NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 211 - 220

 Chapter 211 – Untuk Bertemu Kazuki


—POV Dōmoto Yumi—

Kasus yang sedang ditangani ayahku terjadi di sekolah tempat Kazuki belajar.

Teman-teman SMP-ku pun ramai membicarakan soal Kondo-kun dan Tachibana-san.

“Kayaknya… ini udah jadi masalah besar, ya.”

Aku jadi ingin tahu perkembangan penyelidikannya. Sempat terpikir untuk bertanya ke ayah, tapi… mana mungkin. Ayah yang serius seperti itu pasti tidak akan membocorkan apa pun.

Di saat segenting ini, apa boleh aku menghubungi Kazuki? Aku sempat ragu. Tapi tetap kukirim pesan: “Aku ingin bertemu.” Dan dia langsung membalas.

“Kalau begitu, sampai jumpa besok di depan stasiun!”

Aku tanpa sadar membacakan pesan itu dengan lantang. Suasana hatiku yang sempat muram, langsung cerah seketika.

Aku pun segera membalas pesannya. Besok ada pertemuan tiga pihak untuk konsultasi masa depan, jadi aku akan pulang lebih awal dari sekolah. Kami sepakat bertemu seusai sekolah Kazuki.

Selama beberapa waktu terakhir, kami sering bertemu—seolah menebus masa-masa terpisah kami selama bertahun-tahun. Sampai-sampai Kazuki sempat khawatir apakah aku bisa tetap fokus belajar untuk ujian masuk.

Tapi, besok aku bisa memberinya kabar bahagia.

Kira-kira dia akan senang, nggak ya?

Dengan hati yang berdebar penuh harap, aku membuka buku kosakata Bahasa Inggris. Hari ini, waktunya belajar habis-habisan.

**

—Keesokan hari, di depan stasiun—

Ayah datang ke pertemuan tiga pihak tadi, tapi langsung harus kembali bekerja setelah itu. Tapi aku tetap senang, karena meski sibuk, ayah selalu memprioritaskan acara penting keluarga. Aku sangat menyayanginya.

“Maaf ya, udah nunggu. Kamu ternyata lebih dulu sampai.”

Kazuki sepertinya mengira aku yang akan datang belakangan.

“Enggak kok. Soalnya hari ini ada pertemuan konsultasi, jadi pulangnya cepat.”

“Oh, begitu ya.”

Sambil tertawa, kami masuk ke kafe langganan. Kafe ini terkenal dengan pancake-nya, tapi Kazuki selalu memesan es serut saat musim panas karena dia mudah merasa gerah. Dan benar saja, dia memesan itu lagi. Aku tersenyum kecil karena prediksiku benar, meski tak kuucapkan.

“Hm?”

“Nggak, cuma mikir aja. Kazuki emang tetap anak es serut ya. Sifatmu nggak berubah.”

“Huh, maaf ya, nggak dewasa-dewasa.”

Sejak kami bertemu lagi, Kazuki selalu menyimpan ekspresi dingin. Seakan-akan dia sudah memutuskan kalau dia tidak boleh bahagia. Tapi belakangan ini, ekspresinya mulai melunak. Dia mulai bisa tersenyum dengan tulus.

“Justru karena kamu tetap jadi Kazuki yang dulu, aku senang banget.”

Aku menjawab begitu, dan dia pun tersenyum malu-malu.

“Gimana tadi konsultasi sekolahnya?”

“Hmm, kayaknya aku bakal dapat rekomendasi masuk kampus favoritku, kampus khusus perempuan itu. Kata wali kelasku, selama aku nggak lengah, harusnya aman.”

Aku menjelaskan dengan gembira, dan Kazuki terlihat terkejut, lalu tersenyum.

“Hebat banget, selamat ya.”

Aku tahu, dia mengucapkannya dari hati. Tapi tetap ada ekspresi rumit yang muncul sesaat di wajahnya.

Kazuki memang punya rasa percaya diri yang rendah. Itu bisa dimengerti, mengingat semua hal yang pernah dia alami. Tapi tetap saja… dia terlalu keras pada dirinya sendiri.

“Kazuki, kamu sedih ya, karena kamu pikir aku bakal pergi jauh lagi?”

Ucapan langsung itu membuat dia refleks terdiam dengan gelas air masih di tangan.

“Enggak kok…”

“Hmm~ beneran? Curiga nih~”

Saat aku menggoda, dia langsung memalingkan wajah—tanda khas kalau dia sedang malu. Sudah lama aku tahu kebiasaannya itu.

“Dengar ya, Kazuki. Aku nggak bakal pergi jauh. Tiga tahun nggak bisa ketemu kamu itu berat banget… nggak akan aku ulangi lagi.”

“Yumi?”

Dia menatapku khawatir, karena aku hampir menangis.

“Kamu itu hebat, Kazuki. Kamu sempat berhenti, tapi bisa mulai melangkah lagi. Aku kagum banget. Nggak peduli kita beda angkatan, aku selalu menghargai kamu… dari dulu.”

Inilah waktunya. Saat aku harus mengungkapkan semuanya, tanpa ragu dan tanpa sembunyi-sembunyi.

Perasaanku meluap-luap. Tapi aku tak berniat menahannya.

“Aku terus berjuang selama ini… demi hari di mana aku bisa bertemu kamu lagi, Kazuki.”


Chapter 212 – Harapan Bagi Endo

—POV Endo—

Yumi menatapku lurus-lurus.

Wajahnya memerah, seolah diselimuti cahaya senja yang masuk dari jendela. Tapi menyalahkan matahari atas rona merah itu hanyalah bentuk kelemahanku.

Saat SMP dulu… setelah dikhianati, aku tidak bisa mempercayai siapa pun lagi. Aku bahkan kehilangan kepercayaan diri sebagai seorang pria.

Aku terus berpikir bahwa mungkin… aku memang tidak akan pernah dicintai siapa pun lagi.

Kasus Kondo dan yang lainnya juga sama. Ini adalah urusan balas dendam pribadiku, aku tak boleh menyeret orang lain ke dalamnya.

Karena itu—situasi seperti sekarang ini…

Aku merasa tidak pantas mendapatkannya. Aku yang telah menodai tanganku dengan balas dendam, meski dengan alasan yang benar… apa aku layak mendapatkan kebahagiaan ini?

Aku ini lemah. Padahal aku sudah bersiap untuk masuk neraka… tapi tetap saja, aku ingin kembali ke sisi Yumi.

"Sampai jumpa, Kazuki. Aku tahu kamu pacaran dengan Eri, jadi aku selalu menahan perasaanku. Tapi… kurasa, dari dulu aku memang suka kamu."

