NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yome ni Uwaki Saretara, Daigaku Jidai ni Modotte Kimashita! V1 Epilog & Kata Penutup

Penerjemah: Randika Rabbani

Proffreader: Randika Rabbani

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


Epilog - Gigitan Pertama


(Sudut Pandang Ririse)

Bangun tidur rasanya paling buruk. Kurasa karena aku mikirin hal bodoh sebelum tidur.

Bukan sesuatu yang akudapat dari orang lain, tapi karena aku berpikir dan hidup sendiri, makanya aku ngerasain perasaan nggak menyenangkan ini.

"Haa. Latihan pagi merepotkan sekali..."

Klub pemandu sorak sedang latihan untuk mendukung pertandingan bisbol Lima Universitas Tokyo yang akan segera diadakan. Bagi klub pemandu sorak, ini salah satu ajang pamer yang besar.

"Tapi universitas kita kan pasti kalah. Kenapa juga harus mendukung ya."

Bahkan untuk basa-basi pun, universitas kami tidak kuat dalam olahraga. Berbeda dengan universitas swasta, tidak ada jalur rekomendasi olahraga atau semacamnya, terus terang menurutku lemah. Tapi tetap harus ngedukung. Aku nggak bisa nemuin artinya. 

Aku mulai ikut pemandu sorak sejak SMA. Awalnya karena nggak ada kerjaan, jadi aku mulai setelah berkonsultasi dan disarankan oleh Hiroto. Waktu itu Hiroto main sepak bola, jadi ada artinya juga untuk mendukung. 

Tapi sekarang gimana ya? Kalau aku ikut latihan, semua orang memang memujiku sih, tapi.

『Sebentar lagi kereta akan tiba di peron. Mohon berdiri di belakang garis putih...』

Stasiun terdekat rumahku adalah Kichijoji. Aku juga bilang pada semua orang di kampus kalau asalku dari Kichijoji. Tepatnya sih aku tinggal di kota di Distrik Nerima yang paling dekat dengan Kichijoji, tapi kalau Tokyo Disneyland yang ada di Chiba saja dibolehkan (mengaku Tokyo), masa aku begini saja nggak boleh. 

Semua orang berbohong sedikit demi sedikit. Hiroto juga begitu. Akhir-akhir ini malah parah. Aku yakin dia lagi ngelakuin sesuatu yang gawat kalau sampai ketahuan. Tapi aku juga bisa bayangin diriku yang pasti akan membiarkannya begitu aja. Sekalipun dia melakukan kesalahan, dibandingkan dengan kesalahanku, apa yang dilakukan Hiroto pasti nggak seberapa. Begitu pikirku. 

Aku pun duduk di kursi kereta, memikirkan hal-hal tidak penting dengan pikiran kosong.

『Stasiun Shimokitazawa. Untuk transit silakan...』

Saat kusadar, aku sudah dekat dengan kampus. Rasanya ingin terus tenggelam dalam pikiran begini sampai ke stasiun akhir saja. Aku ingin terbawa arus tanpa berpikir apa-apa. Karena kalau terbawa arus, hukumannya pasti akan terasa lebih ringan.

"Ara? Ara ara ara!? Ini kan, ini kan!"

Terdengar suara yang sangat jelas. Saat aku mengangkat wajah, di sana ada seorang gadis asing berambut pirang bermata biru. Dia mengintip wajahku dengan penuh minat. 

Wajah gadis pirang itu rasanya mirip dengan orang-orang Latin yang pernah aku lihat di TV. Tapi ras tidak penting. Aku tidak kenal orang ini.

"Sorry, I can't remember you. Who are you? You had......" (Maaf, aku tidak ingat kamu. Kamu siapa? Kamu punya......) aku bilang begitu.

Karena ini mendadak, jujur aku tidak yakin dengan ungkapan bahasa Inggrisku. Kuharap dia mengerti, tapi gadis pirang itu malah menjawabku dengan bahasa Jepang yang lancar.

