NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 3 Chapter 2

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 2

 “Hanya memandangmu seorang.”


♣♣♣

     Hari itu, ketika Himari tiba di rumah, ia terkejut mendengar penjelasan yang ada, sampai-sampai berseru nyaring dengan suara tinggi.

     “Hah!? Apa-apaan itu? Maksudnya apa coba, pertandingan segala!?”

     “Eh, ya… bisa dibilang begitu, sih….”

     Saat itu, Kureha-san sudah tidak ada di sana.

     Enomoto-san, yang datang bersama Himari, mengepalkan tangan sambil mengetukkan meja dengan geram.

     "...Dia lolos lagi. Padahal kali ini aku berniat menyeretnya langsung ke hadapan Ibu."

     “Kebencian Enomoto-san ke kakaknya tuh udah level ekstrem banget, ya….”

     Himari menoleh ke arah Hibari-san.

     “Lagian, dari cerita barusan, jelas-jelas ini gara-gara Onii-chan, kan!”

     Hibari-san sendiri sedang duduk santai menikmati teh bersama Saku-neesan. Terlihat benar-benar rileks, deh. Memang aku pernah dengar mereka berteman, tapi kayaknya ini pertama kalinya aku lihat mereka ngobrol bareng begini, ya?

     "Soal itu, aku enggak akan cari-cari alasan. Tapi, Himari… bagaimanapun juga, aku butuh alasan supaya Kureha-kun menyerah sama kamu."

     "Yaa ampun. Masalahnya kan gampang—asal aku enggak ke Tokyo, semuanya kelar. Enggak perlu sampe nyulut keributan segala…."

     "Apa kamu bisa langsung lunasin utang yang kamu bikin pas libur Golden Week kemarin?"

     "Ugh… Tapi itu, kan, gara-gara Onii-chan yang—"

     "Itu utang pribadimu. Keluarga Inuzuka sama sekali enggak akan ikut campur."

     "Kejaaam! Jahaaat!"

     Himari mencoba mencari dukungan, tapi untuk yang satu ini, rasanya memang enggak ada yang bisa menolong. Bahkan kalau kami mau pakai dana kegiatan grup "you", sepertinya tetap enggak bakal cukup.

     "Saku-neesan, Kureha-san itu orangnya gimana, sih? Soalnya aku enggak bisa ngerti, deh… kok bisa-bisanya nyoba 'perdagangan' orang kayak barang gitu…."

     "Hmm? Enggak sekompleks itu, kok. Gampangnya aja, dia itu kayak robot."

     "Robot?"

     "Tujuan adalah segalanya. Anak itu tipe orang yang menganggap semua hal lain cuma pion demi mewujudkan mimpinya punya agensi sendiri."

     "Agensi sendiri, ya…"

     "Iya. Sama kayak kamu, kan? Tapi sebaiknya kamu enggak usah berharap bisa akrab sama Kureha. Antenanya beda banget dari kamu."

     Saku-neesan membuka bungkus camilan yang bertuliskan “Pohon Cokelat”. Karena tadi dia mengeluarkannya dari kantong plastik bandara Haneda, sepertinya itu oleh-oleh dari Kureha-san.

     "Antenaku beda banget, maksudnya?"

     Aku sendiri kurang paham maksudnya apa, tapi Himari dan Enomoto-san langsung mengangguk pelan, seperti baru menyadari sesuatu.

     Sambil mengunyah milky cheese chocolate yang ditinggalkan Kureha-san, Saku-neesan menjelaskan lebih lanjut.

     "Kamu itu, kan, tipe orang yang semangat karena ada yang suka sama kamu. Dalam kasus ini ya, kayak para fans aksesorimu atau Himari-chan yang selalu dukung kamu."

     "Bukannya itu hal yang wajar?"

     "Kureha itu kebalikannya. Dia berusaha sekuat tenaga buat nunjukkin ke orang-orang yang meremehkannya kalau mereka salah. Bisa dibilang, dia punya prinsip ‘Anti harus dibasmi total’. Dia terobsesi sama orang-orang yang enggak ngakuin caranya, dan satu-satunya cara dia bisa ngerasa berhasil adalah dengan ngalahin mereka habis-habisan."

     "Apa-apaan tuh. Enggak sehat banget…"

     "Tapi, memang ada kok orang yang punya sifat kayak gitu. Dan justru, kalau perasaan negatif kayak gitu dipakai sama orang yang kerja keras dengan cara yang benar, hasilnya bisa luar biasa. Nyatanya Kureha memang sukses, kan? Jadi kita juga enggak bisa serta-merta bilang caranya salah."

     Orang-orang yang ada di ruangan itu pun terdiam dengan ekspresi muram. Sepertinya, semua sepakat dengan penjelasan barusan. …Cokelat keju milky yang dibawa Kureha-san ini enak juga, ya.

     "Makanya, cara kamu jadi kelihatan terlalu lembek. Bukan berarti salah sih, tapi kalau ini menyangkut hidupnya Himari-chan juga, ya jadi makin berat, kan?"

     "Tapi kenapa, sih, dia sebegitu ngototnya sama Himari?"

     "Itu karena dia benar-benar percaya sama bakat yang Himari-chan punya. Atau mungkin, dia merasa kayak ngelihat masa lalunya sendiri… jadi enggak bisa tinggal diam."

     Saku-neesan sempat hendak mengucapkan sesuatu yang terdengar penuh makna, tapi buru-buru menutup mulutnya.

     "Yang jelas, selama belum menang dalam pertandingan, dia enggak akan nyerah. Anak itu, tipe yang gampang banget dendam."

     "…Kalau misalnya Himari kabur, gimana?"

     "Hmm… mungkin seumur hidup kalian bakal diburu, deh. Kureha sih kemungkinan besar enggak bakal melanggar aturan, tapi… misalnya dia buka toko aksesori bunga yang persis sama di kota ini, lalu hancurin usaha kalian pakai kekuatan modal? Bisa-bisa kalian langsung gulung tikar."

     Saku-neesan tertawa keras, tapi... terus terang, itu bukan sesuatu yang bisa ditertawakan.

     Secara alami, pandangan kami semua lalu tertuju ke arah Himari.

     "Himari... Kamu tahu sendiri gimana orangnya, tapi waktu itu kamu tetap nekat ngejebak dia pas lagi nawarin bergabung?"

     "Kalau dari awal aku tahu itu agensinya Kureha-san, udah pasti aku langsung nolak, tahu!?"

     Himari cemberut sambil bergumam pelan, "Lagi pula waktu itu juga Yuu bilang hal aneh, jadi aku keburu panas juga, deh..."

     Kalau udah gitu, aku juga enggak bisa ngomong apa-apa. Soalnya memang, kejadian ini juga sebagian besar salahku. ...Jujur aja, hubungan kami sebagai satu tim yang saling bergantung ini justru jadi bumerang sekarang.

     "Yah, bisa dibilang kalian tuh lumayan beruntung juga, lho. Kalau si Hibari-kun enggak ikut campur, mungkin kesempatan pun kalian enggak bakal dapat. Kadang mantan pacar yang putusnya ribut juga masih ada gunanya, ya."

     "Sakura-kun... tolong, jangan di lanjut lagi..."

     Hibari-san menoleh ke samping dengan wajah canggung. Saku-neesan hanya tertawa senang sambil mencolek pipinya.


     Hanya dari gerakan kecil itu, aku benar-benar merasakan bahwa Saku-neesan dan Hibari-san memang berteman. Aku jadi menyadari, ada hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua… atau mungkin bertiga, termasuk Kureha-san, yang sama sekali tidak kuketahui.

     Hibari-san berdeham pelan.

     "Yang jelas, fakta bahwa Himari mengkhianati kepercayaan membuat Kureha-kun sangat marah. Meski belum ada kontrak resmi, tapi janji yang sudah dibuat lalu dibatalkan sepihak itu... jelas tindakan yang memalukan sebagai manusia. Bahkan lebih rendah daripada binatang. Saat ini, nilai Himari mungkin setara tikus got yang berkeliaran di selokan."

     "Eh? Onii-chan, itu kejam banget enggak, sih? Masa sampe dibilang tikus got? Padahal aku ini, gimana pun juga, masih gadis cantik, lho?"

     "Berisik. Kamu enggak usah banyak omong. Diam aja di pojokan."

     "Onii-chan sebenarnya kesel karena aku batalin meeting hari ini, iya kan!?"

     Himari merajuk sambil bergumam "ciu-ciu" dengan mata berkaca-kaca di pojokan ruang tamu.

     Kucing peliharaan kami, Daifuku, datang dan menepuk-nepuk punggungnya dengan ekornya seolah sedang menghiburnya. Lalu Enomoto-san menatap pemandangan itu dengan ekspresi penuh iri. …Kalian ini santai banget, ya.

     "Tapi jujur aja, aku ngerasa kayaknya kita enggak bakal bisa menang, deh…"

     Begitu aku berkata jujur, Hibari-san langsung menepuk pundakku dengan keras dan penuh semangat.

     "Yuu-kun, kamu enggak usah khawatir. Kalau sampai kalah dalam pertarungan ini, kita tinggal serahin Himari, lalu kamu dan aku buka toko aksesori berdua saja."

     "Oke, maksudnya ini pertarungan yang enggak boleh kalah udah tersampaikan... walau agak muter."

     Begitu aku bilang, Enomoto-san langsung bereaksi.

