Di bawah cahaya cemerlang dua matahari besar dan kecil yang bersinar terang, "Noble Lark" melesat di antara deretan bangunan linier Kota Medis Farance, bersama rekan penyelamatnya, Messian, bagaikan hembusan angin satu pasukan.
Yang paling mencuri perhatian adalah sepasang sayap putih yang gagah dan anggun. Sayap yang panjangnya seukuran tubuh itu mengepak, dan tentu saja ia terbang melayang di udara. Tatapan matanya tertuju pada sosok Selfie, sang pengacau zaman, yang tengah bergerak dengan kelincahan luar biasa di hadapannya. Saat ini, mereka tengah mengejar pria yang sebelumnya menyerang salah satu markas Messian di Farance dan menyebabkan dua orang menjadi "Orang yang Dipulangkan".
—Ini adalah Dunia Mental, Astral Side. Saluran dunia yang terhubung oleh para pasien CCD.
Sebagai contoh, kota Farance, meskipun berbeda dalam tekstur dan jumlah bangunannya, secara geografis hampir menyerupai salinan kota nyata Kutsuna. Rumah "Noble Lark" di Material Side merupakan salah satu markas Messian, sementara SMA Fakultas Kedokteran di dunia nyata menjadi benteng yang tak memiliki pintu masuk yang jelas di dunia ini. Namun, secara keseluruhan, hubungan posisi pada peta keduanya cukup serupa.
Mungkin saja karena "di sana" terdapat Fakultas Kedokteran, maka "di sini" pun menyandang nama "Kota Medis". Entah apakah ini hasil dari gambaran kolektif para Diver, atau pelengkap imajinasi individu dalam otak masing-masing, atau memang benar-benar dunia lain yang ada, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan para Diver. Namun, setidaknya bagi "Noble Lark"—yakni Sasuga Hibari—bisa bertarung di tempat yang secara kebetulan dikenalnya dengan baik merupakan keuntungan tersendiri.
"Sepertinya dia bergerak menuju Alun-Alun Festival Farance, Lark. Dengan kecepatanmu, kurasa kamu bisa memotong jalannya. Kupikir kita bisa mengepungnya dari dua arah—"
Apa yang akan dia katakan jika melihat diriku yang seperti ini?
Sambil mengepakkan sayapnya, Hibari memikirkan hal itu. Penampilan luar "Noble Lark", yang dulu pernah ia gambarkan sendiri sebagai gadis pejuang, terdiri dari helm biru langit, pelindung dada berwarna senada yang mengilap bak cermin, baju zirah ringan dan rok pelindung untuk memudahkan gerakan, serta sepatu bersayap untuk menendang udara—benar-benar seperti seorang Valkyrie yang muncul dari gim atau manga. Senjata utamanya adalah tombak panjang yang tampak kasar. Sampai di titik ini, penampilannya nyaris seperti cosplay, dan tak jarang ia menyindir dirinya sendiri karena itu.
Mungkin di dunia ini, aturan dasar tetap mengikuti citra dari dunia material. Jika seseorang menyukai gim, maka wujud mereka akan menyerupai karakter dari gim tersebut. Jika seperti rekan di sebelahnya yang menyukai musik, maka penampilannya akan seperti patung komponis besar.
—Bagaimanapun juga, fakta bahwa mereka bisa terbang sudah cukup menunjukkan betapa penampilan mereka telah jauh dari kenyataan.
—Dulu kamu bilang, ini semua karena permainan hukuman, kan?
Kenangan di dunia material yang hanya terjadi beberapa waktu lalu kembali berkelebat dalam pikirannya. Kenangan yang tidak bisa ia lupakan meski ia mencoba berkali-kali. Butuh waktu cukup lama sampai ia menyadari bahwa ia telah dikhianati sejak awal. Sebab, perasaannya pada lelaki itu sudah terlalu dalam untuk bisa mundur begitu saja.
Itulah sebabnya, pemandangan yang terhubung dengan kenangan itu terlalu indah untuk hanya disimpan di sudut hati.
"Aku suka kamu, Sasuga Hibari. Kamu yang unik, yang tidak ada duanya, baik di dunia ini maupun di Astral Side."
—Dengan satu kalimat itu, aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Mau dibilang mudah jatuh cinta atau apa pun, satu-satunya orang yang mau menerima Sasuga Hibari beserta dunia mentalnya hanyalah dia. Tidur, bangun, bahkan saat dive pun, dia selalu memenuhi pikiran Hibari, menjadi sandaran hatinya sebagai kekasih, sebagai "Guardian", dan menjadi tempat berpulangnya perasaan. Ia tak tahu seberapa banyak perasaannya sampai padanya. Lelaki itu sulit ditebak, namun saat mereka bersentuhan, kehangatannya nyata, dan hanya dengan itu, Hibari yakin dia bisa mempercayainya. Kenangan seindah permata musim panas itu—sekarang harus ia segel.
—Toh ini cuma permainan hukuman. Dia hanya kasihan padaku, kan?
Pengungkapan yang begitu kejam itu membuatnya bahkan tak sanggup menanyakan kebenaran padanya.
Jika lelaki itu tidak menyangkalnya, jika benar-benar hanya permainan, maka semua kata-kata manis yang pernah diucapkannya hanyalah kebohongan gelap yang dibangun di atas fondasi palsu. Jika begitu, Sasuga Hibari pasti tak akan pernah bisa bangkit lagi dari keputusasaan yang begitu dalam.
"…Lark? Hei, Lark. Dengar nggak sih? Kalau kamu kayak gitu, Selfie bakal bebas berbuat semaunya, tahu?"
—Tidak, aku harus fokus.
"──Ya. Aku tidak apa-apa. Maaf. Tapi, kita batalkan saja rencana mengepungnya. Mungkin saja ini hanya trik untuk memancing kita berpencar. Mari kita tetap jaga keunggulan jumlah agar bisa mengatasi jebakan."
"Dimengerti."
Meski penampilannya tenang, ia sadar bahwa pikirannya sedang tenggelam dalam lamunan. Setiap kali kesadarannya kembali ke masa lalu, rasa sakit menusuk terasa menembus pelindung dadanya. Dunia mental, Astral Side. Ia percaya bahwa membetulkan perilaku egois Selfie di dunia ini adalah misinya dan tempatnya untuk hidup. Karena itulah ia kini mengejar Selfie yang menyerang markas Farance bersama rekan-rekannya. Ia yakin, itu bukan kesalahan. Ia yakin—atau setidaknya ingin meyakininya. Namun tetap saja, ia sempat tergoda oleh kata-kata manis itu. Kata-kata setan yang membisikkan harapan bahwa ia bisa menjadi "kekasih biasa".
Meski tertarik oleh aroma manisnya, yang tersisa di mulut hanyalah pahit yang luar biasa. Kekasih biasa—yang berarti, melepaskan Astral Side dan menjalani hidup di dunia nyata. Itu berarti, keinginan semacam itu memang telah tumbuh dalam dirinya.
—Padahal cuma kekasih dari permainan hukuman, ya.
Harapan yang mirip dengan pelarian diri yang menyertainya dalam sikap menyiksa diri sendiri itu adalah: “Karena aku tidak mendengarnya secara langsung darinya.” Sebenarnya, andai saja ini bukan permainan hukuman… andai saja dia benar-benar…
“Aku melihatnya! Alun-alun Festival!”
Suara lantang rekan seperjuangannya membelah keheningan dan aliran pikirannya. Alun-alun Festival Farance merupakan bangunan terpantul dari taman olahraga Kota Kutsuna. Jika dilihat dari udara, tampak sebuah lapangan persegi panjang luas yang terbuat dari batu, dikelilingi oleh dinding aneh yang tersusun dari struktur menyerupai gerbang torii, juga terbuat dari batu. Terdapat dua pintu masuk: satu di sisi depan tempat Selfie—pengacau zaman—baru saja melarikan diri, dan satu lagi di sisi sebaliknya. Di tengah alun-alun terdapat sebuah dataran tinggi yang dapat dicapai dengan menaiki tangga yang cukup melelahkan, dan di puncaknya berdiri sebuah peti batu raksasa yang tujuan dan fungsinya tidak diketahui.
“Seperti yang kamu bilang, kelihatannya kita benar-benar sedang dipancing ke sini.”
Noble Lark mengangguk.
Dari balik peti batu raksasa setinggi lebih dari dua meter, tiga orang Selfie lainnya muncul, seolah sudah menunggu mereka mendarat di pusat lapangan dari udara. Fakta bahwa mereka sengaja bersembunyi di tempat yang tidak bisa terlihat dari langit sudah cukup untuk memastikan ini adalah jebakan.
“Aku yakin kalau aku bilang aku tidak ingin bertarung di sini pun, kalian tidak akan mau mendengarnya, kan?”
“Pertanyaan bodoh itu. Bagi kalian para Messian yang sok adil, 'manusia' memang penting, tapi bagi kami mereka hanya 'benda'. Mau menyeret berapa banyak orang pun, kami tidak peduli. Memang sekarang tempat ini markas kalian, tapi kalau kami berhasil menahan kalian sebagai sandera, bukankah itu sudah kemenangan besar? Hahaha!”
Salah satu Selfie yang baru bergabung menyeringai mengejek dan menantang.
“Kalian tahu ini wilayahku—wilayah 'Noble Lark'—kan?”
“‘Noble Lark’... salah satu dari 'Empat Bunga Angin', ya?!”
Wajah-wajah Selfie menunjukkan kegelisahan. Meski nama itu bukan pilihan Hibari sendiri, namun entah itu terkenal atau tercela, jika bisa digunakan untuk menakut-nakuti, maka akan dimanfaatkan sepenuhnya. Seperti saat ia pertama kali menolaknya di sana.
Zzzt. Lagi-lagi rasa sakit menusuk dadanya. Meski pelindung dada itu memiliki perlindungan yang bisa menangkis sebagian besar serangan, ia tidak memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka di hati.
“Kalau kita bisa menyingkirkan tokoh besar seperti itu di sini, kita bisa bersenang-senang sepuasnya. Hei, cari pasaknya dulu! Sebelum dia sempat memanggil bantuan, kita bereskan dulu!”
“Tunggu, kita ada empat orang. Meski dia kuat, kalau kita habisi sebelum dia sempat meniup peluit, beres kan?”
Meski tampak seolah kompak, Selfie jelas tidak sepakat satu sama lain. Hibari menatap mereka sekilas dengan tatapan jijik dan menghela napas dalam ketidaksenangan. Mereka benar-benar meremehkannya. Mengira jebakan mereka akan cukup hanya dengan empat orang.
Ini adalah markas para Messian. Dan yang melindungi markas ini adalah "Noble Lark". Fakta bahwa mereka menyiapkan jebakan tapi tidak memastikan pasak terlebih dahulu—itu adalah kesalahan fatal.
"Mungkin aku belum bilang, tapi di Astral Side ini, semuanya berdasarkan permainan perebutan wilayah."
Kenangan saat ia pernah berkata begitu pada seseorang muncul secara refleks, dan ia menggelengkan kepala seolah menolak percampuran antara kenangan manis dan pahit.
Pertarungan antara Messian dan Selfie di Astral Side, meskipun tampak seperti adu kekuatan berdarah antar kepekaan spiritual, sebenarnya mirip permainan taktik perebutan wilayah.
Di medan perang khusus seperti alun-alun ini, dengan menancapkan 'pasak' penanda penguasaan, dan bertahan selama 15 menit, maka radius 500 meter dari titik tersebut akan menjadi markas sah. Di dalam wilayah markas sendiri, kekuatan diperkuat, dan kekuatan musuh dibatasi. Tidak bisa ada dua pasak dari kubu berbeda dalam satu wilayah, jadi jika ingin merebut wilayah lawan, harus mencabut pasak musuh, lalu menancapkan pasak sendiri dan bertahan selama 15 menit. Bahkan teknik dalam proses penancapan pun memiliki trik tersendiri, menjadikan sistem ini terasa semakin seperti permainan.
Singkatnya, siapa cepat dia dapat. Siapa yang lebih dulu menancapkan pasak dan menjadikan tempat itu markasnya, dialah yang unggul. Pertarungan hanyalah hasil sampingannya.
“Yah, abaikan si pria rambut ikal itu. Tapi si 'Noble Lark' ini lumayan juga, dari penampilan.”
“Tidak usah dikirim balik. Lumpuhkan saja. Biar dia menangis dan merintih.”
“Betul juga. Akan menyenangkan melihat wajah memelasnya hancur berantakan.”
“Hahaha! Sadis banget, bro. Tapi ya sudahlah, kita bikin otaknya bubur sekalian, hasil akhirnya sama aja.”
Namun, seperti yang terlihat, kebanyakan Selfie adalah orang-orang bejat yang egois dan gila. Mereka adalah pecandu kekacauan yang hanya ingin menikmati pertarungan melawan Messian dan kehancuran Astral Side. Dampaknya akan tercermin secara besar maupun kecil ke dunia nyata (Material Side).
Karena itu, para Messian menjaga ketertiban dengan menghukum mereka. Kadang bahkan merebut wilayah musuh secara paksa. Bahwa "Noble Lark" mendapat gelar agung sebagai peringkat ketiga dari "Empat Bunga Angin" adalah hasil dari banyaknya serangan yang telah ia lakukan terhadap markas musuh.
“Jadi, sudah selesai diskusinya?”
“Tentu. Pasak bisa diurus nanti. Sekarang saatnya bersenang-senang.”
Baik di antara Messian maupun Selfie, ada satu hukum tak tertulis yang sama.
Jika kamu tidak menyukainya, maka tumbangkan saja dengan kekuatan mental yang absolut dan idealisme yang tak terbantahkan. Di dunia ini, aturannya sederhana—sangat berbeda dari dunia sana. Dan bagi Hibari saat ini, aturan seperti itu terasa pas. Soal suka atau tidak, nyata atau bohong, tentang dia atau dia—semuanya… Hanya suara bising yang mengacaukan pikirannya.
“Kalau begitu, ayo. Sekarang ini, suasana hatiku sedang sangat buruk. Jadi, aku tidak akan menahan diri.”
Bertolak belakang dengan emosi yang berkecamuk dalam hatinya, bayangan mental tajam dalam benaknya tumbuh semakin besar.
Ia menarik napas dalam-dalam. Begitu pertarungan dimulai, bimbingan spiritual menciptakan panas di dalam tubuh secara otomatis. Pikiran-pikiran yang mengganggu tersebar seperti kabut. Genggaman tangan pada tombak panjang itu semakin erat. Tak peduli bagaimana caranya, ia merasa bisa menyingkirkan musuh. Rasa percaya diri itu terus-menerus muncul, dan perasaan seolah-olah serba bisa mulai menguasai hati.
Setelah itu, ia tinggal melepaskan semuanya.
Satu ayunan tanpa basa-basi. Tak ada hiasan, tak ada gaya.
Hanya dengan itu, para Selfie yang ada di depannya terlempar seperti mainan dan dalam sekejap tak bisa bergerak lagi.
Sesaat kemudian, angin besar menerjang mengikuti lintasan tombaknya. Barulah udara mengeluarkan jeritan, mengejar tebasan tajam dari "Noble Lark." Kemudian, tubuh-tubuh para Selfie tersapu oleh angin dan perlahan memudar, lalu menghilang.
“Pengusiran”— suatu fenomena di mana kerusakan besar menyebabkan otak mengalami kelumpuhan sementara, dan kehilangan kapasitas persepsi untuk tetap terhubung di Astral Side, sehingga kesadaran mereka dipaksa kembali ke Material Side.
Kemungkinan besar, keempat orang itu sekarang tengah menderita di tubuh mereka yang berat di dunia nyata, disertai sakit kepala hebat dan mual. Rasa tidak nyaman akibat penggunaan otak yang berlebihan, Hibari pun sudah mengalaminya berkali-kali.
“Padahal wajahmu seperti sedang tidak enak badan, tapi kamu benar-benar sedang dalam performa terbaikmu, Lark. Karena mereka cukup banyak, aku sempat berpikir untuk cari celah dan menancapkan pasak ulang, tapi ternyata… luar biasa.”
