Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 3
Ratu yang Berubah
Waktu aku masih kelas 1 SMA, aku pernah naksir sama kakak kelas yang juga ace dari klub tenis, Sekine-senpai.
Di antara anggota klub tenis yang lain pun, senpai sangat menonjol karena bakat dan prestasinya, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan agak androgini.
Awalnya aku sekedar mengaguminya, tapi lama-lama itu berubah jadi cinta.
Setiap kali ada kesempatan, aku pasti memperhatikan Sekine-senpai. Misalnya, kalau anak kelas 2 ada pelajaran olahraga pas jam kelasku, aku sengaja duduk dekat jendela dan menatap keluar jendela, mengabaikan pelajaran, hanya untuk melihatnya.
Perasaanku terlihat begitu jelas bagi orang di sekitarku.
“Megu, mendingan kamu langsung tembak aja.”
Temanku, Ishida—yang biasa kupanggil Icchan—sudah berulang kali bilang begitu.
Sejak awal, aku memang tak berniat menyatakan perasaanku padanya.
Aku takut ditolak. Baik demi reputasiku yang katanya “Ratu” maupun harga diriku sebagai gadis.
Sampai suatu hari, aku melihat sesuatu.
“Aku menyukaimu, Sekine-senpai.”
Ada seorang gadis yang menyatakan perasaannya.
Dia kelihatan sangat keren. Meski belum tahu apakah perasaannya akan terbalas, dia tetap berani menyampaikannya. Aku tidak mau kalah. Tiba-tiba, aku merasa bersaing dengan gadis itu—meski tak tahu siapa namanya.
Tak lama setelahnya, aku pun memutuskan untuk menyatakan perasaanku pada Sekine-senpai.
Aku mulai memikirkan waktu yang pas buat melakukannya.
“Gimana kalau pas pesta penutupan festival budaya?”
Selama persiapan festival, Icchan menyarankan begitu.
Di sekolahku, setelah festival budaya usai, panitia festival bakal mengadakan pesta penutupan. Biasanya mereka akan menggelar acara api unggun.
Itu semacam puncak keseruan yang terjadi selama festival.
Kata temanku, tidak sedikit siswa yang pakai momen itu buat menyatakan cinta.
Mungkin karena suasananya mendukung dan bisa jadi dorongan buat memperbesar peluang diterima.
Jujur, kupikir itu ide bagus.
Kalau aku menyatakannya pas acara api unggun, mungkin suasana hatinya akan ikut terpengaruh.
Dan kalau gagal pun, aku bisa menganggapnya sebagai terbawa suasana.
Hari festival pun tiba, dan cuacanya benar-benar cerah—langit biru tanpa awan. Bahkan, karena cuacanya sangat panas untuk ukuran musim gugur, kelas 3-2 yang jualan es serut sampai memenangkan kontes penjualan.
Menjelang pesta penutupan, aku melewati sekelompok gadis yang lagi ngobrol di lorong.
“Cuaca kayak gini, pasti pestanya jadi.”
“Iya, tahun lalu dibatalin karena hujan.”
Mereka berbicara riang sembari berjalan.
“Kira-kira tahun ini siapa yang bakal nembak siapa, ya.”
...Kupikir mereka kepo banget.
Tapi jujur, kalau aku sendiri tidak punya rencana buat nyatain cinta, mungkin aku juga bakal ngomong hal yang sama.
Setelah upacara penutupan festival berakhir, sudah waktunya untuk persiapan pesta penutupan.
Aku menunggu bersama teman-temanku di kelas.
Seperti biasa, aku duduk di tempatku dan menatap ke arah halaman.
Tapi... ada yang aneh.
Kalau menurut jadwal, seharusnya pesta sudah dimulai... tapi aku tidak melihat tumpukan kayu untuk api unggun.
Aneh, pikirku samar—sampai akhirnya pengeras suara berbunyi.
“Ini pengumuman dari panitia festival budaya.”
Kelas yang tadinya berisik langsung jadi hening. Semua menoleh ke speaker di atas.
“Pesta penutupan tahun ini dibatalkan. Sekali lagi. Pesta penutupan tahun ini dibatalkan.”
“Apa...?”
Suaraku tenggelam oleh suara desahan dan keluhan yang menggema tidak hanya di kelasku—tapi di seluruh sekolah.
Padahal cuacanya cerah.
Ramalan cuaca juga tidak bilang apa-apa soal hujan.
