NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Omoi Tabako o Sutteru Fukenkou-Souna Toshiue Bijin to Dorodoro no Kankei Ni Natte ita Hanashi [LN] Bahasa Indonesia Vol 1 Chapter 4

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Kronostasis

"...Koharu-sensei...? Kenapa Anda ada di sini...?"

Melihat Koharu-sensei berdiri di depan pintu kamarku, aku pun bertanya.

"Aku datang untuk melihat keadaanmu."

Koharu-sensei menjawab seperti itu.

"Karena Enoki-kun tinggal sendiri, kupikir akan gawat kalau ada sesuatu yang terjadi. Aku juga sempat membeli minuman dan buah-buahan untuk dibawakan."

Lihat, katanya sambil mengangkat tangan—di sana tergantung kantong plastik belanja yang terlihat berat.

"Tapi meskipun aku sudah menekan bel, kamu tidak juga keluar. Aku sampai kepikiran, bagaimana kalau kamu jatuh pingsan di dalam. Ternyata kamu malah keluar dari kamar sebelah. Aku sampai kaget."

Lalu dia menatapku dan bertanya,

"Kamarmu nomor 203, kan? Terus, orang ini siapa? Bukannya kamu tadi bilang sedang sakit?"

"…………"

Aku kesulitan menjawab. Aku tidak menyangka dia benar-benar akan datang sampai ke rumah.

Dan lebih buruk lagi, dia melihatku keluar bersama Rui-san.

Padahal aku sudah lapor kalau sedang tidak enak badan, tapi sekarang aku terlihat sehat walafiat. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda sakit. Wajahku pun cerah.

"Aku tinggal di kamar 204. Tetangga sebelahnya Yuito-kun."

Rui-san memperkenalkan diri.

"Ah, saya Koharu Akesaka, wali kelas Enoki-kun. Senang bertemu."

Koharu-sensei membungkuk kecil.

"...Bolehkah saya tanya sesuatu? Apa kalian cukup akrab?"

"Kenapa bertanya begitu?"

"Karena tadi kamu memanggilnya dengan cukup akrab. Yuito-kun, katanya."

"Yah, bisa dibilang begitu sih. Aku dan Yuito-kun... sangat dekat."

Rui-san dengan senyum ambigu dan bernada menggoda menjawabnya.

Koharu-sensei tampak sedikit cemas mendengar cara bicara dan sikap Rui-san yang tak jelas itu. Namun dia segera mencoba bersikap ceria lagi, lalu menatapku dan bertanya,

"Mungkin… kamu tadi dirawat sama tetanggamu, ya? Terus sekarang sudah agak baikan dan mau balik ke kamar?"

Dia mencoba menafsirkan situasi ini dengan cara yang paling menguntungkan kami.

Tanpa sengaja, dia memberiku jalan keluar.

Syukurlah.

Kalau aku cukup mengangguk sekarang, menaiki perahu penyelamat yang sudah disediakan, maka semua akan berakhir damai. Aku bisa melewati situasi ini tanpa masalah.

Namun—

"Kami habis nonton film bareng."

Kata-kata Rui-san langsung memecahkan semuanya.

"Dari pagi sampai sekarang. Berdua saja. Duduk berdekatan, nonton beberapa film bersama. Betul kan, Yuito-kun?"

Rui-san tersenyum padaku, meminta konfirmasi.

Tapi senyum itu—penuh niat buruk. Sebuah senyuman penuh keyakinan yang menghancurkan perahu penyelamat yang tadinya ingin kupanjat.

Koharu-sensei terdiam membeku.

Aku pun begitu. Kenapa dia ngomong kayak gitu tiba-tiba...?

Aku tidak mengerti apa yang ada di kepala Rui-san. Rasanya seperti dia sengaja menjebakku ke dalam posisi sulit.

Apa pun alasannya, kini aku tak bisa lagi berkelit.

"…Maaf. Aku bohong soal sakit itu."

Aku memutuskan untuk bicara jujur.

"Alasan aku gak ikut kepergian hari ini... itu cuma alasan supaya bisa bolos."

"…H-heh, begitu ya..."

Koharu-sensei tampak tercengang. Mungkin dia masih belum bisa melepaskan efek dari perkataan Rui-san barusan. Ekspresinya terlihat bingung.

"Um… boleh aku tahu alasannya? Kenapa kamu sampai memutuskan buat bolos?"

"Eh?"

"Kenapa kamu gak ikut?"

"Karena... yah..."

"Karena itu membosankan."

Rui-san menjawab untukku.

"Dibanding pergi ke acara itu, Yuito-kun lebih menikmati menonton film bersamaku. Hanya sesederhana itu, bukan?"

Dan itu memang benar.

Menimbang antara ikut kepergian bersama teman-teman sekelas atau menonton film dengan Rui-san—aku memilih opsi kedua. Tak ada keraguan soal itu.

Namun, menyatakan hal itu secara gamblang di depan Koharu-sensei membuatku merasa tidak nyaman.

"…Maaf, tapi kamu siapa, sih sebenarnya?"

Koharu-sensei bertanya dengan nada kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Kekesalannya pada Rui-san akhirnya muncul ke permukaan.

"Cuma tetangga sebelah."

jawab Rui-san dengan tenang.

"Kalau hanya tetangga, dari tadi rasanya kamu terlalu ikut campur."

"Kalau begitu, kamu juga begitu, kan?"

"Aku ini wali kelas Enoki-kun."

"Tapi datang sampai ke rumahnya? Menurutku itu juga sudah terlalu jauh."

Mereka saling bertukar tatapan.

Yang satu seperti binatang kecil memperlihatkan giginya, yang lain seperti ular besar menjulurkan lidahnya, mengamati dengan tatapan dingin. Itulah gambaran yang terlintas di kepalaku.

Lucu juga. Padahal Koharu-sensei lebih tua dari Rui-san.

Setelah beberapa saat saling menatap, akhirnya Koharu-sensei menyerah. Dia mengalihkan pandangan dari Rui-san dan berkata padaku dengan nada lelah bercampur kesal.


"…Bolos itu memang bukan hal yang bisa dibanggakan, tapi kalau ternyata kau nggak benar-benar sakit, aku lega. Aku sempat khawatir kamu pingsan sendirian di kamar."

Sambil mengatakan itu, Koharu-sensei menyerahkan kantong belanjaan.

"Ini, oleh-oleh buatmu."

"Tapi aku nggak sakit, lho."

"Aku udah terlanjur beli. Lagipula, bawa pulang belanjaan sebanyak ini berat juga. Larutan elektrolit dan buah-buahan, toh nggak akan bikin repot."

"Kalau begitu… terima kasih. Aku terima, ya."

Aku menerimanya dengan rasa syukur.

"Kalau soal bolos, ya sudahlah, anggap saja aku bisa memakluminya, tapi tolong jangan pura-pura sakit lagi ya. Aku jadi khawatir tau."

"Terus aku harus bilang apa?"

"Itu pikirkan sendiri dong."

"Misalnya, bilang ada kerabat yang meninggal?"

"Bohong pun, jangan melibatkan keluarga sendiri."

"Atau bilang mau lihat laut?"

"Puitis sih, tapi itu bukan alasan buat bolos."

"Atau, bilang terus terang aja—aku bolos karena mau bolos?"

"Kalau kamu berani ngomong gitu, ya sudah, aku akui keberanianmu."

Lalu, Koharu-sensei menambahkan pelan,

"Bolos sih nggak apa-apa. Tapi dibohongi tuh... rasanya nyakitin juga."

Ekspresinya sedikit sedih—setidaknya, aku merasa begitu. Mungkin aku hanya salah lihat. Tapi melihat ekspresi itu membuat dadaku sesak.

"Kalau gitu, sampai jumpa. Jaga kesehatan, ya."

Dengan nada yang entah mengandung sarkasme atau candaan, dia menuruni tangga tua berkarat yang sudah aus.

Setelah selesai memimpin acara karyawisata, dia masih menyempatkan diri datang ke rumahku. Membeli buah dan minuman dengan uang dari gaji yang mungkin tidak seberapa.

Menyadari itu membuatku merasa bersalah.

"Dia itu, kan?"

Rui-san menoleh ke arahku dan bertanya.

"Guru yang suka makan siang bareng kamu di belakang gedung khusus."

"Iya, betul."

"Hmmm…" gumam Rui-san sambil tersenyum tipis.

"Imut juga orangnya."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi bilang gitu?"

"Bilang yang mana?"

"Kan Koharu-sensei udah salah paham, ngira kamu lagi merawatku. Tapi kamu malah buka semua yang sebenarnya terjadi."

"Berbohong itu nggak baik, kan."

"Kamu pasti nggak sungguh-sungguh mikir gitu, ya?"

"Fufu, nggak juga. Justru, manusia itu paling baik kalau jujur."

Lalu Rui-san menambahkan, seolah memberiku penjelasan tambahan.

"Kalau semuanya berakhir mulus, bukannya membosankan?"

"Lihat kan, itu baru yang sebenarnya."

"Karena aku penasaran, ekspresi apa yang akan ditunjukkan guru itu saat tahu Yuito-kun bolos dan nonton film seharian bersamaku."