Ada teknik seperti "bom" dalam game tembak-menembak, yaitu dengan menancapkan kembali pasak pada lokasi yang sudah menjadi markas sendiri. Setelah lima belas menit, semua musuh di radius wilayah tersebut bisa dipaksa untuk "dikirim pulang". Sebaliknya, jika pasak itu tercabut sebelum waktunya, wilayah markas akan hilang dan si penancap akan terkena status "beku total" selama 30 detik—sebuah pedang bermata dua.
Seperti yang ditunjukkan oleh ucapan santai dari rekan setimnya, mereka bahkan tak sempat mempertimbangkan menggunakan teknik tersebut. Dominasi mutlak. Memang benar-benar demikian.
—Padahal, aku tak pernah bisa melakukan ini sebelumnya.
—Padahal aku sempat berniat meninggalkan dunia ini karena obat itu.
Barulah sekarang ia kembali teringat percakapannya dengan Keiji, teman dari Masaomi.
『Setelah pulang sekolah, bisa ke belakang gedung olahraga nggak? Kupikir kamu pasti sudah bosan dapat undangan macam begini, tapi teman sekelasku, Kusunoki, ingin bicara denganmu.』
Pertama, sebagai teman yang iseng menjodohkan.
『Yah, kalian akhirnya resmi pacaran, ya. Ngomong-ngomong, aku dengar dari dia. Mungkin saja aku bisa membantu soal pengobatanmu. Kamu pasti curiga, kan? Aku juga. Tapi biar kukasih tahu dulu—anggota keluargaku juga menderita penyakit yang sama. Jadi, karena kamu pacar temanku, aku merasa bisa sedikit peduli.』
Kedua, sebagai teman dari sang pacar, secara resmi.
『Hibari, apa kamu tidak ingin mencoba menjadi pasangan “normal” dengan Masaomi? Obat ini menyimpan kemungkinan itu.』
Dan yang ketiga—dengan wajah setengah dewa, setengah iblis.
Meski begitu, Keiji menjelaskan efek obat itu dengan cara yang sangat adil. Justru karena itu, Hibari tidak bisa langsung memutuskan, dan terus-menerus bergumul dalam pikirannya. Ia mengabaikan berbagai upaya Keiji untuk menghubunginya, dan juga menjauhi perannya sebagai seorang “Guardian.”
Pada akhirnya, itu hanyalah pelarian. Apakah semua waktu yang ia habiskan bersama Masaomi itu adalah kebohongan? Atau hanya awalnya saja yang palsu? Atau sebenarnya tidak ada kebohongan sama sekali? Meski sudah berpikir sampai sejauh itu, ia tidak menemukan jawaban. Lalu kini, pilihan bahwa penyakitnya mungkin bisa sembuh juga ikut hadir dalam pikirannya—Hibari hampir merasa kepalanya akan meledak.
Misalnya, kalau pengakuan cinta itu memang hanya permainan hukuman… apakah Masaomi akan memilih dirinya sebagai Hibari yang “normal”, bukan sebagai Hibari yang Astral Diver?
Kalau saja ia adalah gadis “normal”, meskipun semuanya dimulai dari kebohongan permainan, meskipun apa yang dibangun setelah itu juga palsu, mungkin ia masih bisa mengulang segalanya dari awal dan menjadi pacar sungguhan.
—Kalau begitu, aku… Jika aku meninggalkan dunia Astral Side ini, mungkin aku bisa tetap berada di sisinya.
Keseimbangan hatinya sudah hancur total. Sekali pikiran itu muncul, semuanya menjadi jurang tanpa dasar. Setelah itu, hanya butuh sedikit dorongan untuk jatuh.
Hubungan yang dinilai sebagai “permainan hukuman” oleh teman sekelas yang tak tahu apa-apa—entah itu benar atau tidak, Hibari yang sudah dilanda badai emosi bahkan tak sanggup lagi membedakan kenyataan. Jadi ia memilih bagian penjelasan Keiji yang paling menguntungkan, membiarkan dirinya tergantung pada harapan, lalu menenggak obat itu.
Agar bisa menjadi kekasih yang “normal.” Agar tidak ada seorang pun yang bisa menyebut cintanya hanya permainan hukuman. Tapi tetap saja, bagian yang tidak menyenangkan juga sudah dikatakan.
“Akhir yang mungkin terjadi pada pasien yang minum obat ini—”
—Dalam kasus terburuk, mereka tidak akan bisa kembali.
Ia menatap tangan yang menggenggam tombak itu. Apa yang baru saja dilakukannya kembali terulang di benaknya. Kekuatan serangan yang dihasilkan dari satu gerakan mengayun itu sangat luar biasa, seolah-olah berasal dari game yang sudah terlalu “overpowered”. Tapi ini adalah Astral Side. Tak seorang pun bertarung dengan logika dunia nyata. Terlebih lagi, alun-alun ini adalah markas Messian. Kondisinya sepenuhnya menguntungkan. Meski begitu, kekuatan sebebas ini seharusnya belum pernah ia miliki. Yang berarti—
“Kelihatannya, kamu sudah ‘jatuh terlalu dalam’, ya? 『Noble Lark』?”
Begitu kata-kata itu terucap, sosok rekan-rekannya telah lenyap tanpa jejak. Dengan panik, ia segera mengambil jarak. Satu kepakan sayap putihnya cukup untuk membuatnya melompat mundur sejauh tiga meter.
Diver baru yang telah mengusir para Messian dalam markas dengan satu serangan tanpa sempat membuat mereka menjerit, nyatanya tidak mengejarnya. Bahkan dari jarak ini, meskipun tak terlihat, ia tahu. Ia tahu pasti wajah itu kini menyunggingkan senyuman penuh kepuasan.
"Aduh, maaf ya, baru saja kamu berhasil mengingat namaku, tapi kurasa sudah waktunya kita mengakhiri ikatan yang menjengkelkan ini, ‘Wind’. Kamu tidak menyerangku—karena merasa terlalu percaya diri?"
“Wind”—sosok yang bisa dibilang sebagai pemimpin para Selfie di wilayah Farance. Ciri khasnya adalah jaket hoodie berwarna biru tua, dikenakan dengan tudung yang menutupi wajahnya dalam-dalam.
Penampilannya sudah sangat familiar bagi Hibari karena seringnya bertarung melawan dia dalam pertempuran sengit—sampai-sampai di dunia nyata, ia bersumpah untuk tidak pernah membeli pakaian dengan warna seperti itu.
—Benar, pada kencan pertama pun, aku pernah bilang begitu padanya.
Ia teringat ekspresinya yang sedikit terkejut oleh pernyataan yang tiba-tiba itu. Meski wajahnya tak banyak berubah, tersirat jelas komentar diam-diam, "Enggak usah sampai segitunya." Saat itu, ia bahkan belum cukup siap untuk menerima niat baiknya secara jujur.
Lagi-lagi, pikir Hibari, mencoba menghapus kenangan itu. Apa pun yang ia lakukan, di mana pun ia berada, ia selalu mengingatnya. Tak pernah ia bayangkan dirinya bisa terobsesi dengan orang lain sejauh ini.
"Melamun di hadapanku, ya. Cukup berani juga. Itu bentuk 'pendalaman' yang luar biasa."
Dengan langkah-langkah ringan dan ritmis, kaki jenjang Wind yang menjulur dari celana pendek ketatnya bergerak lincah, ucapannya seolah siap disusul siulan santai.
"Selama ini aku cuma menganggapmu sebagai Messian kecil yang mengganggu. Tapi kalau si setengah-setengah itu sudah 'jatuh' sejauh ini, kurasa aku juga bisa bersenang-senang. Lagipula, terusik terus di tempat bermain sekitar sini itu cukup merepotkan. Jadi kupikir, kenapa tidak menyelesaikannya saja?"
Suara perempuan yang tinggi dan serak itu sudah sangat dikenalnya. Nada bicaranya memang sopan, tapi Hibari dapat merasakan dengan jelas nada merendahkan yang tersembunyi di dalamnya.
Ia adalah Diver yang seperti wujud dari ketidakteraturan—berpakaian dengan sesuka hati, muncul dan bertarung melawan “Noble Lark” hanya untuk bersenang-senang, lalu menghilang begitu bosan.
Siklus itu terulang terus-menerus. Kemampuannya yang mutlak—baik sebagai Diver maupun dalam bertahan lama di Astral Side tanpa peduli dunia nyata—menjadi bukti atas kebebasannya. Dan sekarang, Diver dengan kedalaman setinggi itu telah menganggap Noble Lark sebagai musuh yang layak disingkirkan.
"Terima kasih banyak. Senang sekali bisa masuk radar kehormatanmu."
Ia menyentuh perlahan ornamen bulu di helmnya dan mengatur napas. Tidak masalah. Napasnya tidak goyah. Dengan kata lain, Noble Lark—yakni Sasuga Hibari—telah diakui sebagai Diver sejati yang telah meninggalkan Material Side. Sebagai Astral Diver, itu bisa dianggap sebagai sebuah kehormatan.
—Tapi, kenapa aku merasa…
"Benar. Kalau aku bisa mengalahkanmu, takkan ada lagi Selfie yang berani menentangku di Farance. Kalau sudah begitu, menjaga keseimbangan dunia ini juga bukan hal yang sulit. Aku bisa melindungi dunia yang kucintai."
—Apakah… aku merasa sedih karena hal itu?
Perasaan yang bertentangan dengan kata-katanya sendiri membuat hatinya terasa nyeri, seolah-olah berderit keras.
"Lantas, dunia mana yang kau cintai, sebenarnya?"
Pertanyaan Wind membuat kata-katanya tersangkut di tenggorokan.
Lagi-lagi, ia tak bisa langsung menjawab.
Astral Side atau Material Side. Untuk apa ia berjuang menjalankan misi sebagai Messian? Apa sebenarnya artinya semua ini?
Keraguan itu meresap seperti racun ke dalam hatinya.
Itulah sebabnya Sasuga Hibari—Noble Lark—kali ini memilih untuk berhenti berpikir. Dan kebetulan, Wind melontarkan kalimat seperti ini:
"Mana Guardian yang biasa menempel padamu itu? Sudah kau buang begitu saja? Sifatmu yang mudah bosan itu… memang seperti kami, para Selfie, bukan?"
Clack, suara seperti palu senjata ditembakkan bergema di benaknya.
Ia telah menyentuh sesuatu yang tidak boleh disentuh. Pemicunya terlalu kuat.
"Menjijikkan. Semuanya. —Akan kuhancurkan sampai tak bersisa."
Tanpa ragu sedikit pun, Noble Lark menancapkan kembali pasaknya di pusat markas.
『Kalau mau mempermainkan aku sih terserah, tapi menjelek-jelekkan cewek lain itu nggak keren, tahu.』
Kata-kata yang diucapkan oleh seorang laki-laki yang kebetulan lewat di koridor kelas satu itu, entah mengapa meninggalkan kesan yang mendalam.
Sudah terbiasa menjadi sasaran umpatan seperti orang gila yang lewat, Hibari memang tidak merasa senang, tapi setidaknya ia sudah cukup tahan untuk mendengarnya sambil berpikir,
“Yah, begitulah dunia.”
Karena itu, kata-kata tadi benar-benar terasa seperti pembelaan yang kebetulan ia dengar. Sampai-sampai ia sempat berpikir, “Siapa ya, nama siswa itu?”—begitu besarnya rasa lega yang dirasakannya.
──Aku sedang mendominasi.
Dengan menyingkirkan rasa euforia, lalu mengevaluasi situasi secara dingin dan objektif, Noble Lark pun menyimpulkan kondisi saat ini seperti itu.
──Aku mendominasi Wind, yang selama ini mewujudkan kekerasan, kebrutalan, dan angin topan.
Senjata yang dikendalikan oleh Wind adalah semacam tongkat, sepanjang lengan atasnya. Dengan mengayunkannya sesuka hati, ia bisa menciptakan gelombang kejut yang menyapu bersih segala hal—sebuah serangan yang khas seperti sihir angin. Ditambah dengan sifatnya yang seperti pelaku kejahatan yang menikmati kekacauan, ia sering kali menunjukkan sikap sok jago dengan tetap tersenyum dan tidak mengeluarkan tangan dari kantongnya saat menyerang. Namun sekali ia mengeluarkan tongkat itu, dalam seluruh pertarungan sebelumnya, setiap kali tongkat itu berayun, kehancuran total pun tak terelakkan. Dan kini—keadaannya seperti ini.
Meski belum bisa disebut setara, setidaknya kami benar-benar sedang bertarung. Seolah-olah semakin ia membenci kenyataan, kekuatannya semakin besar. Sebuah sistem yang terasa sangat sarkastik.
『Aku sudah menyukaimu sejak lama. Tolong jadilah pacarku.』
Siapa sangka ada orang yang bisa mengungkapkan pernyataan cinta seperti itu dengan wajah datar?
Sikapnya sulit dijelaskan—bukan karena gugup atau serius. Tapi Hibari langsung tahu saat itu, “Ah, ini orang yang waktu itu.”
Apakah dia membelaku karena menyukaiku? Tapi tak terlihat seperti itu juga. Wajahnya begitu datar, sampai tidak bisa dibaca sama sekali. Aku mungkin berharap ada sesuatu yang berbeda kali ini. Tapi tidak sampai terlalu berharap.
──Ini hanya pengulangan yang biasa, katanya dalam hati, meyakinkan diri.
"Fufu, begitu rupanya. Tombak tak terkalahkan itu sungguh luar biasa. Sekarang aku bisa menerima mengapa kamu disebut salah satu dari Empat Kilatan Angin."
"Kalau hanya ingin membela diri, lakukan saja sepuasnya setelah dikirim kembali ke sana──!"
Wind tidak pernah meremehkan “pendalaman” Noble Lark. Sejak awal, ia menyerang dengan gelombang kejut dari tongkatnya. Namun, begitu Noble Lark mengayunkan tombaknya dengan rasa kepercayaan diri mutlak yang menyelimuti dirinya, ia bisa menepis serangan itu dengan mudah.
Ketika ia membalas serangan, Wind segera mundur cukup jauh untuk menghindar. Padahal ia bisa menyelimuti dirinya dengan gelombang kejut sebagai perisai dan menetralkan hampir semua serangan.
Artinya jelas—Wind mengakui tombak Noble Lark sebagai ancaman nyata.
『Berhentilah langsung menyimpulkan kalau tidak akan pernah ada yang mengerti dirimu.』
Itu tepat sasaran. Selama ini, ia terus berasumsi bahwa tak akan pernah ada yang mengerti dirinya.
Dunia Astral, keanehan yang ia miliki, sisi dalam dirinya yang hanya bisa disebut "aneh"—sebetulnya ia ingin dimengerti. Tapi ia menyembunyikan dan menyangkal keinginan itu sendiri.
──Bahkan seperti ini pun, tidak apa-apa.
Itu adalah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Bagian terdalam di dadanya terasa panas, sampai-sampai rasanya ingin berteriak. Hampir tak bisa dipercaya. Terasa seperti mimpi. Tapi saat ia mengenangnya kembali, ia sadar bahwa saat itulah—ia jatuh cinta, dengan begitu mudahnya.
"Wind, untuk menantangku, bukankah kemampuanmu sudah menurun? Sepertinya anginmu akhirnya akan berhenti bertiup!"
Pertarungan kini telah berpindah ke udara. Benar-benar pertempuran tiga dimensi. Seberapa jauh pun Wind mencoba menjauh, kepakan sayap putih Noble Lark mampu menutup jarak dalam sekejap. Dengan mudah ia mengayunkan tombak panjangnya, tak memberi celah bagi Wind untuk membalas. Bahkan dalam gerakan secepat dan seganas itu, tudung menyebalkan yang menutupi wajah Wind tak pernah jatuh—karena itu bukan sekadar pakaian, melainkan avatar yang sengaja dikustom sedemikian rupa.
──Zaman para pengecut yang bahkan tak berani memperlihatkan wajahnya, sudah berakhir!
Kecepatan, kekuatan, dan keberanian untuk menghadapi musuh—semuanya berada pada puncaknya. Tanpa memikirkan pertahanan, Noble Lark hanya fokus menyerang tanpa henti. Dalam pikirannya, ia menghitung waktu.
