Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 6
Tuduhan yang Menghilang
── 10 September – Sudut Pandang Miyuki ──
Aku sedang bermimpi.
Mimpi bahwa aku dan Eiji berada di atap sekolah. Aku berkali-kali memanggil Eiji, tapi dia tidak melihat ke arahku, seolah mengabaikanku, dan perlahan memanjat pagar atap.
"Jangan, Eiji. Maafkan aku. Aku minta maaf, jadi tolong jangan lakukan hal yang aneh. Yang seharusnya mati itu bukan kamu. Aku yang seharusnya mati. Jangan… jangan… aku tidak mau kehilanganmu. Aku yang salah, jadi kenapa kamu menyalahkan dirimu sendiri? Jangan tinggalkan aku sendirian. Kalau kamu pergi, aku akan benar-benar sendirian."
Teriakanku tidak sampai kepadanya.
Lalu, dengan wajah pucat, dia menatapku selama beberapa detik, lalu di detik berikutnya dia melompat ke udara. Wajahnya yang putus asa seolah berkata:
"Karena kau, aku harus mati."
Terdengar suara benturan tumpul. Tanah lapang dipenuhi warna merah terang. Ada suara sesuatu yang hancur di dalam diriku.
"Ini cuma mimpi, kan…"
Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhku. Dengan tubuh berat, aku melangkah menuju sekolah. Tak ada nafsu makan sama sekali.
Eiji mungkin saja sudah mati. Hanya dengan memikirkan dosa itu, aku merasa seperti akan hancur. Dan itu menakutkan.
Setelah sampai di sekolah, aku tidak bicara dengan siapa pun. Dengan tatapan kosong, aku hanya menunggu pelajaran pertama dimulai.
Andai saja aku pingsan karena anemia, mungkin itu lebih mudah. Aku ingin mati.
"Semua, dengarkan. Akan diadakan pertemuan darurat seluruh sekolah. Silakan berkumpul di aula olahraga."
Mendengar suara Takayanagi-sensei, aku berjalan ke sana seperti zombie. Teman-teman di sekitar berkata aku sebaiknya tidak memaksakan diri. Padahal aku tidak pantas mendapat kata-kata sebaik itu. Justru, aku ingin seseorang memarahiku.
Andai Eiji marah padaku, meneriakiku, atau bahkan menamparku, mungkin aku akan merasa lebih baik.
Tapi dia menunjukkan bahwa "lawan dari cinta adalah ketidakpedulian" dengan sikapnya. Sekarang, aku tak bisa lagi bersamanya. Meski berada di hadapan diriku yang hina, Eiji tetap menunjukkan rasa hormat minimum sebelum akhirnya membuangku dengan dingin.
Meskipun aku tahu itu hal yang wajar, aku tetap merasa sangat terpukul.
Dengan nyaris menangis berkali-kali, aku berjalan ke arah aula untuk menghadiri pertemuan sekolah.
Tak lama kemudian, pertemuan dimulai. Kepala sekolah berdiri di podium dan langsung menyampaikan inti pembicaraan.
"Alasan kami mengumpulkan kalian semua hari ini, ada dua hal penting yang ingin saya sampaikan."
Wajah kepala sekolah tampak lebih serius dari biasanya. Biasanya, pidatonya panjang. Tapi kali ini, langsung pada intinya dan singkat. Itu menunjukkan betapa gentingnya situasi ini.
"Ada kabar baik dan kabar buruk. Saya akan mulai dari kabar buruk terlebih dahulu. Sebenarnya, pihak kepolisian menghubungi kami dan mengatakan bahwa ada kemungkinan besar salah satu siswa dari sekolah ini terlibat dalam kasus penganiayaan yang terjadi di kota sebelah selama liburan musim panas. Saat ini, pihak kepolisian belum bisa memastikan siapa pelakunya. Namun, jika memang ada siswa dari sekolah ini yang melakukan kesalahan, maka pihak sekolah memiliki kewajiban untuk membenahinya. Kami tidak meminta kalian untuk mengaku di tempat ini. Tapi jika ada yang merasa terkait atau mengetahui sesuatu, harap lapor ke wali kelas masing-masing sebelum tengah hari. Jangan berbohong. Kebenaran akan terungkap saat diselidiki. Sebagai catatan, ini adalah peringatan terakhir."
Mendengar itu, dadaku terasa sesak. Ini pasti soal Eiji dan Kondo-senpai. Mungkin akhirnya semuanya terbongkar. Sekolah mulai bergerak. Polisi? Jadi, apakah kami akan ditangkap lagi…?
Suasana jadi gaduh.
"Hei, ini bukan soal kasus Aono Eiji yang viral di SNS itu, ya?"
"Yang katanya memukul Amada?"
"Iya. Akhirnya jadi urusan polisi juga, ya."
