupu.”
“Gimana kalau kita beli makanan buat satu sama lain, terus saling suap-suapan?”
"…Hah?"
Itu benar-benar di luar dugaan. Sebagai master Himari, aku sampai enggak bisa berkata-kata.
Ini saran yang seru juga. Memang deh, Himari tahu banget cara menikmati momen kayak gini dua kali lebih seru. Bahkan permainan yang nyaris jadi aib masa muda pun bisa kuhadapi asalkan bareng dia.
“Emang deh, pengalaman cintanya Himari tinggi banget, ya.”
“Dan cowok yang berhasil menembus hati cewek kayak aku itu, Yuu lho ♪”
Dia mencolek hidungku, bikin perasaanku ikut geli dan hangat.
“Jangan terlalu muji gitu dong. Aku aja masih mikir, benar enggak sih kamu mau sama orang kayak aku...”
“Jangan bilang gitu, dong. Lagian, semua hal bagus tentang Yuu cukup aku aja yang tahu.”
“...Himari, aku senang banget kamu bilang kayak gitu. Makasih, ya.”
Aku menggenggam tangannya lebih erat, lalu menatapnya lekat-lekat. Mata Himari yang biru laut itu tampak berkilau, seakan sedang berbinar-binar.
Gawat, aku beneran pengin cium dia. Boleh enggak, ya? Dilihat dari situasinya, ini jelas-jelas momen yang pas, kan? Himari juga pasti lagi nungguin.
“Himari...”
“Yuu…”
Nada manja Himari melumerkan otakku seketika.
Ah, ini sih… udah bisa banget…
Namun tiba-tiba, sebuah kantong plastik besar menyelinap di antara wajah kami berdua. “Siapa nih…?” pikirku sambil menoleh. Ternyata itu si bapak penjual, pipinya agak memerah.
“U-uh, ya ya. Udah kelihatan kok kalian mesra banget, jadi cepetan bawa nih. Saya buatin porsi spesial pasangan, tuh…”
“Ah, maaf, Pak…”
Dengan panik aku langsung menyelesaikan pembayaran, lalu kami pun buru-buru menjauh dari lapak itu.
♣♣♣
Kami berhasil keluar dari kerumunan.
Kebetulan ada taman bunga kecil di perempatan jalan, jadi kami duduk di sana dan mengatupkan tangan sambil mengucap, “Selamat makan.” Dan seperti yang sudah ia janjikan, Himari langsung menyuapi aku dengan hashimaki keju.
“Nih, Yuu. Aa~n♡”
“…………”
Keju melimpah ruah sampai hampir tumpah, meleleh dari gulungan hashimaki.
Apa itu "porsi couple"? Bukan diskon couple? Keju sebanyak ini aman dikonsumsi manusia? Tapi ya sudahlah, kalau sampai sakit pun, Himari pasti bakal rawat aku. Kalau dipikir-pikir, tetap untung, kan?
“Kalau begitu, aku makan, ya… hapu.”
Enak. Rasanya seperti keju dan cinta Himari. Jadi, cinta itu pada dasarnya kalori, ya? Keduanya sama-sama kurang baik buat kesehatan. Paham sekarang.
Aku mengambil satu potong hasimaki kimchi dari wadah plastikku.
“Nih, Himari juga makan.”
“Aa~n♪”
…Aduh, ini yang lucu banget, ya.
Himari membuka mulutnya lebar-lebar tanpa waspada, dan itu kelihatan lucu banget. Gerakan kecilnya saat menyibakkan rambut ke belakang telinga juga manis sekali. Aku ingin mengucap terima kasih pada Tuhan yang telah memberiku hak istimewa untuk menyuapi gadis secantik Himari dengan hashimaki.
“Hamu~”
Setelah menggigit ujungnya sedikit, Himari tersenyum senang.
“Besar juga, ya.”
“…Soalnya porsi couple.”
Gimana kalau habis ini kita belanja sambil terus pamer kemesraan, ya? Pacarku ini enggak cuma cantik, tapi juga kuat secara ekonomi. Benar-benar bisa diandalkan.
Sambil menyuapiku hashimaki keju dengan suara “aa~n”, Himari tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata,
“Yuu, ngomong-ngomong, gimana kabarnya soal bantuin di minimarket rumahmu?”
“Karena aku udah nutupin semua libur pas tanding sama Kureha-san, sekarang balik lagi ke jadwal biasa, deh. Kurang lebih setengah kerja, setengah libur.”
