NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kazukazu no Kokuhaku o Futte Kita Gakkou no Madon'na ni Sotobori o Ume Raremashita Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Chapter 4

Pergi ke Pantai Bersama Tiga Gadis Cantik


Pagi hari di musim libur musim panas akhirnya tiba――


"Nii-ni, cepat…!"


Padahal biasanya ini masih waktu tidur, tapi karena hari ini pertama kalinya pergi ke pantai, semangat Kokoa mencapai puncaknya. Dia menepuk-nepuk tanganku dan mendesak dengan tergesa-gesa.


"Jangan terburu-buru, pantainya nggak akan kabur, kok."


Waktu bermain mungkin memang jadi lebih sedikit, sih. Lagipula, Misaki dan yang lainnya akan menjemput kami, jadi terburu-buru pun tidak akan mengubah apa-apa.


"Pengen cepat-cepat ketemu rakko-shan…!"


"…Hah?"


Rakko? Kenapa?


"Kenapa pengen ketemu rakko…?"


"Di pantai, ada rakko-shan…!"


Ah, begitu rupanya. Aku mulai merasa pusing.


"Juga ada iruka-shan dan ingin-shan…!"


TLN : Rakko iru Berang-berang laut, Iruka = Lumba-lumba, Ingin = Penguin

Meski belum pernah aku ajak ke akuarium, Kokoa sudah tahu soal rakko, lumba-lumba, dan penguin dari buku bergambar dan TV. 


Memang benar sih, laut adalah tempat di mana lumba-lumba dan penguin hidup. Tapi sepertinya dia salah paham dan berpikir kalau pergi ke laut, dia bisa langsung bertemu mereka.


"Maaf ya, Kokoa… Tapi kamu nggak akan bisa ketemu berang-berang laut atau lumba-lumba atau penguin di sana."


Kalau berang-berang laut dan penguin memang nggak mungkin, tapi mungkin saja kalau lumba-lumba bisa terlihat kalau kita pergi agak ke tengah laut. Tapi kami nggak punya perahu, dan jelas kami juga nggak bisa berenang sejauh itu. Jadi, mau tak mau dia harus menerima kenyataan.


"………"


Begitu tahu kalau dia nggak bisa bertemu, Kokoa membuka mulut kecilnya lebar-lebar, terlihat sangat terkejut. Sudah lama aku nggak lihat dia seputus asa ini.


"Nggak bisa ketemu…Rakko-shan…?"


"Nggak bisa, ya…"


"Dan iruka-shan juga…?"


"Iya…"


"Ingin-shan juga…?"


"Maaf… nggak bisa ketemu juga…"


"………"


"Uuh…"


Kokoa menatapku dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis. Sudah beberapa hari ini aku tahu dia sangat menantikan pergi ke pantai. Dan kalau ternyata alasan terbesarnya adalah untuk bertemu Berang-berang laut dan teman-temannya… wajar dia ingin menangis sekarang.


"Aku janji, nanti kita pergi ke akuarium ya. Untuk sekarang, sabar dulu ya?"


Aku memberikan alternatif agar dia nggak menangis sekarang. Memang aku sudah berniat mengajaknya suatu hari nanti, jadi sekalian saja sekarang aku janji. Tapi――mata Kokoa yang sedih itu masih tertuju padaku.


――Ding-dong!


Suasana hati Kokoa belum membaik. Dan di saat seperti ini, entah kebetulan baik atau buruk, Misaki dan yang lainnya pun datang.


"Kokoa, Misaki sudah datang, lho."


"………"


Tanpa berkata apa-apa, Kokoa langsung membuka kedua tangannya padaku. Sepertinya dia masih sedih dan ingin digendong. Aku pun mengangkat Kokoa dengan erat dan menuju ke pintu depan.


"――Ah, selamat pagi."


Saat pintu kubuka, Misaki berdiri di sana dengan senyum cerah. Namun begitu melihat Kokoa di gendonganku, wajahnya langsung berubah jadi heran.


"Kenapa Kokoa-chan kelihatan mau nangis…?"


"Sebenarnya――"


Sambil menenangkan dan mengelus kepala Kokoa, aku menjelaskan ke Misaki soal apa yang baru saja terjadi. Misaki yang mengerti perasaan Kokoa, tersenyum lembut dan mulai mengelus pipi Kokoa juga.


"Kamu sedih karena nggak bisa ketemu Berang-berang laut ya…?"


"Unn…"


Kokoa mengangguk kecil.


"Nanti kita pergi ke akuarium, ya. Di sana kamu bisa ketemu Berang-berang laut, Lumba-lumba, sama Penguin juga kok."


Misaki juga mencoba menenangkannya dengan cara yang sama denganku. Sepertinya memang ini satu-satunya cara untuk membuatnya tenang.


"――Ada apa?"


Saat itu, Suzumine-san turun dari mobil. Karena kami belum juga ke arah mobil, mungkin dia merasa ada yang aneh.


"Selamat pagi, Suzumine-san. Tadi, ada sedikit masalah."


"Selamat pagi… Hmm, aku rasa aku paham."


Aku enggan menjelaskan hal yang sama untuk kedua kalinya, jadi aku hanya menjawab sambil mengelak. Tapi Suzumine-san melihat ekspresi Kokoa dan tampaknya langsung mengerti.


"………"


"Kenapa kamu lihat aku dengan ekspresi nggak puas begitu?"


Karena Misaki menatapku terus, aku tanpa sadar bertanya. Aku benar-benar nggak tahu alasan dia menatapku begitu tajam…


"Soalnya, kamu nggak balas sapaan aku tadi, tapi malah nyapa Hyouka-chan duluan~"


Jadi itu alasannya… Dia kesal karena merasa diperlakukan berbeda, ya?


"Jangan marah dong, soal sepele begitu…"


Suzumine-san hanya tersenyum maklum. Memang, di luar sekolah dia terlihat jauh lebih lembut.


"Tapi tetap aja…"


"Shirai-kun, biarkan saja anak ini, angkat barang-barangnya, lalu kamu juga naik. Kursi anaknya sudah dipasang di jok belakang sisi penumpang depan."


Seperti biasa, perlakuannya terhadap teman masa kecilnya sungguh sembarangan. Kalau sudah bersama sejak kecil, mungkin memang jadi seperti itu.


"Aku naikkan Kokoa dulu, baru ambil barang-barangnya."


Soalnya, kalau masih menggendong dia, agak susah bawa barang. Jadi, aku putuskan untuk menaikkan Kokoa ke mobil lebih dulu. Saat aku membuka pintu mobil dan hendak menyapa kakaknya Misaki—


"Selamat pagi, Shirai-san."


"Eh...?"


Orang yang tak pernah terpikirkan duduk di kursi pengemudi.


"Shensei!?"


Sepertinya Kokoa mengenali dari suaranya. Seketika semangatnya langsung melonjak naik dan dia menoleh ke belakang dengan penuh semangat. Di sana, berdiri Sasagawa-sensei, yang tersenyum lembut seperti biasa. Pantas saja, wajahnya mirip dengan Misaki...


"Jadi kakaknya Misaki itu Sasagawa-sensei..."


Karena nama keluarganya berbeda, aku sama sekali tidak menyangka. Padahal aku tahu kalau Sasagawa-sensei sudah menikah, jadi seharusnya bisa menyimpulkan kalau dia memakai nama keluarga suaminya…


"Maaf mengejutkanmu ya. Sebenarnya aku berniat diam saja sampai Misaki memperkenalkanku."


Sasagawa-sensei menjelaskan sambil tetap tersenyum lembut seperti biasa. Mungkin dia merasa lebih sopan kalau menunggu adiknya yang memperkenalkan. 


Sama seperti Misaki, dia kelihatan tipe orang yang serius....Tapi tunggu dulu, Kalau dia kakaknya Misaki, berarti dia-lah orang yang butuh waktu lama untuk bangkit setelah kehilangan suaminya, kan...? Dan meskipun kelihatannya sempurna di luar, tapi katanya sangat malas di rumah...


Aku... sama sekali tak bisa membayangkan Sasagawa-sensei jadi orang yang urakan di rumah. Soalnya aku cukup mengagumi beliau... jadi ini bikin perasaanku agak campur aduk.


"Shensei juga ikut ke pantai...!?"


Sambil aku masih bingung, Kokoa yang sudah kembali ceria bertanya pada Sasagawa-sensei. Dia memang sangat akrab dengan sensei, jadi pasti senang bisa bertemu. Mungkin juga alasan dia langsung dekat dengan Misaki adalah karena dia melihat kemiripan dengan Sasagawa-sensei.


"Iya, Kokoa-chan. Hari ini senang bisa bersamamu ya."


"Un! Yoroshiku!"


Meskipun aku kaget dengan kehadiran Sasagawa-sensei... untungnya, suasana hati Kokoa sudah membaik. Bisa jadi, daripada berang-berang laut atau lumba-lumba yang belum pernah dia temui, bertemu dengan sensei lebih membahagiakan baginya.


"Shirai-san, kita bisa ngobrol di dalam mobil, lho."


"Baik, aku naikin Kokoa dulu, lalu ambil barang-barangnya."


Karena dia menyarankan begitu, aku segera mendudukkan Kokoa ke kursi anak. Meski kursi anaknya kecil, tetap saja memakan cukup banyak ruang. Rasanya, dua orang yang duduk di belakang bakal agak sempit dan harus berdempetan.


"—Kamu kenal kakakku?"


Sepertinya dia mendengar percakapan kami. Saat aku hendak kembali mengambil barang, Misaki bertanya.


"Beliau adalah wali kelas Kokoa di penitipan anak."


"Eh, begitu!?"


"Justru kenapa kamu yang nggak tahu...?"


Melihat Misaki yang terkejut, Suzumine-san menunjukkan ekspresi heran. Aku pun berpikiran sama.


"Kenapa aku harus tahu soal itu...?"


"Shirai-kun, kamu bilang kan kalau menitipkan Kokoa di penitipan dekat rumah. Nah, satu-satunya penitipan anak di dekat sini itu..."


"...Tempat kakakku kerja..."


Saat Suzumine-san menjelaskan pelan-pelan, Misaki pun memalingkan wajahnya dengan rasa bersalah.


"..."


"..."


"K-Kenapa kalian berdua ngelihatin aku begitu sih...!"


Saat aku dan Suzumine-san menatap Misaki dalam diam, dia pun panik sambil hampir menangis. Padahal kami cuma menatap biasa saja...


"Misaki tuh emang ada sisi natural bodohnya, ya..."


"Yah, tapi itu juga jadi salah satu daya tariknya."


"..."


Ucapan pembelaanku membuat Suzumine-san menatapku dengan heran, dan Misaki malah jadi menunduk dengan wajah merah. Eh? Itu reaksi apa lagi…?


"Ada yang mau kamu bilang, ya?"


"Nggak, bukan apa-apa kok. Cuma... soal tempat duduk. Tadinya aku pikir bakal duduk di belakang bareng Misaki, tapi kayaknya aku di depan aja ya."


"Hah...?"


Itu berarti—


"Ayo cepetan ambil barang-barangnya, pantai sudah menunggu. Misaki, kita duduk dulu di mobil, ya."


Bahkan sebelum aku bisa tanya, Suzumine-san langsung mendorong punggung Misaki dan masuk ke mobil. Seperti yang dia bilang tadi, dia duduk di depan, dan Misaki di belakang.


Eh, tunggu... ini agak gawat, deh...


Bersikap seolah-olah kami pasangan palsu aja udah susah, dan sekarang tambah rumit lagi...



"—Misaki, kamu nggak sesak, kan...?"


"Ti-tidak apa-apa..."


Saat ini, aku dan Misaki duduk bersebelahan di bangku belakang mobil. Karena kami berdua memakai baju lengan pendek, kulit kami bersentuhan langsung, dan entah kenapa rasanya jadi canggung.

Padahal kami pernah saling menempel seperti ini di rumah, tapi kenapa sekarang malah jadi malu begini—.


"Kelihatan akrab banget, ya~"


Itu semua gara-gara Suzumine-san yang terlihat menikmati ini dari bangku depan sambil menyeringai. Dia benar-benar menikmati membuat kami malu sendiri.


"Nii-ni dan Nee-ne akur banget...!"


...Yah, meskipun begitu, Kokoa mengangguk senang. Karena anak ini jujur dan memang terlihat bahagia, jadi masih bisa dimaklumi...


"Hyouka-chan kelihatan senang..."


"Nggak kok?"


Menanggapi kata-kata Misaki, Suzumine-san hanya menoleh sambil tersenyum menyeringai. Ekspresinya sama sekali nggak cocok dengan ucapannya.


"Aku sendiri juga senang, kok, Shirai-san mau akrab dengan Misaki."


Saat aku memelototi Suzumine-san, Sasagawa-sensei bicara dari kaca spion dengan senyum lembut. Sebagai kakak, tentu saja dia peduli dengan adiknya.


"Misaki itu anak yang baik, jadi dia memang gampang akrab sama siapa saja."


"Eh-hehe..."


Karena yang bicara itu kakaknya, aku sengaja mengatakannya langsung. Mendengarnya, Misaki malah tersenyum ceroboh. Padahal dia sering dipuji di sekolah, tapi tetap saja dia mudah malu, ternyata dia tipe yang lemah dengan pujian. 


Yah, pujian tadi bukan asal-asalan sih, aku hanya menyampaikan kenyataan. Faktanya, dia populer banget di sekolah sampai kewalahan sendiri dan memang mudah akrab dengan siapa pun.


"Langka sekali bisa melihat Shirai-san memamerkan kemesraannya seperti ini."


"Ini musim panas, tahu. Jangan bikin suasana makin panas, dong."


Dari bangku depan, dua perasaan yang berbeda datang padaku. Sasagawa-sensei dengan senyum bahagia, sedangkan Suzumine-san melemparkan tatapan malas.


Aneh sekali. Barusan dia yang terus-terusan menggoda, jadi kenapa sekarang mendadak jadi kesal...?


"Aku sih nggak bermaksud pamer kemesraan..."


Karena memang aku tidak bermaksud begitu, jadi aku membantahnya.


"Kalau itu bukan pamer kemesraan, lalu kamu sebut apa?"


Mungkin dia punya pemikiran sendiri, Suzumine-san langsung bertanya sebelum Sasagawa-sensei sempat bicara. Dari sudut bibirnya terlihat senyum nakal, sepertinya dia benar-benar ingin menggoda. Kayaknya tatapan malas tadi itu cuma pura-pura.