Itu terlalu mendadak.
Terlalu sepihak.
Dan dengan itu, kesempatanku untuk menyatakan perasaan pada Sekine-senpai lenyap begitu saja.
“Yamamoto!”
Keesokan paginya, aku langsung melampiaskan kekesalanku ke Yamamoto, yang waktu itu jadi perwakilan kelas kami di panitia festival.
Selama 3 tahun di SMA, aku dan Yamamoto selalu sekelas. Dia ikut panitia festival pas tahun pertama dan tahun ketiga.
Kalau kupikir-pikir lagi, mungkin itu adalah percakapan serius pertamaku dengannya.
Tapi karena kejadian pembatalan pesta itu, kesanku terhadap Yamamoto langsung jatuh sampai ke titik terendah.
Dia sedang jalan di depanku ketika aku memanggil, dan dia perlahan berbalik.
“Apa?”
“Kemarin! Kenapa pesta penutupannya dibatalkan!?”
“Kami lupa pesan kayu.”
Jawabannya begitu blakblakan dan datar, sampai-sampai aku sempat tidak bisa berkata-kata.
Lupa pesan kayu? Itu kan hal paling mendasar.
Saat aku mencerna jawabannya, amarahku mulai naik lagi.
“Kok bisa-bisanya kalian ngelupain hal sepenting itu!?”
Suaraku menggema di lorong, dan tak lama setelahnya siswa-siswa sekelasku—tidak, bahkan siswa dari kelas sebelah—mulai berkumpul.
Mereka mungkin juga frustrasi karena pesta penutupannya dibatalkan.
Dan kami, berada di tengah konfrontasi yang tepat waktu.
Semua orang ingin tahu alasannya.
Mereka ingin alasan yang masuk akal.
“Maaf.”
Alih-alih memberikan penjelasan, Yamamoto hanya bilang begitu.
Sebuah pengakuan kesalahan. Sebuah permintaan maaf.
“Maaf doang gak bisa merubah apa-apa!”
“...Iya. Aku tahu. Maaf.”
Dia terus mengulangi permintaan maafnya atas keteledoran panitia.
Kalau sampai terus-terusan minta maaf begitu, jangan buat kesalahan dari awal, pikirku.
Yang kami mau bukanlah permintaan maaf—tapi pesta penutupan itu.
Tentu saja, aku tahu itu mustahil.
Aku tahu apa yang sudah hilang karena kesalahan Yamamoto tidak bisa dikembalikan.
Makanya aku mulai menganggap Yamamoto sebagai orang yang ceroboh.
Dan sejak saat itu pula, aku mulai tidak menyukainya.
◇◇◇
Sambil berjalan-jalan di supermarket, kenangan tentang awal mula aku tidak suka Yamamoto tiba-tiba muncul di kepalaku.
Kenapa aku kepikiran hal itu sekarang?
Setelah kupikir-pikir, sejak aku ketemu lagi dengan Yamamoto, pikiranku kewalahan hanya untuk mencoba bertahan.
Sebelum kami ketemu lagi, aku benar-benar berada di titik gelap—didorong ke tepi jurang oleh oleh kekerasan dalam rumah tangga, terjerumus ke dalam perilaku merusak diri sendiri… sampai-sampai aku tidak sempat memikirkan hal lain.
Tapi sekarang, setelah bertemu lagi dengan Akari dan ngobrol seperti dulu, aku merasa sedikit lebih tenang.
Dan mungkin karena itu, kenangan lama itu pun muncul.
Saat mengingat kembali kejadian itu, aku ter
Sadar akan satu hal:
Aku benar-benar payah waktu itu.
Aku bilang ke Yamamoto, “Maaf doang gak bisa merubah apa-apa,” tapi… apa benar sesuatu seperti itu tidak bisa dimaafkan?
Sepertinya tidak.
Sudah hampir 3 tahun sejak kejadian “kelupaan pesan kayu” itu… dan aku pikir, berapa banyak siswa yang masih mengingat kesalahan Yamamoto waktu itu?
Pada akhirnya, tidak lebih dari itu.
“Kesalahan nggak bikin orang mati.”
Aku ingat Yamamoto pernah bilang begitu.
Mungkin kalimat itu dia pelajari dari kekacauan festival waktu itu.
Kalau dipikir sekarang, aku menyadari betapa konyolnya diriku.
