NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V6 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Bab 2: Penghakiman

Bagian 1

“Jujur saja, aku cukup terkejut.”

“Apa yang mengejutkanmu?”

“Kamu membiarkan Al begitu saja.”

Di dalam kereta, Leo tersenyum pahit. Melihat itu, Elna, yang ikut serta sebagai pengawal atas permintaan Leo, memasang ekspresi heran.

“Ada apa?”

“Kamu juga sama, bukan? Apa kamu yakin tidak apa-apa membiarkan Kakak begitu saja?”

“Aku tidak masalah. Lagipula aku takkan berguna meskipun tetap di sana. Lawannya adalah para bangsawan Kekaisaran. Bukan orang yang bisa diselesaikan dengan pedang.”

Pemulihan jabatan Elna sebagai kapten pasukan pengawal tengah diproses secara diam-diam. Dengan prestasinya dalam penaklukan Kura-Kura Roh, dia sebenarnya sudah bisa kembali menjabat kapan saja. Tapi karena masih ada persiapan upacara, penunjukan resminya ditunda. Berkat itulah Elna bisa meninggalkan ibu kota.

Sebagian orang juga khawatir bahwa jika dia tetap tinggal di ibu kota, tidak ada yang tahu tindakan apa yang akan dia ambil.

“Kalau begitu, aku juga sama. Meskipun aku bertindak dengan caraku sendiri, kemungkinan besar masalah tidak akan terselesaikan. Karena itu, kupikir lebih baik menyerahkan semuanya pada Kakak.”

“Kamu benar-benar menaruh kepercayaan besar pada Al, ya? Apa kamu tidak khawatir kalau dia akan mengalami hal buruk?”

“Persaingan akan takhta melibatkan banyak bangsawan. Tapi, yang sekarang ribut soal Kakak justru mereka yang dilarang ikut campur oleh orang-orang sekitarnya. Mereka bukan lawan yang pantas untuk Kakak.”

“Yah, aku setuju dengan pandangan itu. Kumpulan kelas teri, sekalipun dikumpulkan, kemampuan mereka tetap setengah matang. Aku bahkan bisa pastikan, nanti yang akan mendapat masalah justru para bangsawan itu. Al itu orang yang kejam kalau sudah menyangkut keluarga. Ingat waktu dulu Gai dikeroyok oleh anak baron dan teman-temannya?”

Elna menatap keluar jendela kereta sambil mengenang kejadian itu.

Leo mengangguk dalam dan tersenyum kecil dengan nostalgia.

“Kita langsung bergegas ke rumahnya sambil membawa pedang, ya.”

“Iya. Kupikir kita akan menghajarnya habis-habisan, tapi saat kita tiba, rumahnya sudah dipenuhi kesatria dan tentara. Korupsi uang negara, perdagangan budak, pencurian harta istana, semua kejahatannya terungkap sekaligus. Si baron dan anaknya dijatuhi hukuman langsung oleh Yang Mulia Kaisar. Pasti itu ulahnya Al, bukan?”

“Aku juga pikir begitu. Kalau ada Sebas, hal seperti itu pasti bisa dilakukan.”

“Memang Sebas yang bergerak, tapi tanpa perintah Al, dia tidak akan bertindak. Jadi, bisa dipastikan Al yang menyusun rencana itu.”

Itu semua terjadi saat mereka masih kecil.

Namun, berbeda dengan Leo dan Elna yang hanya punya kekuatan fisik, Al sudah memiliki kekuatan lain sejak saat itu.

Tak mungkin Al bisa dikalahkan oleh para bangsawan. Dia pasti akan membalas dengan cara yang tidak terpikirkan oleh Leo maupun Elna. Itulah kesimpulan yang mereka capai bersama.

“Tapi tetap saja mengejutkan... Kamu ingin menjadikan Wyn sebagai penasihat. Padahal dia sudah menghilang selama tiga tahun. Kamu punya petunjuk?”

“Tidak.”

“Haa... Jadi, kamu mengajakku dalam perjalanan tanpa arah...”

“Jangan bilang seperti itu. Aku tak punya bukti, tapi kalau itu memang dia, kurasa dia kembali ke kampung halamannya.”

“Itu tidak mungkin. Dia benci desa asalnya karena terlalu terpencil, bukan?”

“Itulah kenapa aku pikir dia ada di sana. Karena sifatnya memang seperti itu.”

Leo berbicara dengan nada yang menikmati pembicaraan itu.

Melihat Leo seperti itu, Elna menghela napas sekali lagi. Namun, jika mengingat sifat orang yang mereka cari, kemungkinan itu tidak bisa dikesampingkan.

“Yah, soal Wyn, aku serahkan padamu saja. Kalian teman masa kecil, kan?”

“Daripada teman masa kecil, rasanya lebih tepat dibilang dia itu tipe kakak yang berbeda dari Kakakku.”

Sambil berkata begitu, Leo melayangkan pikirannya kepada sosok bernama Wyn.

* * *

Desa itu terletak di ujung wilayah tengah Kekaisaran.

Letaknya pun menyimpang dari jalur utama, sehingga desa yang jauh dari hiruk-pikuk itu terasa sangat tidak cocok bagi keberadaan dua orang itu.

“Dia sungguh ada di sini?”

“Siapa tahu,” jawab Leo sambil tetap melangkah menuju rumah keluarga Wyn tanpa ragu.

Begitu dia memastikan rumah tua yang tampak lapuk itu memang milik keluarga Wyn, Leo langsung mengetuk pintu tanpa keraguan.

“Permisi. Apa ada orang di rumah?”

“Hei, Leo...”

“Siapa di sana?”

Elna mencoba menghentikan Leo yang masuk begitu saja tanpa izin, namun suara dari dalam rumah terdengar lebih dulu.

Itu adalah suara serak seorang lelaki tua.

Saat mereka melihat ke dalam, tampak seorang kakek kecil bertubuh mungil duduk di kursi malas. Rambutnya putih panjang, begitu pula janggutnya. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi mengingat dia berada di rumah ini, besar kemungkinan dia kerabat Wyn.

“Mohon maaf. Nama saya Leonard Lakes Ardler. Saya datang mencari Wynfried.”

“Yang Mulia Pangeran rupanya... Sayangnya, cucu saya belum kembali...”

“Kakeknya Wyn...”

Melihat kakek tua yang tampak kesepian itu, Elna menunjukkan raut wajah simpati yang dalam.

Wynfried adalah laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari Leo dan Al.

Bakatnya pernah diakui oleh Putra Mahkota, dan meski berasal dari kalangan rakyat biasa, dia sempat belajar di istana. Jika Elna lebih sering bermain di luar dan dekat dengan Al, maka Wyn, yang belajar bersama di dalam istana, bisa dibilang teman masa kecil Leo.

Enam tahun yang lalu, saat berusia lima belas tahun, Wyn memulai perjalanan keliling negeri asing untuk memperluas wawasannya. Dia bermimpi di suatu hari akan menjadi kanselir di bawah naungan Putra Mahkota.

Namun, mimpi itu sirna. Tiga tahun lalu, saat Putra Mahkota wafat, Wyn kehilangan tujuan hidupnya dan memutus hubungan dengan semua orang, lalu menghilang tanpa jejak.

Leo sudah berulang kali mencarinya, tapi semua usahanya sia-sia. Tak satu pun petunjuk berhasil dia dapatkan. Sudah banyak kesatria yang mengunjungi tempat ini. Dan tetap saja, tak ada hasil.

“Oh... Apakah Anda tahu kira-kira ke mana dia pergi?”

“Maafkan saya... Kami pun telah mencarinya berulang kali...”

“Leo, jangan paksa dia...”

Elna mencoba menenangkan Leo, tapi Leo hanya menggeleng dan tersenyum.

Senyum di saat seperti ini mungkin tampak tak pantas, namun Leo bukan orang yang akan tersenyum tanpa alasan.

Ketika Elna masih bingung, Leo perlahan mendekati si kakek. Dan kemudian.

“Kamu masih tetap pendek, ya, Wyn.”

“...!!”

“Leo...!!”

Leo mencabut pedangnya dari pinggang dan mengayunkannya ke arah si kakek.

Secara refleks, si kakek melompat dari kursi malas dan berhasil menghindari pedang itu. Namun, sebagai gantinya, rambut putih panjangnya tertinggal di tangan Leo.

Tidak, lebih tepatnya, “wig putih panjang” milik kakek itu kini berada di tangan Leo.

“Halo... Lama tak bertemu, Wyn.”

“...Bagaimana kamu bisa tahu?”

Wyn yang kehilangan wignya tak lagi mencoba mengelak. Dia melepaskan janggut palsunya, lalu menonaktifkan alat sihir pengubah suara, menunjukkan wujud aslinya di hadapan Leo.

Rambut pirang gelap dan mata dengan warna yang sama. Tubuhnya mungil, sekilas seperti anak-anak, tapi sorot matanya terlalu tajam untuk disebut anak-anak.

Tatapan mata tajam dari mata putih tiga bagian miliknya saja sudah cukup untuk membuat orang lain mundur. Ditambah dengan paras rupawan, dia memberi kesan seperti belati yang tajam dan menusuk.

Nama pria itu adalah Wynfried Trales. Putra Mahkota pernah mengakui bakatnya, dan memperlakukannya seperti adik sendiri. Dia adalah teman masa kecil Leo.

“Pertama, karena sudah dicari ke mana-mana tapi tak ditemukan, aku menduga kamu justru bersembunyi di tempat yang bisa dilihat. Kami saja yang tak menyadarinya. Kedua, rumah ini terlalu bersih. Itu ciri khasmu. Tapi kalau seorang kakek bisa menjaga rumah setelaten ini, rasanya tak mungkin. Tidak tampak pula kalian punya cukup uang untuk menyewa pembantu.”

“Hanya karena itu kamu mengarahkan pedang ke seorang kakek? Kamu berubah ya, jadi lebih kasar sejak terakhir bertemu.”

“Kalau kamu tak bisa menghindar, aku pasti menghentikannya. Dan aku juga yakin. Kamu pasti cukup gila untuk menyamar sebagai kakekmu sendiri.”

“Tch...”

Wyn mengklik lidah, lalu melemparkan janggut palsunya ke atas meja dan duduk sembarangan di kursi malas.

Sikap dan ucapannya kepada pangeran memang kurang ajar, tapi dia memang begitu dari dulu. Sebenarnya dulu dia sempat menggunakan bahasa sopan, tapi Leo sendiri yang memintanya untuk tidak perlu begitu.

Sejak itu, Wyn tidak pernah memakai bahasa formal terhadap Leo, dan tidak menunjukkan etika khusus. Putra Mahkota juga pernah memintanya memperlakukan Leo seperti adik sendiri.

“Jadi, untuk apa kamu repot-repot datang?”

“Kamu tak bisa menerkanya?”

“Hmph, soal ingin menjadikanku penasihat? Lupakan saja. Aku tak sehebat yang kamu kira.”

“Kalau kamu dibilang tidak berbakat, maka orang-orang lain di dunia ini juga tidak berbakat.”

“Aku memang bukan tidak berbakat, tapi juga tidak jenius. Di antara para ahli siasat, aku hanyalah orang biasa. Kalau kamu mau, pasti kamu bisa menemukan penasihat yang lebih hebat dariku di mana-mana. Jadi, pulanglah.”

Wyn menatap tajam ke arah Leo.

Namun Leo tak menunjukkan sedikit pun rasa gentar, dan malah mengulurkan tangannya pada Wyn.

“Justru karena kamu bisa bicara seperti itu, aku membutuhkannya. Bakat itu urusan belakangan. Yang kubutuhkan adalah penasihat sepertimu.”

“Kamu memaksakan keinginanmu sepihak, ya? Aku tak melihat satu pun alasan kenapa aku harus menjadi penasihatmu.”

Sambil berkata begitu, Wyn menepis tangan Leo dengan ringan. Melihat itu, Elna mengerutkan kening dan melangkah maju.

“Kamu tetap seperti dulu ya, Wyn.”

“Kamu juga tampaknya tak berubah, Elna.”

“Orang tak mudah berubah. Termasuk tinggi badanmu itu.”

Elna menyindir tajam dengan menyebut tinggi badan Wyn. Tinggi badan yang tak pernah bertambah itu adalah kompleks besar baginya, dan jika ada yang menyentuhnya, dia pasti marah.

Namun...

“Benar juga. Dadamu juga tidak berkembang, kan? Sama-sama menyedihkannya kita.”

“Kamu...!”

“Kalau kamu menyerang ciri fisik orang lain, jangan kaget kalau kamu juga diserang, dasar si papan datar.”

“Dasar kamu!!”

“Elna. Kamu takkan menang kalau adu kata dengan Wyn.”

Leo menengahi dengan lembut sambil tersenyum, lalu mundur dari pertikaian itu.

“Karena ini mendadak, kami pulang dulu. Tapi besok aku akan datang lagi, dan saat itu kita bicara.”

“Datang berkali-kali pun hasilnya sama. Aku takkan jadi penasihatmu.”

“Sampai kamu berubah pikiran, aku akan terus datang.”

Mengatakan itu, Leo pun pergi meninggalkan tempat itu bersama Elna.

Sementara Wyn, yang ditinggalkan sendirian, menatap punggung Leo yang menjauh sambil mengeklik lidah pelan.

“Tch... Tetap saja membujuk. Dasar naif, kamu tak pernah berubah.”

Memaksa, atau menggunakan kekerasan agar patuh, karena tidak mengambil jalan itu, Leo tampak lemah.

Meskipun itu juga menunjukkan kebaikan hatinya, namun di tengah perebutan takhta, kelembutan seperti itu lebih tampak sebagai kelemahan.

Sambil menganalisis hal itu tanpa sadar, Wyn pun menghela napas dengan ekspresi tak nyaman dan mulai membersihkan ruangan dengan kesal.


Bagian 2

“Masih seperti biasa! Menyebalkan, tidak tahu sopan santun, dan selalu menyerang hal-hal yang paling sensitif bagi orang lain!”

“Itu karena kamu yang duluan nyenggol soal tinggi badannya, kan?”

“Tidak mungkin kata-kata seperti ‘dada rata’ keluar begitu saja tanpa rencana! Begitu dia melihatku lagi setelah sekian lama, pasti itu kesan pertama yang langsung terlintas di kepalanya!!”

Elna berkata begitu sambil wajahnya memerah.

Melihat Elna seperti itu, Leo memilih untuk diam, berpikir bahwa diam lebih baik daripada mendekati api. Kalau itu Al, dia pasti akan menambahi dengan komentar tidak perlu seperti “memang tubuhmu begitu”, dan membuat Elna semakin naik pitam. Namun, sebagai pria yang bersikap sopan terhadap wanita, Leo tidak akan mengucapkan hal semacam itu.

Tapi karena sikap diamnya itu pula, amarah Elna jadi berkepanjangan. Jika tidak ada sasaran untuk dilampiaskan, amarah pun tak kunjung reda. Leo menduga, mungkin alasan Al sengaja melontarkan komentar tidak berguna adalah agar amarah seperti ini bisa segera disalurkan dan reda.

Dan justru karena dia bisa memikirkan hal seperti itu, Leo merasa bahwa dia harus bisa membujuk Wyn untuk ikut bergabung, apa pun yang terjadi.

“Ingat baik-baik, Wyn! Kalau kamu kembali ke ibu kota, aku takkan beri ampun!”

“Lalu kalau ternyata dia benar-benar tak datang, bagaimana?”

“Tanpa dia pun kamu akan baik-baik saja, Leo!”

“Semoga saja... Tapi sayangnya, aku ini jauh dari kata serba bisa. Tenagaku kurang, dan pemikiranku pun belum matang. Aku selalu ingin menepati apa yang sudah kuputuskan. Tapi caraku dalam melakukannya itu sering kali menyusahkan orang-orang di sekitarku. Dia pasti bisa membantuku mewujudkan apa yang kuinginkan, sambil tetap menjaga agar caranya aman. Meski dia akan banyak mengeluh.”

“Itu sudah pasti. Dia pasti akan menyemprotmu dengan sindiran bertubi-tubi, benar bukan?”

“Tak apa. Kalau aku sungguh-sungguh ingin menjadi kaisar... Maka aku butuh seseorang seperti kanselir bagi ayahku. Dan itu hanya bisa Wyn.”

Dengan kata-kata itu, Leo mengukuhkan tekadnya.

Dia mencari seseorang yang bisa mengendalikan dirinya. Dan bagi Leo, Wyn adalah satu-satunya orang yang mampu melakukan itu.

* * *

“Selamat pagi, Wyn.”

Pagi keesokan harinya, Leo datang ke rumah Wyn dengan senyum di wajahnya.

Wyn yang sedang membaca buku memandangnya dengan ekspresi kesal.

“Jangan ganggu aku membaca. Pulanglah.”

“Aku tidak akan mengganggumu.”

“Keberadaanmu saja sudah mengganggu. Jangan sampai masuk ke dalam pandangan mataku.”

“Kalau begitu, aku akan menunggu di luar sampai kamu selesai.”

“...”

Leo pun keluar rumah dengan senyuman.

Lalu dia mulai berbaur dengan penduduk desa. Membantu seorang nyonya membawa barang, ikut serta dalam pekerjaan ladang, semua itu bukanlah perilaku yang lazim bagi seorang pangeran. Melihatnya, Wyn mengklik lidahnya.

Itu adalah kelebihan. Tidak diragukan lagi sebuah kelebihan. Putra mahkota dulu pun begitu.

“...”

“Menurutku, Leo adalah tuan yang baik.”

“Tch... Jangan masuk ke rumah orang seenaknya.”

“Aku sudah mengetuk dan memanggil, lho?”

“Aku tak mendengarnya.”

“Mungkin pendengaranmu jadi buruk karena terlalu sering berpura-pura jadi kakek-kakek.”