"Kamu benar-benar orang yang… punya kepribadian luar biasa, ya."

"Aku nggak suka guru sekolah."

Nada suaranya ringan, tanpa beban ataupun kesan suram—hanya terasa cerah dan jernih.

"Tapi waktu kamu gelagapan tadi, itu menyenangkan lho. Seru ditonton."

Banyak hal yang ingin kukomentari. Tapi saat melihat ekspresi bahagia Rui-san, semuanya seolah tidak penting lagi.

Berada dalam kendalinya pun tak masalah, pikirku. Sebegitu memesonanya ekspresi yang dia tunjukkan di hadapanku.

◆◆◆

Hari Senin, setelah hari karyawisata.

Saat aku masuk sekolah, aku langsung merasa ada yang berbeda.

Suasana kelas telah berubah.

Yang sebelumnya terasa tercerai-berai, kini terasa lebih menyatu. Seolah acara karyawisata telah menciptakan semacam ikatan emosional. Semua terlihat lebih akrab.

Jelas sekali perbedaan antara sebelum dan sesudah karyawisata. Ada semacam rasa solidaritas sebagai kelompok yang kini terbentuk—meskipun mungkin mereka sendiri tidak menyadarinya.

Menghabiskan waktu bersama, berbagi kenangan—dari sanalah terbentuk sebuah kawanan.

Dan aku, satu-satunya yang tidak ikut, merasa terasing.

Wajar saja. Aku tidak ikut dalam karyawisata.

Pada hari yang semestinya menjadi momen penyatuan, aku malah memilih bolos dan nonton film di rumah.

Aku sudah agak mengantisipasi ini, tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Aku benar-benar merasa seperti terlempar keluar dari lingkaran kelas.

Padahal sebelumnya pun aku memang sudah terasing.

Aku tidak punya teman. Jadi seharusnya tak ada yang berubah—tapi ternyata tidak.

Contohnya, dalam pelajaran olahraga.

Sebelumnya, saat diminta berpasangan, aku masih bisa mendapat pasangan. Bukan karena kami berteman, hanya karena dia juga tidak punya pilihan lain.

Namun, setelah karyawisata, itu berubah.

Sepertinya dia sudah mendapat teman.

Saat guru olahraga menyuruh membentuk pasangan, dia langsung berjalan ke arah sekelompok dua orang—mungkin teman barunya—dan mereka bertiga pun menjadi satu kelompok.

"Oi, Enoki nggak punya pasangan tuh. Ada yang mau bareng dia?"

Guru olahraga berkata begitu dengan ekspresi bingung.

Ketiga siswa itu saling pandang. Anak yang dulu biasa berpasangan denganku tampak tak enak hati. Tapi, dia tak bergerak.

"Sudahlah. Enoki, kamu berpasangan dengan guru."

Akhirnya, aku pun berpasangan dengan guru.

Anak itu sempat melirikku sekilas. Dalam sorot matanya ada rasa bersalah… dan sedikit rasa puas.

Setelah itu, kami main sepak bola, tapi aku bahkan tidak menyentuh bola sekali pun. Tidak ada yang memberiku operan. Aku hanya berdiri memandangi pertandingan yang begitu seru dari kejauhan.

Bukan karena sengaja diabaikan. Lebih ke… aku tidak terlihat. Aku tidak masuk dalam radar mereka.

Waktu istirahat siang, aku tidak makan siang.

Aku pergi ke perpustakaan.

Aku tidak lagi pergi ke belakang gedung khusus.

Kalau aku ke sana, kemungkinan bertemu Koharu-sensei cukup besar. Dan setelah kejadian tempo hari, aku merasa canggung untuk menemuinya.

Aku memilih buku dan duduk. Berusaha larut dalam dunia cerita.

Tapi… aku tak bisa.

Suara bisik-bisik sepasang siswa dari meja sebelah terus mengusik. Mereka membuka buku catatan di atas meja, tapi jelas tidak sedang belajar. Meski mereka berusaha bicara pelan karena di perpustakaan, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas—penuh tawa kecil di sela kalimat.

Aku bangkit dari kursi, berjalan ke meja peminjaman, dan mengurus peminjaman buku. Sambil memeluk buku yang kupinjam, aku mencari tempat yang sepi.

Aku ingin pergi ke tempat di mana tidak ada siapa pun. Sejelek apa pun tempatnya, tak masalah—asal aku bisa sendirian, itu sudah cukup.

Tapi aku tidak menemukannya.

Di ruang kelas, di taman tengah, di belakang gedung olahraga, bahkan di lapangan pun ada siswa. Ke mana pun aku pergi, aku tak bisa menemukan kesendirian.

Satu-satunya tempat yang bisa membuat hatiku tenang hanyalah bagian belakang gedung khusus.

Namun sekarang, tempat itu pun telah hilang.

Di sekolah ini, sudah tak ada lagi tempat untukku.

Sore hari. Saat aku masuk shift kerja di minimarket.

Sebelum mulai bekerja, manajer memanggilku ke ruang belakang dan berkata,

"Enoki-kun, kamu kasih nomor kontak ke pelanggan perempuan, ya?"

Manajer itu pria usia akhir 30-an. Lengan berbulu lebat, tubuh besar, jenggot biru samar di rahangnya. Dia selalu antusias membahas investasi cicilan ke para karyawan part-time.

Saat itu dia duduk di kursi depan komputer di ruang belakang. Sambil duduk, dia menatapku yang berdiri di sampingnya dengan wajah tercengang.

Meski dia sedang menatapku dari bawah, entah kenapa terasa seperti dia sedang memandangku dari atas.

"Masalah, lho, yang kayak gitu. Kamu tahu sendiri, di SNS kadang ada tuh kasus kayak gitu—kurir kasih nomor ke pelanggan perempuan. Kalau sampai viral gimana coba."

"Apa maksudnya, Pak?"

Aku benar-benar bingung saat pertama kali mendengarnya. Aku tidak merasa melakukan apa pun. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia bicarakan.

"Aku dengar dari Sakurada-kun. Katanya kamu kasih nomor kontak diam-diam ke pelanggan perempuan yang sering beli rokok."

Pelanggan perempuan yang sering beli rokok—pasti maksudnya Rui-san. Tak mungkin orang lain.

Aku kasih nomor ke Rui-san? Mustahil. Tuduhan itu benar-benar tidak masuk akal. Karena aku memang sudah tahu nomor kontak Rui-san dari awal.

"Aku nggak melakukan itu."

Jadi aku membantahnya dengan tegas.

"Silakan periksa kamera pengawas kalau tidak percaya. Aku tidak pernah kasih nomor. Sakurada-san mengada-ada."

Manajer tertawa kecut.

"Bilang 'mengada-ada' itu terlalu keras, kan? Seolah-olah Sakurada-kun sengaja memfitnahmu."

Sakurada—si pemabuk itu—tahu bahwa aku dan Rui-san adalah tetangga.

Kami pernah bicara soal itu saat bertemu di kampus dulu.

Dengan tahu itu, Sakurada sengaja menyebar fitnah tentangku. Dia memberi laporan palsu ke manajer. Kalau bukan karena niat buruk, mana mungkin dia melakukan itu?

"Lagipula, Sakurada-kun nggak ada alasan buat begitu."

Oh, dia punya alasan.

Waktu di kampus, saat aku kebetulan bertemu Sakurada, Rui-san yang berada di hadapan pria yang naksir padanya itu berkata:

"Yuito-kun orang yang menarik, lho. Setidaknya lebih menarik dari kamu."

Sakurada selalu memandangku remeh. Tapi malah mendengar itu langsung dari Rui-san. Pantas saja kalau dia punya rasa kesal terhadapku.

"Oh, pagi, bos!"

Sakurada masuk ke ruang belakang sambil menyapa. Saat melihatku sedang bicara dengan manajer, dia ikut campur.

"Ngomongin apa, nih?"

"Soal yang waktu itu, soal nomor kontak."

"Oh, itu ya."

"Aku nggak ngelakuin itu."

Aku menatap Sakurada dan berkata langsung.

"Aku nggak kasih nomor ke siapa pun. Nggak mungkin. Kalau kamu bilang aku ngelakuin itu, sebut aja kapan tepatnya. Nanti aku minta dicek kamera pengawas."

"Wah, kamera pengawas segala, lebay amat," celetuk manajer sambil tertawa.

"Itu nggak lebay. Aku sedang difitnah, jadi wajar dong kalau minta bukti."

"Eh, Enocchi, jangan marah-marah begitu dong."

Sakurada tertawa masam.

"Udah, udah. Maaf, ya. Kalau dipikir-pikir, mungkin aku salah paham juga."

"Lagian, Sakurada-kun juga udah ngaku begitu," ujar manajer, seperti berusaha mendamaikan. Mungkin dia hanya malas memeriksa rekaman kamera.

Aku pikir semua sudah mereda walau agak canggung. Tapi kemudian manajer tiba-tiba berkata,

"Tapi ya, Enoki-kun, kamu juga jangan ngelakuin hal-hal yang bisa bikin orang salah paham, ya."