Marah-marah karena kesalahan seremeh itu dan menjauhi Yamamoto begitu—itu picik. Dan ya… aku merasa bersalah karenanya.
Yamamoto hanyalah manusia. Kesalahan kayak gitu bukan hal besar.
Dan bukan cuma itu.
Kalau posisi kami ditukar… bisakah aku meminta maaf seperti yang dia lakukan, tanpa alasan? Bisakah aku mengakui bahwa aku salah dan menundukkan kepala? Mana mungkin. Jika itu aku… paling-paling bakal lempar kesalahan.
Ada orang lain yang jadi panitia selain Yamamoto. Aku pasti bakal bilang, “Bukan salahku doang, panitia lain juga salah.”
Tapi Yamamoto tidak bilang begitu. Mungkin itu yang menunjukkan kalau dia punya integritas.
Tetap saja, bagi seseorang yang sekaku dan cerewet Yamamoto, kesalahan kayak begitu cukup mengejutkan.
Tapi sekarang, aku bisa tertawa kalau mengingatnya.
Aku bisa menerimanya sebagai bagian dari diri Yamamoto.
Setelah tinggal bareng kayak gini, aku jadi ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Itulah yang kukatakan waktu kami ketemu lagi di minimarket.
Padahal baru beberapa hari, tapi aku sudah melihat banyak sisi lain dari Yamamoto.
Aku juga sadar, masih banyak hal yang tidak kuketahui tentangnya.
Aku ingin tahu lebih banyak.
Aku bahkan tidak tahu kenapa aku merasa begitu.
Tapi… begitulah adanya. Dan aku tak bisa menghentikannya.
…Mungkin.
Mungkin aku ingin mengenal Yamamoto dengan lebih jelas dan lebih pasti lagi.
“Apa yang mau kita masukan dalam takoyaki-nya?”
Dan saat ini, ada yang terasa aneh dari Yamamoto.
“Eh, kalo takoyaki ya pasti pakai gurita, kan?”
Di depan, Yamamoto dan Akari sedang berjalan bersama.
“Cih cih cih. Kamu terlalu naif, Yamamoto-kun. Isian takoyaki yang paling umum sekarang itu sosis.”
“Itu sih bukan takoyaki lagi, itu namanya sosis-yaki.”
Mereka ngobrol sambil tertawa—terlihat begitu akrab.
…Benar. Aku tahu itu. Sejak kapan, ya?
Mungkin… benar.
Mungkin sejak Yamamoto memberiku kontak Akari.
Sejak saat itu, ada yang terasa aneh darinya.
Tidak—tunggu. Bukannya dia bertingkah aneh. Lebih seperti...
“Bukan sosis-yaki. Ini tetap takoyaki, oke?”
“Sejak kapan definisi takoyaki jadi selonggar itu?”
“Ayolah, Yamamoto-kun. Ini kan era keberagaman.”
“…Iya juga sih.”
…Yang beda itu cara dia bersikap pada Akari.
Biasanya, dia cerewet pada setiap hal kecil layaknya ibu mertua. Tapi sama Akari, dia kelihatan nahan diri.
Seolah-olah… dia menyadari keberadaannya.
Seolah dia melihat Akari sebagai seorang perempuan.
Sekarang, dia tampak seperti sedang berusaha kelihatan keren di depan gadis yang dia suka.
…Sejak awal, rasanya memang sudah ada yang aneh. Harusnya aku sadar waktu Yamamoto bilang dia punya kontak Akari.
Maksudku, ini Yamamoto yang kita bicarakan—pria yang dulu sering bilang kalau universitas itu tempat untuk belajar dan tidak pernah berusaha cari teman.
Dan dia punya kontak Akari?
Itu jelas aneh.
“Kamu benar-benar yakin soal itu?”
“Duh, Yamamoto-kun. Kamu keras kepala banget. Lebih keras dari berlian.”
“Berlian itu sebenarnya rapuh, tahu?”
Tadi mereka masih berdebat soal isian takoyaki, tapi sekarang Yamamoto malah fokus ke layar ponsel Akari, kelihatan belum sepenuhnya percaya.
“Jadi, ini yang lagi ngetren sekarang, ya…”
“Iya. Hehe.”
“Apa?”
“Tahu gak, Yamamoto-kun… kamu biasanya kaku banget, tapi begitu dikasih artikel random dari internet, kamu langsung percaya.”
“Heh. Aku lemah pada sesuatu yang sudah punya bukti.”