Sambil berkata begitu, Elna melihat buku-buku di sekitar Wyn.

Buku-buku tentang politik dan militer. Bukan bacaan ringan, melainkan jelas untuk belajar. Itu adalah buku-buku yang dia baca.

“Kamu belum menyerah pada jalan menjadi penasihat militer, rupanya.”

“...Ini satu-satunya hal yang kumiliki.”

“Kalau begitu, bukannya undangan Leo adalah kesempatan yang sangat baik? Perebutan takhta di Kekaisaran yang kuat. Bagi seorang penasihat militer, bukannya itu panggung impian? Setelahnya, kamu pun akan dijanjikan posisi sebagai tangan kanan kaisar.”

“Aku tidak bilang aku tak punya ambisi. Memang ada keinginan untuk meninggalkan namaku dalam sejarah Kekaisaran. Menyingkirkan pesaing dan mengangkat tuanku ke atas takhta itu pasti perasaan yang luar biasa... Tapi, aku tidak punya kemampuan untuk itu.”

Ekspresi Wyn tampak sedikit suram.

Melihat itu, Elna terlihat agak terkejut.

“Aneh juga kamu bisa kehilangan kepercayaan diri.”

“Aku memang tak pernah memilikinya. Aku selalu menganggap diriku orang rata-rata. Tapi kalau tuanku adalah Putra Mahkota, itu tidak masalah. Dia dikelilingi oleh banyak bawahannya yang cakap, dan dirinya pun luar biasa. Yang dia butuhkan hanyalah bawahan yang bisa melakukan hal-hal wajar setiap saat. Dan aku berusaha menjadi itu.”

“Kalau begitu, mengapa tidak menjadi itu bagi Leo juga?”

“Leo berbeda dari Putra Mahkota. Dia memang berbakat, tapi masih memiliki banyak kekurangan. Dan jika aku menjadi penasihat militernya, aku akan menjadi yang utama. Tuntutan yang akan diajukan padaku melebihi kapasitasku.”

“Jadi kamu menolak jadi penasihatnya karena takut mengecewakannya? Padahal dia datang padamu, dan percaya padamu. Bukannya Putra Mahkota pernah memintamu menganggap Leo sebagai adikmu sendiri...?”

“Itu cerita lama... Saat aku berkeliling negara-negara asing, aku sadar satu hal. Semua penasihat militer adalah monster. Dibanding mereka, aku bahkan bukan rata-rata, aku cuma kelas teri. Kalau aku yang menjadi penasihat, Leo pasti akan kalah. Itu akan membuatku tak bisa menghadapi Putra Mahkota...”

Setelah Putra Mahkota meninggal, para bawahannya menempuh jalan masing-masing. Tapi hanya sedikit yang memilih bergabung dengan pangeran lain. Banyak dari mereka, setelah kehilangan sosok ideal, lebih memilih pensiun. Hal yang sama berlaku bagi Wyn.

Dia bermimpi mengabdi pada Putra Mahkota dan hidup di dalam sistem yang dia bangun. Saat semua itu runtuh, dia tak bisa membayangkan kelanjutan hidupnya.

“Jadi karena kamu menganggapnya sebagai adik, kamu tak bisa membantunya. Karena kamu pikir kamu akan membuatnya kalah.”

“Kalau saja Leo punya satu penasihat lagi yang berbakat, itu cerita lain. Seseorang dengan pemikiran out of the box. Jika ada dia, aku bisa menjalankan strategi konservatif. Tapi jika hanya aku, takkan cukup. Berjalan sesuai teori saja akan membuat kami kalah. Kekuatanku hanya berarti jika dalam kondisi di mana kemenangan sudah di depan mata. Menang tanpa paksaan, tanpa korban sia-sia. Itu gayaku.”

“Kalau begitu, tenang saja. Di sisi Leo sudah ada penasihat seperti itu.”

“Apa?”

Wyn menatap dengan ekspresi curiga.

Elna menjawab dengan senyum.

“Al bisa memberikan pemikiran yang tidak biasa. Kalau butuh strategi unik, kamu bisa mengandalkannya.”

“Al itu penasihat militer?”

Bagi Wyn, Al hanyalah pangeran yang suka kabur dari pelajaran.

Kadang-kadang menunjukkan kecakapan khas seorang kakak Leo, tapi tidak sampai layak disebut penasihat hebat seperti yang Elna katakan.

“Huh, konyol. Reputasi buruknya sampai ke desa ini, kamu tahu itu?”

“Jangan nilai dari reputasi orang. Kenapa tidak lihat saja dengan matamu sendiri?”

“Aku sudah lama melihatnya. Tak terlihat sehebat itu.”

“Ya, jelas kamu memang kelas teri. Kamu bahkan tak bisa melihat kualitas seseorang.”

“Apa katamu?”

Meski Wyn sendiri menyebut dirinya kelas teri, tapi mendengarnya langsung dari Elna membuatnya tak bisa diam.

Dia menatap Elna dengan pandangan yang bisa membuat wanita biasa menangis. Tapi Elna tetap tersenyum.

“Kebetulan pas. Saat ini Al sedang berselisih dengan para bangsawan di ibu kota. Bagaimana kalau kamu lihat dulu hasilnya? Kalau Al memang sehebat yang kukatakan, maka kamu jadi penasihatnya Leo. Tapi kalau dia mengecewakan, kamu bisa kembali hidup tenang di sini. Setuju, kan?”

“Nasibku ditentukan oleh hasil kerja Al? Itu pertaruhan yang gila. Dia selalu lari dari hal-hal yang merepotkan.”

“Al tidak akan lari saat harus melindungi seseorang. Aku jamin itu.”

“...Jaminan dari calon kepala keluarga Pahlawan, ya?”

“Betul. Jadi bagaimana? Tidak buruk, kan?”

Melihat Wyn masih ragu, Elna hanya bisa tersenyum pahit.

Keraguan itu justru bukti bahwa dia memikirkan Leo seserius itu.

Wyn secara rasional menilai dirinya sendiri dan menyadari bahwa jika memimpin sebuah faksi, dia bisa tertinggal dari yang lain. Elna menghargai sikapnya yang tenang itu dan faktanya Wyn tidak meninggikan dirinya sendiri.

Sebagai penyeimbang Leo yang idealis, Wyn adalah penasihat militer yang sempurna.

Tinggal masalah menerima atau tidak.

Setelah Elna pergi, Leo masuk menggantikannya.

“Setelah bicara dengan Elna, kamu berubah pikiran?”

“Kenapa kamu serahkan bujukannya ke Elna?”

“Karena kamu takkan mendengarkanku. Tapi aku kira mungkin kamu mau mendengarkannya.”

“Itu sebabnya kau membawanya?”

“Bukan. Itu hanya ide mendadak. Dia ikut sebagai pengawal saja. Kalau aku bawa rombongan, bisa-bisa mengganggu warga desa.”

Leo lalu tersenyum dan memandangi jendela.

Orang-orang yang menuju ladang, berburu di hutan, para ibu yang sedang merajut, dan anak-anak yang bermain.

Pemandangan yang damai terhampar di sana.

“Desa yang bagus.”

“Cuma desa pedalaman biasa.”

“Itu hal yang baik. Andai desa seperti ini memang tersebar di mana-mana. Tapi kenyataannya masih kurang. Aku tahu aku tak mungkin menyelamatkan semua orang. Tapi aku ingin mengurangi jumlah orang yang menangis karena duka. Aku tak ingin berhenti berusaha. Aku... Aku akan meneruskan jejak Putra Mahkota Wilhelm. Untuk itu, Wyn, aku butuh bantuanmu. Kumohon.”

Leo mengulurkan tangan ke arah Wyn.

Dulu, sang Putra Mahkota juga pernah mengulurkan tangan seperti itu padanya. Mengingat kembali momen itu, Wyn memejamkan mata sejenak.

“...Aku akan ikut ke ibu kota. Tapi soal jadi penasihatmu atau tidak, itu tergantung Al.”

“Tergantung kakakku?”

“Aku ingin tahu apakah dia bisa menutupi kelemahanku atau tidak.”

“Begitu, ya... Kalau begitu, selamat datang di pihakku.”

“Kamu ini... Dengar tidak ucapanku tadi?”

“Aku mendengarnya. Tapi kalau itu tergantung kakakku, artinya jawabannya sudah jelas. Kakakku yang hebat pasti memenuhi ekspektasimu.”

Leo mengatakan itu tanpa sedikit pun ragu.

Karena mereka saudara kembar, mungkin itu wajar. Tapi Wyn merasakan ada sesuatu yang lebih dari itu. Bukan hanya ikatan darah, tapi hubungan kepercayaan yang lebih dalam, seperti teman seperjuangan di medan perang.

Melihat sekilas hubungan itu, Wyn tersenyum menyeringai, seolah menemukan sesuatu yang menarik.

“Baiklah. Kalau kamu sebegitu percaya dirinya, mari kita lihat kemampuan Al sebenarnya.”

Begitu katanya, Wyn pun menggenggam tangan Leo.


Bagian 3

Sudah sekitar satu minggu sejak Persekutuan Camar Putih dibentuk.

Di pagi hari yang sepi itu, aku berdiri di depan kamar Ayahanda.

“Yang Mulia Pangeran, Yang Mulia Kaisar masih beristirahat,” kata kesatria penjaga, menegaskan bahwa aku tidak bisa menemuinya karena beliau masih tidur. Tapi terus terang, aku tidak peduli.

“Ada urusan mendesak. Biarkan aku masuk.”

“Maaf, saya tidak bisa mengizinkannya.”

“Aku terjebak dalam masalah karena Ayahanda. Bangun sedikit lebih pagi tidak akan mendatangkan kutukan, bukan?”

Dengan kata-kata itu, aku menepis larangan kesatria tersebut dan membuka pintu kamar.

Di dalam, Ayahanda sudah duduk tegak di tempat tidurnya.

“Maafkan saya, Yang Mulia.”

“Tak apa, kamu boleh pergi. Mari kita dengar apa yang dibawa Arnold.”

Dengan ucapannya, Ayahanda menyuruh kesatria itu mundur, lalu menatapku sambil menghela napas.

“Kadang-kadang kamu tampak lupa bahwa aku ini Kaisar, bukan?”

“Maafkan kelancanganku. Tapi aku datang karena ada hal mendesak.”

“Hari ini kamu tampak sangat sopan, ya?”

Ayahanda terlihat sedikit bingung karena aku menundukkan kepala dengan patuh.

Biasanya aku akan membalas kata-katanya dengan candaan atau sikap santai.

Meski sebenarnya itu pun tak jadi soal, tapi kali ini lebih baik bersikap sopan. Lebih aman untuk berjaga-jaga kalau sesuatu terjadi.

“Aku tak bisa bersikap sok saat mengganggu tidur Yang Mulia Kaisar.”

“Begitu ya. Lalu, apa urusanmu?”

“Aku datang untuk meminta izin melakukan inspeksi di ibu kota.”

“Inspeksi? Biasanya kamu pergi sesuka hati, bukan?”

“Aku ingin izin resmi dari Yang Mulia Kaisar.”

Mendengar maksud ucapanku, Ayahanda menghela napas dan melemparkan salah satu cincin yang ada di samping tempat tidurnya.

Di atas cincin itu terukir gambar elang emas, salah satu lambang Kekaisaran. Memiliki benda itu berarti mendapat pengakuan langsung dari Kaisar.

“Lakukan sesukamu.”

“Terima kasih, Yang Mulia.”

“Yang Mulia, ya... Hari ini kamu benar-benar sopan.”

“Itu karena aku akan segera kembali ke sikap tidak sopanku...”

Sambil berkata begitu, aku menunduk sekali lagi dan meninggalkan kamar Ayahanda. Dalam perjalanan kembali, Sebas muncul dari belakangku.

“Ada yang mengawasi?”

“Tidak ada.”

“Benar-benar bodoh.”

“Kalau mereka cukup waspada sampai memasang pengintai, mereka juga takkan berani menantang keluarga kekaisaran sejak awal.”

“Itu juga benar. Baiklah... Kali ini kita habisi sampai tuntas.”

“Baik, saya mengerti.”

Apa artinya menantang keluarga kekaisaran?

Akan kuberi tahu pada orang-orang yang tak cukup punya otak untuk memikirkannya sendiri.

* * *

“Tuan Al. Hari ini hendak ke mana?”

“Banyak tujuanku. Aku akan keliling memeriksa keadaan ibu kota. Karena Leo tidak ada, aku menggantikan posisinya.”

Aku menjelaskan kepada Fine sambil berada di dalam kereta kuda.

Di mata umum, aku sedang melakukan inspeksi pengganti Leo. Informasi ini sudah sampai ke Persekutuan Camar Putih. Bahkan aku sengaja menyebar berita ini berhari-hari sebelumnya.

Mereka akan mencoba menggangguku. Untuk mendekati Fine, mereka harus menyingkirkan aku terlebih dahulu. Organisasi itu dibentuk agar mereka bisa melakukan hal itu.

Mereka tidak akan menerima siapa pun yang dianggap tidak layak berada di samping Fine. Mungkin terdengar berlebihan, tapi seperti itulah cara pikir mereka. Tidak ada ruang bagi kehendak atau perasaan Fine.

Betapa konyolnya semua ini. Dan untuk tindakan konyol, mereka pantas menerima balasan yang konyol pula.

“Apa kita sudah sampai?”

Aku memastikan ketika kereta berhenti, lalu turun.

Target pertamaku adalah penginapan mewah yang cukup dikenal. Saat berjalan bersama Fine dan hendak masuk, pemilik penginapan muncul sambil menyeringai tipis.

“Yang Mulia Pangeran, ada keperluan apa?”

“Aku sedang melakukan inspeksi. Bagaimana situasi di sini?”

“Cukup biasa adanya.”

“Hmm. Boleh aku melihat bagian dalamnya?”

Pemilik itu langsung menunduk sopan, seperti menunggu instruksiku.

Sesuai prediksiku.

“Maaf, penginapan kami kini khusus perempuan... Meskipun itu Anda, kalau Anda masuk akan merusak reputasi kami...”

“Kamu tak bisa membiarkan aku masuk?”

“Tentu bukan begitu... Kalau Yang Mulia adalah Pangeran Leonard yang punya reputasi tinggi, mungkin tak akan ada masalah... B-Bukan berarti Anda tidak punya reputasi, ya?”

Dia tersenyum merayu panjang lebar.

Tapi inti kalimatnya jelas, pada akhirnya, reputasiku yang buruk bisa menjatuhkan nama penginapan jika menerima tamu pria. Itulah yang dibicarakannya.

“Kapan penginapan ini jadi khusus perempuan?”

“Baru-baru ini. Sungguh timing yang buruk. Bagaimana kalau Yang Mulia menunggu di luar, dan hanya Fine yang masuk saja?”

Itulah tawaran yang diberikannya.

Tawaran itu jelas ingin membuat keberadaanku di samping Fine menjadi menyakitkan.

Sungguh... Konyol sekali dia.

“Kamu... Maukah kamu memastikan sesuatu... Apakah penginapan ini benar hanya untuk perempuan?”

“Tentu saja, Yang Mulia.”

“Begitu ya. Lalu, bisakah kamu lihat ini?”

Aku mengangkat cincin berukir elang emas.

Tak ada orang di ibu kota yang tidak tahu arti simbol itu. Simbol elang emas adalah lambang Kekaisaran, yang hanya bisa dipakai oleh Kaisar.

“I-Itu...”

“Aku datang melakukan inspeksi dengan izin Kaisar. Jika kamu menolak aku, maka kamu menolak kehendak Kaisar... Kamu yakin?”

“B-Bukan itu maksud saya...”

“Tapi kamu yang menolakku untuk masuk tadi kan?”

“B-Bukan maksud saya begitu! Saya tidak bermaksud seperti itu!”

Aku menaruh tangan di bahu pemilik penginapan di saat dia mencoba menjelaskan dirinya sendiri.

Lalu berbisik dengan suara yang hanya bisa didengarnya sendiri.

“Kamu pikir kami tak tahu bahwa tiga hari lalu kamu mulai iklankan penginapan khusus wanita? Kamu kira aku belum tahu?”

“Hiiii...! Y-Yang Mulia...”

“Kalau memang ini khusus wanita, pastinya tidak ada pria di dalamnya, bukan?”

Aku menatap tajam pada si pemilik.

Tubuhnya mulai gemetar, berkeringat dingin. Mereka yang ingin menggangguku mungkin ingin melihatnya dari tempat khusus. Contohnya, salah satu dari kamar penginapan yang ada di dalam.

“Cari di dalam. Kalau ada tamu pria, bawa ke sini tanpa peduli statusnya. Aku berprasangka mereka akan berusaha menyakiti Fine.”

“Baik!”

Tak lama, para kesatria pengawalku menyerbu masuk. Pemilik penginapan sudah kehilangan kata-kata.

Aku memasuki penginapan, meninggalkan si pemilik. Di dalam, para pelayan perempuan tampak ketakutan.

Setelah menunggu beberapa saat, seorang pria digiring keluar oleh para kesatria.

“Wah, wah, Count Fahner. Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Yang Mulia, apa maksudnya ini? Sekalipun Anda seorang pangeran, ini keterlaluan, bukan?”

Count Fahner adalah pria berambut pirang dengan tubuh besar. Usianya sekitar pertengahan dua puluhan. Dia adalah salah satu bangsawan yang kerap mengeluh dan mengkritikku.

Dengan lengannya yang digenggam oleh kesatria, Count Fahner mengerutkan alisnya dengan ekspresi tidak senang. Sepertinya dia belum memahami situasinya sendiri.

“Keterlaluan? Hati-hati dengan pilihan katamu. Aku hanya menggeledah penginapan ini berdasarkan hakku yang sah.”

