Penerjemah: Nobu
Proffreader: Nobu
Chapter 1
“Penyesalan dalam Cinta”
♣♣♣
Liburan musim dingin.
Bagi pelajar, liburan itu adalah oase sesaat.
Liburan kali ini terasa lebih pendek dibanding liburan musim panas. Meskipun singkat, tumpukan tugas yang harus diselesaikan membuat liburan ini lebih terasa seperti les tambahan daripada liburan sungguhan.
Mulai dari pekerjaan rumah, persiapan akhir tahun seperti bersih-bersih besar, hingga waktu membosankan yang dihabiskan di rumah kakek-nenek setelah tahun baru, atau kunjungan ke kerabat yang menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Rumah kami juga cukup sibuk. Karyawan paruh waktu di minimarket libur saat tahun baru, jadi sekitar waktu ini, hampir semua shift harus dijalankan oleh anggota keluarga saja.
Seharusnya kami bisa libur saja karena ini bisnis pribadi... tapi katanya, penjualan saat ini lumayan besar karena banyak pendatang yang pulang kampung membeli oleh-oleh khas daerah dan sake lokal. Kebolehan strategi bisnis ibuku sungguh terlihat.
...Mengapa bakat itu tidak menurun padaku? Eh? Jangan-jangan benar aku ini dipungut dari bawah jembatan?
Bagaimanapun, itulah liburan musim dingin yang singkat dan sibuk bagi para pelajar.
Entah mengapa, seorang kenalan murid SMP sedang minum teh di ruang tamu rumahku.
...Sial. Aku membiarkan dia masuk begitu saja, terlalu terkejut dengan situasi tak terduga ini.
Tidak, kalau Shiroyama-san sih sebenarnya boleh-boleh saja masuk rumah. Mengusirnya di depan pintu juga tidak enak.
Tapi, bagaimana ini?
Kemarin, karena ada insiden dengan Himari, perasaanku belum berubah, jadi situasinya sedikit canggung. Lagipula, sebentar lagi waktunya shift, jadi kalau ada urusan, harus cepat-cepat. Ngomong-ngomong, "Aku datang untuk magang sambil tinggal di sini!" itu apa maksudnya? Bagaimana ini... hmm?
Ngomong-ngomong, sepertinya tadi malam Saku-neesan bilang sesuatu....
"Ah. Jangan-jangan, karyawan paruh waktu baru yang mulai hari ini itu Shiroyama-san?"
Dia bilang ada seorang gadis seusia denganku yang akan bekerja paruh waktu jangka pendek selama liburan musim dingin.
Kalau begitu, semuanya masuk akal. Mungkin saat festival budaya, dia bertukar kontak dengan Himari atau Saku-neesan. Lalu, karena ingin uang saku, dia melamar pekerjaan paruh waktu.... Saat aku sedang meyakinkan diri dengan argumenku sendiri,
"Eh? Maksudnya apa, ya?"
Ternyata salah.
Dia bertanya balik dengan polos. Sepertinya aku tidak bisa menjadi detektif terkenal. Padahal aku cukup percaya diri, jadi ini memalukan sekali.
"Kalau begitu, kenapa kamu ada di rumahku...?"
"Karena liburan musim dingin, aku datang untuk magang sambil tinggal di sini!"
Ya, tadi juga sudah kudengar.
Aku pernah berpikir hal yang sama pada Enomoto-san saat kami baru bertemu lagi, tapi apakah anak ini juga warga desa dalam game? Apa dia terkena kutukan yang hanya bisa mengucapkan kata-kata tertentu?
Dengan senyum yang sangat indah, Shiroyama-san menungguku menjawab. Jadi, aku bertanya lebih detail.
"...Magang apa?"
"Tentu saja membuat aksesori!"
"Ah, begitu. Yah, memang begitu. Itu aku mengerti... tapi tunggu?"
Kalau dipikir-pikir, bukankah Shiroyama-san mengira "you" itu adalah Himari? Tidak, mustahil dia masih percaya kebohongan seperti itu.
"Kenapa kamu berpikir aku membuat aksesori...?"
"Tadi Himari-senpai yang memberitahuku!"
Oh, begitu... Eh?
"Himari?"
"Iya! Sebenarnya, tadi aku pergi ke rumah Himari-senpai!"
"...Ah, begitu rupanya."
Jadi, begini ceritanya:
Shirayama-san masih salah paham, mengira Himari adalah "you".
Dia sepertinya mendatangi rumah Himari pagi-pagi sekali dengan maksud untuk mengadakan kamp pelatihan intensif (?). Di sanalah dia mendengar kebenarannya, lalu beralih ke rumahku. Memulai pelatihan di hari Natal, anak ini benar-benar energik dalam berbagai hal.
Shiroyama-san mengeluarkan banyak hiasan Natal yang terbuat dari kain dari ranselnya. Lalu, dia tersenyum tipis dengan ekspresi melankolis.
"Aku sudah membuat banyak hiasan karena aku pikir kita akan mengadakan pesta Natal bersama, tapi..."
"Uh..."
"Ternyata benar, ya, ada pasangan yang putus saat Natal..."
"Aku turut menyesal..."
Sepertinya dia juga sudah mendengar keributan antara aku dan Himari semalam.
Meskipun ini bukan hal yang perlu diberitahukan sebelumnya, sepertinya aku sudah membuatnya membuang-buang tenaga...
"Shiroyama-san. Aku mengerti alurnya. Tapi, untuk 'kamp pelatihan intensif' itu... tolong tunggu dulu."
"Tidak boleh?"
"Yah, ini kan mendadak. Lagipula, aku juga belum sepenuhnya bisa menerima kejadian kemarin. Aku harus memikirkan kebijakan operasional ke depannya, jadi tentu saja..."
"Gahh!"
Anak ini, dia bilang "Gahh!" lagi...
"Aku juga setuju kalau kamu ingin meningkatkan keahlian membuat aksesori. Punya tujuan itu bagus, dan bagiku itu jadi penyemangat juga. Jadi, kita bisa mulai di lain hari saja..."
"Eeeh! Tidak mau! Aku mau mulai hari ini!"
"Meskipun kamu bilang begitu..."
Dia gigih sekali!
Ada apa? Mengapa dia begitu ingin magang membuat aksesori? ...Ngomong-ngomong, dia kan memang anak yang datang ke festival budaya karena mengagumi "you."
"Ngomong-ngomong, Shiroyama-san, kamu kan kelas tiga SMP? Bukannya tahun ini kamu harus ikut ujian masuk...?"
"Sudah selesai, kok. Aku sudah diterima di SMA yang sama dengan senpai dan yang lain sekalian lewat jalur rekomendasi."
"Serius...?!"
Ini, sepertinya...
Kecurigaan bahwa hanya aku yang lemah dalam pelajaran, makin kuat saja...
Ngomong-ngomong, bagaimana ya dengan ujian dan tesku mulai kelas tiga nanti? Sekarang sih, aku masih bisa bertahan dengan Bimbingan Belajar Hibari-san yang dulu, tapi sepertinya kecil kemungkinan ingatanku akan bertahan sampai sejauh itu.
"Kumohon! Aku akan melakukan apa saja, membersihkan, mencuci, apa pun itu!"
"Kenapa kamu ngotot sekali ingin magang dan tinggal di sini?"
"Entah kenapa, kelihatannya seru dan seperti pelatihan sungguhan!"
"Itu niat aslimu, ya."
Ternyata anak ini tidak memikirkan apa-apa.
