Prolog: Apakah ini bisa dibatalkan dengan cooling-off?
Sebagai seorang budak korporat seumur hidup, aku menghembuskan napas terakhir… dan bereinkarnasi ke dunia lain, dengan ingatan kehidupanku sebelumnya masih utuh.
Benua Almira, di bagian timur terdapat kerajaan besar bernama Kerajaan Reis.
Di timur laut kerajaan itu, terdapat sebuah keluarga bangsawan rendahan—keluarga Baron kecil yang hidup di wilayah terpencil. Di situlah aku memulai kehidupan keduaku. Dikelilingi oleh pegunungan dan hutan hijau yang melimpah, aku tumbuh besar di desa yang damai ini, diselimuti kasih sayang kedua orang tuaku.
Masa kecilku dihabiskan berlarian di alam bebas. Saat remaja, aku belajar berbagai pengetahuan sebagai calon pewaris wilayah dan berlatih ilmu pedang. Dan akhirnya, tibalah hari ulang tahunku yang ke-15.
Di dunia ini, usia lima belas tahun memiliki arti yang sangat istimewa.
Pertama, lima belas tahun adalah usia dewasa. Di dunia ini, seseorang dianggap dewasa saat berusia lima belas tahun—sudah boleh minum alkohol dan menikah.
Dan pada usia lima belas tahun jugalah, seseorang dianugerahi “skill” dari Tuhan.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini—termasuk ras elf, dwarf, dan lainnya—akan mendapatkan satu skill dari Tuhan saat ulang tahunnya yang ke-15.
Skill ini beragam. Misalnya, skill yang diterima ayahku adalah 〈Pemburu〉. Ia bisa melihat jejak kaki binatang dengan cahaya, dan kemampuan memanahnya akan meningkat luar biasa saat membidik binatang—sampai setingkat ahli.
Sedangkan ibuku menerima skill 〈Koki〉. Sesuai namanya, skill ini membuat masakannya jauh lebih lezat. Masakan ibu benar-benar luar biasa. Konon, ia dulunya memiliki warung makan di ibu kota, dan ayah yang jatuh cinta pada masakannya mengejarnya habis-habisan hingga akhirnya mereka menikah.
Meskipun kini menjadi bangsawan, ibu masih sering memasak sendiri di dapur. Masakan ibu yang dibuat dari hasil buruan ayah benar-benar luar biasa lezatnya.
“Sudah waktunya, Hugh.”
“Ya, Ayah.”
Hari itu, aku bersama ayah menuju gereja di desa terbesar di wilayah kami. Tujuannya adalah untuk berdoa kepada Tuhan dan menerima skill.
Dalam perjalanan naik kereta kuda, aku yang gelisah coba ditenangkan ayah yang menepuk punggungku sambil tersenyum.
“Tak perlu gugup begitu. Wilayah Phnosis ini, seperti yang kau lihat, benar-benar pedesaan. Keluarga Phnosis juga hanya bangsawan miskin di ujung wilayah kerajaan. Meski kau dapat skill yang tak berguna sekalipun, takkan jadi masalah!”
“...Ayah, tidak sedih ngomong begitu tentang keluarga sendiri?”
“Sedih sih, tapi memang itu kenyataannya. Malah, kalau dapat skill yang terlalu hebat, bisa jadi masalah. Bisa-bisa menarik perhatian keluarga kerajaan atau bangsawan besar. Kalau sampai begitu, hukuman mati atau pembunuhan bukan hal mustahil.”
“E-eh, hukuman mati…!?”
Aku menelan ludah, sementara ayah kembali tertawa dan menepuk punggungku lebih keras.
“Tenang saja, selama bukan skill yang mengancam kekuasaan kerajaan, aman-aman saja. Lagipula, tak mungkin anakku dapat skill sehebat itu!”
“Be-Benar juga…”
Aku balas tertawa hambar. Ya, mana mungkin anak dari orang seperti ayahku akan mendapatkan skill luar biasa…
Tapi entah kenapa, karena masih membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya, aku jadi merasa diriku istimewa. Aku tak bisa berhenti membayangkan—bagaimana jika seperti dalam novel isekai di kehidupan lamaku, aku dapat skill cheat dan mendadak jadi luar biasa?
...Tapi tidak, tidak! Aku tidak butuh skill cheat. Aku sudah cukup beruntung.
Lahir sebagai anak tunggal di keluarga bangsawan kecil jauh dari intrik politik ibu kota. Dibesarkan penuh cinta kasih. Hidup di tanah subur yang dikelilingi alam indah—tempat terbaik untuk menikmati hidup tenang. Aku sudah memutuskan untuk menikmati slow life di sini.
Jadi, tolong ya Tuhan… berikan aku skill biasa-biasa saja!
Sepanjang perjalanan ke gereja, aku terus berdoa dalam hati di dalam kereta. Sampai ayah pun jadi heran, “Segitunya kah?” Tapi bagiku ini menyangkut masa depan. Meski tahu skill diberikan secara acak, aku tetap tak bisa berhenti berdoa.
Akhirnya, kereta kami berhenti di depan gereja. Ayah menunggu di dalam kereta, sementara aku dipandu oleh pastor tua masuk ke kapel. Kami terus berjalan hingga ke ruang khusus—Ruang Penerimaan Ilahi, tempat skill diberikan.
“Sampai di sini saja saya,” ujar sang pastor tua, lalu meninggalkanku sendiri.
Ruangannya sempit, seperti bilik toilet. Sesuai yang telah diajarkan, aku berlutut, menyatukan kedua tangan, dan menempelkannya ke dahi.
Tak perlu mantra atau doa khusus.
Yang penting adalah berdoa kepada Tuhan.
“Mohon, berikan aku skill... yang biasa-biasa saja...”
『──Aku akan memberikan skill padamu』
Suaranya menggema entah dari mana. Pasti suara Tuhan—langsung terdengar di dalam kepalaku.
Semoga skill-nya biasa aja… biasa aja…!
『Skill yang Aku anugerahkan padamu adalah: 〈Cuci Otak〉』
...Hah?
Tadi Tuhan bilang apa? Cuci Otak?
『Skill ini memungkinkanmu mengendalikan siapa pun yang melakukan kontak mata denganmu』
Mengendalikan…? Cuci Otak!?
Itu ‘kan... kayak di doujin! Yang cewek-cewek dijadikan budak atau bikin harem dan sebagainya!?
Gila! Ini… kalau ketahuan aku punya kekuatan macam begini, pasti dibunuh!?
Soalnya ini bisa dipakai buat ngendaliin raja, bangsawan, siapa aja! Pasti dihukum mati!!
Tunggu! Aku gak butuh ini! Aku cukup dengan skill “Ujung jari sedikit hangat” atau “Gak keringetan di ketiak” aja kok!!
『Engkau kini telah terbangun dengan skill 〈Cuci Otak〉』
Tolong Tuhan, dengarkan aku dulu!?
『Semoga hidupmu dipenuhi keberkahan』
Baru saja hidupku jadi penuh petaka!? Eh!? Tuhan—!?
...Suara-Nya tak terdengar lagi.
Tidak... ini pasti mimpi, ‘kan?
“S-Status…”
Dengan gemetar, aku mengaktifkan statusku. Skill yang didapat akan muncul dalam panel transparan di depan mata jika disebutkan dengan kata “Status.”
Sebuah panel muncul:
Hugh Phnosis
Skill: Cuci Otak Lv.1
…Mengendalikan orang yang melakukan kontak mata (maksimal 1 orang)
Gak salah lihat. Gak hilang meski aku berkedip atau mengusap mata.
Putus asa, aku coba berdoa lagi... tapi suara Tuhan tak pernah kembali.
“Hidupku tamat…”
Skill: Cuci Otak.
Kalau ketahuan aku punya skill ini, jalan menuju eksekusi tinggal menunggu waktu. Bahkan jika tidak dihukum mati, ayah dan ibu pasti akan memutus hubungan denganku. Tak ada yang ingin dekat-dekat dengan orang yang bisa mencuci otak.
Setidaknya aku bakal hidup kesepian selamanya. Tapi... kalaupun aku mau berbuat seenaknya seperti di doujin, skill ini cuma bisa mempengaruhi satu orang sekaligus!
Ada levelnya sih, jadi mungkin bisa meningkat seiring waktu… tapi tetap saja, pengaruhnya terbatas.
Untuk kesenangan sesaat sih berguna. Tapi impianku adalah hidup tenang—slow life yang tak pernah kudapat di kehidupan sebelumnya. Aku tak mau menghancurkan hidupku hanya karena skill ini.
Aku harus pikirkan baik-baik… harus bagaimana ke depannya…
“Sudahkah kamu menerima skill-nya?”
“UWAH—!?”
Suaranya tiba-tiba muncul, bikin aku hampir lompat. Saat menoleh, kulihat pastor tua membuka pintu dan melihat ke arahku dengan cemas.
“M-maaf, ya. Sudah...”
“Bagus kalau begitu. Ayahmu sedang menunggu. Mari, ke sini.”
“B-baik…”
Aku melangkah keluar mengikuti sang pastor. Seharusnya skill yang dimiliki seseorang tak bisa terlihat tanpa alat sihir khusus. Jadi kemungkinan besar sang pastor tak tahu apa skill-ku…
Tapi entah kenapa, rasanya seperti menutupi kejahatan. Padahal aku nggak salah apa-apa!
“Jangan terlalu bersedih.”
“Hah?”
“Tuhan takkan memberi cobaan yang tak bisa dilalui. Apa pun skill yang kau terima, pasti akan menjadi kekuatanmu suatu hari nanti.”
“Pastor…”
“Benar. Bahkan jika itu adalah Skill Kentut yang Baunya Sangat Menyengat sekalipun.”
“Baru aja pembicaraannya terasa menyentuh, kenapa contohnya jelek banget sih!?”
“Itu hanya bercanda,” kata Pastor tua sambil tertawa. Sepertinya beliau menyadari bahwa skill yang kudapat tidak terlalu bagus, dan berusaha menghiburku. Tapi tetap saja… contoh itu terlalu buruk, bukan?
Meski begitu, berkat beliau, perasaanku sedikit lebih tenang.
Begitu aku keluar dari gereja, kulihat Ayah tengah mengobrol santai dengan kepala pelayan tua yang menjadi kusir. Saat melihatku kembali, Ayah langsung berjalan cepat menghampiriku.
“Kau lama sekali, Hugh. Sudah berhasil menerima skill-nya dengan baik?”
“Y-ya… lumayan.”
“Hm? Jawabanmu setengah-setengah, jadi makin penasaran. Skill apa yang kau dapatkan?”
“I-itu…”
Sial! Gara-gara buru-buru keluar karena dorongan Pastor tua, aku belum sempat memikirkan alasan!
Kalau aku jujur bilang skill-nya adalah Cuci Otak, tamatlah hidupku. Dan karena skill ini hanya bisa digunakan pada satu orang dalam satu waktu, aku tak bisa memanipulasi Ayah, pelayan, dan Pastor secara bersamaan. Aduh, skill ini susah banget dipakai!
Harus kupikirkan cara untuk mengelabui mereka…!
“E-ehm… semacam… api yang keluar dari tangan, gitu…?”
ASTAGA, ALASANNYA PAYAH BANGET!
Apa-apaan itu “api dari tangan”! Harusnya tadi aku bikin alasan yang lebih masuk akal!
“Apa!? Pyrokinesis? Itu skill yang luar biasa…!”
“Seperti yang diharapkan dari putra Tuan Baron.”
“Jangan terlalu memuji, Pastor… Tapi, hm. Dari dulu aku selalu merasa anakku ini punya potensi luar biasa, tapi ternyata sehebat ini…”
“Eh, Ayah…? Ada yang salah dengan skill ini…?”
Aku agak khawatir mendengar tanggapan Ayah, jangan-jangan Pyrokinesis juga termasuk skill berbahaya yang bisa mengundang perhatian kerajaan?
“Tidak, bukan begitu. Hanya saja, karena skill ini termasuk untuk keperluan tempur, maka perlu dilaporkan secara resmi. Tapi Pyrokinesis bukan skill yang terlalu langka, jadi jangan khawatir.”
“Ba-baik…”
Kalau Ayah bilang tidak apa-apa, berarti aman. Sepertinya aku berhasil mengelabui mereka…
Meskipun harus dilaporkan, ya masuk akal juga—skill yang bisa menghasilkan api bisa dianggap berbahaya. Mungkin seperti memiliki surat izin mengemudi atau sertifikasi bahan peledak di kehidupan sebelumnya.
Padahal kenyataannya, skill Cuci Otak jauh lebih berbahaya dibanding Pyrokinesis...
“Sudahlah, mari kita pulang. Hugh, saat sampai rumah, tunjukkan skill-mu ke Ibumu, ya.”
“T-tolong jangan! Aku sudah capek hari ini…”
“Begitukah? Yah, kau memang terlihat tegang sejak pagi. Baiklah, hari ini istirahat saja.”
“Terima kasih, Ayah…!”
Fiuuh… hampir saja kena Skill-Bocor Speedrun Ending barusan.
Meski berhasil mengelabui mereka untuk sekarang, hidup dengan membawa bom waktu bernama Skill Cuci Otak ini terasa sangat menegangkan.
Pastor tua tadi bilang “Tuhan tidak akan memberi ujian yang tak bisa diatasi.” Tapi… benarkah aku bisa melewati ujian ini…?
***
Begitu tiba kembali di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar.
Untuk sekarang, sebaiknya aku menjauh dari Ayah dan Ibu. Kalau ketemu mereka, topik pembicaraan pasti tentang skill. Dan bisa saja aku keceplosan dan membocorkan semuanya.
Bagaimanapun caranya, aku harus merahasiakan bahwa aku menerima skill Cuci Otak.
…Karena itu, aku harus tahu seberapa kuat sebenarnya skill ini. Apa saja batasannya? Sejauh mana kemampuannya?