Sambil berkata demikian, aku menunjukkan cincinku pada Count Fahner. Seketika raut wajahnya berubah.

Ekspresi tenang yang tadi sempat dia miliki langsung berubah menjadi cemas dan panik.

“Baiklah, Count Fahner. Jawablah pertanyaanku. Apa yang kamu lakukan di penginapan khusus wanita?”

“A-Aku...”

“Bahkan aku, seorang pangeran, ditolak masuk oleh penginapan itu. Mustahil bisa masuk dengan cara yang benar, bukan begitu?”

“Y-Yang Mulia... Ini pasti hanya kesalahpahaman...”

“Pemilik penginapan melarang aku masuk, tapi membiarkan Fine masuk sendirian... Apa kamu berniat melakukan sesuatu padanya?”

“T-Tidak! Bukan begitu!”

Count Fahner buru-buru membantah sambil menggeliat, tetapi para kesatria gagah memaksanya berlutut di tempat. Di hadapan Count Fahner yang merunduk itu, aku melanjutkan kata-kataku.

“Lalu, dengan alasan apa kamu ada di sini?”

“...Aku berniat mengganggu Anda.”

Mungkin dia menyadari bahwa akan lebih buruk jika dicurigai berbohong dan mencoba melakukan sesuatu terhadap Fine.

Dengan jujur, Count Fahner mengakui hal itu. Namun, itu pun tetap merupakan langkah bodoh.

“Oh? Jadi maksudmu, sebagai seorang bangsawan, kamu mencoba menghalangi inspeksi resmi yang aku lakukan atas izin Kaisar?”

“T-Tidak! Bukan begitu!”

“Tidak bagaimana?”

“A-Aku tidak tahu kalau Anda mendapat izin dari Kaisar...”

Mendengar pembelaannya, aku hanya mencibir.

Count Fahner menunduk lesu, namun aku mencengkeram rambutnya dan memaksanya mendongak. Lalu aku berkata, “Selama ini aku dihina karena dianggap tidak menjalankan tugas sebagai anggota keluarga kekaisaran. Tapi kali ini, sekalipun tanpa izin resmi dari Kaisar, aku tetap menjalankan tugasku dengan meninjau ibu kota kekaisaran. Menghalangi tindakanku itu sendiri sudah merupakan kejahatan berat bagimu.”

“T-Tidak mungkin...!”

“Menghinaku secara personal, itu urusanmu. Tapi ketika kamu menghina dan berniat menyakitiku sebagai anggota keluarga kekaisaran, kamu seharusnya membayangkan apa akibatnya.”

Selesai berkata demikian, aku melepaskan genggaman pada rambutnya. Count Fahner bergumam lirih seakan memohon dengan seluruh sisa harga dirinya.

“M-Mohon ampun... Atas segala penghinaan yang lalu, aku mohon maaf...”

“Memaafkanmu? Masa untuk itu sudah lewat. Kalian telah melewati batas yang tak boleh dilewati!”

Aku melayangkan pukulan dengan punggung tanganku ke pipinya.

Count Fahner terpukul keras hingga darah mengalir dari mulutnya, namun aku tak menghiraukannya dan segera memberi perintah.

“Tahan Count Fahner. Setelah semua ini selesai, jebloskan dia ke penjara.”

“Siap!”

Setelah itu aku membalikkan badan. Jika aku membuang waktu dengan keributan di sini, orang-orang lain mungkin tidak akan menunjukkan diri.

Pengawas dari pihak lawan yang mungkin ada di sekitar sudah dilumpuhkan oleh Sebas, dan selama keributan ini tak membesar, seharusnya tidak menarik perhatian mereka. Saat aku berpikir demikian, pemilik penginapan tiba-tiba merangkul kakiku.

“Y-Yang Mulia! Ampuni saya! Saya punya banyak utang!”

Sambil menggosokkan kepalanya ke lantai, pemilik penginapan memohon dengan putus asa.

Namun aku hanya mengangkat bahu mendengar pembelaan si pemilik penginapan.

“Kamu gelap mata karena uang?”

“Ya! Saya sangat menyesal!”

“Lalu bagaimana dengan utangnya? Sudah kamu lunasi?”

“Ya! Sudah! Segera setelah itu!”

Orang bodoh akan berbohong dengan cara yang mudah diketahui. Aku meletakkan tangan di bahu pemilik penginapan yang tengah menunduk dalam-dalam.

“Seluruh utangmu telah aku lunasi. Artinya, saat ini aku yang menjadi pemberi pinjamanmu. Modal untuk membuka penginapan ini, bukan? Kalau benar kamu sudah melunasinya, aku tentu akan langsung mengetahuinya, bukan begitu?”

“Eh...?”

“Pertama, kamu menolak untuk membiarkan aku, seorang anggota keluarga kekaisaran, masuk ke dalam penginapan. Kedua, kamu menolak menerima inspeksi yang telah mendapat izin dari Kaisar. Ketiga, kamu menolak kedatangan orang yang telah meminjamkan uang padamu. Ketiga hal ini saja sudah merupakan bentuk penghinaan. Tapi yang keempat adalah yang terburuk. Kamu telah berbohong.”

“A-Ah... Mohon ampun...”

“Tangkap semua orang yang bekerja di tempat ini. Bukan hanya pemiliknya, tapi juga seluruh pegawai dan siapa pun yang terlibat.”

“Yang Mulia. Jika Anda melakukan itu, reputasi Anda akan rusak.”

Marie, yang sejak tadi diam-diam mengawasi tindakanku, akhirnya angkat bicara. Memang benar, tidak ada gunanya menangkap para pegawai ini. Hanya akan memperbesar masalah. Tapi, itu tidak masalah.

“Reputasi? Sejak kapan aku peduli dengan hal seperti itu? Atau kamu pikir mereka tidak bersalah?”

“Bukan begitu maksud saya. Tapi kesalahan mereka terbilang kecil.”

“Sekecil apa pun, kesalahan tetaplah kesalahan. Tangkap mereka semua. Dan untukmu, pemilik penginapan, tentu saja tempat ini akan ditutup. Kalian salah memahami hubungan kekuasaan antara bangsawan dan keluarga kekaisaran. Itu adalah kesalahan fatalmu.”

Pemilik penginapan itu bahkan tak mampu lagi mengeluarkan sepatah kata pun.

Aku menyerahkan tempat itu pada Marie dan keluar dari toko. Di luar, Fine menungguku dengan ekspresi nyaris menangis.

“Tuan Al...”

“Tahan sebentar saja.”

“...Baik.”

Mendengar kata-kataku, Fine menundukkan kepala dalam diam.

Lalu kami pun menaiki kereta kuda, melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya.

Untuk menangkap para pelanggar lain yang masih tersembunyi.


Bagian 4

Tempat berikutnya yang aku kunjungi adalah sebuah restoran yang populer di ibu kota kekaisaran.

Saat aku dan Fine masuk ke dalam, beberapa kelompok tamu sudah duduk di meja mereka.

“Kami telah menantikan kedatangan Anda, Yang Mulia Pangeran Arnold dan Nona Fine.”

Dengan sapaan itu, kami diarahkan ke meja yang terletak di tengah ruangan.

Untuk saat ini, tidak tampak ada yang mencurigakan. Lagipula, kami memang memesan tempat ini tanpa menyebutkan bahwa kedatangan kami adalah untuk inspeksi. Wajar saja bila semuanya berjalan normal. Bagi pihak restoran, kami hanyalah tamu seperti biasanya.

Namun, aku sudah tahu bahwa ada bangsawan yang terlibat dalam Persekutuan Camar Putih yang pernah melakukan kontak dengan tempat ini.

Kira-kira trik apa yang akan mereka gunakan? Saat aku memikirkan hal itu, semangkuk sup yang harum dibawa ke meja kami.

Fine mencicipinya lebih dahulu, lalu tersenyum dengan wajah cerah.

“Lezat sekali!”

“Begitu, ya.”

Aku pun mengambil sendok, menyendok sup itu, dan memasukkannya ke dalam mulut.

Saat itu juga, rasa pedas dan pahit menyerang secara bersamaan. Tanpa sadar wajahku menyeringai menahan rasa, dan aku menatap sup itu tajam.

“Begitu rupanya... Jadi ini caramu.”

Sebuah bentuk pelecehan yang halus dan licik. Aku bisa saja langsung membuat keributan di tempat ini, tapi masih ada kemungkinan kecil bahwa ini hanya soal perbedaan selera, barangkali lidahku saja yang sedang bermasalah. Lebih baik aku menunggu dan mengamati sedikit lebih lama.

Meskipun, sejujurnya aku sudah tahu ke mana arah semua ini akan berlangsung.

* * *

“Bawa kokinya ke sini!!”

Dengan suara lantang aku berseru demikian.

Rasa manis yang tak menyenangkan masih memenuhi mulutku. Masakan yang baru saja kumakan adalah hidangan daging. Namun, entah mengapa rasanya seperti makanan penutup yang manis. Bagaimanapun juga, itu jelas tidak enak.

Aku sudah menduganya, ini bukan masalah seleraku.

“Apakah Anda memanggil saya, Yang Mulia?”

Yang keluar adalah seorang pria ramping berusia tiga puluhan.

Dia adalah koki yang membesarkan restoran ini hanya dengan kemampuannya sendiri, terkenal karena menyajikan masakan dari berbagai negara, tak hanya dari Kekaisaran.

Kemampuannya tak diragukan, seperti yang bisa dilihat dari pujian Fine yang terbiasa menyantap makanan lezat.

Justru karena itu, semuanya terasa begitu mengecewakan.

“Apakah kamu menyajikan hidangan berbeda hanya untukku?”

“Tidak mungkin! Saya takkan melakukan hal seperti itu! Apakah masakannya tidak cocok di lidah Anda?”

“Benar. Ini benar-benar tidak layak dimakan!”

Saat aku berkata demikian, para pelanggan di sekitar mulai berbisik-bisik.

“Pangeran yang hambar itu rupanya lidahnya pun sama hambarnya.”

“Tak mampu menghargai cita rasa masakan di sini... Sungguh menyedihkan.”

“Hanya karena tidak cocok dengan seleranya sendiri, dia menyalahkan kokinya... Dia tidak punya akal sehat!”

“Lupakan saja. Pangeran yang selalu bermain-main begitu, mana mungkin punya akal sehat.”

“Sulit dipercaya kalau dia kembaran Pangeran Leonard. Aku menaruh hormat pada Pangeran Leonard, tapi kalau kakaknya seperti itu...”

“Dia tidak merasa malu dipanggil pangeran hambar? Tidakkah dia ingin memperbaiki perilakunya?”

“Yang benar saja. Aib bagi keluarga kekaisaran.”

Berbagai hinaan berbisik datang dari segala arah.

Fine mulai berdiri dengan wajah berkerut, namun aku menahannya dengan isyarat tangan.

Lalu aku memandang ke arah koki dan berbicara.

“Apakah kamu memiliki kebanggaan sebagai seorang koki?”

“Tentu saja.”

“Bagus. Sekarang coba ini. Lalu, sampaikan pendapatmu sesuai dengan kebanggaanmu itu.”

Sambil berkata demikian, aku menyodorkan masakan yang barusan aku makan.

Koki itu, dengan gerakan terlatih, mengambil garpu dan menyuapkan daging buatannya ke mulutnya sendiri.

Wajahnya sedikit meringis saat mengunyah, namun dia tetap menelannya.

“Bagaimana rasanya?”

“M-Mungkin bumbunya agak terlalu manis... Tapi, memang seperti itulah jenis masakannya...”

“Begitu ya... Kamu baru saja menyia-nyiakan kesempatan terakhirmu.”

Sambil berkata begitu, aku meletakkan cincin di atas meja. Melihatnya, wajah sang koki langsung memucat.

“Cincin Elang Emas...”

“Benar. Cincin yang menunjukkan bahwa aku adalah perwakilan dari Yang Mulia Kaisar. Saat ini, aku sedang melakukan inspeksi atas nama Kaisar.”

Begitu aku menyatakan itu, salah satu pelanggan di sekeliling buru-buru berdiri.

Namun, dia segera dicegah oleh para kesatria pengawal yang berjaga di pintu masuk.

“Duduklah. Yang Mulia sedang berbicara.”

“A-Ada urusan mendesak...”

“Anda berani mengabaikan perwakilan Yang Mulia Kaisar?”

Terancam oleh kesatria pengawal, si pelanggan kembali duduk dengan wajah hampir menangis.

Semua pelanggan tampak pucat. Entah berapa uang yang mereka terima, tapi sungguh tindakan bodoh.

“Jadi, kamu tahu bukan siapa yang sedang berbicara di depanmu?”

“Y-Ya...”

“Kalau begitu, jawab sekali lagi. Bagaimana pendapatmu tentang hidangan ini?”

“...M-Mohon ampun... Yang Mulia...”

Meski si koki berlutut dan memohon, aku tetap mengulangi pertanyaan.

“Bagaimana pendapatmu tentang hidangan ini?”

“...Tidak enak...”

“Apakah itu disengaja? Atau tidak sengaja?”

“...”

“Kamu sudah berbohong sekali. Aku tidak menyarankan melakukannya lagi.”

“...Itu disengaja. Aku sengaja menyajikan makanan yang tidak enak untuk Anda...”

“Oh. Bukan karena dendam pribadi, kan?”

“Bukan...”

Koki itu tetap menunduk, tak bergerak sedikit pun.Wajar saja. Dia baru saja mengakui tindakan yang paling tak boleh dilakukan oleh seorang koki.

Kalau dia masih bisa bersikap tenang setelah itu, restorannya takkan pernah mencapai popularitas seperti sekarang.

Sayang sekali memang.

“Periksa seluruh area restoran. Dia pasti bersembunyi di suatu tempat.”

“Baik. Kami mengerti.”

Beberapa kesatria mulai menyisir ruangan. Bahkan jika mereka mencoba kabur lewat pintu belakang, tempat itu juga sudah dijaga. Tak ada jalan keluar.

Tak lama kemudian, seorang pria pendek dibawa masuk oleh para kesatria.

“Lepaskan! Kamu tahu siapa aku!?”

“Tentu saja. Anda adalah Count Zeffeln.”

Count Zeffeln. Berusia akhir dua puluhan.

Di antara bangsawan ibu kota, dia termasuk yang berkantong tebal dan memanfaatkan kekayaannya untuk menjalankan berbagai usaha. Dia juga terkenal suka melamar wanita bangsawan cantik, seingatku, dia pernah melamar Elna juga. Tapi ditolak mentah-mentah oleh sang Pahlawan.

“Salam sejahtera, Count Zeffeln.”

“Yang Mulia Arnold! Anak buahmu telah memperlakukanku dengan kasar! Bagaimana Anda akan bertanggung jawab!?”

Berani juga dia masih bersikap angkuh dalam keadaan seperti ini.

Meski begitu, berbeda dari Count Fahner, ini murni tindakan pelecehan, dan dia masih bisa bersikeras bahwa sang koki berbohong.

Situasinya tidak seburuk Fahner. Tapi tetap saja, merasa bisa bersikap seperti itu sungguh keterlaluan.

“Tanggung jawab? Bukankah itu seharusnya pertanyaanku?”

“Aku melakukan apa, memangnya?”

“Aku baru saja disajikan makanan yang sengaja dibuat tak enak. Dan entah mengapa, kamu ada di dalam restoran ini. Apa yang sedang kamu lakukan?”

“Aku hanya melihat-lihat! Aku sedang mempertimbangkan membuka restoran juga!”

Dengan nada tinggi, Count Zeffeln menjawab.

Meski terdengar aneh, dia sepertinya yakin alasan itu cukup untuk lolos dari tuduhan.

Aku pun menunjukkan cincin padanya. Sepertinya dia belum sadar situasinya.

“Kamu tahu apa ini?”

“I-Itu... Cincin Kaisar...! Mengapa ada pada Anda...!?”

“Aku melakukan inspeksi atas izin langsung dari Kaisar. Dan di tengah inspeksi itu, aku disajikan makanan menjijikkan. Itu sama saja seperti menyajikan makanan buruk kepada Kaisar. Benar begitu?”

“I-Itu agak terlalu dibesar-besarkan, bukan...?”

“Yah, bukan aku yang akan menentukannya. Untuk mencari tahu siapa dalangnya, seluruh orang di tempat ini akan ditangkap. Termasuk dirimu.”

“Itu keterlaluan! Aku tidak bersalah, kenapa harus ikut!?”

“Justru untuk membuktikan apakah kamu bersalah atau tidak.”

Begitu aku mengatakan itu, para kesatria mulai menangkap semua pelanggan dan pegawai.

Melihat itu, Count Zeffeln mulai panik. Penyelidikan serius akan mengungkap bahwa dialah penyandang dananya.

“Count Zeffeln. Jika kamu berbohong, hukumannya akan lebih berat. Ini setara dengan sidang kekaisaran. Jika kamu menipu, hukuman mati pun bisa dijatuhkan.”

“H-Hukuman mati!? T-Tidak mungkin...!!”

“Itu bukan hal yang tak masuk akal. Sangat mungkin terjadi.”

Mendengar ucapanku, Count Zeffeln terdiam.

Berbohong akan memperberat hukumannya. Tapi jika berkata jujur, dia pasti dinyatakan bersalah.

Setelah diam beberapa saat, Count Zeffeln akhirnya memilih yang kedua.

“...Aku yang memerintahkan semuanya...”

“Begitu ya. Apa alasannya?”

“A-Aku pikir kalau aku mengganggu Yang Mulia... Anda akan menjauh dari Nona Fine...”

“Bodoh sekali.”

Aku menjawab dengan tegas. Count Zeffeln menatapku tajam, tapi aku membalas tatapannya lurus-lurus, dengan penuh kesungguhan. Melihat itu, tubuhnya mulai gemetar dan keringat bercucuran dari wajahnya.

