NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 201 - 210

 Chapter 201 – Jati Diri yang Sebenarnya


—POV Ichijou Ai—

Aku selalu merasa cemas.

Tentang bagaimana aku secara tak sengaja terus berbohong pada Senpai.

Dan itu pun mengenai hal paling penting—nama asliku.

Padahal...

Seharusnya aku merasa yakin kalau semuanya akan baik-baik saja...

Tapi aku tetap merasa takut untuk membicarakan tentang Ibu.

Ayahku, yang notabene keluarga kandungku sendiri, pun meninggalkanku.

Aku ketakutan jika Senpai juga akan melakukan hal yang sama.

Sejak Ibu meninggal, aku nyaris tak pernah bertemu Ayah.

Lewat sekretarisnya, dia memintaku—untuk mencegah gangguan—untuk menggunakan nama keluarga Ibu dan melanjutkan SMA di tempat lain.

Sesuatu yang sepenting itu, dia sampaikan hanya lewat orang lain.

“Kau adalah anak yang tak diinginkan.”

Begitulah rasa putus asa yang kurasakan.

Seakan tempat hangat yang dulu kupunya lenyap begitu saja.

Aku menjawab sekretaris Ayah, “Baiklah,” dan pindah dari SMP swasta elit di Tokyo ke SMA negeri di Chiba, lalu mulai hidup sendiri.

Kupikir, mungkin jika lingkungan berubah, perasaanku juga akan ikut berubah.

Lagi pula, ini tempat di mana Ayah dan Ibu dilahirkan dan dibesarkan.

Mungkin, aku bisa menemukan secercah harapan di sana.

Aku sempat berpikir seperti itu.

Tapi tidak ada yang menyelamatkanku di lingkungan ini juga.

“Pada akhirnya, semua orang hanya melihat penampilanku atau latar belakang keluargaku yang katanya luar biasa. Mereka semua mendekat hanya karena itu. Aku gak mungkin mau berpacaran dengan orang yang bahkan belum pernah bicara benar-benar denganku.”

Aku sudah trauma karena pengalaman masa lalu.

Kepercayaan terhadap orang lain sudah hancur.

Ketika orang asing tiba-tiba mengajakku bicara, itu bukan hal yang menyenangkan, tapi malah menyakitkan.

Pelajaran di sekolah pun hanya mengulang apa yang sudah kupelajari di SMP.

Satu-satunya hiburan hanyalah waktu sendirian di rumah: membaca buku, menonton film, dan hanya menunggu waktu berlalu.

Saat pertama kali bertemu Amada-san, aku melihatnya seperti zombie dalam film.

Dan kupikir, mungkin aku pun terlihat seperti itu sebelum bertemu Senpai.

Kesepian itu semakin dalam saat musim panas.

Dulu, saat Ibu masih ada, liburan musim panas selalu penuh kenangan bahagia: jalan-jalan bersama keluarga.

Tapi kini, aku hanya mengurung diri di rumah.

Menunggu, dengan harapan kecil bahwa mungkin Ayah akan menghubungi.

Aku selalu menaruh ponsel di dekatku,

Namun ponsel itu tidak pernah berbunyi.

Padahal aku terus… terus menunggunya.

Semakin hari berlalu di liburan musim panas, hatiku semakin dingin.

Beberapa kali aku terbangun sambil menangis, tanpa menyadarinya.

Aku menyadari, aku sudah berada di batas.

Saat itulah, aku mendengar tentang Aono Eiji.

Katanya, dia memperkosa pacarnya—itu kabar yang beredar.

Tapi hanya rumor, tanpa bukti jelas.

“Bukti” yang disebut-sebut hanyalah foto bekas luka di tangan seorang wanita yang bahkan wajahnya tidak terlihat.

Gambar seperti itu bisa ditemukan di mana saja di internet.

Aku berpikir, begitulah manusia—penuh kebencian.

Saat kesimpulan itu tercapai, aku ingin mengakhiri segalanya.

Aku pun menuju atap sekolah.

Kuncinya rusak, dan jika tahu cara tertentu, pintunya bisa dibuka.

Aku sering ke sana kalau ingin menyendiri, jadi aku tahu caranya.

Akhirnya aku akan bertemu Ibu—begitu pikirku, dalam perjalanan penuh keputusasaan itu.

Namun di ujungnya, aku justru bertemu dengan harapan.

**

Setelah menceritakan semuanya, air mata mengalir dari mata Senpai.

“Senpai? Kenapa… kenapa justru kamu yang menangis?”

Padahal aku tahu alasannya. Tapi aku tetap bertanya,

mungkin karena aku ingin memastikan kebaikannya.

“Kau pikir ada orang yang gak marah setelah tahu orang yang sangat berarti baginya diperlakukan seperti itu?”

Itu kata-kata yang selalu ingin kudengar.

Ucapan yang menguatkan.

Anehnya, aku tidak merasa takut lagi.

“Kamu benar-benar orang yang baik. Tapi justru karena itulah… izinkan aku minta maaf. Aku sudah lama membohongimu. Sebenarnya, aku bukan Ichijou Ai. Ichijou adalah nama keluarga Ibu.”

Aku pun mengungkapkan rahasia terakhirku.

“Gak masalah. Sekalipun namamu berbeda, orang yang kusukai tidak akan berubah.”

Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan yang kuat.

Aku merasa sangat mencintainya.

Aku benar-benar bersyukur bisa bertemu dengannya.

Aku bahkan ingin menangis karena keajaiban yang terjadi hari itu, di atap sekolah itu.

Untuk menahan air mata yang tak bisa berhenti, aku kembali bersandar di pundaknya. Entah sudah berapa kali hari ini.

“Mungkin aku bukan orang yang layak dibanggakan, tapi satu hal yang kupastikan: aku bangga karena saat itu, aku bisa menyelamatkan Ichijou Ai di atap sekolah.”

Ah, kamu curang sekali.

Kenapa kamu selalu tahu kata-kata yang paling ingin kudengar?

“Aku juga… bersyukur bisa bertemu denganmu. Selama ini, aku ingin sekali bertemu orang yang bisa kuceritakan semuanya. Eiji-senpai… bolehkah aku minta satu permintaan lagi?”

“Tentu.”

“Mulai sekarang, bisakah kamu memanggilku dengan nama asliku? Karena aku memang Ichijou Ai, tapi juga bukan Ichijou Ai.”

Dia mengangguk.

Menatapku yang berlinang air mata dengan wajah penuh ketulusan, lalu menjawab dengan suara yang hangat.

“Senang berkenalan kembali, Ai-san.”

Andai waktu bisa berhenti di sini…

Dalam hati, aku berharap begitu.

Aku pun memeluknya erat.

Dan aku berniat untuk mengenalkannya dengan benar kepada Ibu, yang telah melindungiku.

“Ibu, aku akhirnya menemukan orang yang sangat berharga.” Itulah yang ingin kusampaikan padanya.


Chapter 202 – Batas Antara Bahagia dan Tidak Bahagia

—POV Aono Eiji—

Setelah kembali ke mobil, Ichijou-san tampak tenang dan perlahan tertidur sambil menggenggam tanganku.

