NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yome ni Uwaki Saretara, Daigaku Jidai ni Modotte Kimashita! V1 Chapter 7

Penerjemah: Randika Rabbani

Proffreader: Randika Rabbani

Jangan lupa buat join ke grup whatsapp Fanservice karena admin sana dah bersedia buat kasih hasil pesanan jasanya dari Hinagizawa Groups buat diunggah ke website Kaori Translation

Ini Linknya: https://chat.whatsapp.com/HLeZcbosBqsJWktlZvriUR


 Chapter 7 - Mencintai Itu Ternyata Bukan Takdir


Itu terjadi saat aku tahun ketiga di dunia sebelumnya. Kenyataan sialan bernama mencari kerja mulai terlihat. Aku kesal pada diriku yang kosong tidak punya apa-apa meskipun kuliah di universitas bagus, jadi untuk mengalihkan perhatian aku duduk di batu di tepi kolam yang ada di Kampus Hongo, dan menggambar di buku sketsa dengan pensil. 

Aku lumayan bisa menggambar. Dan menurutku sendiri gambarku bagus. Tapi aku gagal dalam tugas karya saat ujian masuk universitas seni. Aku tidak punya bakat. Tapi aku tidak bisa berhenti menggambar. Saat itulah.

"Eh lho? Kamu Tokiwa-kun teman seangkatan kan?"

Saat kusadar, 'istri'-ku sudah ada di sampingku. 

Meskipun kami sudah tiga tahun kuliah di universitas dan jurusan yang sama, itu adalah pertama kalinya kami bicara. Aku jadi gugup, dan tidak bisa menjawab apa-apa.

"Lagi gambar ya? Boleh lihat?"

'Istri'-ku pun melihat gambarku. Ada orang yang melihat gambarku dengan serius. Rasanya senang sekali sekaligus malu.

"Ini bukan gambaran yang bagus kok. Bukan sesuatu yang bisa diperlihatkan ke orang."

Aku merendahkan diriku sendiri. Penyendiri introvert yang tidak bisa hidup dengan baik di dunia kelabu. Laki-laki lemah yang tidak bisa bangkit dari kegagalan, tidak belajar apa pun, dan hanya akan menabrak dinding baru lalu hancur berkeping-keping. Memperlihatkan sosok seperti itu pada 'istri'-ku yang bersinar gemerlap bahkan di lingkungan kampus terasa menyedihkan.

"Masa sih? Menurutku ini gambar yang bagus lho. Lihat. Bayangan di sini. Kelihatan jauh lebih indah dari kolam aslinya. Ternyata kamu melihat dunia ini seperti ini ya. Aku juga ingin bisa melihatnya seperti itu."

Bagian yang dipuji 'istri'-ku adalah bagian yang kugam-bar dengan sungguh-sungguh. Hal umum bagi introvert sih, hanya karena diperlakukan baik sedikit, langsung mengang-gap orang ini mengerti. Kalau dipikir sekarang benar-benar bodoh.

"Maket arsitektur yang Tokiwa-kun buat tempo hari juga keren lho. Memang semua orang mencacinya habis-habisan, tapi nggak begitu kok. Itu bangunan yang sangat sangat indah. Rumah yang membuatku berpikir ingin tinggal di sana. Rumah yang membuatku berpikir ingin mencoba jadi istri yang manis di sana. Ufufu."

Itu adalah senyum yang sangat indah dan manis. Hanya itu. Hanya itu saja alasan aku jadi menyukainya. Aku menginginkannya. Sangat sangat menginginkannya.

"Ooi! Ririse! Ayo pergi!!"

Terdengar suara laki-laki dari jauh. Pacarnya saat itu memanggil 'istri'-ku.

"Aku harus pergi. Sampai nanti ya, Tokiwa-kun."

Dia melambaikan tangan lalu pergi. Hanya aku yang tersisa sendirian. Setelah itu kami tidak pernah bicara lagi di kampus. Tapi aku selalu selalu ingat pujiannya. Aku berusaha keras dengan berpegang pada pujian itu. Lalu seorang arsitek terkenal melihat maket arsitektur dan desain yang kubuat, memperkenalkanku ke divisi desain arsitektur perusahaan besar, dan aku pun diterima bekerja. 

Kalau saja 'istri'-ku tidak memujiku saat itu, masa depan-ku pasti suram. Hidupku adalah pemberian 'istri'-ku. Makanya aku menyukainya. Mencintainya. Hanya itu saja ceritanya.

Mengingat cinta yang sudah tidak meninggalkan jejak di dunia ini, tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Kenangan yang sangat indah. Tapi justru karena itulah, pengkhianatan-nya itu begitu menyakitkan.



Aku sedang menghindari 'istri'-ku. Seharusnya dia juga menyadarinya.

"Tokiwa-kun! Aku akan berpasangan denganmu!"

