NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinsei Gyakuten ~ Uwakisare, Enzai wo Kiserareta Orega, Gakuenichi no Bishoujo ni Natsukareru ~ [WN] Chapter 111 - 120

 Chapter 111: Penangkapan Anggota Dewan Kondo

— POV Anggota Dewan Kondo —

Sekretaris jenderal partai tersenyum seperti biasanya, tetapi matanya sama sekali tidak ikut tersenyum. Tatapan tajam dan penuh amarah itu membuatku langsung sadar bahwa aku telah menginjak ekor harimau.

“Eh…”

“Dengarkan baik-baik. Dalam dunia politik, kita tak bisa menggunakan kata ‘ancaman’ begitu saja. Jika kau tak punya nyali untuk menghancurkan lawan sepenuhnya, jangan pernah mencoba masuk ke dalamnya.”

Kalimat itu adalah pernyataan perang yang ditujukan padaku. Ucapan yang hanya bisa kudengar, dilontarkan dengan nada marah dan penuh tekanan.

Dan saat itu juga, aku benar-benar sadar. Inilah sosok kaum elit sejati — orang yang memutuskan nasib orang lain tanpa rasa iba, layaknya gajah yang tanpa ampun menginjak semut. Ia menyentuh pulpen di saku jasnya seakan memberi isyarat terakhir.

“Kepada semua hadirin, izinkan saya juga menyampaikan permohonan maaf yang mendalam terkait insiden yang melibatkan Anggota Dewan Kondo. Saya sungguh menyesal.”

Sekretaris jenderal dengan mudah menundukkan kepala. Aula pun langsung gempar oleh tindakan besar dari sosok penting partai. Padahal, ia tak ada sangkut pautnya dengan kasus ini secara langsung. Kenapa dia yang minta maaf? Aku yakin bukan cuma aku yang berpikir seperti itu.

“Dan demi menjaga integritas serta kedisiplinan partai, kami telah melakukan penyelidikan mendalam terhadap kasus ini. Walaupun hanya anggota dewan kota, kami tak bisa menjalankan tugas tanpa kepercayaan rakyat. Penyelidikan ini dilakukan sebagai bagian dari proses penjernihan internal. Dan kami telah menemukan sebuah fakta penting yang akan saya sampaikan sekarang.”

Peluh dingin mulai menetes dari dahiku.

“Kami menemukan dua hal. Pertama, ancaman yang dilakukan Anggota Dewan Kondo diduga merupakan tindakan yang biasa dilakukan untuk menutupi kasus anaknya. Kami sudah menyerahkan bukti kepada pihak kepolisian. Selanjutnya, tinggal menunggu keputusan hukum.”

Apa yang dia katakan? Kapan mereka menyelidikinya? Memang, aku pernah melakukan beberapa ancaman terkait kasus anakku. Tapi semuanya sudah kuhapus, kuselesaikan diam-diam. Bukti? Apa ada yang mengkhianatiku? Anak buahku? Sial, apa yang sedang terjadi?

“Kedua, mengenai pengakuan Anggota Dewan Kondo tentang masalah keuangan tadi — setelah kami memeriksa laporan keuangan dan laporan dana politiknya, kami menemukan beberapa tanda-tanda pemalsuan dan penyembunyian dana. Di tangan Anda semua saat ini, kami telah bagikan salinannya sebagai bukti. Silakan Anda lihat sendiri, Tuan Kondo.”

Aku bisa merasakan wajahku menjadi pucat. Darah seakan mengalir keluar dari tubuhku.

Suap kepada orang-orang berpengaruh seperti ketua cabang partai. Demi itu, aku memalsukan laporan keuangan, menyisihkan dana untuk digunakan seenaknya. Dengan uang itu, aku mengokohkan posisiku di dewan kota dan membuka jalan menuju pemilihan wali kota.

Semuanya telah terbongkar. Orang ini jelas berniat membuangku.

(“Ada yang mau kau katakan, Tuan Kondo? Pengusiranmu dari partai sudah diputuskan. Kami juga telah mengajukan laporan ke polisi. Kau dan ketua cabang harus dijadikan tumbal. Kami pun tahu ke mana aliran suapmu di pusat. Jika kalian berdua disingkirkan sekarang, kerusakan akan tetap terkendali. Ini semua kami anggap hanya kesalahan dua orang. Aku pun bisa menjual jasa pada faksi yang dekat denganmu. Semua ini untuk kebaikan bersama.”)

Bisikan dingin itu hanya bisa kudengar sendiri. Sebuah deklarasi skakmat. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa.

Semuanya terasa seperti orang dewasa mempermainkan mainan anak-anak. Aku hanya bisa menyaksikannya dari kejauhan dalam benakku yang kosong.

“Tidak mungkin… Aku sudah mengorbankan segalanya… Berjuang mati-matian demi semua orang… Setelah jadi wali kota, aku berniat ikut serta dalam politik nasional… Ini bohong… Ini keterlaluan… Huaaahh! Hidupku hancur berantakan!”

Emosi meledak tak karuan. Aku menjerit dengan suara yang memalukan.

Para wartawan langsung menyorotkan kamera ke arahku, mengabadikan momen ini untuk diberitakan sebagai tontonan publik.

Aku turun dari panggung sambil menangis, berlari menuju pintu keluar. Saat menoleh, aku melihat sekretaris jenderal tersenyum mengejek dengan santai.

Para wartawan mencoba mengepungku, tapi aku mendorong mereka dan membuka pintu keluar. Namun, di sana, beberapa polisi berseragam sudah menunggu.

“Tuan Kondo, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Silakan ikut kami ke kantor.”

Petugas polisi yang kekar — jelas orang-orang yang disiapkan oleh sekretaris jenderal — memegang tanganku. Mereka mulai menjelaskan prosedur penangkapan, tapi aku tidak bisa memahami sepatah kata pun.

“Kenapa aku harus ditangkap?! Aku ini presiden direktur, anggota dewan kota! Orang penting!!”

Tak ada seorang pun yang menanggapi teriakan kosongku.

Aku digiring keluar dari hotel layaknya kriminal, tubuhku diseret seperti barang yang tak berharga.


Chapter 112: Para Teman Sebaya…

— POV Murata Ritsu —

Pelajaran hari ini akhirnya selesai. Aku membuka situs berita lewat ponsel. Beranda penuh dengan artikel tentang ayah senior Kondo.

“Konferensi Pers Penuh Tangis dan Kabur!! Langsung Dicokok Polisi”

“Anggota Dewan yang Bilang ‘Diam!’ Malah Dibungkam Publik”

“Politikus Penuh Skandal. Bukan Hanya Ancaman, Tapi Juga Dugaan Sumbangan Ilegal?”

“Tertangkap Sambil Berteriak ‘Aku Ini Orang Penting!’ Hidup Kosong Sang Anggota Dewan”

“Konferensi Pers Kabur Paling Memalukan Sepanjang Sejarah! Anak Anggota Dewan Ngaku-ngaku Kelas Atas!?”