Wajar saja. Dia pasti sudah terlalu memaksakan diri.

“Terima kasih banyak, Tuan Aono,” sapa Pak Kuroi, tiba-tiba.

“Ichijou Ai-san itu, di sekolah disebut sebagai malaikat, atau idola. Cantik, anggun, dan penuh pesona. Tapi dengan tubuh sekecil itu, dia telah memikul beban yang begitu besar. Orang biasa pasti sudah hancur.”

Tangannya yang kecil terasa hangat dalam genggamanku.

“Itu juga berkat Anda, Tuan Aono. Sejak pertemuan dengan Anda, dia berubah. Dia mulai bersinar lagi. Sebelumnya, dia terus berusaha keras untuk berperan sebagai ‘Ichijou Ai’ yang sempurna. Tapi kini, dia mulai menjadi dirinya sendiri. Rasanya seperti melihat kembali gadis muda yang dulu bersama almarhumah ibunya. Mungkin ini terlalu lancang dari seorang pelayan, tapi saya merasa bahagia melihatnya. Berkat Anda, dia akhirnya kembali ke dunia yang penuh kebahagiaan.”

Pak Kuroi memang jarang bicara. Biasanya hanya menyapa singkat saat menjemput Ichijou-san. Tapi ternyata dia sangat peduli pada Ichijou-san.

“Terima kasih. Tapi itu juga berkat kalian semua—termasuk Ibu Ichijou-san. Karena dukungan kalian, dia bisa menjadi seseorang yang penuh kasih. Karena dia begitu baik, dia juga mampu menyelamatkanku saat aku berada di titik terendah. Maaf ya, anak SMA kok sok bijak gini.”

“Bukan begitu. Justru kami para orang dewasa yang gagal menjalankan tanggung jawab kami. Kami tidak pantas menganggap Anda hanya anak-anak. Tolong jaga nona kami ke depannya.”

Lalu, beliau kembali diam.

Tangan Ichijou-san yang masih kugenggam beberapa kali meremas lembut. Meski matanya terpejam, kulihat ada air mata tipis di ujung matanya.

Dia mendengarnya. Tapi aku tak ingin mengomentari. Sebagai gantinya, aku menggenggam tangannya lebih erat lagi.

Agar tangannya tak jadi dingin.

**

—POV Ichijou Ai—

Tanpa sadar, aku mendengarkan percakapan antara Senpai dan Kuroi.

Aku menyesal. Seharusnya aku tidak mendengarnya.

Kuroi bicara seperti itu karena mengira aku tidur.

Maka dari itu, aku menutup mata erat-erat.

Yang terdengar hanyalah kata-kata yang begitu tulus, penuh perhatian padaku.

Kuroi juga telah mendukungku selama ini. Aku sadar akan hal itu. Aku sangat bersyukur kepada semua yang mendukungku.

Tapi kalau saja dulu di atap itu aku benar-benar melakukan kesalahan…

Pasti aku telah membuat luka yang tak bisa sembuh untuk Kuroi juga.

Aku bodoh.

“(Terima kasih, Senpai. Karena kau menemukan aku di hari itu...)”

Aku menggenggam tangannya kuat-kuat. Dia langsung membalas dengan genggaman hangat yang penuh keyakinan.

“(Kau curang... Tapi mungkin inilah yang disebut bahagia...)”

Perlahan, kehangatan dari tangannya menyebar ke seluruh tubuhku.

Di samping Senpai yang benar-benar memahami semuanya, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, aku tertidur dengan damai.

**

—POV Amada Miyuki—

Perutku tetap lapar, meski aku tak melakukan apa-apa.

Isi kulkas sudah habis. Dengan langkah berat, aku pergi ke supermarket dekat stasiun untuk membeli nasi kepal dan roti sekadarnya—hanya untuk tetap hidup.

Kenapa aku masih hidup?

Sambil berpikir begitu, aku berjalan seperti zombie.

Tak jauh di depan, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti.

Dari dalamnya keluar seorang anak laki-laki yang kukenal.

“Eiji?”

Aku tertegun, seolah melihat ilusi.

Dia tertawa bahagia. Dan ya, tentu saja—Ichijou Ai ada di sampingnya.

Tubuhku bergetar tak terkendali.

Kenapa aku tidak ada di samping Eiji?

Kenapa senyum itu bukan untukku?

Mereka tampak begitu bahagia, saling bergandengan tangan.

Itu bukan sesuatu yang bahkan bisa kusentuh. Aku merasa seperti diseret untuk menyaksikan tempat suci yang tak bisa kumasuki.

Aneh. Bukankah pengkhianatanku jauh lebih parah?

Tapi Eiji hanya sedang menjalani kehidupan barunya bersama orang yang dicintainya. Mereka hanya berjalan berdua, di dunia yang bahagia.

Aku tak dikhianati.

Tapi kenapa hatiku terasa hancur?

Kenapa tubuhku gemetar dalam putus asa dan rasa kehilangan?

Lalu, ada suara dingin dalam diriku sendiri—diriku yang lain, yang menusukku dengan kenyataan.

“Kamu yang putus dari Eiji, makanya sekarang dia bisa bahagia. Untung Eiji gak terus bersama kamu, yang sampai memfitnah dia selingkuh dan bahkan bikin dia difitnah sebagai pelaku kekerasan. Berkat kamu, dia bisa lepas dari semua itu. Jadi kenapa kamu merasa putus asa? Apa hakmu marah atau sedih? Mereka cuma berjalan bersama, kamu gak punya hak untuk mengusik mereka.”

Aku pun melarikan diri dari tempat itu. Seolah ingin kabur dari diriku sendiri.


Chapter 203 – Interogasi Ketua Klub

—POV Seorang Polisi—

Aku melangkah masuk ke ruang interogasi.

Di sana duduk seorang siswi teladan yang, sekilas, sama sekali tak tampak seperti dalang dari kejahatan berat.

Tapi aku mengerti sekarang—penampilan seperti itu pasti sudah banyak membantunya menyembunyikan keburukannya selama ini.

Aku sudah membaca semua berkas penyelidikan sebelumnya.

Dia memberikan ide pada putra Anggota Dewan Kota Kondo, lalu memanipulasinya untuk menganiaya adik kelas.

Mereka menggunakan media sosial luar negeri yang sangat tidak umum agar tidak meninggalkan jejak digital—tapi rencana itu gagal.

Saat segalanya mulai terkuak, dia panik dan menyuruh anak-anak klub sepak bola untuk menyerang siswi yang memiliki informasi penting.

Kalau ini zaman dulu, dia bisa dibilang "perempuan penggoda penghancur negara".

Sudah hampir 30 tahun aku jadi polisi, tapi baru kali ini aku melihat siswi SMA secerdik ini. Mengkhawatirkan masa depannya.

Seandainya saja kecerdasannya dipakai untuk hal lain…

Aku mendesah tanpa sadar. Dia langsung menunjukkan ekspresi tak senang begitu aku masuk dan menghela napas.

Sepertinya, dia belum sepenuhnya patah semangat. Ini akan jadi interogasi yang panjang.

