NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Omoi Tabako o Sutteru Fukenkou-Souna Toshiue Bijin to Dorodoro no Kankei Ni Natte ita Hanashi [LN] Bahasa Indonesia Vol 1 Epilogue

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Epilogue

Saat Fajar Terbit

Bel berbunyi menandakan berakhirnya pelajaran keempat.

Begitu guru meninggalkan kelas, suasana di dalam ruangan langsung menjadi riuh.

Waktu istirahat siang. Saat teman-teman sekelas mulai membentuk kelompok, aku meninggalkan kelas sendirian.

Aku mampir ke koperasi sekolah, membeli roti yakisoba, lalu menuju tempat biasa.

Di belakang gedung khusus, Koharu-sensei sudah ada di sana. Begitu melihatku, wajahnya langsung cerah.

"Oh, kamu datang juga. Hari ini aku yang lebih duluan, ya."

"Tadi pelajaran keempat pelajaran klasik soalnya."

Guru Ibara yang mengajar klasik memang sangat ketat soal jam masuk, tapi pelajaran sering lewat dari waktu yang seharusnya. Para murid banyak yang mengeluh karenanya.

"Hari ini bukan roti koppe ya," komentarku.

Di tangan Koharu-sensei yang sedang berjongkok, terlihat roti yakisoba yang masih terbungkus.

"Waktu itu aku lihat Enoki-kun makan ini, kelihatannya enak. Jadi penasaran seperti apa rasanya, dan akhirnya coba beli."

Lalu matanya tertuju pada tanganku.

"Kamu sendiri juga yakisoba lagi. Ternyata kamu memang suka, ya."

"...Mungkin."

Entah kenapa hari ini aku bisa mengakuinya dengan jujur.

Aku duduk di sebelah Koharu-sensei dan membuka bungkus roti yakisoba dengan hati-hati.

"Belakangan ini, ada hal bagus yang terjadi ya?"

"Kenapa begitu?"

"Soalnya wajahmu seperti baru lepas dari kutukan."

Koharu-sensei berkata begitu.

"Lagipula, akhir-akhir ini kamu sudah nggak bolos sekolah lagi. Pasti ada sesuatu yang terjadi tanpa aku tahu."

"……"

Memang, belakangan ini aku selalu datang ke sekolah setiap hari.

Itu terjadi setelah malam aku bersama Rui-san berakhir. Tapi apa yang terjadi malam itu, tidak akan aku ceritakan pada siapa pun.

"Padahal kamu dulu sering bolos, jadi kupikir kamu bakal kesulitan ngikutin pelajaran. Tapi kemarin waktu kuis kecil, kamu nggak ada masalah sama sekali."

"Asal baca buku pelajaran dan belajar sendiri, masih bisa mengimbangilah."

"Wah, kamu ini nggak imut ya. Padahal aku sudah siapin pelajaran tambahan mata pelajaran utama sepulang sekolah kalau-kalau kamu merengek minta bantuan."

"Sensei bukan tipe yang males kalau disuruh ngelakuin hal-hal ribet ya."

Waktu disuruh jadi pembina klub, dia pernah ngeluh habis-habisan. Kukira dia bakal menolak kalau disuruh kerja tambahan.

"Aku cuma nggak suka disuruh ngelakuin hal yang nggak aku mau. Tapi kalau murid kesayangan lagi kesusahan, tentu aku ingin bantu dong."

Dia mengatakan itu tanpa ragu sedikit pun.

Mendengar ketulusan dan kebaikannya yang lurus seperti itu, tanpa sadar aku pun membuka mulut.

"…Umm, Koharu-sensei."

"Hmm?"

"Makasih. Dan… maaf sudah bikin khawatir."

Koharu-sensei sempat melongo, lalu mungkin karena malu, dia berkata,

"Yaa udah lah ya, nggak usah dibesar-besarin."

Dengan nada dibuat-buat dan tertawa kecil.

Aku juga merasa agak malu, jadi aku cepat-cepat mengganti topik.

"Ngomong-ngomong—"

"Apa?"

"Kemarin aku lewat depan warung ramen dekat sekolah. Ada orang yang lagi ngerokok di asbak depan toko. Orang itu mirip banget sama sensei."

Orang itu tampak lusuh dan berkesan malas, sedang merokok di tempat merokok depan warung ramen.

"Oh iya, itu memang aku kok."

Dia mengakuinya tanpa ragu.

"Koharu-sensei ngerokok ya."

"Ngerokok dong. Udah terbiasa."

"Baru tahu aku."

"Yah soalnya nggak boleh ngerokok di sekolah kan. Kaget?"

"Yah, sedikit."

Karena wajah sensei yang imut seperti anak-anak, aku sempat berpikir dia bukan tipe yang merokok.

Kalau dipikir-pikir sekarang, itu cuma penilaian sepihak dariku.

"Mungkin, ya, itu juga maksudku."

"Eh?"

"Kamu pernah bilang kalau kamu benci banyak orang, tapi kalau benar-benar mengenal mereka, mungkin kamu akan melihat sisi-sisi yang tidak kamu tahu sebelumnya. Sama seperti kamu baru tahu aku merokok."

