NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 5 Chapter 6

 Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 6

Masa Depan


Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali, dan anggota biasa kembali dikumpulkan di ruang klub.


Nito Chika, Igarashi Mone, Rokuyou Haruki, dan Sakamoto Meguri.


Wajah-wajah yang sudah biasa dilihat, pemandangan yang sudah akrab.


Suasana siang itu seakan membuat waktu mengalir dengan lambat.


Ketika aku menoleh, pemandangan ruang klub pun terlihat di mataku.


Peralatan sekolah yang berderet rapi, bahan-bahan penelitian batu mineral, peta dunia tempat Jerman masih terbagi antara timur dan barat.


Ada radio kaset rusak, meja penuh coretan, dan patung dada gips yang sudah berdebu.


Di tengah pemandangan yang bahkan terasa menimbulkan rasa sayang itu, aku pun—memulai pembicaraan terakhir.


Aku mulai memberi penjelasan pada semua orang.


“Terima kasih sudah datang hari ini. Seperti yang kubilang minggu lalu, aku akan menjelaskan soal ‘rencana ke depan’ yang sudah kutemukan.”


Nito, Igarashi-san, dan Rokuyou-senpai tampak sedikit tegang.


Merasa agak bersalah melihat itu, aku melanjutkan,


“Pertama-tama, tujuan kita semua sama, kan? Yaitu menyelamatkan Makoto.”


Aku bicara seperti itu.


“Tapi, kali ini juga, meskipun sudah berulang kali kita coba, kita gagal lagi. Dia merasa terluka melihat hubunganku dengan Nito, lalu mencoba menjaga jarak. Jadi… ada satu hal yang harus kita akui dulu.”


Sambil berkata begitu, aku menundukkan pandangan.


“Makoto—sekeras apa pun kita menutupinya, dia pasti akan menyadari hubunganku dengan Nito.”


Fakta yang sebenarnya tidak ingin kuakui.


Meski begitu, aku tetap harus mengatakannya, karena mungkin semuanya juga sudah sadar di dalam hati.


“Aku dan Nito saling percaya. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai ke dalam-dalamnya. Dan Makoto itu memang tajam perasaannya. Karena itu, kalau jarak kita semakin dekat, dia pasti akan menyadari hubungan kita. Mau kita sembunyikan sekeras apa pun.”


Lebih baik memikirkannya begitu, pikirku.


Misalnya, kalau kita jadi sering pergi bersama untuk meneliti asteroid dalam perjalanan menginap, atau bahkan kalau itu dihindari sekalipun, tetap saja kita berada di klub yang sama.


Makoto—akan merasakannya, hubungan antara aku dan Nito.


“Artinya… selama ada hubungan kepercayaan antara aku dan Nito, Makoto akan selalu sampai pada akhir cerita yang sama.”


Tiga orang lainnya terdiam.


Melihat ekspresi mereka yang sedikit lebih tenang, kurasa mereka juga sudah memikirkannya.


Namun, masalahnya adalah sesudah ini──


“Kalau begitu… merepotkannya, solusi kita cuma satu.”


Dengan senyum pahit, aku bergumam pelan.


“Kita harus mengubah—hubungan antara aku dan Nito.”


Begitu aku mengatakannya, terasa ada rasa sakit tajam di dadaku.


“Bukan cuma menyembunyikan, bukan begitu maksudnya. Kita harus benar-benar melepaskan hubungan ini.”


Bagaimanapun—itulah satu-satunya jalan.


Kalau tidak, kita tidak akan pernah bisa menyelamatkan Makoto.


Kenyataan yang pahit, tetapi mau tak mau harus diterima dulu.


“…Aku mengerti.”


Dengan suara yang lebih tenang dari dugaanku, Nito mengangguk.


Mungkin dia juga sudah memikirkannya sampai sejauh ini.


“Menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi. Kalau dipikir secara wajar, memang tidak ada pilihan lain. Banyak masalah yang akan muncul, tapi setidaknya kita harus mulai dari situ…”


“Iya.”


“…Tapi, bagaimana caranya?”


Dia lalu memiringkan kepalanya.


“Bagaimana kita bisa melepaskan hubungan ini?”


Ya—itulah masalahnya.


Bagaimana cara melepaskan rasa percaya dan hubungan yang sudah terjalin?


Bagaimana cara melepaskan sesuatu yang terasa mustahil?


…Sebenarnya, ada satu cara.


Satu-satunya metode pasti, yang hanya bisa kami gunakan.


“Kita akan memakai perjalanan waktu.”