'Istri'-ku di depanku berkata begitu dengan sangat ceria. Sejujurnya aku ingin menghindar. Tapi aku punya alasan yang tidak bisa dielakkan untuk menerima tawaran ini. Aku lupa. Bahwa di universitas pun ada tugas kelompok praktikum. Kali ini di kuliah jurusan arsitektur, profesor menugaskan kami membuat maket rumah tinggal secara berpasangan. 

Seharusnya aku berpasangan dengan laki-laki. Tapi jumlah laki-laki di jurusan kami ganjil, jadi pasti ada satu yang tersisa. Saat kusadar, aku sudah jadi sendiri. Posisiku di jurusan saat ini sedang sulit karena urusan 'istri'-ku. Makanya jadi penyendiri. Dan 'istri'-ku yang menemukannya dengan cepat mendekatiku. 

Pilihan untuk menolak tidak ada di sini. Rasanya aku tidak bisa berpasangan dengan orang lain selain 'istri'-ku. Terpaksa aku mengangguk. Tentu saja tatapan para laki-laki di sekitar penuh aura membunuh. Ini bukan salahku. Tolong mengertilah.

"Mau buat rumah seperti apa ya? Tokiwa-kun gimana menurutmu?"

Kami meminjam satu meja di ruang gambar, mengum-pulkan bahan dan berpikir keras.

"Dibilang bagaimana menurutku juga..."

Ini soal kehidupan sebelumnya. Sedikit sebelum perse-lingkuhannya terungkap, saat itu aku sedang merencanakan rumah impianku. Ruang kerja, ruang keluarga, dapur, semua kubayangkan dan kurancang, percaya tanpa ragu pada kebahagiaan masa depan yang akan datang. 

Mengingat itu membuatku jadi agak sensitif.

"Tokiwa-kun juga nanti pasti akan menikah dengan seseorang kan? Kalau begitu pasti beli rumah sendiri kan? Pasti pernah membayangkannya dong?"

Itu jelas lah. Malah sudah menikah denganmu. Makanya aku tidak mau membayangkannya.

"Kalau kau sendiri bagaimana? Ingin tinggal di rumah seperti apa?"

"Eh? Huuum. Nn? Iya ya... Uu~"

'Istri'-ku melipat tangan dan bergumam. Lalu dia berkata begini.

"Tapi itu mungkin tergantung Danna-san (Suami) nya orang seperti apa ya."

Jawaban yang luar biasa merepotkan datang. Atau lebih tepatnya, tidak adanya inisiatif itu entah bagaimana membuat-ku merasakan secuil sifat 'istri'-ku di awal-awal pacaran di dunia sebelumnya.

"Begitu ya. Kalau begitu aku juga tergantung istriku nanti."

"Eee. Uun. Kalau gitu! Coba pikirkan dengan setting aku jadi Istri-nya Tokiwa-kun!"

Jawaban yang lebih tidak menyenangkan datang. 

Kepalaku sakit. Ditambah lagi perutku juga rasanya jadi tidak enak. Menyakitkan dan menderita sekali rasanya. Tapi aku tidak boleh gagal dapat SKS di sini.

"Haa.... Baiklah. Untuk sementara ayo kita coba saja."

Kenapa aku harus melakukan hal yang menyayat hati begini. Bukankah kalau sudah melakukan time leap aku bisa lari dari penderitaan? Mungkin aku terkutuk oleh 'istri'-ku.

Meskipun ada batasan harus rumah tinggal, selain itu bebas. Untuk sementara aku mulai merancang lantai satu dan mencoba merakit maketnya dari pola kertas. 'Istri'-ku menatapku dengan raut agak ceria. Ngomong-ngomong dia tidak bekerja.

"Kau juga harus kerja."

Aku menyodorkan pola kertas dan gunting pada 'istri'-ku dan menyuruhnya bekerja. 'Istri'-ku mulai bekerja seperti yang kusuruh. Dan untuk sementara bagian lantai satu selesai.

"Waa hebat! Tokiwa-kun terampil ya!"

Bagaimanapun aku ini pernah terlibat langsung dalam pembangunan selama beberapa tahun sebagai pekerja kons-truksi. Hal seperti ini mudah saja. Alur aktivitas penghuninya juga sempurna dan pembagian ruangannya juga kupikirkan matang-matang.

"Sip. Dengan begini bagian lantai satu selesai ya. Lanjut berikutnya lantai dua..."

"Tunggu bentra! Harus dipastiin dulu kan apa ini nyaman ditinggali!"

Berkata begitu, 'istri'-ku mulai memotong pola kertas dengan gunting. Lalu yang jadi adalah boneka mirip laki-laki dengan kepala bulat dan badan segitiga terbalik, serta boneka mirip perempuan dengan lingkaran dan rok segitiga.

"Apa itu?"

"Nah jadi! Tokiwa-kun yang laki-laki ya. Aku yang ini!"

Dia berkata begitu sambil memberikan boneka laki-laki padaku. 'Istri'-ku memegang boneka perempuan dan meletak-kannya berdiri di dapur.

"Apa yang kau lakukan?"

Kelakuannya membuat kepalaku tidak bisa mengikuti.

"Tokiwa-kun! Ayo! Istrimu menunggu di rumah lho!"

