NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V3 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 4: Pandangan Masing-Masing


Bagian 1

Tiga hari telah berlalu sejak Kakak datang ke kediaman ini.

Pada akhirnya, hari itu Kakak langsung meninggalkan rumah setelah pertemuan kami. Memang sejak awal dia datang dalam rangka latihan tempur para prajurit baru.

Dia sempat berkata akan kembali setelah satu tahap selesai, jadi kami telah mempersiapkan diri sebaik mungkin. 

Lalu, tadi malam, seorang kurir datang menyampaikan bahwa dia akan datang menemui kami esok pagi.

Akhirnya saat penentuan pun tiba. 

“B-Bagaimana menurutmu? Apa aku bisa melakukannya?”

“Tidak masalah. Jangan pesimis, mari kita lakukan.”

“B-Benar juga.” 

Di halaman dalam rumah bangsawan, di sanalah Jurgen tengah mempersiapkan halberd-nya. Tentu saja, ini senjata latihan. Tapi mulai sekarang, dia akan bertarung dengan itu.

Lawan yang akan dihadapinya, tentu saja, adalah Kakak. 

Dia akan bertarung melawan Kakak dalam duel, dan menunjukkan bahwa dia memiliki kekuatan yang cukup. Itulah tujuan utamanya. 

“Kalau melihat interaksi sebelumnya, Kakak tidak membencimu. Malah termasuk yang dia sukai, kurasa. Maka kalau kamu bisa menunjukkan kekuatanmu, tak akan jadi masalah.” 

Aku menyemangati Yurgen sambil mengatakan itu. Kasus kali ini menyeret hingga sang Kaisar.

Hasil dari duel ini akan menentukan kelanjutan perjodohan. Jika gagal, maka Jurgen akan kehilangan kesempatan besar. Karena itulah, dia tampak agak tegang. 

Kami telah berusaha sejauh ini. Dari sudut pandangku, aku benar-benar ingin Jurgen berhasil. Bahkan lebih dari itu, dia harus berhasil.

Jika aku berhasil menyelesaikan perjodohan Kakakku, maka urusan keluarga di masa depan akan lebih mudah diarahkan padaku. Aku hanya pendukung dalam perebutan takhta, bukan pelaku utama, jadi Ayah akan lebih mudah mengandalkanku. 

Meski aku tak ingin berurusan dengan masalah, namun kalau itu menguntungkan, tak ada pilihan lain.

Aku ingin sekali mendapatkan kepercayaan Ayah. 

Kepentinganku dan Jurgen sejalan. 

“Tak perlu menang. Selama kamu menunjukkan kekuatanmu, Kakak pasti akan mengakuinya.”

“Benar. Memang begitu orangnya.” 

Tepat saat Jurgen berkata begitu, terdengar suara langkah dari arah pintu masuk. 

Langkah yang teratur dan mantap itu membawa serta Kak Lize. 

Melihat Jurgen yang berdiri di tengah halaman dengan halberd-nya, Kakak menghela napas, seolah benar-benar lelah menghadapi ini. 

“Begitu tidak ada penyambutan, aku sudah curiga... Lagi-lagi ini?”

“Lagi-lagi, Yang Mulia.”

“Orang yang tak tahu kapok, ya.” 

Sambil berkata begitu, Kakak menerima pedang latihan yang telah disiapkan oleh kepala pelayan.

Dia mengayunkannya beberapa kali untuk merasakan bobotnya, lalu langsung mengambil posisi siap tempur. 

“Ayo, tunjukkan apa yang kamu sebut hasil dari kerja keras.”

“Baik!” 

Rasanya seperti guru dan murid.

Padahal ini adalah pertarungan antara dua orang yang pernah mengajukan dan menolak lamaran pernikahan. 

Di usia pertengahan dua puluhan, keduanya terlihat sangat tidak punya aura percintaan. 

Namun, kita tidak tahu kapan dan di mana percikan itu akan muncul, dan akulah yang harus menyalakan percikan itu. 

“Kalau begitu, aku yang akan memberi aba-aba. Jika dia berhasil mendaratkan satu pukulan pada Kakak, maka berarti kemenangan bagi Duke Reinfeld, setuju?”

“Silakan. Meski kurasa itu tidak akan terjadi.”

“Rasa percaya diri yang berlebihan, tidak mencerminkan seorang Marsekal, bukan?” 

Jurgen, yang jarang sekali bersikap provokatif, menampilkan senyum menantang.

Karena perbedaan kemampuan yang terlalu jauh, aku menyarankan strategi provokasi. 

Jurgen sendiri awalnya enggan memakai taktik seperti itu, namun akhirnya menerima dengan alasan strategi. 

Dan, itu membuahkan hasil dengan sempurna. 

“Oh? Berani juga kamu bicara begitu. Sampai-sampai menyebut aku lengah, kamu pasti sangat percaya diri.”

“Bukan percaya diri, hanya penilaian rasional, Yang Mulia.”

“Baiklah. Kalau kamu bilang aku lengah, buktikan. Aku akan melawan hanya dengan tangan kiriku.” 

Kakak memindahkan pedangnya ke tangan kiri, lalu menyelipkan tangan kanannya ke punggung. 

Melihat itu, aku nyaris mengangkat tangan dalam selebrasi. Aku tahu betul, jika dipancing, Kakak yang sangat kompetitif pasti akan membuat tantangan semacam ini. 

Tak peduli sehebat apa pun seseorang, jika hanya memakai satu tangan, kekuatannya pasti menurun. Terlebih lagi jika bukan tangan dominan. Meski selisih kemampuan masih sangat jauh, peluang Jurgen untuk memberikan satu serangan meningkat drastis, dan meningkatkan kemungkinan Kakak akan mengakui Jurgen. 

Jika dia berhasil membuat Kakak sedikit kesulitan, maka Kakak tidak akan punya pilihan selain mengakuinya. Lagipula, dia bukan tipe yang akan mencari-cari alasan seperti, “Itu karena aku memberi keuntungan.” Meski memang, dia pelit soal makanan ringan. 

“Kakak. Hanya untuk memastikan, jika Duke Reinfeld mampu memberikan satu serangan yang Kakak anggap layak...”

“Tentu saja aku akan mengakuinya. Kalau dia sudah berkembang sejauh itu, aku bersedia menjadi istrinya.” 

Kata-kata telah diucapkan. 

Aku menjawabnya dengan konfirmasi lalu mengangkat lengan kanan di antara mereka berdua. 

Begitu melihat keduanya siap, aku memberikan aba-aba. 

“Mulai!”

“Uooooooohhh!” 

Begitu aba-aba terdengar, Jurgen meluncurkan serangan penuh tenaga. 

Namun Kakak tidak menghindar. Dengan tangan kiri yang bukan dominan dan pedang yang lebih ringan dari senjata lawan, dia tetap maju menahan serangan itu. 

Suara benturan keras terdengar.

Halberd Jurgen tertahan dengan sempurna oleh Kakak. 

“Ada apa? Itu saja?”

“Tentu tidak. Aku memang sudah memperkirakan Anda akan menahan. Anda bukan tipe orang yang akan menghindar.” 

Sambil berkata demikian, Jurgen menekan dengan segenap tenaga kedua lengannya. 

Bahkan bagi Kakak, yang punya kekuatan besar, murni adu tenaga menjadi tantangan. Dia menahan serangan pertama dengan seluruh tubuh, tapi saat keduanya terkunci dalam posisi, Jurgen memanfaatkan berat senjata dan tubuhnya untuk terus menekan. 

“Hmph! Al yang memberimu ide ya? Kamu mulai punya taktik juga rupanya.”

“Kalau begitu, bagaimana Anda akan menanggapinya?”

“Kamu pikir sudah menyudutkanku? Dengar baik-baik. Justru saat menyerang itulah titik paling terbuka dari pertahananmu.” 

Begitu berkata demikian, Kakak tiba-tiba melonggarkan tubuhnya, lalu memutar tubuh dengan cepat. 

Karena tumpuannya hilang, halberd meluncur jatuh ke lantai. 

Kakak yang melakukan putaran indah memanfaatkan momentum itu untuk menyerang balik Jurgen. 

Berbahaya. 

Begitu aku berpikir demikian, suara benturan kembali terdengar. 

Kulihat Jurgen menahan serangan Kakak dengan gagang senjatanya. 

“Oh?”

“Bukan hanya karena beratnya aku memilih senjata ini.”

“Lumayan juga. Tapi, kamu puas hanya bisa menahan seranganku?” 

Keduanya mundur mengambil jarak.

Jurgen mulai memutar halberd-nya perlahan. 

Sepertinya dia ingin menciptakan serangan berat dengan daya sentrifugal. 

Kakak pun tampaknya waspada, tak berani mendekati jangkauan senjata itu. 

Namun Jurgen tak membiarkannya begitu saja. Dia perlahan mempersempit jarak. 

“Lincah juga kamu memutarnya.”

“Aku sendiri sekarang lebih berat, jadi ini lebih mudah dilakukan.”

“Aneh sekali kamu. Sampai segitunya ingin menjadikanku istri?”

“Tidak mungkin. Aku hanya ingin berada di sisimu.”

“Itu sama saja, bukan?”

“Sayangnya, sangat berbeda. Kalau Anda tak bisa memahami itu, berarti Anda masih belum cukup matang.”

“Hmph... Provokasi murahan.” 

Kakak berhenti mundur. Dia menerima tantangan Jurgen. 

Sungguh. Walau ini menyangkut masa depannya sendiri, dia tetap memilih kondisi yang tidak menguntungkan. 

Kalau ini pertempuran sebagai marsekal, tentu dia takkan bertindak gegabah. Tapi ini duel pribadi. 

Karena itulah, dia tetap pada prinsipnya. 

Dia benar-benar Kakak yang aku kenal. 

“Haaaaaaa!” 

Jurgen memutar halberd-nya besar-besaran dan maju menyerang. 

Dia mengendalikan putaran itu dan mengubahnya menjadi posisi tusukan. 

Hebat.

Serangan yang benar-benar mengejutkan. 

Atau begitulah kupikir. 

“Masih lemah.” 

Pedang Kakak menghentikan ujung halberd itu sebelum sempat mendapat momentum penuh. 

Keahlian yang menyatukan titik dengan titik secara presisi. 

Tapi, lebih dari itu, bagaimana bisa fia tahu itu akan menjadi tusukan? 

Jurgen dari awal terlihat mengandalkan kekuatan dan berat. Maka wajar jika Kakak mengantisipasi serangan tebasan, bukan tusukan. 

“Mengapa...?”

“Hmph, sampai tak bisa berkata-kata, ya?”

“Jangan-jangan... Anda menebaknya?”

“Aku tidak sebodoh itu untuk asal menebak. Aku membacanya. Kamu itu romantis. Aku tahu kamu akan menggunakan tusukan, serangan yang dulu aku nilai terlalu ringan, untuk membuktikan sesuatu. Sama seperti kamu mengenalku, aku pun mengenalmu.”

“Kh...” 

Jurgen mundur kembali.

Tapi dari wajahnya, aku tahu. Itu tadi adalah jurus rahasianya. Kartu truf-nya. 

Dan itu telah sepenuhnya digagalkan. 

Dia tak punya lagi langkah selanjutnya. 

“Sudah selesai. Kemenanganku lagi, Jurgen.”

“...Ya. Aku kalah...” 

Jurgen menunduk mengakui kekalahan. 

Kakak tersenyum puas menatap Jurgen yang menyerah. 

“Yah, tidak buruk juga.”

“Kalau begitu... Berarti Anda setuju?”

“Itu hal yang berbeda. Tak ada satu pun serangan yang membuatku puas. Maka dari itu, tak ada perjodohan dengan Jurgen.” 

Kakak mengatakannya tanpa ampun.

Jurgen hanya bisa terdiam mendengar itu. 

“Kakak...! Apa yang tidak Kakak sukai darinya...?”

“Kenapa? Kamu membelanya sekali.”

“Tentu saja. Dia sudah berusaha keras. Jangan tolak semudah itu. Siapa pun bisa melihat kalau Kakak sebenarnya menyukainya. Kalau memang ada alasan, tolong katakan padanya. Kasihan dia jika terus dipermainkan.” 

Mendengar permintaanku, Kakak terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis dengan ekspresi sepi. 

Itu adalah senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Lalu, Kakak mengangguk kecil.

“Begini, Jurgen... dengarkan baik-baik.”

“Ya...”

“Jangan pernah terlibat denganku lagi. Kamu merepotkan.” 

Kata-kata yang mustahil diucapkan pun meluncur dari bibirnya.

Sesaat, aku meragukan pendengaranku sendiri.

Apa yang sebenarnya dikatakan olehnya barusan?

Jurgen juga tampak terkejut. 

Namun... 

“...Begitu, ya... Merepotkan, ya...”

“Benar.”

“...Maafkan aku telah melangkah di luar batasanku. Mulai sekarang, aku takkan lagi mengajukan lamaran perjodohan.” 

Setelah mengatakan itu, Jurgen menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sesaat aku merasa kesal dan memandang Kakak, tapi rasa kesal itu segera menguap. 

Karena di wajah Kakak tergambar ekspresi yang sangat suram, yang belum pernah kulihat sebelumnya. 

“Kalau begitu, aku pamit. Al, tolong jaga Jurgen.”

“Hah? T-Tunggu! Kakak!” 

Kakak membalikkan badan dan berjalan pergi dengan langkah lunglai, tanpa semangat sedikit pun. 

Ketika aku menoleh, kulihat Jurgen masih berlutut dengan kedua lututnya, benar-benar kehilangan kesadarannya akan sekeliling. 

Apa ini sebenarnya...?

Aku harus melihat ke arah siapa sekarang...? 

Sambil berharap Leo ada di sini, aku hanya bisa memandangi mereka bergantian. 

Lalu akhirnya, aku memutuskan untuk mengejar Kakak. 

Karena aku yakin, pasti ada alasannya. 

Jika benar-benar menganggapnya merepotkan, dia takkan pernah menunjukkan ekspresi seperti itu.

 

Bagian 2

“Kakak! Kakak Lize!” 

“Apa? Masih ada yang mau kamu katakan?” 

Kakak menjawab dengan nada tak senang.

Dia memancarkan aura “jangan dekati aku”, dan dari suara, ekspresi, serta segala hal lainnya, dia menyatakan dengan tegas bahwa dia sedang kesal.

Biasanya aku tidak akan berani mendekat saat dia seperti itu. 

Tapi kali ini, aku tak bisa mundur begitu saja. 

“Masih ada atau tidak, apa pun belum terselesaikan, kan?”

“Aku sudah menolak Jurgen dengan jelas, seperti yang kamu minta. Apa lagi yang tak kamu puas?”

“Aku takkan protes kalau Kakak merasa lega setelah itu. Tapi nyatanya tidak, kan?”

“Apa maksudmu? Aku merasa sangat lega, tahu?”

“Kakak buruk sekali kalau berbohong.” 

Wajah itu jelas bukan wajah orang yang lega.

Malah terlihat seperti menyesal. 

“Bagaimana kalau kita bicara sambil jalan? Ada banyak yang ingin kutanyakan.”

“Aku tidak ada yang perlu dikatakan.”

“Begitu, ya... Sebenarnya, Christa sekarang punya teman laki-laki yang dekat dengannya.”

“Apa!? Anak lelaki seperti apa!? Dia bisa dipercaya!? Umurnya berapa!?”

“Aku bohong.”

Untuk sesaat, ekspresi Kakak menunjukkan keterkejutan.

Lalu...

“Begitu. Jadi kamu ingin menerima pelatihan dariku lagi setelah sekian lama?”

“Tidak, tidak! Aku bercanda! Tapi Kakak sendiri sadar, kan? Kakak tidak tahu banyak sampai tidak bisa membedakan kebohongan seperti itu.” 

Sambil menahan tangan Kakak yang hampir menyentuh pedangnya, aku tersenyum pahit.

Kakak berpikir sejenak, lalu menghela napas. 

“...Singkat saja.”

“Itu tergantung Kakak. Mari kita bicara sambil jalan.” 

Aku berjalan di sampingnya.

Kakak tetap diam.

Memang tak terlihat seperti dia akan membuka diri lebih dulu. 

“Ada beberapa hal yang mengganjal bagiku.”

“Jadikan satu saja.”

“Baiklah... Kalau begitu hanya satu. Tiga tahun lalu, apa yang terjadi antara Kakak dan Leo?” 

Sepertinya Kakak tidak menyangka aku akan menanyakan itu.

Matanya membelalak, lalu mengalihkan pandangannya dariku. 

“Kalau hanya satu, Kakak akan menjawabnya, kan?”

“...Itu tidak ada hubungannya.”

“Benarkah? Tapi sejak saat itu, Kakak nyaris tak pernah datang ke ibu kota. Hanya saling berkirim surat. Di mataku, Kakak terlihat seperti sedang menghindari seseorang.” 

Kakak menatapku sebal lalu menatap ke langit.

Lalu. 

“...Tiga tahun lalu, saat pemakaman Putra Mahkota. Aku hendak melakukan sesuatu, dan Leo menghentikanku.”

“Apa yang Kakak hendak lakukan?”

“Aku bermaksud membunuh Zuzan.”

“Itu...” 

Sangat khas Kakak.

Dan, juga sangat khas Leo.

Ternyata hal sebesar itu pernah terjadi...

Anak itu benar-benar penuh rahasia, ya. 

“Aku yakin kematian Ibu dan Putra Mahkota ada hubungannya dengannya. Aku ingin menyingkirkan bencana bagi Kekaisaran. Tapi... Leo berdiri di hadapanku.”

“Kalau Kakak membunuh selir Kaisar tanpa bukti, tentu Kakak juga akan dihukum.”

“Itu tetap tak bisa kuterima... Aku tak bisa memaafkannya. Karena itu aku mencoba menerobos dengan paksa. Tapi... Meski sudah kuhajar, Leo tidak menyerah. Dia bilang aku salah, dan terus menghalangiku.”

“Itu benar-benar Leo.” 

“...Leo berkata, keadilan harus ditegakkan melalui hukum. Tapi hukum itu lemah. Kakak kita dibunuh dengan cara yang tak meninggalkan bukti. Maka, satu-satunya cara adalah membunuh langsung... Aku berpikir seperti itu. Aku berniat untuk melumpuhkan Leo agar bisa lewat. Aku memukulnya berulang kali... Berkali-kali.” 

Sekarang aku teringat. Setelah Putra Mahkota meninggal, Leo mengurung diri di kamar.

Kupikir dia sedang berduka, tapi ternyata itu karena dipukul Kakak. 

“Meski begitu... Leo tak bergeming. Dia berkata aku salah. Bahwa Kakak kita tak menginginkan itu. Tapi... Dua orang keluarga kami telah tiada... Aku tak bisa diam saja. Aku bilang padanya untuk tidak bicara soal kebenaran. Apa dia tahu rasanya kehilangan Ibu dan Kakak yang pernah bersumpah akan mendukung? Apa dia paham rasa kehilangan bagi mereka yang ditinggalkan...?

“Tapi dia menjawab, bagaimana dengan Christa? Bagaimana dengan keluarga lainnya? Kekaisaran? Bagaimana dengan semua yang ingin dijaga oleh Kakak kita? Menyerah pada segalanya dan lari itu pengecut, katanya.”

“...Lalu, Kakak menjawab apa?” 

Kakak menundukkan pandangan dari langit ke tanah. Wajahnya terlihat sangat muram.

Aku belum pernah melihat ekspresi seperti itu darinya. 

“...Aku tak bisa berkata apa pun... Saat itu aku sadar sedang dikuasai amarah. Dan saat aku sadar... Aku tak bisa tetap di sana. Aku tak punya muka untuk bertemu Leo yang babak belur... Aku melarikan diri kembali ke perbatasan.”

“Jadi, karena tak bisa memaafkan diri sendiri, Kakak menghindari orang-orang?”

“...Ya, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Sekaligus aku takut. Jika Leo tidak menghentikanku, aku pasti sudah melakukan tindakan bodoh. Aku takut pada diriku sendiri... Lalu, aku memutuskan untuk tidak menjalin kedekatan. Hubungan dengan kenalan satu per satu kuputus. Tapi aku tak bisa memutus hubungan denganmu dan Christa... dan juga Jurgen. Awalnya kupikir dia merepotkan karena terus mendekatiku tanpa ragu... Tapi, aku juga merasa bersyukur.” 

Tanpa sadar, kami sudah menaiki bukit.

Kakak terus berjalan diam, dan saat mencapai puncak, dia duduk di bangku yang ada di sana. 

Penampilannya saat itu sungguh berbeda dari Kakak yang biasanya penuh semangat. 

“’Hanya orang yang bisa mati bersamaku yang bisa kujadikan pasangan’, ucapan itu ternyata berasal dari latar belakang seperti ini, ya.”

“...Kalau aku yang ditinggalkan, aku tak tahu akan melakukan apa. Tapi... Aku juga tak ingin orang lain merasakan rasa sakit itu. Aku seorang prajurit. Aku siap mati. Tapi aku tak bisa menerima kematian orang yang bukan prajurit.”

“Itulah sebabnya Kakak menolak Duke Reinfeld masuk militer?”

“Jurgen itu berbakat. Dia bisa mengurus logistik atau menjadi penasehat. Tapi aku tak bisa mati bersamanya. Aku tak ingin dia merasakan rasa sakit yang kualami.”

“Tapi Kakak juga tak bisa bersikap cukup dingin untuk memutus hubungan sepenuhnya. Karena dia adalah teman terdekat Kakak, kan?”

“...Entah bagaimana dia menganggapku, tapi bagiku dia adalah teman lama. Tapi saat kamu bicara tadi, aku sadar. Aku tak seharusnya mengikatnya hanya karena kehendakku sendiri. Aku... Sudah terlalu bergantung.” 

Jadi, itulah arti dari kata-kata Kakak sebelumnya.

Bisa dibilang canggung, atau keras kepala, ya. 

Mungkin waktu Kakak telah berhenti sejak tiga tahun lalu.

Sebagai prajurit, dia hanya menatap pada tugasnya dan mengabaikan segalanya. 

Tapi aku tak bisa menyalahkannya. Orang yang paling dekat dengan Putra Mahkota adalah Kakak.

Dia melihatnya sebagai tuan yang harus didukung, seperti aku memandang Leo. 

Kalau aku kehilangan Leo... Bisakah aku tetap melangkah ke depan? 

Kurasa sulit. Aku mungkin akan bertindak seperti Kakak. 

Tapi kalau ada yang menghentikanku...?

Seperti Kakak, aku akan hidup dengan perasaan yang tak bisa dilampiaskan. 

“Aku tak bisa berkata bahwa aku mengerti perasaan Kakak. Aku belum pernah kehilangan siapa pun. Kakak tertua adalah sosok yang sangat kuhormati, tapi terlalu jauh untuk benar-benar kusebut keluarga. Aku masih punya Ibu, dan Leo. Aku belum kehilangan orang yang sangat kucintai. Tapi, ada satu hal yang bisa kukatakan.”

“Apa itu...?”

“Aku menganggap Kakak sebagai keluarga. Christa juga, Ibu, bahkan Leo. Karena itu, hidup Kakak yang sekarang ini terasa menyedihkan. Aku tak percaya jalan hidup ini akan membawa Kakak pada kebahagiaan.”

“Aku tidak mencari kebahagiaan. Gambaran ideal tentang kebahagiaan yang kupunya... Sudah hancur tiga tahun lalu.”

“Leo akan membangun gambaran yang lebih baik dari itu. Jadi, tolong hadapilah masa depan, Kakak.” 

Kata-kata itu memang kurang meyakinkan.

Leo baru saja memasuki perebutan takhta, jadi pernyataan itu hanyalah bias anggota keluarga untuk meyakinkan bahwa Leo adalah orang yang lebih baik dari Putra Mahkota.

Leo sering dibandingkan dengan Putra Mahkota. Dia sendiri ingin menjadi seperti Putra Mahkota.

Tapi tidak ada orang yang akan menyebut dirinya sebanding dengan Putra Mahkota. Saat ini Leo hanyalah tiruan setengah jadi dari Putra Mahkota. 

Namun.

“Yang kurang dari Leo akan kuisi. Bersama-sama, kami bisa melampaui Kakak tertua. Kami akan menunjukkan masa depan yang bahkan lebih dari impian Kakak bersama Putra Mahkota. Jadi tolong, cobalah untuk melihatnya.”

“...Kamu bicara besar sekali. Mimpiku dan Kakakmu jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan.”