     Ia mengepalkan tangan erat-erat dan berseru penuh semangat,

     "Aku juga ada kok! Jadi tenang aja!"

     "Enomoto-san… kamu sadar enggak sih, omonganmu barusan itu kayak udah nganggep Himari enggak ada?"

     Sementara itu, Himari menatap ke arah kami dengan pandangan penuh dendam sambil berbisik,

     "Dasar selingkuhan..."

     ...dan mulai mencabuti bulu ekor Daifuku satu per satu. Tolong hentikan, ya. Kucing kami juga punya hak hidup damai.

     "Pokoknya, Yuu-kun cukup bikin aksesori terbaik kayak biasa."

     "Tapi soal isi tantangannya… jujur aja, kayaknya Kureha-san dari awal emang enggak berniat kasih kita peluang menang, kan?"

     Hibari-san hanya tersenyum kecil, lalu menepuk pundakku.

     "Enggak usah khawatir. Kamu pasti bisa membalikkan keadaan. Aku bantu kamu sejauh ini karena aku benar-benar jatuh hati sama aksesori buatanmu."

     "……"

     …Benar juga. Aku enggak punya waktu buat nyesel.

     Bagaimanapun juga, kalau kami kalah, Himari akan dibawa pergi. Padahal waktu itu, saat aku bilang mau berhenti bikin aksesori, Himari bilang dia bakal tetap percaya dan menungguku. …Untuk membalas kepercayaan itu, kali ini aku yang akan menyelamatkan Himari. Karena kami ini—satu tim, satu takdir.

     Saat aku berpikir begitu, tanpa sengaja tatapanku bertemu dengan Saku-neesan. Ia menghela napas kecil, seolah menyimpan sesuatu, lalu berkata singkat. 

     "Adik bodoh. Lakukan yang terbaik, ya?"

     "…? Iya, aku tahu kok, tapi..."

     Aku sendiri… jujur enggak paham apa sebenarnya arti dari ekspresinya barusan.

♣♣♣

     Keesokan harinya. Upacara penutupan semester selesai di pagi hari, menandai dimulainya liburan musim panas secara resmi. Begitu jam pelajaran terakhir selesai, Himari langsung berdiri dengan wajah cerah penuh semangat.

     "Ayo, Yuu! kita cari kenangan musim panas bareng!"

     Ugh…

     Apa-apaan itu, kedengarannya super remaja banget. Jujur aja, aku sampai agak malu sendiri. Minimal, tolong jangan ngomong beginian di dalam kelas, deh.

     "Himari, kamu kelihatan senang banget ya…"

     "Ya jelas dong. Kan sekarang liburan musim panas! Pasti seru banget lah~!"

     "Eh, eh. Inget dong, kamu masih jadi targetnya Kureha-san, kan?"

     "Tenang aja! Soalnya Yuu pasti menang, kan! Lagian, aku juga udah nyiapin rencana rahasia buat jaga-jaga!"

     "Rencana? Kamu beneran punya?"

     Himari menjawab sambil memasang ekspresi bangga.

     "Aku bakal masuk ke agensinya, terus langsung berhenti!"

     "Kamu tuh, ngomong sembarangan kayak gitu makanya dimarahin..."

     Masalah ini juga terjadi gara-gara dia terlalu ngandalin omongan manisnya. Sepertinya aku harus lapor ke Hibari-san…

     Kami keluar dari kelas dan menuruni tangga.

     "Tapi tunggu deh, itu tetap aja artinya kamu harus keluar dari sekolah, kan? Ribet banget, enggak sih?"

     "Santai aja! Soalnya Yuu bakal nanggung hidupku seumur hidup, kan~?"

     "...Maksud kamu, kita bakal ngelola toko bareng, kan? Jangan ngomong kayak gitu, jadi salah paham."

     "Salah paham? Kenapa emangnya?"

     "Ya… gimana ya… kedengerannya kayak kita mau nikah atau gimana gitu…"

     Tiba-tiba, Himari berhenti melangkah.

     Aku berada beberapa anak tangga di bawahnya. Saat menoleh ke belakang, aku harus mendongak untuk melihat wajahnya.

     Ekspresi Himari yang berbeda dari biasanya membuat jantungku berdebar kencang.

     "Aku enggak ingat pernah ngomong kayak gitu."

     "Hah...?"

     Himari menutup mulutnya dengan kedua tangan dan bicara dengan malu-malu.

     "Kamu cuma boleh lihat aku aja, kan?"

     "…………"

     Mata biru lautnya tampak bergetar dengan rasa cemas.

     Pasti karena pengaruh Kureha-san. Sebaik dan setenang apa pun Himari kelihatannya, enggak mungkin dia benar-benar enggak khawatir sama sekali. Dari luar Himari kelihatan kuat, tapi… aku tahu sebenarnya dia cuma gadis biasa.

     "H-Himari. Aku pasti menang lawan Kureha-san… Hah?"

     Saat aku hendak mengucapkan sesuatu yang super serius dan agak lebay, Himari malah menahan tawa sambil tubuhnya gemetar pelan.

     …Ah, sial.

     “Puhaha! Akhirnya bisa ngejebak Yuu lagi setelah sekian lama!!”

     “Himariiii!?”

     Aku lengah!

     Gara-gara akhir-akhir ini sering minta bantuan Enomoto-san, instingku jadi tumpul!

     Dengan wajah senang, Himari menjulurkan jari dan menggosok-gosok ubun-ubunku dari atas.

     “Hei, hei. Yuu, barusan kamu mau ngomong apa, sih? Kayak, ‘Aku akan lindungi kamu dari Kureha-san, apa pun yang terjadi!’ gitu ya~?”

     “Sumpah, ngeselin banget. Mau aku kalah beneran aja, gimana?”

     “Eeh~? Bilang apa sih~? Padahal Yuu kan sebenarnya suka banget sama aku~?”

     "…………"

     Sungguh. Aku bukan mesin buat bikin kamu ketawa “puhaha” tiap saat…—wah, eh!? Tiba-tiba Himari nyandar ke badanku dari atas tangga!

     “Himari, bahaya!”

“Soalnya ya, akhir-akhir ini Yuu cuek banget sih. Aku jadi kesepian~. Bikin aku ketawa lagi dong~.”

     “Apa sih permintaanmu. Dan serius, minggir dulu. Gerah, tahu.”

     “Eh, eh. Tapi kan, keringat asli cewek cantik tuh kayak hadiah di kalangan tertentu, ya enggak?”

     “Keringat asli? Astaga, kamu tuh harus benerin kosa katamu yang kayak om-om itu deh. Idol mana sih yang kamu tiru sampe ngomong kayak gitu?”

     Aku membalas dengan cepat, tapi jantungku berdebar kencang.

     Enggak bisa. Serius. Aku enggak sanggup. Himari nempel banget, aku sampe susah napas. Maaf ya, tapi aku gak punya ruang di hati buat nikmatin “keringat asli cewek cantik” kayak gitu. Jangan-jangan… ini yang namanya cinta? Iya, cinta sialan ini.

     Tanpa sadar, aku nyisihin dia dengan tanganku.

     "Serius, lepasin aku!"

     "Auuh!?"

     ...Aduh.

     Tangan Himari yang tadi coba aku singkirkan secara paksa...

     Tanpa sengaja, doronganku terlalu kuat dan malah bikin Himari terdorong ke belakang. Tubuhnya kehilangan keseimbangan... dan jatuh ke lantai bawah.

     (Gawat...!)

     Saat rasa panik langsung menjalar dalam tubuhku... Himari jatuh terduduk dengan keras di tangga tengah.

     Lalu dia menjerit kesakitan.

     "Uwaaah... sakitnyaaa!!"

     "H-Himari... K-kamu enggak apa-apa...!?"

     Himari menatap tajam lalu memukul kakiku dengan telapak tangannya.

     “Huh! Ini semua gara-gara Yuu yang ngamuk-ngamuk, jadi aku jatuh, tahu!”

     “A-ah, ehm… maaf…”

     Jantungku berdegup kencang, tapi kali ini karena alasan yang berbeda dari sebelumnya.

     Untungnya kami sedang ada di dekat bordes tangga. Kalau tadi kejadiannya di tangga atas…

     (…Gara-gara terlalu fokus sama Himari, konsentrasiku jadi kacau?)

     Aku menghela napas panjang.

     Aku harus lebih hati-hati. Himari itu orangnya suka berlebihan kalau soal interaksi, dan kalau gue terlalu reaktif juga… eh, bentar? Ini semua awalnya juga karena dia yang suka nempel-nempel duluan, kan?

     Waktu aku lagi menggerutu dalam hati, tiba-tiba ada suara dari atas tangga.

     “Yuu-kun, Hii-chan, kalian lagi ngapain sih?”

     “Ah, Enomoto-san.”

     Waktu aku mendongak, kulihat Enomoto-san turun tangga dengan langkah ringan. …Dada, ya ampun.

     Saat aku mati-matian menghindari pandangan, Himari yang baru saja bangkit langsung lari ke arah Enomoto-san dan mulai merengek.

     “Uweee. Enocchi! Aku dijatuhin sama Yuu~! Hiburlah aku pake oppai-mu~!”

     “Pasti kamu yang mulai duluan, kan. Itu sih salahmu sendiri.”

     Kepercayaan mutlak terhadap Himari tuh sama sekali enggak kelihatan di sini.

     Enomoto-san, seperti sudah tahu kejadian sebelumnya, langsung menebak dengan tepat, lalu menangkap kepala Himari yang mencoba menyelinap dan menenggelamkan wajahnya ke dadanya.