"Itu bukan pamer, tapi fakta. Kamu sendiri tahu kan gimana populernya Misaki di sekolah?"


"Meskipun itu fakta, tetap saja kalau kamu mengatakannya tanpa ragu di depan orang lain, itu namanya pamer."


"...Masa sih?"


Karena aku hampir nggak punya teman, aku nggak terbiasa dengan obrolan seperti ini. Jadi aku tanya ke Misaki.


“Unn, gimana ya?”


Dengan pipi memerah, Misaki memalingkan pandangannya. Eh, itu sih udah jelas banget jawabannya...


"Padahal aku beneran nggak merasa sedang pamer, lho..."


"Orang yang pamer itu biasanya memang nggak sadar mereka lagi pamer."


Gitu ya... Tapi kami sebenarnya juga... bukan benar-benar pacaran, kan... Walau begitu, aku nggak mungkin bisa mengatakan itu sekarang.


"Raito-kun itu orangnya blak-blakan waktu memuji orang, jadi mungkin beda dengan pameran biasa..."


Misaki berusaha membelaku. Meskipun entah pujian itu benar-benar menolong atau tidak.


"Kalau memang kalian sebegitu akrabnya sampai bisa saling puji, menurutku itu hal yang indah."


Mungkin dia merasa aku keberatan, karena Sasagawa-sensei akhirnya ikut menenangkan dengan suara lembut. Tapi tetap saja, aku dianggap sedang pamer.


"Lagipula, aku senang melihat Misaki yang sebahagia ini. Dia dulu jadi takut jatuh cinta karena aku... jadi melihat dia bisa pacaran dengan Shirai-san, rasanya lega."


Wajah Sasagawa-sensei terlihat di kaca spion, dengan ekspresi penuh kasih sayang. Rasa bahagia yang tulus terpancar dari dalam hatinya sebagai seorang kakak. Padahal aku sedang melihat sesuatu yang hangat dan penuh cinta—tapi entah kenapa, dadaku terasa sesak sekali.


“…………”


Misaki pun pasti merasa sesak di hati. Sama sepertiku, dia meletakkan tangan di dada dan memalingkan wajah dengan ekspresi canggung. Melihat kami berdua seperti itu, Suzumine-san pun—

menatap kami dengan tatapan malas seolah ingin berkata ‘Itu akibat perbuatanmu sendiri.’


"Nii-ni, Nee-ne, sakit perut...?"


Kokoa menatap kami berdua dengan penuh kekhawatiran. Mungkin dia mengira kalau tangan di dada itu sama dengan tangan di perut.


"Eh, kalian nggak apa-apa? Mau mampir ke suatu tempat dulu?"


Mendengar suara Kokoa, Sasagawa-sensei juga langsung menunjukkan rasa khawatir. Seperti biasa, dia tetap ramah dan cepat tanggap. Tapi dibandingkan itu, kalau soal Suzumine-san—


"Fufu..."


Dia hanya tersenyum nakal dan tertawa pelan lewat hidung. Sepertinya dia benar-benar menikmati melihat kami dalam keadaan canggung. Benar-benar terasa kalau anak ini punya sisi sadis alami.


"Tidak, kami baik-baik saja."


Aku menjawab dengan senyum cerah agar tidak membuat mereka khawatir.


"Ya, aku juga baik-baik saja."


Misaki juga memberikan senyuman yang sama kepada kakaknya. Memang, secara fisik tidak ada masalah. Yang terluka hanyalah hati kami.


Sejujurnya, kalau aku tahu dari awal bahwa kakak Misaki adalah Sasagawa-sensei, mungkin aku tidak akan menerima peran sebagai pacarnya.


"Kalau begitu, syukurlah..."


Meski berkata begitu, Sasagawa-sensei masih tampak khawatir.

Ekspresi yang terlihat lewat kaca spion pun menunjukkan kecemasan.


"Nii-ni, Nee-ne, beneran nggak papa...?"


Begitu pula dengan Kokoa. Dia masih terus memperhatikan kami dengan wajah khawatir. Meskipun dia anak yang ceria dan terkadang manja, dia juga anak yang penuh perhatian dan baik hati.


"Tenang saja, kami baik-baik kok."


Untuk menenangkan Kokoa, aku pun mengelus kepalanya. Walau Misaki duduk di antara kami, jadi agak repot, tapi semoga dia bisa tahan sebentar.


—Saat aku berpikir begitu, mobil tiba-tiba mengerem mendadak dan membuat keseimbanganku goyah.


"Ah...!"


Suara kami berdua—aku dan Misaki—terdengar hampir bersamaan.

Karena dorongan dari gerakan mendadak tadi, tubuhku jatuh ke arah Misaki. Dan—tanganku pun tanpa sengaja menekan bagian dada Misaki.


Ini adalah posisi terburuk yang bisa terjadi.


"       っ!"


Wajah Misaki memerah seketika, dan suara yang keluar pun nyaris tidak terdengar. Kalau dilihat dari matanya yang berputar-putar, dia pasti sangat malu dan syok.


"Ma-maaf...!"


Begitu aku menyadari situasinya, aku langsung menjauh dengan panik.

Demi Kokoa, aku bisa bersumpah kalau ini benar-benar tidak disengaja.


"Maaf, mobil di depan mendadak mengerem, jadi aku juga ikut mengerem..."


"Ini bukan salah Misora-san. Karena tidak ada lampu penyeberangan pejalan kaki, lampu lalu lintas di persimpangan tiba-tiba berubah kuning, dan mobil di depan jadi panik dan mengerem."


Apa yang terjadi dijelaskan oleh Sasagawa-sensei dan Suzumine-san.

Kelihatannya, ini cuma masalah waktu dan nasib sial saja.


"…………"


Misaki menunduk, memegang dadanya, wajahnya masih merah padam.

Meskipun kami "berpacaran", itu hanya pura-pura, jadi kami belum pernah melakukan hal yang mengarah ke seksual. Bagi Misaki yang polos, ini pasti adalah kejadian yang sangat mengguncangkan.


"...Aku pikir, karena setiap hari kamu main ke rumah, hubungan kalian sudah cukup jauh... Tapi melihat ini, sepertinya belum sama sekali ya..."


"——っ!"


Entah apa yang dibisikkan oleh Sasagawa-sensei, tapi Suzumine-san yang mendengarnya langsung ikut memerah dan menunduk. Sama seperti Misaki. Aku tidak tahu dia tadi membisikkan apa...


Yang jelas, suasana di dalam mobil sekarang benar-benar canggung dan penuh tekanan. Susah banget buat nyaman, rasanya seperti ada hawa panas yang aneh.


"......?"


Satu-satunya yang tidak mengerti apa-apa adalah Kokoa, yang hanya menatap wajahku dan wajah Misaki secara bergantian dengan ekspresi bingung.



Kami tiba di pantai. Dan, aku pun sendirian.


Itu hal yang wajar, mengingat rasio laki-laki dan perempuan adalah satu banding empat.


Kokoa, meskipun masih kecil, tetap seorang perempuan, jadi dia dibantu berganti pakaian oleh Sasagawa-sensei. Berkat itu, setelah selesai berganti pakaian, aku hanya duduk diam sendirian menatap laut.


“—Hei, lihat deh itu.”

“Haha, serius? Dia ke pantai sendirian?”


Yah, sepertinya ada sekelompok cowok genit yang menunjuk dan menertawakanku, tapi aku memilih untuk tidak ambil pusing. Lagian, aku tidak benar-benar sendirian, kok. Saat aku memikirkan hal itu—


“Maaf, ya, sudah bikin nunggu.”


“Sedikit lama karena ganti bajunya.”


Misaki dan Suzumine-san datang menghampiriku. Dan berkat itu, para cowok genit yang tadi menertawakanku, kini menatap kami dengan ekspresi kaget.


Yah, wajar saja. Dua gadis secantik idola mendatangi cowok biasa sepertiku—siapa juga yang bisa membayangkan hal seperti itu?


“G-gimana menurutmu...?”


Misaki berdiri di depanku sambil sedikit membungkuk, meminta pendapat tentang baju renangnya. Yang dia pakai adalah bikini putih dengan hiasan renda. Penampilannya yang bersih dan imut membuatnya sangat cocok mengenakan itu.


Tubuhnya yang ideal—bagian yang menonjol tampak jelas, dan bagian yang seharusnya ramping pun terlihat pas—benar-benar menggoda bagi laki-laki. Biasanya aku tidak terlalu memperhatikan, tapi Misaki memang memiliki dada yang besar...Tentu saja, aku tidak bisa menatap langsung dan malah memalingkan wajah.


“Menurutku, kamu cocok banget.”


“...Kayaknya kamu nggak benar-benar lihat, deh...?”


Misaki terlihat tidak puas, lalu menggembungkan pipinya kesal. Tapi aku harus bagaimana? Aku memalingkan wajah karena tidak tahu harus menatap ke mana.


“Aku rasa itu karena posisi tubuhmu yang agak menggoda.”


Suzumine-san berkata sambil menurunkan sedikit nada suaranya, menyindir Misaki. Berbeda dengan Misaki, dia memiliki dada yang cukup rata, jadi mungkin ada rasa iri di sana.


“............”


Lalu, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan, dia menatapku dengan mata sedingin es. Tatapannya sangat tajam, sampai-sampai aku berpikir ada aura membunuh dari sana, membuatku buru-buru memalingkan wajah lagi.


“Maaf, karena badanku nggak semenarik Misaki.”


“Bukan itu maksudku, kan...”


Memang, mungkin dadanya tidak sebesar Misaki, tapi tubuhnya yang ramping dan jenjang terlihat sangat bagus. Menurutku, tubuh seperti itu sangat cocok untuk gadis berkarakter dingin sepertinya.


“...Melihatku pakai baju renang ini adalah hal spesial, tahu? Harusnya aku minta bayaran, ya...”


Mungkin karena aku kembali melirik tubuhnya, Suzumine-san berkata begitu sambil wajahnya sedikit memerah dan tangannya menutupi bagian dada dan selangkangannya. Ngomong-ngomong, dia mengenakan bikini hitam polos. 


Awalnya kupikir dia pasti tidak ingin tubuhnya dilihat laki-laki, jadi aku menduga dia akan memakai model baju renang one-piece. Ternyata dugaanku salah. Ini benar-benar mengejutkan.


“Kalau soal bayaran, mending tagih saja ke orang luar.”


Para cowok genit yang tadi menertawakanku kini terdiam dengan mulut menganga sambil menatap ke arah kami. Mereka masih terdiam seperti itu, berarti memang kejadian ini sangat mengejutkan mereka. Dari penampilannya, sepertinya mereka datang ke pantai untuk menggoda perempuan, tapi karena ada pria di antara mereka, mereka jadi tidak berani mendekat?


“Ngomong-ngomong, kamu mengikat rambut, ya?”


Biasanya Misaki tidak mengikat rambutnya, tapi sekarang dia tampil dengan gaya rambut kuncir kuda (ponytail). Kalau bicara soal ponytail, gaya itu biasanya milik Sasagawa-sensei, dan kalau dilihat-lihat, mereka memang sangat mirip.


“Iya, kupikir kalau rambut dibiarkan terurai bakal ganggu kalau masuk ke laut, jadi aku ikat.”


“Misaki juga selalu pakai ponytail saat pelajaran olahraga, kan?”


“...Benar juga.”


Setelah diingat-ingat, memang seperti itu.


“…………”


Sepertinya jawaban yang terlalu datar dariku tidak disukai, karena Misaki dan Suzumine-san menatapku dengan mata malas. Tatapan seolah ingin berkata, “Kamu ini kurang perhatian banget, sih.”


“Suzumine-san nggak perlu ikat rambut karena rambutmu memang pendek, ya.”


Karena suasana mulai canggung, aku mencoba mengganti topik.

Kalau bicara soal gadis cantik yang dingin, biasanya identik dengan rambut panjang seperti Misaki, tapi Suzumine-san justru memakai model bob pendek dengan satu sisi ditaruh di belakang telinga. Dia adalah gadis pertama yang kutemui dengan gaya rambut seperti itu.


Lagi pula, gadis sekuat dan se-dingin dia, yang bahkan terasa susah didekati, benar-benar berbeda dari siapapun yang pernah kutemui sebelumnya. Karena itu, aku makin yakin kalau aku memang belum pernah bertemu dengannya di masa lalu.


“Apa, kamu ingin melihat aku mengikat rambut juga?”


Suzumine-san mulai tersenyum menyeringai, lalu memainkan rambutnya dengan jarinya. Sikapnya terlihat seperti sedang mencoba memancing reaksiku. Ternyata, dia cukup suka diperhatikan juga, ya.


“Yah, kamu sepertinya cocok dengan gaya apa pun.”


Karena rasanya merepotkan kalau ditanggapi serius, aku memutuskan untuk menjawab sekenanya saja. Namun—


“Me-memuji seperti itu... bukan gayamu, ya.”


Entah kenapa, dia jadi memerah. Mungkin karena kesan dirinya yang menakutkan, dia jarang dipuji soal penampilan, jadi dia lemah kalau dipuji.


“…………”


Lalu, Misaki menatapku dengan ekspresi tidak puas. Sepertinya aku dicurigai lagi.


Memang, memuji gadis lain di depan dia bukan hal yang baik, tapi jelas-jelas tadi aku hanya bicara asal saja. Lagipula, kami juga bukan benar-benar pacaran, jadi harusnya dia tidak punya alasan untuk protes...


Tapi yah, mungkin karena itu juga, Misaki hanya menunjukkan ekspresi tidak puas tanpa mengatakan apa pun. Dan kemudian—


“Nii-ni~!”


Malaikat kecil yang sudah selesai berganti pakaian datang menghampiri.


“Maaf sudah membuatmu menunggu……”


Di belakangnya, Sasagawa-sensei berlari kecil menyusul. Tapi—


Dengan pesona kedewasaan yang terpancar dari tubuh montoknya, dia adalah pemandangan yang terlalu menggoda bagi remaja laki-laki di masa pubertas.


“—Shirai-san...?”


“Ah, eh, maaf. Sudah merepotkanmu menjaga Kokoa.”


Saat disapa oleh Sasagawa-sensei, aku pun kembali sadar dan memalingkan pandangan sambil memeluk Kokoa. Namun—


“Wajahmu merah……”


“Laki-laki ini... suka wanita yang lebih tua, ya……”


Dua gadis yang sejak tadi bersamaku memandangku dengan tatapan dingin penuh tuduhan.


“Wajahmu merah sekali... Apa kamu demam...?”