Jangan-jangan dia menyuruhku main rumah-rumahan begini? Sama sekali tidak bisa memahami alur pikirannya.... Terpaksa aku meletakkan boneka laki-laki yang kupegang di tengah ruang tamu.

"Bukan begitu! Nggak boleh langsung muncul begitu aja! Masuk lewat pintu depan dong!"

"Eeeeh... Serealistis itukah?"

Aku meletakkan boneka itu di depan pintu masuk. Lalu memasukkannya melewati pintu depan ke dalam rumah.

"Tunggu sebentar!? Tokiwa-kun! Ada yang lupa lho!"

"Apa?"

"Salam waktu pulang! Nah! Ayo ulangi!"

Merepotkan! Merepotkan sekali! Terpaksa aku mengem-balikan boneka itu ke pintu masuk dan membuatnya pura-pura mengetuk pintu.

Tok tok

"Iyaaa! Sebentaar, aku dataang!"

'Istri'-ku menjawab dengan ceria, lalu menggerakkan bonekanya dengan langkah kecil menuju pintu masuk. Aku pun juga menggerakkan bonekaku melewati pintu masuk.

"Selamat datang kembali!"

Kata-kata itu membuat rasa sakit menusuk hatiku. Kehangatan suara itu masih kuingat sampai sekarang.

"A-aku.... pulang."

Suaraku jadi mengecil. Rasanya tidak bisa bicara dengan jelas.

"Mau makan? Mau mandi? A-t-a-u ♥"

'Istri'-ku bercanda. Aku mengabaikannya dan melewati boneka 'istri'-ku menuju ruang tamu.

"Arere? Tokiwa-kun, jangan-jangan malu ya? Ufufu."

"Bukan begitu. Pasangan suami istri di dunia nyata tidak melakukan hal seperti itu."

Di dunia sebelumnya, setelah aku bilang 'Aku pulang', istriku tidak bertanya apa-apa. Sebagai gantinya dia mencium-ku dengan lembut. Begitulah cara kami sebagai suami istri.

"Hari ini, makan malamnya Nikujaga lho!"

Boneka 'istri'-ku berpura-pura membawa sesuatu dari dapur. Lalu boneka 'istri'-ku duduk di kursi meja makan. Boneka milikku juga duduk di hadapan boneka istriku. 

Ini pemandangan yang tidak kukenal. Saat kami bersama di dunia sebelumnya, aku dan 'istri'-ku duduk bersebelahan di meja makan. Jarak sedekat bahu kami bersentuhan terasa nyaman.

"Terima kasih makanannya."

Aku pun segera berkata begitu dan membuat bonekaku berdiri dari kursi. Lalu aku jadi tidak tahu harus membawa boneka ini ke mana. Aku pun jadi bingung. Lalu 'istri'-ku tersenyum lembut, dan…

"Ayo nonton TV bersama."

Boneka 'istri'-ku duduk di sofa di depan TV. Aku yang diajak pun mendudukkan bonekaku di sofa. Dan saat itulah. Punggung tanganku bersentuhan dengan tangan 'istri'-ku.

"Ah, maaf."

"Eh, uun. Nggak apa-apa kok. Nggak usah dipikirin..."

Pipi 'istri'-ku sedikit memerah. Keheningan mengalir di antara kami. Aku merasa tidak tahan, dan mengangkat tangan yang memegang boneka, berniat mengakhiri permainan rumah-rumahan ini. Tapi…

"Jangan dulu. Tunggu."

Dia melepaskan bonekanya dan memegang tanganku dengan ragu-ragu. Saat itu juga, boneka dari tanganku pun terlepas.

"Ini kan cuma main rumah-rumahan."

"Tapi aku senang kok."

'Istri'-ku yang menggenggam tanganku tersenyum tipis. Senyum itu sangatlah indah. Tapi itu bukan milikku lagi. Hanyalah sesuatu yang telah direbut dan hilang dariku.

"Ayo kembali. Lanjutkan lagi yuk."

'Istri'-ku berkata begitu padaku. Tapi aku tidak berniat melanjutkan permainan rumah-rumahan ini lebih jauh.

"Tapi... Ah."

Aku terkejut melihat boneka-boneka di maket itu.

"Un? Ada apa? ...Kya..."

Boneka-boneka itu saling menindih di atas sofa. Seolah saling menginginkan. Aku dan 'istri'-ku melihatnya dan wajah kami berdua memerah padam.

"Agak terlalu realistis ya... ahaha..."

'Istri'-ku bergumam begitu dengan malu. 

Tentu saja suasananya jadi tidak memungkinkan untuk melanjutkan main rumah-rumahan lebih jauh. Kami diam-diam mulai mengerjakan bagian lantai dua. 

Maket rumah yang sudah jadi itu, mau tidak mau kupikir mirip dengan bentuk kebahagiaan yang seharusnya sudah hilang. Kilauan sesuatu yang tidak bisa kudapatkan lagi ada di sana.

(TL/N : Manis sih, tapi…..) 


0

Post a Comment



close