“A-Ah...”

“Kalian bertindak semaunya, tanpa sedikit pun memikirkan perasaan Fine. Persekutuan Camar Putih seperti kalian akan segera menuai akibatnya. Kamu sudah mengakui kesalahanmu, jadi kamu akan mendekam di penjara.”

“B-Baik...”

Terpojok oleh tatapanku, Count Zeffeln menjawab dengan suara lemah.

Namun, hanya seperti itu saja tidak akan membuatnya jera.

Karena itu, aku menyodorkan kenyataan yang paling menyakitkan bagi orang ini.

“Dan setelah persidangan selesai, akan merepotkan kalau kamu kembali berulah. Maka dari itu, semua toko yang berhubungan dengan Keluarga Count Zeffeln sudah kubeli. Selain itu, kegiatan lintah darat ilegal yang kamu pimpin juga sedang dalam penyelidikan. Setelah masalah kali ini selesai, persidangan berikutnya menantimu. Aku penasaran, berapa banyak uang yang akan tersisa setelah semuanya selesai?”

“T-Tidak mungkin...! T-Tunggu! Mengapa Anda melakukan ini!? Apa yang telah kulakukan!?”

“Tanya saja pada dirimu sendiri.”

“...Hanya karena pelecehan sekecil ini... Anda berniat menghancurkan keluargaku?”

“Sekecil ini? Kamu masih belum mengerti rupanya. Bangsawan yang menjadi bawahan melakukan pelecehan terhadap keluarga kekaisaran yang adalah atasannya, itu sendiri adalah hal yang tak boleh terjadi.”

“Tak masuk akal! Banyak orang yang merendahkanmu! Kenapa hanya aku yang...!!”

“Tenang saja. Bukan hanya kamu. Siapa pun yang tidak hanya mencemooh tapi juga bertindak terang-terangan akan kubuat merasakan neraka. Termasuk semua yang bekerja sama dengan mereka.”

Sambil berkata begitu, aku menatap para pelanggan yang ada di sekeliling.

“Hiiiii...”

“A-Ampunilah kami...”

“Kami hanya mengikuti perintah...!”

Para pelanggan memandangku dengan wajah ketakutan, seolah sedang melihat iblis. Benar-benar pendek akal. Menghina keluarga kekaisaran hanya demi sedikit uang, itu terlalu berisiko. Ya, mereka pun harus merasakan rasa takut yang setimpal.

Tapi mereka bukan masalah utama. Aku mengalihkan pandangan ke arah sang koki, yang masih menunduk.

Wajahnya terlihat seakan dunia telah runtuh. Tapi saat dia menyadari tatapanku, perlahan dia mendongak.

“Y-Yang Mulia...”

“Kamu kehilangan segalanya saat memilih menjual harga dirimu sebagai koki hanya demi uang. Aku tak perlu berbuat apa-apa pun, restoranmu pasti akan hancur dengan sendirinya. Takkan ada yang mau datang ke tempat yang sengaja menyajikan makanan tak enak pada tamunya.”

“...Ya... Saya mohon maaf...”

Koki itu mulai meneteskan air mata, jatuh satu per satu tanpa henti.

Dengan kondisi seperti ini, bukan tak mungkin dia akan bunuh diri di dalam sel. Dia memang pantas menerima akibat dari tindakannya karena tamak, tapi tetap saja, tidak sampai harus mengorbankan nyawanya.

Saat aku berpikir demikian, Fine dengan lembut mengulurkan sapu tangan ke arahnya.

“Silakan.”

“...Saya tak pantas menerimanya... Maafkan saya...”

“Begitu ya. Kalau begitu, akan kutinggalkan di sini. Saat kamu sudah tenang, gunakanlah untuk menyeka air matamu. Renungkanlah perbuatanmu, dan jika sudah menyesal, mulailah lagi memasak.”

“Nona Fine...”

“Masakan aslimu sangat lezat. Kali ini, berikan juga kesempatan pada Tuan Al untuk menikmatinya.”

“...Baik...”

Dengan suara pelan namun bersungguh-sungguh, sang koki menjawab.

Melihatnya, Fine melangkah mundur selangkah dan menundukkan kepala.

Sikapnya seolah berkata bahwa dia menyadari telah ikut campur terlalu jauh.

Sejujurnya, aku merasa terbantu... Tapi sekarang bukan waktunya memperlihatkan itu.

“Kuserahkan tempat ini padamu. Tahan dia.”

“Baik. Kami mengerti.”

“Fine. Mari kita lanjut ke tempat berikutnya.”

“Ya...”

Meskipun kesedihan tergurat di wajahnya karena semua ini belum berakhir, Fine tidak menunjukkan penolakan.

Dia mungkin sudah paham bahwa semua ini memang harus dilakukan.

“Dua orang sudah selesai. Mari kita selesaikan sisanya secepat mungkin.”

Dengan mengatakan itu, aku pun naik ke dalam kereta bersama Fine.


Bagian 5

Setelah dari restoran, aku mengunjungi dua toko lainnya dan berhasil menangkap dua orang baron.

Tempat yang dijadwalkan untuk inspeksi hari ini tinggal satu.

Karena sebelumnya kami sengaja membiarkan informasi tentang jadwal ini tersebar, bisa dipastikan akan ada bangsawan di lokasi terakhir ini juga.

Tapi kemungkinan besar, kali ini tidak akan semudah yang sebelumnya. Lokasi terakhir ini...

“Tempat berikutnya di lapisan terluar ibu kota, ya...”

“Ya, jadi bisa dibilang, ini yang terakhir.”

“Eh?”

Fine memiringkan kepalanya dengan heran.

Dia mungkin mengira semuanya masih akan terus berlanjut. Wajahnya menunjukkan kebingungan. Melihat itu, aku hanya bisa tersenyum kecut dan berkata, “Kalau aku pergi ke lapisan terluar ibu kota, aku bisa menebak dengan pasti siapa yang akan mereka suruh untuk menghadapiku. Aku yakin. Para bangsawan tidak akan mampu menggerakkan siapa pun lagi.”

“Jadi... Semua ini sudah berakhir…?”

“Kita tidak boleh lengah dulu. Tapi setidaknya, kamu tidak akan mengalami hal-hal tidak menyenangkan lagi. Maafkan aku.”

Saat aku menundukkan kepala dengan tulus, Fine terlihat panik.

“T-Tolong angkat kepala Anda! Semua ini... Awalnya karena aku... Anda tidak bersalah sama sekali, Tuan Al... Anda hanya berusaha menangkis percikan api yang datang...”

“Ini bukan salahmu juga. Aku tahu cepat atau lambat, hari seperti ini akan datang. Jangan dipikirkan.”

“Tapi... Tuan Al... Aku tahu aku tidak layak berkata seperti ini... Tapi!”

Fine menatapku lurus dengan mata yang berair.

Ada tekad kuat yang tampak dari sorot matanya. Maka aku memutuskan untuk lebih dulu membuka suara.

“Kali ini, aku memang sengaja membesarkan masalah.”

“...Eh?”

“Menteri Kehakiman pasti sedang pusing sekarang, mungkin sedang melapor pada Ayahanda. Aku sudah mengirimkan daftar nama bangsawan dan pihak terkait yang ditangkap. Dua orang count, dua orang baron, dan banyak pihak terkait. Jumlah penangkapan dalam satu hari ini pasti dianggap luar biasa.”

“Jadi Anda melakukannya dengan sengaja...?”

“Tentu saja, bukan? Aku tidak akan asal menangkap rakyat biasa tanpa alasan. Tenang saja, mereka tidak akan dijatuhi hukuman berat. Mungkin ditahan beberapa hari, itu saja. Itu sudah cukup.”

Saat aku berkata dengan nada santai, Fine pun menutupi wajahnya dan mulai menangis.

Melihat itu, hatiku terasa sakit.

Aku tidak bisa membiarkan semuanya terbongkar. Karena itulah aku tidak mengatakan apa pun. Tapi sekarang, aku tahu beban itu terlalu berat bagi Fine.

“Maaf. Aku tidak bisa meminta bantuanmu untuk berpura-pura.”

“Hik... Aku... Aku pikir Anda sangat marah...”

“Aku memang marah. Aku benci cara mereka bertindak. Tapi aku tidak pernah berniat menyakiti rakyat biasa yang hanya menjalankan perintah. Namun... Agar keributan ini bisa segera diselesaikan, aku harus terlihat seperti sedang lepas kendali.”

“Lepas kendali...?”

“Benar. Kalau aku yang punya kekuasaan bertindak brutal, orang-orang dari Persekutuan akan panik. Tapi yang paling panik adalah orang tua mereka. Anggota aliansi itu rata-rata bangsawan muda. Meskipun mereka sudah mewarisi gelar, kekuasaan sebenarnya masih ada di tangan orang tua mereka. Dan ketika mereka melihat aku lepas kendali, mereka tak bisa tinggal diam. Mereka akan berpikir aku bisa menghancurkan semua keluarga bangsawan yang ada.

“Tapi... Kalau begitu...!”

Fine berkata dengan suara gemetar karena tangis, tampak khawatir. Dia pasti takut aku akan dibenci, atau semakin banyak musuh yang kuhadapi.

“Tidak masalah. Para bangsawan tua tidak akan mencoba menyingkirkan orang kuat. Mereka pasti akan mencoba berdamai denganku. Tapi bagaimana caranya berdamai dengan seseorang yang terlihat seperti sedang mengamuk? Mereka tidak bisa meminta bantuan Ayahanda, dan Keluarga Pahlawan terlalu dekat denganku.”

“Lalu kepada siapa mereka akan meminta bantuan...?”

“Aku sudah mengirim surat pada beberapa orang yang bisa mereka andalkan. Orang-orang yang mengenalku dan cukup terpandang untuk menjadi penengah. Salah satunya adalah seseorang yang sangat kamu kenal.”

“Aku...?”

Fine akhirnya berhenti menangis dan tampak merenung.

Melihat itu, aku menyeka air mata terakhir yang mengalir dari sudut matanya dengan tangan kananku, lalu tersenyum menenangkan.

“Yang kumaksud itu ayahmu. Maaf, tapi aku sudah meminta bantuannya.”

“Ayah...?”

“Tapi tentu, hanya ayahmu saja tidak cukup netral, karena dia terlibat langsung. Jadi aku juga memanggil Duke Reinfeld. Jika mereka berdua, mereka bisa menjadi penengah yang baik. Untuk memudahkan para bangsawan dari Persekutuan Camar Putih mendekati mereka, aku sudah menyuruh beberapa bangsawan muda yang tampak tak berbahaya untuk berbalik arah. Aku juga sudah memberi mereka instruksi agar mendekati dua orang itu dan menyampaikan pesan-pesan tertentu.”

Persekutuan Camar Putih, yang berisi bangsawan muda, tidak bisa diajak bicara.

Jadi harus orang tua mereka yang turun tangan. Tapi beberapa dari mereka sudah pensiun, dan mungkin menganggap semua ini hanyalah kenakalan anak-anak mereka.

Untuk mengubah pandangan itu, aku memang harus bertindak seperti orang yang sedang mengamuk.

Terlepas dari para bangsawan yang secara langsung menyebabkan masalah, para rakyat biasa yang ikut terseret akan segera dibebaskan begitu kesepakatan damai tercapai. Mereka hanyalah korban sampingan, dan Menteri Kehakiman tidak punya waktu untuk mengurus mereka terlalu lama. Kapasitas penjara juga terbatas.

Namun untuk para bangsawan, aku tidak akan membiarkan mereka lolos. Perlakuan mereka terhadap Fine, dan tindakan mereka yang menyeret rakyat biasa demi menyakitiku, itu tidak bisa dimaafkan.

Aku tidak akan menuntut hukuman mati. Tapi gelar kebangsawanan mereka akan kucabut.

“Jadi... Semuanya berjalan sesuai rencana Tuan Al...?”

“Untuk saat ini, ya. Sisanya tergantung pada bagaimana Marquis Weitling, yang belum menunjukkan diri, akan bergerak. Tapi aku sudah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan. Memang ada beberapa cara yang tak ingin kupakai... Tapi satu hal yang pasti, kamu tidak akan punya alasan untuk menangis lagi. Jadi tenanglah. Ini sudah berakhir. Tetaplah tersenyum seperti biasanya.”

Permintaan yang cukup egois, memang.

Akulah yang membebaninya, akulah yang membuatnya menangis. Dan sekarang aku memintanya untuk tersenyum.

Namun, Fine menjawab permintaan egois itu dengan senyuman lembut.

“Ya!”

“Kamu benar-benar penyemangat. Kamu memang lebih cocok tersenyum.”

“Anda juga lebih baik menjadi Tuan Al yang lembut.”

“Begitu ya. Akan kuingat baik-baik.”

Menanggapi permintaan Fine, aku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk.

* * *

Lapisan terluar ibu kota kekaisaran.

Di sanalah dojo itu berada. Tempat itu adalah lokasi inspeksi terakhirku.

“Kamu datang terlambat.”

“Maafkan aku.”

Dojo kecil di sebuah kota kecil. Saat aku masuk, Gai berdiri dengan ekspresi penuh amarah. Di hadapannya, seorang pria berkacamata sedang mimisan.

“Ugh... Kamu! Kamu telah memukulku, seorang baron! Kamu tidak akan lolos begitu saja!”

“Lalu bagaimana aku tidak akan lolos? Maukah kamu ajari aku, baron yang agung?”

“Anda! Pangeran Arnold! Teman Anda telah menyerang saya! Ini adalah masalah besar! Anda tak akan bisa melindunginya! Kalau ingin minta maaf, lakukan sekarang juga!”

Dengan berkata begitu, sang baron berkacamata mengalihkan sasarannya padaku. Dia mungkin sadar bahwa tidak ada gunanya bicara dengan Gai. Namun, bicara denganku pun merupakan kesalahan.

“Kalau Gai memukulmu, pasti ada alasannya.”

“Saya tidak melakukan apa-apa dan tiba-tiba dipukul!”

“Memang, kamu tidak melakukan apa-apa. Kamu hanya bilang agar dia bekerja sama untuk menggangguku. Karena itu menyebalkan, jadi kamu kena pukul.”

“B-Bohong! Itu bohong!”

Baron berkacamata itu terlihat panik.

Mengapa bangsawan dari Persekutuan Camar Putih begitu dangkal pikirannya? Ya, karena itulah mereka ditolak dalam perebutan takhta dan membentuk organisasi konyol bernama Persekutuan Camar Putih.

“Katakan apa pun sesukamu. Tapi ingat baik-baik. Orang-orang dari lapisan terluar tidak menjual teman demi uang! Kami memang miskin, kami memang butuh uang. Tapi justru karena hidup dalam lingkungan seperti itu, kami tahu ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ikatan yang kalian para bangsawan dengan mudahnya buang, justru sangat kami hargai!”

“Jangan sok bijak! Fakta bahwa kamu telah memukulku tidak akan hilang begitu saja!”

“Kalau ingin menuntut, lakukan sesukamu! Bahkan di hadapan Kaisar aku akan berkata sama! Menjual teman demi uang itu pengecut, aku tidak akan bisa berdiri di depan anak-anak lagi! Aku ini seorang guru!”

Dengan berkata begitu, Gai mencabut pedang dari pinggangnya dan menodongkannya ke arah baron berkacamata.

Gai adalah petualang peringkat B. Dalam hal kekuatan, dia biasa-biasa saja. Namun dia telah berkali-kali menghadapi monster dan melewati banyak medan pertempuran. Tatapan tajamnya membuat sang baron gemetar ketakutan.

“Hei, Al! Apa yang akan kamu lakukan pada orang ini!?”

“Dia akan dipenjara.”

“P-Penjara!? Saya!? Mengapa!?”

“Haa... Apa kamu tahu arti cincin ini?”

Untuk kesekian kalinya hari ini, aku menunjukkan cincinnya.

Baron yang mengenakan kacamata itu langsung pucat pasi.

“I-I-Itu...”

“Aku melakukan inspeksi atas izin langsung dari Yang Mulia Kaisar. Tempat ini adalah tujuan terakhirku. Sekarang, jawab pertanyaanku. Apa yang kamu lakukan di sini? Dan jangan berbohong. Beberapa bangsawan sudah belajar pahitnya akibat berbohong padaku.”

“S-Saya... U-Uh... Itu...”

“Katakan yang sejujurnya. Kamu memang merencanakan pelecehan terhadapku, bukan?”

Saat aku menekannya, baron berkacamata menyadari bahwa perlawanan sia-sia, dan mengangguk.

Setelah memastikannya, aku memerintahkan para kesatria untuk menangkapnya.

“Jadi, ini semua keributan karena apa?”

“Karena ada bangsawan yang tidak suka aku berada di sisi Fine. Ini pemberontakan kecil mereka.”

“Akhirnya datang juga ya. Sudah kuduga hari itu akan tiba.”

Gai terlihat sedikit senang saat berkata demikian.

Sungguh, dasar orang ini...

“Kamu kelihatan senang?”

“Tentu saja. Kalau aku bisa berada di sisi Nona Fine, ya, bencana sekecil itu harus kuterima.”

“Kamu ini...”

“Tenang saja. Aku tidak akan memaksakan apa pun. Kita bisa tahu siapa yang membuat Fine bahagia hanya dengan melihat senyumnya.”

Sambil berkata begitu, Gai menatap ke arah luar dojo di mana Fine berada.

Anak-anak dari sekitar telah berkumpul di sekeliling Fine. Dan dia meladeni mereka dengan senyum yang cerah.

“Saat dia berada di sisimu, dia terlihat paling cantik. Bukankah itu jawaban yang jelas?”

“Begitu ya...”

