NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 4 Chapter 2

 Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Chapter 2

“Tanpa Noda”


     Minggu. Hari ini adalah hari untuk pergi ke pantai.

     Pukul sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan rumah, menunggu mobil Hibari-san datang menjemput. Katanya, dia masih harus menjemput Enomoto-san dan yang lainnya dulu, jadi mungkin akan sedikit terlambat.

     Barang bawaanku hari ini cuma tas pribadi dan kotak pendingin. Aku ditunjuk jadi penanggung jawab minuman, jadi aku ambil banyak stok Pocari dan Fanta dari minimarket keluarga. Ayah juga nitip beberapa kaleng bir, jadi aku ikut masukkan juga… tapi kalau Hibari-san yang nyetir, siapa yang bakal minum, ya?

     Pakaianku hari ini cukup biasa: jaket hoodie dan celana kargo selutut. Oh, dan aku juga sudah pakai baju renang dari rumah. Bukan karena saking semangatnya sampai enggak bisa tidur semalaman, ya! Ini murni demi efisiensi, oke!? …Tapi ya, ini kan pertama kalinya aku pergi jauh bareng Himari. Wajar dong kalau agak deg-degan.

     (Saku-neesan, tadi pagi enggak kelihatan ya. Padahal aku sempat kepikiran mau nyapa dia…)

     Mungkin dia sudah pulang lebih awal dari shift malam dan langsung tidur. Lagipula, aku enggak bisa bayangin dia ikut main di pantai juga sih.

     Saat aku menunggu dengan resah, terdengar suara mobil mendekat.

     Dari kejauhan, kulihat sebuah mobil van berwarna hitam datang. Di balik kemudi, Hibari-san duduk dengan santai mengenakan kacamata hitam, lalu melambaikan tangan dengan gaya yang keren.

     Mobil itu berhenti tepat di depanku. Jendela kursi penumpang depan terbuka, dan wajah Hibari-san mengintip keluar.

     Hari ini dia mengenakan kemeja aloha. Biasanya dia selalu tampil rapi dan bersih, jadi gaya santainya kali ini terasa cukup menyegarkan.

     “Hai, Yuu-kun. Terima kasih sudah menyiapkan minumannya, ya.”

     “Justru aku yang harus berterima kasih, sudah mau repot-repot nyetir hari ini.”

     Aku melirik ke dalam mobil sejenak.

     Di kursi belakang van itu, terlihat Makishima duduk sendirian. …Hah? Cuma Makishima?

     Makishima tampaknya langsung menangkap raut bingungku.

     “Ahaha. Maaf ya, bukan si kekasih tercinta yang kamu harapkan.”

     “Eh, b-bukan begitu maksudku…”

     Padahal memang begitu maksudku. Maaf banget, serius.

     Tapi masalahnya bukan cuma soal Himari. Enomoto-san juga enggak kelihatan. Jangan-jangan, hari ini kita cuma main ke pantai sesama cowok?

     “Hibari-san, Himari dan yang lain ke mana?”

     “Mereka berangkat duluan naik mobil ibuku. Soalnya, mobil ini kebagian bawa barang-barang.”

     Ah, begitu toh. Jadi memang sengaja dibagi dua rombongan, ya.

     Kalau dipikir-pikir, bagian belakang van ini memang penuh dengan barang bawaan. Ada payung pantai, pelampung, bahkan perahu karet juga.

     Seperti yang diharapkan dari keluarga Inuzuka, persiapan liburannya selalu all out. Aku meletakkan kotak pendinginku di antara tumpukan barang itu, lalu ikut naik ke kursi penumpang depan.

     “Bawaannya banyak juga, ya.”

     “Awalnya enggak direncanakan sebanyak ini, tapi ternyata yang ikut lumayan banyak. Kita akan sampai sekitar tiga puluh menit lagi, jadi sabar dulu ya meski Himari belum kelihatan.”

     “Jangan ikut-ikutan godain juga, dong, Hibari-san…”

     Tapi… banyak orang?

     Yah, kalau dihitung: aku, Himari, Enomoto-san, Makishima, Hibari-san, dan ibunya… jadi total enam orang. Kalau dipikir seperti itu, ya, memang bisa dibilang cukup banyak juga.

     “Yuu-kun, kamu tadi pagi gimana?”

     “Ah, aku bawa roti dari minimarket rumah.”

     “Kalau begitu, kita langsung jalan tanpa mampir-mampir, ya.”

     Begitu van mulai melaju, kami langsung masuk ke jalan tol.

     Hari ini cuacanya cerah tanpa satu pun awan di langit. Pegunungan di kejauhan tampak begitu indah, cocok sekali dengan suasana khas liburan musim panas—sampai terasa menyilaukan mata.

     Di kursi belakang, Makishima asyik memainkan ponselnya sambil bersenandung pelan. Meski ini mobil orang lain, dia tampak benar-benar santai.

     Melihat itu lewat kaca spion, aku menoleh pelan ke arah Hibari-san di sebelah dan bertanya dengan suara rendah.

     “Hibari-san, apa kamu memang sudah akrab dengan Makishima dari dulu?”

     “Kalau dari sudut pandangnya dia sih… hmm, agak sulit untuk dipastikan ya…”

     Hibari-san menjawab sambil tersenyum pahit.

     “Kakaknya Makishima-kun itu, kebetulan teman seangkatan kami sewaktu SMA. Sejak dulu aku memang sering menganggap dia seperti adik sendiri… tapi ya, saat remaja dia sempat jadi agak berandal. Klise, sih, tapi memang begitu ceritanya.”

     “Kakaknya Makishima juga? Wah, kebetulan banget ya…”

     Tiba-tiba, dari belakang, sebuah tangan muncul dan menutup mulutku dengan kipas lipat.

     Makishima menekannya ke bibirku, lalu mendecak pelan.

     “Ini musim panas, tahu. Jadi jangan kepo soal hal-hal enggak penting.”

     “Eh, tapi kan, jadi penasaran juga, dong…”

     “Dasarnya, nih orang suka banget menafsirkan segala hal sesuka hatinya. Dengar ya, aku tuh enggak pernah sekalipun nganggep dia ini kayak kakak sendiri, dan aku juga enggak ‘berandal’ gara-gara masa puber.”

     “Ya, ya… kalau kamu bilang begitu, anggap saja memang begitu deh…”

     Yang bagian awal sih masih bisa dibilang bercanda, tapi yang terakhir tadi kedengarannya serius, lho. Soalnya, kabarnya hubungan dua orang ini juga ada kaitannya sama Kureha-san. Jadi… sebaiknya aku enggak usah banyak tanya lagi, ya.

     Hibari-san tertawa kecil, tampak geli melihat kami.

     “Yah, sebentar lagi kita bisa lihat laut, lho.”

     Mobil memasuki sebuah terowongan.

     Beberapa saat kemudian, begitu keluar dari sana, pemandangan langsung berubah drastis.

     Di depan mata, hamparan cakrawala biru membentang luas.

     Langit cerah tanpa awan sedikit pun. Seolah-olah laut dan langit menyatu dalam satu warna.

     Saat jendela dibuka, angin hangat pun masuk ke dalam mobil. Aroma asin khas laut semakin kuat, seakan memberitahu bahwa tujuan kami sudah semakin dekat.

     Musim Obon sudah lewat, suhu udara pun mulai sedikit lebih sejuk. Hari ini benar-benar cuaca terbaik untuk bermain di pantai.

     Kulirik layar GPS—ternyata pantai tujuan kami tinggal sepuluh menit lagi. Pemandangan di luar semakin menunjukkan nuansa khas pesisir, dan perasaanku pun ikut melonjak penuh antisipasi.

♣♣♣

     Pukul sepuluh pagi. Kami akhirnya tiba di pantai wisata yang terletak di dalam kota.

     Pantai ini ditujukan untuk keluarga—tempat yang nyaman untuk menikmati laut dengan santai.

     Di area ini juga terdapat fasilitas lain seperti tempat perkemahan, taman bermain raksasa, akuarium, serta lapangan tenis dan arena bermain anjing. Tempat ini memang dirancang untuk berbagai aktivitas, baik untuk kunjungan sehari maupun menginap.

     Di area parkir, tampak cukup banyak mobil yang sudah terparkir. Meskipun musim liburan sudah sedikit lewat puncaknya, jumlah pengunjung masih cukup ramai.

     Kami memarkir van di salah satu sudut tempat parkir, lalu mulai mengeluarkan barang-barang dari kursi belakang. Bertiga, kami membagi tugas untuk membawa perlengkapan.

     Aku sendiri mengangkat kotak pendingin dan payung pantai, lalu berjalan menuju area pesisir.

     Begitu melangkah di jalan setapak yang berlapis beton, permukaan tanah perlahan berganti menjadi rerumputan. Tak lama kemudian, hamparan pasir putih menyambut kedatangan kami.

     Kulihat sekeliling—banyak keluarga dan pasangan sedang menikmati waktu mereka di laut. Payung-payung warna-warni berdiri berjajar, dan semua orang tampak tenggelam dalam waktu bersantai mereka masing-masing.

     Saat aku berjalan hati-hati agar pasir tidak masuk ke dalam sandal, tiba-tiba seseorang menendang pasir ke arahku dari belakang. Aku menoleh—dan melihat Makishima menyeringai jahil.

     “Oi, Makishima. Apa yang sedang kamu lakukan?”

     “Ini kan di pantai, wajar saja kalau kena pasir. Jangan jalan pelan-pelan kayak kura-kura, cepatlah jalan.”

     Guh… menyebalkan, tapi ada benarnya juga. Himari dan yang lain pasti sudah sampai duluan, dan mereka mungkin sedang menunggu payung ini. Sambil saling menendang pasir dengan Makishima, aku pun melangkah cepat menyeberangi hamparan pasir.

     Hmm… sekarang, di mana ya Himari dan yang lain…?

     “Yuu!”

     Suara yang sangat kukenal memanggilku.

     Aku menoleh, dan melihat Himari berlari ke arahku sambil melambaikan tangan. Di tengah jalan, dia hampir tersandung karena pasir, tapi tetap berlari sambil terengah-engah sampai akhirnya tiba di depanku.

     “Selamat pagi!”

     “Yo, pagi juga.”

