NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 81 - 90

 

Chapter 81: Ayah dan Si Perempuan Jahat

POV Ayah Kondo

“Ayah… Tolong bantu aku… Ini benar-benar gawat…”

Begitu datang ke kantorku, anakku langsung menangis minta tolong.

“Ada apa? Lagi pula, bukannya kamu harusnya di sekolah?”

Perasaanku langsung tidak enak. Anak ini memang mirip denganku, doyan cewek. Apa jangan-jangan masalah terakhirnya sudah sampai ke telinga pihak sekolah? Sungguh merepotkan...

“Itu… Jadi begini...”

Anakku pun menjelaskan semua yang terjadi.

Gara-gara urusan cinta, dia ribut dengan seorang junior dan sampai memukulnya.

Karena kesal, dia menyebarkan fitnah dan ujaran kebencian terhadap anak itu di internet, hingga membuatnya dikucilkan.

Anggota klub sepak bola yang mengaguminya pun ikut-ikutan dan melakukan bullying terhadap si anak itu.

Tampaknya, semua ini mulai terungkap dan polisi pun sudah mulai menghubungi pihak sekolah untuk penyelidikan.

Mendengarnya, darahku seakan mengalir mundur. Di saat genting menjelang pemilihan wali kota seperti ini… Ini bisa jadi lebih fatal dibanding insiden di hotel tempo hari.

Bagaimanapun juga, hal ini harus dicegah agar tidak mencuat.

Untungnya, sepertinya semua ini belum sepenuhnya terbuka. Kalau begitu, masih ada waktu.

Aku akan menekan pihak sekolah untuk menutupi kasus ini.

Kalau itu tak berhasil, aku akan gunakan kekuasaan dan uang untuk menekan pihak keluarga korban agar mau berdamai. Kalau polisi sudah turun tangan, itu berarti mereka menerima laporan dari pihak korban.

Aku belum tahu seberapa kuat bukti yang mereka punya, tapi kalau tidak cukup, maka aku akan paksa mereka untuk bungkam dan mengingkari semuanya.

“Dengar, kalau hal ini sampai bocor ke publik, kita berdua hancur. Jangan bertindak gegabah. Jangan lakukan apa pun yang bisa mengganggu rencanaku. Serahkan semuanya padaku. Selama ada uang dan kekuasaan, hampir semua bisa diselesaikan.”

Kukatakan dengan tegas. Menyesali yang sudah terjadi tidak ada gunanya. Yang penting sekarang adalah apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Kita selalu bisa melewati masalah seperti ini.

“Baik, aku akan bicara dengan pihak sekolah. Kamu tetap tinggal di rumah. Ingat, jangan keluar rumah, apa pun yang terjadi.”

POV Ketua Klub Sastra

Pelajaran Bahasa Jepang yang membosankan pun dimulai.

Aku benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin diajarkan guru ini.

Jadi, aku hanya membaca buku pelajaran Bahasa Jepang dengan asal.

Saat sampai di bagian sastra dunia, aku terpaku pada bagian sastra Rusia.

Aku sangat menyukai Crime and Punishment karya Dostoevsky.

“Dosa kecil bisa ditebus dengan banyak perbuatan baik.”

“Karena itu, seorang jenius yang membawa banyak kemajuan bagi masyarakat tidak perlu dibatasi oleh moralitas yang remeh.”

Itulah cara berpikir favoritku.

Sejak kecil aku sudah suka menulis. Dalam lomba menulis esai nasional, aku menang medali emas. Dalam lomba slogan atau resensi buku pun aku selalu menang. Semua orang menyebutku jenius.

Saat SMP, aku menyadari satu hal—dunia ini tidak berbeda jauh dari cerita fiksi. Jika aku sedikit saja mengintervensi, maka nasib orang-orang bodoh akan dengan mudah hancur.

Aku tak perlu mengotori tanganku sendiri, cukup menggerakkan tangan orang lain. Sedikit dorongan saja sudah cukup.

Contohnya, cukup bilang ke Kondo, si berandalan itu, “Anak cewek itu manis, lho. Tapi kabarnya udah punya pacar—mereka itu teman masa kecil yang jadian.” Dia, yang senang menghancurkan harga diri orang lain, pasti langsung bergerak buat merusak hubungan mereka.

Mudah, kan?

Nasib orang-orang itu ada di telapak tanganku. Karena aku adalah penulis kisah mereka.

Mainan bernama Kondo itu benar-benar berguna. Tak ada karakter yang lebih mudah dikendalikan dari dia.

Dalam hidupku yang mulus, satu-satunya kegagalan datang karena seorang junior bernama Aono Eiji.

Dalam hal menulis, aku yakin tak ada yang bisa menandingiku di generasi ini. Tapi dia—dia punya bakat yang melebihi diriku. Saat membaca novelnya, keringat dingin mengalir di punggungku. Bagaimana bisa anak laki-laki tak terkenal seperti dia menulis sebaik itu?

Aku iri. Bahkan sempat berharap dia mati saja. Rasanya posisiku bakal runtuh. Karya yang kuanggap mahakarya pun tiba-tiba tampak murahan, dan aku hapus semua datanya.

Jadi aku memutuskan untuk menghancurkan bakatnya.

Aku tahu betul, bahkan jenius bisa hancur hanya karena masalah relasi sosial. Maka sebelum bakatnya dikenal luas, lebih baik aku singkirkan.

Awalnya, aku berniat memikatnya dan membuatnya jatuh dalam kenikmatan. Tapi karena dia punya pacar masa kecil dan kepribadiannya terlalu jujur, rencana itu gagal. Dan itu makin melukai harga diriku. Sebagai perempuan, aku merasa diriku ditolak.

Sebagai gantinya, aku gunakan Kondo.

Karena aku sebagai perempuan telah ditolak, maka sebagai balasan, aku hancurkan harga diri laki-lakinya.

Aku arahkan Kondo agar mendekati Amada Miyuki. Aku atur agar mereka bertemu diam-diam di hari ulang tahun Eiji, lalu mengambil foto mereka masuk hotel. Rencananya, foto itu akan kuselipkan ke meja Aono Eiji.

Tapi, ternyata terjadi sesuatu yang jauh lebih menarik—mereka bertiga saling bertemu langsung.

Takdir itu memang lucu. Karena itu, aku arahkan ceritanya ke arah yang lebih seru.

Aku hasut Kondo untuk menyudutkan Aono dan membuatnya terisolasi.

Ngomong-ngomong, aplikasi SNS yang kami gunakan cukup unik—kalau salah satu pihak menghapus pesan, maka seluruh riwayat akan hilang tanpa jejak. Aplikasi ini buatan luar negeri, servernya juga di sana, jadi kalaupun polisi ingin menyelidiki, mungkin tak akan bisa.

Lagipula, ini hanya soal bullying. Polisi pun tak akan ambil pusing sampai ke sana.

Aku sudah hapus semua pesanku. Sekarang tinggal tunggu Kondo membuka aplikasinya, maka semua pesan akan otomatis terhapus dari sisinya juga.

Sayang sekali, meski Kondo ingin menyeretku, tidak ada bukti. Dengan reputasinya yang buruk dan citra “anak nakal”, siapa yang akan mempercayainya ketimbang aku, si siswi teladan?

Aono pun sudah keluar dari klub sastra dan katanya akan berhenti menulis.

Tujuan awalku sudah tercapai.

Ahh, menyenangkan sekali.


Chapter 82: Anggota Dewan Kondo vs Sekolah

POV Ayah Kondo

Segera, aku melajukan mobil menuju SMA tempat anakku bersekolah. Masalah seperti ini harus diselesaikan secepat mungkin. Sama seperti insiden hotel waktu itu, asal disogok dengan cukup uang, kebanyakan masalah bisa dibereskan. Itulah semacam prinsip hidupku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 lewat. Aku sengaja memilih jam istirahat siang, karena pikirku, itu waktu yang paling mudah untuk menemui guru yang bersangkutan.