Orang yang hidup dengan gairah seperti ini, tidak akan mendengarkan argumen logis. Aku tahu itu. Karena aku juga termasuk tipe yang seperti itu...
Saat aku sedang bimbang memikirkan apa yang harus dilakukan... Saku-neesan, yang sepertinya mendengar keributan, turun dari lantai dua dan mengintip ke ruang tamu.
"Adik bodoh. Apa yang kamu ributkan pagi-pagi begini? Kalau sudah selesai bersiap, cepat ke minimarket..."
Lalu, matanya tertuju pada Shiroyama-san, dan wajahnya langsung menunjukkan ekspresi sangat tidak suka.
"...Kamu. Setelah putus dengan Himari-chan, besok paginya sudah membawa gadis lain, berani juga kamu. Berdirilah di sana. Aku akan memenggal kepalamu."
"Jelas-jelas ini beda, kan?!"
Tolong, jangan ambil pisau di dapur!
Setelah aku menjelaskan situasinya, Saku-neesan menghela napas.
"Haaah. Oh iya, ada anak seperti ini di festival budaya waktu itu. Adik bodoh, seenaknya saja mencuci otak gadis lugu untuk bermain murid dan guru."
"Caramu bicara. Pasti kamu masih kesal karena dibangunkan pagi-pagi, kan?"
"Kamu tahu saja. Ah, sakit kepala karena hangover..."
"Berapa banyak yang kamu minum semalam...?"
Minum-minum sendirian sampai mabuk di malam Natal, Saku-neesan kamu ini kasihan sekali... Eh, tapi aku juga tidak bisa banyak bicara. Mungkin ini masalah keturunan, ya. Syukurlah. Berarti aku memang bukan anak pungut dari bawah jembatan...
Saku-neesan itu kemudian menarik-narik twin-tail Shiroyama-san sambil bermain. ...Shiroyama-san membiarkannya saja sambil tersenyum, seperti anjing kecil yang patuh.
"Yah, tidak apa-apa, kurasa. Ini akan jadi rangsangan yang bagus untuk adik bodohku, kan?"
"Saku-neesan, kenapa kamu lemah sekali terhadap gadis manis? Dulu waktu Enomoto-san mau datang untuk belajar, kamu mati-matian mencegahnya..."
"Itu karena kamu saja yang ribut sendiri. Aku sih sebenarnya tidak masalah kalau dia menginap. Lagipula, kamu tidak punya nyali untuk menyentuhnya."
"Saku-neesan..."
Aku memang tidak bisa membantahnya, sih.
Wanita ini, dia memang sudah punya niat untuk mengelilingi dirinya dengan gadis-gadis manis dengan dalih kelompok belajar...
"Lagipula, Mei-chan, kamu tidak menganggap adik bodohku ini sebagai laki-laki, kan?"
"Saku-neesan? Apa yang ingin kamu suruh anak SMP ini katakan?"
"Tidak apa-apa, tidak akan rugi kok. Kamu juga penasaran, kan? Soalnya dari Himari-chan atau Rion-chan, kamu tidak bisa mendengar isi hati mereka."
"Apa maksudmu?!"
Aku memang tidak terlalu percaya diri dengan wajahku, tapi perkataan itu benar-benar menusuk.
Kemudian Shiroyama-san, yang didesak untuk menjawab, memiringkan kepalanya dengan senyum yang sangat polos.
"Kalau Senpai benar-benar memohon, boleh saja, kok?"
Ah, ini sih kontrak budak namanya...
Tidak, aku tidak sedih kok. Shiroyama-san hanya menghormati "you" sebagai senior dalam pembuatan aksesori. Lagipula, dia lebih banyak terpesona oleh kepribadian Himari. Jadi, apakah aku menarik sebagai seorang pria atau tidak, itu bukan masalah. Makanya, apa pun yang dikatakan, aku tidak sedih. Sungguh.
(Yah, kalau Saku-neesan bilang boleh, tidak masalah juga sih...)
Mengingat kejadian kemarin, aku tahu kalau sendirian hanya akan membuatku makin murung. Aku juga memang ingin mengalihkan perhatian. Shiroyama-san sangat antusias dalam membuat aksesori, dan itu mungkin bisa jadi pengalih perhatian yang baik bagiku.
(...Tapi, entah kenapa, dari tadi ada yang janggal)
Rasanya terlalu sempurna, atau bagaimana. Selain karena aku tidak ingin berpikir macam-macam, alurnya terlalu mulus sampai terasa mencurigakan. Rasanya seperti aku terlalu mudah terbawa oleh Shiroyama-san.
...Saat aku sedang memikirkan itu, Saku-neesan berkata:
"Meskipun begitu, dia kan seorang gadis. Kita harus menghubungi orang tuanya. Aku akan menelepon sebentar, jadi nomor rumahnya..."
"...!?"
Oh?
Entah mengapa Shiroyama-san gemetar seolah berkata "Giku!".
Tentu saja, Saku-neesan juga menyadarinya. Kami berdua menatapnya dengan tatapan curiga.
"...Shiroyama-san?"
"Ah, tidak! Tidak perlu menghubungi rumahku! Aku sudah bilang pada kakakku! Aku sudah dapat izin! Kurasa tidak perlu telepon karena toko sibuk!"
...Entah kenapa, dia tiba-tiba jadi gelagapan.
Matanya bergerak ke sana kemari, dan keringat bercucuran. Sungguh anjing kecil yang patuh. Sepertinya dia memang tidak bisa berbohong...
"Shiroyama-san. Aku ingin kamu mengatakan yang sebenarnya. Apa tujuanmu?"
"T-tidak ada kebenaran apa-apa...?"
Kenapa dia bertanya, ya?
Ini makin mencurigakan. Lagipula, tiba-tiba datang untuk magang sambil tinggal di sini saat Natal, kalau dipikir-pikir lagi, itu sama sekali tidak normal. Kemampuan berpikirku menurun, ya...
Tapi, bagaimana menghadapi situasi ini? Dari gelagat Shiroyama-san, sepertinya dia tidak akan mau bicara... Ah!
"Ngomong-ngomong, setelah festival budaya, aku melihat Instagram toko kerajinan tangan yang dikelola kakakmu. Ada kontak di sana..."
"Aaaah! Maafkan aku! Kumohon, jangan hubungi kakakku!"
Akhirnya dia menyerah.
Sepertinya magang sambil tinggal di sini hanyalah dalih. Shiroyama-san akhirnya mengakui dan menceritakan alasannya.
Dan, menurut ceritanya...
"Kamu kabur dari rumah?"
"...Iya."
Aku memijat pelipisku.
Kurang tidur membuat kepalaku jadi pusing.
"Kenapa kabur dari rumah? Bertengkar dengan kakakmu?"
"Y-yah, begitulah. Kira-kira seperti itu."
"Penyebabnya?"
Shiroyama-san memalingkan muka ke arah lain dan sudut mulutnya berkedut. Sambil sedikit mengalihkan pandangannya, dia memelintir-melintir jarinya dan berkata,
"...A-aku kan sudah menantikan puding itu, tapi Kakakku memakannya."
Pasti bohong ini.
Alasan apa itu, kenapa asal sekali? Apa gadis SMP zaman sekarang kabur dari rumah karena pudingnya dimakan? Ini bukan anime era Heisei, tahu.
"Bagaimanapun, aku mengerti alasanmu datang ke rumah ini. Tapi, kenapa ke tempatku? Ah, tadinya kamu ke tempat Himari, ya?"
"I-iya..."
"Kalau teman-teman sekolahmu?"
Seketika, wajah Shiroyama-san memerah padam.