     Himari tersenyum cerah penuh semangat.

     Ia mengenakan bikini model high-neck yang sporty, dipadukan dengan bawahan rok pendek. Desainnya simpel, tapi dari bahan dan potongannya kelihatan jelas kalau itu barang mahal—benar-benar gaya khas Himari.

     Kalau boleh disimpulkan secara keseluruhan… dia kelihatan super cocok banget…!

     “Ah, tunggu bentar.”

     “Eh?”

     Himari menyunggingkan senyum penuh arti sambil menggigit karet rambut.

     Aku masih belum paham maksudnya, sampai dia mulai mengikat rambutnya ke belakang, membentuk kuncir kuda pendek. Lalu, seolah sengaja memamerkan tengkuknya, dia membungkuk sedikit di depanku—matanya menatapku dari bawah dengan ekspresi menggoda.

     “Gimana?”


     …Karena dia minta pendapat dengan serius, aku pun menjawab dengan wajah sungguh-sungguh.

     “Ini beneran ya, tanpa bohong—menurutku kamu cewek tercantik sedunia saat ini. Serius deh, gaya girly kayak gini tuh emang paling cocok sama kamu. Tapi, yang barusan tadi apaan, coba? Kamu tahu aku lemah sama bagian tengkuk, terus kamu sengaja pamerin kayak gitu, kan? Aku benar-benar ngerasa harus bilang terima kasih banget, dan sumpah, hari ini aku nyesel enggak bawa aksesori baru buat sesi foto Instagram!”

     “Puhehe~♪ Tuh, kan, aku tahu~!”

     Himari yang makin tinggi hati pun menyibak poninya dan berpose dengan gaya imut nan menggoda. Terlalu manis sampai-sampai detak jantungku melonjak gila-gilaan. Padahal baru aja sampai di pantai, tapi pacarku udah nyaris bikin aku tewas di tempat.

     Dari belakang, Makishima yang melihat semuanya hanya mengangkat bahu sambil berdecak.

     “…Kalau udah dipertontonkan sampai segitunya, aku bahkan malas buat nyela.”

     Setelah berkata begitu, dia langsung jalan lebih dulu.

     Sambil menjulurkan lidah dengan gaya usil, Himari menarik lengan bajuku.

     “Ayo, yuk? Yang lain udah nungguin, lho!”

     “Iya, ayo. …Yang lain?”

     “Yang lain…?”

     Ah, maksudnya Enomoto-san dan ibunya Himari, ya. Benar juga, enggak sopan kalau kita kelamaan.

     (…Enomoto-san, huh.)

     Bukan apa-apa sih, cuma… aku jadi agak gugup. Ya wajar aja, kan? Dia pernah bilang suka sama aku. Sekarang aku udah pacaran sama Himari… terus aku harus ketemu dia dengan wajah kayak gimana, coba?

     Aku pengin tetap berteman baik sama dia—tapi mungkin itu cuma egoku sendiri. Pengalaman cintaku minim banget, jadi aku benar-benar enggak tahu harus bersikap gimana dalam situasi kayak gini…

     Sambil aku terus berpikir kayak gitu, Himari menggandeng tanganku dan membawaku bergabung dengan yang lain. Di atas pasir terbentang tikar piknik berwarna-warni—dan begitu aku melihat siapa yang duduk di situ, tubuhku langsung membeku.

     “…Hah?”

     Ada dua perempuan dewasa yang cantik luar biasa.

     Lebih tepatnya, itu Kureha-san dan Saku-neesan. Mereka berdua tiduran santai berdampingan, menikmati sinar matahari musim panas yang bersinar cerah.

     “L-loh, kenapa kalian berdua bisa ada di sini…?”

     Himari tampak kebingungan.

     “Eh? Yuu, kamu belum denger, ya?”

     “Belum dengar sama sekali…”

     Kureha-san mengenakan topi pantai bertepi lebar dan baju renang model dress putih dengan tali anyam. Belahan dadanya benar-benar mencolok, dan lekuk pinggang sampai lengannya juga luar biasa. Ini tipe baju yang cuma bisa dipakai oleh kaum terpilih, deh…

     Kureha-san, yang auranya kayak selebriti kelas atas, langsung menyadari kehadiran kami. Sambil menjepit kacamata hitam di dadanya, dia melambai ceria sambil berkata, “Ah, Yuu-chaaan~♪” dengan nada manja. Lembut banget, sampai bikin aku mikir, ‘Serius? Ini orang yang waktu itu marah-marah kayak gunung meletus?’

     “Uhh… kenapa kamu bisa ada di sini? Kureha-san, bagaimana pekerjaanmu…?”

     “Hmm~ kenapa ya~?”

     …Enggak, itu jelas-jelas dia lagi ngeles pakai “ufufu”, kan? Yah, aku juga enggak mau terlalu ngulik—takut malah kena batunya.

     Saat itu, dari arah samping, terdengar suara omelan pelan dari Hibari-san yang sedang sibuk memompa perahu karet.

     “Kureha-kun, kamu terlalu enggak serius sama pekerjaan. Aku pikir kamu harus lebih bersungguh-sungguh, lho?”

     Eh, Hibari-san, kamu sendiri juga enggak bisa ngomong begitu, kan?

     Aku sering lihat akhir-akhir ini tiap ada kerjaan malah dilempar ke anak buahmu, lho?

     “Ngomong-ngomong, Kureha-san, kamu kan model. Emang enggak apa-apa kulitnya jadi gosong gitu?”

     “Enggak masalah, kok~ Soalnya tahun depan aku ada pemotretan buat koleksi musim panas yang baru. Jadi sekalian aja, aku pikir lebih bagus kalau kulitnya kecokelatan secara alami~♪”

     “Hah? Tahun depan? Maksudnya, setahun penuh dari sekarang?”

     “Iya dong~ Jadwalku udah padat sampai dua tahun ke depan, jadi buat yang kayak gitu, aku ambil lebih awal~♪”

     Wah, gila sih itu.

     …Hebat juga. Tapi, jadi makin bingung, kenapa orang kayak dia malah bisa santai-santai begini? Apa ini yang disebut hidup bebas tanpa beban? Ngebayangin manajernya yang pasti lagi kelimpungan di belakang layar rasanya malah sedih.

     “Itu, daripada ngobrol terus, cepetan pasang parasolnya, ya~♪”

     “Ah, siap!”

     Aku buru-buru mendirikan payung pantai, sambil melirik ke arah wanita cantik yang duduk di sebelahnya.

     Saku-neesan mengenakan bikini bermotif bunga, dipadukan dengan pareo. Motif bunganya... sepertinya bunga Zilia, ya? Pilihan yang cukup imut dan terasa segar dilihat dari dirinya. Saat menyadari tatapanku, ia melirik tajam dari balik kacamata hitamnya.

     "Berhenti menatap kakak kandungmu dengan pandangan mesum."

     "Aku enggak lihat yang aneh-aneh, kok!?"

     Saku-neesan menguap lebar sambil berkata, "Itu tadi bercanda, jelas lah." Meski habis kerja shift malam dan kelihatan ngantuk berat, tetap saja jangan bercanda begitu sama adik kandungmu sendiri, tolonglah.

     "Eh, jadi Saku-neesan juga ikut ke sini?"

     "Kok ngomongnya kayak aku enggak boleh ikut aja?"

     "Eh, bukan gitu maksudku. Cuma kupikir kamu enggak terlalu tertarik sama acara beginian."

     "Soalnya anak ini merengek sampai nangis-nangis minta aku ikut."

     Di sebelahnya, Kureha-san terlihat refleks kaget dan tersentak.

     Dengan panik, mengguncang bahu Saku-neesan sambil saling berbisik pelan di dekat telinga.

     "Udah lah~ Sakura-chan~. Jangan hancurin citraku, dong~"

     "Emang kenyataan, kan. Yang datang sambil merayu-rayu, ‘Tolong bantu aku~’ kayak anak kecil siapa? Sok-sokan berlagak jadi cewek galak, tapi di depan Rion-chan langsung enggak ada harga dirinya."

     "Ugh~ Kamu juga, kan? Ujung-ujungnya malah maafin Yuu-chan~. Padahal waktu Himari-chan mutusin buat tetap bareng dia, kamu sampai ngancem-ngancem mau usir dia dari rumah, tuh~"

     "………… "

     Eh, eh, eh!? Tiba-tiba Saku-neesan ngamuk!?

     "Saku-neesan!? Jangan rusuh gitu dong, nanti payung pantainya roboh!"

"Berisik. Dasar adik bodoh, sana buruan jemput Rion-chan!"

     Sambil bergulat dengan Kureha-san, dia juga sempat-sempatnya menendang pantatku dengan akurasi mengerikan.

     Enggak ngerti juga sih kenapa sampai kayak gitu, tapi kalau dia udah keburu heboh begini, enggak bakal mau dengerin siapa pun. Aku buru-buru menguatkan posisi payung pantai, dan tugas pertamaku pun selesai.

     Saat itulah aku akhirnya sadar, ada satu orang yang belum kelihatan.

     “Eh, terus, Enomoto-san ke mana?”

     Himari menunjuk ke arah area perkemahan.

     “Enocchi lagi ke seberang jembatan, tuh.”

     Seberang jembatan?

     Pantai tempat kami berada ini terhubung dengan sebuah sungai yang mengalir dari pegunungan. Di atas sungai itu dibangun sebuah jembatan batu besar agar bisa diseberangi.

     Dan di sisi lain jembatan itulah terletak area perkemahan dan akuarium. Sambil menatap ke arah sana, Himari menjelaskan.

     “Di sana ada rumah barbeque gitu, lho. Katanya sih, nanti siang kita bakal masak kari bareng di sana. Jadi Enocchi lagi bantu Ibu buat reservasi tempat.”

     “Oh, gitu toh.”

     Sambil aku mencerna penjelasan itu, Makishima yang baru selesai menata barang menepuk pundakku dengan ringan.

     “Baiklah, Natsu. Aku juga ada urusan di seberang jembatan. Mari kita pergi bersama.”

     “Eh? Emangnya kenapa? Bukannya kamu enggak berenang?”

     “Di sana ada lapangan tenis. Nanti aku akan menghadapi si Manusia Super Sempurna itu dalam duel hidup mati. Jadi, sebelum main, aku mau cek lokasi dulu.”