“Yang Mulia Muda, apakah Anda baik-baik saja?”
Tiga ketukan pelan disertai suara dari luar pintu.
…Tepat sekali. Waktu yang sempurna untuk menguji skill Cuci Otak.
“Masuk saja.”
Begitu aku mempersilakan, pintu terbuka perlahan, dan suara pemilik tadi masuk ke dalam.
“Saya membawakan minuman untuk Anda, Tuan Muda.”
“Terima kasih, Selvas.”
Orang yang membungkuk sopan itu adalah Selvas, kepala pelayan yang telah mengabdi pada keluarga Phnosis sejak zaman kakek. Usianya lima puluh delapan, termasuk lanjut usia di dunia ini. Sebagai objek uji coba pertama, dia sangat cocok.
Lagipula, keluarga bangsawan miskin seperti kami tidak punya maid muda nan imut-imut. Malang nasibmu, diriku!
“Selvas, bisakah kau menemaniku berbincang sebentar?”
“Dengan senang hati, Tuan Muda.”
Selvas meletakkan kendi air di meja, lalu duduk di sofa di hadapanku.
“Ada apa gerangan, Tuan Muda?”
“Sebenarnya… Skill Cuci Otak…”
Saat mata kami bertemu, aku langsung mengaktifkan skill-nya.
…Oh, jadi begini rasanya mengaktifkan skill-nya.
Kalau diperhatikan, di atas kepala Selvas muncul tulisan “Dalam Keadaan Dicuci Otak”. Sepertinya tulisan ini hanya bisa dilihat olehku.
“Maaf mendadak begini, Selvas. Untuk memastikan saja, kau sedang dalam keadaan dicuci otak, bukan?”
“Ya. Saya sekarang sedang dalam keadaan dicuci otak.”
Jawabannya datar, tanpa emosi. Tidak terlihat seperti sedang berbohong atau bercanda.
“Kau akan menurut pada perintah apa pun dariku?”
“Ya. Perintah apa pun dari Tuan Hugh akan saya laksanakan.”
“Berdirilah, berputar tiga kali, lalu menyalak seperti anjing.”
Selvas berdiri, berputar tiga kali, lalu…
“Guk!”
…Aku barusan nyuruh kakek-kakek ngapain barusan?
“Silakan duduk kembali, Selvas…”
Pemandangan itu terlalu menyedihkan. Sepertinya aku harus lebih berhati-hati dalam memberikan perintah.
Tapi ternyata, Skill Cuci Otak ini benar-benar berfungsi. Kalau Selvas dalam keadaan sadar, dia pasti enggan melaksanakan perintah bodoh semacam itu, atau paling tidak menunjukkan rasa malu.
Tapi kali ini, dia melakukannya tanpa ragu. Bahkan jika aku menyuruhnya bunuh diri, mungkin dia akan benar-benar melakukannya.
…Mengerikan.
Tanpa sadar, aku menutup mulut dengan tangan. Kalau skill ini sampai lepas kendali, entah apa yang bisa terjadi. Sekarang saja, aku merasa seolah menggenggam nyawa orang lain.
Skill ini benar-benar berbahaya…
“Selvas. Sekarang kita sedang membicarakan masa muda Ayahku. Mengerti?”
“Ya. Saya sedang membicarakan masa muda Tuan Baron bersama Tuan Hugh.”
“Baik, skill dibatalkan. …Terima kasih, Selvas. Itu waktu yang sangat berarti.”
“Tidak masalah. Kalau ingin mendengar kisah muda Tuan Baron, saya siap kapan pun. Mungkin akan lebih menarik kalau Nyonya juga ikut serta.”
“Itu ide bagus. Tolong bantu lagi nanti, ya.”
“Dengan senang hati. Kalau begitu, saya permisi, Tuan Muda.”
Selvas berdiri, membungkuk sopan, dan keluar dari kamar. Tak ada tanda-tanda aneh atau curiga. Sepertinya alibiku soal “cerita masa muda Ayah” berhasil menutupi kejadian tadi.
Luar biasa… skill Cuci Otak ini sungguh luar biasa. Melihat reaksi Selvas tadi, aku bisa bilang efeknya benar-benar kepatuhan absolut. Seperti dalam doujin, di mana cewek-cewek dijadikan mainan semaunya.
Kalau punya skill ini, gadis secantik apa pun bisa jadi milikmu.
…Sayangnya, di sekelilingku tak ada gadis cantik.
Kalau dipikir-pikir, satu-satunya wanita cantik di rumah ini ya… Ibuku sendiri. Dari sudut pandang anak, beliau benar-benar cantik. Meski sudah kepala empat, masih tampak seperti usia dua puluhan. Kalau di dunia sebelumnya, pasti disebut “mama cantik awet muda”.
Tapi tentu saja, aku bukan orang yang menyimpang sampai mau melakukan hal tak senonoh pada ibu kandung sendiri. Aku masih waras.
Aku berdiri di depan cermin dan memandangi diriku sendiri.
Rambut hitam dan wajah rupawan yang diwarisi dari Ibu. Tubuh mulai berotot seperti Ayah, dan tinggi badan juga masih akan bertambah.
Dengan penampilan seperti ini, dan status sebagai pewaris keluarga bangsawan (meskipun kecil), aku tidak akan kesulitan mencari istri.
…Iya, aku nggak butuh skill Cuci Otak!
Kalau aku masih si otaku penyendiri yang perjaka seumur hidup di dunia lama, mungkin aku akan memanfaatkannya. Tapi sekarang aku punya penampilan, status, dan masa depan cerah.
Aku punya… kepercayaan diri.
Skill Cuci Otak ini, hanya akan membawaku pada kehancuran jika digunakan sembarangan.
Aku harus pikirkan cara menyembunyikan skill ini selamanya. Tapi belum ada ide. Saat sedang merenung, waktu makan malam pun tiba.
Sebisa mungkin, aku ingin menghindari bertemu Ayah dan Ibu. Tapi kalau aku tidak muncul di meja makan, malah akan mencurigakan.
Yang penting sekarang adalah bersikap wajar.
Aku masuk ke ruang makan dengan ekspresi tenang. Tapi sesaat kemudian, Ayah yang duduk di kursi kepala meja berkata:
“Hugh. Besok kita berangkat ke ibu kota. Kau akan mengikuti ujian masuk Akademi Kerajaan.”
“…Hah?”
Chapter 1: Uwah... Skill milikku terlalu kuat...?
Sudah satu bulan sejak aku meninggalkan wilayah Phnosis. Akhirnya, aku berhasil menginjakkan kaki di ibu kota kerajaan.
…Hei, seriusan, kenapa ibu kota jauuuh banget sih!?
Ayah menyuruhku berangkat ke ibu kota tepat pada hari ulang tahunku, tiga puluh hari lalu. Keesokan harinya, aku langsung berangkat seperti yang diperintahkan… dan perjalanan itu ternyata jauh lebih berat dari yang kubayangkan.
Pertama-tama, aku harus jalan kaki dari awal. Di dunia ini nggak ada mobil, kereta, atau pesawat seperti di kehidupan sebelumnya. Bahkan jalanan pun tidak layak disebut jalan. Satu-satunya jalur dari wilayah Phnosis hanyalah jalan tanah yang belum diaspal atau diperbaiki. Aku entah sudah berapa kali kehilangan arah karena jalanannya nyaris tak bisa dibedakan dari jalan setapak hewan.
Sekarang aku paham kenapa Ayah tidak meminjamkan kereta kuda. Jalannya terlalu buruk, sangat mungkin kereta rusak di tengah jalan dan malah menyusahkan. Naik kuda mungkin masih bisa, tapi sayangnya aku tidak terlalu mahir menunggangi kuda. Dibandingkan itu, jalan kaki masih lebih baik.
Setelah seminggu penuh berjalan di jalan yang entah benar jalan atau bukan, aku akhirnya sampai di kota terbesar yang ada di wilayah bangsawan tetangga. Dari sana, aku harus berganti tiga belas kali naik kereta penumpang antar kota.
Jarak dari wilayah Phnosis ke ibu kota sejauh itu. Kalau dihitung dengan asumsi kereta kuda bisa menempuh 35 km per hari, maka perjalanan dengan kereta saja memakan waktu 22 hari. Total jaraknya sekitar 770 km…
Pokoknya, jauh banget. Ini adalah petualangan paling berat dalam hidupku, bahkan kalau dihitung dengan umurku di kehidupan sebelumnya.
Lalu, kenapa aku sampai harus menempuh perjalanan sejauh ini ke ibu kota?
Itu karena ada sebuah kewajiban yang dibebankan kepada para bangsawan di Kerajaan Ries.
“Jika skill yang diberikan oleh Tuhan dianggap berguna dalam peperangan, maka anak-anak dari keluarga kerajaan dan bangsawan wajib menempuh pendidikan selama tiga tahun di Akademi Kerajaan.”
Dulu, Kerajaan Ries pernah terlibat dalam perang besar yang melibatkan seluruh benua.
Raja saat itu memanfaatkan kekuatan skill untuk perang, dan mengumpulkan para anak bangsawan yang memiliki skill tempur di satu tempat untuk diberikan pelatihan militer.
Itulah awal mula berdirinya Sekolah Pelatihan Kerajaan Ries, cikal bakal dari Akademi Kerajaan saat ini. Itu kejadian lebih dari seratus tahun yang lalu.
Saat ini, hubungan internasional Kerajaan Ries sudah sangat damai. Perang sudah menjadi masa lalu. Meski begitu, perintah kerajaan dari seratus tahun lalu itu masih berlaku hingga sekarang. Kadang aku merasa aturan itu sudah ketinggalan zaman, tapi ya mau bagaimana lagi… mengeluh juga nggak akan mengubah apa-apa.
Dan aku, yang asal bicara bahwa skill-ku adalah Pyrokinesis (Pengendali Api), akhirnya dianggap memiliki skill tempur dan otomatis memenuhi syarat masuk Akademi Kerajaan.
Benar-benar perwujudan dari pepatah “mulutmu harimaumu”. Alhasil, aku malah mendapatkan “hak istimewa” untuk masuk akademi.
Kalau aku menolak dan melanggar perintah kerajaan, aku bisa langsung dihukum mati tanpa perdebatan. Jadi, aku tidak punya pilihan selain pergi ke ibu kota.
Namun, ada satu hal yang sedikit menghibur dalam kesialanku ini: ternyata masuk Akademi Kerajaan tidak otomatis, tapi harus melewati ujian masuk.
Katanya, sejak sekitar sepuluh tahun lalu, akademi mulai menerima anak-anak dari kalangan rakyat biasa yang memiliki skill hebat. Jumlah pendaftar pun meningkat drastis, hingga akhirnya perlu dilakukan proses seleksi.
Jadi, ujian masuk pun diberlakukan.
Dan bagiku, yang membawa bom waktu bernama skill Cuci Otak, hidup tiga tahun di lingkungan ramai seperti akademi adalah risiko yang terlalu besar.
Makanya, aku harus gagal dalam ujian masuk ini… apapun caranya!
“──Wah, aku harus buru-buru!”
Ujian masuk diadakan hari ini. Aku benar-benar tiba di saat terakhir.
Kalau sampai telat dan dianggap tidak mematuhi perintah kerajaan, aku bisa dihukum mati. Dengan panik, aku berlari menuju Akademi Kerajaan yang berada di ujung utara ibu kota.
***
“Jadi ini Akademi Kerajaan Ries, ya…!”
Begitu aku melewati gerbang yang megah, terbentang taman luas di depanku, dan di baliknya berdiri bangunan sekolah berwarna putih yang menjulang tinggi—meskipun tidak sebesar istana kerajaan, tetap saja sangat megah. Seperti yang diharapkan dari institusi pendidikan tertinggi di kerajaan. Meski aku sama sekali tidak berniat masuk, tak bisa kuhindari rasa takjub yang muncul dalam hati.
“Hei, lihat itu.”
“Bajunya dekil banget. Itu anak rakyat jelata, ya?”
“Aku nggak ngerti apa yang dipikirkan Yang Mulia Raja dengan membiarkan rakyat jelata masuk akademi sebersejarah ini.”
Suara-suara penghinaan mulai terdengar dari sekelilingku.
Awalnya kupikir mereka sedang membicarakan aku, jadi aku langsung siaga—tapi tampaknya bukan aku yang dimaksud.
Mataku menyapu sekitar, dan kulihat seorang gadis berjalan dengan ragu-ragu di depanku.
Gaun abu-abu yang lusuh dan penuh tambalan. Rambutnya yang sebahu berwarna biru muda tampak kusam dan acak-acakan karena kurang perawatan. Tingginya kira-kira sebahuku. Untuk ukuran gadis seusia kami, dia tergolong mungil.
Dia jelas rakyat jelata—kemungkinan dari distrik kumuh. Mungkin saking miskinnya, dia bahkan tak bisa memperbaiki penampilannya, dan karena itu dia tampak sangat mencolok di tempat ini.
“Hey, kamu, rakyat jelata yang lusuh itu!”
Layaknya ngengat yang tertarik pada cahaya, seorang pemuda berpakaian mewah dengan jubah merah menyala yang norak berdiri menghadang gadis itu.
Dari penampilannya yang penuh gaya dan lima orang pengikut di belakangnya, jelas dia adalah anak bangsawan tinggi.
Gadis berambut biru itu langsung ketakutan saat jalan yang dilaluinya tiba-tiba dihalangi, apalagi ditambah sikap arogan si bangsawan.
“Siapa yang mengizinkanmu berada di sini, hah!? Tempat suci untuk belajar seperti ini bukanlah tempat bagi rakyat jelata sepertimu!”
“T-tapi… tadi Pastor bilang… setelah mendengar skill yang aku dapatkan, beliau langsung menyuruhku ke sini…”
…Hm? Jadi dia baru saja menerima skill-nya?