“Senang bertemu denganmu, Tachibana-san. Aku Furuta, yang akan menangani interogasi hari ini. Senang bekerja sama, ya. Kudengar, kamu terus bilang tidak terlibat sama sekali. Bisa kamu jelaskan lebih detail ke om?”

Aku sengaja berbicara dengan nada lembut dan suara serak—mencairkan suasana agar dia mau bicara.

“Sudah berkali-kali saya bilang, itu semua hanya bercandaan! Tapi Kondo malah menganggapnya serius. Saya juga nggak tahu apa-apa soal kekerasan yang dilakukan anak-anak klub sepak bola. Mungkin adik kelas saya yang bertindak gegabah karena panik! Lagian, kalian punya bukti yang benar-benar kuat nggak sih!?”

Dengan suara gemetar layaknya binatang kecil yang ketakutan, dia sebenarnya berbicara dengan nada tinggi dan arogan.

Itulah sifat aslinya—kecenderungan untuk kekerasan, dan kenikmatan dalam mengendalikan orang lain.

Latar belakang keluarganya: ibu yang sangat menekankan pendidikan, ayah pekerja keras. Tipikal keluarga elit. Sedikit saja, tercium aroma kesombongan kelas atas.

“Begitu ya. Kalau begitu, izinkan saya bertanya. Kenapa kamu menggunakan aplikasi media sosial luar negeri yang tidak umum dalam komunikasi dengan Kondo?”

Untuk tipe seperti ini, berdebat panjang adalah senjata terbaik.

“I-Itu karena... saya dan Kondo sempat... ya, seperti pacaran. Jadi, untuk hal-hal yang memalukan, aplikasi itu praktis karena bisa hapus jejak dengan mudah.”

Jawaban yang cukup cerdas, memang.

“Begitu. Lalu, bagaimana dengan pencurian naskah novel dan barang pribadi milik Aono Eiji? Adik kelasmu mengatakan bahwa dia melakukannya atas perintahmu.”

Reaksinya sesuai dugaan. Jawabannya terdengar seperti skenario yang sudah dirancang.

“Bukan saya! Mereka semua cuma berusaha menjebak saya! Mana buktinya kalau saya yang menyuruh mereka!?”

“Tapi, kami punya banyak kesaksian. Hampir semua anggota klub mengatakan bahwa kamu yang menyuruh mereka membuang naskah dan barang-barang Aono. Kumpulan kesaksian yang konsisten bisa menjadi bukti kuat, tahu?”

“Itu…”

Tak peduli secerdas apa dia mencoba tampil, tetap saja dia masih anak SMA.

“Dan ada satu hal menarik. Saat Aono dipukuli, kamu ternyata berada di dekat lokasi kejadian. Terekam jelas oleh kamera pengawas. Wah, kebetulan banget ya. Seolah-olah kamu tahu sebelumnya.”

Tentu saja bukan kebetulan.

Aku bahkan tertawa kecil sambil mengucapkannya.

“...Tapi soal kasus Ikenobu-san... itu Matsuda dan anak-anak klub sepak bola yang—”

Nah, dia mulai goyah.

Waktunya menyeretnya lebih dalam.

“Benar. Matsuda memang bekerja sama dengan klub sepak bola. Tapi dia juga bilang bahwa kamu menyampaikan perintah secara lisan. Memang, pernyataan itu belum cukup kuat untuk menuduhmu sebagai dalang penyerangan. Beberapa saksi juga tampak bingung saat namamu disebut.”

Aku mulai menyeretnya ke wilayah permainanku.

“Iya, itu karena Matsuda nggak mau dituding sebagai otak utama, jadi dia lempar tuduhan ke saya...”

Aku menyeringai.

Sekarang saatnya melontarkan pukulan pamungkas.

“Tapi ya, Tachibana-san. Ada satu hal yang mengganjal. Kenapa kamu tahu Matsuda terlibat dalam penyerangan itu? Para guru mengatakan bahwa kamu sudah menyebut nama Matsuda sejak awal.”

Wajahnya langsung pucat saat aku ungkit kesalahan fatal itu.

“Itu... dari berita...”

“Tapi identitas pelaku di bawah umur tidak dipublikasikan oleh media, kan?”

“Kalau begitu, dari teman-teman di sekolah... yang gosip di SNS...”

“Kapan kamu melihatnya? Soalnya, kamu tahu semua itu sebelum gosipnya menyebar, bukan?”

Dia kehabisan kata-kata, mematung, dan menunduk sambil bergumam sendiri. Dia Terjebak.

“Tachibana-san. Memang, kamu pintar. Tapi dunia ini tidak semudah itu untuk ditembus hanya dengan alasan yang dibuat-buat. Jangan remehkan orang dewasa.”


Chapter 204 – Sang Ahli Strategi yang Tenggelam dalam Strateginya Sendiri

—POV Ketua Klub, Tachibana—

Apa-apaan orang ini?

Aku sedang terpojok sekarang.

“Jangan remehkan orang dewasa.” Aku tak mau mengakuinya. Tapi kalau aku tak bisa melewati ini…

“Kalau begitu, aku ulangi pertanyaannya ya, Tachibana-san. Kamu adalah dalang dari kasus perundungan dan penyerangan ini, bukan? Kamu dan Kondo adalah otak di balik semua ini. Aku salah?”

Suara seraknya perlahan-lahan makin mendesakku.

“Bukan! Bukan aku! Sama sekali bukan!”

Aku menyangkal keras, meski emosi hampir tak terkendali.

“Begitu ya. Lalu, bisa jelaskan kenapa kamu ada di tempat kejadian saat Aono Eiji dipukuli?”

“Itu benar-benar kebetulan saja… Karena terdengar keributan dari dekat situ, aku jadi penasaran dan datang cuma untuk melihat, seperti orang yang cuma ingin tahu saja.”

“Begitu. Hanya melihat saja. Tapi, kamu sempat mengambil foto, kan? Padahal kamu tahu yang terlibat adalah adik kelas dan teman sekelasmu sendiri. Tapi kamu pergi begitu saja tanpa bertanya pada siapa pun. Aneh, ya?”

“Aku cuma nggak mau ikut-ikutan dalam masalah. Foto itu pun cuma aku ambil tanpa sadar.”

Aku pun sadar, itu alasan yang sangat tipis.

“Jadi karena males ribet, kamu kabur. Tapi masih sempat ambil foto. Sepertinya agak bertentangan ya?”

“Itu reflek spontan saja. Namanya manusia, kan, penuh kontradiksi.”

“Benar juga, ya.”

Pak polisi itu tertawa ringan.

Tapi jantungku berdetak makin kencang.

Orang ini terlalu berbahaya.

“Tapi ya, Tachibana-san. Kamu sudah membuat kesalahan. Dan ini kesalahan fatal. Kamu tahu?”

Ini pasti cuma gertakan. Aku tidak mungkin sampai melakukan kesalahan.