“Oh ya, gimana kalau hari Minggu nanti kita ke pantai? Kemarin Enocchi ngajak, lho~”
“Pantai?”
Himari menunjukkan layar ponselnya dengan ekspresi penuh semangat.
Di sana terlihat pesan dari Enomoto-san, dengan stiker karakter kucing yang pakai pelampung, mengirimkan ajakan: ‘Pantai… mau ikuuu~??’ Seperti biasa, pilihan stiker Enomoto-san penuh semangat dan nyentrik.
“Sekarang kita kelas dua SMA, jadi musim panas gini ya wajib ke pantai, dong~”
Memang, libur musim panas waktu SMA tinggal satu kali lagi. Dan karena impian untuk langsung buka toko setelah lulus udah pupus, aku mungkin bakal lanjut kuliah juga. Kalau gitu, belum tentu nanti ada waktu buat main. Jadi, aku juga setuju sih sama ide bikin kenangan selagi bisa.
Aku masih terus ngerjain aksesori dari bunga-bunga musim panas. Kalau dalam beberapa hari ke depan bisa selesai dengan baik, aku bisa nyempetin waktu.
“Ngomong-ngomong, siapa aja yang bakal ikut? Soalnya Enomoto-san yang ngajak, berarti ada yang lain juga, kan?”
“Makishima-kun, terus... Onii-chan juga, katanya sih denger soal ini.”
“Eh, Hibari-san!?”
Biasanya dia memang banyak membantu, tapi jarang ikut dalam acara santai seperti ini. Ada angin apa, ya?
“Katanya mau jadi sopir. Soalnya Makishima-kun yang minta izin langsung, gitu.”
“Heh… Jarang juga, ya, Makishima sama Hibari-san bisa kerja sama kayak gitu…”
Selama aku bisa bareng Himari, aku sih udah cukup. Tapi, dipikir-pikir, aku juga enggak pernah main bareng Makishima pas libur. Dia sibuk sama latihan klub, dan aku juga fokus bikin aksesori. Jadi ini bisa jadi kesempatan bagus.
“Kayaknya seru, deh. Aku bakal luangin waktu.”
“Kalau gitu, karena Yuu mau ikut, aku juga resmi ikutan… gitu~”
Himari pun mengetik singkat di obrolan grup: “Yuu dan aku ikut, ya.”
Balasannya langsung datang, terbaca dengan cepat. Stiker karakter anjing yang matanya berbinar-binar muncul dengan teks “Waff waff!” …Entah kenapa, aku jadi ngebayangin Enomoto-san dengan wajahnya yang selalu datar dan cuek, ngirim stiker kayak gini. Aneh banget, tapi lucu.
“Yuu, enggak sabar, ya?”
"Benar juga."
Laut, ya. Waktu itu kami sempat ke pantai juga, tapi enggak sampai berenang.
Kalau musim sekarang, bunga seperti kooni yuri dan hamayuu sedang bermekaran. Keduanya enggak tumbuh di sekitar sini, jadi aku cukup menantikan bisa melihatnya. …Tapi yang paling aku tunggu tentu saja adalah Himari dalam balutan baju renang. Pasti imut banget. Soalnya itu Himari, lho.
Sambil larut dalam pikiran-pikiran itu, Himari buru-buru menghabiskan hashimaki-nya.
“Yuu! Ini udah hampir waktunya kembang api, ayo cepetan!”
“Serius!? Wah, kita harus buru-buru biar dapet spot yang bagus!”
Saat sadar, arus orang-orang sudah mulai mengarah ke bendungan.
Ditarik oleh tangan Himari, aku pun berdiri tergesa-gesa. Kami membuang wadah plastik bekas makan di tempat sampah sepanjang jalan, lalu buru-buru menuju arah bendungan.
Di atas jembatan, sudah banyak penonton yang masing-masing menempati posisi terbaik mereka. Kami juga berusaha mengamankan tempat yang sepertinya punya pandangan paling bagus.
Dengan semangat tinggi, aku pun mulai menyiapkan kamera di ponselku.
Hmm… mode malam dulu, lalu cek fokusnya…
“Haaah… Aku enggak sabar banget…”
“Yuu, kamu lumayan suka kembang api, ya. Memang dasar kamu si tukang bunga.”
“Kamu pikir itu lucu, ya?”