"Apa maksudnya?"

Aku secara refleks balik bertanya.

"Tunggu deh, kenapa kesannya aku juga disalahkan, sih?"

"Bukan disalahin, kok. Cuma, kalau sampai Sakurada-kun salah paham, berarti kamu juga pasti nunjukin sikap yang bisa bikin dia mikir gitu, kan?"

"Eh, itu aneh, dong. Aku nggak salah apa-apa. Harusnya yang dipermasalahkan itu kebohongan Sakurada-san, kan?"

"Udah, jangan nyalahin manajer, dong. Kalau terjadi masalah, yang kena juga manajer. Kalau mau marah, marahin aku aja."

Entah kenapa, aku jadi kelihatan kayak orang yang terlalu sensitif. Sejak kejadian itu, aku pun mulai merasa asing di tempat kerja.

Aku memang bukan tipe yang akrab dengan sesama pekerja paruh waktu, tapi kalau shift bareng, biasanya kami masih ngobrol ringan atau sekadar saling menyapa.

Namun sejak itu, semua orang mulai menjaga jarak dariku.

Baru belakangan aku tahu kalau cerita soal insiden nomor kontak itu sudah menyebar—dengan versi yang sudah dipelintir: aku dimarahi karena salah, lalu malah ngamuk ke manajer dan Sakurada.

Entah Sakurada yang menyebarkan itu, atau kabar itu bergulir dan dibumbui sendiri oleh orang-orang.

Apa pun itu, suasananya sudah nggak nyaman lagi.

Suatu hari saat sedang shift, semua pelanggan sudah selesai dilayani, dan hanya aku berdua dengan Sakurada di kasir.

Lalu dia tiba-tiba membuka suara, membelah keheningan.

"Eh, Enocchi. Kamu jadi benci sama aku, ya?"

Aku tidak tahu apa maksud dari pertanyaan itu. Apakah dia benar-benar merasa bersalah, atau justru ingin mempermainkanku lagi.

Tapi, apa pun niatnya, hasilnya tetap sama.

"…Nggak juga."

Sakurada bukan pengecualian.

Di sekolah pun, di tempat kerja pun, aku selalu gagal untuk menyesuaikan diri. Cepat atau lambat, aku pasti akan terlempar keluar dari lingkaran sosial mana pun. Sudah takdirku.

Dan Sakurada salah paham tentang satu hal.

Bukan karena kejadian ini aku jadi benci padanya. Jangan GR.

Aku memang sudah membencinya dari dulu.

Sangat membenci.

Ke mana pun aku pergi, selalu ada orang. Aku kesepian, tapi tak pernah bisa benar-benar sendirian. Rasanya seperti terjebak di akuarium kecil, susah bernapas.

Satu-satunya waktu aku bisa bernapas dengan leluasa adalah saat pulang ke rumah. Satu-satunya tempat aku bisa sendirian tanpa merasa kesepian hanyalah balkon apartemenku.

Malam hari. Saat aku berdiri di sana, aku bisa benar-benar sendiri dan bisa menghirup napas dalam-dalam.

Tapi meskipun aku keluar ke balkon dengan harapan bisa menikmati kesendirian, begitu aku benar-benar sendirian… entah kenapa rasanya ada yang kurang.

Tanpa sadar, aku membuka ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Rui-san.

[Bisa bicara sebentar?]

Aku menunggu beberapa saat, tapi tak ada balasan. Bahkan belum terbaca.

Mungkin dia sedang keluar. Atau sudah tidur. Tapi—lampu di kamarnya masih menyala. Sepertinya, dia ada di sana.

Aku mulai menyesali pesan yang kukirim karena dorongan sesaat.

Haruskah kuhapus pesannya sekarang? Tapi itu malah terasa lebih memalukan. Seakan-akan aku mengakui bahwa aku telah mengirimkan sesuatu yang begitu mendesak hingga sampai harus buru-buru dihapus.

Selalu begini. Setiap tindakanku selalu berujung pada penyesalan. Aku belum pernah bisa mengambil keputusan dengan tegas.

Padahal aku memandang dunia ini dengan penuh curiga, tapi di saat yang sama, aku lebih peduli pada penilaian orang lain daripada siapa pun. Aku benar-benar muak dengan diriku sendiri.

Sambil tetap bersikap tenang di luar, aku bertarung dengan monster kesadaran diri yang tumbuh di dalam. Dan saat itulah, tanda terbaca muncul di pesan yang kukirim.

Ah—begitu pikirku, dan seketika itu pula balasan datang: [Boleh saja]

Aku merasa seperti dibebaskan dari kurungan kesadaran diri. Seolah-olah segala sesak di dadaku dilepaskan.

Jendela geser kamar sebelah terbuka, dan Rui-san muncul di balkon.

"Selamat malam."

"Maaf, sudah mengganggu larut malam begini."

"Tidak apa-apa. Aku sedang nonton film, jadi agak telat balasnya."

"Film, ya? Seru?"

"Iya, sangat. Lain kali kita nonton bareng, ya."

"Dengan senang hati. Tapi nggak apa-apa? Kan Rui-san sudah nonton."

"Film yang bagus itu tetap menyenangkan walaupun ditonton berkali-kali. Lagipula…"

"Lagipula?"

"Aku juga suka melihat ekspresi Yuito-kun saat nonton film."

Sambil bertopang dagu di pagar balkon, dia tersenyum ke arahku.

"Aku suka, tahu? Melihat reaksi orang saat mereka menonton film. 'Oh, dia tertawa di bagian ini.' 'Dia tersentuh di bagian itu.'—itu menyenangkan."

"Itu agak… aneh."

"Sering dibilang begitu, kok."

Rui-san tersenyum bahagia. Sambil tersenyum, dia mengeluarkan sebungkus rokok. Dengan jari-jarinya yang seindah cangkang kerang, dia mengambil sebatang dan menyalakannya dengan pemantik api.

Setelah menghembuskan asap dengan pelan, sambil masih bertopang dagu di pagar, dia bertanya,

"Bagaimana sekolah?"

"Seperti biasa. Di sekolah dan di tempat kerja, aku tetap merasa terasing. Bolos dari acara karyawisata kemarin jadi pukulan telak."

"Kamu menyesal?"

"Nggak. Hari itu menyenangkan kok. Jauh lebih baik dari ikut karyawisata."

Mungkin kalau aku ikut, sesuatu bisa berubah. Bisa saja aku lebih dekat dengan teman sekelas lewat pengalaman di luar rutinitas. Tapi… aku sama sekali tak berpikir begitu.

Pengalaman sejauh ini sudah membuktikan: itu mustahil. Aku tak pernah benar-benar cocok. Selalu menyendiri dalam keramaian. Tak mungkin tiba-tiba berubah.

Meski begitu… kenyataannya tetap menyakitkan. Baik di sekolah maupun tempat kerja, sekarang aku benar-benar kehilangan tempatku.

Aku bukan orang yang kuat. Justru karena aku lemah, aku selalu berpura-pura kuat. Bersikap acuh, seolah semua itu tak menggangguku.

Orang yang benar-benar kuat adalah mereka yang bisa menunjukkan kelemahannya. Yang terbuka. Karena terbuka, mereka bisa dicintai oleh orang lain.

Aku mengirim pesan ke Rui-san. Itu bukan sesuatu yang biasanya kulakukan. Mungkin aku sedang lemah hari ini. Lebih dari yang kusadari.

Tapi aku tak mau memperlihatkannya. Setidaknya, tidak di hadapan dia. Aku tak ingin dia melihat sisi lemahnya diriku.

Biasanya, saat aku mengatakan kalau aku merasa terasing, Rui-san akan tersenyum senang. Tapi hari ini, seolah dia menyadari aku sedang berbeda, dia tak melakukannya.

Sebagai gantinya, dia menawarkan sesuatu yang tak terduga.

"Yuito-kun, mau main shiritori?"

"Shiritori?"

"Iya. Permainan menyambung kata dari huruf terakhir."

"Aku tahu sih, maksudnya."

"Tapi kalau main biasa saja, agak membosankan. Jadi, gimana kalau kita pakai tema khusus? Misalnya… hanya nama penulis novel."

"...Ya, boleh saja."

Lagipula aku juga tak punya hal lain untuk dilakukan.

"Kalau begitu, aku mulai ya. Akagawa Jirou."

"Hmm… Kalau begitu, Utano Shougo."

"Komatsu Sakyou."

"...Kalau begitu, Urajimīru Nabokofu."

"Fujisawa Shuu."

"Kenapa banyak banget yang berakhir dengan ‘u’?"

"Itu strategiku. Sekarang giliranmu, Yuito-kun."

"U… Ueo Hisamitsu."

"Tsunekawa Koutarou."

"U… Ubukata Tou."

Begitu nama itu keluar dari mulutku, aku merasa puas. Dimulai dan diakhiri dengan ‘u’. Strategi Rui-san malah jadi bumerang. Kini giliran dia merasakan kesulitan itu.

"Kali ini Rui-san yang akan kesulitan."

Aku menatapnya dengan ekspresi puas. Sekali-sekali biarlah dia juga merasakan susahnya.

