Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 6
Apa yang dipikirkan di balik topeng besi itu
"Yo~ nemine, suu~ Mito-kyun."
Pagi hari. Seseorang memanggilku sambil menyelipkan tanda pemanjang bunyi yang terasa sangat tidak pas.
"Ah, kalau menikah masuk keluarga sih~... lebih baik dengan Kagura Sumito, ya? Soalnya keluarga Kagura kan kaya."
"...Apa-apaan kau ini."
Aku membuang kata-kata itu dengan perasaan penuh yang sulit dijelaskan. Dengan tatapan buruk khas orang baru bangun tidur, aku melotot pada perempuan di depanku.
Yang menampilkan senyum menyeringai tak menyenangkan itu adalah Mitome. Kenapa sih dia bisa masuk ke kamarku seolah-olah itu hal yang wajar? Apa sebaiknya aku laporkan saja?
"Apa-apaan sih, ya jelas dong~? Sepertinya lumayan seru ya kemarin itu?"
"Apa maksudmu."
"Eh~ masa pura-pura nggak tahu sih~? ...Di dalam loker, ruang sempit nan gelap, saling menahan napas sambil bertatapan, lalu dua insan itu perlahan berciuman──"
"Jangan masukkan narasi aneh, dan jangan seenaknya melebih-lebihkan ceritanya!"
Suaraku meledak begitu keras, sampai aku sendiri heran bagaimana pagi-pagi bisa keluar suara sekencang itu. Sepertinya memang benar, dia ada di sana waktu itu. Aku sudah tahu, tapi tetap saja aku tidak mau mengakuinya.
"...Kenapa, dari semua orang, justru kau yang ada di sana?"
"Ya bukan ‘dari semua orang’ sih~... aku dengar kabar kalau Kagura-chan dan Sawari-chan pergi keluar kelas dengan seorang pria misterius. Nah, kalau begitu, ya jelas aku harus mengikutinya, kan?"
Ujung kalimatnya naik riang. Jadi, itu memang aksi menguntit dengan sadar sepenuhnya.
"Jelas tidak harus! Biarkan saja!"
"Mana bisa dibiarkan. Dia itu idola yang semua orang perhatikan, lho? Semua orang pasti penasaran dengan rumor itu, termasuk aku."
"Jangan membuntuti orang hanya karena rasa penasaran konyol!"
Tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun, Tsuyuha tetap tersenyum menyeringai. Karena dia bisa benar-benar melihat dunia secara terbuka, mungkin konsep privasi itu memang sangat kurang pada dirinya. Kalau memang rasa penasaran bisa membunuh, biarlah yang mati itu dia, bukan kucing.
"Lagipula, aku langsung yakin itu soal Sumito. Soalnya, kau kan sudah sampai level bisa main ke rumah Kagura-chan. Aku tidak menyangka Sawari-chan juga bisa kau rayu sih~."
...Aku bahkan tak tahu harus membantah dari mana.
"Dengar, kau itu cuma kebetulan melihat adegan yang bisa menimbulkan salah paham. Aku dan Kagura sama sekali tidak ada hubungan khusus. Lagipula, aku tidak mungkin punya niat membangun kedekatan aneh dengan siapa pun──"
"Heeh, begitu. Jadi, akhirnya musim semi pun datang juga pada Sumito ya."
"Kau dengar nggak sih omonganku barusan?"
Dengan kepala miring seperti burung merpati tolol, dia malah mengucapkan hal itu.
"Wah~ rasanya mengharukan sekali. Kau sudah tumbuh sebesar ini."
"Sudah kubilang bukan begitu! Dan kau itu bicara dari sudut pandang apa sih?"
"Ya jelas dari sudut pandang orang tua. Dulu kau kecil sekali, pemalu, sampai-sampai kalau aku tidak ada kau akan menangis keras-keras... ah, tapi ada bagian yang masih kecil juga sih!"
Aku melempar bantal ke arahnya. Dengan mudah dia menghindarinya. Apakah tidak ada cara untuk memberinya pelajaran tanpa aku terlihat bersalah...?
"...Lagipula, bukannya aku yang pemalu, tapi kau yang justru terlalu memaksakan diri membangun hubungan dengan orang lain. Entah apa itu ‘tiga gadis tercantik sekolah’ atau apalah namanya, kau kan sampai diangkat-angkat segala."
Aku teringat ucapan Masaki. Bersama Kagura dan Sawari, dia juga masuk dalam peringkat aneh itu.
