NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Danjjo Yuujo ga Seiritsu (Iya Shinai?) Volume 4 Prologue

Penerjemah: Nobu

Proofreader: Nobu


Prologue

Kembalinya Rion


♠♠♠

PoV

Makishima Shinji

     Salam. Aku, Makishima Shinji.

     Pertengahan bulan Agustus. Sudah satu malam berlalu sejak insiden perekrutan Himari-chan oleh Kureha-san.

     Untungnya semuanya bisa diselesaikan dengan baik, menandai berakhirnya liburan musim panas di tahun kedua kami sebagai murid SMA... Yah, bisa dibilang liburan musim panas kali ini cukup padat dan berkesan.

     Paruh pertama diisi dengan kesibukan klub, sementara paruh kedua diwarnai dengan berbagai drama cinta di kalangan teman-teman. Jalan ceritanya enggak pernah ngebosenin. Rasanya benar-benar seperti masa remaja—enggak buruk, sih.

     Pertengkaran kecil antara Natsu dan Himari-chan pun, untuk sementara, bisa dibilang udah menemukan titik temu.

     Padahal mereka sendiri yang bikin ribut, terus nyaris hancur gara-gara ulah mereka sendiri juga (udah keberapa kali, coba?). Tapi, pada akhirnya semua berakhir manis berkat aku. Ya, bisa dibilang seperti itu.

     Rasanya aku bisa dengar tepuk tangan meriah ditujukan pada diriku—sang pemeran utama di balik layar. Gara-gara itu juga sih, aku jadi punya utang budi sama manusia super sempurna yang paling kubenci itu... Tapi ya sudahlah. Kesempurnaan memang enggak cocok sama yang namanya masa remaja.

     Nah, begitulah, siang itu aku lagi larut dalam perasaan seolah semuanya udah masuk bab epilog.

     Sampai akhirnya aku tiba-tiba dibangunin lewat telepon dari teman masa kecilku, Rin-chan. Katanya sih, aku harus segera ke rumahnya.

     “...Jangan-jangan, dia mau ngadain pesta penghiburan lagi?”

     Dulu, waktu Natsu mulai dekat dengan Himari-chan, kejadian serupa juga pernah terjadi. Padahal aku sudah bilang kalau aku enggak suka makanan manis, tapi tetap saja dicekokin kue dan penganan manis lain seperti orang bodoh. Kalau harus melalui neraka itu lagi, jujur saja, aku jadi malas. Padahal berat badanku baru saja balik normal...

     Di belakang kuil keluargaku, ada sebuah toko kue bergaya Barat yang kecil tapi rapi. Dari luar, tampilannya mirip rumah bajing di cerita-cerita dongeng. Sayangnya, karena letaknya bersebelahan langsung dengan area pemakaman, suasananya malah terasa agak... menegangkan.

     Sejak renovasi, ini pertama kalinya aku mampir ke sana lagi. Kamar Rin-chan ada di lantai dua toko itu.

     Aku berdiri di depan pintu kamarnya, dengan perasaan muram.

     Setelah kejadian kemarin, hubungan Natsu dan Himari-chan makin dekat.

     Rin-chan yang biasanya mentalnya sekuat baja… sekeras apa pun dia, sepertinya kali ini dia pasti sedang merasa down. Walaupun semua ini adalah akibat dari keputusannya sendiri, bukan berarti perasaannya bisa langsung menerima semuanya begitu saja.

     Tadi, waktu aku lewat dekat dapur, tercium aroma harum dari kue yang sedang dipanggang. Toko kue ini memang punya kebiasaan menyiapkan semua dagangan pagi-pagi. Jadi kalau ada kue yang dipanggang di siang hari seperti ini, sudah pasti itu bukan untuk dijual—melainkan untuk konsumsi pribadi.

     Jangan-jangan… ini benar-benar pengulangan dari "pesta penghiburan" yang waktu bulan April itu? Ya sudahlah, tak usah dibahas. Toh, aku juga terlibat langsung dalam masalah ini. Beres-beresnya pun jadi tanggung jawabku juga.

     Kalau enggak salah, pacarku sekarang juga suka makanan manis, deh. Apa perlu kupanggil dia buat bantuin?

     Sambil memikirkan hal itu, aku mengetuk pintu. …Tapi tak ada jawaban.

     Memanggil orang tapi dia sendiri enggak ada di tempat—benar-benar keterlaluan. Belakangan ini bukan cuma ukuran dadanya saja yang makin besar, sikapnya juga ikut membesar. Rin-chan yang penakut waktu masih SD itu… sepertinya sudah tidak ada lagi di dunia ini.