Tapi Rui-san menjawab dengan enteng, "Ukai Sana."

Dengan wajah tenang, ringan, seperti sedang bernyanyi.

"...Aku nggak nyangka kamu bisa langsung jawab, tapi…aku belum pernah dengar nama penulis itu."

"Itu wajar. Soalnya barusan aku ngarang nama itu."

"Hah?"

"Selama namanya terdengar seperti penulis, nama fiktif pun boleh. Ukai Sana… kayaknya dia tipe yang suka nulis novel-novel tentang kopi dan makanan, ya?"

Dengan senyum penuh makna, Rui-san berkata sambil mengangkat satu jarinya.

Dia memutar aturan seenaknya sendiri. Tidak adil.

Tapi… aku bisa memakluminya.

Baiklah, aku ikut saja.

"Kalau begitu, giliran aku. Natsukawa Souta."

"Kayaknya dia nulis novel remaja, ya. Kalau begitu, Kousaka Tadasu."

"Jenis yang nulis misteri sosial atau drama pengadilan, ya. Shiraishi Naoto."

"Wah, itu pasti penulis drama manusia yang berat dan mendalam."

Kami berdua terus menyebut nama-nama penulis yang semuanya fiktif. Kami tahu itu karangan karena kami berdua berbagi imajinasi yang sama.

Shiritori itu terus berlanjut. Tak ada akhirnya, tentu saja. Karena kami bisa terus mengarang nama.

Tapi tidak bisa asal-asalan. Setidaknya, harus terasa realistis. Nama itu harus terdengar cukup masuk akal hingga lawan bicara akan berpikir, "Eh, kayaknya memang ada deh orang itu."

"Fuyushiro Kazuki."

Kata Rui-san dengan lembut.

Aku menjeda sejenak, lalu menjawab.

"Hmm… Kijima San… ah."

Begitu mengucapkannya, aku sadar telah melakukan kesalahan.

"Huruf ‘n’, ya."

Rui-san berkata sambil tertawa kecil.

"Padahal bisa karang nama sesuka hati, tapi karena terlalu fokus membuat detailnya terasa nyata, kamu malah bikin kesalahan."

Entah kenapa, Rui-san tertawa begitu lepas kali ini. Aku belum pernah melihatnya tertawa seperti itu sebelumnya.

Aku juga ikut tertawa karena semuanya terasa begitu konyol.

Malam itu, di balkon, kami berdua tertawa terbahak-bahak.

Kalau ada orang lain yang melihat, pasti mereka tak akan tahu apa yang lucunya. Mungkin kami akan terlihat seperti alien yang sedang bercanda.

"Sudah lama aku tidak tertawa seperti ini."

"Kalau aku, sudah lama juga nggak ditertawakan seperti ini.".

"Tapi aku suka, lho, sisi canggungmu yang seperti itu."

Setelah puas tertawa, dengan air mata menggantung di ujung matanya, Rui-san tersenyum padaku. Tubuhku terasa panas, seakan-akan disorot lampu panggung.

Tak peduli seberapa kikuk atau buruk diriku. Bahkan jika harus mempermalukan diri sendiri.

Asal Rui-san tertawa, itu sudah cukup. Meski di sekolah atau di tempat kerja aku merasa terasing, selama aku bisa menghabiskan waktu di tempat ini, aku bisa bertahan.

Tempatku ada di sini. Di sisi orang ini. Aku benar-benar merasakan itu.

◆◆◆

Saat istirahat siang di sekolah, aku kembali berjalan-jalan mencari tempat di mana aku bisa sendirian. Aku ingin pergi ke tempat yang benar-benar sepi, di mana tak ada siapa pun.

Tapi aku tidak menemukannya.

Pada akhirnya, kakiku membawaku lagi ke belakang gedung khusus.

Kupikir, semoga tidak ada orang di sana. Tapi dia ada. Seolah-olah sudah menunggu. Seolah-olah dia tahu aku akan datang ke sini.

"Yoo!"

Koharu-sensei, yang sedang jongkok, menyapaku dengan nada ringan.

"Sudah lama ya kamu nggak ke sini?"

"...Lama tak bertemu."

Aku menjawab dengan rasa canggung yang tak bisa kusembunyikan. Ada rasa bersalah karena sudah menghindari tempat ini, dan rasa malu karena kembali ke sini hanya karena tak punya tempat lain untuk pergi.

"Syukurlah. Kukira kamu nggak bakal datang lagi."

"Pemilik tempat ini itu kamu, Enoki-kun. Kalau kamu nggak balik lagi, aku bakal kelihatan kayak orang yang ngusirmu, kan. Rasanya nggak enak."

"Itu maksudnya apa…"

"Yah, duduk aja. Kamu belum makan siang, kan?"

Aku duduk agak menjauh darinya di bawah bayangan atap. Kubuka bungkus roti isi yakisoba yang kubeli di koperasi, lalu mulai memakannya.

"Kamu suka roti yakisoba?"

"...Nggak juga."

Aku cuma mengambil apa yang pertama kulihat. Tapi ternyata, rasanya nggak buruk. Rasanya sudah lama aku nggak benar-benar makan siang di sekolah.

"Aku suka roti kopyor."

"Hmm."

"Selalu nggak laku, dan pasti sisa sampai terakhir. Jadi aku merasa harus mendukungnya. Yah, selain itu, aku memang suka rasanya juga sih."

Setelah berkata begitu, Koharu-sensei melanjutkan,

"Ngomong-ngomong, aku mau nanya nih."

"Apa?"

"Waktu kamu bolos dari acara karyawisata kemarin, kamu bilang nonton film di rumah sama wanita itu, kan? Nonton film apa?"

"... Sensei penasaran soal itu?"

"Ya jelas penasaran. Kamu sampai bolos demi film itu. Jadi aku pikir, filmnya pasti luar biasa seru."

Padahal sebenarnya filmnya nggak menarik sama sekali. Termasuk film yang membosankan. Tapi ya, dibanding ikut karyawisata, jauh lebih baik.

Aku menyebutkan judul film yang kutonton waktu itu.

"Hm. Nggak pernah dengar deh. Soalnya aku memang jarang nonton film."

"Film terakhir yang sensei tonton apa?"

Bukan karena aku benar-benar penasaran. Aku hanya berpikir lebih baik ngobrol daripada diam.

"Film anime musim panas tahun lalu. Aku diajak teman."

Film yang sempat jadi topik hangat. Katanya penghasilan box office-nya sampai ratusan miliar yen.

"Aku juga nonton itu. Seru banget."

"Oh? Kukira kamu tipe yang ogah nonton film yang lagi ramai dibicarakan orang. Kayak, Itu terlalu mainstream, nggak keren."

"Sensei pikir aku ini orang macam apa?"

Bagiku, apakah film itu populer atau tidak, bukan masalah.

Kalau bagus, ya bagus. Kalau seru, ya seru. Sesimpel itu.

"Ya, walaupun aku nggak suka suasana ramai di bioskop," ucapku sambil menusukkan sedotan ke kotak susu kopi dan mulai meminumnya. Jauh lebih manis dibanding kopi hitam yang biasa kuminum.

Tapi tetap enak juga, dengan caranya sendiri.

"Hei, wanita yang kamu cium itu dia, ya?"

Tiba-tiba, aku tersedak. Batuk keras.

"Pikiranku benar, ya."

Koharu-sensei tersenyum puas.

"...Aku nggak bilang apa-apa, kan?"

Aku bahkan nggak bilang kami berciuman.

"Tapi tubuhmu jujur banget."

Koharu-sensei memasang wajah seperti detektif jenius.

"Jadi kamu suka wanita yang lebih tua, ya. Yah, dia memang cantik banget sih."

Dia mengangguk sendiri, seperti sedang menyimpulkan sesuatu. Tapi lalu, nada bicaranya berubah.

"Tapi ya… kurasa dia agak berbahaya."

"Berbahaya?"

"Intuisi wanita, mungkin. Waktu pertama kali ketemu dia, aku langsung merasa begitu. Dia itu orang yang bisa menyeret Enoki-kun ke arah yang buruk."

Saki-san juga pernah mengatakan hal yang mirip. Katanya, Rui adalah orang yang bisa membuat orang kehilangan akal.

Mungkin memang seperti itu kalau dilihat dari sudut pandang wanita. Tapi tetap saja, rasanya berlebihan dan aku hampir tertawa karenanya.

"Kamu sudah terpengaruh, kan?"

"Menurutmu begitu?"

"Soalnya akhir-akhir ini kamu sering bolos sekolah."

Koharu-sensei menatapku dengan mata penuh arti.

"Padahal sebelumnya kamu masih cukup rajin datang."

Benar. Belakangan ini aku memang sering membolos.

"Tapi aku tetap lapor, kok, meskipun membolos, aku tahu aku nggak boleh absen tanpa izin. Itu sensei sendiri yang bilang."

"Benar juga. Kamu selalu kirim pesan setiap hari. Selalu bilang dengan jujur, ‘Saya ingin istirahat hari ini.’ Tapi setiap kali aku teruskan pesanmu ke guru lain, aku jadi malu sendiri. Rasanya kayak, Ah, murid ini benar-benar nggak takut sama aku."