“Itu justru membuatnya lebih layak diperjuangkan.” 

Sambil berkata begitu, aku menatap mata Kakak Lize.

Mata itu berbeda dari biasanya. 

Penuh ketenangan. 

“...Rasanya aneh melihat adik kecilku sudah tumbuh seperti ini.”

“Begitu ya? Kalau begitu, melihat Leo sekarang akan terasa jauh lebih aneh. Dia juga tumbuh banyak. Bukan hanya kami. Sejak Putra Mahkota wafat, semua orang tumbuh dengan caranya sendiri. Termasuk Duke Reinfeld. Dia berusaha keras menjadi pria yang pantas bagi Kakak. Tak adil jika hubungan kalian berakhir begitu saja. Kalau Kakak memang tak berniat menikah, itu tak masalah. Tapi, Kakak tidak membencinya, kan?"

“Yah... Dia pria yang mau berusaha demi diriku. Bahkan kupikir dia menyenangkan. Tapi tentu saja, aku tak melihatnya sebagai pria.”

“Kalau begitu, katakan saja seperti itu. Memutus hubungan sepenuhnya terlalu kejam.”

“Itu benar, tapi...” 

Kakak tampak sulit berkata-kata.

Tak disangka. 

“Jangan bilang kalau Kakak merasa canggung, ya?”

“T-Tentu saja aku merasa canggung! Setelah menolaknya sekeras itu, aku harus bilang apa sekarang?”

“Sudahlah, bilang saja sekenanya. Dia bukan tipe yang akan memikirkan itu dalam-dalam.”

“Justru aku yang memikirkannya! Tidak mungkin aku yang memperbaiki hubungan lebih dulu! Harus dari pihak dia yang datang meminta, baru aku akan bilang kalau kita bisa kembali seperti semula! Itu yang paling benar!”

“Orang yang merepotkan, ya...”

“Berani-beraninya kamu menyebut Kakakmu merepotkan! Sebagai adik, kamu seharusnya berusaha demi Kakak! Kamu sudah membantu Jurgen, jangan sampai ada yang bilang kamu tak membantu aku juga!” 

Haa... Padahal aku awalnya membantu Jurgen soal perjodohan, entah kenapa jadi begini.

Kurasa kalau Kakak hanya bilang satu kalimat, “Maaf aku terlalu keras waktu itu,” Jurgen pasti akan menangis haru.

Tapi harga diri Kakak tak mengizinkannya melakukan itu. 

Memang orang yang menyusahkan.

Tapi kurasa itu juga pertanda bahwa sisi Kakak yang lama mulai kembali. 

Sedikit demi sedikit saja. Tak ada yang akan langsung berjalan mulus. 

Saat aku berpikir begitu, seseorang menaiki bukit tempat kami berada. 

“Hm? Anda pelayan dari Duke Reinfeld, bukan?”

“Y-Ya! T-Tuan dan nona sekalian, saya harus segera melapor! Di selatan, asap ungu telah muncul! Telah terjadi keadaan darurat di wilayah selatan yang bisa membahayakan seluruh negara!” 

Asap ungu, itu adalah tanda bahaya tertinggi. Begitu muncul, peringatan itu akan diteruskan dari pos-pos penghubung hingga sampai ke ibu kota kekaisaran. 

Tiga tahun lalu, ketika Putra Mahkota tewas di garis depan, sejak saat itu, tak pernah lagi asap itu tampak. 

Dan sekarang, asap itu muncul kembali. Di selatan. 

“Leo...?” 

Tanpa sadar, aku menatap ke arah selatan. 

Hari itu pun seperti ini. 

Titik balik takdir selalu datang tanpa memberi waktu untuk bersiap. 

Aku dan Kakak berlari bersamaan.

 

Bagian 3

“Bagaimana dengan Jurgen?”

Sesampainya kembali di kediaman, itulah pertanyaan pertama yang Kakak Lize ajukan. 

Karena Jurgen, yang seharusnya ada di sana, tidak tampak. 

“Yang Mulia Duke telah memimpin para kesatria dan berangkat ke medan perang.”

“Berangkat ke medan perang?” 

Kecepatan itu patut dipuji.

Namun, terlalu cepat.

Meski dia hanya membawa ksatria yang siap bertempur, kekuatan mereka tetap terbatas. 

“Segera panggil dia kembali! Kita bahkan belum tahu situasi di selatan! Kenapa membiarkan dia pergi!?”

“Tentu sudah kami cegah... Namun beliau berkata ingin menjadi pembuka jalan bagi Yang Mulia...”

“Pembuka jalan? Apa yang sebenarnya ingin dilakukan Jurgen?”

“Yang Mulia Duke berangkat untuk membasmi monster yang ada di sepanjang rute perjalanan...”

Begitu rupanya.

Kalau begitu, masuk akal kalau dia hanya membawa kesatria yang bisa langsung bergerak.

Namun tetap saja, ini berbahaya, dan perjalanan menuju selatan tidak mudah. 

Jaraknya jauh, dan sepanjang jalan menuju selatan dipenuhi hutan. Jalan pun belum diaspal, dan di dalam hutan biasanya selalu ada monster. 

“Kakak, bagaimana dengan pasukan yang sedang menjalani latihan?”

“Para prajurit baru tidak bisa digunakan. Kita hanya bisa membawa resimen kavaleri yang kubawa untuk latihan tempur.” 

Satu resimen terdiri dari lima kompi. Satu kompi kira-kira dua ratus orang, jadi jumlah keseluruhan adalah sekitar seribu. Tentu, bisa saja ada yang cedera atau sedang tidak bertugas, jadi kemungkinan tidak tepat seribu, tapi kira-kira segitulah. 

“Hanya satu resimen... Jumlah yang sedikit, ya.”

“Kalau tujuannya bergerak cepat, itu bahkan tergolong banyak... Tapi meski berhasil tiba dengan cepat, tidak banyak yang bisa dilakukan.” 

Asap ungu adalah sinyal peringatan tingkat tertinggi bagi negara.

Kemungkinan besar, orang yang menyalakan asap itu adalah Leo. Saat ini, hanya dua orang di selatan yang punya wewenang untuk mengeluarkan asap ungu: Jenderal yang bertanggung jawab atas perbatasan selatan, atau Leo sebagai inspektur keliling. 

Begitu besar dampak dari asap ungu.

Entah harus lega atau khawatir, yang jelas, asap ungu tidak akan dikirim hanya karena Leo mati.

Faktanya, asap itu telah muncul. Itu berarti keadaan benar-benar gawat. 

“Sepertinya hanya penyelidikan tempur saja.”

“Meski begitu, untuk memahami situasi, itu tetap perlu. Bergantung pada apa yang terjadi di sana, pasukan selatan mungkin harus digerakkan. Bagaimanapun juga, kita harus ke lokasi.” 

Nada suara Kakak dipenuhi semangat.

Itulah Kakak dalam kapasitasnya sebagai Marsekal Kekaisaran. 

Lalu, apa yang harus kulakukan? 

Pergi ke selatan dengan sihir teleportasi sangatlah mudah. Membawa Kakak bersamaku pun tidak sulit. Namun, teleportasi yang akurat tidak mungkin dilakukan. Kita tak tahu tepatnya di mana masalah terjadi. Apakah di desa Lynfia, atau kota lain, atau bahkan di tempat yang tak punya penanda apa pun. 

Kalau perlu, aku mungkin harus mengungkap identitasku sebagai Silver dan memindahkan Kakak beserta resimen kavaleri ke selatan. Sekarang memang situasinya sudah sampai sejauh itu. 

Namun, membawa seribu orang ke selatan akan sangat menguras sihirku. Jauh berbeda dengan berpindah seorang diri. 

Kalau harus membuka gerbang teleportasi, lebih baik digunakan di titik yang benar-benar strategis. 

“Untuk sekarang, sepertinya kita hanya bisa menunggu kedatangan resimen.”

“Benar juga...” 

Jawaban Kakak disertai ekspresi cemas di wajahnya.


* * *


“Yang Mulia. Resimen Kavaleri Ketujuh telah memenuhi panggilan dan hadir di hadapan Anda.” 

“Kerja bagus, Komandan Resimen.” 

Kakak Lize membalas hormat dari sang komandan resimen paruh baya yang menempelkan tangan di dahi. 

Melihat pemandangan seperti ini benar-benar membuatku merasa, inilah militer. 

“Apa yang dilakukan para prajurit baru?” 

“Mereka telah saya tempatkan menunggu di lapangan latihan. Kami juga telah mengirim utusan ke perbatasan timur, namun kemungkinan besar bantuan akan dikirim sebelum balasan datang. Untuk saat ini, mari kita segera menuju lokasi.” 

Militer Kekaisaran pada dasarnya menempatkan kekuatan utama mereka di perbatasan. 

Tentu saja, pasukan juga ada di pusat, tetapi masing-masing wilayah memiliki kesatria di bawah kendali tuan wilayah, dan ibu kota kekaisaran sendiri dijaga oleh pasukan pengawal kekaisaran. 

Karena itu, kekuatan militer Kekaisaran utamanya difokuskan untuk menghadapi musuh dari luar. 

Di antara semuanya, perbatasan timur dan barat dijaga oleh pasukan elit di bawah wewenang penuh sang Marsekal. Jika terjadi sesuatu di perbatasan lain, mereka punya cukup cadangan untuk mengirim bala bantuan. Mungkin ini hasil latihan berulang yang sudah sering mereka lakukan. 

Dulu, Putra Mahkota meninggal dunia saat sedang melakukan inspeksi di garis depan utara. Dia tewas di tengah pertempuran yang terjadi secara tak terduga saat sedang memimpin. 

Kakak Liese selalu menyesali bahwa dia tidak sempat datang tepat waktu. 

Kecepatan reaksi perbatasan timur kali ini kemungkinan besar adalah buah dari pelajaran menyakitkan itu. 

Namun. 

“Kalau pada jam segini, kita tak bisa melaju cepat, kan?” 

“Tak ada pilihan lain. Kita harus bergerak sebisa mungkin dengan segala yang kita punya.” 

Di luar sudah mulai gelap. Dan akan terus menjadi lebih gelap. 

Berbaris di malam hari sangat berbahaya. Jika mencoba memotong jalan, kita harus melewati hutan, dan di malam hari banyak monster yang aktif. 

Jika memutar, memang bisa menghindari itu, tapi akan memakan waktu lebih lama. 

Aku termenung sejenak. 

Haruskah aku mengungkap jati diriku sebagai Silver dan menggunakan teleportasi? 

Namun, jika aku berpindah ke kota di selatan, aku tetap harus memberikan penjelasan kepada tuan wilayah di sana, dan jika lokasi sebenarnya jauh dari kota itu, tetap saja kita harus berbaris di malam hari. 

Sementara aku masih ragu, pelayan dari Duke datang tergesa-gesa, terengah-engah. 

“Ada apa?” 

“T-Tidak... Huff... Huff... Saya hanya ingin memberitahu bahwa persiapannya telah selesai...” 

“Persiapan? Persiapan apa?” 

“Anda belum diberi tahu...?” 

Pelayan itu menatap Kakak Lize dengan ekspresi tak percaya. Kakak juga menunjukkan wajah bingung, namun pelayan itu segera sadar kembali. 

“Ini benar-benar khas beliau... Mari ikuti saya.” 

Pelayan itu kemudian membawa kami ke lantai atas rumah bangsawan. 

Dan di sana, terbentang pemandangan yang luar biasa. 

“Apa ini... Jalan?” 

Sebuah jalur bercahaya terbentang menuju selatan.

Jalur itu memanjang sejauh mata memandang. 

“Ini adalah Jalan Cahaya, Licht Weg, yang mulai dibangun oleh Duke sejak tiga tahun lalu, bekerja sama dengan para tuan wilayah sekitar. Meski belum selesai, jalan ini dirancang untuk membentang dari utara ke selatan dan menghubungkan langsung ke perbatasan.” 

“Kenapa membangun sesuatu seperti ini...?” 

“Secara resmi, ini demi kelancaran jalur distribusi para pedagang...” 

“Namun tujuan sesungguhnya adalah agar Kakak bisa segera meluncur ke selatan dan utara kapan pun diperlukan, ya...” 

Pelayan itu mengangguk pelan. 

Hari itu, tiga tahun lalu. 

Andai saja jalan seperti ini sudah ada. Jurgen pasti pernah berpikir demikian. 

Karena itulah, agar hal serupa tak terulang dan Kakak tak perlu menyesal lagi, dia membangun jalan ini. 

“Orang yang luar biasa...” 

“Yang Mulia! Dengan ini, kita bisa mencapai selatan secepat mungkin!” 

“Ya... Segera lakukan persiapan.” 

Kakak memberikan perintah, dan komandan resimen pun langsung berlari. Melihat itu, pelayan Duke juga diam-diam meninggalkan tempat. 

Kakak menatap jalan cahaya itu dalam diam, lalu berbisik, “Orang bodoh, ya... Kamu tidak berpikir begitu, Al?” 

“Benar juga. Wilayah Duke Reinfeld sendiri sudah cukup makmur. Kalau jalan ini selesai, yang paling diuntungkan justru para tuan tanah di sekitarnya.” 

Tentu saja wilayah Duke Reinfeld juga mendapat keuntungan. Namun melihat skala proyek sebesar ini, jelas pengorbanannya tak sebanding.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk balik modal. 

Para tuan wilayah sekitar pun tidak terlalu kaya. Besar kemungkinan sebagian besar biaya ditanggung oleh Jurgen sendiri. 

“Kenapa... Dia sampai sejauh ini?” 

“Entahlah. Mungkin harus tanya langsung padanya.” 

Itu adalah kebohongan. 

Jawabannya sudah jelas. 

Karena dia mencintai Kakak. Dan agar setia pada kata-kata itu, dia membangun jalan ini. 

Agar orang yang dia cintai bisa pergi menyelamatkan mereka yang ingin dia tolong. Agar tidak menyesal untuk kedua kalinya. 

Jurgen mungkin telah menyadari perubahan Kakak sejak tiga tahun lalu. Atau justru dia yang paling menyadarinya. 

“...Al.” 

“Ada apa?” 

“Apa yang harus kulakukan...?” 

“Aku pun tak tahu. Tapi aku rasa, Kakak harus tetap jadi diri sendiri. Kalau Kakak menerima lamaran hanya karena rasa bersalah, dia mungkin akan kecewa. ‘Bukan orang seperti ini yang aku cintai’, mungkin itu yang akan dia pikirkan.”

“Orang yang merepotkan...” 

“Benar. Mungkin salah satu dari tiga orang paling merepotkan di Kekaisaran. Yang paling merepotkan, menurutku, adalah kenyataan bahwa setelah melakukan semua ini, dia tidak mengatakan apa pun kepada Kakak. Kalau saja dia bilang dia melakukan semua ini dan tolong menikahlah dengannya, semuanya jadi lebih mudah.” 

Dia bisa disukai dengan melakukan sesuatu. Tapi bukan begitu caranya. Dia tidak melakukannya agar disukai. 

Bukan demi dirinya sendiri, tapi demi orang yang dicintainya. 

Saat dia berkata ingin setia pada cinta, dulu rasanya berlebihan. Tapi kini, aku justru merasa ingin memujinya. 

Dia adalah orang yang sangat teguh pendirian. 

“Bukan karena rasa bersalah, tapi jika suatu hari Kakak benar-benar merasa bahwa ‘jika harus menikah, orang inilah yang pantas’, maka itulah saatnya Kakak memberi jawaban.” 

“Itu tidak akan terjadi. Jurgen... Bagiku, tetaplah seorang teman baik.” 

“Begitu, ya. Kalau begitu, serahkan pada keputusan Kakak. Tapi...” 

“Tapi?” 

Aku diam sejenak dan membalikkan badan. 

Waktu keberangkatan pasukan kavaleri pasti sudah dekat. 

Melihat itu, Kakak pun mengikuti langkahku. 

“Apa ‘tapi’-nya?” 

“Kakak penasaran?” 

“Tentu saja. Cepat katakan.”

“Begini... Kalau aku harus memanggil seseorang sebagai Kakak Ipar, orang seperti dialah yang cocok. Setidaknya, orang selevel dia baru layak mendapat sebutan itu dariku.” 

“Huh... Begitu ya.” 

Kakak tersenyum kecil mendengar kata-kataku, lalu mengibaskan jubah birunya dan mulai berjalan cepat. 

Sosoknya penuh wibawa, dipenuhi semangat. 

Itulah Kakak yang selalu kukenal. 

“Ayo pergi. Temui Leo.”

“Ya.” 

Dan begitulah, aku dan Kakak Lize pun berangkat lurus menuju selatan.

 

Bagian 4

Aku dan Kakak Lize memimpin resimen kavaleri, melaju sekuat tenaga. Kami telah berkuda semalaman, namun masih belum berhasil menyusul Jurgen. 

Jalan Cahaya itu dibentuk dari batuan bercahaya yang dipasang di tongkat-tongkat. Di siang hari, itu hanyalah batu biasa, namun di malam hari ia memancarkan cahaya dengan jelas. Bukan batu yang mahal. Anak-anak pun bisa memetiknya saat mendaki gunung. 

Namun, jumlahnya sangat luar biasa.

Meski katanya masih belum selesai, entah sampai sejauh mana jalan ini membentang. 

“Luar biasa juga ya, bisa membuat ini tanpa bantuan dari negara.”

“Jurgen memiliki banyak koneksi dengan para pedagang. Dan dia juga sempat bekerja sama dengan Eric. Itu pasti sangat berpengaruh.”

“Orang yang menakutkan...” 

Ternyata bahkan Eric pernah dia manfaatkan.

Tak ada rumah duke yang tidak terlibat dalam perebutan takhta. 

Memang benar bahwa Jurgen memiliki hubungan dengan para pedagang yang dekat dengan Eric.

Kalau ditanya kenapa Eric, tentu karena dia kandidat terkuat saat itu. Dan, mungkin yang paling penting.

“Gordon memang tidak menunjukkan permusuhan padaku sekarang, tapi kalau dia jadi kaisar, kami pasti akan berbenturan karena wataknya. Kalau Zandra... Tak perlu disebut lagi. Karena itu, Jurgen memilih mendekati Eric. Itu dia katakan langsung padaku.”

“Selalu memprioritaskan Kakak, ya.”

“Itu hasil dari aku membiarkannya berbuat sesuka hati. Aku tidak pernah memintanya.” 

Sambil terus berkuda, Kakak bergumam pelan.

Wajahnya terlihat sedikit tak senang. Sepertinya dia merasa tak nyaman karena terus-menerus dikhawatirkan. 

“Kakak Eric mungkin juga tahu motif sebenarnya tapi tetap menjalin kerja sama. Jalan ini juga sangat berguna bagi negara.”

“Jurgen itu perencana ulung. Kalau perlu, dia akan menjual jalan ini ke negara dan meraup untung.”

“Itu sih benar-benar mungkin...” 

Sikap dasarnya adalah: asal bermanfaat untuk Kakak, semuanya oke. Tapi soal untung-rugi, dia tetap ambil yang menjadi haknya. Dia pasti sudah menyiapkan beberapa skenario sejak awal. 

Orang ini memang menakutkan. 

“Untung dia jatuh cinta pada Kakak.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau dia tidak jatuh cinta pada Kakak, dia akan jadi Duke yang terlalu berbahaya karena akan ikut campur dalam perebutan takhta, membaca situasi, punya uang, dan jaringan di mana-mana. Membayangkan dia sebagai musuh saja sudah bikin sakit kepala.”

“Jurgen memang cerdas. Kalau jadi lawan, akan sangat merepotkan.”

“Andaikan dia jatuh cinta pada Kakak Zandra, mungkin semuanya sudah berakhir dengan bencana.”

“Jangan remehkan Jurgen. Meski begitu, dia tetap jatuh cinta padaku. Tak mungkin hatinya terpikat oleh Zandra.”

“...”

Entah kenapa, Kakak mengucapkannya dengan nada agak marah. 

Aku membulatkan mata dan melirik ke arah komandan resimen yang berkuda di belakang.

Sang komandan hanya tersenyum kecil dan mengangguk sekali. 

Apa ini artinya...? 

“Kakak...”

“Apa?”

“Ah, tidak jadi. Rasanya percuma diucapkan.” 

Kalimat ‘Apakah Kakak sedang mabuk cinta?’ sudah sampai di tenggorokan, tapi kutelan kembali.

Kalau pun kukatakan, Kakak pasti akan menyangkal. 

Tapi, bahkan jika dia tidak memandang Jurgen sebagai calon pasangan.

Yang jelas, Kakak mengakui keberadaan Jurgen. Itu sudah cukup terbukti. 

Saat aku berpikir demikian, terlihat cahaya bergoyang di depan. 

Sekumpulan orang desa tampak sedang berkumpul. 

“Tuan-tuan tentara! Kami sudah siapkan makanan! Silakan makan sambil jalan!” 

Para warga desa membagikan makanan ransum kepada anggota resimen satu per satu.

Aku dan Kakak berhenti, sementara komandan resimen menyuruh yang sudah menerima makanan untuk terus maju. 

“Permisi! Ini atas perintah siapa?”

“Hm? Wah, kamu belum tahu ya, Nak?” 

Seorang wanita paruh baya menyerahkan makanan dan air dengan paksa ke tanganku.

Lalu. 

“Itu perintah dari Tuan Duke. Dia bilang akan ada tentara yang datang di belakang, jadi tolong siapkan makanan untuk mereka. Saat membangun jalan ini, beliau sengaja membuat ruang seperti ini, lalu minta kami kerja sama agar kalian bisa ambil makanan tanpa berhenti.”

“Begitu rupanya...”

“Hei! Kamu yang cantik itu, makan juga ya!” 

Perempuan itu juga memaksa memberi makanan pada Kakak. Kakak menerimanya dengan tenang dan menatap sekeliling. 

Pasukan kavaleri yang telah berlari semalaman tampak kelelahan. Namun berkat makanan dan sambutan hangat dari warga desa, wajah mereka kini terlihat sedikit lebih segar. 

Semua ini berkat perhatian Jurgen. 

“...Terima kasih. Ada yang harus kami bayar?”

“Tidak usah dipikirkan! Tuan Duke selalu meninggalkan uang tiap bulan untuk desa. Padahal kami bilang tak butuh sebanyak itu, tapi beliau tak mau dengar. Beliau hanya pesan satu hal, ‘Tolong perlakukan dengan baik siapa pun yang lewat jalan ini.’ Yah, kalian adalah orang pertama yang benar-benar lewat, jadi kalau bertemu beliau, sampaikan salam kami, ya.”

“Begitu... Baik. Akan kusampaikan.” 

Setelah berkata demikian, Kakak kembali menunggangi kudanya dan berangkat. 

Aku menyusul dari belakang, sambil membuka kantung yang diberikan bersama makanan ransum.

Isinya adalah kue kering. 

“Kakak memang suka makanan manis, ya.”

“Diam. Semua tentara suka makanan manis, dalam kadar tertentu. Di garis depan, makanan seperti ini tak bisa ditemukan. Ini bisa memulihkan tenaga juga.”

“Kakak juga merasa lebih baik sekarang?”

“Jangan konyol. Aku tidak pernah lelah sejak awal.” 

Sambil berkata demikian, Kakak melajukan kudanya lebih cepat. 

Kalau melihat bagaimana Jurgen merencanakan ini, tempat istirahat untuk kuda pun pasti sudah disiapkan. 

Luar biasa. 

“Pantas saja dia jatuh cinta pada Kakak.” 

Dan aku pun kembali melaju mengejar Kakak dari belakang.


* * *


Siang hari keesokan harinya.

Saat kelelahan resimen kavaleri nyaris mencapai puncaknya. 

Jalan Cahaya pun berakhir. Tak jauh dari ujungnya, tampak bangkai monster yang masih segar. 

“Ini masih baru.”

“Berarti kita sudah dekat.” 

Jika Jurgen dan pasukannya sudah dekat, artinya jumlah monster pun akan semakin banyak.

Seharusnya monster di sekitar jalan ini sudah ditumpas saat pembangunan, dan pada dasarnya monster berhati-hati terhadap benda bercahaya aneh seperti ini, jadi tak akan mendekat. Pasti ada langkah-langkah pencegahan lainnya juga. 

Namun, semua itu kini sudah terputus.

Bagaimanapun, kami sudah menapakkan kaki di wilayah selatan. Posisi Leo dan yang lainnya belum pasti, tapi tak lama lagi kami akan tiba di lokasi. 