Bukan itu! Bukan begitu! Yang salah itu kami. Semua hanya kebohongan belaka. Tapi, aku yang pengecut ini bahkan tak sanggup membantah rumor tentang dia. Padahal aku tahu aku harus melakukannya. Tapi kakiku gemetar.
Saat aku nyaris ambruk karena rasa bersalah, kepala sekolah melanjutkan dengan suara lebih ceria.
"Sekarang, kabar baiknya. Pada hari Senin lalu, siswa kelas dua Aono Eiji dan siswa kelas satu Ichijou Ai melakukan tindakan penyelamatan terhadap seorang pria yang pingsan di jalan. Berkat penanganan cepat mereka, pria itu berhasil dibawa ke rumah sakit dan kini dalam kondisi stabil. Kabarnya, mereka akan menerima penghargaan dari petugas pemadam kebakaran dalam waktu dekat. Sebagai kepala sekolah, saya sangat bangga dengan tindakan luar biasa dari kedua siswa ini. Saya harap kalian semua dapat mencontoh mereka dan menjadi teladan sebagai siswa sekolah ini. Sekarang, mari kita beri tepuk tangan meriah untuk mereka berdua."
Ruangan langsung menjadi gaduh.
"Hah? Aono Eiji nolong orang? Bukannya dia tukang pukul?"
"Setelah ngomong kayak tadi, masa iya kepala sekolah langsung muji Eiji? Mungkin rumor itu salah?"
"Iya, nggak masuk akal kalau pemadam kebakaran mau kasih penghargaan ke orang yang terlibat kasus polisi."
"Jadi… ada yang berbohong, ya!?"
Rasa takut menjalar di sekujur tubuhku. Sedikit demi sedikit, kebohongan kami mulai terkuak. Kalau begini terus, kehancuran kami tinggal menunggu waktu.
Karena belum makan dengan benar, pandanganku kabur dan aku kembali jatuh pingsan di lantai aula.
── Sudut Pandang Kondo ──
Haaah… nyebelin. Ada pertemuan sekolah mendadak pagi-pagi begini?
Apa, ada masalah? Jangan-jangan… soal hotel itu ketahuan? Nggak mungkin. Ayah bilang, nggak bakal ketahuan.
Pasti aman. Aku cuma parno aja. Saat aku berpikir begitu, kepala sekolah mulai bicara.
"Ada kabar baik dan kabar buruk. Saya akan mulai dari kabar buruk terlebih dahulu. Sebenarnya, pihak kepolisian menghubungi kami dan mengatakan bahwa ada kemungkinan besar salah satu siswa dari sekolah ini terlibat dalam kasus penganiayaan yang terjadi di kota sebelah selama liburan musim panas. Saat ini, pihak kepolisian belum bisa memastikan siapa pelakunya. Namun, jika memang ada siswa dari sekolah ini yang melakukan kesalahan, maka pihak sekolah memiliki kewajiban untuk membenahinya. Kami tidak meminta kalian untuk mengaku di tempat ini. Tapi jika ada yang merasa terkait atau mengetahui sesuatu, harap lapor ke wali kelas masing-masing sebelum tengah hari. Jangan berbohong. Kebenaran akan terungkap saat diselidiki. Sebagai catatan, ini adalah peringatan terakhir."
Aaaah, dia ngomong apa sih? Tatapan kepala sekolah kayak mengarah ke sini. Jadi mual rasanya.
Nggak, ini bukan tentang aku. Pasti bukan. Ini cuma gertakan aja.
Seseorang berkata, "Bukankah ini soal Aono?"
Benar, ini memang soal Aono, karena dia telah melakukan kekerasan terhadap Miyuki, jadi tentu yang dibicarakan adalah itu.
Aku tidak mau percaya. Aku adalah raja. Karena itu, aku bisa melakukan apa saja. Lagipula, tempat itu seharusnya tidak punya kamera pengawas. Polisi juga tidak ada di dekat situ, dan meskipun seseorang melapor, kami langsung pergi, jadi seharusnya tidak ada bukti yang tertinggal.
Kemudian, kepala sekolah melanjutkan,
"Aono dan Ichijou Ai telah menyelamatkan nyawa seseorang dan akan menerima penghargaan dari pemadam kebakaran…"
Pada saat itu, aku menyadari bahwa aku telah dijebak.
Sikap Takayanagi-sensei yang tidak antusias dan pemeriksaan yang asal-asalan hanyalah sandiwara. Itu dilakukan agar kami lengah…
Dan begitu semua bukti terkumpul, dia menamparkan ultimatum padaku. Semuanya agar aku tak punya kesempatan untuk kabur atau menghapus bukti.
Bagaimana aku bisa tahu? Karena setelah membahas masalah buruk ini, mereka langsung menyampaikan soal penghargaan Aono. Dengan begitu, mereka bisa mengarahkan pikiran para murid.