     “Oh, jadi gitu maksudnya...”

     Eh? Barusan dia bilang duel hidup mati, ya?

     Kayaknya nuansanya agak beda dikit dari ‘pertandingan’ biasa, deh... Tapi ya sudahlah. Kayaknya bukan urusanku juga...

     “Sebagai tambahan, kalau aku menang, maka aku akan mendapatkan hak bagi Natsu untuk menuruti semua perkataan Rin-chan.”

     “Itu jelas-jelas urusan besar banget, dong!?”

     Pertama-tama, bukannya harus minta persetujuan buat hadiahnya dulu, ya!?

     Waktu aku melirik ke arah Hibari-san, dia menyeringai lebar sambil mengacungkan jempol, gigi putihnya berkilau terang. Enamel giginya memang luar biasa hari ini juga.

     “Yuu-kun, tenang saja. Aku juga enggak berniat kalah, kok.”

     “A-Apa enggak apa-apa? Soalnya, Makishima itu udah level nasional, lho……”

     “Fufu. Aku juga cukup terbiasa main tenis, tahu? Waktu SMA dulu, aku pernah diminta bantu sparring, dan bahkan sempat mengalahkan pasangan yang akhirnya jadi juara nasional tahun itu.”

     Seriusan……?

     Kupikir Hibari-san itu cuma jago rugby, tapi ternyata dia beneran serbabisa, ya. Maaf, Makishima, tapi kalau begitu aku bisa agak tenang…….

     “Ngomong-ngomong, kalau aku menang, aku akan mendapatkan hak buat ngelakuin apa pun yang aku mau sama Yuu-kun seharian♪”

     “Itu sama sekali enggak bikin tenang, dong!?”

     Makishima tertawa terbahak-bahak.

     “Begitulah. Sekalian, Natsu, kamu pergilah jemput Rin-chan, ya.”

     “……Ya udah, aku pergi. Tapi soal hadiah pertandingannya, kita bahas nanti lagi, ya.”

     Untuk berjaga-jaga, aku tetap memperingatkan mereka, meskipun rasanya nggak bakal ngaruh banyak.

     Aku menoleh dan bertanya ke arah Hiyori.

     “Kamu mau ikut juga?”

     “Ya jelas dooong. Masa sih kamu lupa—eh?”

     Himari yang tadinya mau lari menghampiriku, mendadak berhenti.

     Ketika kulihat ke belakang, kaki Himari ternyata sedang dipegangin oleh Kureha-san dan Saku-neesan. Senyum Himari pun berubah jadi senyum formal yang keliatan banget dipaksain.

     “Eh, ehehe~? Kureha-san, Sakura-san. Ini maksudnya gimana yaaa……?”

     Entah kenapa, dua orang yang pipinya sudah memerah itu tampak sangat puas sambil melambaikan tangan.

     “Ufufu~. Himari-chan ke sini aja, ya~♡”

     “Iya, dong. Gadis cantik tuh tugasnya menuangkan minuman.”

     “Ah!”

     Baru aja tadi mereka bertengkar, sekarang tiba-tiba udah buka kaleng bir!? Mabuk-mabukan di pantai dari pagi gini—para kakak-kakak usia kepala tiga ini benar-benar parah banget!

     “Y-Yuu! Tolongin aku dong!?”

     “Eeh… soalnya, kalau Saku-neesan udah mabuk itu, agak….”

     Orangnya emang jarang minum, tapi sekali minum, langsung jadi super nyebelin. Sampai-sampai aku ragu buat ngejelasinnya pakai kata-kata. Pokoknya, kalau bisa, aku lebih baik nggak usah terlibat.

     Di dalam kepalaku, pendulum mentalku berdentang bolak-balik.

     Lalu akhirnya, lonceng keputusan pun berbunyi nyaring.

     Aku pengin nurutin permintaan pacarku yang imut ini. Tapi… di sisi lain, apa aku juga pengin ngeganggu Saku-neesan dan siap-siap kena balas dendam? (Pertanyaan retoris.)

     “Yaa udah, Himari. Aku bakal balik secepatnya, kok.”

     “PENGKHIANAAAAT────!?”

     Sambil membiarkan teriakan putus asa Himari menggema di belakang, kami pun melangkah menuju jembatan batu.

♣♣♣

     Begitu kami mendekat, ternyata jembatan batu itu cukup besar.

     Lebarnya kira-kira bisa dilewati tiga orang berdampingan tanpa berdesakan, dan konstruksinya pun tampak kokoh. Yah, memang dari awal jembatan ini dirancang untuk dilalui keluarga, kan.

     “...Hm?”

     Di pagar jembatan, ada sesuatu yang tergantung.

     Gembok besi—jenis yang bisa dibeli di toko serba ada. Jumlahnya luar biasa banyak. Kalau diperhatikan, di permukaannya tertulis nama-nama pasangan dengan spidol permanen.

     “Apa ini?”

     “Oh, ini hal yang lumrah. Semacam permainan di tempat romantis, di mana pasangan saling bersumpah akan cinta abadi mereka. Banyak yang terbawa suasana musim panas di pantai lalu melakukan hal bodoh semacam ini.”

     Ia mendengus kecil sambil menyeringai meremehkan.

     “Meski begitu, hati manusia itu memang sulit dipahami. Meninggalkan jejak masa lalu sekelam ini… semoga saja mereka enggak menyesal dan nangis-nangis nanti.”

     “Kamu ngomong gitu kok kayak ada pengalaman pribadi, ya?”

     Makishima melipat kipasnya dan menunjuk ke salah satu sudut pagar.

     Aku membungkuk dan mengambil gembok yang tergantung di sana.

     Tertulis: “Shinji × Yuri”

     Itu nama depan Makishima. Tulisan tangannya juga terasa familiar.

     “Kamu…”

     “Nahaha. Waktu tahun pertama, aku sempat pacaran sama seorang mahasiswi. Dia orangnya agak suka berkhayal dan senang hal-hal seperti ini. Oh ya, kuncinya hilang dalam waktu seminggu.”

     Mengerikan…!

     Sungguh perangkap yang menakutkan…!

     Kalau dipikir-pikir, gembok-gembok ini lebih terasa seperti tumpukan dendam masa lalu ketimbang simbol cinta. Udara di sekitarku tiba-tiba terasa berat, seolah-olah aku akan dikutuk kalau terlalu lama berada di sini.

     “Ngomong-ngomong, masih ada dua lagi di sini. Keduanya dari cewek yang berbeda.”

     “Gimana bisa kamu terus datang ke tempat kayak begini…?”

     “Itu nama-nama yang pasaran. Lagi pula, kalau aku enggak ikut suasana, mereka pasti mulai ngeluh soal aku yang enggak perhatian dan semacamnya. Semua ini soal untung-rugi.”

     Saat aku gemetar ngeri, Makishima mencondongkan tubuh ke pagar dan berkata, “Oh?”

     “Itu bukannya Rin-chan, ya?”

     “Hah…?”

     Aku menengok ke bawah jembatan.

     Seorang gadis sedang berjongkok di semak-semak, menyeberangi aliran dangkal yang mengarah ke laut. Meski yang terlihat hanya bagian belakang tubuhnya, warna rambutnya yang khas—merah kehitaman—enggak mungkin salah.

     Makishima mengetuk-ngetukkan kipasnya.

     “Hmm. Natsu, kita pisah jalan di sini. Kita bakal main voli pantai nanti, jadi pergilah bareng Rin-chan dan bersiap-siap.”

     “Eh? Kamu enggak ikut?”

     “Apa kamu bodoh, ya? Kalau aku ikut, yang ada malah ganggu, kan?”

     Lalu, seolah bisa membaca perasaanku, dia menyeringai. Dia membuka kipasnya dan mengetuk kedua pipiku dengan ringan.

     “Meski bukan pasangan romantis, enggak masalah kan kalau cuma ngobrol sebagai teman. Kecuali kamu dari tadi cuma merhatiin dada Rin-chan, ya?”

     “Mana mungkin…”

     Makishima terkekeh pelan lalu pergi sendirian.

     …Iya, aku enggak bisa terus-terusan lari dari ini. Kayaknya aku harus nekat dan hadapi aja.

♣♣♣

     Aku menyeberangi jembatan batu dan menuruni pantai.

     Langkahku mengarah ke tempat Enomoto-san berada, menyeberangi perairan dangkal yang menimbulkan bunyi cipratan lembut. Karena matahari belum naik tinggi, airnya masih terasa dingin dan menyegarkan.

     Enomoto-san membungkukkan badan, tampak serius memotret sesuatu dengan ponselnya. Dengan gugup, aku memanggilnya dari belakang.

     “Enomoto-san.”

     Enomoto-san menoleh.

     Wajahnya yang biasanya terlihat dingin dan tampak kesal, langsung berubah cerah saat melihatku.

     (Ugh…)

     Perubahan ekspresi itu langsung mengenai hatiku—1 HIT.

     Efeknya, setengah dari nyawaku langsung terkuras. Dengan buff bonus dari suasana laut, dampaknya meningkat tiga puluh persen. …Seperti biasa, tingkat kelucuannya benar-benar curang.

     “Yuu-kun. Selamat pagi.”

     "Se-selamat pagi."

     Menyapa dia bahkan saat di luar sekolah… rasanya benar-benar segar dan berbeda.

     Enomoto-san mengenakan parka tipis. Dari bagian bawahnya, terlihat sedikit celana pendek bermotif etnik—sepertinya dia belum ganti ke baju renang. Agak disayangkan...—eh, apa yang kupikirkan? Barusan aku udah pasang tampang keren waktu bilang ke Makishima, “Mana mungkin,” kan?

     “Lagi ngapain di situ? Katanya kamu ke rumah barbeque buat reservasi bareng ibunya Himari…”

     “Hmm, udah selesai. Terus Tante-nya mau ke akuarium, jadi aku balik sendirian. Oh, Yuu-kun. Nih, coba lihat ini.”

     Saat Enomoto-san bangkit dari air dangkal, aku refleks menegang.

     Di balik parka itu… dia pakai bikini hitam.

     “…………”

     Guhhaah…!