     Yah, sudahlah. Toh, tante tadi bilang, “Masuk aja sesukamu,” jadi kupikir enggak ada salahnya menyusup masuk begitu saja. Lagipula, seharusnya enggak ada yang perlu dia sembunyikan. Tapi… mungkin lebih baik kalau poster pegulat di dinding itu dia lepas dulu, buat jaga-jaga kalau suatu saat Natsu mampir ke sini.

     Aku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.

     “Permisi masuk... huh?”

     Ruangan itu remang-remang.

     Tirai jendelanya tertutup rapat. Awalnya kupikir untuk melindungi interior dari sinar matahari... tapi ternyata bukan. Di sebelah ranjang, ada sesuatu yang besar tergelatak. Aku sempat tak percaya pada penglihatanku.

     Yang tergolek di sana adalah Kureha-san—dalam keadaan terikat rantai.

     “Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!?”

     Sampai-sampai aku, yang biasanya cukup tahan guncangan, langsung menjerit kaget.

     Refleks, aku jatuh terduduk. Dan karena panik, aku malah menduduki kotak berisi set teh mahal yang kubawa sebagai oleh-oleh.

     Teriakanku tadi tampaknya membangunkan Kureha-san. Ia mengerang pelan dengan suara memohon, “Mmm~! Mmmmmm~!”

Mulutnya dilakban dengan selotip.

     (A-Apa sebenarnya yang terjadi di sini...!?)

     Ruangan remang-remang. Seorang model cantik yang tak bisa bergerak. Dan di sekelilingnya… apa ini? Lebih dari selusin piring kosong dengan sisa krim kue?

     Apa ini… tempat kejadian perkara?

     Tidak, kalau soal Rin-chan, sepertinya itu enggak mungkin. Dia memang suka melakukan hal-hal yang agak abu-abu, tapi enggak pernah menyentuh yang betul-betul gelap. Itulah ciri khas Rin-chan—garis putih dan hitamnya sangat jelas.

     Kalau begitu… ini pasti cuma “main-main” versi Rin-chan.

     “Kureha-san. Aku juga enggak terlalu ngerti, tapi... komunikasi antar-saudara Enomoto ini kok ekstrem banget, ya?”

     “Mmm~! Mmm~!?”

     “Ahaha, bercanda kok. Tapi, coba pikir. Bukannya ini semua berawal karena Kureha-san dulu jarang meluangkan waktu untuk Rin-chan kecil? Gara-gara itu, sekarang dia enggak tahu caranya menjaga jarak sama kakaknya yang dia sayangi banget, lho.”

     “Mmmmmm~...”

     Kureha-san menatapku dengan pandangan penuh dendam.

     …Sepertinya, dia benar-benar enggak bisa melepaskan diri dari rantai itu. Meski dalam hal bicara dia bak iblis ratu kegelapan, untuk urusan fisik, dia ternyata cukup lemah. Kalau Rin-chan sudah serius, keseimbangan kekuasaan di antara mereka bisa langsung jungkir balik.

     Ya, meskipun kupikir ini agak menyedihkan... tetap saja aku enggak berniat menolong. Bukankah cukup menyenangkan bisa duduk santai dan menikmati pemandangan seorang lawan yang biasanya suka mengolok-olokku, kini dalam kondisi tanpa daya?

     Aku duduk di kursi dan mulai mengipasi diri dengan kipas.

     Saat itulah pintu kamar terbuka.

     Rin-chan berdiri tegak di ambang pintu, seperti seorang jenderal yang baru kembali dari medan perang—di kedua tangannya masing-masing ada satu piring besar berisi kue utuh.


Begitu masuk ke dalam kamar, Rin-chan langsung menatap tajam ke arah Kureha-san yang tergeletak di lantai. Aura mencekamnya memancar bagaikan penyihir jahat dari hutan dalam dongeng. Dengan gerakan tenang tapi menyeramkan, dia mencabut lakban dari mulut Kureha-san.

     “Ayo, Onee-chan… Kita makan kuenya yang enaaak lagi, yaaa…”

     “Rion! Aku udah enggak bisa makan lagi, tolong!!”

     “Enggak bisa. Ini kan hukuman karena udah ganggu Yuu-kun dan yang lain. Nih, makan kuenya—kue tanpa rasa bersalah, dengan susu dan gula melimpah, biar Onee-chan jadi cewek chubby yang manis, yaaa?”

