Chapter 10: Gadis yang takkan pernah memaafkan yang jatuh ke sisi gelap
「Bukan! Aku tidak tahu apa-apa...! Semua itu bohong!!」
"Di saat seperti ini kau masih menyangkal, betapa memalukan, Duke Lechery!"
Meskipun bukti yang tidak terbantahkan telah diajukan, Duke Lechery tetap tak mengakui kesalahannya. Suara lantang itu datang dari Pangeran Sley.
Kini kesalahan Duke Lechery sudah tak terbantahkan. Mungkin Pangeran Sley berpikir tak ada gunanya bersekutu dengan seseorang yang justru akan menyeretnya jatuh; lebih baik menjatuhkannya sepenuhnya.
"Pengkhianat, Sley! Sudah lupa siapa yang mendukungmu selama ini!?"
"Tak ada kehormatan yang pantas diberikan kepada penjahat besar sepertimu! Lucas, segera tangkap pria ini!"
Atas perintah Pangeran Sley, Pangeran Lucas mengangkat bahu dan menjawab santai:
"Aku tahu, Kak Sley. Wakil Kapten Roan."
"Siap. Hei, tangkap Duke Lechery!"
Begitu perintah diberikan oleh Roan, dua ksatria naik ke atas panggung untuk menangkap sang duke—namun hampir bersamaan...
"──Yang Mulia Pangeran Lucas!"
Merasa ada sesuatu yang tak beres, Lily tiba-tiba berteriak memanggil sang pangeran. Mendengarnya, sang pangeran langsung memberi perintah:
"Semua orang, siaga penuh!"
Tak lama kemudian, kaca-kaca jendela balai pesta pecah serentak dan sesuatu mulai menyerbu masuk ke dalam.
"Apa itu!?"
"Monster!"
"Kenapa bisa ada monster di sini!?"
Makhluk-makhluk yang muncul memiliki tubuh besar dan kekar, berdiri dengan dua kaki, dilapisi bulu abu-abu pucat. Mereka menyerupai primata seperti kera atau gorila dan membawa pedang pendek mirip cutlass.
A-apa mereka itu… monster!?
Di dunia ini, selain hewan liar, juga ada makhluk aneh yang disebut monster. Kebanyakan hidup di dungeon yang tersebar di berbagai wilayah, dan meski kadang keluar dan menyerang manusia atau ternak, tapi…
Tak mungkin itu penyebabnya kali ini. Ini ibu kota kerajaan, kawasan pusat tempat istana berdiri. Tak mungkin monster muncul secara kebetulan tepat di sini dan saat ini. Terlalu jelas ini adalah serangan yang direncanakan.
"Semua ke dekat panggung!"
Pangeran Lucas berteriak memberi instruksi pada para tamu pesta. Mereka pun berhamburan menghindari monster dan berkumpul di sekitar panggung. Para ksatria dengan sigap menghunus pedang dan melindungi para tamu.
Jumlah ksatria ada sepuluh, tapi monster yang muncul lebih dari tiga puluh—jumlahnya jauh lebih banyak.
Namun para ksatria di sini adalah yang terbaik dari pasukan kerajaan.
"Ck, jadi makin ribet aja nih. Situasinya memang nggak masuk akal, tapi jangan panik, kalian! Kalau ada yang mati, makin runyam jadinya. Lindungi mereka, pertaruhkan nyawa kalian!"
"Siap, Master!"
"Berhenti manggil aku Master, bodoh!"
Sambil adu mulut, Roan dan Alyssa menyerbu ke arah monster secara bersamaan. Dalam sekejap mata, dua lengan monster yang memegang cutlass melayang di udara.
Perbedaan jumlah tiga kali lipat bukan masalah bagi mereka berdua. Meski monster menyerang secara bersamaan, para ksatria lainnya tetap tenang dan menghadapinya dengan sigap.
"Wakil Kapten Roan! Tambahan datang! Jumlahnya 23 ekor!"
"Dimengerti, nona dari keluarga Puridy! Dengar itu, Alyssa! Kita percepat!"
"Siap!"
Roan dan Alyssa mempercepat laju pembasmian mereka. Seperti yang diprediksi Lily, monster tambahan menerobos masuk lewat jendela.
Jadi mereka berniat menekan lewat jumlah, ya…!?
"Aaaaahhh!"
Tiba-tiba terdengar jeritan menyedihkan dari belakang. Saat ku menoleh, Duke Lechery melompat turun dari atas panggung. Ia gagal mendarat dengan baik dan mengeluarkan suara seperti katak yang terinjak, "bubeh!", tapi langsung bangkit dan mulai berlari ke arah monster.
"Duke Lechery!? Kembali! Kau mau mati!?"
Namun sang duke tak menggubris teriakan Pangeran Sley dan berlari melewati monster.
"Apa──!?"
Semua orang mengira sang duke akan dibantai oleh monster. Tapi anehnya, monster justru membiarkannya lewat dan malah menyerang kami.
"Hugh, kejar dia! Jangan biarkan Duke Lechery lolos!"
"…! Pegangan yang erat, ya!"
Sambil menggendong Lily, aku mulai berlari mengejar sang duke. Tapi langsung dihadang oleh beberapa monster, seakan-akan mereka memang ditugaskan untuk menghalangi pengejaran.
"Sial…"
Aku tak bisa bertarung sambil menggendong Lily. Apa aku harus mengandalkan dari skill dan melompati mereka?
"Lari, Hugh!"
"Serahkan ini pada kami!"
Dalam sekejap, kepala monster yang menghalangi kami terpenggal. Roan dan Alyssa membuka jalan.
"Terima kasih banyak!"
Aku pun berlari melewati celah di antara monster.
Dalam rencana sebelumnya, kami memang mempertimbangkan kemungkinan adanya gangguan saat penangkapan Duke Lechery. Seperti dari Pangeran Sley, bangsawan pendukungnya, atau pasukan pribadi sang duke.
Kalau Duke Lechery kabur, akulah yang harus mengejarnya bersama Lily. Karena bisa jadi dalam skenario terburuk, kamilah yang harus kabur. Itulah sebabnya sejak awal aku selalu menggendong Lily.
Tapi tak pernah kami bayangkan harus mengejar sang duke sambil menghindari serangan monster.
Begitu keluar dari aula pesta, Duke Lechery sudah tidak terlihat.
"Lily, ke arah mana!?"
"Ke kanan!"
Skill milik Lily memungkinkan dia melihat sekeliling dari pandangan mata burung dan membedakan kawan dan lawan dalam radius 1.500 meter. Jadi meskipun keluar dari pandangan, dia tetap bisa melacaknya.
Skill luar biasa yang menjadikannya murid terbaik di angkatannya. Satu-satunya kelemahannya adalah saat mengaktifkan pandangan itu, dia kehilangan penglihatan normal—tapi itu bukan masalah karena aku yang membawanya.
"Belok kiri di ujung koridor, lalu naik ke lantai dua!"
"Baik!"
Aku terus berlari mengikuti petunjuk Lily.
"Ngomong-ngomong, monster tadi itu sebenarnya apa ya… Seperti dikendalikan Duke Lechery, tapi…"
"Mungkin saja… Mereka jelas menghalangi kita saat mengejarnya… Apakah skill Duke Lechery memungkinkan dia mengendalikan monster…?"
"…Dia sendiri pernah bilang skill-nya . Bahkan dia pernah menyombongkannya saat makan malam, bilang itu berguna juga untuk urusan ranjang."
"Topik yang sangat buruk untuk dibanggakan."
"──Berhenti!"
Atas perintah Lily, aku langsung berhenti. Kami baru saja mencapai lantai dua dan sedang berlari di koridor dekat jendela.
Tiba-tiba, dua monster sama seperti tadi menerobos jendela dan mendarat di hadapan kami.
Jumlahnya hanya dua, tapi koridor ini sempit. Jika mereka menyebar, sulit untuk melewati mereka.
"Lily, ada jalan memutar…?"
"Bisa lewat tangga ke lantai satu, tapi…"
Saat aku melirik ke belakang, satu monster lain menerobos jendela tepat di depan tangga.
"Mereka muncul seolah-olah tahu gerakan kita… atau cuma perasaanku…?"