Kata-kata itu ia ucapkan saat kami berpisah.

Dan aku sengaja tidak pernah memberinya jawaban.

Itu hanyalah pelarianku.

Sejak hari itu, aku terus-terusan melarikan diri.

Namun kini…

"Kazuki itu luar biasa. Kamu sempat berhenti, tapi bisa melangkah lagi. Aku benar-benar kagum. Beda angkatan nggak penting. Aku tetap… tetap mengagumi kamu."

Yumi mengakuinya. Dia bilang, dia menghormatiku. Hatiku yang hampir kosong setelah urusan balas dendam selesai… pelan-pelan terasa terisi kembali.

"Selama ini aku terus berjuang… demi bisa bertemu Kazuki lagi."

Aku tidak boleh menyerah pada hidupku di titik ini. Itulah yang kurasakan sekali lagi.

Dengan semua yang telah Yumi ucapkan… aku tidak bisa lagi terus melarikan diri.

Gadis yang hampir menangis tapi tetap berusaha menunjukkan ketulusan, layak untuk kuhadapi dengan sepenuh hati.

"Terima kasih, Yumi. Dan… maaf."

Aku berdiri di hadapannya, dan mengucapkan semua rasa terima kasihku.

Ia tampak terkejut dan nyaris menangis. Sesaat aku menyesal—karena mungkin aku telah membuatnya salah paham. Tapi aku tidak bisa menghentikan perasaanku.

"Maaf aku terus menghindar. Sejak hari itu, di kamar aku, saat kamu bilang isi hatimu… aku membiarkanmu menunggu terlalu lama."

Aku menundukkan kepala dalam-dalam.

"B-bukan begitu… waktu itu aku hanya ingin menyampaikan perasaanku saja, setidaknya untuk terakhir kalinya. Aku nggak pernah berharap dapat jawaban. Aku justru takut… takut mungkin aku cuma bikin Kazuki tambah terluka karena keegoisanku…"

Kami berdua akhirnya mengungkapkan semua penyesalan yang telah kami simpan sejak hari itu. Tapi Yumi tidak seharusnya menyalahkan diri sendiri. Karena…

"Bukan begitu. Kata-katamu waktu itu… adalah satu-satunya harapan buatku, di tengah kehidupan yang rasanya seperti neraka. Kalau bukan karena kamu… aku mungkin sudah hancur."

Mungkin inilah sebabnya… aku begitu takut menerimanya.

"Syukurlah… setidaknya aku bisa berguna buat Kazuki, walau sedikit."

Dia tersenyum, terlihat lega.

"Bukan ‘sedikit’. Buatku, kamu adalah segalanya."

Aku ingin menyampaikan semua ini dengan tepat. Tapi aku tak punya kemampuan untuk mengekspresikannya. Jantungku berdetak kencang. Meski kucoba menenangkan diri, tubuhku tidak mau menurut.

Aku telah menunggu begitu lama untuk sampai ke momen ini.

"Begitu ya… aku senang."

Yumi terlihat menangis. Mungkin ini terdengar sombong, tapi… aku ingin menjadi seseorang yang tak perlu lagi alasan khusus untuk menerima air matanya.

Aku tidak ingin kami hanya sekadar teman masa kecil. Aku ingin lebih dari itu.

"Yumi… mungkin ini terlalu terlambat, tapi tolong dengarkan aku."

Yumi menatap mataku dan mengangguk perlahan.

"Aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?"

Akhirnya… aku bisa mengatakannya.

Dia terlihat sedikit terkejut, tapi dengan senyuman yang menyiratkan bahwa dia sudah tahu semuanya sejak awal, dia menjawab:

"Iya. Dengan senang hati."

Tanaka Hinagizawa note:

Akhirnya MVP kita bisa mendapatkan kebahagiaan guyss, ikut terharu aku, mantap Mas Endo


Chapter 213 – Kondo "kun"

—POV Kondo—

Pemeriksaan setiap hari dan kenyataan bahwa aku tak bisa pulang ke rumah perlahan menggerogoti pikiranku.

Apa yang harus kulakukan? Apa pun yang kukatakan, mereka tak mau percaya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana masa depanku. 

Bagaimana dengan ayahku? Informasi yang kubisa dapatkan hanyalah potongan-potongan dari si pengacara itu. Katanya perusahaannya bisa bangkrut—tapi itu pasti bohong, kan?

Apa aku akan dikeluarkan dari sekolah? Gimana ini? Padahal aku sudah sampai kelas 3. 

Haruskah aku di-DO sekarang? Semua kerja kerasku selama ini akan sia-sia.

Setiap malam aku gemetar memikirkan semua itu.

Sepertinya si pengacara datang lagi. Dengan tubuh ringan bak hantu, aku berjalan menuju ruang kunjungan.

**

"Yah, Kondo-kun. Kau kelihatan mengenaskan."

Begitu melihat wajahku, si pengacara tua itu langsung menyeringai.

Apa wajahku sebegitu parahnya?

"Sialan..."

Itulah satu-satunya kata yang bisa kuucapkan. Suaraku parau dan lemah. Bahkan aku sendiri merasa seperti preman rendahan yang memaksakan diri.

"Begitu ya. Masih sempat berpura-pura kuat. Hebat juga."

Si tua itu tetap tertawa santai.

"Brengsek..."

"Jangan marah dong. Aku kan berusaha memberi nasihat buat kebaikanmu. Sayangnya, Kondo-kun selalu menutup telinga."

Sumpah, kalau bisa, pengen kubunuh orang ini.

"Sial… kenapa aku bisa sampai begini…"

Keluhanku meluncur begitu saja. Padahal aku nggak mau tampak lemah di hadapan orang ini.

"Dengar, Kondo-kun. Sudahlah, berhenti bersikap seperti itu. Dulu, saat kamu masih bintang harapan tim sepak bola, orang-orang mungkin masih mau menolongmu. Tapi sekarang tidak."

"Diam! Apa yang kamu tahu tentang aku⁉"

"Lihat, kamu selalu begitu. Begitu ada yang mengungkap kenyataan, kamu langsung marah. Pembicaraan pun terhenti di situ. Bahkan ibumu sendiri sudah menyerah. Sudahlah, sudah waktunya kamu bersikap dewasa."

"Apa kau bilang!? Dasar orang bayaran… jangan mengatur aku, klienmu!"