“Yah, kalau kamu nggak tahu, nggak apa-apa. Tapi kami ini polisi. Kamu mungkin merasa sudah menyembunyikannya dengan baik… Tapi tahu tidak, foto Aono yang tergeletak di tanah itu ternyata disebarkan lewat SNS. Padahal akunnya sudah dihapus, tapi kami telusuri dan kumpulkan info dari akun-akun lain yang pernah melihatnya. Dan tahu tidak, pemilik akun itu pernah menulis ini—”

Dia sengaja berhenti, mencoba membaca reaksiku.

“‘BREAKING: Foto detik-detik setelah Eiji Aono dipukuli habis-habisan oleh cowok yang katanya pacarnya.’ Aneh ya. Kamu hanya melihat keributan itu sepintas, tapi isi unggahan itu seakan-akan kamu percaya penuh pada versi ceritanya Kondo. Seolah-olah kamu memang sudah tahu sejak awal.”

“Aku bahkan nggak tahu akun itu.”

“Ya, tentu. Kami juga mengira kamu akan berkata begitu. Makanya kami periksa. IP address saat unggahan dibuat, lokasi saat login… semua mengarah ke sekitar rumahmu. Meski akun itu sudah dihapus, data di server perusahaan penyedia layanan masih tersimpan. Dan ya, perusahaan itu cukup kooperatif dengan polisi. Kami akan segera dapat data lengkapnya.”

Darahku seolah mengalir surut. Baru sekarang aku sadar betapa aku sudah benar-benar terpojok.

“…”

“Oh ya, satu lagi. Lokasi Matsuda ngobrol dengan anggota klub sepak bola—katanya di taman dekat stasiun. Jadi, kami juga sedang periksa rekaman CCTV dan bertanya pada orang-orang yang biasa ada di sana. Kalau aku jadi Tachibana-san, kurasa memang kamu yang menyuruh mereka bertemu di sana. Mana mungkin anak SMA tiba-tiba mengatur ini semua? Ini hasil dari rencana yang sudah lama dibangun. Begitulah analisis yang paling masuk akal.”

“……!”

Sampai sejauh mana dia sudah memetakan semua ini? Aku mulai merasa takut.

“Yah, cukup untuk hari ini ya. Tapi, Tachibana-san… Melihat semua tindakan dan kepribadianmu sejauh ini, kamu nggak akan bisa lolos begitu saja. Kalau dibiarkan, kejahatanmu akan makin menjadi. Kalau diberi hukuman ringan, ini bisa jadi bumerang di masa depan. Setidaknya, aku tidak bisa membiarkanmu lolos. Apa pun yang kamu sembunyikan, aku akan bongkar semuanya. Aku orangnya gigih, lho.”

Dengan senyum lembut yang menyamar sebagai wajah ramah, si "iblis" berkedok polisi itu pun meninggalkan ruangan.

Kenapa ini bisa terjadi padaku?

Aku mulai merasakan mental yang hancur.

Berapa kali lagi aku harus melewati interogasi sekeras ini?

Neraka baru saja dimulai.


Chapter 205 – Alasan yang Dicari-cari

—POV Ketua Klub Tachibana—

Aku berpikir keras untuk membuat alasan.

Di ruang tahanan yang dingin, terus diawasi tanpa henti.

Rasanya aku bisa gila. Tapi aku tidak bisa lari dari sini. Kalau aku tidak bisa lolos sekarang, maka hidupku hancur.

Aku harus melakukan sesuatu.

Aku butuh alasan yang bisa membungkam si polisi tua yang pintar itu.

“Aku harus lakukan ini… Aku harus cari cara…”

Seorang penjaga menegurku, “Harap tenang.” Aku hanya bisa mengangguk pelan, seperti zombie.

**

“Selamat pagi, Tachibana-san. Tidur nyenyak semalam? Atau malah begadang mikirin alasan?”

Wajah menyebalkan itu menyeringai penuh percaya diri. Dia selalu menyeretku ke dalam irama mainnya.

“Kenapa sih Anda terus memperlakukan saya seperti penjahat? Anda tahu prinsip ‘presumption of innocence’, kan? Bahwa orang tak bersalah sampai terbukti sebaliknya?”

“Tentu tahu dong. Saya ini PNS juga, tahu? Lumayan jago soal hukum.”

Tidak boleh terbawa iramanya. Aku terus menenangkan diri dalam hati.

“Kalau begitu, tolong perlakukan saya secara adil.”

“Tentu saja. Saya hanya melakukan penyelidikan secara objektif dan logis. Dan sejauh ini, semua logika mengarah ke satu kesimpulan: kamu berbohong.”

“Itu hanya persepsi subjektif Anda, bukan?”

“Bisa jadi. Tapi yuk, kita lanjut lagi pembicaraan hari ini.”

Pertarungan pun dimulai lagi.

“Begini, ya. Tentang kasus penyerangan terhadap Ikenobe Eri. Kamu memprovokasi Matsuda dan anak-anak klub sepak bola untuk menyerangnya, kan?”

“Tidak! Itu hanya omongannya Matsuda. Saya tidak terlibat sama sekali!”

“Begitu ya. Tapi investigasi CCTV yang saya sebutkan kemarin sudah selesai. Dari rekaman kamera di taman tempat Matsuda dan anak-anak itu bertemu, terlihat seorang gadis yang sangat mirip denganmu. Ini videonya.”

Akhirnya muncul juga.

Tapi aku sudah menduganya akan ke arah ini.

“Itu bukan saya. Saya bahkan tidak merasa ada di sana. Lagi pula, pakaian seperti itu bisa dibeli di toko biasa. Gambar juga nggak terlalu jelas, jadi ini hanya tuduhan sepihak.”

Itulah kenapa aku sengaja beli pakaian biasa dari supermarket. Dan aku pakai masker juga. Mirip belum tentu itu aku.

“Iya, benar juga. Tapi luar biasa ya kamu ini, gadis SMA.”

Apa? Apa aku terpancing?

Wajahku memucat sesaat.

“Apa maksud Anda luar biasa?”

“Dari rekaman buram sejauh ini, kamu bisa langsung bilang kalau bajunya itu barang biasa dari toko murah? Wah, orang tua seperti saya nggak akan bisa tahu. Atau… mungkin karena kamu sendiri yang memakainya?”

“Kebetulan saja. Saya pernah lihat di supermarket dekat rumah.”

“Oh, kebetulan lagi, ya. Banyak sekali kebetulannya.”

Sial, dia lagi-lagi menjebakku dengan permainan kata.

“Saya nggak tahu apa-apa! Karena memang itu kenyataannya!”

“Yah, baiklah. Tapi saya ingin tanya hal lain. Kami menyita sepatu sneakers dari rumahmu. Di dalamnya ada daun-daun kecil. Uniknya, tanaman itu hanya tumbuh di sekitar taman lokasi kejadian. Kamu tahu soal ini?”

Aku mulai berkeringat dingin lagi.

“Ka-Karena saya tinggal dekat, ya wajar saja kalau kadang ke taman!”

“Betul juga. Tapi daun kering masuk ke sepatu itu biasanya hanya terjadi kalau orang masuk ke semak-semak. Masa anak SMA seperti kamu main petak umpet di semak-semak sih? Aneh juga ya?”

“Saya bilang, saya nggak tahu apa-apa, kan!”