Pusat dari masalah ini tampaknya adalah seorang guru menengah usia 30-an bernama Takayanagi dan kepala sekolah. Usia mereka sangat pas. Takayanagi bisa diiming-imingi promosi di masa depan, sementara kepala sekolah bisa digoda dengan posisi jabatan pasca pensiun.

Kalau aku mainkan umpan itu dengan baik, pasti mereka akan luluh.

Aku menyampaikan maksud kedatanganku di bagian resepsionis.

“Saya adalah anggota dewan kota, ayah dari siswa kelas 3 bernama Kondo. Saya ingin berbicara dengan kepala sekolah dan guru Takayanagi…”

Aku sengaja datang atas nama jabatanku agar menebar tekanan di sekeliling. Dengan begitu, seharusnya aku bisa langsung diterima.

Benar saja, staf resepsionis segera menghubungi mereka dan mengantarku ke ruang kepala sekolah. Sekarang, saatnya permainan dimulai.

“Wah, wah, selamat datang, Pak Kondo,”

Sepuluh menit kemudian, dua guru itu datang. Mereka memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah dan guru Takayanagi.

“Maaf telah mengganggu waktu sibuk Anda. Saya ingin berkonsultasi mengenai masalah anak saya.”

Aku sengaja bersikap rendah hati untuk memuaskan harga diri mereka. Kalau cara ini tidak berhasil, baru aku akan mulai mengancam.

“Oh ya? Ada masalah apa, ya?”

“Begini, saya dengar kalian berdua mencurigai anak saya, soal insiden pemukulan yang terjadi dua minggu lalu…”

Mendengar itu, keduanya berpura-pura bingung, seolah sedang berakting. Kepala sekolah lalu menjawab.

“Tidak, kami tidak mencurigai putra Anda secara langsung. Kami hanya menyampaikan kepada seluruh siswa dalam rapat umum. Tapi, kalau Anda sampai datang ke sini dan mengatakan hal itu... berarti Anda tahu sesuatu, bukan?”

Sial, aku berhasil dijebak. Rupanya mereka belum pernah menyebutkan secara eksplisit. Anak bodoh itu sungguh menyusahkan.

“Benar, sepertinya memang begitu. Anak saya mengaku, karena urusan cinta, dia sempat emosi dan memukul juniornya. Dia pun sangat menyesal. Karena itu, saya berharap masalah ini bisa diselesaikan secara damai.”

Sekolah tentu tidak ingin skandal seperti ini menjadi konsumsi publik. Jadi, kepentingan kami sebenarnya selaras.

“Begitu ya. Seandainya kami mendengar kata-kata itu lebih awal… Kami sebenarnya sudah sempat berbicara langsung dengan putra Anda. Anda belum tahu?”

Kepala sekolah tetap bersikap menghindar.

“Itu saya tidak tahu. Namanya juga anak remaja. Mungkin dia tidak mau menunjukkan sisi lemahnya kepada orang tua. Tapi, anak saya sedang bersiap untuk masuk universitas. Kami juga mempertimbangkan jalur rekomendasi olahraga, dan pihak universitas pun sudah memberi respons positif. Kalau masalah ini tersebar, bisa jadi hambatan besar baginya. Saya rasa, para guru juga mengerti. Skandal seperti ini akan dengan cepat jadi bahan media. Kalau bisa, kita semua tentu lebih memilih agar hal ini tidak sampai ke publik.”

Kata-kataku membuat dua guru itu tampak sedikit tegang. Sepertinya ancamanku mulai mempan.

Guru muda yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara.

“Hanya sekadar pertengkaran anak-anak, katanya?”

“Benar. Zaman saya muda dulu, anak-anak bertengkar dan saling pukul itu biasa. Tapi sekarang, orang tua terlalu heboh. Saya akan bicara langsung pada orang tua korban dan menyampaikan permintaan maaf dengan tulus. Tentu, saya juga akan menunjukkan itikad baik secara finansial. Karena itu, saya harap pihak sekolah juga bisa menyelesaikan ini dengan damai. Kalau sampai masalah ini bocor, reputasi sekolah dan jumlah pendaftar bisa turun. Semua dirugikan.”

Sekarang saatnya aku mulai mengintimidasi. Guru muda itu kembali bicara.

“Menyelesaikan dengan damai berarti menyuruh pihak sekolah untuk menutup-nutupi?”

“Kata ‘menutupi’ terdengar kasar. Tapi, saya punya banyak koneksi karena pekerjaan saya. Jadi, asal pihak sekolah tidak melakukan gerakan mencolok, semuanya akan terkendali. Tidak akan ada berita buruk yang muncul. Bukankah itu saling menguntungkan?”

Takayanagi tampak membeku dan menghela napas kecil. Aha, jadi dia tipe orang seperti itu rupanya.

“…Jangan main-main.”

Ternyata dia tipe guru idealis yang langka zaman sekarang.

“Pak Takayanagi, anggap saja ini urusan bisnis. Kalau Anda dan rekan-rekan bersikap kooperatif, saya pun bisa memberikan banyak keuntungan di masa depan. Atau, Anda lebih memilih menjadi musuh saya dan hidup susah selamanya?”

Topeng kesopananku sudah kulepas. Sekarang tinggal menekan mereka dengan kekuasaan.

“…”

Dia terdiam. Sepertinya naluri mempertahankan diri mulai bekerja. Yah, manusia memang begitu.

“Sekarang Anda mengerti, bukan? Anak saya punya masa depan yang cerah. Ayolah, bersikap dewasa sedikit. Masalah ini cuma pertengkaran anak-anak. Katanya memukul, tapi bukannya hanya bercanda? Kalau ini sampai jadi besar, artinya Anda gagal memanajemen konflik. Enak ya jadi PNS, kalau di perusahaan swasta, Anda pasti sudah dipecat, dipecat!”

Begitu aku meluncurkan omelan itu, guru muda itu mulai gemetar. Sensasi mendominasi seseorang dengan kekuatan seperti ini benar-benar memuaskan.

“Maaf, tapi…”

Kulihat wajah Takayanagi yang sedang menahan amarah. Tapi, anak muda seperti dia tak bisa berbuat banyak.

Cuma guru, siapa sih dia?

“Tenang, Takayanagi. Tolong jangan terpancing.”

Kepala sekolah buru-buru menengahi. Pengalaman memang bicara. Dia tahu bagaimana bermain aman.

“Tapi, Kepala Sekolah…”

Wajah Takayanagi yang kesal dan penuh emosi itu membuatku yakin: aku menang.

“Pak Takayanagi. Anda masih muda, biarkan kepala sekolah yang lebih senior mengurus ini. Maaf ya, Pak Kondo…”

Kepala sekolah ini seperti kakek lembut yang takut masalah. Tapi justru itu bagus—membuat segalanya lebih mudah.

“Ya, saya tahu Kepala Sekolah orang yang bijak. Kalau begitu, untuk ke depannya…”

Namun, sebelum aku selesai bicara, kepala sekolah tiba-tiba membanting meja keras.

GUBRAK! Suara keras bergema.

“Apa-apaan…”

Kaget, aku tanpa sadar mengeluarkan suara lemah.

“Hanya pertengkaran anak-anak, katamu! Malu dong, MALU!! Karena anakmu itu, masa depan seorang siswa SMA hampir hancur berantakan!”

Suara marah kepala sekolah menggema di ruangan, tak bisa dipercaya bahwa itu suara orang yang tadi tampak ramah.

“Apa…?”

Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Dan satu hal lagi! Aku tidak akan membiarkan bawahanku dihina lebih jauh! Guru Takayanagi tidak pantas diperlakukan seenaknya oleh orang sepertimu!!”

Amarah dahsyat itu kini sepenuhnya diarahkan kepadaku.