"Maksudnya, itu artinya apa?"

"Bahwa untuk menyerah pada dunia ini, kamu masih terlalu muda, Enoki-kun."

Koharu-sensei berkata begitu dengan nada ringan.

"Roti yakisoba ini enak juga, ya. Kayaknya aku bakal pindah dari roti koppe ke ini deh," ujarnya sambil tertawa seperti bercanda.

Aku juga tertawa sambil bilang.

"Roti koppe-nya bakal sedih tuh."

Sambil berpikir, aku ingin datang lagi ke tempat ini saat jam istirahat siang besok.

Sore hari itu, aku juga ada jadwal shift kerja paruh waktu.

Sama jadwalnya dengan si pemabuk itu.

Dulu, pasti aku sudah merasa malas dan tertekan. Tapi sekarang berbeda.

Kondisinya memang tidak berubah.

Aku masih tetap dijauhi di tempat kerja, dan masih tetap direndahkan oleh si pemabuk. Kadang dia juga menyindirku dengan kata-kata menyebalkan.

Meski begitu, perasaanku tak lagi sama seperti sebelumnya.

Setelah shift kerja selesai. Saat aku sedang ganti baju di ruang belakang, si pemabuk memanggilku.

"Hey, Enocchi. Kamu masih suka nongkrong sama orang itu?"

"…Orang itu?"

"Ya, maksudku Rui-san."

"Yah… kurang lebih begitu."

"Kasihan juga sih. Kamu cuma dimainin doang pasti."

Dia tertawa mengejek seolah kasihan. Mungkin dia masih belum bisa move on dari Rui-san. Atau mungkin dia terus-menerus menjatuhkannya karena merasa terancam.

"…Mungkin kamu benar."

Lalu aku berkata,

"Eh, Sakurada-san. Waktu itu, kamu pernah tanya ke aku kan, apa aku jadi benci kamu."

"…Terus kenapa?"

"Waktu itu aku jawab nggak juga, tapi maaf. Itu bohong."

Wajah si pemabuk yang tadinya terlihat santai mendadak berubah. Mungkin dia merasakan ada sesuatu yang tak beres.

Dia menatapku dengan tatapan curiga.

Kepada wajah sok-pintarnya itu, aku berkata,

"Aku benci kamu. Dari dulu. Bahkan sampai rasanya pengen bunuh kamu."

Itu adalah kata-kata yang sudah lama ingin kukatakan. Tapi selama ini tak pernah bisa keluar dari mulutku.

Sekarang akhirnya bisa kukatakan.

"……Eh?"

Mungkin dia sama sekali tak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu. Si pemabuk itu mematung, wajahnya tampak bingung dan linglung.

Begitu aku melihat ketakutan perlahan merayapi matanya, aku hampir tertawa. Bahkan sedikit saja, aku merasa geli… atau bahkan, merasa sayang.

Jadi selama ini aku dibuat murung karena orang seperti ini?

"Maaf. Hanya itu saja. Permisi, aku pulang duluan."

Setelah selesai berganti pakaian, aku menunduk ringan ke arah si pemabuk, lalu meninggalkan ruang belakang.

Saat keluar dari pintu belakang toko, hujan yang sempat turun saat aku datang sudah berhenti.

Di langit malam, bulan bersinar terang di langit yang bersih tanpa awan.

Dan di dalam dadaku, langit pun terasa cerah dan lega, seakan semua sesak telah sirna.

Malam setelah selesai kerja paruh waktu.

Saat aku keluar ke balkon untuk menghirup udara malam, aku melihat sosok Rui-san di balkon sebelah. Dia sedang mengisap rokok sambil menatap bulan.

Siluet wajahnya sangat indah. Sejak pertemuan pertama kami, tak pernah berubah.

"Selamat malam. Capek ya, kerjanya."

"Terima kasih."

Setelah menjawab begitu, aku bertanya,

"Rui-san, hari ini tidak datang ke toko, ya."

"Bulan ini dompetku lagi sekarat. Jadi, aku harus hemat dengan sisa rokok yang ada."

"Tapi kelihatannya kamu tetap banyak merokok, sih."

Di asbak dekat tangannya, ada beberapa puntung rokok. Sepertinya dia memang buruk dalam mengatur ritme.

"Bagaimana kemajuan naskahnya?"

"Lambat tapi pasti, sih."

Setelah memenangkan penghargaan, Rui-san langsung mulai menulis karya berikutnya. Katanya, kalau bisa menulis beberapa cerpen bagus, kemungkinan bisa diterbitkan dalam bentuk buku.

"Nanti kalau jadi buku, aku akan kasih cetakan pertama ke Yuito-kun."

"Aku tunggu, ya."

Dan itu bukan basa-basi. Aku memang benar-benar menantikannya.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah memutuskan?"

"Memutuskan apa?"

"Nama pena. Mau pakai nama asli atau nama samaran?"

"Aku berencana pakai nama pena, kalau pakai nama asli, bisa jadi repot ke depannya."