Karena gosipnya, Aono Eiji dikenal sebagai pria kasar. Jadi, ketika membicarakan kasus kekerasan, kebanyakan murid pasti langsung membayangkan wajah Aono. Tapi setelah itu mereka mengumumkan soal penghargaan dan jasanya dalam menyelamatkan nyawa, maka kredibilitas gosip itu langsung terguncang.
Semuanya ini telah dirancang. Untuk menghancurkan gosip yang aku sebarkan. Itu berarti mereka punya kartu truf. Dalam kondisi begini, aku tidak bisa bertindak gegabah.
Aku meminta bantuan pada gadis yang berdiri di dekatku. Tapi dia hanya menoleh padaku, tersenyum kecil, lalu berkata pelan, "Se-le-sai," dan tidak pernah lagi menatapku. Aku sadar bahwa aku benar-benar telah dibuang.
"Sial. Berani sekali meremehkanku."
Kalau dia sudah tak bisa diandalkan, aku harus bagaimana? Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya jalan adalah menghubungi ayah dan menyuruhnya memberi tekanan pada pihak sekolah… Ayah punya koneksi dengan banyak orang berpengaruh.
Lalu aku sadar.
Ponselku—kemarin, aku sendiri yang menghancurkannya. Dengan ini, aku tak bisa menelepon…
"Sialan…"
Aku mengumpat pelan, tapi tak seorang pun mendengarnya.
Terdengar suara jeritan perempuan. Terdengar suara memanggil guru. Sepertinya seseorang pingsan karena anemia. Para murid panik dan mulai berhamburan.
Ini kesempatan. Aku memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari ke pintu keluar gedung olahraga. Aku harus kabur dari sekolah dan menghubungi ayah agar membantuku.
Kalau sampai ditangkap, semuanya selesai. Impian bermain sepak bola, cewek-cewek, semuanya akan lenyap. Kalau sampai itu terjadi, aku bukan lagi diriku.
Cepat, cepat, cepat.
Aku melarikan diri sendirian dari sekolah.
※
—Ruang UKS, Sudut Pandang Takayanagi—
Dari sudut mataku, aku melihat Kondo panik melarikan diri dari gedung olahraga.
"Bodoh. Kabur di saat seperti ini sama saja dengan mengakui semuanya. Orang-orang itu pasti akan memanfaatkannya juga. Fakta bahwa Aono ternyata tidak melakukan kekerasan, lalu Kondo yang mendadak menjadi dekat dengan Amada. Dan sekarang, pelariannya yang mencurigakan. Gosip seperti ini mudah sekali menyebar. Yah, kau sendiri pasti tahu itu lebih baik dari siapa pun."
Kesal pada si brengsek itu, aku meninggalkan posisiku demi Amada Miyuki yang pingsan. Saat aku sampai di ruang UKS, Amada tampak sedang tidur.
Karena aku tidak punya pelajaran di jam kedua, aku memutuskan untuk menunggu bersama Mitsui-sensei sampai Amada sadar.
Wajahnya sangat pucat. Sepertinya dia tidak makan dan tidur dengan benar. Pasti karena rasa bersalah.
Sampai semester satu, Amada dan Aono benar-benar dekat. Melihat hubungan mereka memburuk sejauh ini sangat menyedihkan bagi siapa pun yang mengenal mereka.
"Di mana ini…?"
Sekitar sepuluh menit kemudian, Amada terbangun.
Tapi dia masih terlihat lemah.
"Ini ruang UKS. Tadi kau pingsan saat upacara sekolah. Kau baik-baik saja? Bagaimana kondisi tubuhmu?"
Dia tampak tidak benar-benar mengerti apa yang aku katakan, dan wajahnya semakin pucat.
"Eiji mana? Aku harus menghentikan Eiji. Dia bisa mati. Ini semua salahku."
Dengan wajah jelas kebingungan, dia berusaha turun dari ranjang, tapi tubuhnya limbung. Aku dan Mitsui-sensei buru-buru membaringkannya kembali.
"Tenang. Aono sekarang sedang bersama kepala sekolah."
Begitu aku berkata begitu, dia tampak bingung dan mulai menangis. Kondisinya terlalu labil. Mungkin tidak bisa dipaksa untuk memberi informasi saat ini.
"Begitu ya… Begitu ya… Jadi mimpi…"
Cara Amada berbicara seperti mainan rusak membuatnya terlihat sangat menyedihkan.
"Kau baik-baik saja?"
"Iya…"
Dia tampak gelisah saat melihat wajahku.
Seolah telah mengambil keputusan, dia menunduk dan mulai berbicara pelan dengan kata-kata yang terputus-putus.
"Amada. Mungkin ini bukan tempatnya, tapi… apakah ada sesuatu yang harus kau sampaikan padaku?"
Dengan ultimatum tadi, dan fakta bahwa dia pingsan setelah itu, rasanya sudah cukup jelas.
"Ada…"
Dengan tubuh nyaris rubuh, dia mulai mengungkapkan kata-katanya dengan suara bergetar.