     Dengan jurus Iron Claw seperti biasa yang menghancurkan nafsu duniawi Himari, Enomoto-san lalu menoleh padaku dan tersenyum cerah, manis banget sampai silau.

     “Yuu-kun, yuk cari kenangan musim panas bareng.”

     “Kalau aja di tangan kananmu Himari enggak lagi jerit-jerit kesakitan, suasananya bakal jauh lebih terasa kayak kisah remaja.”

     Tampangnya itu, lho.

     Kalau mau jujur sih, dia lebih keliatan kayak algojo gila daripada cewek manis. Enomoto-san tuh kesannya imut, tapi pada akhirnya, dia memang adiknya Kureha-san, ya.

     Akhirnya, kami bertiga pun berangkat menjelajahi kota di tengah musim panas.

♣♣♣

…Eh, panas banget, sih.

     Matahari nyengat banget dan panas dari aspal mantul ke mana-mana. Jalan raya pedesaan… bener-bener panasnya enggak nahan.

     Dengan begini sih, mana bisa nyari kenangan musim panas?

     Jadi ya, kami langsung kabur nyari tempat yang ada atapnya.

     Kami masuk ke sebuah kafe tersembunyi yang ada di jalan kecil dekat jalur 10.

     Namanya Kissa-ya Masshi.

     Jujur aja, ini tempat yang jual sepiring es krim waffle setinggi empat lapis yang bikin kamu mikir, “Ini sih satu lapis aja udah cukup, ya?” — dan itu cuma seharga satu koin. Rasanya enak, tapi yang bikin paling mencolok tuh, saus cokelat yang disiram penuh dalam pola kotak-kotak di atasnya. Bener-bener fotogenik.

     Ini sih kualitas mengejutkan ala pedesaan… kalau di kota, pasti harganya di atas seribu yen.

     Aku rendam waffle-nya yang empuk pakai es krim vanila yang mulai meleleh, terus celupin sedikit ke saus cokelat, lalu langsung kunyah banyak-banyak. Enak banget.

     Makanan manis tuh luar biasa. Enggak peduli musim apa, dia selalu bisa nyegerin hati. Masalahnya cuma satu: Enomoto-san yang duduk di seberang meja lagi ngadep ke aku sambil mantengin dan megang HP-nya kayak mau motret dari tadi.

     “...Enomoto-san. Emang seru ya motretin aku lagi makan wafel gini?”

     “Seru kok. Penuh penemuan baru.”

     “Bukan itu maksudku, kenapa enggak motretin si makanan manis aja sekalian?”

     “Oh, itu udah kok. Foto buat Twitter-ku udah aku ambil barusan.”

     “Bukan itu juga maksudnya…”

     Padahal aku udah berusaha nyindir halus, ‘tolong, berhenti’, gitu. Tapi kayaknya enggak nyampe maksudnya... Eh, tunggu. Dia senyum nyengir gitu. Ah, ini sih udah nyampe tapi pura-pura enggak ngerti. Dan yang ngeselin, itu malah bikin dia makin keliatan lucu. Gimana coba?

     Terus, di sebelahku, Himari ngasih senyum lebar sambil ngasih tekanan. Apaan, sih.

     Kayak mau bilang, “Ohoho~ Lagi mesra-mesraan nih kalian berdua, ninggalin pasangan paling imut, si manis Himari. Awas, es krimnya meleleh tuh liat kalian.” Gitu. Ya udah, aku akuin sih, Himari hari ini emang keliatan super imut, sampe kayak menu di restoran Prancis gitu judulnya: "Wafel Musim Panas dengan Saus Stroberi," Tapi tetap aja, aku kurang suka tipe cewek yang suka jualan “aku manis banget kalo barengan dessert~” buat keliatan imut. Rasanya... kayak mereka punya pride tinggi banget.

     Sambil masukin potongan wafel buat netralin mulut, aku tiba-tiba nanya sesuatu yang dari tadi aku pikirin.

     “Ngomong-ngomong, maksudnya ‘kenangan musim panas’ tuh kayak gimana, sih?”

     “Aku juga enggak tahu~”

     Kami memang asal aja jalan ke kota, tapi rasanya muter-muter tanpa arah itu juga bukan solusi. Maksudku, bisa mati kepanasan. Ngebut naik sepeda keliling kota di bawah matahari begini tuh cuma boleh dilakukan anak SD.

     Enomoto-san menyeruput es tehnya pelan-pelan lalu nanya. 

     “Kali ini, kamu mau pakai bunga dari taman itu?”

     “Enggak, bunga-bunga itu masih butuh waktu sebelum mekar. Kayaknya, kali ini kita harus beli bunga lagi… atau cari yang tumbuh liar di suatu tempat.”

     Kali ini temanya memang agak ngambang.

     Waktu pertama kali aku ngerjain proyek bareng Enomoto-san, temanya ‘cinta’. Murid-murid lain di sekolah juga punya tujuan yang jelas. Tapi kali ini, temanya cuma ‘musim panas’ dan ‘kenangan’.

     Musim panas yang mana? Kenangan siapa? Yang sifatnya universal? Atau lebih personal? Mau ngungkapin panasnya musim? Atau kayak kami sekarang, nemu kesejukan yang bikin senang karena kepanasan? Lagian, enggak harus musim panas di Jepang juga, kan…?

     Tema yang cukup sering dipakai sih, tapi justru karena terlalu bebas, malah bikin bingung.

     “...Yang paling sulit, sih, karena kali ini kita enggak bisa komunikasi langsung sama kliennya.”

     Selama ini, kami selalu meminta pengecekan dari klien di setiap tahap. Fakta bahwa sekarang kami tidak bisa melakukannya… diam-diam cukup menyulitkan.

     Memang sejak awal ini adalah pertanyaan tanpa jawaban pasti, tapi ditambah lagi dengan “selera klien” sebagai bumbu, jadi makin rumit dan enggak jelas. Rasanya kayak soal terakhir di "HUNTER×HUNTER" yang disukai Saku-neesan—bener-bener membingungkan.

     Himari menjilat saus stroberi yang menempel di sendok dan berkata. 

     “Kayaknya daripada mulai dari bunganya, mending kita mulai dari situasi deh.”

     “Situasi?”

     “Maksudku, kita fotoin aja sebanyak mungkin pemandangan yang terasa musim panas banget, nanti bunganya tinggal dicocokin belakangan.”

     “Oh, maksudmu gitu ya…”

     Berarti, ini kebalikan dari waktu aku kerja bareng Enomoto-san dulu.

     Tapi jujur aja, aku kurang jago di bagian itu. Soalnya sampai SMP, aku jarang main sama teman-teman, jadi agak kesulitan kalau harus nyari gambaran umum tentang “kenangan musim panas” yang umum.

     “Kalau gitu, gimana kalau aku sama Enocchi aja yang mikirin hal-hal yang terasa ‘musim panas’?”

     "Eh... Hii-chan kayaknya pasti cuma bakal nyebut hal-hal yang mesum deh."

     "Segitunya? Padahal aku ini, seenggaknya masih siswi SMA, lho?"

     "Itu sih karena kelakuanmu sehari-hari... Ya udah, coba aja sebut satu hal."

     Aku sebenarnya sepenuhnya setuju sama Enomoto-san, jadi jujur aja, aku enggak mau dengar.

     Tapi Himari dapat kesempatan buat balikin nama baiknya, dan mulai mikir sambil mengangguk-angguk kayak pendeta Zen. Lalu tiba-tiba matanya terbuka lebar.

     "Kan, dari jalur 10 kalau belok ke arah laut, ada hamparan ladang tuh?"

     "Ah, iya. Ada."

     "Di sana ada bangunan prefab tanpa penjaga yang banyak banget mesin minumnya, kamu tahu kan?"

     "Yang kayak kios penjual mandiri zaman dulu itu? Memang sih, pemandangannya cukup terasa nuansa musim panasnya..."

     "Senja. Dalam perjalanan pulang dari klub. Aku berjalan pulang bersamamu, teman masa kecilku."

     “Waduh, ini kayaknya ceritanya mulai jalan, nih…”

     Dengan wajah penuh rasa bangga, Himari melanjutkan ceritanya tanpa ragu.

     “Hujan yang datang tiba-tiba. Kita pun berteduh di bangunan prefab terdekat. Ladang yang terbentang luas tertutup tirai hujan dalam senja yang remang-remang, seolah menutupi pandangan dunia terhadap kita—bahkan suara kita pun ikut lenyap. Hanya ada kita berdua, jarak bahu cuma tiga sentimeter. Di bawah cahaya redup dari mesin penjual otomatis, pipimu memerah diterpa cahaya lembut itu—”

     Kayak cerita picisan aja.

     Bukan maksud menjelekkan, tapi Himari itu emang kayaknya enggak cocok sama hal-hal kreatif. Dia jago banget dalam hal menikmati atau mendaur ulang sesuatu, tapi kalau disuruh bikin sendiri… parah deh. Katanya, masak pun dia enggak bisa sama sekali.

     Saat aku mulai putus harapan, Enomoto-san malah terlihat cukup serius menyimak.

     “Terus, habis itu gimana?”

     Dia mencondongkan badan sedikit, bertanya dengan antusias sambil menghembuskan napas kecil lewat hidung. Mungkin sebenarnya dia suka cerita kayak begini. Imut juga, sih.