"Aku nggak meremehkan sensei, kok."

"Meskipun kamu nggak merasa begitu, orang lain mungkin melihatnya begitu."

"Dan satu hal lagi. Aku bolos bukan karena Rui-san."

Meskipun, aku sadar bahwa meskipun bukan penyebabnya, dia bisa jadi alasannya.

Saat aku bolos, aku sering bersama Rui-san. Kadang kami berdua sama-sama membolos dari kampus dan menghabiskan waktu bersama. Kadang aku menemaninya pergi ke universitas.

Begitu tahu aku bolos sekolah, Rui-san tertawa sambil bilang, "Yuito-kun anak nakal, ya," seolah dirinya sendiri bukan siapa-siapa. Lalu dia berkata:

"Kalau begitu, kita jadi bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama, ya."

Aku tak punya tempat di sekolah, juga tidak di tempat kerja paruh waktu.

Tapi Rui-san menerima diriku apa adanya. Hanya waktu yang kuhabiskan bersamanya lah yang memberiku rasa tenang.

"Kalau kamu terus bolos dengan kecepatan segini, kamu bisa tinggal kelas, lho. Lagipula kamu juga jadi nggak bisa mengikuti pelajaran sama sekali. Kamu juga nggak punya teman buat pinjam catatan, kan?"

"Mungkin saja begitu."

"Mungkin saja... Kamu benar-benar paham nggak sih?"

"Aku paham," aku mengangguk.

"Dan kalaupun yang terburuk terjadi, aku nggak masalah kalau harus tinggal kelas."

"Itu nggak bagus. Kebanyakan siswa yang tinggal kelas akhirnya putus sekolah. Dan kalau sudah begitu, hidupmu jadi jauh lebih sulit. Memang mungkin sekarang kamu nggak menikmati kehidupan sekolahmu. Tapi kalau kamu bisa tahan dan berusaha sekarang, pasti nanti—"

"Sampai kapan aku harus menahan semuanya?"

"Apa?"

"Andai aku menahan diri pun, apa yang sebenarnya menunggu di ujung sana?"

"Itu..." Koharu-sensei sempat kehilangan kata.

"Kalau kamu masuk universitas, lingkungannya akan berubah. Meskipun kamu benci masa sekarang, pasti akan ada hal menyenangkan yang menunggu."

"Tidak akan ada yang berubah. Mau jadi mahasiswa, atau masuk dunia kerja, ke mana pun aku pergi, aku tidak akan pernah bisa lepas dari orang-orang yang kubenci. Mereka akan muncul lagi di hadapanku, dengan nama dan wujud yang berbeda, berkali-kali. Selama masyarakat ini masih berupa komunitas bersama, orang-orang seperti itu akan selalu muncul. Dari sepuluh orang, sembilan adalah tipe orang yang aku benci. Orang-orang di sekitarku dipenuhi dengan mereka, dan dunia ini berputar mengelilingi mereka. Kalau aku tidak menyesuaikan diri dengan mereka, aku tidak bisa hidup dalam masyarakat. Tapi aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan kerumunan itu. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau. Aku tahu betul bahwa bahkan jika aku menahan diri sekarang, tidak akan ada balasan di masa depan. Dan aku bukan orang sekuat atau sebodoh itu untuk terus bertahan tanpa harapan apa pun."

Belum lama ini, aku benar-benar menyadarinya.

Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang kubenci, dan mereka juga membenciku. Tapi masyarakat tetap berputar di sekeliling mereka.

Aku tidak punya tempat di sana.

Di ujung kesabaran yang panjang itu, hanya ada kesabaran yang lebih besar. Tak ada apa-apa di akhir garis itu. Hanya berakhir tanpa pernah dihargai setelah bertahan mati-matian.

Dan orang lain bahkan tidak menganggap apa yang kulakukan sebagai sebuah kesabaran. Karena mereka bisa menyesuaikan diri dengan sekitarnya secara alami.

Aku dipaksa untuk berlari dalam perlombaan yang tak adil dan tak masuk akal. Maka kupikir, mungkin lebih baik turun sekarang, sebelum makin jauh.

Kalau ujungnya neraka, dan sepanjang jalannya juga neraka, aku ingin menghargai waktu yang bisa kuhabiskan bersama Rui-san.

"Kalaupun aku bolos sekolah dan akhirnya dikeluarkan, itu tidak akan merepotkan siapa pun. Teman-teman sekelas juga tidak akan peduli. Tak ada yang akan merasa terganggu."

Apa pun yang terjadi, tidak akan ada yang memperhatikan atau menoleh kepadaku. Karena aku tidak punya keterikatan dengan siapa pun. Karena itulah aku bisa berjalan ke jalan kehancuran tanpa rasa bersalah.

Bel tanda berakhirnya jam istirahat siang berbunyi. Dari luar, terdengar suara langkah kaki para siswa yang buru-buru kembali ke kelas.

Tapi aku tidak bergerak. Aku tidak peduli meski terlambat. Kalau tak mau dimarahi karena terlambat, tinggal bolos total saja dari sekolah. Semudah itu.

"...Maaf, ya. Karena tidak menyadarinya."

Koharu-sensei, dia juga tidak bergerak dari tempatnya. Padahal seharusnya ada pelajaran sesudah ini.

"Aku tidak tahu kamu memikirkan hal-hal seperti itu, Enoki-kun."

"Bukan sesuatu yang perlu Koharu-sensei minta maaf."

Tak ada kesalahan dari pihaknya. Ini murni karena aku tidak bisa menyesuaikan diri. Siapa pun wali kelasnya, hasilnya akan tetap sama.

"Tapi, setidaknya izinkan aku mengatakan satu hal. Kamu bilang, kalau kamu dikeluarkan pun tak ada yang peduli, tapi itu salah."

"Apa maksudnya?"

"Kalau kamu berhenti datang ke sekolah, aku akan merasa kesepian."

Koharu-sensei menatapku lurus saat mengatakannya. Kejujuran dalam tatapannya dan kekuatan dalam kata-katanya membuatku ingin memalingkan muka.

Aku tak sanggup menerimanya secara langsung, dan tanpa sadar mengucapkan kalimat pelarian.

"...Tapi kalau begitu, aku bisa punya tempat ini untuk diriku sendiri."

"Benar juga. Tapi sendirian terus itu menyedihkan. Kadang aku ingin ada yang mendengarkan keluh kesahku juga. Pasti akan ada hari seperti itu."

"Untuk kepentingan diri sendiri, ya?"

"Iya. Tapi setidaknya, tahu saja, kalau ada satu orang di sini yang akan senang kalau kamu datang ke sekolah. Cukup simpan itu di sudut pikiranmu."

Setelah mengatakan itu,

"Sudah, itu saja. Aku ada pelajaran," katanya sambil berdiri dan pergi meninggalkanku.

Dia tidak memintaku untuk ikut pelajaran.

Tapi kata-katanya tetap tertinggal di benakku bahkan setelah dia pergi.

Itu tidak berarti segalanya akan berubah.

Tapi tetap saja, kata-kata itu menetap.

Setelah itu, aku tidak pernah kembali ke sekolah. Sekali menjauh, tanpa alasan yang kuat, aku tidak bisa kembali.

Meski begitu, aku masih keluar rumah.

Rui-san mengajakku makan siang. Aku duduk di bangku area merokok kampus, yang tak terkena sinar matahari, menunggu kuliahnya selesai.

Karena waktunya jam kuliah, sekitarku masih sepi. Saat aku membaca buku yang kubawa, tiba-tiba ada suara dari atas kepalaku.

"Yo. Sejak kapan kamu jadi mahasiswa?"

"...Saki-san. Lama tak jumpa."

Itu adalah Saki-san, teman Rui-san. Dia mengenakan T-shirt dan jeans. Dari dekat, bentuk tubuhnya makin terlihat menonjol.

"Kamu bolos kuliah, ya?"

"Jangan samakan aku dengan kalian. Aku cuma ke sini buat merokok sebentar sebelum kuliah. Lagian, tempat ini bukan buat anak di bawah umur, tahu."

"Tapi tempat ini tenang."

"Ya sih, soalnya di kampus mana pun orangnya banyak. Tapi tetap saja, tempat merokok itu nggak bagus. Pasti bikin tubuh rusak. Nggak bakal panjang umur, lho."

"Mungkin saja, tapi aku rasa tak masalah juga."

Toh meski hidup lama, tak ada yang istimewa. Justru makin lama hidup, makin merasa lelah karena hidup ini terus berlanjut.

"Jaga dirimu sendiri dengan lebih baik, dong."

Saki-san menasehatiku dengan nada heran, sambil menggigit rokok yang diambil dari bungkusnya dan menyalakannya dengan korek api.

"Padahal Saki-san sendiri juga merokok, ya."

"Aku merokok justru karena aku menghargai diriku."

Saki-san berdiri di samping bangku tempatku duduk, menyandarkan punggung ke dinding, lalu menghembuskan asap rokok ke udara dengan ekspresi puas. Bau rokoknya berbeda dari milik Rui-san.