"Benar juga."

"Dan, aku sebenarnya sudah memutuskan nama penanya."

"Oh ya? Boleh tahu nggak?"

Rui-san menyebutkan nama pena yang akan dia gunakan.

Aku merasa familiar mendengarnya. Setelah berpikir sejenak, aku pun ingat.

Itu adalah salah satu nama samaran yang kusebut saat aku dan Rui-san bermain shiritori dengan nama-nama penulis fiksi.

"Aku pikir itu nama yang bagus, jadi kupinjam ya."

Rui-san tersenyum.

"Dengan aku memakainya, nama penulis fiksi rekaan itu akhirnya menjadi nyata. Jadi nanti kalau kamu main shiritori nama penulis lagi sama orang lain, jangan lupa pakai itu ya."

"Kayaknya nggak akan ada kesempatan sih, selain sama Rui-san."

Saat mengatakan itu, aku merasa senang. Ideku menjadi nyata. Meninggalkan jejak di dunia ini.

Aku telah meninggalkan jejak diriku di dalam diri Rui-san. Dan dia menganggapnya bukan hal buruk.

Itu membuatku sangat bahagia.

"Bagaimana dengan kabarmu, Yuito-kun?"

"Masih sama. Di sekolah dan tempat kerja aku tetap nggak bisa nyatu sama orang lain."

"Oh ya?" ucap Rui-san dengan ekspresi seolah puas.

"Tapi, belakangan ini kamu kelihatannya sudah rajin datang ke sekolah, ya."

"Rui-san suka banget kayaknya kalau aku menderita ya."

Aku tetap lanjut kerja, dan juga tetap datang ke sekolah. Mungkin aku tidak bisa menyatu, tapi setidaknya aku tidak lari.

Karena aku harus terus hidup. Karena aku harus melihat sampai akhir.

"Itu menyakitkan. Yang aku suka itu… tatapan tak puasmu, Yuito-kun."

Lalu, sambil menyandarkan pipinya di tangan, Rui-san melanjutkan dengan nada seperti bernyanyi.

"Kalau kamu tetap sendirian, aku bisa memiliki semuanya sendiri."

Dia mengucapkan hal seperti itu dengan entengnya.

Koharu-sensei pernah bilang, wanita ini akan menuntunku ke arah yang buruk.

Mungkin benar. Mungkin karena berhubungan dengan Rui-san, hidupku sedang menuju kehancuran. Mungkin semuanya akan menjadi sesuatu yang tak bisa diperbaiki lagi.

Namun…..

"Sudah lama aku ingin tanya, tapi nggak pernah kesampaian."

"Apa?"

"Kenapa Rui-san mulai merokok?"

Si pemabuk pernah berkata, kalau cewek merokok, seratus persen pasti karena pengaruh cowok.

Sebenarnya aku takut menanyakannya pada Rui-san.

Bukan karena aku tidak mau melihat bayangan pria lain dalam dirinya.

Tapi karena aku tidak ingin tahu kalau ternyata seseorang yang terlihat begitu cocok dengan rokok seperti dia, mulai merokok hanya karena alasan sepele.

Tapi sekarang, aku bisa bertanya.

"Dulu pacarku merokok," ucap Rui-san sambil menatap mataku seolah ingin melihat reaksiku… lalu tertawa pelan.

"──Itu bohong."

"Yang sebenarnya?"

"Aku cuma lagi kesal aja waktu itu."

Jawabannya disampaikan dengan senyum samar yang seolah mengejek seluruh dunia.

Itulah jawaban seratus persen yang kuinginkan.

Saki-san pernah bilang, perasaanku pada Rui-san tidak akan pernah berbalas. Tapi dia salah paham.

Aku tidak ingin berpacaran dengan Rui-san. Aku tidak peduli kalau kami tidak bersama.

Rui-san adalah cahayaku. Satu-satunya orang yang kutemukan di dunia membosankan ini, yang benar-benar berharga bagiku.

Jadi, cukup dengan dia terus ada.

Seperti bintang utara. Seperti mercusuar.

Aku hanya ingin dia tak pernah kehilangan cahayanya.

Karena kalau begitu, tak peduli seberapa menyedihkan hidupku nanti, aku masih bisa terus hidup.


Ke depannya, mungkin saja hidupku akan menuju kehancuran karena terlibat dengan Rui-san.

Aku memang pernah dengan semangat mengatakan ingin membuat "bom", tapi pada akhirnya mungkin aku tidak punya bakat, tidak dihargai, hancur berantakan, dan mati menyedihkan di jalanan.

Orang-orang yang tak tahu apa-apa mungkin akan mengasihaniku… atau menertawakanku.

Tapi aku tak peduli.

Meski aku tidak mendapat uang, tidak memperoleh status sosial, tidak mendapatkan apa pun…

Meski aku tidak meninggalkan apa pun, tidak menghasilkan apa pun…

Asal Rui-san satu-satunya yang tetap bisa tersenyum…

Kalau begitu…

Wajahku yang membusuk pun pasti akan tersenyum dengan damai.


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment


close