     “Setelah itu? Hmm…”

     Kelihatannya si Himari benar-benar belum mikir sampai situ.

     Begitu aku merasa, “Ah, ini bakal jadi hal yang enggak enak,” dia langsung meledakkannya.

     “Melihat bra pink-mu yang basah dan tembus pandang, aku pun kehilangan kendali—”

     “Ya udah, dicoret. Mulai sekarang kamu dilarang ngomong.”

     Ujung-ujungnya, balik ke topik mesum juga.

     Enomoto-san yang tadi kelihatan cukup antusias, sekarang justru tampak kecewa berat. Sambil menusuk-nusuk wafel pakai garpu, dia bergumam dengan nada murung.

     “Kayaknya aku batal deh jadiin Hii-chan nomor satuku…”

     “Eh, jahat banget. Kayak kamu enggak pengin keliatan temenan sama aku aja.”

     Itu barusan Himari yang ngomong sendiri, lho… Dan jujur aja, aku pun ngerasa hal yang sama. Kalau bisa, aku juga pengin dia balikin cincin nirinsou itu.

     Himari, dengan marah mengatakan “Inilah kenapa orang-orang polos tuh nyebelin—” lalu bertanya. 

     “Kalau gitu, Enocchi gimana?”

     "Eh? Aku?"

     "Enocchi dari dulu suka banget sama manga romantis, jadi pasti soal kenangan musim panas yang manis-manis gitu kamu cerewet, deh."

     "Aku sih enggak punya preferensi khusus atau apa gitu ya…"

     Saat itu juga, tanpa sengaja aku bertatapan mata dengan Enomoto-san. Entah kenapa wajahnya langsung memerah, lalu dia memalingkan pandangannya sambil bergumam pelan.

     "Kalau sama Yuu-kun sih… di mana aja juga enggak apa-apa, kok…"

     "Eh, tunggu. Kita tadi lagi ngomongin soal pengalaman pertama ideal, ya? Tolong, aku serius, jangan kayak gini…"

     Ya, itu memang bisa dibilang kenangan musim panas sih. Tapi kalau aku enggak terbiasa dengan lelucon mesum Himari sehari-hari, bisa-bisa aku udah batuk darah sekarang.

     Dan Himari, bisa enggak sih kamu berhenti nutupin mulutmu sambil bilang, “Waaah, Enocchi berani sekaliii~♡” gitu? Soalnya nanti aku yang repot pas suasana mulai awkward.

     "Yah, daripada dipikirin ribet-ribet, mending kita mulai dari yang gampang-gampang dulu aja, deh…"

     Aku pun menghabiskan sisa wafflenya. Enak. Enak banget. Tapi karena tadi belum makan siang, rasanya masih agak kurang aja.

     Meskipun begitu, kalau aku pesan lagi sekarang, sepertinya bakal enggak habis.

     "Ah, Yuu, ini buat kamu~"

     Himari yang duduk di sebelahku menyodorkan piring miliknya.

     Isinya masih setengah. Atau lebih tepatnya, dari awal memang sudah sengaja disisihkan.

     "Himari, kamu enggak makan?"

     "Enggak~ Soalnya aku tadi juga belum makan siang, terus aku mikir kamu pasti masih lapar. Buat aku kebanyakan juga sih, jadi ambil aja~"

     …Hmm.

     Ini agak gimana gitu. Meskipun kami sahabat dekat, tetap aja rasanya… aku lagi dikasih makan kayak binatang peliharaan. Tapi ya, karena kamu bilang begitu, aku terima dengan senang hati, sih.

     Pas lagi begitu, entah kenapa Enomoto-san terlihat gelisah dan canggung.

     "A-aku juga kasih punyaku, kok!"

     "Enggak nyangka, Enomoto-san ikutan juga..."

     Kenapa jadi begini, sih? Apa ekspresiku tadi kelihatan segitu penginnya?

     Saat aku masih bingung, Himari menantang Enomoto-san dengan senyum penuh percaya diri.

     "Wah wah, Enocchi, kamu lumayan juga, ya?"

     "...Hii-chan. Aku enggak akan kalah."

     Tunggu, tunggu.

     Jangan seenaknya bikin suasana jadi serius kayak gitu sambil ngelupain aku yang ada di tengah-tengah. Jujur aja, aku juga enggak ngerti kalian lagi bersaing soal apa.

     Lalu, Himari mulai bergerak.

     "Nih, Yuu. Aaa~n ♡"

     "…………"

     Guhah...

     Apa perlu banget sih pakai "aaan~"? Lagi pula, potongan waffle-nya udah dipotong rapi jadi ukuran sekali makan, dengan es krim dan saus stroberi yang ditata cantik di atasnya. Jangan-jangan kamu tipe orang yang kalau makan ramen, suka nyusun mini ramen di atas sendok dulu, ya!?

     "Nfufufu~. Bisa disuapin sama cewek secantik aku, Yuu tuh beruntung banget, kan? Nih, ayo kita tunjukin ke semua orang betapa akrabnya kita ♪"

     "Tunjukin ke siapa? Terus, emangnya ada untungnya buat kita?"

     "Siapa tahu~?"

     Dia melirik ke arah Enomoto-san sekilas.

     Melihat itu, Enomoto-san langsung cemberut dan buru-buru menusuk waffle dengan garpu!

     "Yuu-kun! Nih juga, makan yang ini!"

     "Ugh..."

     Enomoto-san juga jelas-jelas enggak mau kalah.

     Yang satu itu, dengan cukup brutal, menyodorkan waffle yang ditusuk langsung dengan garpu. Enomoto-san, kamu bisa terima selera estetika kayak gitu? Bukannya kamu penerus toko kue Prancis keluarga? Lagian, waffle-nya itu, gara-gara tadi ditusuk-tusuk pakai garpu, sekarang jadi penuh lubang...

     "Ayo, Yuu♡"

     "Yuu-kun!"

 


Dua wajah cantik itu makin lama makin mendekat. Aku secara refleks mundur, dan kursiku pun bergeser sambil mengeluarkan suara berderak. Berteduh dari hujan saat senja, aku tak bisa menahan diri saat melihat bra pink miliknya... — hei, jangan sampai kebawa pengaruh cerita itu, dong, aku!

     Tekanan dari mereka berdua benar-benar terasa.

     Sepertinya mereka bersaing untuk jadi yang pertama menyuapkanku.

     Tapi, tetap saja, disuapi cewek tuh malu banget, tahu! Aku mau makan sendiri... eh, enggak bisa ya? Hanya dengan gerakan mata saja, mereka sudah bisa membaca niatku dan langsung menatapku tajam.

     (...Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aman-aman aja kalau aku terima dari Himari.)

     Kami kan sahabatan? Selama ini juga sering berbagi makanan, kok?

     Tapi, entah kenapa. Dalam kondisi psikologisku sekarang, itu kayaknya bakal berbahaya. Maksudku, aku bisa jadi supergugup dan bertingkah aneh.

     Ya sudahlah, nekat aja!

     "...Aam."

     "Hah!? Yuu!"

     Aku menggigit wafel milik Enomoto-san.

     Tanpa ragu, aku melahap semuanya dengan lahap. Setelah menelannya dengan satu tegukan, aku mengacungkan jempol. Sayangnya, gigiku tetap tidak bersinar seperti Hibari-san.

     “Enomoto-san, makasih atas makanannya!”

     “Y-ya. Sama-sama juga…”

     Enomoto-san langsung duduk kembali di kursinya sambil terlihat sangat malu. “Sama-sama juga” itu maksudnya apa, ya?

     Yah, sudahlah. Yang penting, aku merasa berhasil melewati momen krisis barusan…

     “Kalau gitu, Himari. Wafelmu itu kamu makan sendiri aja deh— EH!?”

     Himari langsung melahap sisa wafelnya dengan cepat—bak-bak-bak! Sambil mengunyah penuh mulut, dia menatapku dengan ekspresi masam.

     “Himari. Bukannya tadi kamu bilang mau ngasih wafel itu?”

     “Uahihihi hhoho ihahe hhuahhuhuhuhah hai”

     "Apa tadi?"

     "Mm... Enggak ada wafel buat pengkhianat."

     Serius, nih? Padahal aku sempat berharap bisa icip saus stroberinya juga...

     Dan kenapa pula Himari yang jadi ngambek. Ini semua gara-gara dia mulai sok aneh duluan, kan? Dengan perasaan enggak puas yang sulit dijelaskan, aku pun menyelesaikan pembayaran di kasir.

♣♣♣

     Laut biru!

     Matahari yang menyilaukan!

     Dan dua gadis cantik bermain-main di tepi ombak!

     “Ahaha! Nih, Enocchi!”

     “Hii-chan, dingin, tau!”

     Sambil berteriak riang, mereka saling menyiram air dan berlari ke sana kemari. Percikan air yang mereka tendang ke udara memantulkan cahaya matahari dan berkilauan dengan indahnya.

     Click.

     Aku terus menekan tombol rana di ponselku. Kalau dilihat dari sudut pandang para peselancar di sana, aku ini pasti kelihatan mencurigakan banget. Tapi enggak, jangan ragu. Mereka melakukan ini buatku. Sampai inspirasi datang, aku harus mematikan pikiran dan terus memotret.

     Begitu sesi pemotretan selesai, aku melambai ke arah mereka. Himari dan Enomoto-san menendang ombak sambil berjalan kembali.

“Yeee~ Gimana?”