"Hentikan dong. Jangan bicara pakai bahasa Inggris. Aku nggak suka tahu. Sikap sok pinter begitu. Diperlakukan seolah punya pemahaman pada orang asing begitu cuma bikin kesel aja."

"Haa..… Eeetto. Aku tidak kenal Anda jadi.…. agak bingung."

Gadis pirang itu duduk di sebelahku. Dia tersenyum genit. Jujur saja, entah kenapa aku jadi kesal sekali pada anak ini.

"Araa? Waah dingin banget ya nona ini! Fufufu. Aku Ayashiro. Itu lho. Yang waktu upacara masuk ada di sebelah Tokiwa."

"...Eh? Kamu yang waktu itu? Eh? Wajahmu nggak beda ya? Eee?"

Kalau dibilang begitu, rasanya memang mirip. Aku kadang melihat gadis pirang itu bersama Tokiwa-kun di dalam kampus. Memikirkan itu entah kenapa rasa kesalku malah bertambah.

"Pagi sekali ya? Mau ke klub? Pemandu sorak ya? Karena pertandingan bisbol udah dekat?"

"Iya sih. Kamu sendiri ada apa?"

"Pagi ini aku ada janji sama profesor. Makanya berang-kat lebih awal sekalian persiapan."

"Gitu ya. Tapi kenapa pakai jersey? Biasanya kan kamu pakai baju bagus. Lagipula ukurannya tidak pas."

Ayashiro-san memakai jaket jersey. Mungkin ukurannya tidak pas, terlihat kebesaran. Kedua tangannya tenggelam dalam lengan baju. Kedua kakinya digulung sampai lutut.

"Hm? Ini? Kemarin aku nginep di rumahnya Tokiwa. Karena nggak ada baju jadi aku pinjam ini. Katanya sih ini jersey waktu SMA!"

"...Ee? ...e... Bohong..."

Tiba-tiba aku merasakan sensasi sesak di dada. Suaraku juga tidak bisa keluar dengan lancar.

"Iyaa kemarin seru lho! Berisik banget! Ufufu."

Berisik banget. Aku tidak mau memikirkan arti kata itu. Aku kan juga bukan anak kecil lagi. Aku bukannya tidak tahu apa artinya hubungan sampai menginap dan meminjam baju. 

Teman-temanku juga banyak yang punya pacar setelah masuk kuliah. Bahkan ada juga yang sudah pernah seks. 

Waktu itu aku tidak berpikir apa-apa. Aku belum pernah punya pengalaman seperti itu, dan itu di luar bayanganku. Tapi hari ini kata-kata itu terdengar sangat nyata dan kasar.

"Lihat lihat! Hora hora! Dia tidurnya gini lho! Imut kan! Ufufu."

Ayashiro-san menunjukkan smartphone-nya padaku. Di sana terpampang foto wajah tidur Tokiwa-kun. Tidur pulas seperti anak kecil. Melihat itu hatiku sedikit tenang dan hangat. Imutnya, pikirku. Tapi perasaan itu langsung lenyap. Ayashiro-san menggeser layar smartphone-nya dengan jari dan foto berikutnya muncul. Ayashiro-san mencium pipi Tokiwa-kun yang imut itu. Aku langsung membuang muka.

"Ara? Kok reaksimu polos sekali! Lucu ya, kamu. Ufufu. Hal seperti ini biasa kok kalau udah mahasiswa. Bi-a-sa lho! Fufufu."

Wajah Ayashiro-san yang tersenyum genit terlihat sangat menyebalkan.

"Foto seperti ini apa maksudnya? Aku dan Tokiwa-kun kan cuma teman biasa satu jurusan. Dilihatkan begini aku jadi bingung."

Aku sadar suaraku jadi dingin secara alami. Wajahku juga terasa kaku. Tapi Ayashiro-san sama sekali tidak terpengaruh. Malah terlihat senang.

