NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 2 Chapter 8

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 8

Ratu yang Tersakiti

Tak pernah terlintas di pikiranku saat itu, bahwa akan tiba suatu saat dimana aku bisa pergi ke festival musim panas seperti ini.

Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, aku mulai tinggal serumah dengan seorang pria, dan aku mengalami domestic violence dari pria itu—Utsumi Seiji. Saat itu, setiap hari terasa seperti neraka. Hampir tak bisa keluar dari kamar, dan satu-satunya yang kulakukan hanyalah pekerjaan rumah. Ponselku dihancurkan, kebebasanku direnggut… Meski hanya berlangsung sekitar sebulan, hatiku sudah hancur berkeping-keping.

Aku bergidik membayangkan jika seandainya aku tak sempat bertemu kembali dengan Yamamoto waktu itu.

Karena kalau itu terjadi...

Baik dengan Akari. Maupun dengan Miyauchi-san.

Aku takkan pernah bisa… bertemu kembali dengan mereka.

Rencana agar Akari datang ke kamar Yamamoto saat aku pergi, menurutku sendiri adalah ide yang cukup cemerlang. Mungkin sekarang, mereka berdua sedang menikmati malam yang menyenangkan. Kalau memang begitu, aku senang. Sebaliknya, jika tidak, aku akan kesulitan. Akan lebih baik jika mereka bisa bermesraan sampai tak ada celah sedikit pun bagiku untuk masuk.

Aku berharap mereka bisa menjadi begitu dekat… sampai aku tak punya alasan lagi untuk kembali ke kamar itu.

Dan kalau pada akhirnya aku kehilangan tempatku di sana… aku memilih untuk tidak memikirkan hal yang remeh seperti itu untuk sekarang.

Kalau Yamamoto tahu bahwa aku merencanakan semua ini hanya demi keegoisanku tanpa memikirkan di mana aku akan tinggal selanjutnya, dia pasti akan marah dan bilang betapa bodohnya aku.

Tapi, aku tak peduli. Selama dua orang yang paling berarti bagiku bisa bersatu, tak ada yang lebih membahagiakan dari itu.

“Yah, untuk sementara waktu aku tak punya pilihan selain memohon pada Yamamoto sambil bersujud agar diizinkan tinggal di sana…”

Soal itu, aku memang sangat merasa bersalah.

Aku harus segera menabung agar bisa meninggalkan kamar itu secepatnya.

Setelah beberapa saat di kereta, meskipun ini malam hari libur, aku mulai menyadari kalau jumlah penumpang semakin bertambah.

Ada beberapa penumpang lain yang mengenakan yukata sepertiku. Sepertinya sebagian besar dari mereka memiliki tujuan yang sama denganku.

[Aku akan segera sampai]

Aku mengirim pesan kepada Miyauchi-san.

[Aku sudah di depan stasiun!]

Balas Miyauchi-san dengan pesan singkat dan jelas.

Sejak kami bertemu kembali sampai hari ini, Miyauchi-san selalu tampak ceria.

Agak mengejutkan sebenarnya.

Miyauchi-san yang kukenal saat kuliah... sedikit berbeda dari sekarang. Bukan berarti dia pemalu… tapi dia lebih pendiam... atau lebih tepatnya, tipe orang yang selalu menyesuaikan diri dengan orang lain. Kalau dibilang tipe seperti siapa, mungkin lebih mendekati Akari.

Tapi setelah aku putus kuliah, mungkin ada banyak hal yang terjadi. Sekarang, dia jadi lebih berani… atau lebih tepatnya, punya kepercayaan diri yang lebih kuat dariku.

Mungkin saja, dia hanya berpura-pura tampak ceria. Kalau dia menyimpan masalah, suatu hari nanti aku ingin jadi tempat dia curhat.

Seperti yang Yamamoto lakukan padaku selama ini… aku juga ingin bisa menjadi penopang seseorang, dan membimbing mereka.