Aku sempat berpikir, pemandangan saat Saki-san merokok juga terlihat seperti lukisan. Tapi tetap saja, tak bisa menandingi pemandangan saat Rui-san merokok.

Setelah menghembuskan asap rokoknya, Saki-san membuka pembicaraan.

"Dengar-dengar, akhir-akhir ini kamu bolos sekolah ya?"

"Kau dengar dari Rui-san?"

"Dia ngomongnya sambil kelihatan senang banget, tahu."

"Apa yang Saki-san pikirkan soal itu?"

"Kalau memang nggak mau pergi, ya udah sih. Nggak masalah. Bahkan kalau sampai tinggal kelas, nanti pas dilihat ke belakang bisa jadi pengalaman yang bagus juga. Kalau pun putus sekolah, kamu masih bisa ambil ujian penyetaraan dan lanjut kuliah."

"Santai sekali, ya."

"Aku cuma nggak peduli aja. Bukan hidupku ini."

"Apa Saki-san sendiri bisa tetap ikut kuliah dengan baik?"

"Kalau mahasiswa sampai tinggal kelas, biayanya mahal, tahu. Bisa sampai jutaan yen. Kalau udah mikir soal itu, nggak ada waktu buat galau-galau remaja."

"Saki-san serius juga, ya."

"Idiot. Kalau aku benar-benar serius, aku nggak bakal main band kayak orang bego pas udah tahun ketiga."

Saki-san tertawa pahit, lalu mengalihkan pandangan ke luar area merokok. Aku mengikuti arah pandangnya. Di celah sempit antara bangunan-bangunan yang gelap, terlihat jalan utama di luar.

Sekelompok mahasiswa berjas rapi berjalan bersama.

"Itu..."

"Anak-anak yang lagi cari kerja. Repot-repot banget ya, di tengah panas begini."

Tatapan Saki-san seolah sedang melihat sesuatu yang jauh.

"Tapi mereka itu hebat juga, ya."

"Apa maksudnya?"

"Anak-anak yang biasanya keluyuran tiap hari, pas musim cari kerja datang, mereka bisa langsung ganti warna rambut jadi hitam dan tampil rapi. Hebat juga mereka bisa secepat itu menyesuaikan diri."

Entah itu nada sindiran atau rasa kagum yang jujur.

"Ngomong-ngomong, katanya sebentar lagi masa internship, ya."

Aku teringat obrolan dengan si pemabuk waktu itu dan mengungkitnya.

"Kayaknya sih gitu."

"Apa Saki-san akan ikut juga?"

"Kau bisa bayangin aku pakai jas, rambut dicat hitam, dan jalan-jalan seperti itu?"

"Nggak bisa."

"Aku juga sama sekali nggak bisa bayangin. Jadi, aku nggak akan ikut," gumamnya sambil mematikan rokok yang tinggal pendek ke dalam air di asbak.

"Jadi, akan lanjut di jalur band saja?"

"Kalau berhasil, ya."

"Aku rasa itu keren."

Itu jujur dari hatiku.

"Bukan sesuatu yang patut dipuji. Omongan doang bisa siapa aja. Pernyataan tanpa hasil itu nggak punya arti. Cuma bikin mabuk diri sendiri dan merasa enak."

Setelah mengatakan itu, Saki-san menambahkan:

"Hanya segelintir orang yang bisa jadi istimewa. Sebagian besar orang lainnya nggak bisa jadi seperti itu, dan akhirnya dikalahkan oleh dunia."

"Dikalahkan oleh dunia?"

"Kalau main band, kamu pasti akan sadar betapa kerasnya dunia ini. Orang-orang yang punya bakat pun satu per satu gagal dan menyerah. Bahkan kalau berhasil debut, banyak yang nggak laku, atau ribut sesama anggota, dan saat sadar, mereka udah kehilangan semua yang dulu mereka yakini. Walau dapat uang atau ketenaran, dari sudut pandang diri mereka sebelum debut, mereka udah jadi orang yang membosankan."

Setelah mengatakan itu, dia mengambil rokok lagi dari bungkusnya, lalu sambil tertawa getir, bergumam:

"Aku sekarang memang bisa ngomong kayak gini, tapi mungkin suatu saat aku juga bakal jadi seperti mereka, dan bahkan nggak akan merasa aneh lagi soal itu."

Sambil membayangkan masa depan yang jauh, Saki-san menyalakan rokok dan menghisapnya. Sambil memandangi asap yang naik ke langit, aku pun ikut terdiam dalam lamunan.

"……Apa Rui-san juga, apa Rui-san juga suatu hari nanti akan dikalahkan oleh dunia?"

"Siapa tahu."

Saki-san menjawab sambil menatap ke kekosongan.

"Tapi, seiring waktu, orang pasti berubah. Nggak ada orang yang selamanya tetap sama terus. Hari di mana seseorang dikalahkan oleh dunia pasti akan datang. Entah itu saat masuk kerja, menikah, atau ketika ada sesuatu dalam dirinya yang patah. Dan aku rasa Rui pun bukan pengecualian."

Aku membayangkan.

Saat Rui-san bukan lagi dirinya yang sekarang. Saat dia kehilangan cahaya yang kini dia miliki.

Membayangkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Rasanya menyakitkan.

"Aah—sudahlah, sudahlah."

Tiba-tiba Saki-san melambaikan tangan seolah mengusir serangga, lalu memutus pembicaraan secara paksa.

"Ngobrol sama anak remaja bikin aku ikut-ikutan jadi remaja. Denger ya, tempat merokok itu cuma buat ngobrol hal-hal nggak penting yang nggak ada artinya."

"Maaf."

Saki-san mematikan rokok terakhirnya dan membuangnya ke asbak, lalu bicara dengan nada malas.

"Lain kali, akan kuajak kau ke pantai."

"Pantai?"

"Kau lagi banyak pikiran, kan? Kebanyakan masalah itu, bisa selesai cuma dengan ngebut naik motor sambil liat laut."

Ucapan tegas dan lugas itu membuatku tak tahan untuk tidak tertawa.

"Apa sih."

"Saki-san itu..."

Aku memberi jeda sebelum melanjutkan.

"Orang yang baik, ya."

"Nggak tuh. Aku juga bisa mukul orang dengan santai."

Ucapnya sambil pura-pura malu dan memukul pundakku pelan.

Sakit, tapi entah kenapa sama sekali tidak terasa sakit.

◆◆◆

[Mau jalan-jalan sekarang?]

Itulah ajakan yang kudapat dari Rui-san pada malam hari sepulang kerja, tepat ketika aku hendak keluar ke balkon untuk menenangkan diri dari perasaan murung.

[Jalan-jalan?]

[Sambil minum alkohol, kita jalan kaki berdua menyusuri malam. Menyenangkan, kan?]

Kedengarannya memang menyenangkan.

Aku juga tidak punya rencana lain, dan kupikir ini momen yang pas untuk menenangkan kepala yang panas, jadi aku mengiyakan. Setelah bersiap, aku keluar ke lorong, dan di sana Rui-san sudah menungguku di depan kamarku.

"Selamat malam."

"Halo."

Setelah kami bertemu, kami mulai berjalan bersama. Menuruni tangga berkarat, lalu menapakkan kaki di jalanan.

"Tunggu sebentar ya."

Rui-san mampir ke minimarket terdekat. Saat dia keluar dari toko, di tangannya tergenggam sebuah kaleng highball.

"Dingin dan enak rasanya."

Rui-san menempelkan kaleng itu ke pipinya, lalu menempelkannya ke pipiku.

"Tuh, kan?"

"…………"

Memang dingin. Tapi wajahku terasa sama panasnya.

"Ayo, kita berangkat malam ini. Ini parade!"

"Kalau disebut parade, rasanya dua orang terlalu sedikit."

"Tapi, dua orang saja sudah cukup, bukan?"

Seperti yang Rui-san katakan. Tak butuh lebih dari itu.

Kami melangkah keluar dari cahaya minimarket, masuk ke dalam pelukan malam.

Waktu sudah lewat tengah malam.

Di kawasan perumahan yang jauh dari lalu lintas kendaraan, tak ada tanda-tanda kehadiran orang lain selain kami. Lampu rumah-rumah sudah padam, tak terlihat satupun sosok manusia. Hanya cahaya lampu jalan yang menyinari jalanan sepi dengan suram.

Rui-san membuka kaleng highball. Kashu. Bunyi ringan yang memuaskan. Dia memiringkan kaleng itu dan meneguk isinya.

"Kau masih suka alkohol, ya."

"Karena waktu menyenangkan jadi terasa makin menyenangkan."

"Itu aku iri sih."

"Mau coba juga?"

Rui-san menyodorkan kalengnya padaku.

Biasanya, aku pasti menolaknya dengan alasan masih di bawah umur. Tapi kali ini tidak. Aku ingin melihat dunia yang sama dengan Rui-san, walau hanya sedikit.

"Kalau begitu, aku coba."

Aku menerima kaleng itu, menempelkan bibir ke ujung kaleng, dan menenggak isinya dalam satu tarikan.