"Ara ara? Gitu ya? Maaf ya. Aku agak kelewatan goda kamu ya. Tenang aja. Kami cuma minum-minum biasa kok! Minum di rumah gitu!"

"Minum di rumah? Cuma minum aja? Beneran?"

"Fufufu. Iya kok. Cuma minum alkohol sambil heboh nggak jelas aja. Itu aja kok. Hal yang kamu harapkan itu sama sekali nggak terjadi kok! Ahaha!"

Ayashiro-san tertawa lepas seolah benar-benar senang. Apa dia sengaja menggodaku? Padahal aku dan Tokiwa-kun hanya teman biasa saja, dan hubungan kami akan berakhir sebagai teman biasa saja. 

Tidak mungkin ada kelanjutannya. Tapi. Kenapa. Aku menyentuh wajahku. Terasa lembut. Lagipula kenapa rasanya panas begini.

"Bagus ya. Muka itu. Bagus sekali. Betul. Ungkapan perasaan yang jujur itulah yang ngebuat orang jadi indah. Kalau denganmu, aku mau kok 3P bareng Tokiwa."

San-pi? Apa ya itu? Game atau apa? Melakukan sesuatu bertiga dengan Tokiwa-kun dan anak ini? Tapi bagaimanapun juga, melakukan sesuatu dengan Tokiwa-kun sih terserah. Tapi aku tidak mau melakukan sesuatu bersama anak ini.

"Aku nggak mau. Aku nggak mau melakukan apa pun bersamamu."

"Ara sayang sekali. Ditolak deh."

Lalu kereta tiba di Stasiun Komaba Koudai Mae. Aku melewati gerbang tiket dan keluar di depan pintu masuk kampus. Saat itu Ayashiro-san tiba-tiba bergumam.

"Dia masih tidur. Makanya nanti dia datang belakangan. Dia kan rajin, jadi mungkin sebelum jam kuliah kedua mulai, dia udah datang? Ke sini."

"Terus kenapa?"

Aku tidak mengerti apa yang ingin dikatakan anak ini. Memangnya kenapa kalau Tokiwa-kun nanti datang ke sini.

"Itu terserah kamu yang memutuskan. Apa makna yang ingin kamu berikan? Dan bagaimana kamu akan bertindak? Itu kebebasanmu."

Hanya berkata begitu, Ayashiro-san pun berjalan dengan gagah menghilang ke dalam kampus. Aku ditinggal sendirian di depan stasiun.

"Harus pergi latihan..."

Aku membawa tas olahraga dan hendak menuju kampus. Tapi sebelum itu, kios lotre menarik perhatianku.

"...Iya juga. Aku harus beli lotre seperti biasa. Un. Harus coba peruntungan. Ramalan nasib hari ini kan penting."

Aku memutuskan untuk membeli lotre. Terlambat untuk latihan klub pemandu sorak pun tidak masalah. Mungkin ada hal yang lebih penting dari itu. Sekarang, di sini.



(Sudut Pandang Kanahisa)

Menurutku kenikmatan jadi mahasiswa itu adalah kuliah mulai jam kedua. Pagi yang lumayan santai begini benar-benar yang terbaik. Yah, aku benci terlambat sih, dan kuliah di universitas pada dasarnya menarik, jadi aku tetap berangkat pagi.

"Aah~ Kebanyakan minum jadi malas~ ! Beneran terlalu heboh semalam~!"

Aku keluar stasiun sambil mengeluarkan suara yang entah seperti mahasiswa atau seperti protagonis light novel. Lalu saat aku hendak berjalan menuju kampus. Tiba-tiba aku melihat kios lotre. Dan di sampingnya, entah kenapa aku melihat sosok 'istri'-ku.

"Fa!? Eh? Eh? Apa? Eeeh?"

Manusia kalau terlalu kaget suaranya bisa terjadi error. Habisnya tidak masuk akal. Bagaimana bisa 'istri'-ku duduk di atas tas olahraganya persis di sebelah konter kios lotre sambil membaca buku. Di dunia sebelumnya aku memang beberapa kali melihat kelakuan aneh 'istri'-ku yang sudah jadi ceroboh, tapi yang hari ini lumayan aneh.