Jika seseorang mendapatkan skill dari Tuhan kurang dari sebulan sebelum ujian masuk, mereka bisa menunda kewajiban ikut ujian ke tahun berikutnya. Aku sendiri terkena kewajiban itu karena waktunya pas di batas akhir, makanya harus buru-buru datang ke ibu kota.
Tak mungkin pastor di gereja ibu kota tidak tahu aturan itu. Jadi skill yang dimiliki gadis itu… mungkin sangat luar biasa?
“Apa!? Kau berani membantahku!? Aku ini dari Keluarga Hortness, tahu!”
“T-tidak! Aku tidak bermaksud begitu…!”
Menurutku, dia belum bisa dibilang membantah. Tapi si bocah Hortness itu jelas tidak ingin mendengarkan.
Beginilah kalau tumbuh di pedesaan terpencil—aku sama sekali tidak tahu Keluarga Hortness itu termasuk bangsawan tingkat berapa.
Gadis itu tampak gelisah dan matanya mencari-cari bantuan dari orang sekitar. Tapi mereka yang tadinya sempat berhenti menonton keributan itu, langsung berpaling begitu mata mereka bertemu dengan gadis itu, lalu pergi begitu saja.
Sepertinya Keluarga Hortness cukup berpengaruh. Kurasa lebih baik aku juga tidak ikut campur. Maaf, gadis kecil… Tapi aku membawa bom waktu bernama skill Cuci Otak, jadi aku sebisa mungkin menghindari masalah.
Saat aku hendak cepat-cepat pergi dari situ…
“Cukup sampai di situ, Idiot Hortness.”
Sebuah suara tegas dan penuh wibawa terdengar dari belakangku.
Ketika aku menoleh, seorang gadis dengan rambut cokelat kemerahan terang yang dikepang dua perlahan berjalan ke arah kami. Wajahnya kecil dan begitu simetris, seperti boneka porselen. Gaun yang dikenakannya sederhana tapi elegan dan memancarkan wibawa.
Setiap langkahnya, setiap gerakan kecilnya tampak anggun dan berkelas. Siapa pun yang melihat pasti langsung tahu bahwa dia adalah putri dari keluarga bangsawan tinggi.
Jelas sekali, berbeda 180 derajat dengan si bocah Hortness tadi.
“Salam kenal, Tuan Bangsawan Miskin dari pedalaman?”
Entah kenapa dia sempat-sempatnya menghina aku saat berpapasan, tapi ya… semuanya memang benar, jadi aku tidak bisa membantah.
“Lily Purity…”
“Pemilik skill luar biasa harus belajar di Akademi Kerajaan ini. Baik mereka bangsawan maupun rakyat jelata. Itu adalah aturan yang ditetapkan melalui perintah raja, dan bersifat mutlak. Tidak ada pengecualian yang diperbolehkan.”
“T-tapi rakyat jelata dekil itu tidak pantas berada di akademi suci ini!”
“Bukan kita yang berhak memutuskan itu. Hanya keluarga kerajaan yang bisa membatalkan perintah raja. Bukankah begitu?”
Gadis yang dipanggil Lily menoleh ke arahku, entah kenapa, seolah meminta persetujuan.
Tolong jangan libatkan aku...
Aku tidak terlalu paham tentang aturan dalam masyarakat bangsawan, jadi sekalipun dia minta persetujuan, aku tak bisa memberi jawaban pasti. Tapi aku bisa menebak apa yang sebenarnya diinginkan Lily.
Jadi, aku hanya perlu mendukungnya, bukan?
Sebenarnya aku ingin menghindari keterlibatan, tapi aku juga merasa sedikit bersalah jika hanya diam saja. Kalau aku sudah terlanjur ikut campur, maka aku akan sepenuhnya membela.
“Ehmm, apa mungkin, orang ini… maksud saya, Anda, berasal dari keluarga kerajaan?”
“Oh? Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Soalnya, dari tadi Anda terus bilang bahwa gadis itu tidak pantas masuk akademi. Padahal hanya keluarga kerajaan yang bisa memutuskan soal pantas atau tidaknya, bukan? Jadi saya pikir, mungkin Anda memang dari keluarga kerajaan…”
“A-apa!? K-kau!! Omong kosong apa itu!? Tidak mungkin aku keluarga kerajaan!!”
Idiott langsung panik, wajahnya pucat pasi. Sepertinya disangka keluarga kerajaan adalah hal yang sangat memalukan baginya.
“Wah, maaf. Soalnya saya ini cuma bangsawan miskin dari pelosok, belum pernah lihat keluarga kerajaan secara langsung. Jadi saya senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung... Tapi saya tak menyangka, di depan gerbang Akademi Kerajaan Ries yang megah ini, ada orang yang bukan keluarga kerajaan, berani-beraninya menentang perintah raja.”
“K-KAUUUUUUUU!!”
“Meskipun itu benar, kau tetap terlalu blak-blakan. Tapi kau juga sebaiknya berhenti bicara sembarangan, Idiott. Kalau kau terus menarik perhatian dengan cara negatif seperti ini, kau tak bisa berlindung hanya dengan alasan 'itu cuma bercanda'.”
“SIALAN! INGAT NAMAKU, RAKYAT JELATA! BANGSAWAN MISKIN DARI PELOSOK!!”
Idiott berbalik dengan kasar dan pergi sambil menggandeng para pengikutnya. Dia benar-benar marah.
Yah, sepertinya aku sudah resmi jadi musuhnya, tapi tidak masalah. Aku toh berniat gagal di ujian masuk. Setelah kembali ke wilayah Phnosis, mungkin aku tak akan pernah bertemu mereka lagi.
“U-umm… terima kasih banyak sudah membantu saya!”
Gadis berambut biru muda itu membungkuk hormat pada aku dan Lily. Lalu, saat dia mengangkat wajahnya…
Aku tanpa sadar menahan napas.
“Ternyata dugaanku benar. Kau ini seperti berlian mentah yang akan bersinar bila diasah.”
“Eh?”
Gadis itu tampak bingung dengan ucapan Lily dan memiringkan kepalanya.
Berlian mentah yang akan bersinar… memang pas sekali.
Meski tubuhnya kurus tak sehat, wajahnya sangat simetris dan cantik. Jika dia mandi, membersihkan diri, dan makan dengan cukup, dia pasti bisa berubah jadi gadis yang sangat memesona.
“Namaku Lily Puridy. Dan ini si bangsawan miskin dari pelosok yang penakut.”
“Hey, siapa yang kau sebut penakut bangsawan miskin dari pelosok?”
“Oh? Bukan begitu?”
...Yah, memang benar semua sih.
“Aku Hugh Phnosis. Senang berkenalan.”
“S-saya Lecty! Umm, kalian… saling kenal sebelumnya?”
“Aku juga penasaran. Soalnya dari tadi kau bicara seolah-olah sudah mengenalku. Tapi seingatku kita belum pernah bertemu, kan?”
“...Tentu saja. Aku hanya tahu nama keluargamu. Keluarga Baron Phnosis adalah kerabat jauh dari keluarga Marquis Puridy. Meski hubungan darah kita hampir tak ada lagi sekarang.”
“Jadi… kita ini kerabat jauh, ya?”
Baru kali ini aku dengar ada kerabat jauhku di ibu kota… Dan ternyata dia putri dari keluarga marquis!?
“Benar. Dan aku tahu itu dari lambang keluargamu yang dijahit besar-besar di mantelmu.”
Saat aku menoleh ke belakang, benar saja—lambang keluarga Phnosis disulam besar di mantel perjalananku.
Jadi dari situ dia tahu aku ini bangsawan miskin dari pelosok, ya…
Mendadak jadi malu pakai mantel ini.
“Tenang saja, keluarga Phnosis itu bangsawan kecil dari pelosok, tak banyak orang yang tahu. Aku pun tahu karena kebetulan kerabat jauh.”
“Kau tahu, bisa nggak kau berhenti menghina keluargaku sambil pura-pura menghiburku?”
“Tapi itu kenyataan. Ngomong-ngomong, kalau kita terus ngobrol di sini, kita bisa telat ikut ujian masuk, lho? Ayo, Lecty.”
Begitu berkata demikian, Lily menggandeng tangan Lecty dan mulai berjalan.
“A-aku boleh ikut bersama kalian!?”
“Tentu saja. Kalau tidak, aku tak akan menggandeng tanganmu. Hati-hati melangkah, ya?”
“B-baik!”
Lily menggandeng Lecty layaknya seorang putri yang mengantar gadis lainnya ke dalam gedung sekolah.
…Eh? Aku ditinggal!?
Kukira setelah semua yang terjadi tadi, kami sudah cukup akrab… Tapi sepertinya itu hanya perasaanku saja.
Aku pun menyusul mereka ke arah gedung sekolah. Di sana, beberapa antrean terbentuk. Sepertinya peserta ujian masuk harus mengantri di salah satu barisan tersebut.
Kebetulan Lily dan Lecty berada di ujung antrean, jadi aku ikut mengantri di belakang mereka.
“Umm, Lily-sama. Ini antrean untuk apa ya…?”
Lecty bertanya pada Lily. Aku juga penasaran.
“Lecty, tak perlu pakai '-sama'. Kita ini akan menjadi teman sekelas di sini. Panggil saja aku sesukamu, pakai nama panggilan juga boleh.”
“Ka-kalau begitu… Lily-chan…?”
“Fuhii~”
Hey, kenapa senyummu jadi menyeramkan begitu!?
Lily buru-buru menyeka sudut mulutnya dan memasang wajah tenang. Lecty hanya bisa memiringkan kepala, bingung.
“Balik ke pertanyaanmu tadi. Aku jawab juga sekalian untuk si bangsawan miskin dari pelosok yang sedang nguping di belakang.”
“Terima kasih banyak.”
“Di depan antrean ini, akan ada alat sihir khusus yang bisa menunjukkan skill milik peserta ujian. Mereka ingin mengecek apakah skill yang dimiliki memang pantas untuk masuk ke Akademi Kerajaan. Ini adalah proses seleksi awal. Kalau lolos, baru bisa lanjut ke ujian berikutnya.”
“Pe-periksa skill…?”
Itu buruk sekali…
Biasanya skill hanya bisa dilihat oleh pemiliknya. Tapi alat sihir ini bisa memperlihatkan skill ke orang lain. Aku tahu benda itu, tapi tak menyangka akan menghadapinya secepat ini.
Kalau begini, skill Cuci Otak milikku pasti akan ketahuan!
“E-eh… skill itu… wajib diperlihatkan, ya?”
“Tentu saja. Kalau cuma berdasarkan laporan lisan, semua orang bisa bohong. Lagipula, beberapa skill dari Tuhan itu sangat berbahaya, bahkan bagi pemiliknya sendiri. Karena itu, akademi perlu tahu skill apa yang akan mereka hadapi. Ini semacam pemeriksaan keamanan.”
“Be-bener juga, ya…”
Semua yang Lily katakan terlalu masuk akal, sampai aku tak bisa membantah. Benar—skill seperti milikku ini lah yang ingin mereka deteksi dan waspadai.
“Jangan-jangan skill-mu itu…”
“WAAAIT! Maaf! Aku tiba-tiba sakit perut! Harus ke toilet dulu!”
“Tunggu—!”
Aku segera kabur ke toilet pria terdekat. Mengintip keluar, aku lihat Lily berdiri dengan tangan di pinggang, menghela napas.
Itu tadi nyaris saja. Mungkin dia mulai curiga, tapi lebih baik begitu daripada langsung dipaksa mengaku.
Yang jadi masalah sekarang adalah…
Situasi ini gawat. Kalau dibiarkan, skill Cuci Otak milikku pasti terbongkar. Lalu… hukuman mati.
Aku menumpu tangan di wastafel sambil berpikir keras.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku kabur saja dari sini…?
…Tidak, itu sulit. Melawan arus orang dan keluar dari akademi pasti mencolok. Kalau penjaga melihatku, tamatlah aku.
Kalaupun aku berhasil keluar, aku tak punya pengetahuan soal kota ini. Jika Lily atau Lecty melapor bahwa aku menghilang, akademi akan langsung mengejarku. Lolos dari ibu kota akan nyaris mustahil.
Dan kalaupun berhasil keluar… aku bisa ke mana? Ke Phnosis? Sudah pasti akan dikirim pengejar. Hidup buron tanpa tujuan adalah penderitaan tanpa akhir.
Apa bisa lolos dengan memanfaatkan skill Cuci Otak…?
Mungkin dengan mencuci otak penguji agar mereka mengubah catatan ujian… Tapi kalau pengujinya dua orang, gagal total. Aku cuma bisa mencuci otak satu orang.
Siapa yang harus kucuci otaknya agar bisa lolos? Harusnya yang punya kekuasaan… seperti kepala sekolah atau wakil kepala sekolah… Tapi aku bahkan tak tahu wajah mereka. Mana sempat cari mereka sekarang?
Yang punya kekuasaan… Lily?
Kalau aku mencuci otak Lily, mungkin dia bisa membantu pakai pengaruh keluarganya… Tapi dia juga peserta ujian. Tak yakin dia bisa pakai koneksi apa pun untukku.
Apa ini berarti hidupku benar-benar tamat!?
Sialan… Tuhan gila! Kenapa kasih aku skill macam Cuci Otak!? Kalau bisa mengendalikan banyak orang, aku masih bisa akal-akalan!
Tapi satu orang saja… mau kuapain!?
Siapa yang harus kucuci otaknya supaya bisa lolos dari—
Saat aku menegakkan kepala, kulihat sebuah cermin di depanku.
Yang terlihat di sana adalah diriku… sedang memegangi kepala dengan panik.
──Kalau aku mencuci otak orang ini, apa yang akan terjadi?
Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benakku.
Mencuci otak diriku sendiri.
Membuat diriku percaya.