"Aku… selingkuh dengan Kondo-senpai… Aku mengkhianati Eiji. Dan saat Eiji tahu, aku takut kehilangan segalanya, jadi aku mengikuti perintah Senpai… Aku membantu memfitnah Eiji, bilang kalau dia telah melakukan kekerasan terhadapku… padahal dia cuma menyentuh bahuku. Lalu kami mengucilkannya, sampai dia nyaris bunuh diri. Semua… semua ini salahku…"
Aono sampai berpikir untuk bunuh diri. Pengakuan mengejutkan itu membuatku terdiam sejenak.
Dan juga… rasa kecewa karena Amada, siswi teladan seperti dia, sampai tega berbohong bahkan pada guru demi melindungi dirinya. Tapi mungkin itu pikiran yang egois dariku.
Sebenarnya aku sudah tahu bahwa dia berbohong. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulutnya terasa sangat menyakitkan.
"Begitu ya… jadi waktu itu pun kau juga berbohong, ya?"
"Iya…"
Amada mengangguk perlahan.
"Amada, kenapa kau melakukan hal seperti itu...? Kalau Aono sampai mati karena perundungan, itu akan jadi sesuatu yang tak bisa diperbaiki tahu. Bahkan sekarang pun, sudah tak bisa diperbaiki. Meskipun kau mengakui kesalahanmu dan meminta maaf, mungkin tetap ada orang yang tidak mempercayainya. Reputasi Aono yang sudah rusak tidak akan mudah dipulihkan. Dalam kasus terburuk, dia harus menanggung luka ini seumur hidup. Mungkin bagimu ini terasa sepele. Tapi itu adalah salah satu hal terburuk yang bisa dilakukan manusia."
Tak ada lagi yang bisa membelamu.
"Aku sudah menyelidiki banyak hal soal kejadian ini. Menuduh orang tanpa bukti adalah tindak kriminal yang jelas. Kalau pihak sekolah mempercayai ucapan kalian, mungkin Aono sudah dikeluarkan dari sekolah. Kau paham kan?"
Aku bukan ahli hukum. Tapi aku sudah mencari tahu berbagai kasus dan berita. Misalnya, orang yang menyebarkan berita palsu tentang selebritas dan menjelek-jelekkan mereka di internet, banyak yang ditangkap polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Amada pun bisa saja mengalami hal serupa.
"Aku paham."
"Kalau kau melakukan hal seperti ini, bisa-bisa kau ditangkap polisi. Kenapa kau memilih jalan yang menghancurkan hidupmu sendiri...?"
Penyesalan karena gagal menyelamatkan muridku dan kemarahan karena dikhianati—semua itu kutumpahkan padanya. Tapi tak banyak lagi yang bisa kulakukan.
"Aku... akan jadi apa setelah ini...?"
Dia bertanya dengan suara lemah. Kalau ini dikategorikan sebagai kejahatan, maka hukumannya bisa berupa skorsing atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Apalagi dia telah memfitnah Aono yang tak bersalah dan menyebabkan perundungan terhadapnya.
"Aku rasa, hukumannya akan sangat berat."
Itu saja yang bisa kusampaikan. Bahkan kalau dia tetap di sekolah, dia pasti akan sangat menderita. Teman-temannya akan menghakiminya—bertanya kenapa dia membohongi mereka.
Dan untuk siswa-siswa yang melontarkan kata-kata kejam atau ikut mendorong perundungan, meski tidak separah pelaku utama, mereka juga akan dikenai hukuman yang pantas.
Log aktivitas internet sebanyak mungkin sudah kusuruh Aono simpan. Mereka yang dihukum mungkin akan kehilangan kesempatan masuk universitas lewat jalur rekomendasi.
Siswa-siswa yang termakan gosip dan benar-benar merugikan Aono bisa saja dikeluarkan. Dan yang paling menyakitkan, Aono sebagai korban utama telah menerima luka batin yang tak akan pernah sembuh seumur hidup.
Tak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatan seperti ini. Kondo dan Amada telah merusak kehidupan banyak orang.
"Tidak...kkkkk!!"
Teriakan memilukan yang seperti jeritan kematian menggema.
Sisanya, kupercayakan pada Mitsui-sensei.
Aku meninggalkan ruang kesehatan dan menuju lorong.
—Sudut Pandang Seorang Siswi—
Melihat pidato kepala sekolah dan Kondo yang panik melarikan diri, aku tertawa kecil dalam hati.
Wah, akhirnya menarik juga nih.
Jadi begitu, Kondo ketahuan, ya. Kasihan deh. Tapi kalau aku ikut bergerak demi dia, bisa-bisa aku juga ikut hancur.
"Kau sepertinya selesai sampai di sini. Selamat tinggal, Kondo-kun."
Aku menghapus akun SNS yang dulu kubuat khusus untuk berkomunikasi dengannya. Tentu saja semua riwayat pesan juga kuhapus sepenuhnya. Dengan ini, hubungan kami benar-benar sudah tidak ada.