Yamamoto menyeringai bangga.
“Ahaha. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa…”
Mereka mengobrol seperti biasa.
Padahal kalau cuma berdua denganku, Yamamoto selalu kelihatan kaku.
Tapi sama Akari, dia bisa bersikap seperti itu?
“Kalau begitu, kita ambil aja semua bahan yang kira-kira cocok buat isian.”
“Oke. Aku cek bagian sana, kalian berdua urus sisi yang lain.”
“Hah?”
Sebelum Akari bisa menghentikannya, Yamamoto sudah pergi duluan.
Akari sempat melongo, lalu tertawa kecil.
“Haha. Yamamoto-kun memang nggak berubah, ya.”
Dia menoleh padaku dengan senyum sedikit kesal.
“…Nggak berubah?”
“Iya. Dari SMA juga dia memang begitu.”
Sejak SMA.
Masa ketika aku sebisa mungkin menjauhi Yamamoto.
Masa ketika aku membencinya.
Jadi begitu, ya.
Waktu aku sibuk membencinya…
Waktu aku sengaja menjaga jarak…
Akari justru semakin dekat dengannya.
Tiba-tiba, aku menyadari sebuah perasaan mulai bergejolak di dalam diriku.
Tidak.
Aku tidak boleh merasa seperti ini.
Aku tidak pantas merasa seperti ini.
Karena—
Karena... Akari adalah sahabatku di SMA.
Dan Yamamoto… aku berutang banyak padanya.
‘Bahkan jika kau gagal, itu bukan akhir segalanya.’
Saat aku terpuruk.
‘Kalau kau tidak ambil keputusan, semua ini jadi sia-sia.’
Saat aku hancur berantakan.
‘Kau juga sama, kan? Kau juga tidak melakukan apa-apa untuknya.’
Berapa kali—
Dalam beberapa hari ini saja, berapa kali Yamamoto menyelamatkanku?
Benar.
Aku tidak diizinkan untuk merasakan ini.
Aku harus menahan perasaan ini terhadap Yamamoto dan Akari.
Kalau—
Kalau... saja.
“Hei, Akari.”
“Ada apa, Megu?”
“Apa pendapatmu tentang Yamamoto?”
Kalau saja Yamamoto memang menyukai Akari…
Kalau dia memang menyukainya sebagai perempuan…
Sekarang setelah aku menyadari perasaan tersembunyi Yamamoto, hanya ada satu hal yang harus kulakukan.
Sama seperti dia mendukungku, sekarang giliranku untuk mendukungnya.
Aku akan menjadi orang yang menyatukan Yamamoto dan Akari.
Waktu aku bertanya, Akari tampak agak terkejut. Kurasa itu pertama kalinya aku melihat dia dengan ekspresi seperti itu.
Dia selalu memberikan kesan lembut dan santai, tapi kupikir dia adalah tipe orang yang menyembunyikan banyak hal dalam dirinya—hal-hal yang mungkin tidak bisa kubayangkan.
Makanya, aku kaget melihatnya seperti itu. Melihatnya ragu-ragu seperti ini... Itu belum pernah terjadi sebelumnya.
Kami mulai dekat sejak tahun kedua SMA.
Di tahun pertama, kami beda kelas. Kami baru sekelas di tahun kedua.
Sejak saat itu, kami sahabatan.
Kami sering bicara soal asmara.
Tapi kalau dipikir-pikir… setiap kali kami bicara soal cinta, Akari selalu menghindari topik itu.
Mungkin ini pertama kalinya aku bertanya langsung soal perasaannya pada seseorang secara spesifik.
“…Akari?”
“Eh, Ah, maaf…”
Dia tampak benar-benar kesulitan dengan pertanyaanku.
Kurasa ini pertama kalinya aku melihatnya seperti itu sejak kami bertemu.
“…Ada yang salah?”
“Nggak, nggak ada apa-apa kok.”
Itu bohong. Aku yakin dia berbohong…
Kalau memang benar tidak ada apa-apa, kenapa tidak bersikap seperti biasa?
Tersenyumlah seperti yang selalu kamu lakukan dan katakan, “Kamu adalah sahabatku.”
“…Dia agak menyebalkan, sih.”
Akhirnya Akari menjawab.
“…Iya, memang.”
Yamamoto memang menyebalkan. Cerewet dan keras kepala.
Tipe orang yang beli perlengkapan pembersih lalu nulis ulasan panjang—dan tidak pernah kasih bintang lima.