Cairan manis dan sedikit pahit itu mengalir turun di tenggorokan. Bagian dalam tubuhku perlahan terasa hangat.

"Fufu. Minumnya mantap juga, ya."

Rui-san tersenyum.

"Bagaimana rasa alkohol pertamamu?"

"Nggak enak."

Pahit, dan membuat hidungku perih. Aku tidak paham kenapa orang suka ini. Atau mungkin kalau sudah dewasa, rasanya akan terasa beda.

"Awalnya memang begitu. Sama seperti rokok dan alkohol."

Rui-san terlihat seolah menunjukkan bahwa dia sendiri juga pernah melewati masa itu.

Hari ini, aku minum alkohol untuk pertama kalinya.

Dan tak diragukan lagi, itu karena Rui-san.

Kalau suatu hari nanti aku mulai merokok saat sudah berusia dua puluh, pasti juga karena Rui-san.

Beberapa "pertama kali" dalam hidupku sudah diambil oleh Rui-san. Dia meninggalkan bekas yang takkan hilang.

Kelak, ketika aku sudah tua, saat aku merokok atau minum alkohol, mungkin aku akan tiba-tiba teringat pada Rui-san.

Pada rasa pahit highball malam ini.

Pada udara malam yang membawa aroma musim panas.

Pada bahu Rui-san yang putih dan lembut di sisiku.

Pada cahaya yang bersinar seperti bulan.

"Yuito-kun, wajahmu merah, lho."

Rui-san menatapku sambil tersenyum di bawah cahaya lampu jalan.

"Kau ternyata lemah dengan alkohol, ya."

"Yah, aku masih di bawah umur kan."

Rasanya seperti bagian dalam kepalaku mati rasa. Tubuhku terasa hangat dari dalam.

"Bagaimana perasaannya?"

"Tidak buruk."

Rasanya seperti melayang ringan, menyenangkan.

Yang paling terasa adalah, lapisan kesadaran diri yang biasanya kukenakan seperti baju zirah terasa menipis. Pandangan musuh dari dunia luar terasa berkurang.

"Parade ini arahnya ke mana?"

"Nggak ada tujuan khusus sih. Tapi kalau dipaksa bilang, ya ke minimarket. Soalnya Yuito-kun sudah habisin kaleng highball tadi. Mau beli kaleng kedua."

"Kalau begitu, biar aku yang bayar."

"Tidak perlu. Lihat caramu minum tadi saja rasanya sudah cukup sebagai bayaran."

Rui-san mampir lagi ke minimarket dan kembali dengan dua kaleng highball. Salah satunya disodorkan padaku.

"Nih, buatmu, Yuito-kun."

Akhirnya aku dibelikan lagi.

Aku menerimanya sambil mengucapkan terima kasih, lalu membuka kaleng itu. Kashu. Bunyi ringan itu kembali terdengar. Kubiarkan cairan dingin dari kaleng mengalir ke dalam tubuhku.

Alkohol mulai membuatku mabuk. Persepsi jadi kabur, garis batas dunia terlihat samar.

Malam, lampu jalan, dan bangunan-bangunan bercampur seperti cat di atas kanvas.

Tapi hanya garis antara diriku dan orang yang berjalan di sampingku yang tetap jelas. Rasanya seperti hanya ada aku dan Rui-san di dunia yang mengabur ini.

Itu terasa seperti dunia ideal bagiku.

Rasanya seperti tempat yang penuh kebahagiaan.

"Ngomong-ngomong, waktu itu aku sempat ngobrol dengan Saki-san di smoking area. Kami lihat anak-anak yang sedang cari kerja, dan bicara soal apa kami bisa membayangkan diri kami pakai setelan jas."

"Begitu ya. Terus?"

"Saki-san bilang dia nggak bisa bayangin."

"Kalau Yuito-kun sendiri?"

"Aku juga nggak bisa. Atau lebih tepatnya, nggak mau ngebayangin. Aku bahkan nggak mau terlalu mikirin soal masa depan. Kalau Rui-san sendiri gimana?"

"Hmmm. Menurutmu, kau bisa bayangin aku pakai jas rapi?"

Aku mencoba membayangkannya.

Rui-san mengenakan setelan jas dan sepatu hak tinggi.

"Aku rasa pasti cocok."

Karena Rui-san punya postur yang bagus, apa pun yang dia pakai pasti terlihat pas. Bahkan mungkin dia bisa dapat kerja di perusahaan besar dengan mudah.

Tapi aku tidak ingin melihatnya seperti itu. Tidak ingin dia mengenakan itu.

"Rasanya seperti ada makna tersembunyi ya, tapi dibilang cocok sih tetap senang juga."

"Waktu itu si pemabuk──Sakurada-san, tanya juga sih. Waktu itu kau bilang belum pasti. Jadi, akhirnya kau ikut internship?"

"Enggak. Nggak terlalu kepikiran. Setelan jasku masih ada di dalam kardus yang belum kubongkar. Males nyarinya. Aku juga udah lupa di kardus mana."

Apa-apaan alasan itu. Ini sih udah level nggak cocok sama masyarakat. Rasanya ingin ketawa.

Tapi mendengar jawaban Rui-san malah membuatku lega. Aku lega karena dia belum terseret oleh dunia.

Aku benar-benar berharap dia tak berubah.

"Sudah hampir setengah tahun ya sejak pertama kali aku bertemu denganmu, Yuito-kun."

Rui-san tiba-tiba berkata begitu.

Aku dan Rui-san pertama kali bertemu sekitar musim semi tahun ini. Sampai sekarang pun aku masih mengingatnya dengan jelas. Sejak hari pertama dia datang ke toko, setiap kali dia datang, aku selalu tanpa sadar mengikuti sosoknya dengan pandangan.

"Waktu itu, aku tidak pernah menyangka kita bisa sedekat ini seperti sekarang."

Aku juga tak pernah membayangkannya.

Orang yang dulu ku kagumi tiba-tiba pindah ke apartemen sebelah, lalu mulai berbincang denganku, dan sekarang kami bahkan jadi teman jalan malam di tengah malam seperti ini.

"Um, boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa saja, silahkan."

"Setiap kali Rui-san datang ke toko, kan selalu bilang terima kasih dengan kata-kata yang beda-beda. Kayak ‘katadzukeno gozaru’ atau ‘arigatousagi’, gitu."

"Iya."

"Itu maksudnya apa, ya?"

Setiap kali datang ke toko, Rui-san selalu mengucapkan terima kasih dengan gaya dan ungkapan yang berbeda-beda. Mungkin karena sudah mabuk dan penghalang kesadaranku sudah runtuh, aku akhirnya bisa menanyakannya secara langsung.

"Kalau ditanya serius tentang niat dari sesuatu yang cuma untuk main-main, rasanya agak malu juga, ya."

Rui-san menutup mulutnya dengan lengan bajunya sambil tertawa kecil.

"Tapi, ya… mungkin waktu itu aku ingin menarik perhatianmu."

"Eh?"

Aku tak bisa menahan suara kecil yang keluar dari mulutku.

"Aku ingin akrab denganmu, Yuito-kun. Jadi aku ingin kamu memperhatikanku. Kurasa, itu sebabnya aku bersikap seperti itu."

"…Kamu ingin akrab denganku?"

Aku tidak bisa memahaminya.

Aku bukan orang yang pintar, bukan yang jago olahraga, bukan yang punya wajah tampan, dan tidak punya sesuatu yang bisa disukai orang lain.

Malah, aku lebih sering dibenci. Tapi Rui-san ingin akrab denganku.

Pertanyaan "kenapa?" yang sempat menggantung di benakku langsung mendapat jawaban sesaat kemudian.

"Waktu aku pertama kali masuk ke toko itu, saat aku melihat mata Yuito-kun yang ada di kasir, aku langsung berpikir, ‘Orang ini pasti membenci seluruh dunia sampai-sampai tak tahan’."

Saat mendengarnya, rasanya seperti dipukul keras tepat di ubun-ubun.

Rui-san benar. Awalnya aku memang berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain. Karena aku pikir, aku harus seperti itu agar bisa hidup. Tapi sebenarnya, aku membenci semuanya.

Aku benci si pemabuk yang merendahkanku di depan umum demi pamer kelebihannya.

Aku benci manajer yang berkata seakan-akan aku juga salah, padahal aku tak berbuat salah.

Aku benci para pekerja paruh waktu lain yang percaya desas-desus yang dipelintir dan diam-diam menjauhiku.

Aku benci anak laki-laki populer di kelas yang merasa bisa melakukan apa pun, dan anak-anak lain yang tertawa hanya untuk menyenangkan dia.

Aku membenci semuanya. Dan yang paling aku benci adalah diriku sendiri yang tidak bisa berdamai dengan dunia ini.

Namun…

"…Kenapa kamu tahu? Kalau aku benci seluruh dunia dan tak tahan dengan semuanya?"

Tak pernah ada orang yang melihat itu dalam diriku.

Karena aku selalu menutupinya.

Dan karena tak ada satu pun orang yang tertarik padaku.