Saat sedang berpikir demikian, suara pertempuran terdengar dari arah depan. 

“Itu pasti Duke Reinfeld dan orang-orangnya.”

“Benar.” 

Jawaban yang dingin.

Wajahnya tetap tak berubah. Tapi dia mendesak kudanya dengan tendangan di perut.

Tampaknya, dia benar-benar khawatir. 

“Yang Mulia! Ini sudah terlalu gila!”

“Yang terluka, mundur!” 

Suaranya mulai terdengar familiar.

Terlihat Jurgen dan pasukannya sedang berhadapan dengan monster besar berbentuk beruang, sedikit menjauh dari jalan. 

Seekor beruang kepala dua. Monster kelas A. Tapi satu dari dua kepalanya yang menjadi ciri khas, telah dihancurkan.

Justru karena itulah, monster itu terlihat jauh lebih ganas. Beberapa monster kecil mengelilinginya. 

Jurgen dan para kesatria yang telah melawan banyak monster dalam perjalanan mulai melambat karena kelelahan, dan kini kesulitan menghadapi kelompok monster tersebut. 

Cakar beruang berkepala dua itu mengayun ke arah Jurgen.

Dia berhasil menahannya dengan halberd, tapi tubuhnya terlempar jauh. 

“Jurgen!” 

Tanpa sadar, Kakak Lize memanggil namanya.

Dia hendak berlari menolong, namun Jurgen, begitu melihat sosok Kakak, langsung berdiri dan berteriak. 

“Jangan campur tangan! Segeralah lanjutkan perjalanan!”

“Jangan gegabah! Serahkan saja pada anak buahmu...”

“Kalau ada tenaga lebih, gunakanlah untuk mengatasi masalah di selatan! Serahkan tempat ini pada kami!” 

Begitu katanya, namun jumlah kesatria di sekitar Jurgen tidak banyak.

Mungkin yang lain sedang berpencar agar monster tak menghalangi jalan kami. 

Kakak Lize hendak mengabaikan kata-kata Jurgen dan memerintahkan pasukan untuk menyerang, namun tatapan tajam seperti iblis dari Jurgen menghentikannya. 

“Jangan meremehkan kami! Aku dan para kesatria ini cukup mampu membersihkan jalan!”

“Sudah cukup! Kamu sudah melakukan lebih dari cukup!”

“Abaikan kami dan lanjutkan saja! Bukankah kalian datang ke sini karena ada krisis besar yang mengguncang negara di selatan? Ada orang yang menunggu Anda! Segeralah pergi!” 

Sambil berkata begitu, Jurgen menerjang ke arah beruang itu dan menahannya. 

Melihat itu, komandan resimen pun memerintahkan pasukan untuk maju. 

“Komandan?”

“Mohon maaf. Apa yang dikatakan Duke benar. Kami datang ke sini untuk segera maju.” 

Dengan kata itu, sang komandan mengucapkan permisi dan ikut mempercepat laju. 

Meski begitu, Kakak Lize tetap tak bergerak. 

“Jurgen, kenapa kamu melakukan ini sejauh ini? Kamu sudah cukup membantu. Kamu tak perlu berkorban sejauh ini... Kamu bukan orang yang suka bertarung...” 

Itulah pertanyaan yang mungkin telah lama dia pendam. 

Menjawab itu, sambil bertarung melawan beruang berkepala dua, Jurgen menjawab dengan penuh tenaga. 

“Sederhana saja...! Aku ingin terlihat keren...!” 

Jawaban yang sama sekali tidak manis, bahkan terkesan konyol.

Tapi, itu memang khas Jurgen. 

Jurgen jelas tipe seorang pedagang. Tak ada keharusan baginya untuk maju ke garis depan dan melawan monster secara langsung. Bisa jadi tindakan ini dianggap bodoh.

Namun.

“Aku ingin terlihat keren di hadapan orang yang kucintai...! Aku ingin menjadi pria yang bisa diandalkan di hadapanmu...! Apa ada alasan lain bagi seorang pria untuk mempertaruhkan nyawanya...?” 

“Itu, jawaban macam apa itu...”

“Begitulah laki-laki! Tak masalah meskipun dibilang bodoh! Aku ingin mempertaruhkan diriku untukmu!” 

Dengan teriakan penuh semangat, Jurgen mendorong beruang itu mundur.

Tenaganya kini berbeda dari sebelumnya, membuat monster itu gentar. 

Tanpa membuang kesempatan, Jurgen memutar halberd dengan gerakan anggun, dan memenggal kepala monster yang tersisa. 

“Uwoooooooo!!!!”

“Duke berhasil! Lanjutkan!”

“Haaaaaaaah!!”

“Uwooooooh!!” 

Saat Jurgen mengangkat halberd tinggi sambil berteriak, para kesatria yang kelelahan pun kembali bangkit. 

Aku melirik ke arah Kakak. Wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. 

Syukurlah. Tampaknya dia belum menyadarinya. 

Kupikir tak perlu, tapi aku membantu sedikit.

Aku telah memasang penghalang untuk memulihkan stamina. Tapi hanya itu saja. 

Itu bukan penguatan. Jadi, entah kenapa Jurgen bisa mendorong balik beruang kepala dua itu hanya dengan kekuatan normalnya.

Mungkin saat ini, aku akan percaya kalau dibilang itu karena “kekuatan cinta”. 

“Sepertinya mereka akan baik-baik saja.”

“...”

“Haa... Aku akan tinggal. Kalau aku yang tinggal, tak ada lagi tindakan gegabah. Silakan lanjutkan dengan tenang.”

“Tak apa?”

“Aku juga lelah. Lagipula, kalau dipikir-pikir, aku pun tak akan banyak berguna. Jadi, kumohon, jaga Leo baik-baik.”

“Begitu ya... Baiklah. Serahkan Leo padaku. Dan jangan terlalu merendahkan dirimu sendiri. Kamu berhasil mengikuti perjalanan panjang ini tanpa tertinggal. Kamu telah tumbuh menjadi pria yang luar biasa, baik fisik maupun mental. Karena itu, kumohon jaga Jurgen.”

“Serahkan padaku. Dia calon kakak ipar masa depanku, kan?”

“Belum tentu.”

“Masa sih? Barusan tadi dia keren sekali, menurutku.”

“Jangan remehkan dia. Untuk Jurgen, hal semacam itu adalah hal yang biasa.” 

Dengan kata itu, Kakak pun memacu kudanya kembali. 

Begitu sosoknya menghilang, Jurgen dan para kesatria berhasil mengalahkan monster yang tersisa. Namun begitu aku menonaktifkan penghalang, mereka semua langsung jatuh berlutut. 

Yah, saatnya mengevakuasi mereka ke tempat aman. 

“Benar-benar orang-orang yang merepotkan.” 

Sambil bergumam demikian, aku mengarahkan kudaku ke arah Jurgen dan yang lainnya.

 

Bagian 5

“Lindungi warga yang melarikan diri! Jangan biarkan mereka dikejar!” 

Dengan suara sekeras yang dia bisa, Leo mengeluarkan perintah itu. 

Saat dalam perjalanan menuju Bassau, Leo dan yang lainnya segera menyadari kemunculan sebuah bola hitam raksasa melayang di langit di atas kota tersebut. 

Melihat keanehan bola hitam itu, Leo langsung memerintahkan persiapan tempur dan menyalakan sinyal asap ungu yang menandakan keadaan darurat. Bola hitam itu begitu aneh, hingga dengan nalurinya Leo menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya.

Benda asing yang belum pernah dia lihat itu jelas berada di luar pemahaman Leo, dan begitu pula dengan konsekuensi yang ditimbulkannya. 

Satu-satunya hal yang patut disyukuri adalah bahwa keputusan Leo untuk menyalakan asap ungu, meskipun sempat ditentang oleh para kesatria pengawalnya karena dianggap tergesa-gesa, ternyata terbukti tepat. 

“Ugh!” 

Sambil menunggang kudanya, Leo mengayunkan pedangnya. 

Di ujung bilah itu ada seekor monster yang hanya tinggal tulang belulang, yakni Skeleton. Monster kelas rendah dari jenis undead, yang tidak akan muncul dalam keadaan normal. 

Leo menghancurkan bagian dada Skeleton yang merupakan titik lemahnya, dan menjatuhkan satu. Namun itu tak ada artinya. 

Seperti air yang meluap dari cangkir, Skeleton terus-menerus bermunculan dari dalam kota Bassau. 

Jumlahnya, yang terlihat saja, pasti tak kurang dari beberapa ratus. 

Dan dari pasukan Skeleton itu, warga Bassau berhamburan melarikan diri. 

“Pangeran Leonard! Silakan mundur!” 

Salah satu kesatria pengawal menyerbu Skeleton di sekitar Leo dan menebasnya dalam sekejap. 

Namun, tak peduli seberapa banyak yang ditebas, Skeleton terus muncul. 

“Ini tidak akan ada habisnya! Kita harus mundur sekarang!” 

“Tidak. Kita harus bertahan di sini.” 

“Yang Mulia... Anda tidak serius, bukan?” 

Kesatria pengawal itu berseru nyaris seperti menjerit mendengar keputusan Leo. 

Yang ada di lokasi ini hanyalah Leo, para kesatria pengawal yang menjadi pengawalnya, Lynfia, serta Abel dan anggota kelompoknya. Jumlah mereka bahkan mungkin tidak sampai dua puluh orang. 

Mustahil mereka bisa menahan ratusan Skeleton dengan jumlah segitu.

“Jika kita mundur sekarang, warga yang melarikan diri akan diserang dari belakang. Mundur bukanlah pilihan. Kita harus mempertahankan garis ini.” 

“Kalau begitu, Yang Mulia mohon mundur ke belakang!” 

“Aku tidak akan mundur. Ada lagi yang ingin disampaikan?” 

Leo bertanya sambil terus menebas Skeleton. 

Mundur memang mudah. Tapi jika dia melakukannya, warga yang harus dia lindungi akan berada dalam bahaya. 

Dia tak bisa membiarkan warga terancam demi keselamatan dirinya sendiri. 

Saat ini, Leo bukanlah seorang Kaisar. Mungkin jika nyawanya memiliki bobot sepenting itu, dia akan mempertimbangkan untuk mundur. Tapi saat ini, dia hanyalah salah satu calon pewaris takhta. 

Nyawanya tidak seberat nyawa seorang Kaisar. 

“Aku datang ke Selatan untuk menegakkan tekadku. Aku ingin menolong orang-orang yang menderita, dan aku tetap berada di sini karena keinginan itu tidak berubah. Bagaimana dengan kalian? Masihkah kalian mengingat sumpah kalian saat menyerahkan pedang kalian kepada Kaisar sebagai kesatria pengawal?” 

Kesatria pengawal yang sebelumnya menyarankan mundur terdiam, sementara pasukan Skeleton terus bermunculan dari segala arah. 

Kesatria pengawal bersumpah sebagai pedang Kaisar. Mereka bersumpah atas pedang yang mereka persembahkan dan atas kehormatan mereka sendiri. 

“Aku bersumpah menyerahkan diriku demi rakyat dan Kekaisaran. Sumpah itu tidak pernah pudar dari hatiku.” 

“Bagus. Kalau begitu, kita bertempur. Waktu yang kita ulur di sini pasti akan berarti.” 

“Baik!” 

Tak ada lagi yang mendorong Leo untuk mundur. 

Dan Leo pun bukan bertindak semata karena emosi. 

Pasukan Skeleton yang terus muncul bukanlah bergerak tanpa arah. Mereka bergerak menuju musuh terdekat. 

Artinya, Leo dan yang lainnya telah menarik perhatian para Skeleton. 

Jika mereka mundur, para Skeleton akan kehilangan target terdekat dan menyebar ke seluruh wilayah Selatan. 

Jika itu terjadi, para bangsawan di Selatan akan terpaksa mempertahankan wilayah mereka masing-masing sendirian, dan butuh waktu lama untuk menumpas para Skeleton. 

Maka, jika demi Kekaisaran, keputusan paling masuk akal adalah tetap di sini dan menjadi umpan. 

“Yang Mulia Leonard, izinkan saya menyampaikan satu hal.” 

“Apa itu, Lynfia? Jangan bilang kamu juga menyuruhku mundur, ya?” 

“Di belakang kita ada desa tempatku berasal. Maaf, tapi kalau Yang Mulia mundur, itu akan sangat merepotkan.” 

“Seperti yang kuduga. Kamu paham sekali ya.” 

Leo tersenyum pahit karena Lynfia pun sampai pada kesimpulan yang sama. 

Jika para Skeleton menyebar di wilayah Selatan, di tengah tuduhan korupsi terhadap para bangsawan setempat, maka yang pertama jadi korban adalah desa para pengungsi. Kemungkinan besar hanya sedikit bangsawan yang akan melindungi mereka, dan lebih sedikit lagi yang cukup kuat untuk benar-benar melindungi mereka. 

“Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan?” 

“Kita panggil bantuan.” 

Sambil berbicara, Lynfia terus menebas Skeleton yang mengelilingi Leo. 

Dia ingin sedikit waktu untuk bisa berbicara dengan tenang. 

“Bantuan? Dari mana?” 

“Dari seluruh wilayah Selatan. Kirim utusan ke kota terdekat.” 

“Kita memaksa para bangsawan untuk bertindak?” 

“Tidak. Para bangsawan tak bisa diandalkan. Kita akan mengandalkan para petualang. Selama dibayar, mereka tidak akan mengkhianatimu dan akan bekerja cukup baik. Seperti Abel dan kelompoknya.” 

“Tepat sekali! Selama kami dibayar mahal, kami tidak akan kabur! Meski sejujurnya, aku ingin kabur sekarang juga!” 

Abel yang sedang bertarung di dekat mereka berkata begitu sambil menebas Skeleton. Anggota kelompoknya menggerutu padanya. 

“Itu karena pemimpin kita tergoda uang...” 

“Jangan salahkan aku saja. Kita kan diskusi dulu sebelumnya.” 

“Kamu yang memaksakan keputusan, katanya tak tega meninggalkan desa yang kesusahan!” 

“Ayo, jangan melempar tanggung jawab! Kita ini tim, kan?” 

Sambil bercanda seperti itu, mereka tetap bertarung dengan koordinasi yang rapi dan saling menutup celah. 

Dalam pertarungan melawan monster, para petualang adalah profesional. 

Kalau mereka datang sebagai bala bantuan, pasti akan sangat membantu. 

Akan tetapi...

“Petualang dari cabang kecil di Selatan tidak akan cukup.” 

“Aku tahu. Karena itu, aku akan mengajukan permintaan ke seluruh organisasi.” 

“Apa maksudmu?” 

“Aku akan mengajukan permintaan misi penyerbuan.” 

Misi Penyerbuan. Mendengar kata yang tidak biasa, Leo memutar ingatannya.

Dia merasa pernah mendengarnya, saat masih kecil dari ibunya. 

“Kalau tidak salah, itu misi besar yang bisa diikuti banyak petualang, kan?” 

“Benar. Jarang sekali dilakukan belakangan ini, tapi kali ini sangat tepat.” 

“Kenapa jarang dilakukan?” 

“Karena butuh biaya besar.” 

Leo mengangguk mengerti mendengar jawaban Lynfia. 

Lebih hemat mempekerjakan satu petualang berperingkat tinggi daripada banyak petualang peringkat rendah. Contoh terbaiknya adalah petualang peringkat SS. 

Daripada misi penyerbuan, jauh lebih murah menyewa satu petualang SS. Itulah kenapa misi penyerbuan sangat mahal. 

“Lalu, apakah kita punya dana untuk itu? Aku sendiri tidak membawa banyak uang.” 

“Pangeran Arnold telah membekaliku dana yang besar. Mari kita gunakan itu.” 

“Benar-benar... Biasanya dia hemat, tapi ke orang lain dia bisa saja begitu murah hati.” 

“Itulah Pangeran Arnold. Orang yang sangat baik.” 

Sambil tersenyum, Lynfia menyerahkan kantong dari Al kepada Leo. 

Leo sempat memiringkan kepala. Dia mengira Lynfia sendiri yang akan pergi. 

“Kalau kamu yang pergi, prosesnya pasti lebih lancar, bukan?” 

“Aku tidak bisa menjamin tidak akan mengkhianatimu. Akan lebih baik jika kesatria pengawal yang pergi.” 

Leo mengerutkan kening mendengar kata-kata Lynfia. 

Leo sendiri mempercayai Lynfia. Dia yakin wanita itu tak akan mengkhianati atau mundur karena takut. Namun, itu hanya kepercayaannya pribadi. 

Dalam situasi sepenting ini, tak bisa sembarangan memberi tugas besar pada seorang petualang. 

Lynfia memikirkan posisi Leo dan mengambil keputusan itu. 

“Aku akan bertarung di sampingmu, Yang Mulia Leonard. Aku sudah berjanji kepada Pangeran Arnold, bahwa aku akan menjadi kekuatan bagimu.” 

“Kamu sudah sangat membantuku. Siapa di antara kalian yang mau menjadi pembawa pesan? Yang benar-benar yakin tidak akan kabur!” 

Leo menoleh kepada para kesatria pengawalnya dan bertanya. 

Tapi jika hanya diminta menjadi utusan, tak ada yang akan mengangkat tangan. Itu seperti kabur dari pertempuran. Apalagi di saat pangeran yang harus dilindungi tetap bertempur. 

Namun Leo menambahkan “yang tidak akan kabur.” 

Jika tak ada yang mengajukan diri, itu sama saja mengakui bahwa mereka tidak percaya diri.

Akhirnya semua kesatria mengajukan diri. Di antara mereka, Leo memilih yang paling mahir menunggang kuda, memberinya kantong, dan memberikan perintah. 

“Pergilah ke kota terdekat dan ajukan permintaan misi penyerbuan ke guild petualang! Guild petualang bisa menghubungi seluruh benua! Jangan lupa untuk mengabarkan situasi ini ke ibu kota!” 

“Siap! Saya akan segera kembali! Semoga berhasil!” 

“Semoga kamu juga selamat!” 

Kesatria itu pun berlari. 

Setelah melepas kepergiannya, Leo menatap kota Bassau. 

Bola hitam itu kini memancarkan aura yang makin menyeramkan. Dan Skeleton tak menunjukkan tanda-tanda berkurang. 

Seperti pintu gerbang menuju neraka. 

Dengan pikiran itu, Leo mulai mengayunkan pedangnya dalam keheningan.

 

Bagian 6

Di ibu kota Kekaisaran, Kaisar Johannes tengah mengumpulkan para menterinya. Melalui informasi dari Guild Petualang, situasi di wilayah Selatan akhirnya dapat dipahami. 

“Kalau begitu, rapat dewan menteri akan dimulai...” 

Tak ada semangat dalam suaranya. Sejak mendengar bahwa asap ungu telah naik dari wilayah Selatan, kondisi fisiknya menurun drastis. Itu merupakan akibat dari kelelahan yang menumpuk belakangan ini, serta tekanan mental karena tiga tahun lalu, asap yang sama naik dan dia kehilangan putra mahkota. 

Namun, sebagai Kaisar, dia harus tetap menanggapi keadaan darurat. 

“Yang Mulia, wajah Anda terlihat pucat...” 

“Itu juga dikatakan Mitsuba. Dia menyuruhku memanggil tabib istana, tapi tabib pasti hanya akan menyuruhku beristirahat. Itu hanya buang-buang waktu.” 

“Tetapi...” 

“Jangan bertele-tele, Franz.” 

Franz, sang Kanselir, mengkhawatirkan kondisi fisik Johannes. Dia telah mengabdi selama bertahun-tahun dan segera menyadari bahwa ada yang berbeda dari pemimpinnya kali ini. Namun, dia juga memahami alasan Johannes bersikap demikian. 

“Baiklah. Kalau begitu, setelah urusan ini selesai, mohon beristirahat.” 

“Aku mengerti, aku mengerti... Kalau begitu, mari kita mulai. Kalian semua pasti sudah tahu, asap ungu telah muncul di wilayah Selatan, yang menyalakannya adalah Leonard. Kabarnya, sebuah bola misterius muncul, dan monster undead bermunculan dalam jumlah besar... Aku ingin mendengar pendapat kalian...” 

Setelah berhasil menyelesaikan ucapannya, Johannes menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya pada singgasana. Dia memejamkan mata dan memasang telinga pada suara-suara yang mulai terdengar. 

“Yang Mulia. Menurut hemat kami, penghancuran total dengan kekuatan militer adalah pilihan terbaik. Karena akan memakan waktu jika dari pusat, bagaimana kalau kita gerakkan pasukan penjaga perbatasan Selatan?” 

“Namun, kalau begitu, perbatasan Selatan akan menjadi lemah pertahanannya. Jika terjadi sesuatu, lebih baik kita gerakkan pasukan pusat. Bila ditambah beberapa regu kesatria pengawal, itu akan cukup sebagai kekuatan dan memungkinkan penyelesaian cepat.” 

“Kalau kesatria pengawal dikerahkan, maka perlindungan di sekitar Yang Mulia akan melemah. Sudah lupa kejadian di perbatasan Timur?” 

“Lantas, mau bagaimana? Kesatria pengawal adalah kekuatan tempur terkuat Kekaisaran. Apa kita akan membiarkan mereka menganggur dalam situasi darurat?” 

“Melindungi Yang Mulia bukanlah menganggur!” 

“Keamanan Yang Mulia memang penting, tapi tidak perlu seluruh Kesatria Pengawal untuk menjaganya! Yang lebih utama sekarang adalah menyelesaikan masalah Selatan secepatnya!” 

Para menteri saling melontarkan pendapat dengan sengit. Sementara mendengarkan itu, Johannes merasa frustrasi karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya. Biasanya, dia akan memikirkan beberapa strategi. Tapi sekarang, tak satu pun ide muncul. Bahkan, suara para menteri hanya terdengar samar, seolah tidak masuk ke dalam pikirannya. 

Saat dia membuka mata, pandangannya mulai buram. Dia berkedip beberapa kali untuk menstabilkan penglihatannya, tetapi tak ada perubahan. Perlahan-lahan, pandangannya mulai bergoyang, seolah hanya dirinya yang berada di tengah gempa. 

Mual, pusing, dan detak jantung yang berdebar keras. Wajah Johannes mulai meringis menahan sakit. 

Ini buruk. Dia sadar akan hal itu, tapi tubuhnya tak membaik. Suara-suara pun mulai menjauh, dan dia mulai kehilangan kesadaran akan tempatnya berada. 

Lalu... 

“Yang Mulia...!” 

Johannes kehilangan kesadaran, tubuhnya ambruk seperti tumbang. Hampir jatuh dari singgasana, namun Franz segera menahan tubuhnya. 

“Panggil tabib istana! Cepat! Yang Mulia telah pingsan!”


* * *


“...Nngh...?” 

Johannes terbangun di atas tempat tidur. Sambil menahan sakit di kepalanya, dia mencoba bangkit. Namun, usahanya segera dihentikan. 

“Menurut tabib istana, Yang Mulia harus benar-benar beristirahat. Harap berbaring dengan tenang.” 

“Mitsuba... Jadi aku pingsan...?”

“Ya. Saat rapat dewan menteri.” 

“Sial... Aku sudah menua... Berapa lama aku tidur?” 

“Sekitar lima jam.” 

“Kumpulkan kembali para menteri segera... Kita harus menyusun rencana... Wilayah selatan dalam bahaya...” 

“Rapat telah dipimpin oleh Kanselir. Yang Mulia, sebaiknya Anda istirahat.” 

“Tanpa aku, mereka takkan bisa menyatukan keputusan... Dalam kondisi biasa mungkin masih bisa dimaklumi, tapi sekarang ini adalah masa perebutan takhta... Beberapa menteri sudah memihak salah satu fraksi... Melalui mereka, pertikaian antar anak-anakku bisa pecah...”

Setiap fraksi pasti ingin mendorong keputusan yang menguntungkan posisi mereka. Jika pasukan penaklukan hendak dibentuk, mereka pasti akan mencoba memasukkan orang-orang kepercayaan mereka ke dalam struktur pasukan. Bahkan rute pergerakan dan metode penaklukan pun akan dijadikan bahan tawar-menawar dalam perebutan takhta. Itu akan memperlambat keputusan. 

Dan semakin lama tertunda, semakin besar bahaya yang mengancam Leo. Sesuatu yang pastinya diharapkan oleh para pesaing lainnya. 

“Kalau rapat masih berlangsung, itu justru menguntungkan... Bawalah aku ke sana.” 