Saku-neesan, yang sepertinya menyadari sesuatu, menusuk pinggangku dengan tajam dari bawah meja!
"Guh...! "
"Kamu, kalau dipikir sedikit juga pasti mengerti, kan? Bodoh sekali adikku ini."
"Ah, benar juga... Maaf, Shiroyama-san..."
Aku memang pernah mendengar sedikit saat festival budaya, Shiroyama-san bilang dia tidak akur di sekolah. Sifatku yang sering keceplosan ini, bisakah diperbaiki, ya...?
Shiroyama-san memiliki masalah dengan teman sekelasnya di SD. Sejak saat itu, dia tidak cocok dengan lingkungan sekitarnya. Namun di tengah masa-masa itu, dia bertemu dengan Himari saat festival budaya SMP kami dan mendapatkan keberanian. Aku juga mengalami situasi serupa saat seusianya, jadi aku bisa cukup memahami perasaannya.
...Tapi, begitu rupanya. Dengan kondisi mendesak seperti itu, dia datang kepadaku. Yah, memang begitu. Jika dia punya teman sebagai tempat berlindung, dia tidak akan datang ke tempat seperti ini. Kalau begitu, penyebab pertengkarannya pasti serius.
(Tidak baik jika aku mengusirnya begitu saja...)
Namun, apakah boleh menampungnya di tempatku?
Ada Saku-neesan juga, tapi bagaimanapun, aku ini laki-laki. Meskipun tadi secara implisit sudah dikatakan tidak mungkin. B-bukan berarti aku terluka, kok! Aku hanya mengatakannya untuk menjelaskan situasi! Kenapa jadi tsundere begini, sih...
"Ah, iya. Kalau begitu, bagaimana kalau kita coba minta tolong ke Enomoto-san? Bagaimanapun juga kalian sama-sama perempuan, jadi kurasa akan lebih nyaman."
"...Rion-senpai, entah kenapa menakutkan."
Begitu ya.
Kalau tidak salah, dia memang cukup sering mengintimidasi Shiroyama-san saat festival budaya. Sejujurnya, Enomoto-san adalah yang paling perhatian, tapi karena mereka belum lama berteman, Shiroyama-san mungkin tidak tahu.
Lagipula, hari ini adalah Natal. Meskipun tidak sesibuk kemarin, toko kue pasti sedang ramai. Aku tidak bisa membebani Shiroyama-san.
Saku-neesan menghela napas.
"Apa pun alasannya, kalau kita menampung anak orang lain, menghubungi orang tuanya adalah kewajiban. Kalau tidak mau, kami tidak bisa menampungnya di sini."
"Uh."
Shiroyama-san tersentak.
...Saku-neesan memang biasanya sembrono, tapi dalam hal ini dia sangat tegas. Menyadari dia tidak bisa mengelak, Shirayama-san akhirnya menerimanya.
"B-baiklah..."
Apakah dia benar-benar tidak ingin pulang ke rumah?
Shirayama-san memang anak yang baik, tapi wajar saja jika dia bertengkar dengan keluarganya. Aku juga sangat mengerti itu. Pada hari-hari saat Saku-neesan marah kepadaku, aku juga benar-benar tidak ingin pulang. Yah, yang bisa kujadikan tempat berlindung paling-paling hanya rumah Himari... tapi kalau terlalu sering mengandalkannya, aku bisa benar-benar dijadikan adik ipar...
Saku-neesan mengangguk, lalu meninggalkan ruang tamu untuk menelepon rumah Shiroyama-san.
"Shiroyama-san, kamu tidak perlu khawatir lagi. Serahkan saja pada Saku-neesan."
"Iya. Maafkan aku..."
Shiroyama-san langsung lesu.
Sepertinya dia menyesal karena sudah berbohong.
"Sementara ini, kamu bisa memakai kamar kosong di rumahku. Itu kamar kakak-kakakku yang sudah menikah dan pindah. Kami memang sengaja menyiapkannya untuk tamu agar bisa dipakai kapan saja. Kalau mau belajar membuat aksesori, meja dan lain-lain juga bisa kamu gunakan dengan bebas."
"Terima kasih!"
Dia tampak sedikit bersemangat lagi.
Shirayama-san berkata dengan antusias, "Mufufu!"
"Aku akan berusaha keras membantu bersih-bersih rumah dan lain-lain! Aku juga sudah menyiapkan sesuatu yang Yuu-senpai pasti suka!"
"H-heh. Aku akan menantikannya..."
Apa ya, kira-kira yang aku suka? Aku cuma merasa akan ada masalah saja.
Yah, aku yakin Saku-neesan tidak akan berbuat kasar. Dia kan suka sekali gadis manis.
...Setelah urusan Shiroyama-san beres.
Aku sedikit gelisah dan akhirnya memulai topik yang sejak tadi menggangguku.
"Ngomong-ngomong, Shiroyama-san,"
"Ada apa?"
"Kamu tadi juga pergi ke rumah Himari, kan? Itu... bagaimana keadaannya?"
"............"
Benar sekali.
Setelah keributan semalam, bagaimana keadaan Himari yang berpisah dengan cara seperti itu? Aku sungguh sangat penasaran.
Jika Makishima menanyakannya, aku pasti akan dicaci maki, "Nahaha, dasar Natsu. Seperti biasa, kamu memang lemah!" Tidak, soalnya kalau setelah berpisah seperti itu dia bersikap biasa saja, aku malah ingin mati, kan...
Jantungku berdebar kencang, kali ini dalam artian yang berbeda, ketika Shiroyama-san menjawab dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Umm, Himari-senpai sih biasa saja, tapi..."
"Eh, serius?"
"Iya. Dia bilang dengan santai, 'Aku dan Yuu sudah putus. Kami tidak akan melakukan aktivitas aksesori lagi'."
"............"
Aku terduduk lemas di tempat.
Sungguh Himari, si gadis paling populer. Seolah-olah urusan putus cinta itu sudah biasa baginya. Apa cuma aku saja yang mentalnya hancur seperti ini? Sialan. Bukan berarti aku keberatan, sih. Tapi entah kenapa rasanya aku kalah dan itu membuatku kesal...
Dan Shiroyama-san menatapku dengan tatapan kasihan. Posisi kami benar-benar terbalik sekarang...
"T-t-tidak apa-apa, kok! Yuu-senpai, sejak awal memang tidak terlihat cocok dengan Himari-senpai! Tapi aku yakin kamu pasti nanti akan bertemu orang yang lebih baik! Pasti! Mungkin! K-kemungkinan besar?"
"Shiroyama-san, Shiroyama-san. Jangan berkata lebih dari itu..."
Anak ini, jangan-jangan dia sebenarnya tidak suka kepadaku?
Aku menghela napas, lalu mengetuk layar ponselku.
Dalam situasi seperti ini, apakah normal untuk menghapus ID LINE? Atau lebih baik membiarkannya? Aku terlalu minim pengalaman cinta jadi tidak tahu jawaban yang benar. Tidak, kami kan masih sekelas, jadi kalau langsung dihapus rasanya malah seperti menyindir dan itu tidak bagus...
Saat aku sedang termenung memikirkan hal-hal yang tidak penting, Saku-neesan kembali.
"Mei-chan. Aku sudah bicara dengan kakakmu, dan kami sepakat untuk menampungmu sementara... Hei, Adik Bodoh? Kenapa kamu mengering seperti itu? Mirip mumi Mesir saja?"
"Tidak apa-apa kok..."
Aku tidak bisa mengatakannya.