Jujur aja, aku juga cukup heran dengan diriku sendiri. Kalau saja Himari enggak sering ngajak aku ke acara-acara kayak gini sejak SMP, mungkin aku enggak akan tahu kalau ternyata aku suka hal-hal begini juga. …Ya, meskipun tetap enggak segila Himari, sih.
“Onii-chan bilang, tahun ini juga dia ngambil banyak anggaran buat kembang api demi kamu, lho.”
“Itu sih udah kebangetan—enggak bisa gitu, dong. Itu uang hasil patungan warga…”
“Puhaha! Tapi kan ujung-ujungnya semua orang senang juga. Lagian, motivasi buat panitia juga penting, tahu?”
“Hmm… entah kenapa aku merasa dibohongi, tapi ya… kalau kamu bilang gitu, mungkin ada benarnya juga…”
Pelan-pelan, suara genderang mulai terdengar dari kejauhan.
Mereka sedang menabuh genderang sebagai tanda dimulainya acara, di dekat lokasi peluncuran kembang api.
“Ah, mulai—”
Hyurururu…, suara seperti udara yang keluar dari balon menggema di udara.
Pandangan kami semua serempak mengarah ke langit di atas sungai.
Dan di saat itu juga, bunga raksasa mekar di langit malam.
Paaaan!—bunyi ledakan besar, seolah-olah meriam ditembakkan, menggema dengan dahsyat.
Suara riuh para penonton seketika tersapu, dan sesaat, keheningan yang sunyi menyelimuti.
Kembang api yang meledak seperti serpihan bintang beterbangan ke segala arah… lalu padam, habis terbakar. Suara baj baj baj! menyusul tiba-tiba, menghantam telinga.
Disambut oleh sorak-sorai kagum, tepuk tangan pun terdengar di sana-sini.
Ketika tembakan kedua diluncurkan, sekelompok mahasiswa di kejauhan berseru, “Taamayaaa!” ke arah langit. Hampir bersamaan, kembang api kedua pun mekar di langit… dan suara ledakannya doooon! terasa sampai mengguncang bumi.
Kembang apinya benar-benar indah.
Dengan perasaan seolah-olah akan tersedot ke dalam langit malam, aku tanpa sadar menoleh ke samping. Wajah cantik Himari tampak bersinar dalam cahaya kembang api, terlihat jelas dalam temaram senja. Dengan ekspresi terpukau, ia berbisik “Waaah…” sambil terus menatap kembang api yang satu demi satu mekar di langit.
Tiba-tiba, mata biru lautnya mengarah padaku. Kilauan warna-warni kembang api terpantul di matanya, membuatnya tampak seperti bunga-bunga yang mekar di tengah lautan luas.
Satu kembang api besar kembali melesat ke langit. Ratusan, ribuan butiran cahaya menyembur ke udara seperti air mancur, menyelimuti langit malam. Cahaya yang menyilaukan itu menerangi wajah para penonton di bawah.
(Wah, indah banget…)
Itu yang biasa disebut Dragon—Naga.
Garis-garis cahaya pelangi menari di langit satu demi satu, lalu lenyap. Dalam skala sebesar ini, rasanya benar-benar seperti melihat seekor naga raksasa terbang menjulang.
Aku pun sempat berpikir, ini mirip pohon sakura yang merunduk ya. Cahaya-cahaya yang membentuk lengkungan indah sebelum jatuh ke tanah, sangat menyerupai bunga-bunga sakura yang menggantung di ujung ranting.
(Sakura merunduk, ya…)
Ngomong-ngomong, seingatku aku juga pernah berpikir hal yang sama waktu festival budaya saat kelas dua SMP… Tapi waktu itu, aku sedang melihat apa, ya, sampai terpikir hal begitu?
…Benar. Waktu itu adalah saat pertama kali aku bertemu Himari. Saat itu, rambutnya masih panjang. Lembut dan indah, sampai-sampai aku sempat berpikir kalau rambut itu mirip dengan bunga sakura yang menggantung.
Saat aku sedang terpukau menatap kembang api, tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menyentuh pipiku. Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi piron dari ponsel.
Ketika aku menoleh, kulihat Himari menempelkan tangan ke pipinya sambil menahan tawa.
“Eh, kenapa?”
“Eh~? Coba tebak~?”
Sambil berkata begitu, dia menyodorkan ponselnya padaku.
“……!?”