Di tengah situasi itu, Sasagawa-sensei mendekat dan meletakkan tangannya di dahiku. Tangan satunya ia tempelkan ke dahinya sendiri, seolah membandingkan suhu tubuh. Ternyata bukan cuma Misaki yang polos.


“O, Onee-chan, kamu ngapain sih...!?”


Misaki yang melihat adegan itu dengan panik menyela dan menyelipkan tubuhnya di antara kami. Akibatnya, Sasagawa-sensei terlepas dari pelukanku dan jatuh terduduk di pasir.


“Kya!? A-ada apa, kenapa kamu segitu paniknya...?”


Sensei tampaknya tidak mengerti kenapa dia disingkirkan, dan menunjukkan wajah bingung. Dari sudut pandang Misaki, dia mungkin khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan karena kakaknya yang punya proporsi tubuh terlalu menggoda terlalu dekat denganku.


“Soalnya, Shirai-kun itu pacarnya Misaki, jadi sebaiknya tidak terlalu dekat seperti itu…”


Suzumine-san juga memberi penjelasan ke Sasagawa-sensei dengan kata-kata yang halus. 


Memang, apa yang barusan terjadi cukup berbahaya, jadi tidak salah jika mereka ingin menghentikannya. Kalau wanita dewasa yang begitu menarik mendekat dalam balutan baju renang, siapa pun bisa terbawa suasana.


“Misaki ternyata sangat posesif, ya……”


Entah kenapa Sasagawa-sensei salah paham, dan tersenyum canggung sambil menepuk-nepuk pasir dari pantatnya.


“Shenshei, baik-baik saja~?”


Kokoa keluar dari pelukanku dan berlari kecil menghampiri Sasagawa-sensei. Melihat adik kecilku yang selalu perhatian pada orang lain, dadaku terasa hangat.


—Yah, mungkin dia merasa cemas karena orang itu adalah Sasagawa-sensei.


“Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah khawatir.”


“Hehehe~”


Saat Sasagawa-sensei mengelus kepalanya, Kokoa tersenyum lebar dengan pipi yang mengendur bahagia. Dia memang sangat menyukai Sasagawa-sensei. Tapi terlepas dari itu—


“Muu……”


Misaki menggembungkan pipinya sambil menatapku dengan pandangan sebal. Tapi, memangnya salahku...?


Barusan aku benar-benar tidak melakukan apa-apa, cuma pasif, loh...


“Mesum.”


Dan akhirnya, bahkan Suzumine-san ikut-ikutan membisikkan kata itu di telingaku. Kenapa dua cewek sekelas jadi begitu galak padaku, sih...?


“Kalau begitu, mari kita pergi meminjam parasol dan semacamnya dulu.”


Di tengah tatapan tajam dari Misaki dan yang lain, hanya Sasagawa-sensei yang tetap tersenyum lembut padaku. Dia memang sudah menyiapkan pelampung untuk Kokoa, tapi untuk parasol dan perlengkapan lainnya, katanya akan disewa di tempat. Karena sekarang semua sudah berkumpul, mungkin itu yang akan kami lakukan.


“Kokoa, ayo.”


“Un!”


Saat kupanggil, Kokoa berlari kecil ke arahku dengan tangan terentang. Aku mengangkat Kokoa, dan mengikuti Sasagawa-sensei.

Setelah menyewa parasol dan perlengkapan lainnya, kami pun membangun tempat istirahat.


“Kita harus pakai sunblock, ya.”


Sasagawa-sensei mengeluarkan tabir surya. Karena sinar UV di pantai cukup kuat, agar tidak menyesal kemudian, memang sebaiknya memakai tabir surya. Kupikir para cewek sudah memakainya di ruang ganti tadi, tapi…


“Aku dan Misora-san akan saling bantu, jadi Misaki dan Shirai-kun juga saling bantu ya.”


Suzumine-san tiba-tiba melemparkan bom dengan nada datar.


“A-a-a-apa yang kamu katakan, Hyouka-chan!?”


“Sejujurnya, kurasa lebih baik sesama perempuan saja yang saling bantu, sih...”


Aku ikut membantah bersama Misaki yang wajahnya sudah memerah. Ini jelas-jelas sudah melewati batas yang kami sepakati.


“Yang dimaksud saling bantu hanya untuk bagian punggung yang susah dijangkau, kan? Kalau benar pacaran, harusnya tak masalah, bukan?”


Dengan senyum lebar penuh kenikmatan, Suzumine-san bicara dengan nada senang. Dia jelas mengatakannya dengan sadar.


“Kalau begitu, bagaimana dengan Kokoa?”


“Untuk Kokoa-chan, biar aku yang olesin ya,”


Ketika Kokoa yang polos memiringkan kepala kecilnya, Sasagawa-sensei langsung memeluknya sambil tersenyum. Sensei juga tidak berusaha menghentikan Suzumine-san dan tidak berkata apa-apa pada kami, jadi sepertinya dia setuju dengan rencana Suzumine-san.


“Ayo, ayo, jangan buang-buang waktu. Cepat mulai.”


Dengan mengatakan itu, Suzumine-san menyerahkan tabir surya miliknya ke Misaki. Aku benar-benar bingung sekarang…


Ketika aku melirik ke arah wajah Misaki, dia juga sedang melihatku, dan pandangan kami bertemu tepat sasaran.


“       っ!”


Entah apa yang dibayangkan Misaki, tapi dia mulai gelisah sambil mengeluarkan suara-suara tak jelas. Sementara aku melirik ke arahnya, Suzumine-san mulai mengoleskan tabir surya ke lengannya sendiri, dan Sasagawa-sensei mulai mengoleskan ke lengan Kokoa.

Melihat bahwa Suzumine-san membawa tabir surya cadangan, kemungkinan besar ini memang sudah direncanakan sejak awal.


Untuk Kokoa, karena masih kecil dan khawatir ada bagian yang terlewat, Sasagawa-sensei yang mengoleskannya langsung. Lalu, sekarang aku benar-benar dalam posisi sulit…


“Kalau begitu, biarkan aku saja yang olesin Kokoa nanti, Misaki bisa minta tolong sama Sasagawa-sensei aja.”


Sensei yang baik hati pasti tidak keberatan membantu kalau adikku butuh bantuan. Masalahnya adalah Kokoa. Karena belum pernah mengoleskannya, kemungkinan dia tidak bisa melakukannya dengan baik. Saat aku sedang memikirkan itu―


“…Gak apa-apa. Aku yang akan olesin, jadi Raito-kun juga… tolong olesin aku…”


Dengan wajah memerah sepenuhnya, Misaki menggenggam tanganku.

…Serius?


“Kalau memang keberatan, gak usah dipaksain, lho…”


Walaupun kami harus berpura-pura pacaran, bukan berarti harus saling mengolesi. Justru dalam situasi seperti ini, lebih masuk akal jika sesama perempuan yang saling membantu.


“Gak apa-apa… kalau Raito-kun yang melakukannya…”


Wajah Misaki sangat merah, dan dia menatapku dengan pandangan yang penuh perasaan. Sepertinya bukan karena terpaksa, tapi benar-benar ingin melakukannya.


“Kamu tega ya, pacarnya sudah bilang begitu, tapi masih menolak?” 


Ketika aku masih ragu, Suzumine-san melirikku dengan tatapan menantang sambil tetap mengoleskan tabir surya ke tubuhnya. Serius, dia terlihat benar-benar menikmati ini semua…


“Baiklah, hadapkan punggungmu.”


Aku menerima tabir surya dari Misaki dan menuangkan cairan putih itu ke telapak tanganku. Misaki lalu memunggungiku dan mengangkat kuncir ekornya dengan tangannya.


“Mohon bantuannya…”


“Iya…”


Agar tidak membuatnya terkejut, aku menghangatkan cairan itu sedikit di tanganku sebelum mulai mengoleskannya ke punggungnya yang mulus dan bersih tanpa noda.


“Fuu… Nn…”


Sepertinya dia geli karena disentuh di punggungnya. Setiap kali tanganku menyentuh kulitnya, tubuh Misaki bergetar, dan dia mengeluarkan napas berat dari mulutnya.


“Ini… nggak boleh… Fu… Nn…”


Seolah tak bisa menahan suaranya, Misaki menutupi mulutnya dengan tangan kiri yang kosong. Namun, suara manja itu tetap terdengar samar.


“Erotis…”


Di sebelahku, Suzumine-san berbisik lirih, dan aku pun setuju. Ini siang bolong, tapi entah kenapa terasa seperti melakukan sesuatu yang sangat intim. Untungnya, Kokoa sibuk bersama Sasagawa-sensei, jadi dia tidak menyadari keadaan Misaki.


“U-udah belum…?”


Sepertinya menahan diri cukup berat baginya. Dengan suara gemetar, Misaki bertanya.


“Sedikit lagi.”


Bagian yang tersisa adalah sisi samping dekat pinggang. Harus ekstra hati-hati di sini. Aku perlahan meletakkan tangan di sana, tapi―


“Hya!?”


Ternyata bagian pinggang sangat sensitif, Misaki memekik dengan suara nyaring.


“Wah…? Nee-ne, kenapa…?”


Kejutan dari suara Misaki membuat Kokoa menoleh ke arah kami dan memandang dengan khawatir.


“U-uhh, gak apa-apa kok.”


Dengan wajah semerah tomat, Misaki mencoba tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun karena masih menutup mulutnya dengan tangan, justru terlihat makin mencurigakan.


Tak heran kalau Kokoa menatap heran dan memiringkan kepalanya.

Lalu dia melirik ke arahku, yang berada di belakang Misaki.


“Nii-ni, jangan nakal… gak boleh!”


Karena Misaki terlihat aneh, Kokoa menyangka aku yang telah berbuat nakal padanya. Ia mengembungkan pipi dan memperingatkanku. Yah, memang tidak sepenuhnya salah… jadi aku agak kesulitan membela diri. 


Tentu saja, aku tidak sengaja melakukannya.


“Bukan nakal kok. Aku cuma olesin tabir surya, makanya geli.”


“Hmm…?”


Kokoa yang masih kecil sepertinya tidak paham bagaimana bisa mengoleskan sesuatu membuat geli, jadi dia lagi-lagi memiringkan kepala heran.


Yah, memang masih terlalu dini baginya untuk mengerti.


“Sini Kokoa-chan, aku mau olesin bagian wajahmu. Tutup matanya ya~”


Ketika aku bingung bagaimana menghadapi Kokoa, Sasagawa-sensei menyelamatkan suasana.


“Un…!”


Karena sangat menyukai sensei, Kokoa langsung menutup matanya dengan patuh, seolah sudah melupakan semua pertanyaannya tadi. Dengan patuh, hati-hati, dan diam saja, dia membiarkan wajahnya diolesi tabir surya.


“Sudah... selesai, kan?”


Setelah perhatian Kokoa teralihkan, Misaki menoleh ke arahku dan bertanya dengan pandangan memelas. Bahunya naik turun sedikit—napasnya masih belum stabil. Sepertinya benar-benar geli tadi.


“Tapi, bagian belakang lehermu belum diolesi, kan?”


Namun di saat itu juga, Suzumine-san kembali menyela dengan suara iseng. Wajahnya pun memerah—mungkin karena ikut menyaksikan ekspresi Misaki tadi, kini dia pun merasa malu. Selama aku mengoleskan tabir surya tadi, dia menatapku tanpa berkedip. …Gadis ini, kupikir, mungkin sebenarnya mesum diam-diam.


“Le... leher nggak boleh! Sudah! Sampai di sini aja! Soalnya aku bisa oles sendiri!”


Sepertinya bagian leher sangat sensitif baginya. Misaki menggeleng keras sambil menolak. Melihat reaksinya, jelas bagian itu sangat lemah.


“Kalau begitu, sekarang giliran Shirai-kun, ya.”


Kalau Misaki sudah selesai, tentu saja giliran aku. Suzumine-san yang sedari tadi cuma jadi penonton, kini mengarahkan ‘senjatanya’ padaku. Tapi—


“Tunggu! Sekarang giliran Hyouka-chan dulu...!”


Misaki segera membantahnya.


“Kenapa aku?! Bukannya aku bilang mau minta Misora-san aja dari awal?”


“Aku malu sendirian, nggak adil...! Hyouka-chan juga harus diolesin sama Raito-kun...!”


Sepertinya dia masih dendam karena dibuat malu barusan. Dia ingin menyeret orang yang menyebabkan ini ke dalam penderitaan yang sama.


“Misaki itu pacarnya Shirai-kun, jadi nggak masalah, kan...? Aku kan nggak pacaran sama siapa pun...”


Misaki yang biasanya tak terlalu memaksa, kini justru menekan balik. Suzumine-san, tampak gelagapan, menolaknya dengan suara lemah.


“Itu nggak ada hubungannya...!”


Namun Misaki tetap tak menyerah. Karena pada dasarnya mereka berdua sama-sama tidak benar-benar pacaran, jadi dari sudut pandang Misaki, mereka ada di posisi yang sama.


“Menurutku, itu juga pengalaman, jadi nggak apa-apa deh kalau diolesin cowok sekali-kali.”


Lalu entah kenapa, Sasagawa-sensei pun ikut menembakkan tembakan dukungan yang mengenai Suzumine-san. Dengan senyum cerah di wajahnya, jelas dia pun menikmati semuanya dalam hati.


...Kalau diingat, saat Misaki sedang diolesin pun dia tidak menghentikannya.


“Ta-tapi... diolesin cowok itu agak...”


“Jangan banyak alasan di waktu kritis begini...”


Karena Sasagawa-sensei juga jadi ‘lawan’, Suzumine-san yang makin terpojok mencoba kabur—tapi langsung ditahan oleh Misaki yang menggenggam lengannya.


Dia tetap mencoba melepaskan diri, tapi kekuatan Misaki lebih unggul, dan dengan cepat Suzumine-san pun tak berkutik dengan kedua tangannya ditahan.


Dari penampilan, mungkin dia bisa lepas dengan tandukan atau tendangan, tapi… karena mereka teman masa kecil, Suzumine-san tak tega melakukannya.


“Nih, Raito-kun...! Lakukan aja...!”


Sambil berkata demikian, Misaki mendorong punggung Suzumine-san ke arahku....Tunggu, bukannya nanti aku yang bakal dibenci?


“Kamu tahu akibatnya, kan, Shirai-kun...?”