“Kombinasi Bullying dan Kekerasan Struktural! Pegawai Mengungkap Sisi Gelap Anggota Dewan yang Kabur”

“Ditegur Balik oleh Kepala Sekolah! Aksi Kepala Sekolah yang Tolak Ancaman Dapat Pujian”

“Keluarga Korban Angkat Bicara: Terima Kasih untuk Para Guru. Anggota Dewan Itu Biarlah Masuk Neraka”

Judul-judulnya sangat sensasional. Melihat semua itu membuatku merinding.

Berita tersebut juga menyorot dugaan bahwa senior Kondo telah melakukan perundungan terhadap Aono-kun. Meski nama kami semua disamarkan, isi artikelnya merinci kejadian secara cukup detail. Bahkan ada pernyataan resmi dari pihak sekolah:

“Kami sedang menyelidiki kasus perundungan ini secara menyeluruh. Terhadap siswa yang terlibat, kami sedang mempertimbangkan sanksi tegas. Perundungan adalah bentuk kejahatan, dan kami bekerja sama dengan kepolisian untuk mengungkap fakta.”

Setelah pernyataan itu, seorang profesor dari fakultas pendidikan sebuah universitas memberikan komentarnya:

“Dari yang diberitakan, saya kira penanganan pihak sekolah sudah sangat baik. Jika kesadaran bahwa perundungan adalah kejahatan semakin meluas, kasus seperti ini akan berkurang. Ini bisa menjadi contoh baik di lapangan.”

Hati nuraniku pun terguncang.

Kenapa aku dulu ikut membantu tim sepak bola tanpa menyelidiki apa pun?

Saat jam istirahat makan siang berakhir, guru Takayanagi masuk ke kelas dan memanggil beberapa siswa—termasuk aku—untuk datang ke ruang guru setelah sekolah. Melihat siapa saja yang dipanggil, aku langsung tahu alasannya. Kami adalah siswa-siswa di luar tim sepak bola yang ikut terlibat dalam perundungan terhadap Aono-kun. Dua anggota tim sepak bola di kelasku sudah diskors sejak hari ini. Katanya mereka juga akan diberi sanksi lebih lanjut.

Semuanya sudah berakhir bagi kami. Suasana di kelas langsung berubah suram, seperti upacara belasungkawa. Tak ada yang bisa tenang. Pelajaran sore pun lewat tanpa bisa kumengerti sama sekali.

Dan tibalah waktu pulang sekolah.

Kami berjalan ke ruang guru dalam diam.

**

Di ruang guru, kami dipisah satu per satu ke ruang kelas kosong. Beberapa guru akan menginterogasi kami masing-masing. Aku mendapat giliran dengan wali kelasku, guru Takayanagi.

Dengan suara tenang, ia berkata:

“Aku memanggilmu karena kasus perundungan terhadap Aono. Kami sudah menyelidiki sebagian besar kejadian. Sekarang aku ingin kamu jujur, dan ceritakan dari mulutmu sendiri.”

Ekspresi wajahnya memberi pesan jelas: Kamu tak bisa lari lagi.

Darahku serasa membeku.

“…”

Aku terlalu takut untuk berkata apa-apa. Wajah ayah dan ibu terbayang. Mereka begitu senang saat aku diterima di sekolah ini…

“Maaf, aku harus berkata tegas. Kemarin saat pertemuan sekolah, kami sudah menetapkan batas waktu. Karena kalian mengabaikannya, kami harus bersikap tegas. Ada yang ingin kamu sampaikan?”

Suaranya dingin. Menakutkan.

“Kami... kami dibohongi. Kami diberi tahu bahwa Aono-kun memukul Miyuki. Karena itu…”

“Bisa jadi begitu. Tapi, Murata, itu bukan alasan. Itu bukan tiket bebas untuk memperlakukan Aono semaumu. Hukum hanya boleh dijalankan oleh sistem peradilan. Siapa pun yang main hakim sendiri—itu adalah kejahatan.”

Penjelasan logis dan tenang dari guru membuatku gemetar.

“Aku tidak tahu…”

“Begini, aku bisa sedikit mengerti perasaanmu karena dibohongi. Tapi kenyataannya, Aono tidak bersalah. Dan kalian telah menyakitinya secara emosional. Luka itu mungkin takkan sembuh selamanya. Kamu bisa bayangkan, ‘kan, bagaimana rasanya jika kamu yang difitnah dan dihina tanpa bisa membela diri?”

“I-iya…”

Aku ingin menangis dan berteriak, “Tolong jangan bilang ke orang tua! Ampuni aku!”

Nilai-nilaiku selama ini cukup baik. Mungkin aku punya peluang masuk universitas lewat jalur rekomendasi tahun depan. Tapi jika riwayatku ternoda, semua itu akan hilang.

Aku takut.

Sangat takut.

Tapi, ada perasaan yang lebih kuat daripada rasa takut.

Karena aku membayangkan—bagaimana kalau aku berada di posisi Aono-kun?

Dituduh tanpa bukti, diperlakukan sebagai penjahat tanpa kesempatan membela diri, dan kami bahkan memblokirnya di media sosial. Kami membantu menyebarkan gosip palsu, ikut mengotori mejanya, melakukan berbagai bentuk pelecehan. Dan saat sekolah memberi kesempatan untuk klarifikasi, kami malah memilih diam dan menyelamatkan diri sendiri.

Itu sangat keji. Mungkin kami memang dibohongi, tapi bukan berarti kami bisa dimaafkan.

Kalau aku berada di posisi Aono, mungkin aku sudah tak sanggup datang ke sekolah. Tidak, mungkin aku akan berpikir lebih ekstrem… Dan kehilangan arah hidup selamanya.

Kenapa aku tak bisa menyadari hal itu lebih awal?

“Sensei…”

“Ya.”

Ia mengangguk, seolah memahami bahwa aku sudah menetapkan hatiku.

“Aku telah ikut terlibat dalam perundungan terhadap Aono-kun. Aku pernah mengatainya dengan kata-kata kasar di media sosial. Aku juga menyebarkan informasi palsu. Aku ikut dalam tindakan-tindakan pelecehan. Aku akan menyampaikan semua ini juga kepada orang tuaku. Aku akan menerima sanksi dari sekolah. Tapi… bolehkah aku meminta izin untuk meminta maaf langsung kepada Aono-kun? Aku tahu, itu tidak akan menghapus kesalahan. Tapi… aku merasa, aku wajib meminta maaf padanya.”


Chapter 113: Perjalanan Pulang Endo

— POV Endo —

Sekolah telah usai. Aku mengganti sepatu dan keluar menuju lapangan. Biasanya ini adalah waktu kegiatan klub dimulai, dan suasananya akan ramai. Tapi sekarang, karena klub-klub paling populer dihentikan sementara, suasananya terasa sepi.

Mayoritas anggota klub sepak bola dikenai skorsing karena terlibat dalam kasus perundungan.

Setelah sebelumnya diguncang habis-habisan, banyak yang mulai membocorkan informasi dari dalam dan saling mengkhianati. Akibatnya, tak satu pun yang bisa melarikan diri, bahkan siswa-siswa di luar klub yang ikut terlibat mulai diidentifikasi.