Rasanya tidak boleh kuabaikan begitu saja. Kenyataan-nya mahasiswa lain yang lewat menatapnya dengan curiga, dan bibi penjaga kios lotre juga terlihat terganggu. Aku pun membulatkan tekad, mendekati kios lotre, dan menyapa 'istri'-ku.

"Sedang apa di sini...?"

"Ah... selamat pagi... Tokiwa-kun."

'Istri'-ku yang mengangkat wajahnya menutup buku desain arsitektur yang dibacanya dan meletakkannya di atas lutut.

"Akting Tokiwa-kun tempo hari, payah banget ya."

Tiba-tiba dia mengatakan hal yang kurang ajar, sambil tersenyum lembut.

"Haa? Tiba-tiba ngomong apa? Lagian kenapa kau ada di tempat begini?"

"Habisnya aku mau beli lotre."

Sama sekali tidak mengerti. Aku tidak paham apa yang dikatakan wanita ini. 'Istri'-ku pun berdiri.

"Ngomong-ngomong ya. Aku kan belum sempat makan di kantin mahal itu. Kan waktu itu nggak jadi pergi gara-gara Tokiwa-kun menolak? Padahal aku ingin sekali ke sana."

"Jangan seenaknya menyalahkanku. Tempat seperti itu kan bisa didatangi kapan saja."

"Masa sih? Apa bisa pergi kapan aja ya? Aku rasa nggak begitu. Menu di sana kan mahal.….. Rintangannya sangat tinggi... bagiku..."

'Istri'-ku terlihat agak gelisah. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Sikapnya yang seperti ini tidak berubah dari dulu. 'Istri'-ku yang kukenal di masa lalu.

"Begitu ya. Hmm. Ya. benar. ...Yah memang agak mahal sih ya. Wajar kalau merasa enggan."

Aku memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan. 'Istri'-ku biasanya cerewet, tapi kadang ada saatnya dia terlihat sulit mengatakan sesuatu seperti ini. Itu bisa jadi hal penting, atau mungkin hal sepele tapi memalukan. Aku tidak boleh melewatkannya. Jadi aku harus memancingnya agar dia bisa mengatakannya, dan menunggunya dengan sabar.

"Iya! Ah bener juga! Rasanya agak enggan gitu! Maka-nya! Aku punya ide bagus! Kita berdua tarik lotre yuk! Nanti yang menang traktir pakai uang itu! Gimana? ...Menurutmu bagus nggak...?"

Dia berkata begitu sambil tersenyum agak memelas dan penuh harap. Ini wajah yang tidak kukenal. Ah, dia menun-jukkan wajah yang tidak kukenal. 

Aku baru menyadarinya sekarang.... Aku memejamkan mata. Membayangkan sosok 'istri'-ku di masa lalu, saat kami bersama. 

Banyak hal yang sama. Dan ada juga hal yang berbeda. 

Tapi hari ini aku menyadarinya dengan jelas.

Yang ada di depanku saat ini, meskipun sama, adalah gadis yang baru kutemui.

Benar. 

Begitulah adanya. Dunia ini sudah terputar kembali.

Aku tidak bisa memaafkan dosanya,

Makanya aku memberikan hukuman yang keterlaluan,

Lalu aku menanggung dosa baru,

Dan semua kenangan indah yang kuhabiskan bersamanya telah lenyap dari dunia ini.

Di dunia baru ini sudah tidak ada lagi kenangan yang kuhabiskan bersama Ririse.

Ingatan dicintai dan buktinya, sudah tidak ada di mana pun.

Begitu ya.

Memutar kembali waktu dan mengulanginya,

Semua kenangan hanya ada di dalam hatiku,


Itulah hukuman untukku.


"Kamu kenapa? Kamu merasa nggak enak badan? Nggak apa-apa?"