“Hii-chan nyipratin airnya serius banget, sih…”

     Enomoto-san tampak khawatir pada kardigan dan roknya. Yah, air laut memang susah hilang kalau cuma dicuci biasa.

     Himari menyodorkan handuk sambil berkata, “Maaf, maaf,” pada Enomoto-san.

     “Besok kan kita libur sekolah. Gimana kalau bajumu kita cuci bareng di rumahku?”

     “Enggak usah. Soalnya kalau ganti baju di rumah Hii-chan, pasti enggak ada baju yang muat…”

     Himari langsung bereaksi.

     “Ufufu~ Enocchi berani juga ya, nyindir ukuran dadaku secara halus~”

     “...Kan emang bener.”

     Himari tersenyum lebar sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan gerakan mencurigakan.

     Enomoto-san perlahan mundur, setetes keringat mengalir di pelipisnya.

     “Horaa, kamu bersalah, tahu enggak—!”

     “Eh, Hii-chan!? Udah, berhenti, dong!”

     Hooo~i. Jangan lari-larian terus, nanti jatuh kena pasir, lho.

     Sejak kami coba jalan-jalan ke pantai buat cari inspirasi, dua cewek itu jadi semangat banget. Memang, laut di musim panas sepertinya bikin naluri orang jadi lepas kendali.

     Sambil mengabaikan mereka berdua yang masih tertawa-tawa kegirangan, aku mulai memeriksa foto-foto yang tadi aku ambil. Beberapa kelihatannya bagus sih… tapi rasanya masih kurang satu sentuhan lagi…

     “Menurutku sih udah keliatan imut banget, lho.”

     “Uwoah!”

     Himari tiba-tiba mengintip dari samping, bikin aku kaget. Kalau kamu mulai sadar gadis cantik itu lawan jenis, apa pun yang mereka lakuin bisa bikin jantung copot.

     Enomoto-san juga ikut melihat fotonya dan bilang, “Menurutku udah oke, kok…” tapi tetap saja...

     “Hmm. Memang udah terasa suasana musim panas, sih, tapi…”

     “Kenangan?”

     “Kayak iklan Pocari gitu.”

     Bener juga, ya.

     Meskipun itu punya pesonanya sendiri, sepertinya enggak cocok sama tema kali ini. Atau lebih tepatnya, rasanya kurang pas buat Kureha-san, klien kita. Soalnya dia tuh lebih ke gaya lipstik merah menyala dan bedak yang berkilau gitu… Atau kayak naga purba yang bahkan bisa bikin Hibari-san—si pemilik gelar GARO—terdiam.

     “Janji sama Kureha-san itu habis Obon… jadi kita punya waktu tiga minggu sampai tenggatnya.”

     Untungnya kita enggak bikin massal, jadi bisa fokus desain. Tapi kalau masih sempat, mau bikin beberapa varian juga. Ini soal masa depan kita juga. Pokoknya enggak boleh asal. Kalau mikir kayak gitu, momen seru di liburan musim panas jadi jauh banget rasanya.

     Begitu keluar dari pantai, kami lewat hutan penahan angin sambil kembali ke jalan utama.

     Sepanjang jalan bolak-balik debat, tapi belum nemu ide yang klik juga.

     “Hmm... Aku enggak ada pas Obon nanti. Jadi pengen banget ngerjain ini bener-bener matang sebelum itu.”

     Enomoto-san mengerutkan dahi.

     “Hah? Hii-chan, kamu ke mana pas Obon nanti?”

     “Soalnya Himari biasanya pergi ke rumah keluarga besar dari pihak ayahnya buat silaturahmi pas waktu begini.”

     Lalu, Himari menyodok keningku pelan dengan telunjuknya.

     “Selama aku pergi, jangan selingkuh, ya ♪”

     “Selingkuh, katanya.”

     "Ngomong-ngomong, aku bakal main bareng cewek-cewek di sana juga, lho~"

     “Itu enggak adil banget….”

     Yah, kalau Himari enggak ada, aku juga enggak ada rencana khusus. Jadi ya, bukan masalah juga sih.

     Tiba-tiba aku merasa seperti sedang diperhatikan dari belakang, dan pas aku menoleh, kulihat Enomoto-san menatapku dengan mata berbinar, seakan bilang, “Berarti ini kesempatan buat kencan berdua sama Yuu-kun!?”

     “…Aku harus fokus bikin aksesori, jadi.”

     "Tch."

     Eh, barusan Enomoto-san mendecak lidah? Seriusan, dia barusan mendecak lidah, kan?

     Sejak kejadian terbuka waktu itu, Enomoto-san enggak terlalu berusaha nutupin sisi gelapnya, dan jujur aja… bikin deg-degan. Bukan deg-degan dalam arti romantis, ya—lebih ke ngeri-ngeri gimana gitu.

     Begitu kami keluar dari jalur pepohonan penahan angin, ada Lawson di depan. Himari dan Enomoto-san langsung teriak, “Aku mau frozen mango!” “Aku yang cokelat!” sambil lari kecil penuh semangat.

     Aku sendiri mau beli apa, ya… Tadi udah makan yang manis-manis, jadi sekarang pengin yang lebih berat. L-chiki aja, deh… Tapi angin laut barusan bikin tenggorokan kering juga.

     Pas aku mau masuk Lawson, sekelompok anak SD keluar ramai-ramai. Mereka semua bawa es krim atau minuman, kelihatan ceria banget.

     Memang ya, anak-anak kecil tuh luar biasa. Walaupun panas gini, masih betah main di luar… Eh? Mereka semua bawa Switch? Kayaknya mereka mau ngumpul di rumah salah satu temennya buat main bareng, tuh.

     Aku ngelihat mereka sampai hilang dari pandangan, lalu masuk ke Lawson juga. AC-nya luar biasa. Hidup peradaban modern!

     “…Hm?”

     Aku menoleh ke belakang, melihat anak-anak yang bawa Switch tadi lagi.

     Setelah itu, aku termenung sendirian sambil berpikir keras.

     “Kamu enggak beli apa-apa?”

     “Ah, Himari. Cepet banget belanjanya…”

     “Yah, dari tadi mulutku rasanya gatal pengin ngunyah sesuatu. Tapi panas gini, enggak mungkin juga bawa-bawa Yoghurppe ke mana-mana, kan~”

     Sambil berkata begitu, dia menghancurkan frozen mango-nya dengan sedotan, crunch-crunch. Setelah habis, dia menyedotnya sruuup lewat sedotan… dan ya, sekarang kepalanya nyut-nyutan. Ke mana tuh putri keluarga terpandang?

     “Yuu. Barusan kamu kayak mikir berat gitu, kenapa?”

     “Oh, soal itu. Aku jadi kepikiran sesuatu gara-gara ngelihat Switch anak-anak tadi…”

     Himari menatapku dengan kepala sedikit dimiringkan, ekspresinya bingung.

     Menanggapi itu, aku pun menceritakan ide yang baru saja terpikirkan.

♣♣♣

     Keesokan harinya.

     Kami bertiga mengunjungi suatu tempat di siang hari.

     Letaknya ada di ujung gang belakang sebuah pusat perbelanjaan, di sudut daerah perumahan. Di sana berdiri sebuah rumah satu lantai. Rumah itu dikelilingi oleh pagar tanah, dan di pintu masuknya tergantung papan kecil bertuliskan “Kelas Seni Bunga Araki”. Dengan spidol hitam tertulis tambahan “Hanya dengan reservasi,” tapi nomor telepon yang seharusnya tertera, tidak ada di mana pun.

     Enomoto-san menoleh ke sekeliling dengan rasa ingin tahu, lalu bertanya.

     “Ini tempat yang dulu Yuu-kun datangi, ya?”

     “Iya. Sejak masuk SMA sih, aku belum sempat ke sini lagi…”

     Di halaman kecil seluas telapak tangan, berjejer bonsai dengan warna yang tenang. Tidak mencolok, tapi semuanya memancarkan keanggunan dan tampak indah. Keseluruhan suasananya memberi rasa damai pada siapa pun yang lewat di depan rumah itu.

     Dari arah taman, terdengar suara riuh anak-anak yang sedang bermain.

     Kami bertiga melewati gerbang masuk, lalu menekan bel di depan pintu rumah. Dari dalam terdengar suara lonceng ding-dong, tapi suara pemilik rumah justru terdengar dari arah taman.

     “Di sini, yaa~. Silakan masuk~.”

     Kami berjalan dari pintu masuk menuju ke taman belakang.

     Di bawah atap teras, tampak seorang perempuan dewasa tengah asyik bermain Pokémon bersama anak-anak SD dari sekitar situ.

     Rambut hitamnya diikat ke belakang dalam satu ikatan, dan ia mengenakan kacamata berbingkai hitam. Ia tampil santai dengan tank top dan celana jins ketat.

     Perempuan itu adalah guru di kelas seni bunga ini. Namanya Araki Yumi. Aku biasa memanggilnya “Araki-sensei” seperti biasa.

     Saat melihat kami datang, Araki-sensei tersenyum cerah dan ramah.

     “Oh, Natsume-kun. Tunggu sebentar, ya.”

     Setelah berkata begitu, dia kembali menatap layar Switch-nya.

     Anak-anak SD di sekelilingnya bersorak ramai, memberi semangat pada salah satu anak laki-laki yang sedang bertanding. Menghadapi mereka, Araki-sensei menatap tajam sambil matanya berkilat penuh semangat.

     “Terimalah ini! Serangan pamungkas—Ghost Dive!”