Bagiku, cewek kecil cabul tukang pelecehan ini sama sekali tak masuk akal. Tapi mungkin bagi cowok-cowok yang tidak tahu sifat aslinya, wajahnya yang lumayan membuat mereka salah paham....Kalau tidak salah, Masaki bilang cewek ini idolanya, ya? Dasar, dia memang tidak punya selera.
"Yah~ imut itu memang dosa, ya!"
"Bukan. Kau itu cuma berlagak manis, jadinya cowok-cowok salah paham."
"Ih, dibilang sok manis jelek banget. Kau tahu kan istilah ‘hubungan telanjang’? Kalau sudah pernah saling melihat telanjang, otomatis ada rasa kedekatan, kan."
"Itu hanya kau yang mengintip telanjang orang. Jadi pihak lain sama sekali tidak merasa dekat, hanya kau saja yang sok akrab."
Sedikit saja coba pikirkan perasaan para cowok polos yang sudah jadi korban isengmu itu.
"Haa. Kalau begitu, bagaimana kalau sampai ada orang aneh yang benar-benar terpikat padamu? Aku yang bakal kena imbasnya, tahu!"
"Yaa kalau itu terjadi, aku tinggal langsung memutuskan hubungan, jadi tidak masalah!"
"Itu justru masalah besar..."
Betapapun memakai bahasa sopan, tetap saja terdengar mengerikan dan tanpa etika. Lagipula, meskipun memutus begitu saja, jejaknya akan tetap terbaca. Kau tidak tahu betapa menakutkannya dendam pria.
"Tidak masalah kok. Aku sudah terbiasa."
"Dari mana datangnya rasa percaya diri itu? Lagi pula itu bukan hal yang boleh dibiasakan."
"Itu karena Sumito selama ini menjalani hidup tersembunyi, menyendiri terus! Kalau hidup normal sepertiku, ya hal begini wajar saja terjadi!"
Apa-apaan itu. Seakan-akan aku tidak menjalani hidup manusia dengan benar. Padahal meski jadi cacing, jangkrik, atau penyendiri, semua juga berusaha keras hidup.
"Lagipula, sekarang Sumito juga tidak bisa lagi bicara begitu, kan?"
"...Aku kan sudah bilang, aku tidak berniat berhubungan dekat dengan──"
Tsuyuha menatapku dengan mata menyipit penuh arti. Aku hendak mengulangi keberatanku yang kesekian kali, tapi saat itu──
──♪♪♪
"Ah, hei!"
Begitu terdengar bunyi notifikasi pesan, ponselku langsung lenyap dari hadapan.
Saat aku sadar, benda itu sudah ada di tangan Tsuyuha. Gerakannya secepat kilat. Ini pasti bukan pertama kalinya, dia sudah terbiasa.
"Eeh~ apa ini... oh, dari Kagura-chan! Panggilan cinta pagi, ya?"
"Bukan cinta dan bukan panggilan! Lagi pula, kenapa kau bisa membuka kuncinya...?"
"Aku ini perempuan yang bisa menembus segala bentuk privasi, tahu? Membuka kunci layar ponsel itu perkara mudah bagiku."
"Itu sifat terburuk yang pernah ada… kemampuanmu memang
begitu?"
"Ah, bukan soal kemampuan kok. Aku hanya mengintip saat kamu mengetikkan kata sandi, jadi aku tahu, itu saja~."
Ya, itu jelas melanggar Undang-Undang Larangan Akses Ilegal.
Aku merasakan sedikit kengerian menyadari bahwa kenalan lamaku kini telah menjadi orang berbahaya. Kalau ditanya apakah sejak dulu ia memang begitu, yah… memang begitu adanya.
"Sini, kembalikan."
"Eh, padahal aku belum sempat lihat isinya!"
"Diam. Dan pulanglah."
Begitu aku merebut kembali ponsel itu, Tsuyuha memasang wajah cemberut. Bukan seperti anak kecil, melainkan lebih cocok disebut muka bocah tengil.
"Padahal aku sudah susah payah datang ke sini karena ingin berangkat sekolah bersama Sumito~."
"Kenapa repot-repot memutar jauh hanya untuk menggangguku?"
"Mengganggu? Jahat sekali! Aku hanya berpikir, bagaimana kalau kubuat semua orang salah paham, mengira kamu pacarku, lalu semua kebencian tertuju padamu~."
"Bagaimana bisa kamu sampai pada ide yang sekejam itu…?"