Igarashi Ririse mengintip wajahku, lalu mengelus pipiku. Tangannya lembut. Sentuhan tangannya yang kukenal baik, namun terasa asing entah kenapa.

"Aku, bilang hal aneh ya. Maaf ya. Lupain aja yang aku katakan tadi..."

"Tidak. Tidak akan lupa. Aku tidak mungkin bisa lupa. Boleh kok. Ayo lakukan."

Aku membeli dua lembar lotre gosok dari bibi di konter. Lalu menyodorkannya di depan Igarashi.

(TL/N : Baru sampe sini MC di narasi nya nyebut ni mantan istrinya pake "Igarashi", sebelum-sebelumnya pakai "istri" kan? Artinya dari sini ni MC udah ngakuin ni mantan istrinya udah jadi orang baru dan udah mulai move on dari masa lalunya, karena menurutnya keterlaluan kalau dia ngasih (vonis) hukuman ke orang yang gak (belum) ngelakuin kesalahan apapun ke dia)

"Pilihlah yang kau suka."

"Eh... boleh pilih dari situ? Lotre itu kan punya Tokiwa-kun."

"Boleh kok. Tidak masalah."

Kerja sama pertama kami di dunia pengulangan ini. Kalau mau melakukan sesuatu, aku ingin melakukannya bersama. Sejak hari kesalahan di dunia sebelumnya, kami pun tidak bisa melakukan apa pun bersama. Makanya bersama. Aku ingin melakukan sesuatu bersama.

"...Gitu ya! Un! Okee, aku pilih ya!"

Igarashi berdiri di sisi kiriku dan menatap lekat lotre di tanganku, lalu memilih satu lembar. Dan kemudian, saat aku mengeluarkan koin sepuluh yen dari dompet dan hendak menggosok lapisan peraknya.

"Ah, tunggu!"

Aku pun menghentikan tanganku mendengar suara itu. Igarashi tersenyum lebar.

"Sip! Ayo tukar lotre ini dengan yang itu!"

Lotre yang dia pilih disodorkan padaku.

"Tukar? Memang ada gunanya?"

"Un! Ada dong! Yang aku pilih untuk Tokiwa-kun! Yang Tokiwa-kun pilih aku yang gosok! Mungkin aja nanti ada hal baik yang terjadi!"

Aku tanpa sadar tertawa mendengar usulannya. Menang atau kalahnya lotre sudah ditentukan saat dibeli di konter. Secara logika memang begitu. Tapi entah kenapa mendengar ucapan Igarashi ini membuat hatiku terasa hangat.

"Baiklah. ayo, kita tukar."

"Un. Tukar ya."

Kami pun saling menukar lotre kami. Lalu menggosok lapisan peraknya.

"Eh...? Bohong?"

"Oh! Seriusan!"

Kami berdua menang. Menang lima ratus yen. Berdua total seribu yen.

"Benaran nih? Ini? Bukan mimpi kan!? Seriusan! Yatta! Yattaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! Menaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaangggggg! Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"

Igarashi berteriak sambil mengangkat kedua tangannya.

"Berlebihan ah. Cuma lima ratus yen juga."

"Bukan cuma! Soalnya ini pertama kalinya! Aku baru pertama kali menang lotre tau! Yatta! Hebat! Hebat! Ahaha! Ahahahaha!"

Igarashi memotret kupon lotre yang menang itu berkali-kali. Segitu senangnya ya. Bahkan dia mulai mengambil selfie bersama kupon menangnya itu.

"Tokiwa-kun! Tokiwa-kun juga ikut masuk! Ayo!"

Dia menarik siku kiriku.

"Ah, oi sebentar!"

"Udah udah, ayo ayo! Hai cheese~!!"

Foto dengan Igarashi yang tersenyum paling cerah, dan aku yang entah kenapa kaku dan bingung, tapi ikut tersenyum, berhasil diambil.

"Iyaa! Hebat ya! Tokiwa-kun! Bisa membuatku menang, lotre itu kamu benar-benar beruntung ya!"