“Jangan marah dong. Saya ini hanya bekerja. Kalau begitu, pertanyaan berikutnya: kamu juga terlibat dalam kasus perundungan terhadap Aono Eiji, bukan?”

Lagi-lagi… pertanyaan terus berdatangan.

“TIDAK! Lagipula, saya tidak punya motif untuk mengganggu Eiji-kun.”

Ya, motif. Tanpa motif, tuduhan akan kehilangan kekuatan.

“Oh, motif ya. Walau sebetulnya kalau bukti kuat, motif itu nomor dua. Tapi tenang, kami juga sudah menyelidiki semua kemungkinan.”

Rasanya seolah semua jalan keluar sudah ditutup rapat-rapat.

“Apa maksud Anda?”

“Kamu mau dengar? Tapi kalau kamu dengar, mungkin kamu makin nggak bisa kabur dari ini semua.”

Sang ahli strategi di depanku menyeringai licik.


Chapter 206 – Keseriusan Orang Dewasa

—POV Ketua Klub Tachibana—

Tidak mungkin. Tidak mungkin mereka bisa menebak motifku. Itu kan urusan batinku sendiri.

Kalau bukan cenayang, tidak akan mungkin tahu.

“Kamu hanya menyamakan khayalanmu dengan kenyataan saja, kan?” Ucapku dingin.

Aku mati-matian mencari celah di mana aku bisa unggul, agar hatiku tetap tenang.

“Ya, mungkin saja. Tapi, ayo kita cocokkan jawabannya. Memang, sekilas, kamu tidak punya motif untuk merundung adik kelasmu yang manis itu, Aono Eiji. Para anggota klub lain juga bilang begitu. Mereka bilang kalian berdua dekat seperti kakak dan adik. Justru karena itu, ketika kamu merasa dikhianati, kamu jadi ingin menyingkirkannya. Mereka pikir kamu juga termakan oleh rumor-rumor yang beredar.”

Iya… kalau dibawa ke arah itu, bisa saja posisiku jadi lebih baik.

Aku pun mulai berharap.

“Tapi ya, saya sendiri tidak berpikir begitu.”

Seperti dilempar dari surga ke neraka.

“Ke… kenapa?”

“Pertama, memang benar bahwa perlakuanmu pada Aono Eiji bisa dimaklumi sebagai bentuk balas dendam karena merasa dikhianati. Tapi kamu itu terlalu terobsesi dengan Eiji. Bagi seorang penulis, naskah itu bisa lebih penting dari nyawa sendiri. Tapi kamu justru ingin menghancurkannya. Di situlah letak kuncinya.”

Penjelasannya mengalir seperti pesulap yang membongkar rahasia trik sulapnya.

“Keinginanmu untuk menghancurkan naskah Eiji adalah bentuk pelampiasan. Pertanyaannya, pelampiasan atas apa? Dalam banyak kasus, yang bisa mendorong seseorang pada kegilaan hanyalah dua hal: dendam dan iri hati. Dan kamu, Tachibana, punya keduanya terhadap Aono Eiji. Misalnya, kamu iri pada bakat menulisnya, lalu mulai membencinya.”

“…”

Aku sampai terengah. Bagaimana mungkin dia tahu sejauh ini?

“Kalau begitu, tindakanmu mulai terlihat logis. Kamu itu cewek pintar dan sering menang lomba menulis, kan? Pasti punya kepercayaan diri tinggi dalam dunia kepenulisan. Tapi rasa percaya dirimu itu dikalahkan oleh seorang adik kelas. Bagi remaja sepertimu, itu pasti menyakitkan luar biasa.”

Hentikan. Aku tidak butuh simpati murahan.

“Itulah sebabnya kamu begitu ingin menghancurkan simbol bakat Eiji—yakni naskah-naskahnya. Sampai ingin membakarnya habis.”

“Itu semua cuma… imajinasi…”

“Betul, ini baru teori. Tapi kami punya bukti pendukung. Ternyata, satu dari naskah-naskah Eiji selamat. Ini salinannya. Kamu pasti sudah membacanya, kan? Kamu kan ketua klub.”

Itu naskah yang jadi cikal bakal novel online sialan itu. Kenapa bisa selamat sih…

“Oh begitu ya. Syukurlah kalau ada satu yang selamat.”

“Iya, karena dari situlah semua ini bisa kami bongkar. Akun novel onlinemu juga sudah kami identifikasi. Kamu belakangan ini sering posting cerpen, kan?”

“Kamu… membacanya?”

Jangan masuk ke wilayah pribadiku! Kumohon, berhenti!

“Tentu. Meski saya bukan ahli sastra, saya bisa bilang: gaya penulisanmu sangat dipengaruhi oleh Aono Eiji.”

“…”

“Lucunya, setiap kali Eiji posting naskah di web, kamu juga memposting naskah baru. Seolah-olah bersaing. Atau… seperti sedang mencari perhatian.”

Hatiku benar-benar hancur.

“Jangan remehkan keseriusan orang dewasa. Kami juga tahu kamu mengikuti Eiji seperti stalker selama beberapa hari. Kamu bahkan pergi ke kafe tempat dia biasa rapat. GPS ponselmu, riwayat transaksi, hingga keterangan pegawai kafe—semua membuktikan obsesi itu. Kamu iri pada bakat adik kelasmu, lalu ingin menghancurkannya. Dan akhirnya, semua itu berbalik menghancurkanmu. Semuanya bermula dari rasa iri. Benar, kan?”

Aku pikir aku bisa mengendalikan orang lain sesuka hati.

Tapi ternyata, semua itu cuma akal-akalan anak kecil.

Bahkan dunia kepenulisan pun menolak keberadaanku. Kini aku benar-benar tidak punya apa pun lagi.

“…”

Teriakan dan tangis yang tak bisa diungkap dengan kata memenuhi ruang interogasi. Aku menangis, meraung, seperti anak kecil yang kehilangan segalanya. Ingin bicara, ingin membalas, tapi tak ada kata yang bisa keluar.

Aku dipaksa sadar kalau aku masih anak-anak.

Seperti badut menyedihkan yang akhirnya melihat kehancurannya sendiri di ujung tangga kehinaan dan rasa malu.

Hatiku mulai benar-benar hancur.

“Sudah cukup. Kita istirahat dulu.”

Kata polisi itu sambil meninggalkan ruangan.


Chapter 207 – Ugaki

Setelah mengantar Ichijou-san pulang, aku menuju rumahku sendiri.

Hari ini terlalu banyak hal yang terjadi. Kencan nonton film, ziarah ke makam ibunya Ai-san. Perlahan tapi pasti, hati kami semakin dekat satu sama lain.

Itu membuatku sangat bahagia, dan aku sungguh berterima kasih karena dia telah menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak ingin dia ungkapkan. Dan ketika aku tahu seberapa dalam keputusasaan yang pernah dia rasakan, dadaku terasa sesak. Mungkin rasa putus asanya bahkan lebih dalam dari yang pernah kualami.