Kalau aku bilang pada Saku-neesan, aku pasti akan habis-habisan diejek. Saat aku terus berpura-pura menjadi mumi kering, Saku-neesan beralih ke Shiroyama-san.
"Jadi, Mei-chan. Aku sudah menghubungi kakakmu, kamu boleh tinggal di sini sampai merasa lebih baik."
"Terima kasih atas bantuannya!"
Wajah Shiroyama-san langsung berseri-seri.
Saku-neesan juga mengangguk-angguk puas. ...Tunggu? Aku pikir ini hanya untuk satu atau dua hari, tapi sepertinya mereka merencanakan untuk jangka panjang? Jangan-jangan dia akan tinggal selama liburan musim dingin?
Terlepas dari kekhawatiranku, keduanya semakin akrab.
"Mei-chan. Karena aku adalah kakak dari 'you', maka aku juga seperti kakakmu sendiri."
"Begitu, ya?!"
"Betul. Dahulu kala, hubungan guru-murid itu lebih kuat dari hubungan darah. Artinya, kalau kamu menganggap adik bodohku ini sebagai gurumu, itu berarti kamu juga menjadi adikku."
"Aku belajar banyak!"
Entah kenapa, ini mulai terasa seperti cuci otak ala Hibari-san.
Saku-neesan pasti sedang merencanakan sesuatu yang tidak-tidak. Aku tahu itu. Bagaimanapun, aku sudah jadi adiknya selama enam belas tahun.
Dan ada satu perkataan yang mengubah keraguanku menjadi keyakinan.
"Jadi, pekerjaan rumah ini otomatis juga jadi tanggung jawabmu, kan?"
"Saku-neesan? Sekarang aku tahu maksudmu! Kamu ingin membujuk Shiroyama-san agar melakukan bersih-bersih besar akhir tahun, kan?"
Saku-neesan menaruh jari di sudut matanya, pura-pura menangis.
"Kasihan sekali. Adik bodoh ini shock karena putus dengan pacarnya semalam, jadi dia tidak bisa lagi percaya pada orang lain. Mei-chan, biarkan dia sendiri dulu sekarang."
"Oh, begitu!"
Kenapa, sih? Padahal jelas-jelas aku yang seharusnya berpihak pada Shiroyama-san. Anak ini, jangan-jangan dia benar-benar tidak suka padaku?
"Saku-neesan. Memanfaatkan tempat tinggal sebagai dalih untuk menyuruhnya melakukan pekerjaan rumah, bagaimana bisa begitu...?"
"Enak saja kamu bicara. Liburan musim dingin yang berharga ini, pelajaran hidup juga diperlukan."
Mendengar dalih Saku-neesan... atau lebih tepatnya, nasihat berharga itu, Shiroyama-san menjadi bersemangat.
"Yuu-senpai! Aku akan berusaha keras!"
"Yah, kalau Shiroyama-san sendiri yang mau sih tidak apa-apa..."
Saku-neesan tersenyum penuh kemenangan.
"Begitulah. Lagipula, aku jadi bisa bersantai, kan?"
"Itu niat aslimu."
Memang dia orang yang seperti itu.
Setelah semua kesepakatan tercapai, Saku-neesan menguap lebar.
"Kalau begitu, Adik Bodoh. Cepatlah pergi ke minimarket. Sekalian beritahu Ayah tentang Mei-chan, ya."
"Eh, yang ngasih izin itu kan Saku-neesan..."
"Aku harus mengajari Mei-chan tentang pekerjaan rumah, kan? Anggap saja ini sebagai bakti kepada kakakmu, dan bekerjalah dengan giat."
"Bilang saja kamu cuma ingin menjadikan Shiroyama-san sebagai pembantu..."
Orang ini, dia memang sangat menyukai gadis-gadis cantik. Dengan ketiadaan Himari saat ini, aku bisa dengan jelas melihat bahwa dia sedang mencari gadis cantik yang baru. Yah, Himari tidak mati kok...
Dan Shiroyama-san menyemangatiku.
"Yuu-senpai! Semangat kerjanya!"
"...Oke."
Yah, tidak masalah sih...
Saat ini, aku hanya ingin terus bergerak tanpa memikirkan apa-apa. Jika aku bisa fokus pada hal lain, itu mungkin bisa jadi pengalih perhatian.
Sambil memikirkan hal itu, aku mulai bersiap-siap untuk bekerja di minimarket.
♣♣♣
Aku meninggalkan Shiroyama-san pada Saku-neesan dan menuju minimarket yang berada tepat di seberang rumah.
Setelah memastikan tidak ada mobil yang lewat di jalan depan rumah kami, aku melangkah cepat menyeberang. Minimarket itu punya tempat parkir yang luas, seperti pemandangan yang umum di pedesaan.
Ini adalah toko pribadi yang langka di zaman sekarang, dengan konsep produk lokal untuk konsumsi lokal. Ibuku, yang bertugas di bagian pemasaran, mengumpulkan berbagai produk dari daerah setempat, lalu ayahku sebagai kepala toko menjualnya.
Karena itu, di keluarga Natsume, ibu sering tidak ada di rumah. Jadi, aku akan melaporkan kehadiran Shiroyama-san ini pada ayah dulu.
...Tapi rasanya aneh juga ada anak SMP kenalan kami di rumah.
Aku kira hubunganku dengan Shiroyama-san hanya sebatas karena Himari, jadi aku tidak menyangka akan jadi begini. Yah, karena dia teman pembuat aksesori yang baru, kuharap aku bisa akrab dengannya.
Aku masuk dari pintu belakang toko, yang langsung terhubung ke ruang belakang.
Ruang belakang.
Bisa dibilang, seperti kantor kecil. Di ruangan sempit itu, terdapat loker dan meja seadanya. Di dinding, terpampang jadwal shift yang bisa diisi sesuka hati. Toko kue Enomoto-san juga punya ruangan seperti ini di belakang.
Di depan komputer, duduk seorang pria paruh baya berkacamata yang terlihat ramah. Dialah ayahku.
Ayahku menghabiskan sebagian besar waktunya di sini. Sambil menyeruput kopi kalengan paginya, ia mendongak menatapku.
"Oh, Yuu. Selamat pagi. ...Eh? Kok kamu kelihatan capek?"
"Uhm, situasinya agak rumit..."
Aku menjelaskan perihal Shiroyama-san.
Ayah kemudian tersenyum ramah.
"Haha, itu khas Sakura. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan orang tua Shiroyama-san?"
"Dia tinggal berdua dengan kakaknya, dan Saku-neesan sudah menelepon ke sana."
"Begitu, ya. Kalau begitu tidak masalah, kan? Nanti saat aku kembali untuk tidur, aku juga akan menyapanya."
"Boleh saja...?"
Meskipun ini laporan setelah kejadian, rasanya tidak semudah itu untuk menyetujuinya.
"Yah, kebetulan ini liburan musim dingin. Usianya juga sedang labil, jadi tidak baik kalau terlalu banyak melarang atau menyuruh."
Ayah memang hebat. Terbukti dari caranya mendidik ketiga kakak perempuanku yang "galak," dia bisa menangani situasi dengan santai.
Lagipula, keluarga Natsume ini didominasi kaum wanita yang berkuasa, jadi para pria jarang sekali menentang keputusan mereka. Berkat itu, aku punya semacam ikatan persahabatan yang aneh dengan ayah, dan aku tidak pernah mengalami konflik seperti ayah dan anak saat masa pemberontakan remaja.
Setelah laporan tentang Shiroyama-san selesai, ayahku mengganti topik pembicaraan.