"Kamu ini benar-benar menyedihkan. Sadar nggak sih, selama kamu terus menyia-nyiakan kesempatan berdiskusi denganku, posisimu makin terdesak? Kalau begini terus, kamu hampir pasti akan dikirim ke LPKA."

"APA!? LPKA!?"

Kenapa aku harus masuk tempat seperti itu!?

"Kondo-kun. Aku sudah menjelaskan ini berkali-kali. Polisi pun pasti juga sudah memberitahumu, tapi mungkin kamu tidak paham ya? Begitu rupanya."

Tatapan tajamnya membuatku merinding. Memang pernah disebut soal pengawasan atau LPKA, tapi karena kupikir aku tidak bersalah, aku abaikan semua itu. Tapi… jangan-jangan…

"Hei, Pak Tua. Maksudmu… kalau aku nurut sama kamu, aku bisa keluar dari sini!?"

Kalau mereka mengancamku dengan LPKA, berarti pasti ada cara menghindarinya. Kalau memang begitu, aku mau mendengarkan omongan si tua ini.

"Kamu benar-benar kekanak-kanakan ya, Kondo-kun. Benar, kalau kamu anak baik-baik, belum pernah punya kasus, besar kemungkinan kamu cuma dapat pengawasan."

Kata “kekanak-kanakan” membuatku kesal, tapi aku tahan.

"Pengawasan itu maksudnya apa sih!?"

"Berapa kali aku harus jelaskan, ya? Intinya, pengawasan itu sistem di mana anak yang melakukan kejahatan tidak dimasukkan ke lembaga, tapi tetap hidup di masyarakat dan dibina untuk tobat."

"Jadi aku bisa keluar kan!? Kenapa nggak bilang dari awal!?"

"Tapi… sudah terlambat."

Nada si pengacara tua dingin seperti ingin menyampaikan kerasnya dunia nyata.

"APA! Maksudmu apa itu!?"

"Pertama, lihat sikapmu selama ini. Saat polisi datang, kamu malah berusaha kabur dan melawan mereka."

"Itu di luar kendali…"

"Kalau kamu tidak melawan waktu itu, mungkin kamu bisa terhindar dari skors atau dikeluarkan sekolah."

"APA KATAMU!?"

"Karena kamu bertindak kasar dan melawan polisi, lalu lari ke sekitar sekolah dan tertangkap di sana. Itu artinya kamu sendiri yang bikin kasus ini jadi tersebar ke sekolah. Kalau kamu diam saja, mungkin semua ini bisa diselesaikan diam-diam."

"…Nggak mungkin…"

Si tua itu lanjut bicara.

"Lalu, kamu menolak semua saran kami dan bersikeras selama interogasi. Tidak menunjukkan penyesalan, ditambah lagi aksi kaburmu. Polisi jadi punya penilaian negatif. Kalau kamu dibiarkan keluar, mereka khawatir kamu akan balas dendam, menghilangkan barang bukti, atau kabur lagi."

Barulah aku mulai menyadari semua arti nasihat dan penjelasan mereka selama ini.

Kenapa aku begitu keras kepala dan tidak mau mendengar…?

"Jadi aku…"

"Ya. Kamu sendiri yang membuang peluangmu. Bahkan ibumu, yang menyewa jasaku, sudah putus asa. Dia bilang, dia tidak yakin bisa membimbingmu lagi. Sejujurnya, aku pun kehabisan cara. Kami pikir, mungkin kamu memang harus masuk lembaga rehabilitasi."

"Aku nggak mau ke sana! Aku mau keluar!"

Tapi… bahkan harapan kecil itu langsung dipatahkan oleh kenyataan keras di balik jeruji ini.

"Kondo kun… yang memutuskan itu bukan kamu. Sudah saatnya kamu sadar bahwa selama ini kamu cuma raja tanpa baju."


Chapter 214 – Interogasi Miyuki

—POV Polisi (Ayah Domoto)—

Di samping pemeriksaan terhadap putra anggota dewan Kondo, kami juga terus menyelidiki para pihak terkait lainnya.

Khususnya anggota klub sepak bola, yang awalnya hanya soal perundungan, kini telah berkembang menjadi dugaan percobaan penganiayaan, pencurian, hingga perusakan barang. Akibatnya, suasana di kantor polisi pun menjadi sangat sibuk.

Kasus remaja memang sensitif. Penyelidikan harus dilakukan dengan hati-hati.

Kami telah memastikan bahwa Kondo dan ketua klub sastra, Tachibana, adalah otak dari semua ini. Anggota lain hanya ikut-ikutan dan akhirnya melakukan tindakan keji. Perlahan, para pelaku mulai menyerah dalam pemeriksaan dan mengungkapkan kebenarannya.

Dan kini, di tahap akhir penyelidikan, kami tiba pada interogasi terhadap siswi yang secara de facto menjadi pemicu dari masalah ini.

"Terima kasih sudah datang hari ini, Amada-san."

Meski menjadi pemicu bersama Kondo dalam kasus ini, keterlibatan Amada Miyuki dalam intimidasi langsung terhadap Aono Eiji maupun hubungannya dengan kelompok pelaku percobaan penganiayaan masih belum jelas. Ia menjadi sosok yang membingungkan.

Itulah yang ingin kami perjelas dalam pemeriksaan hari ini.

Saat ini, polisi tidak menahan Miyuki.

Tidak seperti Kondo, ia tidak berusaha kabur, tidak menyembunyikan bukti, dan dengan sukarela menyerahkan data dari ponselnya kepada kami. Ia juga tidak bekerja sama dengan anggota klub sepak bola untuk membungkam siapa pun.

Itulah yang membuatnya terasa aneh. Kalau bukan karena dirinya, insiden ini mungkin takkan terjadi. Namun, dia terlihat seperti menjaga jarak dari anggota yang lain.

"Ya. Hari ini Aku harus menjelaskan hal seperti apa?"

Petugas wanita yang sebelumnya mengunjungi rumahnya sudah mencatat gambaran umumnya. Keterlibatan terbesarnya adalah dalam penghinaan terhadap Aono Eiji, baik di dunia nyata maupun di media sosial.

"Maaf harus menanyakan ini lagi, tapi bisa tolong ceritakan dengan kata-katamu sendiri, bagaimana kamu terlibat dalam kasus ini?"

Amada Miyuki tidak terlihat seperti anak yang biasa bergaul dengan kelompok nakal. Para guru pun bersaksi bahwa sebelum insiden ini, dia dikenal sebagai siswa teladan. Petugas wanita yang berbicara sebelumnya juga menyampaikan kesan bahwa Miyuki "berteman dengan anak nakal, mengkhianati sahabat masa kecil, dan akhirnya ikut terlibat karena tak bisa mundur".