Chapter 83: Orang Tua Rewel vs Kepala Sekolah sebagai Pendidik

POV Takayanagi

Untuk pertama kalinya, kepala sekolah benar-benar marah dan mengangkat suaranya. Baik aku maupun Anggota Dewan Kondo langsung membeku. Aku pernah dengar bahwa saat masih aktif di klub rugby dulu, beliau dijuluki "Prajurit Ganas". Tapi karena selama ini beliau selalu tersenyum ramah dan tak pernah memarahi siapa pun, aku mengira itu cuma bualan yang dilebih-lebihkan.

Namun sekarang, aku sadar kalau cerita itu memang benar adanya.

Bahkan sang anggota dewan yang berniat menekan pihak sekolah pun terintimidasi oleh aura kepemimpinan kepala sekolah. Beliau pun melanjutkan:

"Ketika kami mencoba berbicara dengan sopan, Anda malah lancang bicara seenaknya. Dengarkan baik-baik. Anda adalah seorang anggota dewan kota. Seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat. Dalam urusan keluarga pun, Anda adalah orang pertama yang seharusnya merasa bertanggung jawab. Tapi bukannya begitu, Anda malah menghina guru seperti Takayanagi yang menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Itu sungguh keterlaluan. Anda dibayar oleh pajak rakyat dan punya tanggung jawab moral. Namun Anda malah datang ke sekolah, menyuruh kami menutupi kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak Anda. Jangan main-main. Itu penghianatan terhadap kepercayaan warga yang memilih Anda!"

Nada suara kepala sekolah tetap tegas tanpa menurun sedikit pun, saat beliau melontarkan argumen demi argumen yang tak terbantahkan. Aku hampir saja berdiri dan bertepuk tangan atas keberanian beliau menolak perintah anggota dewan itu secara terang-terangan.

Setelah membeku sesaat, anggota dewan akhirnya membuka mulut untuk melawan.

"Kalau ini sampai tersebar, bagaimana dengan nama baik sekolah? Karena kepala sekolah seperti Anda yang sok benar dan menjunjung tinggi keadilan, nama besar dan sejarah sekolah ini bisa rusak!"

Namun, kepala sekolah tetap tak gentar dan menjawab tanpa ragu:

"Kalau nama baik sekolah bisa rusak hanya karena hal seperti ini, lalu apa yang bisa kita banggakan? Justru, kalau kita sampai ditegur hanya karena memilih membela korban, saya akan malu sebagai kepala sekolah. Dengarkan baik-baik. Kalau kita membiarkan kekerasan dan perundungan terjadi demi menjaga nama besar dan sejarah, itu sama sekali tak ada nilainya. Tradisi yang pantas dibanggakan adalah yang dibangun oleh para siswa satu per satu selama mereka belajar di sekolah ini. Kalau kita korbankan masa depan anak-anak demi masa lalu, maka kita benar-benar sudah salah arah tentang tujuan pendidikan."

“Na…!”

Anggota dewan Kondo terdiam, seolah tidak percaya dirinya ditolak mentah-mentah.

"Kalau seorang guru tak bisa melindungi satu murid saja, maka dia tak layak disebut pendidik. Demi melindungi siswa, harga diri dan reputasi bisa dikorbankan. Itu harga murah. Anda sendiri, Pak Kondo, sepertinya telah salah paham."

“Tapi, anak saya juga murid di sekolah ini. Sekolah punya kewajiban melindungi dia juga. Kalau masalah ini terbuka, reputasi Anda dan guru-guru lainnya juga bisa rusak…”

"Anak Anda telah melakukan sesuatu yang secara hukum tidak boleh dilakukan. Mengajarkan hal itu juga merupakan tugas guru. Melindungi tidak sama dengan memanjakan. Kalau dia melakukan kesalahan, maka dia harus didorong untuk menebusnya. Itulah juga bagian dari pendidikan. Justru, kalau kami menutupi kejahatan seperti ini, reputasi sekolah yang akan benar-benar rusak. Penilaian terhadap kami juga akan jatuh. Justru pola pikir seperti Andalah yang seharusnya merasa malu!"

Wajah Kondo memerah, tapi dia tampak tidak bisa membantah kebenaran dari ucapan kepala sekolah.

"Baiklah… aku mengerti. Kalian benar-benar bodoh rupanya. Padahal ini adalah kesempatan bagus. Tapi kalian malah menyia-nyiakannya. Jangan salahkan aku kalau nanti kalian menyesal. Reputasi kalian dan sekolah ini akan tercoreng selamanya."

Dengan kalimat penuh dendam itu, Anggota Dewan Kondo membuka pintu dengan kasar dan keluar meninggalkan ruangan.

Aku dan kepala sekolah saling berpandangan. Lalu, beliau tersenyum.

“Pak Takayanagi, apa pun yang dia katakan, saya bangga dengan tindakan Anda. Jangan khawatir. Dan… waktu ultimatum sudah habis. Tak perlu menahan diri lagi.”

Kepala sekolah pun membuka pintu yang mengarah ke ruang tamu sebelah.

Di sana, orang dari surat kabar yang sebelumnya kami ajak berdiskusi, serta putra dari pria yang diselamatkan oleh Aono dan kawan-kawan, sedang menunggu dengan senyum kecut.

Ternyata, pria yang diselamatkan itu adalah Yamada-san, mantan Ketua DPRD Prefektur yang kini sudah pensiun karena usia lanjut. Sekarang, jabatan itu telah diwarisi oleh anak laki-lakinya—anggota dewan prefektur saat ini.

Anggota dewan Yamada pun menundukkan kepala dengan raut menyesal.

“Tak kusangka, Anggota Dewan Kondo adalah orang seperti itu… Saya malu karena kami berasal dari partai yang sama. Masalah ini akan kami tangani dari pihak kami juga.”

Wartawan yang ada di ruangan juga menimpali dengan nada tergesa.

“Maaf, tapi… semua yang dikatakannya tadi terekam jelas dalam voice recorder kami…”

Seolah-olah aku bisa mendengar suara Anggota Dewan Kondo yang sedang tergelincir jatuh dari tebing reputasinya.


Chapter 84: Tragedi Hari Senin Berdarah (Klub Sepak Bola)

POV Ueda dari Klub Sepak Bola, Saat Jam Istirahat

Kami baru saja kembali dari kantin menuju kelas. Jam sudah lewat pukul 12.30.

Saat aku berjalan santai di lorong, ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar pelan. Ada notifikasi pesan dari grup LINE internal klub sepak bola.

"Gawat. Kak Kondo kabarnya kabur."

"Hah!?"

"Tadi pas pengumuman soal insiden kekerasan di pertemuan seluruh sekolah, si Amada pingsan kan? Nah, katanya ada yang lihat si senior lari keluar dari aula saat semua orang panik."

"Gila, serius? Kita semua ikut terseret gara-gara dia, tapi dia malah yang pertama kabur! Dasar pengecut!"

"Artinya, polisi udah turun tangan soal kasusnya Kondo-senpai. Kita juga bisa kena nih."

"Sejauh mana sih yang ketahuan? Kita bantu nyebarin info juga kan. Apa karena ikut ngebully juga? Sebenernya batas kekerasan itu sampai mana sih...?"

"Gimana dong? Gue butuh masuk minimal empat besar tingkat provinsi buat dapet rekomendasi masuk universitas. Bisa-bisa gue gagal ikut turnamen."

"Mana bisa ikut, bego!"

"Hei, jangan kasar ke senior dong..."

Benar-benar seperti neraka. Semua orang menangis dan panik. Rasanya darahku mengalir mundur. Kalau bisa tumbang, aku yang ingin pingsan duluan.

Namun, api neraka itu baru saja diberi bahan bakar tambahan...

"Eh, tapi kalau polisi udah nyasar ke Kondo, pasti ada yang bocorin. Berarti di antara kita ada pengkhianat."

"Iya juga. Polisi nggak mungkin bisa gerak secepat itu tanpa info dari dalam."

"Eh, barusan pelatih ngabarin. Katanya kegiatan klub sepak bola sementara dihentikan. Katanya belum bisa jelasin detailnya."

"Apa!? Serius?"

"Klub sepak bola bakal jadi target. Kita semua habis..."