“Tidak bisa. Yang Mulia harus beristirahat.” 

“Keselamatan wilayah selatan lebih penting dari tubuhku... Banyak rakyat berada dalam bahaya... Begitu juga Leonard... Kamu pun pasti khawatir akan Leonard, bukan?” 

“Tentu saja, aku khawatir. Namun, kesehatan Yang Mulia jauh lebih penting bagi Kekaisaran. Jika Anda selamat, ini hanya kekacauan sementara. Tapi jika Anda tiada, kekacauan itu akan terus berlanjut. Karena itulah Anda harus beristirahat.” 

“Putramu sedang berhadapan dengan pasukan besar monster undead, kamu tahu...? Jika kita terlambat mengirim bantuan... Leonard takkan meninggalkan rakyatnya... Jika situasinya memburuk...” 

“Tenanglah. Jika dia tak mampu melewati situasi seperti ini, maka Leo memang tak layak menjadi Kaisar. Dan lagi, kalau negara ini goyah hanya karena Kaisarnya sedikit beristirahat, lebih baik Kekaisaran ini hancur saja. Untuk apa ada para menteri kalau begitu? Percayalah dan istirahatlah. Kanselir adalah pedang rahasiamu. Dia pasti mampu mengatasinya.” 

Setelah berkata demikian, Mitsuba menarik selimut ke tubuh Johannes seolah menyatakan bahwa percakapan telah selesai. DIa duduk di dekat ranjang, mengawasi agar Johannes tidak bangun lagi. 

“Mitsuba... Aku harus pergi...”

“Tidak peduli apa pun yang Anda katakan, tetap tidak boleh. Oh, iya. Tidak ada gunanya mengandalkan para kesatria pengawal. Semuanya sudah kuperintahkan untuk mundur.” 

“Kamu ini... Apa maksudmu... Kamu ingin menyekap seorang Kaisar?” 

“Yang salah adalah Kaisar yang tak mau mendengarkan. Bukankah sebelumnya sudah kuperingatkan? Bahwa Anda terlihat lelah dan sebaiknya diperiksa oleh tabib istana. Karena Anda tidak mendengarkan, terimalah konsekuensinya. Silakan istirahat.” 

“Aku ini Kaisar... Aku tidak boleh beristirahat...”

“Kalau begitu, pastikan mulai sekarang Anda menjaga kesehatan agar tidak tumbang.” 

“Mitsuba...”

“Tidak boleh.” 

Tak ada ruang untuk bernegosiasi. Mungkin dengan selir lain Johannes bisa membujuk, tapi Mitsuba adalah satu-satunya yang, baik dalam hal baik maupun buruk, tak pernah segan terhadap dirinya. 

Saat dia masih mencoba memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini, kantuk mulai menyerang. Tubuhnya terasa berat, seolah diikat ke ranjang. 

Di tengah keheningan itu, Mitsuba dengan lembut menyentuhkan telapak tangannya ke dahi Johannes. Sentuhan dingin itu membawa sedikit rasa lega, dan Johannes pun perlahan terlelap kembali.

 

Bagian 7

“Ayo, Tuan Duke. Silakan beristirahat dengan tenang.” 

Aku sedang berada di tempat peristirahatan bersama Jurgen dan yang lainnya. 

Awalnya, tempat ini dibuat oleh Jurgen sebagai titik istirahat sementara, namun kini sudah menyerupai rumah sakit lapangan. 

Para kesatria yang babak belur berdatangan satu demi satu, dan aku pun menghabiskan waktu dengan memberikan perawatan yang diperlukan. 

“Maafkan saya... Yang Mulia...” 

“Kenapa kamu meminta maaf?” 

“Padahal Anda pasti ingin pergi menyelamatkan adik Anda... Tapi karena saya yang tak berguna...” 

“Tak berguna? Kamu bilang kamu tak berguna?” 

Jurgen yang sedang melepas baju zirah dan berbaring di dalam gubuk, berkata dengan nada penuh penyesalan. 

Mendengar kata-katanya, aku hanya bisa tersenyum kecil. 

Tak akan ada orang yang menyebut Jurgen saat ini sebagai orang yang tak berguna. 

“Hari ini kamu sangat luar biasa. Jika ada yang mengejek kamu tak berguna, Kakak pasti akan menebas mereka.” 

“Tapi... Anda sendiri...” 

“Aku tidak masalah. Kalau dengan tetap tinggal aku bisa membuat Kakak melangkah maju, maka aku sudah merasa menjalankan peran saya dengan baik.” 

Saat aku mengatakan itu, Jurgen menggumam pelan, “Begitukah...” lalu perlahan memejamkan mata. 

Karena telah berlari tanpa tidur, rasa kantuk akhirnya mengalahkannya. 

“Terima kasih atas kerja kerasnya, Tuan Duke. Mungkin hari di mana aku memanggilmu sebagai Kakak Ipar tidaklah terlalu jauh.” 

Sambil mengatakan itu pada Jurgen yang tertidur, aku bangkit berdiri. 

Syukurlah, para kesatria Jurgen yang sebelumnya terpencar kini telah berkumpul di sini. 

Sisanya, akan aku serahkan pada mereka. 

Aku keluar dari gubuk tempat Jurgen beristirahat, lalu menuju ke gubuk yang telah disiapkan untukku. 

Di sana, aku membentangkan penghalang untuk menghindari orang, dan meninggalkan wujud ilusi diriku yang sedang tidur di dalam. 

Penghalang itu tidak begitu efektif jika diaktifkan dari jarak jauh, tapi terhadap orang yang kelelahan, itu sudah cukup efektif. Lagipula, takkan ada yang masuk ke kamar seorang pangeran tanpa izin. Tapi Jurgen mungkin akan masuk jika dia terbangun. Fine juga sempat masuk, jadi aku harus waspada terhadap orang-orang dari keluarga duke. 

Sambil memikirkan hal itu, aku melakukan teleportasi dari dalam gubuk menuju ke ruangan rahasia di ibu kota kekaisaran. 

Di sana, seolah sudah mengetahui sebelumnya, pelayanku telah menunggu. 

“Selamat datang kembali, Yang Mulia Arnold.” 

“Persiapannya sudah selesai, kan?” 

“Tentu saja.” 

“Bagus. Ayo, saatnya bergerak dalam bayang-bayang.” 

Sambil berkata demikian, aku mengenakan pakaian biasa dan topengku seperti biasa, berubah menjadi Silver.


* * *


“Bagaimana situasinya?” 

“Di wilayah selatan, sebuah bola raksasa misterius muncul, dan dari titik itu, sejumlah besar monster undead bermunculan.” 

“Lalu bagaimana dengan Leo?” 

“Berdasarkan informasi dari Guild Petualang, beliau dalam keadaan selamat. Pangeran Leonard telah mengajukan permintaan misi penyerbuan kepada Guild Petualang dan sedang menangani para monster.” 

“Misi raid? Begitu, itu pasti ide dari Lynfia.” 

Tampaknya uang yang aku berikan telah digunakan dengan baik. 

Menyerahkannya pada Lynfia memang pilihan yang tepat. Sebuah ide yang gesit dan khas seorang petualang. 

“Bagaimana reaksi Ayah?” 

“Mengenai itu, ada masalah yang terjadi. Yang Mulia Kaisar pingsan.” 

“Apa!? Ayah pingsan? Apakah beliau selamat?”

“Ya. Tidak mengancam jiwa. Dikatakan beliau mengalami gangguan kesehatan akibat kelelahan dan syok mental.” 

“Begitu ya... Seberapa besar kekacauannya?” 

“Mungkin bisa dikatakan beruntung, Yang Mulia Putri Christa telah meramalkan kejadian ini sebelumnya. Karena itu, Nyonya Mitsuba segera mengambil alih perawatan, sehingga kekacauan di istana berhasil ditekan seminimal mungkin.” 

“Christa yang melihatnya, ya... Pasti berat baginya.” 

Meskipun berkata begitu, aku tak bisa menahan desahan lega. Jika di tengah situasi ini Ayah benar-benar kritis, kekaisaran akan berada dalam bahaya besar. Hasil akhirnya pasti perang saudara, karena tidak ada lagi penengah dalam perebutan takhta. 

Meski begitu, terlepas dari itu semua, aku juga merasa lega karena Ayah selamat. Tapi bukan berarti aku bisa beristirahat dalam ketenangan. 

“Namun... Ini membuat segalanya menjadi lebih rumit.” 

“Benar. Saat ini Kanselir yang memimpin rapat, dan sedang berusaha mencari solusi atas masalah di selatan. Tapi tampaknya para menteri sulit untuk menyatukan pandangan mereka.” 

“Itu sudah pasti. Bagaimanapun, kaisar jatuh sakit. Meski penyakitnya ringan, tetap saja itu memperlihatkan kelemahan. Perebutan takhta pasti akan makin memanas. Menteri yang sudah memihak akan mencoba menjadikan situasi ini menguntungkan bagi mereka, sementara yang belum akan mencoba menjadikan ini sebagai alat tawar. Masing-masing bergerak dengan agenda sendiri. Mengatur semua ini jelas mustahil.” 

Manusia pada dasarnya akan lebih mengutamakan keselamatan pribadi. Mereka bisa bergerak demi kekaisaran hanya karena posisi mereka dijamin. Tapi sekarang, penjamin itu telah tumbang. Maka dimulailah perlombaan untuk menjamin masa depan mereka sendiri. 

Selama Ayah masih hidup, ini hanya kekacauan sesaat. Tapi masalah di selatan sedang terjadi sekarang, dan butuh penanganan segera. 

“Kalau kalangan atas tidak bisa bersatu, maka kita tidak bisa mengandalkan pasukan kekaisaran. Kesatria pengawal kekaisaran pun tak bisa meninggalkan Ayah. Dan mengumpulkan para bangsawan daerah akan memakan waktu.” 

“Jadi pada akhirnya, yang bisa diandalkan oleh Yang Mulia Arnold sebagai kekuatan militer adalah… Guild Petualang, bukan?” 

“Pada akhirnya?” 

Aku merasa tergelitik dengan kata-kata Sebas, lalu balik bertanya. Sebas mengangguk pelan, seolah sudah membaca pikiranku. 

Memang sejak awal aku tidak terlalu berharap pada kekuatan kekaisaran. 

Sebagai bagian dari keluarga kekaisaran, aku paham betul bahwa kekaisaran terlalu besar untuk bisa merespons dengan cepat terhadap keadaan darurat. Hanya karena ada masalah di selatan bukan berarti militer bisa langsung digerakkan. 

Kalau itu serangan dari luar, pasukan penjaga perbatasan akan segera bertindak. Tapi kalau itu masalah dari dalam, tidak ada protokolnya. 

Pihak pusat dan wilayah selatan akan saling bingung siapa yang harus bertindak duluan. 

Dan tanpa perintah langsung dari Kaisar, keputusan tidak bisa diambil cepat. Selain itu, jarak antara ibu kota dan selatan terlalu jauh, bahkan menyampaikan keputusan saja memerlukan waktu dan usaha. 

Dalam hal ini, para petualang yang memiliki mobilitas tinggi jauh lebih bisa diandalkan daripada militer atau kesatria para bangsawan. 

“Ya, sejak awal aku memang mengandalkan para petualang. Tapi bagaimana kamu tahu?” 

“Karena Nona Fine sudah bergerak terlebih dahulu, yakin bahwa Anda pasti akan berpikir demikian. Beliau telah meminta para petualang di ibu kota dan sekitarnya untuk bergabung dalam misi penyerbuan yang diminta oleh Pangeran Leonard.” 

“Fine? Yah, kalau Fine sih masuk akal. Tapi apakah tak masalah dia bergerak terang-terangan begitu?” 

Fine adalah putri duke dan juga Putri Camar Biru, Blau Meve, lambang kekaisaran. Dalam situasi di mana para elit kerajaan belum memutuskan tindakan, sangat tidak ideal baginya untuk secara terbuka meminta bantuan petualang. 

“Tidak perlu khawatir. Memang Fine-lah yang bergerak lebih dulu, tapi yang mengusulkan ajakan itu adalah Kanselir.” 

“Begitu ya... Ciri khas Kanselir. Jika tidak bisa menyatukan pendapat di rapat, maka gunakan saja para petualang.” 

“Benar. Karena Silver juga pernah membantu Fine di timur, maka Kanselir memprediksi bahwa jika Fine bergerak, maka Silver pun akan ikut turun tangan. Harap berhati-hati, Yang Mulia. Kanselir bisa saja menelusuri jejak dan mengungkap identitas Silver.” 

“Aku akan berhati-hati. Jadi, para petualang sudah berkumpul di markas pusat?” 

Sebas mengangguk. Kalau begitu, urusannya jadi lebih mudah. 

Bergantung pada situasi di selatan, jika aku bisa membawa para petualang dari ibu kota, itu akan menjadi kekuatan besar. 

“Kalau begitu, aku akan pergi.” 

“Baik. Saya akan tetap menjadi pengawal Nona Fine.” 

Setelah mengatakan “kutitipkan padamu,” aku langsung melakukan teleportasi ke dekat pintu masuk markas. 

Kehadiranku yang tiba-tiba membuat orang-orang di dekat markas terkejut, tapi aku tak peduli dan langsung masuk ke dalam. 

Namun pada saat bersamaan, suara siaran mulai terdengar dari dalam guild dan menjangkau seluruh ibu kota. 

“Kepada seluruh warga ibu kota, mohon maaf telah mengganggu. Nama saya Fine von Kleinert. Saat ini, Guild Petualang sedang mencari para petualang yang bersedia bergabung dalam misi penyerbuan yang datang dari wilayah selatan. 

“Kami mohon bantuan kalian. Ada banyak orang di selatan yang sedang menderita. Untuk menyelamatkan mereka, kami sangat membutuhkan bantuan kalian semua.” 

Pidato Fine menggema di seluruh ibu kota. Mendengarnya, aku tersenyum. 

Benar-benar pidato yang khas Fine. Bukan perintah, tapi harapan tulus yang bisa menyentuh hati banyak orang. 

“Di sini Guild Petualang. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nona Fine, guild telah menerima permintaan untuk misi penyerbuan. Nama misinya adalah ‘Bantuan Camar Biru’. Semua petualang peringkat B ke atas dapat ikut serta! Sudah lama tidak ada misi penyerbuan! Ini kesempatan untuk mendapatkan banyak uang! Silakan bergabung!” 

Pasti suara resepsionis guild. Cara promosinya pun sesuai dengan karakter mereka. 

Bantuan Camar Biru, ya? Memang nama misi diputuskan oleh guild, tapi terdengar agak polos. 

Tapi, dengan target seperti para petualang yang mudah terbakar semangat, mungkin ini justru pas. 

Bisa berjuang demi Putri Camar Biru, pasti akan membuat mereka bersemangat. 

“Betapa sederhana.” 

Para petualang yang datang dengan tergesa-gesa terus berdatangan ke dalam guild. 

Pasti tidak hanya peserta, tapi juga ada yang datang hanya untuk memberi dukungan. 

Aku melangkah masuk ke dalam markas yang kini dipenuhi petualang. 

Begitu aku muncul, guild yang tadinya ramai langsung sunyi senyap. 

Di tengah keheningan itu, hanya resepsionis yang sedang mencatat nama peserta yang berani bersuara. 

“N-Nama dan peringkat Anda?” 

“Aku Silver, petualang peringkat SS. Aku datang untuk bergabung dalam misi penyerbuan.” 

Dengan gugup, resepsionis mencatat namaku. 

Bahkan Guild Petualang tidak punya cara untuk langsung memindahkan pasukan ke selatan. Meski begitu, mereka tetap mengumpulkan para petualang karena tahu aku, Silver, akan menjadi ujung tombaknya. 

Dan para petualang juga pasti tahu itu. 

Seseorang yang telah mereka tunggu-tunggu akhirnya datang, begitulah kesan yang terasa saat mereka serempak berseru. 

“Akhirnya kamu datang, Silver!” 

“Denganmu di sini, rasanya seperti seribu pasukan tambahan!” 

“Ayo cepat kita berangkat menyelamatkan mereka!” 

Di balik suara riuh para petualang, di tempat para staf guild berada, Fine muncul. 

Dia menatapku sambil tersenyum lembut, lalu membungkuk sedikit sebagai salam. 

Tanpa sepatah kata pun, tapi semuanya tersampaikan. 

Aku mengangguk pelan, lalu berseru agar terdengar oleh semua orang di dalam guild. 

“Pemimpin misi penyerbuan ditentukan oleh siapa yang memiliki peringkat tertinggi. Dalam hal ini, itu aku. Ada yang keberatan?” 

Tak seorang pun menyela. 

Sudah tentu. Di markas pusat ini, peringkat tertinggi adalah SS, dan di bawahnya langsung turun ke AA. 

Meski begitu, mereka bukan petualang sembarangan. 

Mereka adalah veteran yang telah lama melindungi kekaisaran. 

“Kalau begitu, aku yang akan memimpin. Aku akan bertanggung jawab atas nyawa kalian semua.” 

Tak ada jawaban, yang ada hanyalah sorak sorai luar biasa yang menggema ke seluruh markas. Semangat tempur mereka luar biasa. Dengan ini, kita siap bertempur.

 

Bagian 8

Beberapa hari telah berlalu sejak bola hitam itu muncul di langit di atas Bassau. 

Di bawah komando Leo, yang menahan pasukan skeleton di dekat Bassau, telah berkumpul lebih dari dua ribu kesatria dan petualang. 

“Ganti barisan depan! Yang sudah diganti segera masuk ke sesi istirahat!” 

Leo memberikan perintah, menarik mundur pasukan yang telah bertempur di garis depan melawan skeleton dan menggantinya dengan pasukan baru. 

Demi mengulur waktu, mereka menggunakan sistem rotasi tiga shift untuk menahan serangan skeleton. 

Namun, jumlah skeleton yang muncul dari Bassau terus meningkat. Awalnya, mereka berhasil mengepung sebagian wilayah Bassau, tetapi kini justru mereka sendiri yang setengah terkepung. 

“Pangeran Leonard, mohon Anda juga beristirahat.” 

“Aku tak bisa melakukan itu. Ini saat yang paling krusial.” 

Lynfia mencoba membujuk Leo, yang terus memimpin tanpa mengambil waktu istirahat, tetapi Leo menolaknya. 

Sebagai orang yang paling memahami situasi pertempuran, Leo menyadari lebih dari siapa pun betapa berbahayanya keadaan saat ini. 

Ketika kesatria dari wilayah terdekat dan sejumlah besar petualang pertama kali tiba, mereka memanfaatkan jumlah mereka untuk mengepung sebagian Bassau. Namun, jumlah skeleton yang muncul melonjak drastis setelahnya. Bahkan, kini mulai terlihat monster undead yang jauh lebih kuat dari skeleton. 

Monster yang muncul dari Bassau bukan sekadar muncul secara acak, tetapi jelas merespons gerakan pasukan Leo. 

Leo sangat yakin akan hal itu. Dan jika memang demikian, maka membuka celah bisa mengakibatkan kehancuran garis pertahanan mereka. 

Jika barisan Leo jebol, maka gelombang skeleton itu akan menyebar ke seluruh wilayah selatan. Para bangsawan di sekitarnya telah mengerahkan sebagian besar kesatria mereka, dan tidak akan mampu menghentikannya. 

Jika hal itu terjadi, wilayah selatan akan terjerumus ke dalam kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya, memaksa militer untuk turun tangan. Akibatnya, pertahanan perbatasan akan melemah. 

Negara-negara tetangga yang mengintai kelemahan Kekaisaran tidak akan menyia-nyiakan kesempatan seperti itu. 

“Namun, jika seorang pangeran sampai tumbang, garis depan akan runtuh.” 

“Aku masih sanggup. Kalau benar-benar tak sanggup, aku akan bilang.” 

“Kalau begitu, bolehkah saya mengambil sedikit waktu Anda? Saya rasa tak masalah jika sesaat Anda menyerahkan komando kepada kesatria pengawal.” 

“Tentu. Ada apa?” 

“Di antara para pengungsi dari Bassau, ada beberapa kesatria yang terluka. Salah satu dari mereka telah sadar dan ingin berbicara dengan Anda.” 

“Begitu ya... Ayo kita dengar. Mungkin dia tahu sesuatu tentang kejadian ini.” 

Leo kemudian menyerahkan komando kepada para kesatria pengawalnya dan menuju kamp yang dibangun di belakang garis pertempuran. 

Di sana, terdapat kesatria dan petualang yang sedang beristirahat, serta warga sipil yang terluka dan tidak dapat bergerak. 

Leo memasuki sebuah tenda yang berada di ujung kamp. 

“Yang Mulia...” 

“Lanjutkan perawatannya, tak perlu berdiri.” 

Leo menahan pria paruh baya yang hendak menyapanya. 

Pria itu adalah seorang tabib yang dulunya merupakan dokter kota. Meski bisa melarikan diri, dia tetap tinggal untuk merawat para korban luka, sebuah tindakan yang langka. 

Berkat pertolongan dokter itu, seorang kesatria yang nyaris mati berhasil siuman, meski dia kehilangan tangan kanan dan mengalami luka dalam di bagian perut. 

“Aku Leonard, Pangeran Kedelapan. Kamukah yang ingin berbicara denganku?” 

“Yang Mulia... Mohon... Mohon selamatkan tuan kami...” 

“Maksudmu penguasa wilayah Bassau?” 

“Benar... Tuan Dennis telah lama hidup dalam ancaman... Karena itu Bassau dimanfaatkan oleh organisasi penculik anak-anak... Di bawah tanah istana terdapat penjara tempat anak-anak yang diculik dikurung...” 

Itu adalah pengakuan yang mengejutkan. 

Namun Leo hanya mengerutkan alis tanpa menyela. 

Dia tahu bahwa bagian berikutnya adalah inti dari pembicaraan ini. 

“Tuan Dennis... Demi menyelamatkan anak-anak itu, beliau akhirnya memutuskan untuk bertindak dan masuk ke ruang bawah tanah istana... Aku ikut sampai sebagian perjalanan, tapi... dia terluka, dan akhirnya dibawa keluar oleh rekan-rekanku... Setelah itu, dari istana, bola hitam itu... Uhuk uhuk.” 

Kesatria itu batuk keras dan memuntahkan darah. 

Dokter dengan sigap membersihkannya, tapi kesatria itu tetap mengerang kesakitan. 

Namun, tangan kirinya terulur ke arah Leo. 

Leo pun menggenggam tangan itu erat-erat. 

“Tolong... Tolong selamatkan tuanku... Kalaupun sudah terlambat... Selamatkanlah Rebecca...” 

“Rebecca?” 

“Dia... Dia membawa surat dari tuanku... Tolong jaga kehormatan keluarga Sitterheim... Kami tidak bekerja sama karena keinginan kami...”

“Jika itu benar, maka demi namaku, aku akan memulihkan kehormatan kalian. Jadi sekarang, istirahatlah dengan tenang.” 

“Terima kasih... Terima kasih... Terima...” 

Cahaya menghilang dari mata sang kesatria, dan genggaman tangannya pada Leo pun melemah. Dokter menggelengkan kepala. Itu adalah pernyataan terakhir yang dia sampaikan dengan sisa tenaga. 

Namun, Leo tetap menggenggam tangan itu sejenak. 

“Yang Mulia...” 

“Penguasa wilayah masuk ke ruang bawah tanah istana dan setelah itu, bola hitam muncul. Artinya, bola hitam itu berkaitan dengan ruang bawah tanah.” 

“Kemungkinan terbesar adalah anak-anak itu, bukan?” 

“Benar. Mungkin mereka adalah anak-anak dengan potensi magis tinggi atau memiliki bakat khusus. Sesuatu pada mereka bisa saja menjadi pemicu kejadian ini.” 

“Kalau begitu, kita takkan bisa menyelesaikan masalah ini jika tidak menangani bola hitam itu.” 

“Benar.” 

Leo menggenggam tangan sang kesatria sekali lagi sebelum meletakkannya di atas dada pria itu. 

Setelah menyerahkan urusan berikutnya pada dokter, dia keluar dari tenda. 

Tatapannya tertuju pada bola hitam yang masih melayang di langit Bassau, seolah menguasai segalanya. 

“Kalau bola itu berasal dari dalam istana, bukan tidak mungkin ada seseorang di dalamnya, bukan?” 

“Memang begitu... tapi, jangan bilang Anda berniat menyelidikinya?” 

“Tentu saja. Aku datang ke sini untuk menyelamatkan orang-orang yang diculik. Mereka adalah korban. Aku ingin menyelamatkan mereka.” 

