NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sen'nou Sukiru De Isekai Musou! ? ~ Sukiru ga Baretara Shokei sa Rerunode Kenzen Seijitsu ni Ikiyou to Shitara, Naze ka Bishouo-tachi ni Aisa Rete Iru Kudan ni Tsuite ~ V1 Chapter 3 - Chapter 5

 Chapter 3: Jadi namamu Lucretia, ya


Setelah mengikuti arahan dan masuk ke dalam gedung sekolah, hal pertama yang kami lakukan adalah mengurus proses pendaftaran asrama di lorong. Di papan pengumuman dalam gedung, terpampang informasi tentang pembagian kamar.

...Begitu ya, kamar dibagi berdasarkan status sosial.

Ternyata ada dua gedung asrama untuk siswa, masing-masing dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Kelas rakyat biasa akan ditempatkan di kamar berisi empat orang, sedangkan bangsawan berpangkat Marquis dan baron mendapat kamar dua orang. Kamar pribadi hanya diberikan kepada bangsawan berpangkat count ke atas.

Kalau begitu, aku dapat kamar dua orang. Katanya kita bisa memilih teman sekamar kalau ada keinginan...

Saat aku melirik ke samping, pandanganku bertemu dengan Lugh yang sedang menatapku dari bawah. Mungkin saja kami sedang memikirkan hal yang sama.

“Eh, ngomong-ngomong Lugh, keluargamu itu bangsawan, kan...? Maaf, aku ini cuma bangsawan pelosok kampung, jadi nggak terlalu paham soal peringkat bangsawan di sini. Boleh aku tahu kamu dari keluarga berpangkat apa?”

“Ya! Keluarga Becht tak punya wilayah sendiri, tapi kami keluarga Marquis.”

“Marquis tanpa wilayah?”

“Sebagai gantinya, kami mendapat tanah di ibu kota dari keluarga kerajaan, dan tinggal di sana. Ayahku bekerja sebagai birokrat di istana, lho!”

“Oh, jadi ada juga bangsawan seperti itu ya.”

“Itulah kenapa... kita bisa sekamar.”

Lugh berkata dengan pelan, pipinya sedikit memerah, dan menatapku dari bawah dengan sorot mata penuh harap.

...Ugh. Dia memang terlalu imut.

Tinggal satu kamar dengannya... apa aku bisa menahan diriku!?

“Ah, ta-tapi kalau nggak mau juga nggak apa-apa kok!? Kalau kamu lebih suka sekamar sama orang lain... ta-tapi kalau sama kamu, aku merasa lebih tenang, gitu...”

“Lugh, ayo kita tinggal bersama!”

“Hyaa!?”

Aku langsung berlutut di tempat dan menggenggam tangan Lugh. Dia tampak panik dengan mulut terbuka-tutup karena terkejut.

“Sa-saya orang yang nggak begitu bisa diandalkan, tapi mohon kerjasamanya...!”

Di akhir kalimat, dia malah keseleo lidah. Sudut matanya basah, dan wajahnya semerah kepiting rebus. Sungguh menggemaskan.

“Kalian ini... sedang apa, sih?”

Tiba-tiba ada suara menyapa dari samping. Saat menoleh, aku melihat seorang gadis berambut cokelat kemerahan terang yang dikepang dua sedang menatapku dengan tatapan tercengang.

Di belakangnya berdiri seorang gadis berambut biru muda dengan ekspresi penuh keingintahuan.

“Lily, Lecty, kalian juga lulus ya. Selamat.”

“Ya. Selamat juga, Hugh-san.”

“Lulus itu sudah pasti, tahu? Tapi... ini, drama macam apa yang sedang kalian mainkan?”

“Drama? Kami cuma sedang memutuskan pembagian kamar asrama.”

“Dari sini kelihatannya kamu sedang melamar dia.”

Lily menepuk dahinya dan menghela napas. Ya, aku memang sengaja membuatnya tampak seperti itu. Dengan begini, setidaknya jumlah laki-laki yang mendekati Lugh akan berkurang.

“Kenalkan, ini sahabatku, Lugh.”

“Sa-sahabat!? Eh, ah, salam kenal! Aku Lugh Becht!”

“Lugh Becht...?”

Lily terlihat berpikir sejenak, mengangkat tangannya ke dagu, lalu tiba-tiba mendekat dan menatap wajah Lugh dari jarak dekat.

“U-uhm...?”

Lugh kelihatan bingung dan mundur beberapa langkah, lalu mengalihkan pandangannya. Meski tadi dia bilang ini pertama kali bertemu, apakah sebenarnya mereka sudah pernah bertemu sebelumnya...?

“Maaf ya. Aku merasa kamu mirip seseorang yang kukenal, jadi refleks menatapmu. Mungkin cuma mirip saja, ya?”

“M-mungkin begitu... Sepertinya keluargaku tak punya banyak hubungan dengan keluarga Puridy.”

“Oh? Tapi aku belum pernah bilang aku dari keluarga Puridy, lho?”

“Ah...”

Lugh buru-buru menutup mulutnya.

Dari yang kulihat hari ini... Lugh ini cukup ceroboh juga, ya.

“Yah, orang sehebat aku wajar saja jika bisa menebak asal keluarga seseorang hanya dari namanya.”

“Percaya diri banget, ya.”

“Itu fakta. Aku punya banyak kenalan di dunia sosial. Bangsawan miskin dari pelosok kayak kamu mana bisa paham soal itu.”

“Kalau kamu bilang begitu... kecuali soal ‘miskin’, aku memang nggak bisa bantah.”

Dunia sosial itu benar-benar asing buatku.

Keluargaku pun tak bisa ikut acara kerajaan di ibu kota, karena perjalanan satu arah saja makan waktu sebulan. Bahkan salam tahun baru untuk Yang Mulia Raja pun cukup lewat surat.

“Kalau begitu, perkenalkan lagi, aku Lily Puridy.”

“S-sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dengan putri keluarga Puridy yang terkenal cerdas...”

“Fufu. Anggap saja begitu, ya. Lalu, ini Lecty.”

“Saya... saya Lecty. Senang bertemu dengan Anda, Lugh-sama.”

“Ah, e-eh, jangan pakai ‘-sama’ dong...?”

“Kalau begitu... Lugh-chan?”

“Ugh...”

Dipanggil “Lugh-chan” oleh Lecty, Lugh langsung memegangi dadanya dan terhuyung ke belakang seperti terkena serangan kritis.

“Umm... Lecty, kalau bisa panggil dia ‘Lugh-kun’, ya.”

“Eh? Tapi dia ‘kan perempuan...?”

“Guhh...”

“Lecty, kebenaran kadang bisa menyakitkan, tahu?”

“Gaaahh...”

“Jangan tambah parahin, dong.”

Lugh terlihat seperti luka batin berat dan gemetar sambil berjongkok. Kasihan juga sih...

Tapi tetap saja, sepertinya Lily tahu siapa sebenarnya Lugh dan sengaja menggoda dia. Apakah Lugh sebenarnya berasal dari keluarga bangsawan yang lebih tinggi dari Marquis...?

...Kalau bisa sih aku nggak mau terlalu terlibat, tapi kalau Lugh terus seperti ini, kayaknya aku bakal ikut terseret suatu hari nanti.

Yah, kalau sampai terjadi, ya tinggal hadapi saja.

Mungkin aku bisa bersikap seperti ini karena aku mulai menguasai skill dan jadi sedikit lebih percaya diri.

“Lugh, nggak apa-apa kamu syok, tapi mendingan kita selesaikan dulu pendaftaran asrama, ya?”

“Y-ya! Aku ke sana dulu, ya!”

Lugh pun berlari ke arah guru yang menangani pendaftaran. Aku hendak menyusul, tapi Lily menahan pundakku dari belakang.

“Eh, jadi kamu beneran mau sekamar sama dia?”

“Lily, aku ini nggak tahu siapa sebenarnya Lugh, dan aku juga nggak tahu kalau dia sebenarnya cewek, dan aku juga nggak berniat cari tahu. Jadi, nggak ada yang aneh dengan anak bangsawan baron dan Marquis sekamar.”

“...Yah, karena dia anak Marquis, memang dia nggak bisa dapat kamar sendiri. Kalau begitu, mungkin lebih baik memang dia sekamar sama kamu yang entah kenapa sudah akrab dengannya...”

Lily menarikku dan membuatku berbalik. Tatapan tajamnya menatap langsung ke mataku. Dengan ekspresi serius, dia memberi peringatan.

“Dengar baik-baik. Jangan sampai kamu berbuat macam-macam. Kalau kamu tergoda dan berbuat sesuatu, baik kamu, keluargamu, maupun dia akan jadi korban. Jangan sampai itu terjadi, mengerti?”

“Aku tahu. Lagipula, mana mungkin aku macam-macam sama cowok.”

“...Aku percaya padamu, Hugh.”

Aku akan tetap memperlakukan Lugh sebagai teman sesama cowok. Mungkin Lily bisa menangkap maksud itu, karena ia melepaskan tangannya dari pundakku.

Sepertinya Lugh benar-benar bukan orang sembarangan. Kalau Lily, putri keluarga marquis, menyebut dia “orang itu”... berarti statusnya pasti sangat tinggi...

...Yah, lupakan saja. Anggap nggak pernah dengar.

“Oh iya, kalian juga mesti urus pendaftaran asrama, kan? Lily dapat kamar sendiri, dan Lecty kamar empat orang ya.”

“Oh, iya juga ya...”

Lecty tampak menunduk dengan cemas. Meski sama-sama rakyat biasa, Lecty berasal dari daerah kumuh. Kalau satu kamar dengan orang dari keluarga rakyat biasa yang lebih kaya, bisa saja dia merasa terpinggirkan.

“Jangan khawatir, Lecty. Kamu sekamar denganku.”

“Eh!?”

“Sekamar...? Tapi, keluarga marquis seharusnya dapat kamar sendiri, kan?”

“Pembagian kamar bisa diatur dengan pengaruh keluarga. Aku kan nggak minta dinaikkan level kamarnya. Paling juga tinggal minta tambah satu ranjang di kamar. Atau, kita bisa tidur satu ranjang, kalau kamu mau.”

“E-ehhh!?”

Lily dengan santai mengusap pipi Lecty, yang langsung memerah dan bersembunyi di belakangku.

“Ufufu... Cuma bercanda kok, Lecty. Jangan terlalu malu, ya?”

Tapi gaya tawanya tuh... nggak terasa kayak bercanda, tahu...

Mungkin Lecty juga merasa begitu, karena dia tetap bersembunyi di belakangku sambil bicara.

“Ta-tapi, apa aku nggak merepotkan kamu...? Tinggal bareng rakyat biasa kayak aku... Bukannya kamu lebih nyaman tinggal sendiri...?”

“Masa tinggal di asrama sendirian, sih. Bukankah serunya tinggal di asrama itu ya karena hidup bareng-bareng? ...Lagipula, jangan merendahkan diri begitu. Kalau aku bilang kamu oke, berarti kamu memang oke, Lecty.”

“Li-Lily-chan...!”

Sepertinya Lecty sangat tersentuh dengan kata-kata Lily. Ia pun keluar dari persembunyiannya dan menunduk dalam-dalam di depan Lily.

“Aku memang nggak sempurna, tapi mohon bimbingannya...!”

“Tentu saja. Aku bersumpah pada Tuhan akan membuatmu jadi gadis paling bahagia.”

…Itu terlihat lebih seperti lamaran dibandingkan yang kulakukan barusan.

Saat Lily hendak pergi mengurus pendaftaran asrama bersama Lecty, aku memegang pundaknya dan menghentikannya.

“Pokoknya, jangan macam-macam, ya?”

“Aku tak bisa janji.”

Kau ini…!

Aku memang khawatir pada Lecty, tapi harus kuakui—tinggal sekamar dengan Lily adalah pilihan terbaik untuknya saat ini. Rasanya aneh juga kalau aku ikut campur urusan mereka… Maaf, Lecty. Jaga dirimu baik-baik, ya.

Setelah kami semua selesai mengurus pendaftaran asrama, kami diarahkan ke ruang kelas. Di sana, kami menerima penjelasan mengenai peraturan asrama, fasilitas-fasilitas yang ada di sekolah, serta jadwal upacara penerimaan siswa baru besok. Setelah itu, kami pun dibubarkan.

Bersama Lugh, aku langsung menuju asrama putra dan masuk ke kamar yang telah ditentukan untuk kami.

“Wah! Jadi ini kamar kita, ya!”

“Luar biasa, ternyata luas juga!”

Ruangan ini cukup luas sampai-sampai membuat kami berdua bersemangat.

Furniturnya sudah lengkap—dua ranjang dan meja belajar yang ditempatkan secara simetris di sisi kiri dan kanan ruangan. Ada lemari pakaian, rak penyimpanan, dan di tengah ruangan tersedia meja rendah dikelilingi sofa berbentuk huruf U.

Meski penuh furnitur, ruangannya tetap terasa lega. Bahkan kamar ini dilengkapi dengan kamar mandi shower dan toilet model flush.

Benar-benar standar akademi kerajaan. Ini baru kamar untuk bangsawan kelas Marquis dan baron—kira-kira seberapa mewah kamar untuk kelas count ke atas?

“Sepertinya sempat terjadi ‘berbagai hal’ soal perabotan dan perlengkapan kamar, lho.”

“Kalau itu bikin aku nggak bisa menikmati ini, tolong jangan dijelaskan lebih lanjut…”

Sekolah ini benar-benar terlalu banyak ‘drama’.

Tapi, akhirnya kami bisa bersantai juga. Aku pun menjatuhkan tubuh ke sofa. Sementara itu, Lugh mulai menyiapkan handuk dan baju ganti.

“Hugh, aku duluan mandi, ya.”

“Silakan, nikmati saja.”

Aku menjawab santai dan membiarkannya masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara kain bergesekan, aliran air dari shower, dan senandung pelan dari Lugh yang terdengar nyaman.

…Sungguh, ini cukup mematikan.

Meskipun aku memang tidak berniat melakukan hal aneh sejak awal, mungkin peringatan dari Lily membuat tekadku menjadi makin kuat.

Ternyata tinggal serumah dengan perempuan itu bikin jantung deg-degan seperti ini, ya... Eh, tapi, belum pasti juga Lugh itu perempuan. Selama masih ada satu persen kemungkinan dia laki-laki, aku harus tetap menganggapnya laki-laki. Ya, begitu seharusnya.

Tapi ngomong-ngomong, dinding kamar ini tipis juga, ya…?

“Ah, bukan. Aku lupa matiin skill .”

Aku pun mengambil cermin kecil dan mengganti skill-ku ke . Meski besok hanya upacara penerimaan, bukan tidak mungkin akan ada pemeriksaan skill mendadak.

Setelah itu, aku duduk termenung di sofa. Mungkin karena lelah, aku sempat tertidur sebentar tanpa kusadari.

Aku terbangun karena mendengar suara pintu terbuka. Saat menoleh, kulihat Lugh mendekat sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang tergantung di lehernya.

“Fuh~ mandinya enak banget. Hugh, giliranmu sekarang.”

“O-oh…”

“Hm? Kenapa?”

Lugh menatapku bingung sambil memiringkan kepala.

Harusnya aku yang tanya itu!