"Yuu. Ngomong-ngomong, kamu tahu tentang karyawan paruh waktu yang baru?"
"Tadi malam Saku-neesan hanya memberitahuku secara singkat. Dia bilang aku harus jadi pembimbingnya..."
"Betul. Dia melamar untuk pekerjaan paruh waktu jangka pendek selama liburan musim dingin, jadi cukup ajari dia hal-hal dasar saja."
"Maksudnya mengoperasikan kasir, merapikan barang, dan... bersih-bersih?"
"Benar. Kami juga sudah mengatur shift-nya agar selalu ada kamu atau Ayah. ...Eh? Ngomong-ngomong, Yuu, bagaimana rencanamu selama liburan musim dingin? Apa ada janji dengan Himari-chan atau..."
Uh.
Ayah tidak tahu apa yang terjadi dengan Himari tadi malam...
"Uhm, liburan musim dingin ini aku akan fokus pada pekerjaan paruh waktu di sini. Sampai kemarin aku kan sudah bekerja di toko kue. Kalau di rumah, aku berencana fokus membuat aksesori bersama Shiroyama-san."
"Begitu. Yah, jangan sampai Himari-chan kesepian, ya. Gadis sebaik dia terlalu berharga untuk Yuu."
"............"
Terlalu lelah untuk menjelaskan tragedi kemarin, aku memilih untuk mengalirkan saja. Sudahlah, nanti sore juga Saku-neesan pasti datang dan membocorkan semuanya dengan cara yang lucu.
Sekarang, yang penting aku tidak ingin terlalu memikirkan Himari. Dalam artian ini, keributan Shiroyama-san yang kabur dari rumah mungkin datang tepat waktu.
Saat aku tenggelam dalam melankoli sendirian, ayahku bangkit dari kursinya.
"Kalau begitu, aku akan memperkenalkan karyawan paruh waktu yang baru. Dia sudah datang. Menunggu di toko."
"Oh, begitu? Aku akan segera bersiap."
Aku mengambil apron berlogo toko dari loker dan terburu-buru memakainya.
"Ayah. Karyawan paruh waktu yang baru itu anak seperti apa?"
"Dia siswi dari SMA yang sama dengan Yuu. Makanya, meskipun dia perempuan, Sakura dan aku sepakat akan lebih baik kalau Yuu yang membimbingnya."
"Oh, begitu?"
"Dia anak yang sangat sopan dan baik, jadi Yuu juga harus bersikap baik sebagai senior, ya."
"B-baiklah..."
Meski sama-sama dari SMA yang sama, bukan berarti segalanya pasti baik-baik saja...
Saat keluar dari ruang belakang, mataku tertuju pada jadwal shift di dinding.
Mera-san, ya.
Nama yang baru kulihat. Dia mungkin karyawan paruh waktu yang baru. Setidaknya, seharusnya dia bukan kenalanku...
(...Hmm?)
Mera-san... rasanya aku pernah dengar nama itu.
Apa ya? Aku ingat pernah mendengar nama ini sebelumnya. Tapi, seingatku aku tidak punya kenalan siswi kelas satu. Apalagi perempuan?
(Yah, nanti juga ketahuan setelah bertemu...)
Dengan perasaan tegang, aku mengikuti ayahku.
Ayahku kemudian menyapa seorang gadis yang sedang menunggu di depan rak majalah.
"Mera-san, maaf sudah membuatmu menunggu. Ini pemimpin paruh waktu kami sudah datang, aku akan memperkenalkannya padamu. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, jangan sungkan bertanya, ya."
Aku, yang entah sejak kapan naik pangkat jadi pemimpin paruh waktu, tidak banyak berkomentar dan langsung menyapa.
Uhm, rasanya tegang sekali. Meskipun lawan bicara lebih muda, bukan berarti jadi lebih mudah diajak bicara. Lagipula, apakah aku bisa akur dengan gadis yang baru pertama kali kutemui?
Semoga dia bukan anak yang menakutkan, ya. Yah, ayah bilang dia sopan, jadi kurasa tidak masalah...
Aduh, beranikan dirimu! Kalau cuma begini saja sudah ciut, masa depanku benar-benar suram nanti.
"Perkenalkan, aku Natsume Yuu. Sebagai pembimbing, aku akan berusah...?"
Hmm?
Aku menatap lekat-lekat gadis di depanku.
Dia adalah gadis bertubuh mungil dengan rambut middle bob yang sedikit melengkung ke luar.
Sorot matanya sedikit tajam, memberikan kesan berkemauan keras.
Dia tampak seperti tipe yang sangat memperhatikan penampilan, dan jujur saja, aku merasa dia adalah tipe orang yang tidak kusukai.
Tapi, ketika dia berbicara tentang senpai yang disukainya, ekspresinya entah kenapa menjadi kekanak-kanakan dan itu menurutku bagus... Hmmmm?
Apa-apaan tadi itu?
Ekspresinya menjadi kekanak-kanakan ketika dia berbicara tentang senpai yang disukainya?
Bagaimana aku bisa tahu hal seperti itu?
Tak peduli dengan gejolak batinku, gadis itu menoleh ke arahku.
Wajah ini, aku memang mengingatnya.
Apa, ya? Rasanya itu kenangan yang sangat kuat... Aaaah!
Gadis itu, dengan gugup, membungkuk dalam-dalam.
"Saya Mera Kamako. Mohon bantuannya—... ngh!?"
Dan dia pun, menyadari fakta yang sama denganku.
Seketika, matanya membelalak, dan keringat dingin mulai bercucuran.
"A-ah..."
"............"
Aku teringat.
Aku memang mengenal gadis ini.
Tapi, kenangan kami tidak begitu baik.
Yang kuingat adalah kejadian pada bulan Juli tahun ini.
Sebelum liburan musim panas yang penuh gejolak bersama Himari.
Hari-hari ketika angin lengket dari Hyūganada mulai menghangat, dan musim berkeringat kembali tiba.
Hari yang lembap dengan hujan gerimis.
Sudut bangunan sekolah yang lembab.
Mesin-mesin penjual otomatis yang berjejer.
Dan suara dua orang murid perempuan yang sedang berbicara.
Bunyi minuman bersoda yang meletup.
Mera Kamako-san.
Siswi kelas satu di SMA-ku.
Dia memiliki nama keluarga yang cukup langka di daerah ini, jadi nama itu tersangkut di sudut ingatanku.
...Dia adalah siswi juniorku yang telah menenggelamkan aksesori bunga crocus buatanku ke dalam lautan jus anggur.
♡♡♡
PoV
Enomoto Rion
Hari Natal.
Toko kueku seperti biasa sangat sibuk.
Menjelang siang, langkah kaki pelanggan mulai mereda, lalu kami membereskan dekorasi Natal. Kira-kira setelah semuanya selesai, sudah lewat tengah hari.
Ibuku, yang sudah sembuh total dari flu, bekerja dengan tenaga penuh sejak pagi. Dan ketika kue whole cake terakhir habis, dia menutup toko dan bertepuk tangan dengan gembira.
"Kalau begitu, mari kita makan siang♪"
Toko kue kami punya tradisi: pada Hari Natal, toko ditutup siang hari dan kami menjamu para karyawan paruh waktu dengan makanan sebagai bentuk apresiasi.
Kami semua berkumpul di ruang tamu, menikmati makanan sambil bercanda ria.
Menunya mirip dengan pesta Natal yang kami adakan bersama Yuu-kun dan yang lain beberapa waktu lalu, tapi ini sangat disukai oleh para karyawan paruh waktu. Setelah berhari-hari dikelilingi aroma kue yang manis, tubuh mereka menginginkan sesuatu yang asin.