Sudah sekitar dua belas menit sejak pertarungan dimulai. Tiga menit lagi, markas akan sepenuhnya aktif. Jika ia bisa bertahan selama tiga menit itu, maka area sekelilingnya akan terlindung oleh penghalang khusus milik para Messian, dan Diver yang ditetapkan sebagai terlarang oleh Noble Lark—yakni Wind—akan dipaksa untuk keluar secara otomatis.
『Kalau ekspresiku kelihatan datar, itu mengejutkan juga sih. Padahal aku lagi menikmati ini banget, lho.』
Menikmati ya, enak sekali hidupmu, pikir Hibari, agak jengkel. Sementara dia hanya bisa dibolak-balikkan oleh ekspresi datar itu, selalu bingung harus percaya atau tidak—selalu saja jantungnya berdegup kencang.
Kebiasaan yang melekat pada diri, memang sulit dihilangkan. Ia belum bisa sepenuhnya mempercayai semuanya dengan mudah. Namun, waktu yang mereka habiskan bersama di dunia nyata sambil membicarakan dunia Astral dan segala hal lainnya—adalah waktu yang paling berharga. Dan perasaannya terhadapnya pun terus tumbuh. Ia tak bisa menghentikannya.
"Angin yang tenang, ya. Aku tidak suka. Bahkan membenci hal yang aku benci pun, rasanya aku benci."
Noble Lark sempat berpikir—mungkin Diver pertama yang memasuki Astral Side itu adalah seorang gamer. Di dunia yang telah meninggalkan kenyataan, ia menggunakan kekuatan tak nyata untuk menunjukkan dominasinya—untuk dirinya sendiri, dan juga rekan-rekannya. Seperti dirinya sekarang.
"Yah, kalau begini terus, sepertinya aku memang akan terlempar keluar."
Sambil dengan susah payah menangkis serangan badai dari Noble Lark yang mendapat perlindungan dari markas, mulut Wind yang terlihat samar-samar masih menyunggingkan senyum penuh percaya diri. Meskipun telah berada di bawah pengaruh penghalang titik basis pihak musuh, sikapnya tetap tak berubah. Bahkan lebih dari itu.
"Aku tanya sekali lagi, apa benar kamu tidak butuh 'Guardian'?"
Klik—Noble Lark benar-benar terpancing emosi. Hanya dengan menyentuh topik itu saja, Wind sudah membuat darahnya mendidih. Jika ia berani menyentuh lagi kenangan tentang permainan hukuman itu, bukan hanya sekali, melainkan dua kali──
"Kamu sudah keterlaluan!"
Meskipun tahu itu hanya provokasi murahan, kata-kata itu tetap tak bisa diabaikan. Ia bahkan ingin menancapkan tombaknya ke mulut sinis yang seperti mengejek manusia, dan memamerkan kepala terpenggal itu di markas sebagai peringatan.
『Tenang aja. Aku ini 'Guardian'-mu, kan? Aku tetap di sini untuk mendukungmu... jadi, santailah.』
Ia menerima peran sebagai 'Guardian' dengan penuh kebanggaan. Dengan perasaannya yang datar dan tenang, ia menerima semua "frekuensi aneh" Hibari tanpa memandang siapa dirinya.
Karena itulah, jauh di dalam hati, terlintas keraguan kecil—mungkin tidak apa-apa jika dunia Astral Side menghilang. Tapi itu sama saja dengan menolak dirinya di masa lalu yang pernah menyangkal dunia Material Side. Perasaan pun berbalik drastis, seperti sumsum otak dibalikkan. Racun kuat mengasah pikirannya, dan dalam sekejap, mengganti inti dirinya sepenuhnya.
Seakan memaksa untuk menutup semuanya, ia menekan keinginan samar itu ke dalam jurang kenangan yang tak bermakna. Padahal sejak awal ia sudah tahu. Tak perlu ragu. Karena kekasih biasa, diri Hibari tanpa Astral Side, tanpa kemampuan untuk “mengirimkan gelombang”, pasti takkan pernah sampai ke hati orang itu. Maka justru dirinya yang semakin tenggelam sekarang inilah—adalah satu-satunya jawaban benar untuk membalas permainan hukuman itu.
Karena…Sekarang, ia tak punya pilihan lain selain mempercayainya──
Tajamnya tombak Noble Lark semakin meningkat seiring dengan emosinya. Tajam, hanya tajam, tanpa belas kasih, ia menyerang Wind, sang Diver yang bernama angin, laksana burung pemangsa yang namanya hanya tinggal nama. Dan akhirnya, ia berhasil menangkap ekor Wind.
Parka berkerudung itu—bagian pinggangnya berhasil disobek. Bahkan Wind yang biasanya tetap tersenyum, tampak terkejut—senyum tipisnya membeku. Pertahanan yang selama ini dianggap sempurna dan tak tertembus, akhirnya retak.
Senyum buas mengembang di wajah Noble Lark. Mana mungkin ia bisa menahan diri untuk tidak tertawa? Kenangan indah yang berkeliaran, mencoba menggerogoti pikirannya, harus diakhiri di sini.
──Di dunia ini, aku akan... Mengalahkan bahkan para penguasa yang tampak tak terkalahkan, dan menguasai Astral Side. Maka, rasa sakit yang mencengkeram di dada ini—kerinduan terhadap dunia sana—semuanya...
"HILANGLAHHHHHHH─────!!"
Menembus udara, menembus angin, menusuk segala halangan yang ada di depannya, tombak Noble Lark mengarah langsung ke lawan di hadapan──
"──Sayang sekali. Kamu lengah di bagian bawah, ya?"
Tiba-tiba, pengaruh penghalang dari titik basis menghilang.
Tombaknya jadi lebih lambat, lebih pendek, dan tumpul. Karena itu, serangan itu pun tertahan kembali oleh penghalang milik Wind, kehilangan kekuatannya. Pengaruh titik basis menghilang. Kekakuan fatal menyerang. Penahanan paksa telah terjadi.
Sial, gumamnya dalam hati. Perasaan yang sangat dikenal. Alasannya jelas──patoknya dicabut. Terlalu fokus menyerang Wind, ia mengabaikan pasukan tersembunyi──padahal inti dari pertempuran di dunia ini adalah permainan perebutan wilayah.
Mengalahkan pion hanyalah sarana, bukan tujuan. Karena pikirannya dipenuhi oleh keinginan untuk menghancurkan Wind, Noble Lark melupakan prinsip dasar itu. Sudah pasti, sekarang patok milik para Selfie telah ditancapkan.
Ia harus segera mengatasinya, tapi tiga puluh detik yang terasa seperti keabadian mulai mencengkeram dirinya, mengejek rasa panik yang tumbuh. Bayangan kelam merayap, mencengkeram sayap, tangan, dan impiannya—melumpuhkannya di udara, seolah tubuhnya dipaku di langit. Ia tidak bisa bergerak, bahkan untuk melepaskan diri, karena inti jiwanya—pusat dari dirinya sebagai Diver—telah ditembus oleh pedang kegelapan, dan kini tengah diracuni. Ini adalah hukum dunia yang mengikatnya.
Ia menyesal tak sempat memanggil Diver lain saat tempat ini masih menjadi markasnya. Sekarang, setelah titik basis-nya hilang, ia tak bisa melakukan pemanggilan. Artinya──tak ada bala bantuan yang akan datang.
"Sepertinya sayapmu terlalu berat untuk membawamu kembali menjadi ‘angin tenang’, ya?"
Bahkan sebelum otaknya bisa mencerna kata-kata itu, tubuhnya yang tak bisa bergerak akibat efek patok, telah dihantam jatuh ke tanah.
Tubuhnya, yang tadinya melayang lebih dari sepuluh meter di udara, terhempas lurus ke bawah. Tak sempat mengepakkan sayapnya. Serangan mendadak—Ground Zero.
Guncangan luar biasa mengguncang panggung pertempuran dan menghancurkan tubuh Noble Lark.
"Ka… hhh… guhh… hah…!"
Dengan napas yang tercabik, oksigen terhempas habis dari paru-parunya. Seluruh tubuhnya digerus oleh rasa sakit dan penderitaan.
Baju zirah sang gadis perang hancur mengenaskan, dan rambut peraknya yang kini dilumuri darah mengalir dari sela-sela helm yang retak. Bahkan satu tangan, satu jari pun tak bisa digerakkan. Tak ada kemauan, hanya lumpuh oleh rasa tak berdaya.
Dalam pandangannya yang menatap tanah, tombaknya yang telah terlepas dan menggelinding, mulai menghilang—karena tak lagi bisa mempertahankan wujudnya. Bahkan bertahan dalam kondisi Dive ini saja sudah keajaiban. Cepat atau lambat, Noble Lark sendiri akan terlempar kembali.
"…Hah… guhh…!"
Terdengar langkah kaki mendekat. Seseorang datang.
Karena dirinya tidak dibekukan secara paksa lagi, berarti yang datang bukanlah sekutu. Pasti salah satu Selfie yang mencabut patok. Dan bersamaan dengan itu, efek penahanan menghilang. Tiga puluh detik telah berlalu. Namun kerusakan yang diderita jiwanya terlalu parah. Dengan atau tanpa penahanan, rasanya tidak ada bedanya.
Menggertakkan gigi untuk mengalihkan rasa sakit, ia mengangkat wajahnya, memaksa diri menatap orang yang mencabut patok itu. Melupakan panasnya darah yang mengalir di dahinya, ia menghembuskan napas terakhir penuh rasa terkejut.
"Ka… kenapa… kamu…?"
"Kenapa atau bagaimana, itu tidak penting. Dia adalah ‘Guardian’-ku."
Jawaban dari Wind terhadap pertanyaan Noble Lark bahkan tak terdengar jelas oleh telinganya. Karena hanya satu kilas balik yang mendominasi pikirannya. Kata "nagi" yang sempat diucapkan oleh Wind—untuk menjatuhkannya. Seseorang pernah menyebut nama itu. Nama adik. Seorang penderita CCD. Percakapan ketiga kalinya. Seseorang yang bercerita tentangnya. Temannya.
──“Adikku juga mengidap penyakit itu. Namanya Nagi. Orito… Nagi.”──
Dan akhirnya, Noble Lark— Sasuga Hibari—pun mengerti segalanya.
"O… Orito-kun…?"
Sosok "Guardian" yang berdiri di hadapannya, sementara Wind memandanginya dari atas dengan penuh percaya diri… Dengan wajah──yang tak asing baginya──adalah Orito Keiji.
Rambut panjang yang diwarnai cokelat dan anting-anting merah seperti cahaya senja—penampilan Guardian yang mengenakan pakaian santai, begitu mencolok hingga terasa tak cocok dengan tempat itu—tak menjawab sepatah kata pun.
Karena Guardian tidak memiliki kehendak sendiri. Jika Wind tidak memerintahkannya untuk berbicara, maka tidak akan ada sepatah kata pun yang keluar darinya. Ia hanya bergerak atas perintah tuannya, menjadi tombak atau perisai bagi sang tuan. Tak lebih dari seorang pendamping kosong yang tak berjiwa.
Bahkan Keiji yang dikenal oleh Hibari pun tidak memiliki tatapan kosong seperti itu. Meski ia cenderung tergesa-gesa, ia selalu mendekati Hibari dengan keyakinan yang pasti.
Entah mengapa, dadanya terasa sesak. Rasa nyeri yang pahit dan tajam merayap dari tempat yang berbeda dengan luka akibat terjatuh ke tanah tadi. Padahal ia sendiri juga menggunakan Keiji sebagai Guardian, lalu kenapa…
Kenapa ia bisa merasa iba pada sosok Keiji yang seperti ini?
"…Apa mungkin kalian sudah saling kenal di dunia nyata? Wah, itu sedikit di luar perhitunganku."
Tanpa mengetahui derita batin Hibari yang terbaring tak bisa bergerak, Wind mendarat dengan angkuh di sisi Guardian-nya.
"Dia adalah Guardian-ku. Namanya Oracle. Dia adalah simbol harapan yang memberiku satu-satunya 'wahyu' kemenangan. Bukan seperti yang asli di dunia sana."
Mulut Wind sedikit menyeringai saat menyebut kata "yang asli", emosi yang tak bisa disembunyikan itu membekas kuat di ingatan Hibari.
Mungkin ia juga meninggalkan sesuatu yang penting di dunia nyata, pikir Hibari. Sama sepertinya.
"Oracle tidak akan mengkhianatiku, dan takkan kalah dari siapa pun. Dia adalah Guardian terkuat. Karena itulah selama ini aku menyimpannya. Soalnya, kalau langsung dipakai, semuanya jadi terlalu mudah, kan?"
"Itu… kesombongan seperti itu bisa membawa maut."
"Itu bukan kesombongan, namanya keyakinan diri."
Dikatakan bahwa kekuatan Guardian berbanding lurus dengan kekuatan hubungan mereka di dunia nyata. Hubungan antara Wind—Orito Nagi—dan kakaknya Keiji masih belum jelas. Tapi jika dia bisa memamerkannya dengan begitu percaya diri, berarti Oracle benar-benar cukup kuat untuk dengan mudah menghancurkan Noble Lark yang sekarang.
"Kalau begitu, meski sedikit mengecewakan, aku akan ambil alih markas ini sekalian."
Dengan senyum kemenangan yang mulai mengembang, Wind memberikan perintah pada Oracle. Tanpa membawa senjata apa pun, Oracle mengangkat kakinya tanpa ragu.
Tentu saja ini bukan sekadar gestur simbolik untuk menyatakan kemenangan. Jika ia menyebut dirinya sebagai ‘yang terkuat’ meski tanpa senjata, maka serangannya pastilah sekuat ledakan yang mematikan.
Noble Lark pun menutup matanya, seakan sudah pasrah. Jika ia dikirim pulang di sini, maka markas ini akan sepenuhnya jatuh ke tangan kubu Selfie. Sungguh menyakitkan. Namun pada akhirnya, dirinya yang tanpa Guardian ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan tak mampu membalas dendam pada Wind walau hanya sekali. Kenyataan itu membuat hatinya membusuk dalam diam. Meski sudah meninggalkan kenyataan, perbedaan kekuatan masih begitu jauh.
Ah… di dunia sana, di dunia sini, ia tetaplah hanya orang setengah-setengah. Ia tahu dirinya egois. Salah paham seenaknya, terbang terlalu tinggi, lalu kecewa sendiri, dan membuang semuanya dengan semena-mena. Meski begitu, perasaan yang perlahan mengisi hatinya yang nyaris patah ini, tetap saja egois dan tak tertahankan.
Suara yang pernah mengatakan “aku menyukaimu”. Hangatnya sentuhan yang berusaha menyembunyikan detak jantungnya. Wajahnya—seseorang yang menerima "frekuensi" yang sama dengannya.
"Selamat tinggal, Noble Lark. Sampai jumpa di medan perang berikutnya—semoga saat itu kamu sudah jatuh lebih dalam lagi."
Saat gerakan Wind yang mengayunkan rod-nya membawa aura kematian yang mencabik jiwa, sebuah harapan yang hampir tak terdengar keluar dari mulut Noble Lark—alias Sasuga Hibari.
"Masaomi-kun────────tolong aku…"
"Haiyo."
Sampai. Dan karena itulah, aura kematian yang seharusnya menyentuhnya… tak pernah benar-benar menyentuhnya.
"Eh…?"
Mata Hibari membelalak karena mendengar suara yang seharusnya tak mungkin datang. Ia mendongak, mencoba melihat siapa yang menolak pemulangan dirinya.
Padahal bahkan sebelum melihat wajahnya, ia sudah tahu siapa pemilik suara itu.
"Heh, Keiji. Nendang pacar orang tuh… beneran brengsek, tahu nggak? Mau gue tendang balik? Nggak ah, udah gue tendang barusan."
Kusunoki Masaomi berdiri di atas tanah Astral Side, dengan zirah yang melindungi segalanya di belakang punggungnya—berdiri tenang dengan wajah datar, seolah semuanya biasa saja, dan hanya Hibari yang bisa mendengarnya melalui gelombang mental.
Ia datang sebagai seseorang yang sepadan—bukan sekadar kekasih, tapi Guardian sejati bagi Noble Lark. Bahkan dalam keadaan seperti ini, detak jantung Hibari tak bisa diredam. Sakit. Menyesakkan. Tapi begitu membanggakan.