Bukan karena penampilan pasca-mandi Lugh yang terlalu menggoda, atau aroma manis seperti bunga osmanthus yang bahkan sampai ke tempatku duduk... Tapi karena aku benar-benar terpana.

Lugh mengenakan negligee merah muda pucat dengan hiasan renda sebagai baju tidur. Kainnya tipis sampai-sampai kulitnya yang kemerahan masih terlihat samar, lengannya hanya tertutup setengah, dan panjangnya pun tak sampai menutupi seluruh paha.

Dia udah nggak berusaha nutupin jenis kelaminnya lagi, kan!?

*** 

Ini adalah mimpi masa kecilku. Mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku berumur lima tahun, dan dari pagi hingga malam aku selalu berlarian di pegunungan dan hutan di wilayah Phnosis. Karena merasa bebas setelah kehidupan masa laluku yang penuh dengan pekerjaan, aku kembali menikmati masa kanak-kanak dengan bersemangat menangkap serangga dan membuat markas rahasia setiap hari.

Suatu hari, seperti biasa saat menjelajahi hutan, aku bertemu dengan seorang gadis kecil yang duduk sambil menahan tangis.

Di wilayah Phnosis yang mengalami penurunan angka kelahiran dan peningkatan jumlah lansia, tidak ada anak-anak lain seusiaku. Melihat pakaian gadis itu—sebuah gaun mewah dengan desain rumit—aku langsung tahu bahwa dia adalah anak dari luar daerah.

“Hei, kamu. Namamu siapa?”

Saat aku menyapanya, gadis itu menahan tangis dan memperkenalkan diri sebagai putri seorang pedagang keliling. Aku tidak bisa menangkap dengan jelas namanya. Warna rambut dan raut wajahnya terasa familiar entah dari mana. Untuk anak seorang pedagang, gaunnya terlalu mewah, dan cara bicaranya sangat dewasa untuk seusianya.

Setelah mendengarkan ceritanya, ternyata kereta kuda yang ditumpanginya bersama keluarganya rusak dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Saat para orang dewasa sibuk memperbaikinya, dia yang bosan berjalan-jalan ke dalam hutan dan akhirnya tersesat.

Entah kenapa, aku memutuskan untuk mengajaknya ke markas rahasiaku yang baru saja selesai dibuat. Karena tidak ada anak-anak seusiaku, aku ingin memamerkannya pada seseorang.

“Ini kamu yang buat?”

“Iya! Aku buat sendiri, keren, kan?”

“Iya, ini kandang anjing yang luar biasa.”

“Itu markas rahasia, tahu!”

Setelah itu, kami ngobrol ringan sampai matahari terbenam. Saat aku mengeluh karena keluargaku adalah bangsawan miskin dari desa terpencil, dia juga bercerita bahwa hidupnya membosankan karena setiap hari hanya diisi dengan pelajaran dan les. Kami saling mengeluhkan rumah masing-masing, kadang kesal, kadang tertawa.

Malam harinya, aku membawanya pulang ke rumah dan menjelaskan ke ayahku apa yang terjadi tanpa menyebut soal bermain di markas rahasia. Ayah segera pergi ke hutan dan membawa kembali keluarganya. Mereka pun tinggal di rumah kami sampai kereta kudanya selesai diperbaiki.

Selama tiga hari berikutnya, aku dan dia selalu bersama dari pagi hingga malam. Kami berenang di sungai, membaca buku yang ia bawa, dan tidur siang bersama.

Saat perpisahan, dia tampak sangat berusaha menahan tangis.

“Jangan lupakan aku, ya? Kalau suatu hari nanti kita bertemu lagi, aku akan menjadikanmu suamiku!”

Waktu dia mengucapkan itu... aku menjawab apa, ya...?

*** 

Cahaya pagi yang menyilaukan dari jendela dan kicauan burung dari kejauhan perlahan menggugahku untuk membuka mata.

Hah? Ini di mana...? Pemandangan yang tak kukenal membuat otakku yang masih terpengaruh mimpi nostalgia jadi bingung. Setelah beberapa saat, aku mengingat kembali bahwa aku telah lulus ujian masuk Akademi Kerajaan dan mulai tinggal di asrama.

Benar. Ini adalah kamar asrama tempatku akan menghabiskan tiga tahun ke depan. Di ranjang seberang, seharusnya ada teman sekamarku, Lugh... tapi dia tidak ada. Sepertinya dia sudah bangun duluan. Mungkin ke toilet atau ke suatu tempat. Ranjangnya kosong.

Aku pun berpikir, mungkin aku tidur lagi sebentar...

Namun saat mencoba membalik badan, tubuhku terasa berat. Sesuatu membuatku sulit bergerak.

Ketika aku menggerakkan tangan kiriku yang terjepit, aku merasakan sesuatu yang lembut. Begitu juga saat tangan kananku bergerak, terasa kain yang bukan milikku, dan lagi-lagi terasa sesuatu yang kecil tapi kenyal dan lembut.

“...Fua~h.”

Suara napas manis terdengar dari bawah selimut. Dengan perasaan tidak enak, aku menyingkap selimut dan melihat sehelai rambut perak yang menempel erat padaku.

Seriusan nih anak...!?

Teman sekamarku (yang kuharap masih laki-laki), Lugh Becht, sedang tidur dengan nyenyak sambil memelukku erat.

Pantas saja aku tak bisa bergerak. Jadi, yang tadi kurasakan...?

Maaf, Lily. Sepertinya aku... mungkin tak bisa bertahan...

Tenang. Jaga pikiran. Tetap waras...

Aku bahkan serius mempertimbangkan untuk menggunakan skill demi menenangkan ‘kuda liar’ yang keburu bangkit, saat Lugh mulai menggeliat dan perlahan membuka kelopak matanya.

“Huh...? Hugh...?”

“Ah... pagi, Lugh.”

“Selamat pagi~ eheh...”

Sepertinya dia masih setengah sadar, karena ia tersenyum lebar, menutup mata lagi, dan memelukku makin erat.

Ya ampun, imut banget...!

Aku juga ingin terus seperti ini, tapi kalau berlanjut, aku bakal kehilangan kendali.

“Bangun, Lugh. Sudah pagi...!”

“Pagi...? Hmm...? Eh, kenapa Hugh tidur bareng aku...?”

“Harusnya aku yang nanya! Ini tempat tidur aku, tahu!?”

“Feh...?”

Lugh bangkit perlahan, melihat sekeliling, dan sepertinya baru ingat kalau tadi malam kita sudah sepakat tentang ranjang masing-masing. Wajahnya memerah hebat, dan dia melompat mundur dari tempat tidur seperti menghindari ledakan.

“Ma-mamaaf ya, Hugh! Aku susah tidur kalau nggak meluk sesuatu, dan waktu semalam ke toilet, aku cuma sedikit... tergoda...!”

“Jadi itu sengaja, dong...”

“Tapi aku bisa tidur nyenyak berkat kamu! Makasih banyak!”

Jangan terima kasih juga dong...

Kalau begini terus, besok pun dia bakal meluk aku lagi. Kalau sudah begitu, aku benar-benar bakal kehilangan kendali. Aku jadi makin menghargai peringatan Lily kemarin. Rasanya ingin kutulis dan kupigura.

“Pokoknya, setelah upacara masuk sekolah, kita cari guling peluk buat kamu, ya...?”

“Eh!? Emang Hugh nggak bisa jadi gulingku?”

“Jelas nggak boleh, dasar teman sekamar rusak!”

“Teman sekamar rusak!?”

Mengabaikan Lugh yang terpukul mendengarnya, aku segera mengenakan seragam. Meski upacara masuk belum dimulai, tak banyak waktu tersisa kalau menghitung waktu untuk sarapan di kantin.

Celana hitam, kemeja putih dengan garis biru dan kancing emas, lalu dasi merah. Warna putih dan biru mencerminkan bendera Kerajaan Rhys, dan emas melambangkan keluarga kerajaan. Seragam khas Akademi Kerajaan Rhys, memang.

Saat aku menambahkan jubah hitam dengan bordiran emas dan menoleh ke belakang, Lugh terlihat sedang menutup wajah dengan kedua tangan... tapi matanya ngintip dari sela-sela jari.

“Hugh ternyata cukup berotot, ya.”

“Segini sih biasa aja, kan?”

Di dunia ini tak ada hiburan atau cemilan manis seperti di kehidupan sebelumnya, jadi kehidupan cenderung aktif dan tak membuat tubuh lemas. Meski tidak sengaja melatih diri, otot tumbuh dengan sendirinya.

Tapi, kenapa dia nanya gitu sambil ngintip? Nggak usah pura-pura lah...

“Aku tunggu di luar. Selesai ganti, nyusul ya.”

Setelah bilang begitu ke Lugh, aku keluar kamar dan menunggu di lorong. Karena ini jam sarapan, siswa lain juga mulai keluar dengan seragam baru mereka.

Pemandangan ini pasti lambat laun akan terasa biasa juga.

Beberapa saat kemudian, Lugh keluar dalam seragamnya.

“G-gimana, Hugh? Cocok nggak...?”

“Ah, lumayan cocok juga, ya.”

Dibandingkan pakaian kemarin, kali ini lebih natural. Dengan wajah imut seperti itu, dia memang bisa saja dianggap anak laki-laki yang manis.

“Muu, ‘lumayan’ itu nyebelin lho, Hugh.”

“Maaf, maaf.”

Sambil menenangkan Lugh yang cemberut, kami berjalan keluar asrama. Sarapan di kantin yang terhubung dengan gedung sekolah, lalu lanjut ke upacara masuk.

Ternyata, isi upacara masuk tidak jauh beda di dunia manapun—kami hanya duduk dan mendengarkan pidato para petinggi.

Satu-satunya momen yang menarik buatku adalah saat Lily tampil memberikan sambutan mewakili murid baru.

Seperti yang kuduga dari Lily—tanpa catatan, suaranya lantang dan penuh wibawa. Kata Lugh, perwakilan murid baru dipilih berdasarkan hasil ujian masuk, bukan status bangsawan. Artinya, Lily adalah siswa terbaik tahun ini.

Melihat dari kepintaran dan kemungkinan dia punya skill kuat, aku rasa itu masuk akal.

Setelah upacara selesai, kami langsung dibubarkan. Besok libur sehari, dan kelas baru dimulai lusa.

Saat kembali ke kamar asrama bersama Lugh, aku menemukan surat di kotak pos atas namaku.

Tidak ada nama pengirim, tapi disegel dengan lilin berbentuk mahkota bunga.

Mahkota bunga... Lis (Rhys)...

Kenapa rasanya ini pertanda buruk...

“Itu surat dari istana, kan...? Hugh, kamu habis ngapain sih...?”

“Kayaknya... nggak ngapa-ngapain... mungkin.”

Jangan-jangan... skill sudah ketahuan...?

Tapi kalau iya, masa cuma kirim surat begini?

Bagaimanapun juga, aku harus lihat isinya. Aku duduk di meja belajar, membuka surat dengan pisau pembuka.

Di dalamnya, tertulis dengan tulisan rapi bahwa aku diundang ke istana.

Katanya, keluarga kerajaan ingin mendengar langsung soal kejadian penggagalan organisasi perdagangan manusia. Surat itu sepertinya ditulis oleh Wakil Komandan Ksatria, Roan.

Tertulis juga bahwa besok pagi jam sembilan, akan ada penjemputan.

“Wakil Komandan Roan yang nulis...? Serius?”

“Lugh, kamu kenal?”

“Ah, iya. Bukan kenal sih, tapi dia orang terkenal. Wakil komandan pasukan ksatria. Punya skill —ksatria terkuat di kerajaan. Biasanya pemalas, tapi tulisannya indah, jadi sering disuruh nulis surat. Terutama oleh... Pangeran Lucas.”

“Pangeran Lucas...? Pangeran ketiga itu...?”

Bahkan aku yang cuma bangsawan miskin dari pelosok tahu nama itu.

Pangeran ketiga, Lucas von Rhys. Jenius yang cerdas, atletis, dan mahir dalam strategi serta politik.

...Dan juga, pangeran buta sejak lahir.

Kalau dia tidak kehilangan penglihatannya, dia bisa jadi kandidat terkuat penerus tahta.

“Mungkin saja.”

“Kenapa orang sepenting itu tiba-tiba tertarik padaku...?”

Saat aku melirik ke samping, kulihat Lugh yang sedang berdiri di belakangku, memeluk dari belakang sambil menatap surat itu penuh perhatian.

...Jangan-jangan...

“Hugh, boleh nggak... surat ini aku simpan dulu sebentar?”

“Aku tidak keberatan sih, tapi mau kau apakan?”

“Aku baru ingat ada urusan sedikit. Ah, hari ini aku akan menginap di rumah orang tuaku ya. Sudah lama nggak ketemu Ayah dan keluarga, jadi aku ingin pulang.”

“Begitu ya. Enak juga tinggal di ibu kota, bisa pulang sewaktu-waktu.”

“Rumahmu di wilayah timur laut, kan...? Apa kamu merasa kesepian?”

“Aku nggak bakal bohong, jadi kalau dibilang nggak kesepian, ya bohong. Tapi aku juga sudah dewasa. Waktunya pisah dari orang tua.”

“...Begitu. Tapi, suatu saat aku ingin ke kampung halamanmu, Hugh.”

“Isinya cuma gunung dan hutan, lho?”

“Justru itu yang bikin aku tertarik. Hidup tenang di tempat damai seperti itu, kayaknya seru kalau bareng Hugh!”

“Be-begitu ya...”

Itu... bukannya kayak lamaran terselubung...?

Memang, kalau hidup bareng Lugh, bahkan kehidupan santai dan damai di kampung pun pasti akan terasa lebih berwarna.

«...Kalau begitu, nanti kita cari waktu yang pas dan pulang kampung bareng, ya. Kalau kamu suka tempatnya, boleh saja pindah sekalian. Aku sih bakal senang banget.»

«Benarkah!? Janji ya, janji lho, Hugh!»

«Iya, janji.»

Lugh tersenyum cerah dari dalam hatinya, lalu mengulurkan kelingkingnya.

Di dunia ini juga, ada budaya saling mengaitkan kelingking saat membuat janji. Saat aku mengaitkan kelingkingku dengannya, Lugh berkata dengan penuh harap:

“Semoga Tuhan membimbing janji ini jadi kenyataan!”

*** 

Keesokan harinya setelah Lugh pulang ke rumahnya.

Aku sedang menunggu kereta penjemputan di depan gerbang akademi kerajaan.

“Pakai seragam ini beneran nggak apa-apa ya…?”

Begitu membayangkan harus bertemu dengan anggota keluarga kerajaan, aku jadi gugup juga. Sekarang aku mengenakan seragam Akademi Kerajaan Ries. Tadi malam aku sudah mengecek peraturan sekolah dan menemukan bahwa selama masih berstatus siswa, seragam dianggap sebagai pakaian resmi. Jadi, seharusnya tidak masalah untuk bertemu keluarga kerajaan dengan ini.

“Kalau Lugh ada, pasti suasananya bakal lebih santai…”

Aku dan Lugh memang sudah sepakat untuk bertemu lagi di istana setelah audiensi selesai. Aku sempat penasaran kenapa dia bisa berada di sana juga, tapi aku belum sempat tanya detailnya.