Terlihat jelas di layar: wajahku yang tampak bodoh saat menerima ciuman di pipi dari Himari. Wajah Himari saat menciumku luar biasa manis, tapi ekspresiku yang kaget setengah mati itu bikin malu banget…
Dengan panik aku menutup pipi dan memprotes Himari.
“Himari… jangan suka nyerang mendadak gitu dong…”
“Karena kamu kelihatan lebih terpukau sama kembang apinya daripada aku. Jadi aku agak merasa cemburu, deh♪”
Itu… keterlaluan banget…
Saat aku sedang mengipasi wajahku yang panas karena malu, Himari malah melancarkan serangan lanjutan.
“Kalau gitu, Yuu. Sekarang gantian ya♪”
“Hah?”
Dia menunjuk pipinya sendiri dengan telunjuk, sambil menatapku penuh harap.
“Kan aku udah cium kamu duluan. Jadi gantian dong, kamu cium pipiku~?”
“Eh… Seriusan? Apa-apaan sih itu…”
Dihadapkan secara langsung kayak gini justru bikin tambah malu…
…Tapi, demi bikin Himari puas, yang terpenting adalah momentum. Itu hal yang udah aku pelajari selama beberapa bulan ini. Meski begitu, tetap aja rasanya malu, jadi… sepertinya aku perlu sedikit trik untuk mengatasinya.
“Eh, Himari! Saku-neesan lagi jalan bareng cowok misterius yang ganteng banget!”
“Eh!? Serius!? Mana-mana!”
Himari langsung menoleh cepat sambil setengah melompat.
Dia menatap ke arah yang aku tunjuk, celingak-celinguk sambil mencari. …Kadang aku benar-benar mikir, jangan-jangan dia emang bodoh ya.
“Lengah, nih.”
“Eh?”
Aku mendaratkan ciuman cepat di pipi Himari yang kosong tanpa pertahanan.
Lalu buru-buru memalingkan wajah. Dooon, parapara~… kembang api meledak di langit.
“…………”
“…………”
Tanpa sepatah kata pun.
Kami berdua terdiam dalam hening.
Festival kembang api pun memasuki puncaknya, dengan berbagai jenis kembang api yang silih berganti mewarnai langit malam. Saat atraksi andalan, seratus tembakan kembang api berturut-turut dimulai, sorak sorai penonton langsung membahana di sekeliling kami.
Di tengah gemuruh ledakan kembang api yang seakan mengguncang bumi, aku tak sanggup menoleh ke wajah Himari.
(Aduh… Gawat. Ini parah sih. Malu banget…)
Aku bisa merasakan wajahku makin panas membara.
Dan lagi, “Lengah, nih”? Apa-apaan itu? Kayak adegan di manga shoujo aja. Bukan berarti aku keberatan, sih. Cuma… aktornya tuh aku sendiri—itu yang bikin pengin mati rasanya.
Aku berpura-pura menatap ke langit, tapi pikiranku entah melayang ke mana. Terus, Himari enggak kasih reaksi apa-apa? Aku kan udah kasih ciuman pipi sesuai permintaannya. Tapi dibiarin gitu aja? Ini semacam siksaan enggak sih?
…Tapi ya, ini Himari. Dia pasti ngerti aku lagi mati-matian nahan malu, dan kayak biasa, pasti lagi senyum-senyum geli tuh.
Mungkin di kepalanya sekarang dia mikir, “Wah, Yuu jago juga tuh. Tapi buat menaklukkan aku yang udah veteran ini, masih kurang greget, ya? Lihat deh mukanya merah kayak tomat… Gimana ya, enaknya aku godain balik nanti?” atau semacam itu. Serius deh, cewek ini kelakuannya emang nyebelin. Siapa sih yang bodoh banget sampai jatuh cinta sama dia…!?
Aduh, ya sudah lah. Aku menyerah, menyerah total.
Terserah, aku sudah nyium pipinya, jadi mending akhiri aja pertarungan enggak jelas ini.
“H-Hi—Himari. Aku salah, oke? Tapi, tetap aja, di tempat umum kayak gini tuh…”
Hmm?
Pas aku menoleh ke arahnya, ada yang aneh. Dia mendadak diam mematung, wajahnya merah sampai ke daun telinga, dan mulutnya cuma bisa membuka-menutup kayak ikan kehabisan oksigen, kayak mau ngeluarin uap panas—psshuuu~ gitu.