Katanya, kalau kasih bintang lima, perusahaan bakal jadi terlena. Dia mengatakannya dengan begitu santai hingga membuat jengkel—dia memang sudah nyebelin dari sananya.
Tidak heran jika Akari membuat wajah masam mendengarnya. Dia memang secerewet dan semenyebalkan itu.
“Tapi… aku lebih suka kalau kamu nggak ngomong terlalu kasar soal Yamamoto.”
…Itu tidak perlu. Aku langsung menyesal mengatakannya.
Apa yang Akari bilang memang benar. Tapi aku malah kesal karena dia sedikit mengkritik Yamamoto…
“Maaf.”
“…Nggak apa-apa.”
Suasana jadi canggung.
Kapan terakhir kali aku merasa canggung begini sama Akari?
…Mungkin ini pertama kalinya.
“Megu, ayo kita lihat ke bagian sana.”
“Ya.”
Akari menggandeng tanganku, dan kami berjalan menyusuri lorong supermarket.
Tadi memang sempat canggung. Tapi aku mau memperbaiki suasana.
Sekarang, aku cuma ingin menikmati waktu bareng Akari. Kurasa dia juga merasa begitu.
Saat pikiranku mulai tenang, seorang gadis lewat di depan kami.
Kami ada di supermarket, jadi wajar kalau orang-orang lebih fokus melihat rak. Aku pun hanya meliriknya sekilas.
Hanya sesaat—tapi aku mengerutkan kening.
Gadis itu… rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Mungkin cuma perasaanku?
“…Hah?”
Suara seseorang terdengar dari belakang.
Aku tidak menoleh.
Itu suara perempuan, tapi belum tentu gadis tadi. Dan walaupun iya, belum tentu dia bicara padaku.
Tapi kemudian—terdengar langkah cepat mendekat.
“U-um, permisi!”
Seseorang memegang lenganku.
Tidak sakit.
Hanya mengejutkan.
Bahkan jika ada tanda-tanda sebelumnya, aku tetap tak menyangka seseorang akan menyapaku di tempat seperti ini.
“…Um.”
“Kamu siapa?”
Suara Akari jelas diliputi kewaspadaan.
“Hayashi-san?”
Gadis yang menggenggam lenganku punya rambut cokelat panjang, memakai anting, dan gayanya seperti mahasiswi yang baru mulai suka pesta.
Kalau dia tahu namaku, berarti kami pernah bertemu sebelumnya.
Dan memang, waktu aku lihat wajahnya tadi, rasanya memang familiar.
Tapi di mana?
Kalau dari masa SMA, dia pasti akan menyapa Akari juga.
Sebelum itu—masa SMP?
Tidak, ini di Tokyo. Dan kalau dipikir-pikir kenapa aku bisa di Tokyo sekarang… kemungkinan besar dia orang yang kutemui di kampus.
Apa aku kenal seseorang seperti ini?
“Ini aku, lho. Aku!”
Dia tersenyum cerah.
“Kita dulu satu jurusan—aku Miyauchi!”
Miyauchi…
Namanya memang terdengar familiar.
Dan aku ingat wajah gadis yang dulu menyandang nama itu.
Dalam pikiranku, aku membandingkan gadis di depanku sekarang dengan Miyauchi yang kukenal saat kuliah.
“Eeh!?”
Teriakanku lebih kencang dari yang kukira.
Dulu, Miyauchi berambut hitam pendek. Katanya dia pernah lolos ke kejuaraan atletik antar SMA untuk lomba lari 100 meter. Setidaknya, dulu dia tidak pernah berdandan semencolok ini.
“Ya ampun, aku langsung tahu itu kamu, lho.”
“Haha. Maaf, maaf. Kamu banyak berubah, Miyauchi-san.”
Aku tertawa canggung sambil menggaruk kepala.
Akari menatapku dengan sedikit terkejut.
Aku tahu apa yang dia pikirkan. Semasa SMA, aku tidak pernah bersikap seramah ini pada orang lain.
Bagi Akari—yang mungkin mengenalku lebih baik dari siapa pun waktu itu—aku pasti terlihat seperti orang yang benar-benar berbeda.
“Kamu sudah punya pacar atau gimana?”
Miyauchi-san langsung tertawa saat aku melontarkan dugaan itu.
“Haha, bukan, kok. Ini cuma pelampiasan setelah berhenti dari klub atletik.”