Bahwa skill milikku bukan Cuci Otak, melainkan Pyrokinesis—pengendali api. Kalau begitu, mungkinkah aku bisa memanipulasi tampilan skill-ku?
“...Nggak, nggak... ini jelas ide gila.”
Nggak mungkin berhasil. Aku tahu itu. Ini cuma ide kepepet. Pasti gagal.
Tapi... setidaknya untuk dicoba saja, tidak ada ruginya.
Kalau gagal, ya sudah—memang aku juga nggak punya ide lain.
“Oke. ...Skill Cuci Otak.”
Aku merasakan skill-nya aktif. Tapi tidak ada perubahan yang langsung terasa. Kupikir itu gagal... sampai aku melihat cermin.
Di atas kepalaku, tulisan [Dalam Pengaruh Cuci Otak] muncul.
Jadi pakai cermin memungkinkan aku mencuci otak diriku sendiri!?
Kalau begitu, selanjutnya…
“Hugh Phnosis. Skill-mu bukan Cuci Otak, tapi Pyrokinesis!”
Ada bunyi “klik” di kepalaku, seolah saklar terbalik.
Efek skill-nya terasa. Cuci otaknya berhasil.
“Status!”
Segera kulihat tampilan skill-ku.
Sebuah panel transparan muncul di pandangan. Tertulis:
Hugh Phnosis
Skill: Pyrokinesis Lv. Max
--Menghasilkan api pada target yang diinginkan
Tulisan Cuci Otak menghilang dari kolom skill!
“Gak mungkin... beneran bisa dipalsukan!?”
Aku mengucek mata dan melihat lagi—tetap saja, yang tertulis hanya Pyrokinesis. Tak ada jejak Cuci Otak.
Tapi... di cermin, tulisan [Dalam Pengaruh Cuci Otak] masih melayang di atas kepalaku.
Berbeda dengan saat aku mencuci otak orang lain, kali ini kesadaranku tetap penuh. Aku masih tahu bahwa skill asliku adalah Cuci Otak. Mungkin mencuci otak diri sendiri bekerja secara berbeda dibanding mencuci otak orang lain?
“...Batalkan Cuci Otak.”
Kucoba membatalkan skill itu dan melihat kembali status: kembali menjadi Cuci Otak. Lalu kupakai lagi, mengganti dengan Pyrokinesis.
Tampilan skill di panel memang berubah. Tapi apakah itu benar-benar akan mengelabui alat sihir? Bisa jadi ini hanya halusinasi visual yang cuma aku yang lihat. Kalau saat dites nanti yang muncul tetap Cuci Otak, tamatlah riwayatku.
Tapi tidak ada cara untuk memastikannya sekarang…
Dan aku juga tak bisa terus bersembunyi di toilet. Kalau aku terlalu lama, Lily akan curiga. Mau tak mau, sekarang aku harus nekat. Bertaruh hidup dan mati.
Begitu keluar dari toilet, suasana gedung sudah ramai dan heboh.
“Kau dengar tadi!?”
“Skill Saintess? Itu kan cuma dongeng, bukan!?”
“Itu… gadis rakyat jelata dekil itu…?”
“Pasti ada kesalahan…”
Berbagai suara terdengar, penuh keheranan, iri, bahkan kecemburuan.
Di pusat keramaian itu, ada seorang gadis berambut biru muda—Lecty, yang terlihat bingung dan panik menghadapi reaksi semua orang.
Sepertinya bukan karena dia diganggu lagi oleh Idiott.
Sambil mencoba memahami situasi, aku berjalan ke arah Lily, yang tampak sedang berpikir dalam diam, tangan menyilang dan kepalan menyentuh bibirnya.
“Ada apa ini?”
“Oh, perutmu sudah sembuh, Tuan Bangsawan Miskin Diare dari Pelosok?”
“Nggak bisa dibilang lancar sih. Tapi ya, sekarang pasrah aja.”
“Tolong jangan bangga dengan pasrah seperti itu. Jangan-jangan kamu beneran...”
“Silakan dibayangkan sendiri.”
“............”
Lily langsung melangkah sedikit menjauh dariku.
Dalam imajinasinya, aku mungkin benar-benar sempat bocor.
“Terus, ada apa dengan Lecty? Kenapa semua heboh begitu?”
“Skill miliknya… agak… bukan, sangat istimewa.”
“Istimewa?”
“Skill yang diberikan Tuhan bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis. Misalnya Petir—kemampuan menyerang dengan listrik. Skill-skill yang bisa mengendalikan fenomena alam seperti api, air, angin, semuanya disebut sebagai Skill Alam.”
“Jadi Pyrokinesis itu termasuk Skill Alam?”
“Ya. Jangan-jangan, itu skill-mu?”
“Iya, semacam itu. Kalau kayak Pemburu atau Koki itu masuk jenis apa?”
“Itu termasuk Skill Pekerjaan. Termasuk langka juga. Hanya sekitar satu dari tiga ribu orang yang mendapatkannya.”
“Serius?”
Jadi skill ayah dan ibuku sebenarnya sangat langka, ya.
“Ciri dari Skill Pekerjaan adalah kemampuannya tidak terbatas pada satu hal saja. Misalnya, skill Kesatria bisa memberikan Ilmu Pedang, Peningkatan Tubuh, Ahli Tombak, Menunggang Kuda, dan sebagainya.”
“Kuat banget dong itu…”
Kalau dipikir-pikir, skill Pemburu ayah memang seperti memberikan Pelacak dan Panahan. Ibuku sih… Koki, tapi aku kurang tahu efeknya.
“Jadi… keramaian ini karena Lecty ternyata punya Skill Pekerjaan yang sangat langka dan kuat?”
“Tepat sekali. —Skill Saintess (Gadis Suci). Sebelumnya dianggap hanya dongeng belaka. Aku memang merasa ada sesuatu yang istimewa darinya, tapi… aku tak menyangka sampai sebegitu hebatnya. Dia benar-benar berlian mentah yang layak diasah.”
“Skill Saintess, ya…”
Sementara Lily terlarut dalam kekaguman, aku mulai berpikir.
Kalau dengar istilah Saintess, aku jadi ingat Jeanne d’Arc dari dunia lamaku. Tapi di dunia ini, status seperti apa yang dimiliki Saintess?
Karena daerah Phnosis itu terpencil dan miskin, aku nyaris tak pernah baca buku. Kini aku menyadari betapa kurangnya pengetahuan dasarku.
“U-um, Lily-chan, Hugh-san… apakah aku barusan berbuat kesalahan lagi…?”
Lecty datang mendekat dengan wajah cemas. Sepertinya dia mengira telah membuat keributan lagi.
“Tidak, Lecty. Kamu tidak salah.”
Bisa dibilang dia hanya kurang beruntung. Tapi bukan kesalahan dia. Tak perlu merasa bersalah.
“Lecty, kamu telah menerima skill luar biasa dari Tuhan. Saking hebatnya, orang-orang di sini sampai terkejut dan iri. Tapi itu bukan salahmu.”
“Be-begitu…?”
“Tak perlu cemas. Angkat dagumu dan banggalah. Skill itu diberikan Tuhan hanya untukmu.”
“Ba-baik!”
Lecty pun tersenyum lega, terlihat lebih tenang.
Tak lama, para penguji datang dan mengendalikan keramaian. Lecty kemudian dibawa ke ruangan lain, ditemani oleh Lily dan seorang penguji. Aku sempat ditanya apakah ingin ikut, tapi karena belum melewati pengecekan skill, aku harus tetap di sini.
“Sampai jumpa nanti.”
“Sampai nanti, Hugh-san!”
“Ya, sampai ketemu.”
Aku melambaikan tangan saat mereka pergi. Bisa jadi itu adalah pertemuan terakhir kami. Walau singkat, rasanya sedikit sedih juga.
...Nah, sekarang giliranku.
“Selanjutnya, silakan masuk.”
Dipanggil oleh penguji, aku masuk ke sebuah bilik kecil yang dibatasi tirai. Di dalamnya ada bola kristal besar berdiameter sekitar 30 cm. Sepertinya inilah alat sihir untuk melihat skill.
“Sebutkan nama dan skill Anda.”
“Hugh Phnosis. Skill: Pyrokinesis.”
“Silakan letakkan tangan kanan di atas kristal ini.”
Begitu tangan menyentuh kristal, skill-ku akan terungkap. Aku mencoba menahan gemetar dan perlahan mengulurkan tangan.
Bismillah…!!
Begitu kulit menyentuh kristal, cahaya lembut bersinar, dan tulisan mulai muncul di dalamnya.
________________________________________
Hugh Phnosis
Skill: Pyrokinesis
________________________________________
“Baik, sudah dikonfirmasi. Silakan lanjut ke ujian praktik sesuai arahan petugas.”
“Terima kasih.”
Aku membungkuk ringan lalu keluar dari bilik.
Saat berjalan menuju tempat ujian sesuai arahan, aku menghembuskan napas lega—untuk pertama kalinya hari ini.
“Entah bagaimana, aku berhasil lolos dari rintangan pertama…”
“Selanjutnya adalah ujian praktik skill. Karena Anda, Hugh Phnosis, memiliki Skill Alam, silakan menuju Lapangan Kedua. Dari sini, cukup jalan lurus dan belok kiri di ujung jalan.”
“Baik. Terima kasih banyak.”
Aku membungkuk hormat pada petugas yang mengarahkan, lalu berjalan ke luar gedung sekolah.
Setelah memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarku, aku berjongkok di tempat dan menghela napas panjang.
“Haaah… akhirnya bisa lewat juga.”
Tak kusangka, ternyata Skill Cuci Otak memang bisa benar-benar mengubah tampilan skill. Siapa sangka. Meski nggak ngerti sama sekali cara kerjanya…
“Tapi ya… ujian praktik selanjutnya pasti nggak bakal bisa kulalui dengan mulus.”
Mana mungkin aku bisa menggunakan skill palsu yang kutulis ulang. Harus kupikirkan alasan dari sekarang. Mungkin pura-pura sakit perut lagi atau semacamnya? Tapi setidaknya, bahaya terbesar—yakni identitasku sebagai pemilik Skill Cuci Otak—sudah lewat. Itu cukup melegakan.
Karena itulah, aku jadi sedikit lengah…
“Um, kamu nggak apa-apa?”
“Uwaaah!?”
Suara yang tiba-tiba menyapa membuatku kaget hingga kehilangan keseimbangan dan jatuh terlentang dari posisi jongkok.
Dalam pandanganku yang menghadap ke atas, tampak seorang anak perempuan (…?) yang menatapku dengan ekspresi khawatir.
“Aduh, maaf! Aku nggak sengaja bikin kamu kaget, ya!?”
“N-nggak, nggak apa-apa. Aku yang salah karena nggak waspada.”
“Kamu bisa bangun?”
Anak perempuan (…?) itu mengulurkan tangan padaku.
Alasan kenapa aku masih ragu menyebutnya perempuan, adalah karena pakaian yang ia kenakan.
Rambut pendek berwarna perak yang berkilau diterpa cahaya matahari.
Wajahnya masih menyimpan kesan kekanak-kanakan, dan mata biru tua bundar yang besar semakin memperkuat kesan imutnya itu.
Kalau hanya melihat dari leher ke atas, dia jelas seorang gadis.
Namun tubuh mungilnya mengenakan kemeja dan mantel khas bangsawan pria.
“Terima kasih, kamu menyelamatkanku.”
“Hehe. Sama-sama.”
Setelah aku berdiri dengan bantuan tangan anak perempuan (…?) itu dan mengucapkan terima kasih, dia tersenyum malu-malu.
…Ugh, imut banget. Beda tipe dari Lily dan Lecty, tapi dia juga gadis cantik.
Dia memang gadis, kan…?
“E-ehm, aku Hugh. Hugh Phnosis. Senang bertemu denganmu.”
“Senang bertemu juga, Hugh. Aku… eh, maksudku aku adalah Lugh. Lugh Becht.”
“Lugh… jadi kamu cowok?”
“Muuuh! Hugh, kamu pikir aku terlihat seperti cewek?”
Lugh menggembungkan pipinya kesal. Gerak-geriknya pun terlihat menggemaskan… Tapi benarkah dia cowok? Barusan sempat mau bilang “watashi”, kan?
Yah, kalau memang ternyata dia cewek, pasti ada alasannya kenapa dia menyamar jadi laki-laki. Nggak usah kepo, nanti malah nyusahin. Aku harus bisa membaca situasi dan ikut mengalir saja.
“Ah, kalau perkataanku menyinggung, maaf ya. Soalnya tadi posisiku sedang telentang dan kena pantulan cahaya, jadi wajahmu nggak kelihatan jelas. Suaramu juga agak tinggi untuk ukuran cowok, jadi aku ragu.”
“Oh, begitu. Hmm, kalau begitu bisa dimengerti. Maaf ya, aku jadi marah… Eh, ngomong-ngomong, tadi kamu sempat jongkok. Kamu baik-baik aja? Aku kira kamu sakit, makanya aku samperin…”
“Ah, sebenarnya perutku agak sakit…”
“Eeh!? Kamu harus ke ruang kesehatan! Kalau kamu takut sendirian, aku bisa nemenin kok!”
“Nggak, nggak usah. Itu udah selesai.”
“Udah selesai maksudnya… eh… perlu aku ambilin baju ganti?”
“Aku nggak ngompol, oke!?”
Kenapa sih semua orang mikir aku buang air di celana!?
“Beneran aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Ngomong-ngomong, Lugh juga mau ikut ujian praktik sekarang?”
“Iya. Aku diminta ke Lapangan Kedua, jadi lagi jalan ke sana.”
“Kalau begitu kita bareng aja. Aku juga ke Lapangan Kedua.”
“Boleh!? Wah, aku senang banget! Aku agak kesepian kalau sendirian!”
Lugh tersenyum lebar tanpa beban.
Man, dia ini beneran terlalu imut untuk jadi cowok. Nggak masuk akal.