"Hmm… Kenapa ya? Aku sendiri juga tidak yakin. Tapi kalau harus kujelaskan dengan kata-kata…"

"Kalau harus?"

"Mungkin karena aku juga sama sepertimu, Yuito-kun."

Rui-san mengatakan itu sambil tersenyum padaku.

Melihat ekspresinya yang lembut itu, aku hampir menangis.

Selama ini, aku merasa selalu sendirian. Aku pikir, di dunia ini hanya aku seorang yang seperti alien. Tak akan pernah ada orang yang bisa benar-benar memahami diriku.

Tapi ternyata ada. Seseorang yang berfrekuensi sama denganku. Dia benar-benar ada di sini.

Begitu aku menyadari itu, dadaku terasa sesak sampai-sampai sulit bernapas.

Dan dalam keadaan setengah mabuk ini, aku kembali menyadarinya.

Aku menyukai orang ini.

Aku menyukai waktu yang kuhabiskan bersama Rui-san.

Dari sepuluh orang di dunia, aku mungkin membenci sembilan di antaranya.

Tapi Rui-san berbeda.

Dia adalah satu-satunya orang yang penting bagiku.

──Tapi, suatu hari nanti…

Aku teringat pada apa yang dikatakan oleh Saki-san.

Sekarang mungkin baik-baik saja, tapi akan tiba saatnya di mana Rui-san juga akan dikalahkan oleh dunia.

Akan ternoda, terseret arus, dan kehilangan cahaya yang dimilikinya. Kalau saja dia tidak masuk ke dunia kerja.

Kalau dia lulus kuliah tanpa mencari pekerjaan dan hidup bebas sambil kerja paruh waktu. Meskipun miskin dan lapar, mungkin dia bisa bertahan tanpa terseret dunia ini.

Tapi cepat atau lambat, batasnya akan datang. Hari ketika kilau itu pudar dan mimpi itu berakhir. Hari ketika kami tak bisa lagi menjadi diri kami yang sekarang.

Mungkin kita tak bisa terus bermimpi tanpa adanya sesuatu yang menopang. Entah itu usia muda, atau bakat.

Aku takut akan saat itu datang. Aku takut ketika sihir ini lenyap. Takut kehilangan satu-satunya orang yang pertama kali kupedulikan di dunia ini.

Jika itu terjadi, aku tak tahu bagaimana aku harus hidup.

Kalau aku kehilangan cahaya yang bernama Rui-san, maka aku hanya akan berdiri kaku dalam kegelapan. Aku akan kehilangan arah, tak tahu apa yang harus kupegang untuk terus hidup.

Itulah kenapa, aku ingin waktu ini terus berlanjut.

Aku tidak ingin parade ini berakhir.

Aku ingin terus berjalan dalam malam seperti ini bersama Rui-san, selamanya.

Saat terus berjalan, perlahan-lahan mabukku pun mulai reda. Aku mulai kembali dari dunia mimpi ke dunia nyata. Dan itu pertanda bahwa parade ini pun akan segera berakhir.

"Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada Yuito-kun."

Saat kami sampai di tempat yang sudah familiar, Rui-san tiba-tiba berkata begitu.

"Sesuatu yang ingin disampaikan?"

Nada suaranya terdengar menggelisahkan.

Sebuah percakapan yang dimulai menjelang akhir parade. Perasaanku langsung dipenuhi firasat buruk.

"Kau masih ingat cerpen yang pernah kuberi ke kamu untuk dibaca, kan?"

"Tentu saja ingat."

Cerpen sekitar lima puluh halaman yang mendapat kritik keras dari anak-anak seminar. Katanya mereka mencaci habis-habisan, tapi aku pribadi merasa karya itu sangat menarik.

"Cerpen itu, aku kirimkan ke lomba penulis pendatang baru. Dan… aku menang."

Aku kehilangan kata-kata. Butuh waktu beberapa detik untuk mencerna maksudnya.

Rui-san memenangkan sebuah penghargaan.

Cerpen yang dicaci habis oleh semua orang itu akhirnya diakui. Dia berhasil menunjukkan hasilnya.

Penghargaan yang dibicarakan Rui-san adalah salah satu penghargaan penulis pendatang baru yang terkenal—aku pun tahu tentang itu. Sudah banyak penulis berbakat yang lahir dari sana.

"Karena pengumumannya belum dilakukan, sebenarnya aku belum boleh memberitahu siapa pun. Tapi aku ingin menyampaikan ini lebih dulu ke Yuito-kun."

Setelah mengatakan itu, Rui-san melanjutkan,

"Kalau Yuito-kun tidak memujinya, tidak bilang kalau cerpen itu menarik, mungkin aku tidak akan terpikir untuk mengirimkannya ke lomba. Karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih."

Setelah menelan perasaan lega karena ini bukan kabar buruk, dan mengendalikan kebingungan akibat kabar yang sama sekali tak terduga, aku akhirnya menjawab.

"...Aku nggak melakukan hal yang layak diberi ucapan terima kasih, kok."

Itu tulus dari hati. Justru akulah yang ingin mengucapkan terima kasih.

Rui-san memang benar. Cerpen itu memang bagus. Apa yang aku dan Rui-san percaya, bukanlah hal yang salah.

Dan dia sudah membuktikannya.

"Tapi, selamat ya."

"Fufu. Terima kasih."

Rui-san tersenyum malu-malu.

"Walaupun cerpennya pendek, jadi belum tentu bisa dibukukan sih. Lagipula, hidup hanya dari menulis novel itu pasti sulit banget."

"Rui-san pasti bisa, aku yakin."

Karena Rui-san punya bakat. Bakat dan daya tarik yang cukup untuk tidak tenggelam dalam dunia yang kejam ini.

"Kalau Yuito-kun yang bilang begitu, rasanya aku benar-benar bisa melakukannya."

Saat menerima keyakinan sepenuhnya dariku, Rui-san tersenyum. Melihat senyuman itu, aku merasa bahagia dari lubuk hatiku. Aku sungguh merasa… hidup.

"Aku ingin membuat bom."

"Bom?"

"Aku percaya, karya yang benar-benar hebat bisa mengubah hati seseorang. Bisa mengguncang cara pikir dan nilai-nilai yang mereka pegang. Karena itu, aku ingin menebarkan pemikiran, racun, milikku sendiri ke dunia melalui novel. Aku ingin meninggalkan luka yang tak bisa hilang di dalam hati para pembacanya. Aku ingin menemukan sebanyak mungkin orang yang bisa meresonansi dengan pikiranku. Kalau begitu, mungkin dunia akan sedikit berubah. Mungkin dunia akan menjadi sedikit lebih mudah untuk kita jalani."

Yang terpikir dalam benakku: ini terorisme. Rui-san ingin melakukan serangan teror. Dia ingin menyebarkan bom ke seluruh dunia lewat novel.

"Itu…..kedengarannya luar biasa."

"Itulah kenapa… aku ingin Yuito-kun menjadi kaki tanganku juga."


"...Aku juga... maksudnya aku?"

"Iya."

Rui-san menjawab sambil mengulurkan tangannya dengan senyum di wajahnya.

"Maukah kamu menjatuhkan bom ke dunia ini bersamaku?"

Itu adalah sebuah ajakan. Ajakan untuk mengubah dunia melalui sebuah bentuk ekspresi.

Tapi—tanpa bakat, itu tidak akan pernah terwujud.

Dengan bakat, seseorang bisa terus bermimpi. Bisa tetap berdiri tanpa harus tenggelam dalam dunia ini. Bisa tetap berada di sisi Rui-san selamanya.

"...Apa aku bisa melakukannya?"

"Tentu aja bisa."

Begitu aku bertanya dengan hati-hati, Rui-san langsung menjawab tanpa ragu. Lalu, dengan senyum memikat yang tak pudar meski di tengah gelapnya malam, dia melanjutkan:

"Karena Yuito-kun itu orang yang menarik. Itu sudah aku jamin."

Kenapa, pikirku. Kenapa orang ini selalu memberiku kata-kata yang paling ingin kudengar?

Rui-san adalah cahayaku. Satu-satunya orang dalam dunia yang membosankan ini yang bisa kuanggap benar-benar berharga.

Dan orang seperti itu... membutuhkanku.

Dia bilang ingin aku jadi kaki tangannya.

Dia bilang aku ini orang yang menarik.

Aku dulu merasa tidak punya alasan untuk hidup. Tidak ada alasan untuk panjang umur. Kapan pun hidup ini berakhir, rasanya tak masalah.

Tapi sekarang—aku sudah menemukan alasan untuk tidak mati.

"Aku boleh tahu jawabannya?"

"...Kalau aku boleh, dengan senang hati."

Aku ingin melihat bom yang dibuat oleh Rui-san.

Aku ingin menyaksikan saat racun itu tersebar ke seluruh dunia.

Dan aku ingin Rui-san melihat bom yang kubuat.

Aku ingin dia melihat saat racunku tersebar ke dunia ini.

Saat yang mungkin bisa mengubah sesuatu.

Karena itu…Sampai hari itu tiba, aku pikir aku akan terus hidup... sedikit lebih lama lagi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close