     Serius, rasanya aku hampir batuk darah. Ini serangan mendadak level dewa. Akal sehatku langsung panik dan nyaris kabur, tapi untung masih sempat kutarik balik.

     Tenang, tenang! Barusan aku udah kelihatan keren waktu bilang “mana mungkin” ke Makishima, kan!?

     “Yuu-kun?”

     “Ah, enggak, maksudku… kamu kelihatan beda, gitu. Lebih terbuka dari biasanya, atau gimana ya… Tapi, Enomoto-san kan tipe yang anggun, jadi gaya yang berani gini malah cocok banget. Kalau harus disandingin sama bunga… mungkin, hmm, mawar paling pas, ya.”

     Aku mengerahkan seluruh kemampuan kosakataku untuk menyampaikan pendapat sebaik mungkin.

     Tapi… eh? Kok Enomoto-san malah kelihatan bingung? Ekspresinya tuh kayak, “Apa sih yang dia omongin?”

     ...Jangan-jangan, yang dia suruh kulihat tadi bukan baju renangnya?

     Begitu dia sadar ke mana arah pandanganku, Enomoto-san buru-buru menarik parka-nya rapat-rapat menutupi tubuhnya.

     “Bukan itu yang kumaksud…”

     “Eh!? A-aku minta maaf…!”

 



     Kesalahpahaman ini… bukannya terlalu memalukan!?

     Tapi kan bukan salahku juga. Soalnya dia ini tipe cewek yang sengaja dateng cuma buat nunjukin seragam musim panasnya pas ganti musim, lho? Kalau aku berusaha membaca situasi, masa itu dianggap salah? (pertanyaan retoris)

     Tapi tentu saja Enomoto-san enggak tahu pembelaanku itu. Dengan wajah cemberut, dia mengacungkan telunjuknya dengan tegas.

     “Yuu-kun. Kalau kamu udah mutusin buat pacaran sama Hii-chan, menurutku enggak baik ngasih kata-kata yang kayak gombalan ke cewek lain.”

     “Iya… kamu benar sekali…”

     Aku menunduk dalam-dalam sambil merasa sangat bersalah.

     Enomoto-san menyilangkan kedua tangannya dengan anggun, seolah berkata, “Kalau kamu ngerti, ya bagus.” Tapi gara-gara gerakan itu, bagian dadanya jadi terangkat dan menciptakan pemandangan yang… luar biasa. …Itu beneran enggak sengaja? Dia beneran enggak sadar? Aku lagi diuji sekarang, ya?

     “Jadi, mulai sekarang kata-kata kayak gitu cuma boleh ditujukan ke aku aja, ya? Gimana, Yuu-kun?”

     “Iya. Aku mengerti… huh?”

     Barusan… kok kayaknya ada yang janggal sama arah pembicaraannya?

     Kesadaranku sempat teralihkan oleh dada Enomoto-san yang terlihat berat, sampai-sampai aku hampir enggak nangkep apa yang barusan dia bilang.

     “Barusan, kayaknya kamu ngeluarin dirimu sendiri dari daftar, ya?”

     “Memang begitu kan?”

     Hah, jadi bukan cuma khayalan memalukan dari pikiranku sendiri, ya.

     Tapi… kenapa Enomoto-san malah balik nanya dengan wajah seolah enggak ada yang aneh? Cewek ini lagi-lagi bisa ngomong hal yang gila banget tanpa ekspresi!

     “Enomoto-san? Menurutku, itu juga enggak baik, deh……”

     “Tapi, kita kan sahabat dekat, ya?”

     “Y-ya, itu sih benar, tapi……”

     Hmm? Ini pembicaraan arahnya makin aneh, enggak sih?

     Enggak boleh. Aku enggak boleh kalah argumen di sini. Soalnya… aku udah bisa ngebayangin, kalau ini terus berlanjut, cuma ada satu hasil: Himari bakal ngamuk-ngamuk lagi.

     (Maaf, Enomoto-san… tapi aku harus mengeraskan hati…!)

     Begitulah tekadku bulat seketika.

     Namun, tepat saat itu juga…

     Enomoto-san memainkan tali hoodie dengan gelisah, lalu menatapku dengan mata memelas dari bawah.

     “Aku juga sudah berusaha keras, jadi… aku mau hadiah.”

     Sisa nyawaku langsung hilang seketika.

     Kalau Himari itu gadis penggoda alami, maka Enomoto-san ini… senjata pemusnah massal berkekuatan polos!?

     Sambil mati-matian menahan ekspresi agar tak terlihat panik, aku merasakan Enomoto-san menarik ujung jaketku dengan lembut.

     “Aku, waktu itu, sudah berusaha keras buat menahan Hii-chan, kan?”

     “Y-ya… dan aku benar-benar berterima kasih soal itu…”

     Enomoto-san mengangguk puas.

     “Kalau begitu, aku ini spesial buat Yuu-kun, kan?”

     “…………”

     Anak ini luar biasa. 

     Himari juga jago ngomong, tapi dia tipe yang main akal dan taktik.

     Sementara Enomoto-san? Cara dia menyampaikan maksudnya itu simpel tapi sangat kuat. Kelihatannya kayak minta persetujuan dariku, tapi sebenarnya dia cuma menyatakan sesuatu secara sepihak. Enggak heran deh, soalnya dia adiknya Kureha-san…

     “...Enomoto-san. Jangan-jangan dari awal kamu emang udah ngerencanain ini?”

     Enomoto-san sempat terdiam tanpa ekspresi. Tapi beberapa detik kemudian…

     Dengan pipi yang memerah, dia tersenyum manis bagai bunga yang sedang mekar.

     “Ehe.”

     Gila… imut banget!

     Dikasih senyum kayak gitu, siapa yang nggak langsung mikir, “Ya udahlah…”!?

     "Jadi, Yuu-kun, bilang sekali lagi, dong. Kalau ini cocok buat aku."

     “Wah, bentar. Ini kita lagi main-main yang bikin malu gitu, ya…?”

     Tolong, berhenti. Jangan goyang-goyangin aku sambil bilang “Cepetan bilang.” Soalnya… ya, itu bikin sesuatu ikut goyang juga. Enggak usah kusebut apa, tapi mata ini jadi kena racun.

     “U-umm… beneran cocok banget. Kamu kelihatan… super imut.”

     Aduh, malu banget sampe enggak bisa lihat wajah Enomoto-san…

     Dia lalu menutupi wajahnya pakai ujung parka, tersipu malu sambil tersenyum manis.

     “Itu juga bagian dari rencana… bercanda kok.”

     Astaga, imut banget sih!!

     Meskipun adegan malu-maluin ini bikin jantung enggak karuan, kalau Enomoto-san senang, ya sudahlah… Saat aku lagi mikir begitu, dia buru-buru menutup parka-nya rapat-rapat.

     “Eh? Kenapa tiba-tiba?”

     “Karena Yuu-kun udah muji, sekarang saatnya disegel.”

     Ah, jadi maksudnya begitu…

     Dia memang udah terbiasa menghadapi tatapan orang, ya…

     “Enomoto-san. Tapi, tadi kamu sebenarnya lagi ngeliatin apa, sih?”

     “Ah, iya. Sini, liat deh!”

     Aku mengikuti arah yang ditunjukkan Enomoto-san dan menoleh ke arah hutan kecil di dekat sana.

     Di sana, terlihat bunga putih yang anggun sedang bermekaran. Enam kelopak bunga berwarna putih yang panjang dan ramping itu merekah ke arah luar. Sekumpulan bunga itu tumbuh menyebar dari ujung batangnya.

     “Ah, ini kan—”

     “Tunggu.”

     Dia langsung mengangkat tangannya dan menghentikanku dengan tegas.

     Saat aku masih penasaran bunga apa itu, Enomoto-san memasang ekspresi bangga dan berkata,

     “Biar aku yang nebak, ya!”

     “Eh, serius? Padahal ini lumayan susah, lho…”

     Hari ini Enomoto-san kelihatan aktif banget, ya. Mungkin ini efek sihir musim panas di tepi laut…

     Saat aku mempersilakannya menjawab, Enomoto-san menjawab dengan penuh percaya diri.

     “Itu adalah hamayuu. Masih satu keluarga dengan bunga higanbana, dan biasanya tumbuh di daerah pesisir yang hangat. Nama ‘hamayuu’ sendiri berasal dari kain putih bernama yuu yang biasa dipakai dalam ritual di kuil. Karena mirip, bunga ini disebut ‘hamayuu’—yuu dari pantai.”

     Sambil berkata begitu, dia menatapku dengan ekspresi penuh harap.

     Aku langsung bertepuk tangan sambil berseru, “Wah!"

     "Hebat! Benar banget!”

     “Yay!”

     Sambil berkata begitu, dia mengepalkan tangan kecilnya dengan semangat. Imut banget. Aku yakin dia bakal maksa aku bilang itu lagi dan lagi, jadi lebih baik aku simpan dalam hati.

     “Kamu tahu banyak juga, ya. Aku enggak nyangka kamu sampai tahu asal-usul namanya. Soalnya bunga ini cuma tumbuh di daerah dekat laut, jadi enggak terlalu dikenal.”

     “Aku belajar dulu sebelumnya. Soalnya aku mikir, kayaknya Yuu-kun bakal nyari bunga laut deh.”

     “Uwaa… tepat sasaran sampai aku enggak bisa ngomong apa-apa…”

     Aku enggak nyangka bakal kebaca sampai sejauh itu.

     Saat aku lagi merasa agak campur aduk karena itu, tiba-tiba Enomoto-san berkata,

     “Aku senang karena Yuu-kun tetap seperti biasanya.”

     “Eh? Maksudnya gimana?”

     Enomoto-san tampak sedikit melamun sambil menyentuh kelopak bunga hamayuu dengan jarinya.

     “Soalnya aku sempat mikir, gimana kalau setelah mulai pacaran sama Hii-chan, Yuu-kun jadi berubah dan bukan Yuu-kun yang biasanya lagi. Selama ini Yuu-kun enggak pernah tiba-tiba muji cewek pakai baju renang, kan? Makanya waktu aku bisa ngomongin hamayuu dan kamu kelihatan senang, aku jadi lega.”

     Sambil berkata begitu, Enomoto-san tersenyum lembut.