"…Dan tambah aneh lagi, skill-ku juga tidak bisa mendeteksi mereka sampai benar-benar mendekat. Ini pertama kalinya terjadi."
Bahkan skill Lily tak bisa mendeteksi mereka…? Sekilas aku teringat pada sosok berjubah yang bertransaksi dengan sang duke, tapi… sekarang bukan waktunya memikirkan itu.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menurunkan Lily dan bertarung menggunakan dari skill ?
…Tidak, tiga lawan satu terlalu berisiko. Jika aku sibuk melawan satu, Lily bisa jadi target.
Melarikan diri lewat luar mungkin pilihan, tapi…
“Eh?”
Lily tampak bingung. Saat kuikuti arah pandangannya, seseorang muncul dari bawah tangga dan menebas monster dengan serangan kejutan.
Dengan gaya elegan, ia menyapu rambut dan tersenyum menawan.
"Bersyukurlah, Hugh Plnosis! Aku, Idiot Hortness, akan bergabung membantu kalian!"
"Idiot!?"
"Kau… kenapa kau di sini…?"
Dengan santai ia membersihkan darah dari pedangnya, lalu mendekat.
"Pertanyaan bodoh, Lily Puridy. Kalau kalian kenapa-kenapa, Nona Lecty akan sedih, bukan?"
Sambil berkata demikian, Idiot melewati kami dan bersiap menghadapi dua monster.
"Aku, Idiot Hortness, akan menahan mereka di sini! Dengan nama skill , aku bersumpah melindungi punggung kalian. Pergilah dengan tenang!"
"…Jangan mati, Idiot!"
"Fuh. Siapa menurutmu aku ini? Aku Idiot Hor──"
"Kami berhutang padamu, Idiot!"
Kami meninggalkan pertahanan pada Idiot dan segera berbalik arah mencari jalan memutar.
Untungnya tak ada lagi serangan monster. Kami pun berhasil kembali ke lantai dua lewat tangga lain, dan tiba di depan ruangan tempat Duke Lechery melarikan diri.
Jika ingatanku benar, ini adalah ruang kerjanya kemarin.
"Duke Lechery!"
Begitu aku menurunkan Lily dan melangkah masuk ke dalam ruangan, terlihat Duke Lechery tengah berlutut di depan sebuah pintu kecil yang tampak seperti brankas. Dengan panik, dia memasukkan koin emas ke dalam kantong sebanyak mungkin. Tak terbayang berapa persen dari koin-koin itu yang didapat dari menjual rakyat yang ia culik.
"Sampai di sini saja, Duke Lechery. Kau tak bisa lari lagi. Serahkan dirimu dengan tenang."
"Lily Puridy...! Semuanya hancur karena kau!! Dasar jalang!!"
"...!"
Mendengar teriakannya yang penuh kebencian, Lily terkejut dan sedikit mengkerut. Untuk melindunginya, aku maju selangkah dan berdiri menghadapi Duke Lechery.
"Hm? Siapa kau!? Kau juga datang untuk menangkapku, hah!? Apa kau juga tergoda rayuan jalang itu, bocah!?"
"Duke Lechery. Kau harus membayar atas dosa-dosamu."
"Membayar dosa? Omong kosong! Aku bangsawan, seorang duke! Tak ada dosa yang perlu kutebus! Lucas dan Slei itu tolol! Mereka cuma punya dua lembar bukti murahan! Dengan emas ini, aku bisa menutupi semuanya!"
Sambil berkata demikian, Duke Lechery melemparkan koin emas ke arah kami. Sepertinya dia memakai skill karena koin-koin itu melesat cukup cepat, tapi tak cukup menyakitkan. Aku menepis semua koin yang hampir mengenai Lily.
"Ambillah sebanyak yang kau mau! Mau lebih!? Tangkap saja jalang di belakangmu itu! Sok suci padahal masih gadis! Akan kubuat dia jadi wanita malam ini juga! Cepat, tangkap──"
"Tutup mulutmu, bajingan...!"
Dengan sekuat tenaga, aku mengepalkan tinju dan menghantam wajah Duke Lechery. Meski belum pernah memukul orang sebelumnya, pukulan lurus yang dibantu skill milik itu menghancurkan tulang hidung dan gigi depannya.
"Gugyaaaaah!?"
Sambil mengerang kesakitan dan mengucurkan darah dari hidung dan mulut, ia terhuyung. Aku langsung menendang pantatnya sekuat tenaga, membuatnya menabrak pintu kaca balkon, lalu jatuh terjerembap tak bergerak.
Mungkin aku terlalu keras... Tapi sepertinya dia tidak mati. Dengan bantuan skill yang memperkuat pendengaranku, aku masih bisa mendengar detak jantungnya. Tampaknya dia hanya pingsan.
"Sudah… selesai?"
"Ya, sudah selesai."
Aku menjawab Lily yang menatap tubuh Duke Lechery yang tergeletak tak berdaya.
Monster yang menyerbu pesta kemungkinan besar sudah dihabisi oleh Roan dan Alyssa. Idiot juga pasti sudah mengatasi bagiannya. Dia bukan orang yang mudah kalah.
"Syukurlah──"
"Lily!"
Lily tiba-tiba terhuyung, dan aku buru-buru menangkapnya. Ia bersandar di dadaku dan berkata lirih, "Maaf... Begitu merasa lega, tubuhku rasanya tak bertenaga..."
"Tak apa. Kalau kau tidak keberatan, tetaplah seperti ini."
Sambil memeluknya, aku menopangnya. Dia terlihat akan jatuh jika tak kupegang. Akan lebih baik jika bisa membaringkannya di tempat yang aman.
"...Bodoh. Kenapa kau begitu baik..."
"Lily?"
"Karena kau baik... Karena kau begitu peduli padaku... Padahal aku harus kuat... Harus jadi wanita sempurna seperti ibuku...!"
Lily menggenggam ujung jas ekorku dan menyembunyikan wajahnya. Aku bisa mendengar isakannya. Sepertinya bukan hanya perasaanku.
──Dulu, saat kami berpisah sepuluh tahun lalu, aku mungkin berkata: “Aku akan menjadi seseorang yang bisa kau andalkan saat kau ingin menangis.”
Kalau begitu, mungkin saat ini aku telah memenuhi janjiku. Aku sudah jadi orang yang cukup dipercaya Lily untuk bersandar tanpa rasa canggung. Itu membuatku bangga.
Tapi saat dia benar-benar menangis, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Umm...
Mungkin yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menyampaikan perasaanku. Kepada gadis yang tetap tegar dalam penderitaan. Yang terus melawan meski nyaris dilumat ketidakadilan.
Dengan tulus…
"Kau hebat, Lily. Terima kasih... sudah berjuang sejauh ini."
"Ugh... Hiks... Uaaa..."
Lily akhirnya menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Kalau bisa, aku ingin terus memeluknya sampai ia tenang...
Tapi kami tidak punya waktu.
"Keparat… monster keji…!"
Dari balik kaca yang hancur, Duke Lechery berdiri tertatih, berlumuran darah. Di tangannya, tergenggam botol kecil berisi cairan merah muda yang familiar.
Sial, aku lengah…!
Segera setelah membuka tutupnya, ia meminum isi botol itu.
"Uguh… goh!? Apa ini…!? Ini bukan yang dijanjikan──gah!"
Botol itu jatuh dari tangannya dan pecah. Tubuhnya membungkuk, memegangi dada sambil meringis kesakitan.
Apa dia keracunan…? Tapi…
"Dia tak akan bunuh diri…! Hati-hati, Lily. Ada yang tidak beres…!"
Instingku yang diasah skill memperingatkan ada yang salah. Tubuhnya mulai membesar dengan cepat.
Kukunya memanjang dan menghitam, tubuhnya mulai ditumbuhi bulu seperti kera. Otot-ototnya berkembang luar biasa, tubuh gempalnya membesar lebih dari tiga kali lipat.
"Tidak mungkin… Manusia jadi… monster…!?"
Wujudnya kini menyerupai monster yang menyerbu pesta tadi—hanya lebih besar dua kali lipat.
Cairan yang diminumnya… bisa mengubah manusia menjadi monster!? Kalau begitu, monster-monster tadi juga…!?