(Hah? Jadi dia ini… yang sok-sok punya banyak pengalaman cinta, ternyata gampang panik kalau diserang balik? Klise banget enggak sih…)
Kalau dipikir-pikir, sejak bulan April kemarin dia emang beberapa kali kelihatan aneh. Jangan-jangan… selama ini, di balik lagaknya yang sok tenang itu, dia selalu kayak gini?
Begitu aku sadar akan kenyataan itu, muncul rasa puas yang luar biasa sulit dijelaskan.
Ada sensasi aneh merambat di punggungku, bikin aku refleks meraih bahu Himari. Dia sempat tersentak, tapi bukannya menjauh, dia malah balik menatapku lekat-lekat.
“H-Himari…”
"Yuu…"
Dug dug dug dug — suara detak jantungku menggema kencang di telinga.
Gawat. Gawat banget. Eh, tunggu, Himari secantik ini, ya? Ya, aku tahu dia emang cantik, tapi… mukanya merah padam, lho!? Gila, perbedaan dari biasanya itu luar biasa banget. Aku dari tadi cuma bisa bilang “gawat” dan itu justru yang paling gawat. Eh, aku bahkan enggak tahu harus ngapain, dan itu juga—gawat!
Saat aku sedang sibuk menyelenggarakan rapat darurat bunga-bunga di dalam otak, Himari menatapku dengan cemas dan bertanya pelan.
"Y-Yuu… kamu… enggak mau?"
"…………"
Terdengar suara halus… seperti akal sehatku yang barusan retak.
(Udahlah, bodo amat—langsung aja!)
Dengan tekad bulat, aku mulai mendekatkan wajahku ke arah Himari… Tapi saat itu juga—sebuah suara cowok asing, super percaya diri, menusuk langsung ke telingaku!
"Yahaa, Yuu-kun! Kamu udah lihat belum tuh kembang api spesial yang aku desain sendiri!?"
“Ah…"
Saat aku menoleh, kulihat Hibari-san sedang berlari ke arah kami, mengenakan selempang panitia. Begitu melihat suasana di antara kami, wajahnya langsung membeku seolah berkata, “Ah, kacau…”
Dooon! — kembang api meledak di langit.
Puluhan kembang api kecil berwarna merah muda pecah bersamaan di angkasa malam. Selagi masih menyala, celah-celah di antaranya langsung diisi oleh kilatan hijau yang menyusul. Saat kedua warna itu bertumpuk satu sama lain—aku langsung tahu.
Itu… bunga Azalea.
Bunga mungil nan anggun, juga dikenal sebagai semacam rhododendron dari Barat. Bunganya yang mekar serempak dalam warna mencolok memberi kesan seperti buket kebahagiaan yang berkilauan.
Makna bunga Azalea adalah "pengekangan," "pantang minum alkohol"—dan "kebahagiaan dalam cinta."
Bunga yang mengajarkan untuk saling menjaga tubuh satu sama lain demi mencintai sepenuh hati.
Bunga yang melambangkan cinta sehat dan abadi.
…Ini gawat. Hibari-san, pilihan bunganya gawat banget.
Dalam sekejap, bibirku yang sempat terhenti kembali menempel lembut di bibir milik Himari. Tubuhnya menegang sesaat, tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan gerakan lembut, seolah mencicipi bibirku sedikit demi sedikit.
…Waktu di ladang bunga matahari, kepalaku terlalu kosong untuk menyadarinya, tapi sekarang aku tahu—ciuman itu terasa begitu lembut. Mungkin ini karena yang kucium adalah Himari, gadis paling manis sedunia.
Hibari-san bergumam pelan, dengan ekspresi serba salah.
“B-begitu ya. Kalian lanjut…… Aku enggak lihat apa-apa, sumpah.”
Sambil komat-kamit enggak jelas, dia pun beranjak pergi.
…Rasa malu yang meluap-luap jelas luar biasa, tapi sekarang bukan saatnya memikirkannya. Besok pagi aku mungkin bakal meringkuk di atas kasur sambil merintih karena black history ini, dan Hibari-san mungkin bakal datang dengan senyum lebar sambil bawa formulir nikah. Tapi ya sudahlah. Dibandingkan dengan imutnya Himari, semua hal lain di dunia ini terasa enggak penting.
Siapa pun itu, takkan bisa menghancurkan hubungan kami.
Saat itu, aku benar-benar percaya akan hal itu… dengan penuh keyakinan.
Post a Comment