Kami berjalan beriringan menuju Lapangan Kedua. Tinggi Lugh kira-kira hanya sampai bahuku—bahkan lebih pendek dari Lecty yang tadi.
“Hugh tinggi juga ya. Pas kamu bangun tadi, aku agak kaget.”
“Ayahku juga tinggi sih.”
Sebenarnya, Lugh yang pendek. Tapi kalau aku bilang begitu, bisa-bisa dia marah lagi.
“Iri banget. Aku juga pengin lebih tinggi. Biar orang nggak salah kira aku cewek lagi.”
“Hmm… entahlah.”
Masalahnya bukan tinggi badan. Wajah dan suara Lugh memang feminin banget. Meski dia tumbuh lebih tinggi, kayaknya tetap aja bakal dikira cewek.
“Hugh, kamu kepikiran sesuatu yang kasar ya?”
“Nggak kok! Eh, itu Lapangan Kedua kan?”
Kami tiba di ujung jalan dan melihat ke kiri, di mana lapangan luas terbentang di bawah lereng. Para peserta sedang menembakkan api atau air ke arah target berbentuk manusia.
Yup, beginilah seharusnya ujian praktik. Pemandangan yang sesuai harapanku.
“Yuk, Hugh!”
Lugh menarik lenganku dan kami berlari menuju Lapangan Kedua.
Kali ini, Skill Cuci Otak nggak bisa menipuku keluar dari masalah.
Padahal baru kenalan sama Lugh dan sudah harus berpisah, rasanya sedih juga…
Di Lapangan Kedua, kami harus mengantre untuk giliran. Tapi cuma ada lima orang di depan, dan ujian ini cuma butuh beberapa kali penggunaan skill, jadi giliranku bakal cepat.
“Waaah, skill mereka keren-keren ya!”
Lugh yang mengamati peserta lain memekik kagum. Memang, pemandangan berbagai elemen ditembakkan ke arah target memang seru.
Tapi ada juga yang membuatku kecewa sedikit.
Seperti peserta cewek berponi ekor kuda yang sedang ujian sekarang. Dia menembakkan air dari tangannya, tapi lemah banget. Selevel pistol air murah di toko serba seribu.
Targetnya pun nggak kena.
Peserta lain juga begitu. Hanya satu dari lima yang tembakannya sampai ke target. Dan bahkan kalau kena pun, target besi berbentuk manusia itu tak bergeming sedikit pun.
Ngomong-ngomong, skill kan punya level, ya. Semua peserta ini baru dapet skill dalam satu tahun terakhir. Jadi kebanyakan masih level 1. Mungkin karena itu skill mereka lemah.
…Eh? Tadi Skill Api-ku ditampilkan sebagai Lv. Max, kan?
Kalau skill yang sudah mentok level itu sekuat apa, ya? Tapi ya sudahlah, itu cuma tampilan doang. Aku nggak bisa ngetes.
Saat aku sedang melamun, antrean maju dan tibalah giliran kami.
“Hugh, kamu duluan atau aku?”
“Kamu aja dulu.”
Tanpa ragu aku mempersilakan Lugh. Toh aku pasti gagal karena nggak bisa pakai skill palsu. Nggak enak juga kalau aku bikin suasana aneh duluan.
“Makasih, Hugh! Kalau begitu aku duluan ya! Semangat semangat~!”
Lugh mengepalkan tangan di depan dada, penuh semangat. Imut banget. Saat aku memandanginya sambil tersenyum, para peserta dan pengawas lain juga tersenyum lembut. Bahkan ada suara teriakan penyemangat.
Dengan pipi memerah malu, Lugh bersiap, mengangkat tangan kanannya ke arah target.
“Lihat ya, Hugh! Skill Serangan Angin—Tempest!”
Yang keluar adalah angin. Tapi bukan angin sepoi-sepoi—angin kencang sampai jaketku ikut tertiup dari belakang!
Hantaman angin dari Lugh menggulung debu, melaju deras, dan langsung menjatuhkan target besi.
Sebelumnya tak ada yang bisa menggerakkan target itu sama sekali, tapi Lugh menjatuhkannya dengan mudah. Penonton bersorak kagum dan tepuk tangan meriah.
Lugh, malu-malu sambil menggaruk kepala, kembali ke arahku dengan senyum malu dan memberikan tanda “V” dengan jarinya.
Terlalu imut banget sih anak ini!!
“Sekarang giliran Hugh! Tunjukkan yang keren juga, ya!”
“Y-yeah…”
Dengan tatapan penuh harap dari Lugh, tubuhku mandi keringat dingin. Perutku terasa perih membayangkan ekspresi kecewanya nanti.
Kalau tahu rasanya begini, mending nggak usah kenalan sama Lugh. Tapi jujur… aku senang bisa berteman dengannya.
Kalau saja aku nggak dapat Skill Cuci Otak…
Kalau saja skill-ku benar-benar Api—Pyrokinesis…
Pasti aku bisa menjalani kehidupan sekolah yang menyenangkan bersama Lugh, Lily, dan Lecty…
…Sial. Tadi aku bahkan berharap gagal ujian. Tapi sekarang, aku malah berharap ada keajaiban yang membuatku lulus.
Padahal nggak mungkin ada hal seajaib itu.
“Semangat, Hugh!”
Dengan teriakan semangat dari Lugh di belakangku, aku mengangkat tangan kananku ke arah target.
Maaf, Lugh. Sepertinya aku nggak bisa memenuhi harapanmu.
“Skill Api—Pyrokinesis!”
Karena tak mungkin dari tanganku keluar apap—
BWOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOMMMMMMMM!!!!!!!!!!
Target besi langsung ditelan pilar api raksasa yang muncul entah dari mana, dan meleleh tanpa sisa.
“…………………………Hah?”
Suara kagetku keluar konyol karena otakku tak bisa memproses apa yang baru saja kulihat.
Apa barusan itu!? Pilar api muncul dari udara kosong dan langsung melelehkan besi!?
Titik leleh besi berapa derajat, ya? U-uh!?
Saat aku berdiri mematung dalam kebingungan, aku merasakan sesuatu menabrak pinggangku.
Kulihat ke bawah—Lugh memeluk pinggangku erat-erat. Dan ada sensasi lembut menyentuh pinggir perutku…
“Keren banget, keren banget Hugh! Barusan itu apa!? Apinya tuh, buwaaaah gitu! Buwaaaah banget!”
“Y-yeah. Bener juga, buwaah banget tadi.”
“Aku sampai kaget saking kerennya!”
“Aku juga kaget.”
Sepertinya Lugh saking terkejutnya sampai nggak sadar dia barusan pakai kata ganti diri “watashi”. Para pengawas ujian dan peserta lain yang ada di sekitar juga tampak heboh. Keramaian ini hampir setara waktu ketahuan bahwa Lecty punya skill Santo.
Tapi… itu memang skill milikku, kan…?
Skill Api—Pyrokinesis Lv. Max.
Kekuatan skill itu benar-benar jauh melampaui dugaanku.
…Tapi yang lebih mengejutkan bukan kekuatan Pyrokinesis-nya, tapi justru skill Cuci Otak-ku!
Siapa sangka skill yang kutulis ulang lewat Cuci Otak bisa benar-benar digunakan!?
Skill Cuci Otakku… ini nggak terlalu OP, ya…!?
Chapter 2: Lulus ujian masuk! Menuju masa depan penuh harapan, ready go!!
Setelah menyelesaikan ujian praktik di lapangan, aku dan Lugh kembali ke dalam gedung sekolah mengikuti arahan pengawas ujian. Konon, ujian terakhir adalah ujian tertulis, jadi kami pun menuju ruang kelas tempat ujian itu akan dilaksanakan.
“Skill-mu tadi keren banget, Hugh!”
Lugh, yang berjalan di sampingku, kembali mengungkapkan kekagumannya entah untuk yang keberapa kali.
“Dari tadi itu terus yang kamu omongin.”
“Soalnya emang beneran keren banget! Aku bahkan belum pernah lihat skill api sekuat itu di istana kerajaan sekalipun!”
“Istana kerajaan? Kamu pernah di istana, Lugh?”
“Eh!? A-ah, itu… soalnya Ayah kerja di istana!”
“Oh, begitu.”
...Sepertinya lebih baik aku tidak menggali lebih jauh soal itu. Anggap saja tidak pernah mendengar apa pun.
Dan tetap saja, aku masih tidak percaya bahwa skill yang kuubah pakai Cuci Otak benar-benar bisa digunakan. Sekarang setelah pikiranku agak tenang, aku makin merasa terkejut. Ini jelas sudah melampaui ranah cuci otak. Kalau memang bisa begini, berarti aku bisa menggunakan skill apa pun sesuka hati.
Dengan kata lain, aku punya kekuatan yang setara dengan dewa pemberi skill.
...Yah, itu juga berarti bahaya dari skill Cuci Otak ini meningkat drastis. Kalau besok aku tiba-tiba bisa pakai skill Pistol Air, orang-orang pasti bakal curiga, dan kalau sampai ketahuan aku punya skill Cuci Otak, ujung-ujungnya tetap masuk jalur eksekusi.
Lagipula, tujuanku di kehidupan ini adalah menjalani slow life yang tenang, sesuatu yang tidak bisa kudapatkan di kehidupan sebelumnya. Aku tidak butuh kekuatan yang berlebihan. Aku hanya ingin menjalani hari-hari damai dan bahagia.
Dan juga...
Aku melirik ke arah Lugh yang ada di sampingku. Ia menatapku dengan bingung sambil sedikit memiringkan kepala.
“Ada apa, Hugh?”
“Bukan apa-apa.”
Masa iya aku bisa bilang langsung kalau aku menantikan hari-hari di akademi bersama Lugh?
“Ngomong-ngomong, Hugh gimana soal pelajaran? Ujian tulis akademi kerajaan katanya terkenal susah, lho?”
“Hah!? Serius!?”
Ini seperti pengumuman kematian bagi masa depanku di akademi.
“Eh? Jangan-jangan Hugh itu… soal pelajaran…”
“…Lugh, mungkin aku udah nggak ada harapan. Aku baru dapet skill sebulan lalu, dan disuruh Ayah buru-buru ke ibukota. Nggak sempat belajar sama sekali…”
“Ah, ta-tapi! Soal yang keluar kayaknya cuma pengetahuan umum sama sejarah kerajaan kok! Kalau suka baca buku, mungkin masih bisa jawab!”
“…Rumahku itu di pedalaman, keluarga bangsawan kere. Buku yang ada bisa dihitung jari, dan isinya cuma ensiklopedia tanaman liar sama obat herbal.”
“E-eh… kayaknya sih, soal tentang tanaman obat mungkin bakal keluar satu-dua…”
Lugh akhirnya menyerah dan memalingkan pandangannya. Kami berjalan sambil menunduk, sampai akhirnya tiba di ruang ujian tertulis. Tempat duduk bebas, jadi aku duduk bersebelahan dengan Lugh.
Menunggu ujian dimulai, aku meminta Lugh menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan ke otakku. Setidaknya dari sejarah Kerajaan Reathis sejak didirikan sampai sekarang. Tahun berdirinya itu di Dewa Era 539, lalu ada perang dengan negara tetangga… Aaaah! Nggak mungkin aku bisa mengingat semua itu hanya dengan penjelasan lisan!
Andai saja aku bisa pakai Cuci Otak untuk mengubah skill-ku jadi “skill peningkat kecerdasan”, mungkin bisa lebih mudah. Tapi sejak masuk ruang ujian, tidak boleh keluar lagi. Jadi nggak bisa ke toilet untuk lihat cermin.
Skill Cuci Otak ini… susah dipakai juga ya!
Usaha terakhirku hanya berlangsung sekitar sepuluh menit. Ujian dimulai, dan soal dibagikan.
Tapi ini… ternyata cukup bisa kujawab?
Tentu saja, soal sejarah aku lemah total. Tapi soal hitung-menghitung cuma setingkat pelajaran SMP. Pengetahuan umum banyak yang berkaitan dengan tugas bangsawan dan pengelolaan wilayah, dan karena aku kadang membantu ayah, aku tidak sepenuhnya buta soal itu.
Meski begitu, dari semua soal, hanya setengah yang sempat kutulis jawabannya. Dan dari setengah itu, paling bagus pun aku bisa dapat nilai 30%. Aku nggak tahu berapa batas kelulusan, tapi sepertinya cukup sulit.
Begitu lembar jawaban dikumpulkan, aku langsung rebahan di meja. Padahal ujian cuma satu jam, tapi rasanya lebih melelahkan daripada perjalanan sebulan dari kampung halaman ke ibukota.
“Kerja bagus, Hugh.”
“Lugh, mungkin aku udah nggak punya harapan. Nikmati hidup di akademi atas namaku.”
“Nggak, nggak. Aku yakin kamu lulus, kok...? Skill-mu di ujian praktik tadi keren banget. Lagian, kan bukan berarti kamu nggak bisa jawab sama sekali, kan?”
“Ya… sekitar 30% sih bisa kujawab…”
“Kalau segitu sih, harusnya dengan nilai dari ujian praktik kamu pasti lulus! Wah, jadi nggak sabar nunggu hasilnya ya!”
“Semoga aja begitu… Ngomong-ngomong, kapan hasil ujiannya diumumkan?”
“Sepertinya saat matahari terbenam. Kalau lulus, langsung masuk asrama hari ini juga, dan besoknya upacara masuk.”
“Cepet banget ya.”
“Dulu sih katanya perlu seminggu nunggu hasilnya. Tapi gara-gara ada kasus kayak tekanan, kekerasan, ancaman, pencurian dan semacamnya, akhirnya diputuskan diumumkan di hari yang sama.”
“Kok terlalu banyak masalah, sih!”