Apa dia berniat membunuhku? Secara sosial. Padahal saja sekarang pun sudah beredar suasana yang mencurigakan, dan jika ia sampai menjatuhkan bom semacam itu, posisiku tidak hanya akan hancur berkeping-keping, melainkan lenyap tak bersisa. Dasar perempuan iblis!
"Yah, untuk kali ini aku anggap cukup. Toh aku sudah puas melihat wajah bodoh Sumito. Soal Kagura-chan, akan kutinggalkan sesuai permintaanmu. Jadi, berjuanglah ya?"
"Apa maksudmu, 'berjuanglah'?"
Dengan tetap menahan senyum mengejek, Tsuyuha melompat keluar dari kamarku. Aku menatap tajam punggungnya yang menjauh. Semoga saja ia tidak melakukan hal aneh lagi di sekolah…
Sambil melontarkan kutukan dalam hati kepada teman masa kecil yang bahkan tidak pantas disebut teman itu, aku memeriksa isi ponsel yang berhasil kurebut kembali. Di layar, terpampang pesan dari akun dengan ikon default itu:
【Mau datang ke gedung sekolah lama sepulang sekolah hari ini?】
***
Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, memastikan keadaan sekitar. Aman. Tak ada tanda-tanda orang lain.
Setelah hati-hati memastikan keselamatan, aku melangkah menuju kelas yang ada di depanku. Kelas di gedung lama yang biasa kupakai. Begitu kusibakkan pintu yang reot itu, di dalam sudah ada Kagura dengan wajah datarnya seperti biasa.
"Kau datang juga rupanya. Kukira tidak akan datang."
"Aku bukan orang setega itu. Kalau sudah bilang akan datang, pasti aku datang."
Sambil menekuk bibirnya membentuk garis lurus, Kagura menampilkan sedikit senyum tipis. Sulit ditangkap, tapi itu jelas ekspresi senang. Seiring waktu, aku makin terbiasa membaca emosinya tanpa harus menggunakan telepati. Sungguh keterampilan yang tidak berguna.
Aku menutup pintu dengan hati-hati dan melangkah mendekatinya.
"Ngomong-ngomong, aku sudah baca Volume pertama."
"Benarkah? Bagaimana menurutmu?"
Begitu kusinggung buku yang kupinjam, Vampir di Sebelah Rumah, Kagura langsung mencondongkan tubuh ke arahku. Antusiasmenya lebih besar dari perkiraanku, membuatku mencari kata-kata yang tepat. Jawabannya tentu saja ada di dalam kepalanya.
"…Kupikir cukup menarik. Unsur percintaannya memang lebih kental daripada yang kuduga, tapi bukan sekadar kisah cinta saja. Rasanya lebih seperti menggunakan tema vampir untuk membicarakan soal jarak antar manusia, soal kesepian juga… aku suka, kurasa."
Setelah kudengar, Kagura menyilangkan tangan di depan dadanya dengan gerakan kecil. Wajah datarnya tetap sama, tapi dari dalam dirinya memancar kepuasan yang tenang. Tampaknya jawabanku benar. Ya wajar saja—aku mengintip isi kepalanya.
──Pada umumnya, manusia senang bila diberi persetujuan atau empati. Karena itu, jika aku cukup mengulang apa yang kudengar dari dalam kepala mereka, mereka akan merasa dekat denganku dengan sendirinya. Itu semacam jurus bertahan hidupku. Meski kadang dianggap menyeramkan…
"Begitu, ya. Kalau begitu, nanti ceritakan juga pendapatmu soal volume kedua. Dengan seleramu, aku yakin kamu akan menikmatinya."
"Ya… kurasa akan kubaca sedikit-sedikit di sela belajar."
Setelah menampilkan wajah datarnya seperti biasa, Kagura tiba-tiba membuka mulut perlahan.
"…Aku sudah memikirkan sesuatu."
Mata sipitnya menatap lurus ke arahku, tajam menusuk.
"Yonemine-kun pasti akan membaca NariVan. Tapi, sebentar lagi kita juga harus mulai bersiap menghadapi ujian. Jadi, mungkin kamu tidak akan punya cukup waktu untuk membaca."
"Eh? Ah, ya…"
Nada bicaranya yang tiba-tiba formal membuatku menjawab dengan suara kikuk. Namun Kagura masih melanjutkan dengan nada mantap:
"Kalau begitu──mulai sekarang setiap hari, biar aku yang mengajarimu belajar. Dengan begitu, kita bisa belajar sekaligus berbincang. Bukankah itu sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui?"
"…Hah?"