Ketika kereta sampai di stasiun terdekat dari lokasi festival, sebagian besar penumpang memang turun di stasiun ini.

Mengikuti arus kerumunan, aku pun turun dari kereta. Kami janjian bertemu di depan air mancur yang langsung terlihat begitu keluar dari gerbang tiket.

“Maaf, aku terlambat.”

“Tidak kok, masih sempat!”

“Keretanya padat banget.”

“Begitu, ya”

Sepertinya Miyauchi-san tak begitu peduli dengan kepadatan kereta. Padahal aku menyebutkannya sebagai pertanda bahwa lokasi festival yang kami datangi juga pasti akan ramai, tapi ya sudahlah.

“Lebih dari itu, Hayashi-san, yukatamu cocok banget!”

“Eh? Ah, terima kasih.”

“Beneran. Kamu beli sendiri?”

“...Ahaha. Diberi seseorang.”

“Dari orang tua?”

“Bukan, bukan seperti itu.”

“...Begitu ya.”

Nada suara Miyauchi-san terasa sedikit turun.

“Jangan-jangan, dari pacarmu itu?”

“Hei!”

Aku bereaksi berlebihan.

“B-Bukan! Dia bukan pacarku, oke?”

“Eh? Padahal dia sangat tampan. Keren lagi.”

“Keren apanya. Malahan dia itu cerewet, suka ikut campur, dan gampang panik.”

Iya, dia sama sekali tidak keren. Jika sampai menyebutnya keren, itu penghinaan bagi orang yang memang benar-benar keren.

“...Tapi yah, kadang… cukup bisa diandalkan. Hanya itu saja.”

“Hmmm.”

Miyauchi-san tersenyum.

“Kamu benar-benar suka ya, pada pacarmu itu.”

“Sudah kubilang, dia bukan pacarku!”

Aku membalas dengan sedikit kesal. Kenapa anak ini tidak mau mendengarkan perkataanku.

“Aku iri, deh…”

Miyauchi-san tetap tak menggubris bantahanku.

“…Ayo kita jalan.”

Karena mulai terasa menyebalkan, aku berkata begitu.

“Ya, ayo.”

“Ke sana, kan?”

Aku menunjuk arah yang dituju orang-orang berpakaian yukata yang keluar dari stasiun.

“Bukan, kita lewat sisi sebaliknya, yuk?”

“Eh?”

“Di sana ramai. Ayo lewat jalan pintas.”

“…Oke.”

Miyauchi-san mulai berjalan lebih dulu.

“Tunggu.”

Aku pun menyusul langkahnya.

“Miyauchi-san nggak pakai yukata, ya.”

“Iya. Aku nggak suka yukata.”

“Kenapa?”

“Soalnya bikin sulit gerak.”

“Ah…”

Benar juga. Setelah keluar dari kereta yang penuh sesak tadi, aku bisa memahami alasan Miyauchi-san. Bahkan setelah keluar dari stasiun pun, masih banyak orang yang berjalan menuju lokasi festival… Bergerak di tengah kerumunan seperti itu dengan yukata yang tidak biasa dipakai memang melelahkan.

“Tapi ini kan festival musim panas.”

Jadi, meskipun agak merepotkan, aku tetap ingin ikut festival dengan mengenakan yukata. Padahal saat Yamamoto memberikan yukata padaku, aku sempat ragu-ragu, aku ini memang orang yang mudah berubah pikiran.

Dengan bunyi ketukan geta di aspal, aku pun berjalan menuju lokasi festival.

“…Eh?”

Aku merasakan ada yang aneh setelah berjalan sekitar sepuluh menit mengikuti Miyauchi-san.

Menurut peta yang kulihat bersama Yamamoto sebelumnya, lokasi festival seharusnya bisa dicapai hanya dalam waktu lima menit jalan kaki dari stasiun.