Kalaupun aku ditanyai soal Eiji-kun, aku bisa bilang bahwa aku juga tertipu oleh gosip. Bahwa aku merasa bersalah dan ingin meminta maaf. Pihak sekolah pasti takkan mempermasalahkannya. Lagi pula, banyak juga siswa lain yang ikut menyebarkan gosip. Tak mungkin semua orang dihukum.
Yah, mungkin membuang barang-barang pribadi Eiji-kun itu terlalu keterlaluan. Tapi kalau sesama anggota klub menyusun cerita bersama, pasti bisa ditutupi. Misalnya bilang aku mau keluar dari klub dan sudah pisahkan barang-barangnya, lalu ada yang mencuri, atau mungkin barang-barangnya tak sengaja dibuang karena disangka sampah.
Tak ada yang ingin dihukum. Maka semua orang akan sepakat untuk bungkam. Tak ada untungnya saling mengkhianati.
Mainan bernama Kondo-kun memang sudah rusak, tapi aku masih bisa melihat proses kehancurannya. Itu juga seru, kan?
Tatapan pasrah yang ia tunjukkan tadi adalah mahakarya.
Dia sok jahat dan bilang dirinya seorang psikopat, tapi nyatanya cuma palsu.
Kemungkinan besar, pihak sekolah sudah siap berperang habis-habisan dengan orang tua Kondo. Dan kalau orang dewasa sudah siap perang, berarti mereka punya sesuatu—sebuah harapan menang—meskipun melawan orang kuat di kota ini.
"Yah, sekarang saatnya menikmati cerita selanjutnya."
Aku tersenyum kecil dalam hati. Mulai sekarang, akulah narator dari cerita ini.
Seorang junior dari klub sastra yang duduk di barisan sebelah menoleh padaku dengan wajah sedikit pucat.
"Ketua, kita aman, kan?"
Ah, baru sekarang dia merasa khawatir rupanya.
"Tentu saja, serahkan sisanya padaku."
Satu-satunya hal yang masih jadi perhatianku adalah Hayashi. Untung aku sudah mengancamnya dengan cukup tegas. Anak sepenakut itu takkan berani melawan kalau diancam.
— Dari sudut pandang Shimokawa —
Saat upacara pagi, aku melihat Kondo-senpai kabur.
Watanabe-senpai yang ada di dekatku menertawakannya dengan nada mengejek.
"Heh, lihat itu, Shimokawa. Si Kondo lari terbirit-birit. Dia sudah habis!!"
Setelah acara selesai, aku langsung membagikan kejadian itu di SNS klub sepak bola.
[Hei, Kondo-senpai kabur!!]
Pesanku langsung dibaca, dan anggota lain mulai merespons satu per satu.
[Hah!?]
[Tadi waktu upacara sekolah, setelah disebutkan soal insiden kekerasan, Amada pingsan, kan. Katanya, di tengah kekacauan itu, ada yang lihat si senpai lari keluar dari gym.]
[Dia benar-benar sudah tamat.]
[Pasti dari awal dia cuma bohong sama kita. Kita semua dibohongi!]
[Aku kesel banget karena dia sok berkuasa. Lega juga sekarang.]
Semua reaksinya sama. Aku sempat merasa cemas—bagaimana kalau dari awal Kondo-senpai memang berbohong? Lalu aku menulis lagi:
[Gimana kalau gosip soal Aono itu sebenarnya cuma bohong? Gimana kalau kita juga ikut diselidiki… Sekarang pun Takayanagi-sensei terus mengorek-orek kita…]
[Hah!?]
[Maksudmu apa? Kita semua jadi korban gara-gara Kondo... Tapi orang yang paling bertanggung jawab malah kabur duluan?]
[Berarti, polisi juga sedang bergerak soal Kondo, kan? Kita juga dalam bahaya.]
[Tapi kita cuma ngelakuin apa yang Kondo suruh. Jadi kita aman, kan?]
[Iya, kita tuh korban yang dibohongi!]
[Ingat ya, yang salah itu Kondo. Kita enggak salah apa-apa.]
Banyak yang menulis seperti itu, dan sedikit demi sedikit perasaanku menjadi lebih tenang.
Iya, yang bersalah itu semua... Kondo-senpai!!
※
Setelah upacara sekolah, aku mengikuti pelajaran bahasa Inggris dari kepala sekolah di ruang kelas kosong. Jujur saja, sebelumnya aku benci pelajaran ini. Aku kesulitan melafalkan kata-kata, dan membaca teks panjang dalam bahasa Inggris sangat menyebalkan, padahal kalau teks bahasa Jepang bisa kulahap dengan mudah.
Tapi, pelajaran bahasa Inggris dari kepala sekolah benar-benar menyenangkan. Karena beliau hobi bepergian, terutama ke negara-negara berbahasa Inggris seperti Filipina, Australia, Selandia Baru, Amerika, Kanada saat libur panjang, jadi beliau mengajarkan banyak bahasa Inggris praktis.