Kupikir, semua tekanan yang kuberikan tidaklah sia-sia. Klub sepak bola kemungkinan besar akan dibubarkan. Kondo, yang dulu sangat menonjol di klub itu, langsung teridentifikasi di internet. Tapi aku tak pernah menyangka skandal ini akan menyeret ayahnya yang seorang anggota dewan kota.

“Anggota Dewan yang Kabur”—betapa memalukannya. Kalau ayahnya sampai benar-benar hancur secara sosial, Kondo tak akan punya tempat untuk pulang lagi.

“Kazuki, lama banget sih! Sampai kapan aku harus nunggu?”

Tiba-tiba ada suara cewek memanggilku di depan gerbang sekolah. Aku refleks terkejut.

Yang berdiri di sana adalah seorang gadis berseragam sekolah lain.

“Yumi… kenapa kamu di sini?”

Dōmoto Yumi. Yah, sebenarnya aku tak perlu terkejut. Waktu itu dia bilang ingin hang out bareng. Kupikir dia sedang menunggu di depan stasiun.

“Karena kita sudah baikan, aku ingin cepat-cepat main bareng. Tiga tahun enggak ketemu, lho. Aku kangen banget. Makanya aku datang lebih awal, biar bisa cepat ketemu.”

Melihat sikapnya yang manis seperti itu, aku jadi teringat pada perkataannya waktu itu.

“Ngomong-ngomong, kamu yakin mau main sama aku? Bukannya kamu lagi sibuk persiapan ujian… atau pacaran, gitu?”

Yumi tertawa ceria, seperti dulu.

“Nggak apa-apa, kok. Setelah main, aku langsung ke tempat les. Lagipula aku nggak punya pacar. Gara-gara ‘seseorang’, aku jadi agak takut sama cowok, jadi sampai sekarang masih jomblo, nih.”

Nada bercandanya itu membuatku merasa seperti kembali ke masa lalu.

Tapi bagian terakhir itu menusuk dadaku.

Mungkin karena melihat ekspresi seriusku, Yumi buru-buru menambahkan dengan nada bercanda:

“Hehe, bercanda kok. Jangan kelihatan segitu seriusnya, dong. Aku cuma pengen balas dendam kecil aja…”

Aku menghela napas lega dan membalas seperti biasa, dengan santai.

“Yah, kamu kan dari dulu memang ramah dan populer di kalangan cowok.”

Aku tahu banyak teman seangkatan yang mencoba mendekatinya karena sikapnya yang terbuka… dan semuanya gagal total.

“Eh, tapi itu bukan bercanda, lho. Aku belum pernah pacaran sama sekali. Soalnya… aku belum dapat jawaban dari ‘itu’... Maaf, jadi ngomong aneh-aneh. Lupakan aja, ya. Hari ini aku cuma pengen dihibur sama teman masa kecilku yang capek karena belajar terus!”

Rasanya hatiku penuh sesak mendengarnya.

“Oh iya. Kalau aku pulang telat gara-gara klub, kamu mau tunggu di mana tadi? Kan waktunya belum pas banget?”

Aku cuma ingin tahu.

“Tenang aja. Kalau kamu telat, aku sudah minta bantuan Imai-kun buat manggil kamu.”

Kenapa Yumi bisa sedekat itu sama Imai, sih?

Aku tersenyum masam. Sudahlah. Untuk hari ini, lupakan semua tentang balas dendam. Nikmati saja sore ini.

“Mau ke mana?”

“Pengen makan kue! Terus ke arcade juga!!”

Seolah mengejar waktu yang pernah hilang, kami berdua cepat sekali kembali ke masa-masa dulu.

**

— POV Eri —

Sore telah tiba.

Aku melangkah keluar dengan pandangan kosong.

Kondo-kun ditangkap.

Bullying? Kekerasan? Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Tidak pernah diberi tahu.

Semua orang bergosip. Katanya Amada Miyuki dan Kondo-kun pacaran. Jadi foto itu… benar, ya?

Kalau begitu… aku ini apa?

Selama ini aku sudah memberikan segalanya untuk dia, tapi aku tidak tahu apa-apa. Dia tak pernah cerita apa pun. Kenapa? Kenapa? Kenapa?

“Pengen makan kue! Terus ke arcade juga!!”

Tiba-tiba terdengar suara cewek yang ceria di depan gerbang sekolah.

Itu suara yang sangat kukenal.

“Kazuki dan Yumi?”

Suaraku tak sampai ke mereka yang sedang bahagia.

Iya, tentu saja. Aku yang sudah ternoda ini, mana mungkin bisa mendekati teman masa kecil yang begitu bersinar dan bahagia?

Aku hanya bisa berdiri mematung di depan gerbang, mengantar kepergian mereka yang berjalan penuh keceriaan menuju masa depan.


Chapter 114: Perjalanan Pulang Eiji dan Ai

— POV Eiji —

“Senpai, maaf menunggu!”

Ichijou-san, yang kutunggu di depan gerbang sekolah, datang sedikit terlambat. Aku sudah hampir berniat menjemputnya ke kelas, tapi untung kami bisa bertemu di sini.

“Kamu nggak apa-apa? Napasmu kelihatan ngos-ngosan, lho.”

Mendengar itu, dia tersenyum kecut sambil mengangguk.

“Tidak apa-apa kok. Aku cuma dipanggil sebentar oleh para guru karena urusan kecil. Tapi tidak ada masalah. Lalu, hari ini rencananya bagaimana?”

“Sebenarnya, kemarin editor yang sempat menghubungiku, ingin bertemu sekitar jam lima sore. Katanya dia akan ke kafe dekat stasiun…”

Mendengar itu, mata adik kelasku ini langsung berbinar, seolah kabar itu menyenangkan baginya juga.

“Wah, keren banget! Cepat sekali kemajuannya! Jadi nanti karya-karya yang lain juga akan dibaca, ya?”

“Iya, aku sudah kirim beberapa lewat email. Mungkin aku juga bisa dengar komentarnya. Tapi jujur saja, aku agak tegang. Gimana kalau ternyata semuanya dikritik habis-habisan?”

“Tenang saja! Aku sudah baca, dan semuanya menarik kok!”

Mendengar itu darinya cukup membuatku tenang.

“Kalau begitu, aku jadi lega. Kamu kan memang paham soal novel.”

“Tentu saja! Lagipula, masih ada sekitar satu setengah jam sebelum pertemuan. Kita habiskan waktu dulu di sekitar stasiun, yuk! Ayo temani aku jalan-jalan sebentar. Daripada aku sendirian menunggu, mending kita senang-senang dulu, kan?”

“Tentu saja. Mau ke mana? Ke game center, mungkin?”

Sebenarnya aku sempat ragu mengajak Ichijou-san ke tempat yang agak ramai seperti itu, tapi melihat wajahnya yang berbinar mendengar usulku membuatku tenang.

“Serius boleh?”

“Boleh kok. Tapi kamu sendiri nggak apa-apa? Apa nggak akan ada orang berseragam hitam yang datang marah-marah? Atau kamu dilarang?”