"Kapten juga dipanggil guru wali dan dibawa ke ruang kelas lain."

Kejadian demi kejadian berlangsung secara real time. Semua orang diselimuti rasa takut. Bisa jadi, akulah yang berikutnya dipanggil.

Tidak, bukan bisa jadi—tapi pasti aku atau Aida. Soalnya, kemarin kami udah dipanggil buat ditanyai soal ini. Waktu itu sih beres tanpa masalah, jadi aku pikir aman. Tapi… mungkin saja itu jebakan. Kalau memang begitu…

Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema di lorong. Aku menoleh dengan rasa ngeri—dan mendapati Kepala Tingkat, Iwai, berdiri sambil tersenyum ramah. Aku sempat lega karena itu bukan wali kelasku, Takayanagi. Tapi...

Dengan senyum dingin, kepala tingkat itu berkata:

"Maaf ya, Ueda. Aku ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Bisa ikut aku ke ruang bimbingan siswa?"

Naluri langsung memberi alarm bahaya. Aku berusaha menghindar.

"U-uh… tapi habis ini aku ada pelajaran. Lagipula..."

"Tenang. Mulai sekarang, ada hal yang lebih penting dari pelajaran yang harus kamu pelajari. Guru berikutnya juga sudah kami beri tahu. Dan kamu pasti sadar ada alasan kenapa kamu dipanggil, kan?"

"E-eh... itu..."

Aku tak bisa berkata-kata. Wajah guru itu berubah menjadi lebih dingin dan tegas.

"Jangan coba-coba lari. Kami sudah tahu semuanya."

Dia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya dan menunjukkan padaku.

Itu adalah salinan percakapan dari grup LINE anak-anak kelas 2 klub sepak bola.

Di sana tertulis rencana lengkap aku dan Aida saat hendak mengganggu Aono.

"Dasarnya, Aono tuh nggak pantas pacaran sama Amada-san. Nggak selevel lah."

"Iya. Para senior juga bilang kita yang sekelas harus ngajarin dia. Jadi udah nggak ada pilihan lain."

"Apalagi denger-denger dia pernah kasar sama pacarnya. Nggak bisa dibiarkan, bro."

"Kalau udah disuruh langsung sama Kondo-senpai dan kapten, ya kita harus jalanin dong."

"Oke, habis latihan pagi, kumpul di kelas kita ya!"

Percakapan yang seharusnya aman dalam lingkup internal, ternyata bisa bocor. Kenapa bisa…!?

Jawabannya langsung jelas. Seseorang telah menjual kami demi menyelamatkan diri sendiri.

"Bukan begitu, Pak… Itu cuma buat bercanda, kami nggak serius..."

"Begitu ya, begitu ya. Tapi tadi kan kepala sekolah udah bilang: ‘Siapa pun yang merasa terlibat atau tahu sesuatu, harap melapor ke wali kelas sebelum pukul 12 siang.’ Beliau juga bilang, ini adalah ultimatum terakhir. Kamu paham maksudnya, kan? Sekarang, ayo kita bicara lebih jauh di ruang bimbingan siswa. Tenang saja, kita punya banyak waktu untuk ngobrol."

Aku merasa seolah lantai tempatku berpijak ambruk.

Hari itu, di sekolah kami, dimulailah tindakan disipliner massal yang kemudian dikenal dengan nama "Pembersihan Besar Klub Sepak Bola" atau "Insiden Hari Senin Berdarah".


Chapter 85: Penghakiman untuk Klub Sepak Bola

POV Kapten Klub Sepak Bola

Aku dibawa oleh wali kelasku ke ruang persiapan kimia yang sedang kosong.

Suasana yang tidak biasa membuat firasatku memburuk.

Tidak, sebenarnya aku sudah tahu… hanya saja aku tidak ingin mengakuinya.

Foto-foto soal Kondo sudah tersebar. Maka dari itu, penyelidikan pasti akan semakin mendalam. Dan dalam proses itu, semuanya pasti terbongkar. Itu adalah kesimpulan paling masuk akal.

Di ruangan itu, sudah ada wakil kepala sekolah.

"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?"

Pria paruh baya yang biasanya berperilaku santai dan berbicara dengan sopan itu, kini terasa seperti algojo yang tak mengenal belas kasihan.

"Saya tidak tahu."

Aku tetap mencoba membantah, meskipun tahu itu sia-sia.

"Begitu, ya. Padahal saya menaruh harapan besar pada klub sepak bola. Setiap tahun kalian selalu memberikan hasil di tingkat prefektur. Padahal kalian ada di sekolah negeri, dengan segala keterbatasan, tetap berjuang dengan gagah. Tapi entah sejak kapan kalian mulai jadi sombong. Orang yang memiliki kekuatan sering kali tenggelam dalam kekuatannya sendiri. Dan kami para guru, yang gagal mengarahkan kalian, juga turut bersalah. Saya benar-benar menyesalinya."

Nada bicaranya seolah berkata bahwa mereka sudah mengetahui segalanya.

"..."

Jantungku berdebar semakin cepat. Tidak ada jalan untuk melarikan diri.

"Pihak sekolah sudah mengonfirmasi bukti dari berbagai tindakan bermasalah Kondo. Kami juga sudah mendapatkan bukti keterlibatan klub sepak bola secara sistematis dalam kasus perundungan terhadap Aono Eiji, siswa kelas 2."

Dengan tenang dan logis, wakil kepala sekolah terus menekanku seperti detektif dalam novel misteri.

"Saya tidak melakukan apa-apa…"

Sebelum aku menyelesaikan kalimat, dia menggeleng pelan.

"Kami tahu itu bohong. Jadi, jangan membuang-buang waktu. Memang benar kamu tidak terlibat secara langsung. Tapi kamu telah memberi instruksi kepada adik kelas untuk melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap Aono Eiji. Ini adalah log percakapan dari aplikasi pesan yang kalian gunakan. Kami juga sudah melacak akun media sosial alternatif milikmu. Kamu menyebarkan informasi palsu dan memprovokasi adik kelas. Hanya untuk konfirmasi, apakah benar kamu salah satu dalang utama dalam perundungan ini?"

Keringat dingin, jantung berdebar, penyesalan, dan ketakutan datang menghantam sekaligus.

Didorong oleh tekanan itu, aku akhirnya mengakui segalanya.

"Iya… Saya memang keterlaluan. Saya minta maaf. Saya sudah membuat sekolah repot. Tapi mulai sekarang saya akan bertobat, dan lebih fokus lagi pada sepak bola…"

Aku mencoba melanjutkan pembelaan dan penyesalan dengan penuh semangat, namun—

Wakil kepala sekolah menepukkan tangan, memotong ucapanku.

"Minta maaf? Membuat sekolah repot? Ingin lebih semangat main sepak bola? Kamu benar-benar serius mengatakan itu?"

Nada suaranya sempat memberiku secercah harapan. Aku buru-buru mengangguk.

"Iya. Ini bukan kebohongan. Mulai sekarang saya akan serius..."

"Orang pertama yang harus kamu minta maaf adalah Aono Eiji!!"

Suara keras yang belum pernah aku dengar darinya sebelumnya mengguncangku.

Aku hanya bisa terpaku menatap sumber suara itu.

"Pertama-tama, minta maaflah pada korban! Ini bukan waktunya untuk memikirkan dirimu sendiri atau mencari aman. Perundungan adalah kejahatan. Zaman di mana itu bisa dimaafkan sudah berakhir! Yang kamu lakukan adalah merusak kehidupan satu orang. Kamu jelas belum memahami arti sebenarnya dari perbuatanmu! Orang tua Aono sudah mengajukan laporan polisi terkait perundungan ini. Kemungkinan besar, para siswa yang terlibat, termasuk klub sepak bola, juga akan dituntut secara perdata untuk ganti rugi. Dalam kasus itu, kalian sebagai siswa tidak bisa berbuat banyak. Orang tua kalianlah yang akan menanggung akibatnya. Kamu yang seharusnya melindungi para anggota klub sebagai kapten, malah menjatuhkan mereka ke neraka. Kamu gagal sebagai seorang kapten!"