"Baik."

Ia terlihat bingung bagaimana harus mulai. Maka aku memberi arahan dengan pertanyaan yang lebih spesifik.

"Kamu dan Aono Eiji dulunya berteman sejak kecil. Apakah kalian pernah berpacaran?"

"Iya."

"Kalau begitu, apakah ada masalah dalam hubungan kalian? Beberapa siswa lain mengatakan bahwa semua masalah bermula dari putusnya hubungan kalian…"

Wajahnya tampak sangat tersiksa. Sejujurnya, kesaksian di bagian ini berbeda-beda. Mereka yang dekat dengan Kondo mengaku ada konflik asmara, sementara Aono dan orang-orang dekatnya membantah.

Meski Aono adalah pihak yang terlibat langsung, kesaksiannya akan lebih kuat jika sesuai dengan Miyuki. Tapi kalau memang ada konflik asmara, wajar jika keduanya memiliki pandangan berbeda. Bahkan kalau pun sebenarnya tidak ada konflik, mengakuinya bisa jadi upaya untuk meringankan hukuman.

Anak SMA seharusnya sudah bisa memperhitungkan untung-rugi seperti itu.

Artinya, besar kemungkinan Amada Miyuki akan mengatakan bahwa “memang ada masalah asmara”. Sisanya tinggal ditanyakan detailnya untuk mengecek kebenarannya.

Aku sudah menyiapkan diri untuk itu.

Namun ternyata, justru dia yang sudah siap. Dan ia mulai bicara—perlahan-lahan.

"Sebenarnya, Aku tidak pernah minta putus dari Eiji. Dan Eiji juga tidak pernah mengatakan itu pada Aku."

Kesaksian tak terduga. Aku sempat terdiam karena tak menyangka dia akan memberi pengakuan yang merugikan dirinya sendiri.

"Maksudmu? Kalau begitu, bagaimana penghinaan terhadap Aono dimulai?"

"Aku mengkhianatinya. Meski sedang berpacaran dengan Eiji, Aku malah berselingkuh dengan Kondo-san."

Ia mulai mengungkapkan kebenaran seperti mengigau.

"Lalu?"

"Aku tidak mau jadi orang jahat di sekolah. Kondo-san juga waktu itu sedang menunggu seleksi beasiswa olahraga. Jadi Aku tidak ingin kabar buruk tersebar… Karena itu Aku mengkhianati Eiji."

Ia terisak, kemudian roboh dengan wajah menempel di meja.

Setelah beberapa saat, aku kembali bertanya dengan hati-hati.

"Mengkhianati bagaimana maksudnya?"

"Aku... pura-pura... bilang kalau Eiji memukul Aku… Aku dan Kondo-san bersama-sama membuat memar di lenganku dan memfotonya…"

"Lalu?"

"Dia menyebarkannya lewat media sosial. Dan saya membiarkannya. Bahkan saat rumor menyebar ke seluruh sekolah, saya tetap diam demi melindungi diri."

Melihat keadaannya yang hancur seperti itu, aku dilanda dua perasaan.

Pertama, rasa muak terhadap perlindungan diri yang picik—mengorbankan kekasih hingga hampir bunuh diri, dan ikut menghancurkan hidup banyak orang.

Kedua, rasa iba—seandainya saja dia bisa memberi kesaksian ini lebih awal…

Namun ini belum selesai. Keluarga korban sudah mengajukan laporan pencemaran nama baik terhadapnya. Meski dengan hati yang berat, aku harus melanjutkan tugas ini—sambil membayangkan masa depan sulit yang akan dihadapi gadis ini…


Chapter 215 – Pengakuan Ichijou Ai

POV Ichijou Ai

Malam ini, ayah mengabari kalau dia akan datang, hal yang jarang terjadi.

Tanpa sadar, dadaku terasa sesak. Kenapa aku justru tidak ingin melihat wajah ayahku sendiri? Aku benar-benar anak perempuan yang buruk. Aku tidak hanya telah merenggut orang yang paling ia cintai, tapi juga tidak bisa memenuhi satu pun harapannya.

Hari ini, aku juga kebetulan tidak ada janji dengan senpai.

Tak ada alasan untuk menolak. Jadi, aku memantapkan hati. Untuk makan malam bersama ayah. Seharusnya, ini bukan sesuatu yang sampai harus dipikirkan dengan penuh tekad. Tapi, entah mengapa, aku memang perlu melakukannya. Aku pun sadar betapa rusaknya hubungan keluargaku saat ini. Dan aku merasa putus asa karena itu.

Sepanjang hari, aku hampir tidak bisa fokus dalam pelajaran. Kalau dipikir-pikir, sebelum aku bertemu senpai, begitulah hidupku. Dunia yang terasa suram, seakan hidup hanya untuk menunggu waktu berlalu.

Aku hanya menjadi mesin yang terus tersenyum palsu pada orang lain.

Sebuah mesin yang mengabaikan perasaannya sendiri, dan hanya mengejar rasionalitas. Sampai pada titik kesimpulan bahwa keberadaannya pun tidak layak.

“Ichijou-san, kamu tahu jawaban soal ini?”

Mungkin karena aku sedang melamun, aku jadi target yang mudah.

Kulihat soal di papan tulis.

Soal bangun datar, ya.

“Ya. Gunakan Teorema Kekuatan Titik. Dalam kasus ini, kita pakai rumus PA × PB = PC × PD… jadi jawabannya adalah 3.”

“Bagus, benar sekali. Semua, tirulah Ichijou-san, rajin belajar sebelumnya ya.”

Guru itu berkata sambil tersenyum kecut. Teman sekelas pun bersorak, “Oooh!” Ah, ternyata teorema ini belum diajarkan. Untung ini soal dasar. Setahuku, topik ini memang termasuk dalam materi hari ini.

Aku kembali diam tenggelam dalam pikiranku. Hujan yang turun tadi siang entah sejak kapan telah reda. Cahaya matahari memantul indah dari genangan air di lapangan. Hari saat pertama kali aku bertemu senpai juga seindah ini. Hari itu, aku begitu kalut sampai tak bisa melihat sekitar.

“Menyenangkan sekali. Aku belum pernah merasa begitu berdebar sebelumnya.”

Ingin kubisikkan dalam hati, tapi ternyata terucap juga. Cepat-cepat kulihat sekeliling.

Syukurlah, sepertinya tak ada yang mendengar. Aku pun kembali tenggelam dalam kenangan hari itu.