     “Waaah, Mimikyu itu curang banget, Sensei!”

     Enggak dewasa banget...

     Aku jadi agak canggung melihat perempuan usia 30-an mengalahkan anak-anak SD dengan serius.

     Araki-sensei, yang masih menikmati euforia kemenangannya, menyerahkan dua lembar uang seribu yen ke tangan anak-anak itu.

     “Pergilah beli es krim di supermarket sana, ya.”

     Anak-anak itu bersorak kegirangan lalu berlari pergi.

     Araki-sensei lalu berbalik ke arah kami dan menatap satu per satu.

     “Inuzuka-chan juga sudah lama, ya... Oh? Sekarang tambah satu lagi gadis manis rupanya.”

     “Ah, saya Enomoto Rion. Senang bertemu dengan Anda!”

     “Ahaha, enggak usah tegang begitu. Aku Araki. Mengajar di kelas seni merangkai bunga yang enggak terlalu laku ini.”

     Padahal salah satu murid di kelas seni bunga yang enggak laku itu berdiri tepat di depan matanya, lho...

     Saat aku bingung harus memberi reaksi apa, Araki-sensei melepas sandalnya dan mempersilakan kami masuk.

     “Maaf sudah menunggu. Masuk lewat sini, ya.”

     Aku masuk ke dalam bersama Himari dan yang lain, melepas sepatu sebelum naik ke dalam rumah.

     Ruangan bergaya Jepang yang luas, lebih dari sepuluh tatami... Biasanya digunakan sebagai tempat mengajar kelas seni merangkai bunga.

     Kami menunggu di sana, sampai akhirnya Araki-sensei kembali dari dapur. Di atas nampan, ia membawa teh barley dingin dan kue-kue yang kami bawa sebagai oleh-oleh. Sambil mengambil camilan itu, aku membuka pembicaraan.

     “Sepertinya kamu sangat menyukai Pokémon, ya.”

     “Yah, gara-gara Natsume-kun. Sejak kamu mulai datang ke sini, aku jadi ketularan dan sekarang malah jadi hobi sendiri.”

     “Tapi, masa iya sih main pakai tim kompetitif beneran lawan anak SD?”

     “Dunia ini keras, lho. Cepat atau lambat, mereka juga bakal sadar.”

     Bener-bener kekanak-kanakan…

     Tapi ya, kalau dipikir-pikir, zaman sekarang jarang ada orang dewasa yang mau benar-benar bermain bareng anak-anak di level yang sama seperti itu. Waktu aku pertama kali ikut kelas ini pun, beliau sangat ramah padaku.

     "Tapi akhirnya kamu juga sudah sampai di usia di mana kamu mulai memelihara selingkuhan selain Inuzuka-chan, ya?"

     "Araki-sensei, tolong... cara ngomongnya, bisa enggak diganti aja?"

     "Ahaha. Inuzuka-chan, gimana kabarnya suamimu belakangan ini?"

     Saat Araki-sensei bertanya, Himari hanya mengangkat bahu sambil menyeruput mugicha.

     "Masih aja jadi cowok yang tergila-gila sama bunga."

     "Masih sama aja, ya?"

     "Aku sih pengin dia lebih rajin nyenengin aku daripada sibuk sama bunga-bunganya~"

     "Itu sih penting, ya."

     Mereka tertawa renyah bersama. Lalu Araki-sensei menoleh ke arahku dan berkata, "Dengerin tuh?"

     Aku buru-buru berdeham untuk mengalihkan perhatian. Soalnya, sejak pertama kali Himari datang ke pameran tunggalku, orang ini terus-terusan meledekku dengan sebutan "suami" seperti itu.

     "Ngomong-ngomong, maaf banget udah datang mendadak hari ini."

     "Enggak masalah, toh kamu enggak bikin janji juga. Sudah setahun ya? Ada apa memangnya?"

     "Sebenarnya ada alasannya… Aku mau minta izin buat lihat-lihat karya orang lain di sini, kalau boleh."

     "Wah, kamu mau lihat karya orang lain? Itu langka, ya. Pasti lagi mentok nyari inspirasi, ya?"

     "Kurang lebih gitu, sih…"

     Araki-sensei pun berdiri dan berjalan menuju lorong.

     "Pameran musim panas baru bulan depan, jadi sekarang cuma ada foto-foto karya lama. Enggak apa-apa?"

     "Ah, iya, tentu saja enggak masalah."

     Begitu keluar dari ruangan, Araki-sensei kembali membawa beberapa album. Ia mulai membukanya satu per satu, dimulai dari karya yang paling baru.

     "Sebenarnya pengin banget pindahin semuanya ke digital, tapi susah buat nyempetin waktunya."

     "Sensei enggak main Instagram? Soalnya, beberapa kelas ikebana lain ada yang pakai juga, lho."

     "Sekarang, main game jauh lebih menyenangkan daripada ngurusin murid."

     "Araki-sensei..."

     Aku jadi teringat waktu aku pertama kali mulai ikut kelas ini, masih anak-anak waktu itu.

     Araki-sensei, demi bisa nyambung sama aku, katanya sempat coba semua jenis permainan anak-anak yang bisa bikin senang. Tapi hasilnya nihil—aku enggak tertarik sama sekali. Sebaliknya, malah beliau sendiri yang jadi kecanduan dan tenggelam makin dalam.

     Aku pun mulai membalik-balik album.

     Di dalamnya ada foto-foto karya yang pernah dipamerkan di pameran tahun ini, juga taman-taman hasil desainnya atas permintaan kontraktor renovasi rumah.

     Saat kuperhatikan satu per satu, tiba-tiba aku menemukan fotoku dan Himari. Lebih tepatnya, dari halaman itu sampai beberapa lembar berikutnya, isinya cuma foto kami berdua waktu SMP. Setelah pertama kali ikut ke pameran, Himari jadi sesekali ikut juga ke kelas ini. …Kalau lihat dari ikebana-ikebana eksentrik yang ada di foto, hasil akhirnya sih… ya bisa ditebak.

     Enomoto-san tampak ikut melihat dengan antusias.

     "Hii-chan, dulu kamu lebih imut, deh."

     “Enocchi~? Jadi maksudmu sekarang aku enggak imut, gitu~? Hmmm?”

     tanya Araki-sensei sambil tertawa kecil.

     “Waktu itu rambut Inuzuka-chan panjang ya. Enggak mau dipanjangin lagi?”

     “Hmmm. Mungkin baru aku pikirin kalau Yuu berhenti bakar rambutku pakai solder.”

     “Padahal rambutmu cantik, lho. Tapi ya, Natsume-kun bilang dia suka rambut pendek Inuzuka-chan, jadi kayaknya enggak masalah, kan?”

     Eh, sebentar…

     “Hoo~?”

     Mata Himari langsung berkilat, lalu dia mendekat dengan wajah ceria banget. Senyumannya lebar waktu dia nyodorin wajah ke arahku.

     “Nfufu~. Yuu, itu beneran?”

     “I-itu kan cuma ngomongin secara umum. Maksudnya, secara umum aja, rambut pendek itu cocok sama kamu gitu…”

     “Eeh~. Tapi kan, soal selera itu subjektif, ya? Jadi, itu sama aja kayak kamu bilang suka, sayang, dan cinta banget sama aku sekarang, kan?”

     “Eh, tapi ini kita lagi ngomongin rambut, kan? Kalau sampai suka, sayang, cinta banget tuh bukannya jadi ngelantur, ya? Lagian, emangnya harus dibahas sejauh ini? Mending lanjut lihat-lihat album aja…”

     “Jangan gitu dong~. Soalnya, tugas kali ini kan justru tentang membuat sesuatu yang bisa melampaui subjektivitas dan prasangka, kan? Jadi penting banget buat gali lebih dalam soal subjektivitas dan prasangkanya Yuu juga...”

     Aku langsung melirik ke arah Enomoto-san, berharap bisa dapat pertolongan.

     Tapi entah kenapa, Enomoto-san malah mencubit ujung rambutnya sendiri sambil pasang wajah serius, kayak lagi mikir keras.

     “...Potong aja, kali, ya.”

     “Jangan dipotong! Rambut kamu sekarang udah bagus, Enomoto-san!”

     Bahaya juga anak ini!

     Meskipun alasan Himari potong rambut bisa diperdebatkan, tetap aja aku harap dia bisa lebih sayang sama dirinya sendiri.

     Saat kami masih ribut soal itu, Araki-sensei tiba-tiba mengajukan sebuah saran.

     “Mau coba buat refreshing sedikit?”

     “Padahal kami enggak bikin janji dulu, apa enggak apa-apa?”

     “Yah, masa cuma lihat-lihat foto aja, padahal ada yang belum pernah coba juga. Rasanya agak hambar, kan.”

     Mata Enomoto-san langsung berbinar, jelas tertarik.

     “Enomoto-san, mau coba?”

     “Iya. Aku mau.”

     “Kalau begitu, sudah diputuskan,” katanya, lalu kami mulai bersiap bersama Araki-sensei. Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikan, dan saat menoleh ke belakang, kulihat Himari sedang menatapku dengan ekspresi yang agak sulit ditebak.

     “Himari juga mau, kan?”

     “Ah, umm…”

     Dia terlihat sedikit ragu.

     Lalu, dengan senyumnya yang cerah seperti biasa, dia berkata,

     “Aku lihatin kalian berdua aja, ya.”

     “Eh, serius?”

     Jarang-jarang. Padahal dulu, dia selalu antusias pengin ikut.