Kata-katanya seperti pisau es kering yang menusuk langsung ke jantung.

Wakil kepala sekolah menatapku dengan dingin tanpa belas kasihan.

"Lalu… bagaimana nasib klub sepak bola?"

"Baiklah. Saya akan jawab. Banyak anggota yang terlibat dalam kasus ini akan menerima hukuman berat. Menurutmu, sekolah akan membiarkan klub yang menjadi sarang perundungan terus beroperasi? Klub sepak bola saat ini sedang dalam tahap pembubaran. Tentu saja, kalian tidak akan diizinkan ikut turnamen apapun."

"Kalau nggak masuk empat besar, saya… saya nggak bisa dapet rekomendasi masuk universitas lewat jalur olahraga…"

"Apa yang kamu pikirkan? Sekolah tidak akan memberikan rekomendasi pada siswa dengan catatan perilaku buruk. Kalian sendiri yang menghancurkan masa depan cemerlang yang kalian miliki. Sama seperti yang kalian coba lakukan pada Aono Eiji. Lewat hasil ini, kalian harus benar-benar memahami seberapa berat dosa yang telah kalian perbuat."

Setelah berkata demikian, wakil kepala sekolah meninggalkan ruang persiapan.

Aku terisak sambil membenamkan wajah ke meja.

Kemungkinan besar, anggota klub sepak bola yang lain sekarang juga mengalami hal yang sama.

Dan, seiring dengan itu, rasa marah dan kekecewaanku pada Kondo—orang yang menyebabkan semua ini—mulai membuncah dalam dadaku.


Chapter 86: Penghargaan untuk Eiji & Kondo dan Polisi

"Piagam Penghargaan. Kepada Siswa Aono Eiji. Anda telah berjasa dalam memberikan pertolongan cepat dan tepat kepada seorang pria yang pingsan di depan Stasiun Kota ○○ beberapa waktu lalu. Berkat tindakan Anda, nyawa yang berharga berhasil diselamatkan. Kami menyampaikan penghargaan yang setulus-tulusnya. Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kota ○○, Okita Shouji."

Ini adalah kali kedua hari ini seluruh siswa dikumpulkan dalam upacara sekolah, dan aku sedang menerima penghargaan.

Tepuk tangan meriah menggema di seluruh aula.

Petugas pemadam kebakaran datang langsung ke sekolah untuk memberikan penghargaan karena aku turut membantu dalam penyelamatan lewat pengadaan AED dan tindakan darurat lainnya.

Ternyata, pria paruh baya yang kami tolong waktu itu selamat berkat pertolongan yang tepat.

Kejadian ini juga akan dimuat dalam buletin sekolah, koran sekolah, dan bahkan koran lokal kabarnya akan menyorotinya besar-besaran.

Setelah upacara ini, akan ada sesi wawancara, dan itu membuatku gugup.

Tepat setelahku, nama Ichijou-san juga dibacakan dengan naskah yang sama. Sekali lagi, aula dipenuhi tepuk tangan.

"Aono-kun, Ichijou-san. Kalian masih pelajar, tapi sudah bergerak cepat memberi pertolongan pertama. Para perawat juga memuji kalian, lho. Dokternya juga bilang, kalau kalian tidak bergerak tepat waktu, nyawanya bisa terancam. Berkat kalian, nyawa yang sangat berharga bisa diselamatkan. Kalian benar-benar pahlawan."

Ucap petugas pemadam kebakaran berpangkat tinggi dengan senyum hangat dalam suara pelan.

"Tidak, saya tidak bisa melakukan apa-apa sendiri. Saya hanya bisa melakukannya karena orang-orang di sekitar ikut membantu…"

"Saya juga. Karena para senior memberi arahan, saya baru bisa bertindak. Saya justru ragu apakah pantas menerima ini, karena semua berkat bantuan banyak orang."

Mendengar jawaban kami, kepala dinas itu tertawa kecil.

"Wah, kalian ini masih siswa SMA, lho. Dulu saat seumuran kalian, saya hanya mikirin latihan klub dan belajar. Bisa langsung bertindak saja itu luar biasa. Lebih baik berbuat baik meskipun kecil, daripada tidak berbuat apa-apa. Yang kalian lakukan itu sungguh hebat. Kalian pantas mendapat pujian. Jadi, tolong hargai diri kalian sendiri, ya. Kalian layak mendapatkannya."

Kata-kata itu entah kenapa membuat hatiku terasa lebih ringan.

Aku menoleh ke arah panggung. Kulihat jumlah siswa sekelasku sudah jauh berkurang. Mungkin tinggal lima orang.

Miyuki juga, seperti yang kuduga, tidak ada.

Aku teringat ucapan Pak Takayanagi bahwa penyelidikan terhadap siswa yang terlibat dalam kasus kali ini sedang berjalan.

Siswa-siswa yang tidak hadir di sini… mungkinkah mereka adalah bagian dari itu?

Tidak, tak ada gunanya memikirkannya sekarang.

Yang harus kulakukan pertama adalah menerima dan mengakui diriku sendiri.

"Selamat, Senpai!"

Ucap adik kelas yang berdiri di sebelahku dengan wajah bangga menatapku.

"Terima kasih, Ichijou-san."

Mungkin belum tepat mengatakan “selalu” kepada seorang gadis yang baru kukenal seminggu.

Tapi bukan soal waktu—melainkan kedalaman pengalaman yang kami lalui bersama.

Aku bisa berada di sini sekarang, berkat dia…

**

Rumah Keluarga Kondo (POV Kondo)

"Permisi. Kami dari kepolisian. Apakah ini rumah Tuan Kondo? Kami datang karena ingin menanyakan sesuatu terkait putra Anda. Bisa tolong bukakan gerbangnya?"

Sore hari. Aku mendengar suara ketukan di gerbang.

Saat mengintip kamera pengawas, beberapa polisi berseragam terlihat menunggu di depan.

"Hah!?"

Tanpa sadar aku mengeluarkan suara kaget yang menyedihkan.

Apa-apaan ini? Tidak mungkin aku akan ditangkap. Ayahku kan sudah turun tangan!

Kami ini "warga kelas atas". Tidak mungkin ditangkap. Ini pasti kesalahan. Atau mimpi…

Namun saat aku panik dan bergegas, kakiku menabrak meja. Sakitnya luar biasa.

Dan saat itulah aku sadar—ini bukan mimpi.

"Halo, Tuan Kondo? Tolong bukakan gerbangnya. Setidaknya izinkan kami berbicara sebentar, ya?"

Rasanya seperti ada guillotine dingin yang menanti di balik pintu. Dadaku sesak.

"Aku harus kabur."

Dengan pikiran itu, aku nekat memanjat pagar—sementara para polisi masih berjaga—dan berlari secepat-cepatnya.

Tapi…

"Hei, dia kabur!!"

Sial, mereka terlalu cepat menyadarinya!

Tanpa arah yang jelas, aku hanya bisa berlari sekuat tenaga.

Entah kenapa, kakiku membawaku ke arah sekolah.

"Hei! Berhenti!!"

Teriakan keras memburu dari belakang.

Tanpa suara, takhta tempatku duduk selama ini mulai runtuh.

Aku pun hanya bisa terus berlari di jalan menuju keputusasaan.

Episode 87: Pelarian Kondo

POV Kondo

"Sial, kenapa bisa begini. Aku ini bintang utama klub sepak bola, calon pemain timnas Jepang di masa depan…"

Tak peduli seberapa keras aku mencoba menaikkan rasa percaya diri, teriakan polisi yang mengejarku tak kunjung berhenti.

"Jangan lari! Ayo, kepung dari arah lain!"

Mendengar itu, aku sengaja lari ke gang sempit. Karena aku kabur lewat rute sekolah yang sudah sangat kukenal, aku bisa langsung tahu dari mana saja mereka akan mencoba mengepungku.