“Hehe. Memang sih, orang rumah mungkin nggak akan senang, tapi untuk hari ini, nggak apa-apa kok.”

Aku sendiri juga nggak yakin itu betul-betul aman, tapi ya sudahlah. Sekolah kami cukup bebas, asal tidak berlebihan, tidak akan dimarahi.

“Kalau begitu, ayo berangkat. Ngomong-ngomong, kamu pernah ke game center?”

“Belum pernah! Sebenarnya aku sudah lama penasaran. Aku pengen coba ambil boneka. Terus, main game balapan juga. Pernah lihat di TV, kelihatannya seru. Anak-anak di kelas juga sering cerita soal tempat itu, tapi entah kenapa aku nggak pernah diajak. Mungkin mereka segan padaku, ya…”

Melihat dia begitu bersemangat saat bercerita, rasanya aku pun ikut senang—padahal kami bahkan belum benar-benar bermain.

Begitulah, kami melangkah bersama, perlahan namun pasti, menuju masa depan.

**

— POV Takayanagi (Guru)

Amada berhasil diamankan. Karena kondisi emosinya sangat labil, kami memutuskan untuk menjaganya di ruang UKS. Ia ditemani oleh Ibu Mitsui, guru perempuan, sambil menunggu kondisinya membaik.

“Untung saja ada siswa kelas satu yang kebetulan merasa tidak enak badan dan hendak ke UKS. Di tengah jalan, ia melihat Amada-san mondar-mandir dengan gelagat mencurigakan dan segera melapor.”

Kepala sekolah menghela napas lega.

“Tapi, orang tua Amada-san sedang dirawat di rumah sakit. Kami khawatir kalau dia dibiarkan sendirian. Kita harus segera mencari solusi. Dan mengenai pintu atap yang rusak dan bisa terbuka sendiri, akan segera kami perbaiki agar kejadian serupa tidak terulang.”

Wakil kepala sekolah segera mengambil tindakan. Urusan atap setidaknya sudah tertangani.

Aku sendiri merasa Ichijou mungkin sedang menyembunyikan sesuatu. Semuanya terasa terlalu kebetulan. Katanya dia mengejar Amada, tapi justru sudah berdiri di depan pintu atap. Mungkin dia memang berusaha menghentikannya, tapi tetap saja terasa janggal. Meski begitu, kami tetap berterima kasih padanya. Bagaimanapun, dia telah menyelamatkan seorang siswa dari tindakan fatal.

Katanya, dia bukan siswa biasa. Kami akan mulai memperhatikannya lebih seksama mulai sekarang. Latar belakangnya pun tidak bisa dianggap remeh—bisa jadi dia menyimpan kegelapan dalam dirinya.

Tentang klub sastra, yang disebut-sebut dalam kesaksian Amada, juga akan kami investigasi lebih lanjut mulai besok. Tidak boleh ada yang lolos dari tanggung jawab. Kami akan menggunakan kasus pembuangan barang milik Aono sebagai celah untuk menyelidiki lebih dalam.

**

— POV Ketua Klub Sastra —

Aku pulang ke rumah dalam keadaan panik, mengurung diri di kamar tanpa menyentuh makanan. Tapi aku berhasil menyelesaikan satu cerpen baru.

Kukirimkan karya itu ke situs penulisan. Kali ini… semoga berhasil.

Perutku keroncongan karena belum makan apa pun.

Ibu sedang bekerja. Aku malas masak.

Mungkin aku akan makan sesuatu di dekat stasiun. Dengan susah payah, aku keluar rumah.


Chapter 115: Dua Orang yang Menikmati Game Center

Kami tiba di game center dekat stasiun. Tempat ini cukup aman bahkan untuk anak-anak, jadi kami tidak perlu khawatir akan terlibat masalah. Jaraknya pun hanya satu menit jalan kaki dari kafe tempat kami janjian, jadi kecil kemungkinan akan terlambat.

“Wah… semuanya berkilauan!”

Ichijou-san terpikat oleh mesin capit boneka. Dia sebelumnya bilang ingin boneka dan juga ingin mencoba game balap. Untuk pemula, permainan seperti taiko drum atau air hockey juga mudah dinikmati. Masih ada lebih dari satu jam, jadi kami bisa main sepuasnya.

Dia langsung memilih boneka yang ingin ia dapatkan.

“Yang ini! Aku mau yang ini!!”

Dia menunjuk boneka beruang berukuran sedang. Setelah aku mengangguk, dia memasukkan koin dengan penuh semangat.

Dengan 500 yen, bisa main enam kali. Dan karena pemain sebelumnya menyerah di tengah jalan, posisi bonekanya sudah cukup strategis.

“Latihan mentalnya udah siap!”

Dia tertawa seperti anak kecil.

**

“Kenapaa~”

Mendengar suara lemahnya untuk pertama kalinya membuatku tersenyum geli. Ternyata, meskipun cantik dan pintar, permainan pertama memang tetap sulit.

Empat percobaan pertama, tangannya meleset jauh, bahkan capitnya tak menyentuh boneka sama sekali. Dua percobaan terakhir mulai membaik, capitnya mulai menyangkut pada boneka, tapi dia belum bisa membaca titik berat dan posisi dengan tepat, jadi bonekanya tidak bergerak sama sekali.

“Padahal udah nyangkut, tapi tetap nggak bisa jatuh. Di TV kelihatannya gampang banget…”

Memang butuh kebiasaan. Saat dia melihatku tersenyum, dia pun cemberut.

“Kenapa ketawa sih!”

Sepertinya dia cukup kompetitif.

“Soalnya, aku kira kamu itu sempurna banget, jadi aku lega ternyata kamu juga punya hal yang kamu nggak bisa.”

“Jangan ngeledek dong! Kalau begitu, Senpai, tunjukkan caranya dong!”

Nah, ini dia momen yang kutunggu. Dalam hati aku berteriak kemenangan kecil. Aku juga ingin menunjukkan sisi kerennya aku.

Aku pun memasukkan koin 500 yen dari dompetku.

**

“Ah! Bergerak!”

“Jadi lebih stabil kalau nyasar ke bagian antara tangan dan badan ya.”

“Keren! Dikit lagi!”

“Aduh, tinggal sedikit padahal…”

“Ini percobaan terakhir, Senpai! Semangat!!”

**

Sebagai gadis yang pertama kali main crane game, reaksinya benar-benar sempurna. Aku sengaja menggerakkan bonekanya sedikit demi sedikit hingga di percobaan terakhir berhasil menjatuhkannya.

“Yaaay! Keren banget!!”

Dia terlihat lebih senang daripada siapa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Aku juga ikut tertawa lega karena berhasil. Aku ambil boneka dari lubang hadiah dan menyerahkannya padanya.

“Eh, tapi ini kan kamu yang bayar…”

Dia terlihat ragu, jadi aku sodorkan lagi bonekanya.

“Nggak apa-apa, cowok kayak aku kurang cocok bawa boneka. Boneka lucu kayak gini lebih pas di tangan gadis seimut kamu.”