『GUUUUGYAAAAAAAAAAAAAAA!!!』
Raungan memekakkan telinga bergema. Skill membuat pendengaranku sangat tajam, dan hampir membuatku pingsan. Aku segera meloncat sambil menggendong Lily, karena monster itu menerjang ke arah kami.
Tubuh raksasa itu menghantam tempat kami berdiri, menabrak dinding dan menimbulkan getaran serta puing-puing yang berjatuhan.
Tak ada waktu untuk lega. Aku segera menggendong Lily lagi dan berlari ke balkon. Monster mantan Duke Lechery mengejar.
"Kita akan loncat! Pegangan yang kuat!"
"Lo-loncat!? Kyah!?"
Aku menginjak pagar balkon dan melompat. Saat menoleh ke belakang, monster itu juga melompat mengejar.
Ia mendarat tepat di depan kami, seolah sengaja memblokir jalan. Dengan menyeringai, ia menatap kami.
Apa ia masih sadar? Atau hanya naluri memburu? Yang jelas, dia fokus mengejar kami.
"Ayo kembali ke aula, Hugh! Roan dan Alyssa ada di sana. Mereka pasti bisa mengalahkannya!"
"Itu memang ideal. Tapi bagaimana cara kita lari…?"
Gerakannya jauh lebih cepat dari monster lain—sepertinya efek miliknya masih aktif. Bahkan dengan skill level Max, mengejarnya sambil menggendong Lily bukanlah pilihan.
Bertarung langsung juga mustahil. Skill tak dirancang untuk pertempuran frontal. dan hanya pelengkap.
Roan, Alyssa, atau Idiot… kalau salah satu dari mereka datang dan mengalihkan perhatian monster ini, mungkin aku bisa menyerang.
"Lily, apa ada yang menuju ke sini untuk bantu…?"
"...Tidak. Mereka masih bertarung. Idiot pun masih melawan satu monster lagi."
"Begitu ya…"
Tak ada bala bantuan.
Berarti aku sendiri yang harus menangani "itu".
Sebenarnya, tak terlalu sulit… hanya saja, butuh keberanian.
"Lily, tunggulah sebentar."
"Hugh…?"
"…Aku akan segera menyelesaikannya."
Aku menurunkan Lily dan berdiri menghadapi monster mantan Duke Lechery. Nafasnya memburu, seolah siap menerkam kapan saja.
Sudah saatnya… menunjukkan kekuatanku.
Menahan ketakutan yang muncul…
" lepas."
Aku mengeluarkan cermin kecil dari saku jas dan melepaskan Cuci Otak pada diriku sendiri.
Lalu…
"Skill <Cuci Otak>."
──Skill <Cuci Otak> dengan mudah mengendalikan monster mantan Duke Lechery.
Tulisan "<Terkena Cuci Otak>" muncul di atas kepalanya. Aku menghela nafas.
Ini pertama kalinya aku menggunakan skill ini pada monster.
Dalam penjelasan skill yang tertulis di status, dikatakan:
Skill: Cuci Otak Lv.1 – Mengendalikan sepenuhnya siapa pun yang melakukan kontak mata (maksimal 1 target).
Karena deskripsi skill tidak membatasi target hanya pada manusia, aku berpikir seharusnya bisa digunakan pada monster juga, tapi tetap saja aku tegang. Kalau tidak berhasil, aku pasti sudah dibunuh…
"Kau bisa mengerti ucapanku, Duke Lechery?"
『…………』
Monster berbentuk kera, dulunya Duke Lechery, tidak merespons.
"Siapa yang memberimu obat itu? Kalau pria, angkat tangan kananmu. Kalau wanita, tangan kiri."
『…………』
...Tidak juga.
Skill jelas bekerja dengan baik, jadi kemungkinan besar dia tidak memahami ucapanku.
"Angkat tangan kananmu."
Monster itu perlahan mengangkat tangan kanannya. Sepertinya meski tak mengerti kata-kata, ia tetap bisa menerima perintah langsung. Rasanya seperti menggerakkan boneka. Ia tidak bisa bertindak atas inisiatif sendiri, tapi bisa dikendalikan.
"Kembali ke wujud semula."
『…………』
Tak ada respons... Bahkan dengan kekuatan paksa dari skill , tubuh yang sudah bermutasi tidak bisa dikembalikan.
Tak ada komunikasi. Dalam kondisi seperti ini, aku bahkan tak bisa menggali informasi. Mungkin bisa dapat sesuatu kalau aku mengganti skill...
"Tidur!"
『…………』
Ini juga gagal...? Ia bahkan tidak menguap...
Untuk mengganti skill, aku harus melepaskan terlebih dahulu. Tapi jika aku melakukannya, monster ini pasti langsung mengamuk. Risikonya terlalu besar.
Tubuhnya tidak bisa kembali, dan jika skill dilepaskan, dia akan jadi liar. Satu-satunya pilihan aman adalah tetap menjaganya dalam kondisi sampai Pangeran Lucas atau Roan datang. Tapi kalau begitu, para bangsawan lain—termasuk Pangeran Slei—bisa mengetahui skill-ku.
Haruskah aku tetap menjaganya dalam kondisi ini lalu pergi diam-diam mencari bantuan? Tidak... kalau aku bertemu monster lain, tamat sudah.
Apa yang harus aku lakukan…?
Terbersit ide untuk membunuhnya saja—paling cepat dan mudah. Tapi... aku tidak bisa melangkahi batas itu. Selama aktif, dia tidak berbahaya. Kecuali dalam keadaan benar-benar darurat, aku tak bisa membunuhnya.
Tapi aku benar-benar terjebak. Mungkin satu-satunya pilihan adalah menunggu Lucas datang, meski skill-ku harus terbongkar...
Kalau begitu, setidaknya, aku harus memindahkan monster ini ke tempat yang tidak mencolok. Saat aku hendak memberi perintah—
Thump. Tangan kanan monster yang tadinya terangkat jatuh ke tanah.
"……Hah?"
Apa yang kulihat…? Di hadapanku, tubuh monster itu mulai mencair seperti lumpur. Setelah tangan kanan, tangan kirinya pun ikut jatuh, dan tubuh raksasanya ambruk, terguling ke depan karena kakinya terendam cairan busuk itu.
Teks "Terkena Cuci otak" sudah menghilang dari tadi.
Tunggu, apa-apaan ini!? Aku tidak menyuruhnya bunuh diri, apalagi meleleh seperti ini...!?
Dalam keterpakuanku, monster yang dulunya Duke Lechery berubah jadi noda di lantai—bahkan tak menyisakan satu tulang pun.
Apa yang sebenarnya terjadi...?
"Hugh...?"
"──ッ"
Lily memanggil namaku.
Suara itu hampir menghentikan detak jantungku.
"Itu barusan… kau yang melakukannya, Hugh?"
"T-tidak, sepertinya bukan..."
Aku tidak bermaksud begitu. Tapi… mungkinkah skill-ku meledak tanpa kusadari? Kemungkinan itu... tak bisa kusingkirkan sepenuhnya. Aku terlalu sedikit tahu tentang kekuatan ini…
"Lalu siapa yang menghentikan gerakan Duke Lechery dan memberinya perintah...?"
"……Itu..."
Saat kuputuskan menggunakan skill di depan Lily, aku sebenarnya sudah siap untuk mengungkap segalanya padanya… seharusnya.
Tapi mulutku membeku.
Aku takut untuk mengatakan apa pun.
Aku takut untuk menoleh dan melihat wajah Lily.
Bagaimana dia memandangku sekarang...? Hanya membayangkannya saja membuat kakiku gemetar.
Apa dia takut padaku? Apa dia muak…?
"Jadi itu skill-mu yang sebenarnya, ya?"
"Y-ya... Skill asliku adalah <Cuci Otak> . Aku bisa mengendalikan orang yang menatap mataku."
Jadi kumohon, terimalah aku. Pahamilah aku. Jangan takut padaku…!
Tapi doa egois itu tak sanggup kuucapkan.
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari belakang.
"Lihat ke arahku, Hugh."
"Jangan... jangan sampai kau melihat mataku..."
"Tak apa. Lihat aku."