Untuk melindungiku, dia menabrakkan tubuhnya ke pagar besi. Kalau saja posisi benturannya buruk, atau pagarnya sudah rapuh…

Aono Eiji, senpai yang baru saja mengenalku saat itu, mempertaruhkan nyawanya demi aku, Ichijou Ai. Aku sangat terharu. Menggantikan ibu, dia mengatakan padaku untuk terus hidup.

Mungkin aku melihat sosok ibu dalam dirinya. Meski tahu itu tidak sopan, aku pun mulai tertarik padanya.

Itulah sebabnya aku tidak menolak ajakannya yang tiba-tiba. Ada firasat bahwa dia akan menghancurkan cangkang yang selama ini mengekangku.

Aku, yang selalu menjadi murid teladan, kabur dari sekolah di siang bolong. Rasanya seperti berhasil keluar dari kurungan yang selama ini menahanku.

Dan sekarang, aku di sini. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi berpikir untuk mati. Bahkan hari ini, saat harus menghadapi ayahku. Sekalipun ayah tidak mencintaiku, aku tahu ada orang lain yang mencintaiku. Karena itu, aku bisa menjadi kuat.

Kini aku bisa menunjukkan sisi lemah dan pengecut dalam diriku padanya. Yang terpenting, aku bisa bersandar pada orang lain.

Aku juga harus menjelaskan semuanya kepada keluarga senpai. Aku tidak ingin berbohong lagi.

**

Sepulang sekolah, seperti biasa aku berjalan bersama senpai. Lalu aku mengatakan, “Hari ini, aku makan malam dengan ayahku.”

Ia tampak sedikit khawatir, tapi dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata:

“Kamu nggak apa-apa?”

“Ini hanya makan malam dengan ayahku. Aku baik-baik saja. Lagipula, aku mulai ingin menghadapi ayah—meskipun sedikit demi sedikit.”

“Aku mengerti. Ichijou-san itu kuat ya.”

Apa sih maksudnya? Bukankah aku bisa kuat karena kamu?

“Hehe, benarkah begitu?”

Aku jadi ingin menggoda sedikit.

“Tapi, kalau ada apa-apa, langsung bilang ya. Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk jadi kuat.”

“Licik deh, kamu…”

Suara yang keluar dari mulutku sedikit gemetar saat aku berjalan di depannya. Dia selalu mengatakan hal yang ingin kudengar, melakukan hal yang ingin kulihat. Kadang bahkan melebihi bayanganku. Tapi semua itu, ia lakukan dengan tulus, untukku.

Aku pun berbalik dan berkata padanya:

“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu”


Chapter 216 – Ayah dan "Papa"

—POV Ichijou Ai—

Aku naik mobil menuju restoran yang sudah ditentukan. Rasanya seperti kembali menjadi burung dalam sangkar. Perbedaan suasana dengan waktu-waktu bahagia yang baru saja kulewati terasa begitu mencolok. Biasanya, Kuroi akan mengajakku mengobrol ringan, tapi kali ini sepertinya dia bisa membaca suasana—dia hanya diam sambil memegang setir.

Dari beberapa restoran yang dulu biasa kami kunjungi sekeluarga, kali ini ayah memilih restoran Cina. Tempat yang sangat disukai Ibu. Karena tersedia ruang privat, ayah pun bisa makan dengan tenang di sana. Restoran itu penuh dengan kenangan berharga.

Mobil Ayah belum sampai. Sepertinya aku datang lebih dulu.

“Atas nama reservasi Ugaki.”

Aku harus memakai nama keluarga ini, ya… Padahal dulu terasa akrab dan penting, tapi sekarang terasa berat seperti timah yang menghimpit dada.

Di ruang privat yang luas itu, hanya disiapkan dua kursi.

Ini seharusnya tempat untuk menikmati waktu bersama keluarga. Tapi aku hanya duduk sendirian, menunggu ayahku.

Sambil berusaha menahan sesaknya suasana, aku mencoba mengingat masa-masa bahagia kami dulu. Tapi perlahan, aku makin sulit mengingatnya—terutama senyum ayah. Sejak Ibu meninggal, Ayah sudah jarang tersenyum. Dulu dia orang yang cerdas dan lembut. Tapi sekarang…

Dia tampak seperti iblis dingin penuh dendam.

Ada suara dari belakang. Ayah datang.

Pintu terbuka perlahan. Padahal cuacanya masih hangat, tapi udara terasa dingin seperti ada hawa dingin menyelinap masuk. Rasanya sesak. Di hadapanku duduk seorang monster yang membuang semua kelembutan, hidup hanya dengan otaknya yang brilian. Saat ini, aku tak bisa menyebutnya “Ayah”. Karena dia terlalu berbeda dari sosok ayah yang kukenal dulu.

Monster itu memakai topeng wajah ayah tercintaku dan duduk di hadapanku. Tangannya menekan pena yang disimpan di saku.

“Sudah lama, apa kabar?”

Kalimat formal yang seperti tidak ditujukan padaku.

“Baik…”

“Begitu.”

Percakapan kami yang seharusnya seperti ayah dan anak pun terhenti begitu saja, dilanjutkan dengan keheningan yang berat.

“Mau makan apa?”

Tak tahan dengan hening itu, aku pun membuka menu.

Dulu, Ayah selalu tersenyum dan menyuruhku memilih lebih dulu. Dia selalu ingat makanan favoritku, bahkan juga memesan makanan kesukaan Ibu tanpa menyebutkannya secara langsung. Itu bentuk perhatian yang lembut. Tapi sekarang…

“Pesan saja yang kamu suka. Aku ada pertemuan setelah ini, jadi cuma akan makan ringan.”

“Begitu, ya…”

Padahal dia sendiri yang merencanakan makan malam ini, tapi sekarang dia memprioritaskan pekerjaannya setelah ini. Aku merasa sedikit kecewa. Dulu, Ayah tidak akan pernah melakukan hal seperti ini. Dan cara bicaranya yang terdengar asal—padahal kami duduk sedekat ini, tapi dia terasa sangat jauh. Jarak di hati kami masih belum mendekat sedikit pun.

“Masalah perundungan di sekolahmu jadi topik besar, ya.”

Spontan aku terkejut. Sejauh apa dia tahu? Apa ini alasan utama dari pertemuan ini—tentang Eiji-senpai?

“Ya, di sekolah juga semua orang membicarakannya.”

“Skandal terbesar dalam sejarah sekolah, ya. Mungkin salah kalau menyekolahkanmu di sana. Riwayatmu jadi tercoreng.”

“…!”