Punggungnya, yang berdiri teguh demi melindunginya dari segala bencana, tampak sangat pantas disebut sebagai Guardian dari Noble Lark. Meskipun terdengar seperti bualan berlebihan dari seseorang yang terlalu mencintai pasangannya—ia tidak peduli.
Chapter 9
Bentroknya Cita-Cita
Perjalanan Kusunoki Masaomi hingga menjadi sang Master kembali beberapa waktu ke masa lalu──
“Hibari belum juga bangun meskipun sudah lebih dari satu jam sejak ia kehilangan kesadarannya, seperti biasanya──!”
Kabar itu diterima Masaomi tepat saat ia sedang dilanda dilema: apakah sebaiknya ia pulang dulu ke rumah, atau langsung mendatangi rumah Hibari setelah melalui berbagai lika-liku di sekolah.
Yang menelepon adalah ibu Hibari. Pertanyaan bagaimana wanita itu tahu nomor telepon Masaomi bisa dikesampingkan untuk saat ini. Begitu panggilan itu datang, semua pilihan yang ada tersaring hanya menjadi satu, dan begitulah Masaomi kini melangkahkan kaki memasuki kamar Hibari. Karena ia telah berlari sekuat tenaga, ia kini terengah-engah dan bermandikan keringat. Namun, saat ini bukan waktu untuk peduli pada etika atau penampilan.
Di sampingnya berdiri ibu Hibari yang wajahnya tampak pucat, seluruh tubuhnya memancarkan kekhawatiran. Mungkin karena terlalu panik, ia bahkan belum sempat melepaskan celemek memasak, dan masih menggenggam spatula di tangan kirinya, memandang wajah Masaomi dengan penuh kecemasan. Di kakinya, Mentsuyu si kucing gendut mengitari Masaomi sambil mengeong pelan.
──Jadi kamu juga khawatir ya. Iya, maaf, ini salahku.
"Apa yang terjadi dengan wajahmu itu...? Memarmu parah sekali."
"Jangan khawatir. Ini cuma bekas dari masa muda yang berapi-api"
Wajah ibu Hibari menunjukkan kebingungan, tapi mungkin karena ditekan oleh ketenangan Masaomi atau karena ada hal yang lebih mendesak, ia tak melanjutkan pertanyaan. Mereka pun berjalan bersama menuju kamar Hibari.
"Kau pasti tahu, biasanya dia cuma tidur lima belas menit, paling lama tiga puluh menit, kan? Tapi hari ini sejak pulang, dia sudah kelihatan aneh. Dia bilang ingin tidur, jadi aku pikir akan membangunkannya saat makan sudah siap.Tapi saat aku memanggil atau mengguncangnya, dia sama sekali tidak bangun. Napasnya memang normal dan dia tidak terlihat kesakitan, jadi keadaannya memang seperti saat episode biasanya. Tapi kali ini dia tidak bangun sama sekali..."
Masaomi tidak yakin apakah ia benar-benar punya cara untuk menjawab harapan yang dititipkan padanya. Namun, setidaknya ia tahu: jika ada seseorang yang bisa melakukan sesuatu untuk Hibari sekarang, maka orang itu hanyalah Masaomi.
Tapi kemungkinan besar, penyebab kenapa Hibari menjadi seperti ini… juga adalah Masaomi sendiri. Sejak mulai menjalin hubungan dengan Hibari, Masaomi selalu merasa ada jarak yang tidak sepenuhnya hilang. Dan alasan kenapa Hibari tiba-tiba mulai menghindarinya… barulah hari ini, setelah berbicara dengan Kasuka, ia akhirnya menyadari kebenarannya—meski sudah terlambat.
Semuanya bermula dari permainan hukuman.
Ide paling bejat dari para cowok paling rendah.
Sebuah acara menjijikkan. Hibari mengetahui kebenaran itu.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, bukan dari Masaomi—tapi dari orang lain, dari Kasuka.
Itulah awal Hibari mulai goyah. Meski begitu, mungkin masih ada setengah, atau tiga puluh persen, atau bahkan hanya satu persen dari dirinya yang masih ingin percaya pada Masaomi.
Ia berharap Masaomi akan menyangkal semuanya. Atau mungkin, jika ia mulai menjaga jarak, kebenaran itu tak perlu diungkap. Itu hanya spekulasi. Namun yang pasti, Hibari terluka. Dan Masaomi, si pacar bodoh, bahkan tidak menyadarinya dan malah tenggelam dalam kisah cintanya. Dan yang paling fatal…
“Jadi kamu pacaran cuma karena itu semacam permainan hukuman, kan?”
Kata-kata itu secara kebetulan menusuk tepat di titik lemahnya. Ucapan kejam dari teman sekelas mendorong Hibari ke ambang batas.
Apa yang dipikirkan Hibari setelah itu?
“Sekarang kau mengerti, kan,kenapa aku ingin pergi ke Dunia Astral?”
Itulah kata-kata yang pernah diucapkan Hibari. Betapa bencinya ia pada dunia nyata. Betapa ia ingin lari dari kenyataan. Dan seolah Tuhan sedang bermain-main, atau mungkin untuk membuat semuanya sejalan, Hibari memang memiliki kekuatan untuk mengintip dunia lain selain dunia nyata. Jika ia ingin lari, ia bisa melakukannya kapan saja.
──Meski begitu. Kamar Hibari—tempat ia pernah berkunjung sekali, setelah kencan mereka di laut. Di dalam ruang yang seakan menyimpan kehangatan keberadaan Hibari, gadis itu kini terbaring di atas tempat tidur.
Masaomi sempat melirik ke tempat sampah di sudut ruangan. Di sana, terlihat sisa-sisa kemasan obat yang tampaknya pernah digunakan. Tak ada nama yang tertera. Tapi cukup untuk membuat hati Masaomi gelisah. Hingga detik ini, Masaomi masih menyalahkan Keiji atas semua yang terjadi. Tanpa Keiji yang mengatur segalanya dari balik layar, semua ini mungkin tak akan pernah terjadi.
Namun──orang yang membuat Hibari berpikir untuk mengandalkan obat itu… adalah Masaomi.
Hibari seharusnya bisa lari ke Dunia Astral dengan mudah. Tapi dia memilih untuk mempertimbangkan jalan lain secara serius. Menyembuhkan penyakit dengan obat──menutup Dunia Astral dan memilih Masaomi. Ia ragu, tapi pada akhirnya, ia mencoba memilih dunia tempat Masaomi berada. Masaomi percaya itu. Mungkin terlalu percaya diri, tapi ia ingin percaya.
Bukan sebagai seorang Messiah.
Tapi sebagai gadis biasa.
Bukan karena permainan hukuman.
Tapi sebagai pacar biasa.
Karena ia menginginkan dunia semacam itu, ia pun tergoda oleh bujukan setan itu.
──Pada akhirnya, semua ini salah Masaomi.
Seandainya saja, sejak awal, ketika memutuskan untuk bersama Hibari, ia langsung minta maaf. Seandainya ia tak terlena dalam kenyamanan semu, dan memilih untuk jujur meskipun harus bertengkar atau dibenci…
Seandainya ia dari awal sudah menyatakan: “Aku serius”—“Aku tidak mau hubungan yang biasa-biasa saja,” dengan tulus dan terus terang…
Penyesalan mengamuk di lidah Masaomi seperti longsoran salju. Tapi ia tahu, ia tidak berhak meluapkannya.
Apa yang terjadi di atap sekolah bersama Keiji barusan—itu semua adalah ujian untuk membuat Masaomi sadar. Kesadaran yang seharusnya sudah ia miliki sejak lama. Maka dari itu, sebagai ganti penyesalan, Masaomi memilih untuk menebus kesalahan itu dengan kata-kata.
"Ibu Hibari. Sampai aku berhasil membawa Hibari kembali, tolong biarkan aku berdua saja dengannya di dalam kamar."
Di hadapannya, seorang ibu pasien menangis tersungkur.
"Seharusnya tidak seperti ini. Kalau tahu begini, seharusnya aku membiarkannya saja…"
Dengan mata hampa layaknya sebuah kehampaan, Keiji terus menatap sosok itu yang tiada henti menjeritkan penyesalannya.
“Gagal… ya?”
“...Jika dilihat dari kondisi saat ini, memang demikian.”
“Tidak mungkin… tidak mungkin…!”
“Seperti yang tertulis dalam surat persetujuan sebelumnya, ini hanyalah uji klinis. Tidak ada jaminan keberhasilan. ...Saya turut prihatin atas kejadian ini.”
Sebenarnya, tidak masuk akal kalau anak seumurannya hadir dalam uji klinis. Namun, dengan menyamar sebagai anak direktur rumah sakit—seorang calon dokter muda yang menjanjikan—dan mengenakan jas laboratorium, Keiji berhasil menyusup. Semua orang, meski sempat curiga, akhirnya menerima kebohongan itu sebagai kenyataan.
Pasien dengan gejala berat sudah pasti bersedia. Bahkan pasien ringan pun, jika ditakut-takuti dengan kemungkinan terburuk dari penyakitnya, bisa dengan mudah terjebak dalam keputusasaan yang terasa begitu dekat. Lalu mereka dengan cepat kehilangan akal sehat.
Sama seperti Keiji sekarang. Ayahnya tahu tentang aksi Keiji yang semena-mena ini, namun membiarkannya.
Toh, ia memang tak menaruh harapan apa pun pada Keiji. Selama penelitiannya berguna bagi Nagi, itu sudah cukup. Kalau tidak, paling buruk Keiji bisa disingkirkan kapan saja. Buktinya, pasien yang "gagal" seperti ini tetap ditampung untuk "perawatan lanjutan" di rumah sakit ayahnya, yang sebenarnya hanyalah pengawasan pasca-kegagalan. Bahkan besar kemungkinan keluarga pasien diberi uang tutup mulut selain dari kompensasi uji coba itu. Namun, ayahnya tidak pernah sekalipun menegur Keiji atas “penyaluran pasien” ini.
Pasien kali ini dianggap memiliki gejala ringan: hanya beberapa puluh menit dalam seminggu mengalami disosiasi, dan sesekali mengalami mimpi jernih saat tidur. Kalau keadaannya tetap seperti itu, keluarga mungkin tak akan mempertimbangkan uji coba obat.
Namun belakangan ini, pasien mulai sering membicarakan tentang “dunia ideal” dan mengatakan ingin tidur lebih dalam. Didorong rasa khawatir dan curiga, orang tuanya membawa anak itu ke rumah sakit universitas. Ketika diberitahu bahwa pengobatan medis modern tidak bisa memberikan solusi mendasar, Keiji memanfaatkan celah itu untuk menawarkan uji coba obat baru secara rahasia.
“Kalau menunggu sedikit lagi, pasti akan sadar, kan!? Iya, kan!?”
“Sangat disayangkan, terlebih karena pasien ini usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Namun, saya pastikan hasil ini akan bermanfaat bagi pengobatan di masa depan. Saya benar-benar mohon maaf karena tidak bisa membantu.”
Itu permintaan maaf tanpa ketulusan. Bisakah ia mengucapkannya di depan Nagi?
Suara hati lain dalam dirinya berbisik—namun Keiji pura-pura tidak mendengarnya. Di hadapannya, seorang pria muda awal dua puluhan terbaring di tempat tidur, napasnya terengah-engah dalam tidur.
Tidak ada kelainan mencolok pada warna kulit atau tanda-tanda fisik lainnya. Sekilas, ia hanya tampak sedang bermimpi buruk. Namun pria itu sudah dua hari penuh dalam keadaan seperti ini, belum sadar juga.
Meski ia memiliki gejala ringan sebagai pasien CCD, secara medis tubuhnya hampir bisa dikatakan sehat. Dan inilah hasilnya setelah mengikuti uji coba obat baru.
Sama seperti Nagi, ia kini bergantung pada infus nutrisi untuk mempertahankan hidup, tenggelam semakin dalam dalam "dunia ideal" tanpa bisa bicara.
Kehancuran total.
Semudah itu, hanya dengan satu butir obat.
Kegagalan.
Meski belum mati, ia ibarat sudah mati.
Keiji tak bisa tidak membayangkan—bagaimana jika ini terjadi pada Nagi?
Jika dirinya harus merasakan keputusasaan yang kini dirasakan keluarga pasien ini…
Hanya membayangkannya saja membuat tubuhnya gemetar ketakutan. Ia melangkah keluar dari ruangan yang dipenuhi kesedihan dan penyesalan, seolah melarikan diri. Ia tak sanggup bertahan satu detik lebih lama.
Meskipun pada setiap uji coba Keiji selalu memastikan adanya persetujuan keluarga secara tertulis, beberapa waktu lalu media sempat heboh menyebut kasus seperti ini sebagai “kematian misterius.”
Karena beberapa kegagalan terjadi berturut-turut dalam waktu singkat, Keiji sempat panik juga. Namun kemungkinan besar ayahnya telah turun tangan menyelesaikannya.
Karena itu, Keiji memilih untuk tidak menoleh ke belakang. Ia tahu, dirinya pun tak pantas untuk itu. Dan satu-satunya hal yang ingin diketahui Keiji—walau harus mengorbankan segalanya—adalah:
“Jadi, aku belum bisa menemukan batas itu, ya. Sial… sampai kapan aku akan seperti ini…!”
Obat baru yang dikembangkan melalui koneksi ibunya ini sangat jarang diuji secara klinis. Namun, meskipun sedikit, ada kasus yang menunjukkan hasil mendekati kesembuhan total. Secara logis dari kondisi yang terpantau, bisa diambil sebuah dugaan. Bahwa:
Jika diberikan pada pasien dengan kedalaman penyakit yang tinggi, hasilnya positif. Sebaliknya, jika diberikan pada pasien dengan kedalaman rendah, efeknya justru memburuk.
Kelihatannya sederhana. Tapi tingkat kedalaman itu tidak bisa diukur dari penampilan luar.
Itulah yang membuat penyakit ini sangat sulit ditangani. Fakta bahwa frekuensi koma tidak selalu mencerminkan tingkat keparahan juga didukung oleh sedikitnya data yang ada.
Kedalaman rendah—artinya seseorang yang nyaris masih tergolong normal. Jika orang seperti itu meminum obat ini, maka hasilnya akan seperti pemuda tadi:
Hanya dalam sekejap, ia akan menjadi bangkai hidup yang tak bisa bangun lagi. Dan bila sudah begitu, bahkan jika diberikan obat yang sama untuk kedua kalinya, tidak akan ada efeknya lagi—mungkin karena antibodi telah terbentuk.
Obat ini, secara harfiah, bisa menjadi racun maupun penawar. Karena minimnya kasus klinis, garis batas kedalaman penyakit yang menentukan perubahan efek obat ini masih belum bisa diidentifikasi.
Itulah sebabnya… Keiji belum bisa mengumpulkan keberanian untuk memberikannya pada Nagi.
──Karena itu.
Sendirian di atap sekolah, di bawah langit yang cerah sampai membuatnya frustrasi, Keiji memandangi langit dan mengingat kembali semua yang telah ia lakukan.
“Aku tidak melakukan kesalahan. Sudah sewajarnya aku mengutamakan keluargaku. Itu yang aku katakan padanya. Jadi──”
Jadi apa? Jadi, apakah itu berarti ia boleh memperdaya pacar temannya untuk dijadikan kelinci percobaan obat baru? ‘Dia’—apakah 'dia' akan tetap membungkam dan pura-pura menerima semuanya dengan tenang, seperti biasanya? Menahan emosinya dan berkata, “Kalau begitu, mau bagaimana lagi,” sambil membiarkannya begitu saja?
──Tidak mungkin.
‘Dia’—Masaomi, apakah dia menyadarinya? Bahwa ia selalu menunjukkan penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak wajar, terlalu terpaku pada keseharian yang mudah terguncang, dan justru karena itulah ia malah melangkah ke dalam ketidaknormalan—suatu pola pikir yang penuh kontradiksi?
──Sebenarnya, seseorang yang nyaris tak menunjukkan ekspresi saja sudah cukup aneh seperti makhluk langka.
Tak ada manusia yang benar-benar ‘normal’. Kalaupun ada, mungkin itu hanyalah orang-orang membosankan, dan Masaomi jelas bukan tipe yang akan masuk dalam kategori sempit seperti itu.