Semua orang makan dengan gembira... Orang-orang di toko ini benar-benar sangat akrab. Mungkin karena mereka semua adalah warga lokal, tapi sebagian besar pasti karena kepribadian ibuku.
Aku memperhatikan mereka dari meja yang sedikit terpisah. Ibuku membawakanku kentang goreng saat aku sedang asyik memainkan ponsel.
"Rion, ada apa? Kok tidak makan banyak?"
"Tidak apa-apa..."
Aku merebahkan diri di meja, menolak percakapan secara pasif. Sambil mengetuk-ngetuk game ponsel seadanya, aku berharap waktu cepat berlalu.
Ibuku menggembungkan pipi, lalu dengan sengaja mengadu pada semua orang,
"Duh, dari kemarin dia sudah begini. Apa ini masa pubernya, ya?"
"Kalau Rion-chan masa puber, berarti semua orang di dunia ini sedang masa puber!"
Dengan suasana khas para ibu-ibu yang setuju satu sama lain, alisku semakin bertaut.
Uhm. Aku suka mereka semua, tapi aku tidak suka suasana seperti ini. Yah, karena yang menciptakan suasana ini adalah ibuku, aku tidak bisa berkata apa-apa...
Di tengah itu, salah satu pemimpin pekerja paruh waktu, seorang ibu-ibu, berkata tanpa sengaja,
"Andai saja Natsume-kun juga datang, ya."
Dan ibu-ibu lain berkata,
"Ahaha. Kamu ini, mana mungkin begitu!"
"Kenapa?"
"Dia kan lagi bucin-bucinnya sama pacarnya? Kemarin dia sudah bantu, jadi hari ini dia pasti lagi jalan-jalan sama pacarnya."
"Oh, iya, benar juga. Natsume-kun kan sangat menantikan itu."
Jemari yang sedang mengetuk layar game ponselku berhenti sesaat. Lalu, aku mengetuknya lagi, tatatatatatata, lebih keras dari yang diperlukan.
Aduh, kenapa aku jadi kesal begini!
Sebaiknya aku kembali ke kamar saja. Tapi, aku tidak ingin membuat semua orang yang sudah bekerja keras saat Natal jadi merasa tidak enak.
Kemudian ibuku, lagi-lagi, mulai mengatakan hal yang tidak perlu.
"Kalian semua, tidak boleh begitu. Natsume-kun itu akan jadi menantuku."
"Eh, bagaimana dengan pacarnya?"
"Yah, bentuk cinta itu tidak hanya satu, kok."
"Kyaa~. Masako-san, agresif sekali~"
"Bagaimana dengan yang di malam hari, ya?"
"Bergantian?"
"Kan katanya teman sekelas? Mungkin bertiga sekaligus..."
"Kyaaa~!"
Pembicaraan para ibu-ibu yang semakin vulgar dan memanas.
Ibu jari yang sakit karena terlalu banyak mengetuk ponsel.
Kepala yang kesal sejak kemarin.
(~~~~~~!)
Aku bangkit berdiri, lalu berjalan menuju meja ruang tamu.
Aku duduk di samping ibu-ibu pemimpin paruh waktu itu dan mengambil sumpit.
"Oh, Rion-chan. Mau kuambilkan sesuatu—"
Tanpa menjawab, aku langsung menancapkan sumpit ke tumpukan ayam goreng karaage!
—Hening sejenak menyelimuti ruang tamu.
Aku membuka mulut lebar-lebar, lalu melahap habis semua ayam goreng itu. Setelah piring besar kosong, aku bangkit dari sofa.
"Terima kasih atas makanannya."
Aku meninggalkan ruang tamu.
Kemudian, dari ruang tamu yang masih hening, terdengar suara bisikan yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Masako-san, maaf ya."
"Aku terlalu terbawa suasana."
"Tidak apa-apa kok. Dia cuma sedang bad mood saja."
Kemudian ibu-ibu pemimpin paruh waktu itu berkata,
"Tapi Masako-san juga tidak boleh begitu, jangan terlalu menggodanya. Rion-chan kan suka Natsume-kun, ya?"
—Deg, aku berhenti di tangga menuju lantai dua.
Lalu, aku menahan napas dan diam-diam mendengarkan percakapan itu.
"Ah, benar, ya. Aku juga sudah menduganya."
"Kalau Natsume-kun datang, Rion-chan jadi sangat bersemangat, bagaimana, ya..."
"Betul sekali. Rasanya seperti dia sangat senang sampai tidak bisa menahannya."
"Rion-chan yang sebahagia itu, aku belum pernah melihatnya sebelumnya, lho."
"Masako-san, bagaimana kenyataannya?"
"...Umm. Entahlah, ya."
Ibuku berusaha mengelak, tapi dia tetap tidak bisa menyangkal sepenuhnya.
"Pacar Natsume-kun itu, putri dari keluarga Inuzuka-san yang tinggal di bawah gunung sana, kan?"
"Eh?! Putri dari keluarga itu?!"
"Hebat juga, ya. Di daerah sini, itu kan bisa dibilang menikah dengan orang kaya nomor satu."
"Kue di sini juga, mereka selalu memesannya, ya."
"Tapi kalau begitu, lawannya agak berat, ya."
"Kami sih ingin mendukung Rion-chan, ya."
Aku naik ke lantai dua dan masuk ke kamarku.
Kubuka jendela. Udara dingin akhir tahun masuk ke dalam ruangan, menerbangkan rambut panjangku. Entah mengapa, angin itu terasa sedikit menyedihkan.
Aku bergumam membalas percakapan ibu-ibu tadi,
"Aku tidak suka dia, kok..."
Aku adalah sahabat Yuu-kun.
Begitulah janji kami, dan aku sudah bertindak sesuai janji itu. Aku berhasil menjalaninya. Meskipun kemarin sedikit gagal, aku sudah menghormati Hii-chan dengan baik.
Tapi, dari sudut pandang orang lain, sama sekali tidak begitu.
Bagi para ibu-ibu itu, sudah sangat jelas terlihat bahwa aku hanya ingin bersama anak laki-laki yang kusuka dengan dalih pekerjaan paruh waktu Natal.
...Apa aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik?
Sejak kemarin sore—wajah Yuu-kun yang pergi menemui Hii-chan terus membayang di benakku.
Wajah Yuu-kun yang penuh kebahagiaan saat memikirkan Hii-chan, wajah yang tampak begitu ceria.
Membayangkan Yuu-kun yang terlihat bahagia, aku pun merasakan kebahagiaan... lalu dadaku terasa sesak tanpa alasan.
Sejak awal, mengapa aku ingin menjadi sahabat Yuu-kun?
Aku tidak tahu.
Aku tidak bisa mengingatnya.
Entah mengapa kesal, aku mengetuk-ketuk ponselku tanpa tujuan. Sambil membuka dan menutup aplikasi LINE, aku terus mengetikkan kata-kata acak di kolom pesan Shii-kun. Ketika aku mengirimkan 'akassabakagayataganagadawarazayagafassasanayagaganamanatadaassayanakaraba', Shii-kun membalas dengan kebingungan, 'Ada apa!?' 'Apa-apaan dokumen misterius ini!?'
Ibu jariku sakit.
Aku berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit.
"Yuu-kun. Sedang apa ya sekarang...?"
Mungkin dia sedang berkencan dengan Hii-chan, ya.
Sampai Natal dia kerja paruh waktu di toko kue, setelah itu kan janji mau sama Hii-chan.