Mendengar itu, tubuhnya terlihat gemetar sedikit.

“Lagi-lagi… kamu tuh suka banget ya muji aku secara alami gitu. Curang…”

Meski begitu, dia terlihat bahagia saat memeluk boneka itu. Padahal kencan kami baru dimulai.

“Senpai! Sekarang aku pengen main air hockey! Eh, maaf ya…”

Jari Ichijou-san tanpa sengaja menyentuh lengan seorang pria yang sedang lewat. Biasanya dia tak akan melakukan kesalahan seperti itu. Tapi sepertinya hari ini dia benar-benar menikmati waktunya.

Pria itu ternyata sedang berjalan bersama pacarnya. Seragamnya dari sekolah kami. Kupikir dia mungkin kenalan, jadi aku coba melihat wajahnya dengan saksama. Dan benar, dia teman kami.

“Eh, Endo?”

Tanpa sadar aku bersuara.

“Ah… Aono-kun dan Ichijou-san…”

Wajahnya sedikit berubah, tampak canggung.


Chapter 116: Eiji dan Endo

—POV Endo—

Aku datang ke game center dekat stasiun bersama Yumi. Tempat ini menyimpan banyak kenangan—kami bertiga dulu sering datang ke sini. Bermain crane game bersama Eri, main game pertarungan bersama Yumi...

Semua kenangan di sini menyenangkan. Rasanya menyedihkan bahwa hari-hari itu terasa begitu jauh, sampai-sampai aku berhenti datang ke sini. Tapi akhirnya, aku bisa kembali.

Tempat yang biasa dikunjungi Kondo berbeda, game center yang lingkungannya buruk. Bahkan saat membuntuti mereka pun aku merasa muak.

“Hei, Kazuki! Yuk main game fighting!”

Dengan senyum seperti dulu, Yumi menunjuk ke arah mesin game.

“Udah lama nggak main. Aku bahkan lupa kombonya.”

“Sama. Aku juga udah lama nggak main. Soalnya, aku janji kalau ke sini lagi harus bareng Kazuki.”

Mendengar itu, aku tahu Yumi pun merasakan hal yang sama. Andai saja aku bisa mengembalikan waktu lebih cepat. Yang tersisa hanyalah penyesalan.

“Sebenarnya aku pengen tenggelam dalam perasaan mellow ini, tapi yuk kita selesaikan semua ini dengan pukulan dan tendangan. Kita kan sama-sama saling menyakiti. Ini duel rekonsiliasi!”

Kami pun menyelesaikan “ritual perdamaian” kami.

**

“Kazuki, bohong banget sih. Katanya lupa kombo, ternyata jago!”

“Mau gimana lagi, tubuhku masih ingat sendiri.”

Pertarungan rekonsiliasi kami dipenuhi senyuman. Yumi, seperti biasa, asal main dengan tuas dan tombol—dan akhirnya jadi mangsaku. Iya, inilah yang membuat semuanya menyenangkan.

“Makasih ya.”

“Aku juga. Senang banget bisa main lagi. Sekarang kita main air hockey, yuk!”

Yumi pun lari menuju air hockey. Meski aku coba menahannya dengan “Hei, tunggu!”, dia cuek saja sambil berjalan riang.

Saat aku mau menyusulnya, tubuhku tak sengaja bertabrakan dengan pelanggan lain yang keluar dari balik mesin.

“Ah, maaf.”

Suara seorang gadis.

“Tidak, saya yang... ah.”

Di depanku berdiri dua wajah yang sangat aku kenal—Ichijou Ai, idola sekolah kami, dan Aono Eiji—teman yang sangat berharga bagiku.

“Aono-kun dan Ichijou-san...”

Karena terkejut dan gugup oleh pertemuan tak terduga ini, suaraku jadi agak tinggi.

Sejak insiden itu, aku belum pernah lagi menghubungi Aono. Aku tidak ingin memperparah situasi. Aku berusaha sebisa mungkin bergerak diam-diam agar dia tak tahu, untuk melindunginya.

Bagi seseorang sepertiku yang bahkan menolak Yumi, dia adalah satu-satunya jembatan ke masyarakat. Lewat dia, aku bisa terhubung kembali dengan Imai dan teman-teman sekelas lainnya. Dia memberiku harapan di kehidupan SMA ini.

Justru karena itu, aku tidak ingin menyeretnya dalam balas dendam ini. Aku tahu, dengan sifat lembutnya, dia tak akan pernah memilih jalan dendam. Karena itulah, aku berniat jadi pihak yang kotor. Kondo harus dihentikan—olehku.

Namun, aku tidak bisa menahan diri dan akhirnya mengirimkan pesan malam setelah hari pertama masuk sekolah:

“Aku percaya padamu, Aono-kun.”

Pesanku tak pernah terbaca. Mungkin karena dia mematikan ponselnya untuk menghindari cercaan di media sosial, dan pesanku tenggelam di sana.

“Endo! Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini!”

Aono menyapaku dengan suara yang tak berubah sedikit pun. Aku… sangat senang.

“Kazuki, temanmu ya?”

Yumi bertanya heran.

“Aku Aono Eiji. Dulu satu kelas sama Endo pas kelas satu.”

Tanpa menungguku menjawab, Aono langsung memperkenalkan diri. Lalu ia berbisik di telingaku:

“Dia pacarmu ya?”

Sepertinya Yumi juga mendengar bisikannya, karena ia tersenyum canggung.

“Bukan kok, kami cuma teman masa kecil, masih.”

Yumi menjawab tanpa tahu latar belakang hubungan kami. Aku sempat panik apakah itu akan memperburuk suasana, tapi Aono hanya tersenyum dan berkata:

“Begitu, ya.”

Dia terlihat seperti sudah sepenuhnya melupakan soal Amada.

“Kalau kamu sendiri, cewek cantik di sampingmu itu pacarmu?”

Meski sekolah mereka berbeda, Yumi tampak penasaran terhadap gadis cantik di sebelah Aono.

“Perkenalkan, saya Ichijou Ai. Junior Aono-senpai. Kami belum pacaran.”

Jawaban Ichijou membalas pernyataan Yumi dengan gaya bercanda. Kami pun tertawa bersama.

“Begitu ya, kalian juga sama kayak kami. Eh, gimana kalau kita main air hockey double? Sekalian ngisi waktu, kan seru ketemu begini.”

Yumi langsung mengajak mereka. Tanpa ragu, Aono dan Ichijou menjawab, “Boleh!” dengan antusias. Aku sampai pusing karena perkembangan situasi yang di luar dugaanku.

“Eh, kalian duluan aja cari tempat, ya. Aku ada obrolan cowok-cowok dulu sama Endo.”

Dan Aono justru mempercepat alur tak terduga ini.

**

“Jadi, kamu mau ngomong apa?”

Aku bertanya hati-hati. Tapi Aono malah tersenyum cerah, seakan beban di pundaknya hilang.