Tapi sekarang, di sepanjang jalan yang kami lewati, tak ada satu pun kios yang biasa ada di festival. Malah, tanpa sadar kami masuk ke gang sempit yang sepi.

“Hei, Miyauchi-san? Apa jalan ini benar?”

Aku akhirnya bertanya pada Miyauchi-san yang berjalan di depan.

Kami memilih jalan ini karena Miyauchi-san bilang ini jalan pintas ke lokasi festival. Tapi kalau memang jalan pintas, seharusnya kami sampai lebih cepat, bukan malah lebih lama dua kali lipat.

…Jangan-jangan.

“Hayashi-san, masih ingat?”

Suara Miyauchi-san datar.

“Waktu kita ikut kencan buta dan bertemu pria yang kamu pacari waktu itu.”

“…Ada apa, tiba-tiba?”

“Jawab saja.”

“…Aku ingat. Mana mungkin aku bisa lupa.”

Mana mungkin bisa kulupakan…

“Hayashi-san, tahu nggak? Sebenarnya aku juga menyukai orang itu.”

“…Orang itu?”

“Utsumi-san.”

Suara Miyauchi-san mengeras.

“Utsumi Seiji-san.”

Nama yang keluar dari mulut Miyauchi-san adalah nama pria yang bahkan tak ingin kuingat lagi.

“Sakit rasanya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Benar-benar jatuh cinta. Dan kau… malah merenggutnya dariku.”

“…Begitu ya.”

“Kami bertemu lagi belum lama ini.”

Semua mulai masuk akal.

“Itu kebetulan. Benar-benar kebetulan. Sebelum berangkat kuliah, aku lewat jalan yang biasa kulalui… dan aku bertemu dengannya yang berkemeja lusuh dan wajah letih.”

“Begitu…”

“Aku gugup. Bingung mau bilang apa. Takut dikira aneh. Sekilas, wajahmu pun terlintas di benakku. Sedikit rasa bersalah juga muncul. Tapi akhirnya aku tetap menyapa dia.”

“…Ya.”

“Dan… aku membawanya ke apartemenku…!”

Entah karena emosinya memuncak, tangan Miyauchi-san yang terkepal pun mulai bergetar.

“Aku sudah dengar semuanya… semuanya…!”

Setelah menghela napas dalam-dalam—

“Kau… telah merebut segalanya darinya!”

Miyauchi-san berteriak.

“Dia sudah menceritakan semuanya!”

Miyauchi-san tidak berhenti.

“Kau memfitnah dia dengan tuduhan palsu dan menjebaknya!”

Dia tak bisa dihentikan lagi.

“Kau selingkuh dengan pria lain dan menyakitinya!”

Seakan meluapkan semua yang dipendam nya selama ini …

“Dan akhirnya, kau menguras semua hartanya, lalu hidup dengan tenang sendirian!!”

Miyauchi-san berteriak.

Dia terus meneriakkan kebohongan yang didengarnya dari pria itu.

Tepat pada saat itu, sebuah kembang api meledak di langit.

Biru. Merah. Kuning.

Disusul kelopak-kelopak cahaya yang tersebar di udara dan jatuh ke bumi.

Wajah Miyauchi-san yang tersinari oleh cahaya kembang api itu—berlumuran air mata.

“Kenapa orang sebaik Seiji-san harus disakiti oleh wanita rendahan sepertimu?!”

“Dia sudah sepatutnya menerima itu atas apa yang dia lakukan!”

Suara keras menggema dari arah belakang. Suara seorang pria yang dulu terasa bising di telingaku, tapi belakangan ini justru terdengar nyaman.

“…Yamamoto.”

Saat aku menoleh ke belakang, di sana berdiri Yamamoto yang terengah-engah, dan basah oleh keringat.

Sesaat, wajah Miyauchi-san terguncang.

“Kenapa kau di sini…?”

Tapi dia segera kembali tenang, lalu melontarkan kata-kata ejekan.