Aku sulit bernapas. Jangan rendahkan tempat yang begitu berarti bagiku hanya karena hal sesederhana itu. Kalau aku masuk sekolah lain…

Mungkin aku…

Tanpa sadar, aku menatap ayah dengan tajam. Tapi cepat-cepat kuperbaiki ekspresiku.

Apa ini jebakan? Untuk membuatku goyah? Dengan jaringan informasi ayah, pasti dia tahu hampir seluruh detail investigasi.

Ayah tak berkata apa pun, hanya menatapku. Seakan bisa membaca segalanya.

“Yah, sudahlah. Mulai besok aku sibuk lagi. Tak bisa sering pulang. Kalau ada apa-apa, konsultasikan saja ke Kuroi.”

Setelah itu, makan malam berlangsung hampir tanpa suara.


Chapter 217 – Makan Malam Bersama Putri

— POV Ugaki—

Aku dan putriku makan tanpa banyak bicara.

Tapi, bisa bertemu dengannya saja sudah cukup. Karena pertemuan ini memberiku tekad untuk melangkah menuju medan pertempuran. Fakta bahwa aku memesan kaki goreng gaya nelayan—makanan kesukaan mendiang istriku—mungkin mencerminkan kelemahanku sendiri.

Kalau bisa, aku ingin kembali ke masa-masa bahagia itu. Saat kami bertiga bisa tersenyum bersama, dan sahabatku yang bijak masih hidup.

Namun, semua itu sudah terlambat. Semua telah hilang.

Yang tersisa hanyalah membalas dendam.

Tentu saja, aku tak berniat melakukan apa pun saat makan malam ini. Tapi begitu aku tahu bahwa anak dari sahabatku—anak mendiang sahabatku—telah menjadi korban perundungan keji oleh anak dari politisi Kondo, maka aku tak punya pilihan selain mempercepat rencana yang selama ini kupersiapkan diam-diam.

Meskipun itu berarti perang terbuka dengan kubu Perdana Menteri, aku harus membuat Kondo tak bisa bangkit lagi. Perintah dari sang Perdana Menteri adalah: “Kondo terserah, yang penting skandal ini segera selesai.” Tapi hasilnya justru berbeda. Masalah ini menyebar luas dan mengguncang fondasi kekuasaan. Jika keluarga Kondo dibiarkan, bisa jadi keluarga Aono akan membalas. Maka, mereka harus dihancurkan sepenuhnya—meski itu melawan kehendak sang penguasa tertinggi negeri ini.

Saat ini, pria itu (Kondo) pasti sudah menyadarinya: “Ada pengkhianat di antara kita.” Dan kemungkinan terbesar dari pengkhianat itu—adalah aku sendiri. Aku yang diam-diam memberikan informasi kepada media dan memperpanjang skandal ini.

Sekarang, konflik antara aku dan pemerintahan masih berlangsung di bawah permukaan, tapi tak lama lagi semuanya akan muncul ke permukaan. Tak ada jalan untuk mundur. Namun, aku tidak terlalu khawatir soal keselamatan Ai. Di kalangan elit Nagatachō, sudah beredar rumor bahwa hubunganku dengan putriku memburuk. Jadi pihak lawan akan menilai bahwa Ai tidak berguna sebagai alat tawar.

Satu-satunya titik lemah kami adalah restoran “Kitchen Aono”. Tapi karena masalah ini, perhatian media terpusat pada keluarga Aono. Dengan begitu, bahkan orang berkuasa pun tak bisa sembarangan bergerak.

Orang-orang yang paling kuanggap penting kini sudah aman. Ini adalah saat yang paling tepat untuk memulai pertarungan.

Makan malam ini adalah peneguhan tekad—agar aku bisa mulai bergerak.

Mulai sekarang, drama balas dendamku akan dimulai. Sekalipun harus mati bersama, aku tidak akan memaafkan mereka.

**

— POV Ichijou Ai—

Usai makan, aku mengantar Ayah pergi.

Aku sempat ingin menjelaskan soal hubunganku dengan Senpai, tapi tak bisa mengutarakannya. Meski sepertinya Ayah sudah tahu, dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Apakah itu artinya aku dimaafkan? Atau… hanya sedang diuji?

“Ojou-sama, ingin mampir ke suatu tempat?”

Setelah menatap punggung Ayah yang perlahan menjauh, aku mendengar pertanyaan Kuroi. Aku menjawab, “Aku ingin ke Kitchen Aono.”

Karena… aku ingin bertemu Senpai.


Chapter 218 – Hari Hujan

—POV Ichijou Ai—

“Turunkan aku di sini.”

Aku meminta Kuroi menghentikan mobil di tempat yang masih sedikit jauh dari Kitchen Aono.

“Tapi, dari sini butuh waktu cukup lama, lho.”

Aku tahu itu. Tapi untuk kembali ke tempat yang hangat itu, aku butuh sedikit waktu untuk menata pikiranku.

“Tolong. Aku ingin menghirup udara luar sebentar dan menenangkan kepala.”

“Baiklah.”

Aku perlahan turun dari mobil. Udara luar masih panas, sisa musim panas masih terasa.

Aku berjalan melewati keramaian. Semua orang tampak berjalan dengan bahagia. Hanya aku yang mungkin sedang berwajah murung.

Ayah yang dulu begitu hangat dan ayah yang sekarang—terlihat seperti dua orang yang sama sekali berbeda. Kalau begini terus, aku benar-benar akan sendirian. Tapi aku tidak ingin sendirian. Karena itulah, aku berjalan menuju tempat yang akan menyambutku dengan kehangatan.

Agar tidak membuat semua orang khawatir, aku harus mengubah suasana hati sebelum tiba. Aku harus segera kembali menjadi diriku yang biasa.

Aku merasa cemas, tapi kakiku terus melangkah maju.

Tetes-tetes dari langit mulai membasahi rambutku.

“Eh, hujan! Ayo cepat ke stasiun!” seru seorang wanita di dekatku. Aku juga melihat seorang pria kantoran mengeluarkan payung lipat dari tasnya.

Sial… Aku lupa bawa payung. Tapi, entah kenapa, hujan ini terasa seperti penyelamat bagiku.

Karena wajahku yang hancur oleh tangisan bisa tertutupi. Karena aku bisa menangis sambil berjalan dan tak seorang pun akan curiga. Berkat cuaca ini, aku bisa kembali menjadi anak kecil.

Kenapa aku harus mengalami semua ini?