“...Saya sangat menghargai niat Anda. Kalau saya membayangkan adik saya ada di sana, saya pun takkan bisa diam. Tapi sekarang yang dibutuhkan adalah penilaian yang dingin. Anda adalah calon pewaris takhta yang berharga.” 

“Justru karena aku menginginkan takhta, aku harus menolong mereka. Aku ingin menjadi kaisar yang bisa menyelamatkan orang yang ingin kuselamatkan. Tapi jika dalam proses itu aku membiarkan seseorang, aku takkan pernah bisa menjadi kaisar seperti itu. Manusia adalah makhluk yang mudah terbiasa. Sekali aku membiarkan seseorang, aku akan terbiasa membiarkan. Karena itu aku tidak akan mundur.” 

Sambil berkata demikian, Leo tersenyum kepada Lynfia. 

Dalam sekejap, Lynfia merasa Leo dan Al menjadi satu dalam pandangannya. 

Hari saat mereka berpisah. Saat Al memberikan kantong penuh uang. Dan saat ini, ketika Leo mantap dengan keputusannya. 

Tak ada kemiripan dalam wujud mereka, selain rupa fisik. Namun, ada sesuatu yang menyatukan mereka. 

Saat itulah Lynfia sadar, bahwa prinsip dasar yang menggerakkan keduanya adalah sama. 

“Jadi benar kalian kembar, ya...” 

“Hmm? Aku mirip kakakku?” 

“Ya, sangat mirip. Baik Pangeran Arnold maupun Pangeran Leonard, kalian sama-sama bertindak demi orang lain.” 

“Aku tidak sehebat itu. Aku tidak tahu tentang kakakku, tapi aku hanya tahu kelemahanku sendiri. Aku tahu aku adalah orang yang mudah terbiasa. Dan aku berusaha keras agar tidak terbiasa.” 

Leo tertawa getir. 

Andai saja dia bisa memisahkan perasaan dan berpikir dingin seperti Al, pasti semuanya akan lebih mudah. 

Tapi Leo bukan tipe seperti itu. Dia tidak punya bakat seperti kakaknya yang bisa menyeimbangkan semuanya. 

Namun, sudah waktunya berhenti iri pada apa yang tidak dia miliki. 

“Aku bukan kakakku. Aku tak bisa beradaptasi dengan segalanya. Itu sangat kurasakan saat menjadi duta besar. Karena itu aku memilih untuk terus berjalan lurus, tanpa menyimpang. Keputusan untuk datang ke sini juga karena itu. Aku akan memperjuangkan keyakinanku sendiri.” 

“...Saya mengerti. Maka izinkan saya ikut menemani. Namun, saatnya belum tiba.” 

“Benar.” 

Saat mereka menatap ke garis depan, pasukan mulai terdesak. 

Bukan hanya skeleton yang bertambah, tapi juga muncul monster jenis baru. 

Tak hanya jumlahnya yang bertambah, namun kualitas musuh juga meningkat. 

Menyerbu saat ini hanya akan membuang nyawa. Leo bukan orang bodoh. 

Dia sudah memutuskan untuk menolong mereka. Dia tidak akan melewatkan kesempatan itu. Namun, dia juga tidak akan bergerak jika belum waktunya. 

Sekarang adalah saat untuk bertahan. 

Dia percaya, waktunya akan datang. 

Dengan keyakinan itu, Leo menunggang kuda, memberi perintah, dan ketika perlu, turun langsung ke medan perang dan mengayunkan pedangnya. 

Namun, hanya Leo yang memiliki tekad sekuat itu.

Yang lain tidak sekuat dia. 

“Ugh!” 

“Uwaaaah!!” 

Mereka yang mulai kehilangan semangat dan kehabisan tenaga satu per satu mulai tumbang. 

Setiap kali itu terjadi, Leo segera bergerak untuk menyelamatkan mereka. Namun, keretakan kecil itu perlahan menyebar ke seluruh garis depan. 

Dan tidak lama setelah itu, sebuah laporan fatal sampai ke telinga Leo. 

“Laporan! Sayap kiri telah ditembus!” 

“...Kerahkan pasukan cadangan!” 

“Tidak sempat! Mohon segera mengungsi!” 

“Mengungsi percuma saja. Kita akan diserang dari belakang juga.” 

Sambil berkata demikian, Leo merebut terompet perang dari tangan salah satu kesatria pengawal dan meniupnya berkali-kali. 

Lalu dia berseru. 

“Siapa di sini yang masih memiliki semangat untuk menjadi pahlawan bersama Leonard Lakes Ardler!? Siapa yang masih sanggup mengayunkan pedang!? Siapa yang masih bisa berlari!? Siapa yang masih bisa memandang ke depan!? Entah kalian kesatria, petualang, atau warga biasa, jika kalian belum kehilangan tekadmu di sini dan saat ini, berkumpullah di bawah panjiku!” 

Leo mengangkat tinggi pedangnya. 

Dan sekali lagi, dia meniup terompet itu. 

Suara terompet itu menggema hingga jauh. 

Mendengar suara yang terdengar sayup namun jelas itu, Lize tersenyum. 

“Semua, tingkatkan kecepatan! Medan pertempuran sudah dekat!” 

Berdiri paling depan, Lize mengibaskan jubah biru kebanggaannya, memimpin seribu pasukan kavaleri yang melaju kencang. 

Di selatan Kekaisaran, orang-orang yang memiliki kehendak kuat tengah bersatu.

 

Bagian 9

“Abel! Kamu tidak apa-apa!?” 

“Ya, entah bagaimana masih bisa bertahan!!” 

Abel menjawab sambil menendang skeleton menjauh dari dirinya. 

Garis pertahanan yang awalnya dibentuk dalam formasi setengah lingkaran untuk melawan pengepungan sebagian oleh musuh, kini telah runtuh. 

Sebagai tanggapan atas itu, Leo tidak memilih mundur. Dia malah mengatur formasi lingkaran penuh dengan dirinya di pusat. 

Dengan begitu, mereka memang nyaris dikepung sepenuhnya oleh musuh, tapi mereka berhasil mempertahankan kekuatan dan tetap bertahan di tempat ini. 

Namun, karena dikepung, mereka tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Sejak tadi, para petarung kuat di tempat ini seperti Lynfia dan Abel harus bertarung mati-matian untuk menjaga garis pertahanan tetap bertahan. 

“Lynfia, ini akan berlangsung sampai kapan?” 

“Aku rasa mereka akan bergerak dalam waktu dekat, tapi...” 

“Jadi kamu pun tidak tahu, ya.” 

Abel menggumam sambil memandangi sekeliling. 

Sedikit demi sedikit, rekan-rekan mereka mulai tumbang. Meskipun mereka berhasil menarik para korban masuk ke dalam lingkaran sehingga tidak ada yang tewas sejauh ini, jika ini terus berlanjut, tidak akan ada yang tersisa untuk bertarung. 

“Kalau saja mereka yang mundur bisa sadar diri dan kembali, itu akan sangat membantu.” 

“Tapi berharap pada orang-orang yang lari karena ketakutan itu buang-buang waktu.” 

Yang tetap berada di bawah komando Leo berjumlah sekitar seribu orang. 

Sisanya, sekitar seribu orang lainnya, mundur ketika garis pertahanan runtuh. 

Kebanyakan dari mereka adalah kesatria. Sementara banyak dari para petualang justru memilih tetap bertahan bersama Leo. Perbedaan ini mencerminkan kontras antara para petualang yang datang dengan kemauan sendiri untuk mengikuti misi penyerbuan, dan para kesatria yang hanya dikirim berdasarkan perintah dari tuan wilayah mereka. 

Tentu saja masih banyak kesatria yang bertahan. Namun, Abel tidak bisa menahan pikiran bahwa jika kesatria yang mundur ikut tetap di sini, situasinya pasti akan berbeda. 

Terutama yang mengganggu Abel adalah kenyataan bahwa beberapa kesatria pengawal kerajaan yang seharusnya berada di sisi Leo, kini menghilang dari pandangan. 

“Sial! Seharusnya aku tidak menerima misi seperti ini! Sejak datang ke sini, perasaanku terus dibuat muak!” 

“Kalau begitu, kenapa kamu tidak kabur saja?” 

“Jangan bercanda. Kami ini petualang. Sekali menerima misi, kami tidak bisa lari dari tanggung jawab!” 

“Tapi ini di luar isi misi awal, bukan?” 

“Misi kami adalah melindungi desa. Dan untuk mengatasi monster ini, melindungi pangeran itu adalah cara terbaik, bukan?” 

Mendengar ucapan Abel, anggota kelompoknya yang berada di dekatnya pun mengangguk setuju. 

Berbeda dengan Abel yang tergolong petualang veteran, para anggota kelompoknya tampak penuh luka. Namun mereka tetap tersenyum. 

Mereka tahu bahwa menunjukkan wajah suram dalam situasi putus asa seperti ini tidak ada gunanya. 

“Ketua! Kalau ini semua selesai, tolong bilang ke pangeran supaya kasih kami bonus tambahan ya!” 

“Betul itu! Bayarannya nggak sebanding dengan risikonya!” 

“Memang benar. Kita lakukan saja nanti.” 

Saat Abel dan kawan-kawannya melontarkan candaan semacam itu.

Di pusat formasi lingkaran, Leo berbisik pelan. 

“Datang juga, ya.” 

Seiring dengan ucapan itu, pasukan kavaleri dari arah utara mulai mendekat. 

Itu adalah sebagian dari para kesatria yang sebelumnya telah mundur. 

“Formasi lingkaran, bubar! Serbu ke Bassau! Semua, ikuti aku!” 

Leo memimpin pasukan kesatria yang telah dia simpan sebagai cadangan dan meluncur menuju Bassau. 

Pasukan berkuda dari arah utara yang datang untuk bergabung pun turut menerobos masuk ke barisan skeleton. 

“Apa-apaan ini!? Mereka berubah pikiran!?” 

“Itu rencana dari Pangeran Leonard.” 

“Rencana?” 

“Beliau sengaja menyuruh sebagian kesatria pengawal kerajaan mundur, lalu memerintahkan mereka untuk memimpin para kesatria yang telah mundur. Karena sebagian dari mereka mungkin hanya ikut arus atau tidak tahu situasi sebenarnya.” 

“Di tengah situasi kacau kayak tadi, dia bisa merencanakan hal seperti itu...?” 

“Dalam kondisi seperti itu, hal pertama yang terpikir tentu saja mundur. Tapi Pangeran Leonard sejak awal sudah menyingkirkan opsi itu dari pikirannya. Karena itulah beliau bisa tetap tenang dan mengambil langkah selanjutnya.” 

“Kalau saja dia kabur, kita semua bisa lebih santai, ya.” 

“Benar juga. Tapi ya, begitulah orang yang mengincar takhta.” 

Lynfia berkata begitu sambil mengejar Leo yang telah lebih dulu maju. 

Leo yang berada di barisan depan membuka jalan, para kesatria yang mengikutinya memperlebar jalur itu, dan kini para petualang mengikuti dari belakang. 

Tujuan mereka adalah Bassau, tempat bola hitam misterius masih menggantung di langit.


* * *


“Yang Mulia! Mohon mundur! Ini sudah cukup!” 

“Tidak ada satu pun yang cukup!” 

Kesatria pengawal yang berada di barisan depan menyarankan Leo untuk mundur, namun Leo tetap bersikeras tidak menyerahkan posisinya di garis terdepan. 

Dengan semangat menggelegak seperti singa yang mengamuk, Leo menebas para skeleton dan membuka jalan maju. 

Semangat tempur telah terangkat sepenuhnya. Setelah ini, para kesatria pengawal bisa mengambil alih peran di depan. Pasukan lain juga sudah mendekat. Jika berhasil bergabung, kekuatan mereka akan semakin bertambah. 

Sekilas, tampak tak ada lagi alasan bagi Leo untuk terus memaksakan diri. 

“Kalau begitu, setidaknya bergeserlah ke barisan kedua atau ketiga!” 

“Jangan bicara omong kosong! Para kesatria dan petualang yang dikumpulkan ini, akulah yang membawa mereka ke tempat berbahaya ini! Meski begitu, mereka tetap mengikutiku! Itu karena aku berada di barisan depan! Siapa yang akan mengikuti orang yang hanya berteriak dari tempat aman!?” 

Kesatria pengawal yang ditegur keras oleh Leo terdiam tanpa bisa berkata apa pun. 

Sosok Leo yang ditampilkan saat ini benar-benar berbeda dari citra yang selama ini mereka kenal. 

Meski unggul dalam seni bela diri, Leo selama ini jauh dari kesan kasar dan buas. Dia adalah pangeran yang lembut dan terlahir dari keluarga baik-baik, itulah kesan semua orang terhadapnya. 

Namun kini, sosoknya yang memimpin di garis depan tak lain adalah gambaran sejati seorang jenderal pasukan. 

“Yang Mulia...”

“Diam dan ikuti aku! Kita pasti akan menerobos tempat ini!” 

Dengan berkata demikian, Leo memacu kudanya semakin cepat. 

Kemudian, pasukan tambahan yang telah dikerahkan pun bergabung, momentum pasukan Leo pun semakin meningkat. 

Mereka semakin mendekati Bassau, yang sebelumnya hanya terlihat samar di kejauhan, kini tampak jelas di depan mata. 

“Bassau sudah dekat! Tuangkan seluruh tenaga kalian!” 

Saat Leo meneriakkan itu, seseorang mengayunkan pedangnya ke arahnya. 

Leo berhasil menahan serangan itu, tapi langkah kuda terhenti seketika. 

Dan bila Leo berhenti, seluruh pasukan pun ikut terhenti. 

Mereka berada di tengah lautan monster. Berhenti di tempat seperti ini berarti sama dengan memilih kematian. 

Leo berusaha untuk segera maju kembali, namun pria yang menghalangi di depannya tak berniat membiarkannya lewat. 

“Siapa kamu?” 

“Hmph... Siapa ya, menurutmu?” 

Yang berkata demikian adalah pria berbaju hitam. 

Dia adalah instruktur yang membunuh Dennis di bawah tanah rumah bangsawan, dan matanya kini sepenuhnya diliputi warna hitam pekat. 

Bahkan bagian mata yang seharusnya tidak berwarna pun ikut menghitam. 

Jelas pria ini bukan orang biasa, namun yang lebih bermasalah adalah kekuatannya yang luar biasa. 

Leo yang kesulitan menghadapinya dibantu oleh para kesatria pengawal di sekitarnya. Namun bahkan bersama-sama, mereka tetap tak mampu mengalahkannya. 

“Sial, siapa dia ini?”

“Kenapa ada orang sekuat ini di sini?”

Leo, dan para kesatria pengawal yang dikenal sebagai pasukan elit kekaisaran, bukanlah petarung biasa. 

Namun pria ini, bahkan dilawan oleh beberapa orang sekaligus, tak tersentuh sedikit pun. 

Kemampuan yang seharusnya sudah membuatnya terkenal di seluruh benua. 

“Siapa kamu sebenarnya?” 

Leo bertanya lagi. 

Karena para skeleton di sekitarnya sama sekali tidak menyerang pria ini. 

“Kalau kamu ingin tahu namaku, bukankah seharusnya kamu memperkenalkan dirimu dulu?” 

“...Leonard Lakes Ardler. Pangeran kedelapan Kekaisaran.” 

“Begitu, kamu keluarga kekaisaran rupanya. Maka akan kuperkenalkan juga. Namaku Balam. Kalau menggunakan istilah kalian, aku adalah iblis.” 

“Iblis...!?” 

Itu adalah pernyataan yang mengejutkan. 

Iblis dianggap sebagai makhluk dari dunia lain, dunia iblis. Dan mereka umumnya memiliki kekuatan jauh melebihi manusia. 

Telah berulang kali dikisahkan bahwa para penyihir yang memanggil iblis ke dunia manusia menyebabkan bencana besar. Bahkan Raja Iblis yang pernah dikalahkan sang Pahlawan dulunya juga seorang iblis. 

Dan kini, iblis itu muncul di sini. 

Kenapa? 

“Jangan-jangan... Monster-monster ini berasal dari dunia iblis...!?

“Tepat sekali. Ini adalah pasukan garis depan. Sebuah gerbang pemanggil telah dibuka di pusat kota ini, menghubungkan dunia iblis dengan dunia kalian. Tak lama lagi, ribuan iblis akan datang ke sini. Tak ada hari esok untuk kalian.” 

“Kalau begitu, tinggal tutup gerbangnya!” 

Leo mengayunkan pedangnya ke arah Balam. Tapi pedang itu ditahan dengan mudah. 

“Lupakan saja. Kalian tak punya cara untuk menyegelnya.” 

“Sayang sekali, aku baru saja memutuskan untuk tidak menyerah!” 

“Hmph, bodoh sekali. Semuanya sudah terlambat.” 

“...Belum tentu.”


Sebuah suara jernih menggema. 

Bersamaan dengan itu, tangan kiri Balam terbang di udara. 

Dengan refleks, Balam mundur dan menatap orang yang telah memotong tangan kirinya. 

“Seorang wanita... Siapa kamu?” 

“Aku adalah Marsekal Angkatan Darat Kekaisaran, Lizelotte Lakes Ardler. Kakak dari Leo.” 

“Kakak...!?”

Leo menatap Lize dengan mata terbuka lebar, memandang kakaknya yang telah lama tak dia temui. 

Penuh wibawa, jubah birunya berkibar dengan gagah. 

Itu adalah sosok Lize yang selama ini ada dalam ingatan Leo.

 

Bagian 10

Waktu sedikit bergulir ke belakang. Saat pasukan terpisah yang dikirim Leo menyerbu ke dalam kerumunan pasukan skeleton dan Leo pun memulai serangan menuju Bassau, barulah saat itu Lize dan pasukannya menangkap bayangan Bassau dari kejauhan. 

“Sepanjang mata memandang, hanya monster yang terlihat.” 

“Namun, di tengah-tengahnya ada orang-orang yang terus maju.” 

Dari kejauhan, mereka tak bisa melihat dengan jelas. Meski begitu, Lize yakin Leo ada di sana. 

Sambil memacu kudanya, Lize memejamkan mata. 

Adiknya yang dulu menggertakkan gigi untuk menghentikannya. Adik yang selalu teguh mengikuti apa yang diyakininya. Sekarang pun, dia pasti sedang menggertakkan gigi dan berjuang untuk melakukan hal yang benar. 

Jika demikian, sebagai kakak, hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan. 

“Kita juga akan menerobos!” 

“Siap!” 

Saat Lize mempercepat laju kudanya, seribu prajurit berkuda mengikuti dari belakang. 

Mereka bukan petualang atau kesatria biasa. Ini adalah pasukan elit berkuda yang telah lama berjuang di bawah komando Lize. 

Tak perlu pidato untuk meningkatkan moral. 

Mereka semua telah mendedikasikan hidupnya untuk Lize. Jika diperintahkan untuk mati, maka mereka akan melakukannya tanpa ragu. 

“Komandan! Gunakan itu!” 

“Siap!” 

Atas perintah Lize, komandan pasukan segera mengangkat tangan kanannya. 

Sebagai sinyal, seratus orang dari belakang maju ke depan. Di tangan mereka tergenggam crossbow. Namun itu bukan crossbow biasa. 

Di bagian bawah crossbow terpasang tabung berbentuk bundar, dengan sebuah permata kecil tertanam di tengahnya. 

“Prototipe Crossbow Sihir Berputar telah siap!” 

“Bagus. Hancurkan semua penghalang di depanku.” 

“Dimengerti! Sasaran adalah monster di depan! Tak perlu bidikan akurat! Musuh ada di mana-mana! Asal tembak, pasti kena! Bersiap! Tembak...!”

Atas aba-aba komandan, seratus prajurit menarik pelatuk crossbow mereka. 

Ditenagai oleh sihir yang tertanam dalam permata, selama pelatuk ditarik, panah terus-menerus diluncurkan tanpa henti. 

Tabung bundar yang terpasang berputar dan memasok anak panah, membantu tembakan bertubi-tubi. 

Panah-panah yang dilepaskan dalam kecepatan tembak luar biasa itu menghantam skeleton satu demi satu, menghancurkan tubuh mereka hingga remuk. 

Melihat celah yang tercipta dari serangan itu, Lize melesat maju. 

“Senjata yang hebat, tapi setelah pelurunya habis, jadi masalah.” 

“Itu urusan pengembang. Tugas kita hanya memberi masukan.” 

Setelah sihir dalam permata habis, prototipe crossbow tersebut tak lagi bisa digunakan untuk menembak dan hanya menjadi pentungan. 

Lize sebelumnya telah menguji senjata ini di garis belakang bersamaan dengan latihan militer para rekrutan baru. 

Namun, sekarang mereka mendapat kesempatan mengujinya langsung di medan tempur yang sesungguhnya, di luar dugaan. 

“Setelah ini, kita akan laporkan dan minta agar tabungnya bisa diganti. Senjata sekali pakai terlalu terbatas kegunaannya.” 

“Benar juga. Dan sekalian, kita ajukan senjata khusus untuk pertempuran melawan monster.” 

“Ide bagus.” 

Sambil berbincang demikian, Lize dan komandan pasukan menggenggam senjata masing-masing dan menerobos medan tempur. 

Karena senjata itu dirancang untuk melawan manusia, efektivitasnya terhadap skeleton tidak begitu baik. Meski menembus tubuh, skeleton tetap bergerak kecuali intinya dihancurkan, menjadikan mereka lawan yang sulit untuk senjata semacam itu. 

“Huh... Sudah lama tidak seperti ini.” 

Memimpin pasukan kecil dan menyerbu musuh. Dahulu dia melakukannya berkali-kali. Tapi sekarang, hampir tak pernah lagi. Tak ada musuh yang pantas, dan dia pun tak berada di posisi yang sepatutnya melakukannya. 

Namun, Lize merasakan kepuasan dalam situasi ini. Menerobos sambil merasakan ancaman dari dekat, melangkah maju tanpa kelengahan sesaat pun, mengikuti jalur sempit menuju kemenangan. 

Ya, batinnya berbisik. 

“Inilah medan perang...!” 

Dengan senyum mencolok di wajahnya, Lize menebas kerumunan musuh yang menghadang. 

Di mata komandan pasukan yang telah lama melayani Lize, kini dia kembali melihat sosok Putri Jenderal yang dulu mengguncang medan-medan perang dan ditakuti berbagai negara. 

Dia bukan lagi Lize yang kehilangan semangat setelah putra mahkota wafat dan hanya mengurus pertahanan perbatasan. 

Inilah Lize sejati yang bersinar terang di medan perang. 

“Ada apa, Komandan! Tertinggal dariku?” 

“Siap! Segera menyusul!” 

Tersadar oleh panggilan Lize, sang komandan segera memacu kudanya, mengejar di belakang. 

Dan akhirnya, Lize dan pasukannya berhasil melihat sosok Leo di kejauhan.


* * *


“Kakak...!?” 

Melihat Leo yang menunjukkan ekspresi terkejut, Lize tersenyum kecil. 

Saat melihat Al, dia merasa adiknya telah tumbuh dewasa. Namun Leo yang ada di hadapannya sekarang lebih dari itu. 

Sosoknya yang memimpin pasukan di garis terdepan adalah gambaran seorang jenderal sejati, memancarkan karisma yang membuat siapa pun di belakangnya rela bertarung demi dirinya. 

Sosok itu mengingatkan Lize pada mendiang putra mahkota semasa muda, kepada siapa dia pernah bersumpah akan mendukung sebagai panglimanya. 

“Tak bisa dibilang omong besar, ya...”

Kami berdua, jika bersama, bahkan bisa melampaui kakak sulung. 

Al pernah berkata demikian. Dan melihat Leo sekarang, jelas kata-kata itu bukan sekadar keberanian kosong. 

Leo yang lurus hati didampingi oleh Al yang fleksibel, bersama, mereka memancarkan kemungkinan yang tak bisa diabaikan. 

Mungkin karena itu, Lize, meski di hadapan musuh, bergumam pelan dengan senyum terbit di wajahnya. 

“Kamu sudah bertambah tinggi, ya?” 

“Eh, ah... Ya, sedikit.” 

“Begitu, bagus. Jadilah lebih tinggi lagi.” 

Hingga saat itu tiba, aku akan melindungimu. 

Begitu batinnya berkata, Lize memusatkan pandangan pada Balam yang kehilangan lengan kirinya. 