Kematian ibunya dalam kecelakaan. Rasa bersalah yang timbul karena kecelakaan itu terjadi demi melindunginya. Lalu rentetan perundungan yang memanfaatkan tragedi itu. Dan perpisahan dengan sang ayah.

Membayangkannya saja sudah cukup membuat hati ini hancur.

“Dia benar-benar luar biasa…”

Meski menanggung semuanya, dia tidak pernah berhenti berusaha.

Dari SMP swasta di Tokyo, dia ikut ujian masuk ke SMA ini dan lulus sebagai peringkat pertama. Setelah masuk pun, dia terus mempertahankan prestasi itu, bahkan di bidang olahraga pun dia dikenal serba bisa. Seberapa keras dia harus berusaha untuk mencapai semua itu?

Aku rasa dia terus maju, meski menghadapi penderitaan sebesar apa pun.

Justru karena terlalu keras berusaha, dia sampai jatuh dan terduduk di atap sekolah saat itu.

Dan meskipun begitu…

“Dia tetap berusaha keras untuk menyelamatkanku.”

Di saat aku benar-benar berada di titik terendah, dia mengulurkan tangan padaku.

Aku menerima sesuatu yang tidak akan bisa kubalas seumur hidupku.

Tangan yang telah terhubung itu, tidak akan kulepaskan lagi.

Tidak boleh kulepaskan.

Aku duduk di bangku taman dekat rumah, mencoba menenangkan diri.

Lalu mulai mencari informasi tentang kecelakaan itu. Banyak artikel berita daring yang muncul.

Kecelakaan yang terjadi dua tahun lalu itu ternyata jauh lebih parah daripada yang kuingat.

Jumlah korban lebih banyak dari perkiraanku. Ada juga berita tentang seorang murid SMP yang selamat secara ajaib. Di daftar nama korban, aku melihat nama Hitomi Ugaki. Membayangkan bahwa nama itu kemudian dijadikan bahan perundungan membuat hatiku terasa sakit. Tidak ada nama lain yang kukenal di daftar korban. Penyebab kecelakaan adalah karena kerusakan terowongan akibat infrastruktur yang tua. Separuh bagian akhir artikel membahas tentang permasalahan sistem perawatan infrastruktur.

“Jadi memang itu penyebabnya…”

Setelah bisa menerima semua kenyataan itu, aku pun melangkah pulang.

**

Aku sedikit terlambat pulang. Sudah hampir waktu tutup Kitchen Aono.

“Aku pulang…”

Aku membuka pintu restoran dan menyapa ibu dan yang lain.

Kali ini, tamu yang datang hanya keluarga Iizumi, pelanggan lama kami.

“Ah, Kak Eiji!”

Keluarga Iizumi adalah pelanggan sejak zaman ayahku. Sepertinya mereka datang bersama cucu mereka yang masih kelas 1 SD.

“Maa-chan, sudah lama ya! Hari ini merayakan ulang tahun ya?”

“Iya! Aku pengen makan menu anak-anak, jadi diajak sama kakek-nenek!”

Keluarga Iizumi memang sering datang saat hari-hari spesial seperti ini.

“Kamu sudah tumbuh jadi pemuda hebat, ya. Kudengar kamu sampai dapat penghargaan karena membantu orang kemarin, ya? Tante bangga banget.”

“Iya, iya!”

Pelanggan tetap seperti mereka itu sangat menyenangkan diajak ngobrol.

Sejak kecil aku sering muncul di restoran, jadi aku diperlakukan seperti anak atau cucu sendiri oleh mereka.

Ibuku muncul dari dapur dan bertanya dengan nada menggoda.

Cuaca panas membuatku meneguk air dari kendi yang tersedia.

“Selamat datang pulang~ Gimana, seru nggak kencannya sama Ai-chan?”

“U-umm… iya, menyenangkan kok.”

“Baguslah~ Ibu sempat mikir kamu nggak bakal pulang malam ini.”

“Eeh…?!”

Aku hampir menyemburkan airku.

Kalau keluarga Iizumi dengar…

Refleks aku menoleh, tapi untungnya mereka semua fokus pada kue ulang tahun, jadi sepertinya tidak ada yang dengar.

“Ibu cuma bercanda~ Tapi kamu harus jaga Ai-chan baik-baik, ya. Anak sebaik dia itu jarang lho.”

“Iya, aku tahu kok.”

Ibuku tersenyum senang dan hendak kembali ke dapur.

“Bu, aku mau tanya satu hal, boleh?”

Ibuku menoleh dengan wajah bingung, lalu tersenyum kecil sambil berkata, “Ada apa, kok tiba-tiba serius?”

“Belakangan ini… Paman Ugaki nggak pernah datang ke restoran lagi, ya?”


Chapter 208 – Ibu dan Ai

Ibu tersenyum seolah telah memahami segalanya ketika aku mengajukan pertanyaan itu. Senyumnya lembut dan penuh kasih.

“Begitu ya. Jadi kalau Eiji menanyakan hal itu… artinya memang begitu.”

Raut wajah ibu tampak sedikit sendu, seperti seorang ibu yang sedang memikirkan putrinya. Ekspresi yang rumit, campuran antara pengertian dan kesedihan.

“Bu?”

“Kalau mau cerita lebih lengkap, tunggu sampai Ibu selesai kerja, ya. Sedikit lagi kok.”

“Iya.”

Aku pulang duluan, menyiapkan air mandi, dan menunggu. Karena banyak hal yang terjadi hari ini, aku tertidur sebentar.

**

“Eiji?”

Aku terbangun mendengar suara Ibu. Sepertinya tadi aku benar-benar tertidur.

“Maaf, tadi ketiduran.”

Karena tertidur sambil bersandar di meja ruang tamu, tubuhku jadi agak pegal.

“Kamu pasti capek, ya. Mau Ibu ceritanya besok saja?”

“Enggak, hari ini aja, Bu.”

Ibu mengangguk lalu duduk di depanku.

“Baiklah. Ibu ambil mugicha dulu ya.”

Beliau menuangkan teh barley dingin dari kulkas dan membawakan untuk kami berdua.

“Terima kasih.”

Kami sama-sama meminum seteguk, seolah menjadi tanda bahwa obrolan serius akan dimulai.

“Ibu tahu semuanya?”

“Bukan ‘tahu’, lebih tepatnya cuma curiga. Soalnya Ai-chan sangat mirip dengan Hitomi-san. Tapi Ibu cuma pernah bertemu Ai-chan waktu dia masih bayi, jadi nggak bisa yakin. Lagipula, karena dia nggak pakai nama keluarga Ugaki, Ibu pikir mungkin Ibu salah orang, atau memang ada situasi yang rumit. Jadi Ibu nggak berani nanya lebih jauh.”

“Begitu…”

Ibu memang tipe yang sangat menghargai keputusan anak-anaknya. Aku yakin beliau juga bersikap sama kepada Ai-san, seperti pada diriku.

“Kalau menjawab pertanyaanmu tadi, Pak Ugaki nggak pernah ke sini lagi sejak pemakaman ayahmu. Dia merasa bertanggung jawab lebih dari siapa pun… bahkan lebih dari Pak Minami.”