Untungnya aku memakai baju santai dan sepatu lari, jadi kondisi tubuhku sedang prima.

Sial, kalau sudah seperti ini, aku akan kabur sampai akhir.

Polisi tetaplah polisi—tidak mungkin mereka bisa mengimbangi kemampuan atletik bintang sepak bola!

Aku tidak menyangka harus berlari lebih banyak dari pertandingan sepak bola, tapi di saat-saat genting seperti ini, ternyata tubuhku bisa bergerak cukup hebat juga.

Aku akan terus lari lewat jalur yang kukenal baik, lalu setelah berhasil mengecoh mereka, aku akan hubungi ayah dan minta dia atur semuanya.

"Ayo, bisakah kalian mengikuti keseriusanku ini?"

Aku menambah kecepatan. Bangunan sekolah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

**

POV Eiji

"Oke, Aono-kun, Ichijou-san. Foto ini akan dimuat di koran sore, ya. Senyumnya yang manis, ayo, ayo. Hebat, benar-benar terlihat seperti pahlawan muda. Oke, saya foto sekarang!"

Kami sedang melakukan sesi pemotretan di depan gerbang sekolah setelah wawancara singkat. Kami berdua memegang piagam penghargaan dari kepala dinas pemadam kebakaran dan berpose di depan papan nama sekolah.

Wawancara kami sebelumnya katanya juga akan ditayangkan di berita TV. Rasanya malu, tapi ada juga rasa bangga dalam hati.

Aku sempat berpikir untuk membawa koran sore itu ke makam Ayah nanti. Memang baru bulan lalu aku ziarah waktu Obon, tapi aku ingin melaporkan hal seperti ini secara langsung.

"Oke, keren, tetap begitu ya, saya ambil beberapa foto lagi."

Fotografer tersenyum hangat, mencoba membuat kami rileks sambil terus mengambil gambar.

Ichijou-san, yang berdiri di sebelahku dan ikut difoto, tersenyum lebar sambil berbisik pelan.

"Ini foto berdua kita yang pertama ya… rasanya senang sekali."

Melihat wajahnya yang memerah setelah berkata seperti itu, aku juga ikut tersipu. Beberapa siswa yang menonton dari kejauhan terlihat heboh sendiri.

Rasanya, penghargaan hari ini benar-benar mengubah segalanya.

Kalau sebelumnya aku sering merasa ditatap dengan benci, kini ada perubahan—lebih banyak tatapan hangat atau bingung.

Mungkin mereka sedang mempertanyakan: Haruskah percaya padaku atau pada Miyuki dan Kondo?

"Senpai. Akan selalu ada orang yang mengerti kamu seperti hari ini. Setidaknya aku, meski seluruh dunia memusuhimu, akan tetap di pihakmu. Jadi, biarkan saja orang-orang yang mudah membalikkan sikap. Mulai sekarang, mari kita nikmati hari-hari bersama, ya."

Itu terdengar seperti sebuah pengakuan.

Mendengar kata-katanya, jantungku berdetak lebih kencang.

"Terima kasih. Berkat kamu, aku merasa hari-hari SMA ku ke depannya akan lebih menyenangkan."

Aku menyampaikan rasa terima kasih dari lubuk hati.

Sebenarnya aku ingin melangkah lebih jauh… tapi ini bukan tempat yang tepat, bukan di depan banyak orang. Jadi, aku tahan dulu.

"Seminggu sejak aku bertemu Senpai rasanya jauh lebih berharga daripada bertahun-tahun sebelum itu."

Ia mengucapkannya hanya agar bisa kudengar sendiri.

Kami mulai merasakan sesuatu yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata—seperti saling mengerti secara alami.

**

POV Kondo

Sudah dekat. Sekolah hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.

Kalau bisa masuk ke dalam gedung, para polisi tidak akan mudah menyusul.

Setelah itu, aku bisa muter lewat pintu belakang dan lolos.

Tapi—kenyataannya berbeda dari yang kuperkirakan.

Padahal belum waktunya pulang sekolah, tapi kenapa di depan gerbang sekolah ada kerumunan besar?

Itu membuat kecepatanku melambat drastis.

Sial, kalau begini aku bakal tertangkap!

"Minggir! Tahu nggak aku ini siapa? Aku Kondo, kelas 3!"

Aku membentak sambil menerobos paksa ke depan.

"Tolong! Tangkap dia!"

Salah satu polisi berteriak dari belakang. Kerumunan mulai panik.

Bagus! Gunakan kekacauan ini untuk menghilang!

Tapi tepat saat aku melihat secercah harapan… kaki kananku menabrak sesuatu.

Keseimbanganku hilang.

"Eh!?"

Dengan suara kaget, tubuhku terlempar keras ke tanah.

Wajahku menghantam beton tanpa bisa menahan diri.

Rasa sakit yang luar biasa menusuk seluruh tubuh. Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi sakitnya membuatku menggeliat tak karuan.

Lututku juga terbentur keras. Sakit. Terlalu sakit.

Tapi kenyataan tak mau menunggu.

Dua suara terdengar di telingaku.

Satu suara polisi yang berteriak lantang, "Dapat!"

Dan satu lagi…

"Mana bisa aku biarin kamu merusak momen penting sahabatku. Orang kayak kamu cocoknya ya di tanah, bukan di atas."

Itu suara siswa laki-laki. Aku buru-buru ingin melihat siapa yang menjegalku.

Tapi polisi sudah menyerbu dan mengurungku, membuatku tak bisa mengangkat kepala.

"Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!"

Teriakanku penuh putus asa, tapi sia-sia.

Beberapa polisi berhasil membekukku dan menahanku.

Para siswa yang melihat kejadian itu terdiam sejenak, lalu seseorang berteriak:

"Eh, yang ditangkap polisi itu Kondo-senpai kelas 3, si ace tim sepak bola itu kan!?"

Sekejap kemudian, suara klik dari kamera ponsel menggema di mana-mana.


Chapter 88: Anggota Dewan Prefektur & Kejatuhan Keluarga Kondo

POV Eiji

Saat sedang melakukan sesi pemotretan, terdengar keributan dari kejauhan. Mungkin ada perkelahian?

Karena banyaknya kerumunan, aku tidak bisa melihat dengan jelas.

“Kondo-senpai… dibawa polisi…”

Suara seseorang terdengar seperti teriakan putus asa. Nama Kondo disebut. Jujur saja, aku tidak ingin ada urusan lagi dengannya. Mungkin menyadari hal itu, Ichijou-san berkata, “Yuk kita masuk. Udah mulai dingin juga. Lagipula, nggak enak kalau terlalu lama membuat keluarga bapak itu menunggu.”

Aku pun lega dan masuk ke sekolah. Keluarga pria tua yang kami tolong sedang menunggu di ruang kepala sekolah.

Ternyata, kakek itu adalah mantan anggota dewan prefektur yang sangat dihormati, dan putranya—yang datang hari ini—adalah anggota dewan aktif saat ini.

“Kalian adalah pahlawan yang telah menyelamatkan nyawa anggota keluarga kami. Jangan pikirkan saya dulu, lebih baik kalian foto dulu. Kalau cepat, mungkin bisa masuk berita sore. Setelah itu, biarkan saya mengucapkan terima kasih dengan layak.”

Begitu katanya sambil menunggu di ruang tamu.

Sang wartawan, mungkin karena naluri profesinya, lebih tertarik pada keributan yang sedang terjadi. Setelah sesi foto kami selesai, dia berkata, “Saya mau cek sebentar ya,” lalu pergi sambil membawa kameranya.

**

Ruang Tamu

Setelah semua sesi selesai, kami masuk ke ruang tamu. Di sana, anak dari kakek yang kami tolong sedang menunggu sambil minum teh. Saat kami masuk, dia langsung berdiri dan menatap kami.

“Pertama-tama, terima kasih banyak sudah menyelamatkan ayah saya. Perkenalkan, saya Yamada Masayuki, anggota dewan prefektur. Aono-kun, Ichijou-san, kalian adalah penyelamat keluarga kami. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.”