Saat Leo dan Lize bercakap, Balam sempat hendak menyerang beberapa kali. Namun, setiap kali, lengan kanan Lize bereaksi cepat, membuatnya tak berhasil melancarkan satu pun serangan. 

“Untuk makhluk yang mengaku sebagai iblis, kamu cukup manusiawi.” 

Lize menatap lengan kiri Balam yang tak beregenerasi, darah merah terus menetes dari lukanya. Bagi monster berperingkat tinggi, luka seperti itu biasanya bisa disembuhkan. Namun iblis di hadapannya tidak menunjukkan tanda-tanda penyembuhan. 

Dari situ, Lize menyimpulkan sebuah kemungkinan. 

“Kamu menggunakan manusia sebagai wadah, ya?” 

“Tajam juga nalurimu... Tapi, apa gunanya kamu tahu sekarang?” 

“Itu artinya semuanya belum terlambat.” 

“Yakin begitu? Kalau kalian mendapat bala bantuan, maka waktuku bermain telah usai.” 

Sambil berkata demikian, Balam mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Ujung tangannya memancarkan cahaya hitam. 

Dan seolah tertarik oleh cahaya itu, dari kota Bassau muncullah para monster undead kelas tinggi, skeleton raksasa setinggi tiga meter dan naga zombie dengan tubuh membusuk, dan lainnya. 

“Kalian sebaiknya cepat kabur.” 

Balam mengucapkan kata-kata itu, lalu menghilang dari pandangan dengan menjadi tak kasatmata. 

Tinggallah Lize dan Leo, dipaksa membuat keputusan cepat. 

“Perbedaan kekuatan kita terlalu jauh.” 

“Tapi jika kita mundur sekarang, entah kapan bisa mendekat lagi ke Bassau.” 

“...Wajahmu bilang, kamu sudah tahu jawabannya, ya?” 

“Sejak awal, aku memang tak berniat mundur. Kalau iblis perlu wadah, maka kita harus mengalahkannya sekarang, di sini. Jika dibiarkan, mereka akan menyusup ke masyarakat manusia.” 

“Ada jaminan kita bisa menang?” 

“Tidak ada. Tapi mundur pun sama saja. Sekuat apa pun pasukan yang kita bawa, mereka tetap bisa memunculkan monster sebanyak ini. Sekarang ini bukan hanya krisis, tapi juga kesempatan.” 

Melihat Leo yang berbicara dengan keyakinan penuh, Lize kembali tersenyum. 

Dan sambil mengayunkan pedangnya, dia membelah skeleton raksasa yang menyerang lurus ke arahnya. 

“Kalau begitu, kita maju saja. Jangan sampai tertinggal, ya?” 

“Tentu saja.” 

“Serbuuu! Target kita adalah Bassau!” 

“Lanjutkan!!” 

Dengan begitu, Leo dan Lize, bahu-membahu, melancarkan serangan mereka ke kota Bassau.


* * *


Beberapa saat setelah Leo dan pasukannya memulai serangan mereka. 

Lynfia dan kelompok Abel tengah bergabung dengan barisan terdepan. 

Namun, semakin dekat mereka menuju Bassau, perlawanan musuh pun semakin kuat dan sengit. 

“Ugh...”

Jumlah monster yang bahkan menyulitkan Abel dan Lynfia pun mulai bertambah, dan kecepatan pasukan yang maju jelas mulai melambat. 

Kalau begini terus... Saat rasa cemas mulai tumbuh di hati Lynfia.

Sebuah bola api yang dilontarkan oleh seekor naga zombie menghantam di dekat Lynfia. 

Terdorong oleh guncangan, Lynfia terpental dan terlempar keluar dari barisan terdepan. 

“Ugh...” 

Menahan rasa sakit, Lynfia berdiri dengan bertumpu pada pedangnya. 

Ketika melihat sekeliling, dia menyadari dirinya berada tepat di tengah-tengah pasukan skeleton. Para skeleton perlahan-lahan mendekatinya. Dia berusaha bergerak, namun tubuhnya tidak bisa digerakkan seperti yang dia inginkan. 

Di saat itu, sebuah seruling tergelincir keluar dari sakunya. 

Itu adalah seruling yang terbuat dari pohon arwah, pemberian kakek Dwarf tempo hari. 

Mengandalkan orang lain bukanlah hal yang buruk, kata-kata sang kakek kembali terngiang. Meski sempat terlintas bahwa di tengah medan maut seperti ini tidak mungkin dia bisa meniupnya dan memanggil bantuan. 

Namun, lebih dari itu, tekadnya untuk tidak mati sebelum menemukan adiknya menang. 

“Maaf, aku pinjam dulu...!” 

Lynfia menggenggam seruling itu dan meniupnya. 

Namun, tidak terdengar suara apa pun. Dia meniupnya berkali-kali, tapi tak ada bunyi yang keluar. 

Apakah kakek itu memberikan barang cacat? 

Lynfia sempat berpikir begitu, lalu menghela napas pelan dan memasukkan kembali seruling itu ke dalam saku. 

Namun, suara dari seruling itu ternyata benar-benar telah sampai, jauh, jauh ke pusat kekaisaran, sampai ke ibu kota. 

Saat Lynfia mencoba menenangkan diri dan bersiap menghadapi skeleton yang mendekat dengan mengangkat pedang sihirnya, tiba-tiba, Skeleton di sekelilingnya terhempas dalam sekejap. 

“Eh... Apa itu barusan...?”

Lynfia mengira itu bola api dari naga zombie lagi, dan segera bersiap siaga, tapi ketegangan itu mereda seketika saat dia mendengar suara dari belakangnya. 

“Kamu baik-baik saja? Gadis petualang dari waktu itu.” 

“Mengapa... Kamu di sini...?”

“Dengar-dengar ini adalah misi penyerbuan. Jadi, aku bawa beberapa orang juga.” 

Di saat yang sama, sebuah gerbang teleportasi raksasa terbuka di belakang Lynfia. Dari sana, para petualang dari cabang ibu kota muncul sambil berteriak, lalu menyerbu pasukan skeleton. 

Ratusan petualang berdatangan, membasmi para skeleton di sekitar. 

Di tengah para petualang itu, penyelamat terbesar mereka berseru. 

“Kalau masih bisa berdiri, ikutlah. Ini waktu panen.” 

“Ya...! Silver...!”

Begitu jawab Lynfia, dia pun mengejar sosok petualang bertopeng itu.

 

Bagian 11

Saat para petualang berkumpul di cabang ibu kota dan gerbang teleportasi hampir dibuka. 

Tiba-tiba, utusan dari istana muncul di markas. 

“Wah, wah. Apakah Yang Mulia Pangeran Kedua memiliki suatu urusan penting?” 

“Saat ini, di istana sedang diadakan perundingan mengenai insiden di wilayah selatan. Kemampuanmu untuk melakukan teleportasi sangat berharga. Kami mohon agar kamu menunda keberangkatan sebentar dan membiarkan pasukan yang dikirim bergabung.” 

Yang tak terduga, Eric menundukkan kepala. 

Bukan seperti diriku, biasanya bangsawan, apalagi keluarga kekaisaran, tak akan pernah menundukkan kepala mereka. 

“Waktu sudah cukup tersedia sampai sekarang. Kalau sampai sekarang belum ada keputusan, apa jaminannya akan diputuskan sekarang?” 

“Kami sudah memanggil pasukan terdekat ke ibu kota. Penjagaan istana dan keselamatan Yang Mulia Kaisar akan dipercayakan kepada mereka, dan rencana untuk mengirim para kesatria pengawal sedang hampir disepakati.” 

“Oh? Dan dari sana akan dimulai perebutan kehormatan, bukan? Toh, sekarang kita tengah berada dalam perebutan takhta. Semua ingin mendapatkan kehormatan, termasuk Anda, tentu saja. Kami tak punya waktu untuk menunggu keputusan yang jelas-jelas tak akan kunjung datang.” 

Meskipun begitu, idenya cukup realistis. Jika para kesatria pengawal tak bisa dikirim karena khawatir akan keselamatan Ayah dan istana, maka panggillah pasukan lain sebagai pengganti. Dan karena mereka dipanggil secara khusus, pastilah pasukan elit. Meski mungkin tak sekuat kesatria pengawal, mereka cukup untuk menjaga istana sementara. 

“Aku telah merekomendasikan Gordon kepada para menteri untuk memimpin kesatria pengawal. Keputusan resminya tak akan lama lagi.” 

“Aneh. Saat urusan negara lain, Anda begitu bernafsu ingin mendapat kehormatan, tapi giliran masalah negeri sendiri, Anda malah menyerahkannya kepada adik yang menjadi pesaing?” 

“Aku adalah bagian dari keluarga kekaisaran, dan Menteri Luar Negeri Kekaisaran. Kalau itu masalah negara lain, mungkin aku akan merebutnya. Tapi kalau menyangkut masalah dalam negeri, prioritas utama adalah keselamatan Kekaisaran. Itulah yang utama bagiku.” 

Saat berkata begitu, Eric menatapku lurus tanpa goyah. 

Bukan tawaran yang buruk. Jika kesatria pengawal akan dikirim, itu sangat membantu. 

Mungkin memang layak untuk menunggu. Bila aku menomorduakan perebutan kekuasaan. 

Jika aku bertindak gegabah sekarang, bisa-bisa malah menimbulkan kesan buruk dari kalangan elit Kekaisaran terhadap para petualang. 

Saat pikiranku mulai goyah karena itu, tiba-tiba terdengar suara bening dari kejauhan. 

Tak jelas dari mana datangnya. Tapi entah kenapa aku tahu, bahwa suara itu berasal dari Lynfia, dan bahwa dia dalam bahaya. Lynfia sedang meminta bantuan. Meski tak punya bukti, aku yakin. Suara bening itu menyampaikannya dengan jelas. 

“Namun... Selama waktu itu, ada mereka yang menjadi korban. Ada yang tengah mengulur waktu demi negeri ini bersiap. Apa yang akan kamu lakukan terhadap orang-orang seperti itu?” 

“Akan kulakukan semampuku.” 

“Kalau begitu, tawaranmu tak bisa kuterima. Petualang berbeda dari kesatria atau prajurit. Kami ada untuk menyelamatkan mereka yang tak bisa dilihat oleh para penguasa, atau mereka yang harus ditinggalkan. Pergilah. Kami adalah petualang. Kami tak menerima perintah dari siapa pun. Biarkan kami melakukan ini dengan cara kami.” 

“Nasib negara ini yang dipertaruhkan! Seharusnya kamu utamakan kepastian!” 

“Kami tak peduli bagaimana nasib negara ini. Yang kami lindungi selalu adalah nyawa rakyat. Sampaikan pada Kaisar dan para menteri: Masalah ini, telah diambil alih oleh Silver.” 

“Kamu pikir bisa bertindak sesuka hati begitu saja?” 

“Itulah yang bisa dilakukan oleh petualang peringkat SS. Dan jangan anggap remeh. Petualang Kekaisaran jauh lebih kuat dari yang kalian para bangsawan kira.” 

Saat aku membalikkan tumit, gerbang teleportasi raksasa muncul di markas petualang. 

Sambil melangkah masuk, aku berkata, “Ayo, waktunya cari uang. Ikuti aku.” 

Bersamaan dengan kata-kata itu, aku pun melakukan teleportasi. 

Begitu mendarat, seluruh medan dipenuhi oleh monster. 

Namun, di tengah semua itu, kulihat seorang gadis berdiri tegak. 

Meski jelas berada dalam keadaan terdesak, dia tidak panik, tidak histeris. 

Dia pasti sedang berpikir apa yang harus dilakukan, seperti biasanya. Melihat sosok Lynfia seperti itu membuatku tersenyum kecil, lalu aku menghempaskan para monster yang mengelilinginya. 

Dengan ini, para petualang yang ikut menyusul pun pasti lebih mudah bergerak. 

“Kamu selamat? Gadis petualang dari waktu itu.” 

Saat aku mendekat, Lynfia menatapku dengan mata terbelalak karena terkejut. 

“Mengapa... Kamu di sini...?”

“Dengar-dengar ini adalah misi penyerbuan. Jadi, aku bawa beberapa orang juga.” 

Tepat setelah kata-kataku, gerbang teleportasi raksasa yang terbuka di belakang kami mengeluarkan para petualang dari cabang ibu kota yang masuk sambil berteriak riang. 

Sungguh penuh semangat. Dari yang kulihat, mayoritas musuh di sini adalah skeleton. 

Kalau begitu, tak masalah kalau serahkan bagian ini pada mereka. 

“Kalau kamu masih bisa berdiri, ikutlah. Ini waktu panen.” 

“Ya...! Silver...!” 

Mendengar itu, Lynfia pun berdiri. 

Setelah menyalurkan sihir penyembuh untuk memulihkannya, aku bersama Lynfia kembali menatap ke depan. 

Tujuan kami adalah menuju tempat Leo dan Kakak berada, menembus kerumunan monster yang menghadang.


* * *


“Silver! Ada naga zombie!” 

Mendengar laporan dari Lynfia, aku menatap ke langit. 

Seekor naga membusuk dengan panjang lebih dari sepuluh meter sedang melesat ke arah kami dengan kecepatan luar biasa. 

Sungguh. Ini adalah monster yang selama ini hanya disebutkan dalam cerita kuno. 

“Sepertinya mereka takkan membiarkan kita lewat begitu saja, ya.” 

Aku naik ke udara dan bersiap menghadapi naga zombie yang mendekat. 

Sementara itu, Lynfia bersama para petualang dari cabang ibu kota menghancurkan para skeleton dan semakin mendekati posisi Leo dan yang lainnya. Meski jumlah kami masih kalah, semangat kami lebih unggul. 

Selama kami bisa menahan monster-monster berperingkat tinggi yang mulai bermunculan, kami masih punya peluang untuk mencapai kota. 

“Masalahnya adalah bola hitam itu.” 

Sambil menghindari gigi-gigi tajam naga zombie yang berusaha menggigitku, aku memandang bola hitam raksasa yang melayang di atas kota. Dari benda itu, terpancar kekuatan sihir yang sangat besar. Namun, kekuatan itu tampaknya belum digunakan untuk menyerang. 

“Pertanyaannya adalah untuk apa itu?” 

“Gugyaaahhh!” 

“Berisik.” 

Sambil menggerutu, aku membungkus naga zombie yang mengamuk dengan penghalang sihir, lalu menjatuhkannya ke tanah. 

Aku menjatuhkannya tepat ke tengah kawanan skeleton, sehingga tubuh-tubuh mereka terpental akibat benturan. Tapi aku tidak peduli. 

Aku mengarahkan tangan kananku ke arah naga zombie yang masih terguncang di tanah. 

“Tembuslah, Bloody Lance.” 

Aku memperpendek mantra dan segera mengaktifkan sihir. 

Tombak raksasa dari darah muncul dari lingkaran sihir, melesat menuju naga zombie yang terperangkap di dalam penghalang. Tepat saat akan mengenai, aku menonaktifkan penghalangnya, dan tombak darah itu langsung menembus tubuh naga zombie. 

“Gugyaaahhh...” 

Tubuh busuk itu meleleh seketika akibat suhu tinggi dari tombak darah tersebut. 

Efek sampingnya bahkan ikut melelehkan skeleton di sekitarnya. Tapi, dalam skala keseluruhan, jumlah itu hanya sedikit. 

Untuk menghabisi seluruh pasukan skeleton sebanyak ini, aku perlu menggunakan sihir berskala besar dengan mantra lengkap. Begitu aku memikirkan itu, aku merasakan gelombang sihir luar biasa meledak dari suatu arah. 

Dari dekat bola hitam itu. 

Seorang pria melayang di udara di sebelah bola hitam. Tapi dia sedang memegang kepalanya sendiri di samping tubuhnya. 

“Dullahan...?” 

Itu adalah monster undead tingkat AAA, tapi kekuatan sihir dari pria itu jelas melebihi itu. 

Meski wujudnya seperti manusia tanpa kepala, aura yang dia pancarkan membuatku yakin ini bukan Dullahan biasa. 

Saat aku hendak menyerangnya lebih dulu, dia tiba-tiba berpindah ke tempat Leo berada. 

“Tch!” 

Aku mengeklik lidah dan langsung berpindah ke sisi Leo dan kakakku, lalu memblokir tebasan pria itu dengan penghalang sihir. 

“Ugh...” 

Beberapa lapis penghalang yang kupasang hancur seketika. 

Kekuatan serangan tanpa mantra seperti ini. Dia jelas bukan Dullahan biasa. 

“Aku tidak ingat pernah meminta bantuanmu, petualang bertopeng.” 

“Aku hanya tidak ingin kepala panglima perang kami diambil begitu saja. Mohon dimaklumi, Nona Marsekal.” 

Sambil berkata begitu, aku merasa keringat dingin mengalir di balik topeng. Seharusnya tidak ketahuan.

Topeng ini adalah peninggalan kakekku. Barang sihir yang bisa mengubah suara, aroma, bahkan kesan yang ditangkap orang lain. Tak mungkin bahkan anggota keluarga pun bisa mengenaliku. 

Meski kakak terlihat kesal, dia tampaknya menyadari bahwa pria ini adalah lawan yang berbahaya. Dia pun menjauh dariku dan mulai menghadapi monster lain. 

Syukurlah. Sepertinya dia belum menyadari siapa aku. 

Sementara itu, Leo masih berada di sisiku. 

“Silver, ya... Sudah lama.” 

“Senang melihatmu masih sehat, Pangeran Leonard.” 

“Ya, aku juga senang bisa bertemu denganmu. Kalau saja bukan di medan perang, aku ingin berbincang lebih lama.” 

“Sayangnya, itu untuk lain waktu.” 

Leo mengangguk dan perlahan menjauh. Aku mengalihkan pandanganku pada pria di hadapanku. Dia hanya berdiri, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya jelas bukan manusia. 

Pria itu menatapku dengan mata hitam pekat, lalu tersenyum. 

“Aku tidak menyangka ada yang bisa menahan seranganku. Mengejutkan.” 

“Aku juga tidak menyangka ada orang yang bisa menyerang seperti itu.” 

“Berani juga manusia ini. Tapi tak mengapa. Sudah lama aku tak berada di dunia ini, jadi sedikit hiburan tak ada salahnya.” 

“Sudah lama tak berada di dunia ini?” 

“Ah, benar. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Fulcas. Meski sekarang aku meminjam tubuh ini, aku adalah iblis.” 

Dia tersenyum. Bagi manusia, senyuman itu terasa sangat sadis, meski mungkin baginya itu hanya ekspresi biasa. 

Mendengar kata “iblis”, aku langsung teringat sesuatu. Kakek buyutku dulu tubuhnya juga dirasuki oleh iblis. 

Dulu, untuk mengalahkannya, seluruh pasukan kesatria pengawal dan seorang Pahlawan harus dikerahkan. 

“Seorang iblis dari dunia iblis muncul di dunia ini... Karena kamu butuh wadah, itu berarti ada yang memanggilmu?” 

Iblis tak bisa hadir di dunia ini tanpa perantara. Mereka butuh tubuh sebagai inang. 

Dulu memang ada penyihir yang mencoba mengendalikan iblis, tapi sekarang tak ada yang mau memanggil iblis. 

Terlalu sulit diatur, menghabiskan terlalu banyak energi sihir, dan salah langkah bisa berujung pada kematian. Pemanggilan iblis adalah salah satu sihir yang sudah jarang digunakan di era modern seperti sekarang. Aku tidak menduga ada orang yang mau melakukan sihir ini.

“Tidak ada yang memanggilku.” 

“Jangan bohong.”

Aku melirik bola hitam. Pemanggilnya pasti berada di dalam sana. 

“Instingmu tajam. Tapi dia tak lagi dalam kondisi bisa memerintahku. Artinya, dia sama saja dengan tidak ada.” 

“Tapi kamu tetap membutuhkannya, kan? Yang menstabilkan eksistensimu pasti si pemanggil itu.” 

“Dan kalau begitu?” 

“Aku tinggal menyelamatkan si pemanggil dari dalam bola hitam itu. Monster-monster bodoh ini pasti juga hasil sampingan dari pemanggilanmu, bukan?” 

“Benar sekali. Jawabanmu hampir sempurna. Di pusat kota itu memang ada lubang yang menghubungkan dunia ini dengan dunia iblis. Dari situlah aku dipanggil. Dan lubang itu terus membesar, menyemburkan lebih banyak monster. Semuanya persis seperti yang kamu katakan. Kecuali satu hal.” 

“Apa itu?” 

“Yang dipanggil bukan hanya aku... Tapi ‘kami’.” 

Saat itu juga, aura sihir kuat lainnya muncul. 

Ketika aku menoleh, seorang pria berpakaian serba hitam muncul di dekat Leo. 

Iblis lain! Bajingan ini! Dia berhasil menyusup tanpa terdeteksi oleh penghalang deteksiku! 

Aku buru-buru memasang penghalang defensif, tapi pria itu lebih cepat dan mengayunkan pedangnya ke arah Leo, dan pada saat itu, Lynfia muncul untuk menahan serangan itu. 

“Lynfia!” 

“Anda tidak apa-apa, Pangeran Leonard?” 

“Tch!” 

Pria itu terlihat kesal karena serangan fatalnya digagalkan, lalu menghilang. Kecepatan serangannya tidak terlalu luar biasa. Sepertinya tipe penyusup murni. Tapi di medan perang kacau seperti ini, dia sangat berbahaya. Aku ingin membantu Lynfia, tapi Fulcas menghalangiku. 

“Jangan halangi aku!” 

“Menjadi pengganggu manusia adalah tugas iblis, kawan.” 

Saat kami berdebat, pria berbaju hitam itu muncul di belakang Lynfia dan mengayunkan pedangnya ke arahnya. 

Ini buruk. Namun saat itu, sebuah suara menggema di kepalaku. 

“Jangan!” 

Suara itu mengandung kekuatan sihir yang begitu kuat hingga menghentikan gerakan Fulcas dan pria itu seketika. 

Apa itu barusan...? 

“Sial... Aku mundur dulu, Balam.” 

“Dimengerti. Sepertinya wanita ini tidak bisa disentuh.” 

Setelah berkata demikian, Fulcas mundur menuju kota, dan pria berbaju hitam yang disebut Balam pun menghilang.

Jangan-jangan suara tadi adalah suara sang pemanggil? Meski bagaimanapun juga, itu terdengar seperti suara seorang anak kecil. 

“Shinfa...?” 

“Apa?” 

“Suara tadi... Shinfa!?” 

Lynfia, yang jarang terlihat terguncang, memandang ke arah kota. Fulcas telah kembali ke dekat bola hitam. Jika suara barusan berasal dari sang pemanggil...

“Kamu mengenali suara itu?” 

“Itu suara Shinfa... Adik perempuanku yang diculik!” 

“...Begitu ya. Sekarang semuanya mulai masuk akal.” 

Sepertinya kekuatannya mengamuk karena suatu insiden. 

Kalau dia diculik, berarti dia termasuk pemilik mata heterokromia. Tak aneh bila dia juga memiliki sihir bawaan sejak lahir. 

Jika dia memang memiliki sihir bawaan bertipe pemanggilan dan kekuatan itu lepas kendali, semuanya bisa dijelaskan. 

Meski skalanya memang luar biasa besar. 

“Sepertinya adikmu ada di dalam bola hitam itu. Melihat kejadian tadi, dia tampaknya tak membiarkanmu diserang. Kalau dia masih bisa membedakan hal-hal seperti itu, mungkin masih ada jalan.” 

“Apakah dia bisa diselamatkan...?” 

“Itu tergantung padamu. Bagaimanapun juga, kita harus mengantarmu sampai ke kota. Tapi dengan teleportasi... Itu terlalu berisiko. Bisa saja kita disergap. Satu-satunya pilihan adalah mengawalmu menembus jalan dengan cara biasa.” 

“Kalau begitu, biarlah kami yang membuka jalan. Memang dari awal tujuan kami adalah mengatasi bola hitam itu.” 

Begitu Leo berkata demikian, dia memberi isyarat pada pengawalnya dengan pandangan. 

Salah satu kesatria segera turun dari kudanya dan menyerahkannya pada Lynfia. 

Lynfia menerimanya, lalu menaiki kudanya. Dan kemudian.

“Kalau Shinfa memang ada di sana... Aku harus pergi menjemputnya. Karena aku adalah kakaknya.” 

“Alasan yang sangat menyentuh. Kalau begitu, biar aku memimpin di awal. Ikuti aku.” 