“Endo, makasih. Maaf aku nggak sempat bales pesannya. Aku telat sadar. Tapi berkat pesan kamu, aku benar-benar merasa diselamatkan. Bukan cuma Ichijou-san, keluargaku, dan guru-guru atau Imai—tapi juga kamu, yang baru kenal saat SMA ini, percaya sama aku. Itu membuatku kuat. Aku juga harusnya menghubungi kamu lebih cepat, tapi aku takut kamu ikut kena imbas karena berhubungan denganku. Makanya, aku senang banget bisa ketemu kamu hari ini. Terima kasih, ya.”

Melihat dia membungkuk dengan tulus seperti itu, aku merasa semua pilihanku tidak sia-sia.

Aku tahu… aku tidak salah. Dan rasanya seperti semua usahaku akhirnya terbayarkan.


Chapter 117: Air Hockey & Kejatuhan Ketua Klub Sastra

Aku dan yang lainnya akhirnya bermain air hockey ganda.

Tentu saja, dengan formasi pertandingan antarpasangan!

Aku berpasangan dengan Ichijou-san, sementara Endo berpasangan dengan Yumi.

Tapi ini sungguh kombinasi yang tidak aku sangka. Rasanya seperti… double date. Aku pun hanya bisa tersenyum kecut menyadarinya.

Ichijou-san tampak sangat bersemangat memegang pendorong bundar itu, meski kelihatan belum paham betul cara menggunakannya.

Di sisi lain, pasangan lawan tampak sangat berpengalaman. Kombinasi mereka sudah sangat kompak. Ichijou-san semangat menyerang sambil berseru “Hei!”, tapi kadang-kadang malah meleset. Meski begitu, wajahnya tetap terlihat sangat senang.

Ternyata, menang atau kalah tidak penting. Yang penting menikmati permainan ini. Ketika aku menyadari hal itu di tengah pertandingan, aku benar-benar merasa sedang menjalani momen yang membahagiakan.

Pasangan teman masa kecil itu bergerak sangat kompak. Mungkin kami terlalu saling menjaga, jadi malah canggung. Tapi, melihat Ichijou-san tertawa dan bermain dengan riang membuatku ikut bahagia.

Akhirnya kami kalah dua kali lipat skor, tapi kami semua tersenyum puas.

“Aah, meski kalah, tetap seru banget, ya. Endo-san! Lain kali, yuk kita main game balap berempat!”

Ichijou-san tertawa lepas. Sulit dipercaya kalau dia dulu adalah gadis yang tertutup dan tidak percaya kebaikan orang lain.

“Boleh juga. Kali ini pun aku akan hancurkan kalian, Ichijou-san!”

Domoto-san menjawab dengan semangat.

Endo juga tampak senang.

Begitulah, satu jam kami habiskan dengan penuh kebahagiaan.

**

“Kita udah main banyak banget ya. Nggak nyangka hari ini baru pertama kali ketemu tapi udah sebahagia ini!”

Domoto-san tertawa lebar. Kami semua hanya bisa mengangguk setuju.

“Hei, Aono-kun. Kami berencana makan dessert dulu sebelum pulang. Kalau kamu mau, ikut yuk?”

Endo dengan baik hati mengundangku. Tapi waktu pertemuanku dengan editor sudah hampir tiba.

Ichijou-san, yang menyadari keraguanku, menjawab lebih dulu:

“Maaf, sebenarnya senpai ada jadwal setelah ini! Tapi kalau aku sendiri sih, aku mau banget ikut. Asal nggak ganggu?”

“Nggak ganggu sama sekali. Malah lebih enak tanpa Aono-kun, bisa ngobrol bebas sesama cewek. Kita bisa bahas soal cinta sebanyak-banyaknya!”

Domoto-san menjawab cepat, membuat Ichijou-san sedikit bingung. Aku pun membisikkan padanya:

“Pergilah.”

Dia mengangguk, lalu berkata pelan:

“Aku masih ingin ngobrol… boleh aku menyusul nanti setelah urusan senpai selesai?”

Nada bicaranya sangat lembut hingga membuatku merinding. Tapi aku sangat senang mendengarnya.

Saat aku menjawab tentu saja, dia tersenyum dengan senyum terbaik yang pernah kulihat.

“Senpai. Aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu minggu ini. Aku tidak tahu kalau ada hal yang begitu menyenangkan dan bahwa kebaikan orang itu nyata. Aku hampir melakukan kebodohan karena tidak tahu itu. Tapi aku bertemu senpai di atap hari itu, dan diperlihatkan dunia yang hangat ini… semua itu berkat senpai. Semangat ya untuk pertemuannya!”

Kata-kata itu benar-benar menyelamatkanku.

Setelah berpamitan dengan Endo dan yang lainnya, aku pun menuju kafe tempatku janjian dengan editor.

**

—POV Ketua Klub Sastra—

Tanpa tujuan, aku datang ke area sekitar stasiun. Aku berencana makan di tempat yang sepi saja. Tapi di sana, aku melihat seseorang yang seharusnya tidak kulihat.

Itu Aono Eiji, keluar dari arcade.

“Ah…”

Aku tanpa sadar menatapnya. Ia masuk ke sebuah kafe di dekat sana, dan aku pun mengikutinya.

Keputusan yang kuambil hanya berdasarkan naluri itu—aku tidak tahu bahwa itu akan menjadi penyesalan seumur hidupku.


Chapter 118: Runtuhnya Harga Diri Sang Ketua

—POV Ketua Klub Sastra—

Aku mengikuti Aono-kun dan masuk ke kafe.

Karena banyak kursi kosong, aku bisa mendekat tanpa ketahuan olehnya.

Aku memesan sandwich dan kopi. Tapi… dalam keadaan seperti ini, apa aku bisa makan?

Tak lama kemudian, seorang pria kurus berkacamata duduk di kursi Aono-kun. Usianya sekitar dua puluhan. Ia hanya memesan es kopi dan langsung bicara dengan semangat, terlihat sangat antusias.

“Maaf sudah membuat Anda menunggu, Aono-san. Saya Nogi dari bagian editorial Penerbit ○○. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu hari ini. Tapi… ternyata Anda benar-benar seorang siswa SMA, ya. Dan Anda bisa menulis sebagus itu? Terus terang, saya sangat terkejut.”

Pria berpenampilan rapi ala pegawai kantoran itu melanjutkan kalimatnya dengan cepat.

Ternyata benar, ini memang pertemuan dengan editor.

Orang yang biasanya terlihat tenang itu tampak sangat bersemangat. Itu menunjukkan betapa luar biasanya bakat Aono-kun.

“Tidak, saya saja yang datang terlalu cepat. Ini kan masih lebih dari sepuluh menit sebelum waktu janjian.”

“Ah, maaf. Saya memang terlalu bersemangat. Sebenarnya saya juga tak sabar ingin bertemu Anda. Tadinya mau menunggu, malah jadi terlambat... saya jadi agak panik.”

Aono-kun benar-benar diperlakukan dengan sangat baik. Hanya untuk seorang pendatang baru, mereka sampai segitunya? Sampai seperti itu...?

“Saya juga gugup sebenarnya.”