"T-tidak... Kalau kau sampai terhipnotis, gimana...!?"
"Maka begini caranya."
"Uwaah!?"
Lily menarik kerahku dan memaksaku menoleh ke arahnya.
Di hadapanku, wajah cantiknya mendekat. Aku buru-buru memalingkan wajah, tapi Lily memegang wajahku dengan kedua tangannya dan memaksaku menatapnya.
Mata hijau zamrudnya menatapku dalam-dalam.
"A-apa yang kau lakukan!? Apa kau tak takut… bakal terhipnotis…!?"
"Jangan remehkan aku. Aku cukup tahu tentang dirimu untuk tahu kalau kau tak punya nyali sebesar itu. Benar kan, Tuan Bangsawan Miskin dari pedesaan?"
"H-hey, kau ini…!"
Aku hendak membalas saat melihat senyum menggoda di wajah Lily.
"Atau... mungkin—"
Wajahku dikepung aroma manis seperti buah persik, lalu bibirku disentuh lembut oleh bibirnya.
"──Perasaan ini juga… apakah ditanamkan oleh skill milikmu?"
Mata Lily yang basah menatap lurus padaku dan bertanya.
Pipi merah meronanya membuatnya tampak semakin rapuh dan menggemaskan.
"…Bukan, sama sekali bukan."
"Kalau begitu, aku lega. Karena sekarang tak ada lagi alasan bagimu untuk menggunakan skill padaku, bukan?"
"Yah… tidak juga. Maksudku, bisa saja ada… berbagai cara lain menggunakannya, mungkin."
"Berbagai cara lain? Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, tahu? Mau itu hal yang mesum atau memalukan. Meskipun terlihat begini, aku ini tipe wanita yang suka mengabdi, lho."
"Tolong, hentikan lelucon yang nggak lucu itu…"
"Fufu, dari ekspresimu kelihatannya kamu masih belum tahu bagaimana cara menggunakan skill itu, ya?"
"…Ya. Kalau bisa, aku ingin membuangnya saja. …Ngomong-ngomong, bisakah kau melepaskanku sekarang? Ini mulai agak memalukan."
"Tidak bisa. Aku lagi pengin terus menatapmu seperti ini."
"Tolonglah…"
Lily, dengan senyum menggoda di wajahnya, akhirnya melepaskanku setelah beberapa saat kemudian.
***
"Sudah puas…?"
"Iya, sangat puas."
Melihat senyum cerah yang terukir di wajah Lily, aku hanya bisa membalasnya dengan senyum kecut. Setelah itu dia mencuri ciumanku berkali-kali, dan di akhir aku bahkan sudah tak paham lagi apa yang sedang terjadi. Sampai sekarang pun, pikiranku masih terasa mengawang.
Kami duduk bersebelahan di atas rumput, mengambil jarak dari bekas noda monster yang dulunya adalah Adipati Lechery. Entah siapa yang mulai lebih dulu, tangan kami saling menggenggam, dan bahu kami bersentuhan.
"Kalau aku bisa menghapus sedikit saja perasaan negatif dalam dirimu, itu sudah cukup."
Sepertinya, Lily tahu betul isi hatiku dari tadi.
"Berkatmu, aku merasa jauh lebih tenang sekarang."
Perasaan waswas setelah menunjukkan skill padanya memang belum benar-benar hilang, tapi setidaknya jadi jauh lebih ringan.
Disadari atau tidak, aku ini ternyata gampang banget pulih secara mental cuma karena dicium cewek cantik. Sungguh, diriku terlalu sederhana sampai bikin malu sendiri.
…Tapi, bukan itu intinya. Bukan karena dia cewek cantik maka aku merasa lega. Tapi karena dia adalah Lily. Karena dia yang menerima semuanya, aku bisa tetap bertahan dan tidak hancur secara mental.
Kalau waktu itu Lily menolak dan menjauhiku… mungkin aku sudah menyerah pada semuanya. Atau lebih buruk, aku mungkin telah melangkah masuk ke dalam kegelapan yang tak bisa kembali.
"Terima kasih, Lily."
"Sama-sama. …Lalu?"
"Lalu?"
Tiba-tiba dia seperti menuntut sesuatu, membuatku secara refleks mengulang ucapannya.
Lily menghela napas dan menatapku dengan tatapan datar.
"Masa setelah dikejar-kejar penuh hasrat oleh seorang wanita secantik ini, kamu cuma bilang ‘terima kasih’ lalu selesai begitu saja? Yang aku tanyakan adalah… apakah kamu bersedia menerima perasaan ini atau tidak."
"A-aku…"
Bahkan aku yang kurang peka ini pun sadar akan perasaan Lily setelah dicium berkali-kali. Meski awalnya seperti untuk menghiburku yang nyaris jatuh mental, tidak mungkin dia melakukan semua itu kalau tak menyukaiku.
Mata hijau zamrud milik Lily menatap tajam ke mataku. Pandangan itu penuh dengan kepercayaan dan tekad bahwa dia siap menerima segalanya dariku.
Itulah kenapa… aku harus menjawab dengan jujur.
"…Maaf. Aku senang dengan perasaanmu, Lily. Tapi… sepertinya aku tidak bisa mencintai hanya dirimu seorang."
Senyuman terang milik Lugh sudah terbayang di kepalaku. Walau sekarang kami masih hanya sebatas teman dekat, aku tetap berharap bisa melangkah lebih jauh suatu hari nanti.
Aku… telah jatuh cinta pada Lugh.
"Begitu, jadi kamu tak bisa mencintaiku saja?"
"Iya… Maaf, Lily. Jadi aku—"
"Kalau begitu, aku serahkan posisi istri pertama pada Lucretia, dan aku akan jadi istri keduamu untuk mendukungmu."
"………………………………Hah?"
"Ayo kita bangun wilayah Pnosis bersama dan menjadikannya daerah terkaya di kerajaan, ya?"
"Eh, tunggu. TUNGGU DULU! Jangan tiba-tiba mulai cerita pembangunan wilayah! Dan kenapa kamu oke-oke saja jadi istri kedua!?"
"Yah, dibanding jadi istri ketujuh dari paman cabul setengah baya, ini jauh lebih baik, bukan?"
"Perbandinganmu buruk banget!!"
Dia ini… jangan-jangan gara-gara pernah hampir dijodohkan sama Adipati Lechery, standar penilaiannya jadi rusak!?
"Aku nggak ngerti kenapa kamu panik begitu. Poligami itu bukan hal aneh di kalangan bangsawan, tahu?"
"…Tapi seorang putri bangsawan tinggi menikah dengan keluarga baron rendahan itu jarang terjadi, kan?"
"Kalau begitu, seorang putra baron miskin dari wilayah terpencil yang ingin menikahi anggota keluarga kerajaan juga sama langkanya, bukan?"
"Ugh… Itu, memang benar sih…"
"Nggak apa-apa meski itu hal yang belum pernah terjadi. Kamu tinggal naik pangkat di bawah perlindungan Pangeran Lucas, kumpulkan prestasi, dan jadilah seorang marquis. Setelah itu, punya istri seorang putri kerajaan dan seorang putri marquis seperti aku bukan hal yang aneh lagi."
"Tapi cita-citaku itu hidup tenang dan damai, bukan jadi orang besar…"
"Terlalu dini untuk jadi orang tua pensiunan, tahu. Kita ini baru lima belas tahun, lho?"
"Itu sih, benar juga…."
Ya, meskipun aku ingin hidup santai karena kehidupan masa lalu yang terlalu melelahkan, menjelaskannya ke Lily pasti cuma berakhir dengan kalimat: "Ngomong apa sih kamu ini?"
"Tegarlah ya, calon suamiku?"
"Tekanannya terlalu berat, sumpah…"
Dan fakta bahwa aku tidak bisa dengan tegas menolaknya… menunjukkan bahwa aku sebenarnya menganggap tawaran Lily itu sangat menggoda.
Kalau dilihat dari sudut pandang kehidupan lamaku, ini semua jelas melanggar norma dan etika. Tapi di dunia ini, poligami di kalangan bangsawan justru dianjurkan. Malah, ayahku yang hanya punya satu istri termasuk langka.