Kalau diingat-ingat, saat makan siang di kampus, dia sering mengeluh soal betapa kerasnya klub di SMA-nya. Katanya, begitu kau terbebas dari lingkungan seketat itu, orang jadi mudah lepas kendali—dan kurasa dia tidak terkecuali.
Sejujurnya, aku tidak begitu tertarik.
“Tak kusangka bisa bertemu lagi denganmu begini, Hayashi-san.”
Ugh.
“Jadi? Gimana hubunganmu dengan pacarmu?”
“…Haha.”
Aku tertawa kering. Kalau dipikir-pikir, Miyauchi-san juga hadir di kencan buta tempat aku bertemu dengannya.
Awalnya aku berharap cukup dengan fakta itu saja dia bisa menyadari keadaanku, tapi dari senyum santainya, jelas dia belum tahu apa-apa.
“Kami sudah putus.”
Akhirnya aku menyerah dan mengatakannya dengan gamblang.
“Apa?”
“…Banyak hal terjadi.”
Tapi aku tidak menyebutkan soal kekerasan itu.
Miyauchi-san mungkin masih kuliah, dan aku tidak ingin kabarku saat ini menyebar di kampus.
Bukan karena aku tidak ingin dia merasa bersalah karena memperkenalkan kami atau semacamnya.
Tapi lebih karena… aku ingin menjaga harga diriku.
“Sekarang kamu kerja paruh waktu, ya, Hayashi-san?”
Yah, harga diri itu juga sebenarnya sudah lama hancur.
Seorang gadis yang putus kuliah demi tinggal dengan pacar, lalu akhirnya putus juga—itulah aku.
“Iya, begitulah.”
Tentu saja, aku tidak bisa bilang yang sebenarnya—bahwa aku cuma numpang tinggal di tempat seorang laki-laki yang dulu satu SMA denganku.
Perasaan tak nyaman mulai merayap di dadaku.
Aku benar-benar ingin segera mengakhiri percakapan ini.
Akari, mungkin karena tidak mengenal Miyauchi, tampak ragu untuk ikut campur.
Ada satu orang yang kukenal yang biasanya akan langsung menerobos suasana seperti ini tanpa peduli keadaan, tapi… sayangnya, Yamamoto entah ke mana.
…Benar-benar sial.
“Tahu gak? Sebenarnya aku agak menyesal.”
Miyauchi-san tetap melanjutkan pembicaraan sambil menunduk, meskipun aku ingin cepat-cepat menyudahinya.
“Menyesal karena apa?”
“Hubunganku denganmu, Hayashi-san.”
Ayolah, kita bahkan tidak sedekat itu. Tak ada yang perlu disesali.
Aku hampir mengucapkannya, tapi kutahan.
Tak perlu menyakitinya dengan hal yang tak penting.
“…Kalau saja kita lebih sering menghabiskan waktu bersama, kurasa kita bisa jauh lebih dekat.”
“Menurutmu begitu?”
“Ya.”
Miyauchi menjawab dengan penuh keyakinan.
“…Itulah sebabnya aku menyesal. Saat kudengar kamu putus kuliah, aku sempat berpikir, kenapa aku tidak mencoba menghentikanmu.”
Itu membuatku terdiam.
Meski saat itu dia mencoba menghentikanku, kurasa itu takkan mengubah apa pun.
Alasannya sederhana.
Kami tidak cukup dekat sehingga pendapatnya bisa memengaruhi keputusanku.
Jadi sebenarnya, tak ada alasan baginya untuk menyesal.
Meski begitu, aku jadi terbayang.
Bagaimana kalau waktu itu aku tidak putus kuliah?
Jika itu yang terjadi…
Setidaknya, aku tidak akan berakhir tinggal dengan pria yang ternyata kasar. Mungkin kami akan pacaran sebentar, tapi aku akan melihat sifat aslinya dan putus.
Tapi… Jika aku tidak putus kuliah.
Kalau waktu itu Miyauchi mengatakan padaku untuk bertahan, dan aku menurutinya...
“Maaf.”
Miyauchi meminta maaf padaku.
“Jangan.”
Aku tersenyum lemah. Itu terjadi begitu saja.
Tindakannya—
Permintaan maafnya—
Itu sangat tidak perlu, aku tidak bisa tidak berpikir begitu.
“Terima kasih.”
Tanpa kusadari, aku mengucapkan kata-kata itu.