Tentu saja, Suzumine-san menatapku tajam sambil memberi tekanan. Dia menoleh dengan gerakan leher saja, matanya menatapku dengan tajam. Sepertinya dia benar-benar tidak mau. Tapi—


“............”


Dua tekanan diam menyerangku sekaligus. 


Yang satu tentu saja dari Misaki yang ada di depanku. Pipinya sedikit menggembung, menatapku penuh protes.


Yang satu lagi—datang dari Sasagawa-sensei yang masih tampak sangat menikmati semua ini.


Meski tersenyum, tekanannya bikin keringat dingin bercucuran. Dengan hanya Misaki, aku masih bisa bertahan, tapi tak mungkin aku bisa melawan Sasagawa-sensei juga.


“Maaf...”


Sambil meminta maaf, aku menyentuhkan tanganku ke punggung Suzumine-san.


“Hyann!?”


Mungkin karena tak menduga, Suzumine-san mengeluarkan suara imut yang belum pernah kudengar sebelumnya.


“Awas, di pantai nanti...”


Setelah mengeluarkan suara centil, Suzumine-san menatapku dengan mata berair dan pipi merah padam. Tampaknya dia bahkan lebih sensitif di punggung daripada Misaki. Meski mengerikan, tekanan dari Sasagawa-sensei belum mereda, jadi aku pun melanjutkan. Setiap kali tanganku menyentuhnya, Suzumine-san mengeluarkan suara aneh—aku hampir gila dibuatnya.


“—Haa... haa...”


Setelah selesai mengolesi punggungnya, Suzumine-san terengah-engah dengan bahu berguncang hebat. Keringatnya bukan hanya karena panas matahari, sepertinya. Tubuhnya berkedut setiap kali disentuh, dan suara manja keluar berkali-kali.


Yah... sekarang waktunya bersiap kabur.


“Ehm, aku mau ke toilet bentar—”


Kupikir akan kabur sebelum Suzumine-san kembali sadar, tapi—


“Lho, mau ke mana?”


Begitu aku berdiri, Suzumine-san langsung menangkapku. Kesadarannya kembali terlalu cepat!


“B-beneran, aku cuma ke toilet...”


“Fufu... Kamu sudah siap, kan?”


Dengan senyum cantik, gadis cantik dingin itu memberi tekanan. Aneh, kenapa aku nggak berhenti keringatan...


“Aku kan sudah selesai ngolesin...”


“Tapi aku ‘kan jelas-jelas nolak. Dan kamu malah senang ngeliatin reaksiku tadi, kan?”


Itu tidak benar. Justru karena terlalu menggoda dibanding Misaki, aku tak sanggup menatap langsung dan mengalihkan pandangan.


“Itu salah paham... Aku serius waktu ngolesin. Ya kan, Misaki?”


“Eh? Kok aku yang ditanya...?!”


Ketika kutanya Misaki yang tadi merasa lega karena aku jadi sasaran, dia langsung panik. Tanggung jawab atas amarah Suzumine-san juga harus ditanggung Misaki, dong.


“Misaki, nanti akan kuberi hukuman.”


"Eh!?"


Tampaknya, Misaki bukan berhasil lolos, tapi hanya ditunda saja. Apa yang akan terjadi padanya, aku pun penasaran—namun Misaki dengan keras menggelengkan kepalanya.


Karena kemarahannya terhadap Suzumine-san sudah tersalurkan, Misaki kini kembali menjadi dirinya yang ceroboh seperti biasa. Sejujurnya, soal itu terserah dia saja, tapi...


"Aku... akan diapakan, ya...?"


Aku bertanya dengan ragu pada Suzumine-san, yang masih mencengkeram lenganku dengan erat. Lalu—.


"Aku yang akan mengoleskan bagian depanmu."


Suzumine-san tampaknya berniat membalas.


"Eh, bagian depan kan bisa aku oles sendiri, jadi nggak perlu, kan...?"


"Eh, bukankah sebagai pacarnya, seharusnya bagian depan itu aku...?"


Aku dan Misaki sama-sama memandang Suzumine-san dengan tatapan tak puas. Namun—.


"Ada yang keberatan?"


Senyuman penuh tekanan membuat kami tak bisa membantah. Akibatnya, Misaki pun bungkam dan bergeser ke belakangku. Tunggu, dia terlalu nurut, deh...?


"Ara ara~"


Seperti biasa, Sasagawa-sensei tampak menonton kami sambil bermain dengan Kokoa dan terlihat sangat terhibur. 


Dari penampilannya, aku sempat mengira dia berumur sekitar pertengahan dua puluhan, tapi dari yang pernah dikatakan Misaki, kakak perempuan Misaki yang satu ini ternyata sudah dua puluh delapan tahun. Kalau begitu, tidak heran kalau dia melihat kami seperti anak-anak. Semua ini, mungkin memang terlihat seperti kami hanya bercanda saja.


"Apa kamu benar-benar mau melakukannya...?"


"Tentu, jadi diamlah dan tenang."


Suzumine-san merebut tabung sunblock yang kupegang, menuangkan krim putih ke tangannya. Dengan wajah yang sedikit memerah, dia meletakkan tangannya di leherku.


...Ugh, ini benar-benar geli...


"Kalau begitu, aku akan mulai mengoleskan di punggung ya."


Misaki pun melakukan hal yang sama, mengambil sunblock dan mulai mengoleskan punggungku. Stimulasi datang dari depan dan belakang, dan aku berusaha keras menahan rasa geli itu. Setidaknya, tidak sampai aku mengeluarkan suara seperti mereka tadi.


Aku bisa merasakan tatapan banyak orang dari sekeliling, sepertinya para lelaki di sekitar sedang memperhatikan apa yang kami lakukan. Karena berada di antara dua gadis cantik, aku merasa seperti ditusuk oleh tatapan penuh rasa iri dari segala arah.


"…………"


"...Hei, kamu mikir apa sih...?"


Setelah selesai mengoleskan dari leher, pundak, sampai lengan, Suzumine-san tiba-tiba terdiam sambil menyentuh bagian tulang selangkaku. Tatapannya tertuju pada dadaku.


"Bagian ini juga harus diolesi... soalnya, kelihatan..."


"Eh, t-tunggu...!?"


Kupikir dia bakal menghindari bagian itu, tapi ternyata Suzumine-san menyentuhnya tanpa ragu.


"Eh? Kenapa? Ada apa?"


Misaki yang sedang mengoleskan punggungku, entah karena tidak bisa melihat atau memang tidak memperhatikan, bertanya begitu setelah mendengar suaraku.


"I-iya, bukan apa-apa kok…"

Tapi secara refleks aku malah mengelak. Tak mungkin aku bisa bilang yang sebenarnya. Bahwa aku disentuh di bagian sensitif oleh cewek yang bukan pacarku.

Suzumine-san memang tahu bahwa Misaki bukan pacarku yang sebenarnya, tapi tetap saja ini kelewatan…

"…Hyouka-chan, ternyata cukup agresif juga ya…"

Saat aku masih kebingungan menghadapi Suzumine-san yang dalam arti tertentu cukup agresif, aku baru sadar kalau Sasagawa-sensei sedang memperhatikan kami bertiga dengan wajah sedikit memerah.
Mungkin dia juga tak menyangka Suzumine-san akan sejauh ini.

Walaupun hanya ‘pacar adik perempuan’ secara pura-pura, tetap saja harusnya dia menegur.

"Responmu lemah sekali…"

Suzumine-san menggerakkan tangannya dengan nada kesal. Sekarang dia sedang mengoles bagian perutku, tapi sepertinya dia tidak senang karena aku tidak menunjukkan reaksi seperti yang ditunjukkan Misaki tadi.

"Meski begitu, kamu tetap laki-laki ya… Tidak seperti kami, tubuhmu kaku dan berotot…"

"Iya, benar juga. Padahal Shirai-kun tidak ikut olahraga, tapi tubuhnya kencang, dan bahkan perutnya terlihat berotot juga…"

Entah kenapa, dua gadis cantik ini mulai mengamati tubuhku dengan penuh rasa ingin tahu sambil mengusapnya dengan tangan mereka.

Tunggu, minat mereka gak mulai bergeser ke hal aneh, kan…?

"Aku cuma latihan otot biar Kokoa nggak ngira kakaknya ini punya tubuh yang lemah aja…"

"Seperti biasa, cinta pada adikmu itu luar biasa…"

"Siscon."

Misaki hanya tertawa kecut, tapi Suzumine-san mengucapkannya seolah memuntahkan kata tersebut. Karena dia tepat di depanku, tatapan sinis dari jarak dekat terasa sangat menusuk. Baru kusadari sekarang… wajahnya benar-benar dekat, ya…?

"Memanjakan adik sendiri apa salahnya…?"

"Aku nggak bilang itu salah, kok."

Yah, benar juga. Dia cuma bilang siscon, bukan menyebutnya sebagai sesuatu yang buruk. Tapi, ngomong-ngomong…

"Sampai kapan sih kalian mau nyentuh terus…?"

Seharusnya sih, dari tadi juga udah selesai ngolesinnya, kan…?

"Gak usah dipikirin."

"Iya, iya. Kesempatan kayak gini jarang banget, soalnya."

Buat mereka yang nggak pernah punya kesempatan menyentuh cowok, tubuhku yang lumayan berotot ini mungkin terasa menarik. Rasanya bahkan lebih geli daripada saat tadi diolesin sunblock.

"Misaki, kamu kan bisa kapan aja, ya?"

"Feh!? N-n-n-n-nggak juga, kok…!"

Ketika disindir oleh Suzumine-san, Misaki jadi panik luar biasa. Karena dia ada di belakang, aku tidak bisa melihat, tapi dari suaranya sepertinya wajahnya memerah.

Memang sih, kalau benar pacaran, wajar saja kalau sering menyentuh, tapi… selama ini Misaki menempeliku pun selalu dalam keadaan berpakaian lengkap.

"—Kalian bertiga, kayaknya Kokoa-chan mulai bosan nunggu, lho?"

Akhirnya, hingga Sasagawa-sensei turun tangan, Misaki dan Suzumine-san tidak juga berhenti menyentuh tubuhku.

"—Kokoa, mau yang mana?"

"Umm, yang iruka-shan…!"

Saat kutanya mau pakai pelampung yang mana, Kokoa menunjuk ke pelampung berbentuk lumba-lumba.

Sasagawa-sensei membawa berbagai macam pelampung, jadi aku membiarkan Kokoa memilih sendiri. Pelampung lumba-lumba itu bukan tipe ring, tapi model yang bisa dinaiki dari atas, jadi aku harus lebih memperhatikan Kokoa nanti.

"Mengembang~!!"

Saat aku mulai memompa udara dengan pompa tangan, pelampung lumba-lumba itu perlahan mengembang. Kokoa menepuk-nepukkan tangannya sambil bersorak senang melihatnya.

"Nih, Kokoa."

Setelah selesai, aku menyerahkan pelampung itu padanya.

"Besa~ar…!"

Pelampung lumba-lumba yang lebih besar dari tubuhnya itu dipukul-pukul oleh Kokoa. Meski ringan, ukurannya yang besar bagi Kokoa pasti sulit untuk dibawa. Paling dia hanya bisa menyeretnya di pasir.

"…………"

"Hmm?"

Saat sedang menonton Kokoa bermain dengan senang, tiba-tiba Suzumine-san datang menghampiriku sambil menyembunyikan tangan di belakang.

"Ada apa?"

"Tolong ini juga."

Ucapnya sambil menyerahkan pelampung putih bermotif polkadot berbentuk ring. Hah…?

"Lho, Kokoa tadi pilih lumba-lumba, kan…?"

Ketika kulirik, Kokoa masih terlihat gembira bermain dengan pelampung lumba-lumba. Bahkan sepertinya dia bisa bermain di pantai tanpa harus ke laut. Jadi, pelampung satunya ini buat siapa…?

"Itu bukan buat Kokoa-chan."

"Eh, terus buat siapa—"

Baru mau kuucapkan, tiba-tiba aku sadar.

Kalau bukan untuk Kokoa, cuma ada satu orang lain yang mungkin membutuhkannya. Orang yang datang sendiri membawa pelampung dan minta ditiupkan—Suzumine-san.

"Hyouka-chan nggak bisa berenang soalnya."

Misaki menambahkan, seolah mengonfirmasi pikiranku. Ngomong-ngomong, berbeda dari Misaki yang jago dalam segalanya, aku pernah dengar kabar kalau Suzumine-san tidak pandai dalam olahraga. Bahkan seingatku dia juga larinya lambat.

"Suka pantai, tapi nggak bisa berenang, ya…"

"Apa, ada masalah?"

Suzumine-san cemberut dan memalingkan wajah. Melihat itu, dia terlihat seperti gadis seumuran pada umumnya. Atau malah… sedikit kekanak-kanakan.

"Ya nggak masalah juga. Tiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya."

"Siapa pun, ya...?"

Suaranya terdengar menyindir saat Suzumine-san menatap Misaki dengan ekspresi penuh makna.

"A-Apa...?"

Misaki mundur sedikit sambil menatap Suzumine-san dengan waspada. Yah, secara emosional aku juga sependapat dengan Suzumine-san.

"Di dunia ini selalu ada yang namanya pengecualian, tahu."

Misaki unggul dalam pelajaran maupun olahraga, dan wajahnya juga secantik idol. Seolah-olah dia diberi tiga atau empat talenta sekaligus dari langit. Wajar kalau Suzumine-san merasa nggak puas.

"Benar-benar nggak adil."

"Me-Meski kau bilang begitu padaku..."

Misaki mengalihkan pandangannya dengan canggung. Lalu perlahan-lahan ia menjauh dari Suzumine-san dan bersembunyi di belakangku. Tolong deh, jangan jadikan orang lain sebagai tameng.

"Tapi Suzumine-san juga cukup bikin iri para cewek, kan? Pintar, cantik juga."

"—!"

Begitu aku ucapkan itu, Suzumine-san tampak menahan napas dan wajahnya memerah. Ternyata dia lemah kalau dipuji, ya. Sebuah kelemahan yang nggak terduga...

Saat aku mulai merasa santai karena hal itu—

"Raito-kun, aku mulai kesal, lho...?"

"Misaki, kamu harus lebih bisa mengatur pacarmu."

Entah kenapa, keduanya tampak kesal padaku. Yah... kayaknya aku barusan salah langkah, ya?

"Shirai-san seimbang juga, ya, dengan Misaki."

Bahkan Sasagawa-sensei pun menatapku dengan senyum seolah tak bisa berbuat apa-apa. Dibilang seimbang dengan Misaki yang polos itu... perasaannya campur aduk.