     “Enggakkk~! Kalo aku gemuk nanti enggak dapat kerjaan lagiiiii!! Tolong hentikan~!!”

     …Ini sebenarnya sandiwara apa, sih?

     Rin-chan terus menekan-nekan sendok berisi kue ke mulut Kureha-san. Aku hanya bisa menarik napas panjang, lalu menghentikan aksinya.

     “Rin-chan, sudah cukup. Kalau mau menghukum, daripada membalas dendam secara emosional, lebih baik manfaatkan dia sebagai pionmu untuk meraih keuntungan. Itu jauh lebih efektif.”

     Rin-chan berhenti mendorong sendoknya, lalu memelototiku yang sedang duduk santai di kursi.

     “Shii-kun, masuk ke kamar cewek tanpa izin tuh enggak sopan, tahu.”

     “Bukannya kamu sendiri yang manggil aku ke sini? Lagian, kamu tuh orang terakhir yang pantas ngomong soal etika… soalnya kamu baru aja nyekap kakakmu sendiri di kamar, tahu.”

     Rin-chan cemberut dan sengaja mengabaikanku. Hhh, seperti biasa—kalau Natsu enggak ada, sikapnya langsung berubah jadi dingin begini.

     “Jadi, kenapa kamu manggil aku? Jangan-jangan kamu mau minta bantuan buat ngubur jasad Kureha-san yang mendadak jadi chubby?”

     “Ya ampun, mana mungkin! Shii-kun, kadang kamu suka ngomong konyol banget, sih.”

     …Aku hebat juga, bisa tetap sabar dan enggak marah.

     “Kalau begitu, apa? Cepat sampaikan urusannya. Aku masih punya PR liburan musim panas yang harus diselesaikan, tahu.”

     “Kalau Shii-kun sih, pasti kelar dalam tiga hari. Tapi ini lebih penting dari PR. Ada hal serius yang mau aku omongin.”

     “Setelah lihat adegan absurd barusan, aku sebenarnya udah males dengar apa pun, tapi ya sudahlah. Ayo, sampaikan saja.”

     Rin-chan pun mengambil sebuah map plastik bening dari balik punggungnya.

     Di dalamnya tampak beberapa lembar dokumen. Dia mengeluarkannya satu per satu, lalu menyerahkan masing-masing pada aku dan Kureha-san. Karena tangan Kureha-san masih terikat, aku meletakkan kertas itu di posisi yang bisa dia baca.

     Aku menyapu isi dokumen itu sekilas, lalu memijat pelipis dengan jari. Begitu menyadari alasan aku dipanggil ke tempat ini, aku merasa pusing mulai menyerang.

     “...Rin-chan. Ini apa, sih?”

     “Aku barusan cetak dari konbini.”

     “Bukan itu yang kutanya. Aku sedang mempertanyakan... apakah isi naskah absurd ini ditulis dalam keadaan waras.”

     Rin-chan mendengus bangga sambil menegakkan dada.

     ...Entah kenapa, rasa percaya dirinya begitu mengganggu. Dan karena itu juga, aku sudah bisa menebak kalimat mengerikan apa yang akan ia ucapkan berikutnya.

     “Aku tuh ya, rencananya mau mesra-mesraan banget sama Yuu-kun di liburan musim panas ini. Soalnya kita udah kelas dua SMA. Tahun depan pasti sibuk belajar buat ujian masuk, kan?”

     “…………”

     Benar juga, sih.

     Tapi aku bahkan enggak mampu membalas dengan gumaman setuju. Sekali lagi, mataku melirik ke arah dokumen itu. Dan bersamaan dengan itu, Rin-chan pun mendeklarasikan niatnya dengan lantang dan penuh semangat.

     “Aku pengin pergi ke laut bareng Yuu-kun.”

     “Aku tahu. Itu tertulis di sini.”

     “Aku pengin belanja bareng Yuu-kun.”

     “Aku tahu. Itu juga tertulis di sini.”

     “Aku pengin makan makanan enak bareng Yuu-kun.”

     “Aku tahu. Itu juga tertulis di sini.”

     “Terus, aku juga pengin... ciuman... sama Yuu-kun... ehehe.”

     “...Itu memang tidak tertulis, tapi perasaanmu sudah meluap-luap di sini.”

     Sang gadis super cantik itu menunduk malu dengan pipi memerah.