     “Aku juga akan ikut mengejar mimpi Yuu-kun, sungguh-sungguh.”

     “…………”

     Aku hanya bisa terpaku mendengar kata-katanya.

     Enomoto-san memalingkan wajahnya dengan malu, lalu menggenggam tanganku dan mulai menarikku pelan-pelan menuju tempat Himari dan yang lain.

     “Ayo, Yuu-kun.”

     “Ah… iya……”

     Sambil menyimpan ucapannya tadi dalam hati, aku menoleh kembali ke arah bunga putih itu.

     Makna dari bunga hamayuu adalah—"Kesucian."

     Bunga putih murni, yang dengan tenang menemani manusia saat mereka mempersembahkan keahlian mereka pada para dewa.

     Sosok yang indah, lurus, dan memiliki kekuatan untuk tetap teguh dalam kelembutannya.

     "Enomoto-san. Sambil nunggu Makishima balik, kita ngapain, ya? Mumpung di sini, gimana kalau kita berenang aja..."

     "Enggak mau."

     "Eh, langsung nolak…?"

     "Soalnya, aku harus lepas parka, kan."

     "Ah, jadi itu alasannya…"

     Sambil mengobrol ringan seperti biasa, aku sempat berpikir di sela-sela.

     (…Enomoto-san itu, mirip hamayuu ya.)

     Padahal tangan kami yang saling menggenggam terasa begitu hangat.

     Tapi entah kenapa, aku tetap tak bisa mengutarakan satu kalimat itu.

♣♣♣

     Setelah menyelesaikan semua persiapan, kami semua kembali berkumpul di pantai.

     Para cowok juga sudah berganti pakaian renang, dan seperti yang dideklarasikan oleh Makishima, kami bersiap untuk main voli pantai…

     “Pertama-tama, cara main voli pantai itu gimana, sih?”

     “Ah, aku juga enggak terlalu tahu aturannya. Sama kayak voli biasa, mungkin?”

     Enomoto-san langsung mengangkat tangan dengan sigap.

     Dia segera mencari aturan mainnya lewat ponsel. Bisa diandalkan banget.

     “Hmm. Aturan dasarnya sih sama, tapi poin kemenangan dan tinggi net-nya agak beda. Shii-kun, menurutmu gimana?”

     Makishima mengangkat tiga jari.

     “Aturan nomor satu: Timnya dua lawan dua.

     Aturan nomor dua: Bola harus dikembalikan ke lawan maksimal dalam tiga sentuhan.”

     Aturan nomor tiga: Tim yang lebih dulu mencapai 21 poin menang. Tapi karena ini cuma main santai, kita enggak perlu terlalu kaku. Toh, kita juga enggak punya net.”

     “Kedengarannya oke. Terus, pembagian timnya gimana?”

     “Kita bentuk timnya sambil jalan aja. Yang enggak kebagian bisa jadi wasit.”

     “Oke, deh. Kalau gitu, aku nonton aja, ya…”

     Saat aku berbalik mau jalan kembali ke bawah parasol, seseorang tiba-tiba mencengkeram kedua bahuku.

     Pas aku menoleh, kulihat Makishima dan Hibari-san tersenyum cerah banget. Saking cerahnya, malah agak serem…

     “Nahaha. Natsu, itu bukan tipe lelucon yang bisa bikin ketawa, tahu.”

     “Hahaha. Yuu-kun, tentu saja kamu bakal satu tim sama kakakmu tercinta, ‘kan?”

     Gawat.

     Kenapa sih dua orang ini langsung nyeret aku dari awal? Bukannya tujuan main voli pantai itu buat have fun bareng-bareng, cowok dan cewek campur gitu, ya?

     “Yah, sebenarnya aku memang berniat main, tapi langsung nyemplung gini tuh agak…”

     “Hei, Manusia Sempurna. Jangan sok-sokan nunjukin aura calon kakak ipar, deh. Bukannya udah dibilangin kalau anak ini bakal dijodohin sama Rin-chan?”

     “Hahaha! Matamu itu buta, ya, Shinji-kun? Yuu-kun itu! Sekarang! Adalah suami dari adik perempuanku tercinta, Himari! Gimana kalau kamu mulai terima kenyataan itu, hah?”

     “Nahaha. Itu kan keadaannya sekarang, ya? Sepuluh tahun… enggak, lima tahun lagi, kita lihat aja apakah kamu masih bisa sesumbar seperti itu?”

     “Fufu. Shinji-kun, kamu keliatan putus asa banget, ya? Orang yang kurang percaya diri biasanya paling keras suaranya, dan gaya mengintimidasi kamu itu malah lucu.”

     Tolong deh, kalian.

     Kenapa sih kalian berdua asyik saling bertengkar sementara aku ditinggal gitu aja? Dari tadi aku udah curiga, sebenarnya kalian berdua tuh akur banget, kan? Terus satu lagi—tadi kayak santai banget ngucapinnya, tapi ‘istri’ itu kan buat yang jadi istrinya, tahu!

     “Kalau gitu, kita tentukan lewat suit aja…”

     Lewat pertandingan suit yang adil, tim pun ditentukan: aku berpasangan dengan Hibari-san, sedangkan Makishima bersama Enomoto-san. Kami menggambar garis lapangan di pasir pantai dan membagi tim.

     “Enomoto-san, ternyata kamu cukup antusias juga soal olahraga, ya?”

     "Ya. Aku enggak sabar main voli bareng Yuu-kun."

     Baru saja aku mau minta dia supaya jangan terlalu serius, Enomoto-san tiba-tiba menambahkan dengan suara pelan,

     "...Kalau aku menang, aku mau kencan seharian sama Yuu-kun."

     "Hah!? Apa barusan kamu bilang!? Enomoto-san!? Eh, Makishima juga!?"

     Mereka berdua tetap berdiri dengan ekspresi super santai.

     Begitu aku menoleh ke arah Hibari-san, dia menepuk pundakku sambil tersenyum secerah mungkin.

     "Hahaha. Pertandingan jadi lebih seru kalau ada taruhannya, kan?"

     "Jangan sembarangan bikin janji dong... Terus, kalau kami yang menang gimana?"

     "Ya, berarti aku yang dapat kencan seharian sama Yuu-kun♪"

     "Menang atau kalah, sama-sama masuk neraka..."

     Apa kamu bahkan sudah bicara sama Himari soal ini?

     Kayaknya nanti aku yang bakal kena omel, deh…

     “Hei, Makishima, siapa yang jadi wasit?”

     “Banyak orang di sana, tuh.”

     Saat aku melihat ke arah yang dia tunjuk, para cewek sedang duduk santai di bawah parasol sambil minum jus dan alkohol.

     Himari melambaikan tangan sambil berseru, “Yuu~! Pacarmu tercinta lagi nonton, lho~♡” Meskipun saat itu pantatnya sedang jadi bantal buat Saku-neesan yang sudah tumbang karena mabuk…

     “Oh, Himari juga nonton, ya…”

     Tanpa sadar aku tersenyum dan hampir membalas lambaian itu, sampai akhirnya aku sadar Enomoto-san sedang menatap tajam dari sisi lapangan seberang.

     “……………………Oke, aku ngerti.”

     Tekanannya begitu kuat sampai-sampai aku malah jadi kayak anak SMP yang lagi ngambek. Sementara itu, Makishima menutupi mulutnya dengan kipas, bahunya bergetar karena menahan tawa saat aku berdeham pelan.

     Servis pertama diberikan kepada Enomoto-san.

     Ia tampak luar biasa bersemangat, mengirimkan bola dengan servis bawah. Di saat yang sama, dadanya yang bahkan tak sepenuhnya tertutupi oleh hoodie ikut memantul. Wah. Beginilah rasanya keseruan di pantai…

     Bola melayang pelan di udara, terbawa langit yang tak berangin, dan jatuh di dalam lapangan. Hibari-san menerimanya dengan gerakan yang anggun, dan bola itu, dengan kontrol sempurna, seolah meluncur ke arahku, seakan tertarik oleh sesuatu.

     Aku sendiri hanya pernah bermain voli saat pelajaran olahraga. Dengan gugup, aku menyetel bola itu, tapi justru mengirimkannya lebih tinggi dari yang kuinginkan.

     Aku menarik napas lega, berpikir tugas selanjutnya tinggal menunggu Hibari-san mengembalikannya.

     Saat bola melayang di udara, sempat menutupi cahaya matahari──

     ──Seekor elang besar mengepakkan sayapnya.

     Sesaat, aku seperti melihatnya dalam penglihatan.

     Hibari-san melompat ke udara, bersiap melakukan smash. Otot-ototnya menegang seperti cambuk, tubuhnya bergerak seolah menjadi makhluk hidup yang terpisah.

     Gerakannya begitu sempurna.

     Namun, di balik keindahan yang bahkan bisa membuat sesama pria terpukau… aku justru merasakan firasat buruk. Dan saat perasaan itu melintas di benakku, ekspresi wajah Hibari-san berubah seperti iblis.

     ──────DUG!!

     Terdengar suara tumpul layaknya meriam meledak.

     Bola itu berputar liar di dekat kaki Makishima, menyeburkan pasir ke segala arah sebelum akhirnya tertanam di pantai. Saat akhirnya berhenti, separuh bagiannya sudah tenggelam dalam pasir, dan dari situ tampak menguap semacam asap aneh… Bau terbakar ini, cuma perasaanku aja kan?

     Hibari-san berbalik, menyunggingkan senyum segar bak iklan pasta gigi, lalu mengacungkan jempol. Sudah pasti, giginya pun berkilau.

     “Apakah kamu sudah melihat sosok gagah Kakak Ipar tercintamu ini?”

     “Kamu kelewatan banget! Mau membunuh Makishima, ya!?”

     Hibari-san menyibakkan rambutnya dan tersenyum cerah.

     “Tentu saja tidak. Aku enggak bermaksud begitu. Tapi…”

     Dia berhenti sejenak, melirik ke arah Makishima.

     Di wajah Hibari-san terpampang—sebuah senyum sinis bak iblis.

     "Kalau cuma segini saja sudah bikin kamu ciut nyali, berarti ambisimu untuk melampauiku itu tak lebih dari sekadar permainan, ya?"

     "───Haah!?"

     Urat di dahi Makishima tampak menonjol jelas.