Setelah mengatakannya, aku menarik napas dalam-dalam──


“Aku akan—kembali ke masa sebelum memulai perjalanan waktu. Artinya… kembali ke masa SMA pertama kali, saat semuanya berantakan.”


“…Maksudmu itu,”


Nito terdengar jelas-jelas terguncang.


“Ke akhir masa SMA yang paling gagal itu, kan?”


“Iya.”


“Waktu aku menghilang, tidak akur dengan Mone atau Rokuyou-senpai… dan kamu sendiri gagal ujian masuk, masa depan yang itu kan?”


“Iya, benar.”


Sekali lagi terasa nyeri di dadaku, tapi aku mengangguk pada Nito.


“Kalau diibaratkan, kita kembali ke awal cerita. Tepat sebelum aku pertama kali melakukan perjalanan waktu…”


Ya. Itulah solusi yang akhirnya kutemukan.


Kembali ke saat sebelum perjalanan waktu dimulai.


Saat kelulusan yang dijalani dengan setengah hati, dan sudah dipastikan jadi ronin (siswa gagal ujian masuk universitas).


Kembali ke hari ketika aku panik mendengar kabar hilangnya Nito, lalu memainkan piano di ruang klub.


“Kalau aku kembali ke hari itu, Makoto pasti bisa diselamatkan. Karena dia sudah diterima di SMA Amanuma, dan sebentar lagi naik ke kelas 3. Masa depan yang tidak menimbulkan masalah apa pun, SMA yang berjalan tanpa gangguan.”


Dengan cara ini, aku pasti bisa menyelamatkan Makoto.


Karena di garis waktu itu, masalahnya belum muncul sama sekali.


Tidak ada metode lain yang lebih meyakinkan dari ini.


Untuk menghindari agar dia tidak terseret dalam tragedi, ini adalah pilihan terbaik.


“Tentu saja, ada… banyak hal yang mengkhawatirkan.”


Aku pun terus terang mengakui kelemahan dari rencana ini.


“Pertama, belum pasti apakah kita benar-benar bisa kembali ke masa lalu di garis waktu itu. Bukan di garis waktu sekarang, atau di ‘pengulangan’ sebelumnya, tapi persis ke akhir masa SMA yang pertama kali kujalani. Apakah itu mungkin…”


Aku sengaja menyebutkan keraguan yang wajar muncul.


“Tapi… bagaimana menurutmu, Nito?”


Aku menatapnya.


“Menurutmu apa terlalu sulitkah, berpindah antar garis waktu sejauh itu?”


“…U-um, maksudnya, memang tidak ada jaminan, tapi…”


Suara Nito terdengar bergetar hebat.


“Kalau dilihat dari pengalaman… kurasa mungkin saja. Soalnya, perjalanan waktu dengan piano itu seperti mengikuti ingatan yang dimiliki pemainnya. Bukan masa lalu objektif dunia, tapi titik dalam ingatan yang ingin diulang, titik waktu yang diinginkan kuat oleh si pemain… rasanya begitu.”


“…Benar juga.”


“Iya. Bukti pastinya sih… memang tidak ada.”


Seperti yang dia bilang, ini cuma hipotesis.


Pada akhirnya, kami tidak akan tahu kalau tidak mencobanya langsung.


Tapi, entah kenapa aku sendiri punya keyakinan aneh.


Aku merasa… pasti bisa kembali ke sana.


Ke hari itu, ketika waktu bersama Makoto terbuang sia-sia, aku pasti bisa kembali──


“Tapi, um…”


Lalu Nito kembali bersuara dengan nada cemas,


“Kalau di masa depan itu, bagaimana keadaan semua orang…?”


Dia mengungkapkan kekhawatiran lain.


“Waktu itu aku kabur meninggalkan surat semacam pesan terakhir, kan? Lalu, Mone dan Rokuyou-senpai, bagaimana nasib mereka…?”


“Soal itu…”


Ya. Aku harus menyampaikan ini dengan jujur.


Karena dalam perjalanan waktu ini, masalah terbesarnya memang di sana.


Aku harus menjelaskannya tanpa menyembunyikan apa pun──


“Pertama, tentang Igarashi-san…”


Aku menggertakkan gigi sebentar, lalu mencoba mengingat kembali.


“…Di tahun pertama, dia sudah benar-benar memutus hubungan denganmu, Nito.”


“…”


Tanpa berkata apa pun, dia menempelkan tangannya di sekitar mulutnya.


“Soal pindahan rumahnya dan live streaming-nya Nito, dan juga kondisi kesehatan ibunya Igarashi-san yang memburuk… semua itu kebetulan menumpuk di saat bersamaan, dan akhirnya membuat hubungannya dengan Nito terputus, sepertinya…”


“…Begitu ya.”