     Harusnya sih, pemandangan itu bisa menyegarkan mata. Tapi entah kenapa, semuanya terlihat seperti dipenuhi warna sephia di mataku. Rasanya, aku enggak ingin melihat sisi masa kecil Rin-chan yang seperti ini... Tapi sudahlah, tak perlu kuucapkan. Dalam beberapa bulan terakhir, aku juga ikut-ikutan menyulut semangat Rin-chan. Dan inilah hasilnya—seorang monster cinta yang diciptakan oleh perbuatanku sendiri.

     Seketika, ekspresi Rin-chan berubah serius. Ia menatapku dengan wajah datar.

     “Masih ada dua minggu lagi, jadi masih sempat, kan?”

     “...Benar juga. Masih ada lima belas hari, yang artinya setidaknya masih bisa lima belas kali kencan. Masih aman.”

     Dilihat dari jumlah harinya, tak ada masalah.

     Apalagi Rin-chan itu tipe penyerang jarak dekat—kalau dia benar-benar serius, dia pasti bisa menjalankan semuanya tanpa ragu. Bahkan kalau ada tugas liburan, dia bisa dengan mudah numpang belajar di rumah keluarga Natsume, pura-pura ikut belajar kelompok.

     Tapi, masih ada satu penghalang: masalah prinsip.

     “Rin-chan, kamu lupa apa yang sudah kamu lakukan? Setidaknya untuk saat ini, Natsu itu milik Himari-chan. Jadi, kamu enggak bisa seenaknya menguasai Natsu, kan?”

     “............”

     Rin-chan tampak bengong.

     “Eh? Kenapa emangnya?”

     “Enggak, enggak… Masa sih kamu masih mau mesra-mesraan sama Natsu seperti biasa dalam kondisi sekarang…?”

     “Tapi, kita ini sahabat, kan?”

     “…………”

     Hah?

     Aku menutup kipas lipatku dengan bunyi plak yang nyaring.

     Akhirnya aku paham juga.

     Jadi, perempuan ini… memang enggak niat ngerem, ya?

     Begitu rupanya. Secara logika, memang masuk akal. Kalau Himari-chan bisa mesra-mesraan dengan Natsu di batas wajar sebagai sahabat, maka dia pun merasa boleh melakukan hal yang sama. Pantas saja dia tak segan membantu hubungan Natsu dan Himari-chan.

     Masa lalu mereka sebagai sahabat akan menjadi kartu bebas hukuman bagi Rin-chan di masa depan.

     …Menarik juga.

     Kupikir Natsu dan Himari-chan akan tenang untuk sementara waktu… tapi tampaknya tidak demikian. Yah, berkat itu, aku bisa dapat hiburan baru lagi.

     “Baiklah. Aku juga sedang memutar otak memikirkan cara menjatuhkan manusia super sempurna itu. Kalau memang itu keinginanmu, aku akan bantu kamu lagi kali ini, Rin-chan.”

     “Aku tahu kamu pasti bakal bilang begitu, Shii-kun.”

     Kami saling mengacungkan jempol dengan penuh semangat.

     Lalu aku mengalihkan pandangan ke arah Kureha-san.

     “Lalu? Apa rencanamu dengan Kureha-san ini?”

     “Aku juga mau dia bertanggung jawab karena sudah mengacaukan setengah liburan musim panasku. Kalau dia enggak bilang hal-hal bodoh waktu itu, aku bisa lebih banyak main sama Yuu-kun.”

     Dia melirik tajam ke arah Kureha-san.

     Kureha-san menggigil ketakutan. Siksaan kue utuh tadi benar-benar berdampak besar... Yah, soalnya orang ini mempertaruhkan hidupnya demi pekerjaannya.

     “Kamu juga bantuin, ya, Onee-chan. Boleh, kan?”

     “...I-iya, iya, aku ngerti, kok~”

     Kureha-san menjawab dengan nada tak puas. Gadis yang bahkan bisa ‘menyingkirkan’ Hibari-san demi merebut kendali ini, ternyata tak berkutik di hadapan adik perempuannya.

     “Baiklah. Kalau begitu, ini waktunya kita menyalakan api serangan balik. Kita harus menyusun rencana dengan hati-hati agar tidak ketahuan. Kalau sampai Himari-chan atau manusia super sempurna itu ikut campur, bakal merepotkan.”

     “Shii-kun, jangan langsung ambil alih komando gitu dong.”

     “Jangan bersikap dingin begitu. Menggunakan otak itu tugas utamaku.”

     Yah, kalau aku serius, tugas liburan musim panas juga bisa selesai dalam sehari.

     Musim panas di tahun kedua SMA kami sepertinya... masih akan berlanjut sedikit lebih lama.


0

Post a Comment



close