“Tapi, kalau kamu berani menyentuh Nona Fine walau hanya dengan satu jari, aku yang akan mengirimmu langsung ke neraka. Jangan kira kamu aman hanya karena ada Elna di sisimu. Dendam orang yang tak laku itu bisa menembus bahkan seorang pahlawan, kamu tahu itu?”

“Mengerikan sekali... Tapi tenang saja, aku tidak akan melakukan hal seperti itu.”

Aku menenangkan Gai sambil tertawa kecil.

Dengan begitu, hari panjangku bersama Fine pun berakhir.


Bagian 6

Hari setelah Al mengamuk. Kastel kekaisaran dilanda kekacauan besar.

Selain banyaknya orang yang ditangkap, kerabat dan rekan mereka pun berdatangan ke kastel.

Yang paling kewalahan mengurus semua itu adalah Menteri Kehakiman dan para bawahannya.Teriakan mereka pun akhirnya sampai ke telinga Kaisar, namun karena Kaisar sebelumnya telah memberi izin kepada Al untuk bertindak sesuka hatinya, beliau memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan ini.

Di tengah hiruk pikuk kastel, Alois tengah bercakap-cakap dengan sekelompok bangsawan muda yang baru dikenalnya.

“Tap. benarkah itu? Bahwa Pangeran yang katanya hambar itu bisa bertindak sejauh ini?”

“Aku juga penasaran soal itu. Rasanya tidak seperti dia.”

Orang-orang yang ada di sekitar Alois adalah para bangsawan muda yang tidak tergabung dalam Persekutuan Camar Putih, dan memilih menyikapi kekacauan ini dengan kepala dingin.

Kepada mereka, Alois membagikan kesannya tentang Al.

“Jika dinilai dari kesan saat pertama bertemu, aku tidak terlalu terkejut.”

“Apa maksudmu, Count Zimmer?”

“Maksudku tepat seperti yang aku katakan. Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan Pangeran Arnold, dan dia sama sekali tidak seperti pangeran pemalas yang dikabarkan. Ada semacam aura yang tak bisa dijelaskan... Sejujurnya, sampai membuatku takut.”

“Kamu, yang berhasil memukul mundur sepuluh ribu pasukan Kekaisaran, bisa berkata begitu...”

“Kalau begitu, berarti Pangeran Arnold tidak seperti yang dikatakan, ya? Kalau begitu, pergerakan keluargaku setelah ini juga akan berubah.” ucapan salah satu bangsawan muda disambut dengan anggukan dari yang lain.

Alois mengernyit, merasa heran.

“Apa maksudmu dengan itu?”

“Pangeran Leonard memang punya bakat dan kapasitas yang luar biasa... Tapi dia terlalu baik. Dan aku rasa bukan hanya aku yang berpikir seperti itu. Banyak bangsawan yang menganggap dia tidak mampu membuat keputusan tegas.”

“Keputusan tegas, ya... Kalau soal ketegasan dalam mengambil keputusan, mungkin memang begitu...”

“Dia mungkin bisa mengambil keputusan. Tapi bukan keputusan yang kejam... Atau lebih tepatnya, keputusan tanpa belas kasihan. Itulah masalahnya. Tapi jika Pangeran Arnold benar-benar seperti yang kamu katakan, maka kekhawatiran itu sirna sekarang. Pangeran Leonard hanya perlu didampingi oleh Pangeran Arnold.”

Setelah berkata begitu, para bangsawan muda mulai mendiskusikan kembali perebutan takhta.

Dengan Zandra yang telah tersingkir, kini hanya tersisa tiga kandidat. Eric masih memegang keunggulan, tapi di sekelilingnya sudah ada para pendukung lama yang loyal sejak dulu, sehingga sulit bagi pendatang baru untuk masuk.

Dengan begitu, perhatian para bangsawan kini mulai beralih ke Leonard. Pada akhirnya, kepada siapa mereka harus berpihak? Ketika jumlah kandidat mulai menyempit, para bangsawan berusaha mengambil keputusan dengan hati-hati.

Alois mulai merasa kagum pada strategi Al. Apakah efek seperti ini memang sudah diperhitungkan sebelumnya? Namun saat dia masih tenggelam dalam pikirannya, suara dari belakang memanggilnya.

“Count Zimmer.”

“Ya?”

Saat Alois menoleh, dia melihat seorang pria tua tinggi berdiri di sana. Dilihat dari penampilannya, usianya sekitar akhir lima puluhan hingga awal enam puluhan. Wajahnya tampak agak pucat, seperti sedang tidak sehat.

Alois belum pernah melihatnya sebelumnya, tapi dari pakaian dan auranya, dia tahu orang ini adalah bangsawan berpangkat tinggi. Maka dia pun segera menundukkan kepala.

“Salam kenal. Saya Alois von Zimmer.”

“Salam juga. Maaf datang tiba-tiba. Namaku Edmund von Weitling.”

“Marquis Weitling?”

“Dulu, ya. Gelar itu sudah kuserahkan pada anakku. Sekarang aku hanyalah pensiunan tua. Kebanyakan orang memanggilku Tuan Weitling.”

“Begitu. Kalau begitu, Tuan Weitling, apakah ada yang bisa saya bantu?”

Para bangsawan muda yang tadi mengobrol dengan Alois langsung berdiri tegak saat menyadari siapa yang berdiri di hadapan mereka.

Orang ini dulunya adalah penasihat penting yang mendampingi Kaisar saat ini. Jika saja kesehatannya tidak menurun, dia pasti masih menduduki jabatan penting di pemerintahan kekaisaran. Bagi para bangsawan muda, dia adalah sosok yang seolah berada di atas awan.

Namun dia telah lama pensiun dan tidak pernah muncul lagi di panggung kekuasaan. Mengapa sekarang dia muncul? Alois menebak ini ada hubungannya dengan anaknya. Dan dugaan itu tidak meleset.

“Ada satu hal yang ingin kupastikan. Saat bertemu Pangeran Arnold, benarkah kamu merasa takut?”

“Ya. Beliau sangat berbeda dari rumor yang beredar.”

“Begitu ya... Sampai terasa seperti orang yang benar-benar berbeda, ya?”

“Benar. Saya juga merasa begitu.”

Edmund mengangguk beberapa kali mendengar jawaban itu, lalu tersenyum seperti seorang kakek pada cucunya dan beranjak pergi.

Saat ketegangan mereka mengendur, para bangsawan muda menghela napas lega. Namun Alois tetap memikirkan sesuatu. Kehadiran Edmund seolah menganggunya.

Dia merasa Edmund menunjukkan tanda-tanda kebingungan.

Mungkin dia menyadari sesuatu yang tidak bisa disadari orang lain.

Dan Alois terus memikirkan lebih jauh. Mungkinkah dia sudah terseret dalam rencana yang tidak dia sadari?

Jika itu ulah Grau, maka bukan hal yang mustahil. Dengan perasaan seperti itu, Alois terus memutar pikirannya.

* * *

“Sudah lama tidak bertemu, Yang Mulia Kaisar.”

“Ah, memang sudah lama, Edmund.”

Kaisar Johannes tersenyum hangat, seolah tengah bernostalgia. Sejak memutuskan pensiun karena kesehatannya yang memburuk beberapa tahun lalu, ini adalah pertama kalinya Edmund kembali mengunjungi istana.

Namun, ini bukanlah saatnya untuk sekadar melepas rindu.

Jelas bahwa kedatangannya kali ini karena urusan yang mendesak.

“Saya datang untuk menyampaikan permohonan maaf. Putra saya telah membuat keributan di ibu kota. Ini adalah kegagalan saya sebagai ayah.”

“Ini bukan sesuatu yang perlu kamu minta maafkan. Kalau tanggung jawab anak ditimpakan pada ayah, maka aku pun harus meminta maaf.”

“...Pangeran Arnold tidaklah salah. Meski tindakannya tergesa dan memaksa, melihat dari kedudukannya sebagai anggota keluarga kekaisaran, yang bersalah adalah putra-putra kami.”

“Hmm... Aku mengerti. Karena itulah aku tidak ikut campur.”

Mendengar kata-kata Kaisar Johannes, Edmund tersenyum pahit dan menggeleng pelan.

“Saya tidak datang untuk memohon sesuatu. Saya mengerti posisi Yang Mulia. Saya akan melakukan apa yang saya bisa, jadi harap tenanglah.”

“Maafkan aku.”

Johannes menyampaikan permintaan maaf singkat, lalu menghela napas. Sambil tersenyum pahit, dia mulai berbicara.

“Tak pernah terbayangkan saat kita masih muda, bahwa anak-anak kita akan bertengkar seperti ini.”

“Sungguh. Padahal aku merasa telah mengajarkan mereka sopan santun dengan tegas. Rupanya aku terlalu lunak.”

“Arnold itu anak yang unik. Bahkan aku sendiri terkejut dengan kejadian kali ini. Dia bukanlah orang yang akan membesar-besarkan masalah. Karena itulah aku memberikan cincin itu padanya.”

Johannes kembali menghela napas, lalu berbisik bahwa ini adalah sebuah kesalahan dalam perhitungannya.

Melihat ekspresi itu, Edmund mengungkapkan keraguannya.

“Dari sudut pandang Yang Mulia... Apakah Pangeran Arnold kali ini terlihat berbeda dari biasanya?”

“Ya, dia berbeda. Tergesa-gesa dan memaksa. Itu bukan dirinya. Dia biasanya tenang, hampir seperti angin, dan tak pernah menunjukkan amarah. Mungkin dia benar-benar sangat marah kali ini, atau ada alasan lain. Aku pun tak tahu pasti.”

Johannes bersandar lebih dalam ke singgasananya, terlihat resah.

Perebutan takhta telah dihentikan, dan kini muncul konflik antara keluarga kekaisaran dan kaum bangsawan.

“Sejujurnya, aku tak punya waktu untuk menghadapi semua ini.”

“Saya mohon maaf sekali lagi... Yang Mulia, bolehkah saya menyampaikan pemikiran saya?”

“Apa itu?”

“Saya juga mengenal Pangeran Arnold. Saat ini, bahkan di dalam istana, beredar desas-desus bahwa beliau menakutkan. Namun bagi saya, ada yang mengganjal. Selama ini, meskipun sering dihina dan diremehkan, beliau selalu menerima semuanya dengan tenang. Apakah orang seperti itu bisa menunjukkan emosi sampai menakuti orang lain?”

“Apa yang kamu ingin katakan? Itu kebiasaan lamamu, bukan? Jangan berputar-putar.”

“Baiklah. Karakter tergesa dan memaksa itu lebih cocok dengan Pangeran Leonard daripada Pangeran Arnold.”

Mata Johannes menyipit. Mudah saja untuk menepis dugaan itu sebagai hal yang mustahil.

Namun, benaknya langsung teringat pada percakapannya dengan Arnold yang mengunjungi kamar pribadinya.

“...Arnold memanggilku Ayahanda. Terutama saat tak ada orang di sekitarnya. Tapi...”

“Apakah Anda menyadari sesuatu?”

“Kalau mereka bertukar tempat, itu sangat sempurna. Apakah mungkin dilakukan sedemikian rapi?”

“Aku juga tak tahu. Tapi daripada Pangeran Arnold berubah, kemungkinan besar ini adalah Pangeran Leonard yang sedang menyamar sebagai Pangeran Arnold. Lagipula, menurut Anda, apakah Pangeran Leonard yang biasa begitu tertutup akan rela keluar dari ibu kota demi walau Pangeran Arnold terlibat dalam masalah?”

“Itu memang benar... Tapi kalau begitu, lalu apa yang harus kita lakukan?”

Johannes masih setengah ragu. Namun, jika semua itu benar, maka ini bukan lagi sekadar konflik antara pangeran yang selalu diremehkan dan para bangsawan. Ini adalah pertarungan antara kandidat takhta dan para bangsawan.

Jika dibiarkan berlarut, bisa timbul jurang yang dalam antara penguasa dan para bawahannya.

“Kita harus segera mencari jalan damai. Dengan cara apa pun.”

“Memang tak ada pilihan lain...”

“Yang Mulia... Jika benar Pangeran Leonard yang sedang menyamar sebagai Pangeran Arnold, maka bukan hanya putra saya, tapi saya pun takkan terampuni. Karena itu... Anggaplah ini sebagai percakapan terakhir kita.”

“Jangan bicara omong kosong. Meskipun aku telah menyerahkan tanggung jawab ini padamu, aku tidak akan membiarkanmu sejauh itu. Nyawa bawahanku adalah milikku. Aku takkan membiarkan putraku melakukan seenaknya.”

“Saya sangat berterima kasih. Namun jika benar dia Pangeran Leonard, maka semuanya harus mendapat pembelajaran. Jika harus ada darah yang tumpah, biarlah itu hanya darah saya dan putra saya. Kedua putri saya akan menjadi aset berharga bagi Yang Mulia. Mohon lindungi mereka.”

“...Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tapi baiklah, aku mengerti.”

“Saya sangat berterima kasih.”

Edmund membungkuk dalam-dalam.

Kemudian dia berdiri dengan tenang.

“Kalau begitu, saya mohon undur diri. Saya harus segera mencari jalan untuk mendamaikan semuanya.”

“Ya. Jaga kesehatanmu.”

“Baik.”

Dengan ucapan itu, Edmund meninggalkan ruangan, dan juga meninggalkan istana. Dia telah menghubungi para orang tua dari bangsawan-bangsawan penting yang tergabung dalam Persekutuan Camar Putih.

Langkah selanjutnya adalah menentukan kebijakan dan bertindak dengan hati-hati.

“Ugh, ugh...”

Karena sudah lama tidak berjalan sejauh ini, dia mulai batuk.

Namun, Edmund tidak menghentikan langkahnya. Kekaisaran yang dia bangun bersama Johannes dan Franz.

Dia tidak akan membiarkannya hancur oleh tangan putranya sendiri. Begitulah keyakinannya.


Bagian 7

“Maaf telah merepotkan kalian semua di tengah kesibukan masing-masing,” ucap Edmund sambil membungkuk kepada sepuluh bangsawan yang berkumpul di penginapan kelas atas itu.

Tak ada seorang pun yang muda di ruangan itu. Semuanya adalah orang-orang dari generasi yang seangkatan atau mendekati usia Kaisar saat ini.

Beberapa dari mereka, seperti Edmund sendiri, telah mewariskan gelar bangsawan mereka kepada anak-anak mereka dan menikmati masa pensiun dengan tenang. Namun, karena peristiwa besar ini, semua dari mereka rela bangkit dan hadir.

“Orang yang paling sibuk pastinya adalah Anda sendiri, Tuan Weitling.”

“Semua ini terjadi karena pendidikan yang belum tuntas. Seharusnya aku mengajarkan lebih banyak hal pada putraku sebelum mewariskan gelarku.”

Edmund menunjukkan ekspresi muram saat berkata demikian. Karena kesehatannya yang memburuk, dia menyerahkan gelar kepada putranya yang masih belasan tahun. Dia yakin anak itu akan mampu menjalankannya. Anak itu memang sangat cakap.

Namun, kecakapan semata tidak cukup untuk menjadi kepala keluarga bangsawan.

“Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyadari bahwa putra sendiri adalah orang yang bodoh.”

“Sungguh benar.”

Para peserta pertemuan itu mengangguk sambil menghela napas. Sebab utama kekacauan kali ini memang berasal dari kesombongan para bangsawan muda.

“Pangeran buangan... Kesalahan kita adalah membiarkannya begitu saja.”

“Ya, memang. Karena dia sendiri dan Yang Mulia Kaisar tak pernah mengatakan apa-apa, kita pun membiarkannya, dan kini keadaan menjadi yang terburuk...”

Meski dihina dan diremehkan, Al tidak pernah melakukan perlawanan. Dia menanggapi semua celaan dengan tenang, bahkan menahan kekerasan fisik. Saat masih ada Elna, dia menjaga situasi dengan tatapannya yang tajam terhadap mereka yang sebaya. Namun, sejak Elna menjadi kesatria penjaga dan menjauh dari sisi Al, tak ada lagi yang menghentikan para penindas.

Itu sudah menjadi kebiasaan. Keberadaan Al sebagai seseorang yang wajar untuk dihina dan diremehkan, seorang pangeran dari kasta terendah, itulah citra putra buangan yang terbentuk.

Namun, keberadaan itu sendiri adalah ilusi. Tak peduli seberapa diremehkan, darah kekaisaran tetaplah darah kekaisaran.

“Kita membiarkannya saja, tapi anak-anak kita mengira mereka telah mendapat izin. Ini bukan sepenuhnya salah anak-anak. Kita seharusnya menghentikan mereka dari awal. Apa pun sikap yang ditunjukkan, bangsawan tetap harus menunjukkan kesopanan terhadap keluarga kekaisaran.”

“Jika rakyat jelata yang mengejek, itu satu hal. Tapi jika bangsawan yang melakukannya, itu memiliki makna yang berbeda. Aku pikir mereka akan mengerti seiring waktu, tapi... Di mata generasi muda sekarang, menghina Pangeran Arnold telah menjadi hal yang biasa.”

“Tak ada gunanya menyesal sekarang. Bahkan di antara menteri-menteri aktif masih ada yang meremehkan Pangeran Arnold. Dia sudah dianggap bukan siapa-siapa. Tak ada gunanya menyuruh anak-anak kita untuk berhenti. Jujur saja, sebagian kesalahan ada pada Pangeran Arnold juga. Dia memiliki kecakapan untuk menjebak anak-anak itu, tapi malah bersikap malas. Ini bisa disebut perangkap yang dirancang selama bertahun-tahun.”

Semua bangsawan yang hadir mengangguk mendengar pernyataan itu. Namun, mereka juga memahami bahwa bagaimanapun, kesalahan tetap terletak pada anak-anak mereka. Karena itulah mereka berkumpul di tempat ini.