Yah, mungkin dia masuk ke istana untuk membantu pekerjaan ayahnya atau semacamnya.

Sekitar lima menit sebelum waktu yang dijanjikan, terlihat sebuah kereta mendekat dari kejauhan. Di atas kusir duduk seorang ksatria wanita muda yang mengenakan zirah berwarna putih dengan garis biru.

Untuk jaga-jaga kalau harus kabur, aku sudah mengganti skill ke mode〈Ninja〉. Dengan penglihatan yang diperkuat, aku bisa melihat mereka dari kejauhan dengan jelas.

Yang duduk di kusir adalah perempuan muda berambut ungu yang diikat ke samping, wajahnya masih menyisakan kesan kekanak-kanakan. Dan tampaknya ada satu orang lagi di dalam kereta.

Kereta berhenti tepat di hadapanku, lalu pintunya terbuka dan dari dalam muncul seorang ksatria pria paruh baya. Rambutnya berantakan, berjenggot tidak rapi, dan posturnya agak membungkuk. Jujur, kesannya agak pemalas.

Tapi… instingku yang diperkuat〈Ninja〉berteriak keras.

Orang ini kuat—sangat kuat, tak diragukan lagi.

Bahkan dengan〈Ninja〉skill pun, kalau sampai harus bertarung dengannya, aku yakin akan kalah. Baik menyerang langsung maupun dengan taktik licik, aku tidak melihat peluang menang. Jarak kekuatan dan pengalaman kami terlalu jauh. Apa mungkin ini dia, ksatria terkuat kerajaan?

“Aku Roan Ashblade, wakil ketua Ordo Ksatria Kerajaan. Kau yang bernama Hugh Phnosis, ya?”

“Y-ya. Senang bertemu Anda, Wakil Ketua Roan.”

“Cukup panggil Roan aja. Kecuali kau memang berencana masuk jadi ksatria nanti.”

“…Kalau begitu, saya akan panggil Anda Roan-san. Soalnya saya berencana mewarisi wilayah keluarga.”

“Sayang sekali. Dengan kemampuanmu, kami akan menyambutmu kapan pun, tapi kalau kau berubah pikiran, bilang saja. Naiklah.”

Atas ajakan Roan-san, aku pun naik ke dalam kereta. Saat itu, dari kusir, sang ksatria wanita menyapaku.

“Jadi kamu yang namanya Hugh, ya? Aku Alissa Swift. Salam kenal ya!”

“Aku Hugh Phnosis. Senang berkenalan juga.”

“Oooh! Kamu ternyata anak baik yang sopan juga, ya! Kukira kamu bakal jadi cowok gede yang kasar dan berantakan, soalnya kamu sendirian ngeratain kelompok perdagangan manusia, lho.”

“B-begitu ya…”

“Oy, Alissa! Udah cukup ngobrolnya, jalanin keretanya.”

“Siap, Master!”

“Ma… Master alias tuan?”

Kupikir mereka atasan dan bawahan, tapi hubungan mereka ternyata…?

“Jangan dipikirin, Hugh. Dia emang selalu kayak gitu…”

Roan-san menghela napas dan menutup wajah dengan telapak tangannya. Dari situ saja, aku bisa menebak betapa banyaknya kesulitan yang dia hadapi.

Tapi tetap saja…

Bukan cuma Roan-san, Alissa-san juga punya kemampuan luar biasa. Kalau aku harus berhadapan dengan mereka berdua, kemungkinan besar bukan hanya kalah bertarung, kabur pun pasti susah. Kalau memang skill〈Cuci Otak〉sudah ketahuan, maka posisiku benar-benar sudah habis.

…Tapi sejauh ini mereka tidak terlihat berniat menyerangku. Tetap harus waspada dan siap kabur kapan pun. Meskipun di depan dua orang ini, itu mungkin sia-sia, aku tetap tidak ingin menyerah begitu saja.

“Ngomong-ngomong, siapa sebenarnya yang memanggilku…?”

Perkiraanku sih Pangeran Ketiga Lucas. Tapi Roan-san mengelus jenggotnya dan tersenyum agak rumit.

“Ah—sampai kemarin sih aku masih boleh bilang, tapi sekarang urusannya jadi rahasia negara. Maaf ya, aku nggak bisa ngomong di sini.”

“Rasanya ini bukan sesuatu yang perlu dirahasiakan…”

“Aku juga mikirnya gitu, tapi sebagai ksatria yang sudah sumpah setia ke keluarga kerajaan, aku harus patuh pada perintah. Yah, tunggu saja nanti, ya.”

“Haa…”

Sepanjang perjalanan ke istana, aku mengobrol dengan Roan-san. Katanya ayahku dan dia dulu satu angkatan di Akademi Kerajaan. Ibuku juga kenal baik dengannya. Bahkan mereka sempat adu jotos karena memperebutkan ibuku.

Jujur, mendengar kisah mereka jauh lebih menarik daripada harus menghadapi audiensi dengan keluarga kerajaan.

Sayangnya, waktu menyenangkan itu cepat berlalu, dan kami pun tiba di istana.

“Aku masih ingin dengar cerita tentang Ayah dan Ibu, sih.”

“Nanti kapan-kapan kita lanjut lagi. Kalau aku sedang libur, kita minum sampai pagi.”

“Aku tunggu, lho!”

“Duh, kalian udah akrab banget ya…”

kata Alissa-san sambil nyengir.

Ditemani mereka berdua, aku akhirnya melangkah masuk ke dalam istana.

Sampai kemarin pun aku masih mengira tempat ini tidak akan pernah aku injak seumur hidup. Rasanya tempat ini begitu suci dan tegang, mungkin karena di sinilah perebutan takhta sedang terjadi.

Bangunan ini juga luar biasa megah. Karpet di bawah kakiku empuk banget. Vas, guci, lukisan di dinding semuanya tampak seperti barang mewah kelas atas. Kalau sampai aku pecahkan satu saja, keluarga Phnosis bisa hancur kayak rumah jerami.

Berkeringat dingin, aku berjalan melewati koridor dan menaiki beberapa tangga. Di lantai atas, akhirnya Roan-san berhenti.

“Di sini, Hugh. Yang Mulia, saya telah membawa Hugh Phnosis.”

“Masuk saja—!”

Terdengar suara ceria dari dalam ruangan. Roan-san menghela napas lagi sambil menepuk dahinya. Alissa-san juga tersenyum masam.

Aku juga mulai berkeringat dingin. Suara dari balik pintu itu… rasanya aku pernah dengar.

Roan-san memberi isyarat dengan dagunya agar aku masuk.

Di dalam adalah ruangan sederhana hanya dengan satu meja kerja. Di sana berdiri seorang gadis kecil berambut pirang panjang berkilau, mengenakan gaun mewah putih dengan sulaman emas dan biru, berdiri di dekat jendela sambil menatapku.

Wajahnya imut dengan mata biru besar yang berkilau dan ekspresi ceria.

“Selamat da… maksudku, salam kenal, Hugh Phnosis-san. Namaku Lucretia von Ries. Aku adalah Putri Ketujuh kerajaan ini. Senang bertemu denganmu!”

Putri Lucretia tersenyum manis saat berkata begitu.

Meski warna dan gaya rambutnya berbeda, aku tidak mungkin salah mengenali senyum itu…

Putri Ketujuh ini… gak salah lagi, dia pasti Lugh aaaaaahhhhh──

Aku menjerit dalam hati sambil menepuk kepala sendiri.

Indra tajam dari〈Ninja〉skillku meyakinkan sepenuhnya bahwa Lugh = Putri Lucretia. Perubahan warna dan panjang rambutnya pasti berkat alat sihir. Kalau dari keluarga kerajaan, wajar saja dia punya alat begituan.

…Sebenarnya aku sudah agak curiga.

Lily yang menyebutnya “Beliau”, pengetahuannya yang anehnya detail tentang istana dan akademi, bahkan meski lahir di ibu kota, dia terlihat kagum saat jalan-jalan di kota.

Kalau dia memang seorang putri, semuanya masuk akal.

Kupikir mungkin saja… tapi ternyata benar-benar seorang putri!?

Padahal aku sudah tidur di ranjang yang sama dengannya! Memang sih aku nggak ngapa-ngapain… Tapi… kayaknya sempat megang dadanya… dan pantatnya juga…

Peringatan Lily baru terasa sepenuhnya sekarang. Dia bukan orang yang bisa sembarangan disentuh. Salah langkah sedikit, bukan cuma aku, keluargaku bisa dihukum mati semua. Dan Lugh… maksudku, Putri Lucretia juga bisa terkena dampaknya.

Aku harus bagaimana…?

Untuk saat ini, dia memperkenalkan diri sebagai seorang putri. Maka aku juga harus bersikap selayaknya rakyat biasa.

Aku berlutut dengan satu kaki dan menundukkan kepala dalam salam hormat. Untungnya, aku pernah diajarkan oleh ayahku soal etika bangsawan.

“Salam hormat, Putri Lucretia. Saya Hugh, putra Mike Phnosis, penguasa wilayah Phnosis. Terima kasih atas undangannya kali ini.”

“Fufu, kamu nggak perlu segitu resminya kok.”

“Saya rasa itu tidak pantas, Yang Mulia.”

Saat aku masih menunduk dan menggelengkan kepala, terdengar suara tak puas, “Muu…” dari arahnya.

Sebagai seorang putri kerajaan, tentu saja aku tidak bisa bersikap pada Lucretia seperti saat aku bersama Lugh. Tapi… apa maksudnya muncul di hadapanku sebagai Putri Lucretia? Jangan-jangan dia mau bilang, “Sebenarnya aku ini Lugh!” dengan gaya kejutan semacam acara TV? Itu bakal jadi mimpi buruk…

Sambil menunggu langkah selanjutnya, Putri Lucretia menghela napas kecil.

“Angkat wajahmu, Hugh Phnosis.”

“Baik!”

Saat aku mengangkat kepala, Putri Lucretia menatapku dengan ekspresi tenang. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk bersikap sebagai seorang putri sepenuhnya.

“Aku sudah mendengar tentang prestasimu dari Ordo Ksatria. Katanya kau seorang diri berhasil menghancurkan kelompok perdagangan manusia dan menyelamatkan para korban penculikan. Itu adalah pencapaian yang sangat luar biasa!”

“Tidak, itu bukan hal yang pantas mendapat pujian dari Yang Mulia…”

“Muu. Pujian itu harusnya diterima dengan jujur, lho?”

“…Namun, karena kelalaianku, temanku sampai diculik. Aku hanya ingin menyelamatkan dia. Penghancuran organisasi dan penyelamatan para korban hanyalah akibat dari usaha itu.”

“Hugh… kau ini orangnya terlalu jujur dan rendah hati, ya.”

Putri Lucretia menghela napas panjang, terlihat benar-benar kehabisan kata. Namun tak lama kemudian dia tersenyum dan berkata:

“Itulah kenapa aku ingin memberimu sesuatu sebagai balasan.”

…Balasan, ya. Meski dia sendiri tampaknya berusaha merahasiakan identitas aslinya, setidaknya aku tahu dia punya niat menyembunyikannya. Itu saja sudah cukup berarti.

“Hugh, aku akan memberimu sebuah penghargaan.”

Putri Lucretia berjalan perlahan dari jendela ke arahku dan mengulurkan punggung tangan kanannya di hadapanku.

________________________________________

“Hugh Phnosis. Aku menunjukmu menjadi ksatriaku—ksatria milikku seorang.”

________________________________________

Ksatria langsung kerajaan—gelar tertinggi bagi para ksatria.

Itu adalah impian semua anak laki-laki bangsawan. Ksatria yang langsung ditunjuk oleh anggota kerajaan, dan akan tetap berada di sisinya sampai salah satu dari mereka meninggal dunia.

Statusnya melebihi Ordo Ksatria Kerajaan. Mereka yang menerima peran ini secara otomatis dianugerahi gelar bangsawan tingkat marquis. Di luar raja, ini adalah hadiah terbesar yang bisa diberikan oleh anggota kerajaan.

Jika aku menyentuh tangannya dan mencium punggung tangannya, maka aku resmi menjadi bangsawan marquis dan menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk melindungi sang putri.

Tapi jawabanku sudah bulat.

“Dengan segala hormat, saya menolak.”

“Baiklah, mulai sekarang—ehh!? KENAPA KAU TOLAK SIH!?”

Putri Lucretia benar-benar tak menduga aku akan menolak. Dia langsung memegang kedua pundakku dan mengguncangnya keras.

Yah, soalnya…

“Aku adalah pewaris keluarga Phnosis. Setelah lulus nanti, aku harus kembali ke wilayah dan menggantikan ayahku. Tidak ada saudara atau kerabat lain yang bisa dipercaya untuk mengurus wilayah itu.”

“K-ka-kalau begitu, kenapa tidak serahkan pengelolaan wilayah ke kepala daerah saja!? Banyak bangsawan yang bekerja di ibu kota juga begitu, kan!?”

“Itu masih mungkin kalau wilayahnya dekat. Tapi tempat tinggalku benar-benar di ujung negeri. Butuh sebulan penuh untuk ke sini. Kalau sampai ada bencana di wilayahku, paling cepat aku baru bisa kembali dua bulan setelahnya. Jelas tidak akan sempat.”

Selain itu, seorang ksatria kerajaan harus selalu mengutamakan keselamatan sang putri. Tidak mungkin bisa mengurus wilayah dan menjadi ksatria kerajaan sekaligus.

Aku bisa saja tinggalkan rumah dan biarkan keluarga Phnosis punah di generasi ayahku… tapi impianku di kehidupan sekarang adalah hidup damai dan santai. Jadi, aku tidak bisa menjadi ksatria pribadi Putri Lucretia.

Tapi ada alasan yang jauh lebih penting kenapa aku tak bisa menerima permintaannya.

“…Begitu, ya.”

Putri Lucretia tampaknya menyadari bahwa aku sudah mantap dengan keputusan ini. Ia melepaskan tangannya dari bahuku dan menundukkan kepala, menampilkan ekspresi kesepian… bukan, lebih dari itu. Ada kesedihan yang dalam di sana.

Aku ingin tahu makna di balik ekspresi itu. Tapi bukan sekarang waktunya.

Kata-kata yang harus kusampaikan kepadanya saat ini adalah—

“Mohon maaf, Yang Mulia. Saya punya janji yang tak bisa saya ingkari dengan seorang teman.”

“Janji…?”

“Ya. Aku pernah berjanji untuk mengajaknya ke kampung halamanku suatu hari nanti.”

“…Ah…”

“Aku bahkan bilang kalau dia menyukainya, dia boleh tinggal di sana. Kalau aku jadi ksatria pribadi Yang Mulia, aku tak akan bisa kembali ke sana. Karena itu, aku mohon pengertiannya.”

“…Benar-benar deh, kamu ini…”

Putri Lucretia tersenyum kecil dan menghela napas.

“Kalau itu janji penting, ya sudah. Tapi sekarang aku jadi bingung. Karena aku sudah memanggilmu ke sini, aku wajib memberikan hadiah.”

“Tidak perlu, Yang Mulia. Bisa bertemu dengan Anda saja sudah merupakan kehormatan besar bagi saya.”