Tadi malam mereka berdua melakukan apa, ya? Malam Natal yang dihabiskan sepasang kekasih, pasti malam yang spesial dan berbeda dari biasanya, kan?
Mereka berdua melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan...
(Apakah untuk merasakan perasaan seperti ini aku ingin menjadi 'sahabat'...?)
Saat itu ponselku berdering.
Pesan LINE. Siapa, ya? Apa Shii-kun mengatakan sesuatu? Sambil berpikir begitu, kubuka aplikasinya.
Ternyata dari Hii-chan. Baru saja kupikir dia sedang berkencan dengan Yuu-kun..., tapi singkatnya pesan itu membuat jantungku serasa berhenti.
[Aku putus dengan Yuu]
♢♢♢
PoV
Inuzuka Himari
Malam Natal telah berlalu, dan kini pukul sembilan pagi.
"Puhhe~..."
Sejak pagi, aku sudah seperti cangkang kosong.
Terlentang di tempat tidur, aku menatap kosong noda di langit-langit. Noda berbentuk wajah yang kutemukan beberapa waktu lalu... Baik saat senang maupun sedih, kamu selalu mengawasiku, teman baikku.
"Puhhe~..."
Gawat. Aku tidak ingat bagaimana aku pulang kemarin.
Tahu-tahu sudah sampai di rumah. Dan aku 'mati' di kamarku sendiri. Entah mengapa, tempat tidurku bau manis kue... Ah, tanganku penuh krim. Apa-apaan ini, menakutkan sekali! Bangun-bangun tempat tidur penuh krim kue, ini terlalu fantasi untuk sebuah fenomena aneh, jadi malah menakutkan!
Apa yang terjadi?
Eh? Kemarin kan Malam Natal?
Aku memeriksa tanggal di ponsel... Hari ini 25 Desember. Tidak diragukan lagi, Natal. Berarti kemarin adalah Malam Natal.
Aku seharusnya berkencan dengan Yuu dan mengalami malam yang sangat bahagia...
(—Benar. Aku sudah berbuat salah)
Meskipun aku keluar dari "you" secara egois, aku mencoba kembali dengan cara yang sama. Aku kesal karena Yuu menolakku, jadi aku menghancurkan kue yang sudah susah-susah dia berikan dan mengamuk.
Aku menatap noda di langit-langit dan bergumam pada diriku sendiri.
"Kenapa aku bisa berbuat salah, ya?"
Lalu, sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Shimiko-chan (nama sementara) seolah tersenyum padaku.
Himari-chan tidak salah! Si bodoh Yuu yang tidak bisa membaca situasi, dialah yang salah!
"Begitu. Benar juga... Tapi, menurutku aku juga salah."
Itu bukan gaya Himari-chan! Seharusnya caramu adalah menyalahkan orang lain dan pura-pura tidak tahu!
"Benar juga. Cara itu memang lebih mudah."
Ya, lebih mudah.
Menghadapi kesalahan sendiri secara langsung itu melelahkan.
Aku memang suka menyiksa diri dengan makanan super pedas, tapi aku tidak cukup kuat untuk menerima kesalahan sendiri.
Jadi, semua hal yang tidak menyenangkan, aku salahkan pada orang lain untuk melindungi diriku.
Yuu yang salah.
Ini semua salah dia yang tidak memikirkanku sebagai prioritas utama.
Ayo, Himari-chan! Mari buat kontrak denganku, dan bakar habis dunia dengan api kebencian!
Shimiko-chan agresif sekali, ya.
Jelas-jelas itu jenis kontrak yang tidak boleh dilakukan. Jangan-jangan anak ini sebenarnya yokai jahat? Mungkinkah aku sudah diincar untuk kontrak ini secara diam-diam? Jangan-jangan aku jadi seperti ini sebenarnya karena dia?
"Tapi, kalau dunia terbakar habis, aku tidak bisa makan kari super pedas lagi dong."
Kalau begitu, kita bakar saja semua kecuali restoran kari!
Api kebencian ini fleksibel sekali, ya.
Kalau aku tidak bisa minum Yogurppe, itu juga masalah, jadi aku harus memilih perusahaan yang akan kusisakan dengan saksama.
...Saat aku sedang bergumam sendirian dan bermain-main seperti itu, ibuku melongok ke kamarku dengan ekspresi jijik.
"...Himari. Apa kepalamu jadi gila karena shock putus dengan Yuu-kun?"
"B-bukan begitu! Aku biasa saja kok, biasa!"
Aku buru-buru bangkit dari tempat tidur.
Uhm. Aku tidak ingat kejadian semalam, tapi sepertinya aku sudah menceritakan semuanya pada ibu. Atau, mungkin ibu hanya menyadari sesuatu dari tingkah lakuku, ya?
"Lagipula, apa sih? Aku lagi menikmati suasana galau, jadi jangan seenaknya masuk kamar dong."
"Itu karena kamu tidak menjawab saat dipanggil. Ada temanmu datang, lho."
"...!?"
Jangan-jangan! Yuu... Tidak mungkin, ya. Kalau Yuu, Ibu tidak akan bicara berbelit-belit begini.
Aku kembali rebahan di tempat tidur sambil bertanya,
"Siapa?"
"Anak perempuan."
"Enocchi?"
Wah, dia adalah orang yang paling tidak ingin kutemui saat ini.
Lagipula, ada urusan apa? Aku tidak membuat janji apa pun, kan? Soalnya hari ini seharusnya aku bersama Yuu. Natal... tidak ada hubungannya, ya? Ah, jangan-jangan Ibu meminta Enocchi mengantar kue.
"Bukan. Gadis kecil yang lebih muda. Mirip anak anjing, deh."
"Lebih muda?"
"Gadis yang pernah kamu ceritakan sebelumnya... yang berteman denganmu saat festival budaya, kalau tidak salah. Namanya Shiroyama-san, katanya."
"...Mei-chan?"
Gadis yang mahir membuat aksesori kain, yang salah mengira aku sebagai "you". Kami memang pernah bermain beberapa kali setelah festival budaya, tapi seharusnya tidak ada janji apa pun untuk hari ini.
Makin penasaran ada urusan apa, ya?
"Aku tidak mau menemuinya."
"Situasinya terlihat cukup serius, kamu yakin tidak mau menemuinya?"
"............"
...Aku menghela napas dan bangkit.
"Aku mau mandi dulu. Minta dia menunggu di kamar tamu."
Aku merasa segar setelah mandi.
Rasa lengket di rambutku yang belum dicuci sejak kemarin menghilang, dan perasaan muramku sedikit mereda. Sepertinya Shimiko-chan harus dipanggilkan onmyoji untuk disegel.
Lalu, aku menuju kamar tamu.
Mei-chan mengenakan pakaian kasual yang lucu, dengan ransel besar tergeletak di sampingnya. Begitu melihatku, wajahnya langsung berseri-seri.
Dia membuka mulut, mendengus penuh semangat, dan berteriak,
"Himari-senpai! Aku datang untuk magang dan tinggal di sini!"
"............"
Ah, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Meskipun dia berusaha bersikap normal, aku langsung menyadarinya.
Mei-chan memang terkesan bebas, tapi dia anak yang selalu mengikuti aturan. Dia tidak akan tiba-tiba menerobos masuk ke rumah orang lain. Bahkan saat festival budaya pun, dia sudah mendaftar ke sekolah terlebih dahulu.
Dia mungkin tidak sedang bermasalah di sekolah. Ini kan sudah liburan musim dingin. Dia tidak perlu lari dan bersembunyi di sini.