     Aku sempat merasa ada yang sedikit janggal, tapi tidak terlalu kupikirkan. Lebih dari itu, hatiku justru terasa berdebar-debar membayangkan bisa melakukan ikebana lagi setelah sekian lama.

     Kupikir, yah… hari ini panas banget, mungkin dia cuma lagi capek aja.

♢♢♢

PoV

Inuzuka Himari

     Sejak kecil, aku memang kurang jago dalam hal membuat sesuatu.

     Padahal, tanganku cukup terampil dan aku juga cukup cepat nangkap sesuatu. Tapi tiap kali coba bikin sesuatu, aku pasti selalu bosan di tengah jalan. Mulai dari pelajaran seni rupa waktu SD, musik, sampai masak-memasak… dan juga ikebana.

     Dulu banget, kakakku pernah bilang sesuatu kepadaku.

     “Himari. Kamu itu enggak terlalu jago membayangkan hasil akhir sebelum mulai ngerjain sesuatu.”

     Dan… itu memang tepat banget.

     Pada dasarnya, aku ini bisa ngelakuin apa pun. Selama ada jalur jelas menuju hasil akhirnya, aku paling jago buat nyontek dan nyelesainnya persis.

     Mau itu pelajaran, olahraga, game, atau musik—semuanya sama.

     Kalau dari awal udah dikasih tahu, “jawabannya kayak gini, ya,” terus aku tinggal ngikutin, pasti semua orang langsung muji. Tapi begitu dibilang, “silakan bebas berkreasi,” aku langsung enggak tahu harus ngapain. Di kelas yang kayak gitu, aku biasanya cuma niru guru atau teman.

     Dan… waktu itu, aku enggak masalah sih.

     Soalnya, bahkan buat sekadar nyontek dengan sempurna aja, enggak semua orang bisa. Aku tuh suka banget jadi pusat perhatian, dan selama semua orang ngelirik aku dengan penuh pujian, aku udah puas.

     Tapi, suatu hari aku lagi nonton televisi. Di acara varietas, ada seekor monyet dari kebun binatang besar di wilayah Kanto yang tampil di sana. Setiap kali si monyet menirukan tingkah laku para pengisi acara, para komedian dan cewek-cewek di penonton langsung heboh dan berteriak kegirangan.

     (…Eh, aku tuh persis kayak gini.)

     Saat itu, aku langsung kepikiran begitu. Benar-benar cuma peniru doang.

     Sejak saat itu, aku ngerasa kayak nilai diriku itu nol. Apa pun yang aku lakukan rasanya hambar. Waktu ada cowok bilang suka karena aku imut dan ngajak pacaran, entah kenapa aku malah mikir, “Kenapa sih harus sampai nyari cinta yang tulus segala?” Terus, “Kalau gitu, sebenarnya siapa aja juga bisa kan?” Kenapa enggak langsung cari cewek yang dari awal udah naksir kamu dan suruh dia tampil imut aja? Buang-buang waktu deh.

     Dan waktu aku lagi dalam fase males kayak gitu, aku ketemu Yuu.

     Bareng Yuu itu nyenengin.

     Soalnya dia benar-benar percaya sama aku. Kelihatannya dia juga dulu enggak punya banyak teman, jadi aku ngerasa kayak lagi ngasih makan anak burung yang baru netas.

     Itu lho, Hikaru Genji? Si tokoh mesum dari cerita klasik yang pengin membesarkan cewek ideal versinya sendiri. Aku cuma pernah baca sekilas di buku pelajaran Bahasa Jepang klasik sih, tapi kurasa saat itu aku juga ngerasa seperti itu.

     Karena aku enggak bisa menciptakan apa-apa sendiri, aku coba bantu Yuu ngejar mimpinya biar aku juga punya nilai yang cuma milikku sendiri. Dan aku manfaatin kenyataan kalau Yuu enggak nyadar maksud terselubungku itu.

     …Tapi, pada akhirnya aku gagal.

     Kurasa dari awal aku sudah memilih orang yang memang mustahil untuk bisa “kutaklukkan.” Demi mendapatkan nilai yang unik dan tak tergantikan dari Yuu, aku justru ikut mempromosikan aksesori Yuu ke dunia luar. Dan akibatnya, malah datanglah sosok yang lebih cocok buat dia—seperti Enocchi, misalnya.

     Di ruang kelas ikebana milik Araki-sensei.

     Aku berbaring di atas tatami yang harum, sambil memikirkan hal-hal semacam itu.

     Pandangan mataku tertuju ke arah Yu dan Enocchi, yang sedang akrab mencoba merangkai bunga berdua. Araki-sensei yang tadi bertanya, “Mau coba?” dengan santai memetik bunga liar dari taman, lalu menyiapkan alat-alatnya dan kembali bermain Pokémon bersama anak-anak SD. Mau tak mau, Yuu yang tersisa akhirnya jadi semacam guru dadakan buat Enocchi… tapi…

     “…Yuu-kun, susah banget.”

     “Hmm… iya juga, ya.”

     Mereka berdua terdengar mendesah, menatap tumpukan bunga dan rerumputan yang dijejalkan ke dalam vas seakan-akan itu semangkuk katsudon bunga.

     Memang luar biasa. Kalau harus dideskripsikan, ya… “bunga katsudon” lah. Bukan berarti aku lebih jago, sih, tapi tetap aja… aku enggak ngerasa ada unsur estetika di sana.

     Araki-sensei punya prinsip pengajaran: “Yang penting senang dulu.” Jadi, sebelum masuk ke teknik-teknik dasar yang ribet, beliau membiarkan murid-murid bebas berekspresi semaunya. Yu juga memulai dengan prinsip itu, tapi ternyata… Enocchi sepertinya memang enggak terlalu punya sense estetika. Wafel tusuk yang dia bikin kemarin juga agak horor, sih.

     (Yah… ternyata emang susah ya kalau disuruh bebas berekspresi.)

     Entah kenapa, aku merasa sedikit lega dalam hati. Soalnya, kalau di sini Enocchi yang belum pernah mencoba bisa langsung berhasil dengan indah, aku bakal benar-benar merasa hina, kan?

     Saat sedang memikirkan hal itu, Yuu mulai merapikan “bunga katsudon” buatan Enocchi.

     Dia mencabut satu per satu bunga yang ditumpuk sembarangan dengan sangat hati-hati. Setelah vas bunga dikosongkan, dia mengambil kembali bunga dan rumput yang tadi dicabut. Sambil memotong ujung batang yang rusak karena tertusuk kenzan dengan gunting bunga, dia berkata:

     “Kalau masih belum terbiasa, coba mulai dengan membayangkan bunga dalam bentuk bidang datar.”

     “Bidang datar?”

     “Memang, ikebana itu bisa dilihat dari segala arah—360 derajat. Tapi waktu awal-awal belajar, sebaiknya fokus ke satu sisi dulu. Bukannya langsung kejar hasil sempurna dari semua sudut, tapi bayangin kayak bikin tampilan dari satu sisi aja yang bisa kelihatan maksimal. Anggap aja dari seratus persen, kita bikin dulu tiga puluh persennya kelihatan seratus persen bagus. Rasanya jadi lebih gampang dipahami, kan?”

     Aku enggak ngerti sama sekali~~~~。

     Aku yang dengerin dari samping aja udah enggak paham. Gimana ceritanya tiga puluh persen bisa jadi seratus persen? Ini pakai rumus matematika yang mana, coba? Padahal aku sering lihat Yuu bikin aksesori, tapi tetep aja enggak ngerti dia ngomong apa.

     Wah… Mata Yuu kelihatan berbinar banget. Emang deh, kalau udah ngomongin soal bunga, dia kelihatan seneng banget. Tapi ya tetap aja aku enggak ngerti. Kayaknya Enocchi juga bakal…

     “Ah, iya. Aku ngerti.”

     …Hah!?

     Enocchi berkata dengan tenang, lalu memutar sedikit posisi vas bunganya.

     “Jadi maksudnya, kita bikin bagian depan aja yang kelihatan bagus dulu?”

     “Yap, benar. Bagian belakangnya enggak usah dipikirin sama sekali.”

     “Kayak bersihin bagian depan toko biar kelihatan rapi, tapi di pintu belakang numpuk kardus bekas, gitu ya?”

     “Hmm… yah, secara garis besar sih, mirip kayak gitu…”

     Setelah itu, mereka berdua mulai kembali menyusun bunga ke dalam vas.

     “Kebanyakan bunga juga sebenarnya enggak terlalu bagus, lho.”

     “Serius?”

     “Karena cara menikmati ikebana tuh beda dikit sama flower arrangement. Kalau ikebana, lebih ke menikmati ruang yang kosong, gitu.”

     “Ah, aku kayaknya agak ngerti deh. Kayak pas kita makan kue, bagian serunya itu juga pas nunggu dan ngelihat kuenya sebelum dimakan, kan?”

     “Ya, ya. Seperti itu. Jumlah bunganya juga ada dasarnya, lho…”

     …Aku hanya diam memperhatikan saat mereka berdua membicarakan hal-hal yang enggak kupahami.

     Enggak butuh waktu lama sampai rangkaian bunga kedua buatan Enocchi selesai. Saat melihatnya, aku cuma bisa terpaku.

     (…Indah banget.)

     Satu kuntum bunga lili kecil terletak di tengah. Di sekelilingnya, ranting dan dedaunan tersebar dengan hati-hati, seakan-akan menghiasinya.