     Ia meraih bola pantai di kakinya dan melemparkannya ke arahku.

     "Natsu!! Giliranmu buat servis!"

     "Y-ya. Oke, ngerti…"

     Perlakuan Hibari-san barusan, kejam banget… Apa ini yang biasanya dia sembunyikan dan cuma ditunjukkan ke Himari? Sisi gelap Hibari-san, ya…

     Sejak itu, suasananya jadi kacau. Suara pukulan yang enggak ada hubungannya sama sekali dengan voli pantai terdengar berkali-kali di sepanjang pantai.

     "Eh, kalian berdua! Bisa enggak sih jangan sengaja ngincar muka satu sama lain!?"

     Makishima dan Hibari-san menampilkan senyum menyeramkan bak prajurit siap bertempur.

     "Natsu, jangan hentikan! Ini adalah pertarungan hidup dan mati, adu siapa yang lebih dulu menghentikan napas lawannya!!"

     "Fufu. Sudah lama aku enggak merasa darahku mendidih seperti ini! Terakhir kali aku bertaruh nyawa begini itu waktu tampil di Hanazono saat main rugby kampus dulu!"

     Ini tuh voli pantai, bukan kayak gitu aturannya!!

     Aku dan Enomoto-san pun perlahan mundur menjauh. Sekarang permainan sudah berubah jadi adu spike dan receive antara dua orang. Kami berdua cuma berfungsi sebagai mesin pengumpan bola.

     Gara-gara aku yang ngasih toss, bisa-bisa nanti ada yang mati... Kenapa, sih, aku harus merasakan beban kayak gini cuma dari beach volleyball bareng teman sendiri?

     (Atau mungkin, rally-nya beneran enggak kelar-kelar, ya...)

     Secara umum, Hibari-san masih unggul, tapi Makishima terus bertahan tanpa menyerah. Bukan karena teknik, tapi karena tekadnya yang luar biasa. Kalau aku, pasti udah tumbang dalam tiga menit.

     Pertarungan yang berlangsung lebih dari 30 menit itu bahkan bikin para penonton—termasuk Himari dan yang lain—jadi lelah dan bosan. Ini... gimana, ya, cara menghentikannya...

     “Hmm?”

     Suasana di bawah parasol terdengar lebih ramai.

     Kupikir kenapa ya jadi banyak orang, ternyata ada beberapa pria asing yang sedang menggoda para cewek. Karena kami terlalu fokus dengan pertandingan tadi, sepertinya mereka mengira kelompok kami beda.

     Sepertinya sih anak kuliahan? Mereka tampak senang banget ngajak kenalan dan ngobrol. Yah, soalnya di sana isinya emang pada cantik semua sih, standar wajahnya enggak masuk akal…

     Himari dengan cuek menolak, “Aku udah punya pacar, kok~.” …Entah kenapa, caranya yang terlalu lihai dalam menolak rayuan cowok itu malah bikin aku merasa sedikit sedih sebagai cowok yang lagi puber-pubernya. Masa enggak minta tolong sama sekali sih?

     Sementara itu, Saku-neesan masih tidur seperti biasa. Satu-satunya yang ramah dan ngobrol sambil tersenyum cuma Kureha-san. Aura “paling berpengalaman” di antara mereka terpancar jelas, dan para cowok itu langsung tancap gas karena merasa ada harapan.

     Tapi… ada yang aneh.

     Kalau memang Kureha-san tertarik, dia pasti udah ikut dari tadi. …Eh? Apa barusan dia ngelirik ke arah sini?

     “Hmm~? Kalian mau ngajak aku ke mana, nih~?”

     “Di kabin tempat kami nginap, ada banyak hal seru, lho!”

     “Eeh~? Jangan-jangan kalian malah mau ngelakuin hal-hal mesum, ya~?”

     "T-tentu tidak! Bukan begitu maksudnya!!"

     Percakapan yang terdengar seperti déjà vu itu terus berlangsung di medan pertempuran para pria yang mencoba merayu.

     Tanpa sadar, aku pun ikut memantau situasinya dengan jantung berdebar. …Hm? Sekarang kalau dipikir-pikir, dari tadi bolanya enggak pernah lagi mengarah ke posisiku, ya. Dan adu smash bertenaga super itu juga entah kenapa berhenti total… Ah.

     Kureha-san menepukkan kedua tangannya dengan senyum dingin yang mirip boneka. Di saat yang sama, dadanya yang bergoyang pelan menarik penuh perhatian para lelaki iseng itu.

     …Gara-gara itu, mereka gagal menyadari bencana yang perlahan mendekat dari belakang.

     "Kalau kalian sampai segitunya, apa aku harus ikut ngecek juga, ya~??"

     "Yeeah! Kalau begitu, ayo kita—eh?"

     Tiba-tiba, pundak mereka dicengkeram dari belakang, dan para penakluk wanita itu akhirnya menyadari ada yang tidak beres.

     Himari dengan cepat membereskan barang-barangnya lalu mundur pelan dari bawah payung. Dan tepat saat para pria itu menoleh ke belakang…

     …mereka disambut oleh dua cowok tampan dengan senyum mengerikan di wajah.

     “Bukan, justru kami yang akan ikut. Kami sangat tertarik dengan hal-hal seru yang kalian punya♪”

     “Ahaha. Ngegodain cewek di pantai yang ramah keluarga kayak gini itu... benar-benar garing. Kalian tuh enggak laku karena enggak bisa baca suasana.”

     Matanya sih senyum, tapi rasanya enggak ada hangat-hangatnya...

     Dari para pria tampan itu memancar aura aneh yang bikin nyali para pelaku modus langsung ciut. Mereka pun ditarik pergi begitu saja, tanpa perlawanan…

     Orang-orang bilang bunga yang indah pasti berduri, tapi… kalau dipikir-pikir, ini lebih mirip tanaman kantong semar. Jujur aja, bahkan aku pun sekarang ogah mendekat ke area parasol itu.

     “Ufufu~. Hibari-kun dan Shinji-kun, kalian lucu banget~♡”

     “Kureha-san. Barusan itu emang udah direncanain ya?”

     “Hmm~? Siapa tahu ya~?”

     Sambil berpura-pura polos, ekspresinya jelas-jelas nunjukkin kalau dia yakin, “Aku sih tahu mereka pasti bisa diatasi~.”

     Yah, berkat itu juga, pertandingan beach voli pantai maut akhirnya selesai. …Eh, jangan-jangan itu emang bagian dari rencananya juga? Serius deh, orang ini yang paling ngeri. Gelar “Ratu Iblis” emang pantas disandang.

     Pas lagi ngobrol begitu, tiba-tiba sebuah bola pantai melayang dan puk kena kepalaku.

     Saat aku menoleh, kulihat Himari dan Enomoto-san sedang melambai ke arahku.

     “Yuuu~. Onii-chan dan yang lain belum kembali, ayo kita main ronde kedua~.”

     “Seriusan? Aku udah capek, tahu…”

     “Karena Sakura-san lagi tidur, sebagai adiknya kamu harus tanggung jawab dong~.”

     “…Haaah. Ya udahlah, mau gimana lagi.”

     Aku pun memungut bola dan melangkah ke arah mereka.

♣♣♣

     Menjelang siang.

     Setelah makan siang dengan kari buatan ibu Himari, kami beristirahat sebentar. Lalu, kami pun segera sibuk mempersiapkan diri.

     Akhirnya, acara utama hari ini pun tiba.

     Kami—rombongan anak-anak SMA—berdiri berbaris di hadapan Hibari-san dan mendengarkan penjelasannya dengan seksama.

     "Baiklah, sekarang aku akan menjelaskan langkah-langkah melakukan SUP."

     “Baik~!” jawab kami serempak.

     SUP surfing.

     Merupakan singkatan dari Stand Up Paddle Surfing.

     Salah satu olahraga laut yang dalam beberapa tahun terakhir semakin populer. Ini adalah aktivitas bermain di laut menggunakan papan yang sedikit lebih besar dari papan selancar biasa.

     Berbeda dengan selancar pada umumnya, olahraga ini tidak bertujuan untuk menunggangi ombak, melainkan untuk menikmati tur mengelilingi lautan. Karena ini adalah pengalaman pertamaku, aku sendiri belum terlalu paham. Tapi menurut Hibari-san, “Kalau dibilang mirip, lebih dekat ke kano.”

     Hibari-san menyerahkan sebuah dayung panjang dan ramping padaku. Selancar, tapi pakai dayung?

     “Ini disebut paddle. Nanti, setelah naik ke papan di atas laut, kamu akan mengayuh pakai ini untuk bergerak maju.”

     “Ah, begitu. Jadi itu maksudnya mirip kano, ya.”

     Kami meminjam papan tipe tiup yang perlu dipompa terlebih dulu. Ukurannya cukup besar—ternyata memang untuk berdua.

     “Kalau begitu, Hibari-san akan naik bareng, ya?”

     “Tidak, aku ada urusan lain.”

     Urusan?

     Saat aku melirik, terlihat Makishima sedang menancapkan sebuah bendera kecil di atas pasir. Sepertinya dia sedang menyiapkan permainan beach flag. Tatapan matanya menyala-nyala seperti terbakar semangat, sampai-sampai aku ragu untuk mendekat.

     Waktu kami istirahat makan siang tadi, dia sempat menantang Hibari-san tanding tenis dan kalah telak. …Alih-alih patah semangat karena kalah di bidang yang dia kuasai, dia malah jadi makin menyala. Ternyata Makishima orangnya tipe penuh semangat, ya. Itu sih benar-benar penemuan baru buatku.

     “...Hibari-san, semangat ya.”

     “Hahaha. Aku belum kalah dari anak muda, tahu!”

     Setelah itu, kami mendapat penjelasan singkat tentang cara mainnya.

     Begitu selesai latihan dasar, kami pun mengenakan jaket pelampung sebagai persiapan.

     “Kalau begitu, Himari—ayo bareng…”

     Tepat di depan mataku, Enomoto-san mengangkat tangan tinggi-tinggi dengan sikap tegap. Matanya bersinar-sinar penuh semangat, seolah berkata, ‘Ayo pilih aku!’—lucu banget.

     “Yuu-kun, aku mau main bareng.”