Pria paruh baya itu, yang usianya jelas jauh di atas kami, membungkuk tanpa ragu sedikit pun. Malah kami jadi sungkan.

“Ah, kami cuma bertindak spontan. Lagi pula, kami bisa bantu karena dibantu juga oleh kakak perawat yang ada di sana,” jawabku sambil mengangkat tangan menolak pujian.

“Benar, kami jadi bisa bergerak karena ada banyak orang membantu. Jadi, rasanya kami masih belum pantas menerima pujian sebesar ini,” sambung Ichijou-san.

“Perawat itu juga bilang begitu. Kalau kalian tidak bergerak duluan, dia mungkin tidak akan menyadari situasi secepat itu. Ayah saya punya riwayat jantung. Kata dokter, waktu itu benar-benar situasi kritis. Untung segera ditemukan. Jadi saya benar-benar bersyukur bisa mengucapkan terima kasih secara langsung.”

Yamada-san kembali membungkuk berkali-kali. Aku sempat berpikir, untuk ukuran seorang politikus, beliau sangat rendah hati.

“Tapi yang penting, kami senang mengetahui kakek baik-baik saja. Kami sempat khawatir.”

Mendengar itu, Yamada-san akhirnya mengangkat wajahnya.

“Kalian ini sungguh luar biasa. Tidak seperti siswa SMA pada umumnya. Ngomong-ngomong, ayah saya ingin berterima kasih langsung juga. Kalau kalian sempat, tolong datang ke rumah atau rumah sakit, ya. Kapan saja, saya bisa siapkan kendaraan penjemput.”

Dia lalu menyerahkan kartu namanya, yang mencantumkan informasi kontak serta nama dan nomor kamar rumah sakit.

“Terima kasih banyak. Kami sangat menghargainya,” jawab Ichijou-san dengan senyum tenang, seolah sudah terbiasa berada di lingkungan formal seperti ini.

Aku sendiri masih tertekan dengan suasana dewasa yang terlalu serius.

“Kalau begitu, kalau kalian mengalami kesulitan apa pun, jangan sungkan bicara. Kami tidak akan meninggalkan orang yang telah menyelamatkan keluarga kami. Kami akan membantu kalian, apapun yang terjadi.”

Yamada-san menegaskan itu dengan suara hangat dan penuh keyakinan.

Setelah itu, kami mengobrol santai untuk beberapa saat.

Kantor Pusat Grup Kondo (POV Ayah Kondo)

Saat aku sedang menandatangani beberapa dokumen di ruang kerja, sekretarisku tiba-tiba masuk dengan panik.

“Ada apa?”

Saat kutanya, wajahnya pucat pasi saat ia mengucapkan realita yang mengejutkan.

“Tadi barusan, kami menerima kabar dari polisi… bahwa Tuan Muda Seiji telah ditahan atas dugaan penganiayaan…”

Mendengar itu, tanpa sadar pena yang sedang kupegang terlepas dari tangan.

Apa yang terjadi? Memang pihak sekolah bersikap keras, tapi kenapa polisi bisa bertindak secepat ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

“Segera hubungi Pak Sawabe, pengacara kita.”

Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat itu, sang sekretaris menyerahkan telepon padaku, “Sudah tersambung.”

“Pak Sawabe. Anda pasti sudah dengar dari sekretaris. Apa yang harus kita lakukan… Jika tersebar bahwa anak saya ditangkap, semuanya akan hancur.”

Suara Pak Sawabe di seberang telepon juga terdengar panik.

“Ini benar-benar gawat. Kemungkinan besar, laporan penganiayaan telah masuk ke polisi. Saya akan langsung menuju ke kantor polisi dan mendengar langsung dari polisi serta Tuan Muda. Tapi dengan situasi yang sudah sejauh ini, satu-satunya cara adalah meminta penyelesaian damai, dan memohon agar laporan dicabut…”

“Benar, itu bisa dilakukan. Pak Sawabe, segera temui anak bodoh itu. Saya akan bayar berapa pun biayanya. Tak peduli berapa besar uang yang diperlukan, kita harus damai dan pastikan laporan itu dicabut…”

Menggantungkan harapan pada satu-satunya kemungkinan yang tersisa, detak jantungku tak bisa berhenti berdegup kencang.


Chapter 89: Tangisan Kondo & Kegelisahan Teman Sekelas

Kantor Polisi (POV Pengacara Sawabe)

Ini benar-benar masalah besar. Sebagai pengacaranya, aku segera mengajukan permintaan untuk bertemu dengan Seiji Kondo.

Langkah pertama adalah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dari pihak polisi.

“Pak Sawabe, tolong keluarkan saya dari sini. Saya nggak mau ditangkap… tolong!”

Anak yang biasanya penuh percaya diri itu kini menangis tersedu-sedu di balik kaca pembatas. Padahal, dia sudah jelas-jelas ditangkap. Dalam hati, aku mengeluh keras.

“Tenang dulu. Ceritakan semuanya dari awal. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Dengan susah payah aku mencoba menenangkannya dan menggali keterangan.

Dari informasi yang ada, polisi datang ke rumah Kondo hanya untuk meminta keterangan soal kasus pemukulan terhadap adik kelas. Saat itu belum ada surat penangkapan. Mungkin hanya permintaan keterangan secara sukarela. Tapi Kondo panik dan malah kabur.

Yang lebih parah, saat kabur lewat gang, dia sempat melempar barang ke arah polisi.

Kemungkinan besar, itu dianggap sebagai penghalangan tugas alias perlawanan terhadap aparat, sehingga polisi memutuskan langsung membawanya.

Padahal kalau dia diam saja, semuanya bisa diselesaikan dengan lebih ringan. Tapi sekarang? Bagaimana cara menutupi ini semua? Apa masih mungkin?

Pihak kepolisian kini menganggap Kondo berisiko kabur dan telah melakukan kekerasan terhadap aparat. Makanya mereka bertindak tegas.

“Dengar baik-baik, Seiji. Jangan lakukan apapun lagi. Apapun yang polisi tanyakan, tetap diam. Diam saja. Mengerti?”

Anak manja yang tidak tahu dunia luar ini, hanya itu satu-satunya strategi yang bisa kupakai.

“Tapi, saya takut… tolong, Pak. Karier cemerlang saya bisa hancur karena ini…”

Dia benar-benar panik. Sungguh memusingkan. Bagaimana aku harus menangani bocah bodoh seperti ini?

“Pak… saya masih bisa main bola kan? Tolong bilang bisa! Saya mau jadi pemain bola… Saya ingin main bola yang bikin dunia terkejut… sepak bola kitaaa…”

Lalu ia pun mulai menangis tersedu-sedu seperti bayi.

Seorang siswa SMA yang selama ini penuh percaya diri, kini berubah jadi bayi besar yang tak tahu harus berbuat apa. Apa lagi yang bisa kulakukan? “Sepak bola kita”? Apaan itu, seriusan…

Aku hampir ikut menangis karena frustrasi.

**

POV Amada Miyuki

Dari UKS, aku kembali ke kelas. Guru bilang, aku harus menjalani skors di rumah sampai keputusan akhir keluar. Mungkin akan jadi hukuman berat, katanya.

Dengan hati yang hancur, aku masuk ke kelas. Temanku, Murata Ritsu, langsung menghampiri.

“Miyuki… kamu nyembunyiin sesuatu dari kami, ya? Barusan Kondo-senpai dibawa polisi dari depan gerbang sekolah. Tapi kamu bilangnya, kamu dipukul sama Aono-kun, dan Kondo-senpai yang nyelametin kamu, kan?”

Ritsu terlihat panik.

Teman-teman sekelas lainnya juga melihat ke arahku.

Seolah-olah aku ini penjahat. Persis seperti yang pernah kami lakukan pada Eiji. Sekarang, semua itu berbalik ke arahku. Aku mulai gemetar hebat, nyaris menangis.