Waktu pelajaran tambahan kemarin, beliau bercerita menarik:
"Aku suka whisky Amerika. Kau tahu? Whisky itu asalnya dari Skotlandia di Inggris dan disebut Scotch whisky. Tapi, penulisan 'whisky' di Amerika berbeda—mereka menulisnya 'whiskey'. Kenapa bisa beda? Karena banyak pembuat whisky di Amerika keturunan Irlandia. Orang Irlandia bangga karena merasa merekalah yang pertama kali menciptakan whisky, jadi mereka pakai penulisan berbeda dari Scotch. Di Jepang, kita meniru Scotch, jadi kita pakai ejaan mereka. Menarik, kan? Bahkan dalam satu bahasa, arti sebuah kata bisa berubah tergantung di mana digunakan. Di balik itu ada sejarah yang dalam. Kalau bisa memahami sisi itu juga, kemampuan bahasa Inggrismu akan meningkat pesat."
Beliau memahami bahasa Inggris di luar konteks pendidikan formal. Kata-kata seperti "buat apa belajar Inggris, toh enggak dipakai di Jepang" yang dulu sering kupikirkan, langsung terpatahkan. Pandanganku berubah total.
Sejak itu, aku mulai menikmati belajar bahasa Inggris. Aku bahkan menjadikan menonton drama berbahasa Inggris dari layanan streaming langganan ibuku sebagai rutinitas untuk latihan listening.
Kemudian, kepala sekolah masuk ke kelas.
"Aono-kun. Boleh aku ngobrol sedikit sebelum kita mulai pelajaran?"
Beliau memulai dengan senyuman seperti biasa.
"Iya, silakan."
"Soal kejadian hari Senin. Aku sudah bilang tadi, tapi izinkan aku mengulanginya—aku benar-benar bangga padamu. Karena kelalaian kami, kau mengalami masa sulit. Tapi kau tidak menyerah. Kau memilih untuk menghadapi kenyataan pahit itu. Itu saja sudah luar biasa. Tapi lebih dari itu, kau adalah pribadi hebat yang melebihi bayangan orang dewasa. Saat melihat orang lain kesusahan, kau langsung mengulurkan tangan, meski dirimu sendiri dalam situasi sulit. Murid sepertimu sangat langka. Sebagai pendidik, tak ada kebahagiaan yang lebih besar. Tahun depan aku pensiun, tapi bisa bertemu murid sepertimu di akhir karierku membuatku merasa beruntung. Terima kasih."
Kepala sekolah membungkuk dalam-dalam.
"Bukan karena aku sendiri kok. Aku bisa melawan karena ada teman dan guru yang mendukungku. Dan juga, pertolongan jiwa itu bisa terjadi karena ada om-om yang menelpon ambulans, suster yang menolong, dan Ichijou-san yang membawa AED."
"Kalian semua benar-benar hewyabat… Barusan Ichijou-san juga bilang hal yang sama. Kalian saling memuji kelebihan satu sama lain dan tetap rendah hati tentang diri sendiri. Kalian pasangan yang harmonis, ya."
Dipuji seperti itu sedikit memalukan, tapi mendengar aku dan orang yang kusukai cocok sebagai pasangan… tentu saja membuatku senang.
Saat wajahku memerah, kepala sekolah tersenyum.
"Petugas pemadam kebakaran katanya akan datang ke sekolah hari ini. Sampai saat itu, mari belajar dengan semangat."
Pelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan pun dimulai.
— Dari sudut pandang Aijiou Ai —
Waktu upacara penghargaan semakin dekat, dan para siswa mulai bergerak menuju tempat upacara kedua hari ini.
"Hei, ternyata gosip soal Aono itu cuma bohong, ya?"
"Iya, kan. Nggak mungkin dapat penghargaan kalau polisi sedang menyelidiki dia."
"Jadi gimana? Ada yang sengaja menyebar kebohongan dan menjelek-jelekkan Aono?"
"Kelihatannya memang begitu."
"Kalau gitu, siapa yang bohong?"
Saat sedang dalam perjalanan, aku mengeluarkan ponsel dan mengintip situs belakang sekolah. Seperti yang kuduga, ada orang-orang yang mempertanyakan rumor itu dan sedang berdiskusi di papan pesan.
[Kurasa sejak Ichijou-san berpihak pada Aono, aku sudah merasa ada yang aneh.]
[Orang seperti dia nggak mungkin mendekati cowok kasar seperti itu.]
[Berarti cuma dia yang sadar kalau Aono sebenarnya difitnah, dan selama ini terus mendukungnya.]
[Hebat.]
[Dia sampai rela punya musuh demi melindungi si korban, ya.]
[Tapi Ichijou-san bilang, dia punya utang budi pada Aono-senpai.]
[Lagipula, waktu kejadian nolong orang itu, mereka juga bareng, kan? Pasti mereka pacaran, deh.]