Dengan wajah tenang, Igarashi-san mengangguk.


“Ya… benar juga. Waktu itu, Sakamoto yang banyak membantuku, jadi akhirnya bisa lewat. Kalau dia tidak ada, kalau aku sendirian… ya, mungkin memang akan begitu.”


“Kalau begitu,”


dengan suara dalam dan tenang, Rokuyou-senpai menimpali,


“aku juga, di festival budaya, mungkin kalah dari Nito seperti sudah takdir.”


“…Sepertinya begitu.”


“Kalau mendengar dari penjelasanmu, bukan cuma kalah tipis, tapi kalah telak ya?”


“Iya…”


Aku tak bisa berbohong di sini.


Aku teringat informasi yang kudapat langsung dari Rokuyou-senpai di masa depan, ketika festival budaya itu terjadi.


“Empat kali lipat… katanya begitu.”


Aku menyampaikannya dengan jujur.


“Penonton di panggung utama Nito empat kali lebih banyak dari panggung sukarelawan milikmu.”


“Wah, itu gila…”


Ia menertawakan dirinya sendiri sambil menempelkan tangan ke dahinya.


“Empat kali lipat… itu gila. Padahal kupikir sudah siap mental, tapi sampai segitu bedanya…”


“Iya…”


“Kalau begitu, versi diriku di garis waktu itu pasti mentalnya jatuh sekali, ya? Aku tidak tahu apa bisa tahan…”


“Benar, kelihatannya sangat berat…”


Ya.


Pilihan ini—memang mengandung konsekuensi seberat itu.


Kami harus melepaskan semua yang sudah didapat di waktu ini.


Lalu menjalani masa depan seolah-olah semua itu tidak pernah kami dapatkan.


Sebuah arti yang benar-benar kejam.


“Dan tentang aku yang menghilang…”


Nito menyambung dengan suara yang nyaris tak terdengar.


“Bahkan sempat meninggalkan surat semacam pesan terakhir…”


“…Iya.”


Benar—itulah masalah terbesarnya.


Di masa depan yang kutuju, Nito mengalami akhir yang paling buruk.


Jejaknya tidak diketahui… dan terus terang saja, waktu pertama kali mendengar kabar itu, aku benar-benar yakin Nito sudah tidak ada.


Aku percaya, dia mengakhiri hidupnya di suatu tempat yang tak bisa kami temukan.


Karena itu aku mati-matian berusaha mengulang waktu berkali-kali.


Untuk bisa “kembali ke awal cerita” seperti ini, risikonya sangat besar.


Semua masalah yang sudah berhasil kami selesaikan, akan muncul lagi.


Namun──


“…Tapi, aku yakin.”


Aku berkata sambil menoleh ke arah Nito.


Menatapnya dengan senyum paling lembut yang pernah kutunjukkan.


“Nito… di masa depan itu, dia tidak meninggal.”


“…Eh?”


“Dia mungkin benar-benar jatuh dan tidak sanggup bangkit, tapi tidak akan sampai mengakhiri hidupnya. Sekarang aku tahu itu.”


──Aku punya keyakinan yang sangat kuat.


Sekarang aku berdiri di samping Nito. Aku merasa sudah lebih mengerti dirinya dibanding siapa pun.


Karena itu, aku bisa mengatakan ini tanpa ragu.


Bahkan di masa depan itu, Nito pasti masih hidup di suatu tempat.


Meskipun hanya bertahan, meskipun gemetar sendirian, dia tidak memilih akhir yang terburuk.


Bukan cuma itu.


“Aku juga sudah bisa menebak di mana dia berada.”


Aku benar-benar merasa begitu.


“Waktu itu, di mana Nito berada, apa yang dia rasakan…”


Itu semua berkat pengalaman panjang dari berkali-kali mengulang waktu.


Saat Nito benar-benar jatuh, benar-benar tersesat, tempat mana yang dia datangi.


Sekaligus tempat di mana dia merasa nyaman, seperti markas rahasia.


Aku yakin Nito, setelah lama berkelana sendirian—pada akhirnya sampai di sana.


Di hari kelulusan, dia berada di tempat itu──


“Bukan cuma Nito… semua orang juga sama.”


Aku berkata sambil memandang wajah teman-temanku satu per satu.


“Kita semua sudah tahu kan? Bahwa kita bisa menjadi sahabat sedekat ini. Bahwa masing-masing dari kita bisa menyelesaikan masalah kita sendiri. Jadi… kalau aku kembali ke sana, aku akan langsung menemui kalian semua! Aku pasti akan membuat kita jadi sahabat lagi!”