Apa Eiji juga harus tahan menanggung kebencian sebanyak ini? Betapa mengerikannya…

“Maaf…”

Itu satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulutku.

“Kenapa kamu minta maaf, Miyuki? Jadi kamu bohong ke kami? Kami percaya kamu karena kamu selalu baik, pintar, dan ramah. Tapi sekarang? Kami juga bisa kena hukuman karena kamu, tahu!”

Ucapan dingin Ritsu menampar keras. Saat itu juga aku sadar seberapa berat dosa yang telah kulakukan. Aku tahu sejak awal bahwa ini tidak bisa dimaafkan… Tapi ternyata, beban kesalahan itu lebih berat dari yang kubayangkan.

“Maafkan aku. Aku mengkhianati Eiji. Dan karena takut kebohonganku terbongkar, aku berbohong ke kalian semua…”

Yang bisa kulakukan hanya meminta maaf.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menebus semuanya.

Kelas pun diliputi suasana yang penuh ketegangan dan keputusasaan.

**

POV Ayah Kondo

“Pak Direktur. Kami sudah tahu siapa yang kemungkinan besar melapor ke polisi. Namanya Aono Eiji. Banyak siswa yang membicarakannya. Katanya, keluarganya mengelola restoran ‘Kitchen Aono’ di dekat stasiun.”

Laporan dari sekretarisku yang kukirim ke sekolah masuk dengan cepat. Dia bahkan langsung mengirimkan lokasi restoran itu ke ponselku.

Dengan ini, aku bisa langsung pergi dan bicara dengan mereka.

Tidak masalah. Segalanya bisa dibeli dengan uang.

Apa pun caranya, aku harus menjadikan ini kasus damai.

Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri.

Tanpa membuang waktu, aku segera melajukan mobil mewahku.


Chapter 90: Kemuliaan Terakhir Anggota Dewan Kota Kondo

POV Ayah Kondo

Jadi ini restoran Kitchen Aono yang dibicarakan orang.

Sesuai informasi dari sekretarisku, aku datang ke tempat ini. Sebuah restoran bergaya klasik yang tenang, menyuguhkan hidangan bergaya Barat.

Menurut data, pemilik restoran sebelumnya, ayah dari Eiji Aono, sudah meninggal karena sakit beberapa tahun lalu. Kini, restoran ini dijalankan oleh ibu dan kakaknya. Ini kabar bagus. Dalam keluarga seperti itu, biasanya mereka kekurangan uang. Maka, walaupun awalnya menolak, kalau ditawarkan uang dalam jumlah besar… mereka pasti akan setuju untuk damai.

Aku membuka pintu. Seharusnya ini masih di luar jam buka.

“Selamat da— Mohon maaf, restoran belum buka. Ada keperluan apa, Tuan Kondo?”

Yang menyambutku adalah ibu Eiji Aono.

Dan melihat dari cara dia langsung mengenaliku, besar kemungkinan dia adalah orang yang melaporkan anakku ke polisi.

“Anda ibu dari Eiji Aono, benar?”

Aku berpura-pura sopan, bertindak bak seorang pria terhormat.

“Benar. Tapi, ada urusan apa ya…?”

Nada bicaranya jelas-jelas menunjukkan penolakan. Sepertinya lawan ini cukup sulit.

“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf atas masalah yang ditimbulkan oleh putra saya. Saya sendiri baru tahu soal tindakan bodohnya itu. Seharusnya saya datang lebih cepat untuk meminta maaf, tapi mohon maaf atas keterlambatan ini.”

Aku menundukkan kepala dengan dalam.

“Kami tidak punya hal lagi untuk dibicarakan. Kami akan menyerahkan semuanya kepada pihak kepolisian untuk diselidiki secara menyeluruh.”

“Jangan begitu, tolonglah. Maukah Anda mencabut laporan itu? Anak saya sedang dalam masa penting: turnamen klub dan persiapan ujian masuk universitas. Saya mohon, mari kita selesaikan ini secara damai…”

“Anak saya dipukul dengan kejam! Dan Anda pikir cukup dengan permintaan maaf semuanya selesai!? Jangan main-main!!”

Dia langsung naik pitam. Merepotkan sekali.

“Tentu saja, kemarahan Anda sangat wajar. Karena itu, kami tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Kami bersedia memberikan uang ganti rugi dalam bentuk uang damai. Mohon pertimbangannya…”

Biasanya, begitu uang mulai dibicarakan, sebagian orang akan mulai goyah.

“Apa Anda pikir saya akan tergoda uang!? Betapa kurang ajarnya Anda!”

Hah, hanya pura-pura keras kepala. Baik, kalau begitu ini perang.

“Tapi, saya yakin Anda butuh uang. Eiji juga akan segera masuk universitas. Berapa pun uang yang Anda miliki, pasti akan sangat membantu. Itu bukan hal buruk, kan?”

Ayo, hadapi realita. Seharusnya dia mulai berpikir ulang sekarang.

“Jangan remehkan saya! Kalau Anda terus memaksa, saya akan panggil polisi!!”

Aduh, itu tadi kesempatan terakhirmu. Sekarang kau telah membuatku marah, nyonya tua.

“Nyonya Aono, saya ini anggota dewan kota dan juga pengusaha konstruksi. Saya ingin menyelesaikan masalah ini secara damai. Anda pasti mengerti maksud saya, bukan?”

“Apa Anda sedang mengancam saya?”

“Oh tentu tidak. Saya hanya memperkenalkan diri.”

Tentu saja ini ancaman. Sebagai anggota dewan kota, aku bisa menekan kantor pemerintahan dan mempengaruhi berbagai izin usaha. Aku juga punya uang.

“Anda ini benar-benar…”

Sepertinya dia mulai ragu. Ini saatnya menekan lebih jauh.

“Ini hanya gumaman saya sendiri, ya. Toko ini adalah warisan berharga dari mendiang suami Anda, bukan? Jadi, bukankah sebaiknya kita tidak memperbesar masalah ini? Kalau saya serius, toko ini bisa saya buat tutup dalam sekejap.”

Ayo, cepat terima uang damai. Ambil uangnya dan selesaikan semuanya.

Namun pada saat aku merasa kemenangan sudah di tangan, terdengar suara tepuk tangan dari dalam toko.

Langkah kaki perlahan dan suara tepuk tangan yang tenang mendekat ke arahku. Siapa itu? Kakaknya?

“Pidato yang luar biasa, Tuan Kondo.”

Suara tua yang serak namun ramah memanggil namaku. Jelas bukan kakaknya. Aku kenal suara itu!

Orang itu perlahan muncul sambil melepaskan topi dengan gerakan elegan bak aktor veteran.

“A… anda…”

Aku tercekat. Tak menyangka sama sekali.

“Saya tidak tahu bahwa sebagai anggota dewan kota, Anda memiliki kekuasaan sehebat itu. Sepertinya saya yang kurang belajar. Jadi tolong, ajari saya, orang tua yang sudah pensiun ini.”

Wali Kota Minamimae duduk di depanku sambil tersenyum.

Meskipun sudah pensiun beberapa tahun, ia tetap dihormati oleh para pejabat dan dewan kota, serta memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan kota.

Kenapa tokoh sebesar dia bisa berada di restoran kecil seperti ini?

Tidak masuk akal.

“Nah, Tuan Kondo. Bisakah Anda ulangi lagi? Saya ingin tahu, apa saja yang bisa Anda lakukan.”


Previous Chapter | Next Chapter

3

3 comments

  • Godok
    Godok
    20/6/25 17:35
    Kan dah kubilang kalau keluarga kakek yang diselamatin aono ama ai itu lawan politik kondo😂 bekingan aono gak main2 wkwkwk
    Reply
  • Croko
    Croko
    20/6/25 13:03
    Asli sumpah gua puas banget baca nya, Mampus Kalian.
    Reply
  • Aptos chain
    Aptos chain
    19/6/25 21:00
    Nahh waktunya
    Reply



close