[Kemarin juga mereka kencan sepulang sekolah. Udah jelas mereka pacaran.]
Melihat gosip tentang diriku sendiri bikin malu. Kami memang belum pacaran, tapi aku nggak merasa keberatan dengan rumor seperti itu.
Tanpa sadar aku menggunakan kata "belum." Aku sudah nggak bisa lagi membohongi perasaanku sendiri. Tapi yang utama sekarang adalah membuktikan kalau Senpai tidak bersalah.
Biasanya aku muak dengan tempat seperti ini, tapi kali ini aku ikut menulis di situs belakang sekolah. Ada sedikit rasa jijik karena harus mengotori tanganku sendiri. Tapi lebih dari itu, aku tidak bisa memaafkan keadaan ini.
[Siapa yang bohong, pasti semua orang udah tahu, kan?]
Dengan satu kalimat dariku, alur pembicaraan di papan pesan berubah drastis. Aku nggak perlu menulis lebih banyak lagi. Semua orang pasti kesulitan untuk jadi yang pertama bicara. Setelah ini, kebenaran akan mengalir deras ke lautan internet seperti bendungan yang jebol.
[Benar juga.]
[Waktu kabar itu muncul, Amada Miyuki jelas-jelas panik dan sampai pingsan.]
[Dia sekelas denganku, tapi sejak rapat umum sekolah kemarin, Kondo nggak kelihatan sama sekali.]
[Udah jelas, dong. Sebelum kejadian ini pun, mereka sering bareng.]
[Kondo-senpai kabur, ya. Sampai ninggalin ceweknya juga.]
[Berarti mereka selingkuh, terus karena takut ketahuan, mereka nuduh Aono-kun buat nutupin semuanya?]
[Kalau itu benar, keterlaluan banget.]
[Gak masuk akal...]
[Gila, parah banget.]
[Kasihan Aono-kun.]
Kepercayaan yang hilang dari Senpai memang nggak bisa langsung kembali begitu saja, tapi situasinya akan membaik secara dramatis. Aku nggak mau pakai cara seperti ini, tapi mereka yang memulai lebih dulu.
"Aku akan pastikan kalian bertanggung jawab karena sudah menyudutkan Aono Eiji, orang yang sangat penting bagiku. Aku tidak akan pernah memaafkan kalian."
Apa yang mereka lakukan, sekarang kembali menimpa diri mereka sendiri.
Apalagi mereka mengorbankan dia, yang begitu baik hati, demi menyelamatkan diri sendiri, sampai membuatnya berpikir untuk bunuh diri... Bahkan ini pun masih tergolong ringan.
Dengan marah yang tenang pada orang-orang tak bertanggung jawab yang begitu mudah mengubah posisi mereka, aku menutup situs belakang sekolah.
Untuk melindungi orang yang penting, aku akan menggunakan semua yang bisa kupakai.
Karena aku sudah sadar, kalau tidak begitu, aku tidak akan bisa melindungi apa pun.
Aku mengirim pesan ke Kuroi.
"Kalau keadaan jadi parah, aku akan minta langsung pada ayah. Tolong siapkan agar bisa segera dihubungi."
Kalau itu demi dia, aku bahkan rela menundukkan kepala yang tak ingin kutundukkan.
Sebentar lagi, anggota dewan Kondo pasti mulai bergerak. Kalau dia mulai bertindak semena-mena dan melakukan hal curang pada keluarga Senpai, aku tidak akan pernah memaafkannya.
Soal permintaan dari stasiun TV, aku juga sudah izinkan untuk menampilkan wajahku.
Katanya, petugas pemadam kebakaran akan datang sepulang sekolah untuk memberikan penghargaan pada kami. Wartawan juga akan datang saat itu, jadi kalau adegan itu ditayangkan, reputasi Senpai yang sudah ternoda akan bisa dipulihkan lebih jauh lagi.
Kalau siaran itu berjalan lancar, tak akan ada lagi yang bisa menyakiti Senpai.
Hari ini, semuanya akan berakhir.
Kalau kita beri waktu lebih lama pada musuh, situasinya bisa makin memburuk. Aku tidak akan membiarkan orang sebaik itu terus disudutkan.
Aku sudah membulatkan tekad.
Untuk bisa maju bersama dia!!
Dan sebelum waktu istirahat siang, diadakan lagi rapat umum.
Katanya, pelajaran dipersingkat supaya penghargaan untuk kami bisa dilakukan saat rapat umum sekolah. Pasti ini bentuk perhatian dari pihak sekolah. Karena dengan begini, fitnah terhadap Eiji Senpai akan bisa dibersihkan sejauh mungkin.
Dan semua orang mengerti bahwa waktu ini adalah batas ultimatum dari pihak sekolah.