Dengan aku yang sekarang, aku merasa sanggup melakukannya.


Aku merasa sanggup mengejar masa depan bersama mereka semua sekali lagi.


“Jadi──”


Aku—dengan harapan besar pada ketiga orang itu, dengan tekad yang kuat, aku menyampaikan:


“Aku ingin—kembali. Ke awal cerita ini. Ke akhir masa SMA-ku yang sesungguhnya. Tolong… izinkan aku untuk melakukannya.”


Keheningan turun menimpa ruang klub.


Rasanya seperti waktu berhenti, atau bahkan seakan melewati keabadian, sebuah kekosongan yang tak berujung.


Bahkan aku mulai merasa seolah napas ikut membeku, dan semuanya akan terus terdiam selamanya.


Namun──


“…Iya, aku mengerti.”


Sebuah suara memecah diamnya waktu.


“Boleh kok. Kita kembali, Sakamoto. Dari sana, mari kita mulai masa depan kita.”


Suara teman yang begitu familiar.


Cerlang, sedikit berlagak nakal, bernada tinggi.


Suara Igarashi Mone.


“…Apa kau sungguh yakin?”


“Iya. Soalnya,”


Saat aku bertanya, Igarashi-san menatapku dengan senyum lurus yang penuh keyakinan,


“bukannya aku sudah pernah bilang? Kalau itu pilihan Sakamoto, aku akan mendukungnya. Karena itu aku setuju. Aku juga merasa itu adalah pilihan yang terbaik.”


Dan seolah roda gigi yang sempat macet mulai bergerak kembali,


“Aku juga setuju.”


Rokuyou-senpai menimpali.


“Kita semua bisa mengubahnya mulai dari sana, kan? Setahun ini sudah membuktikan itu. Jadi… pergilah. Kita akan menjadi sahabat lagi, Meguri.”


“Terima kasih banyak…”


Perasaan bahagia yang membuncah di dadaku hampir membuat air mata menetes.


Mereka memahami. Mereka mengakui seluruh niatku, sampai ke dasarnya.


Teman-teman seperti inilah yang sekarang ada di depanku. Hanya dengan menyadari itu, dadaku bergetar hebat oleh rasa syukur.


Dan kemudian—Nito.


Semua mata tertuju padanya, menunggu pendapat terakhirnya.


Setelah beberapa tarikan napas──


“…Boleh aku pikirkan dulu?”


Ucapnya dengan suara yang sangat lemah.


Suaranya bergetar hebat.


Nada itu jelas penuh kebingungan dan kegelisahan.


“Cuma 1 hari saja… biarkan aku berpikir dulu…”


“…Iya, baiklah.”


…Ya, tentu saja. Mana mungkin bisa langsung menjawabnya.


Kalau dipikir, aku ini… demi menyelamatkan nyawa Makoto, berencana menghapus semua waktu yang sudah kujalani bersama anak ini.


Berarti seolah mau meniadakan semua usaha Nito juga.


Kalau Nito belum bisa menerimanya, itu wajar.


Aku mau dia memikirkannya dengan sungguh-sungguh, meskipun butuh waktu berapa lama pun.


Jawabannya, mau kapan pun, tak akan masalah bagiku.


“Kalau sudah mantap… beri tahu aku, ya.”


Aku berkata begitu, sambil berusaha menunjukkan senyum selembut mungkin.


“Kalau kau mengirim kabar, aku akan langsung mendengarnya. Pokoknya, pilihlah jalan yang benar-benar kau yakini. Kalau ternyata kau tidak setuju dengan pikiranku, katakan terus terang saja.”


“…Iya, terima kasih.”


Dengan nada sedikit lebih lega, Nito akhirnya tersenyum kecil padaku.


“Maaf, cuma aku saja yang belum bisa ambil keputusan…”


“Tidak apa-apa kok, ini semua kan kemauanku juga. …Oke,”


Setelah menarik napas, aku menatap semua orang lagi.


Sebenarnya hari ini, ada satu hal lain yang ingin kupastikan.


“Lalu… kalau misalnya kita akan benar-benar kembali ke awal. Aku mau kalian memilih.”


Setelah berkata begitu, aku menarik napas perlahan,


“Apakah kalian mau ikut kembali bersamaku, atau tidak.”


──Ikut dalam ‘pengulangan’ atau tidak.


Dengan kata lain, ikut ke “akhir 3 tahun SMA terburuk” bersamaku atau tidak.


Apakah mau membawa ingatan mereka sekarang, dan menanamkannya di diri mereka di sana.