…Iya, sepertinya terlalu terikat pada nilai-nilai kehidupan sebelumnya itu tidak baik juga, ya!
Dalam dekapan kenangan ciuman manis dari Lily, moral dan etika dari kehidupanku yang lalu pun hancur berantakan.
Epilog: Ketahuan sedang menunggu sambil pura-pura tidur
Setelah beristirahat sejenak, kami menuju kembali ke tempat pesta untuk bergabung dengan Pangeran Lucas.
Saat kami tiba, pertarungan sudah berakhir. Di mana-mana, lebih dari seratus pedang berserakan di lantai.
Bau seperti besi berkarat memenuhi ruangan, membuatku dan Lily secara refleks mengernyit.
Tapi, tidak ada bangkai monster di mana pun. Satu-satunya jejak yang tersisa hanyalah noda kecoklatan di lantai.
…Tampaknya kehancuran monster yang dulunya adalah Adipati Lechery bukan disebabkan oleh ledakan skill .
Aku menghela napas lega dan menatap sekeliling.
Pangeran Lucas, Tuan Roan, Nona Alyssa, dan para ksatria lainnya semuanya selamat. Tak tampak ada yang terluka parah. Mereka berhasil melindungi seluruh tamu pesta hanya dengan sepuluh orang, meski melawan gerombolan monster sebanyak itu.
"Kalian sudah kembali. …Dari ekspresi kalian, sepertinya Adipati Lechery berhasil kabur, ya?"
Pangeran Lucas bertanya. Aku dan Lily saling bertatapan, lalu menjelaskan bahwa keadaannya jauh lebih serius dari itu. Atas instruksi sang pangeran, kami berpindah tempat. Beliau menyerahkan tempat kejadian pada Nona Alyssa, lalu membawa kami dan Tuan Roan masuk ke salah satu ruangan di kediaman.
Ruangan itu tampaknya ruang tamu, dipenuhi perabotan mewah yang malah membuat suasananya terasa tidak nyaman. Tuan Roan berjaga di luar, sementara kami duduk di sofa, berhadapan dengan sang pangeran.
"Baiklah, ceritakan apa yang terjadi."
Kami menjelaskan semua yang terjadi setelah keluar dari tempat pesta untuk mengejar Adipati Lechery. Pangeran Lucas menyimak dalam diam, menempelkan dagunya pada kedua jempol yang disatukan di depan wajahnya.
Setelah selesai, ia menghela napas dalam.
"Aku mengerti. Sepertinya kasus ini jauh lebih kelam dari yang kukira."
Ia bersandar dan menyilangkan tangan di belakang kepala seolah menyerah.
"Aku memang sudah menduga ada campur tangan negara lain. Jika mereka menjual orang yang diculik, kemungkinan besar dilakukan di luar negeri. Tapi… serangan monster, dan cairan misterius yang mengubah manusia jadi monster… Hal seperti itu benar-benar di luar nalar."
"Skill-ku juga tidak bisa melihat masa depan," tambahnya sambil mengangkat bahu.
"…Apa yang kau lihat dari monster-monster itu, Yang Mulia?"
Aku penasaran apakah skill beliau—yang bisa melihat hal-hal yang tak ingin dilihat—menunjukkan sesuatu yang berbeda.
Namun…
"Sulit dijelaskan, Hugh. Apa yang kulihat lewat skill-ku tak selalu sama dengan yang kalian lihat. Tapi setidaknya, monster yang menyerang tempat pesta tadi tidak tampak seperti manusia."
"Begitu, ya…"
"Meski begitu, aku juga menduga monster itu dulunya manusia, seperti Adipati Lechery. Faktanya, para pelayan dan pengawal pribadi di mansion ini juga dilaporkan menghilang."
"…!"
Lily tampak pucat dan menutup mulutnya. Mungkin ia teringat pada noda di lantai tadi. Aku juga punya firasat buruk soal itu… dan sekarang nyaris pasti.
"Soal cairan misterius yang bisa mengubah manusia jadi monster… untuk saat ini, mari kita rahasiakan antara kita dan para ksatria kerajaan yang menyelidiki kasus ini. Kalau sampai tersebar bahwa cairan itu dicampur ke dalam hidangan pesta, para bangsawan bisa panik."
Ucapan itu membuatku merinding. Aku juga sempat makan makanan pesta karena penasaran.
Berdasarkan reaksi cepat Adipati Lechery, efek cairan itu tampak langsung bekerja. Tapi sejauh ini, aku tidak merasakan efek apa pun… semoga saja tidak terjadi apa-apa.
"Baiklah, aku akan kembali ke tempat pesta. Kalian, pulanglah dan istirahat. Besok kalian masih ada kelas, bukan?"
"Eh? Ah, iya… Boleh kami pergi begitu saja?"
Aku terkejut mendengarnya. Kukira aku akan diminta membantu penyelidikan soal cairan dan siapa yang memberikannya pada Adipati Lechery. Aku bisa melacaknya dengan mengganti skill.
Tapi Pangeran Lucas menoleh dan tersenyum padaku.
"Aku sudah mendengar ceritamu. Awalnya ingin memintamu ikut pemeriksaan lokasi, tapi aku tak ingin kau menarik perhatian kakakku, Pangeran Slay. Itu akan merepotkan."
Sepertinya ia ingin tetap merahasiakan keberadaanku. Meski sudah cukup mencolok di pesta, aku masih lebih ‘aman’ dibanding Lily dan sang pangeran sendiri… mungkin.
"Lagipula…"
"Lagipula?"
"Ah, tidak. Lupakan saja."
Ia sempat ingin mengatakan sesuatu, tapi mengurungkan niatnya. Sepertinya ada hal lain, tapi… tak ada gunanya memaksa. Kalau bisa pulang, lebih baik langsung pulang. Aku sudah sangat lelah.
"Soal masa depan, kita akan bicara lagi nanti. Masalah keluarga Puryddi akan kita bahas di pertemuan itu, tidak masalah kan, Nona Lily?"
"Tentu, Yang Mulia. Terima kasih atas semua bantuan Anda."
"Ah, aku hanya bertindak demi kepentinganku sendiri. Kalau mau berterima kasih, ucapkan pada Hugh yang sudah menyeretku ke dalam semua ini. …Oh, dan jangan lupa perhatikan adikku, ya? Dia agak pencemburu, jadi mungkin akan merepotkan."
"Hehe. Tentu, saya mengerti."
Lily tersenyum tulus, seperti menerima semua kata-katanya.
"Baguslah. Aku serahkan adik dan calon adik iparku padamu."
Pangeran Lucas pun meninggalkan ruangan sambil tersenyum.
"Hebat juga, ya. Calon kakak ipar yang penyayang sudah mengakuimu."
"Aku nggak yakin dia serius atau cuma bercanda sih."
Dengan Pangeran Lucas, sebaiknya memang jangan terlalu percaya. Soal Lugh pun baru sebatas janji lisan. Apa pun bisa terjadi sebelum ia benar-benar jadi raja.
Kami memutuskan kembali ke aula pesta setelah beberapa saat. Di perjalanan, kami bertemu beberapa ksatria tambahan. Sepertinya mereka adalah bala bantuan.
"Lily!"
Di pintu masuk aula, Marquis Purydi berlari mendekat dan langsung memeluk Lily.
"A-Ayah!?"
"Syukurlah kamu selamat, Lily! Kau tidak terluka, kan!?"
"Tidak, Ayah. Hugh melindungiku."
Awalnya Lily tampak kaget, tapi akhirnya tersenyum dan memeluk balik ayahnya.
"Ayah juga selamat, syukurlah."
"Dulu Ayah pernah belajar ilmu pedang. Ayah ambil senjata monster dan bertarung balik. Ayah membunuh tiga ekor, lho!"
Marquis Puryddi menceritakannya dengan bangga. Tapi aku dan Lily, yang tahu fakta sebenarnya, hanya bisa tersenyum kecut.
"Yang penting kalian berdua selamat. Hugh, terima kasih telah menyelamatkan putriku. Aku sudah siapkan kereta, ayo kita pulang ke rumah. Tak baik berlama-lama di sini."
Ia menatap sekeliling dengan waspada, lalu menggiring kami ke kereta.