Ya, ayah dan ketiga orang itu memang sangat akrab. Mereka sering minum bareng sepulang kerja dan kadang ikut kegiatan sukarelawan di akhir pekan.

“Jadi, kecelakaan itu terjadi saat itu ya?”

“Iya. Ibu juga cuma sempat datang ke pemakaman. Putrinya masih dirawat di rumah sakit, jadi Ibu nggak sempat ketemu. Pak Ugaki sebagai pihak keluarga juga sibuk, jadi kami hampir nggak sempat bicara. Sejak saat itu, Ibu nggak pernah bertemu beliau lagi. Kata Pak Minami, beliau tenggelam dalam pekerjaan, mungkin untuk melupakan semuanya.”

Kehilangan istri tercinta dan sahabat dekat dalam waktu bersamaan… mungkin membuat sesuatu dalam diri Pak Ugaki hancur.

“Bu, soal yang tadi aku bilang… bisa nggak jangan diceritain dulu ke Ichijou-san? Kayaknya dia ingin bicara langsung sama Ibu. Dia cukup terpukul karena tanpa sengaja jadi menyembunyikan kebenaran.”

“Iya, Ibu ngerti.”

Ai-san pasti sangat terbebani soal ini. Dari sifatnya, aku yakin dia ingin menjelaskannya langsung. Mungkin aku terlalu terburu-buru. Saat aku menoleh ke Ibu dengan sedikit penyesalan, beliau tersenyum seolah mengerti perasaanku.

“Kamu hebat, Eiji.”

“Eh?”

“Kamu berhasil membuka pintu hati Ai-chan yang selama ini tertutup rapat. Kamu benar-benar sudah berusaha keras.”

Ucapannya membuat dadaku terasa hangat dan geli sekaligus.

“Enggak juga… aku ini cuma ditolong terus sama orang-orang.”

“Mungkin. Tapi Eiji, tahu nggak? Saat hati seseorang sedang rapuh, cukup ada orang yang mau menemani saja itu bisa sangat menyelamatkan. Seperti waktu Ayahmu meninggal, kamu dan kakakmu yang terus menemani Ibu… hanya berbagi waktu yang sama saja sudah sangat berharga.”

“Iya… makasih, Bu.”

Karena sempat tidur sebentar, tubuhku terasa lebih segar. Aku ingin menulis sedikit malam ini. Maka aku pun masuk ke kamar.


—Dari POV Sekjen Ugaki—

Sudah lama aku tidak kembali ke kota ini.

Di bar yang sudah kukenal sejak lama, aku menikmati segelas wiski.

“Langka juga. Jarang-jarang ada malt whisky yang pakai tong bourbon, bukan tong sherry.”

Ucapku, dan sang bartender yang sudah kukenal sejak dulu tertawa kecil.

“Iya, itu produk edisi khusus bebas pajak. Saya pesan langsung.”

“Rasanya manis dan creamy, kualitasnya mudah dikenali.”

Setelah memberi komentar singkat, bartender itu kembali tersenyum.

“Kalau begitu, saya juga pesan yang sama, ya?”

Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku. Suara yang terasa begitu familiar dan penuh nostalgia.

“Minam-san?”

“Ya. Lama tak bertemu, Ugaki.”


Chapter 209 – Di Bar

POV Ugaki

Minami-san duduk di sampingku.

Seolah-olah seperti masa lalu yang telah lama berlalu.

Segera, di hadapan pria tua itu, disajikan segelas air sebagai pelengkap (chaser), wiski, dan semangkuk kecil kacang.

“Oh, malt whisky ini pakai tong bourbon? Jarang sekali. Sepertinya wiski yang masih muda.”

Seperti yang kuduga dari guruku dalam dunia whisky, hanya dengan mencium aromanya dan satu tegukan kecil, ia bisa menebak hampir semua karakteristik minuman itu.

“Aromanya kuat akan vanila dan kayu, tapi di dalamnya terselip nuansa jeruk dan floral. Kesan floral ini pasti berasal dari kualitas asli dari spirit-nya.”

Saat master bar menuangkan whisky tadi, aku sempat melihat botolnya. Tertulis usia 8 tahun. Tidak terlalu muda, tapi juga belum terlalu matang.

Tapi ini bukanlah sebuah kebetulan. Dia pasti datang ke sini karena ingin membicarakan sesuatu.

“Jarang juga Anda datang ke sini. Tidak ada kegiatan sukarelawan hari ini?”

“Tentu saja tetap ada. Hari ini, aku membantu mengawasi anak-anak SD pulang sekolah di siang hari.”

“Di hari sepanas ini, Anda masih bisa santai begitu… Kalau tubuh kelelahan lalu langsung minum whisky straight, bisa-bisa bahaya, lho.”

Orang ini memang sejak dulu begitu. Penuh vitalitas dan sangat kuat dalam minum.

“Tak masalah. Hasil medical check-up terakhir, semuanya bersih, tidak ada masalah.”

“Benar-benar…”

Tanpa sadar aku melirik ke sisi kananku. Itu adalah tempat duduk favoritnya.

Meski aku tahu dia tidak akan pernah kembali duduk di sana.

Aku tahu Minami-san pasti memperhatikan gerak-gerikku. Dan aku yakin dia menyadari makna dari tatapan itu.

“Begitu, ya…”

Dia hanya mengatakan itu dengan singkat. Tampaknya dia tidak ingin mengungkit terlalu dalam.

“Tapi ya, pemuda itu sekarang sudah jadi Sekjen partai penguasa. Tak pernah terpikir olehku bahwa aku akan menyaksikan seorang politisi yang mengalahkan rekor termuda sang Taikou zaman sekarang.”

“Hanya keberuntungan saja.”

“Begitukah? Meski ini bukan hal yang harus kukatakan padamu, tapi di dunia politik, tanpa strategi dan keberuntungan, tak akan bisa naik ke atas. Itu adalah bakat yang paling penting, bukan?”

Sambil berkata begitu, Minami-san menyesap whisky-nya dengan perlahan. Aku pun ikut-ikutan mengangkat gelasku.

“Hal-hal yang ingin kulakukan… hanya bisa kulaksanakan setelah berada di posisi atas.”

Kalau tidak bisa meraihnya, maka harga yang telah kubayar selama ini akan terasa terlalu besar.

“Kalau para politisi tahu bahwa pria yang dijuluki penerus Miki Bukichi, si rubah tua dunia politik, ternyata terus melaju karena didorong oleh emosi pribadi… mereka pasti akan terkejut.”

“Disamakan dengan tokoh legendaris seperti itu, saya benar-benar tidak layak. Saya bahkan tidak merasa punya nilai sebesar itu.”

Miki Bukichi—seorang ahli strategi politik yang menarik perhatian karena berhasil menjatuhkan Yoshida Shigeru, sang perdana menteri legendaris, dari jabatannya, dan mewujudkan penyatuan partai-partai konservatif, yang dikenal sebagai sistem 55 tahun. Dia meninggal tidak lama setelah penyatuan itu, namun sistem yang dia bangun bertahan selama lebih dari 40 tahun.