Kalau begitu, mungkin dia bertengkar dengan kakaknya di rumah... Begitu, ya. Jadi, ini semacam kabur dari rumah kecil-kecilan dengan dalih latihan. Lucu juga.
Seharusnya aku pura-pura tidak tahu dan menyambutnya, itu baru sikap yang benar sebagai senpai.
...Maafkan aku, ya. Saat ini aku juga sedang terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri.
"Mei-chan, itu tidak bisa."
"Uh..."
Mei-chan tersentak.
Lalu, dia mulai panik dan berusaha membujukku dengan berbagai macam argumen.
"Uhm! Soalnya sekarang lagi liburan musim dingin, jadi aku ingin belajar aksesori! Ah, tentu saja aku juga akan membantu pekerjaan rumah! Meski kelihatannya begini, aku jago bersih-bersih, Kakakku kan ceroboh, dan selalu..."
"Yah, bukan itu maksudku."
Aku perlahan menghentikan perkataanku.
Lalu, tanpa basa-basi, aku memberitahukannya dengan tegas.
"Mei-chan, aku ini bukan 'you' yang kamu kagumi. Yang benar-benar membuat aksesori bunga itu adalah Yuu, aku hanya modelnya saja."
"............"
Tidak ada keterkejutan berarti di wajah Mei-chan.
Setelah mengarahkan pandangannya dengan canggung ke sana kemari, dia hanya tersenyum samar, mencoba mengelak dengan lesu.
"Ternyata kamu sudah tahu, ya."
"...Iya."
Hal itu, aku juga sudah menyadarinya.
Ada sesuatu yang kusadari beberapa waktu setelah festival budaya berakhir.
Setelah festival budaya itu, Mei-chan tidak lagi memanggilku "you-sama". Sekarang dia memanggilku Himari-senpai.
Mei-chan, dengan canggung, menyatukan kedua jari telunjuknya sambil tertawa.
"Waktu hari kedua festival budaya, entah kenapa... aku merasa Himari-senpai dan yang lain menyembunyikannya..."
Uhm. Sebenarnya kami tidak menyembunyikannya, hanya saja Mei-chan tidak mau percaya...
Tapi sudahlah, itu tidak masalah.
Kalau dia sudah tahu, pembicaraan ini jadi lebih cepat.
"Jadi, kamu tidak bisa belajar aksesori di sini."
"Tapi, umm..."
Dia pasti punya alasan mengapa ingin menginap di sini.
Namun, aku tidak punya kapasitas untuk menampungnya.
"Lagipula, Kakakku tidak bisa menerimamu. Dia itu pemalu dan tipe yang punya jarak pribadi yang lebar. Dia sangat tidak suka menampung orang asing di rumah."
"B-begitu, ya..."
Memang curang, tapi aku menyebut nama Onii-chan.
Yah, dia memang pemalu, itu benar. Yuu dan Enocchi itu pengecualian karena mukjizat, tapi orang lain sepertinya pasti tidak akan diizinkan.
Mei-chan seolah terputus jalan mundurnya dan menjadi gelagapan. Hmm, sepertinya dia tidak menyangka aku akan menolak.
Aku mengerti itu. Aku ini pada dasarnya tidak pernah menolak apa pun.
Mei-chan berpikir sejenak, lalu tiba-tiba mendapat ide.
"Baiklah! Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah Yuu-senpai!"
"Eh..."
Mei-chan membungkuk di atas meja dan menggenggam erat tanganku.
"Himari-senpai juga, ayo kita pergi bersama!"
"Ah..."
Dia mengajakku begitu, ya.
Tidak, kalau melihat situasinya, memang ada kemungkinan seperti itu. Mei-chan pasti punya alasan mengapa dia tidak ingin pulang ke rumah.
Rumah Enocchi... tidak mungkin, ya. Anak ini kan tidak suka Enocchi. Dia langsung kena Iron Claw saat pertama kali bertemu. Padahal Enocchi itu paling perhatian, tapi Mei-chan kan belum tahu.
...Biasanya aku akan langsung menjawab, "Oke!" tapi...
"Maaf. Itu juga tidak bisa."
"Ah, jangan-jangan maksudnya hari ini tidak bisa, ya?!"
"Bukan begitu..."
Aku mengepalkan tangan di depan dada.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengangkat udara yang tidak enak dari paru-paru, lalu mengeluarkannya bersamaan dengan hela napas.
"Aku putus dengan Yuu."
"Eh..."
Seketika.
Ekspresi Mei-chan membeku, dan keringat dingin bercucuran seperti air terjun. Dia benar-benar seperti anak anjing yang menginjak ranjau. Aku pernah melihat adegan seperti ini di film, yang kira-kira berbunyi, "Jangan bergerak! Itu akan meledak!"
"Makanya, aku juga akan keluar dari kegiatan 'you'."
"Ah, umm, itu..."
Mei-chan mencoba mengatakan sesuatu.
Tapi segera, dia mengangguk patuh.
"...Baiklah."
Setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Dengan ransel besar di punggungnya, dia melangkah perlahan melewati gerbang rumahku. Tapi tiba-tiba dia berhenti, lalu melambaikan tangan besar ke arahku.
"Himari-senpai! Ajak aku main lagi, ya!"
"Oke. Tentu saja!"
Saat mengantar Mei-chan pergi, tanpa sadar aku mengucapkan,
"Tolong jaga Yuu, ya."
"............"
Dia sempat terlihat ragu sejenak... tapi kemudian langsung mengangguk sambil tersenyum.
"Iya!"
Dan setelah Mei-chan pergi.
Aku duduk di beranda rumahku, menatap langit yang dingin.
Natal tahun ini, cuacanya sangat cerah. Pasti para sepasang kekasih di seluruh dunia sedang menghabiskan hari mereka dengan cara yang berbeda-beda.
Menatap langit yang seolah ingin menelanku itu, aku merasa ingin mati.
Mei-chan tidak bertanya, "Kenapa kalian putus?" Dia juga tidak bertanya, "Kenapa tidak melanjutkan jadi model?"
Mei-chan punya mata yang objektif dan tenang.
Berkat itu, aku jadi babak belur di festival budaya. Tapi jika mengingat kembali kekurangan-kekurangan di acara penjualan itu, memang benar kritik Mei-chan tidak bisa kubantah.
Karena Mei-chan yang seperti itu, dia pasti mengerti.
Bahwa aku dan Yuu, secara sifat, tidak akan berjalan baik. Dan bahwa menjadi model aksesori bagiku, hanyalah cara untuk mempertahankan Yuu.
Aku tidak punya cukup gairah untuk terus mengejar mimpi bersamanya meskipun sudah putus dengan Yuu. Kalau dipikir-pikir, sepertinya anak itu sudah melihat hal itu sejak festival budaya.
"...Entah kenapa jadi lega."
Syukurlah Mei-chan bukan tipe anak yang berusaha menghiburku dengan canggung.
Rasanya seperti penyesalanku langsung terputus. Terima kasih sudah memenggal kepalaku dengan satu tebasan. Anak itu, mungkin di kehidupan sebelumnya dia adalah algojo di era Edo. ...Meskipun kalau ada algojo seenerjik itu, suasana emosionalnya pasti jadi tidak ada lagi.
Aku masih punya satu pekerjaan lagi.
Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi LINE.
Aku membuka layar obrolan dengan Enocchi, lalu menarik napas dalam-dalam.
Selamat tinggal, tiga tahun paling penting dalam hidupku.
Post a Comment