Artinya, supaya nggak ada orangtua gila yang ganggu hasil ujian, mereka umumkan secepatnya. Bisa kebayang betapa repotnya orang-orang yang kerja di akademi ini…
“Oh iya! Hugh, kamu ada urusan setelah ini?”
“Nggak, nggak ada.”
“Kalau gitu… boleh temenin aku belanja sebentar?”
“Belanja? Nggak masalah. Tapi mau beli apa?”
“Ehm, soalnya aku nggak punya banyak baju. Aku mau minta bantuan Hugh buat pilihkan baju cowok, gitu…”
“Boleh, ya?” Lugh memohon sambil menatapku dengan mata memelas dari bawah.
Tentu saja jawabannya ya.
Kenapa dia nggak punya baju cowok? Aku putuskan untuk tidak bertanya.
Setelah mendapat izin dari pengawas untuk keluar, aku dan Lugh mulai menjelajahi kota sampai waktu pengumuman hasil ujian. Saat perjalanan ke sini kami terburu-buru, jadi nggak sempat menikmati pemandangan. Sayang kan kalau udah jauh-jauh ke ibukota sebulan tapi nggak jalan-jalan?
“Lihat deh, Hugh! Orangnya banyak banget!”
“Jangan lupa lihat jalan juga, bahaya nanti!”
“Iyaaa~!”
Lugh tampak begitu ceria, melihat ke sana kemari seperti anak kecil yang pertama kali ke kota. Dia tertarik dengan toko roti di pinggir jalan dan kios-kios makanan. Sampai-sampai malah dia yang terlihat seperti anak desa.
“Lugh, ini pertama kalinya kamu ke ibukota?”
“Eh? Nggak kok. Aku lahir dan besar di sini.”
“Kalau gitu kenapa heboh banget? Baru pertama kali ke daerah sini?”
“Iya juga sih, tapi sebenernya aku jarang banget bisa jalan-jalan keliling kota. Jadi semuanya kelihatan menarik! ...Ah, maaf ya, aku terlalu ribut?”
“Nggak apa-apa. Aku juga anak desa, jadi aku ngerti perasaanmu. Di mataku semuanya juga kelihatan baru.”
“Hehe, Hugh memang baik banget ya.”
Lugh tersenyum malu-malu, lalu menggandeng lenganku erat-erat. Terasa lembut menempel di sisi tubuhku.
“Eh… kenapa jadi gandengan segala?”
“Soalnya orangnya banyak. Takutnya kita kepisah. Kalau gini, kita nggak akan berpisah kan?”
“Ya sih… tapi…”
Aku jadi gugup karena kedekatan Lugh. Kalau sering diginiin, aku bisa-bisa jadi jatuh cinta.
“Lugh, cowok tuh… biasanya nggak saling gandeng kayak gini.”
“Eh!? Serius!?”
“Iya. Jadi, kita mending jalan agak pisahan, ya? Soalnya kita mulai menarik perhatian orang.”
Dari tadi aku merasakan tatapan-tatapan tajam dari sekeliling. Dari luar, pasti kelihatan seperti gadis imut berbaju cowok sedang mesra menggandeng seorang pria. Wajar kalau jadi pusat perhatian.
Lugh pun menyadarinya dan cepat-cepat melepaskan gandengannya, wajahnya merah padam. Tapi sepertinya masih takut kepisah, jadi dia mencubit sedikit ujung bajuku sambil berjalan.
“Ma-maaf ya, Hugh. Kamu… nggak suka, ya?”
Melihatnya menatapku begitu, aku langsung menggeleng. Bukan nggak suka. Justru senang. Kalau nggak karena tatapan orang, aku juga pengen terus kayak tadi.
“Iya… hehe.”
Lugh menatapku dan tersenyum manis.
Aduh, ini anak bener-bener lucu banget, sih!
Jelas dia punya alasan besar yang membuatnya harus menyamar jadi laki-laki. Dan aku tahu, terlibat dengan gadis secantik ini yang menyimpan rahasia besar pasti bakal merepotkan.
Tapi meski aku sadar, aku tetap nggak bisa menjauh dari Lugh. Sikapnya yang manis dan ceria itu membuatku benar-benar terpikat.
Ini bakal jadi rumit.
Kalau terus seperti ini, aku pasti akan terlibat dalam masalah Lugh. Dan jika itu terjadi, skill Cuci Otak—bom waktu yang kusembunyikan—bisa meledak kapan saja. Demi keselamatanku sendiri, seharusnya aku menjauh dari Lugh secepatnya.
Tapi… aku tahu itu nggak semudah itu. Perasaan nggak bisa diputus begitu saja.
“Hugh, lihat toko itu! Kayaknya toko baju, deh!”
“Benar juga. Ayo masuk.”
“Ayo!”
Kami pun masuk bersama ke toko yang Lugh tunjuk.
Di dalamnya, ada berbagai pakaian kasual dan aksesori. Tampaknya toko ini menyasar kalangan rakyat biasa yang cukup mampu, bukan bangsawan. Seorang wanita paruh baya bertubuh gempal menyambut kami dengan senyum ramah.
“Selamat datang. Anda sedang mencari pakaian seperti apa?”
“Bisakah Anda mencarikan beberapa pakaian laki-laki yang cocok untuk dia?”
“Dia... Baik, tentu saja. Mohon tunggu sebentar, saya akan segera menyiapkannya.”
Pegawai toko itu sempat menunjukkan ekspresi bingung, namun setelah melihat pakaian yang dikenakan Lugh, dia tampaknya mengerti situasinya dan mulai mengumpulkan pakaian dari rak.
“Aku dikira cewek lagi...”
Lugh menundukkan bahu, tapi kali ini bukan salah pegawai tokonya. Pegawai itu, seperti layaknya profesional, bekerja dengan cepat dan kembali dalam waktu kurang dari semenit membawa setumpuk pakaian.
“Terima kasih sudah menunggu. Silakan ke sini. Silakan gunakan ruang ganti.”
“Hugh, aku masuk dulu ya! Eh, jangan ke mana-mana ya? Aku ingin dengar pendapatmu soal bajunya nanti!”
“Iya, aku tunggu di sini. Tenang saja.”
“Ya, janji ya!”
Lugh menerima pakaian dari pegawai dan masuk ke dalam ruang ganti.
Saat aku memasang telinga, terdengar suara kain bergesekan dari balik tirai... tapi memusatkan perhatian ke suara orang ganti baju itu agak creepy juga sih. Lebih baik aku lihat-lihat isi toko sambil menunggu Lugh keluar.
Toko ini menjual bukan hanya pakaian laki-laki, tapi juga pakaian perempuan. Salah satu manekin kayu memakai gaun putih dengan aksen biru muda. Entah kenapa aku jadi ingin melihat Lugh mengenakan pakaian seperti itu. Pasti cocok banget.
“Hugh, kamu di sana? Aku mau tunjukin baju pertama nih!”
“Iya, aku di sini.”
Saat aku menjawab, tirai ruang ganti perlahan terbuka. Yang muncul adalah Lugh yang mengenakan tunik warna krem terang.
Oh, begitu pilihannya.
Tunik warna krem itu berpadu dengan rambut peraknya, memberikan kesan bersih dan lembut. Aneh rasanya, tapi kesan feminin-nya justru berkurang—ia malah terlihat seperti anak laki-laki yang manis dan androgini.
Terlalu kasual untuk bangsawan, tapi kalau tujuannya menyamar saat keluar, ini pilihan yang tepat.
“Gimana...?”
“Bagus banget. Kamu kelihatan imut.”
“Aduuh! Aku kan pengin kelihatan kayak laki-laki! Kalau dibilang imut, itu malah gagal dong!”
“Ya tapi gimana ya, wajahmu memang imut sih, jadi susah untuk nggak kelihatan imut.”
“Ugh!? ...Aduh. Hugh, dasar bodoh!”
Lugh memerah sampai ke telinga, cemberut, lalu membalikkan badan dan menutup tirai.
“Aku coba yang lain, ya!”
Setelah itu, aku menemani Lugh dalam 'fashion show' pribadi selama beberapa saat. Semua pakaian pilihan pegawai toko itu membuat Lugh terlihat seperti “anak laki-laki yang imut”.
Lugh kelihatan kurang puas, tapi aku pribadi sangat senang melihatnya.
Setelah berhasil membujuk Lugh yang sedikit ngambek, kami pun memutuskan untuk membeli beberapa pakaian. Sementara Lugh kembali mengenakan pakaian lamanya, aku berjalan ke bagian aksesori di toko.
“Oh?”
Mataku tertuju pada sebuah cermin tangan kecil. Cermin lipat dengan desain sederhana, tapi harganya cukup mahal. Memang agak overpriced. Mungkin ada yang lebih murah di toko lain, tapi aku ingin punya cermin yang bisa dibawa ke mana-mana sesegera mungkin.
Uang saku yang diberikan ayahku masih tersisa. Kalau aku pakai untuk beli ini, aku harus mengorbankan ongkos naik kereta kuda pulang nanti. Hmm...
Tapi kalau aku punya cermin portabel, aku bisa menggunakan skill kapan saja tanpa perlu mencari cermin besar. Itu keuntungan besar yang sepadan dengan ongkos pulang yang hilang.
Lagipula, aku masih belum tahu apakah aku benar-benar butuh ongkos pulang. Kalau diterima di Akademi Kerajaan, aku bisa tinggal di asrama, jadi untuk sementara nggak perlu pulang. Meski aku ragu dengan hasil ujiannya, tapi Lugh yakin aku akan lulus, jadi aku putuskan untuk percaya padanya.
Aku mengambil cermin tangan itu dan memanggil pegawai toko untuk membayar.
Setelah itu, aku menunggu Lugh keluar dari ruang ganti...
“Kok lama ya...”
Dia kelihatan kesulitan saat berganti pakaian. Tapi anehnya, tidak ada suara dari balik tirai. Sunyi sekali.
“Lugh, ada apa?”
Tidak ada jawaban. Perasaan tidak enak mulai menyelimuti, aku pun meraih tirai ruang ganti.
“Lugh, aku buka ya? Nggak apa-apa?”
Setelah memastikan tak ada respons, aku membuka tirainya.
── Dan tidak ada siapa pun di sana.
Ruang ganti kosong, hanya pakaian yang tadi dicoba Lugh yang tertinggal, dan yang terlihat di cermin hanyalah diriku sendiri dengan tulisan di atas kepala.
Apa yang terjadi ini...?
“Kalau maksudmu teman tadi, dia keluar tergesa-gesa saat Anda sedang di kasir,” ucap pegawai toko dari belakang dengan nada tenang.
Keluar...? Lugh pergi tanpa bilang apa-apa...?
Kami memang baru bertemu beberapa jam, dan aku belum tahu banyak tentang Lugh. Tapi dia bukan tipe yang pergi diam-diam seperti itu.
Pasti ada alasan yang mendesak. Mungkin ada kaitannya dengan alasan dia harus menyamar sebagai laki-laki.
Yang jelas, aku harus mencari Lugh. Begitu aku membuka pintu untuk keluar, terdengar suara engsel berderit keras: Kiiiiii...
...Tunggu, waktu aku masuk tadi tidak ada suara seperti ini.
Kalau Lugh benar keluar, pasti aku dengar suara ini juga, kan?
Aku menoleh ke belakang. Pegawai toko itu masih tersenyum ramah tapi kepalanya sedikit miring.
“Apa Anda tidak akan mencari teman Anda?”
Nada suaranya terdengar seolah ingin segera menyuruhku pergi. Apakah ini cuma perasaanku, atau...?
Aku menatap cermin tangan yang baru kubeli. Di atas kepalaku tertulis . Aku berbisik pelan, “Batalkan hiPhnosis,” dan tulisan itu pun menghilang.
Melihat ekspresi curiga pegawai toko itu, aku memutuskan untuk menggunakan skill-ku.
“Skill: .”
Aku merasakan sensasi familiar saat skill aktif. Pegawai toko itu menatap kosong dan berdiri kaku seperti patung.
“Beri tahu aku segalanya. Ke mana Lugh dibawa?”
“Baik, Tuan...”
Pegawai itu mulai berbicara:
Bahwa toko ini digunakan sebagai tempat penculikan oleh sindikat perdagangan manusia.
Bahwa ruang ganti tempat Lugh masuk memiliki cermin yang bisa dilepas, dan di baliknya terdapat ruangan kecil yang terhubung ke pintu belakang. Sindikat itu bersembunyi di ruangan itu dan menculik anak-anak dan perempuan yang datang sebagai pelanggan.
Pegawai toko itu bekerja sama dengan sindikat, dan jika pelanggan datang sendiri, mereka menculiknya tanpa disadari. Jika datang berdua, pegawai mengalihkan perhatian satu orang sementara yang lain diculik. Setelah itu, mereka berpura-pura bahwa korban telah pergi keluar.
Kalau aku sampai tertipu dan keluar mencarinya, mereka sudah kabur lewat pintu belakang. Pencarian di jalan depan pun akan sia-sia.
Gila benar ini...!
“Di mana Lugh sekarang!?”
“Mungkin sudah dibawa ke markas sindikat.”
“Di mana itu!?”
“Saya tidak tahu.”
“...Sial!”
Rasanya pegawai ini tidak mungkin berbohong dalam kondisi .
Sepertinya dia hanya sekadar kaki tangan. Demi imbalan besar, dia bekerja sama, tapi tidak diberi informasi penting untuk menghindari risiko.
“Tidurlah sebentar. <HiPhnosis: Batal>.”
Begitu aku membatalkan skill, pegawai itu roboh ke lantai. Aku memeriksa ruang kecil dan pintu belakang yang disebutkan, tapi tidak ada jejak apa pun.
Buntu...? Tidak. Ini saatnya digunakan lagi...!
“Skill: . Hugh HyPhnosis, skill-mu sekarang adalah !”
...Tidak ada yang terjadi. Di cermin hanya tertulis , dan tak ada perubahan lain.