Secara teori, itu mungkin.


Kalau ada di tempat saat aku memainkan piano, pasti bisa ikut kembali.


Mereka tidak akan kehilangan ingatan yang dimiliki saat ini.


Tapi, apakah mereka mau?


Apakah versi diri mereka yang berhasil meraih kemenangan ini mau kembali ke masa di mana mereka gagal, masa yang sudah berakhir dengan pahit?


“Menurutku… ini juga hal yang sangat penting. Jadi semuanya—aku ingin mendengar perasaan kalian.”


Setelah mengatakan itu—aku berdiri di depan mereka, dan satu per satu menunggu jawaban mereka──



Pesan dari Nito datang keesokan harinya.


Pagi hari, di hari Sabtu, hanya satu kalimat pendek di LINE: “Sudah kupikirkan.”


Lebih cepat dari dugaanku.


Padahal aku siap menunggu berapa lama pun, jadi sedikit terkejut juga.


Dan kemudian──


“—Maaf ya, aku yang memanggil.”


Di rooftop pusat perbelanjaan Town Seven di depan stasiun.


Ucap Nito, rambut poninya berayun tertiup angin.


“Karena aku sudah memutuskan, aku mau bicara langsung…”


“Begitu… terima kasih.”


Pandangan matanya jauh, mengarah ke pemandangan kota Ogikubo yang terbentang di bawah.


Di rooftop ini yang juga jadi tempat bermain anak-anak, dia berdiri menatap kota melewati pagar pembatas, menungguku.


Musim semi. Udara perlahan jadi lebih hangat.


Aroma bunga bercampur dengan aroma kota, menyentuh hidung kami lewat hembusan angin.


Tempat ini kupilih sendiri.


Atap gedung yang bisa memandang seluruh kota Ogikubo, tempat kami tinggal.


Bukan karena ada kenangan khusus di sini.


Aku dan Nito juga belum pernah datang ke sini bersama.


Bahkan aku sendiri jarang main ke sini.


Tapi… entah kenapa, aku merasa inilah tempat yang tepat untuk berbicara tentang hal ini.


──Selama ini.


Aku hanya bisa terus menengadah ke bintang-bintang.


Berusaha sekuat tenaga meraih kilauan di langit malam.


Tapi kalau dipikir, diriku yang seperti itu, akan terlihat seperti apa dari kejauhan?


Dari sudut pandang bintang, aku ini orang macam apa?


Untuk tahu jawabannya, rasanya rooftop ini pas sekali──


Lalu, sambil menatap kota yang terus berputar di bawah sana, Nito sekali lagi berbisik dengan suara pelan,


“…Pergilah.”


Ia berkata begitu padaku.


“Kamu boleh… kembali ke awal.”


Suaranya terdengar sangat sepi, tapi sekaligus terselip nada penuh harapan.


“Ya…”


“Jujur aku takut, dan sedih juga karena semua usaha kita akan hilang…”


Ucapnya sambil menahan bibir yang bergetar, berusaha menahan sesuatu, lalu memberanikan diri untuk tersenyum,


“…Tapi kupikir, itu yang terbaik.”


“…Apa sungguh tidak apa-apa?”


Untuk memastikan, aku bertanya lagi.


“Mungkin yang paling berat menanggung ini nanti justru kau, Nito. Apa kau masih mau begitu?”


“Iya.”


Nito menjawab sambil mengangguk, kali ini cukup tegas.


“Soalnya… aku merasa, mungkin sejak awal aku salah. Merubah masa lalu orang seenaknya, mengubah takdir mereka sesuka hati… mungkin itu terlalu sombong. Sebenarnya aku tidak bisa melepaskannya karena takut. Aku merasa kalau tidak ‘mengulang’, aku tidak bisa hidup…”


Ya, rasa takut itulah yang selama ini membuat Nito terus mengulang masa SMA-nya.


Berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.


Begitu banyak sampai tak bisa lagi ia ceritakan kepadaku seluruhnya.


Keputusan untuk kembali ke awal seperti ini, wajar kalau membuatnya ragu.


“Tapi… aku ingat lagi,”


kata Nito, kali ini wajahnya tampak sedikit bercahaya.


“Kamu pernah bilang, bahwa semua yang kuraih itu juga berarti sesuatu. Bahwa aku sudah bisa maju selangkah.”


“Ya, aku ingat.”


Percakapan kami di taman hiburan waktu itu.


Dengan pakaian aneh, kata-kata tulus yang kami bagi bersama.


“Itulah kenapa… sekarang aku merasa, mungkin aku bisa.”