Meskipun kejahatan Adipati Lechery sudah terungkap, pembatalan pertunangan Lily tetap bisa dianggap pengkhianatan oleh beberapa pihak. Mereka mungkin tak bisa mengkritik secara terbuka, tapi dendam bisa saja muncul.
Pangeran Lucas bilang akan mengatur pertemuan resmi membahas masa depan keluarga Puryddi. Beliau pasti sudah menyampaikan itu ke Marquis juga. Kalau begitu, tidak ada alasan untuk tetap tinggal.
Kami pun meninggalkan tempat itu dengan kereta. Banyak kereta lain juga berangkat—bangsawan lain pun pulang dari pesta.
Kereta kami tiba di kediaman keluarga Puryddi tanpa masalah. Aku berganti dari setelan pesta ke seragam akademi, lalu bersiap kembali ke akademi kerajaan.
"Oh, kukira kau akan menginap malam ini."
"Aku tak bisa membiarkan Lugh menunggu lebih lama."
Belakangan ini, Lugh sudah terlalu sering cemas karena aku. Meski sudah sedikit kujelaskan, tak mungkin dia tidak khawatir. Aku ingin segera kembali agar dia lega.
Yang paling penting, aku… ingin bertemu Lugh.
"Padahal kupikir kita bisa tidur bersama malam ini, sayang sekali."
"Jangan buat aku lengah begitu…"
Sebenarnya aku ingin menemani Lily malam ini. Tapi aku tahu kalau dibiarkan, situasi bisa berkembang ke arah yang tak bisa ditarik mundur. Terlalu berbahaya membiarkan diri terbawa suasana.
"Tak apa. Mengalah pada istri pertama adalah tugas istri kedua."
"Eh, jangan bilang kau akan tetap pakai pola pikir itu seterusnya…?"
"Tentu saja. Dan nanti kau juga harus menemui Ayah, ya, calon suami?"
"Aku bakal muntah karena tekanan…"
Dengan senyum jahil, Lily melepas kepergianku. Aku pun kembali ke akademi dengan kereta yang disiapkan Marquis.
Lily sendiri akan menginap di rumah malam ini dan kembali ke akademi besok pagi.
Tiga puluh menit kemudian, kereta sampai di akademi. Meski sudah larut, aku punya izin keluar resmi, jadi penjaga menyapaku ramah dan membukakan gerbang.
Dari luar asrama, kulihat cahaya dari balik tirai kamarku. Lugh masih terjaga. Langkahku jadi cepat. Aku naik tangga dua-dua, berlari di koridor, dan memegang gagang pintu kamarku.
Terkunci. Bagus! Tanda Lugh waspada soal keamanan.
Setelah membuka kunci, aku masuk ke dalam.
"Aku pulang!"
Kupikir dia akan menyambutku dengan ceria—"Selamat datang, Hugh!"—tapi tak ada sahutan.
Melongok ke dalam, kulihat Lugh tertidur sambil memeluk Noko-Noko-san, lampu masih menyala. …Di tempat tidurku.
"…Ehehe, aku udah nggak bisa makan lagii…"
Sepertinya dia sedang mimpi klise. Ia tidur dengan damai, sedikit drool menetes dari mulut setengah terbuka.
…Akhirnya aku pulang.
Melihat wajah damai Lugh, aku menghela napas lega. Semua keteganganku terasa mengendur. Kakiku lemas, dan aku duduk di tepi tempat tidur.
Sekarang wajahku sejajar dengannya. Aku menyentuh rambutnya, dan Lugh menggeliat pelan seolah merasa nyaman.
"Aku pulang, Lugh."
"…Unyu~ Selamat datang, Hyuu~"
Balasannya sayup dan mengigau, membuatku tertawa pelan.
"…Aku mencintaimu, Lucretia."
Mungkin pengaruh dari Lily tadi. Entah kenapa, perasaanku mengalir begitu saja lewat mulut.
Aku benar-benar kelelahan, sepertinya…
…Sudah lah, mandi dulu lalu tidur.
Saat aku berdiri dan menuju kamar mandi—
"~~~~~~っっっ"
Suara Lugh yang menggeliat panik terdengar dari belakang, tapi… ya sudahlah. Mari pura-pura tidak mendengarnya.
Extra Chapter: Halo halo, aku Merry-chan!
Setelah Hugh dan Lily pergi, Pangeran Lucas masih berada di kediaman Duke Lechery untuk pemeriksaan tempat kejadian. Bersama Wakil Komandan Kesatria Kerajaan, Roan, mereka berdiri di hadapan noda yang diyakini sebagai sisa dari monster yang dulunya adalah Duke Lechery.
"Jadi, ini beneran bekas Duke Lechery, katanya?"
"Itu kata Hugh dan Nona Lily."
Kabarnya, monster ini meleleh jadi cairan seperti yang terjadi pada monster di aula malam itu, namun area noda ini bahkan lebih luas dibanding yang ada di tempat pesta.
"…Gila, ini ngeri banget. Aku belum pernah denger ada monster meleleh begini."
"Kalau begitu, lebih nggak masuk akal lagi manusia berubah jadi monster, kan?"
"Haa… bener juga."
Roan menghela napas panjang, tampak benar-benar jengkel.
"Terus, kita harus gimana nih? Bilang kalau ini Duke Lechery pun, siapa juga yang percaya?"
"Kalau Duke Lechery udah berubah jadi monster, itu udah cukup. Malah jadi lebih mudah, kita anggap aja ini keberuntungan karena nggak perlu repot-repot nutupin semuanya."
Lucas mengangkat bahu seolah ingin mengatakan, "kalau nggak mikir kayak gitu, bisa stres."
Mereka harus mengumumkan Duke Lechery, serta semua pelayan dan pengawal pribadinya yang diduga juga berubah jadi monster, sebagai orang hilang. Idealnya, mereka ditangkap dan diselidiki sampai tuntas demi menjatuhkan faksi Pangeran Slay, tapi sekarang itu sudah tidak mungkin.
Karena ini sudah jadi masalah besar yang di luar kendali.
"Roan, percepat pencarian di dalam rumah. Kalau ada yang selamat, segera amankan. Dan kalau ketemu obat yang bisa mengubah orang jadi monster, pastikan dibawa juga, ya?"
"Siap!"
Atas perintah Roan, para ksatria yang datang sebagai bantuan mulai menyisir seluruh rumah. Lucas ingin menemukan bukti sebelum faksi Pangeran Slay mendapatkannya.
Untungnya, para bangsawan pendukung Slay sudah berbondong-bondong pergi dari rumah ini. Mereka tampaknya tak ingin berlama-lama di tempat yang baru saja diserang monster.
Yang tersisa hanya Pangeran Slay dan beberapa bangsawan dekatnya. Mereka pun hanya berkumpul di salah satu ruangan untuk berdiskusi, tidak berkeliling rumah.
(Kalau Marquis Puryudi ada di pihak mereka, mereka pasti lebih waspada.)
Marquis Puryudi, yang paling Lucas waspadai dari faksi Slay, kemungkinan besar akan diusir dari kelompok itu. Perpecahan yang semula butuh banyak upaya akhirnya terjadi dengan sangat mudah, dan ini jelas keuntungan besar.
Dengan itu, Lucas berhasil mendapatkan hutang budi dari Puryudi. Mengingat reputasinya sebagai orang yang setia, kemungkinan besar ia akan berpihak pada Lucas. Jika Puryudi mendukung Lucas, bangsawan lain pun akan ikut bergabung.
Meski serangan monster adalah insiden besar yang di luar rencana, secara keseluruhan tujuan utama mereka tetap berjalan sesuai skenario. Saatnya menyatakan ikut serta dalam perebutan takhta sudah sangat dekat.
(Meski mungkin besok situasinya akan sangat kacau...)
Kasus penculikan warga oleh Duke Lechery, serta keterlibatannya dalam perdagangan manusia, akan mengguncang Kerajaan Reese.
Dan tak diragukan lagi, perdebatan besar di dalam istana akan terjadi mengenai nasib keluarga Duke Lechery. Lucas bisa membayangkan bagaimana para bangsawan akan berebut untuk mengambil alih hak dan wilayah yang dulu dimiliki keluarga tersebut.
"Lukas-dono! Ke sini sebentar!"