“Aku yakin Pangeran Arnold tak akan berhenti. Dia berniat menghancurkan seluruh anggota Persekutuan Camar Putih. Itu harus dicegah. Tak hanya demi kelangsungan keluarga kita masing-masing, tapi jika itu terjadi, kekaisaran akan terjerumus dalam kekacauan besar. Apalagi sekarang masih dalam masa perebutan takhta. Tak bisa dibiarkan ikatan antara bangsawan dan keluarga kekaisaran memecah negara hanya karena seorang gadis.”

Mendengar ucapan Edmund, seluruh bangsawan menunjukkan wajah serius.

Mereka semua adalah tokoh-tokoh yang telah mengabdi pada kekaisaran selama bertahun-tahun. Bagi mereka, membiarkan kekaisaran terperosok dalam kekacauan sama saja dengan mengingkari jalan hidup mereka.

Namun, salah satu bangsawan menggumamkan sesuatu.

“Kalau saja gadis itu tidak datang ke ibu kota, semua ini takkan terjadi...”

“Cukup. Nona Fine tidak bersalah.”

“Memang begitu, Tuan Weitling. Tapi gadis itu luar biasa cantik. Sejak hari ketika dia menerima hiasan rambut camar biru, semua pemuda di ibu kota jatuh hati padanya. Termasuk putra Anda, bukan?”

“Benar, Laurenz memang terpikat oleh Nona Fine. Kalau bukan karena itu, dia pasti bersikap sopan terhadap Pangeran Arnold. Tapi seberapa pentingkah cinta seorang bawahan? Hubungan antara penguasa dan bawahannya tak boleh runtuh hanya karena itu. Jika Nona Fine berada di sisi Pangeran Arnold, maka dia harus merelakannya. Bahkan jika Pangeran Arnold berniat menikahinya.”

“Itu terlalu sulit untuk kaum muda. Nona Fine adalah putri tercantik di kekaisaran. Kecantikannya seperti sihir. Jika lawannya adalah Pangeran Leonard yang terkenal dan dihormati, mungkin mereka bisa menyerah. Tapi jika lawannya adalah Pangeran Arnold yang mereka anggap rendah... Rasa cemburu mereka tak bisa dikendalikan.”

Mendengar itu, Edmund memejamkan mata untuk menahan perasaan. Dia merasa malu bahwa putranya harus dibela dengan cara seperti itu. Jika perasaan itu benar-benar kuat, dia bisa memahaminya. Namun, jika itu hanya perasaan yang bisa dengan mudah dikalahkan oleh lawan yang lebih unggul, maka itu harus dikubur dalam hati. Begitulah menurut Edmund.

Semua yang hadir mencoba membela Laurenz. Itu menunjukkan betapa Laurenz memang anak muda yang cemerlang dan menjanjikan di mata mereka.

Namun karena mendapatkan gelar bangsawan di usia muda dan dibekali dengan kemampuan luar biasa, Laurenz tak pernah merasakan kesulitan hidup yang sebenarnya. Bagi Edmund, itulah kesalahannya.

Karena tidak tahu rasanya berjuang, pikirannya menjadi lunak. Dia tak tahu bagaimana menempatkan diri dalam posisi orang lain.

Dia menjadi orang yang kecil sebagai manusia.

“...Mungkin Putra Mahkota terlalu hebat.”

Edmund bergumam pelan. Putra tertua Kaisar adalah pewaris takhta yang sempurna. Tak ada saudara lain yang bisa menyainginya. Semua bangsawan pun mengakuinya. Karena itu, kekaisaran tetap damai. Selama Putra Mahkota ada, tidak ada perebutan takhta.

Namun karena masa damai itu pula, generasi muda kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman.

Edmund pun berpikir itu tak masalah. Asalkan Putra Mahkota menjadi Kaisar, kekaisaran akan aman. Tapi semua itu hanya mimpi manis, sampai saat pewaris sempurna itu meninggal dunia.

Pikirannya mulai melayang ke masa lalu. Namun, dia segera ditarik kembali ke kenyataan oleh kedatangan seseorang ke ruangan itu.

“Maaf atas keterlambatanku, semuanya.”

“...Terima kasih sudah datang. Duke Holzwart.”

Edmund menyambut kedatangan Rolf von Holzwart dengan nada getir.

Sikap Edmund bukan pengecualian. Karena memang tidak satu pun dari mereka yang hadir menyambut Rolf dengan hangat.

Dan Rolf pun sadar akan hal itu.

“Sepertinya aku benar-benar dibenci.”

“Kamu tentu tahu alasannya lebih baik daripada siapa pun, bukan?”

“Benar. Kuakui bahwa anakku yang mendorong Tuan Muda Weitling untuk membentuk Persekutuan Camar Putih. Tapi, anakku sendiri tidak pernah bergabung dalam aliansi itu. Memang, dia termasuk dalam Perjanjian Camar sebelumnya. Tapi bukannya mereka yang memutuskan untuk memusuhi Pangeran Arnold adalah putra-putra kalian sendiri, termasuk putra Tuan Weitling?”

Dengan sikap yang sama sekali tak merasa bersalah, Rolf berkata demikian, lalu menyunggingkan senyum mengejek kepada semua yang hadir.

Dan semua itu memang fakta. Putra Rolf, Reiner, memang tidak ikut bergabung dengan Persekutuan. Lantas, mengapa dia mendorong terbentuknya aliansi tapi tidak ikut serta?

Semua ini dilakukan agar dia bisa menjadi penengah yang netral saat situasi berakhir seperti ini.

“Aku tidak berniat mengeluh atau menyalahkan siapa pun. Semua ini adalah tanggung jawabku dan putraku. Mohon bantuannya.”

Begitu ucap Edmund dengan tenang sambil menundukkan kepala kepada Rolf.

Rolf menjawab dengan senyum dan anggukan kecil.

“Baiklah. Aku akan menggunakan jaringan koneksiku untuk menjadi penengah dalam pertemuan dengan Pangeran Arnold.”

“Apa kamu bisa melakukannya? Kudengar salah satu putramu sendiri sempat berselisih dengan Pangeran Arnold?”

“Itu benar. Namun, aku tidak berniat mengajukan rekonsiliasi secara langsung kepada Pangeran Arnold. Aku akan mengajukan permintaan itu kepada ibunda beliau, Ny. Mitsuba. Aku punya jalur ke sana, jadi tenang saja.”

“Begitu ya. Kalau begitu, cukup melegakan.”

Meski semua ini terasa seperti bagian dari rencana yang sudah disusun sejak awal, tak ada satu pun yang bisa mengucapkannya secara langsung.

Para bangsawan yang hadir hanya bisa menahan rasa kesal yang samar di dalam hati. Jelas ini akan menjadi utang besar. Tak seorang pun tahu tuntutan seperti apa yang akan diajukan Rolf di kemudian hari.

Namun mereka tak punya pilihan selain mengandalkannya. Percakapan terus berlanjut dengan lancar seolah semuanya telah diatur.

Di tengah percakapan itu, Edmund sempat mempertimbangkan apakah dia harus memberitahu kemungkinan bahwa Arnold dan Leonard telah bertukar peran. Namun akhirnya dia memilih bungkam.

Menyampaikan hal itu di sini hanya akan menimbulkan kekacauan dan kecemasan tanpa memberi manfaat apa pun. Lagipula, belum ada kepastian. Jika proses rekonsiliasi berjalan mulus, maka biarlah semua itu tetap menjadi rahasia di dalam hatinya. Begitulah Edmund memutuskan.

Saat dia berpikir demikian, seorang pelayan masuk tergesa-gesa ke dalam ruangan dengan wajah panik.

“Ada apa?”

“Ya! Yang Mulia, Duke Kleinert dan Duke Reinfeld baru saja tiba di ibu kota! Duke Kleinert tampaknya telah mengetahui situasi di sini dan sedang menghubungi beberapa bangsawan. Duke Reinfeld juga tampaknya akan bergabung dalam pergerakan ini!”

“Apa katamu!? Ayah dari Nona Fine datang ke ibu kota!?”

Edmund bangkit dari kursinya dengan wajah terkejut.

Lalu, dia langsung menatap Rolf dengan tatapan tajam dan menyatakan, “Duke Holzwat. Begitulah keadaannya. Bolehkah kita menganggap pembicaraan tadi dibatalkan?”

“...Tidak bisa dihindari rupanya. Untuk urusan mediasi, memang mereka jauh lebih tepat. Tapi... Aku merasa ada unsur kesengajaan di balik kedatangan dua orang itu dalam situasi seperti ini.”

“Kalaupun begitu, tidak masalah. Jumlah orang yang mampu menggerakkan mereka bisa dihitung dengan jari. Jika ini adalah hasil rekayasa orang semacam itu, maka itulah yang paling kami harapkan.”

Sambil berkata demikian, Edmund membungkuk dengan sopan dan meninggalkan ruangan. Para bangsawan lain pun mengikutinya satu per satu.

Yang tersisa hanyalah Rolf, yang kemudian mengklikkan lidahnya pelan dengan kesal.


Bagian 8

“Duke Kleinert dan Tuan Weitling telah melakukan kontak.”

“Begitu ya.”

Setelah menciptakan kesan bahwa aku telah kehilangan kendali, aku memilih untuk tetap di kamarku, mengamati situasi dengan saksama.

Untungnya, aku bisa mempercayakan pengumpulan informasi pada Sebas. Di ibu kota kekaisaran ini, aku sudah menjadi sosok yang menarik perhatian. Daripada bergerak secara ceroboh, lebih baik diam dan mengawasi.

“Selain itu, berkat manipulasi kesan yang dilakukan oleh Count Zimmer, tampaknya Tuan Weitling mulai mencurigai bahwa Anda dan Tuan Leonard telah bertukar tempat.”

“Hmm. Jadi mereka menafsirkan ke arah itu.”

Saat aku bergumam demikian, Fine yang tengah menuangkan teh memiringkan kepalanya dan bertanya.

“Apa maksud Anda dengan itu?”

“Itu hal yang sederhana. Aku sengaja menunjukkan sedikit ciri khas Leo. Aku marah dengan cara yang bukan gayaku, dan menekan para bangsawan dengan cara yang tidak biasa untukku. Kalau itu membuat orang mengubah penilaian terhadapku, atau mengira aku dan Leo bertukar peran, itu tidak masalah. Aku memang bergerak agar kesan itu bisa muncul dari dua sisi sekaligus.”

“Anda sampai melakukan sejauh itu... Saya sama sekali tidak menyadarinya.”

“Semakin seseorang mengenalku, perubahan dalam sikapku akan terasa aneh. Maka, wajar saja jika muncul pikiran bahwa mungkin aku dan Leo telah bertukar tempat. Tapi, pada akhirnya, tidak jadi masalah. Kalau penilaian orang terhadapku berubah dan aku dianggap sebagai sosok yang menakutkan, itu pun tidak apa-apa. Memainkan peran sebagai orang tak berguna sudah tak mungkin lagi, tapi setidaknya aku tidak akan lagi ditarik-tarik oleh para bangsawan bodoh. Selain itu, aku juga bisa menunjukkan bahwa aku mampu melengkapi kelembutan Leo yang selama ini dianggap titik lemahnya. Jika mereka berpikir aku adalah Leo, maka akan muncul kesan bahwa Leo juga bisa membuat keputusan tanpa belas kasihan. Dengan begitu, para bangsawan yang ragu pada kelembutan Leo akan mulai bergerak. Kalau mereka menganggap Leo juga memiliki sisi mengintimidasi, mereka tidak akan bisa duduk tenang hanya mengamati.”

Eric dan Gordon tak akan menunjukkan belas kasihan. Para bangsawan yang tak memihak mungkin tidak akan dieksekusi, tapi kekuasaan mereka pasti akan dipangkas. Namun Leo berbeda. Karena kesan bahwa dia lembut dan penuh pengampunan, banyak yang berpikir bahwa mereka bisa terus berdiam diri dan tetap akan dimaafkan.

Jika pada titik ini muncul rasa takut, maka orang-orang seperti itu bisa didorong untuk bergerak.

Aku memang merasa bersalah pada Leo, tapi ini adalah strategi yang hanya membawa manfaat bagi faksi kami, jadi aku hanya bisa berharap dia memakluminya.

“Menurutku, jika itu Tuan Leo, dia tidak akan melakukan pendekatan seperti itu...”

“Orang-orang terdekatku mungkin akan berpikir begitu. Tapi itu hanya sebagian kecil. Bahkan mereka pun akan lebih merasakan ketidaknyamanan dari sikap baruku. Aku juga sudah menyiapkan dasar-dasarnya pada Ayahanda. Bergantung pada bagaimana situasinya berkembang, berpura-pura menjadi Leo pun mungkin akan kulakukan.”

“Itu mungkin akan menjadi langkah terakhir. Tuan Weitling pun tampaknya belum memiliki bukti yang pasti, jadi kurasa dia tak akan membuat keributan. Akan lebih baik jika kita membiarkan masalah ini berakhir dengan kesan yang ambigu.”

"”Benar juga. Lagipula, berpura-pura menjadi Leo memiliki risiko besar.”

Hanya dengan menyebarkan desas-desus bahwa aku dan Leo mungkin telah bertukar tempat, kesan orang-orang bisa diubah.

Terlepas dari kenyataan sebenarnya, cukup dengan membayangkan bahwa aku dan Leo bertukar peran, para bangsawan akan panik. Sejujurnya, aku tidak ingin mengungkapkan bahwa sebenarnya itu adalah Leo.

“Risiko sebesar apa?”

“Risiko yang terlalu besar. Katakanlah aku berpura-pura bahwa sebenarnya aku adalah Leo yang menyamar... Maka sampai dia kembali, aku harus terus memainkan perannya. Itu terlalu menyiksa.”

“Saya rasa Anda bisa melakukannya, Tuan Al.”

“Mampu melakukannya dan ingin melakukannya itu dua hal yang berbeda. Kalau manusia terus berpura-pura, pasti ada batasnya. Aku tidak ingin mengulangnya lagi...”

Yang teringat adalah saat kami pergi ke dua negara bagian selatan.

Waktu itu kami bertukar peran dan aku mengalami kesulitan luar biasa. Bahkan saat itu, makhluk laut raksasa juga muncul. Kalau aku dan Leo bertukar peran, tak ada satu pun hal baik yang terjadi.

Seperti yang Sebas katakan, mungkin sebaiknya kasus ini diselesaikan dengan cara yang membiarkan kesan ambigu tetap ada.

“Sebas. Sebarkan desas-desus soal kemungkinan pertukaran itu. Untuk berjaga-jaga.”

“Ya, akan saya laksanakan.”

“Fine, tetaplah seperti biasa. Tergantung pada situasinya, aku mungkin akan memintamu melakukan sesuatu, tapi untuk saat ini, kita lihat saja bagaimana pihak lawan bergerak.”

“Baik. Kalau begitu, ini tehnya.”

Fine berkata demikian sambil tersenyum, lalu menyerahkan secangkir teh padaku.

Di tengah hiruk-pikuk yang melanda istana, hanya kamar ini saja yang tetap seperti biasa.

* * *

Hari berikutnya.

Aku menerima panggilan dari seseorang dan tengah menuju ke ruangan orang tersebut.

Tempat itu berada di sisi timur bagian dalam istana. Dikenal sebagai Istana Timur, bagian dari istana yang disediakan untuk Putra Mahkota. Ketika Putra Mahkota naik takhta dan menjadi kaisar, istrinya akan berpindah dari sini ke pusat bagian dalam istana sebagai permaisuri.

Dengan kata lain, penguasa tempat ini adalah permaisuri Putra Mahkota. Namun, saat ini tidak ada satu pun yang memegang gelar tersebut. Meskipun begitu, ada seseorang yang tinggal di sini. Mantan permaisuri Putra Mahkota. Seorang wanita yang menjadi janda setelah kematian sang Putra Mahkota. Kakak iparku.

Therese Lakes Ardler. Nama sebelumnya adalah Therese von Weitling.

Putri sulung dari Tuan Weitling.

“Sudah lama ya, Arnold.”

“Ya, sudah lama, Kakak Ipar. Senang melihatmu tampak sehat.”

Aku menundukkan kepala pada sosok cantik berambut panjang berwarna madu, Kakak Therese. Sebelum menjadi istri kakakku, dia pernah menjadi pusat perhatian sebagai bunga kaum bangsawan. Kalau aku ingat dengan benar, usianya baru dua puluh enam. Kecantikannya belum luntur sedikit pun. Namun sejak kematian Putra Mahkota, sorot kegelapan mulai menyelimuti dirinya.

Setelah kematian kakakku, atas keputusan Kaisar, dia diizinkan untuk tetap tinggal di Istana Timur.

Dia begitu terguncang hingga tak mampu menatap masa depan dan hidup dengan tenang. Melihatnya menjalani kehidupan sunyi di istana menimbulkan rasa iba yang tak terelakkan.

Itulah sebabnya aku merasa terkejut ketika dia memanggilku. Karena wanita ini tidak pernah muncul selain dalam acara-acara yang berkaitan dengan mendiang Putra Mahkota.

“Maaf sudah memanggilmu tiba-tiba... Aku ingin meminta maaf atas perbuatan adikku. Sebagai kakaknya, aku merasa sangat menyesal.”

“Tidak perlu merasa bersalah akan hal itu.”

Aku mengangkat satu tangan ke depan, menghentikan niatnya untuk membungkuk.

Tak seharusnya dia menundukkan kepala karena masalah seperti ini. Wanita ini seharusnya menjadi permaisuri, andai semuanya berjalan dengan lancar.

“Aku tahu aku tak punya hak untuk mengatakannya... Tapi bisakah kamu memaafkan adikku, Laurenz?”

Mungkin itu adalah permohonan yang lahir dari lubuk hatinya.