“Tentu saja. Haha, saya yang lebih tua seharusnya lebih tenang. Walau begitu, saya termasuk editor muda di tim kami… Tapi, novel web Anda itu, termasuk kepala editor pun sangat menaruh harapan besar. Novel itu benar-benar luar biasa. Gayanya segar dan penuh semangat, tapi isinya sangat mengharukan dan membawa kebahagiaan. Jarang ada karya seperti itu. Padahal genrenya bukan fantasi isekai yang umum di situs tersebut, tapi tetap bisa masuk peringkat atas. Anda benar-benar permata yang belum diasah. Bisa bekerja sama dengan Anda adalah kehormatan besar bagi saya.”

Rayuan yang begitu manis, sampai rasanya seperti membuat gigi ngilu. Pesanan makananku pun datang. Tapi aku bahkan tak ingin menyentuhnya.

“Ah, saya cuma kebetulan beruntung saja…”

Aono-kun merendah. Biasanya itu adalah bentuk kerendahan hati yang patut dipuji, tapi bagiku… itu terasa menyakitkan.

“Bukan keberuntungan. Faktanya, jumlah peniru Anda makin bertambah. Tapi sayangnya, tak ada satu pun yang bisa memikat pembaca seperti karya Anda. Contohnya, ada seorang penulis bernama Tachibana yang karya terbarunya sangat dipengaruhi oleh Anda.”

Itu adalah novel yang kuposting satu jam yang lalu.

Aku merasa firasat buruk.

“Memang, dari segi teknik menulis, mungkin penulis itu lebih halus daripada Aono-san. Tapi isinya terlalu banyak dipengaruhi karya Anda, hingga akhirnya hanya jadi tiruan yang lebih lemah. Saya tahu ini mungkin kasar jika dikatakan langsung. Tapi karya Anda itu… bahkan meski ditiru, tetap tak bisa dikalahkan. Begitu menariknya.”

Dari seorang editor profesional, aku baru saja diberi label “tiruan buruk dari junior sendiri.” Penghinaan, rasa malu, dan kehinaan menumpuk… Air mata mulai menggenang. Aku tahu ini akan terjadi, itulah kenapa aku sempat berpikir untuk menjatuhkannya terlebih dahulu.

“Te-terima kasih…”

Aono hanya tersipu malu.

“Ngomong-ngomong, soal pembicaraan kami tentang memasukkan karya Anda ke dalam antologi, setelah membaca karya-karya lain yang Anda kirimkan, kami mengubah pendapat. Ah, bukan dalam arti buruk. Justru, dalam arti yang sangat positif. Semua karya Anda sungguh luar biasa. Bahkan kepala editor sampai terkejut. Jadi, tentu kami tetap ingin Anda ikut antologi, tapi kami juga ingin membuat buku khusus kumpulan cerpen karya Aono Eiji. Jika Anda bersedia, apakah Anda ingin bekerja sama dengan kami?”

Bagi diriku, itu seperti vonis hukuman mati.

Fakta objektif bahwa junior ini memiliki bakat yang melampauiku disampaikan langsung di depan wajahku.

Aono-kun akan debut secara profesional, dan masa depan cerah sudah menantinya.

Di mana letak kesenjangan yang begitu besar ini terbentuk? Ini tidak masuk akal…

Aku bahkan sempat berpikir untuk menyebarkan kabar buruk tentang penerbit itu...

Tapi saat menyadari pikiran kotor itu muncul, aku sadar aku sudah jatuh sangat jauh. Aku telah mengakui kekalahan, dan itu membuatku ingin menangis karena betapa menyedihkannya diriku.

Sambil menangis, aku memasukkan sandwich ke mulutku.

Aku membayar diam-diam agar tidak ketahuan, lalu meninggalkan tempat itu dalam perasaan yang sangat menyedihkan.

Tak pernah kusangka, tindakan ini akan menjadi langkah pertama menuju kehancuranku.


Chapter 119: Ai Ichijou Mendekati Dalang di Balik Layar

—POV Ichijou Ai—

Setelah berpisah dengan Endo-san dan yang lainnya, aku menuju pusat perbelanjaan dekat stasiun untuk menunggu sampai pertemuan senpai selesai. Kupikir aku akan menghabiskan waktu dengan window shopping, tapi pikiranku tak berada di sana. Game center tadi terlalu menyenangkan. Aku tersenyum sendiri sambil melihat boneka yang dimasukkan ke dalam tasku.

Ini hadiah pertamaku.

Pertama kalinya aku menerima sesuatu dari seorang laki-laki. Memang pernah ada beberapa orang yang ingin memberiku buket bunga saat menyatakan cinta, tapi selalu kutolak dengan sopan. Karena mungkin saja di dalamnya diselipkan pelacak atau GPS.

“Sekarang aku bertemu seseorang yang membuatku tak perlu memikirkan hal semacam itu.”

Aku tak pernah menyangka bisa menjalin hubungan seperti ini.

Mungkin ini yang dinamakan cinta pertama. Rasanya seperti bukan diriku sendiri, aku begitu berbunga-bunga.

Aku tak tahu siapa diriku yang sebenarnya sekarang.

Diriku yang tidak stabil secara mental seminggu lalu.

Diriku yang dipenuhi rasa hangat saat bersama senpai dan ibunya.

Dan diriku yang dingin dan penuh perhitungan saat menghadapi anggota dewan Kondo.

Eiji-senpai selalu bersikap alami dan apa adanya. Mungkin karena itu, aku pun merasa seakan melepaskan beban berat yang selama ini kugunakan untuk berpura-pura. Mungkin, sisi terakhir inilah yang sebenarnya adalah diriku. Aku rasa sebentar lagi aku akan benar-benar mengetahuinya.

“Nggak bisa. Nggak masuk ke otak sama sekali. Jalan-jalan sebentar, ah.”

Aku jarang berjalan sendirian. Biasanya selalu diantar jemput dengan mobil keluarga. Dan mungkin sekarang pun, masih ada pengawal yang diam-diam mengawasi dari kejauhan.

Rasanya sesak.

Tapi di saat-saat seperti ini, aku bersyukur. Karena kalau misalnya para anggota klub sepak bola yang menyimpan dendam menyerang senpai, mereka bisa melindunginya.

Aku keluar dari pusat perbelanjaan. Sekilas kulirik tempat senpai menunggu pertemuan, dan kulihat dia sedang duduk di dekat jendela dengan wajah serius. Ganteng sekali. Hampir saja aku mengatakan itu dengan suara keras.

Panas juga. Enaknya makan es krim, ya.

Aku melihat sekeliling sambil mencari toko.

Saat itulah, kulihat seorang perempuan keluar dari kafe tempat senpai sedang meeting.

Dia tampak pucat dan berlari pergi. Wajah itu aku kenal. Dia adalah senior dari sekolahku. Atau, lebih tepatnya, aku yang mengenalnya sepihak. Kami tidak pernah benar-benar berinteraksi. Dan aku... sangat meremehkannya.

“Ketua klub sastra, Tachibana…”

Kenapa dia ada di sana? Kebetulan? Tidak. Ini terlalu kebetulan.