“Muu… terlalu rendah hati juga bukan hal yang baik! …Baiklah, aku sudah putuskan. Hugh Phnosis, aku tetap akan memberimu hadiah. Jadi, tutup matamu sampai aku bilang boleh membuka!”

“…Baik.”

Jujur, aku cukup cemas dengan apa yang akan dilakukan, tapi ini perintah langsung. Maka aku pun memejamkan mata.

Tentu saja, dengan〈Ninja〉skill, semua indraku telah diasah. Walaupun kehilangan penglihatan, aku masih bisa mengenali suara, aroma, bahkan aliran udara di sekitarku, dan bisa tahu jelas pergerakan Putri Lucretia.

Dia mendekat lebih jauh lagi, menunduk sedikit…

Aroma manis seperti bunga osmanthus menyebar ke seluruh rongga hidungku.

── Dan sesuatu yang lembut menyentuh pipi kananku.


Sang putri mundur tiga langkah, menutupi mulut dengan kedua tangannya, lalu gelisah sambil melompat-lompat kecil sebelum akhirnya memanggilku.

“Sudah boleh, Hugh.”

Saat aku mengangkat wajah, sang putri menatapku dengan wajah yang berusaha keras terlihat tenang… tapi wajahnya masih merah padam, dan sudut bibirnya berkedut-kedut seolah menahan tawa. Jelas-jelas dia tidak sedang baik-baik saja.

“Yang Mulia… barusan itu… apa yang Anda lakukan…?”

“Hehehe~ Rahasia~ Aku nggak mau kasih tahu Hugh~”

Meskipun aku sebenarnya tahu persis apa yang terjadi, wajahku pun sudah panas dari tadi dan sulit sekali untuk tetap tenang.

Tapi aku akan pura-pura tidak tahu.

Karena di tempat ini, dia adalah seorang putri kerajaan.

Dan aku sama sekali tidak berniat menentang monarki absolut.

Chapter 4: Sesuatu yang lebih kuinginkan daripada setengah dunia

“Kalau begitu, aku pamit sampai di sini. Hugh, aku menantikan saat kita bisa bertemu lagi.”

Putri Lucretia melambaikan tangan dan keluar dari pintu tempat aku masuk tadi. Tak lama kemudian, Roan-san masuk menggantikan posisinya.

“Sang putri keluar dengan wajah merah padam barusan. Apa yang kau lakukan padanya…?”

“Justru yang ‘melakukan sesuatu’ adalah Yang Mulia sendiri.”

Aku sama sekali tak menyangka kalau akan diberi ciuman di pipi sebagai hadiah. Kalau mau, aku bisa saja menghindar, tapi dia pasti akan ngambek kalau aku melakukannya, jadi tidak ada pilihan selain menerimanya.

…Yah, aku juga tidak punya alasan untuk menghindar, sih.

“Ya sudahlah. Lebih penting, sekarang kita masuk ke pokok pembicaraan.”

“...Jadi maksudnya, yang memanggilku ke sini bukan Putri Lucretia?”

“Kau juga sudah menyadarinya, kan? Siapa sebenarnya yang mengundangmu ke sini.”

“Yah, secara garis besar sih...”

Putri Lucretia... agak panjang kalau disebut terus, jadi kita sebut saja dia Lugh.

Lugh pasti melihat surat yang kuterima, lalu memutuskan untuk membuat skenario pertemuan tadi. Untuk menyampaikan rasa terima kasihnya karena aku telah menyelamatkannya, dan memberikan hadiah. Kalau begitu, pengirim surat sebenarnya tentu orang lain.

“Permisi, aku masuk.”

Orang itu masuk dengan percaya diri sambil membuka pintu hanya dengan sepatah kata. Rambutnya panjang, berkilau, dan indah seperti milik Putri Lucretia. Tubuhnya agak kecil, namun cara berjalan yang tegap dan mantap membuatnya tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya.

Wajahnya pun sangat tampan—bahkan aku yang laki-laki nyaris terpesona melihatnya.

Kalau saja matanya tidak tertutup kain tebal berwarna hitam, entah bagaimana reaksiku saat ini.

“Ah, kau tidak perlu berlutut. Kita jadi susah bicara. Aku ingin ngobrol denganmu secara santai.”

“...Senang bertemu Anda, Pangeran Lucas.”

“Ya, senang bertemu juga. Senang bisa bertemu langsung denganmu, Hugh Plnosis.”

...Apa-apaan orang ini?

Seperti rumor yang kudengar, seharusnya dia tidak bisa melihat. Karena matanya benar-benar tertutup kain hitam tebal.

Tapi meski begitu, aku merasa tak bisa bergerak, seperti katak yang dihadapkan dengan ular.

Perasaanku tidak enak. Rasanya seperti tubuhku sedang diamati dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Hmm. Bagaimana kalau kita pindah ruangan? Aku lupa kalau di ruangan ini tidak ada sofa. Ayo ikut.”

Pangeran Lucas berbalik dan keluar dari ruangan.

“Ayo, Hugh.”

“Ah, ya…”

Akhirnya aku bisa melangkah setelah didorong oleh Roan-san. Apa barusan tadi…? Apa karena skill membuat semua indra tubuhku terlalu peka?

Kami diarahkan ke ruangan di sebelah. Bentuknya mirip dengan ruangan sebelumnya, tapi selain meja kerja, ada juga sofa untuk menerima tamu. Pangeran Lucas duduk di sofa, dan aku duduk di hadapannya.

Di belakangku berdiri Roan-san, dan di belakang sang pangeran berdiri Alyssa-san. Mereka berada di posisi yang memungkinkan untuk menyerangku dari depan dan belakang jika perlu. Meski aku tidak berniat berbuat macam-macam, tapi ketegangan di udara terasa nyata.

“Sekali lagi, perkenalkan. Namaku Lucas von Ries. Jangan tegang begitu, Hugh-kun. Aku tidak akan memangsamu atau apa. Dua orang itu hanya berjaga-jaga, aku tidak menyuruh mereka mencabut pedang.”

“Meski begitu tetap saja…”

“Kalau begitu, aku suruh Alyssa keluar dulu. Roan pindah ke belakangku. Dengan begitu, tekanannya sedikit berkurang, bukan?”

Atas perintah Pangeran Lucas, Roan-san dan Alyssa-san langsung bergerak. Alyssa-san keluar ruangan dan berjaga di luar pintu.

“Begini lebih baik, kan?”

“...Terima kasih atas pertimbangannya, Yang Mulia.”

“Alaa, itu bukan apa-apa. Jasa yang kau berikan dengan menyelamatkan adikku jauh lebih besar.”

“………”

Dia langsung menembak langsung ke titik itu, ya. Matanya masih tertutup kain, tapi jelas dia tahu bahwa Lugh dan Putri Lucretia adalah orang yang sama, dan sedang mengamati reaksiku.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu saja. Tidak perlu izin kalau cuma bertanya. Santai saja.”

“Kalau begitu saya akan langsung. Mengapa adik Anda menyamar sebagai laki-laki dan masuk ke Akademi Kerajaan?”

“Itu yang pertama kau tanyakan, ya.”

Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi yang paling mendasar adalah: mengapa Putri Lucretia harus menyamar sebagai laki-laki dan ikut ujian masuk akademi? Kalau itu tidak dijelaskan, semuanya jadi menggantung.

“Apakah kau siap mendengar jawabannya?”

“Sampai beberapa waktu lalu, saya belum siap.”

“Begitu ya. Baiklah, jawabannya langsung saja—aku benar-benar berniat merebut takhta kerajaan.”

“Apa──!? Yang Mulia!?”

Roan-san benar-benar terkejut. Pasti dia tidak menyangka pangeran akan langsung bicara sejujurnya seperti itu. Aku sendiri sempat menduganya, tapi tetap saja terkejut dengan betapa mudahnya dia mengatakannya.

Aku tidak tahu seperti apa kondisi perebutan takhta saat ini, tapi menurut ayah, Pangeran Lucas tertinggal karena kekurangan penglihatan.

“Apakah Anda yakin mengatakan hal itu pada saya?”

“Tentu. Bukankah kau sudah menduganya juga? Seorang putri kerajaan seperti Lucretia menyamar jadi pria dan masuk akademi. Seolah menyembunyikan sesuatu.”

“...Memang saya berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.”

Kalau ingin menyembunyikan seseorang, tempat terbaik adalah di tengah keramaian. Akademi Kerajaan adalah tempat persembunyian yang ideal. Dengan banyaknya remaja seusia dan tempat yang tertutup, menutupi identitas jadi lebih mudah. Kalau ditambah dengan menyamar jadi laki-laki dan mengubah gaya rambut, siapa pun akan kesulitan menemukannya.

...Walaupun Lily sudah menyadarinya, sih.

“Aku memang berniat memenangkan perebutan takhta. Suatu saat aku akan secara terbuka menjadi musuh kakak-kakakku. Dan saat itu tiba, mereka pasti akan menjadikan adikku Lucretia sebagai target pertama. Untuk mencegah itu, aku menyembunyikannya di Akademi Kerajaan. …Tentu saja, aku tidak menyangka dia akan diculik dalam situasi yang sama sekali tidak berkaitan dengan perebutan takhta. Dasar adikku, benar-benar suka bikin masalah.”

“...Tidak Anda beri pengawal?”

“Kalau diberi pengawal, justru akan memperjelas bahwa dia itu Lucretia. Lagi pula, aku sudah memintanya untuk tidak keluar dari dalam akademi. Siapa sangka dia malah keluar cuma untuk beli baju…”

Pangeran Lucas benar-benar tampak pusing sambil memegangi kepala. Aku pun mulai merasakan sakit kepala sendiri.

Jangan-jangan… Lugh itu troublemaker lebih dari yang kubayangkan…?

“Itulah sebabnya aku sangat bersyukur kau ada di sisinya saat itu.”

“Tidak, kalau tidak bertemu dengan saya, mungkin dia juga tidak keluar dari akademi.”

“Perdebatan itu tidak penting. Yang pasti, dia bertemu denganmu, diculik, dan akhirnya diselamatkan olehmu. …Dan aku sangat menghargai kemampuanmu menyelamatkannya.”

“Saya rasa tidak layak mendapat pujian dari Anda, Yang Mulia. Semua itu terjadi karena kebetulan yang bertumpuk.”

“Kebetulan, ya. Kalau begitu, kekuatan untuk menarik kebetulan pun tetap pantas dihargai.”

“……Apa sebenarnya yang ingin Anda sampaikan?”

“Kau tahu sendiri jawabannya, bukan? Kau tahu apa yang kuinginkan darimu.”

“...Anda ingin saya menjadi pendukung Anda?”

Saat aku bertanya, Pangeran Lucas tersenyum.

…Perasaan tidak enak ini semakin kuat. Meski aku telah menyelamatkan Lugh, apakah perlu sampai bertemu langsung seperti ini untuk merekrutku?

“Saya ini hanya bangsawan miskin dari pelosok, Yang Mulia. Tidak ada manfaatnya jika saya masuk dalam faksi Anda.”

“Justru karena itu. Kamu tidak punya keterkaitan politik. Wilayah Plnosis berada di daerah paling terpencil dan tidak strategis. Meski berbatasan dengan negara lain, dikelilingi pegunungan yang membuat mustahil ada serangan militer. Tak ada kerabat di ibukota juga, jadi tidak ada faksi mana pun yang memperhatikan Plnosis. Itu sebabnya aku bisa mempercayaimu.”

“Saya ini miskin, bisa saja tergoda uang dan berkhianat sewaktu-waktu.”

“Kalau itu satu-satunya kekhawatiranmu, maka kamu lulus. Berapa yang kamu mau?”

“...Saya tidak kekurangan uang saat ini.”

Rasanya kalau aku bilang, dia bakal langsung kasih ratusan keping emas.

“Kau memang luar biasa. Hati-hati, cermat, dan bisa melihat jauh ke depan. Aku merasa tenang bisa menyerahkan adikku padamu.”

“Jadi… Anda ingin saya menjaga Yang Mulia Putri?”

“Tidak perlu dijaga secara langsung. Asal tetap berada di sisinya dan mendukungnya. Kau tahu sendiri, dia anak yang cukup merepotkan. Tapi dia adalah satu-satunya keluarga yang sangat berharga bagiku.”

“...Tanpa Anda minta pun, saya tidak berniat meninggalkan Lugh.”

“Terima kasih, Hugh-kun. Ngomong-ngomong, skill-mu itu… menarik sekali, ya?”

“──っ!”

Aku nyaris bersuara tapi buru-buru menutup mulutku.

Tapi jelas, keterkejutanku telah terlihat. Ucapan itu menyelinap dalam percakapan dengan begitu alami dan langsung menghujam jantungku.

“Sebenarnya, penglihatanku sudah lama pulih. Tiga tahun lalu, Tuhan memberiku kembali penglihatan.”

“...Jangan-jangan, skill Anda adalah…”

“Aku bisa melihat apa pun yang ingin kulihat. Tapi skill ini terlalu kuat. Aku juga bisa melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Butuh dua tahun bagiku untuk bisa mengendalikannya. Sekarang, dengan menutup mata seperti ini, kekuatannya bisa agak dibatasi.”

“Pantas saja, dari tadi…”

Padahal seharusnya dia tidak bisa melihat, tapi dia berjalan dengan percaya diri tanpa tongkat sekalipun, bahkan tadi dia juga sempat menyebutkan kalau di ruangan itu tidak ada sofa. Kalau dipikir sekarang, ada banyak tindakan dan perkataan yang terasa aneh kalau dia memang benar-benar buta.

Perasaan seperti sedang diawasi sejak tadi ternyata bukan ilusi. Aku benar-benar sedang diawasi. Bahkan bukan hanya dilihat, mungkin perasaanku, bahkan pikiranku, telah terbaca olehnya.

Dan juga... skill-ku.

“Kau akan tetap berada di sisi adikku. Tapi hanya menjaganya saja tidak cukup untuk memanfaatkanmu secara maksimal. Akan sia-sia kalau kemampuanmu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.”

“Apa yang Anda ingin saya lakukan?”

“Apa saja. Tapi bukan berarti aku akan memanfaatkanmu habis-habisan. Aku hanya ingin kau membantuku di saat-saat yang penting. Selebihnya, silakan jalani kehidupan remaja bersama adikku sesuka hati.”

“…Sepertinya saya tidak punya pilihan untuk menolak, ya?”

Apakah dia melihat skill yang kupegang? Atau skill yang sudah kutulis ulang? Entah yang mana, tapi Pangeran Lucas tampaknya ingin menggunakan aku sebagai “pedang tersembunyi”—secara harfiah.

Disembunyikan dari pandangan publik, dan ditarik keluar hanya saat dibutuhkan.

Jika aku menolak, bisa-bisa aku langsung dihukum mati karena skill-ku. Roan-san sejak tadi mengambil posisi siap cabut pedang dari pinggangnya. Aku tidak yakin bisa mengaktifkan skill lebih cepat dari pedangnya.

Aku benar-benar sudah terkunci. Kali ini, tidak ada lagi yang bisa kulakukan.

Tapi tetap saja, menyerah begitu saja juga terasa menyebalkan.

“Ada dua syarat.”

“Baiklah. Sebutkan.”