Setelah kehilangan sang Putra Mahkota, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi dirinya adalah para anggota rumah Weitling. Karena itulah dia bertindak kali ini. Namun, dia keliru.

“Sungguh mengecewakan. Aku tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu darimu, Kakak Ipar.”

“...Jadi kamu tidak akan memaafkannya.”

“Benar, aku tidak berniat memaafkannya. Jika ingin dimaafkan, dialah yang seharusnya datang dan meminta maaf secara langsung. Dan sepertinya Kakak Ipar pun keliru dalam memahami sesuatu... Sejak kamu menikahi Kakakku, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kekaisaran. Bukankah seharusnya kamu berpihak padaku?”

“Itu...”

“Laurenz von Weitling telah melakukan penghinaan besar terhadapku sebagai anggota keluarga kekaisaran. Itu berarti dia telah merendahkan seluruh keluarga kekaisaran. Jika itu dibiarkan, maka martabat keluarga kekaisaran akan runtuh.”

“...Arnold, kumohon. Kini aku hanya memiliki keluarga sedarah sebagai tempat bergantung...”

“Sayang sekali, tapi jika kamu berada di posisi Kakak Ipar sekarang, maka seharusnya kamu lebih mengutamakan kedudukanmu sebagai anggota keluarga kekaisaran ketimbang hubungan darah. Aku tidak akan menyebarkan apa yang baru saja terjadi. Tapi mohon diingat, banyak yang tak senang kamu masih tinggal di Istana Timur.”

Setelah memberikan peringatan itu, aku berbalik dan melangkah pergi.

Kedengarannya mungkin kejam, tapi seseorang harus mengatakannya. Kakak Ipar pasti tak ingin meninggalkan tempat ini. Tempat yang penuh kenangan bersama Kakakku.

Baginya, ini adalah tempat yang amat berharga.

“Arnold... Yang Mulia Putra Mahkota... Wil sangat menghargaimu.”

“Itu pertama kalinya aku mendengarnya.”

“Dengan segala kemampuan yang kamu miliki, kamu pasti tahu bahwa tidak ada gunanya menghancurkan keluarga Weitling... Adikku masih muda. Tolong beri dia kesempatan untuk memperbaiki semuanya...”

“Dia lebih tua dariku. Dan seandainya dia punya pertimbangan yang layak, seharusnya dia bisa menghindari bencana ini. Dia yang menantang keluarga kekaisaran, dan kini menerima balasan setimpal. Sebagai kepala bangsawan ternama, dia jelas tidak memenuhi syarat. Jika orang yang tak kompeten memegang kekuasaan, yang lahir hanyalah kekacauan. Kakak Ipar pasti tahu akan hal itu.”

“Arnold...”

“Aku undur diri.”

Dengan kata-kata itu, kali ini aku benar-benar meninggalkan ruangan tersebut.


Bagian 9

Beberapa hari telah berlalu sejak Duke Kleinert dan yang lainnya melakukan kontak dengan Tuan Weitling. Akhirnya, pihak mereka mengajukan permintaan untuk bertemu dengan kami.

Sebagai tanggapan, aku mengutus Sebas sebagai perwakilan dan memutuskan untuk tidak menemui mereka langsung.

“Apakah mereka marah?”

“Bukan marah, lebih tepatnya mereka tampak bingung. Wajar saja. Ini adalah perundingan penting untuk rekonsiliasi, tapi yang Anda kirim hanyalah seorang kepala pelayan.”

“Siapa pun yang pergi, hasilnya akan sama. Tapi, aku tetap ingin tahu, apa syarat yang mereka ajukan?”

“Para bangsawan yang telah ditangkap akan menyerahkan kembali gelar kebangsawanannya. Sedangkan para bangsawan penting yang tersisa akan diturunkan satu tingkat gelarnya, sesuai permintaan kepada Yang Mulia. Kemudian, mereka yang tersisa akan membayar ganti rugi secara kolektif.”

Kalau dibilang wajar, ya wajar-wajar saja. Tapi itu bukan syarat yang aku cari.

“Aku menolaknya.”

“Sudah saya sampaikan demikian.”

Memang sejak awal aku berniat menolak tawaran pertama.

Strategiku adalah tetap mempertahankan sikap keras. Itu pula alasan aku menolak permohonan kakak iparku.

“Dengan ini mereka pasti menyadari bahwa syarat setengah hati takkan cukup untuk membuatku setuju.”

“Benar. Mungkin selanjutnya mereka akan mencantumkan pengunduran diri Tuan Muda Weitling dari jabatan kepala keluarga.”

“Itu adalah syarat minimum.”

“Tapi apakah Anda yakin? Menjaga sikap keras terus-menerus mungkin akan memicu perlawanan yang tak terduga.”

Aku mengangguk menanggapi kekhawatiran Sebas.

Akan ada yang menaruh dendam padaku dan menolak rekonsiliasi. Namun.

“Justru itu yang kuinginkan. Tujuanku bukanlah berdamai. Yang harus kulakukan adalah memastikan hal seperti ini tak pernah terjadi lagi. Kalau mereka ingin melawan, silakan saja. Unsur pengacau harus dihancurkan hingga tuntas.”

“Menurut Anda, orang-orang seperti itu akan tetap mengganggu meskipun rekonsiliasi tercapai?”

“Benar. Kalau hanya berdamai sesaat, mereka pasti akan mengulanginya. Mereka harus dihancurkan sampai benar-benar patah semangatnya. Tak boleh setengah-setengah.”

“Mengambil nyawa mereka mungkin lebih mudah.”

“Pasti lebih mudah. Tapi aku tidak akan melakukan itu. Aku tak mau darah tertumpah demi perselisihan yang sepele dan tidak berarti.”

Sikap keras ini, pada akhirnya, demi mendorong penyelesaian secepatnya. Jika mereka sadar bahwa mengusikku takkan membawa keuntungan apa pun, maka tak seorang pun akan berani mengusikku lagi.

Kalau kedua belah pihak merasa tak puas, kekecewaan hanya akan menumpuk. Kalau mereka sudah terlanjur kesal, biarkan saja mereka meledak sekarang. Aku akan hancurkan mereka semua sekaligus. Setelah itu, tak akan ada yang berani mengulanginya.

“Anda menyeringai cukup jahat, Tuan.”

“Begitukah?”

“Bukan hanya senyuman, apa yang Anda lakukan pun sebenarnya buruk. Anda menekan lawan dan hanya menunggu mereka meledak. Jika pihak mereka menahan diri, pasti akan muncul ketidakpuasan yang dalam. Jika mereka kemudian beralih mendukung Pangeran Eric, situasinya akan menjadi tidak menguntungkan bagi kita.”

“Kalau mereka cukup dewasa untuk menahan diri, ini semua takkan terjadi. Aku tidak tahu siapa yang akan meledak... Tapi kalau kebencian mereka padaku sudah mencapai puncaknya, cepat atau lambat, mereka pasti bertindak.”

Lagipula, aku sudah membuat dua orang duke datang jauh-jauh kemari.

Aku tentu berharap semuanya bisa selesai dengan damai, tapi aku tidak percaya hasilnya akan seperti itu.

Mereka adalah orang-orang yang digerakkan oleh emosi. Dan sampai akhir pun, mereka pasti akan tetap bertindak dengan emosi.

Dengan perasaan seperti itu, aku diam menunggu kontak selanjutnya dari pihak mereka.

* * *

Seminggu kemudian, hari perundingan pun tiba.

Selama sepekan ini, para bangsawan mengajukan berbagai syarat untuk memohon perundingan kepadaku.

Syarat akhir yang disepakati adalah keluarga Marquis Weitling beserta para bangsawan utama lainnya akan memensiunkan kepala keluarga mereka, masing-masing membayar ganti rugi dalam jumlah besar, dan menyerahkan surat pernyataan bahwa mereka akan menghormati keluarga kekaisaran di masa mendatang. Bangsawan lain akan membayar ganti rugi secara kolektif. Nasib para bangsawan yang telah ditangkap akan diserahkan pada hukum. Rakyat biasa yang ikut terseret akan dibebaskan tanpa dakwaan, dan ganti rugi atas mereka akan ditanggung oleh para bangsawan yang telah memanfaatkan mereka.

Sungguh keputusan yang penuh dengan penderitaan. Keluarga Marquis Weitling dan beberapa keluarga lainnya bahkan harus mengambil anak angkat dari cabang keluarga karena tidak punya penerus. Putri sulung mereka, Therese, kemungkinan besar tidak akan menikah lagi. Adapun putri bungsu yang menjabat sebagai kapten kesatria kekaisaran terlalu sibuk, dan meski menjadi kepala keluarga, hanya akan menjadi simbol semata. Meski demikian, mereka tetap mengajukan syarat ini. Artinya, mereka benar-benar menginginkan damai.

“Yah, mari kita pergi. Kuharap situasinya tidak sampai membuat Fine harus turun tangan.”

“Itu semua tergantung pada pihak seberang. Anda benar-benar percaya bahwa ‘orang itu’ akan bergerak?”

“Siapa tahu. Ini hanya kemungkinan... Tapi semakin buruk situasi bagi mereka, kemungkinan itu semakin besar. Karena itu, kita pun perlu menyiapkan langkah antisipasi.”

“Masalah ini tampaknya akan menjadi lebih besar.”

“Karena tokoh-tokoh yang terlibat pun tokoh penting. Meski mungkin orang itu sendiri belum menyadarinya.”

Sambil membicarakan hal itu, aku melangkah menuju ruang sidang yang disebut sebagai Ruang Penghakiman.

Rekonsiliasi kali ini akan disaksikan oleh Ayahanda dan Franz.

Karena dua orang duke menjadi penengah dalam rekonsiliasi ini. Terkesan berlebihan, tapi ini adalah masalah terbesar di ibu kota saat ini. Jadi kehadiran mereka adalah sesuatu yang wajar. Atau bisa juga dianggap sebagai tekanan agar jangan buat masalah lagi.

Tinggal kita lihat, adakah orang yang berani bergerak tanpa peduli dengan tekanan itu.

“Sungguh tontonan yang menarik.”

Begitu masuk ke Ruang Penghakiman, Duke Kleinert dan Jurgen sudah berada di sana.

Di sisi kanan dari pintu masuk, terlihat kelompok yang berafiliasi dengan Persekutuan Camar Putih, termasuk Tuan Weitling. Dekat dengan mereka, ada seorang pemuda tampan berambut warna madu, Laurenz von Weitling.

Dia menatapku dengan tajam. Di balik sorot matanya, tampak jelas rasa penghinaan.

Para bangsawan lainnya pun memandangku dengan perasaan yang tak menyenangkan.

Sungguh, aku dibenci habis-habisan.

Sambil berpikir begitu, aku berjalan ke sisi kiri dari pintu masuk.

Marie yang datang lebih dulu telah mempersiapkan tempat, dan ketika aku menempati posisiku, dia berbisik pelan dari belakang untuk mengonfirmasi urutan acara.

“Pada dasarnya, kedua duke yang akan memimpin jalannya pertemuan. Syarat dari pihak lawan adalah seperti yang terakhir dikonfirmasi. Dokumen akan diserahkan kepada kedua duke, dan dengan tanda tangan Tuan Arnold dan perwakilan dari pihak lawan, yakni Marquis Weitling, maka rekonsiliasi akan dinyatakan sah.”

“Begitu ya. Kuharap semuanya cepat selesai.”

“Saya juga berharap demikian. Tuan Leonard pasti tak ingin masalah ini makin membesar.”

Bahkan di saat seperti ini, dia masih mendahulukan Leo. Aku hanya bisa tersenyum getir dalam hati atas kesetiaannya, lalu menatap Tuan Weitling yang berdiri di hadapanku dengan raut tak ramah.

Begitu tatapan kami bertemu, Tuan Weitling menundukkan kepala dengan tenang.

“Sudah lama tak bertemu, Tuan Weitling.”

“Sudah lama juga tak bertemu, Yang Mulia Pangeran Arnold.”

“Meski katanya pensiun, Anda tetap harus repot-repot datang. Apa Anda baik-baik saja? Pasti sangat sibuk belakangan ini.”

“Saya masih sanggup menghadapi hal seperti ini. Terima kasih atas perhatian Anda.”

Dengan nada tinggi dariku, dia tetap menjawab dengan sopan.

Sikapnya rendah hati. Itu wajar, mengingat situasi dan siapa yang dia hadapi. Namun, sikap seperti itu rupanya tidak disukai oleh bangsawan-bangsawan muda.

Pandangan mereka padaku semakin tajam. Tapi aku pura-pura tidak menyadarinya dan melanjutkan pembicaraan.

“Begitu ya. Kalau begitu, pastikan kepala keluarga selanjutnya benar-benar di beri edukaasi dengan baik. Tidak mungkin Anda harus terus turun tangan setiap kali ada masalah, bukan?”

“Yang Mulia... Segalanya adalah akibat dari kelalaianku. Mohon maafkan saya.”

“Aku akan mengampuninya. Asal kalian benar-benar menepati syarat yang kalian ajukan.”

“Tentu saja.”

Percakapan kami pun selesai di situ. Tatapan mereka kian menusuk, namun tak lama kemudian Ayahanda dan Franz masuk, membuat suasana berubah drastis.

Semua orang yang hadir langsung berlutut dan menunduk hormat kepada Ayahanda.

“Terima kasih telah berkumpul. Aku senang tempat ini bisa digunakan untuk pertemuan ini. Duke Kleinert dan Duke Reinfeld, kalian pasti merasa terganggu karena hal ini. Maafkan aku.”

“Tidak sama sekali.”

“Sebagai bawahan, ini adalah kewajiban kami.”

Kedua duke menjawab sambil tetap berlutut.

Ayahanda tampak puas, lalu duduk dalam-dalam di singgasananya dan memberi perintah.

“Aku serahkan pertemuan ini pada kalian berdua. Uruslah dengan baik.”

“Siap.”

“Dengan hormat.”

Duke Kleinert dan Jurgen pun bangkit setelah mendapat izin.

Kami pun berdiri mengikuti mereka dan menoleh ke samping. Setelah itu, Jurgen memimpin jalannya acara, menjelaskan rangkaian kejadian hingga sampai pada pertemuan ini, lalu mengonfirmasi kembali syarat-syarat rekonsiliasi.

Semuanya berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan yang khusus, juga tak terasa ada niatan tersembunyi dari pihak lawan.

Mungkin karena berada di hadapan Ayahanda, atau karena mereka tak bisa mempermalukan kedua duke.

Singkatnya, semuanya berjalan lancar hingga tiba saatnya menandatangani dokumen.

“Yang Mulia Pangeran Arnold, Marquis Weitling, silakan ke sini.”

Duke Kleinert memanggil kami ke podium tempat dokumen telah disiapkan.

Aku dan Laurenz melangkah bersamaan ke depan.

Laurenz adalah pemuda tinggi dan tampan. Aura bangsawan terpancar darinya, bahkan tanpa melakukan apa pun. Dia benar-benar sosok yang pas untuk disebut bangsawan muda.

Namun, tindakannya sama sekali tidak mencerminkan seorang bangsawan muda. Emosi telah mengubah dirinya.

Yang mendasarinya mungkin adalah rasa iri. Selama lawannya adalah Leo, dia masih bisa menahan perasaan itu. Tapi terhadapku, perasaan itu meledak. Kecemburuan seorang pria itu menyedihkan, sangat gelap dan dalam.

Mungkin pikirannya sudah tak lagi jernih. Dengan tatapan seperti hendak membunuh musuh bebuyutan, Laurenz berdiri di depanku dan perlahan melepas sarung tangannya.

Lalu melemparkannya ke arahku.

Sungguh mengejutkan.

Semua orang yang hadir terdiam dalam keterkejutan, dan dalam suasana itu, Laurenz berkata, “Pangeran Arnold. Saya, Laurenz von Weitling, menantang Anda untuk berduel. Anda kejam dan sombong. Saya tidak mengakui Anda sebagai anggota keluarga kekaisaran yang patut dihormati. Mohon ambillah sarung tangan itu dan terimalah tantangan dari saya. Demi seluruh kejadian yang telah terjadi... Mari kita tuntaskan ini dalam duel!”

Barangkali, dalam sejarah keluarga Marquis Weitling, inilah tindakan paling bodoh sekaligus paling berani.

Menampar wajah seorang pangeran dengan sarung tangan di hadapan Kaisar, dan menghancurkan negosiasi rekonsiliasi yang dijembatani dua orang duke.

Itu sendiri sudah menunjukkan betapa luar biasanya tindakannya, dalam arti yang buruk.

Namun, ini sungguh di luar perkiraanku. Tidak kusangka akan ada tantangan duel di momen seperti ini.

Sepertinya, urusan ini akan menjadi sangat merepotkan.

Sambil memikirkan hal itu, aku mulai dengan merapikan rambutku yang berantakan.

Nah, sekarang saatnya berakting.


Bagian 10

“Kalau bisa... Aku ingin menyelesaikannya sebagai kakakku. Tapi kalau tantangan duel sudah dilontarkan di tempat ini, maka tak ada lagi ruang untuk bersandiwara.”

Sambil berkata begitu, aku merapikan pakaian yang tadi kusengaja agak berantakan.

Lalu, dengan menegakkan punggung dan memasang senyum khas Leo, aku berbalik menghadap Ayahanda.

“Leonard meminta maaf kepada Yang Mulia. Maafkan saya atas kebohongan yang saya lakukan.”

“Aku sempat berpikir kemungkinan itu... Tapi ini benar-benar kamu, Leonard?”

“Ya. Memang menipu Yang Mulia Kaisar adalah dosa besar, tetapi dalam kejadian ini seluruh wewenang telah diserahkan pada Kakak. Ini semua bagian dari rencana, jadi mohon maklumilah.”

“Aku tidak berniat mempermasalahkan itu. Tapi... Sejak kapan kalian bertukar tempat?”