Nito berkata begitu, lalu tersenyum cerah,


“Kalau itu Sakamoto, mungkin kamu bisa menyelamatkanku.”


Lalu, ia meraih tanganku──


“──Selamat jalan.”


──Sambil berlinang air mata, ia mengucapkannya padaku.


“Aku… tidak ikut. Aku akan tetap di sini, bersama Mone dan Rokuyou-senpai…”


Bersama Mone dan Rokuyou-senpai.


Ya, keduanya memilih untuk tidak ikut kembali ke masa lalu.


Sejujurnya, aku sudah memperkirakan hal itu.


Setelah aku pergi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada garis waktu ini.


Apakah dia akan terus berlanjut dalam bentuk lain, atau menghilang sama sekali.


Tidak ada cara untuk memastikannya, bahkan tak bisa ditebak.


Tetapi—memilih untuk bertahan di sini, di tempat di mana mereka tidak perlu menghadapi masa lalu yang gagal, itu adalah pilihan yang wajar.


“──Maaf ya, Sakamoto. Terima kasih.”


“──Bertemu denganmu, akan selalu jadi harta yang paling berharga seumur hidupku.”


Begitulah cara Igarashi-san dan Rokuyou-senpai melepas kepergianku.


“──Sampaikan salamku pada diriku yang di sana, ya!”


“──Pokoknya, pastikan kamu datang menemuinya lagi!”


Dan Nito juga──memutuskan untuk tidak ikut kembali.


Berarti aku akan berjalan lagi dari titik itu, seorang diri.


“…Iya, aku mengerti.”


Aku mengangguk, menegaskan tekadku.


“Sekadar laporan saja… di masa depan, Chiyoda-sensei bilang padaku, pianonya akan dibuang. Setelah kita lulus, saat Golden Week, katanya akan diangkut oleh petugas.”


Sebenarnya, waktu aku ke masa depan sebelumnya, Chiyoda-sensei memang sudah bilang begitu.


Katanya, sekolah mau menyingkirkan barang-barang lama, dan piano di ruang klub astronomi pun akan diambil.


Piano itu──alat yang selama ini kami pakai untuk melakukan ‘pengulangan’ dan perjalanan waktu.


Benda istimewa, yang telah menghubungkan masa lalu dan masa depan.


“Jadi… kalau aku sudah kembali dan lewat 1 bulan, kemungkinan perjalanan waktu tidak akan bisa dilakukan lagi. Semuanya benar-benar tidak akan bisa diulang.”


Memang akhirnya seperti itu.


‘Pengulangan’ dan perjalanan waktu tidak akan tersedia selamanya.


Begitu aku kembali dan 1 bulan berlalu, cara untuk menembus waktu akan hilang──


“Meski begitu, apa tetap tidak apa-apa? Kau tidak mau ikut, Nito?”


“…Iya.”


Hampir tanpa ragu, Nito mengangguk mantap.


“Soalnya… orang lain juga semuanya hidup begitu kan? Berjuang menjalani satu kali hidup, tanpa bisa bolak-balik waktu.”


“…Haha, iya juga sih.”


Benar sekali.


Semua orang tetap hidup mati-matian, meski tak bisa ‘mengulang’ waktu.


Aku juga, Nito juga, hanya akan kembali ke kenormalan itu.


“…Aku akan berusaha.”


Sekali lagi, aku mengucapkannya mantap pada Nito.


“Hal pertama yang akan kulakukan nanti… adalah menjemputmu.”


“…Iya, aku tunggu…”


Nito mengangguk, lalu air matanya jatuh menetes.


Melihatnya seperti itu──aku tidak bisa menahan diri lagi.


Kuraih tubuhnya dan menariknya erat ke pelukanku──


“Terima kasih, Nito.”


Tubuhnya yang ramping, kurasakan jelas lewat kedua lenganku.


Bahu mungilnya, dan hangat kulit pipinya bahkan terasa menembus kain bajunya.


Mungkin… ini terakhir kalinya aku memeluk “Nito” di garis waktu ini.


Saat kuhirup napas dalam-dalam, samar-samar tercium wangi seperti bunga dari rambutnya.


“Bagaimanapun juga, aku akan tetap mencintaimu.”


Perasaan yang menyesakkan di dadaku, kutuangkan jadi kata-kata.


“Di waktu mana pun kau berada, aku pasti akan tetap menyayangimu.”


Bersamaan dengan itu, aku memeluknya lebih kuat lagi.


Dan saat itu juga──Nito mulai menangis.


Menangis keras seperti anak kecil, terisak-isak sambil menumpahkan air mata.