"Aku sih nggak separah Raito-kun."

Tampaknya Misaki juga punya perasaan yang sama, karena pipinya menggembung sedikit, seolah sedang ngambek. Menurutku, Misaki justru yang lebih parah...

Pokoknya, lebih baik cepat-cepat masukkan udara ke pelampung Suzumine-san dan main di laut bareng Kokoa.

"—Nih, silakan."

"Makasih."

Setelah selesai, aku memberikan pelampung itu dan Suzumine-san menerimanya sambil tersenyum kecil. Lalu, dia memasukkan kakinya ke lubang pelampung dan memakainya.

Entah kenapa... melihat gadis cantik dan dingin seperti dia memakai pelampung begitu, bikin hatiku meleleh karena kontras yang imut banget.

"…………Raito-kun, jangan-jangan kamu beneran suka sama Hyouka-chan ya..."

Misaki menatapku dengan ekspresi seolah ingin mengatakan sesuatu dengan sangat kuat...


"Aku akan bermain bersama Kokoa-chan di perairan dangkal, ya."

Itulah kata-kata mengejutkan yang diucapkan saat kami selesai pemanasan dan hendak masuk ke laut. Jangan bercanda…!?

"Eh, itu… maksudnya…"

"Karena dia masih kecil, kupikir sebaiknya tidak ke tempat yang dalam. Tapi Misaki dan Hyouka-chan pasti ingin bermain di tempat yang dalam, jadi Shirai-san, tolong temani mereka berdua."

Dengan senyum ramah yang begitu tulus, Sasagawa-sensei berkata begitu tanpa sedikit pun niat buruk. Justru, dia mengatakan itu karena perhatian dan kepeduliannya.

Tapi――jujur saja, aku lebih ingin bermain dengan Kokoa daripada dua orang itu.

"Kokoa, kamu mau main sama Onii-chan, kan?"

Aku memang bukan bermaksud meninggalkan dua orang itu, tapi aku juga nggak ingin kehilangan Kokoa dari pandangan. Jadi, aku menanyakan langsung padanya. Yang paling penting adalah perasaan Kokoa sendiri. Dan Kokoa pun――

"Mau main bareng Shenshei …!"

――memilih Sasagawa-sensei, bukan aku.

"…………"

Aku hanya bisa diam terpaku, kehilangan kata-kata.

"Semangat."

Mungkin karena bisa membaca suasana hatiku, Suzumine-san menutup mulut dengan tangan kanannya sambil menahan tawa, dan menepuk bahuku dengan tangan kirinya. Dia jelas sedang menahan tawa.

"Ka-Kalau dipikir-pikir, jarang kan bisa main sama ‘onee-chan’ kayak gini, jadi pasti Kokoa-chan ingin main sama Onee-chan…"

Misaki, sebaliknya, berusaha menghiburku sambil memaksakan senyum. Dalam situasi seperti ini, kepribadian mereka kelihatan banget. Memang, Misaki itu baik hati.

"Yah, aku juga sih, awalnya mending main di perairan dangkal dulu…"

kata Suzumine-san sambil melirik ke arah Kokoa dengan tatapan penuh arti.

"Shenshei, udah naik~!"

"Wah, hebat. Seperti yang diharapkan dari Kokoa-chan."

"Ufu~ ehehee…"

Kokoa bahkan tidak melirikku sedikit pun, menempel manja ke Sasagawa-sensei sambil menaiki pelampung berbentuk lumba-lumba.
Meskipun masih kecil, dia bisa bersikap seperti itu. Dan karena dia terlihat sangat bahagia, mungkin memang lebih baik jika aku nggak ada di sana.

Kalau aku menjauh, dia bisa menikmati waktu berduanya dengan sensei.

"Apa jangan-jangan kalau kita pergi, Sasagawa-sensei bakal didekati cowok lain…?"

Karena Kokoa kelihatan senang, aku tidak terlalu memusingkan hal itu, tapi yang membuatku khawatir adalah Sasagawa-senseinya sendiri. 

Baik dari sisi positif maupun negatif, Sasagawa-sensei adalah wanita yang sangat memikat. Pesonanya setara dengan Misaki, atau bahkan bagi sebagian orang, mungkin lebih suka Sasagawa-sensei yang dewasa dan penuh daya tarik. Ditambah lagi, bentuk tubuhnya yang berisi membuatnya terlihat sangat menggoda.

"Tapi rasanya, nggak banyak orang yang berani mendekati wanita yang bawa anak kecil."

"Ya, soalnya mungkin saja ada suaminya di dekat situ."

Namun, Misaki dan Suzumine-san tampaknya merasa selama ada Kokoa, semuanya akan aman. Yah, kalau dipikir-pikir, masuk akal juga. 

Kalau aku, jelas nggak akan coba-coba mendekati perempuan yang kelihatan sudah punya pacar atau suami. Lagi pula, di area dangkal ini banyak keluarga yang bermain, dan kalau Kokoa sampai berteriak, pasti ada orang yang akan membantu. Meskipun masih kecil, Kokoa bisa berpikir cepat dalam situasi seperti itu. Entah dia meniru siapa...

"Misaki dan Suzumine-san memang mau ke bagian laut yang lebih dalam?"

Sasagawa-sensei memang bilang begitu, tapi mereka sendiri belum mengatakan langsung. Jadi, lebih baik aku pastikan.

"Yah, mungkin. Aku cuma ingin mengapung dan bersantai di laut."

Rasanya ingin bertanya: memang butuh ke laut buat itu? Tapi aku tahan diri agar tidak mengganggu suasana.

"Aku sih terserah, tapi… kalau begitu, tadi kita seharusnya tiup pelampung bentuk perahu untuk dua orang, ya."

Karena air laut lebih mengangkat tubuh, sebenarnya tanpa pelampung pun bisa bermain dalam waktu singkat. Tapi kalau ingin bersantai lama-lama, lebih nyaman kalau ada pelampung. Mungkin itu juga alasan Misaki mengusulkan begitu.

"Secara alami kamu malah ngajak pakai pelampung berdua… keren juga."

"—!?"

Suzumine-san menyampaikan apa yang ingin kukatakan, dan wajah Misaki langsung memerah dalam sekejap. Bukan berarti dia ketahuan punya niat tersembunyi. Dia hanya spontan, karena sifat polosnya itu.

"A-Aku cuma mikir itu lebih praktis aja, nggak perlu repot bawa atau tiup dua pelampung…! L-Lagian, aku nggak bilang mau naik bareng Raito-kun, kan…!"

"Iya, iya, benar begitu."

Saat Misaki bicara seolah membela diri, Suzumine-san hanya mengangkat tangan ke langit dan membuang muka dengan tawa kecil di hidungnya.

"Jangan diabaikan dong!?"

Dan tentu saja, Misaki langsung memberi reaksi yang pas. Seperti yang diduga, sepertinya Suzumine-san memang senang menggoda Misaki.

"Kalau kamu lebih suka yang model perahu, biar aku yang mengembangkannya, ya?"

Aku tidak bisa terus-terusan mengikuti candaan mereka berdua, jadi aku memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. Kalau dibiarkan begitu saja, percikan masalah bisa menyebar ke arahku. Terutama karena Suzumine-san adalah tipe orang yang suka melakukan hal-hal seperti itu.

"Ah, ehm…"

Karena tadi sempat dibicarakan soal 'berdua saja', Misaki tampak sulit mengangguk. Tapi, karena dia tidak menolak, sepertinya memang lebih suka yang model perahu.

"Kalau begitu, kita kembali dulu ke tempat barang-barang, ya."

Setelah mengatakan itu, aku pun berniat berjalan duluan kembali—namun...

"Tunggu…! Kalau kamu mau jalan, jangan jauh-jauh dari kami…!"

Dengan panik, Suzumine-san menarik lenganku. Karena begitu mendadak, aku pun terkejut.

"Kamu tidak perlu sampai mencengkeramku sekuat itu…"

"Soalnya, kalau kamu menjauh, cowok-cowok yang suka godain cewek bisa datang, lho…!"

Tampaknya Suzumine-san sangat waspada terhadap godaan. Karena itu, dia tidak ingin aku menjauh darinya. Yah, kalau dua orang yang menarik perhatian seperti mereka tidak terlihat bersama laki-laki, pasti akan jadi sasaran empuk cowok-cowok yang memang berniat menggodai.

"Baiklah, aku akan hati-hati."

"Ya, begitu saja."

"..."

Eh? Dia tidak melepaskan tangannya...? Kupikir setelah selesai bicara, dia akan melepaskannya, tapi ternyata Suzumine-san tetap menggandeng lenganku sambil berjalan di sampingku seperti biasa. 

Jangan-jangan, dia berpikir aku akan kabur kalau dilepas...? Yah, seharusnya tidak sejauh itu sih... 

Dan, karena aku digandeng seperti ini—

"H-hyouka-chan, kamu nggak boleh lakukan hal seperti itu…!"

Misaki, yang menjadi pacarku, akhirnya marah.

"…Lupa diri, maaf."

"Ada ya orang yang bisa 'lupa diri' seperti itu!?"

Suzumine-san dengan cepat melepaskan tangannya, dan Misaki langsung menimpalinya dengan penuh semangat. Aku pun sebenarnya berpikiran sama.

"Lain kali aku akan lebih hati-hati."

"..."

Suzumine-san menjawab dengan nada datar dan mengalihkan pandangan, tapi Misaki memandangnya penuh curiga. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu. Dan lalu—

"Ei…!"

—Meskipun tampak ingin mengatakan sesuatu, Misaki malah tiba-tiba memeluk lenganku erat-erat. Dua benda besar dan lembut langsung menekan lenganku.

"……"

Mungkin karena sebelumnya Misaki menatap Suzumine-san penuh curiga, kini Suzumine-san membalas tatapan itu dengan diam dan tampak kesal. Akibatnya, orang-orang di sekitar pun—

「「「「「Ini... arena pertempuran...!?」」」」」

—malah secara tak bertanggung jawab jadi heboh sendiri. Kenapa bisa jadi begini sih…?

"Hei, kalian berdua…"

Aku berniat menghentikan mereka karena tidak ingin ada pertengkaran saat sedang bersenang-senang, tapi sepertinya aku tidak perlu ikut campur.

"Haa… Nggak perlu sampai ngotot banget menunjukkan 'dia milikku!' juga sih. Toh, nggak ada yang bakal ngedeketin."

Suzumine-san lebih dulu berpaling dengan ekspresi kesal. Tampaknya dia tidak akan bertengkar di tempat seperti ini. Tapi sebenarnya, pertengkaran macam apa yang akan mereka lakukan, sih?

"......"

Namun, Misaki masih saja menatap Suzumine-san dengan tatapan waspada. Dia masih menempel padaku, sepertinya cemburu.

…Padahal dia sendiri tidak benar-benar menyukaiku, bukan?

"Raito-kun."

"Ada apa?"

"Sebagai pacar, kamu harus punya kesadaran penuh sebagai pacar."

Misaki menatapku dengan pandangan kesal. Karena dia memakai bahasa formal, itu artinya dia sedang dalam mode 'mengomel'. Mungkin maksudnya, seorang pacar seharusnya tidak memuji perempuan lain selain pacarnya.

Sampai sekarang, kukira Misaki termasuk tipe yang cukup longgar dalam hal seperti itu, tapi ternyata dia tipe yang cukup menuntut keterikatan, ya?

"Maaf. Tapi, kamu nggak perlu marah sampai seperti itu juga, kan? Lagipula, aku nggak mungkin sampai terlibat apa-apa dengan Suzumine-san."

Lagipula, dia tidak tertarik pada laki-laki.

Kalaupun aku sampai jatuh cinta padanya, dia pasti tidak akan menanggapi. Tentu saja, aku sama sekali tidak berniat jatuh cinta.

"Belum tentu, lho?"

Namun, tampaknya Misaki tidak percaya begitu saja, dan menatapku dengan penuh curiga. Yah, mengingat Suzumine-san memang cantik, aku bisa mengerti kenapa Misaki jadi khawatir.

"Tapi tenang aja, aku nggak akan selingkuh kok."

"——!?"

Maksudku sebenarnya, aku nggak akan melakukan hal yang nggak jujur dan nggak akan jatuh cinta pada orang lain, jadi dia nggak usah khawatir. Tapi—wajah Misaki malah tampak semakin pucat.

Dia menunduk, dan entah kenapa menggenggam tanganku erat-erat. Apa aku salah bicara...?

"Kamu ngomong apa sampai bikin Misaki down gitu, sih…?"

Suzumine-san yang berdiri agak jauh memandang kami dengan heran dan bertanya. Meskipun tadi hampir bertengkar, tampaknya dia tetap peduli pada teman masa kecilnya.

"Nggak kok… Kayaknya nggak…"

Aku nggak bilang hal aneh, kan…?

Ya, aku cuma bilang nggak akan selingkuh. Itu harusnya malah membuatnya tenang.

"Apa yang dikatakan padamu, Misaki?"

Mungkin karena mengira aku sedang menghindar, Suzumine-san bertanya pada Misaki. Namun, Misaki tidak membuka mulut, hanya menggeleng pelan dengan kepala tertunduk.

"Parah juga, ini."

Karena hal itu, Suzumine-san malah semakin salah paham. Memang, karena tak bisa diutarakan dengan kata-kata, terlihat cukup serius...

"Ini pelampungnya, ya. Nih."

Begitu kami kembali ke tempat meletakkan barang-barang, Suzumine-san menyerahkan pelampung berbentuk perahu.

"Kalau soal Misaki?"

"Anak itu, meskipun terlihat begitu, cukup keras kepala. Kalau sudah seperti itu, satu-satunya jalan ya menunggu sampai dia bisa mengubah suasana hatinya sendiri."

Jadi, maksudnya biarkan saja begitu?

Kalau dari sudut pandang Suzumine-san yang bukan pihak langsung, mungkin memang itu cukup. Tapi...

"Kalau kau ingin tahu alasannya, tanyakan saja saat kalian di atas pelampung itu. Kalau hanya sejauh itu, aku bisa menjaga jarak sebentar."

Tampaknya dia menyarankan agar aku menanyakannya saat berdua saja. Dengan begitu, mungkin kami bisa berbicara lebih dalam... itu ide yang bagus.

"Jarak yang tidak terlalu jauh itu... karena kau tidak ingin ada yang mencoba menggodamu, ya?"