"Hm? Hmm? Yah, mungkin juga sih."

Kurasa aku setelah time leap ini memang termasuk beruntung. Bertemu orang-orang baik, dan bisa menghabiskan hari-hari yang menarik.

"Un un! Hebat ya! Tokiwa-kun itu Agechin ya!"

Kami pun menukarkan kupon lotre di tempat itu juga. Igarashi menatap koin lima ratus yen yang berkilau itu dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluknya erat di dadanya.

"...O...oi. Tunggu sebentar. Tadi kau bilang apa?"

"Agechin! Laki-laki yang beruntung kan dipanggil begitu? Tomoe yang bilang lho."

Dasar si cewek ceplas ceplos itu! Mengajari kata-kata aneh pada Igarashi! Setiap kali aku foto selfie dengan perempuan, julukan anehku bertambah. Teman seks → Kedua → Darling → Agechin. Perubahan macam apa ini! Parah sekali!

(TL/N : Agechin itu cowok yang dipercaya membawa keberuntungan pada wanita yang nfewe dengannya, dari kata "Age" dari ngangkat atau ningkatin, terus "Chin" dari penis [ochinchin])

"Itu salah penggunaan. Nanti coba cari artinya di internet. Kau mengatakan hal yang keterlaluan lho."

"Eh? Gitu ya? Oke. Tapi kedengerannya bagus kok, Agechin Tokiwa! Keren!"

Tidak ada. Itu jelas tidak ada.

"Ngomong-ngomong. Kalau hasilnya seri bagaimana?"

"Aa~ belum kita putusin ya~. Gimana ya? Uun."

Saat itulah. Bel tanda kuliah jam kedua dimulai berbunyi.

"Ee~. Kalau pergi sekarang juga sudah telat kan. Aa~ gawat!"

"...Ini... kesempatan bolos!? Tokiwa-kun! Ayo bolos jam kedua! Lagian cuma Matematika Dasar Umum kok! Bolos sekali atau dua kali nggak apa-apa kan!"

"Yah, kuliah memang begitu sih tapi..." 



"Aku mendambakannya! Bolos itu! Di SMA kan nggak bisa bolos! Ini pertama kalinya! Rasanya kayak jadi anak nakal!"

"Aah~. Sedang masa-masanya ya.…. Begitu ya. Yah, sesekali boleh lah."

Bolos sekali atau dua kali tidak akan separah itu sampai gagal dapat SKS di kuliah. Lagipula melihat Igarashi yang tampak senang sekarang, aku tidak ingin mengatakan hal yang merusak suasana. Makanya aku secara alami berkata begini.

"Kalau begitu, mau ke kantin yang mahal itu? Kalau ada lima ratus yen kan bisa bayar setengahnya, mungkin tidak akan terasa mahal lagi."

"Ah! Itu ide bagus! Ayo! Ayo! Jam segini pasti sepi jadi bisa kita nikmati berdua aja kan! Waah kayaknya seru! Fufu!"

Kami berjalan beriringan menuju kantin mahasiswa yang mahal itu. Igarashi yang berjalan di sisi kiriku bersenandung dengan gembira.

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi setelah ini. Mungkin suatu saat jalan kami akan berbeda.

Tapi setidaknya untuk saat ini, kami berdua menghabis-kan waktu yang sama dengan menyenangkan.


(Selesai)



Kata Penutup


Yang ingin aku gambarkan adalah kebangkitan kembali sebuah mitos. Aku mencari dunia cerita di mana waktu dan ruang melebur dan terjalin, segalanya tetap ambigu namun memiliki kontur yang jelas.

Pepatah "tak ada yang baru di bawah matahari" memang benar adanya, semua cerita selalu merupakan pengulangan dari mitos. Aku pun merasa senang bisa menjadi salah satu dari sekian banyak gelombang pengulangan tersebut.