Aku selalu jadi siswa teladan. Tidak pernah menyusahkan orang tua. Karena mereka berdua sibuk, aku sudah banyak bersabar. Aku juga berusaha keras—karena aku ingin membuat mereka senang. Tapi kenapa aku harus diperlakukan seperti ini? Kenapa aku harus berpisah dengan Ayah—satu-satunya orang yang ingin bersamaku?

Perasaanku meledak. Hatiku yang tadinya tenang sejak bertemu Senpai, mulai goyah kembali.

Aku ingin bertemu. Ingin bertemu. Ingin bertemu!

Saat keinginan itu meledak dalam hati, hujan yang tadinya deras seperti menjauh dari tubuhku.

Aku mendengar suara air yang dipantulkan oleh permukaan karet di atas kepala. Baru setelah jeda sesaat, aku sadar ada yang memayungiku. Aku buru-buru menoleh ke belakang. Seseorang yang sangat kucintai menatapku dengan wajah penuh kekhawatiran. Di tangan kirinya, ia membawa kantong belanjaan.

“Kenapa kamu jalan-jalan tanpa payung di tengah hujan kayak gini?”

“Senpai… Kenapa bisa ada di sini?”

“Ibu minta aku beli selada tambahan buat salad. Baru aja pulang beli ini.”

Dia bahkan belum ganti seragam. Benar-benar Senpai seperti yang biasa kulihat.

“Begitu ya…”

Tanpa sadar, seperti anak hilang yang akhirnya menemukan orang tuanya, aku merasa tenang dan tersenyum. Aku yang tadi merasa Tuhan itu kejam, sekarang jadi bersyukur.

Waktu kami bertemu selalu sempurna.

“Kamu… habis nangis ya?”

Deg! Jantungku berdebar.

“Enggak kok. Ini cuma hujan, pasti.”

Alasan yang terdengar sedikit memaksa itu malah membuatnya tertawa. Lalu, dia mengucapkan kata yang sama dengan yang kuucapkan tadi: “Begitu ya.”

Dia pasti sudah bisa menebak apa yang terjadi. Dia tahu aku makan malam dengan Ayah hari ini.

“Kalau gitu, ayo ke rumahku. Kalau begini terus, kamu bisa masuk angin. Udah makan?”

“Sudah.”

“Kalau gitu, minum teh hangat aja, ya.”

Nada bicaranya begitu lembut. Sampai aku tak bisa menahan diri untuk menjawab, “Iya.”

Berkat payung miliknya, aku yang tadi hampir hancur perlahan kembali menjadi diriku yang biasa. Dia memberikan sapu tangan padaku.

Sapu tangan itu mungkin takkan berguna lama, tapi aku tetap senang menerima kebaikannya.

“Hari ini mirip saat kita pertama kali bertemu ya. Hari itu juga hujan, dan aku sampai pinjam handuk darimu.”

“Iya, bener. Tapi hari ini, Ai-san terlihat lebih modis. Gak apa-apa, kan? Itu bajunya mahal, ya?”

“Iya sih. Tapi gak masalah. Anggap aja sebagai biaya les. Achoo!”

Aku coba kuat, tapi rasa aman membuatku tak bisa melawan dinginnya cuaca. Aku bersin. Dan dia segera melepas jaketnya dan menyelimutkanku.

“Aku gak bisa ngasih apa-apa… cuma ini yang bisa kulakukan.”

Dia mengatakannya sambil terlihat malu-malu.

“Ini… yang paling berharga buatku.”

Aku bisa merasakan aroma tubuh dan sedikit hangat darinya. Aku menikmati kebahagiaan kecil itu—dan bersama-sama, kami melangkah maju perlahan.


Chapter 219 – Di Bawah Satu Payung

POV Ichijou Ai

Kami berjalan pulang beriringan, mencoba menyelaraskan langkah di bawah satu payung.

Aku sedikit memiringkan payung ke arah dia.

“Senpai, bahumu basah, lho. Aku memang sudah basah kuyup, jadi tidak usah dipikirkan.”

Sepertinya, dia langsung menyadari niatku.

“Ah, tapi kalau begini terus…”

“Sifat lembut Senpai memang kusuka, Aku suka… tapi, aku malah merasa bersalah, jadi tolong jangan begitu.”

Kalau dia sudah bilang begitu, mau tak mau aku harus menyerah. Aku kembali memegang payung dengan posisi lurus.

“Senpai tidak bertanya, ya, tentang apa yang terjadi?”

“Hmm. Aku gak nanya.”

“Kenapa?”

“Karena waktu aku ada di titik paling terpuruk, Ai-san juga melakukan hal yang sama. Tidak memaksa masuk ke bagian hidupku yang tidak ingin kubuka.”

Dia tidak menyentuh hal-hal yang tidak ingin kusampaikan. Aku hanya melakukan hal yang sama sekarang.

“Begitu ya… terima kasih.”

Wajahnya terus menunjukkan ekspresi bersalah.

“Lagian, aku percaya sama kamu.”

“Percaya?”

“Meski kamu punya rahasia, hubungan kita gak selemah itu sampai bisa hancur cuma karena itu.”

Saat aku menoleh ke samping, aku melihat dia yang wajahnya memerah, tapi ada senyum bahagia terselip di sana. Serius, bisa ketemu cewek yang bisa dipercaya kayak gini, apalagi setelah semua yang terjadi, rasanya seperti keajaiban.

“…”

“Ada apa? Kedinginan, ya?”

Dia menggeleng.

“Justru sebaliknya. Aku senang banget, sampai rasanya panas. Kalau aja nggak basah kuyup begini, aku pasti udah… pengen meluk Senpai.”

Sepertinya dia baru sadar apa yang barusan dia katakan. Wajahnya makin merah, dan dia menunduk malu-malu.

“Mungkin… untuk itu, kamu harus tunggu dulu, ya.”

Kucoba menggodanya sedikit. Wajahnya jadi makin merah padam.

“Kamu denger tadi?!”

“Hm… siapa tahu, ya?”

“Jahat… Senpai jahat! Kalau udah denger ya pura-pura nggak denger aja dong!”

Dia bereaksi seperti gadis seumurannya—hal yang jarang dia perlihatkan—dan itu membuatku bahagia. Momen-momen ringan seperti ini, bercanda tanpa beban, rasanya begitu membahagiakan. Dia menggeleng keras lalu menatap ke depan. Sepertinya, perasaannya sedikit lebih baik sekarang.

“Kalau ada hal yang menyakitkan, aku jadi gampang bertindak nekat kayak tadi. Aku benci diriku yang seperti itu… belum dewasa.”

Fakta bahwa dia bisa mengatakan itu dengan tenang, membuatku sadar dia benar-benar percaya padaku.