“Jadi sekarang,'Guardian' dari pacar tercintanya—atau apalah sebutannya itu—sudah berubah, ya. Bukan sekadar normal... bukan, dia bahkan bukan orang normal.”
Keiji mendengus kecil, mengembuskan napas sambil tersenyum tipis atas kata-katanya sendiri.
Ia sudah lama tahu bahwa sikap Masaomi itu menyimpang. Tapi Keiji juga memahami, dengan caranya sendiri, mengapa Masaomi tetap ingin mempertahankan cara hidup seperti itu. Mengalami kecelakaan lalu lintas dan dalam kondisi koma, harus absen sekolah sejak awal masuk, menjalani rehabilitasi berat yang seperti neraka, dan ketika akhirnya kembali ke sekolah beberapa bulan kemudian, ia mendapati bahwa klaster pergaulan di kelasnya sudah terbentuk. Semua orang memperlakukannya seperti benda rapuh, membuatnya menjadi sosok yang melayang tanpa tempat—itulah Masaomi saat itu.
Itulah sebabnya Keiji menyapanya duluan. Saat itu pun Keiji sendiri sedang ‘terluka’ karena lingkungan rumahnya yang penuh ketegangan akibat kondisi Nagi. Jika diukur dari seberapa besar mereka berdua adalah ‘makhluk asing’, Keiji pun punya cukup alasan untuk merasa sama.
Meski ia terlalu lemah untuk menyebut dirinya bagian dari kelompok ‘keras’, bukan berarti ia tak membutuhkan teman. Mungkin sebenarnya, ia hanya mencari seseorang yang mirip dengannya. Seseorang yang bisa ia rangkul di saat hatinya butuh penopang kecil—untuk berbagi dan berkata, “Hidup kita memang berat, ya.”
“Dan sekarang lihatlah, dari yang awalnya cuma permainan hukuman, dia bisa membalikkan keadaan dan jatuh cinta pada gadis cantik itu.”
Tak heran Hibari Sasuga terkenal. Ucapan dan tindakannya eksentrik, dan keganjilannya yang berbanding terbalik dengan penampilan rupawannya telah menjadi semacam legenda di kalangan para lelaki. Beberapa bocah sok keren bahkan sempat merancang permainan “jatuhkan Sasuga”, namun langsung kewalahan dan menyerah setelah menerima serangan balik penuh aura negatif darinya.
Dalam hal itu, Keiji pun sebenarnya telah mengincarnya sejak awal.
Sekilas, tingkah laku Hibari memang tampak seperti orang gila. Namun jika diamati dengan lebih saksama, akan tampak bahwa ia sebenarnya masih berpegang pada akal sehat, dan sedang berjuang dalam konflik batin antara kenyataan dan dunia impian yang ia lihat dalam pikirannya.
Kalau boleh bicara terus terang, ini sudah jelas menunjukkan gejala gangguan identitas yang cukup berat. Namun justru karena dia menderita, berarti ia memiliki keinginan untuk sembuh. Dan di situlah celah yang bisa dimanfaatkan oleh Keiji.
Tentu saja, Keiji bisa saja mendekatinya sendiri. Tapi ia khawatir akan tumbuh rasa sayang jika berhasil. Kalau sampai ia sendiri yang memberikan obat pada gadis yang mempercayainya, meskipun hanya sementara, maka tidak ada bedanya dengan memberikan obat itu langsung kepada Nagi.
Karena itu, ia menggunakan temannya. Meskipun tindakan itu hampir bisa disebut sebagai bentuk pengkhianatan, Keiji melakukannya karena dirinya yang lemah membutuhkan cara itu. Ia juga menghitung bahwa Masaomi, dengan kepribadiannya yang seperti itu, mungkin bisa menerima keanehan Hibari.
Jika hubungan Masaomi dan Hibari semakin dekat, Keiji bisa lebih mudah mendekati Hibari secara tidak langsung. Bahkan, dalam skenario terburuk sekalipun, ia bisa menitipkan obat itu lewat Masaomi.──Semua itu sudah ia perhitungkan sejak awal.
“Kau tidak ingin mencoba menjadi pasangan “normal” bersama Masaomi? Obat ini menyimpan kemungkinan itu.”
Menurut penilaian Keiji, kondisi Hibari termasuk kategori "menengah". Ia tidak sampai membiarkan kenyataan hancur seluruhnya, namun juga tidak cukup stabil untuk menjalani hidup tanpa terpengaruh. Benar-benar kasus yang tepat untuk menguji batas efektivitas obat baru itu.
Jika Hibari sembuh, maka obat itu pasti akan sangat manjur untuk Nagi yang tingkat kedalamannya lebih parah. Jika kondisi Hibari justru memburuk──Keiji hanya perlu mencari kasus lain yang lebih mendekati ambang batas tersebut.
Kalau memang ada cara lain, maka sekalipun hanya sehelai jerami, Keiji akan mencengkeramnya. Saat ini, di tangannya masih ada sisa obat percobaan. Juga ada sebotol air mineral yang baru saja ia beli dari mesin penjual otomatis. Sudah berapa kali ia memikirkan hal ini?
Ia menatap bergantian antara obat dan air mineral. Membuka tutup botol, mendekatkan obat ke mulutnya, lalu kembali memandangi keduanya.
“…Sialan.”
Minum obat itu sendiri, lalu menjadi ‘cangkang’—dan pergi ke dunia tempat Nagi berada. Tanpa mengorbankan siapa pun, Keiji bisa menebus dosanya hanya dengan tekad itu. Kalaupun gagal, maka itu adalah hukuman yang dijatuhkan Nagi kepadanya. Itu sudah cukup. Seharusnya cukup.
“—Ugh, ughh… huueegh…!”
Namun, sosok-sosok para subjek uji coba yang menjadi cangkang—meski hanya segelintir—kembali membayang di benaknya, tubuh-tubuh manusia yang hanya bernapas tanpa mengucapkan sepatah kata pun, menyerupai mayat hidup. Semakin ia bimbang, semakin lemah tangannya.
“Hanya… hanya melakukan hal sekecil ini saja… aku tidak sanggup…?!”
Obat itu, hanya perlu ditelan dengan seteguk air. Hanya itu. mungkin, hanya dengan itu ia bisa sampai ke tempat Nagi. Namun tangannya terus gemetar, dan dalam benaknya, iblis kecil berbisik halus:
“Bahkan kalau kau terkena penyakit yang sama, belum tentu kau akan tiba di dunia yang sama dengan Nagi. Dan tak ada jaminan kalau ‘dunia tak terkalahkan’ yang dikatakan Nagi itu benar-benar ada.”
Maka, satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah: tetap berada di ‘dunia ini’, dan terus mencari cara untuk benar-benar menyelamatkan Nagi. Keiji tak punya pilihan selain menerima pelarian dan alasan itu.
Bukan karena ia takut menjadi cangkang. Yang lebih menakutkan adalah menjadi cangkang dan ternyata semua itu tidak berarti apa-apa. Untuk mengusir rasa tidak berdayanya, Keiji melempar botol air itu. Obat yang tersisa di tangannya kini tak lagi terlihat seperti harapan, melainkan gumpalan racun yang menjijikkan. Benda kecil tak berarti seperti ini bisa mengubah hidup Nagi, hidup seseorang, bahkan masa depan orang lain. Dan betapa menyedihkannya bahwa ia tidak punya pilihan selain bergantung pada ‘obat’ yang terasa seperti mainan dewa.
──Pada akhirnya, hatinya yang rapuh masih tetap berada di titik ketika ia meninggalkan Nagi dulu. Kalau saja ada seseorang yang bisa menemukan jawaban yang benar, itu pun tak masalah.
Sebagai seorang siswa SMA biasa, yang bahkan bukan seorang dokter, Keiji tahu dirinya tidak punya hak untuk bermimpi jadi tokoh utama dalam kisah ini. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa, "Tolong, siapa pun… lakukan sesuatu…”
Meski itu berarti mengorbankan perasaan Kusunoki Masaomi.
Meski itu berarti mengorbankan pengabdian Tachibana Kasuka.
Meski itu berarti mengorbankan jiwa Sasuga Hibari.
Bahkan jika itu berarti mengorbankan masa depan Orito Keiji sendiri.
Tekad penuh kesedihan itu, bila dilihat orang luar, mungkin hanya akan tampak seperti anak muda yang telah menjual jiwanya pada iblis.
Pada akhirnya, ia bukanlah seseorang yang kuat—bukan seorang pahlawan, melainkan penjahat semata. Melakukan apa pun sesuka hatinya, bertindak hanya demi kepentingannya sendiri, dan pada akhirnya akan dikalahkan oleh sang pahlawan sejati. Namun meski begitu—ia sudah mengambil keputusan.
Jika demi Nagi, maka kekasih temannya, bahkan temannya sendiri, juga masa depannya, tidak masalah untuk dikorbankan.
Dan untuk penjahat seperti itu, pasti sudah tersedia akhir yang sepadan.
──Dan lihat saja, sekarang pun…Ponsel Keiji tiba-tiba berdering dengan suara yang nyaring dan mengganggu.
“Haha… Masomi muncul juga, ya. Jadi, dia serius demi seorang gadis, huh… Keren juga, serius.”
Tidak ada yang luar biasa. Hanya karena Masaomi akan memilih tempat itu jika ia melarikan diri—itu saja alasannya—maka Masaomi berhasil membongkar 'pura-pura tidak ada di rumah' milik Keiji. Atap sekolah yang biasa. Hanya matahari yang tak mengenal kegelapan yang memandangi mereka dari atas dengan tenang.
"Terus terang, aku nggak nyangka kau masih ada di atap. Kupikir kau bakal panik karena teleponku dan kabur sambil menjilat ekor sendiri."
"Aku ini pihak keras kepala. Kalau mau dibilang ‘meladeni tantangan’—sebenarnya sih, ini bahkan bukan pertarungan lagi."
"Jadi semacam penghakiman, ya?" ujar Keiji santai. Meskipun mengenakan pakaian yang pasti panas di atap yang tanpa angin sekalipun, ia sama sekali tidak terlihat berkeringat. Seolah itu bukan hal besar baginya, ia menjawab dengan wajah tenang. Kelihatannya Keiji sudah memperkirakan apa yang akan dikatakan Masaomi.
"Aku akan bertanya langsung. Apa yang kau lakukan pada Hibari?"
"Kalau dilihat dari hasilnya, aku membantu memperburuk kondisinya."
Masaomi memukul Keiji. Keiji bahkan tidak berusaha menghindar. Ia terlempar oleh pukulan penuh tenaga Masaomi, dan tampaknya bibirnya pecah, karena ia meludah ke lantai beton dengan ekspresi jijik. Bahkan Masaomi sendiri tidak menyangka dirinya akan meledak sebegitu keras. Ia yang biasanya terlihat membosankan dan datar. Tapi Keiji justru menerima kekerasan itu seolah memang pantas menerimanya.
"Serius, ya... Ya, pasti serius. Sampai Masaomi memukulku dengan sungguh-sungguh. Semua demi Sasuga."
"Kau mengejekku?"
"Jangan salah paham. Aku menghormatimu. Aku sendiri masih gemetaran, merasa setiap keputusan yang kuambil itu berat, dan pengennya cuma pulang ke rumah, masuk ke selimut, dan menangis. Tapi kau... kau bisa langsung meninju orang. Terus terang, aku iri... aku benar-benar iri, tahu nggak."
Ucapan Keiji terasa tidak jelas. Tapi Masaomi tahu ia serius. Bagaimanapun, mereka sudah cukup lama berteman.
"Jadi, kau tahu dari Kasuka?"
"Kasuka nggak bilang apa-apa. Katanya, ‘sudah disuruh tutup mulut’. Kalau dia sampai nggak ngomong padaku, jelas-jelas kau yang nyuruh. Dia itu cuma bisa taat seperti itu. Itu sebabnya aku datang ke sini."
"Dia juga, anak bodoh itu... lurus banget. Masalahnya, kenapa dia bisa mengagumiku? Kau pun begitu... semua orang seakan menatapku dari bawah. Apa aku harus kena gejala kayak Nagi dulu biar bisa berhenti tersiksa begini? Meski, sebagai orang yang hidup nyaman, aku nggak punya hak ngomong begitu juga sih."
"Ucapanmu dari tadi nggak jelas semua. Jelaskan dengan bahasa yang bisa dimengerti orang bodoh yang bukan anak dokter."
"Kalau begitu, dengarkan sedikit alasan dariku."
Lalu Keiji mulai bicara. Tanpa berdiri, tetap duduk di tengah-tengah atap yang disinari matahari terik, tanpa berusaha berlindung di bayangan menara air tempat ia pernah makan siang bersama Hibari.
Seolah ingin menelanjangi dosanya di bawah cahaya terang, ia perlahan menceritakan semuanya. Bahwa adik perempuannya menderita penyakit yang sama dengan Hibari. Bahwa sepulang sekolah ia biasa menemaninya. Kalau dia butuh subjek uji coba untuk menyelamatkan sang adik. Bahwa efek obat baru itu belum jelas. Bahwa sejak awal ia sudah mengincar Hibari. Bahwa ia menyuruh Kasuka menggoyahkan Hibari lewat ‘jimat’. Bahwa ia mendorong Masaomi untuk dekat dengan Hibari, sebagai bagian dari ‘permainan hukuman’ yang kejam. Semuanya cerita busuk yang menjijikkan. Namun yang paling parah adalah: Hibari sudah menerima obat itu. Hibari—menerimanya tanpa menolak. Masaomi masih menyimpan harapan, dan bertanya:
"Obat itu memang keras, tapi kalau gagal bukan berarti langsung mati, ‘kan?"
"Jadi cangkang."
Dengan nada mutlak, Keiji menghancurkan harapan Masaomi.
"Cangkang seutuhnya. Kalau gagal, takkan pernah bangun lagi. Sejauh ini, tidak ada satu pun pengecualian. Kalau kau bisa menerima itu hanya karena secara teknis belum mati, ya silakan saja."
Masaomi kehilangan kata. Isinya terdengar seperti lelucon, tapi tidak ada yang lucu dari nada bicara Keiji. Terlalu serius. Terlalu mengerikan.
"Mungkin saja ia sembuh. Kalau begitu, kau pasti nggak akan ada di sini sekarang. Mungkin sekarang kau sudah pacaran bahagia dengan Sasuga di bawah panasnya musim panas, dan aku sudah mantap memberikan obat ke Nagi, dan angin kehidupan baru sudah berhembus. Itu juga masa depan yang mungkin terjadi. Tapi karena kau datang, aku jadi tahu. Sasuga pasti memburuk."
Belum tentu Hibari sudah minum obat—muncul secercah harapan. Masaomi terdorong ingin segera berlari. Namun ia tak bisa melepaskan pandangan dari Keiji. Wajah sahabat lamanya yang meratapi keputusasaan, seolah tertinggal seorang diri di dunia.
Mungkin, pikir Masaomi, selama ini Keiji tampak seolah berteman dengan mereka, tapi sebenarnya ia selalu sendirian.
"Namun, Masaomi."
Keiji menatap langsung ke arah Masaomi yang berdiri menatapnya dari atas.
"Aku tidak akan minta maaf."
Ia berdiri, lebih tinggi dari Masaomi, dan kini menatap Masaomi dari atas.
"Aku tidak akan minta maaf. Meski kau memukulku, meremehkanku, aku tak akan minta maaf. Aku tidak memilih Sasuga dengan enteng. Aku bertindak berdasarkan apa yang menurutku terbaik."
Itu adalah bentuk ‘keadilan’ Keiji sendiri bagi adiknya. Itulah ketulusannya.
"Keyakinan yang tidak boleh digoyahkan."
Tentu saja Masaomi sama sekali tidak berniat memaafkannya. Meski adiknya belum pernah ia temui, Hibari adalah seseorang yang telah ia lihat, temui, dan sentuh. Tentu saja lebih berharga. Itu sebabnya mereka kini saling berhadapan di atap sekolah saat hari aktif. Pada akhirnya, ia tidak bisa mengabaikan Keiji.
"Kalau begitu, aku akan menghancurkan keyakinan itu, si Rambut Panjang Bercahaya."
"Ayo, coba saja, si protagonis penuh semangat."