“Pertama, aku tidak ingin membunuh orang jika bisa dihindari. Aku belum siap mental untuk itu.”

“Akan kupenuhi permintaan itu.”

“Kedua. Jika Anda berhasil menjadi raja, saya hanya ingin satu hadiah. Setelah itu saya akan mengasingkan diri di wilayah Plnosis. Tolong beri saya izin untuk itu.”

“Baiklah. Lalu, apa yang kau inginkan dariku sebagai hadiahnya? Jabatan perdana menteri? Harta karun? Tanah? Pilih sesukamu.”

“Saya tidak butuh hal seperti itu.”

Yang aku inginkan hanya satu. Aku tidak butuh jabatan, kehormatan, atau kekayaan.

“Beri aku orang yang paling berharga bagimu. Cukup dia saja bagiku.”

Pangeran Lucas membeku beberapa saat dengan mulut sedikit terbuka. Kalau dia tidak mengenakan penutup mata, mungkin ekspresinya akan sangat kaget.

Lalu akhirnya dia tertawa terbahak-bahak setelah menyadari apa maksudku.

“Haha! Bagus sekali! Baiklah, jika aku menjadi raja, aku akan menyerahkan adikku yang paling berharga padamu. Tapi hanya jika dia setuju. Kalau dia menolak, maka permintaanmu batal, ya?”

“Tentu. Aku tidak akan memaksakan kehendaknya.”

Meskipun aku punya skill yang bisa memaksa siapa pun menuruti kehendakku, itu adalah satu hal yang tidak akan pernah aku gunakan padanya.

Aku ingin Lugh sendiri yang memilih untuk tetap berada di sisiku.

Aku ingin menepati janji yang pernah kami buat. Dan demi itu, aku rela diperalat oleh Pangeran Lucas. Aku punya skill yang cukup untuk bisa melewati semua ini.

“Kau tampaknya sudah siap. Kalau begitu, kesepakatan kita sah. Senang bisa mendapatkan rekan sekuat dirimu.”

“Saya percaya pada Anda, Pangeran Lucas. Pastikan Anda menjadi raja.”

“Itu tergantung seberapa besar usahamu. Aku tertinggal jauh dalam persaingan perebutan takhta. Saat ini, pihakku hanya didukung oleh sebagian besar pasukan kesatria dan beberapa pejabat dalam negeri. Kakak tertuaku, Pangeran Slay, mendapat dukungan dari mayoritas bangsawan, dan kakak keduaku, Pangeran Blute, memegang dukungan militer seperti tentara tetap dan penjaga kota.”

“...Tapi Anda justru berhasil menguasai pusat-pusat vital negara, ya.”

“Oh? Kau menyadarinya? Hebat juga.”

Memang, secara jumlah, faksinya masih kalah. Tapi kesatria kerajaan adalah pasukan elit terbaik di negeri ini, dan tanpa para birokrat, roda pemerintahan tidak akan berjalan.

Kesatria dan birokrat adalah pilar penting bagi Kerajaan Ries dan Keluarga Kerajaan Ries. Dan dia sudah menggenggam keduanya tanpa banyak sorotan. Memang tidak bisa diremehkan.

“Nanti, kakak-kakakku tidak akan bisa lagi mengabaikanku. Saat itulah pertarungan yang sebenarnya dimulai, dan saatnya kau beraksi. Kuhitung padamu ya, adik iparku yang akan datang?”

“Saya akan berusaha agar bisa menjadi seperti itu.”

Aku menyambut tangan yang diulurkan Pangeran Lucas. Awalnya aku berpikir tidak akan pernah terlibat dalam konflik politik di ibu kota, tapi kini aku justru melangkah masuk ke pusaran itu dengan kemauanku sendiri.

Semua demi hidup damai yang tak bisa kuperoleh di kehidupan sebelumnya. Dan demi menepati janji pada Lugh. …Akan kulakukan semampuku.

“Sekian dulu untuk hari ini. Aku akan mengirim Alyssa ke Akademi Kerajaan sebagai penghubungmu. Kalau ada apa-apa, hubungi dia.”

“Alyssa-san?”

“Katanya akademi sedang kekurangan guru ilmu pedang. Dengan menyamar sebagai utusan dari kesatria kerajaan, mungkin mencurigakan, tapi tingkat kewaspadaan tetap bisa ditekan. Bahkan mungkin justru dianggap lebih aman karena Alyssa tidak bisa lagi bergerak semaunya.”

“Apakah itu tidak masalah?”

“Itu menunjukkan betapa pentingnya kau dan Lucretia bagi kami.”

Dia menaruh harapan yang besar padaku. Katanya sih tidak akan memperalatku, tapi entah sampai sejauh mana kata-katanya bisa dipercaya.

Pangeran Lucas berdiri dari sofa, membuka pintu, dan hendak pergi. Namun dia berhenti di ambang pintu dan menoleh padaku.

“Oh ya. Jangan sekali-kali membocorkan skill-mu. Jangan biarkan siapa pun tahu, terutama keluarga kerajaan… terutama kakak-kakakku. Kalau sampai ketahuan, kau bisa dibunuh.”

“…Akan kuingat baik-baik.”

“Bagus. Jaga adikku baik-baik, ya!”

Dengan lambaian tangan seperti Lugh tadi, Pangeran Lucas keluar dari ruangan. Tak lama kemudian Roan-san menyusul, meninggalkan aku sendirian di ruangan.

…Sepertinya dia benar-benar sudah mengetahui semuanya.

Kalau dia hanya menyadari perubahan skill, dia takkan sampai memberi peringatan keras seperti itu. Dari nada bicaranya, dia hampir pasti tahu tentang skill . Apa dia bahkan bisa membaca deskripsi skill-ku…?

Kalau memang begitu, masuk akal kalau dia tidak terlalu menganggap skill milikku sebagai ancaman. Karena untuk mengaktifkannya, aku harus melakukan kontak mata langsung. Selama matanya tertutup, aku tidak bisa menggunakan skill itu padanya.

…Mungkin dia menyuruh Alyssa keluar ruangan tadi agar tidak sampai terkena skill-ku. Sementara Roan-san yakin bisa membunuhku sebelum aku sempat mengaktifkan skill-nya…… mungkin begitu.

Tak ada gunanya memikirkannya lebih jauh. Sekarang semua sudah terlambat. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Satu-satunya pilihan sekarang adalah terus maju demi tujuan yang ingin kucapai.

“Haaah… capek juga.”

Mungkin karena menggunakan otak lebih dari biasanya, aku menghela napas panjang. Dulu saat masih di rumah, aku bisa hidup santai tanpa harus memikirkan banyak hal. Cukup belajar dan kerja, dan semuanya baik-baik saja…

Sekarang, pikiranku dipenuhi banyak hal. Tentang kehidupan di akademi, perebutan takhta, dan tentang Lugh. Sejak bertemu dengannya, aku merasa hidupku berubah drastis.

“Pengen ketemu Lugh…”

Padahal baru saja berpisah tadi, tapi itu dengan Putri Lucretia, jadi tidak dihitung.

Sudah waktunya pulang. Saat aku bangkit dari sofa dan keluar ruangan, Alyssa-san sudah menunggu di depan pintu.

“Kerja bagus, Hugh-kun. Aku ditugaskan mengantarmu pulang oleh Yang Mulia, jadi ayo bareng ya.”

“Terima kasih, Alyssa-san.”

Alyssa-san tersenyum lebar dan mulai berjalan sambil memimpin.

“Oh iya. Jangan pernah cerita soal yang terjadi di sini. Kamu diinterogasi oleh pasukan kesatria soal insiden kemarin. Sama sekali tidak bertemu dengan keluarga kerajaan. Paham?”

“Siap. …Omong-omong, insiden kemarin itu benar-benar kebetulan?”

“Sejauh penyelidikan kami, iya. Anak itu memang sering banget menarik hal-hal kebetulan seperti itu. Baik Yang Mulia maupun Master sama-sama berpikir begitu juga.”

“Pasti selama ini banyak yang dilalui, ya…”

“Sudah pasti! Nah, sekarang kamu yang bakal gantian ngalamin semua itu. Selamat ya, hehe~”

“Hahaha…”

Kalau ada kesempatan, aku juga akan menyeret dia ke dalam masalah suatu hari nanti.

Sambil bercakap, kami sampai di dekat kereta kuda yang tadi kami naiki.

Begitu mataku melirik ke arah kereta, terlihat siluet aneh seperti tanduk rusa dari balik jendela.

…Apa itu?

Alyssa-san juga tampaknya menyadarinya, tangannya refleks bergerak ke pedang di pinggang. Kami berdua mendekat dengan hati-hati, dan dari balik jendela muncullah wajah seorang gadis berambut perak.

Begitu dia melihat wajahku, dia segera melompat keluar dari kereta sambil membawa sesuatu di pelukannya.

“Hugh! Kamu lama banget, ke mana aja sih?”

“Lugh… kenapa kamu ada di sini?”

“Aku mau pulang bareng Hugh, jadi nungguin di kereta. Nggak boleh ya…?”

Dengan kepala sedikit dimiringkan, dia bertanya dengan suara manja. Aku menggeleng kuat-kuat. Tentu saja tidak dilarang. Apalagi aku memang sedang ingin bertemu dengannya.

“Eh, jangan naik kereta sembarangan, ya…?”

Tegur Alyssa-san dengan nada wajar. Lugh langsung tersentak dan menunduk sambil berkata “maaf.” Pintar juga, bisa minta maaf.

Ngomong-ngomong…

“Lugh, yang kamu peluk itu apa?”

Sejak tadi aku penasaran, jadi kutanya langsung. Di lengannya, dia memeluk boneka besar. Bentuknya adalah seekor kuda bertanduk rusa.

“Itu Nokonoko-san, lho!”

“Nokonoko-san...?”

“Ini boneka yang dulu aku dapat dari... Kak Lucas waktu aku kecil. Katanya ini hewan yang namanya Horse Deer!”

“Horse Deer, ya...”

Hewan liar dari dunia ini yang juga hidup di kampung halamanku. Persis seperti namanya—kuda bertanduk rusa. Aku dulu diam-diam menyebutnya ‘kuda bego’.

...Mungkin ini cuma kebetulan, tapi rasanya seperti sarkasme yang luar biasa.

Kami akhirnya naik kereta yang dikemudikan Alyssa-san untuk kembali ke akademi. Namun, di tengah perjalanan, kami turun di distrik komersial. Aku ingin membeli beberapa perlengkapan yang diperlukan untuk pelajaran yang dimulai besok.

“Alyssa-san, tolong pegang Nokonoko-san ya.”

“S-siapss.”

Alyssa-san menerima Nokonoko-san dari Lugh sambil tersenyum masam.

Seorang kesatria disuruh membawa boneka oleh anak bangsawan rendahan... jelas pemandangan yang aneh.

Aku sempat menggunakan skill untuk berjaga-jaga dan memantau sekitar, tapi tampaknya tak ada tanda-tanda kalau kami sedang diawasi. Harusnya aman.

“Kalau tidak nyaman, lebih baik tolak saja.”

“Eh, itu juga agak... susah.”

Yah, mengingat yang meminta adalah Lugh—alias Putri Lucretia—aku paham kenapa Alyssa-san sulit menolak.

“...Oh iya, Hugh-kun, sini sebentar.”

“Ada apa?”

Alyssa-san mengambil jarak dari Lugh dan memanggilku mendekat.

Begitu aku mendekat, dia melingkarkan lengannya ke bahuku dan mendekat erat. Aku tahu dia ingin bicara rahasia, tapi aroma segar seperti jeruk dari tubuhnya membuatku gugup.

“Ehehe, mukamu merah banget loh, Hugh-kun. Ternyata kamu masih polos juga ya~.”

“Kalau cuma mau menggoda, bisa nggak agak mundur? Lugh dari tadi sudah melototin kita.”

“Ohh. Dicintai ya, kamu. Oke, langsung ke intinya.”

Alyssa-san menghapus senyumnya dan bicara dengan nada serius.

“Kamu tahu nona dari keluarga Puridy, kan?”

“Maksudnya Lily Puridy?”

“Benar. Jangan sampai dia tahu kalau Lugh itu sebenarnya Putri Lucretia. Keluarga Puridy adalah pendukung utama Pangeran Sulay, si putra mahkota. Kalau sampai ketahuan, semuanya bisa sia-sia.”

“......Semuanya?”

“Hm? Kok kamu jadi pucat begitu?”

“Enggak, cuma...”

Lily sebenarnya sudah tahu sejak lama. Apa aku harus bilang ke Alyssa-san?

...Tapi tunggu, kalau aku bilang dan Lily dianggap membahayakan, bisa saja dia dibunuh untuk bungkam mulut. Itu akan jadi yang terburuk. Apalagi, dari sikap Lily, dia tampaknya peduli pada Lugh. Kalau dia berniat membocorkan identitas Lugh, dia nggak akan memberi peringatan padaku.

Aku tahu seharusnya aku bilang, tapi sebaiknya aku pastikan dulu niat Lily sebenarnya.

“Tidak apa-apa. Aku akan berhati-hati dengan Lily.”

“Tolong ya. Kalau begitu, aku pamit dulu.”

Alyssa-san menepuk punggungku dan naik ke tempat kusir sambil membawa Nokonoko-san. Kereta itu pun segera melaju menuju akademi, seolah sedang melarikan diri dari sesuatu.

Yang tersisa hanya aku dan sang putri berpakaian laki-laki yang sedang manyun.

“Hmm~. Sejak kapan kamu akrab sama Alyssa-san, Hugh?”

“Ah, bukan begitu. Maksudku, bukan seperti yang kamu pikirkan...”

Aku bingung bagaimana menjelaskan keterlibatanku dengan faksi Pangeran Lucas pada Lugh. Semakin bingung, semakin mencurigakan jadinya. Lugh memandangku tajam dengan mata menyipit.

“Baru saja kamu melakukan ‘itu’, dan sekarang sudah akrab sama cewek lain. Hugh si playboy!”

“Maksudmu ‘itu’... Eh? ‘Itu’ yang mana?”

“A-anu! N-nggak ada! Lupakan aja yang barusan!”

Lugh langsung memerah dan melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.

...Maaf, Lugh. Kali ini maklumi aku. Aku juga malu mengingatnya, jadi kita impas.

Kami berdua sama-sama menahan senyum sambil memegang mulut. Setelah beberapa saat diam, ketika wajahku sudah mulai tenang, aku membuka pembicaraan.

“Hmm... sudah hampir siang ya. Kalau kamu mau, sebelum belanja, kita makan dulu?”

“Eh, mau! Wah, aku jarang makan di luar, jadi senang banget! Kita makan di mana?”

“Hmm...”

Sebenarnya aku ingin membawanya ke restoran keren langgananku, tapi sayangnya aku ini anak desa yang baru tiga hari di ibu kota. Aku bahkan nggak tahu di mana saja tempat makan yang bagus.

Jujur saja deh.

“Maaf ya, Lugh. Aku ini anak kampung, jadi nggak tahu sama sekali soal tempat makan di ibu kota.”

“Ya udah. Berarti kita bisa cari sama-sama, kan?”

Eh... jawaban sebaik itu? Bidadari?

“Ayo, Hugh!”