Suara Alyssa dari kejauhan memutus lamunan Lucas. Di belakangnya, beberapa ksatria mengelilingi seorang gadis muda berpakaian pelayan, yang berdiri gemetaran dengan wajah pucat.
Tinggi gadis itu sepadan dengan Putri Lucretia. Rambut abu-abu kusamnya diikat dua, wajahnya imut dan terlihat sangat muda. Posturnya yang kecil dan tanpa lekuk pun mengingatkan pada seseorang.
"Siapa dia?"
"Kami menemukannya bersembunyi di gudang makanan dapur saat menyisir rumah."
Lucas memang memerintahkan Alyssa untuk memimpin regu pencari yang memasuki rumah lebih dulu. Tampaknya, mereka menemukan gadis ini dalam proses tersebut.
"Salam kenal. Aku Lucas. Boleh aku tahu namamu?"
"Na… nama saya Merry…"
"Senang bertemu, Merry. Yuk, kita pindah ke tempat yang lebih tenang untuk bicara. Hmm… Alyssa, bisakah kau bawa dia ke kereta yang tadi kita pakai? Temani dia, ya?"
"Siap, Tuan!"
Sambil memerintahkan ksatria lain untuk melanjutkan pencarian, Lucas membawa Merry ke keretanya ditemani Alyssa.
Meski dari luar terlihat sederhana, kereta ini sebenarnya telah dimodifikasi untuk anggota keluarga kerajaan. Saat duduk di kursinya yang empuk, Merry membelalakkan mata keheranan.
"Baik, bisakah kau ceritakan apa yang terjadi di rumah ini?"
"Ba… baik…"
Merry mulai berbicara sambil meringkuk.
Ia adalah rakyat biasa yang direkrut sebagai pelayan sementara untuk pesta malam ini. Sudah beberapa hari ia bekerja, namun karena sifatnya yang ceroboh dan canggung, ia sering membuat kesalahan. Akibatnya, pelayan lain mulai membully-nya.
"Nutrisi tambahan yang diberikan Duke juga… saya saja yang nggak dikasih…"
"Nutrisi tambahan? Warnanya pink pucat?"
"Be… betul banget! Kami disuruh minum itu pas pesta malam mulai. Tapi setelah minum itu, semua orang mulai kesakitan… terus berubah jadi monster! Saya takut dan sembunyi di gudang makanan, lalu…"
"Tenang, Merry-chan."
"Ma… maaf…"
Alyssa memeluknya dan Merry mulai tenang.
(Tak ada warna kebohongan di kata-katanya. Sepertinya bisa dipercaya…)
Lucas sempat mempertimbangkan kalau gadis ini mata-mata dari faksi Slay atau organisasi lain, tapi kemampuan skill-nya tak menunjukkan hal itu. Dia hanyalah pelayan magang biasa.
"Merry. Menurutmu, apakah nutrisi itu juga diberikan ke tamu pesta malam?"
"Kayaknya sih enggak. Soalnya si pemberi bilang itu obat berharga…"
"Kau tahu siapa yang membawanya?"
"E… enggak kenal, tapi katanya sih dia pedagang yang biasa keluar-masuk rumah ini. Badannya tinggi, tapi pakai jubah dan tudung, jadi saya nggak lihat wajahnya."
"Orang itu datang hari ini?"
"Iya. Tepat sebelum pesta dimulai. Dia nggak ketemu Duke, cuma ngasih obat itu dan langsung pergi. Lalu…"
"Aku mengerti."
Berkat Merry, Lucas memahami situasinya. Pria misterius yang disebut Merry kemungkinan besar adalah orang yang sempat dilihat Hugh saat menyusup kemarin.
(Tapi untuk apa memberi obat yang mengubah orang jadi monster pada para pelayan…?)
Kalau tujuannya menyerang pesta, motifnya tidak jelas. Mungkin ingin mengacaukan faksi Slay? Tapi kalau begitu, kenapa serumit itu?
Kalau hanya ingin mengacau, cukup bunuh Duke Lechery saja. Pasti sudah ada banyak kesempatan. Tak masuk akal sampai pakai metode seperti ini.
(Apa mungkin pergerakan kita ketahuan?)
Kalau benar Hugh terdeteksi saat menyusup, dan mereka ingin menggagalkan upaya penyelidikan… tapi kalau begitu, kenapa justru memberi obat pada Duke?
Obat dikirim kemarin ke Duke. Hari ini baru diberikan ke para pelayan. Kalau mereka sadar akan penyusupan Hugh dan tetap membagikan obat, kemungkinan tujuannya adalah…
"──Untuk membungkam semua saksi."
"Ahh, iya juga! Kalau gitu, mereka nggak perlu buang-buang waktu bunuh satu-satu."
"E… eh?"
"Tujuan pria yang kau lihat, Merry, kemungkinan besar adalah menghapus semua saksi. Termasuk Duke dan seluruh pelayan. Tapi membunuh mereka semua butuh waktu. Makanya dikasih racun yang bikin berubah jadi monster."
"Ti… tidak mungkin…!"
"Kenapa nggak pakai racun biasa ya?"
"Entahlah. Mungkin karena mau bikin panik lewat serangan monster, atau mereka anggap obat ini bukan hal penting. Bisa juga sekalian uji coba racun."
"Masih banyak misteri, ya."
Alyssa mengangkat bahu, dan Lucas hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecut.
(Monster yang meleleh, seolah sengaja tak meninggalkan bukti. Bahkan mereka seperti bergerak atas perintah… Tapi terlalu sedikit informasi sekarang.)
Tak ada gunanya berteori lebih jauh. Spekulasi yang terlalu banyak hanya akan menutupi kebenaran.
(Kalau aku minta bantuan Hugh, pasti kita bisa dapat petunjuk yang lebih pasti… Tapi itu justru terlalu dekat dengan kebenaran.)
Lucas tak mengirim Hugh pulang karena takut Slay melihatnya, atau karena khawatir akan kondisinya. Ia takut jika Hugh terlalu dalam terlibat, maka semua akan terbuka terlalu cepat.
(Kalau itu terjadi dan musuh kita tambah banyak, itu justru merepotkan. Untuk sekarang cukup kumpulkan sedikit bukti. Kalau ada yang bergerak di balik layar, biarlah selama mereka tak menghalangi jalanku.)
Untuk mengalihkan fokus, Lucas bertepuk tangan ringan.
"Baiklah, Merry. Sekarang giliran bicara soal kamu."
"Sa… saya?"
"Kamu satu-satunya yang selamat dari rumah ini. Tahu artinya?"
"Err… iya! Saya gadis super beruntung!"
"Bukan… maksudnya kamu bisa jadi target pembunuhan, lho?"
"Jadi gadis super sial!?"
"Aku sih tetap anggap kamu gadis beruntung."
Meski begitu, hidup Merry ke depan akan penuh ancaman. Mungkin bahkan ia akan merasa lebih baik jika ikut mati bersama yang lain.
(Meski begitu, dia ini bisa dipakai dengan cara yang menarik…)
Lucas bertanya pada gadis di depannya.
"Bagaimana? Kalau kamu mau, bekerja saja di bawahku mulai sekarang."
"Be… benar-benar boleh!? Saya akan bekerja keras!"
"Senang mendengarnya. Bekerja di istana kerajaan memang berat, tapi kamu pasti cepat terbiasa."
"Siap, saya akan… Eh? Di istana kerajaan?"
Merry terlihat bingung. Tampaknya dia belum tahu siapa Lucas sebenarnya.
"Oh, aku belum bilang ya? Namaku Lucas von Reese. Aku pangeran ketiga kerajaan ini. Senang berkenalan, ya, Merry?"
"Eh… eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeehhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!???"
Extra Story: Kisah yang tak ia ketahui
Melihat pantulan sosok anak laki-laki (atau begitulah penampilannya) berambut perak yang tak kukenali di cermin, aku mendadak teringat sedikit akan wajah Ibu.
“Cocok banget, Yang Mulia Putri Lucretia!”
Saat menoleh, aku melihat salah satu ksatria wanita dari Pasukan Kerajaan yang ditugaskan oleh Kakak Lu—Pangeran Lucas—tersenyum padaku.