Ekspresi Miyauchi sempat berubah sejenak.
“Maaf. Aku tidak bermaksud menyindir.”
Hanya saja... aku sungguh merasa...
Terima kasih karena tidak menghentikanku saat itu.
Aku bertemu dengannya, aku putus kuliah, dan ya, aku kehilangan segalanya…
Aku melewati masa-masa yang penuh penderitaan.
Tapi… ada juga hal-hal baik yang kudapat.
Kalau waktu itu aku tetap kuliah… dan membandingkan kehidupan itu dengan kehidupanku sekarang—
Mana yang lebih membahagiakan?
Mana yang lebih menyengsarakan?
Aku tidak tahu.
Tapi sekarang—
“Aku bahagia, kok.”
Aku tersenyum.
“Jadi, jangan menyesal. Jangan minta maaf.”
“…Hayashi-san.”
“Kalau kamu masih merasa bersalah… ayo kita berteman lagi.”
“Tapi…”
“Tahu gak?”
Wajah seseorang melintas di benakku.
“Manusia itu... sering sekali berbuat kesalahan dalam hidupnya. Soal pekerjaan, soal urusan rumah, dan soal putus kuliah tanpa pikir panjang—”
Aku tersenyum getir.
“Tapi sebesar apapun kesalahan yang kau buat, sehancur apapun perasaanmu setelahnya, kau tidak akan mati karenanya. Itulah tingkat dari apa yang kita sebut kegagalan.”
Miyauchi menatapku lurus-lurus.
“Itulah sebabnya... kita cuma perlu memulainya lagi dari awal. Sesederhana itu.”
Aku mengulurkan tangan padanya.
Dia sempat ragu. Tapi setelah jeda singkat, dia menyambut tanganku.
“…Hayashi-san.”
“Ada apa?”
“Kamu benar-benar berubah.”
“Begitukah?”
“Iya. Kau sangat berbeda dari dulu.”
“Apa iya?”
“Iya.”
Dia melanjutkan.
“Soalnya... seperti yang kamu bilang tadi, kamu kelihatan benar-benar bahagia sekarang.”
“…Begitu, ya.”
Apa aku benar-benar terlihat sebahagia itu?
“Tukaran kontak, yuk?”
Miyauchi tersenyum saat mengatakannya.
“Aku tinggal di sekitar sini, jadi nanti aku hubungi, ya.”
Oh... Jadi dia tinggal di dekat sini. Pasti berat, tinggal begitu jauh dari kampus.
“Oke. Boleh.”
“Kapan-kapan kita jalan bareng, ya. Sebagai perayaan jadi teman lagi.”
“Boleh... kupikirkan dulu, ya?”
“Lho? Kenapa?”
“Soalnya... keuanganku lagi sempit.”
“Haha. Baiklah.”
Sebenarnya, aku takut kalau mantan pacarku akan balas dendam. Aku tidak bisa mengatakannya, tapi itu sebabnya aku menghindari pergi berdua dengan orang lain.
Meski begitu, aku merasa suatu saat nanti, aku bisa jujur pada Miyauchi.
Karena dia benar-benar merasa bersalah waktu aku putus kuliah—menyalahkan dirinya sendiri karenanya.
Orang seperti itu... orang sebaik dan setulus itu... aku percaya kami bisa jadi teman sejati, suatu hari nanti.
“Sampai jumpa, ya.”
“Iya. Sampai jumpa.”
Miyauchi pun pergi.
Sebuah pikiran melintas di benakku.
Kalau diingat, waktu putus kuliah, aku bahkan tidak sempat mengucapkan perpisahan pada siapa pun di sana.
Tak ada perpisahan... aku hanya lenyap begitu saja.
Mungkin momen ini—saat aku bisa mengatakan “sampai jumpa” lagi—memberi sedikit kelegaan padanya.
Mungkin, itu sedikit meringankan hati seseorang yang pernah mengkhawatirkanku.
Semoga saja begitu.
Karena aku tidak ingin menyesali apa pun lagi.
Aku juga tidak ingin membuat orang lain menyesal.
“Hei, Akari?”
“Apa?”
“Apa kamu menganggapku sebagai teman?”
“Tentu saja. Aku menganggapmu sebagai sahabatku.”
“Terima kasih. Aku… aku juga merasa begitu.”
Aku menundukkan kepala.
“Hei, Akari?”
“Apa?”
“Apa kamu... ingin aku menyesali sesuatu?”