Keiji dipukul lagi. Dua kali, tanpa perlawanan.
"Mana mungkin pria lemah dari klub pulang cepat yang baru sembuh dari sakit bisa mengalahkan si keras kepala penyendiri."
Situasinya memang seperti dalam film remaja, tapi sayangnya, kenyataan tidak seindah itu—dipukul itu sakit, dan tangan yang digunakan untuk memukul pun ikut sakit. Tidak mungkin menyamarkan semuanya dengan akting, dan hanya karena seorang anggota klub pulang cepat dan anak rumahan, bukan berarti bisa langsung jadi tokoh utama dalam film remaja. Standarnya tidak serendah itu.
Masaomi berdiri perlahan sambil menahan pipinya yang berdenyut sakit, lalu kembali menatap tajam ke arah Keiji.
"Aku sudah paham, meski kita begini pun, kita tetap tidak akan sepakat. Sakit, tahu nggak, dasar bodoh."
"Bagus kalau begitu. Aku memang keras kepala, tapi bukan tipe petarung. Aku tidak ingin terus-terusan adu jotos. Lagipula, yang mulai mukul itu kau duluan, jadi kubalas dua kali, wajar dong."
Sejujurnya, mungkin yang 'benar' adalah mereka saling memukul beberapa kali, lalu berdua terbaring di atap dan tertawa sambil bilang, "Pukulannya lumayan juga."—sebuah adegan menggelikan layaknya klise film remaja. Tapi kenyataannya, anak SMA biasa jauh lebih cerdas daripada yang diduga, dan seakan sudah sepakat, mereka pun memilih menyelesaikan masalah lewat pembicaraan. Sangat tidak dramatis.
Kalau saja mereka menerima sinyal gelombang otak yang lebih kuat, mungkin di ranah spiritual bernama Astral Side, akan terjadi kisah penuh kekerasan dan gairah. Tapi sekarang, satu-satunya sinyal yang ingin diterima hanyalah milik Sasuga Hibari. Gelombang Hibari sedang menyelamatkan dunia. Ia terlalu sibuk hingga tak bisa melihat hal lain.
Karena itu, untuk menyelamatkan dunia Hibari, dibutuhkan gangguan sinyal yang lain. Bukan gangguan biasa atau kronis, tapi gangguan sinyal yang benar-benar akut. Dan Masaomi, entah bagaimana, sudah bisa menebak cara untuk menciptakan gangguan itu.
"Karena kita jalan masing-masing, aku tidak akan melakukan apa pun padamu. Tapi aku akan melakukan sesuatu pada diriku sendiri."
"Apa maksudmu, sih?"
Keiji menunjukkan wajah benar-benar tidak mengerti. Padahal petunjuknya datang dari dia sendiri. Kalau Hibari tidak bisa kembali sendiri, maka Masaomi hanya perlu jatuh ke tempat yang sama. Sebuah pemikiran yang sebenarnya sangat biasa.
"Aku yang akan menyelamatkan Hibari. Adikmu, itu urusanmu sendiri. Sudah semestinya begitu, kan?"
Karena itu, Masaomi akan terus mencari satu-satunya cara untuk sampai ke dunia tempat Hibari berada.
"Aku cuma mau tanya satu hal. Hei, Keiji… Obat baru itu… masih ada?"
Ekspresi Keiji saat itu—antara terkejut, takjub, atau mungkin iri—terlalu sulit dijelaskan, tapi satu hal pasti: itu adalah ekspresi yang luar biasa.
"Ibu Hibari-san. Tolong biarkan aku berdua saja di dalam kamar ini sampai aku berhasil membawa Hibari kembali."
"Tak bisa."
Namun suara yang menjawab bukanlah sang ibu, melainkan seseorang yang tak terduga.
"Ayah..."
"Aku belum berniat mengizinkanmu memanggilku seperti itu, tahu?"
Dengan raut sedikit tidak senang, pria yang baru saja memasuki kamar—ayah Hibari Sasuga—berbicara. Wajahnya yang biasanya tenang kini basah oleh keringat, menampakkan ekspresi kelelahan dan kecemasan. Mungkin karena terburu-buru.
"Ibu menghubungiku. Aku pulang lebih awal dari kantor."
Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk menunjukkan betapa besar cinta sang ayah kepada Hibari.
"Wajahmu itu—"
"Aku rasa pembicaraan itu bisa nanti saja. Yang penting sekarang bukan aku, tapi Hibari, kan?"
Sang ayah sempat terdiam sejenak karena pertanyaan yang disela, lalu memilih mengikuti perkataan Masaomi. Mungkin ia menyadari bahwa berdebat takkan berguna. Lagi pula, memar akibat pukulan Keiji bukan hal penting saat ini. Bahkan jika dibandingkan dengan luka-luka lain yang didapat Masaomi sebagai seorang 'Guardian', ini bukan apa-apa.
Adik Keiji juga menderita penyakit yang sama, dan efek yang ditimbulkannya pada dunia nyata cukup kuat, bahkan cenderung agresif hingga memengaruhi seluruh ruang rawat. Namun kamar tempat Hibari tertidur ini, tidak ada hembusan angin, semuanya begitu tenang dan damai.
Itu berarti Hibari pasti menyimpan segalanya dalam dirinya sendiri. Dalam tarikan napas yang kasar dan penuh badai emosional, dia tetap mempertahankan ekspresi biasa, memilih berperan sebagai putri tidur. Padahal dia bisa saja melampiaskan semuanya kepada dunia nyata, mengomel atau menyiksa Masaomi si bodoh dan pengecut ini sepuasnya agar hatinya sedikit lega.
Tapi dia tidak melakukannya. Dengan polos dan terlalu serius, dia mencoba menyelesaikan semuanya dalam dirinya sendiri. Dan justru karena itulah, dia terperosok semakin dalam.
Itu bukanlah sesuatu yang ‘biasa’. Juga bukan sesuatu yang ‘datar’. Bukan pula seperti yang dibisikkan Keiji dengan suara setan—cinta yang 'biasa' seperti yang mungkin diimpikan Hibari, sama sekali bukan seperti ini.
Karena itu, Masaomi harus melakukan sesuatu. Gadis yang luar biasa cantik, punya antena gelombang otak yang kuat, kaki yang begitu indah sampai bisa bikin mimisan, suka main game, tahu cara bercanda dengan pas, dan tetap menggemaskan meski sedang ngambek, marah, atau tertawa—dan yang bahkan mau menerima cowok seperti Masaomi sebagai pacarnya.
"Saat ini, Hibari sedang mengikuti uji klinis obat baru untuk CCD. Kondisinya sekarang ini adalah efek dari proses tersebut."
Masaomi meyakinkan diri bahwa berbohong demi kebaikan itu dibolehkan, lalu mencoba meyakinkan kedua orang tua Hibari.
"Obat ini, sepertinya punya efek yang luar biasa. Tapi efek sampingnya, dia bisa jatuh terlalu dalam. Karena itu, seseorang harus pergi ke ‘sana’ untuk membangunkannya."
Di saat seperti ini, sifat ‘datar’ Masaomi benar-benar berguna. Setidaknya di permukaan, ia bisa bicara dengan tenang, seolah-olah itu semua adalah fakta, bahkan lebih meyakinkan dari kebohongan itu sendiri. Penjelasan dari pacar yang ‘setara gelombangnya’ dengan gadisnya.
"Karena itu, aku akan pergi ke dunia Hibari dan membangunkannya. Permintaan untuk berdua di dalam kamar ini, maksudnya seperti itu. Tidak ada maksud lain yang tidak pantas."
Masaomi menunjukkan obat berbentuk pil—tanpa rasa, tanpa kemasan—yang ia rebut secara paksa dari Keiji.
"Tolong izinkan aku pergi…!"
Secara teori, itu seharusnya memungkinkan. Hibari pernah bilang bahwa dia pernah kehilangan kesadaran karena suatu hal di masa lalu.
Adik Keiji juga pernah mengalami kondisi serupa. Pasien lain yang berhasil Masaomi ketahui dari Keiji juga mengalami semacam koma sebelumnya. Keiji sempat mengemukakan sebuah hipotesis: bahwa dengan membangunkan otak dari kondisi koma sementara, fungsi tidur otak bisa diaktifkan kembali—semacam mekanisme peningkatan kekuatan seperti dalam manga. Layak untuk dipertaruhkan.
Kecelakaan yang dulu sempat menjatuhkan Masaomi ke dasar kehampaan mungkin memang terjadi agar ia bisa sampai ke titik ini. Lebih tepatnya, jika ia tak melakukan hal seperti ini, maka sekalipun Hibari sadar nanti, ia takkan bisa menatapnya dengan wajah penuh percaya diri. Dengan memicu sumsum otak yang pernah tertidur itu melalui pil ini, ia akan memaksa proses ‘kebangkitan’.
—Aku adalah Guardian Hibari. Aku akan melakukannya—
"T-tapi, Masaomi-kun… Kamu bicara soal uji klinis, obat baru, pergi ke dunia lain… apa itu semua sungguh—"
"Aku mengerti."
"Anata (Sayang) !?"
Orang yang menghentikan sang ibu yang menatap dengan penuh keraguan itu ternyata adalah sang ayah—sesuatu yang tak terduga.
Sang ayah menatap Masaomi dengan ekspresi seolah silau—mungkin oleh tekadnya.
"Ini baru kedua kalinya aku bertemu denganmu. Tapi baru kali ini aku melihat wajah seperti itu darimu. Melihat ekspresi itu saja sudah cukup untuk tahu bahwa kamu sungguh-sungguh. Aku yakin sekalipun aku melarang, itu takkan mengubah niatmu. Karena itu, aku akan berkata begini, murni sebagai perhitungan logis… Jika dengan ini kamu bisa melakukan sesuatu untuk Hibari, maka…
—Tolong jaga putriku.”
"Terima kasih banyak. Kalau aku berhasil membawanya kembali, tak peduli seberapa banyak Hibari mengeluh, aku akan pastikan dia memijiti bahu Ayah."
Kali ini, dia tidak lagi menegur Masaomi karena memanggilnya "Ayah."
Meski jelas terlihat di matanya bahwa ia sangat mengkhawatirkan putrinya, ia tetap memilih untuk mempercayai Masaomi. Karena itu, Masaomi pun bertekad. Ia harus berhasil. Tidak boleh gagal.
"Hibari akan segera bangun. Dia pasti akan berkata, ‘aku lapar,’ dengan wajah santai seperti tidak terjadi apa-apa."
"…Begitu, ya. Kalau begitu, biar Ibu panaskan makanannya lagi."
Padahal ia pasti belum sepenuhnya menerima kenyataan ini, namun sang ibu memilih mengikuti keputusan suaminya dan menerima omong kosong Masaomi, lalu meninggalkan ruangan.
Masaomi tahu, mereka pasti bisa melihatnya dengan jelas—bahwa yang dia miliki hanyalah harapan. Itu belum sampai pada tingkat keyakinan.
"Masaomi-kun. Kau bilang akan pergi ke dunianya Hibari, bukan?"
"Ya."
"Kalau kau berhasil kembali, aku ingin tahu seperti apa tempat itu. …Kupikir itu bisa jadi bahan pembicaraan dengan putriku. Aku ingin berhenti menjadi ayah yang tak bisa ikut dalam obrolan antara ibu dan anak perempuannya."
"…Pasti."
"Satu jam. Aku tidak akan menunggu lebih dari itu. Kalau kau laki-laki, setidaknya patuhilah tenggat waktu."
Masaomi mengangguk dengan mantap. Begitu melihat ayah Hibari keluar dari kamar, tanpa sedikit pun keraguan, ia langsung memasukkan pil itu ke mulutnya, mengunyah, dan menelannya.
Rasa pahit yang menjalar ke seluruh mulutnya hampir membuatnya merasa tubuhnya akan mati sebelum bisa mencapai dunia astral—tapi ia meyakinkan diri bahwa kepahitan yang dialami Hibari pasti jauh lebih besar dari ini. Dan ia pun bertahan.
"Tolong, obat baru… Bawa aku ke tempat Hibari berada."
Masaomi sudah menyalakan seluruh keberanian dalam dirinya, dua bahkan tiga tingkat lebih tinggi dari biasanya. Jika penderita ringan meminum obat ini, maka mereka akan menjadi ‘cangkang kosong’. Tidak akan pernah bangun lagi. Sejauh ini, belum ada pengecualian. Artinya: gagal total.
Tapi lalu, kenapa harus peduli?
Peringatan yang Keiji berikan tak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya. Ia merasa selama sekitar lima menit hanya duduk memandangi wajah tidur Hibari.
Sampai akhirnya, datanglah rasa tak nyaman seolah otaknya dipelintir dari dalam. Kakinya mulai mati rasa, lalu tubuhnya diselimuti euforia, rasa mabuk yang mengacau, dan sensasi seolah ia bisa melakukan apa pun—rasa seolah dirinya kini mahakuasa.
Sekarang, ia merasa bisa pergi ke mana pun. Tak peduli ia bukan lagi ‘biasa’. Tak peduli jika itu berarti masuk ke dalam dunia pikiran kekasihnya.
—Hei, apa kamu punya ‘ideal’?—
Sebuah pertanyaan langsung terpantul di otaknya, seolah berbicara langsung ke kesadarannya. Di sudut pikirannya yang melayang, Masaomi menatap sekali lagi wajah indah sang "putri tidur" yang mulai menghilang seperti buih. Dengan lembut, ia mengambil ‘barang yang tertinggal’—sebuah suara gangguan, berbentuk seperti kunci, yang bisa membuka pintu ke dunia lain.
"Kalau begitu, sepertinya aku harus menyelamatkan dunia gelombang otaknya. Jadilah laki-laki, Masaomi."
Apakah ia benar-benar sempat menggumamkan kata-kata itu? Ia sendiri tidak yakin.
Epilog
Karena Aku Diminta untuk Tetap Menjadi “Guardian” Gadis Elektromagnetik
Pemandangan yang entah kapan dan di mana pernah dilihat. Sebuah pemandangan yang terpatri di balik benak dan tak juga menghilang. Itu adalah pemandangan musim panas yang penuh dengan nuansa “elektromagnetik.”
Seperti biasa, bagian belakang gedung olahraga yang penuh dengan semrawut dan tak terurus itu tetap sama—di depan tungku pembakaran yang tak digunakan. Cahaya senja kemerahan di barat, seolah sisa-sisa dari matahari yang mulai padam, kini terasa lebih singkat daripada waktu itu. Entah kenapa, hal itu justru memberi sedikit sentuhan nostalgia, hingga bahkan suara gagak yang terdengar sial pun terasa seperti lagu sisipan yang mengiringi klimaks sebuah cerita.
Di tempat itu berdiri Sasuga Hibari, sama persis seperti hari itu.
Kusunoki Masaomi pun berdiri di sana, juga seperti hari itu. Namun, perasaan yang bergolak di dalam hati mereka berdua—jauh sekali dari kata sama.
Masaomi, berdiri di hadapan gadis yang kecantikannya tidak berubah sedikit pun sejak hari itu, hanya bisa merasakan satu hal: ketegangan yang tak kunjung reda.
Pada saat yang bersamaan dengan kembalinya Kusunoki Masaomi dari Astral Side (dunia spiritual) ke Material Side (dunia nyata) dan saat ia sadar kembali, ayah Sasuga Hibari masuk ke dalam kamar. Tepat satu jam. Itu adalah janji antar sesama pria.
Masaomi sama sekali tidak ingat bagaimana posisi tubuhnya sebelum ia meminum obat, tetapi rupanya ia melakukan dive dalam posisi seakan-akan setengah menindih Hibari yang sedang tidur di ranjang. Karena pemandangan yang mencengangkan itu, reputasi Masaomi seketika jatuh seperti harga saham yang anjlok. Untungnya, tak lama kemudian Hibari pun ikut kembali sadar. Jika tidak, bisa dipastikan panggilan polisi tidak akan bisa dihindari.
Ibu Hibari, yang datang tergesa-gesa begitu mendengar kabar, langsung memeluk Hibari dengan semangat bak jurus gulat profesional. Setelah Masaomi akhirnya bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan tercela, ayah Hibari justru berbalik meminta maaf berkali-kali. Pemandangan yang sungguh aneh.