“Masa sih? Menurutku, kamu sudah beda dari dulu. Sekarang kamu sudah bisa bergantung pada orang lain, kan?”

“Itu karena kamu ada di sini… Karena kamu janji bakal terus ada di sisiku…”

Kata-katanya terdengar pelan dan lembut, penuh perasaan.

“Karena Senpai ngasih kata-kata yang selalu aku dambakan, makanya aku bisa terus maju.”

Itu juga berlaku buatku. Sejak hari itu, dia melindungiku sampai rela menjatuhkan reputasinya sendiri. Dia juga mengembalikan naskah pentingku dan mendorongku untuk melangkah ke depan. Berkat dia, aku bisa menjadi seperti sekarang. Aku sudah mantap. Aku akan membuatnya bahagia, apa pun yang terjadi.

“Ah, maaf ya… jaket seragammu jadi basah. Padahal besok harus dipakai lagi.”

Dia mulai kembali tenang.

“Gak apa-apa kok. Aku masih punya satu lagi di rumah.”

“Terima kasih.”

Dia memeluk jaket itu erat-erat, sedikit menggigil. Setelah itu, percakapan kami hanya sedikit—cukup untuk saling memastikan bahwa kami saling menyayangi.

**

—POV Ichijou Ai—

Aroma Senpai terasa begitu dekat.

Karena rasa aman dan sedikit malu, aku menyadari pembicaraan kami jadi tidak jelas, nadaku pun agak aneh. Aku bukan lagi gadis yang tadi sempat terpuruk—aku hanya gadis biasa yang sedang menikmati jalan santai bersama pacarnya.

Aku sadar, tidak perlu memikirkan hal yang sulit.

Saat ini, aku hanya ingin menikmati waktu bahagia sebagai siswi SMA biasa.

Sebagai pengganti pelukan, aku memeluk jaketnya dengan erat.


Chapter 220 – Mandi

—POV Ichijou Ai—

Setelah masuk ke rumah Senpai, semuanya jadi agak kacau.

Ibu Senpai hampir menangis saat berkata, “Ai-chan, kamu baik-baik saja? Pasti kedinginan, ya. Ibu siapkan baju ganti, kamu mandi dulu, ya. Airnya langsung Ibu panaskan,” sambil membawa hampir sepuluh handuk dan secangkir teh hangat.

Hanya dengan meminum teh itu saja, aku nyaris menangis lagi karena rasa tenang yang muncul. Saat aku menunjukkan wajah sedih, Ibu jadi makin panik dan khawatir. Karena itu aku memaksakan senyum. Melihat senyum itu, barulah Ibu sedikit tenang.

Aku pun masuk ke kamar mandi, air hangatnya sudah siap.

Baju yang aku kenakan tadi langsung dibawa Ibu ke binatu untuk dicuci.

“Apa sih yang aku lakukan ini…”

Saat berendam dalam air, aku mendesah pelan dan tiba-tiba merasa sangat malu.

Aku hanya bertindak seenaknya, membuat semua orang khawatir dan repot, lalu membiarkan diriku dikuasai emosi.

Segera aku usir pikiran negatif itu.

Tidak boleh. Aku menerima begitu banyak kebaikan dari Senpai dan Ibu. Merendahkan diri sendiri berarti ikut meremehkan niat baik mereka. Itu tidak benar.

Aku membasuh wajah dengan air hangat. Suhu tubuh yang meningkat perlahan membuatku merasa lebih tenang.

Aku menghela napas pelan.

“Jadi, ini tempat dia biasa mandi, ya…”

Mungkin karena sudah merasa aman, aku jadi memikirkan hal seperti itu. Bukan hanya suhu tubuh, tapi detak jantungku juga mulai meningkat.

Sabun dan sampo yang tadi kupakai, bisa saja juga dipakai oleh Senpai. Aku sedikit mencari-cari aroma tubuhku sendiri di antara wangi itu.

“Aromanya sama…”

Begitu aku menyadarinya, wajahku langsung memerah.

Apa sih yang kupikirkan?! Aku menggerakkan kaki dalam air dengan gusar, ingin menggeliat karena malu, tapi buru-buru kutahan karena ingat aku sedang numpang mandi. Tapi karena tidak bisa meluapkan rasa malu itu, tubuhku malah semakin panas.

Segera aku membasuh wajah dengan air dingin.

“Ai-chan?”

“Hyaa! Iya!!”

Ibu tiba-tiba menyapaku dari luar kamar mandi di waktu yang kurang tepat, membuatku sangat terkejut.

“Ibu taruh baju ganti di sini, ya. Silakan dipakai sesuka hati.”

“Terima kasih banyak, semuanya…”

“Jangan sungkan. Ai-chan sudah seperti keluarga sendiri. Kalau sedang kesulitan, kita harus saling bantu, kan?”

“Tapi, biaya cuci bajunya akan aku ganti nanti…”

“Anak-anak gak perlu mikirin hal kayak gitu. Sesekali, manjalah.”

“Aku ini selalu manja, kok…”

Aku menjawab dengan nada penuh rasa bersalah, dan Ibu tersenyum senang sambil berkata:

“Kalau begitu, kapan-kapan kita belanja bareng, ya. Sesekali, sesama perempuan saja.”

Lalu Ibu pergi dengan ekspresi ceria.

Aku buru-buru keluar dari kamar mandi agar tidak pusing karena terlalu lama berendam.

Saat mengeringkan tubuh dengan handuk, aku mencium aroma pelembut kain yang lembut. Aroma yang sama kembali membuat jantungku berdebar.

Dan saat aku melihat pakaian ganti yang disiapkan…

“Eh…”

Aku tak bisa berkata-kata. Yang disiapkan adalah kemeja besar yang jelas-jelas pakaian laki-laki. Dan… itu adalah baju yang pernah kupakai Senpai sebelumnya.

Tubuhku tiba-tiba terasa panas, dan aku hampir memekik karena malu.

Lalu… terdengar suara pintu yang tiba-tiba terbuka.


Previous Chapter | Next Chapter

1 comment

1 comment

  • Jio
    Jio
    30/6/25 21:27
    Sepertinya Ai ini salah paham terhadap bapaknya, dari sudut pandang ku mnyimpulkan bapaknya ini sengaja bersikap dingin krna ingin melindungin AI dari kemungkinan trburuk dari kejahatan politik yg mngkin jadi asumsi bakal dilakukan oleh pesaing politiknya....


    Yahh itu yg kutangkap sejauh yg kubaca

    Yg sabar neng.
    Reply
close