     Semuanya ada di sana hanya untuk menonjolkan satu bunga utama itu. Bahkan kami yang ada di ruangan ini terasa seperti hanya pelengkap untuk memandangi bunga putih nan anggun itu… Rasanya seperti itu.

     Aku tahu itu masih belum sempurna, tapi tetap terlihat elegan dan indah. Fokusnya hanya pada keindahan si bunga—begitu murni sampai-sampai yang lain seolah tak perlu terlihat.

     Entah kenapa, rangkaian itu mengingatkanku pada bagaimana Enocchi memandang Yuu.

     “Yuu-kun, gimana menurutmu?”

     “Menurutku bagus banget. Bahkan lebih bagus dari waktu aku baru mulai ikut kelas ini…”

 


    Mereka berdua memandangi hasil rangkaian bunga itu bersama-sama dengan wajah berseri, terlihat sangat menikmati. Posisi mereka begitu alami. Entah kenapa, rasanya seperti memang sudah begitu sejak lama.

     (…Kenapa, ya. Kenapa yang punya kepekaan rasa seperti itu bukan aku?)

     Sejak aku sadar soal perasaanku ke Yuu, perasaan seperti ini masih saja susah kuatur.

     Seberapa pun aku merasa dipenuhi, rasanya tetap enggak cukup.

     Aku memang orang yang selalu ingin lebih. Mataku selalu tertuju pada apa yang kurang, bukan yang sudah ada.

     Rambutku yang sekarang pendek model bob menyentuh lembut permukaan tatami. Aku menyentuhnya dengan jari dan menggulungnya iseng. Rambutku terasa halus dan enak disentuh. Rambut dengan pigmen warna terang ini warisan dari nenek, selalu lembut dan berkilau kapan pun.

     Aku jadi teringat kata-kata Araki-sensei sebelumnya.

     "Sayang banget, padahal rambutmu itu cantik sekali."

     Waktu SMP. Saat Yuu sedang membuat aksesori, ada kejadian di mana rambutku tersengat solder panas yang dia pakai. Bukan cuma sekali—itu sering terjadi.

     Kalau aku sedang memeluk Yuu dari belakang sambil melihat dia bekerja, solder yang dia pegang kadang menyentuh rambutku dan membakarnya tanpa sengaja.

     Setiap kali melihat ujung rambutku yang hangus dan keriting, Yuu selalu minta maaf dengan wajah bersalah. Aku kasihan melihatnya seperti itu. Padahal sebenarnya, itu semua salahku yang enggak hati-hati.

     Karena itu, waktu masuk SMA, aku langsung memangkasnya habis.

     "Hii-chan, dulu kamu lebih imut, deh."

     Aku tahu Enocchi enggak bermaksud jahat.

     Jujur aja, aku juga merasa waktu SMP aku lebih manis dan punya daya tarik. Tapi demi bisa jadi satu-satunya yang mendapat tatapan penuh gairah dari Yuu, rambut panjang itu jadi terasa mengganggu.

     (…Padahal aku sebenarnya suka banget rambut panjang.)

     Yuu...

     Kalau rambutku masih panjang...

     Kalau panjangnya sama kayak rambut Enocchi, dan aku punya sifat yang lebih lembut dan feminin...

     Apa kamu akan melihatku saja?

     Apa Yuu lebih mencintaiku dibandingkan Enocchi?

     ...Kalimat ala cewek romantis yang barusan muncul di pikiranku itu, jujur aja, geli banget. Sampai-sampai aku merinding sendiri. Emang dasar, hal kayak gini tuh nggak cocok buatku.

     (Mending hirup udara segar dulu, ah—)

     Dengan sedikit kesal, aku pun keluar ke halaman belakang.

     Anak-anak SD yang tadi ribut-ribut sudah enggak ada. Araki-sensei duduk sendirian sambil merokok.

     Lonceng angin yang tergantung di bawah atap berdering dengan suara yang sejuk dan menyegarkan.

     “Sensei, anak-anak tadi ke mana?”

     “Mereka udah pulang. Besok kami bakal ngerjain PR liburan bareng-bareng.”

     “...Ini bukan lagi kelas ikebana, ya? Lebih mirip bimbel khusus anak SD, nggak sih?”

     Araki-sensei hanya tertawa lepas sambil berkata, “Soalnya aku enggak punya latar belakang akademis.”

     Lalu Araki-sensei menoleh ke arah ruang tatami, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

     “Namanya Enomoto-chan, ya? Anak yang Natsume-kun bilang mirip bunga kembang sepatu waktu dia masih SD?”

     “...Sensei, tahu soal itu?”

     Araki-sensei mengangkat bahu.

     Sepertinya, bahkan orang yang baru pertama kali lihat mereka pun bisa langsung tahu kalau mereka memang serasi. Rasanya nyesek banget.

     “Enomoto-chan juga suka sama Natsume-kun?”

     “Banget. Katanya dia udah suka sama Yuu selama tujuh tahun.”

     “Natsume-kun juga masih suka?”

     “Dia sih ngomongnya enggak, tapi sebenarnya suka.”

     Akhir-akhir ini dia terus-terusan ngelihatin Enocchi. Walaupun dia sendiri bilang enggak kayak gitu, ya kelihatan banget, kok. Mana mungkin aku enggak sadar.

     Araki-sensei tertawa.

     “Masa muda, ya. Silakan galau sepuasnya.”

     “Ugh, langsung nyerah dan mutusin pembicaraan, ya!”

     “Ya, begitulah. Susah juga nanggepin Inuzuka-chan yang tadinya sama sekali enggak punya rasa suka, terus tiba-tiba ngeluarin jurus-jurus ala cewek yandere… eh, maksudku, gaya-gaya cewek bucin yang lagi jatuh cinta.”

     “Aku bukan cewek yandere?!”

     “Ahaha. Tapi dari sudut pandangku, kelihatan banget, lho~ Waktu kamu ngelihatin Natsume-kun sama Enomoto-chan tadi, ekspresimu tuh kayak mau nembak mereka pakai tatapan mata.”

     “Jangan diomongin dong! Sensei, jahat banget sih!”

     Saat aku sedang bercanda-canda sambil ribut sama Araki-sensei, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.

     “Himari. Bisa tolong lihat ini sebentar?”

     Aku langsung kaget dan terpaku.

     Eh, Yuu? Apa dia barusan dengar itu?

     Dengan keringat dingin mengalir deras, aku menoleh ke belakang. Yuu melambai santai dengan ekspresi biasa saja. …Ah, sepertinya dia enggak dengar. Tapi justru karena itu, aku jadi makin kesel.

     Begitu aku kembali ke ruang tatami, Enocchi sedang membuka album dan melihat-lihat isinya.

     “Kenapa tuh? Udah selesai sesi coba-coba ikebananya?”

     “Tadi sempat ngomongin kayak gimana karya yang aku buat dulu, jadi aku nyari fotonya…”

     Sambil berkata begitu, Yuu menunjuk salah satu foto.

     “Ah—”

     Aku menahan napas.

     Sebuah karangan bunga Natal besar dari bunga matahari.

     Itu adalah karya yang kulihat waktu pertama kali datang ke pameran di tempat ini. Enggak mungkin aku lupa. …Itu adalah flower arrangement pertama yang Yuu buat khusus untukku.

     "Menurutmu, gimana kalau tema pertarungan dengan Kureha-san pakai bunga matahari?"

     "Iya, iya! Cocok banget sama temanya, menurutku oke-oke aja!"

     Tanpa sadar, aku jadi terlalu bersemangat.

     Dasar cowok ini… diam-diam licik juga, ya. Sok-sokan enggak tertarik sama aku, padahal sebenarnya dia merhatiin aku. Yuu tuh selalu mikirin aku, makanya aku enggak bisa marah lama-lama ke dia!

     ...Pas aku lagi senyam-senyum sendiri, Yuu pun berkata:

     "Tadi Enomoto-san bilang, bunga matahari ini bagus, katanya."

     "...Hah?"

     Suara yang keluar dari mulutku tanpa sadar jadi datar.

     Tapi Yuu enggak nyadar, dan malah lanjut ngomong dengan nada agak bangga:

     "Lagipula, bunga matahari enggak bakal kalah mencolok dari gayanya Kureha-san, jadi pas banget. Terus ada Enomoto-san juga yang cocok dijadiin model, jadi bakal gampang buat nyocokin image-nya..."

     “Y-ya, gitu, ya…”

     Enocchi juga ikut-ikutan pasang wajah bangga. Kelihatan banget kalau dia senang luar biasa karena dipuji Yuu. Sikapnya yang mirip anjing setia itu… bikin aku merinding enggak enak.

     Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku. Begitu menoleh, aku melihat Araki-sensei memasang senyum canggung.

     “Inuzuka-chan. Tetap tenang, ya.”

     “…………”

     Aku mengeluarkan Yoghurppe darurat dari saku, menyodokkan sedotan, dan menyeruputnya pelan-pelan. Proses pendinginan—selesai. Aku pun memaksakan senyum terbaikku ke arah Yuu dan Enocchi yang menatapku dengan ekspresi bingung.

     “Bunga matahari, bagus juga, ya.”

     Yuu dan Enocchi saling pandang dengan wajah berbinar. Tanpa sadar, pemandangan itu menusukkan duri kecil di dalam dadaku.

     Dan begitulah, motif aksesori untuk pertandingan melawan Kureha-san pun akhirnya diputuskan.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close