“Ya nggak lah.”
Akari tersenyum.
“Kalau kamu sendiri, Megu?”
“…Aku juga tidak.”
Aku tersenyum pahit.
“Aku juga tidak ingin kamu memiliki penyesalan.”
Aku tidak ingin siapa pun ada temanku yang memikul penyesalan.
Teman-temanku.
Miyauchi.
Akari.
Dan…
‘Tapi… aku lebih suka kalau kamu nggak ngomong terlalu kasar soal Yamamoto.’
Ah… sekarang aku mengerti.
Sekarang aku tahu kenapa tadi aku terpancing saat Akari berbicara tentangnya.
Kenapa pendapat jujurnya membuatku merasa seolah-olah dia menghina Yamamoto—dan kenapa itu membuatku kesal.
Yamamoto dan aku mungkin bukan sahabat. Bahkan bisa jadi kami bukan teman sama sekali.
Hubungan kami lebih canggung dari itu.
Lebih penuh perhitungan.
Tapi… dia penting.
Dia sangat penting bagiku.
Yamamoto adalah—
Yamamoto adalah seseorang yang berharga bagiku.
Dan aku tak ingin dia—
Bahkan Yamamoto, yang begitu berarti untukku—aku juga tak ingin dia memiliki penyesalan.
“Maaf, kalian lama menunggu?”
Yamamoto kembali, membawa keranjang belanja yang penuh.
“Kalian berdua nggak ambil apa-apa, ya?”
Dia tampak kesal.
“Maaf. Aku tadi gak sengaja ketemu teman lama. Benar-benar kebetulan.”
“…Teman?”
“Iya.”
“…Hmm.”
“Kamu beli banyak juga ya, Yamamoto-kun.”
Akari menatapnya, setengah geli, setengah tak percaya.
“Semua ini kelihatan menarik, lho. Misalnya yang ini, yang ini, terus yang ini juga—eh, tahu-tahu keranjangnya udah penuh. Aneh, kan? Gahaha!”
“…Kamu ini obsesif.”
Komentar Akari terdengar dingin.
“Ya sudah, tapi kamu yang harus makan apa pun yang nggak bisa kami habiskan, oke?”
“Hah!?”
“Ya jelas lah. Kami ini gadis-gadis lembut, tahu? Makan juga nggak banyak.”
“…Lembut, ya?”
“Ada apa?”
“…Bukan apa-apa.”
Untuk sementara, kami bertiga fokus memilih bahan-bahan untuk pesta takoyaki. Kami mengembalikan beberapa barang yang dibeli Yamamoto secara berlebihan, lalu menuju ke kasir.
“Maaf, aku mau ke toilet sebentar.”
Saat kami sedang antre, Akari melangkah pergi.
“Hei, Yamamoto?”
“Hm?”
“Kamu suka Akari, ya?”
Yamamoto tidak menjawab. Tapi suasana di sekitarnya langsung berubah.
…Bingo.
“Yamamoto.”
Aku menekannya.
“Aku akan mendukungmu sebisa mungkin. Jadi lakukan yang terbaik, oke?”
Dilihat dari apa yang dikatakan Akari tadi, sepertinya Yamamoto belum terlalu disukai olehnya saat ini. Perasaan cinta tidak akan pernah berkembang kalau orang yang dituju tidak membalasnya.
Itulah sebabnya aku memutuskan untuk ikut campur dan membantu mendekatkan mereka.
Karena aku ingin perasaan Yamamoto terbalas.
Dan aku ingin Akari menyadari betapa baiknya dia—bahwa orang yang pernah menolongku waktu itu adalah seseorang yang layak diperhatikan.
Antrean bergerak maju.
Orang di depan kami melangkah beberapa langkah ke depan.
Tapi Yamamoto tidak kunjung menyusul.
Haruskah kami maju?
Saat aku berpikir begitu—
“Hayashi.”
Yamamoto akhirnya buka mulut.
“Apa?”
“Jangan… terlalu ikut campur.”
Ucapnya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.
Terlalu ikut campur, ya. Kurasa, dari sudut pandang Yamamoto, sikapku ini… mengganggu.
Aku tidak terkejut.
Aku memang sudah menduga dia mungkin merasa begitu.
“…Maaf.”
Aku meminta maaf padanya.
“Tapi aku tidak akan mundur.”
Setelah aku bilang begitu, Yamamoto kembali diam.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment