Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Alien
Pekerjaan paruh waktu di hari Sabtu memiliki jadwal yang berbeda dengan si pemabuk itu.
Saat tahu itu, aku merasa lega.
Aku tidak ingin bertemu dengan si pemabuk. Memang biasanya begitu, tapi hari ini apalagi. Karena kejadian yang tempo hari di kampus.
Hari ini, yang jadwalnya bersamaan denganku adalah mahasiswi. Mahasiswi tahun kedua. Katanya dia kuliah di universitas yang berbeda dari kampus tempat Rui-san kuliah.
Saat aku pertama kali masuk kerja paruh waktu, dia yang mengajariku cara kerja di sana.
Hubunganku dengannya tidak bisa dibilang dekat, tapi juga tidak buruk. Kami hanya sesekali bertukar obrolan ringan.
Meski begitu, bagiku, dia adalah sosok yang berharga karena tak membuatku terbebani meski satu jadwal kerja.
Hari itu pun berlalu tanpa masalah.
Aku masuk kerja dari pagi, dan saat keluar, sudah menjelang sore.
Sambil merasakan betapa sedihnya melihat hari libur berharga berlalu begitu saja, aku pun pulang.
Saat sampai di depan apartemen reyotku, aku merasa ada yang aneh. Ada sebuah motor terparkir. Di tempat parkir sepeda yang ada di depan apartemen.
Biasanya tempat itu tidak pernah digunakan. Dan bahkan dengan itu pun, bodi merah motor itu mencolok dari pemandangan sekitarnya.
Punya siapa ya? Pertanyaan itu langsung terjawab begitu aku naik tangga menuju lantai dua.
Ada seseorang di koridor.
Wajah mungil, fitur wajah yang sejuk. Rambut pirang diikat ke belakang. Memakai kaus hitam dan celana jeans.
Dengan posisi kaki terbuka lebar dan pantat menggantung dari tanah, dia duduk jongkok dalam pose yang biasa disebut duduk yankee. Tepat di antara kamar Rui-san dan kamarku. Sambil terlihat kesal, dia memainkan ponselnya.
Orang ini adalah perempuan yang pernah datang mengunjungi kamar Rui-san sebelumnya.
Perempuan yang waktu itu salah kukira sebagai pacar Rui-san, tapi katanya hanya teman.
Mungkin dia datang bermain lagi.
Aku harus melewati gadis yankee itu kalau ingin masuk ke kamar. Karena kamar Rui-san ada di ujung lantai dua, dan tangga ada di sebelahnya. Saat seperti ini, aku benar-benar mengutuk tata letak apartemen ini.
Saat aku mencoba lewat, dia melirik sekilas. Tatapan tajamnya membuat jantungku terlonjak.
Begitu aku sampai di depan pintu kamar, aku mengeluarkan kunci dan hendak memasukkannya ke lubang kunci. Saat itulah──
"Kau tahu Rui ada di mana enggak?"
Suara itu tiba-tiba menyapaku.
"Aku sudah pencet bel pintu, tapi dia nggak keluar juga."
Saat menoleh, gadis yankee yang duduk jongkok itu sedang menatapku. Jelas sekali dia sedang bicara padaku.
"Entahlah…"
Aku berusaha menjawab dengan suara serak.
"Kamu, kan?.....teman mainnya Rui ya."
"Teman main?"
"Aku sering dengar cerita tentangmu dari Rui. Katanya ada teman baru. Siswa SMA yang tinggal di kamar sebelah."
"Rui-san cerita soal aku...?"
"Itu langka, lho. Dia jarang cerita tentang orang lain. Mungkin dia benar-benar suka padamu. Makanya aku tahu banyak soal kamu."
Gadis yankee itu bicara sambil tetap dalam posisi jongkok.
"Termasuk waktu kamu awalnya ngira aku cowok."
"…………"
"Maaf ya. Penampilanku memang nggak kelihatan kayak cewek."
"…Eh, gimana ya, maaf."
"Ya enggak perlu minta maaf sih. Tapi ya wajar juga kalau aku jadi punya kesan buruk. Denger cerita tentang kamu dari mulut Rui juga nggak menyenangkan."
Nada bicaranya kasar. Sepertinya dari awal dia memang sudah tidak suka padaku.
Bukan mau membela diri, tapi sekarang kalau dilihat dari dekat, memang penampilan rambut dan bajunya agak androgini, tapi dia jelas perempuan.
Kesadaranku sendiri waktu itu yang membuatku mengira dia adalah pacar Rui-san.
Merasa canggung, aku mencoba mengganti topik.
"Rui-san nggak ada, ya?"
"Nggak ada. Aku udah tekan bel pintu, tapi nggak dibuka juga. Padahal hari ini kita janji makan bareng. Entah dia lagi keluyuran ke mana."
Gadis yankee itu mengeluh sambil tetap dalam posisi jongkok. Karena dia tak bisa masuk ke kamar, dia pasti akan menunggu di sini.
Tapi rasanya canggung kalau aku masuk kamar sendiri dan meninggalkannya begitu saja. Jadi aku melemparkan pembicaraan lagi.
"…Eh, soal motor yang diparkir di bawah itu..."
"Hah?"
"Itu motor yang di tempat parkir sepeda, itu punyamu?"
"Iya. Kenapa? Nggak boleh ya aku parkir di situ?"
"Kurasa nggak masalah, kok."
"Kalau gitu, kenapa nanya?"
"Bukan maksud apa-apa, sih…..waktu aku lewat dan ngelihat tadi, aku pikir motornya keren."
"…Apa? Kamu suka motor?"
"Aku nggak ngerti detailnya, sih. Tapi aku pikir itu motor keren."
"…………Hmmm."
Gadis yankee itu mengangguk ambigu sambil tetap duduk jongkok. Setelah sedikit diam, dia bicara.
"Eh, mau permen karet?"
"Hah?"
"Permen karet. Kalau nggak mau ya enggak apa-apa."
"Ah. Kalau begitu, aku terima, ya."
Aku menerima permen karet yang dia sodorkan.
Aku ikut jongkok di tempat, mengupas bungkusnya, dan memasukkannya ke mulut. Rasanya mint.
"Itu motor udah lama aku pengen. Jenis yang populer, jadi harus nunggu stok masuk. Tapi waktu itu kebetulan ada barang bekas masuk ke toko motor dekat sini. Jadi aku habisin tabungan buat beli."
"Pantas aja waktu ke sini dulu nggak bawa motor, ya."
"Eh, menurutmu, motor itu bagusnya di bagian mana?"
"Umm..."
Kalau aku salah jawab di sini, bisa-bisa fatal. Harus hati-hati. Setelah berpikir sejenak, aku jawab,
"Kalau dari bentuk keseluruhan...?"
"…………"
Gawat. Salah jawab?
"…Kau punya mata yang cukup bagus juga ya."
Syukurlah. Aku selamat.
"Itu motor, bentuknya yang kekar itu yang bikin keren. Aku juga perhatian banget sama modifikasinya. Kalau kamu denger suara knalpotnya, pasti bakal terpukau."
"H-Hebat juga..."
Sepertinya aku berhasil memberikan jawaban yang benar. Nilai kedekatanku yang semula berada di titik nol mungkin berhasil naik sedikit.
Saat aku sedang berpikir begitu──
"Seru banget ya kalian ngobrol."
Sebuah suara datang dari atas.
Aku mendongak. Dari celah pintu kamar yang terbuka, Rui-san mengintip keluar.
"Rui, ternyata kau ada di kamar, ya!"
Lalu gadis yankee itu berkata dengan nada curiga.
"Eh, kalau gitu langsung aja keluar dong. Tahu nggak kita udah berapa kali pencet bel?"
"Aku baru aja bangun."
"Baru bangun? Hei… tahu jam berapa sekarang? Ini udah jam 18:00 lho, 18:00! Gimana sih pola hidupmu?"
"Soalnya aku begadang semalam. Baca buku sampai pagi."
"Mana aku tahu. Tapi mending kamu segera benahi pola hidupmu yang kebalik itu. Kamu aja bolos pelajaran wajib kemarin, padahal mulainya siang."
"Waktu itu aku bangun kok. Aku juga datang ke kampus. Cuma... aku lebih milih ngobrol sama Yuito-kun daripada masuk kelas."
"Jadi salahmu ya," ucap si yankee sambil melotot ke arahku. Aku dijadikan alasan Rui-san bolos. Memang benar sih.
"Terserah deh kalau kamu sampe nggak naik tingkat."
"Kalau dilihat dari panjangnya hidup, ya itu juga pengalaman yang baik."
"…Yah, terserah sih. Toh kamu juga nggak bakal dengerin omonganku. Udahlah, cepetan masuk. Dari tadi aku jongkok di lorong, mau duduk ah."
Gadis yankee itu berdiri dan hendak masuk ke kamar Rui-san.
Rui-san masih memegang pintu depan terbuka sambil menoleh ke arahku.
"Hari ini aku dan dia──Saki-chan, rencananya mau makan nabe bareng. Kalau Yuito-kun mau, kamu juga boleh ikut makan, lho."
"Hah?"
Si gadis yankee bersuara tidak senang.
"Dia juga?"
"Nabe kan lebih seru dimakan rame-rame, kan?"
"Tapi bahan yang kubeli cuma buat dua orang."
"Kalau gitu, kita beli satu porsi lagi aja."
"Siapa yang beli?"
"Saki-chan, dong."
"Kenapa harus aku? Kalau mau numpang ikut, mestinya dia yang beli!" Si
gadis yankee menunjuk ke arahku.
Ya, masuk akal juga sih.
"Aku bisa kok beli sendiri."
"Tapi itu bakal makan waktu, kan? Kalau Saki-chan pakai motornya yang keren itu, bisa langsung melesat cepat."
"Yah…..memang sih, tapi masalahnya, aku nggak pernah ngizinin dia buat ikut makan bareng."
"Aduh, berarti poin keakraban Yuito-kun rendah ya."
"Kayaknya itu salah Rui-san, deh."
"Begitu ya?"
Rui-san tampak bingung. Justru karena nggak sadar, itu lebih parah.
"Hmm… gimana ya…"
"Nggak apa-apa, santai aja. Aku makan sendiri aja. Toh biasanya juga gitu."
"Hei, tunggu. Kalau kamu bersikap sebaik itu, aku jadi kelihatan kayak anak kecil yang nyebelin dan suka ngambek."
"Memang begitu, kan?"
"Tolong, jangan dipikirin."
"……..."
Setelah beberapa saat bingung sendiri, gadis yankee itu berkata:
"Aaaah, ya udahlah! Aku yang beli, puas?! Tapi kamu ikut juga, ya."
"Aku juga?"
"Masa aku harus nyuruh anak SMA buat jadi kurir. Gengsi dong. Aku anterin sampai toko, tapi kamu yang beli bahannya."
Sepertinya, akhirnya aku diizinkan ikut juga.
Gadis itu──si yankee──bernama Aizawa Saki. Meski dia sendiri nggak memperkenalkan diri, Rui-san yang memberitahuku.
Aku dibonceng naik motor Saki-san.
"Pegangan yang kuat ya."
Motor melaju cepat menuju supermarket terdekat.
Kami membeli bahan-bahan untuk membuat nabe rasa shio chanko. Setelah keluar dari toko dengan kantong belanja, Saki-san sudah menunggu di area merokok depan toko sambil mengisap rokok.
"Maaf nunggu lama."
"Oke."
Setelah membuang puntung rokok ke asbak, Saki-san berjalan kembali ke motornya. Aku mengikutinya dari belakang sambil bertanya:
"Kamu merokok ya?"
"Kenapa? Ada masalah?"
"Nggak sih. Cuma nggak nyangka aja."
"Apaan tuh. Nggak ada yang aneh, kan? Kalau Rui sih iya, dia kelihatan kayak nggak bakal ngerokok. Tapi aku? Lihat tampangku aja udah jelas perokok."
"Kamu satu jurusan sama Rui-san, ya?"
"Iya, jurusan Sastra," jawab Saki-san sambil mengenakan helm.
"Tapi kita baru akrab pas sering ketemu di smoking area."
Katanya, orang yang merokok biasanya lebih gampang akrab satu sama lain. Karena punya kebiasaan yang sama, muncul rasa sesama teman.
"Pegangan lagi ya waktu pulang."
"Iya."
Angin berhembus saat kami melaju kembali ke depan apartemen. Setelah motor diparkir di tempat parkir sepeda, aku turun dan mengucapkan terima kasih.
"Makasih banyak."
"Bukan karena aku mau juga, sih."
"Tapi anginnya enak banget, suaranya juga keren. Maksudku suara knalpotnya. Meski aku orang awam sih."
"…Lumayan ngerti juga kamu."
Dengan kantong belanja di tangan, aku dan Saki-san tiba di depan kamar Rui-san. Kali ini tanpa menekan bel, Saki-san langsung membuka pintu.
"Oii, udah dibeli nih."
"Selamat datang. Sudah akrab sekarang?"
Suara Rui-san terdengar dari dalam kamar.
"Mana bisa langsung akrab dalam waktu sesingkat ini, yang penting nggak jadi musuhan aja udah untung."
Saki-san melepas sepatu dan masuk ke kamar.
Aku ikut melepas sepatu dan menyusul masuk.
Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar Rui-san.
Di tengah ruangan ada kotatsu (meja penghangat), di sisi tembok yang menghadap ke kamarku ada TV kecil. Di sisi sebaliknya ada tempat tidur single, dan di sebelahnya gantungan baju dalam ruangan.
Ada dua rak buku, tapi buku-buku tetap menumpuk di berbagai tempat karena nggak muat. DVD film juga banyak banget.
Secara keseluruhan, kamarnya agak berantakan. Terlihat ada "kesan hidup", tapi juga terasa kosong. Mungkin karena banyak barang yang nggak penting, tapi yang penting malah sedikit.
"Kalau gitu, ayo mulai masak."
"Yang masak kan aku."
"Mau aku bantu?"
"Nggak usah. Kamu kan payah dalam semua urusan rumah, bukan cuma masak. Ntar malah jarimu luka. Duduk diam aja."
"Baiklah~"
"Aku bantu juga deh."
"Nggak usah. Dapur sempit. Ntar malah ngerepotin. Duduk sana."
Kalau sudah dibilang begitu, aku nggak bisa membantah. Jadi aku duduk di kotatsu bersama Rui-san dan menunggu.
Dia biasanya menjalani kehidupannya di tempat ini. Makan, membaca buku, menonton film, lalu tidur. Saat aku menyadarinya, rasanya sedikit aneh.
"Hei, beresin meja sana."
Saki-san yang mengenakan sarung tangan oven membawa panci tanah liat. Saat Rui-san meletakkan alas panas, panci berisi shio chanko nabe yang mendidih itu diletakkan di atasnya.
Kami masing-masing diberi piring kertas dan sumpit sekali pakai.
Rui-san membuka kulkas dan mengeluarkan kaleng highball. Sekilas kulihat isinya hampir seluruhnya adalah alkohol.
"Ini, buatmu, Saki-chan."
"Gak minum ah. Aku kan naik motor ke sini."
"Kalau pulangnya jalan kaki, gimana?"
"Terus motorku gimana dong?"
"Aku jagain aja. Nanti kamu bisa ambil lagi."
"Ribet banget."
"Tapi, kalau kamu bisa minum, pasti pengen minum, kan?"
"Yah, itu sih… iya juga."
"Kalau gitu, jujurlah sama hatimu. Nanti kamu bakal nyesel, lho. Lagipula..."
"Lagipula?"
"Minum sendirian itu… nggak asik."
"……Haaah. Iya deh, iya."
Saki-san menghela napas dan mengambil kaleng highball itu. Klashh. Suara kaleng yang dibuka terdengar nyaring dan mantap.
Melihat itu, Rui-san menyandarkan pipi ke tangannya dan tersenyum.
"Aku suka sisi Saki-chan yang kayak gitu."
"Bawel banget sih."
Rui-san dan Saki-san bersulang dengan kaleng highball, sedangkan aku bersulang dengan teh di gelas kertas. Lalu kami bertiga mengelilingi nabe yang sedang mendidih.
"Ngomong-ngomong, agak aneh ya makan nabe di musim kayak gini."
Biasanya nabe itu makanan khas musim dingin.
"Ini sama aja kayak makan es krim sambil duduk di kotatsu pas musim dingin. Makan nabe di ruangan ber-AC pas musim panas tuh malah terasa istimewa."
Mungkin memang begitu.
Isi nabenya ada ayam, bakso, kol, wortel, tahu goreng, daun bawang, jamur enoki, dan mochi. Semuanya sudah matang dengan baik.
"Rui, kamu harus makan sayur juga, lho."
"Aku makan, kok?"
"Ngomong apa sih. Dari tadi kamu cuma makan ayam sama tahu goreng doang. Nih, daun bawang. Renyah, enak banget."
Saki-san menyendok daun bawang dan meletakkannya di piring kertas milik Rui-san.
"Aku nggak suka daun bawang."
Rui-san langsung memindahkan daun bawang itu ke piringku dengan sumpitnya.
"Kalau gitu, makan kol. Kaldu nabenya meresap banget."
Saki-san kembali menyendok kol dan meletakkannya di piring Rui-san.
"Katanya kaldunya meresap, tuh."
Rui-san pun dengan santai memindahkan kol itu ke piringku juga. Tanpa sadar, piringku jadi penuh dengan sayuran.
"Kamu tuh kebanyakan pilih-pilih makanan."
Saki-san menghela napas kesal.
"Tapi aku suka enoki, kok."
Begitu dia bilang "enoki", jantungku agak berdebar. Butuh beberapa detik buat sadar kalau yang dia maksud adalah jamur enoki, bukan hal lain.
"Tapi ya, cuma makan enoki doang nggak bisa nutupin semua kebutuhan gizi harian, tahu."
Saki-san melihat Rui-san makan enoki dari piringnya.
"Minum alkohol, merokok, makan yang manis-manis terus... Nanti kamu bisa tumbang, lho."
"Yuito-kun juga bilang hal yang sama."
"Kalau gitu, perbaiki kebiasaanmu sedikit, dong."
"Yah, nggak usah bahas aku terus lah. Hari ini kan kalian baru ketemu. Ayo kita jadikan malam ini acara saling mengenal."
Rui-san menyatukan kedua tangannya, lalu menoleh ke arahku.
"Saki-chan itu anggota band, lho."
"Band?"
"Band cewek beranggotakan empat orang. Saki-chan pegang vokal dan gitar. Cukup populer di kalangan indie, lho."
"Begitu ya."
Kalau dipikir-pikir, dia memang punya aura seperti itu. Mungkin bisa dibilang karisma—sesuatu yang mampu menarik perhatian orang.
"Aku pernah nonton penampilan mereka. Saki-chan waktu nyanyi sambil main gitar tuh keren banget."
"Nggak juga. Penonton masih dikit, kemampuan band kami juga belum cukup."
Saki-san menjawab sambil menyendok isi nabe dengan nada blak-blakan.
"Banyak band yang lebih populer dan lebih hebat dari kami yang tetap nggak bisa hidup dari musik. Jadi kami harus terus ngincar yang lebih tinggi."
"Saki-chan tuh rendah hati, ya?"
Rui-san menoleh ke arahku seolah meminta persetujuan. Memang benar sih.
"Dia kerja malam, terus main band, masih juga kuliah. Hebat, kan? Aku sampai pengen minum rebusan kuku kakinya."
"Nggak ada niat kayak gitu sama sekali juga, kan."
Saki-san menenggak highball sambil menanggapi dengan ketus.
"Tapi menurutku tetap keren. Aku pikir Saki-san itu luar biasa."
"Hah?"
Meskipun cukup dikenal di lingkungannya, Saki-san sama sekali nggak sombong. Dia benar-benar tulus dalam bermusik. Dari obrolan singkat tadi saja, aku bisa merasakannya.
Dia punya sesuatu yang bisa dia tuangkan sepenuh hati dalam hidupnya. Aku selalu mengagumi orang seperti itu. Karena aku tidak punya hal seperti itu.
"Kamu mabuk, ya?"
"Aku cuma minum teh oolong."
"Berarti kamu emang menyedihkan aja, ya."
Saki-san berkata begitu sambil menyendok bahan makanan dari dasar panci dan meletakkannya ke piring kertas milikku.
"Eh?"
"Bakso. Besar. Udah aku simpan, buat kamu."
Mungkin itu cara Saki-san menunjukkan sikap ramahnya padaku. Dan mungkin juga karena dia sendiri suka bakso.
Tapi...
"Maaf. Aku kurang suka bakso."
Ternyata nggak semua orang punya selera yang sama.
"Lagi pula, aku juga sudah kenyang."
Saki-san sempat melotot kaget, lalu tersenyum masam.
"Nggak imut banget, ya, kamu."
Sambil dua orang itu menghabiskan kaleng highball mereka, aku menyeruput teh oolong dari gelas kertas. Sambil berbincang santai, isi nabe pun habis tak bersisa.
Karena Rui-san makannya sedikit, hampir semua dihabiskan olehku dan Saki-san.
"Kayaknya memang cukup ya, bahan buat dua orang."
Memang. Tetap terasa cukup.
"Boleh ngerokok, nggak?"
"Boleh, tapi di bawah penghisap asap, ya."
Rui-san menunjuk ke arah dapur.
"Oke."
Saki-san berdiri dan berjalan santai ke dapur. Dia menyalakan ventilasi, lalu menyalakan rokok.
Setelah menghisap dalam-dalam, dia menghembuskan asap perlahan-lahan seperti seseorang yang baru muncul ke permukaan air untuk mengambil napas.
Aku melihatnya dan tiba-tiba bertanya:
"Boleh ngerokok di kamar, ya?"
"Boleh. Tertulis kok di kontraknya."
Pantas saja aku nggak tahu. Soalnya aku nggak ngerokok.
"Tapi... eh, bukannya aneh?"
"Hm?"
"Kalau boleh ngerokok di kamar, kenapa Rui-san selalu ngerokok di balkon?"
Iya. Kalau bisa ngerokok di dalam kamar, nggak perlu keluar. Tapi Rui-san selalu merokok di balkon, dari awal pertama kali kami bertemu sampai sekarang.
Kalau dia nggak suka kamar bau asap, pasti dia juga akan nyuruh Saki-san ngerokok di luar.
"Soalnya... merokok sambil menikmati angin malam itu rasanya beda."
Dibanding merokok di dalam ruangan, merokok di luar terasa lebih menyegarkan.
Aku memang nggak ngerokok, tapi aku rasa aku bisa sedikit memahami maksudnya.
Dan, Rui-san melanjutkan.
Dengan senyum tipis, dia menyandarkan dagunya di atas punggung tangan yang disilangkan di atas meja.
"Kalau aku ngerokok di kamar, aku nggak bisa ngobrol sama Yuito-kun, kan?"
Tak lama setelah Saki-san selesai merokok, dia berkata tiba-tiba:
"Aku pulang duluan, ya."
"Mau kuantar ke stasiun?"
Rui-san menawarkan diri.
"Yuito-kun yang antar, ya."
"Aku?"
"Kalau aku sih, kelihatannya nggak bisa diandalkan, kan?"
"Kurasa nggak terlalu beda jauh sih..."
Toh aku juga bukan orang yang bisa diandalkan. Nggak jago olahraga, nggak pernah berantem, dan nggak yakin bisa melindungi kalau ada yang menyerang.
Kalau dibanding aku dan Saki-san, kayaknya Saki-san justru lebih kuat.
"Ya udah, aku terima tawaran itu."
"Eh?"
"Apa sih ekspresi itu?"
"Kukira bakal ditolak."
"Kalau ada orang gila nyerang, kamu bisa jadi tameng hidup kan."
Ternyata peran utamaku cuma jadi tameng.
"Oke deh. Tapi kamu harus sering masuk kuliah, ya."
Saki-san menasehati Rui-san sebelum keluar bersamaku. Kami pun masuk ke dalam malam yang sudah larut.
Kami berjalan menuju stasiun. Sekitar sepuluh menit dari apartemen.
Sekeliling hening. Kami berjalan melewati pemukiman yang jauh dari jalan besar. Hanya lampu jalan dan cahaya dari jendela rumah yang menerangi malam.
"Maaf, aku nyusahin."
"Nggak apa-apa."
"Kayaknya aku kebablasan. Aku mabuk banget, nih."
Saki-san tadi minum tiga kaleng highball. Wajahnya agak memerah, dan suaranya juga sedikit lebih tinggi dari biasanya.
"Biasanya aku cuma minum satu kaleng. Tapi tadi Rui berhasil ngeracunin aku."
Padahal Rui-san minumnya lebih banyak lagi.
"Tapi ya, dia itu parah banget. Tidur sampai sore, nyuruh aku beli bahan, nyuruh orang yang bawa motor minum, terus nyumpahin semua sayur ke kamu."
"Iya juga."
Aku mengangguk sambil tertawa kecil.
"Tapi... aku senang, kok."
Biasanya aku makan sendirian. Baik di rumah maupun di sekolah.
Aku nggak pernah merasa kesepian, juga nggak pernah merasa ingin bersama orang lain.
Makan bersama orang lain itu merepotkan. Tapi, hari ini terasa menyenangkan. Waktu yang kuhabiskan bersama Rui-san dan Saki-san, mengelilingi panci nabe, terasa hangat.
"……"
Saki-san menatap ekspresiku yang menjawab bahwa aku senang, lalu tanpa menghentikan langkahnya, dia mulai bercerita.
"Aku pernah bilang kan, aku mulai akrab sama Rui gara-gara tempat merokok?"
"Iya."
"Aku udah beberapa kali lihat dia di kelas sebelumnya. Duduk sendirian, nyender ke meja, kelihatan bosan. Tapi waktu itu aku nggak pernah kepikiran buat nyapa dia. Soalnya nggak ada alasan juga, dan aku juga nggak terlalu tertarik."
"Lalu kenapa akhirnya?"
"Suatu hari, aku kabur dari kelas yang ngebosenin dan pergi ke tempat merokok. Kebetulan Rui juga lagi di sana. Duduk sendirian di bangku, merokok."
"Karena sesama perokok, jadi ngerasa akrab, ya?"
"Itu juga, tapi bukan cuma itu. Aku sempat kaget juga sih, lihat cewek yang kelihatan seanggun dia ternyata juga ngerokok."
Lalu, Saki-san mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
"Aku ini, sebenarnya cukup sering disukai."
"Eh?"
"Disukai sama cewek, maksudku. Dulu sering dikasih surat cinta. Waktu udah mulai band, makin banyak fans yang antusias banget. Mereka bilang, 'Aku suka banget sama Saki-san! Aku jatuh cinta waktu pertama lihat!' dengan tatapan mata yang berbinar."
Aku bisa memahaminya. Saki-san memang keren.
Penampilannya, caranya bersikap—semuanya. Buat banyak perempuan, dia pasti terlihat seperti sosok yang bisa dikagumi.
"Tapi aku nggak pernah ngerti perasaan mereka. Aku memang pernah suka sama orang, pernah lihat cowok dan cewek yang tampangnya cakep, tapi aku nggak pernah punya pengalaman kayak disambar petir waktu pertama lihat seseorang. Jadi kupikir aku bukan tipe yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. …Sampai saat itu."
Saki-san menatap malam yang membentang di kejauhan, seolah sedang mengingat masa lalu.
"Waktu aku lihat Rui merokok di tempat itu, rasanya kayak ada sesuatu yang menghantamku. Dia menyilangkan kaki panjangnya, meniup asap dengan malas—gaya lesu tapi memesona itu. Aku langsung tertarik sama sisi gelap yang ada padanya. Aku pikir, ternyata ada juga perempuan yang kelihatan seindah lukisan gini. Biasanya aku nggak pakai kata-kata seperti ini, tapi waktu itu, satu-satunya kata yang kepikiran cuma… indah. Bukan cantik, bukan imut—tapi indah. Nggak ada kata lain yang pas. Baru waktu itulah aku ngerti perasaan anak-anak yang pernah nembak aku dulu. Tanpa sadar, aku langsung nyapa Rui. Padahal dia kelihatan susah didekati, tapi aku nggak bisa nahan diri."
"Dan kalian pun jadi dekat, ya."
"Kamu ilfeel, ya?"
"…Nggak, aku juga ngerti perasaan itu."
Setiap kali Rui-san ke minimarket untuk beli rokok, aku selalu membayangkan dia merokok. Biasanya, kenyataan tak seindah imajinasi.
Tapi kenyataannya, saat aku melihat dia merokok di balkon… bayanganku tidak seindah itu—malah kenyataan jauh melampaui.
Dia… sangat indah. Sampai aku terpaku hanya untuk menatapnya.
"…Namamu Yuito, ya?"
"Iya."
"Aku cuma mau bilang satu hal. Jangan terlalu dekat-dekat lagi sama Rui."
"Eh?"
Aku menatap wajah samping Saki-san.
Tanpa menoleh padaku, dia terus memandangi kekosongan malam sambil berkata:
"Kamu suka sama Rui, kan? Tapi, perasaan itu nggak akan berbalas. Buat dia, kamu cuma jadi hiburan. Mau kamu seserius apa pun. Aku yakin Rui sadar kamu punya perasaan itu. Bahkan aku yang baru ketemu saja bisa tahu. Jadi nggak mungkin dia nggak sadar. Dia tahu, dan dia memanfaatkannya. Rui memang begitu orangnya. Nggak peduli perasaan orang, suka seenaknya mempermainkan orang lain. Ngasih permintaan aneh-aneh, lalu menahan kamu dengan perasaanmu sendiri sebagai sandera. Perasaan kamu nggak akan pernah sampai. Dan kalau kamu makin serius, kamu bakal makin sakit."
"Makanya, kamu nyuruh aku berhenti sekarang, sebelum terlambat?"
"Iya. Sebelum hidupmu hancur karena dia. Sekarang masih bisa mundur."
Saki-san memang kelihatan mabuk.
Tapi matanya… jujur. Dia serius.
"…Kamu teman, tapi bisa ngomong sekeras itu, ya."
"Karena aku teman, makanya aku tahu. Rui itu bukan orang baik. Bukan soal kepribadian atau apa. Dia orang yang bisa bikin hidup orang lain berantakan."
Aku… bisa mengerti maksudnya.
Rui-san punya bayangan kelam dalam dirinya. Dan bayangan itu menarik orang masuk ke dalamnya. Menarik… dan menelan.
Mungkin, alasan kenapa Saki-san minta aku yang nganter dia pulang… adalah agar bisa bicara soal ini. Biar ada waktu hanya berdua.
Saat kami terus berjalan dalam keheningan, kami tiba di stasiun. Di depan gerbang tiket, Saki-san menoleh padaku.
"Makasih udah nganter ya."
"Iya."
"Hati-hati di jalan."
Setelah mengatakan itu, dia menempelkan kartu IC dari ponselnya ke pintu tiket dan melangkah masuk.
Saat dia hendak menuju peron—
"Boleh tanya satu hal?"
"Hm?"
"Tadi kamu ngomong kayak gitu… karena kamu juga pernah ngerasain hal yang sama kan?"
Suka pada Rui-san. Tapi perasaan itu nggak akan pernah sampai. Meski tahu itu, tetap saja terpesona, dan nggak bisa menjauh.
Saki-san terdiam sebentar. Wajahnya tampak kaget—campuran antara kesal, sedih, dan kalah. Lalu akhirnya dia berkata pelan:
"…Mungkin aja."
Dia berkata begitu dengan nada mengejek dirinya sendiri, lalu tersenyum pahit.
Tepat saat itu, kereta tiba. Saki-san membalikkan badan dan naik ke gerbong yang masih sepi.
Aku menatap punggungnya… sampai sosoknya benar-benar menghilang dari pandangan.
◆◆◆
Rasanya sesak, seolah aku sedang tenggelam dalam air yang gelap.
Waktu homeroom. Di kelas, kami sedang membahas acara tamasya dua minggu lagi.
Tujuannya ditentukan oleh tiap kelas secara mandiri. Setelah ditentukan, kegiatan di lokasi akan dilakukan per kelompok.
Kelas kami akan pergi ke sebuah pulau.
Pulau itu sekarang sedang mengembangkan pariwisata—ada ladang bunga, makanan khas, dan bahkan bisa menikmati kapal pesiar.
Pembagian kelompok dilakukan dengan cara undian.
Ada murid yang ingin membentuk kelompok berdasarkan teman yang mereka sukai, tapi Koharu-sensei tetap memaksakan undian, katanya agar itu bisa jadi kesempatan untuk berbicara dengan teman sekelas yang jarang diajak bicara.
Kalau kelompok dibentuk berdasarkan teman dekat, aku pasti jadi orang yang tersisih.
Mungkin, Koharu-sensei sebenarnya mempertimbangkan itu juga. Tapi, apa aku terlalu berpikir berlebihan?
Aku masuk ke kelompok tiga. Isinya satu cowok yang jadi pusat pergaulan di kelas, tiga orang dari kelompok menengah—dua cewek dan satu cowok—lalu satu cowok pendiam, dan aku. Totalnya enam orang.
Cowok pusat pergaulan itu mungkin kesal karena nggak bisa satu kelompok dengan teman-temannya. Dia terang-terangan mengeluh soal Koharu-sensei, lalu meninggalkan diskusi dan pergi ngobrol dengan teman-temannya yang berada di kelompok lain.
Anggota kelompok yang tersisa jadi kebingungan.
Tapi, pada akhirnya, nasibku tetap sama. Masuk kelompok manapun, aku tetap tidak punya teman. Rasa tidak nyamannya tetap ada.
"Gimana, nih, kita?"