Aku mengerti maksudnya, tapi pikiranku belum sanggup mengikuti. Dengan dahi berkerut, aku bertanya ulang:
"Jadi, Kagura mau mengajarkanku belajar? Setiap hari mulai sekarang?"
"Ya. Tentu hanya sebatas yang bisa kuajarkan."
Aku mengulang kata-katanya dengan bingung, sementara ia menjawab datar, meski terselip sedikit rasa malu dalam suaranya.
"Eh, soalnya aku kira kamu itu tipe yang lebih suka belajar sendiri dengan tenang, Kagura."
"…Tapi, bukan berarti aku tidak boleh melakukan sesuatu bersama orang lain, kan?"
"Ya, bukannya tidak boleh sih, tapi—"
Memang benar aku merasa terkejut.
Tidak kusangka dia akan mengajukan usulan yang begitu aktif. Kalau mempertimbangkan sikap biasanya… atau lebih tepatnya kalau mengingat kembali tindakannya sejauh ini—mengajakku masuk ke rumahnya, mengundangku makan siang—memang ada beberapa hal yang cukup aktif.
Namun, terhadap orang lain, sikapnya masih sama: hampir tidak pernah mengucapkan lebih dari sekadar "ya" atau "hmm". Wajar saja kalau sikapnya berbeda-beda tergantung orang, tetapi entah kenapa, dia justru memperlihatkan rasa percaya yang aneh kepadaku. Padahal aku sendiri merasa bukan sosok yang menarik. Malah, akan lebih baik kalau dia tidak menganggapku istimewa.
…Ya sudahlah, sekarang itu tidak penting. Aku pun tidak ingin terlalu memikirkannya. Singkatnya, dia sedang mengajakku untuk belajar bersama. Namun, kalau ditanya soal jawabanku… sejujurnya aku kurang bersemangat.
Alasan pertama: aku tidak ingin membuat keributan.
Makan siang bersama seseorang saja sudah cukup membuat heboh. Apalagi kalau terdengar kabar bahwa aku setiap hari belajar bersama Kagura, bisa dipastikan akan jadi bahan gosip lagi. Selain itu, aku juga bukan tipe yang mudah mendekatkan jarak dengan orang lain.
Lagipula, baru saja pagi tadi aku mengatakan hal tertentu kepada Tsuyuha. Kata-kata yang sudah kuucapkan tidak bisa kutarik kembali.
"Ya, aku sih senang kalau diajari… tapi kamu sendiri kan juga punya pelajaranmu. Tidak perlu terlalu repot-repot memikirkan aku."
Kucoba menolak secara halus, namun Kagura sedikit menaikkan alis lalu menjawab:
"Tidak apa-apa. Aku memang rajin belajar dari awal, dan justru dengan mengajar orang lain, pemahamanku sendiri jadi semakin dalam."
"Tetap saja, aku merasa tidak enak kalau harus membebanimu… aku juga berniat berusaha sendiri."
"Itu justru membuat hasilnya tidak efisien. Kalau tujuan kita sama, yaitu meningkatkan nilai, maka kita tidak seharusnya membatasi cara yang bisa ditempuh."
Saat-saat seperti inilah dia justru memberi jawaban rasional, membuatku jadi kewalahan. Aku terdiam, lalu dia menundukkan pandangan, menyelipkan rambut ke belakang telinga, dan berkata pelan:
"…Lagipula, bukan karena aku ingin repot-repot. Jadi jangan salah sangka."
Suaranya terdengar agak kesepian. Lalu, sekejap kemudian—aku mendengar suara samar dari hatinya.
『…Sebenarnya aku ingin merasakan belajar bersama teman.』
Itu terdengar lirih, seperti gumaman seorang diri. Aku tak sadar menelan ludah, lalu menggaruk kepala.
…Teman, ya. Tidak pernah terpikir bahwa kata itu akan keluar dari mulutnya—atau tepatnya dari pikirannya. Dan lebih tidak kusangka lagi, kata itu diarahkan kepadaku.
Teman, huh. Kalau begitu, ya… sepertinya tidak masalah.
"…Iya, benar juga. Jadi, bolehkah aku minta diajari?"
Kutatap matanya yang tajam itu sambil bertanya dengan agak ragu.
…Menghindari komunikasi dengan lancar justru bisa menimbulkan masalah. Jadi, lebih baik kuanggap ini sebagai syarat yang perlu dipenuhi.
Ya, mari kuputuskan begitu saja.
"Tentu saja."
Kagura menatapku sejenak dengan ekspresi agak terkejut, lalu sedikit menyipitkan mata.