Aku bangga mengatakan kalau karya ini adalah cerita yang aku gambarkan sebagai mitos modern versiku sendiri. Aku percaya kalau manusia adalah makhluk yang tidak bisa mendefinisikan identitas diri tanpa adanya cerita. 

Cerita adalah doa manusia yang memproyeksikan kehidupannya ke dalam khayalan. Hanya dengan adanya ceritalah manusia bisa menerima keberadaan diri sendiri dan orang lain, serta saling memaafkan.

Jika setelah membaca ceritaku ini timbul suatu perasaan dalam diri kalian, dan tindakan yang lahir dari perasaan itu terhubung dengan sesuatu yang baik dalam hidup orang tersebut, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku sebagai penulis.



Ucapan Terima Kasih

Ilustrator Kuroto Yuu-sama Saat pertama kali melihat desain karakter Ririse, aku merasakan keindahan yang jauh melampaui ekspektasi. Aku bisa merasakan momen ketika dunia karya ini meluas secara signifikan. Terima kasih banyak.

Dokter Psikiater Utamaku, terima kasih banyak telah menyelamatkanku dari masa keputusasaan saat aku melewati periode kelam dalam hidup akibat depresi berat dan gangguan obsesif-kompulsif. Jika tidak ada kamu, jangankan kembali ke masyarakat, aku bahkan tidak akan bisa menulis kata penutup dengan sok hebat seperti ini sebagai penulis. Terima kasih banyak.

Perwakilan Perusahaan IT Tertentu-sama, Terima kasih telah memberikan kesempatan besar dalam hidupku. Anda membangkitkan kembali kesenangan dalam dunia engineering yang pernah saya tinggalkan, dan berkat Anda lah aku masih bisa bekerja dengan harapan di masyarakat hingga kini. Terima kasih banyak.

Untuk Ayah Tercinta Meskipun aku hampir kehilangan hidup karena sakit, meskipun aku drop out dari masyarakat, Ayah tidak pernah meninggalkanku, anakmu, dan terus mendukungku, sehingga akhirnya aku bisa merasa lega dengan hidupku. Terima kasih banyak.

Untuk Ibuku Tercinta, Karya ini lahir karena ibu mem-berikan doa dan identitas yang berbeda dari orang lain kepada ku. Terima kasih banyak.

Untuk Seorang Teman di Hiroshima-sama, aku berterima kasih karena kamu tidak menjauh bahkan ketika depresiku sedang parah. Sekarang kita saling menjalani pekerjaan yang berbeda, tapi aku masih berharap suatu saat nanti kita bisa bekerja bersama di bidang engineering. Terima kasih banyak.

Editor yang Bertanggung Jawab-sama, Aku berterima kasih karena Anda telah membimbingku yang pada dasarnya adalah pembuat masalah ini dengan baik sampai sejauh ini.

Kepada Semua Pihak Penerbitan yang Terlibat dalam Karya Ini, ada banyak pekerjaan yang terlibat sampai sebuah buku bisa sampai ke tangan pembaca, tanpa semua itu buku ku tidak akan sampai kepada para pembaca. Terima kasih banyak.

Kepada Para Pembaca yang Membaca Sejak Versi Web, sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah membaca karya ini sejak versi web. Karena kalian semua membaca karya gado-gado yang kelam ini dan mengatakan menarik, aku bisa sampai sejauh ini. Jadi terima kasih banyak.

Kepada Para Pembaca Baru, aku mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang baru kali ini membaca karya ini. Terima kasih banyak. 

Semoga kebahagiaan menyertai semua orang yang telah mengambil buku ini.


Engyou Kouki


3 comments

3 comments

  • J0
    J0
    12/6/25 00:13
    Lumayan menarik LNnya, info next volume kira kira kapan min?
    Reply
  • Irfan
    Irfan
    7/6/25 15:27
    This comment has been removed by the author.
  • Aqua Elise
    Aqua Elise
    4/6/25 11:52
    Seru banget njir wkwk ditunggu update berikutnya~
    Reply
close