“…Meguri… terima kasih… semuanya… terima kasih…”


“Maaf… sudah bertindak seenaknya…”


“…Tapi… terima kasih. Aku menyayangi kalian semua… aku menyayangimu… Meguri…”


Setiap kali ia bicara, tubuhnya ikut bergetar.


Tubuhnya yang jauh lebih kecil dibandingkan tubuhku, tapi di dalamnya hidup jiwa bernama Nito, yang telah menjalani kehidupan SMA berulang kali.


Begitu panjang, begitu berat.


Dan seluruhnya──aku benar-benar menyayanginya.


Aku sadar betul, aku pasti akan mencintainya selamanya, tak peduli di garis waktu mana pun.


“…Terima kasih.”


Setelah melepaskan pelukan sekali, Nito menatapku dari dekat.


Aku pun memberanikan diri dan mengecup bibirnya.


Rasa bibirnya, yang sudah berkali-kali kucicipi, tetap saja terasa begitu manis dan tak tergantikan.


Sekali seumur hidup, dan tidak akan pernah terulang lagi, rasa berharga ini.


Kusimpan baik-baik dalam hati, sebelum akhirnya kami melepaskan wajah masing-masing perlahan.


“…Ehehe.”


Dengan pipi memerah, Nito tersenyum.


“Kita… ciuman di tempat umum, ya…”


“Iya, kalau ketahuan ini majalah gosip bisa heboh.”


“Benar juga, ahaha…”


Lalu, dia berkata,


“…Meguri, terakhir, aku ingin melakukan satu hal.”


Ia mengatakannya dengan suara pelan.


“Saat kamu kembali nanti… ada satu hal yang ingin kulakukan bersamamu──”



“──Eh, bagaimana ya. Streaming-nya sudah mulai dengan benar tidak, ya?”


Di atas piano, dari layar ponsel yang diletakkan di tempat partitur, suara Nito terdengar.


“Hm, kelihatannya tidak apa-apa. Maaf ya, hari ini jadi dadakan live-nya. Soalnya… ada satu hal yang benar-benar ingin kulakukan.”


Sehari setelah Nito memberitahuku keputusannya. Hari Minggu, di ruang klub.


Aku datang ke tempat ini untuk kembali ke “garis waktu pertama”.


Duduk di depan piano, menempatkan jariku di atas tuts.


Siap memainkan lagu kapan saja, sambil menonton siaran itu.


Angin musim semi bertiup masuk melalui jendela yang terbuka lebar.


Meskipun masih terlalu dini untuk musim sakura, aroma bunga terasa lembut menyentuh hidungku…


Hari ini, menjadi hari seperti ini, sungguh hari yang cocok untuk sebuah perpisahan, pikirku dari hati.


“Sebenarnya… hari ini, aku ingin menyampaikan lagu terakhirku untuk seseorang yang sangat penting.”


Ucap Nito di sisi lain layar.


Tampilan live-stream-nya yang sudah sangat kukenal.


Di ruang streaming asrama Integrate Mag.


Dia duduk di depan piano, menatap kamera sambil berbicara.


Padahal live dadakan, jumlah penonton sudah hampir 10 ribu.


Dan dalam situasi itu,


“Yah… maksudnya orang penting itu… pacarku, sih.”


dengan santai, dia melontarkan kalimat seperti itu.


“Aku punya seorang pacar yang sudah lama bersamaku. Sebenarnya, dia akan pergi jauh. Jadi, aku ingin mengirimkan lagu ini sebagai salam perpisahan terakhir.”


Dengan senyum sendu, matanya menyipit saat berkata begitu.


Berlawanan dengan ketenangannya, kolom komentar langsung meledak.


“──Pacar!?”


“──Apa tidak apa-apa bicara begitu!?”


“──Ya wajar lah, pasti punya pacar”


Selama ini, Nito tidak pernah secara terbuka bicara soal punya kekasih.


Kolom Chat langsung kacau karena terkejut, jumlah penonton melonjak ribuan orang sekaligus entah dari mana munculnya.


Tapi──aku.


Aku yang disebut sebagai pacar itu, melihatnya dengan hati yang entah kenapa terasa sangat damai.


“──Aku ingin membuat semacam sayonara live.”


Begitulah yang Nito katakan terakhir kali di rooftop Town Seven.


“Kalau nanti kamu kembali ke awal, aku tidak akan bisa ada di sampingmu. Makanya, setidaknya aku mau mengucapkan selamat tinggal lewat live ini. Dan aku ingin kamu menontonnya…”


Menurutku, itu ide yang sangat bagus.


Kembali sendirian ke awal akan terasa sangat sepi.