"Ya udah, sementara kita bahas dulu aja, kita berempat."
Akhirnya, dua cewek dari kelompok menengah memimpin diskusi. Mereka mulai menyebutkan beberapa pilihan tujuan dan saling bertukar pendapat.
"Enoki-kun mau ke mana?"
Mungkin karena ingin bersikap ramah, cewek yang jadi ketua sementara juga menanyakan pendapatku.
Sebenarnya, aku nggak punya tempat khusus yang ingin kudatangi. Tapi menjawab "di mana saja boleh" rasanya seperti terlalu pasrah.
Jadi, aku menyebut salah satu tempat dari daftar pilihan.
Dengan mempertimbangkan semua pendapat, akhirnya kami berhasil menyepakati tujuan. Rasanya seperti akhirnya melihat cahaya di ujung terowongan.
"Udah ketemu, tempatnya?"
Cowok pusat pergaulan kembali. Kali ini dia bawa teman-temannya juga.
"U-uh, ya. Udah."
"Oh ya? Jadi ke mana?"
"Ini sih, rencananya."
Begitu melihat kertas yang berisi tujuan, cowok itu berkata:
"Eh, gimana kalau kita ke laut aja?"
"Hah?"
"Disamain sama kelompok dua aja tujuannya. Jadi nanti kita bisa bareng-bareng juga di sana."
Laut bukan salah satu tujuan awal yang kami sepakati.
Kelompok dua memang berisi banyak teman dekatnya si cowok itu.
Sepertinya dia sadar, kalau tujuannya sama, mereka bisa jalan bareng di sana. Bisa bareng terus dengan geng-nya.
"Pasti lebih seru, kan? Gimana?"
Cewek ketua kelompok dan yang lain saling pandang. Tak ada yang langsung menjawab, tapi jelas dari ekspresi mereka kalau mereka bingung.
Wajar saja. Tujuan sudah diputuskan. Tapi cowok ini datang belakangan dan langsung ingin mengubahnya sesuka hati. Bahkan tidak ikut diskusi dari awal.
Tapi tidak ada yang berani membantah. Karena dia cowok populer di kelas. Kalau sampai bikin masalah, mereka takut posisinya di kelas memburuk.
Semua tampaknya akan mengikuti keinginannya begitu saja.
Sampai akhirnya—
"Tapi kita udah mutusin barusan."
Tanpa sadar, aku membuka mulut.
"Datang belakangan terus tiba-tiba ubah keputusan, itu nggak bener. Kalau mau kasih saran, mending ikut diskusi dari awal."
Bukan karena aku keberatan sama tempat yang sudah ditentukan.
Sebenarnya ke mana pun nggak masalah. Bahkan kalau pilihannya laut seperti yang dia bilang pun, aku nggak keberatan. Tapi, aku nggak bisa terima sikapnya.
Mendorong kehendaknya sendiri, mengabaikan pendapat orang lain, dan menganggap semua bisa dituruti seenaknya.
Ketidakpekaan dan arogansinya. Dan betapa dia bisa melakukan itu semua dengan senyum polos seolah tidak bersalah—itulah yang membuatku muak.
"Eh? Dia ngomong juga ternyata."
Cowok populer itu bersikap seolah kaget.
"Ternyata Enokida bisa ngomong, ya? Kukira patung Jizou."
"Eh, itu keterlaluan dong," kata cewek populer di sebelahnya sambil tertawa.
"Eh, namanya Enoki, bukan Enokida. Atau Enomoto, ya? Kayaknya kita pernah sekelas waktu kelas satu, deh."
Cewek itu meminta persetujuanku, "Bener, kan?"
Tapi aku tidak menanggapi.
"Serius? Sama sekali nggak inget."
Tapi aku mengingat mereka.
Shimauchi dan Seko.
Dulu juga begitu. Waktu pelajaran, mereka sering nyeletuk hal-hal nggak penting dan ketawa bareng teman-temannya yang juga nggak lucu.
"Kelompok tiga sudah tentukan tempatnya?"
Koharu-sensei bertanya dari podium.
"Ke laut aja, ya?"
Cowok populer itu meminta persetujuan dari anggota kelompok.
Semua hanya bisa mengangguk mengikuti arus.
Usahaku sia-sia. Pada akhirnya, tujuan pun diputuskan: ke laut.
"Oke, kalau begitu sudah diputuskan," kata Koharu-sensei setelah melihat daftar tujuan yang ditulis di papan tulis.
Sementara beliau bicara, cowok populer itu kembali melontarkan candaan yang tidak lucu. Lagi-lagi teman-temannya tertawa.
Murid lain juga ikut tertawa. Entah karena ikut-ikutan, atau mungkin benar-benar menganggap itu lucu.
Aku tidak tertawa.
Karena tidak lucu. Kalau aku ikut tertawa padahal tidak lucu, rasanya seperti ada sesuatu dalam diriku yang mati. Jadi aku tidak tertawa.
"Eh Enoki-kun serius banget mukanya."
"Masih dendam ya? Maaf, deh~"
Cowok populer itu minta maaf dengan nada bercanda, mencoba membuat semuanya terasa seolah hanya lelucon.
Aku tidak menjawab.
Tidak bilang "nggak apa-apa," tidak bilang "aku nggak marah," tidak tersenyum palsu. Aku hanya diam.
Kupikir… semua ini konyol.
Orang yang melontarkan candaan nggak lucu, orang-orang yang ikut tertawa, dan semuanya di sekelilingku—semuanya terasa sangat konyol dan menyedihkan.
Mereka terlihat seperti alien bagiku.
Tidak, mungkin justru akulah alien-nya. Semua orang adalah manusia biasa… dan hanya aku yang berbeda.
◆◆◆
"Ada sesuatu yang terjadi?"
Malam itu, di balkon, bulan tertutup awan tebal.
Di sela percakapan yang menghilang, Rui-san tiba-tiba bertanya.
"…Kelihatan ya?"
"Iya. Aku ini cenayang, soalnya. Jadi semuanya bisa kelihatan jelas."
Rui-san meniup asap rokok dan tersenyum seperti sedang bercanda. Lalu menekan puntung rokok ke asbak.
"Meskipun nggak bisa menyelesaikan masalah, kadang cerita itu bisa bikin hati lebih ringan."
"Itu serius?"
"Sebenarnya… aku cuma ingin dengar karena kayaknya menarik."
"Jujur banget, ya."
Aku tertawa kecil tanpa sadar. Tapi… rasanya nyaman.
"Kalau sama cenayang, nggak bisa sembunyi, ya."
Lalu aku mulai menceritakan kejadian saat penentuan kelompok itu. Dan bahwa besok adalah hari pelaksanaan tamasya.
"Begitu, ya. Jadi kamu merasa murung sekarang."
"Seharian penuh, kayaknya bakal jadi siksaan."