"Kalau begitu, mari kita mulai sekarang. Sayang sekali kalau membuang waktu. Kita masing-masing mengerjakan soal, lalu kalau ada yang sulit kita pikirkan bersama—bagaimana?"
Nada suaranya kembali seperti biasanya. Datar, tapi terdengar bersemangat.
"…Kalau begitu, aku mulai dari matematika."
Begitu aku berkata demikian, Kagura langsung membuka bukunya.
Gerakannya cepat dan teratur. Benar-benar menunjukkan aura seorang murid cerdas. Padahal ujian masih sekitar dua-tiga minggu lagi…dan… kupikir yang namanya belajar kelompok itu biasanya lebih santai, dengan suasana akrab, kadang ngemil, bercanda atau mengeluh sedikit sambil belajar.
Setidaknya, begitulah cerita yang kudengar dari teman-teman kelas. Bahkan biasanya butuh sekitar setengah jam hanya untuk benar-benar mulai belajar setelah buka buku.
Tapi Kagura berbeda. Tanpa sepatah kata pun, dia sudah mulai menulis.…Entah karena konsentrasinya tinggi, atau memang tipe yang tidak peduli dengan sekitar.
Ya, mungkin dua-duanya. Toh, orang yang bisa membaca novel erotis di tengah kelas yang berisik jelas punya mental baja. Jadi, keberadaanku di sampingnya sama sekali tidak akan mengganggu konsentrasinya. Kalau mentalnya selemah tahu, mana mungkin dia berani baca buku seperti itu di depan orang lain.
…Tapi, tidak buruk juga. Aku pun mengikuti Kagura, membuka buku latihan. Lalu mulai menggerakkan pensil mekanikku.
Hanya ada suara kertas dibalik, suara penghapus digosokkan, dan suara pensil mekanik menggores kertas. Itu saja yang mengisi udara.
Tentu saja, pikirannya tetap bocor sesekali, tapi ternyata hal itu justru tidak mengganggu. Malah jadi semacam tekanan positif—membuatku lebih mudah berkonsentrasi karena merasa "teman di sampingku lebih rajin."
Begitulah, sampai beberapa lama kami tenggelam dalam belajar.
『Hmm, bagian ini bagaimana cara menafsirkannya…』
Sepertinya dia mulai kesulitan dengan soal tertentu. Gerakan penanya melambat. Dari suara batinnya, kelihatannya itu soal bahasa Inggris.
Kalau tidak salah, bagian itu memang agak rumit.
"Kamu lagi ngerjain yang ini?"
"Eh? Iya…"
Aku mengintip bukunya sekilas. Ternyata benar, soal yang kupikirkan. Kalau tidak salah, itu soal ujian masuk universitas terkenal. Mungkin karena ini sekolah unggulan, atau entah kenapa, soal-soalnya selalu menarik pertanyaan yang aneh dan sulit. Begitulah isi buku teks sekolah ini. Di sini, biar aku sedikit ikut campur.
"Pertama, sebelum memilih opsi itu, coba perhatikan dulu bentuk waktunya. Dari alur kalimatnya, kalau dilihat—"
"Ah, begitu rupanya."
『Tapi, bagaimana cara—』
"Oh iya, bagian ini itu memakai penggunaan kata ganti penghubung yang sempat dibahas di pelajaran sebelumnya—"
Pertanyaan baru yang muncul di tengah penjelasan, segera kutangkap lewat suara hatinya, lalu langsung kujelaskan sebagai tambahan. Kagura pun mengangguk-angguk kecil sambil menunjukkan kalau ia mengerti, lalu segera melanjutkan mengerjakan soal.
"Benar juga, terima kasih."
"Ah, tidak apa-apa."
Kami kembali belajar masing-masing, tetapi sepertinya Kagura memang lemah dalam bahasa Inggris, karena beberapa kali tangannya kembali berhenti.
"Di situ, coba uraikan dulu struktur kalimatnya—"
"Ini sebenarnya subjek dan predikatnya terpisah, jadi agak sulit terlihat—"
"Sepertinya di sini kamu salah paham dengan arti kata ini—"
Setiap kali begitu, aku refleks memberi penjelasan… seperti orang yang terlalu ikut campur.
"—dan begitulah hasilnya."
Aku menghela napas kecil, mengakhiri penjelasan. Saat melepaskan pandangan dari buku soal dan catatanku, aku baru sadar kalau Kagura sedang menatapku. Tatapannya dingin menusuk, semacam jitō-me.