Mengambil kesimpulan dari percakapan sebelumnya, aku bertanya. Namun, Suzumine-san memalingkan wajah dengan malu dan pipi memerah.

"Itu juga, tapi... kalau-kalau tenggelam, itu menyeramkan juga..."

"............"

Aku bisa mengerti kenapa dia merasa malu mengucapkan hal yang kekanak-kanakan itu. Aku mengerti, tapi... gadis ini juga curang, ya...

Dia biasanya tampil sebagai gadis cantik yang dingin, tapi ada kontras yang besar dengan sisi imut seperti ini...

—Meskipun dia tidak mengangkat wajah, mungkin dia bisa menebak apa yang aku pikirkan. Misaki mempererat pegangan tangannya pada lenganku, tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Aku tidak bilang apa-apa, kan?"

"Bukan apa-apa. Aku juga nggak bilang apa-apa, kok..."

Saat aku menegur, Misaki menjawab dengan bibir cemberut. Memang sih, dia tidak bilang apa-apa... tapi dia sudah bertindak, kan? Kelihatannya akan merepotkan kalau aku menanggapinya, jadi kali ini aku membiarkannya saja.

Dengan perasaan agak canggung karena Misaki tidak mau melepaskan lenganku, aku mulai meniup pelampung berbentuk perahu. Dan ketika kami bertiga masuk ke laut—

"Kalau begitu, aku akan kembali setelah beberapa saat."

Begitu sampai di tempat yang sepi dari orang-orang, Suzumine-san menjaga jarak dari kami. Mungkin karena ada pelampung, meskipun tidak bisa berenang, dia terlihat cukup tenang.

"—Jadi, kenapa kamu kelihatan murung?"

Khawatir kalau dia tiba-tiba tenggelam, aku tetap melirik Suzumine-san sambil membuka pembicaraan.

"Aku nggak murung, kok..."

Namun, mungkin karena sedang ngambek, Misaki tak mudah membuka mulut. Seperti yang dikatakan Suzumine-san, dia memang punya sifat yang agak menyebalkan. Tapi, yah—aku tidak membencinya.

"Sepertinya sejak aku bilang nggak akan selingkuh, kamu jadi aneh. Kenapa kamu sedih karena itu?"

"Aku bilang aku nggak sedih, kan..."

"Ya, ya, aku tahu."

Karena Misaki tak mau mengakuinya, aku pun mengalihkan topik sambil tetap melanjutkan obrolan.

"Tapi kamu tetap penasaran, kan? Apa yang kamu nggak suka?"

Karena dia sedang ngambek, aku mencoba bertanya lagi dengan nada lembut.

"............"

Misaki tampak ragu untuk menjawab, terdiam sesaat. Karena masih ada banyak waktu, aku memutuskan untuk menunggunya. Setelah sekitar lima menit, Misaki akhirnya membuka mulut dengan pelan.

"Soalnya... kalau kamu bisa pacaran sama Hyouka-chan, itu berarti kamu harus putus sama aku, kan...?"

Begitu katanya, sambil menatapku dengan tatapan seolah-olah ingin bersandar. Tampaknya, dia salah paham dan merasa sedih karena hal itu. 

Yah... memang sih, pernyataanku tadi bisa diartikan seperti itu...
Kalau aku putus dengannya, itu berarti tameng bernama “pacar palsu” akan hilang, dan dia tak ingin itu terjadi.

"Menurutmu... aku ini orang yang setega itu?"

"Eh...?"

Sebelum menjawab pertanyaannya, aku balik bertanya dan membuat Misaki terkejut. Mungkin dia tak mengerti maksud pertanyaanku.

"Soal pacaran sama Suzumine-san kita kesampingkan dulu. Tapi, kamu pikir aku akan sepihak memutuskan hubungan kita?"

Karena dia terus saja curiga soal Suzumine-san, aku sudah malas menepisnya satu per satu. Yang lebih penting adalah memperjelas hubungan kami.

"Putus sepihak sih... tapi, kita harus mengakhiri hubungan kita, kan? Soalnya, cewek yang jadi pacarmu nanti pasti nggak suka kalau kamu masih punya pacar palsu..."

Kalau seseorang yang jadi pacarku tahu aku masih terikat dengan gadis lain, meskipun itu hanya pura-pura, tentu saja dia akan merasa tidak nyaman. 

Meski tahu itu demi membantu orang lain, tetap saja akan meninggalkan rasa tak enak. Tampaknya Misaki sedang memikirkan hal itu. Seperti biasa, dia memang anak yang baik hati...

"Tenang saja. Aku memang nggak ada niat untuk pacaran dengan siapa pun."

"...Tapi kan, itu nggak pasti..."

Misaki duduk memeluk lutut, lalu menyandarkan wajahnya ke atasnya.
Yah, memang masa depan itu tak pasti, jadi wajar saja kalau dia tak bisa menerima sepenuhnya...

Tapi tetap saja, dia terlalu larut dalam kesedihannya...

"Yang paling penting bagiku sekarang adalah Kokoa. Sampai dia tumbuh besar, aku nggak berniat menjalani hubungan asmara."

Bukannya aku tidak punya orang yang kusukai atau membuatku tertarik. Meskipun dibandingkan teman sebayaku aku kurang tertarik pada cinta, bukan berarti aku tak punya ketertarikan sama sekali.

Tapi, kalau aku benar-benar menjalin hubungan, aku harus meluangkan waktu untuk berkencan dan sebagainya. Jika aku memprioritaskan membesarkan Kokoa, pasti akan ada saat di mana pasangan akan merasa kecewa, meskipun kami saling mencintai.

Yang paling mengerikan adalah kalau Kokoa sampai dibenci karena hal itu. Itu hal yang tidak bisa kuterima.

Karena dia masih kecil, dia sangat peka terhadap niat jahat, jadi aku ingin menjauhkannya dari perasaan-perasaan tidak menyenangkan sebisa mungkin. Itulah sebabnya aku benar-benar sudah mengambil keputusan.

...Yah, sebagian dari diriku juga memang sudah menyerah pada orang yang awalnya aku sukai karena kupikir tidak ada gunanya jatuh cinta.

“Padahal kamu kelihatan akrab banget sama Hyouka-chan…”

Dengan suara agak menyindir, Misaki berkata sambil mempermainkan jari-jari kakinya dengan malu-malu. Sejauh ini, topiknya selalu soal Suzumine-san…

Apa karena mereka seumuran dan sering bersama, jadi merasa lebih dekat?

“Misaki, kamu tipe orang yang begitu berpikir ada sesuatu di dalam gelap, kamu terus merasa ada yang mengawasi dari sana, kan?”

“Eh…? Iya, sih…”

Misaki menatapku dengan ekspresi seperti ingin berkata, “kenapa tiba-tiba kamu ngomong kayak gitu?”

“Maksudku, kamu gampang berprasangka. Karena kamu sudah punya pikiran bahwa aku dan Suzumine-san mungkin saling tertarik, kamu jadi melihat hal-hal kecil sebagai bukti dari itu.”

Kalau sudah punya prasangka, memang akan kelihatan seperti itu.
Misaki masih terus curiga meskipun sudah berkali-kali aku menyangkal hubungan kami, jadi sepertinya dia memang sudah berpikiran begitu dari awal. Kalau sudah begitu, bahkan obrolan santai kami pun bisa terlihat mencurigakan baginya.

“Mungkin kamu benar…”

“Memang begitu. Setidaknya dalam kasus aku dan Suzumine-san, pasti begitu.”

Jujur saja, bahkan aku sendiri tidak bisa membayangkan ada ‘chemistry’ antara aku dan gadis itu. Justru Misaki-lah yang sepertinya masih lebih memungkinkan. Meski, yah… dia lebih mirip adik daripada pacar.

“Kalau gitu… menurutmu, siapa yang lebih penting, aku atau Hyouka-chan…?”

Entah apa yang ada di pikirannya, Misaki tiba-tiba menanyakan hal yang mengejutkan lagi. Seperti biasa, dia bisa dengan enteng mengucapkan hal-hal yang mengejutkan.

“Misaki, tentunya.”

Aku langsung menjawab tanpa jeda. Kalau aku terlihat ragu, dia pasti akan makin curiga.

“Oh, gitu…”

“Kamu sendiri yang nanya, jadi jangan malah malu dong…”

Misaki sedikit memerah, lalu memalingkan wajah sambil menempelkan pipinya ke lutut. Padahal yang harusnya malu itu aku, karena dipaksa ngomong kayak tadi…

“—Sudah cukup belum?”

“—!?”

Saat suasananya mulai terasa canggung, tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Ketika kami menoleh, Suzumine-san entah sejak kapan sudah berada di belakang kami. Sepertinya dia mendekat saat kami tidak sadar karena sedang saling bertatapan.

“Jangan tiba-tiba ngomong, kaget tahu…”

“Kalau begitu, kalian memang sedang mengobrol sesuatu yang layak bikin kaget, ya?”

Misaki mengeluh panik, dan Suzumine-san menatap kami dengan pandangan curiga. Tadi kami bicara pelan dan posisinya cukup jauh, jadi seharusnya dia tidak bisa dengar isinya. Mungkin dia hanya ingin mengganggu saja. Dia juga tersenyum menyebalkan begitu. Namun tetap saja—

“Ti-tidak, nggak ada apa-apa kok…!”

Misaki malah buru-buru menyangkal dengan panik. Justru terlihat makin mencurigakan.

“…Ingat ya, jangan lupa kalau ada orang lain di sekitar.”

Entah karena apa, Suzumine-san juga ikut memerah sedikit dan mengingatkanku. Mungkin karena salah paham akibat reaksi Misaki.

“Aku nggak akan melakukan hal aneh, kok…”

Kepalaku mulai sakit, jadi untuk mengalihkan suasana aku pun turun ke laut. Aku mengapung sambil telentang, memandangi langit biru tanpa berpikir macam-macam.

Misaki dan Suzumine-san terlihat terkejut dengan tindakanku, tapi mereka tidak mengatakan apa pun. Suasana menjadi hening, dan tanpa sadar aku mulai memperhatikan suara-suara di sekitar.

Di kejauhan terdengar suara ceria dari keluarga, pasangan, atau kelompok teman-teman yang sedang bersenang-senang. Mereka terlihat sangat menikmati, tapi aku lebih suka berada dalam ruang tenang seperti ini. Kalau begini, aku bisa bersantai…

—Atau, ternyata tidak.

“…………”

Kenapa dua orang ini malah memandangi aku dalam diam…? Misaki sudah masuk ke laut, berpegangan pada perahu pelampung.

Sedangkan Suzumine-san tampak malas-malasan, membiarkan tubuhnya terapung di pelampung sambil menatapku tajam. 

Sejujurnya, ini cukup canggung…

“Ada perlu apa?”

Karena tidak nyaman dipandangi, aku pun bertanya.

“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Cuma… ngelihatin aja, kok.”

…Ya, tapi dilihatin tanpa alasan juga tetap saja bikin bingung. Apa serunya ngelihatin cowok yang cuma ngambang di laut sambil melamun?

“Main di laut itu, sebenarnya ngapain aja, sih?”

Daripada terus-terusan ditatap, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ngapain ya… kamu belum pernah main di laut sebelumnya, ya?”

Misaki bertanya balik dengan ekspresi bingung. Sepertinya bukan karena menyindir, hanya benar-benar penasaran.

“Dulu pernah, waktu kecil. Tapi aku nggak ingat. Sejak itu, aku belum pernah ke laut lagi.”

Waktu ayah masih hidup, aku pernah dibawa main ke pantai. Tapi itu juga tidak setiap tahun, dan terakhir hanya sampai aku kelas rendah SD. Sepertinya ayah memang bukan tipe yang suka laut. 

Setelah beliau meninggal, ibu jadi sibuk bekerja dan aku harus mengurus Kokoa, jadi kesempatan untuk pergi ke pantai benar-benar tidak ada.

Terakhir kali ke pantai pun saat sekolah mengadakan camping di kelas lima SD, dan waktu itu aku tidak berenang, jadi tidak terhitung.

“Memang ada saja orang yang jarang ke pantai.”

“Aw!”

Suzumine-san mendekat ke Misaki dan menjentikkan jarinya ke dahi Misaki. Akibatnya, Misaki memegangi dahinya dengan tangannya, memandang Suzumine-san dengan mata berlinang, seolah menaruh dendam. Mungkin Suzumine-san melakukannya sebagai isyarat agar tidak membicarakan hal yang tidak seharusnya. 

Entah kenapa, dia tampaknya cukup tahu soal kondisi keluargaku, jadi mungkin dia mengira itu adalah topik yang sebaiknya dihindari.

"Kalau bicara soal bermain di laut, yang paling terkenal sih selancar, tapi kalau tidak ada ombak, ya tidak bisa. Yah, walaupun ada ombak pun, aku tetap tidak bisa melakukannya sih."

"... Kenapa malah pamer begitu?"

Meskipun Suzumine-san menjawab dengan penuh percaya diri, rasanya tidak tepat kalau sampai memamerkannya seperti itu. Mungkin dia berusaha mengganti suasana... tapi, anak ini memang seperti ini, ya?

"Atau lebih tepatnya, percuma juga kau tanya kami. Kami tidak bisa datang ke laut untuk bermain."

Pertanyaanku diabaikan oleh Suzumine-san, yang menggumamkan jawabannya seolah kesal. Dalam kasusnya, mungkin karena dia tidak bisa datang ke laut meski ingin, jadi masih menyimpan rasa kesal soal itu.

"Memangnya godaan di pantai segitu parahnya?"

"Kalau jalan saja, langsung disapa."

"Y-ya... memang agak merepotkan, sih..."

Misaki, sambil tertawa canggung, menyetujui perkataan Suzumine-san. Sepertinya mereka memang sering langsung disapa laki-laki. Padahal katanya mereka sudah tidak pernah ke laut sejak SMP, tapi tetap saja sudah seperti itu.

Yah, mungkin para cowok itu berpikir, “Dia pasti tumbuh jadi cantik, jadi lebih baik akrab dari sekarang,” dan mendekati mereka dengan niat tersembunyi.

"Itulah kenapa aku berterima kasih pada Shirai-kun. Karena kau datang bersamaku seperti ini, sejauh ini belum ada laki-laki yang menyapaku."

Suzumine-san tersenyum hangat, tampak benar-benar merasa aman. Saat di luar sekolah, dia sering menunjukkan ekspresi seperti itu padaku—lebih banyak senyum atau ekspresi nakal dibandingkan ekspresi dingin. Sepertinya dia cukup nyaman denganku.