Kalau para pelaku tidak mengaku sebelum rapat ini berakhir, akan ada konsekuensi besar. Para siswa yang terlibat pasti tidak bisa tenang. Karena ini sekolah unggulan, hal seperti ini jadi lebih berat. Semua orang takut keluar dari jalur yang sudah ditentukan. Mereka akan kehilangan semua reputasi yang telah dibangun.
Mungkin Amada Miyuki juga merasa begitu waktu perselingkuhannya hampir terbongkar. Ingin mempertahankan posisinya sekarang. Dengan pikiran dangkal itu, mereka merekayasa fitnah dan menyudutkan Eiji Senpai sampai hampir bunuh diri. Itu kesalahan yang tak bisa dimaafkan.
Kalau saja mereka rela melepaskan sedikit rasa ingin menyelamatkan diri itu, mereka tak akan kehilangan segalanya. Tapi karena mempertahankan diri, mereka terus menumpuk kebohongan sampai akhirnya menghancurkan diri sendiri. Itu sungguh tak termaafkan.
Kami menunggu di sisi panggung. Senpai yang ada di dekatku benar-benar kelihatan tegang. Wajar saja. Dia punya luka batin karena pernah dibully. Meski dia tahu ini perlu untuk menghapus nama buruknya, dia harus berdiri di hadapan sekelompok orang yang pernah menyakitinya. Aku tahu betapa besar keberanian yang dibutuhkan. Aku juga pernah menderita karena kebencian anonim selama ini.
"Tidak apa-apa. Aku pasti akan selalu ada di sampingmu, dan aku akan jadi pendukungmu."
Aku menggenggam tangannya perlahan. Sedikit balasan untuk dia, yang di hari itu memberiku keberanian untuk hidup.
Kamu adalah orang yang luar biasa, dan aku yang pernah bersamamu walau sebentar, tahu itu lebih dari siapa pun. Orang sebaik dirimu tidak pantas menjadi korban fitnah seperti itu. Orang sebaik kamu tidak seharusnya dibully.
Itulah kenapa aku ingin kamu terus maju. Karena kalau kamu bisa maju, aku pun bisa ikut melangkah lebih jauh.
Aku merasa ini seperti menitipkan harapan padanya, dan memang itu agak curang, tapi tetap saja... aku ingin terus hidup bersamanya.
Aku tidak pernah menyangka akan ada hari di mana aku ingin berjalan bersama seseorang. Selama ini aku terus menyalahkan diri sendiri.
Kalau saja waktu itu aku bisa melakukan sesuatu, mungkin keluargaku masih bahagia sampai sekarang. Sampai hari ini aku masih percaya itu. Dan aku belum bisa memaafkan diriku sendiri, rasa sesal itu terus menghambatku untuk maju. Ditambah lagi ketakutan karena tak tahu siapa yang jadi musuh, dan rasa curiga pada semua orang.
Aku merasa diriku seperti burung dalam sangkar. Selalu diawasi, dan harus menjalani hidup yang rasanya tak punya makna. Aku dulu benar-benar berpikir seperti itu...
Tapi dia telah mengubah dunia putus asa yang kelabu itu.
Banyak orang bilang ingin mengulurkan tangan padaku, tapi hanya dia yang benar-benar menunjukkannya lewat perbuatan.
Dan dia menerima aku apa adanya. Itulah kenapa aku akan terus melangkah ke depan. Bersama dia, selamanya.
"Terima kasih, Ichijou-san. Aku jadi berani karena dirimu."
Dia menggenggam tanganku dengan lembut. Sama seperti saat dia membawaku keluar dari keputusasaan dan mengingatkanku akan hangatnya keluarga.
Lalu dia menarik tanganku dan menuntunku.
Kami perlahan melangkah ke dalam cahaya.
Kami dipanggil namanya dan melangkah menuju tengah panggung.
Seorang petugas pemadam kebakaran berpangkat tinggi dengan seragam lengkap memandangi momen kami yang membanggakan itu dengan senyum hangat.
"Kalian berdua telah memberikan respons yang sangat tepat. Berkat kalian, satu nyawa pria berhasil diselamatkan."
Petugas pemadam kebakaran yang akan memberikan piagam penghargaan itu berbisik lembut sebelum mulai membacakannya. Berkat itu, ketegangan kami pun sedikit mereda.
Lalu, ia membacakan piagam penghargaan dengan suara lantang dan tegas. Kami membungkuk hormat, menerima piagam itu, dan ketika berbalik, tepuk tangan besar pun menggema.
Senpai memandangi seluruh murid sekolah dengan ekspresi yang tampak lega. Ini sudah pasti akan mengubah arah situasi.
Dipenuhi rasa puas yang hangat, aku menyaksikan semua itu.
"Terima kasih, Ichijou-san, karena sudah percaya padaku."
Dia mengucapkannya dengan suara yang nyaris hanya bisa kudengar sendiri.
Karena itu, aku pun membalas dengan cara yang sama.
"Terima kasih juga, karena sudah menemukan aku di hari itu."
Lalu kami saling tersenyum.
22 comments