Apakah karena efek samping dari obat, atau akibat dive yang berlangsung lama, Hibari tampak setengah tertidur, seperti sedang mengigau. Masaomi, yang kepalanya masih berdenyut karena pusing, buru-buru pamit pulang. Meskipun orang tua Hibari sempat menahannya sambil berkata, “setidaknya makan malam dulu,” Masaomi dengan susah payah menolak secara sopan. Bagaimanapun juga, setelah semua kejadian heboh itu, Masaomi benar-benar merasa kelelahan dari dasar otaknya, dan di atas segalanya—rasa malu karena semua hal “keren” yang ia ucapkan di dunia Astral Side sangatlah besar. Dirinya yang ideal di dunia sana benar-benar terlalu berlebihan.
Ini akan menjadi salah satu momen “menenggelamkan wajah di bantal sambil berguling-guling dan mengeluh keras ‘uwaaaa!’” di kemudian hari. Ia bahkan bisa membayangkan dengan jelas adiknya, Hinata, mencibir sambil berkata, “berisik, cepat tidur, dasar kakak tolol.”
Namun, meninggalkan kebodohan Masaomi tadi, pada malam harinya setelah pulang ke rumah, ia mengirim satu pesan saja kepada Hibari.
"Selamat datang kembali. Kalau kamu sudah tenang, kita ketemu lagi di sekolah."
Tidak ada balasan. Tapi tak lama kemudian, tulisan “terbaca” muncul, dan itu sudah cukup membuat Masaomi merasa lega. Ia pun akhirnya jatuh tertidur.
Dan kemudian, di depan tempat pembakaran di belakang gedung olahraga sepulang sekolah, Masaomi sedang dilanda penyesalan yang besar. Ini adalah soal—mengapa pada waktu itu dia tidak mengirim pesan bertuliskan, “sampai jumpa besok.”
Liburan musim panas, yang tadinya dianggap hampir sekarat, ternyata terasa jauh lebih panjang dari bayangannya jika tidak bisa bertemu dengan Sasuga Hibari.
Karena membiarkan waktu berlalu dengan sia-sia, ia justru mendapat terlalu banyak waktu untuk berpikir. Dan karena dia hanyalah siswa SMA pengecut yang tidak bisa dengan mudah mengatakan “sebenarnya hari ini juga mau ketemu” di kemudian hari, ia pun tak punya pilihan selain melewati sisa libur musim panas—hingga masuk sekolah kembali—dengan perasaan gelisah.
Lebih parahnya lagi, Hibari tidak menghubunginya sama sekali setelah kejadian itu. Dan lebih-lebih lagi, Hibari absen di hari pertama masuk sekolah, lalu hari-hari berikutnya langsung masuk ke ujian penilaian awal semester. Masaomi pun merasa tidak enak hati untuk menghubunginya di tengah masa ujian itu. Dan entah bagaimana, sekarang sudah bulan September. Inilah akhir dari orang bodoh.
──Namun begitu.
“Sudah lama rasanya ya.”
“Iya. Liburan musim panas juga sudah berakhir. Masaomi-kun, bagaimana hasil ujiannya?”
“Jangan ditanya.”
Sambil mengangkat kedua tangan sebagai isyarat “TIDAK!”, Masaomi menjawab. Hibari tersenyum lembut. Dia tersenyum. Itu saja sudah cukup untuk meniupkan pergi semua kegelisahan kecil Masaomi dan mendorongnya maju dari belakang.
“Ngomong begini secara resmi di tempat seperti ini agak aneh sih…”
“Ya. Aku sempat berpikir juga, kenapa tidak sekalian saja kita pulang bareng.”
“Ada hal yang ingin kupikirkan. Karena itu, aku merasa tempat ini yang paling cocok.”
Tempat di mana permainan hukuman itu dimulai.
Tempat di mana hubungan mereka berdua dimulai.
──Dan juga…
“Hibari. Aku tahu ini terdengar egois, tapi kumohon… dengarkan ceritaku sampai akhir.”
“Apakah ini semacam paksaan agar aku tetap menemaniku, bahkan jika itu berarti harus berhenti dive?”
“Aku tidak bilang kamu tidak boleh dive. Tapi, kalau kamu pergi ke Astral Side, maka sampai kamu kembali, aku akan sendirian. Aku bakal dicap sebagai penyimpang aneh yang suka melamun sambil memeluk siswi perempuan, tahu?”
“Entah kenapa, kedengarannya seperti ancaman. Tapi kupikir… itu agak menarik juga.”
“Ampun deh…” kata Masaomi sambil menghela napas, tapi Hibari tampak benar-benar serius, setidaknya setengah dari ekspresinya.
Mata itu… indah, lurus, dan jujur.
──Mata itu, aku…
Detak jantung Masaomi melonjak cepat. Bagaimana ekspresinya sekarang? Menyebalkan rasanya tidak bisa melihat wajah sendiri seperti bercermin. Apakah dia sedang menunjukkan wajah datar dan membosankan seperti saat permainan hukuman yang membara itu? Ataukah…
“Meski harus menghadapi situasi seperti itu, tetap saja, aku punya hal yang ingin kusampaikan padamu, Hibari.”
“Silakan.”
Sama seperti waktu itu, tapi juga berbeda. Namun entah kenapa, semuanya terasa sangat pas.
“Sasuga Hibari-san.──Tolong, putuslah denganku.”
Jika diingat kembali, bahkan di sore hari itu pun, entah kenapa dia merasa firasatnya memang akan mengarah ke hal ini.
Sudah lebih dari satu tahun sejak adiknya membuka mata kembali—Orito Nagi. Di sisinya, Orito Keiji tak mampu berkata apa-apa, hanya bisa menggenggam tangan yang kurus bagaikan ranting kering itu, dengan perasaan seolah sedang berdoa terus-menerus.
"O... cha... tai... u..."
Pita suaranya, yang terlalu lama tak digunakan, tak mampu mengeluarkan kata-kata yang wajar dengan mudah. Namun, Keiji mendengar kata-kata Nagi dengan jelas.
──Onii-chan. Sakit.
“Ya... tentu saja sakit. Soalnya tanganmu kugenggam erat begini...! Sudah sebesar ini, masih saja... Memegang tangan adik yang pernah kutinggalkan begitu erat, seolah tak mau dilepas, padahal tubuhnya sudah hancur-hancuran, penuh luka…”
Keiji tak tahu apa yang dilakukan Nagi di dunia dalam pikirannya yang disebut Astral Side. Yang pasti, saat dia dihubungi pihak rumah sakit ketika berada di atap sekolah dan datang bersama Kasuka ke ruang rawat, ruangan itu sudah tampak seperti baru saja dilanda tornado lokal. Saat itu, sempat satu detik Keiji ragu di depan pintu ruang rawat. Tapi yang mendorong punggungnya untuk tetap maju—adalah Kasuka.
"Penyesalan karena gagal lebih menyakitkan daripada menyesal karena sudah mencoba."
Benar. Ini adalah masa remaja yang ia putuskan untuk dipersembahkan kepada Nagi. Bahkan sampai mengabaikan sahabat karib dan kekasihnya demi mempertahankan ruang ini—waktu untuk Nagi. Setiap langkah yang diambilnya ke dalam kamar rawat, tubuh Keiji dipenuhi luka.
Tersayat oleh angin yang mengamuk, dihantam benda-benda yang beterbangan, bahkan tanpa menyentuh apapun, darah mengalir seolah dikutuk. Aneh rasanya kalau dia bisa tetap hidup.
Setelah melewati waktu yang terasa seperti satu jam—atau bahkan satu hari—dia akhirnya sampai di sisi ranjang dan memeluk tangan kiri Nagi yang menyembul dari balik selimut, seperti memeluk harta karun. Tolong… Tolonglah──
“Kuh!”
Rasa sakit yang menusuk di dadanya datang seketika, seperti ditikam langsung ke jantung. Sakit yang nyaris menembus kalbu dan bisa saja membuatnya menyerah pada kesadaran—dan mungkin itu malah akan terasa nyaman. Tapi baik Masaomi maupun Kasuka tidak akan membiarkan Keiji tumbang begitu menyedihkan di sini. Dan tentu saja, Nagi juga tidak.
“Aku nggak minta kamu maafin aku...! Marah, maki, balas dendam, apapun boleh! Jadi, tolong…!”
──Jangan tetap tertidur, jawab aku dengan menatap langsung ke mataku──!
Perubahannya… sangat dramatis. Badai yang mengamuk reda seolah cuma ilusi, dan ruang suci yang mengamuk itu perlahan kembali menjadi kamar rawat biasa yang tenang. Doa itu, setidaknya, sampai kepada seseorang—bukan Tuhan—tapi seseorang.
Tak lama kemudian, Nagi pun perlahan membuka matanya. Bahkan saat tatapan mereka bertemu, Keiji masih tidak yakin dan tak bisa berkata apa-apa. Tapi mata Nagi menyampaikan perasaannya dengan sangat gamblang.
Onii-chan di sana tuh keren banget, tahu. Selalu datang menolongku. Tapi, pada akhirnya, dia juga nggak mau nurut, ya.
Seolah bisa mendengar suara yang tak diucapkan itu.
Dengan ekspresi sedikit merajuk, Nagi menatap Keiji dalam-dalam. Tatapan itu menjembatani waktu, ruang, dan jarak hati di antara mereka.
“Maaf ya, punya kakak yang gagal seperti ini. Tapi mulai sekarang, aku akan jadi orang yang bisa membantumu, meski sedikit. Aku nggak akan meninggalkanmu lagi. Jadi, jadi tolong… tinggalah di sini sedikit lebih lama, ya?”
Maaf, ucapnya berulang-ulang. Keiji yang selalu bersikap kaku, sok tegar, tak akan membiarkan dirinya menangis.
Air mata tak pantas ditumpahkan di gerbang baru ini.
Agar bisa memahami dunia Nagi, sedikit demi sedikit.
Agar bisa melindungi dunia Nagi, walau hanya sedikit.
—Dasar pria penerima sinyal aneh, aku ini.
Dengan wajah setengah tersenyum kaku, ia menggenggam tangan adiknya begitu erat hingga hampir remuk, namun tetap belum menekan tombol nurse call. Ia pikir, tunggu sebentar lagi saja.
“Si tukang bohong yang jadi pelaku permainan hukuman itu, sekarang juga lagi bersimpuh di sana kali, ya. Atau malah sok cool jaga gengsi. Tapi yaa—laki-laki itu memang bodoh…”
“Kalian berdua bodoh! Aku juga bodoh, jadi kita trio bodoh, dah!”
Dengan nada ceria seperti biasa, Kasuka berkomentar nakal. Keiji menoyor pelan kepalanya, lalu teringat akan sahabat yang kini tak ada di sini. Ia tak sanggup mengatakan langsung semoga berhasil. Mungkin karena itulah… ia tetap keras kepala.
──Aku telah mengkhianati mata itu.
Tepatnya, ini bahkan bukan soal pengkhianatan—aku bahkan belum pernah benar-benar menghadapinya secara langsung. Ada seorang brengsek yang nyata-nyata seperti itu. Brengsek itu bernama Kusunoki Masaomi. Dan bagi brengsek semacam itu, Sasuga Hibari terlalu berharga.
Seorang pembohong—pelaku permainan hukuman—tak pantas menyentuhnya, bahkan sekadar mendekat. Sasuga Hibari tampak tenang tanpa memperlihatkan sedikit pun perubahan ekspresi. Mungkin, dia pun sudah punya firasat. Bagaimanapun juga, hubungan mereka tak bisa terus berlanjut seperti sebelumnya. Tak akan sama lagi. Hibari menatap Masaomi tanpa mengubah ekspresi wajahnya sedikit pun. Masaomi pun menahan dorongan untuk mengalihkan pandangan, memaksakan diri untuk tetap menatap balik matanya.
Keheningan mereka terserap oleh bayangan panjang matahari senja. Seperti lehernya sedang ditekan oleh tombak panjang Lance yang dulu dibawa oleh “Noble Lark” di dunia Astral, ketegangan yang terasa seperti akan meledak dalam sekejap mengikat mereka berdua. Mereka—dua mantan kekasih—masih terus mempertahankan posisi seperti sedang saling adu. Yang memecah waktu yang terasa seperti keabadian itu adalah Hibari.
“Kali ini,” Ucapnya dengan suara tegas.
“Kali ini, ini bukan permainan hukuman, kan?”
Itu bukan pertanyaan—itu sebuah kepastian.
“Iya. Aku nggak bohong.”
Dengan mata yang terasa kering dan nyaris pecah karena kelelahan, Masaomi menjawab.
“Aku benci kebohongan. Tapi... aku lebih benci kalau kamu nggak bilang yang sebenarnya.”
Wajah Hibari terpelintir dalam sekejap. Begitu keseimbangan retak, sisanya terjadi begitu cepat. Hibari jatuh terduduk. Ia tidak peduli seragamnya kotor oleh tanah, menutupi wajah dengan kedua tangannya, dan menggigil—entah karena rasa malu, atau kecewa yang begitu dalam. Masaomi sebenarnya sudah tahu.
Tampak tidak menunjukkan emosi? ──Mustahil.
Bersuara tegas? ──Itu juga bohong.
Karena Hibari sempat menyentuh hiasan rambutnya. Motif sayap itu—tempatnya bersandar saat ingin melarikan diri ke dunia ideal. Artinya, dia sedang menahan sesuatu. Wajah datar yang dibuat-buat. Suara yang ditegaskan agar tak bergetar. Itu semua pernah Masaomi lihat. Itulah sinyal gelombang beracun yang biasa Hibari pancarkan ke teman sekelas dan para lelaki yang mendekatinya. Tapi, sinyal Hibari tak pernah menembus dinding baja yang ia bangun saat berhadapan dengan Masaomi.
Karena Masaomi bisa menerima gelombang Hibari dengan nyaman.
Maka, sebelum kekuatan inti yang menopang Hibari benar-benar hancur, Masaomi memancarkan gelombangnya sendiri.
“Sasuga Hibari-san. Aku menyukai gelombangmu. Mulai sekarang, maukah kamu menjalin hubungan denganku lagi?”
Hibari melepaskan tangannya dari wajah, memperlihatkan ekspresi seperti tangis campur tawa yang pernah muncul di dunia Astral.
Matanya berkata lantang: “Aku nggak ngerti kamu ngomong apa.”
Masaomi mendekat, mengulurkan tangan, dan membantunya berdiri.
Menyokong tubuhnya yang terasa sangat ringan seperti cangkang kosong, penuh perhatian.
“Aku nggak bisa terus menjalani hubungan palsu yang semu seperti tadi. Aku tahu ini egois. Tapi hubungan kita yang terbentuk dari permainan hukuman itu, aku ingin menganggapnya tak pernah ada. Dan karena itu, sekarang aku mau mengajukan permintaan baru—untuk mulai dari awal. Ini... pengakuan cinta paling buruk, lebih buruk dari permainan hukuman. Tapi ini adalah perasaanku yang sebenarnya, tanpa satu pun kebohongan.”
Inilah wajah asli dari lelaki menyedihkan bernama Kusunoki Masaomi, yang sok jadi pacarmu. Ketegangan yang nyaris mematahkan jiwanya membuat kepalanya terasa kosong. Tapi tetap, dia harus mengatakannya. Ingin mengatakannya.
“...Hanya itu?”
Suara Hibari dingin dan tajam.
Wajar, pengakuan sepihak yang seenaknya begini seharusnya tidak dibiarkan. Bicara cinta, jadian, putus—tidak boleh dianggap enteng seperti ini. Masaomi, dengan telapak tangan basah bukan karena keringat akibat panas, tapi karena gugup, mengusapnya ke celana seragam, dan mulai merangkai kata-kata seperti sedang mengakui dosa. Sama seperti waktu di dunia Astral. Semua keputusan akhir akan dijatuhkan oleh Hibari. Tugasnya sekarang hanya mengutarakan isi hati. Karena pada dasarnya, pengakuan cinta itu memang seperti pertaruhan paling serius dalam hidup.