“...Hah. Berkeringat deras begitu. Sedang berlagak jadi kekasih yang penuh pengorbanan demi melindungi pacarnya, ya?”

Miyauchi-san menunjuk ke arahku dan berkata.

“Pasti kau yang menyembunyikan wanita tolol ini, kan? Kau juga sama tololnya.”

“Mau aku tolol atau tidak, itu urusanku. Tapi dari sudut pandangku, kau juga wanita yang tolol.”

“Apa…?!”

Aku bisa merasakan suara Miyauchi-san bergetar sejenak karena amarah, mendengar Yamamoto yang tetap tenang sambil menyeka keringatnya.

“Apa maksudmu?”

“Kau nggak paham maksudku? Aku cuma bilang kau itu tolol karena ya memang tolol.”

“Bagian mana dariku yang kau sebut tolol, hah?!”

Miyauchi-san membentak dengan suara keras.

“Karena kau begitu mudah terpengaruh oleh kata-kata tak berdasar. Itulah yang membuatmu tolol.”

“Tak berdasar…?”

Miyauchi-san mendengus tertawa.

“Aku punya dasar! Aku dengar semuanya langsung darinya! Dari orang yang kini tinggal di rumahku!”

“Memangnya itu bisa dijadikan dasar?”

“Apa kau bilang…?”

“Apakah semua yang dikatakannya itu benar adanya?”

“…Apa yang—”

“Apa kau punya bukti? Sudahkah kau pastikan kebenarannya?”

“Itu tidak perlu…”

“Kenapa?”

“Karena orang itu… nggak mungkin berbohong padaku!!!”

“Kau pernah lihat memar di lengan Hayashi waktu di supermarket, kan?”

“…”

“Memar itu dibuat oleh Utsumi. Orang yang kau bilang nggak mungkin bohong itu, yang telah melakukan kekerasan pada Hayashi dan meninggalkan memar itu.”

“Lalu kenapa kalau begitu?”

“Apakah Utsumi pernah memberitahumu soal memar itu?”

“……Itu…”

“Dia nggak bilang, kan?”

“…diam”

“Lalu bagaimana bisa kamu bilang cerita sepihak dari Utsumi itu punya dasar?!”

“DIAM…!”

Di belakang Miyauchi-san, kembang api yang indah diluncurkan.

Kembang api itu begitu indah.

Begitu indah hingga membuatku lupa akan situasi sekarang… sampai-sampai aku terpaku menatapnya.

“AAAAAAAHHHHHHHHH!!”

Berbarengan dengan ledakan kembang api, Miyauchi-san berteriak dan mengeluarkan sesuatu yang berkilauan dari tas jinjing di bahunya.

Belasan kembang api meluncur ke langit, dan cahaya dari ledakan mereka memantulkan kilauan dari sesuatu yang dipegangnya.

Itu sebilah pisau dapur.

Miyauchi-san berlari ke arahku dengan kecepatan penuh.

Semuanya terjadi begitu cepat.

“Hayashi!”

“Kyaa!”

Tanpa sadar, aku sudah terduduk di tanah.

Tidak terasa sakit.

Dengan perlahan, aku menengadah.

“Yamamoto…?”

Yamamoto, yang seharusnya ada di belakangku tadi, kini berdiri menahan tubuh Miyauchi-san.

Sesaat, aku tidak bisa memahami apa yang terjadi. Otakku tak sanggup mengejarnya. Aku tak pernah membayangkan hal ini terjadi. Bahwa Miyauchi-san akan bertindak sejauh ini, dan Yamamoto yang akan melindungiku dengan tubuhnya sendiri.

“…Ugh.”

Sementara aku terdiam dalam keterkejutan, Yamamoto mengerang dan jatuh berlutut.

“Y-Yamamoto…?”

Melihat Yamamoto yang bersikap aneh, aku buru-buru berdiri.

Dia berlutut di tanah tanpa bergerak sedikit pun.