Di hari-hari sekolah biasa, aku masih bisa sendirian di luar jam pelajaran. Tapi besok adalah kegiatan kelompok. Aku harus, secara paksa, menghabiskan waktu bersama yang lain.
Hanya membayangkannya saja sudah membuat napas terasa berat.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita nonton film besok?"
"…Maaf?"
"Besok cuaca diperkirakan hujan, jadi aku juga memang berencana bolos kuliah. Jadi, mari kita nonton film di kamarku saja."
"Maksudnya, bolos dari acara sekolah?"
"Kalau tidak ingin pergi, ya tinggal tidak pergi. Mudah, kan?"
Rui-san mengangkat jarinya, seolah-olah itu ide paling cemerlang di dunia. Itu benar-benar terdengar sangat mudah, sampai-sampai aku tertawa kecil.
Tapi sampai saat itu, aku tidak pernah menganggapnya sebagai pilihan. Bukan, sebenarnya pernah terpikir, hanya saja entah sejak kapan aku menyingkirkannya secara tidak sadar.
Bolos pelajaran masih bisa diterima. Tapi kegiatan di luar sekolah? Kalau sampai aku membolos, maka aku benar-benar tidak akan bisa menyatu lagi dengan kelas. Tidak akan pernah bisa menjalin hubungan yang harmonis.
Mungkin, di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih berharap.
Pada sekolah, pada ruang kelas, atau pada dunia ini.
Padahal aku seharusnya sudah tahu, kalau aku tidak bisa menyatu dengan mereka.
"Yah, pikirkan saja dulu."
"…Baiklah. Akan kupikirkan."
Meskipun saat mengucapkannya, aku sebenarnya sudah tahu apa jawabannya.
◆◆◆
Ketika pagi tiba, hujan turun begitu deras hingga sulit membedakan antara malam dan siang.
Aku membuka tirai.
Langit tertutup awan tebal. Hujan turun seperti benang halus ke seluruh kota. Di kamar yang redup, suara rintik hujan memantul dan mengisi keheningan.
Sejak dulu aku menyukai hari hujan. Rasanya seperti dunia menutup diri ke dalam, dan itu memberiku rasa aman.
Setelah berganti pakaian, aku keluar kamar dan menekan bel pintu kamar sebelah. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Rui-san menyembulkan wajahnya.
"Selamat pagi."
"Halo. Pagi-pagi sekali ya bangunnya."
"Hari hujan selalu membuatku merasa segar."
Rui-san berkata begitu sambil bertanya lagi.
"Sudah menghubungi sekolah?"
"Sudah, barusan. Bilang saja kalau aku demam."
Yang menerima telepon adalah guru dari kelas lain.
Saat aku bilang kalau aku tidak masuk hari ini karena demam, dia langsung menerima tanpa banyak tanya.
Mungkin karena hari ini bukan hari pelajaran biasa, atau mungkin karena mereka memang tidak terlalu peduli dengan murid dari kelas lain. Tapi terserah. Yang penting, hari ini aku resmi bolos dari kegiatan sekolah. Itu tidak akan berubah.
"Oh ya? Demam, ya?"
Rui-san menyentuh dagunya dan terkekeh kecil.
Lalu, tanpa peringatan, dia mengangkat poni rambutku. Saat aku hendak bertanya "Eh?", dahiku sudah bersentuhan dengan dahinya.
Wajahnya yang tampak seperti boneka, mata memikatnya, berada sangat dekat. Sisa aroma rokok bercampur dengan udara lembap khas hujan, tercium samar.
"Hmm… 38.5°C. Ini jelas perlu istirahat."
Ucapnya dengan nada menggoda.
Tentu saja itu hanya bercanda. Aku tidak demam. Tapi seandainya diukur dengan termometer, mungkin suhu tubuhku memang setinggi itu. Karena wajahku memang terasa panas.
"Ayo, masuk. Aku buatkan kopi."
Lewat pintu yang terbuka, dia mengajakku masuk ke dalam.
Waktu itu, kami bersama Saki-san. Tapi sekarang, hanya kami berdua. Saat menyadari itu, jantungku mulai berdebar aneh.
"Mau pakai gula dan susu?"
"Nggak usah."
Aku ingin meminum kopi hitam. Karena Rui-san selalu meminumnya begitu.
Tak lama kemudian, dia datang membawa dua mug dengan kedua tangannya.
"Ini, silakan."
"Terima kasih."
Aku menerimanya dengan dua tangan. Wajahku tercermin di permukaan kopi hitam itu.
"Ternyata kamu punya mug untuk tamu, ya."
"Itu Saki-chan yang maksa aku beli. Waktu aku nggak mau repot-repot beli, dia langsung datang bawa sendiri."
"Berarti ini… milik Saki-san?"
"Itu rahasia."
Rui-san meletakkan telunjuknya di bibir, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela sambil mendengarkan suara hujan.
"Kalau hujan begini, acara sekolahnya dibatalkan nggak?"
"Katanya tetap jalan meski hujan."
Tapi pasti rencana pergi ke laut akan batal. Mereka bisa memaksa teman sekelas, tapi tidak bisa memaksa alam. Memikirkan itu, entah kenapa membuat dadaku terasa lega.
"Hari ini kita nonton film apa?"
"Hari ini kita nonton film yang membosankan."
"Film yang membosankan?"
"Tepatnya, film yang menurut orang-orang membosankan. Tapi menurutku, sebenarnya tidak seburuk itu. Malah bisa dibilang aku lumayan suka."
Lalu dengan nada seperti memberi nasihat, ia melanjutkan:
"Harusnya, buatmu, hari ini adalah hari paling nol. Paling tidak berarti. Jadi kupikir, film apa pun yang kutayangkan, pasti terasa lebih baik dari hari itu."
"Begitu, ya…"
Aku tertawa kecil.
"Baiklah. Mari kita tonton."
Aku memutuskan untuk menerimanya.
Menonton film bersama Rui-san—meski filmnya tidak menarik sekalipun—masih jauh lebih baik daripada bersama teman-teman sekolah.
Rui-san memasukkan DVD ke dalam pemutar yang ada di depan TV.
"DVD, ya."
"Banyak film yang nggak bisa ditonton lewat langganan streaming. Jadi, kalau mau nonton, harus cari versi DVD-nya."
Rui-san mematikan lampu ruangan. Ruangan yang tirainya tertutup rapat berubah menjadi bioskop kecil.
Karena TV-nya kecil, kami duduk cukup dekat untuk bisa menonton. Di depan ada meja kotatsu, di belakang sisi tempat tidur. Dan di sampingku ada Rui-san. Jarak kami sangat dekat, hingga bahu kami saling bersentuhan.
Tercium samar aroma tembakau. Aroma manis. Mungkin dia menghisap rokok tadi pagi. Bagi diriku, aroma tembakau ini adalah aroma Rui-san.
"Kamu tahu? Katanya, pasangan biasanya saling mesra saat nonton film bareng."