“Dulu aku pernah ingin cerita, tapi belum sempat. Jadi, sebelum masuk SMA, aku sempat hampir mati karena kecelakaan lalu lintas. Sampai koma, nggak sadar diri. Dan waktu itu aku sadar... oh, ternyata manusia bisa mati semudah ini, ya. Makanya aku berpikir, ngapain sih hidup sepenuh hati? Mati juga gampang. Jadi aku hidup biasa-biasa aja. Tanpa semangat. Tapi setelah ketemu kamu, ngobrol sama kamu, jadi pacar kamu... aku mulai berpikir, mungkin sayang kalau nggak hidup sepenuh hati. Dunia nyata yang datar dan membosankan ini... bisa pergi ke neraka saja, deh.”
“Aduh…” Masaomi merasa mual mendengar betapa canggungnya ucapannya sendiri.
Ada terlalu banyak hal yang ingin ia sampaikan, tapi tak bisa merangkainya dengan baik. Di dunia Astral, dia bisa bicara lancar. Tapi di dunia nyata—hasilnya begini. Perbedaan antara dunia ideal dan realita. Mungkin itulah kenapa orang yang meninggalkan tubuhnya—para Astral Diver—terpikat oleh dunia itu.
Namun saat ini, Masaomi dan Hibari sedang berdiri di dunia nyata. Jika sinyal gelombang mereka tak saling menembus, maka satu-satunya cara yang tersisa adalah mengadu isi hati. Masaomi tak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Tapi melihat Hibari yang setengah menangis menatapnya dengan mata membelalak, mungkin memang sudah parah.
“Aku harus menyelamatkan dunia.”
Kalimat yang sama—dulu Hibari juga mengucapkannya, untuk menjauhkan Masaomi. Dengan caranya sendiri, mungkin demi menjaga ketulusan, atau melindungi dirinya dari sinyal gelombang itu. Itu adalah bentuk penolakan. Namun kali ini, Masaomi tak bisa mundur. Tidak lagi.
"Aku tahu. Karena itu, izinkan aku menumpang pada gelombangmu yang sedang menyelamatkan dunia. Meskipun bagimu itu hanya akan jadi semacam gangguan, aku tetap ingin berada di sisimu, Hibari."
"Kau terdengar seperti sedang dipaksa melakukan permainan hukuman."
Ucapan itu menusuk tepat ke dada. Masaomi menunduk, menatap ujung sepatunya. Meski itu memang akibat dari perbuatannya sendiri, tetap saja... menyadari bahwa perasaannya tidak sampai ke Hibari terasa terlalu menyakitkan.
"Apa kau bisa membayangkan, betapa menyedihkannya perasaanku saat mengetahui hubungan kita hanya berawal dari permainan hukuman?"
"...Iya. Aku tahu. Aku benar-benar... manusia paling rendah."
"Akulah yang merasa berada di puncak dunia karena merasa telah diterima, baik di Astral Side maupun dunia Material Side. Dan orang yang menjatuhkanku dari sana ke dasar kehancuran... adalah kamu, Masaomi-kun. Dan setelah semua itu, kamu masih bisa mengucapkan kata-kata seperti ini. Tidakkah menurutmu itu... terlalu egois?"
──Ah, ini buruk. Bahkan cowok selurus Masaomi pun bisa langsung menangkap situasi ini.
Hibari, dengan ketenangan luar biasa, mulai menghakimi dosanya dengan suara sedingin es. Masaomi sudah tahu. Ia menyadari semua risikonya. Tapi tetap saja, ditolak oleh seseorang yang ia cintai… terlalu berat untuk ditanggung.
"Maaf. Kalau begitu, lebih baik kamu habisi aku saja, biar cepat."
Brengsek yang telah menanamkan luka menyakitkan seperti itu di hati Hibari layak terkubur di bawah senja yang sepi.
"Tapi… yang membuatku merasa berada di puncak dunia, tetap saja adalah kamu, Masaomi-kun."
"...Eh?"
"Jangan pasang wajah seperti itu. Aku belum memberikan jawaban resmiku, kan?"
Masaomi yang sudah hampir putus asa karena merasa ditolak, tampak terlalu putus asa, terlalu menyedihkan, dan terlalu menyolok.
"Sampai kamu menangis seperti ini... itu berarti perasaanmu memang sungguh-sungguh, ya?"
Saking putus asanya, Masaomi bahkan tak sadar kalau dirinya menangis.
"Hah… Aku... nangis?"
"Sampai kelihatan sangat memalukan, tahu? Tapi... melihat kamu yang biasanya datar seperti patung bisa jadi selemah itu, justru terlihat sedikit lucu. Aku bisa melihat jelas—bahwa permainan hukuman itu sudah tak ada artinya lagi buatmu. Kamu benar-benar berusaha keras sekarang."
Hibari menyentuhkan jemarinya yang panjang dan lembut ke wajah Masaomi, menghapus air matanya dengan kelembutan dan kehangatan.
Namun, walau itu disebut perpisahan terakhir pun Masaomi tak akan bisa menolak. Ia benar-benar tenggelam dalam kebingungan, tak bisa memahami lagi apa yang dipikirkan Hibari. Apa ini berarti diterima? Ditolak? Atau ini semua hanya sinyal aneh seperti biasa?
"Aku ini adalah seorang Astral Diver, seorang pemisah jiwa. Kalau ada kekacauan di dunia spiritual, aku harus mendahulukan tugas sebagai seorang Messiah, penyelamat."
"Aku paham. Karena itu, kalau kita di sana nanti, tolong jadikan aku Guardian-mu lagi. Bahkan kalau aku bukan lagi pacarmu di dunia nyata."
Kini Masaomi hanya bisa memandang gerak-gerik Hibari, seolah sedang mencari secercah harapan. Ia tahu betul betapa menyedihkannya penampilannya sekarang. Namun jika hanya untuk terlihat keren ia harus kehilangan Hibari, maka ia rela terlihat payah.
Kalau sedang berusaha mati-matian, maka harus ditunjukkan juga.
Ada senyuman getir muncul dari Hibari. Pahit—sangat pahit. Namun, itu benar-benar senyuman. Senyuman dari Hibari.
"Sungguh... kamu itu nggak normal."
"Kalau demi Hibari, aku rela jadi orang yang nggak normal."
"Jadi kamu rela melepaskan gelar sebagai pacar pertamaku... hanya untuk menjadi pacar kedua?"
"Eh? Ya... maksudku... jadi begitu, ya?"
"Benar-benar nggak normal. Tapi... mungkin justru itu lebih baik. Bahkan mungkin... itu yang terbaik."
Ekspresi Masaomi yang bingung tampaknya terlihat jelas. Hibari tersenyum nakal seperti dewi yang bahkan bisa membuat para dewi iri, lalu mengucapkan sesuatu yang tak akan pernah dilupakan Masaomi seumur hidupnya.
"Kalau kamu sudah sejauh itu, maka kamu tetap akan jadi Guardian-ku. Noble Lark, peringkat ketiga dari Fuuka Shitensen, mempercayakan kamu untuk melindunginya. Harap merasa terhormat? Dan satu hal lagi. Aku tidak pernah secara resmi memutuskan hubungan sebagai pacar. Bagaimana menurutmu, Masaomi-kun?"
Pada saat itu, Masaomi melihat senyum ‘berhasil-menang’ dari Hibari yang akan selalu ia ingat sepanjang hidupnya. Dan tanpa bisa menahannya lagi, Masaomi mengeluarkan raungan kegembiraan pertamanya dalam hidup.
Entah itu gelombang, entah itu bukan—yang jelas, ini bukan lagi permainan hukuman. Beginilah seharusnya sebuah pengakuan cinta yang sebenarnya. Bukan permainan hukuman, melainkan:
suara gagak yang terlalu ribut, tatapan penuh rasa malu, tak ada tempat untuk mengalihkan pandangan, panas yang membuat poni lengket, dan keringat berbau tak sedap.
Begitulah musim panas di tahun kedua SMA.
"Hey, Hibari. Barusan kamu bilang ‘mungkin justru lebih baik’. Maksudmu apa, sih?"
Dengan ekspresi seolah ingin berkata, "Kamu masih nggak ngerti juga?", Hibari tetap terlihat memesona sampai akhir.
"Karena katanya, cinta pertama itu… jarang berhasil."
Di musim panas yang penuh dengan sinyal aneh, di musim panas saat Sasuga Hibari, gadis paling eksentrik di sekolah, mulai memancarkan gelombangnya—
Kusunoki Masaomi mendapat kekasih keduanya. Begitulah akhir dari musim panas yang penuh dengan gelombang.
Kata Penutup
【Komposisi Isi / Per Buku Ini】
Komposisi utama: Gadis cantik berkepribadian pendiam dan penyendiri (bermuatan berat)
Komposisi tambahan: Masa muda, cinta manis, dunia spiritual Astral Side (dunia lain) – secukupnya
Efek dan khasiat: Membuat tersenyum geli. Membuat hati berbunga. Membuatmu ingin kembali ke musim panas yang dulu pernah kamu impikan.
Aturan pakai dan dosis: Bacalah sekaligus tanpa ragu.
【Penjelasan Penting】
Karya ini adalah versi yang telah diubah judul dan direvisi dari naskah pemenang Penghargaan Novel Dengeki ke-31 (Penghargaan Emas), berjudul "Kimi no Denpa ni Noise wa Iranai" (Gelombangmu Tak Butuh Gangguan).
Bagi penulis, ini adalah karya debut komersial pertamanya.
Karya ini bergenre komedi romantis. Bagi kalian yang tertarik dengan pesona berat Sasuga Hibari di sampul depan, silakan cicipi dulu. Kami jamin tidak akan membuat Anda menyesal.
Kalian akan merasakan pengalaman musim panas yang menyenangkan luar biasa bersama gadis seimut itu dan segala macam hal yang terjadi antara mereka.
Jika cocok di hati, mari kita dukung Masaomi bersama-sama!
Cerita ini hanya memiliki satu heroine utama. Ini bukan kisah harem.
Bagi kalian yang menyukai hubungan kuat dengan satu heroine utama layaknya pasangan suami-istri sejati, karya ini akan sangat berkesan.
Tentunya, ini adalah light novel. Jangan terlalu serius. Cukup ikuti petunjuk pemakaian, bacalah dengan santai, dan nikmatilah hingga halaman terakhir.
【Tentang Penulis】
Perkenalkan! Nama saya Jinguuji Fumitaka.
Bagaimana pendapat kalian tentang buku pertama saya "Jika Terhubung Lewat Cinta dengan Gadis Penyendiri Penyiar Gelombang, Maka Beratnya Giga" (Kokou no Denpa Bishoujo to Koi de Tsunagattara Giga Omoi)?
Bagi yang sudah membaca, saya yakin kalian telah menyerap energi masa muda yang cukup. Sekarang, sambil menunggu datangnya musim panas, mari berharap ada momen pengakuan cinta seperti dalam novel ini (meski mungkin tidak akan terjadi, sih).
Bagi yang belum membaca: ayo, buruan baca! Ini kesempatan bagus untuk menikmati heroine dengan kepribadian pendiam dan ‘gelombang’.
Tidak cocok dengan selera? Jangan khawatir, banyak karakter menarik lainnya juga! Seperti dijelaskan dalam catatan sebelumnya, karya ini adalah debut saya sebagai penulis. Ini juga pertama kalinya saya menulis catatan penulis seperti ini, jadi izinkan saya sedikit berbagi cerita pribadi.
Tentang label Dengeki Bunko: sebagai pembaca light novel, saya sudah lama menyukai label ini. Namun, sebagai penulis, saya jarang mengirimkan naskah ke Dengeki Novel Prize. Seingat saya, hanya sekali atau dua kali.
Alasannya sederhana: jumlah peserta sangat banyak dan kualitas karya pemenang selalu sangat tinggi, jadi saya berpikir, “Mana mungkin bisa menang…”
Karya ini pun awalnya bukan ditulis khusus untuk lomba tersebut. Kebetulan saja jumlah kata dan tenggat waktunya cocok dengan Dengeki Prize, jadi saya kirimkan saja.
Hasilnya? Saya justru mendapat penghargaan emas.
Benar-benar keajaiban.
Sebagai orang dewasa yang sehat dan mampu mengakui kesalahan, saya cabut saja pernyataan sebelumnya: mari kita bilang dari awal ini memang ditulis untuk memenangkan penghargaan! Oke, kan?
Tapi ya, hidup memang penuh kejutan.
Kalau hidup yang datar seperti saya tiba-tiba berubah drastis begini, saya mulai khawatir besok akan ditabrak atau kehilangan akal sehat.
Apa? Sudah hilang akal sehat?
Mungkin juga, sih. Soalnya Hibari di sampul buku ini terlalu imut (promosi terang-terangan).
Ngomong-ngomong, banyak yang mungkin membayangkan bahwa naskah pemenang lomba seperti ini hanya butuh sedikit koreksi dan bisa langsung diterbitkan, ya? Saya juga awalnya berpikir begitu—cukup edit typo dan beres. Ternyata… tidak sama sekali (tertawa kering).
Meskipun naskah awal dinyatakan sebagai pemenang, proses revisinya tetap berat.
Setiap kali editor bilang, “Karya ini kualitasnya tinggi, kok,” saya malah berpikir, “Serius? Padahal direvisi sebanyak ini…”
Saya pun merasa sudah tercemari oleh dunia orang dewasa.
Mungkin waktu itu karya saya digolongkan sebagai "masih kasar, tapi ada potensi"—ya, kalimat yang kita semua ingin dengar setidaknya sekali seumur hidup. Namun berkat proses revisi itu, saya yakin naskahnya kini jauh lebih baik daripada versi awalnya.
Akhirnya, karya ini berhasil diterbitkan.
Saya menulis catatan penutup ini dengan penuh rasa syukur atas bantuan dari banyak orang hingga buku ini dapat hadir di hadapan kalian. Baru saat ini saya benar-benar merasa: "Oh, ini nyata."
Mimpi bisa terwujud. Saya saat ini hidup dalam mimpi itu.
Namun, ini juga adalah kenyataan yang tak terbantahkan.
Dan kini, kenyataan ini terasa seperti Astral Side milik saya sendiri.
Saya sangat berharap kalian yang membaca karya ini bisa berkata:
“Novel ini begitu seru sampai bikin hilang akal sehat!”
【Ucapan Terima Kasih】
Kepada editor saya, Kunishige-san dan Suzuki-san.
Tanpa kalian, saya takkan pernah bisa menyebut diri sebagai penulis.
Saya yang polos dan tak tahu apa-apa (dengan kemampuan komunikasi setara kapas), sangat berterima kasih atas bimbingan sabar kalian yang luar biasa. Kalau bisa, semoga nanti kita buat heroine dengan payudara besar juga ya. (???)
Kepada ilustrator MAIRO-sama.
Saya merasa seperti bertemu dewa ketika pertama kali menerima desain karakter seindah ini. Saya akan mengikuti Anda seumur hidup. Tolong beri saya kesempatan untuk berjabat tangan. Saya hanyalah seorang penggemar.
Kepada keluarga.
Terima kasih atas segala dukungannya selama ini.
Dan tolong terus dukung saya ke depannya juga.
Akhirnya saya bisa melakukannya!
(Mengapa bagian ucapan untuk keluarga paling pendek? Ya, itu benar.)
Kepada sahabat saya, A.
Tanpa kamu, aku mungkin tidak akan pernah membaca light novel, apalagi berpikir untuk menulis sendiri.
Waktu itu aku mengirimkan tulisan amatir lewat SMS (!!), dan kamu bilang, “Aku ingin baca kelanjutannya.”
Aku tidak akan pernah melupakan momen itu seumur hidup.
Tolong terus temani aku ke depannya juga.
Dan untuk kalian para pembaca yang telah mengambil buku ini.
Kalian adalah alasan hidup saya.
Mohon terus dukung karya-karya saya ke depannya.
Dan kalau bisa, tolong bantu sebarkan juga (ini perintah serius).
Karena Sasuga Hibari di sampul ini terlalu imut, tak perlu malu membawanya ke mana pun—dia adalah heroine terkuat yang pasti bisa kalian dukung! (dipotong karena terlalu panjang haha)
Kalau begitu, tampaknya mimpi ini masih berlanjut,
sampai jumpa lagi di volume 2.
Semoga karya ini bisa menjadi salah satu dunia ideal di hati kalian.
Post a Comment