"Apa? …Ah, maaf. Aku terlalu ikut campur ya?"
"Bukan begitu. Penjelasanmu sangat mudah dipahami dan bagus sekali, hanya saja…"
Ucapannya berkata begitu, tapi ekspresinya tetap datar… yah, memang begitu biasanya. Namun lewat telepati, aku bisa menangkap ada rasa bingung dan terkejut dari dalam dirinya.
"Yonemine-kun ternyata hebat juga ya."
"Hebat? Yah, kalau soal bahasa Inggris… dulu aku memang pernah belajar lebih dalam, semacam begitu sih."
"Aku bukan bicara soal itu—meski itu juga benar. Maksudku, aku yang tadinya berniat mengajarimu, tapi malah posisinya terbalik."
"Eh, bukan begitu. Kita kan memang mau belajar bersama, jadi tidak ada soal terbalik. Lagipula, yang bisa kulakukan sebenarnya hanya bahasa Inggris."
Aku mencoba memberi penjelasan, entah itu pembelaan atau alasan, tapi tatapan Kagura tidak berubah sedikit pun. Ia tampak agak ragu, namun mulai mengunyah kata-katanya dalam hati.
『Aku baru saja bingung, tapi sebelum sempat mengucapkannya, kamu langsung memberi penjelasan… itu sih yang membuatku merasa kamu luar biasa. 』
…Saat itulah aku sadar, aku baru saja melakukan kesalahan.
Benar juga, selama ini aku menjelaskan hanya dengan mengandalkan suara hatinya. Kagura sendiri bahkan tidak pernah mengucapkan pertanyaan itu. Aku ingin menyamarkan seolah aku hanya menebak dari informasi yang terlihat atau dari gerak-geriknya saja, tapi pada kenyataannya, aku memang memakai isi hatinya sebagai bahan.
Aku tidak bermaksud ketahuan, tapi sekarang kalau kupikir lagi, jelas saja sikapku tidak alami. Mengandalkan suara hati begitu jauh… itu kesalahan.
『M-mungkin… kamu selama ini memperhatikan aku terus—!?』
Sekejap, emosi Kagura memerah, seperti air yang tiba-tiba mendidih.
Ya, kalau dipikir, dia memang bisa salah paham ke arah itu. Malah rasanya lebih mudah kalau dia menafsirkannya begitu…namun tentu saja, itu bukan alasan yang bisa benar-benar memuaskan.
『Tidak mungkin, tentu saja. Kalau memang begitu, dia pasti tidak akan bisa berkonsentrasi sejauh itu. Jadi, ini benar-benar kemampuan pengamatan yang luar biasa. Seperti…』
『Seperti, bisa membaca suara hati. 』
—Saat kata-kata itu jatuh, tenggorokanku serasa tersendat.
Itu pasti hanya gurauan. Atau mungkin hanya kiasan tanpa dipikir panjang. Seharusnya begitu… tapi entah kenapa, aku merasakan sebuah déjà vu.
"…Mungkin saja."
Aku bergumam dengan pandangan kosong.
***
"~~~"
Beberapa saat kemudian, Kagura berhenti menulis dan meregangkan tubuhnya.
Kebetulan, di waktu yang sama konsentrasiku juga terlepas, dan aku menoleh pada jam dinding.
"Sudah jam enam rupanya."
"…Benar juga. Aku sama sekali tidak sadar."
Kagura pun ikut melirik jam, lalu mengangguk kecil dan menunduk lagi. Meja di hadapannya agak berantakan dengan buku catatan terbuka dan lembar-lembar soal yang sudah terisi.
"Kamu lumayan serius tadi, ya?"
"Iya, rasanya sudah lama sekali aku bisa berkonsentrasi sejauh ini."
Katanya sambil merapikan lembar-lembar kertas. Aku sendiri juga merasa heran, bagaimana bisa kami belajar tanpa henti begitu lama.
…Ngomong-ngomong, setelah kejadian tadi, yang lebih banyak berperan sebagai pengajar justru Kagura. Dan memang begitu kenyataannya—aku hanya bisa membantu di bahasa Inggris, jadi wajar kalau akhirnya begini.
Dari situ terlihat jelas bahwa Kagura memang pintar. Cara dia mengajar juga mudah dipahami, dan terlihat ia benar-benar menguasainya. Kalau melihat sisi dirinya yang biasanya agak aneh, perbedaan ini benar-benar terasa mencolok.
Di luar jendela, warna langit mulai berubah menjadi gelap. Dan hampir bersamaan dengan perubahan itu, Kagura mengedipkan mata kecil.