"Oh, ya?"
"Ciuman, saling meraba, dan kalau sudah makin panas, mereka tinggalkan filmnya dan lanjut ke ranjang."
"Tapi, kita kan bukan pasangan, kan?"
"Meski tidak pacaran, kalau laki-laki dan perempuan, mungkin saja bisa jadi begitu. Ngomong-ngomong, setelah dengar itu, kamu gimana perasaannya?"
"Kupikir, harusnya mereka lebih serius menghargai filmnya."
Jangan jadikan film sebagai bumbu pelengkap.
"Setuju banget."
Rui-san tersenyum, lalu menekan tombol "play" di remote.
Gambar mulai muncul di layar TV kecil itu.
Seratus menit setelahnya terasa seperti keabadian.
Seperti yang dikatakan orang-orang, film ini memang tidak bisa dibilang menarik.
Naskahnya dangkal, akting para pemainnya juga tidak bisa dibilang bagus. Penyutradaraannya kasar, dan alasan di balik tindakan para karakternya tidak jelas—cerita berjalan tanpa arah yang kuat.
Kalau ini kutonton di bioskop dengan membayar tiket, mungkin aku akan marah.
Ada juga orang yang akan bilang: lebih baik berhenti menonton dan tinggalkan saja—itulah keputusan paling bijak.
Aku pun mungkin termasuk salah satunya.
Tapi Rui-san berbeda.
Ketika aku secara sekilas melirik ekspresinya, dia tengah memandangi layar TV.
Tatapannya berbeda dari tatapan kosong yang biasa kulihat saat dia berada di tempat merokok di kampus.
Kini matanya berkilau seperti batu safir. Dia benar-benar menikmati film ini.
Melihat wajah samping Rui-san yang tampak berseri menikmati film, aku berpikir: bagus juga.
Dia tidak terpengaruh oleh suara mayoritas atau reputasi. Bahkan dari hal-hal yang dianggap membosankan oleh orang lain, dia mampu menemukan sesuatu yang bermakna dan menarik untuk dirinya sendiri.
Mata Rui-san bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Dan aku ingin melihat dunia seperti yang terlihat oleh mata itu.
Aku ingin tahu… seperti apa sebenarnya pemandangan yang ia lihat?
Ketika film selesai, Rui-san menoleh padaku dan bertanya:
"Bagaimana menurutmu?"
"Terus terang, tidak menarik."
Begitu aku menjawab dengan jujur, Rui-san malah tampak senang. Melihat dia yang begitu riang membuatku ikut merasa senang juga.
"Kalau begitu, lanjut terus, ya."
Setelah itu, kami terus menonton film-film membosankan satu demi satu.
Isinya memang membosankan dari awal hingga akhir. Waktu seakan berjalan lambat, hampir terasa seperti kekekalan.
Biasanya hal seperti ini akan terasa menyiksa, tapi aku tidak merasa begitu.
Sebaliknya, aku berharap waktu tidak pernah bergerak—agar semuanya tetap seperti ini.
Setelah film kedua selesai dan kami makan siang, kami melanjutkan ke film ketiga.
Film ketiga benar-benar membosankan. Dari awal, tengah, hingga akhir, benar-benar buruk dalam segala aspek.
"Seperti mengunyah pasir"—ungkapan itu rasanya sangat tepat menggambarkannya.
Namun, ada satu adegan yang menusuk hatiku.
Adegan itu adalah ketika sang tokoh utama, yang dipenuhi kekesalan, akhirnya meledakkan emosinya dan mengamuk.
Dia berniat menghancurkan segalanya sebagai penutup hidupnya—dengan tekad sekuat itu—namun dengan mudah dihentikan. Ia dianggap remeh. Bahkan keseriusan dan klimaks hidupnya ditertawakan begitu saja.
Meski dia menganggap itu puncak hidupnya, dari luar justru tampak konyol.
Karena filmnya memang dibuat dengan buruk, aksinya justru terlihat sebagai lelucon yang gagal.
Tidak ada klimaks, tidak ada katarsis.
Bagi kebanyakan penonton, itu hanyalah film buruk yang sia-sia.
Tapi… justru kehampaan dan rasa tak berdaya itulah yang entah kenapa begitu menusuk hatiku.
Aku yakin, orang lain yang menontonnya tidak akan merasa hal yang sama.
Setelah film selesai, Rui-san kembali bertanya.
"Bagaimana menurutmu?"
"Sejujurnya, tetap tidak menarik."
Tapi, aku menambahkan,
"Tapi adegan terakhir tadi… aku sangat menyukainya."
Lalu aku mulai bercerita.
Tentang bagian mana yang membuatku terkesan.
Dan kenapa aku menyukainya—meskipun mungkin aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat.
Rui-san mendengarkan ceritaku dengan ekspresi senang seperti sebelumnya.
Tidak—kali ini dia tampak lebih bahagia.
Dia terlihat benar-benar senang.
Dan jawabannya segera menyusul.
Sambil memeluk lututnya dan menatapku, Rui-san tersenyum lembut.
Dengan suara indah bak langit malam musim dingin, seolah tengah membisikkan rahasia dunia, ia berkata pelan:
"Aku juga… sangat suka adegan itu."
Ketika kami menyelesaikan tiga film dari pagi hingga sore, hujan pun reda.
Seolah-olah lampu menyala kembali di bioskop setelah film berakhir. Langit di luar jendela kini memerah.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.
Pasti semua kegiatan sekolah sudah berakhir, dan anak-anak telah pulang ke rumah masing-masing.
Tentu saja, setelah menonton tiga film berturut-turut, tubuh terasa lelah.
Dan perut pun mulai lapar.
Mungkin Rui-san juga merasa hal yang sama.
"Karena hujannya sudah reda, bagaimana kalau kita makan di luar?"
"Tentu, ayo."
Aku menyetujui ajakan Rui-san dan kami pun bersiap pergi makan malam.
Kami hanya membawa dompet dan ponsel, lalu meninggalkan kamar.
Begitu membuka pintu dan melangkah ke koridor…
Rui-san keluar lebih dulu, aku mengikutinya dari belakang.
Saat hendak melangkah, aku menabrak punggungnya.
Rui-san tiba-tiba berhenti.
Dia menatap lurus ke depan. Wajahnya tampak terkejut, juga sedikit bingung.
"…Rui-san?"
"Sepertinya, ada tamu untukmu, Yuito-kun."
Dengan rasa curiga, aku melangkah keluar ke koridor dan mengikuti arah pandang Rui-san.
Seseorang berdiri di depan pintu kamarku.
Rambut pendek, tubuh mungil. Mengenakan jaket cokelat terang dan celana panjang.
Sosok yang biasa kulihat di ruang kelas setiap hari.
Tapi belum pernah sekali pun kulihat di luar sekolah.
"Enoki-kun?"
Orang itu adalah—Koharu-sensei.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
Post a Comment