     “Eh, Enocchi! Harusnya aku duluan, kan!?”

     Seketika, hawa panas menyambar di antara kedua gadis itu.

     "Hii-chan, suit yuk—batu, gunting, kertas!"

     “... Enggak keberatan.”

     Dua siswi SMA bermain janken?

     Yah, enggak apa-apa sih. Soalnya kalau didiskusikan terus, sepertinya enggak bakal ada ujungnya juga.

     Keduanya diam-diam mengangkat tangan dominan mereka. Lalu sambil mengayunkannya naik turun, mereka mulai dengan kalimat wajib.

     ““Janken, pon!””

     Himari mengeluarkan kertas!

     Enomoto juga kertas!

     Dan satu orang lagi—mengeluarkan gunting!

     …Satu orang lagi?

     Kami pun menoleh ke arah orang ketiga itu.

     “Sepertinya aku yang menang, ya.”

     Ternyata itu Saku-neesan.

     Eh, maksudnya gimana? Tiba-tiba nyelonong aja gitu? Saku-neesan segitu penginnya main SUP surfing, ya? Saat aku masih bingung, Saku-neesan mengangkat Himari begitu saja ke pundaknya.

     “Kalau begitu, Himari-chan aku pinjam dulu, ya.”

     “Eeehh!? Sakuraaa-san!”

     Saat Himari meronta-ronta, dari samping muncul wajah Kureha-san yang langsung menahannya.

     “Himari-chan, yuk kita adakan kumpul-kumpul cewek di sini~☆”

     “Kenapaa!? Dari tadi kalian kerjaannya cuma ngerecokin aku aja, kan!?”

     Saku-neesan tersenyum tipis.

     “Kamu kan bisa main sama si bodoh ini tiap hari. Sesekali, kamu juga harus ambil hati calon kakak ipar masa depanmu, dong.”

     “Jadiii~ Yuu-chan main sama Rion aja, ya~♪”

     Ah, dia dibawa pergi begitu saja…

     Saat aku masih tertegun melihat para Oneesan yang pergi seperti badai, Enomoto-san menggenggam tanganku dengan riang.

     “Yuk, Yuu-kun, kita jalan?”

     “Setelah kejadian tadi, kamu bisa bertingkah biasa aja… mentalmu kuat banget ya…”

     Yah, sudahlah. Aku bisa naik bareng Himari nanti. Untuk sekarang, lebih baik aku mencoba dulu bersama Enomoto-san dan mencari tahu triknya.

     Kami membawa papan bersama-sama dan masuk ke laut.

     “Hmm… pertama, kita harus mengapungkan papan di kedalaman sebatas lutut.”

     Hari ini ombaknya tenang.

     Papannya pun dengan mudah mengapung di atas air. Katanya kami akan duduk berdua di atas ini, tapi…

     “Whoa. Ternyata bisa dinaikin juga, ya…”

     Begitu aku menginjakkan kaki, kupikir papan ini bakal langsung miring dan aku jatuh ke laut, tapi ternyata sama sekali tidak begitu.

     Papan ini jauh lebih tebal dibandingkan papan selancar biasa. Artinya, papan ini diisi udara lebih padat, dan daya apungnya luar biasa.

     Rasanya cukup unik. Meski kakiku terasa agak tidak mantap, ada sensasi stabil yang aneh. Mungkin mirip seperti sedang berbaring di hammock yang terombang-ambing di atas ombak.

     “Enomoto-san, kamu udah naik?”

     “U-uhm. Aku… baik-baik saja, kok…”

     Saat aku menoleh untuk memastikan, dia tampak sedikit tegang, memegangi kedua sisi papan erat-erat.

     Padahal tadi dia semangat banget, tapi sekarang pas benar-benar dilakukan, kelihatannya agak takut, ya. Sisi Enomoto-san yang biasanya enggak kelihatan ini… terasa segar banget.

     Kami pun mulai mendayung dengan paddle, bergerak ke arah laut yang lebih dalam.

     …Ternyata, ini susah banget. Karena berdua, kami harus mengayuh lebih kuat supaya bisa melaju. Dan untuk itu, kami harus menyamakan ritme.

     Sebagai cara klasik, aku pun mencoba memberi aba-aba.

     “Enomoto-san, satu, dua!”

     “Iya!”

     Byur.

     …Whoa, lumayan juga. Gerakan kami ternyata cukup sinkron.

     Setelah maju beberapa meter, aku menoleh ke arah pantai. Di sana, Hibari-san mengacungkan jempol dengan mantap. Sepertinya sekarang waktunya untuk mulai berdiri.

     “Enomoto-san, aku coba berdiri dulu, ya.”

     Perlahan… hati-hati…

     …Ooh. Berhasil berdiri.

     Keren juga. Begitu berdiri, rasanya pandanganku langsung jadi jauh lebih luas. Gimana ya—kayak cakrawala tiba-tiba jadi lebih dekat. Rasanya seperti bisa terus melaju sejauh apa pun… yah, tentu saja aku enggak akan pergi jauh. Enggak mungkin aku tinggalin Himari.

     Hmm, posisi badan harus agak menyamping, dan jangan tegak lurus—lebih baik sedikit setengah jongkok…

     Akhirnya aku bisa tenang, meski jantung masih berdebar—dalam arti yang menyenangkan. Ini… mungkin seru juga. Kayaknya aku bakal ketagihan…

     “Enomoto-san, kamu mau coba berdiri juga?”

     Maksudku… aku pengin dia berdiri.

     Soalnya kalau terus begini, aku bakal terus mendayung sambil membelakangi Enomoto-san—dengan pantatku tepat di hadapannya. Dan itu… jelas harus kuhindari. Saat aku lagi mikir gitu, Enomoto-san berkata dengan nada gugup, “Aku… coba, ya,” lalu berusaha berdiri…

     “Yuu-kun! T-tolong tanganku!”

     “Ah, iya!”

     Karena suaranya mendadak kencang, aku refleks mengulurkan tangan.

     Dia menggenggam erat tanganku, lalu perlahan mencoba berdiri, terlihat gugup luar biasa. Kakinya gemetar, persis seperti anak rusa baru lahir.

     Yah, aku ngerti sih kalau dia takut. Aku juga tadi begitu. Tapi papan ini sebenarnya jauh lebih stabil dari kelihatannya. Kalau tenang, pasti bisa.

     Masalahnya justru ini… sensasi Enomoto-san yang memeluk lenganku erat-erat… Dia memang kelihatan imut banget pas lagi serius gitu, tapi karena itulah dia jadi enggak ragu-ragu bersandar dan menempel…

     (Aaah────……!!)

     Aku menjerit dalam hati.

     Syukurlah aku pakai jaket pelampung!

     Beneran, syukurlah aku pakai jaket pelampung!!

     Kalau enggak pakai, pasti tadi papan ini udah kebalik. Soalnya Enomoto-san juga ikut naik—dan itu jelas bakal bahaya banget.

     Ayo, otot wajahku… bertahanlah. Sekarang, aku harus kelihatan super cool. Aku ini pria keren. Pria paling cool!

     "……Fuuuh."

     Enomoto-san berhasil berdiri, lalu mengusap keringat di wajahnya.

     Poni yang menempel di dahinya kelihatan imut banget, tapi aku lagi enggak punya ruang di hati buat mengaguminya.

     “K-kalau gitu, ayo coba melaju lagi sedikit, ya?”

     “Un…”

     Kami mulai mendayung bersama, mengayuh permukaan laut dengan paddle di tangan.

     “Se-no! ……Huh?”

     Seruan semangat itu terputus.

     Tiba-tiba, ada sesuatu yang hangat menyentuh punggungku. Itu Enomoto-san… tapi dari posisi ini, rasanya seperti dia sedang bersandar erat padaku.

     Dan entah kenapa, aku juga jadi ikut tegang. Suara debur ombak yang tadi jelas terdengar, sekarang terasa begitu jauh.

     “Yuu-kun. Boleh aku bilang sesuatu yang penting?”

     “Eh, Enomoto-san…?”

     Jantungku berdebar kencang.

     Dan aku bisa merasakan detak jantung Enomoto-san di punggungku, berdetak cepat seolah membunyikan alarm. Aku tahu—dia sedang sangat gugup.

     Dengan suara parau, dia memaksakan kata-katanya keluar.

     “Mungkin kamu bakal bingung mendengar ini, tapi… tolong, dengarkan baik-baik…”

     “Y-ya…”

     Seketika, suhu tubuhku melonjak.

     Ini… sepertinya akan jadi buruk. Aku memang belum tahu dia akan bilang apa, tapi atmosfernya benar-benar tak menguntungkan. Hanya kami berdua di atas laut yang luas dan membiru ini. Suasananya terlalu sempurna, terlalu romantis.

     Bahkan aku, seorang introver, tahu persis apa arti dari situasi seperti ini. Maksudku, ini mengingatkanku pada kejadian di ladang bunga matahari bersama Himari tempo hari—aku bahkan merasa ini seperti sebuah deja vu.

     Ini… tidak bagus.

     Padahal aku ingin tetap menjadi teman baik dengan Enomoto-san──…

     “Aku… enggak bisa berenang.”

     “Kenapa ngomongnya sekarang, sih!?”

     Pantas saja dari tadi dia gemetaran!? Ya wajar aja, kalau enggak bisa berenang terus harus berada di atas laut, pasti jadi tegang, kan!

     Aku buru-buru mencoba memutar arah pakai dayung.

     “K-kita balik aja!”

     “Enggak. Antar aku sampai selesai, ya.”

     Sial! Lenganku dipegang erat pakai kekuatan yang diasah dari kerja di toko kue!

     Kenapa sih, udah tahu enggak bisa berenang, tapi gayanya segitu pede!? Efek jembatan gantung ini bikin ekspresi percaya dirinya kelihatan tiga kali lebih imut dari biasanya!

     “Ah, bukan karena aku takut air, kok. Aku tipe yang masih bisa bertahan kalau pakai pelampung.”

     “...Jadi, intinya kamu memang enggak jago renang, ya?”

     Enomoto-san mengangguk pelan.

     Lalu, dengan ekspresi sebal, dia menatap ke arah dadanya sendiri seolah menyalahkannya.