“Terima kasih, Kak Alyssa. Aku kelihatan seperti anak laki-laki, nggak, ya?”
“Yaa, tentu saja……aah, yah, lumayanlah?”
“Lu-lumayan, ya…….”
Aku jadi agak khawatir.
Persaingan untuk menentukan pewaris takhta dimulai sejak Ayahanda jatuh sakit. Kakak kandungku, Pangeran Lucas von Reese, kini tengah berjuang demi menjadi raja berikutnya.
Agar tidak merepotkan Kakak Lu, aku memutuskan untuk masuk Akademi Kerajaan dengan menyembunyikan identitas dan jenis kelaminku. Sebenarnya sih ada ujian masuknya, tapi sepertinya Kakak Lu sudah mengurus semuanya diam-diam. Hmm, padahal aku yakin bisa lulus sendiri!
“Sudah waktunya. Ayo berangkat, Tuan Muda Lugh.”
Lugh Bector. Itu nama baruku mulai hari ini. Katanya aku ini anak dari Viscount Bector, salah satu pendukung lama Kakak Lu.
Bersama Alyssa, aku menaiki kereta yang sudah disiapkan secara diam-diam.
“Eh, Kak Alyssa, Akademi Kerajaan itu seperti apa sih?”
Di dalam kereta yang mulai berjalan, aku duduk berhadapan dengan Alyssa dan bertanya. Alyssa adalah lulusan Akademi Kerajaan, dan bahkan lulus sebagai murid terbaik! Kakak Lu sendiri bilang, “Kalau ingin tahu soal akademi, tanya saja pada Alyssa.”
“Hmm, udah empat tahun sejak aku lulus, jadi mungkin ada beberapa hal yang udah berubah, ya.”
Lalu, Alyssa pun mulai bercerita banyak hal tentang Akademi Kerajaan—tentang kenapa hasil ujian diumumkan di hari yang sama dengan ujian masuk, tentang mewahnya furnitur di asrama, dan sebagainya.
Dia juga bilang menu paling enak di kantin adalah beef stew, atau bahwa lahan kosong di belakang asrama guru cocok banget buat bolos kelas dan tidur siang…… Eeh, beneran lulusan terbaik, ya?
Pemandangan di luar jendela kereta berubah dengan cepat, sampai akhirnya gedung Akademi Kerajaan mulai terlihat. Kereta berputar mengelilingi bagian luar akademi, lalu berhenti agak jauh dari gerbang belakang.
“Sampai sini aja kita. Nanti di dalam, ada guru yang tahu situasimu dan akan membimbingmu ke tempat ujian. Kalau kamu gabung aja secara alami dengan para peserta ujian lainnya, semuanya pasti aman. ……Deg-degan, ya?”
Alyssa bertanya padaku, dan aku mengangguk.
Akademi Kerajaan adalah sistem asrama penuh, dan aku akan tinggal bersama anak-anak seumuranku selama tiga tahun ke depan. Tapi aku harus menyembunyikan identitas dan berpura-pura jadi anak laki-laki bernama Lugh Bector.
Selama ini aku hampir nggak pernah berinteraksi dengan anak-anak seumuranku. Satu-satunya mungkin cuma Lily, teman masa kecilku, tapi kami sudah hampir tujuh tahun tidak bertemu. Setelah Ibu meninggal, kami juga berhenti saling berkirim surat…
Mungkin Lily juga masuk Akademi Kerajaan, ya…? Rasanya gugup banget kalau harus bertemu lagi setelah sekian lama. Apalagi, keluarga Lily—Keluarga Marquis Puridy—mendukung Pangeran Slay, rival Kakak Lu dalam perebutan takhta. Kalau Lily tahu siapa aku sebenarnya, bisa gawat.
Tiga tahun di Akademi Kerajaan adalah ujian bagiku. Aku tak boleh ketahuan, harus bertingkah seperti anak laki-laki, dan hidup bersama anak-anak asing yang belum pernah kukenal sebelumnya.
“Yaah, wajar kok kalau kamu merasa gugup. Aku juga pasti begitu kalau ada di posisi Yang Mulia. Jadi, izinkan aku memberi sedikit nasihat—meski agak lancang.”
Alyssa tersenyum cerah untuk mengusir kegelisahanku, lalu berkata,
“Nikmatin aja hidupmu di akademi, Yang Mulia. Toh kamu sudah diberi kesempatan untuk sekolah. Jadi, jangan terlalu mikir yang berat-berat. Jalani dan nikmati saja semuanya.”
“Tapi… aku kan harus menyembunyikan identitasku demi Kakak Lu…”
“Itu penting juga, sih. Tapi aku yakin Pangeran Lucas ingin kamu bahagia di akademi. Kalau tidak, beliau nggak akan repot-repot menyekolahkanmu, dan memilih menyembunyikanmu saja seperti selama ini.”
“Ah…”
Benar juga… Kakak Lu tidak harus menanggung risiko dengan menyekolahkanku. Tapi beliau tetap mengusahakannya agar aku bisa menikmati kehidupan di akademi.
“Tapi, gimana caranya supaya bisa menikmati…?”
“Mulai dari cari teman, mungkin?”
“Teman…”
Yang terlintas di pikiranku adalah wajah Lily. Tapi kami sudah tujuh tahun tidak bertemu. Mungkin dia sudah lupa aku. Lagipula, aku sekarang adalah Lugh… Kami tak bisa kembali seperti dulu.
“Kak Alyssa, gimana sih cara cari teman?”
Saat aku bertanya, Alyssa langsung memalingkan wajahnya.
“Y-yaah, tinggal ajak ngobrol aja, kali?”
“Eeeeh…”
“M-mau gimana lagi!? Dulu aku cuma latihan pedang biar bisa mendekati Master-ku! Aku nggak punya teman! Paling-paling ya satu junior bawel yang ngangenin itu… Pokoknya! Kalau kamu pengen berteman dan ajak ngobrol duluan, pasti bisa, kok!”
“Tapi aku harus hati-hati biar nggak ketahuan siapa aku, kan…?”
Walaupun aku ingin coba ngobrol, tetap saja aku khawatir. Kupikir nggak banyak yang tahu wajahku, sih, tapi tetap saja…
“Kalau gitu, coba dekati anak-anak yang kelihatan dari daerah jauh. Apalagi yang datang ke ujian masih pakai baju bepergian, kemungkinan mereka baru sampai ke ibu kota. Anak-anak dari daerah terpencil biasanya nggak tahu politik kerajaan, jadi lebih aman.”
“Ah, masuk akal!”
“Ya walau belum tentu mereka lulus ujian juga, sih,” kata Alyssa sambil terkekeh. Tapi aku merasa lebih tenang karena kini tahu harus dekati anak seperti apa.
“Makasih ya, Kak Alyssa!”
“Sama-sama. Semoga kehidupanmu di akademi menyenangkan, Yang Mulia.”
“Iya! Aku berangkat ya!”
Diantar oleh Alyssa, aku turun dari kereta dan melangkah masuk melalui gerbang belakang Akademi Kerajaan. Seorang staf yang telah menunggu menuntunku masuk ke gedung utama. Dalam perjalanan, aku mendengar keramaian dari kejauhan—ada kata “Santo Perempuan” yang disebut-sebut. Ada apa ya…?
“Setelah ini, Anda akan mengikuti ujian praktik keterampilan. Hasilnya tidak akan memengaruhi kelulusan, jadi mohon ikuti saja dengan santai. Saya pamit sampai di sini.”
“Baik. Terima kasih.”
Aku membungkuk hormat, lalu berjalan melewati taman menuju Lapangan Kedua tempat ujian praktik dilaksanakan. Di tengah perjalanan, aku melihat seseorang sedang berjongkok.
Rambutnya hitam pekat seperti malam, jubahnya memuat lambang keluarga yang belum pernah kulihat. Ia tampak duduk di tepi jalan, menarik napas panjang.
Karena mengenakan jubah, mungkin dia juga datang dari tempat jauh…
Aku memberanikan diri untuk menyapanya. Dalam hati, aku berharap kalimat ini akan menjadi awal dari pertemuan yang mengubah hidupku.
“──Umm, kamu nggak apa-apa?”
Post a Comment