Statusku masih menunjukkan . Jadi, nama skill yang terlalu mengambang tidak bisa digunakan?
Aku coba lagi.
“Skill: . Skill-mu adalah <Chaser: Pelacak>!”
Aku merasakan sensasi seperti ada saklar di otak yang berpindah. Saat aku cek status, skill-ku telah berubah menjadi . Jadi, syaratnya adalah nama yang jelas dan spesifik, ya?
Tapi pikir-pikir nanti saja. Sekarang, aku harus menyelamatkan Lugh!
“Skill: !”
Begitu aku mengaktifkan skill, cahaya biru muncul di pandangan. Cahaya itu membentuk tiga sosok. Dua dari mereka menyeret sosok ketiga keluar dari ruangan tersembunyi lewat pintu belakang.
Apakah ini adalah rekaman kejadian penculikan Lugh?
Seperti skill milik ayahku yang menunjukkan jejak binatang dengan cahaya, skill memperlihatkan kembali kejadian penculikan lewat cahaya untuk membimbingku. Tidak mungkin aku bisa kehilangan jejak ini.
Segera setelah keluar dari pintu belakang, aku menjejakkan kaki ke dinding dan melompat ke atap. Lalu, dengan kecepatan yang jauh melebihi biasanya, aku berlari ke arah cahaya itu membimbing.
Sebagai , tampaknya juga mencakup dan .
Setelah beberapa saat menyusuri gang belakang, aku sampai di jalan besar. Di sana, cahaya membentuk sosok kereta. Dua orang melemparkan Lugh ke dalam, lalu naik dan melaju ke arah barat.
Jika mencarinya secara normal, pada titik ini aku pasti sudah benar-benar kehilangan jejaknya. Tapi dengan skill 〈Chaser〉, tidak ada masalah sama sekali. Kekuatan kaki yang telah ditingkatkan memudahkanku mengejar kereta kuda.
Kalau dilihat dari orang yang berlari di atas atap seperti ini, seharusnya cukup mencolok. Tapi, tak satu pun dari para pejalan kaki di jalan menyadari kehadiranku. Mungkin ini juga merupakan efek dari skill 〈Chaser〉. Entah aku menjadi tak terlihat, atau hanya tidak mencolok. Bagaimanapun, aku bersyukur karena tidak menimbulkan kehebohan.
Aku terus berlari sekitar tiga kilometer, sampai kereta kuda itu memasuki distrik pelabuhan yang berada di pinggiran ibukota kerajaan.
Ibukota kerajaan terletak di tepi sebuah danau besar, dan telah berkembang melalui jalur distribusi barang ke berbagai kota di dalam negeri dan luar negeri lewat danau serta sungai ini... katanya begitu, menurut penjelasan Lugh sebelum ujian tulis.
Kelompok perdagangan manusia itu mungkin menggunakan jalur distribusi lewat danau ini untuk menjual anak-anak dan perempuan yang mereka culik.
Cahaya berbentuk kereta kuda itu berhenti di depan sebuah gudang kecil di distrik pelabuhan, dan menghilang tepat saat tumpang tindih dengan kereta kuda asli yang memang sedang parkir di sana.
Dua orang pria keluar dari kereta sambil mengangkat karung goni. Mereka membawa karung itu masuk ke dalam gudang.
“Kurasa... aku berhasil mengejarnya tepat waktu.”
Aku menarik napas lega sambil bersembunyi di atap gudang lain yang ada di dekatnya. Kalau mereka sudah naik kapal, mengejarnya secara fisik akan jauh lebih sulit. Bahkan skill 〈Chaser〉 mungkin tak didesain untuk berenang mengejar kapal. Aku bersyukur tidak harus mencobanya.
Jadi gudang itu adalah markas kelompok perdagangan manusia? Aku perlu memastikannya.
Aku turun dari atap dan bersembunyi di balik bayangan sambil berpikir. Skill yang kubutuhkan sekarang adalah skill yang memungkinkan untuk melihat ke dalam gudang. Daripada skill yang sekadar bernama “Clairvoyance”, sebaiknya kubuat seperti 〈Chaser〉, yang lebih serbaguna.
“Hugh Phnosis, skill-mu adalah 〈Clairvoyance〉.”
Sekali lagi, ada sensasi sesuatu yang berpindah di kepalaku. Tampilan skill berubah menjadi 〈Clairvoyance Lv. Max〉. Penjelasan skill-nya singkat: “Dapat melihat segala hal yang ingin dilihat.”
“Skill: 〈Clairvoyance〉.”
Yang ingin kulihat adalah kondisi dalam gudang. Berapa banyak orang di dalamnya, dan ke mana Lugh dibawa.
Pandangan mataku tiba-tiba berubah, seolah-olah aku sedang melihat dari atas gudang. Bangunan gudang itu menjadi transparan, dan sosok-sosok manusia yang sedang bergerak bersinar dalam warna jingga.
Ada dua belas orang di dalamnya. Tiga dari mereka terbaring tak bergerak. Mungkin mereka adalah korban penculikan. Ternyata bukan hanya Lugh.
Struktur interior bangunan, posisi para korban, dan lokasi para pelaku. Aku telah memahami semuanya. Sekarang tinggal melumpuhkan para penjahat dan menyelamatkan Lugh serta para korban. Itu akan mudah jika menggunakan skill 〈Brainwash〉.
“Hugh Phnosis. Skill-mu adalah 〈Brainwash〉. Dan jumlah target maksimal skill 〈Brainwash〉 adalah dua belas orang.”
Kelemahan terbesar skill 〈Brainwash〉 adalah hanya bisa digunakan pada satu orang. Maka, aku menggunakan 〈Brainwash〉 untuk mengubah batasnya menjadi dua belas orang.
Kalau bisa kulakukan, masalah ini akan selesai seketika dengan skill itu—
“Guh!? AAAAAAAARRGGHHHHH!!!??”
Rasa sakit luar biasa seperti kepalaku hendak meledak membuatku jatuh ke tanah dan menggeliat kesakitan.
Apa ini…!?
Aku tidak tahu berapa lama rasa sakit itu berlangsung. Mungkin hanya sekitar sepuluh detik, tapi terasa jauh lebih lama. Saat rasa sakit akhirnya mulai mereda, aku sudah basah kuyup oleh keringat dingin, dan napasku megap-megap seperti habis berlari maraton.
Butuh hampir tiga menit sampai aku bisa bernapas dengan tenang dan pikiranku jernih kembali.
…Sial, kupikir aku akan mati!
Penyebabnya hampir pasti karena aku mencoba memperluas jumlah target skill 〈Brainwash〉.
Tampaknya Tuhan tidak membiarkan akal-akalan semacam itu. Padahal aku tidak berniat menyalahgunakannya, jadi tolong sedikit maklum, dong…!
Kupikir akan mudah mengatasi mereka semua dengan sekali “brainwash”, tapi dunia ini tidak semudah itu. Aku tidak akan pernah lagi mencoba menulis ulang efek skill 〈Brainwash〉 dengan 〈Brainwash〉. Rasa sakitnya lebih buruk daripada mati.
“Jangan-jangan, selama aku menggeliat tadi, Lugh sudah dibawa pergi...!?”
Aku kembali menulis ulang skill ke 〈Clairvoyance〉 dan memeriksa kondisi di dalam gudang. Jumlah orang masih sama, tapi tiga pelaku sudah berkumpul di dekat para korban.
Kalau mereka punya akal sehat, mereka takkan menyakiti “barang dagangan”. Tapi jika mereka benar-benar waras, mereka takkan melakukan perdagangan manusia di kerajaan Ries, tempat perbudakan dilarang.
Aku harus cepat.
Dengan pertimbangan bahwa ruangannya sempit, menggunakan 〈Pyrokinesis〉 akan terlalu berisiko. Bisa saja malah membakar gudang atau bahkan Lugh.
…Lagipula, aku tak ingin membunuh siapa pun.
Perdagangan manusia adalah kejahatan berat yang setara dengan hukuman mati. Di dunia ini, mungkin takkan jadi masalah jika membunuh para pelaku untuk menyelamatkan korban. Tapi karena aku masih membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya, aku tidak bisa menghapus nilai-nilai moral dari dunia lama itu.
Jadi aku akan menangkap mereka tanpa membunuh. Karena medan tempurnya sempit, lebih baik menggunakan skill bela diri.
...Tapi, dari sembilan orang pelaku yang tersisa, enam dari mereka sedang berjaga secara terpisah. Aku harus mulai dengan melumpuhkan mereka tanpa terdeteksi. Artinya aku butuh skill untuk menyelinap dan menyerang diam-diam.
Dan aku tahu skill yang tepat untuk itu.
“Hugh Phnosis. Skill-mu adalah 〈Ninja〉.”
Klik—ada sensasi berpindah dalam kepalaku. Saat memeriksa status, skill berhasil tertulis sebagai:
Hugh Phnosis
Skill: 〈Ninja Lv. Max〉 – “Memungkinkan segala bentuk aksi penyusupan.”
Deskripsinya singkat, tapi justru karena itu terasa kuat. Seperti skill kelas “Profesi”, skill 〈Ninja〉 juga mencakup banyak skill dalam satu paket.
Dengan skill 〈Silent Step〉 dan 〈Concealment〉, aku mendekat ke gudang tanpa suara, lalu melompat masuk lewat jendela lantai dua menggunakan tubuh yang diperkuat.
Penjaga pertama yang kutemui tak sempat menyadari keberadaanku sebelum pukulanku menghantam ulu hatinya dan membuatnya pingsan.
Satu orang selesai. Dengan indra pendengaran dan penciuman yang ditingkatkan oleh 〈Ninja〉, aku tahu persis di mana posisi semua musuh.
Tiga penjaga lain di lantai dua berjaga di sisi timur, barat, dan selatan. Fokus mereka tertuju ke luar jendela. Maka menyelinap dari belakang dan melumpuhkan mereka adalah perkara mudah.
Tersisa lima orang di lantai satu. Tiga dari mereka dekat dengan para korban, dua lainnya berpatroli di luar.
Aku melompat turun dari jendela dan mendarat tepat di atas satu orang penjaga yang sedang lewat. Setelah itu, aku bersembunyi di balik dinding, menunggu penjaga satunya, lalu menjatuhkannya dengan telapak tangan ke dagu.
Tampaknya 〈Ninja〉 juga memperkuat bela diri. Itu membuatku bisa mengalahkan mereka dengan lancar.
Tinggal tiga orang lagi.
Aku menyelinap kembali ke lantai dua dan menuruni tangga ke lantai satu. Mendekat ke ruangan tempat para korban berada sambil menghilangkan kehadiran, aku mendengar suara para pria berbincang.
“Lihat wajahnya, itu pasti cewek.”
“Nggak, bajunya jelas-jelas cowok.”
“Mungkin dia cuma menyamar jadi cowok?”
“Ngapain repot-repot nyamar begitu?”
“Mana gue tahu!”
Kelihatannya mereka sedang berdebat apakah Lugh itu laki-laki atau perempuan...
Kulihat ke dalam ruangan yang remang-remang. Dua orang sedang berdebat, satu orang lainnya duduk di kursi sambil menajamkan pisau.
Lugh terbaring di lantai dekat kaki mereka. Dari suara napasnya yang kudengar dengan bantuan skill, sepertinya dia hanya tertidur. Korban lainnya juga tampak tertidur. Mungkin mereka diberi obat.
“Bising banget sih. Udah, buka aja bajunya, beres.”
Pria yang sedang mengasah pisau berdiri dan berjalan mendekat ke arah Lugh, tampaknya hendak merobek pakaiannya dengan pisau itu.
“Jangan harap bisa...!”
Dengan tubuh yang ditingkatkan oleh skill, aku menyerbu ke arah pria itu dan menendang kepalanya sekuat tenaga. Pria itu terpental dan menghantam dinding, langsung tak sadarkan diri.
“Apa-apaan kau!?”
“Dari mana dia masuk!?”
Dua orang yang tersisa mencabut pedang dari sarungnya. Aku melemparkan guci ke arah mereka dan segera menyembunyikan diri di balik bayangan sambil menghilangkan kehadiranku.
“Apa-apaan──Hah!? Dia menghilang!?”
“Kemana dia pergi!?”
Mereka orang dewasa. Wajar jika mereka juga memiliki skill. Mereka juga cukup nekat untuk melakukan perdagangan manusia, jadi kemungkinan mereka punya pengalaman tempur yang memadai.
Meski skill 〈Ninja〉 kuat, tetap berbahaya jika bertarung secara frontal.
“Bangsat, keluar dari tempat persembunyianmu──gueeh!?”
Pertama, satu orang. Dalam sekejap, aku menerjang ke arah pria itu, menyelinap ke bawah lengannya, lalu menghantam dagunya dengan telapak tangan.
Tubuhnya terangkat dan jatuh menghantam lantai, pingsan. Satunya lagi menoleh karena suara itu, tapi aku langsung masuk ke titik butanya dan menyerangnya dari belakang.
“Apa-apaan ini──uh!?”
Dengan satu tebasan tangan ke arteri lehernya, tubuh pria itu roboh tanpa daya.
Sudah selesai…? Dengan indra pendengaran yang ditingkatkan, kupastikan semua pelaku telah tak sadarkan diri. Tak ada suara dari rekannya yang lain.
Setelah memastikan keadaan aman, aku berlari ke arah Lugh yang tergeletak.
“Lugh! Hei, sadar!”
“Uu... Ini di mana...?”
Ketika kuangkat tubuhnya dan mengguncangnya pelan, Lugh perlahan membuka matanya.
“Hugh...? Eh, aku ketiduran...?”
“Ya, kamu tidur nyenyak. Selamat pagi, Lugh.”
“Ah… iya, selamat pagi, Hugh.”
Lugh masih tampak mengantuk dan belum sepenuhnya memahami situasinya. Jawabannya yang santai itu membuatku tak bisa menahan tawa.