Sebenarnya, selama ini dia bergerak seperti apa? Yang aku tahu, dia adalah senior yang membuang barang-barang pribadi dan naskah milik Eiji-senpai karena terpengaruh rumor. Pihak sekolah juga sedang menyelidikinya, jadi kupikir dia akan mendapat hukuman. Karena itu, aku tak terlalu memperhatikannya.

Dibandingkan dengan dalang seperti Kondo dan anggota klub sepak bola, aku kira dia tidak terlalu berbahaya.

Tapi... apa dia masih berniat menghalangi senpai?

Kalau iya, aku tidak akan pernah membiarkannya.

Kalau diingat-ingat, bagaimana awalnya Amada-san bisa berhubungan dengan Kondo? Apa dia dikenalkan oleh seseorang? Kalau iya, atas dasar apa mereka mengenalkan wanita yang sudah punya pacar kepada pria playboy seperti Kondo?

Aku punya firasat buruk. Mungkin... masalah perundungan itu belum sepenuhnya selesai. Jika masih ada kemungkinan senpai akan terluka...

Aku akan menghapus kemungkinan itu.

Sisi gelap diriku yang dingin dan penuh perhitungan, yang kuwarisi dari orangtuaku. Biasanya aku membencinya, tapi saat seperti ini aku bersyukur memilikinya.

Aku mengeluarkan ponsel dan menelepon.

“Kuroi, ada seseorang yang ingin aku minta kamu selidiki…”


Chapter 120: Kondo dan Pengacara Barunya

—POV Kondo—

Setelah menjalani pemeriksaan yang mendetail, aku kembali dimasukkan ke dalam ruang tahanan.

Kasus penganiayaan, perundungan, perusakan barang milik sekolah, menyebarkan kebohongan di media sosial, menghalangi petugas… semuanya diselidiki secara ketat. Bahkan, aku juga ditanyai soal kemungkinan kejahatan-kejahatan lain yang pernah kulakukan. Karena itu, proses penyelidikan pun memakan waktu, dan aku masih ditahan sampai sekarang.

Kenapa semuanya bisa jadi seperti ini? Pengacaraku pun meninggalkanku. Katanya, karena dia terikat kontrak dengan perusahaan ayahku, dia tidak bertanggung jawab atas urusan anaknya. Terlalu dingin. Padahal, dulu waktu aku sedang berjaya, dia terus mendekat dan menjilat. Tapi begitu keadaan berubah, dia langsung kabur.

Ayah juga kabarnya mengalami kesulitan—dikeluarkan dari partai dan lainnya. Ucapan terakhir si pengacara itu terus terngiang-ngiang di kepalaku.

“Kalau aku keluar dari sini… apa aku masih punya tempat untuk pulang?”

Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Dan aku langsung sadar, betapa putus asanya posisiku saat ini. Pada akhirnya, ayah pun tidak mau mencarikan pengacara baru untukku.

Apa aku benar-benar sudah dibuang? Apa aku akan mati sendirian di tempat ini? Aku—yang selalu dimanja oleh wanita dan orang dewasa—kini hanya bisa menunggu saat harga diriku benar-benar hancur, dimarahi dengan keras oleh polisi tanpa ada satu pun orang yang peduli.

Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku masih punya sepak bola. Kalau aku masih punya bakat sepak bola, mungkin aku masih bisa diselamatkan. Lagipula, banyak pemain sepak bola bermasalah di luar negeri yang juga pernah ditangkap, kan?

Ketika aku sedang berusaha keras menggantungkan harapan, sipir memanggilku. Katanya, ada pengacara yang datang untuk menemuiku.

Aku berjalan tertatih menuju ruang pertemuan.

**

Di ruang pertemuan, seorang kakek renta sudah menunggu.

“Perkenalkan, saya Hiramatsu. Saya ditunjuk oleh ibumu untuk menangani pembelaanmu mulai hari ini. Mohon kerja samanya.”

Dari penampilannya saja, sudah terlihat kalau dia tidak punya semangat. Kenapa ibuku yang mencarikan, bukan ayah? Apa yang terjadi dengan ayah?

“Kondo-kun, ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Jadi, tolong bersikaplah baik. Yah, mungkin lebih baik kalau kamu mengakui semua kesalahanmu. Ibumu juga menyarankan begitu. Dengan begitu, kamu bisa cepat keluar dan akan terlihat lebih baik juga di mata hukum. Lagipula, kamu memang salah, jadi kamu harus bertanggung jawab, ya.”

Nada bicaranya terdengar sangat asal-asalan. Rasa curigaku pun semakin besar. Apa benar ibuku mengkhawatirkanku? Wanita itu yang hampir tidak pernah pulang dan lebih sibuk dengan pria lain? Pasti dia cuma peduli dengan citra keluarga. Memilih pengacara ini pun mungkin cuma demi menjaga penampilan.

Aku tidak dicintai.

“Tidak mau! Aku tidak salah! Apa yang terjadi dengan ayah!?”

Si pengacara tua menghela napas dan menatapku dengan malas.

“Haaah… Ayahmu sudah ditangkap karena ulahmu. Ada rekaman suara berisi ancaman kepada sekolah dan keluarga korban terkait kasus perundungan dan kekerasan, yang akhirnya bocor ke publik. Dan lebih parahnya lagi, partainya meninggalkannya, bahkan muncul juga skandal uang gelap. Itu semua terungkap saat konferensi pers permintaan maaf. Dan dari situ, dia langsung ditangkap oleh polisi. Sudah tidak bisa diselamatkan.”

“Ayah ditangkap!? Tidak mungkin! Ayah itu orang penting… dia tidak mungkin ditangkap!”

“Ah, jadi memang benar kamu ngomong kayak gitu, ya. Tulisannya juga ada di majalah mingguan. Kamu ini benar-benar nggak tahu apa-apa soal dunia. Anggota dewan kota itu tidak punya kekebalan hukum, tahu? Dan yah… jadi pengacaramu sepertinya akan jadi tugas berat. Pengacaramu sebelumnya juga kabur dengan pintar, ya.”

Pengacara itu tertawa sambil menghantamku dengan kenyataan tanpa ampun.

“Aku kan mau dapat rekomendasi kuliah lewat jalur sepak bola…”

“Makanya, aku bilang nggak bisa. Sekolah mana yang mau kasih rekomendasi ke murid yang ditangkap karena perbuatan kriminal? Kamu kemungkinan besar akan dikeluarkan. Itu tidak bisa diubah. Lebih baik kamu terima saja kenyataannya.”

Mendengar kata-kata itu, aku menghantamkan tangan ke sekat transparan di ruang pertemuan, berusaha menolak dengan putus asa.

“NGGAK MAU!! NGGAK MAU!! NGGAK MAU!!”

Beberapa petugas tahanan yang panik langsung menarikku dari ruangan dan membawaku kembali ke sel.

Sementara itu, pengacara tua yang tidak bersemangat itu hanya menertawakanku dengan nada mengejek.


Previous Chapter | 

1

1 comment

  • Godok
    Godok
    23/6/25 21:37
    Fix next nya terungkap ketua klub adalah dalang sebenarnya
    Reply



close