Lugh menarik tanganku dan mulai berjalan. Kami pun memulai perjalanan mencari makan sambil menjelajahi ibu kota.

Hanya dengan berjalan bersama Lugh, dunia terasa sedikit berbeda.

Contohnya, papan toko sepatu. Ternyata sebagian hurufnya berbentuk kucing—hal yang mungkin tidak kusadari sendirian.

Atau ada toko pernak-pernik kecil di gang sempit, dan desain lampu jalan yang sedikit berbeda di tiap tiangnya—semua itu terasa mengesankan karena kulihat bersama Lugh.

“Jalan-jalan bareng Hugh itu menyenangkan, ya.”

“Iya. Memang.”

Itu karena aku bersama kamu, Lugh.

Andai aku bisa bilang begitu langsung... tapi aku cuma bisa memberi jawaban datar. Aku berharap lima tahun atau sepuluh tahun ke depan, aku masih bisa terus berjalan di sampingnya seperti ini.

...Namun, tiba-tiba seseorang berlari dari arah depan dan menabrakku.

“—Aduh, maaf!”

Waduh, hampir saja. Aku terlalu fokus pada Lugh sampai tidak memperhatikan sekitar.

Untungnya, benturannya tidak terlalu keras, jadi aku maupun orang itu tidak jatuh. Ketika aku melihat siapa yang menabrakku, ternyata seorang gadis berambut biru muda.

...Aku kenal orang ini.

“Kamu nggak apa-apa, Hugh? ...Eh? Apa itu kamu...?”

“Lecty...?”

Aku sampai terkejut dan bertanya karena dia tampak jauh lebih cantik dibanding dua hari lalu.

Rambutnya yang tadinya kusam kini bersinar dan berkilau terkena cahaya matahari. Kulitnya pun putih bersih, dan wajah cantiknya dihiasi riasan tipis yang menutupi wajah pucat tak sehat sebelumnya.

Lily dulu bilang kalau Lecty itu seperti berlian mentah—dan ternyata benar-benar bersinar setelah dipoles. Kalau tubuhnya lebih berisi dan terlihat lebih sehat, dia bisa jadi wanita tercantik yang pernah kulihat.

“Hugh-san!”

Ternyata sejak awal dia sudah menyadari aku, dan bukannya menabrak, dia sengaja berlari dan langsung memelukku. Saat aku masih bingung, dua orang lagi muncul dari arah depan.

Keduanya memakai seragam Akademi Kerajaan. Yang satu adalah Lecty, dengan rambut merah kecoklatan diikat dua. Yang satunya lagi pria yang rasanya pernah kulihat... dan entah kenapa membawa sebuket bunga mawar.

Lecty tampaknya tidak kuat lari. Dia tertinggal di belakang dan ngos-ngosan. Pria itu, sebaliknya, masih segar dan dengan suara lantang memanggil Lecty.

“Tunggu, tunggulah, Nona!”

...Pria itu... seperti pernah kulihat.

“Ah, itu orang yang dulu suka gangguin Lecty, ya?”

Namanya kalau nggak salah... Idowin? Windott? Entahlah, aku lupa.

“Be-benar! Dia nyamperin aku di jalan dan maksa bicara!”

“Datang lagi?”

“Iya! Dia terus-terusan bilang mau nikahin aku!”

““...Nikah?”“

Aku dan Lugh refleks menoleh dan mengulang ucapannya. Gimana ceritanya bisa sampai ke sana?

“Tolong, Nona! Terimalah perasaanku!”

“M-maaf, saya tolak!”

“Kenapaa!?”

Saat si... Dododot (kayaknya nama semacam itu) bertanya, Lecty langsung memeluk lenganku erat.

Sentuhan lembut tapi sedikit lebih tegas dari Lugh terasa jelas,

“Aku... sedang berpacaran dengan orang ini!”

“…………………………Apa?”

“Hugh? Bisa jelaskan ini semua?”

Lugh menatapku dingin seperti salju di pegunungan es. Bahkan aku sendiri ingin tahu kenapa Lecty bilang begitu!

Tapi... naluriku yang sudah terasah dengan skill mengatakan, pilihan terbaik sekarang adalah... pura-pura setuju.

...Skill memang terlalu serbaguna. Apa aku bakal menaklukkan dunia isekai dengan ini?



“Se-Seriusan──!? …Eh, kau itu bangsawan miskin dari pelosok yang kutemui tempo hari!?”

“Baru sadar sekarang, ya, Dododot”

“Namaku Idiott! Idiott Hortness! Tidak ada satu huruf pun yang kau sebutkan tadi yang benar!”

“Maaf, maaf. Jadi, kenapa kau mengejar-ngejar dia? Dan kenapa bawa-bawa buket mawar pula”

Permintaan menikah? Itu reaksi yang sangat berbeda dari dua hari lalu. Soalnya waktu itu, dia mengecam Lecty dengan ucapan seperti, ‘Tempat suci seperti akademi ini bukan untuk rakyat jelata kotor sepertimu!’

“Hmph! Ini bukan urusanmu… Tidak, kalau kau memang pacarnya, maka akan kujelaskan. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Mohon serahkan dia padaku!”

“Itu jelas bukan cinta pada pandangan pertama…”

Lagipula dia bukan milikku, jadi gak ada istilah “menyerahkan”.

“Apa yang kau bicarakan. Hari ini aku pertama kali melihatnya dan langsung terpana. Saat berdiri di sudut jalan, dia tampak seperti malaikat yang turun dari surga! Seketika itu juga hatiku tertembus panah cinta!”

“Hah…? Jangan-jangan kau…”

Dia belum sadar…?

Ketika kulihat ke arah Lecty, dia juga tampak kebingungan. Tampaknya dia juga tak menyangka akan dilamar oleh orang yang bahkan tak mengenalinya.

Memang benar Lecty telah berubah drastis jadi cantik dalam dua hari terakhir, tapi bukan berarti dia menjalani operasi plastik. Bahkan aku dan Lugh yang baru kenal pun masih bisa mengenalinya.

“Hm? Kenapa kalian memandangku seolah aku ini orang malang!? Sungguh tidak sopan!”

“Yah, soalnya…”

Haruskah aku mengatakannya, atau diam saja? Lecty juga tampaknya bingung harus bagaimana dan menatapku seakan bertanya “gimana, nih?”—aku pun bingung harus menjawab apa.

“Tunggu… aku bilang tunggu…! Haaah… haaah…”

Saat itu, akhirnya Lily tiba dengan napas terengah-engah. Dia berdiri dengan tangan bertumpu pada lutut, keringat mengucur deras di dahinya. Sepertinya dia tidak punya stamina yang baik.

“Idiott, sebenarnya apa yang kau lakukan!? Kenapa kau melamar Lecty!?”

“Lecty? Jadi itu nama dia!? Betapa indahnya nama itu!”

“Dengerin dulu, dasar bodoh!”

Lily tampak sangat kesal hingga membentak. Sepertinya dia juga belum paham situasi.

“Eh… Lily. Si tolol itu sepertinya mengira ini pertama kalinya dia ketemu Lecty”

“Apa!?”

Lily menatap si tolol itu dengan tatapan mencurigakan. Meski sulit dipercaya, sepertinya itulah kenyataannya.

“Kalian terlalu sering memanggilku bodoh sejak tadi, tahu!?”

“…Idiott, kau sadar gak sih? Dia itu gadis yang dua hari lalu kau hina habis-habisan sebagai rakyat jelata kotor, tahu!?”

“Hah? Apa maksudmu? Tidak mungkin… hmm…?”

Idiott menatap Lecty lekat-lekat. Lecty pun menegang dan menggenggam erat lenganku.

“Memang cantik sekali… Tapi, kalau dipikir-pikir, wajahnya agak familiar? Tapi… hmm, hmm…”

Dia terus bergumam, lalu akhirnya…

“Jangan-jangan… kau itu… gadis rakyat jelata yang tempo hari itu…?”

“Benar”

“Astaga…!”

Idiott pun tampak shock, memegangi kepala dan terhuyung-huyung, lalu berlutut.

Aku maju sedikit ke depan untuk melindungi Lecty, sementara Lily juga memasang tatapan waspada. Kalau dia ngamuk, bisa bahaya.

Kalau perlu, aku bisa langsung bergerak dengan kecepatan tinggi pakai Skill〈Ninja〉dan melumpuhkannya sebelum dia sempat bertindak.

Tapi ternyata...

“Aku… aku telah melakukan kesalahan fatal…!”

Idiott menjatuhkan keningnya ke tanah dan bersujud.

“Maafkan aku! Aku bodoh sekali! Tolong, maafkan aku!!”

“E-Eehhh!?”

Lecty tampak kaget melihatnya sampai berseru. Aku, Lily, dan Lugh juga terdiam melihat pemandangan yang tak disangka-sangka ini. Bahkan orang-orang yang melihat dari kejauhan mulai berbisik-bisik penasaran.

“U-Um! Tolong angkat kepalamu! Memang, aku sempat merasa tersinggung, tapi sekarang aku sudah tidak mempermasalahkannya…!”

“B-Benarkah…!?”

“Y-Ya”

“Ahh… kau benar-benar malaikat…”

Idiott pun menatap Lecty dari bawah sambil meneteskan air mata. Aku, Lecty, Lily, Lugh, dan bahkan para penonton hanya bisa terdiam melihat semua ini.

“…Idiott, kurasa sebaiknya kau pulang saja untuk hari ini. Lagipula besok kita bisa bertemu di akademi. Penampilanmu saat ini… sebagai bangsawan, tidak pantas dilihat orang banyak. Itu bisa mencoreng nama baik ayahmu juga”

Lily akhirnya menyarankan dengan nada prihatin. Idiott pun perlahan berdiri, dan tampaknya wajahnya kini lebih tenang seolah telah terbebas dari sesuatu.

“…Terima kasih atas sarannya, Lily Puralidy. Nona Lecty, bolehkah kau menerima buket bunga ini setidaknya?”

“Ah, ya… baiklah”

“Terima kasih. Sampai jumpa besok di akademi”

Idiott lalu tersenyum kepada Lecty—tapi sebelum pergi, dia menatapku tajam.

“Aku pasti akan membuatnya berpaling padaku suatu hari nanti! Jadi bersiaplah, bangsawan miskin dari pelosok!”

Hanya itu yang dia katakan sebelum pergi.

Kami hanya bisa terdiam hingga bayangannya menghilang dari pandangan.

“O-Orangnya seperti badai, ya…”

Lugh akhirnya membuka suara, dan kami semua seakan baru bisa bergerak lagi setelah terlepas dari kekakuan.

“Haa… benar-benar. Dia memang seperti itu sejak dulu. Terlalu impulsif, terlalu polos… Maaf ya, Lecty. Aku tak bisa melindungimu”

“T-Tidak! Lagipula, Tuan Hugh-lah yang melindungiku. Terima kasih banyak, Tuan Hugh!”

“Padahal aku gak ngapa-ngapain, lho”

Yang ngusir dia sebenarnya Lily, dan aku cuma dipeluk Lecty dari awal sampai akhir. Bahkan sekarang pun masih.

“Hey, Lecty? Kayaknya kamu terlalu dekat sama Hugh, deh? Sampai kapan mau peluk dia, huh!?”

“Eh!? A-Ampun! M-Maafkan aku!”

Setelah ditegur Lugh, baru deh Lecty melepaskan pelukannya dengan wajah merah.

“Dan kamu juga, Hugh! Masak sih kamu biarin aja dipeluk terus!? Ya ampun, dasar cowok!”

Lugh tampak marah dan cemberut sambil membuang muka.

Senang sih karena dia cemburu, tapi aku bingung harus menenangkannya gimana…

Saat aku lagi mikir, Lily menghampiri dan berkata dengan nada sedikit jengkel.

“Kamu disayang banget, ya”

“Pujilah aku, Lily. Sampai saat ini aku masih belum melewati batas”

“Itu hal yang wajar, jangan bangga dong. Begitu kamu lewat batas, tamatlah sudah”

Lily menghela napas dan mengipasi wajahnya dengan kipas kecil, lalu menatap sekeliling seolah mencari sesuatu. Tak lama kemudian, dia menunjuk ke suatu tempat.

“Lecty, bagaimana kalau kita makan siang di kafe itu? Aku kehausan banget. Hugh dan Lugh, kalian ikut juga?”

“Pas banget, kami juga lagi cari tempat makan. Gimana, Lugh?”

“…Kalau Hugh setuju, ya sudah”

Meski cemberut, Lugh ikut juga, dan kami pun masuk ke sebuah kafe terdekat.

Setelah memesan makanan ringan dan minuman di kasir, kami duduk di kursi teras yang kebetulan kosong.

Para gadis memesan sandwich dan minuman, sedangkan aku menambah croissant karena masih lapar.

Harga makanan di ibu kota ini lumayan mahal juga ya… Di desaku pasti lebih murah—eh, ya ampun, di desaku bahkan gak ada kafe begini.

“Um, Lily-chan. Terima kasih sudah membelikan makananku juga. Aku pasti akan membalasnya suatu saat…!”

“Fufu, aku tunggu ya. Tapi jangan terlalu sungkan juga, ya? Aku ingin Lecty lebih banyak bergantung padaku”

“Bergantung…?”

“Iya. Aku ingin memberimu semua yang kau inginkan, melihatmu tumbuh sehat di bawah perlindunganku, dan akhirnya kamu sepenuhnya bergantung padaku lalu aku bisa melakukan ini dan itu padamu… ufufufufu”

“Lecty, kalau kamu merasa terancam, segera lapor ke aku ya?”

“B-Baik…!”

Lecty mengangguk cepat dan diam-diam menggeser kursinya sedikit menjauh dari Lily, lebih dekat ke arahku.

Sepertinya Lily sengaja bertingkah seperti itu untuk membuat Lecty tidak merasa terbebani.

“Tapi ya, orang itu tadi bener-bener mengejutkan, ya”

Lugh mulai bicara sambil makan sandwich. Sepertinya suasana hatinya mulai membaik.

“Langsung sujud kepala ke tanah. Gak nyangka anggota keluarga Hortness bisa begitu”

“Keluarga Hortness itu terkenal, ya?”

“Iya. Salah satu keluarga tertua di kerajaan. Tapi banyak yang sombong dan kasar di sana”

“Tapi, kesombongan itu juga karena mereka bangga. Mereka memang berjasa besar pada kerajaan. Idiott itu… ya, memang sombong dan bodoh, tapi bukan orang jahat. Dia murni juga, lho—buktinya bisa langsung beli bunga buat seseorang yang baru dia lihat”

“Bahkan setelah tahu Lecty itu rakyat biasa, dia tetap gak berubah ya”

Kukira dia akan berubah pikiran, tapi malah menangis karena terharu. Kalau dilihat dari sisi positif, mungkin dia memang berhati tulus.

“…Tapi aku tetap gak suka orang itu”

“Yah, wajar sih…”

Kesan pertama yang terlalu buruk pasti sulit dihapus. Meskipun sudah dimaafkan, Lecty pasti terpaksa menerimanya tadi—gak enak juga kalau kabar soal bangsawan yang bersujud ke rakyat biasa tersebar.

“Kayaknya orang itu bakal terus gangguin Hugh, ya”

“Kok aku sih? …Ya sih, dia sempat bilang aku harus siap-siap”

Dia bener-bener percaya bahwa aku pacar Lecty.