Aku belum bisa mengerti apa yang terjadi pada Yamamoto, dan dengan sempoyongan aku menghampirinya.

“…Buakn. Bukan salahku. Dia yang memprovokasiku duluan… Ini bukan salahku…”

Di samping Yamamoto yang tersungkur, Miyauchi-san bergumam pelan. Tak ada lagi amarah seperti sebelumnya. Sekarang, dia terlihat seperti badut menyedihkan yang tak sanggup menanggung beban atas perbuatannya dan melarikan diri dari realitas.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku diserang oleh rasa tidak nyaman seperti dibangunkan secara mendadak dari tidur yang nyenyak.

Jangan-jangan…

“…!”

Yamamoto melemparkan sesuatu ke sudut gang.

Aku menatap lekat-lekat pada sesuatu yang berbunyi klang-klang.

Kembang api kembali mewarnai langit. Kali ini berwarna merah menyala.

Kalau aku melihatnya di lokasi festival seperti rencana awal, mungkin aku akan terpukau. Tapi kini, cahaya merah menyala itu justru menyinari sesuatu yang dilemparkan ke sudut gang.

“…!”

Aku menahan napas.

Yang diterangi kembang api itu adalah—pisau dapur yang tadi dipegang Miyauchi-san.

Ujung bilahnya… bersimbah merah.

Itu bukan karena pantulan cahaya kembang api.

Itu darah. Darah seseorang…!

Wajahku memucat, dan dengan tubuh gemetar, aku menoleh perlahan ke arah Yamamoto.

Aku berharap. Berharap apa yang baru saja terlintas di benakku adalah salah.

Namun… harapan itu tak dikabulkan.

Seperti rintik hujan yang mulai membasahi tanah, beton di bawah kaki Yamamoto pun mulai basah.

Basah oleh darah merah yang menetes.

“Yamamoto…! Yamamoto! Kamu nggak apa-apa!? Yamamotooo!!”

Aku berteriak pada Yamamoto yang masih meringkuk.

“…Sa…kit.”

“Eh?”

“Sakit…”

“Ya jelas sakit lah! Kamu kena tusuk di mana!?”

Dengan kasar, aku mengangkat kaus Yamamoto. Meski gelap dan sulit dilihat, tampaknya tak ada darah yang keluar dari perutnya.

“...Tangan kananku. Aku sempat menggenggam pisaunya…”

“Tangan!?”

Karena panik, aku refleks menarik tangan kanannya dengan kasar.

“Ugh… sakit…”

Melihat Yamamoto mengerang kesakitan, aku tak bisa mengeluarkan sepatah pun kata maaf.

“Kenapa…”

Alih-alih meminta maaf, yang keluar dari mulutku justru teguran.

“Kenapa… kenapa kamu melindungi orang sepertiku…?”

Air mata mengalir dari mataku. Aku tahu itu, ini bukan saatnya menangis, dan itu takkan menyelesaikan apapun. Tapi tetap saja… air mataku tak kunjung berhenti mengalir.

“Padahal aku cuma terus merepotkanmu… bahkan hari ini pun… Tapi kenapa…?”

“…Sama. Aku juga sama denganmu.”

“…”

“Kamu menangis sekarang karena merasa aku terluka karena ulahmu, kan?”

“…!”

“Aku pun begitu. Aku tak ingin kamu terluka. Makanya, aku mengorbankan diri.”

“…Maaf.”

“Bukan.”

“…Apa?”

“Alasanku jadi tamengmu bukan untuk mendengarmu minta maaf.”

…Kenapa.

Kenapa orang ini… meski sudah mengalami hal ini....

“Terima kasih…”

“Ya.”

Sambil meneteskan keringat dingin di dahinya, Yamamoto tersenyum seolah ingin menenangkan kecemasanku.

“Syukurlah kamu tidak terluka.”

Senyuman itu kusut... benar-benar bukan gaya Yamamoto, tapi tampak begitu cerah dan damai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close