"Sudah cukup larut… sebaiknya kita pulang sekarang. Rasanya sudah cukup banyak yang kita lakukan hari ini."
"Ya, benar juga… oh iya, rumahmu sepertinya tidak jauh dari sini, kan? Tapi tidak apa-apa pulang selarut ini?"
"…Iya. Kalau pulang jam segini pun, ayah dan ibuku masih belum ada di rumah karena kerja."
Kagura mengatakannya begitu saja, seakan hal itu tidak penting. Tapi menyebut "tidak apa-apa pulang larut" hanya karena orang tuanya tidak ada di rumah… agak terasa janggal juga alasannya. Lalu lewat telepati, ia menambahkan:
『…Kalau ibuku ada di rumah, mungkin dia akan marah. Tapi kalau tidak ada, ya tidak akan ada yang menegur. 』
Sepertinya pada akhirnya memang tidak bisa dibilang "sama sekali diizinkan." Aku sudah lama merasakan kalau orang tua Kagura itu cukup keras, dan cara ia dibesarkan juga entah kenapa terkesan seperti seorang putri dari keluarga berada, jadi mungkin ada bagian yang memang tidak bisa dihindari.
Yah, soal benar atau tidaknya hal itu, aku yang bukan orang tua dan juga bukan anak dari orang tua seperti itu, tidak akan bisa memahaminya.
"Lalu, bagaimana denganmu, Yonemine-kun?"
Saat aku sedang mencoba memahami situasi sendirian, kali ini pertanyaan justru diarahkan padaku.
"Aku… sebenarnya tidak punya jam malam atau aturan semacam itu."
"…Oh iya, kamu kan tinggal sendiri. Biasanya apa yang kamu lakukan? Kalau tidak salah, kamu tidak ikut klub, kan?"
"Benar juga. Aku biasanya melakukan pekerjaan rumah, belajar, lalu… tidur?"
Begitu aku menyebutkan hal-hal yang biasa kulakukan sepulang sekolah, jelas terlihat betapa membosankan hidupku. Tapi ya, buatku yang sekarang tidak punya hobi yang bisa digeluti atau sesuatu yang benar-benar bisa membuatku tenggelam, hal itu terasa wajar saja, dan aku pun tidak merasa ada yang salah. Tapi… mungkin ini juga wujud dari pepatah bahwa kalau hidup serba kekurangan, hati pun ikut menjadi miskin.
"E-eh… ya, tidur juga bisa dibilang hobi yang bagus, kok."
"Jangan menghiburku seperti itu. Malah bikin tambah sedih rasanya."
Begitu aku menanggapi dengan senyum kecut, Kagura menarik napas kecil, lalu menundukkan pandangannya ke meja.
"Tapi, kalau tinggal sendiri, bukankah kamu bisa melakukan apa saja sesukamu? Maksudku, tidak perlu peduli pada pandangan orang lain, kan—"
Di situ, pikirannya tiba-tiba melompat ke arah yang aneh.
『Hah. Kalau begitu, tanpa perlu mengkhawatirkan pandangan orang lain, dia bisa bebas melakukan itu sebanyak mungkin… jangan-jangan ‘tidur’ yang dia maksud itu tidur yang begituan!? 』
—Ya, bukan. Sama sekali bukan. Itu murni tidur nyenyak. Benar-benar kehidupan tidur sehat dan penuh kedamaian. Jadi tolong jangan membayangkan aku seperti raja malam yang berendam di bak mandi berisi uang sambil dikelilingi wanita. Itu hanya terjadi di dalam khayalan.
Oh, dan perlu aku tekankan, ukuran tempat tidurku terlalu kecil untuk menampung "selir" siapa pun.
"Kalau bisa melakukan apa saja, justru anehnya malah jadi sulit menemukan apa yang ingin dilakukan."
Aku mencoba membawa pembicaraan kembali ke jalur nyata. Terlalu banyak kebebasan justru membuat pilihan terasa kabur. Itu pengalaman pribadiku. Meskipun tentu saja, aku juga tidak ingin kembali ke masa lalu di mana aku terikat oleh terlalu banyak aturan.
"Kalau begitu, bagaimana denganmu, Kagura? Ada sesuatu yang ingin kamu lakukan?"
"Aku?"
"Iya. Maksudku, apakah kamu punya sesuatu yang ingin dilakukan? Dulu kamu kan ikut banyak les, tapi kurasa itu tidak semuanya benar-benar hal yang kamu inginkan, kan?"