“M-Maaf ya, Tuan Hugh! Semua ini gara-gara aku…”

“Sudahlah, mau gimana lagi”

Lecty juga pasti panik waktu itu. Untuk situasi biasa, kebohongan itu seharusnya bisa menyelesaikan masalah. Kali ini aja yang kebetulan lawannya buruk.

“Aku akan tolak dia lagi dengan tegas…!”

“Kira-kira dia bakal nyerah gak, ya?”

“Hampir pasti nggak. Dia tipe yang makin ditekan makin ngotot”

“Aduh…”

“Kalau gitu, satu-satunya cara ya tahan aja sampai dia nyerah”

“Benar… Hugh dan Lecty, setidaknya di depan Idiott, kalian harus terus berpura-pura sebagai pasangan”

““Eh!?”“

Lugh dan Lecty berseru kaget serempak. Sampai jadi pusat perhatian karena suara mereka terlalu keras.

“Kamu kok gak kaget?”

“Soalnya aku juga udah kepikiran begitu”

Karena Lecty gak ada niat nerima si Idiott, maka satu-satunya cara untuk membuat dia menyerah adalah dengan berpura-pura jadi pasangan.

Kalau bisa, aku ingin mengalihkan perhatiannya ke orang lain setelah itu.

Skill〈Brainwash〉sebenarnya bisa dipakai, tapi targetnya terbatas satu orang dan efeknya hilang kalau dibatalkan. Jadi gak praktis buat orang lain.

“…Tapi, itu pasti merepotkan Hugh, kan?”

“Sudah tanggung. Kamu gak perlu khawatir soal itu. Yang penting kamu nyaman, Lecty”

“Tuan Hugh…”

Lecty menunduk sejenak, lalu melirik Lugh. Lugh yang mengawasi hanya menghela napas kecil.

“Jangan khawatirkan aku, Lecty. Nanti Hugh bakal aku minta ganti rugi banyak-banyak”

“Hei, maksudnya ganti rugi apaan, tuh…”

“Rahasia dong~ Aku gak mau kasih tahu~”

Lugh tersenyum nakal sambil mengedip pada Lecty. Sepertinya itulah yang memantapkan hati Lecty.

Dia menegakkan badan, menunduk ke arahku, dan berkata,

“Aku mungkin masih banyak kekurangan, tapi mohon bantuannya, Tuan Hugh! Aku akan berusaha sebaik mungkin berpura-pura jadi pacar Anda!”

“O-Oh, iya. Senang bisa bekerja sama, Lecty”

Dengan semangatnya yang begitu tinggi, aku jadi agak terintimidasi.

Meski cuma pura-pura, ternyata aku punya pacar juga sekarang. Awal kehidupan akademi ini benar-benar penuh kejutan.

Aku pikir aku sudah siap menerima apa pun yang terjadi… tapi rupanya aku salah…

Chapter 5: Adipati yang akan mati 149 halaman lagi

Saat kami sedang membicarakan untuk segera mengakhiri waktu makan siang dan melanjutkan berbelanja, sebuah kereta kuda berhenti tepat di depan kafe tempat kami duduk. Itu bukanlah kereta biasa yang biasa terlihat di kota, melainkan kereta khusus dengan hiasan mewah yang berlebihan.

Kereta itu benar-benar tidak bisa dibilang berpenampilan bagus—seluruh pelanggan kafe pun langsung memusatkan perhatian padanya.

Di antara semua itu...

“……っ”

Berkat keterampilan , aku menyadari bahwa Lily menahan napas. Saat kulirik ke arahnya, wajahnya tampak tenang, tapi tangannya mengepal erat. Mungkin karena gugup, aku juga bisa melihat keringat mulai muncul di lehernya.

Apakah dia punya sejarah dengan orang yang ada di dalam kereta itu…?

“Kereta itu… jangan-jangan milik Keluarga Adipati Lecheri…?”

Melihat lambang besar yang tertera di sisi kereta, Lugh bergumam pelan.

Keluarga adipati adalah bangsawan agung yang masih memiliki darah keturunan dari keluarga kerajaan. Kalau tidak salah, di Kerajaan Ries hanya ada tiga keluarga adipati… Aku masih kurang belajar soal ini. Kalau ingin membantu Pangeran Lucas, aku harus mulai serius mempelajarinya...

Lalu, dari kereta milik keluarga Lecheri itu turunlah seorang pria tambun. Pria paruh baya berusia sekitar empat puluh tahun, mengenakan vest dan celana putih dari atas sampai bawah. Perhiasan mencolok menempel di seluruh tubuhnya, seolah-olah dia ingin menunjukkan betapa berkuasanya dirinya di kerajaan ini.

Jadi, ini dia sang Adipati Lecheri…?

Adipati itu berjalan lurus ke arah kami yang duduk di teras kafe.

Semua pelanggan di kafe menaruh tangan kanan di dada kiri dan menundukkan kepala. Sebagai bangsawan berdarah kerajaan, Adipati memang tidak wajib disambut dengan berlutut, tapi menunduk adalah bentuk penghormatan yang tidak boleh diabaikan. Satu-satunya yang tidak perlu menunduk di tempat ini adalah Lily, seorang putri dari keluarga marquis.

“Salam hormat, Tuan Greed. Semoga Anda dalam keadaan baik.”

Lily memegang ujung rok seragamnya dan membungkuk anggun. Gerakannya begitu indah dan sempurna—seharusnya.

________________________________________

──Paaann!!

Suara tamparan keras menggema. Lily memegangi pipi kirinya dan terhuyung. Ia menatapku dengan mata zamrud, memperingatkanku agar tidak bergerak. Aku yang refleks hendak melompat pun langsung mengurungkan niat.

Adipati Lecheri telah menampar Lily di pipi kiri.

“Calon istriku tidak seharusnya makan makanan murahan di tempat remeh seperti ini! Apa kau berniat menodai nama besar keluarga Lecheri!?”

………………Apa!?

Apa maksudnya itu!? Apa sebenarnya yang dia bicarakan!?

“……Maafkan saya, Tuan Greed.”

Kenapa Lily minta maaf!? Bukankah dia hanya makan siang bersama kami!? Bagian mana yang pantas disalahkan!?

“Aku bahkan sengaja datang ke akademi untuk mengajakmu makan! Tapi apa yang kulihat!? Kau justru bergaul dengan orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya! Karena itulah aku melarangmu masuk akademi sejak awal!”

“Aduh……”

Adipati Lecheri terus membentak cepat-cepat sambil menarik tangan Lily secara kasar. Saat aku benar-benar akan bergerak, Lugh memeluk lengan kananku dan menghalangiku.

Saat aku hendak melepaskannya dan menatap ke arahnya, Lugh hanya menatapku dengan mata biru gelapnya seolah berkata, “Jangan bergerak.”

…Sial.

Dalam hidupku, bahkan di kehidupan sebelumnya, belum pernah aku merasakan kemarahan sebesar ini. Dada terasa sesak, napas pun sulit. Kenapa Lily tidak melawan… Aku bahkan mulai merasa marah padanya karena itu.

“Ikut aku! Hari ini kau akan menemaniku makan sebagai kehormatan khusus!”

“Saya merasa sangat terhormat, Tuan Greed.”

Adipati Lecheri berbalik arah dan berjalan ke arah kereta kudanya. Lily mengikuti sambil tangannya masih ditarik kasar. Saat melewati kami, ia melirik sebentar sambil mencoba tersenyum. Seolah-olah ingin menenangkan kami bahwa dia baik-baik saja.

Namun, tepat saat dia lewat, aku mendengar suara kecil bergetar: “Maaf…”

Suaranya bergetar, dan wajahnya seperti akan menangis kapan saja.

“……っ!”

Di benakku, tiba-tiba terlintas kembali ingatan masa kecil yang kulihat dalam mimpi pagi kemarin.

Gadis kecil yang kutemui di hutan, yang berusaha menahan tangis sekuat tenaga.

Mungkinkah… Lily adalah gadis itu…?

Begitu Adipati Lecheri dan Lily masuk ke dalam kereta, kendaraan mewah itu pun pergi. Badai yang jauh lebih dahsyat daripada yang dibawa oleh Idiot, muncul begitu tiba-tiba dan membawa Lily pergi.

“Hugh-san, Lugh-san, Lily-chan…”

Suara Lecy yang penuh kekhawatiran membuat aku dan Lugh tak bisa menjawab. Ada dorongan kuat untuk mengejar, namun akal sehat berusaha menahanku.

Saat akhirnya tubuhku melemas, Lugh pun melepaskan pelukannya dari lenganku.

“…Maaf, Lugh. Berkatmu, aku bisa tenang lagi.”

“Tidak apa-apa. Aku tahu rasanya.”

Lugh tersenyum. Hanya dengan itu saja, sedikit beban di dadaku terasa terangkat.

Kami pun hanya menyelesaikan belanjaan paling penting, lalu kembali ke akademi dan mengantar Lecy ke asrama putri.

Karena Lecy tampak gelisah, aku meminta Lugh untuk menemaninya (siswa laki-laki hanya diperbolehkan sampai area lobi asrama putri). Sementara itu aku duduk sendirian di bangku dekat gerbang akademi. Menunggu Lily pulang, dan kalau beruntung, berharap seseorang tertentu lewat.

Dan tak lama kemudian, orang yang kutunggu benar-benar muncul.

“Eh? Hugh bocah? Ngapain duduk sendirian di tempat kayak gini? Jangan-jangan janjian sama cewek, ya? Aduh, dasar cowok yang penuh dosa, udah deketin putri kerajaan pula~”

Seseorang dengan cepat mengenaliku—Alissa-san, yang menyapaku dengan nada menggoda seperti biasa. Aku pun menjawabnya dengan senyum pahit.

“Aku sedang menunggu Alissa-san, karena aku lihat keretamu masih terparkir.”

“Hah? Aku?”

“Aku ingin tanya soal Adipati Lecheri.”

“……Jadi, memang ada sesuatu yang terjadi, ya?”

Aku mengangguk, dan Alissa langsung memperketat ekspresinya sambil menoleh ke sekitar.

“Tempat ini terlalu terbuka. Kalau mau bicara soal itu, kita harus pindah tempat.”

“Baik.”

Meskipun berisiko bertemu Lily di jalan, tak ada pilihan lain. Aku pun mengikuti Alissa-san dan meninggalkan tempat itu.

Kami pun masuk ke sebuah ruang tamu di dalam gedung sekolah. Tempat itu biasanya digunakan untuk menjamu tamu kehormatan, dan dirancang kedap suara untuk pembicaraan rahasia.

“Sepertinya di sini aman.”

“Sampai segitunya harus waspada… apakah dia memang sebahaya itu?”

“Yah, lawan kita adalah keluarga Adipati. Kalau mereka mau cari masalah, hidupmu bisa hancur di negara ini.”

“Bahkan Alissa-san juga…?”

“Kecuali aku rela membuang semuanya—jabatan, kehidupan, teman, bahkan keluarga. Mungkin masih bisa bertahan.”

Itu sama saja dengan mati…

Aku sudah tahu kekuatan Alissa dari kemampuan . Bahkan seseorang sekuat dia pun akan tamat kalau melawan keluarga Lecheri.

“Lalu… bisa ceritakan apa yang terjadi?”

Aku menceritakan seluruh kejadian tadi pada Alissa, termasuk tentang Lugh yang kemungkinan sudah dicurigai oleh Lily. Setelah mendengar semuanya, wajah Alissa terlihat sangat masam.

“Wah… ini masalah yang benar-benar berat. Soal Putri Lucretia saja sudah cukup gawat, tapi fakta bahwa Adipati Lecheri menyebut putri keluarga Pyuridy sebagai 'calon istri'-nya itu masalah besar. Kau yakin mendengarnya?”

“Aku yakin. Apa itu belum jadi berita resmi?”

“Aku belum pernah dengar. Aku rasa Pangeran Lucas pun belum tahu. Kalau itu benar, maka seluruh kubu kita harus bergerak untuk menggagalkannya.”

“Maaf, Alissa-san. Aku belum cukup paham soal ini. Kalau misalnya pernikahan antara Adipati Lecheri dan Lily benar-benar terjadi… masalahnya apa?”

“Baiklah, mari kita mulai dari perebutan takhta. Hugh bocah tahu kenapa perebutan takhta ini terjadi?”

“Karena kesehatan Sri Baginda Raja tidak baik, bukan…?”

“Benar. Beliau sakit kronis, sering tak bisa bangun dari ranjang. Memang tidak ada yang berani bicara terang-terangan, tapi di dalam istana semua sudah sadar kalau waktunya tak lama lagi.”

“Jadi masalah pewaris mulai muncul, ya…?”

“Ada tiga pangeran yang punya hak suksesi. Semuanya anak dari selir. Sedangkan satu-satunya anak dari permaisuri, Putri Sulung, adalah atasan kami—Kapten kesatria kerajaan. Dulu banyak yang berharap padanya jadi ratu pertama kerajaan, tapi dia menolak dan kini menjaga perbatasan negara. Dia juga menjauh dari perebutan takhta.”

“Jadi, dia sengaja menjauh dari ibukota supaya tidak dijadikan pion politik.”

“Benar. Kesatria yang tidak berpihak ke Lucas ikut sang kapten ke perbatasan. Sisa kekuatan militer semuanya berada di bawah komando master kita dan setia kepada Pangeran Lucas.”

“Berarti… Lucas bisa mengendalikan kesatria karena…”

“Karena Kapten menyayangi Lucas dan Putri Lucretia seperti anak sendiri.”

…Begitu rupanya. Bisa jadi para birokrat di istana pun membantu Lucas atas arahan dari pihak dalam.

“Oke, kembali ke masalah suksesi. Saat ini, kandidat kuatnya adalah tiga pangeran: Pangeran Pertama Slay yang didukung kaum bangsawan. Pangeran Kedua Blut yang didukung militer dan penjaga kota. Lalu Pangeran Ketiga Lucas yang didukung kesatria dan birokrat.”

“Kalau dari jalur formal, seharusnya Pangeran Pertama yang jadi pewaris, bukan?”

“Itu karena ketiga pangeran merupakan anak dari selir, dan terlebih lagi, ibu dari Pangeran Slay dulunya adalah anggota keluarga kerajaan dari negara musuh yang pernah berperang dengan kita. Meski para bangsawan yang mementingkan garis darah mungkin mendukungnya, rakyat dan militer sama sekali tidak menyukainya.”

“Jadi itulah alasan mengapa militer mendukung Pangeran Kedua, Blut…”

“Iya. Ibu dari Pangeran Blut berasal dari garis keturunan jenderal legendaris yang dijuluki 'Dewa Perang' di masa lalu. Keluarga itu masih punya pengaruh besar di kalangan militer, jadi tak heran kalau militer lebih memilih Pangeran Blut daripada Pangeran Slay yang membawa darah musuh.”

Jadi itulah awal mula perebutan takhta. Awalnya adalah pertarungan antara Pangeran Pertama Slay dan Pangeran Kedua Blut. Dan sekarang, Pangeran Ketiga Lucas sedang menunggu kesempatan, mengincar takhta sebagai kekuatan ketiga...