Aku benar-benar lega dia selamat.
Setelah kesadarannya benar-benar pulih, aku meminta Lugh untuk pergi ke pos penjagaan di distrik pelabuhan. Sementara dia pergi memanggil para penjaga, aku mengikat para pelaku dan mengumpulkan mereka di satu tempat. Aku juga tidak lupa menyumpal mulut mereka dengan kain agar mereka tidak bisa menggunakan skill.
Korban lainnya adalah seorang gadis kecil berusia sekitar enam tahun dan seorang perempuan muda yang sepertinya ibunya.
Dari pakaian mereka, kemungkinan besar mereka rakyat biasa. Mungkin mereka diculik dari toko pakaian tadi, atau bisa jadi ada tempat lain yang digunakan sebagai tempat penculikan. Mereka hanya tertidur dan tidak tampak memiliki luka serius.
Karena aku merasa tidak enak membiarkan mereka berbaring di lantai yang kotor, aku mengumpulkan kain dari sekitar dan membuat ranjang darurat di atas meja terdekat. Saat aku membaringkan ibu dan anak itu di sana dan menunggu beberapa saat, Lugh kembali bersama para penjaga.
Para pelaku kejahatan semuanya dibawa oleh para penjaga, dan sang ibu beserta anaknya berhasil diselamatkan dengan selamat.
Aku dan Lugh ikut ke pos penjagaan untuk memberikan keterangan, tetapi setelah mereka tahu bahwa kami sedang mengikuti ujian masuk Akademi Kerajaan, mereka bilang keterangan kami bisa diambil nanti dan justru mengantar kami ke akademi dengan kereta kuda.
Para pelaku masih hidup dan bisa diinterogasi, lalu ada bukti yang cukup kuat seperti markas rahasia dan ruangan tersembunyi di toko pakaian, jadi keterangan dari kami tidak terlalu penting.
Mereka lebih khawatir jika para peserta ujian Akademi Kerajaan ditahan terlalu lama, meskipun hanya pemeriksaan sukarela.
Lugh sempat bilang, di masa lalu pernah ada kasus di mana seseorang memalsukan kejahatan untuk membuat saingan mereka ditahan oleh penjaga, lalu berharap bisa lolos seleksi sebagai cadangan.
Dunia ini benar-benar rumit.
Kereta yang kami tumpangi melaju menyusuri jalanan ibu kota yang disinari cahaya matahari sore. Saat kami tiba di Akademi Kerajaan, mungkin pengumuman hasil ujian sudah dimulai.
Tapi hari ini benar-benar hari yang luar biasa sibuk...
Pagi tadi aku baru tiba di ibu kota, langsung bergegas ikut ujian masuk Akademi Kerajaan, bertemu dengan Lecty yang sedang diganggu anak bangsawan, dan berkenalan dengan Lily.
Lalu akrab dengan Lugh, dan ketika ujian selesai, tiba-tiba dia diculik...
Sepanjang hidupku, bahkan jika dihitung dengan kehidupan sebelumnya, belum pernah ada hari yang begitu padat dan menegangkan.
Saat aku melamun menatap pemandangan dari jendela, tiba-tiba tangan kananku terasa dingin. Saat kulihat, jari-jari halus Lugh menyentuh punggung tanganku.
Lugh memejamkan mata erat-erat dan bersandar padaku seolah-olah ingin mencari perlindungan.
“Ada apa?”
“...Umm, gini... Baru sekarang aku mulai tenang dan bisa berpikir jernih. Rasanya baru sadar kalau aku benar-benar sudah diculik…”
Mana mungkin aku bisa mengatakan “baru sadar sekarang?” Lagipula, aku sendiri yang memberinya peran untuk pergi ke pos penjagaan sesaat setelah dia bangun. Dengan begitu, aku membuatnya tak punya waktu untuk menyadari ketakutannya.
“Maaf ya, Hugh. Aku tahu aneh kalau cowok nempel-nempel kayak gini, tapi… aku benar-benar takut…”
Tubuh Lugh sedikit gemetar.
Matanya yang biru gelap tampak berkaca-kaca, menatapku seolah-olah sedang memohon sesuatu.
“...Yah, itu gak aneh kok. Kalau ketakutan, siapa pun pasti ingin menempel pada seseorang. Cowok juga.”
“Beneran...? Kalau Hugh takut, juga pengen nempel ke orang...?”
“Iya. Makanya, kalau suatu saat aku ketakutan, biarkan aku nempel ke kamu ya. Kalau kamu gak keberatan, tentu saja.”
“...Iya! Aku gak keberatan kok, apalagi kalau itu Hugh. Hugh juga gak keberatan kan, kalau aku nempel...?”
“Enggak, aku gak keberatan.”
Saat aku sedikit mengangkat lenganku, Lugh langsung memeluknya erat. Pelukan yang lembut namun terasa nyata. Aku bisa merasakan detak jantungnya dengan jelas.
“...Makasih ya, Hugh. Udah datang nyelamatin aku.”
“Itu sudah pasti. Kita kan teman.”
“Teman…?”
“Eh? Bukan...!?”
Kalau iya, itu cukup bikin syok, sih...
Memang kami baru kenal belum sampai setengah hari, tapi kami sudah ikut ujian bersama dan belanja bareng. Menurut standarku, itu sudah lebih dari cukup untuk jadi teman.
“Enggak, enggak! Kita teman! …Tapi, aku ke Hugh tuh...”
Lugh berbisik pelan, seolah sengaja agar aku tak mendengarnya.
Ngomong-ngomong, aku lupa mengubah skill-ku dari 〈Ninja〉. Pendengaranku yang sudah diperkuat malah menangkap semua kata-katanya dengan jelas—
“...Aku ingin Hugh jadi ksatria milikku sendiri…”
Di kehidupan ini, aku berniat menjalani hidup santai yang tak bisa kudapatkan di kehidupan sebelumnya.
Tapi… hanya sedikit saja.
Kalau misalnya, aku menghabiskan hidupku untuk mengabdi pada seorang putri… mungkin itu tidak seburuk yang kubayangkan.
Yah, cuma pikiran sesaat saja. Aku tetap lebih suka hidup santai yang tenang. Tapi kalau hidup santai itu ada putrinya juga… ya, lebih baik lagi.
Kami mulai mendekati Akademi Kerajaan, dan kereta perlahan melambat.
Saat kami turun dari kereta di depan akademi dan mengucapkan terima kasih pada para penjaga, pengumuman hasil ujian baru saja dimulai di depan gedung.
Suara sorakan gembira, jeritan kecewa, bahkan makian terdengar dari berbagai arah.
Sejujurnya, aku malas ke sana… tapi mau tak mau, aku harus melihatnya juga.
Aku dan Lugh menyusuri kerumunan menuju papan pengumuman, mencari nama kami di daftar siswa yang lulus.
Berkat pengaruh dari skill 〈Ninja〉, mungkin penglihatanku juga ikut meningkat, karena aku langsung menemukan namaku. Syukurlah, sepertinya aku berhasil lulus dengan selamat.
“Ada! Namaku ada! Nama Hugh juga ada nggak!?”
“Ada. Seperti yang kamu bilang tadi.”
Kami menjauh dari papan pengumuman dan saling berhadapan.
“Kita berhasil, Hugh! Selamat ya, lulus ujian!”
“Selamat juga, Lugh. Senang bisa bareng kamu ke depannya.”
“Iya!”
Kami saling mengucapkan selamat atas kelulusan ini, lalu mengikuti arahan menuju ruang kelas tempat para siswa yang lulus dikumpulkan.
Lucu juga, pagi tadi aku masih berpikir ingin cepat-cepat gagal ujian lalu pulang ke wilayahku.
Tapi sekarang… aku tidak sabar menantikan tiga tahun kehidupan sekolahku bersama Lugh.
Pada saat yang hampir bersamaan dengan Hugh dan Lugh yang sedang melihat pengumuman kelulusan di Akademi Kerajaan, seorang ksatria yang dikirim dari istana kerajaan tiba di markas organisasi perdagangan manusia yang ditemukan di distrik pelabuhan.
Pria kurus paruh baya yang turun dari kereta itu mengenakan baju zirah dan mantel putih dengan garis biru. Rambut cokelat tuanya berantakan, dan wajahnya ditumbuhi janggut yang tampak tidak terurus.
Meski berjalan membungkuk sambil menguap lebar, para penjaga dan ksatria lain yang lebih dulu dikirim ke lokasi itu berhenti dan memberi hormat saat berselisih dengannya.
“Terima kasih atas kerja kerasnya!”
“Yah, kerja bagus juga kalian.”
Balasan sang pria terdengar santai, hanya mengangkat tangan kiri sambil mengucapkan kata-kata apresiasi. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak terganggu akan sikapnya. Justru, beberapa penjaga malah terlihat senang hanya karena mendapat perhatian darinya.
“Itu dia… wakil komandan Ksatria Kerajaan…!”
“Roan Ashblade, pengguna skill !”
Roan menghela napas mendengar bisikan para penjaga di belakangnya.
(“Hah… karena inilah aku benci kerja lapangan...”)
Entah sejak kapan para ksatria muda dan penjaga mulai memandangnya berbeda.
Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak ia bergabung dengan ksatria kerajaan. Meski Kerajaan Leas hidup dalam masa damai, bukan berarti ksatria tidak pernah bertempur.
Mereka mungkin tidak terjun ke medan perang, tapi pembasmian monster, perampok, dan kelompok kriminal adalah makanan sehari-hari. Roan selalu berada di garis depan sebagai seorang ksatria.
Di awal masa pengabdiannya, ia diperlakukan dengan hangat. Saat menjadi ksatria menengah, ia mendapat kepercayaan. Dan kini, sebagai veteran, ia mulai dihormati.
Ia pun teringat masa mudanya ketika masih mengagumi komandan dan wakil komandan kala itu.
(“Aku juga sudah tua, ya… Ingin rasanya pensiun seperti para komandan dulu dan menjalani hari tua bersama istri dan anak... …Yah, walaupun aku belum menikah sih.”)
“Haaah…”
Dengan helaan napas panjang, Roan melangkah masuk ke gudang yang menjadi markas perdagangan manusia. Di dalam, seorang ksatria muda perempuan yang rambut ungunya diikat ke samping, menghampirinya dengan cepat.
Dengan wajah yang masih menyimpan kesan kekanak-kanakan, ia berhenti dengan sigap dan memberi hormat dengan mengangkat siku kanannya lurus ke pelipis.
“Terima kasih atas kedatangannya, Master!”
“Oi, siapa yang kau panggil master. Alyssa, sudah kukatakan berkali-kali, hentikan panggilan itu. Bisa bikin orang salah paham.”
“Maaf, Master!”
“Kalau memang merasa bersalah, setidaknya ganti panggilanmu itu… astaga.”
Roan menghela napas lagi dan menggumam, “Sudahlah,” dengan nada lelah.
Alyssa Swift adalah kenalan lama Roan, bahkan sebelum ia menjadi ksatria. Sejak diselamatkan Roan dalam sebuah insiden, ia terus memanggilnya “Master”.
Memang secara teknis tidak salah karena skill Roan adalah , tapi tetap saja… dipanggil “Master” oleh gadis muda belum menikah sangat tidak enak dilihat orang.
Masalahnya, banyak yang salah paham seolah-olah Roan sengaja menyuruh Alyssa memanggilnya seperti itu, padahal sudah berkali-kali ditegur pun gadis itu tetap keras kepala.
Itulah sebabnya akhir-akhir ini Roan lebih memilih menunggu di markas istana dan membiarkan Alyssa mengurus kerja lapangan.
“Tak kusangka pelaku hilangnya orang-orang di ibu kota ternyata bisa ditaklukkan oleh seorang siswa,” gumam Roan.
“Secara teknis sih, dia masih calon siswa yang ikut ujian masuk akademi,” jawab Alyssa.
“Oh, iya, hari ini memang hari ujian masuk. Jangan-jangan mereka ditahan?”
“Tenang saja, para penjaga sudah mengantarnya kembali ke akademi.”
“Kalau begitu baguslah. Kalau bisa mengalahkan sekelompok penjahat sendirian seperti ini, tak mungkin dia gagal. Pemeriksaan bisa dilakukan nanti.”
“Apa Master yang akan menanyainya langsung?”
“Entahlah. Tapi aku ingin melihat wajahnya paling tidak.”
Roan memang penasaran dengan pemuda yang berhasil melumpuhkan sekelompok kriminal tanpa membunuh satu pun dari mereka. Namun secara struktur, urusan kriminal di wilayah ibu kota adalah tanggung jawab para penjaga. Tidak sopan jika ksatria kerajaan ikut campur.
Namun, itu kalau kasusnya biasa saja. Kali ini, istana sampai mengirim ksatria secara langsung, bahkan Roan sebagai wakil komandan pun turun tangan. Artinya, ini bukan kasus biasa.
“Ada jejak keterkaitan?”
“Ada beberapa dokumen yang mencurigakan. Masih samar, tapi…”
“Harus ditelusuri.”
Jika kasus ini berhubungan dengan kondisi politik ibu kota, atau bahkan seluruh Kerajaan Leas, maka penanganannya akan dialihkan dari penjaga ke Ksatria Kerajaan. Ksatria mulai mencurigai keterlibatan negara lain, atau mungkin konflik perebutan takhta kerajaan dalam serangkaian kasus hilangnya orang-orang.
Hasil penyelidikan awal Alyssa juga menunjukkan kemungkinan adanya kaitan.
“Lalu, ini daftar para korban.”
Setelah membaca daftar yang diberikan Alyssa, mata Roan membelalak ketika melihat satu nama.
“Ini… kebetulan saja, atau…”
“Menurut para penjaga yang diperiksa, sepertinya benar-benar kebetulan.”
“Meski begitu… sebaiknya tetap kita laporkan pada Yang Mulia.”
Post a Comment