Aku teringat pada deretan piala yang pernah kulihat. Itu memang pemandangan yang mengesankan, tapi Kagura sendiri tidak terlihat punya keterikatan emosional yang kuat pada semua itu.
Ia mengangkat sedikit pandangannya yang tadi sempat tertunduk, menatap kosong ke arah depan meja, seolah sedang mencari sesuatu yang belum jelas bentuknya. Aku bisa melihat dari sorot matanya, ia sedang berusaha memilih kata-kata.
"Ada, sih… tapi—"
Begitu kata itu keluar, suaranya langsung melemah dan terputus. Bukan karena ia tidak mau mengatakannya. Mungkin lebih karena ia tidak bisa merangkai kata dengan tepat. Atau mungkin, saat ia mengatakannya dengan jelas, ada rasa takut kalau hal itu akan menjauh darinya.
Bagi seseorang yang selama ini hidup menuruti ekspektasi orang lain, menyentuh keinginan pribadinya pasti terasa seperti itu. Begitu menurut pengalamanku sendiri.
"Heh, bagus dong kalau ada yang kamu ingin lakukan."
"…Benarkah begitu?"
"Tentu saja. Lebih baik daripada jadi seperti aku yang menggantung tanpa arah."
Aku yang dulunya ingin bebas, dan ketika benar-benar bebas hanya berakhir mengulang hari-hari biasa tanpa arti, jelas lebih buruk dibanding dirinya.
"Tapi, aku yakin orang-orang akan menganggapnya aneh…"
Nada suaranya penuh keraguan pada dirinya sendiri. Ada rasa malu, bingung, dan cemas yang bercampur jadi satu—dan entah bagaimana, aku bisa menangkapnya begitu jelas, seperti telepati.
Apa yang Kagura inginkan, bersama dengan keraguan-keraguan itu, sampai padaku. Apakah itu memang sesuatu yang dianggap aneh atau tidak, aku sendiri tidak tahu. Tapi setidaknya, dari luar, tidak terlihat seperti hal yang pantas ditertawakan atau diremehkan. Apalagi sampai layak untuk ditinggalkan.
"Entah kenapa, aku merasa…"
Aku mencari kata, lalu mengatakannya pelan.
"Kamu bisa lebih jujur dengan perasaanmu sendiri, Kagura."
Bulu matanya sedikit bergetar, dan matanya melirik sebentar ke arahku.
"Mungkin memang ada hal-hal yang harus kamu lakukan, atau alasan tertentu yang menghalangi… tapi pada akhirnya, hidupmu tetap milikmu sendiri. Kalau terus-terusan terombang-ambing oleh orang lain, menurutku itu terlalu sayang. Apalagi kalau kamu punya sesuatu yang benar-benar ingin dilakukan."
Kata-kataku keluar lancar, mungkin terlalu lancar sampai aku sendiri agak terkejut. Mungkin aku terlalu terbawa oleh rasa kedekatan aneh ini.
"…Ya, meskipun ini terdengar sok tahu, kan."
Aku menutup kalimatku dengan nada malu-malu. Kalau dipaksa menyebut peranku, mungkin lebih tepat disebut "senior" di jalan ini. Meski sebenarnya aku merasa jalanku justru melenceng jauh, lebih cocok jadi contoh buruk ketimbang panutan.
"Oh, tapi jangan sampai terlalu jujur pada diri sendiri juga, ya. Itu bahaya. Maksudku, sebisa mungkin tetap dalam batas-batas yang tidak melanggar norma, hukum, atau, um… garis etika masyarakat, terutama soal pembinaan moral remaja."
Saat aku mengatakannya, sebuah kemungkinan terlintas di benakku. Bagaimana kalau Kagura terlalu jujur pada dirinya sendiri dan membebaskan "monster merah muda" yang tersembunyi di balik wajah tanpa ekspresinya itu? Itu pasti akan menjadi masalah besar.
Jangan sampai ada berita di televisi sore yang bilang "pelakunya Kagura, pemicunya Yonemine." Itu lebih dari cukup untuk membuatku ketakutan.
Sekilas aku meliriknya, dan ia tersenyum tipis.
"Aku mengerti kok. Sampai segitunya juga tidak."
Kagura menyipitkan matanya sedikit, lalu mengarahkan pandangan ke luar jendela. Wajahnya diterpa cahaya lembut yang masuk dari samping.
"Tapi… terima kasih."
Di sana, di balik ucapannya, aku bisa merasakan ada sesuatu yang menyerupai tekad.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter



Post a Comment