     “Dulu sih, sampai SMP aku masih bisa berenang dengan normal…”

     “Ah, jadi begitu…”

     Dari satu kalimat itu saja, aku langsung paham.

     Pantas aja, Enomoto-san sebenarnya enggak buruk dalam hal olahraga, tapi kadang suka kelihatan ceroboh pas jatuh atau kehilangan keseimbangan. Sepertinya karena sebagian tubuhnya yang berat, jadi susah menjaga keseimbangan saat refleks.

     Kalau begitu, sekarang kan dia pakai pelampung, pasti aman. Lagipula, kalau sampai jatuh pun, kata Hibari-san, tinggal pegangan di papan lalu berenang balik ke pantai.

     “Kalau gitu, kita enggak usah jauh-jauh ke tengah, muter-muter di sekitar sini aja, ya?”

     “Ya. Itu lebih baik.”

     Enomoto-san menjawab dengan manis.

     Begitulah, kami pun menikmati tur santai di atas laut sambil mengayuh perlahan.

     Hibari-san bilang, yang seru dari SUP surfing itu adalah kegiatan di atas airnya. Karena bisa melatih otot inti tubuh, banyak juga yang menikmati sambil melakukan yoga atau olahraga lainnya.

     Konon, kalau sudah lebih mahir lagi, ada juga orang yang meletakkan barang bawaannya di atas papan ini lalu memancing. Karena jaraknya dengan permukaan air sangat dekat, rasanya berbeda dibandingkan memancing dari tepi pantai.

     Kami duduk di atas papan, bersenang-senang sambil memotret menggunakan ponsel yang disimpan dalam wadah anti air. Enomoto-san mengaktifkan mode selfie, lalu mendekatkan wajahnya padaku.

     “Oke, aku foto ya.”

     “Y-ya.”

     Piron! Jepretan selesai.

     Wah, gara-gara jantungku sempat deg-degan, wajahku jadi kelihatan kaku. Tapi Enomoto-san... entah sejak kapan dia sudah terbiasa selfie, sampai bisa pose cantik sambil menjepit rambut seperti itu.

     Ia dengan lincah mengedit fotonya. Sekeliling kami diberi banyak stiker hati—penuh gaya dan penuh puas diri.

     “Ne, Yuu-kun?”

     “Ada apa?”

     Saat aku lengah, Enomoto-san tiba-tiba melemparkan pertanyaan tak terduga.

     “Waktu festival kembang api itu, kamu ciuman sama Hii-chan, ya?”

     “Bufuuuh!?”

     Aku nyaris kehilangan keseimbangan, tapi buru-buru menstabilkan posisi.

     Mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri… Gehok, gehok! Ugh, bau asin lautnya terlalu menyengat sampai bikin tersedak. Sungguh, anak ini ngomong apa sih tiba-tiba…?

     “Siapa yang bilang… soal itu?”

     “Teman sekelasku cerita lewat LINE waktu itu.”

     Ke–li–a–tan–de–ngan–je–las~…!!

     Gila… malu banget! Waktu festival sih aku masih terbawa suasana, tapi sekarang setelah pikirannya tenang dan dibahas lagi begini, rasanya pengin ngubur diri aja!

     “Yuu-kun, cuma itu aja?”

     “A-apa maksudmu?”

     “Selain waktu itu, kalian pernah ciuman lagi enggak?”

     Dia nanyanya ngebet banget, ya ampun.

     “Ehh… itu malu banget kalau harus dijawab, tahu…”

     Tatapan sayu Enomoto-san makin menusuk, kayak nambah tiga lapis beratnya.

     “Jadi, kalian emang pernah, ya?”

     “Ugh…”

     Iya. Cuma sekali sih… Waktu aku lagi kerja paruh waktu di minimarket, Himari datang bawa cemilan, terus di belakang toko, waktu itu…—eh, kenapa aku malah ngasih tahu gini!? Ya, meskipun sebenernya aku juga yang ngomong sendiri, sih!!

     Waktu aku lagi tenggelam dalam rasa malu dan pengen menghilang, Enomoto-san menghela napas.

     “Enak, ya… Hii-chan punya banyak kenangan rahasia sama kamu…”

     “Reaksimu itu… bikin aku makin bingung harus jawab gimana…”

     Bagaimana kalau kita balik ke pantai saja...?

     Iya, ayo begitu. Lagian, kita juga sudah cukup lama di sini. Mungkin Himari juga mulai khawatir...—eh, tapi kenapa Enomoto-san malah makin mendekat, sih?

     Cara dia nyender ke bahuku itu mirip banget kayak kucingku, Daifuku, kalau lagi manja minta cemilan Churu. Enomoto-san? Maaf, tapi posisi kita sekarang agak rawan jatuh, jadi tolong jangan gerak dulu...

     Saat aku sedang berusaha bertahan tanpa tempat kabur, Enomoto-san menatapku dalam jarak super dekat.

     “Yuu-kun... aku juga pengin punya kenangan musim panas yang cuma milik kita berdua.”

     “Kenangan musim panas...?”

     Aku mengulang kata-katanya tanpa sadar, dan saat itu juga, Enomoto-san menyentuh bibirnya dengan jari. Bibirnya yang mengilap karena lip balm itu terlalu memesona, sampai-sampai aku tidak bisa mengalihkan pandangan.

     “...Kayak ciuman, misalnya.”

     Guhhaa...

     Sebenarnya aku sudah agak menduga, tapi saat benar-benar mendengarnya langsung, efeknya luar biasa. Kata-katanya bagaikan misil yang menghantam perutku tanpa ampun.

     Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendorong Enomoto-san menjauh.

     “T-tidak boleh! Itu enggak boleh...”

     “Kenapa? Kalau ciuman sama teman, kamu juga udah pernah ngelakuin itu sama Hii-chan, kan?”

     “Enggak! Enggak pernah! Aku enggak pernah ngelakuin hal kayak gitu!”

     Memang sih, sejak kami masih sebatas sahabat, dia suka gandeng tangan atau peluk tiba-tiba, pokoknya jaraknya aneh banget. Tapi yang kayak gitu—yang satu itu—kami enggak pernah lakuin. Karena... hal seperti itu cuma dilakukan sama pasangan yang saling jatuh cinta, kan?

     Jadi, aku harus menolak dengan baik-baik dan sopan... atau setidaknya itu niatku, sampai akhirnya Enomoto-san tersenyum malu dan pipinya memerah.

     “Yay. Jadi... aku yang pertama, ya.”

     …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………Hampir saja!! Sesaat, aku benar-benar mengira jantungku akan berhenti berdetak!

     Apa-apaan sih anak ini! Mentalnya kuat banget, sampai-sampai kayak bisa ngontrol persepsiku sendiri! Aku jadi enggak yakin lagi apa yang wajar dan enggak!

     (Aku harus kabur. Kalau tetap di sini, aku beneran bakal nyium dia...)

     Perlahan-lahan, aku mencoba turun dari papan.

     Tapi ternyata, itu keputusan yang salah. Begitu titik berat tubuh bergeser tiba-tiba, papan langsung oleng ke samping dan… byur, terbalik begitu saja. Kami berdua pun terjatuh ke laut.

     “Buhaah!?”

     Gawat, aku enggak sengaja minum air laut! Asinnya kebangetan!

     Untungnya, berkat pelampung, aku langsung mengapung ke permukaan. Sambil panik menyeka wajahku, aku mencari keberadaan Enomoto-san… Ah, ketemu! Dia muncul juga dari dalam air, agak menjauh dariku.

     Dia tampak panik dan langsung menoleh ke sana kemari. Begitu matanya menangkapku, dia berusaha mendekat sambil mengayuh tangan dan kakinya dengan heboh.

     Tapi gerakannya… kelihatan kaku banget.

     “Enomoto-san?”

     bata bata bata bata bata bata bata bata… bata bata……sunyi……bata… bata………hening……

     “Enomoto-saaaan!?”

     Aku buru-buru berenang menghampiri Enomoto-san, yang sudah sepenuhnya menyerah untuk berenang.

     Begitu kutangkap tubuhnya yang mengambang di permukaan air, dia malah balik mencengkeramku erat-erat. Lalu dengan wajah cemberut, dia menggembungkan pipinya sebal.

     “Yuu-kun… Barusan aku agak takut, tahu…”

     “Eh, iya, maaf banget… Beneran.”

     Tapi ya… kalau dipikir-pikir, ini semua juga gara-gara dia tiba-tiba ngomong aneh-aneh, kan…

     Dengan perasaan yang belum sepenuhnya puas, aku kembali meraih papan yang terbalik. Untungnya, aku juga menemukan paddle-nya, jadi sepertinya enggak ada kerusakan berarti.

     “Ah! Enomoto-san! Ponselmu masih aman!?”

     “Aman, kok. Aku kaitin ke pelampung.”

     Syukurlah…

     Untuk sementara, kami pakai papan kayak pelampung dan mulai berenang pelan-pelan ke arah pantai. Sepertinya Hibari-san sudah sadar kami jatuh dari papan, karena dia langsung mencebur ke laut dan berenang ke arah kami untuk menjemput.

     Meski lagi dalam situasi begini, entah kenapa Enomoto-san yang berpegangan di punggungku tampak menikmati semuanya. Saat aku bertanya-tanya kenapa, dia pun berkata,

     “Ini mirip sama waktu itu, ya.”

     “Waktu itu?”

     “Waktu kita masih SD. Saat Yuu-kun yang ngajak aku jalan waktu itu.”

     “Ah… waktu itu, ya…”

     Saat di kebun raya, waktu dia terpisah dari keluarganya, dan kami berjalan keliling bareng untuk mencari mereka.

     Benar juga. Waktu itu pun, Enomoto-san dengan panik terus mengikutiku dari belakang.

     …Kenapa, ya? Kenapa waktu itu aku bisa mulai menyukai Enomoto-san? Saat aku sedang larut dalam nostalgia itu, tiba-tiba Enomoto-san berbisik pelan di telingaku.

     “Ini jadi kenangan musim panas kita yang pertama, ya?”

     “…………”

     Hal kayak gitu, menurutku beneran enggak baik, deh.

     Sambil pura-pura enggak dengar karena suara ombak, aku pun berenang sekuat tenaga untuk segera menyusul Hibari-san.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close