Kalau tidak, dia tidak akan ikut ke pantai bersamaku, atau bahkan mengenakan pakaian renang bersamaku seperti ini. Meskipun begitu, bukan berarti itu mengandung makna romantis... Misaki-san, bisakah kamu berhenti menatapku dengan pandangan seperti itu?

Ketika aku membalas tatapan Misaki—yang memandangku kesal sambil sedikit menggembungkan pipinya—dengan senyuman, tampaknya dia masih belum menerima apa yang kukatakan sebelumnya soal hanya mengira-ngira.

"Hyouka-chan, Raito-kun itu pacarku, lho...!"

"Misaki, bukannya kau terlalu posesif...?"

Sepertinya Suzumine-san sudah muak karena terus-menerus dituduh. Dia memandang wajah Misaki dengan ekspresi heran. Mungkin dalam dirinya kini muncul perasaan bingung.

Awalnya, dia yakin aku dan Misaki tidak berpacaran. Tapi Misaki terus menunjukkan sikap seolah benar-benar pacarnya—yang membenci gadis lain jika mendekatiku, misalnya.

Wajar kalau Suzumine-san mulai ragu. Meski sebetulnya, Misaki marah bukan karena alasan cinta—lebih karena dia anak yang serius dan tidak suka ketidaksetiaan meskipun hanya pura-pura pacaran, atau mungkin karena tidak mau kehilangan sosok pelindungnya.

"Hyouka-chan itu imut, makanya aku jadi khawatir...!"

"Kalau dia tertarik padaku, seharusnya sudah sejak dulu."

"Mana bisa tahu begitu saja...!"

Misaki membantah dengan nada agak keras. Memang terlihat seperti dia sedang kesal. Sepertinya karena teman masa kecilnya begitu menarik, dia merasa tidak tenang. Lalu, bagaimana seharusnya aku menanggapinya...?

Kalau aku benar-benar pacarnya, mungkin aku akan memberikan janji atau jaminan agar dia merasa tenang. Tapi, karena aku hanya pacar palsu, aku rasa tidak perlu sampai sejauh itu.

Kalau dia tidak percaya padaku, ya mau bagaimana lagi. Setidaknya aku sudah berusaha untuk bersikap dekat, dan karena aku bukan pacar yang sesungguhnya, aku juga tidak bisa melakukan lebih untuk meyakinkannya.

Kalau Misaki terus curiga seperti ini, sepertinya aku harus menerimanya sebagai bagian dari hubungan pura-pura kami. 

Saat aku memikirkan hal itu tanpa terburu-buru—

"Aku tahu kok. Soalnya aku juga teman masa kecilnya."

—sebuah bom besar tiba-tiba dijatuhkan oleh Suzumine-san.

"... Hah?"

"Teman masa kecil...?"

Saat aku terpaku karena kata-kata tak terduga dari Suzumine-san, Misaki bertanya dengan ekspresi tegang. Wajar kalau dia tidak tahu, karena aku saja juga tidak tahu.

"Tidak mungkin..."

Soalnya, Misaki adalah teman masa kecil Suzumine-san. Dan karena aku bukan teman masa kecil Misaki, sulit rasanya membayangkan kemungkinan itu. Tapi... bukan berarti hal itu mustahil.

"Lihat, Buat dia, aku cuma sebatas itu saja. Bahkan kejadian waktu SMP pun sepertinya dia nggak ingat."

Dengan nada sedikit kecewa, Suzumine-san mengangkat bahu. Melihat sikapnya itu, aku teringat kejadian saat dia datang ke rumahku dulu.
Waktu itu aku bilang, "Bukannya agak dingin untuk ukuran teman masa kecil?" dan dia bereaksi seperti, “Kau juga sama saja.”

Mungkin dia bersikap begitu karena aku lupa akan dirinya. Tapi... kejadian waktu SMP apa, ya? Aku sama sekali tidak ingat pernah bertemu gadis seperti Suzumine-san.

"Teman masa kecil itu... maksudnya kamu dan Hyouka-chan pernah satu taman kanak-kanak?"

Saat aku masih bingung, Misaki sepertinya teringat sesuatu dan bertanya sambil menyebut taman kanak-kanak. Dari nada bicaranya, sepertinya meskipun rumah mereka bersebelahan, dia dan Suzumine-san masuk taman kanak-kanak yang berbeda. Kalau begitu, masuk akal juga.

"Iya, benar."

Suzumine-san mengangguk ringan, tampak santai. Melihat sikapnya yang biasa saja, sepertinya memang tidak ada kenangan yang terlalu mendalam antara kami.

"Di taman kanak-kanak kita sering bermain bersama, tapi sepertinya dia sama sekali tidak mengingatnya."

Ternyata aku salah—itu hanya karena kepribadian Suzumine-san yang terkesan santai. Atau lebih tepatnya, sepertinya dia masih menyimpan sedikit ganjalan di hati. Dalam arti itu, dia sebenarnya tidak begitu santai.

Yah, memang salahku karena melupakannya… tapi bukankah mengingat nama teman masa kecil dari taman kanak-kanak ketika sudah SMA itu hal yang cukup langka?

...Tapi memang, aku merasa ada kenangan bermain bersama seorang gadis waktu itu. Maksudku, dia sering menempeliku. Bahkan rasanya dia menganggapku sebagai bawahannya, dan sering menyeretku ke sana kemari di taman kanak-kanak.

"Anak perempuan yang seperti preman kecil itu... ternyata Suzumine-san, ya?"

"Hal seperti itu, sebaiknya dilupakan saja."

"Ugh...!"

Mungkin karena malu, dia menyiram wajahku dengan air laut seperti sedang menyembunyikan rasa malunya. Asin...

"Jadi kamu mau aku ingat, atau lupa, yang mana sebenarnya...?"

Sambil menyeka wajahku dengan tangan, aku bertanya pada Suzumine-san.

"Ingat saja kenangan yang indah."

Dan dia mengeluarkan permintaan yang tidak masuk akal. Kenangan indah... memangnya ada? Yang aku ingat cuma diseret-seret keliling taman kanak-kanak...

"Tapi, Hyouka-chan kan dulunya sekolah di taman kanak-kanak dekat kantor tempat tante-nya bekerja, kan?"

Saat kami hendak membicarakan masa lalu, Misaki kembali memotong percakapan dengan pertanyaan lain. Berkat itu, aku mulai menyadari bagaimana Suzumine-san bisa tahu soal kegiatan ibuku.

"Ya, benar."

"Kalau begitu, Raito-kun bukan satu taman kanak-kanak dengan Kokoa-chan, ya...?"

Setelah melihat anggukan Suzumine-san, Misaki mengalihkan pandangannya padaku.

"Ah, iya. Katanya sih, waktu itu tempatnya sudah penuh, jadi aku tidak bisa masuk ke taman kanak-kanak tempat Kokoa. Makanya aku dimasukkan ke taman kanak-kanak yang letaknya dekat kantor tempat ibuku bekerja."

Dan itulah taman kanak-kanak yang sama dengan Suzumine-san. Dari situ bisa ditarik kesimpulan: mungkin ibu Suzumine-san dan ibuku bekerja di tempat yang sama.

"Jadi kalian memang benar-benar teman masa kecil..."

Setelah menyadari bahwa aku dan Suzumine-san memang teman masa kecil, Misaki menunduk sambil memegangi dadanya. Apa yang sedang dia pikirkan sekarang, ya?

Ketimbang terkejut karena aku teman masa kecil Suzumine-san, aku justru lebih penasaran dengan perasaan Misaki.

"Meski teman masa kecil, tidak seperti dengan Misaki, hubunganku dengannya sudah selesai sejak di taman kanak-kanak, kan? Jadi jangan salah paham, ya?"

Aku buru-buru memberi penjelasan sebelum Misaki menarik kesimpulan yang aneh. Bahkan Suzumine-san sendiri tidak bermaksud merebutku dari Misaki hanya karena mengaku teman masa kecil. 

Justru dia mengungkapkannya untuk menenangkan Misaki. Meskipun hasilnya tidak jelas, jika Misaki mengikuti alur ceritanya dengan baik, seharusnya tidak akan salah paham...

"――Maaf, aku duluan balik ke pantai, ya...!"

Entah kenapa, Misaki tiba-tiba berenang ke arah pantai.

"Hah!? Hey, Misaki...!"

Aku memanggilnya, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti.
Mungkin suaraku tidak terdengar karena dia sedang berenang. Misaki terus berenang menjauh dengan kecepatan seperti atlet renang.

"Sial, dia cepat banget...!"

Aku tahu dia atletis, tapi rasanya aku tidak akan bisa menyusulnya walau berenang sekuat tenaga.

"Haa... yah, aku sudah menduga ini bakal terjadi. Tapi... ternyata kebohongannya malah jadi kenyataan, ya..."

Suzumine-san bergumam pelan lalu mendekat ke arahku. Lalu――

"Ayo, cepat kejar dia."

Dia mendorong punggungku pelan.

"Bukannya gampang begitu aja...?"

"Di saat-saat seperti ini, biasanya pacar yang mengejarnya, kan?"

Memang sih, kalau di manga mungkin begitu. Tapi aku ini cuma pacar palsu. Kalau aku kejar, aku harus bilang apa...?

"Padahal penyebabnya itu Suzumine-san sendiri, kan...?"

"Aku cuma ingin membuktikan bahwa aku tidak bersalah karena dituduh yang macam-macam."

Apa benar begitu...? Kalau iya, sepertinya itu langkah yang salah...Yah, kalaupun kutanya juga dia pasti tidak akan menjawab dengan jujur.

"Kalau begitu, aku kejar dia, ya."

"Eh!? Tunggu, kenapa kamu pegang tanganku...!?"

Begitu aku sengaja menggenggam tangannya, wajah Suzumine-san memerah dan dia marah. Padahal dia suka memegangku, tapi giliran aku yang pegang, malah nggak boleh rupanya.

"Kamu nggak bisa berenang tanpa pelampung, kan? Kalau aku tinggalin kamu dan terjadi sesuatu, bakal repot. Nanti begitu sampai di pantai, kamu bisa menjauh."

Setelah bilang begitu, aku melepaskan tangannya. Lagipula, kami juga harus membawa pelampung balon itu kembali, dan dari awal aku tidak berniat berenang sambil bergandengan tangan dengannya.

――Sebenarnya, kalau mau mengejar Misaki, membawanya ikut serta itu malah kontraproduktif. Tapi meninggalkan dia yang tidak bisa berenang sendirian juga berbahaya. Kalau sampai ada cowok genit yang godain dia di tengah laut, itu akan jadi masalah besar.

Bahkan mungkin ada orang bodoh yang merebut pelampungnya karena kesal ditolak. Sampai dia kembali ke pasir pantai dengan selamat, aku tidak bisa membiarkannya sendirian.

Sebaliknya, setelah sampai dan sebelum aku memanggil Misaki, dia bisa menjaga jarak dulu sebentar.

"Perhatian semacam itu harusnya kamu berikan ke Misaki, tahu..."

"Soal Misaki, aku ini sebenarnya sudah cukup berusaha, lho...?"

Aku yang biasanya menghindari berinteraksi dengan teman sekelas, untuk Misaki sudah lumayan terbuka. Bahkan kalau dia manja di rumah pun, aku tidak menolaknya dan tetap memanjakannya. 

Sejujurnya, rasanya aku sudah mencapai batas kapasitasku. Tapi yah… kapal sudah terlanjur berlayar, dan aku tidak bisa turun begitu saja. Hah… dia ini beneran kayak adik yang bikin repot terus ya...
Beda banget sama Kokoa.

"...Pada akhirnya, kamu memang perhatian juga, ya..."


Dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang tak terlihat, seperti mencengkeram kuat dadaku. Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa sesakit ini.

"Seandainya saja aku nggak ikut ke laut..."

Begitu aku naik ke pantai, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Kalau aku nggak ikut ke laut, mungkin aku nggak akan merasa seburuk ini. Kalau saja aku main di rumah Raito-kun bareng Kokoa-chan, pasti rasanya jauh lebih menyenangkan.

Hyouka-chan... dia memang menyukai Raito-kun.

Makanya, dia melakukan skinship yang jelas-jelas nggak biasa dia lakukan pada cowok lain, dan memperlihatkan senyum hanya pada Raito-kun. Mungkin dalam hatinya, dia nggak suka padaku yang jadi pacarnya sekarang.

"Aku harus gimana, ya...?"

Aku nggak mau tetap bareng mereka berdua dalam kondisi seperti tadi. Enggak, lebih tepatnya, aku nggak mau bareng Hyouka-chan. Kalau tetap bareng dia, aku takut malah mengucapkan sesuatu yang menyakitkan. Makanya, aku lari menjauh tanpa pikir panjang.

Aku ingin pergi ke tempat kakakku dan bertemu Kokoa-chan untuk menenangkan hati... tapi kurasa aku malah akan mengganggu. Soalnya, Kokoa-chan sepertinya senang bermain dengan kakakku. Kalau aku yang lagi bad mood ini datang, aku mungkin malah membuat suasana jadi nggak enak.

Tapi aku juga nggak bisa pulang sendirian... jadi, untuk sementara, aku mau istirahat dulu di tempat barang-barang kami diletakkan. Saat aku berjalan menuju ke sana—

"—Tuh kan! Gue udah bilang pasti begini jadinya!"

Tiba-tiba telingaku menangkap suara cowok yang terdengar sangat mengganggu. Saat aku mengangkat kepala, aku sudah hampir sampai di tenda tempat kami meletakkan barang. Dan di depanku, ada dua cowok yang terlihat urakan, berdiri menghadang jalanku.

"Kenapa nih? Diputusin cowok, ya?"

"Keterlaluan banget sih, udah ada cewek imut begini tapi malah mesra-mesraan sama yang satu lagi! Biar kami yang hibur kamu, ya!"

Aku tahu mereka ini yang tadi terus memperhatikan kami. Sepertinya mereka memang menunggu saat aku sendirian.

"Maaf, aku tidak tertarik..."

Bahkan aku tahu, di situasi seperti ini, aku nggak boleh ikut orang asing. Makanya, aku coba menghindar dan menjauh—

"Ayo dong, jangan gitu!"

"Nih, nanti kita traktir makanan enak, deh!"

Tapi mereka langsung menghalangi jalanku lagi. Bahkan salah satunya mencoba menggenggam tanganku.

"Lepaskan...!"