Entah karena mendengar kata “kakak”, Kak Lize tersenyum lalu segera memimpin serangan ke depan. 

Leo menyusul dari belakang, diikuti banyak kesatria dan prajurit. Tujuan awal yang samar, yakni mencapai kota, kini telah berubah menjadi misi yang jauh lebih jelas, yaitu mengantarkan Lynfia sampai ke sana. 

“Silver... Namaku Lynfia. Aku berasal dari desa terpencil, hanya seorang petualang biasa. Shinfa adalah adikku, gadis dari desa pengungsi. Tapi meski begitu, maukah kamu tetap membantuku dengan sepenuh hati?” 

“Sudah tentu. Jangan ajukan pertanyaan bodoh. ‘Demi rakyat’, itulah satu-satunya aturan mutlak bagi seorang petualang.” 

Mendengar jawabanku, Lynfia tersenyum kecil lalu memacu kudanya. 

Baiklah. Saatnya membersihkan gerombolan pengganggu di sekitar sini.

 

Bagian 12

“Jangan hiraukan para kroco!” 

Lize yang memimpin di barisan depan berseru lantang. Sesuai dengan kata-katanya, dia dan yang lainnya tidak berfokus pada mengalahkan musuh, melainkan memprioritaskan untuk terus maju. Tujuan mereka hanya satu. 

Membawa Lynfia hingga ke tempat bola hitam berada. 

Abel, yang berada di dekat Lynfia, bergumam sambil menatap langit. 

“Dengan seorang petualang peringkat SS yang ikut mendukung, pekerjaan kami jadi jauh lebih ringan.” 

“Benar juga. Kehadirannya sungguh keberuntungan besar.” 

Silver, sambil menghadapi musuh kuat seperti naga zombie dan skeleton raksasa, juga berhasil menekan jumlah skeleton yang mengepung Lize dan rombongannya sejauh mungkin. 

Bisa dibilang, dia adalah bantuan terbaik yang bisa dibayangkan. Tapi, bagaimana bisa hanya dengan meniup seruling, Silver datang? 

Pertanyaan itu sempat melintas di benak Lynfia, namun segera ditepis. Ini bukan waktu untuk memikirkannya. 

Lynfia mengayunkan pedang sihirnya, yang kini berbentuk tombak, dan menebas para skeleton. 

“Aku maju ke depan.” 

“H-Hei, semua orang di sini justru ada untuk melindungimu, tahu!” 

“Kalau cuma diam saja, kita tak akan pernah sampai ke kota.” 

“Hmph... Kamu menarik, petualang. Boleh tahu siapa namamu?” 

“Namaku Lynfia.” 

“Aku Lizelotte. Kamu tahu siapa aku?” 

“Aku tahu. Yang Mulia Putri Pertama, Marsekal terkuat di kalangan keluarga kekaisaran, dan kakak dari Pangeran Leonard dan Pangeran Arnold.” 

“Jadi kamu juga tahu soal Al?” 

Dia sudah terbiasa disebut sebagai kakaknya Leo, tapi jarang ada yang menyebutnya kakaknya Al. 

Itu menunjukkan betapa jarangnya Al disebut di antara bangsawan. Meski jika dibalik, bisa dibilang dia pangeran yang justru sering jadi bahan pembicaraan. 

Namun, Lynfia tersenyum ramah saat menyebut nama Al. 

“Ya. Orang pertama yang mengulurkan tangan padaku adalah Pangeran Arnold.” 

“Al, ya? Itu tak terduga.” 

“Aku juga terkejut. Tapi beliau bukan seperti yang digosipkan orang-orang. Baik Pangeran Leonard maupun Pangeran Arnold, mereka orang yang bisa bertindak demi orang lain. Bahkan mau membantu orang sepertiku.” 

“Kalau Leo, aku bisa percaya. Tapi kalau Al, kamu terlalu memujinya. Bukankah begitu, Leo?” 

Tanpa ragu, Lize melempar komentar itu ke arah Leo, yang sedang sibuk menghadapi skeleton raksasa. 

Mungkin karena dia tidak mendengar dengan jelas, Leo menjawab dengan suara lantang: 

“Eh? Apa yang kalian bicarakan?” 

“Dengarkanlah kalau kakakmu bicara.” 

“Kalau ingin bicara penting, tolong pilih waktu dan tempat! Aku akan menyusul setelah mengurus monster ini! Tolong jaga Lynfia dulu!” 

“Baik, serahkan padaku. Kamu juga hati-hati.” 

“Kakak juga, ya.” 

Setelah percakapan itu, Leo menjauh dari rombongan dan bersama para kesatria, menghadapi skeleton raksasa. 

Di langit, Silver sedang bertarung melawan beberapa naga zombie. Itu artinya mereka hampir sampai di kota. 

“Tidak apa-apa membiarkan Pangeran Leonard sendirian?” 

“Dia adikku. Tak perlu dikhawatirkan. Jadi, kita tadi bicara sampai mana?” 

“Tentang aku yang terlalu memuja Pangeran Arnold.” 

“Benar juga. Leo mungkin menolongmu karena niat baik semata. Tapi Arnold berbeda. Dia takkan menolong seseorang yang tak punya apa-apa.” 

“Begitukah?” 

“Ya. Dia hanya akan menolong mereka yang layak ditolong. Mungkin terlihat seperti bertindak sembarangan, tapi sebenarnya dia punya standar. Apakah orang itu punya kemampuan, punya alasan yang kuat, atau keyakinan yang kokoh. Dia melihat hal-hal itu. Jadi, banggalah. Kalau Al menolongmu, itu berarti dia mengakuimu.” 

Setelah berkata demikian, Lize menebas skeleton di depan mereka. 

Dia menunggang kuda dan menyusup ke celah yang terbuka, menebas musuh lebih banyak lagi. 

“Al mengulurkan tangannya padamu, dan Leo berjalan bersamamu. Maka sekarang, biarkan aku membuka jalanmu. Tapi ingat satu hal, aku takkan membiarkan bantuan dari adik-adikku disia-siakan. Selamatkan adikmu. Jangan pernah menyerah.” 

“Ya!” 

Menanggapi kata-kata Lize, Lynfia terus maju ke depan. 

Tak lama kemudian, Lynfia dan yang lainnya berhasil memasuki kota Bassau.


* * *


“Ini saatnya! Serang kakinya!” 

Leo memimpin para kesatria menghadapi skeleton raksasa. 

Para kesatria serempak menyerang kaki skeleton raksasa itu, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh terjungkal. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan dan segera menghabisinya. 

“Satu lagi datang!” 

“Bersiap untuk menyerang! Jangan biarkan dia mendekati Kakak!” 

Leo segera mengorganisasi para kesatria di tempat itu untuk mengalahkan skeleton raksasa yang berikutnya. 

Namun, tiba-tiba Leo merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya. 

Secara refleks, Leo melompat turun dari kudanya, menghindari serangan yang datang dari arah itu. 

“Ugh...” 

Tubuhnya terlempar ke tanah, dan rasa panas yang luar biasa menyengat di sisi perutnya. 

Saat menyentuhnya perlahan, tangannya penuh dengan darah. 

“Pangeran yang cukup peka.” 

“Balam, ya...” 

Di hadapannya berdiri sosok iblis, Balam, yang memiliki kemampuan untuk menghilang dari pandangan. 

Pedang yang dia genggam berlumuran darah merah, darahnya Leo. Jika dia tak menghindar dalam sekejap tadi, mungkin sudah kehilangan nyawanya. Menyadari itu, Leo perlahan berdiri. 

Lukanya cukup parah karena pendarahan, tapi tidak cukup dalam untuk menghalanginya bertarung. 

“Yang Mulia! Kami akan datang membantu sekarang juga!” 

“Setengah dari kalian kejar dan tahan skeleton raksasa itu! Sisanya lindungi area sekitar... Balam akan aku tangani sendiri.” 

“Tapi luka Anda...!” 

“Target Balam adalah aku. Jika dia bisa menghilang, maka tak ada pilihan selain aku sendiri yang menghadapinya.” 

Dengan mengatakan itu, Leo mengangkat pedangnya. 

Balam mendecakkan lidahnya, tadinya dia berpikir bisa menyerang dari belakang jika Leo kabur. 

Bahkan di antara iblis, ada yang unggul dalam pertempuran dan ada yang tidak. Balam bukan iblis yang unggul dalam pertempuran, ditambah lagi dia belum sepenuhnya berhasil merasuki tubuh manusia. 

Berbeda dengan Fulcas yang merasuki tubuh seseorang yang baru saja meninggal, Balam menempati tubuh yang masih hidup. Karena itu, kekuatan iblisnya belum bisa dimanfaatkan secara penuh. 

Bagi Balam, lebih baik jika Leo memilih kabur, tapi sang pangeran malah memilih untuk menghadapi langsung, seolah membaca pikirannya. 

“Pangeran yang licik.” 

“Akan aku anggap sebagai pujian.” 

Ketegangan di antara keduanya semakin mengental seiring waktu. Dan saat itu juga, Silver turun dari langit. 

“Aku akan membantumu.” 

Balam mengernyitkan wajahnya melihat bala bantuan yang begitu kuat. Jika lawannya adalah orang yang bahkan bisa menahan serangan Fulcas, maka peluang menangnya nyaris tidak ada. Namun, kenyataan bahwa pria bertopeng ini ada di sini juga berarti bahwa tak ada lagi yang bisa menghadapi Fulcas saat ini. 

Tadinya dia membidik sang pangeran demi menjatuhkan semangat musuh, tapi efek yang timbul malah sebaliknya, dan dia menyeringai dalam hati. Namun. 

“Tidak perlu. Kejar Lynfia.” 

“Tak terlihat seperti tidak perlu.” 

“Dia butuh kamu. Tolong, pergilah.” 

Leo melangkah maju dan mengucapkan itu pada Silver. Namun, Silver tidak bergeming.




“Aku tidak bisa hanya menjawab ‘baiklah’ begitu saja. Kalau kau mati, aku juga akan kerepotan.”

Silver menyembuhkan luka di sisi perut Leo dengan sihir penyembuh. 

Namun, bukannya berterima kasih, Leo justru menatap tajam ke arah Silver. 

“Jangan bicara omong kosong...! Lebih baik khawatirkan nyawa anak-anak daripada nyawaku! Bukankah itu tujuanmu datang ke sini!” 

“Aku akan menyusul setelah membereskan yang satu ini. Jangan khawatir.” 

“Jangan hiraukan aku... Pergilah sekarang juga.” 

“Tapi...” 

“Tidak ada tapi! Kalau kamu mengakui keberadaanku, maka pergilah!” 

Leo menatap Silver dengan tatapan yang penuh keyakinan. Tatapan itu sangat berbeda dari tatapan Leo yang selama ini pernah dilihat Silver, atau lebih tepatnya, Al. 

“Aku ingin menjadi kaisar yang ideal menurut versiku sendiri... Dan langkah pertama untuk itu adalah menyelamatkan anak-anak. Aku telah mengerahkan para kesatria dan petualang dalam jumlah besar, dan memaksakan kehendakku. Kalau sampai sejauh ini aku tidak bisa menyelamatkan mereka... Aku tidak bisa menerima itu! 

“Kita harus menyelamatkan anak-anak dan menyelesaikan kekacauan ini! Pergilah, Silver! Kalau kamu memang petualang peringkat SS, tunjukkan padaku kekuatanmu!” 

Itu bisa dibilang lebih seperti teriakan keras. 

Bagi Al, itu adalah pertama kalinya melihat Leo menunjukkan wujud dirinya seperti itu. 

Karena itu, Al melangkah ringan dan melayang ke udara.

“Kalau begitu, akan kutunjukkan. Jangan mati sebelum menyaksikannya, Pangeran Leonard.” 

“Tenang saja... Aku adalah pria yang akan menjadi kaisar. Aku tidak akan mati di sini.” 

“Begitu ya...” 

Setelah mengucapkan itu, Al berpindah ke arah kota dengan sihir teleportasi. 

Sementara itu, tatapan tajam Leo mengarah kepada Balam. 

“Datanglah, Balam. Atas nama pangeran Kekaisaran, aku akan menghakimimu, yang telah membawa bencana ke negeri ini!” 

“Coba saja kalau bisa!” 

Pertarungan antara Balam dan Leo pun dimulai. 

Pedang beradu dengan pedang. Jika itu Leo yang biasanya, dia mungkin akan bertarung dengan tenang sambil menilai situasi lawan. Namun, Leo yang sekarang berbeda. 

“Haaaah!” 

“Tch...” 

Dihujani serangan bertubi-tubi, Balam yang hanya memiliki satu lengan terpaksa terus bertahan dan mundur. 

Sebuah tebasan Leo menghancurkan pedang milik Balam. 

“Uoooooh!” 

“Sial...!” 

Leo membalikkan pergelangan tangannya dan mengincar lengan tersisa Balam. 

Namun, tepat saat itu, Balam menghilang menggunakan kemampuan tak terlihatnya. 

“Hilang, ya...” 

Leo memusatkan konsentrasi pada suara dan aura di sekelilingnya. Kalau Balam mundur hanya karena ini, dia tidak akan menyerang sejak awal. Dia pasti akan mencoba lagi. Keyakinan itu tertanam kuat dalam diri Leo. Dan tebakan itu benar. 

“Hah!” 

“Ugh...” 

Balam tiba-tiba muncul di belakang dan menebas punggung Leo secara dangkal. 

Tangan Balam menggenggam belati. 

Leo membalikkan badan dan mengayunkan pedangnya, tapi saat itu Balam sudah tidak ada. 

Leo mengklik lidahnya, hal yang tak biasa dia lakukan, dan memandang sekeliling. Tapi dia tak dapat menemukan Balam, dan kali ini, Balam muncul dari samping dan menusuk kaki kirinya. 

“Ugh...” 

“Memalukan sekali, Pangeran.” 

“Dasar kamu...!” 

Leo mengayunkan pedangnya ke arah Balam, namun Balam dengan santai menjaga jarak dan kembali menghilang. 

Menyadari dirinya sedang dipenuhi amarah, Leo menarik napas dalam-dalam. Dari mana Balam akan datang berikutnya? Bagaimana harus melawan balik? Saat memikirkan itu, bayangan Al melintas di benaknya. 

Penipuan dan tipu daya adalah keahliannya Al. Bagaimana caranya mengejutkan lawan? 

“Kalau kakak yang melakukannya...” 

Leo berpikir sejenak, lalu menyarungkan pedangnya. Dia menutup mata dan hanya berkonsentrasi pada kehadiran Balam. 

Senjata lawan adalah belati. Untuk membunuh, hanya bisa mengincar titik vital. Dan kemungkinan terbesar adalah dengan tusukan. Balam yang masih memiliki kepercayaan diri pasti tidak akan memaksakan diri. Maka targetnya adalah jantung. Dengan itu dalam pikiran, ketika Leo merasakan aura di belakangnya...

Dia menggeser tubuh ke kanan. Tapi bahu kirinya terasa panas. Nyeri tajam menyebar. 

Saat melihatnya, belati menancap dalam di bahu kirinya. 

“Kamu pikir hanya dengan menghindar, kamu bisa selamat?” 

“Tidak... Aku tidak menyerah pada apa pun...” 

Sambil menggertakkan gigi, Leo memutar tubuhnya dan mencengkeram leher Balam dengan tangan kanannya. 

Dan seolah ingin menghancurkannya, dia mengerahkan kekuatannya sambil melantunkan mantra.

“Wahai api yang turun dari langit demi menyelamatkan mereka yang murni. Wahai api suci, nyalalah dengan agung. Untuk memusnahkan yang keji. Holy Blaze.” 

Sihir modern lima bait. Sihir suci yang sangat efektif terhadap monster undead. Termasuk sihir tingkat tinggi yang jarang dikuasai, tapi Leo telah mempelajarinya secara merata bersama banyak sihir lain, agar tak kesulitan bila saatnya tiba. 

Api suci menyala di tangan kanan Leo, membakar tubuh Balam saja tanpa melukai Leo. 

“Graaaaahhhhhh!” 

“Tidak akan kubiarkan kamu kabur...” 

Balam, yang berusaha kabur, mencengkeram lengan kanan Leo dengan sekuat tenaga, tapi Leo tak melepaskan cengkeramannya dan terus memperkuat api sucinya. 

Akhirnya Balam berhenti melawan, namun Leo terus membakar tubuhnya hingga benar-benar menjadi abu. 

“Haa... Haa...” 

Melihat abu itu melayang bersama angin, Leo mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. 

“Pangeran kedelapan Kekaisaran, Leonard Lakes Ardler, telah mengalahkan iblis!” 

Pada saat itu, para kesatria yang ada di tempat itu mengangkat sorak kemenangan. Lalu Leo menatap ke arah kota. 

“Aku serahkan padamu, Lynfia...” 

Dan pada saat itulah, bola hitam itu memancarkan cahaya yang sangat kuat.

 

Bagian 13

Lynfia dan rombongannya yang telah memasuki kota Bassau memandangi bola hitam yang melayang di langit serta lubang besar berwarna hitam yang terbentang di bawahnya. 

“Tak perlu dijelaskan lagi. Ini lubang yang menghubungkan ke dunia iblis, ya.” 

“Kita harus segera menutupnya.” 

Karena Balam telah memanggil monster dalam jumlah besar sekaligus, tidak akan ada lagi gelombang besar yang muncul. Namun, kerangka-kerangka masih terus keluar sedikit demi sedikit dari lubang itu. Jika dibiarkan, jumlah mereka hanya akan bertambah. 

“Jadi kita harus melakukan sesuatu pada bola hitam itu...” 

“Jika adikku ada di dalamnya, mungkin dia akan merespons saat aku memanggilnya.” 

“Masalahnya, bagaimana cara kita sampai ke sana.” 

Lize menatap bola hitam yang melayang di langit. Jaraknya terlalu tinggi untuk bisa dicapai dengan lompatan. 

Saat dia memikirkan hal itu, tiba-tiba sebuah serangan menghantamnya dari samping. Tubuhnya terpental jauh, namun dia berputar di udara dan mendarat. Namun, pedang yang dia genggam patah di tengah. 

“Hm, hanya dengan satu serangan saja begini hasilnya.” 

“Padahal aku berniat membunuhmu dengan serangan itu,” ujar Fulcas sambil mengayunkan pedangnya ringan. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya melihat ada dua manusia yang sanggup menahan serangannya, meski dirinya adalah tipe petarung murni. 

Namun, menahan serangan dan mampu bertarung adalah dua hal yang berbeda. 

Fulcas perlahan mendekati Lize, namun Lynfia dan para prajurit menghalangi jalannya. 

“Sebaiknya kalian menyingkir.” 

“Bagaimana denganmu sendiri? Bukankah akan jadi masalah jika kamu menyerangku?” 

“Tidak perlu khawatir. Sang pemanggilku kini telah terlelap dalam tidur yang dalam. Di dalam bola hitam yang kubuat itu.” 

“Jadi kamu yang telah melakukan ini pada adikku...!” 

“Menunjukku sebagai penyebab itu tidak adil. Gadis itu sendiri yang memanggil kami. Dalam keputusasaannya, dia meminta tolong kepada siapa saja, dan karena dia mencari tempat yang aman, maka kulindungi dia di dalam bola itu.” 

“Kamu menyebut itu perlindungan...!?” 

Iblis tidak bisa secara langsung menentang pemanggilnya. Namun, perintah yang diberi bisa ditafsirkan sesuka hati. 

Jika hanya diminta untuk menolong, maka bentuk pertolongannya bisa sangat beragam sesuai kehendak iblis. 

Karena itulah sihir pemanggilan iblis telah ditinggalkan. Dalam banyak kasus, iblis lebih licik dan cerdik dari manusia, sehingga tafsiran yang mereka lakukan sering kali menjerumuskan manusia. 

Lynfia tampak marah pada penjelasan Fulcas, namun dia tidak gegabah menyerang karena emosi. 

Saat Fulcas melangkah maju ke arah Lynfia, Silver tiba-tiba muncul dengan teleportasi di hadapan Lynfia. 

“Lawanmu adalah aku.” 

“Oh? Jadi kamu tinggalkan Balam begitu saja?” 

“Aku percaya Pangeran itu tidak akan kalah hanya karena itu.” 

“Jangan remehkan iblis.” 

“Perkataan yang sama bisa kukembalikan padamu. Jangan remehkan manusia.” 

Aura sihir dari keduanya meningkat tajam. 

Melihat hal itu, Lynfia dan yang lainnya segera mundur. Mereka sadar bahwa tetap berada di dekat pertempuran akan hanya menjadi penghalang. 

“Yang Mulia, apa Anda terluka?” 

“Tidak. Lebih penting, kita harus pikirkan bagaimana mencapai tempat itu.” 

Saat Lize mengucapkan hal itu, sebuah tangga yang terbuat dari penghalang sihir muncul di depan mereka. Tangga itu terbentang dengan sempurna hingga ke bola hitam di langit. 

“Pandai juga kamu ini, petualang bertopeng.” 

“Merupakan kehormatan mendapat pujian. Lynfia, pergilah. Itu juga salah satu jenis penghalang. Jika pemanggil di dalamnya terbangun, kita bisa berbuat sesuatu.” 

“Baik! Terima kasih, Silver!” 

Lynfia segera menaiki penghalang itu. Para skeleton mulai berkumpul untuk menghalanginya, namun Lize dan para prajurit membentuk formasi lingkaran. 

“Lindungi dengan nyawa kalian!” 

Di bawah komando Lize, skeleton-skeleton itu berhasil dihalau, namun jika terus menerus muncul, pertahanan mereka pasti akan ditembus suatu saat. 

Lynfia, yang menyadari itu, berlari sekuat tenaga. Dan saat itu, Fulcas muncul di hadapannya. 

“Kamu pikir aku akan membiarkanmu lewat?” 

“Tentu saja aku akan lewat.” 

Tanpa mengurangi kecepatan larinya, Lynfia terus maju. 

Untuk membantunya, berbagai sihir ditembakkan ke arah Fulcas. Fulcas menangkis semuanya dengan pedangnya, tapi salah satu sihir yang ditembakkan dari sisi lain mengenai punggungnya, membuatnya terlempar dari jalur Lynfia. 

“Tch!” 

“Sudah kubilang lawanmu adalah aku, bukan?” 

“Kalau begitu, sepertinya aku harus menghadapimu dulu.” 

Pertarungan antara mereka pun dimulai. 

Sementara itu, Lynfia akhirnya sampai di bola hitam itu. 

“Shinfa! Shinfaaaaa!!” 

Tak tahu harus berbuat apa, dia hanya terus meneriakkan nama adiknya. Tidak ada respons dari bola hitam itu. 

Dengan tekad bulat, Lynfia mengulurkan tangan kanannya ke arah bola tersebut. 

“Guh...” 

Listrik tajam menyambar lengannya. 

Namun, Lynfia tidak menyerah dan terus mendorong tangan kanannya ke dalam bola hitam itu. 

“Shinfa...! Ini aku...! Kakakmu di sini, Lynfia!” 

Sensasi pada tangan kanannya perlahan mati rasa karena listrik. 

Meski begitu, Lynfia tetap memaksa masuk lebih dalam, sedikit demi sedikit. 

Usahanya mulai membuahkan hasil, tangan kanannya mulai masuk ke dalam bola hitam. 

Namun, seolah mencoba menolak benda asing, sengatan listrik menjadi lebih kuat. 

“Uuuuh... Aaahh!” 

Sambil menahan rasa sakit, Lynfia menggigit bibir. 

Dia terus meyakinkan dirinya bahwa ini tidak sakit, bahwa dia baik-baik saja. 

“Maafkan aku... Karena tak bisa melindungimu, Shinfa... Tapi sekarang, semua sudah tak apa-apa... Kakakmu datang untuk menjemputmu...” 

Lynfia menyelamkan lengannya makin dalam. Dan ketika pundaknya masuk ke dalam bola hitam... 

Sebuah suara terdengar di dalam kepalanya. 

“Lyn...? Kakak...?” 

“Shinfa! Shinfa! Kamu di sana, ya!?” 

“Aku takut... Kakak...” 

“Tak apa... Kakak di sini bersamamu...” 

Namun, tak ada reaksi di ujung tangan kanan Lynfia. 

Dengan penuh harap agar adiknya juga mengulurkan tangan, Lynfia terus memanggil. 

“Semuanya baik-baik saja... Ayo pulang bersama...” 

“Tapi...” 

“Tak perlu takut... Kakak akan melindungimu...” 

“Orang-orang yang juga berusaha menolongku... Mereka mati... Kakak juga akan mati...” 