Sejujurnya, aku merasa pujian itu berlebihan. Karena kenyataannya, aku hanya terus melangkah karena janji dengan sahabat, dan karena urusan pribadi yang belum selesai.

Mungkin menyadari perasaanku, Minami-san melontarkan sebuah kalimat pelan—tapi terasa seperti senjata dingin yang menancap dalam:

“Mungkin sudah saatnya… kamu memaafkan dirimu sendiri.”


Chapter 210 – Rencana Ugaki & Malam Dua Bersaudara

POV Ugaki

Apakah aku bisa memaafkan diri sendiri?

Jika aku bisa kembali ke tempat yang penuh cahaya itu, maka kedudukan yang kumiliki saat ini pun tak akan jadi soal. Tapi aku tahu, itu hanyalah harapan kosong yang takkan pernah terwujud.

Kalau begitu—aku hanya bisa terus melangkah maju.

“Sudah terlalu banyak pengorbanan yang kubayar untuk bisa berhenti sekarang.”

Suaraku terdengar sangat kelam, bahkan membuatku sendiri terkejut. Minami-san menatapku dengan ekspresi sedih. Aku menatap balik sambil menggenggam pena di saku jas.

“Kitchen Aono masih terus mempertahankan cita rasa milik Mamoru-kun.”

Perasaan yang muncul bercampur aduk. Bahagia, tapi juga penuh rasa bersalah.

“Begitu ya. Kalau begitu, saya pamit.”

Tanpa menoleh ke arah Minami-san, aku membayar dan keluar dari bar, lalu naik ke mobil yang sudah menunggu di depan untuk kembali ke Tokyo.

“Anda yakin tidak ingin menemui nona dulu?”

Sang sekretaris sopir menanyakan itu dengan hati-hati, tapi aku hanya menjawab singkat, “Tak apa.”

Sedikit mabuk mulai merayap. Kelopak mataku terasa berat. Kalau aku tertidur sekarang, pasti akan bermimpi buruk.

**

“Ugaki-sensei. Perdana Menteri sedang sangat terdesak. Mungkin dia akan segera bergerak.”

“Ya. Aku juga sudah memikirkan beberapa skenario.”

“Skenario?”

“Benar. PM pasti berusaha menjinakkanku. Kalau pemerintahannya terguncang terus-menerus, dukungan publik akan turun. Baginya, orang berpengaruh bisa menjadi ancaman politik. Kalau aku jadi dia, aku akan menempatkanku di posisi penting namun tak berkuasa, semacam wakil perdana menteri.”

Posisi seperti wakil perdana menteri atau wakil ketua partai hanya gelar kehormatan belaka. Tidak ada kekuasaan nyata di situ. Tak sebanding dengan posisi seperti sekretaris jenderal partai yang menguasai keuangan dan mutasi jabatan. Tapi aku sudah sampai sejauh ini. Tujuanku sudah di depan mata.

“Jadi, Anda akan segera bergerak?”

“Tentu. Aku masih punya kartu as. Kondo masih bisa dimanfaatkan. Perang besar akan segera dimulai.”

Menjatuhkan orang tua itu—sang pemilik kekuasaan tertinggi—adalah pekerjaan yang sangat sulit. Dia seperti monster yang bangkit setiap kali kalah dalam pemilihan ketua partai, dengan ambisi kekuasaan yang sudah seperti obsesi. Dia pasti akan melakukan segala cara untuk mempertahankan kursinya. Tapi aku harus menjadi orang yang menyudahi semuanya.

Mobil perlahan melaju menuju pusat kota Tokyo.

**

—POV Eiji—

Banyak hal terjadi, dan aku sulit tidur.

Karena iseng membuka ponsel dan mulai menyunting draf novel, aku justru makin tak bisa tidur.

Aku keluar kamar untuk minum air, menuju lantai satu. Karena kupikir kakak dan ibu pasti sudah tidur, aku berjalan sepelan mungkin agar tak mengganggu.

Tapi lampu dapur masih menyala.

“Eiji, ada apa? Tengah malam begini.”

Kakak sedang minum sendirian.

“Aku nggak bisa tidur. Mau ambil air minum aja.”

“Begitu ya.”

Dia sedang minum wiski dari botol berbentuk boneka Daruma. Wiski yang dulu juga sering diminum ayah saat santai. Di sebelahnya ada botol air mineral, berarti dia minum whisky dicampur air. Aku mengambil gelas dan menuangkan air dari botol yang ada di sebelah kakak.

Camilannya adalah kentang rebus mentega yang diberi shiokara—kombinasi yang dulu sering dibuat ayah. Kakak pun pasti sedang merasa sentimental seperti aku.

“Mau makan? Bikin nostalgia, kan?”

“Iya. Kombinasi favorit ayah dulu.”

“Kadang-kadang, waktu aku buntu bikin resep, aku suka duduk sendiri kayak gini. Rasanya seperti ayah akan bisikin solusi ke telingaku.”

“Kakak juga bisa buntu, ya.”

Menurutku, dalam hal memasak, kakak itu semacam jenius. Hanya dengan membaca resep, dia bisa membuat rasa masakan ayah secara nyaris sempurna. Resep baru yang dia buat pun selalu enak dan disukai pelanggan.

“Tentu aja bisa. Justru aku sering banget bingung.”

“Begitu ya…”

Rasa terima kasihku terhadap kakak makin dalam. Dia telah bertindak sebagai pengganti ayah untukku sejak muda, dan melakukannya dengan sangat baik.

“Tak lama lagi ya. Sampai aku bisa minum bareng kakak juga.”

“Iya.”

“Maaf ya. Kalau ayah masih ada, dia pasti bisa menanganinya lebih baik.”

Permintaan maaf mendadak itu membuatku terdiam sejenak. Tapi itu sangat khas dari kakak yang tidak pandai bicara.

“Kakak, ngomong apa sih. Kan sudah kubilang, ini bukan kesalahan kakak. Kakak sudah berusaha keras demi aku… demi keluarga. Aku benar-benar menghargai dan menghormati kakak. Terima kasih banyak. Aku juga nggak sabar menanti hari saat kita bisa minum bareng.”

Untuk menutupi rasa malu, aku menyuap kentang mentega buatan kakak ke dalam mulut. Rasa gurih yang kaya langsung menyebar di seluruh lidah.


Previous Chapter | Next Chapter

3

3 comments

  • Godok
    Godok
    30/6/25 18:02
    Buset plot twist sekali ternyata kekuarga eiji dan ai saling kenal🗿
    • Godok
      Jio
      30/6/25 20:31
      Kalo bukan karna Eiji diajak ke makam ibunya Ai, gabakalan sadar Sekjen Ugaki itu bapaknya Ai , sikapnya berubah karna Se Shok itu tuk trima knyataan.
    • Godok
      Godok
      1/7/25 05:15
      Eiji aja langsung ngeh begitu tau nama asli ai itu bukan ichijou ai melainkan ugaki ai, sebab ada 1 orang yang memiliki marga serupa yang sering datang ke restoran keluarga aono dan merupakan teman baik ayahnya.

      Makanya pas pulang dia nanya ke ibu nya "pama ugaki gak pernah kesini lagi ya?"
    Reply



close