“Untuk saat ini, Pangeran Slay masih unggul selangkah. Diikuti oleh Pangeran Blut, dan kemudian Lucas—kubu kita—yang baru memulai. Di sinilah keberpihakan keluarga adipati jadi penentu penting.”

“Kalau tidak salah, ada tiga keluarga adipati, kan?”

“Iya, mereka disebut juga Tiga Keluarga Adipati Besar. Karena mereka langsung berasal dari garis keturunan kerajaan, kekuatan mereka sangat besar. Mereka menguasai wilayah yang luas, sampai-sampai seolah-olah di dalam Kerajaan Ries ini ada tiga negara kecil. Kekuasaan mereka tidak bisa dibandingkan dengan bangsawan biasa.”

“Apakah keluarga adipati mendukung Pangeran Slay?”

“Tidak. Ketiga keluarga adipati sudah menyatakan secara resmi kalau mereka tidak akan ikut campur dalam perebutan takhta. Karena itu seharusnya kita tidak perlu khawatir—seharusnya, ya…”

“Tapi ternyata di balik layar, keluarga Lecheri menjalin pertunangan dengan keluarga Pyuridy, begitu ya…”

“Keluarga Pyuridy adalah pendukung utama kubu Pangeran Slay. Jadi bisa dipastikan Pangeran Slay juga terlibat. Kalau pertunangan ini terjadi, bisa dibilang perebutan takhta akan langsung dimenangkan oleh Pangeran Slay. Kubu kita bahkan belum sempat naik ke panggung utama, sudah bubar duluan.”

Jadi itu maksud Alissa-san saat bilang harus mencegah hal ini dengan seluruh kekuatan yang ada.

Berkat penjelasan Alissa-san, aku jadi jauh lebih paham tentang konflik suksesi takhta.

“…Tetap saja, Pangeran Slay dan Marquis Pyuridy benar-benar kejam. Demi menarik keluarga Lecheri ke pihak mereka, mereka tega menjodohkan gadis lima belas tahun dengan Adipati Lecheri. Dan bukan jadi istri utama, tapi istri ketujuh! Padahal dia dikenal sebagai gadis berbakat dari keluarga Pyuridy… Sungguh menyedihkan.”

“…Istri ketujuh? Itu serius?”

“Adipati itu memang terkenal sebagai pria mesum. Ada juga desas-desus kalau dia punya banyak wanita simpanan dan tiap hari berpesta pora tak tahu malu.”

“…………………………”

“Aku paham perasaanmu, tapi tolong jangan bertindak gegabah. Kalau kamu ceroboh, yang terancam bukan cuma kita atau Pangeran Lucas, tapi juga Putri Lucretia.”

“Aku tahu. Aku sadar akan risikonya.”

“Kalau begitu, bagus. Aku akan laporkan ini ke Pangeran Lucas. Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Hugh?”

“…Aku akan coba bicara dengan Lily sekali lagi. Mungkin aku bisa mendapat informasi penting darinya.”

“Baiklah.”

“Oh ya, bolehkah aku menitipkan pesan untuk Pangeran Lucas?”

Aku menyampaikan beberapa pesan kepada Alissa-san dan kembali duduk di bangku, menunggu Lily pulang.

Lily muncul saat matahari hampir tenggelam.

Begitu melihatku, dia terkejut dan membelalakkan mata.

“Jangan-jangan… kau menungguku di sini sejak tadi?”

“Mana mungkin. Aku cuma ingin melihat matahari terbenam.”

“Mataharinya ada di belakangmu, tahu.”

Lily mendesah sambil menatapku dengan ekspresi lelah, lalu ragu-ragu duduk di sampingku.

“…Di mana Lugh dan Lecy?”

“Mereka menunggumu di depan asrama putri. Mereka berdua sangat khawatir.”

“Begitu ya… Jadi, duduknya kamu di sini juga karena khawatir padaku, kan?”

“…Mungkin. Pipimu yang ditampar, apa tidak apa-apa?”

“Hanya tamparan biasa. Tak usah khawatir. Dia tidak menyakitiku lebih dari itu. Cuma makan siang berlebihan dan sekarang aku merasa enek, tapi secara keseluruhan aku sehat-sehat saja.”

Lily tersenyum sambil menaruh tangan di dadanya. Memang, dengan , aku tak merasakan adanya luka serius padanya.

Namun…

“Puji aku, Hugh. Aku belum sekalipun menyerahkan tubuhku pada pria itu. Adipati Lecheri yang terkenal mesum itu, lho? Kalau tak percaya, mau kubuktikan langsung? Khusus untukmu, aku bisa—... ya ampun, jangan pasang wajah mengerikan begitu, itu cuma bercanda kok.”

Meskipun baru kenal sebentar, aku tahu.

Lily yang asli tidak akan pernah bercanda seperti itu dalam keadaan normal.

“Lily. Kau sadar wajahmu sekarang seperti apa?”

“Tentu. Aku masih wajah seorang bangsawati yang sempurna. Wajah Lily Pyuridy yang dikenal cerdas dan terhormat.”

“…Aku jadi teringat seorang gadis kecil yang tersesat di hutan waktu aku masih kecil.”

“……っ!”

Tubuh Lily kaku seketika.

Aku berpura-pura tidak melihat reaksi itu dan melanjutkan ceritaku.

“Gadis itu tersesat di hutan. Wajahnya tampak cemas, seolah ingin menangis. Tapi waktu aku menyapanya, dia memaksakan senyum, pura-pura kuat, dan melontarkan candaan yang tak lucu.”

“…‘Tak lucu’ itu keterlaluan.”

Lily menggerutu pelan sambil memanyunkan bibir.

…Ternyata benar, dia memang gadis itu.

Waktu ujian masuk dulu aku tak menyadarinya. Setelah sepuluh tahun, kenangan memang jadi kabur. Dan dibandingkan gadis kecil dalam ingatanku, Lily sekarang sudah sangat dewasa dan cantik. Wajar kalau aku tak mengenalinya langsung.

Tapi setelah melihatnya menderita seperti tadi, menahan tangis seperti dulu… barulah aku sadar: Lily dan gadis di hutan itu adalah orang yang sama.

“Lily. Pernikahanmu dengan Adipati Lecheri… itu atas perintah Pangeran Slay, ya?”

“…Jangan asal bicara! Kau tak tahu siapa yang mendengar, kan!?”

“Tenang saja. Tempat ini aman. Tak ada orang selain kita.”

“Tetap saja…! Kau tidak seharusnya terlibat dalam perebutan takhta. Tanah Pnossis tempat asalmu tidak penting bagi siapa pun, jadi kau bisa hidup tenang tanpa terlibat, kan!? Kenapa harus ikut campur…!?”

“Sudah terlanjur. Aku tahu siapa Lugh sebenarnya.”

“……っ! Jadi begitu…”

Sekarang aku tahu bahwa Lugh adalah Putri Lucretia. Maka tak mungkin aku tinggal diam. Jika sesuatu terjadi pada Pangeran Lucas, Lugh juga akan dalam bahaya. Demi menepati janjiku pada Lugh, aku harus memastikan Lucas menang dalam perebutan takhta.

Itu sebabnya, pernikahan Lily juga menjadi urusanku.

“…Tenang saja. Aku tak akan memberitahu siapa pun soal Lugh. Dulu kami bahkan sering saling mengunjungi rumah. Kalau Lugh dalam bahaya, aku pasti akan membantunya semampuku.”

“Jadi kau menyuruhku mundur saja?”

“Benar. Ini urusan keluarga Pyuridy. Kau bukan siapa-siapa. Kau tak punya hak ikut campur.”

“Bukankah keluarga Pnossis punya hubungan darah jauh dengan keluarga Pyuridy? Berarti kita keluarga juga, kan?”

“Itu bohong, tentu saja.”

“Tahu kok.”

Sejak dulu, Lily ternyata masih mengingatku. Bahkan saat melihat lambang di jubahku, dia langsung teringat ejekan diri yang kubuat tentang ‘bangsawan kere dari pelosok’ waktu di markas rahasia kami dulu.

Tapi karena aku tidak mengingatnya, Lily pun pura-pura tak tahu. Klaim ‘kerabat jauh’ itu hanyalah kebohongan untuk menutupi semuanya.

“Tapi salahmu juga. Kau bilang kau anak pedagang keliling. Mana mungkin aku mengira gadis kecil itu ternyata bangsawati Lily. Memang wajahmu terasa familiar, tapi kupikir cuma halusinasi.”

“Oh ya? Menurutku kau benar-benar tak ingat. Jangan lempar kesalahan ke aku.”

“Kau juga. Jangan pura-pura kuat. Kau benci, kan, dijodohkan dengan Adipati Lecheri.”

“Apa yang salah? Dia bangsawan agung, lebih tinggi dari keluarga kerajaan. Aku bisa hidup mewah, tak perlu kerja seumur hidup. Dengan dukungan dari keluarga Lecheri, Pangeran Slay pasti jadi raja. Keluarga Pyuridy juga akan aman. Bukankah itu hal yang bagus?”

“…Tapi di perhitungan itu, kebahagiaanmu tidak dihitung, kan?”

“Kalau begitu, kau mau buat aku bahagia!?”

Lily meninggikan suara—dan dia pun terkejut sendiri.

Dia membelalakkan mata, menutup mulut dengan tangan.

“…Maaf.”

Lalu ia berdiri dari bangku, dan bergegas kembali ke asrama putri.

Aku hanya bisa menatap punggungnya pergi, tak tahu harus mengatakan apa.

…Apa aku bisa membuat Lily bahagia?

Aku merenung sampai langit benar-benar gelap, tapi jawabannya tak kunjung datang.



*** 

"Rambutmu benar-benar indah ya, Lecty."

Sambil menyisir lembut rambut biru muda itu dengan tangannya, Liliy bergumam pelan. Di dalam kamar mandi yang dipenuhi uap dan aroma manis dari sabun cuci rambut, Lecty yang duduk di kursi mandi dan sedang dicucikan rambutnya oleh Liliy menggeleng cepat sambil tersipu malu.

"Ti-tidak…! Aku rasa rambut Liliy-chan jauh lebih indah!"

"Heii, pujian itu sebaiknya diterima saja. Nanti bisa disangka sarkas, tahu?"

"A-aku nggak bermaksud seperti itu…"

"Fufu, aku tahu kok. Terima kasih, Lecty. Aku bilas, ya."

Liliy mengoperasikan shower sihir dan membilas busa di rambut Lecty dengan air hangat.

"Selesai. Sekarang kamu duluan masuk ke bak mandi, ya?"

"Ba-baik…!"

Lecty bangkit dari kursi mandi dan, seperti yang diperintahkan, masuk ke dalam bak mandi. Bak mandi yang hanya tersedia di asrama putri itu diisi penuh dengan air hangat yang nyaman.

(Dream come true…)

Bagi Lecty, yang hingga beberapa hari lalu masih tinggal di gang sempit di daerah kumuh, merendam tubuh dalam air hangat seperti ini adalah pengalaman yang tak pernah terbayangkan. Perubahan lingkungan yang begitu drastis membuat tubuhnya terasa seperti melayang, dan perasaan melayang itu masih belum juga hilang dari dirinya.

Tanpa sadar, pandangannya tertuju ke arah Liliy yang sedang mandi. Rambutnya yang biasanya dikuncir dua kini dilepas, membuatnya terlihat lebih dewasa dari biasanya. Rambut basah yang menempel di kulit putih porselen miliknya justru menambah pesonanya.

Namun yang paling menarik perhatian tetaplah—dua bukit yang penuh dan kencang itu. Tanpa sadar, Lecty menunduk, menatap dadanya sendiri, lalu menghela napas panjang karena perbedaannya yang begitu nyata.

Selama ini Lecty tak pernah peduli dengan bentuk tubuhnya, tapi saat melihat perbedaan mencolok yang dipertontonkan langsung di depan matanya, ia tak bisa menahan rasa minder.

Tangan dan kaki yang kurus seperti ranting kering, tulang rusuk yang menonjol… Tak ada satu pun yang bisa dibilang menarik. Tubuh Liliy yang berlekuk indah, dengan bagian yang menonjol dan yang ramping di tempat yang tepat, benar-benar membuatnya iri.

Selesai mandi, Liliy masuk ke dalam bak mandi. Karena ukurannya tidak terlalu besar, bak itu terasa sempit jika diisi dua orang sekaligus. Mereka pun duduk saling berhadapan sambil memeluk lutut masing-masing. Liliy merendam tubuhnya hingga ke bahu dan menghela napas pelan, “Haa…”

Tapi napas itu bukan karena kenyamanan. Liliy tampak mengerutkan kening dan menggigit bibirnya sedikit. Wajahnya terlihat sedikit tegang, dan itu bukan perasaan Lecty semata.

(Pasti gara-gara kejadian tadi siang…)

Baru beberapa jam yang lalu, saat sedang makan siang bersama Hugh dan Lugh, seorang pria pendek dan gemuk tiba-tiba muncul dan menarik Liliy pergi secara paksa.

Saat baru kembali ke asrama, Liliy terlihat tenang seperti biasa, tapi semakin waktu berlalu, dia jadi lebih sering terlihat melamun dengan ekspresi sedih seperti sekarang ini.

Lecty yang tidak tahu-menahu soal dunia bangsawan tentu tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang sedang mengganggu pikiran Liliy. Yang dia tahu hanyalah bahwa pria bangsawan yang membawa Liliy pergi tadi pasti bukan orang baik. Tapi bagaimana cara membantu Liliy, atau solusi apa yang bisa ia tawarkan—Lecty sama sekali tidak punya jawabannya.

“Liliy-chan, kamu… nggak apa-apa?”

Lecty bertanya dengan hati-hati. Liliy tampak sedikit terkejut, lalu segera tersenyum tipis seolah menenangkan, dan mengangguk pelan.

“Ini bukan sesuatu yang perlu kamu khawatirkan, Lecty. Bagi seorang gadis bangsawan, hal seperti ini sudah biasa. Pada akhirnya, semua harus menghadapinya.”

Seakan menenangkan dirinya sendiri, Liliy mengucapkan kata-kata itu dengan pelan.

“Kamu tidak perlu khawatir akan apa pun. Aku akan melindungimu, jadi tenang saja, ya?”

Bagi Lecty, kata-kata itu justru terasa seperti penolakan. Ia bisa merasakan bahwa Liliy tidak ingin dirinya ikut campur karena peduli, dan memang benar, sekalipun ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, Lecty tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Kalau ia memaksa ikut campur, hanya ada dua kemungkinan: memperburuk keadaan atau menyusahkan Liliy lebih jauh.

Namun… meski begitu, ia tetap tidak punya keberanian untuk melangkah maju satu langkah pun.

"…………Iya."

Lecty mengangguk kecil. Liliy pun tersenyum lega.

“Kalau begitu, kita keluar sekarang, ya?”

“Ah, um… aku masih mau berendam sedikit lagi…”

“Begitu. Jangan kelamaan, nanti kamu pusing, ya.”

Setelah itu, Liliy bangkit dari bak mandi lebih dulu dan keluar dari kamar mandi.

Lecty, yang menatap punggung Liliy menghilang dari pandangan, lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam air dan menghembuskan napas panjang dengan bunyi bubukubuku.

0

Post a Comment


close