“Bicara apa kamu... Kakak tidak akan mati... Kakak punya banyak teman.” 

“Orang-orang itu... Orang dewasa itu teman kakak...?” 

“Ya... Mereka semua berkumpul untuk menolongmu, Shinfa...” 

“...Orang dewasa itu menakutkan...” 

Mendengar nada curiga yang berat itu, Lynfia menggertakkan gigi kuat-kuat. 

Sebelum pergi dari desa, adiknya adalah anak ceria dan ramah. Apa yang telah terjadi hingga membuatnya seperti ini? 

Apa yang telah dia biarkan menimpa adiknya? 

“...Maaf... Maafkan aku... Shinfa...” 

“Kakak... Kamu menangis...?” 

“Tidak... Aku tak apa-apa... Selama kamu selamat, itu sudah cukup... Tak akan ada yang menakutkan lagi... Kakak akan melindungimu dari semuanya... Tak peduli ada orang dewasa yang jahat...” 

“Benarkah...? Sungguh tidak menakutkan...? Kakak juga akan lindungi yang lain?” 

“Yang lain...? Ada anak lain juga? Mereka selamat?” 

“Ya...” 

“Jadi kamu melindungi mereka juga... Hebat sekali... Tak apa... Berapa pun jumlahnya, akan aku lindungi semuanya.” 

Sengatan listrik sama sekali tak berhenti. Tapi Lynfia tak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. 

Dia tak boleh membuat adiknya khawatir. 

Jika Shinfa merasa takut di sini, semuanya akan sia-sia. 

Begitu banyak orang telah membantunya. Dia tak sampai sejauh ini sendirian. 

Kalau dia menyerah hanya karena sengatan listrik, dia tak bisa menghadapi orang-orang yang telah membantunya. 

“Ulurkan tanganmu! Shinfa!” 

“Ya... Tapi Kakak, kamu di mana?” 

“Ulurkan tanganmu saja! Aku juga akan mengulurkan tanganku!” 

Lynfia pun mengulurkan tangan sejauh yang dia bisa. 

Dan akhirnya, sesuatu menyentuh ujung jarinya. 

Yakin itu tangan adiknya, Lynfia mencurahkan seluruh tekad dan menyelamkan tubuh bagian atasnya ke dalam bola hitam itu. 

Listrik mengaliri seluruh tubuhnya. Bahkan bernapas pun terasa mustahil. Namun, Lynfia tak peduli. Dia terus mengulurkan tangan. Karena sesuatu yang sangat berharga ada di depan matanya. 

Leo berkata dia akan menegakkan keinginannya. Dan Lynfia pun memegang tekad yang sama.

Tekad untuk tidak pernah mundur. Dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan, Linfia kembali mengulurkan tangan kanannya. 

Lalu, ujung jarinya kembali menyentuh sesuatu. Tanpa membiarkan kesempatan itu lewat, Lynfia meraihnya erat-erat dan menariknya dengan sekuat tenaga. 

Yang ditarik keluar dari dalam bola hitam itu adalah seorang gadis kecil berambut cokelat kemerahan. Matanya berwarna merah dan biru. 

“Ah... Shinfa...” 

“Kakak...” 

Tidak diragukan lagi, gadis yang berada di hadapannya adalah adiknya, Shinfa. 

Adik yang pernah dia janjikan akan dia lindungi. Adik yang gagal dia lindungi. Lynfia memeluknya erat-erat seolah takkan pernah melepaskannya lagi. Namun, momen itu tak bertahan lama. 

Karena Shinfa, pusat dari segala sesuatu, telah keluar dari bola hitam, permukaannya mulai retak. 

Lalu bola hitam itu memancarkan cahaya, dan lenyap. Begitu bola hitam lenyap, anak-anak yang berada di dalamnya pun mulai jatuh. 

“...!”

Lynfia melompat turun sambil berteriak keras. 

“Silveeeeer!!!” 

Sambil berteriak, Lynfia berusaha menarik anak-anak mendekat sebanyak mungkin. Tapi tangannya tak cukup banyak. 

Lize dan yang lain di bawah mulai bergerak setelah menyadari apa yang terjadi, tapi mereka tak akan sempat. Jika dibiarkan, anak-anak akan jatuh ke lubang besar yang menghubungkan ke dunia iblis. 

Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba muncul seekor elang perak raksasa di hadapan Lynfia dan anak-anak. 

Elang itu menampung Lynfia dan anak-anak yang terjatuh di punggungnya, lalu mengepakkan sayapnya dengan kuat. 

“Waaah... Burungnya cantik sekali...” 

“Ini...” 

“Itu elang buatan dari sihir. Sebenarnya, aku ingin bisa memanggil makhluk sungguhan, tapi ya...” 

Sambil berkata demikian, Silver muncul di sisi elang perak dan terbang sejajar dengannya. 

Silver melirik Lynfia, Shinfa yang masih memeluknya erat, dan anak-anak lain yang tak sadarkan diri, lalu tersenyum ringan. 

“Kamu hebat. Serahkan sisanya padaku.” 

“Ya... Aku serahkan padamu.” 

“Kakak... Burung ini namanya siapa?” 

“Namanya? Hmm, belum ada. Kamu yang beri nama, ya.” 

“Benarkah? Hmmm, aku pikir dulu, ya.” 

Melihat ekspresi Shinfa yang polos dan menggemaskan, Silver tersenyum. Tapi di saat yang sama, dia menangkis serangan yang datang dengan penghalang sihir. Di belakangnya, Fulcas berdiri, wajahnya penuh amarah. 

“Tak akan kuampuni... Berani-beraninya kalian mengacaukan rencanaku...!” 

“Tak akan kuampuni? Itu seharusnya kata-kataku. Jangan pikir kamu bisa mati dengan tenang.” 

“Jangan membual. Aku sudah tahu kekuatanmu. Kamu tidak sebanding denganku.” 

“Begitu ya... Kalau begitu, silakan buktikan.” 

Begitu kata-kata itu diucapkan, kekuatan sihir Silver melonjak, lebih besar dan kuat dari sebelumnya. 

Melihat itu, Lynfia segera menyadari. 

Bahwa sejak tadi, demi menghindari memengaruhi sekitar, Silver belum bertarung dengan kekuatan penuh. 

Dan bahwa, baru sekarang, Silver akan menunjukkan kekuatannya yang sebenarnya.

 

Bagian 14

“Jangan membual. Aku sudah tahu kekuatanmu. Kamu tidak sebanding denganku.” 

Fulcas menatapku dengan pandangan merendahkan.

Mungkin dia merasa tak ada kemungkinan untuk kalah dari pertarungan sebelumnya. Memang benar, sejauh ini aku belum berhasil memberikan luka berarti padanya. Begitu pula Fulcas, dia juga belum berhasil melukaiku. Tapi jelas terlihat bahwa Fulcas belum mengerahkan seluruh kekuatannya.

Mungkin dia sengaja menyimpan tenaganya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau harus melawan pemanggilnya. 

Namun, bukan hanya dia yang belum mengerahkan kekuatan penuh, aku juga begitu.

“Begitu ya... Kalau begitu, silakan buktikan.” 

Aku melepaskan kekuatan sihir yang selama ini kutahan. Aku tidak ingin menakuti adik perempuan Lynfia, jadi aku belum menunjukkan kekuatanku yang sesungguhnya sampai sekarang. Tapi dia sudah selamat. Tak perlu menahan diri lagi. 

“Jangan paksa aku mengulangnya. Kekuatanmu... Tidak akan menandingi...”

“Ada apa? Kalau aku tidak bisa menandingimu, serang saja.” 

Sepertinya Fulcas juga mulai melepaskan kekuatannya, tapi paling-paling hanya dua kali lipat dari sebelumnya.

Sementara kekuatanku, lebih dari sepuluh kali lipat dari tadi.

Konsentrasi sihir yang begitu padat hingga bisa terlihat oleh mata. Sudah lama sekali sejak aku mengerahkan kekuatan sebesar ini. Karena kalau terlalu serius, sulit menghindari korban di sekitarnya. 

“Kali ini kebetulan tidak banyak manusia yang harus kujaga, jadi aku bisa sedikit serius.” 

“Sedikit, katamu? Padahal ada ribuan manusia di bawah sana!” 

“Kalau dibandingkan dengan kota Keer atau Albatro, jumlah itu termasuk sedikit.” 

Beberapa penghalang penyembuh seperti yang kupasang di Keer juga kugunakan di sini. Karena penduduknya tidak terlalu padat, aku bisa menyempitkan jangkauan sihirku.

Aku juga tidak perlu terlalu memikirkan bangunan di sekitar. Sebagai medan tempur, tempat ini cukup memadai. 

Fulcas menggertakkan gigi dan mengangkat pedangnya.

“Sehebat apa pun kekuatanmu, kalau tidak bisa digunakan dengan baik, tak ada artinya!” 

Sambil berkata demikian, Fulcas melesat ke arahku dengan kecepatan tinggi.

Penyihir memang lemah dalam pertarungan jarak dekat. Dia pasti menyadarinya dan mencoba memanfaatkannya. Memang benar, aku tidak bisa menggunakan senjata. Dan teknik bela diriku di bawah rata-rata. Bahkan setelah menjadi Silver, itu tidak berubah.

Sekuat apa pun kemampuan fisik ditingkatkan, bakat bela diri tidak akan ikut naik. 

Kalau begitu, aku hanya perlu menggunakan cara bertarung yang tidak memerlukan teknik bela diri. 

“Ini dia!!” 

Fulcas menyerang dari sisi kiri, memasuki jarak serang.

Aku memiringkan tubuh dan berpindah tempat seketika. Lokasiku kini berada di atas kota, jauh dari Fulcas.

Dari sana, aku mengarahkan tangan kananku ke arahnya dan berbisik. 

“Menyemburlah, Bloody Lightning.”  

Petir besar, gelap sehitam darah, melesat lurus ke arah Fulcas.

Fulcas buru-buru menangkisnya dengan pedang, namun tak bisa sepenuhnya menahan serangan itu dan terpental jauh. 

“Uwooooooo!!” 

Dia berhasil menepis petir darah itu ke atas, tapi tubuhnya mengalami luka bakar yang parah. Andai dia manusia, mungkin sudah tidak bisa bergerak. Tapi luka itu sembuh dalam sekejap. Kelihatannya sisi keiblisannya lebih dominan dibanding Balam. 

“Bagaimana? Sudah lebih mengerti kekuatanku?” 

“Jangan sombong!” 

Fulcas menciptakan lima pedang raksasa, masing-masing sepanjang beberapa meter, lalu melemparkannya ke arahku. Pedang-pedang itu terbang dengan kecepatan tinggi, bagaikan burung buas yang kelaparan.

Mereka menyerang dalam koordinasi yang rapi, menyudutkanku.

Aku mencoba menghindar dengan terbang, tapi begitu lolos dari satu pedang, yang lain menyerang dari sudut butaku. 

Sementara aku sibuk menghadapi pedang-pedang itu, Fulcas telah mendekat dari bawahku. 

“Tak bisa berpindah sekarang, bukan!?” 

“Jangan remehkan aku.” 

Aku menjebak pedang-pedang itu dalam penghalang dan menghentikan geraknya. Kemudian, saat Fulcas menerjang secara langsung tanpa pola, aku menyambutnya dengan pukulan kanan yang lurus. Tinju itu berbentuk tangan raksasa transparan, dan menghantam Fulcas yang masih berjarak cukup jauh. 

“Guoooh!” 

Itu adalah bentuk lanjutan dari sihir Magic Hand , dengan menciptakan tangan atau kaki khayalan.

Fulcas terhempas ke tanah karena pukulan sihir itu. Tubuhnya memantul tinggi, dan aku menghantamnya dengan gerakan menendang. Tendangan rendah yang bahkan Elna akan bilang tak punya gaya, tapi cukup untuk melemparkannya jauh. 

Kaki raksasa tercipta, menghantam Fulcas ke samping. 

“Guuh! Kuh! Uwooooooo!”

Fulcas mencoba menghentikan tubuhnya dengan menancapkan pedang ke tanah, meski terus membentur tanah berkali-kali. Namun justru saat berhenti, dia menjadi sasaran serangan berikutnya. 

“Raja Bumi, hukum mereka yang congkak. Earthquake!” 

Tanah tempat Fulcas mendarat mulai terangkat, membentuk tombak-tombak raksasa dari batu dan menyerangnya. Fulcas mencoba melarikan diri ke udara, namun tombak-tombak itu terus bertambah dan memanjang sampai akhirnya berhasil menangkapnya. 

“Sial! Sihirmu merepotkan semua!!” 

Menyadari tiada akhirnya, Fulcas melapisi pedangnya dengan kegelapan dan melepaskannya dalam satu tebasan kuat.

Tombak-tombak batu itu hancur berkeping-keping dan kembali menjadi tanah. 

“Haa... Haa...” 

“Kamu terlihat lelah. Mau istirahat sebentar?” 

“Kenapa...? Kenapa kamu tidak bertarung dengan serius sejak awal?” 

“Kalau aku bertarung serius dari awal, pemanggilmu akan ketakutan.” 

“Itu saja...? Hanya karena itu kamu menahan diri!?” 

Fulcas menatapku dengan mata membelalak, seolah tak percaya. Wajar saja. 

Aku selalu bergerak demi hasil terbaik. Ada yang mencela prinsipku. Aku pernah bertarung di tempat yang tak menguntungkan demi satu desa. Aku pernah memperpanjang pertempuran demi satu orang. 

Banyak yang bilang korbankan saja. Itu pengorbanan yang tak terhindarkan, kata mereka. Tapi, bagaimana kalau pengorbanan itu justru berujung lebih banyak korban? Mungkin itu pendapat yang masuk akal. Tapi aku tidak punya kewajiban untuk mengikutinya. 

“Itu saja alasannya. Ada yang bilang, orang kuat punya tanggung jawab. Bagiku, itu omong kosong. Tapi memang ada benarnya. Kalau bisa membantu, maka harus dilakukan.

“Sayangnya, aku juga manusia. Aku tak bisa menolong semua orang. Karena itu, aku memilih untuk melindungi mereka yang bisa kujangkau, dengan sepenuh hati. Meski aku harus mengambil risiko, meski aku dianggap bodoh. Itulah prinsipku sebagai seorang petualang.” 

“Aku tidak bisa memahami itu... Yang kuatlah yang benar! Itulah hukum dunia iblis!” 

“Itu di dunia iblis. Tapi ini dunia manusia. Dunia ini punya aturannya sendiri.” 

“Dan aturan itu dibuat oleh yang kuat, bukan!?” 

“Benar. Dan yang terkuat di sini adalah aku. Maka di sini, akulah aturannya.” 

“Jangan bercanda!!!!” 

Fulcas yang marah, melapisi pedangnya dengan kegelapan yang lebih pekat lagi.

Lalu dia mengayunkannya ke arahku. Sebagai iblis, dia tak bisa membiarkanku melecehkan martabatnya. Harga diri seorang iblis tidak membiarkan dirinya untuk direndahkan oleh seorang manusia.

Tapi kenyataan tetaplah kenyataan. Tebasan gelap Fulcas dihentikan oleh penghalang yang telah kusiapkan. Penghalang itu mampu menyerap serangan musuh. 

“Sejak kamu dipanggil, kamu seharusnya tahu diri dan pergi. Mendirikan markas di sini dan berencana membawa iblis lain, itu kesombonganmu.” 

“Yang paling sombong di sini adalah kamu!” 

“Aku tidak menyangkalnya.” 

Fulcas terus menambah kekuatan serangannya, berusaha menghancurkan penghalang. Tapi penghalang ini bukan sesuatu yang mudah dihancurkan. Seharusnya dia tahu bahwa saat aku sudah bersiap, menembus langsung bukanlah pilihan yang bijak. Fulcas menatapku dengan penuh amarah, tapi aku tak peduli. 

Bukan hanya dia yang melihatku. Banyak orang menyaksikannya.

Sang petualang peringkat SS, Silver. 

“Petualang SS berbeda dari yang lain. Semua orang berharap, ‘Kalau saja Silver yang turun tangan.’ Dan aku harus menjadi sosok yang pantas atas harapan itu. Hari ini, calon kaisar masa depan memintaku menunjukkan kesungguhanku. Meminta bantuanku demi mewujudkan tekadnya. Aku harus membalas tekad itu dengan layak.” 

Aku mengubah seluruh energi yang telah kuserap menjadi sihir, mulai mempersiapkan mantra besar. Fulcas mencoba menghalangiku, tapi rantai muncul dan mengikat tubuhnya. 

“Apa ini...!?” 

“Tetap di situ. Mantra ini butuh waktu.” 

Kapan terakhir kali aku menggunakan sihir ini? Sejak perebutan takhta dimulai, aku sibuk mendorong Leo dari balik bayangan. Semakin banyak hal yang harus kulindungi, semakin banyak pula tugas yang harus kulakukan. Tak lagi bisa fokus hanya pada pertarungan. 

Dulu semuanya lebih mudah. Bertarung sendirian, mengalahkan musuh kuat. Sederhana dan jelas. Saat aku bertarung sebagai Silver, semuanya terasa mudah. 

Tapi aku telah memutuskan untuk mendukung Leo. Dan Leo membuktikan bahwa pilihanku tidak salah. Dia tumbuh menjadi sosok yang mendekati ideal seorang kaisar. Suatu hari, dia akan menjadi pemimpin yang dipuji semua orang. Dia menunjukkan bahwa harapan itu nyata. 

Karena itu, aku tidak boleh terus berada dalam zona nyaman. Sekarang saatnya untuk mengingatkan semua orang, bahwa Silver adalah sosok yang layak ditakuti. 

“Aku adalah pemilik hukum perak. Aku adalah yang terpilih oleh kebenaran sejati perak.” 

Aku disebut Silver karena topeng perak yang kukenakan.

Tapi bukan itu alasan sebenarnya aku memakai nama Silver. 

“Bintang Perak datang dari lautan bintang, menerangi bumi dan membuat langit gentar.” 

Sihir kuno memiliki beberapa kategori. Di antara itu, ada jenis sihir paling kuat.

Ada sihir yang paling kukuasai. Namanya adalah Sihir Perak Pemusnah. Sihir yang kugunakan saat mengalahkan naga purba. Sihir pertama yang kugunakan sebagai petualang. Dan juga simbol keberadaanku sebagai Silver. 

“Kilau peraknya adalah kebenaran para dewa, gemerlap cahanya adalah berkah dari langit.” 

Saat memutuskan menjadi petualang, aku mengalahkan naga purba yang berkeliaran di dekat kekaisaran, dan mendatangi markas guild dengan kepala naga itu sebagai persembahan.

Meski aku bahkan belum terdaftar sebagai petualang, para petualang dari pasukan penakluk melaporkan pencapaianku, dan aku ditunjuk sebagai petualang peringkat SS sebagai pengecualian. 

“Kilatan perak sekejap. Benderang perak abadi.” 

Nama Silver diberikan padaku saat itu. Bisa dibilang, nama itu lebih mirip dengan julukan kehormatan.

Nama Silver bukan sekadar hiasan. 

“Cahaya perak, bersemayamlah di tanganku, untuk membinasakan yang congkak...” 

Di antara kedua telapak tanganku, muncul bola perak yang memancarkan cahaya yang begitu kuat. Merasa kekuatan luar biasa terpancar dari bola itu, Fulcas memaksakan diri melepaskan diri dari rantai kutukan dan bersiap untuk menghadapi serangan. 

Memang hebat. Hanya dari keberhasilannya lolos dari rantai kutukan saja sudah cukup membuktikan bahwa kekuatannya jauh melebihi para vampir yang pernah digolongkan sebagai monster peringkat S bersama. Tapi semuanya sudah terlambat. 

Cahaya perak kini telah berada di tanganku. 

“Silvery Ray.” 

Begitu aku meremukkan bola perak itu, bola cahaya raksasa muncul mengelilingiku.

Saat cahaya itu membidik Fulcas, ia melepaskan sinar perak yang memancar ke arahnya. 

“Uwooooooo!” 

Fulcas membalas serangan itu dengan kekuatan terbesarnya, mencoba menetralkan serangan tersebut.

Setelah pertarungan sengit yang berlangsung cukup lama, Fulcas akhirnya berhasil menetralkannya. 

“Lihat itu! Sihir terkuatmu...”

Namun, Fulcas yang sempat merasa percaya diri itu langsung kehilangan kata-katanya.

Di belakangku, tujuh bola cahaya telah muncul. Masing-masing menembakkan sinar perak yang sama ke arah monster-monster yang masih berada di bawah. Pemandangan itu mungkin terlihat seperti dewa yang sedang menjatuhkan hukuman ilahi. 

Silvery Ray adalah sihir pemusnah dengan jangkauan luas. Bola-bola cahaya itu secara otomatis membasmi siapa pun yang aku anggap sebagai musuh. Sayangnya, yang berhasil dinetralkan oleh Fulcas hanyalah satu tembakan yang telah menyebar. 

“Tidak mungkin...”

Para monster yang jumlahnya begitu banyak tadi, semuanya lenyap. Tinggal Fulcas seorang diri yang tersisa. Aku menggunakan rantai kutukan lagi untuk mengekangnya, lalu membawanya ke atas lubang besar di tengah kota. Bersamaan dengan itu, ketujuh bola cahaya mengarahkan serangannya langsung ke Fulcas. 

“Siapa kamu sebenarnya...?”

“Petualang peringkat SS, Silver. Kalau kamu bisa selamat dan kembali ke dunia iblis, pastikan kamu menyebarkan berita ini. Bahwa di permukaan bumi ini ada orang gila sepertiku.” 

“Bajingan...!” 

“Ini hadiah dariku. Kalian sudah repot-repot datang beramai-ramai. Akan menyedihkan kalau kalian pergi tanpa sempat menyaksikan cahaya ini.” 

Sambil berkata begitu, aku mengangkat tangan kananku. Begitu kuturunkan tangan ini, tujuh bola cahaya akan melepaskan sinar peraknya secara serempak. 

Fulcas tampaknya menyadari itu dan berteriak untuk menghentikanku. 

“T-Tunggu dulu...!”

“Aku tidak akan menunggu.” 

Dengan itu, aku menjatuhkan tanganku. 

Bola-bola cahaya bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan sinar perak yang terkonsentrasi ditembakkan. Itu adalah sinar yang begitu indah dan terang benderang, bagaikan cahaya bintang di langit. Dalam sekejap, sinar itu melahap Fulcas, lalu menembus ke dalam lubang, menyapu bersih para monster dan iblis yang tengah bergerak menuju ke arah ini. 

Cahaya itu menyusut, menyesuaikan dengan mengecilnya lubang, lalu perlahan aku mengepalkan tangan. Saat tinjuku menggenggam rapat, pancaran cahaya berhenti, dan lubang itu sepenuhnya tertutup. 

Dengan Silvery Ray, semua monster telah dimusnahkan. Para iblis juga telah lenyap.

Anak-anak yang terperangkap dalam bola hitam juga berhasil kuselamatkan. Kesatria dan petualang yang ada di medan pertempuran juga kuselamatkan sebisa mungkin. Hasilnya bisa dibilang memuaskan. 

Karena itu, aku menyatakan kepada semua petualang.

“Target monster telah berhasil ditaklukkan! Gangguan di wilayah selatan ini akan segera berakhir! Maka dengan ini, aku menyatakan keberhasilan misi penyerbuan Bantuan Camar Biru! Ini adalah kemenangan kita!!” 

Seakan telah menanti momen itu, para petualang langsung bersorak. Para kesatria pun mengangkat pedang tinggi-tinggi dan mengeluarkan pekikan kemenangan. Akhirnya, semua orang mengangkat tangan dan merayakan kemenangan. 

Dengan ini, krisis yang nyaris mengguncang kekaisaran dari wilayah selatan telah diselesaikan.

Masih banyak hal yang harus dilakukan. Penanganan pasca perang juga akan menyita waktu. Namun, untuk saat ini, biarkan kita merayakan kemenangan ini. 

Karena lebih dari sekadar menang, ada sesuatu yang jauh lebih berharga. 

Apa yang telah kami capai sangatlah besar. Leo kini adalah pahlawan. Dan wilayah selatan akan menerima penyelidikan langsung dari sang kaisar. 

“Mungkin sudah waktunya untuk memulai serangan balik.” 

Sambil bergumam begitu, aku mulai menciptakan gerbang teleportasi untuk memulangkan para petualang dari ibu kota kekaisaran.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close