Aku spontan berusaha melepaskan diri sambil berteriak. Tapi cengkeraman tangannya kuat sekali, dan dia sama sekali nggak mau melepaskannya. Seolah mereka sudah memperkirakan aku bakal memberontak.

"Tenang aja. Kami nggak akan macam-macam kok."

"Iya, ayo kita main yang seru-seru buat ngilangin stres."

Dengan senyum menjijikkan, mereka menatap wajah dan tubuhku dengan pandangan cabul.

"Tidak... Lepaskan aku...!"

"Haha, nanti juga kita lepasin kok pas udah sampai sana."

Tanganku yang satunya lagi pun ditarik, dan aku diseret dari kedua sisi. Aku mencoba menahan langkahku supaya nggak terbawa, tapi tentu saja aku nggak bisa melawan tenaga dua orang cowok.

Bahkan mulutku ditutup pakai tangan mereka. Saat aku mencari pertolongan dengan memandang sekitar, aku melihat beberapa orang di kejauhan yang jelas-jelas melihat ke arah sini. Tapi begitu tatapan kami bertemu, mereka langsung memalingkan wajah. Lagi-lagi...

Lagi-lagi tak ada yang menolongku.

Kenapa sih, aku harus terus mengalami hal seperti ini? Apa aku sudah melakukan kesalahan...? Di laut, di festival...Aku cuma ingin bersenang-senang...

"—Hei."

"Eh—GWAH!"

Tiba-tiba, salah satu dari mereka yang menarikku terjatuh ke pasir sambil mengeluarkan suara keras. Dia memegangi punggungnya dan tampak kesakitan. Aku refleks menoleh ke belakang—

"Lo berdua, ngapain nyentuh pacar gue?"

—dan di sana, berdiri seorang cowok yang kukenal, dengan tatapan seolah sedang melihat sampah.

"Raito-kun...!"

Aku langsung melepaskan diri dari cengkeraman itu saat si cowok melonggarkan pegangannya, dan berlari ke arah Raito-kun.

"Kamu nggak apa-apa?"

Raito-kun menyambutku dengan pelukan yang lembut. Meski biasanya dia bersikap cuek, di saat seperti ini, dia selalu bisa membuatku merasa tenang. Aku menyandarkan wajahku ke dadanya dan memeluknya erat.

"Kamu apaan sih!? Tiba-tiba main pukul aja...!"

"Harusnya gue yang nanya. Lo pikir nggak ada yang lihat kelakuan bejat kalian siang bolong gini?"

Dari nada suaranya, aku bisa tahu kalau Raito-kun sedang marah. Memang, dia memang berbeda dari yang lain. Karena dia seperti ini—selalu datang untuk menyelamatkanku.

"Belum sempat ngapa-ngapain juga kan!?"

Pria yang masih berdiri itu terlihat sangat emosional dan langsung mencoba memukul. Namun—

"Mencoba membawa orang secara paksa saja sudah cukup disebut tindakan kriminal."

"Buh....!"

Raito-kun melemparkan sesuatu yang sedari tadi ia genggam dengan tangan kirinya ke arah wajah pria itu, membuatnya terhenti.

"Aduh! Apa-apaan nih!? Mulutku jadi penuh pasir!"

"Yah, dari awal juga sudah jelas itu pasir, kan?"

"Ugh—!"

Saat pria itu menutupi wajahnya dengan tangannya, Raito-kun melayangkan tinju ke arah perutnya. Sepertinya kena di tempat yang pas, karena pria itu langsung merunduk sambil memegangi perut dan berguling-guling di pasir.

"Sejak kapan kamu ambil pasirnya...?"

"Aku udah genggam dari tadi."

Raito-kun menjawab pertanyaanku sambil berdiri di depanku, melindungiku. Sementara itu, pria yang lebih dulu terjatuh di pasir mulai bangkit.

"Hei, kamu pikir bisa menang lawan dua orang sendirian...!?"

"Udah, banyak omong. Kalau mau maju, ayo sini."

Dengan telapak tangan menghadap ke atas, Raito-kun melengkungkan jarinya memancing. Sikapnya yang biasanya malas malah jadi agresif kali ini, cukup jarang kulihat. Tapi aku yakin bukan karena terbawa emosi.

Dia tetap memikirkan aku, dan dengan lembut mendorong perutku dengan tangan kirinya seolah berkata, “Menjauh dulu.” Aku pun mundur sedikit agar tidak mengganggu.

"Dasar bocah, jangan remehkan aku...!"

Pria itu menarik tangannya ke belakang, bersiap memukul. Namun—

"Jangan asal terobos begitu, tolol..."

Raito-kun menghela napas, lalu menendang pasir ke arah wajah pria itu. Pasir itu tepat mengenai wajah pria yang hendak menyerang. Dan seperti sebelumnya, saat pria itu sibuk menutup wajahnya, Raito-kun menghajarnya di perut.

"Ugh...!"

"Maaf, tapi aku nggak bisa biarkan kalian bangkit lagi."

Sepertinya dia sengaja agar tidak ada kesempatan membalas. Raito-kun lalu menghujamkan tumit ke kaki kedua pria yang terguling.

"AAARGH! Sialan, dia...!"

"Brengsek, dia iblis atau apa...!?"

Kedua pria itu menatap Raito-kun dengan mata berair sambil memegangi kaki mereka.

"Buat jaga-jaga, aku ulang sekali lagi ya."

"“Hiih!?”"

Saat Raito-kun kembali mengangkat kakinya, ekspresi mereka berubah tegang. Sepertinya memang sangat sakit. Saat ia hendak menghentakkan kakinya lagi—

"Di sini...! Eh, loh...?"

—Hyouka-chan datang sambil membawa tiga orang pria dewasa.

"Umm... aku bawa para lifeguard, tapi...?"

Saat melihat dua pria tergeletak, Hyouka-chan tampak bingung dan menatap kami berdua.

"Apakah dia yang mencoba membawa perempuan secara paksa!?"

Dan entah bagaimana, Raito-kun malah disangka pelakunya.

"Ti-tidak! Dia ini pacarku, dia yang menyelamatkanku! Orang yang mencoba membawaku secara paksa adalah dua orang yang tergeletak itu!"

Aku langsung memeluk lengan Raito-kun dan menjelaskan dengan cemas. Mendengar itu, para lifeguard tampak menghela napas lega. Mungkin mereka sempat waspada karena mengira Raito-kun adalah pelakunya yang menjatuhkan dua orang sendirian.

"Maaf atas kesalahpahaman... Jadi orang yang tergeletak itulah pelakunya. Sepertinya juga ada beberapa saksi mata, jadi kita serahkan ke polisi saja."

"Apa!? Seriusan!?"

"Dia yang bikin kami luka-luka loh!? Bisa jadi ada tulang yang patah juga...!"

Saat para lifeguard mendekat, dua pria itu buru-buru menunjuk Raito-kun dengan panik. Ngomong dari mulut yang mana tuh...?
Padahal jelas itu akibat ulah mereka sendiri.

"Hei, kalian itu yang duluan nyoba nyulik pacarku. Aku cuma membela diri."

Memang benar yang mulai menyerang adalah Raito-kun, tapi itu karena dia menyelamatkanku. Dan aku yakin, karena ada saksi, dia tidak akan disalahkan.

Sempat terpikir mungkin dia terlalu kasar, tapi karena ini dua lawan satu, dia memang harus memastikan mereka tidak bisa melawan balik. Jadi, ini sudah benar.

"Kalian berdua, ikut kami untuk dimintai keterangan."

Kedua pria itu pun ditahan dan dibawa oleh para lifeguard.

"Maaf, tapi kami juga perlu dengar penjelasan dari kalian berdua."

Sepertinya kami juga akan dimintai keterangan. Mereka juga bilang akan memanggil polisi, jadi kami pun memutuskan untuk mengikuti arahan mereka.

"Raito-kun..."

"Hmm?"

"Terima kasih..."

Sambil berjalan mengikuti para lifeguard, aku menyampaikan rasa terima kasihku pada Raito-kun.

"Bukan apa-apa... Justru aku yang salah karena membiarkanmu sendirian. Dan lagi, melindungi Misaki itu tugasku. Jadi, nggak perlu dipikirkan."

Padahal aku yang pergi sendirian sesukaku, tapi Raito-kun tetap menanggapinya dengan senyum hangat. Sikapnya yang biasanya dingin, tapi bisa sangat lembut di saat seperti ini... sungguh curang.

Jantungku berdetak sangat kencang karena itu. Sekarang, aku akhirnya mengerti... Kenapa dadaku terasa sesak saat melihat Hyouka-chan dan Raito-kun terlihat akrab.

…Ugh, bukan begitu. Padahal aku sudah tahu, tapi aku tak mau mengakuinya, jadi aku berpaling. Karena aku takut jatuh cinta. Aku bahkan sempat berpikir kalau aku tak akan bisa mencintai siapa pun. Tapi, perasaan ini adalah—

"Kamu jago berkelahi, ya..."

"Apa yang kamu bicarakan? Sejak lahir, aku hampir nggak pernah berkelahi, tahu? Mana mungkin aku kuat."

"Eh, tapi..."

Barusan, dia mengalahkan dua pria dewasa dengan begitu mudah...

"Justru karena aku nggak terbiasa berkelahi, waktu lihat Misaki hampir dibawa pergi, aku mati-matian mikir gimana cara mengatasinya. Dan kebetulan, karena mereka juga nggak terbiasa berkelahi, semuanya berjalan lancar begitu saja."

"Lho, kok kamu tahu mereka juga nggak terbiasa berkelahi...?"

Aku memang nggak tahu soal begituan, jadi aku bertanya murni karena penasaran. Apa mungkin bisa tahu cuma dari melihat?

"Orang yang biasa berkelahi nggak mungkin punya begitu banyak celah kayak tadi. Kali ini cuma karena kami beruntung, jadi... jangan jauh-jauh dariku lagi, ya."

Begitu katanya, lalu dia menggenggam jari-jariku dengan jarinya sendiri. Tanpa sadar, kami saling bergandengan tangan seperti pasangan sungguhan, dan pipiku langsung menghangat karena senyum yang tak bisa kutahan.

"Maaf... Aku nggak akan menjauh lagi..."

Aku membalas sambil memeluk tangan kanan Raito-kun erat-erat.
Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit menegang karenanya, dan entah kenapa, hal itu membuatku makin senang. Rasanya seperti... dia benar-benar memperhatikanku.

"Lakukan itu ya, aku malas kalau harus berurusan sama hal ribet. Dan... aku juga minta maaf."

"Eh? Maaf soal apa...?"

Aku tak mengerti kenapa dia minta maaf, jadi aku memiringkan kepala.

"Soal bikin pacarku merasa nggak enak."

Karena dia bilang "pacarku" dan bukan "Misaki", aku langsung tahu dia membicarakan soal Hyouka-chan tadi. Mungkin karena aku kabur dengan cara yang begitu mencolok, dia jadi merasa bersalah.

"Nggak, itu aku yang kabur tanpa mau bicara..."

"Misaki tuh, sering banget kabur, ya."

"Uuh..."

Kupikir dia akan mengatakan sesuatu yang manis dan lembut, tapi ternyata dia malah menyentil bagian yang paling menyakitkan. Saat aku mendongak, dia hanya menatapku dengan senyum lelah seolah berkata “ya mau gimana lagi”. Sepertinya dia nggak bermaksud jahat.

"Aku nggak mau ribut sama siapa pun, jadi selalu berusaha menghindar... dan tanpa kusadari, kabur jadi kebiasaanku..."

Aku memang sadar kalau selama ini aku selalu lari dari hal-hal yang nggak aku suka, atau dari situasi yang bisa bikin orang lain marah. Jadi aku memutuskan untuk jujur. Kupikir dia akan menegurku lagi, tapi—

Raito-kun meletakkan tangan yang tidak menggenggamku ke atas kepalaku dengan lembut.

"Raito-kun...?"

"Aku ini nggak peka orangnya. Jadi aku harus benar-benar memperhatikan Kokoa baik-baik. Karena aku tahu, ada banyak saat di mana aku nggak akan sadar meski kamu menunjukkan lewat sikap. Makanya, supaya hal itu nggak terjadi, tolong katakan semuanya dengan kata-kata. Kalau kamu nggak suka sesuatu, bilang nggak suka.
Kalau kamu pengin sesuatu, jangan ragu untuk bilang. Gimana kalau kita mulai dari situ dulu?"

Sambil berkata begitu, Raito-kun membelai kepalaku dengan lembut.
Sejujurnya, aku sangat terkejut. Dia tahu aku suka menghindar, dan dia bicara begitu supaya aku berhenti melakukan itu. Tapi aku tak pernah menyangka Raito-kun akan mencoba mendekatiku dengan cara seperti ini. Buat dia, hubunganku dengannya nggak ada untungnya.  Malah, bukan hal aneh kalau dia merasa aku ini cuma gangguan. Lagi pula, meski aku sempat kabur di pantai tadi, kalau ini Raito-kun yang dulu, dia pasti sudah melupakannya. Mungkin karena aku nyaris terlibat tindakan kriminal, jadi kesadarannya berubah.

"Beneran nggak apa-apa...? Soalnya aku ini..."

"Nggak apa-apa. Kita tetap pasangan, kan? Jadi lebih baik kalau kita saling terbuka dan saling hadapi."

Meski hubungan ini ‘palsu’, itu tetap nggak mengubah apa pun. Kurasa... itulah maksud dari perkataannya.

—Aduh, gawat nih...Padahal baru saja aku menyadari perasaanku...
Kalau dia terus bersikap sebaik ini, hatiku bisa-bisa meledak karena terlalu bahagia...

"Kalau nanti aku jadi manja dan egois... nggak apa-apa...?"

"Kalau terlalu egois, aku nggak sanggup ngikutin—tapi waktu itu terjadi, aku juga akan bilang terus terang. Dari situ, kita bisa saling tahu batasan masing-masing, kan?"

Di saat seperti ini, dia nggak asal bilang "Aku akan terima semuanya". Dia memang blak-blakan, tapi justru karena itu, aku tahu dia berkata jujur. Dan itu membuatku merasa sangat tenang.

"Kalau begitu... aku akan menerima kebaikanmu, ya..."

"Iya, begitu saja."

Dan seperti itu, berkat kebesaran hati Raito-kun, kami pun berdamai.

—Atau mungkin, bukan cuma berdamai.

Rasanya, jarak antara kami jadi jauh lebih dekat dibanding sebelum kami berselisih. Sekarang... aku nggak mau lagi melepaskan tangannya.


Post a Comment

Post a Comment

close