Tapi dengan menonton siaran ini, aku merasa dia tetap berada di dekatku.


『……Terima kasih ya, Meguri』


Layar menampilkan dirinya memanggilku.


『Walau akhirnya harus seperti ini, terima kasih karena tetap ada di sampingku sampai akhir』


“……Aku juga, terima kasih.”


Kutelan rasa sakit yang menyembur di dadaku.


Menahan air mata sekuat mungkin, aku berkata kepada Nito yang ada di balik layar ponsel.


Walau tidak terhubung langsung lewat panggilan suara, kata-kata ini takkan sampai padanya.


Tetap saja, kuusap wajahnya di layar, dan menyampaikan pesanku.


“Benar-benar terima kasih. Sudah menyiapkan tempat seperti ini untukku.”


『Kalau begitu… aku mulai nyanyi, ya』


ucap Nito, lalu berdeham kecil.


『Aku ingin menyanyikan lagu terakhir, untuk mengantarnya pergi』


Bersamaan dengan kata-kata itu, aku pun meletakkan tanganku di atas tuts piano.


Karena──kami sudah berjanji sebelumnya.


Saat aku akan melakukan putaran pertama, kami akan memainkan musik ini bersama-sama.


Jadi,


『Silakan dengarkan』


kata Nito──dan menekan tuts.


Perlahan, nada-nada mulai muncul.


Lagu yang begitu familiar, lagu dansa yang selalu Nito mainkan di setiap ‘pengulangan’.


Jari-jemarinya menari di atas piano, merangkai harmoni.


Aksen akor yang berdering ringan, suara yang mewarnai seluruh ruangan.


Dan, tepat di bagian awal bait lagu──


aku pun mulai menekan tuts pianoku.


Sudah terbiasa memainkan piano sejak mulai menempuh perjalanan waktu.


Tapi tentu saja, masih jauh lebih kaku dibanding Nito, aku tetap mencoba merangkai melodi itu──


──Seketika, rasa dingin menjalari punggungku.


Nito di layar sana, sedang tersenyum.


Kami berdua, untuk pertama kalinya, sedang menciptakan sesuatu bersama-sama.


Yang terlintas di benakku adalah semua hari yang telah kulalui sejak memulai perjalanan waktu.


Pertemuan lagi dengan Nito, mencari anggota klub bersamanya, segala hal bersama Igarashi-san, festival budaya dengan Rokuyou-senpai, berburu bintang bersama Makoto.


Bahkan 1 tahun setelah kami berempat kembali melakukan ‘pengulangan’ pun, semuanya adalah harta yang berharga bagiku.


Semua itu──adalah waktu yang tak tergantikan.


Waktu istimewa yang takkan pernah terulang, kini perlahan mengalir keluar dari tanganku──


Saat itu──seberkas cahaya berkedip di penglihatanku.


Kilatan putih menyilaukan.


Refleks, aku memejamkan mata.


Beberapa detik kemudian, cahaya yang tertanam di retina itu memudar, dan aku membuka mata dengan rasa takut──


──di sana hanyalah kegelapan.


Pemandangan sebelumnya sudah lenyap entah ke mana, dan aku mengapung di ruang gelap tanpa batas.


Tidak ada gravitasi sama sekali. Tidak terasa panas atau dingin. Semua sensasi hilang, benar-benar nol.


Hanya ada piano di depanku.


Juga ponsel yang menampilkan Nito.


Di sekelilingku, beberapa cahaya berputar.


Bagai planet yang mengorbit, lampu-lampu bercahaya itu bergerak dengan kecepatan dan ukuran yang berbeda──


Dan──saat bait lagu berakhir,


『──Sampai jumpa!』 

 


Nito berteriak dari balik layar.


『Meguri──aku menyayangimu!』


Aku juga, Nito──


Aku juga, sangat menyayangimu──


Sambil membalasnya di dalam hati, aku teringat lagi.


Pertemuan kembali dengan Nito berkat perjalanan waktu. 


Kebahagiaan itu.


Hari-hari bersamanya, rasa saling mengerti──


Semua itu, bersama sosok Nito, perlahan menghilang di balik pusaran cahaya──


Cahaya berwarna merah muda berputar cepat di sekitarku.


Entah kenapa, pemandangan itu terasa begitu nostalgia, menenangkan──


──Air mata, sudah tak keluar lagi.


Aku masih punya tujuan, masih ada tempat yang ingin kutuju──


Dan di tengah pemandangan seperti hujan kelopak bunga sakura itu──


──Sejenak, aku merasa angin musim semi membelai pipiku──


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment



close