“Kami bertukar ketika semua persiapan untuk meninggalkan ibu kota telah selesai.”

Setelah penjelasanku, Ayahanda mengangguk beberapa kali seolah mengerti.

Melihat itu, aku kembali menoleh ke arah Laurenz.

Dia tampak terkejut mengetahui bahwa aku selama ini berpura-pura sebagai Leo, tetapi tatapan permusuhannya masih belum menghilang.

“Ayah memang sempat menyebut kemungkinan bahwa Pangeran Leonard dan Pangeran Arnold telah bertukar tempat... Tapi aku tidak tertipu. Kalau itu benar Pangeran Leonard, dia tak mungkin melakukan tindakan sekeji itu!”

“Kalau kamu berkata begitu, aku jadi bingung harus menjawab apa... Tapi yang kamu sebut tindakan keji itu maksudnya yang mana, Tuan Weitling?”

“Kami bertindak atas perkataan Pangeran Arnold! Beliaulah yang berkata untuk menyingkirkannya dengan cara apa pun! Maka kami bergerak!”

“Benar, kakakku memang berkata begitu. Kalau itu yang kalian jadikan dasar untuk bergerak, maka aku akui. Lalu apa masalahnya? Kalian mencoba menyingkirkan dia dengan segala cara, dan sekarang kalian berada di posisi kalah. Bukankah itu konsekuensinya?”

“Itulah masalahnya! Dia memancing kami lalu menggunakan nama Yang Mulia Kaisar untuk menjebak dan menghukum! Kalau itu bukan keji, lalu apa namanya!?”

Kata-kata Laurenz langsung mendapat dukungan dari para bangsawan muda anggota Persekutuan Camar Putih.

Begitu rupanya, karena itu mereka kesal. Mereka merasa hanya bereaksi karena diprovokasi. Hanya itu. Tetapi begitu dijebak dengan wewenang kekaisaran, mereka menganggap itu tidak adil.

Menggelikan.

“Aku hanya ingin bertanya satu hal, Marquis Weitling.”

“Apa itu, Pangeran Arnold?”

Sepertinya dia sama sekali tak mau mengakui bahwa aku adalah Leo.

Betapa bodohnya. Ini seharusnya menjadi kesempatan terakhir untuk mundur dengan bermartabat. Tapi kalau sudah begini, aku tak bisa menolongmu lagi. Padahal aku berusaha menghindari pertumpahan darah.

“Kakakku memprovokasi kalian dengan berkata singkirkan dia dengan cara apa pun. Dan kalian benar-benar menggunakan segala cara. Lalu kalian tertangkap dan merasa tidak adil. Benarkah itu isi keberatan kalian?”

“Tepat sekali!”

“Begitu ya... Tapi izinkan aku bertanya, jika kalian boleh menggunakan segala cara, bukankah itu berarti kakakku juga boleh melakukan hal yang sama? Termasuk bertukar tempat denganku. Jangan bilang kalian merasa bebas menggunakan segala cara, tapi kakakku tidak boleh melakukan apa-apa? Inti dari provokasinya adalah, ‘Siapa pun yang tak mampu menyingkirkanku, tak pantas diakui.’ Kalian gagal menyingkirkannya, dan kalian kalah. Itulah kenyataan yang terjadi, bukan begitu?”

Pada akhirnya, semua kekacauan ini bersumber dari satu hal.

Mereka tak bisa menerima bahwa seorang pangeran buangan berada di sisi Fine, dan apa yang kucoba beritahu pada mereka adalah, kalau mereka memang tidak suka, coba saja singkirkan aku.

Persekutuan Camar Putih berusaha menyingkirkan aku, dan aku pun menyambut tantangan mereka. Lalu mereka kalah.

Maka sebagai pihak yang kalah, mereka harus menerima syarat sepihak yang ditetapkan.

“Itu hanya alasan belaka! Apa Anda mau bilang bahwa siapa pun yang terjebak itu salahnya sendiri?”

“Ya, begitulah. Ini sejak awal bukan duel kesatria. Inilah politik. Dan dalam dunia politik, yang menanglah yang mutlak. Karena itulah aku tak boleh kalah. Yah... Pelajaran baru bagiku juga.”

“Itu pemikiran yang keji! Saya tidak bisa menerima orang sekeji Anda! Bahkan jika Anda benar-benar Pangeran Leonard sekalipun, tak mungkin orang seperti Anda menjadi kaisar!”

“Kalau menurutmu aku tampak keji, itu karena kamu naif dan tak tahu apa-apa. Anggaplah aku memang keji dan tak layak menjadi kaisar. Tapi bagaimana kamu menjelaskan perbuatanmu ini? Menantang seorang pangeran dalam duel di hadapan Kaisar. Bukankah itu bisa dianggap penghinaan terhadap keluarga kekaisaran?”

Aku menatap tajam ke arah Laurenz. Dia terdiam, kehilangan kata-kata.

Dia mungkin hanya terbawa emosi sampai mengajukan tantangan duel. Tapi itu tindakan bodoh.

“I-Itu duel pribadi! Saya, Laurenz, menantang pribadi yang bernama Arnold!”

“Sudahlah... Sudah cukup memalukan.”

Tuan Weitling akhirnya tak sanggup lagi dan berbisik pelan.

Lalu dia berbalik menghadap Kaisar, berlutut, dan membenturkan dahinya ke lantai.

“Semua sudah cukup. Jatuhilah hukuman pada saya dan putra saya. Saya tak sanggup lagi melihat putra saya mempermalukan dirinya...”

“Ayah...!”

Laurenz menatap sang ayah dengan keterkejutan.

Tapi itu hal yang wajar. Menantang seorang pangeran di hadapan Kaisar berarti sama saja dengan meremehkan Kaisar itu sendiri.

“Angkat kepalamu, Edmund.”

“Hamba tak sanggup...”

“Hmph... Marquis Weitling. Sepengetahuanku, Persekutuan Camar Putih, termasuk dirimu, telah ‘kalah’, bukan? Bukankah tempat ini diadakan karena kalian kalah?”

“Y-Ya, Yang Mulia! Tapi kami tidak kalah! Pangeran Arnold hanya bersandar pada nama Kaisar! Dia membanggakan diri dan bertindak semena-mena! Itu sangat sombong dan tak layak!”

“Sombong, ya? Tapi bagaimana denganmu? Bukankah kamu telah mempermalukan dua duke yang menjadi penengah, ayahmu sendiri, aku, dan juga Kanselir? Untuk seorang marquis, bukankah itu sangat sombong?”

“S-Saya mohon maaf karena tak bisa menahan emosi dan telah bertindak tidak hormat... Tapi saya tetap tidak akan menarik tantangan duelnya!”

Ayahanda pun memandang ke arah Franz dengan ekspresi jenuh, seperti orang dewasa menghadapi anak yang keras kepala.

Franz mengangguk, seolah telah mengerti maksudnya.

“Marquis Weitling, bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan?”

“Silakan, Yang Mulia Kanselir.”

“Kalau kalian tidak mengaku kalah, kenapa kalian meminta rekonsiliasi?”

“Itu bukan kemauan kami! Ayahku yang mengambil keputusan, dan semuanya sudah terlanjur mengarah ke sini...”

“Begitu ya. Tapi kamu akui bahwa kalian berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, bukan?”

“I-Itu... Ya, benar...”

Laurenz tampaknya ingin membantah, tapi tatapan tajam Franz membuat semangatnya menguap, dan dia akhirnya mengaku dengan suara lirih.

Franz mengangguk, merasa cukup, lalu merangkum semuanya.

“Kalau begitu, duel ini tidak dapat diterima. Pihak yang berada dalam posisi lemah tidak boleh menantang pihak berkuasa dalam kondisi tidak seimbang. Lagipula, duel hanya berlaku antara dua pihak yang setara. Seorang bangsawan tidak bisa menantang anggota keluarga kekaisaran. Dan tak pernah ada preseden semacam itu sebelumnya.”

“Mustahil!”

“Tak peduli sekeras apa pun kamu berteriak, keputusan sudah bulat. Dan jika duel tak diakui, maka yang tersisa hanyalah bagaimana kita menyikapi ketidaksopananmu. Kalau kamu tidak bisa menghormati seorang pangeran, maka cukup hadapi dia sebagai lawan politik. Ini masa perebutan takhta. Tak perlu repot-repot merendahkan Kaisar demi menantang duel. Kamu pasti tahu, antara seorang pangeran dan Kaisar, ada jurang kekuasaan yang amat besar. Kaisar adalah penguasa mutlak Kekaisaran. Menghinanya berarti melanggar dosa tertinggi. Dan tentu saja, siapa pun yang mendukung tindakanmu juga sama bersalahnya.”

Tatapan Franz kini beralih ke para bangsawan muda di belakang Laurenz.

Mereka semua ikut terseret. Dan wajah mereka pun langsung pucat pasi.

Wajar saja. Seberapa kurangnya pemikiran mereka sampai tak menyadari semua ini?

Laurenz tetaplah Laurenz. Padahal aku sudah mengungkapkan bahwa aku adalah Leo agar tidak berakhir dalam hasil yang paling buruk. Jika saja saat itu dia berkata bahwa semuanya akan berbeda bila yang ada di hadapan mereka adalah Pangeran Leonard, maka hasilnya mungkin akan lain.

“Begitu ya... Jadi Kanselir pun berada di pihak Pangeran Arnold.”

“Terserah bagaimana kamu menafsirkannya. Tapi sebaiknya kamu pahami satu hal, karena hanya bisa menanggapi dengan emosi seperti itu, ayahmu tak pernah membiarkanmu mendekati ranah politik. Belajarlah dari situ. Meski belum tentu kamu punya kesempatan berikutnya.”

Franz lalu memalingkan pandangannya ke arah Ayahanda.

Yang dia maksud adalah, apakah Laurenz akan dijatuhi hukuman penggal atau tidak.

Apa yang telah dilakukannya di tempat ini memang pantas dihukum seberat itu. Itulah mengapa Tuan Weitling segera menyerahkan lehernya sendiri, demi mencegah agar kesalahan ini tidak menjalar ke orang lain.

Laurenz adalah seorang marquis, Marquis Weitling, sekaligus pemimpin Persekutuan Camar Putih. Meskipun dia mengklaim bahwa tantangan duel itu bersifat pribadi, namun dengan posisinya sebagai marquis, dia tak bisa dianggap hanya sebagai individu biasa. Terlebih lagi, dia juga pemimpin dari sebuah organisasi.

Masalah kali ini tak akan selesai hanya dengan memenggal kepala Laurenz. Dia telah melampaui batas.

Jika hal ini dianggap sebagai tanggung jawab Persekutuan, maka kepala para bangsawan yang terlibat juga harus dipenggal. Sebaliknya, jika ini dibebankan sebagai tanggung jawab keluarga Marquis Weitling, maka semua kerabatnya akan terkena imbas.

Kedua pilihan itu membawa konsekuensi besar.

Jika memilih yang pertama, menjelang perayaan dua puluh lima tahun penobatan kaisar, akan banyak bangsawan yang kehilangan kepala. Ini akan menandakan ketidakstabilan kekaisaran, membuat para tamu dari luar negeri enggan datang, dan mencoreng upacara peringatan tersebut.

Jika memilih yang kedua, semua keluarga Weitling ikut kena. Yang paling bermasalah adalah, di antara mereka terdapat Komandan Kesatria Pengawal. Bila dikecualikan, maka akan tampak bahwa Kaisar bersikap lunak. Namun bila kehilangan komandan hanya karena masalah sepele seperti ini, itu pun konyol.

Kebodohan terbesar Laurenz adalah karena dia tak memperhitungkan pengaruhnya sendiri. Dia bertindak sesuka hati, padahal keluarga Marquis Weitling bukanlah keluarga yang boleh bertindak sembarangan.

“...Insiden ini benar-benar melampaui batas. Kalau bicara soal kesombongan, justru Marquis Weitling-lah yang bersalah. Seorang bawahannya telah meremehkan keluarga kekaisaran. Aku tetapkan hukuman penggal bagi Marquis Weitling dan bangsawan-bangsawan utama dari Persekutuan Camar Putih.”

Tampaknya Ayahanda lebih memilih mempertahankan Komandan Kesatria Pengawal ketimbang mempertahankan reputasi. Yah, begitulah mestinya.

Dia adalah kekuatan militer penting bagi kekaisaran. Terlalu sayang untuk dikorbankan.

Saat aku memikirkan hal itu, tiba-tiba suara seorang wanita menggema di dalam ruang takhta.

“Tunggu, Yang Mulia Kaisar.”

Sudah lama aku tak mendengar suara itu.

Astaga. Jadi dia benar-benar muncul. Sekarang situasinya menjadi lebih rumit.

Inilah hal yang membuat keluarga Marquis Weitling menyebalkan. Mereka bisa memanggil tokoh seperti ini ke medan permainan. Seharusnya kepala keluarga mereka bertindak dengan mempertimbangkan pengaruh seperti ini sejak awal.

Sambil menghela napas dalam hati, aku membungkuk hormat kepada wanita paruh baya yang muncul itu.

“Sungguh telah lama tidak berjumpa, Yang Mulia Permaisuri.”

Permaisuri Kaisar. Pemilik kekuasaan tertinggi di kalangan wanita kekaisaran.

Dialah Permaisuri Brunhild Lakes Ardler.

Tak perlu ditanya siapa yang membujuknya untuk muncul. Di belakangnya, Therese pun menampakkan diri.

Sebagai menantu perempuan dari permaisuri dan istri mendiang Putra Mahkota, mungkin dialah yang memohon agar sang permaisuri turun tangan...

Masalah ini benar-benar merepotkan.

Sekilas, aku melirik wajah Ayahanda. Di wajahnya tergambar amarah yang dalam. Franz yang berdiri di sisinya juga mengerutkan kening.

Situasi terburuk yang bisa dibayangkan, kini telah benar-benar menjadi kenyataan.


Bagian 11

“Brunhilde... Untuk apa kamu datang ke sini?”

Dengan suara yang dipenuhi amarah, Ayahanda menanyai Permaisuri yang menentang keputusan yang telah dia buat.

Sejujurnya, hubungan keduanya memang buruk. Awalnya hanya perbedaan pendapat tentang bagaimana mendidik Putra Mahkota, namun tiga tahun lalu, saat Putra Mahkota wafat, hubungan mereka benar-benar hancur.

Putra Mahkota tewas di perbatasan utara. Mengapa dia berada di sana?

Karena Ayahanda, Yang Mulia Kaisar, memerintahkannya. Sebagai pewaris takhta, Ayahanda menginginkan dia menunjukkan kinerja yang pantas dibanggakan.

Sementara itu, Permaisuri ingin anaknya yang berharga tetap berada di sisinya. Beliau bahkan memohon langsung pada Ayahanda sebelum keberangkatan Putra Mahkota, mempertanyakan risiko yang akan dihadapi.

Kekhawatiran itu akhirnya terbukti. Putra Mahkota tewas dalam pertempuran, dan kekaisaran pun kehilangan penerus idamannya.

Sejak saat itu, hubungan mereka membeku. Permaisuri menyalahkan Ayahanda karena telah memaksakan perintah, dan Ayahanda sendiri mulai menjaga jarak, enggan menyembunyikan ketidaksenangannya terhadap sikap istrinya.

Meski begitu, hubungan dingin di antara mereka tak menjadi masalah besar. Mereka tak kekurangan anak, dan setelah kematian Putra Mahkota, Permaisuri kehilangan semangat, lebih memilih hidup tenang di istana dalam. Hal ini justru menguntungkan bagi Ayahanda, karena menjaga ketertiban di istana adalah tugas utama Permaisuri.

Namun, kini Permaisuri bergerak atas dorongan Therese.

Dan inilah yang paling menyulitkan. Dua orang yang lebih tinggi dariku mulai saling berbenturan. Aku tak bisa menghentikan mereka.

“Aku datang untuk menghentikan pertumpahan darah,” ujar Permaisuri sambil melangkah maju.

Ayahanda memandangnya dengan kesal, wajahnya mengernyit.

“Ini bukan urusan wanita. Mundurlah!”

“Aku tak bisa melakukannya.”

“Kamu datang karena diminta Therese, bukan? Tapi orang-orang ini telah meremehkan keluarga kekaisaran. Bila tak dihukum, itu bisa melukai kehormatan kekaisaran.”

“Aku paham hal itu. Tapi aku datang bukan hanya karena permintaan Therese. Aku ke sini karena pertumpahan darah di waktu seperti ini akan merugikan kepentingan negara.”

“Aku juga tahu itu. Tapi mereka tetap harus dihukum.”

“Akulah yang menjalin komunikasi dengan keluarga kerajaan dari berbagai negara. Aku telah berkirim surat berkali-kali agar mereka mau hadir dalam upacara. Apakah engkau hendak menghancurkan semua usaha itu?”

Aku paham maksud Permaisuri.

Menteri Luar Negeri, Eric, memang menangani negosiasi dengan negara-negara besar. Tapi untuk mendukung diplomasi tersebut, Permaisuri dan para selir lainnya aktif berkomunikasi dengan keluarga kerajaan asing melalui surat-menyurat.

Tak hanya surat, mereka juga saling mengirim hadiah dan bertukar informasi. Para wanita di istana dalam juga turut bekerja keras.

Karena itulah, hukuman yang bisa menghancurkan usaha itu tidak bisa dianggap sepele. Aku paham maksudnya. Tapi lalu, apa yang bisa dilakukan? Itulah masalahnya.

Tak mungkin membiarkannya begitu saja.

“Lalu apa yang kamu usulkan? Jangan bilang kamu ingin memaafkan mereka?”

“Tentu saja hukuman diperlukan. Tapi jangan sampai menumpahkan darah. Waktu ini sangat tidak tepat. Bagaimana kalau dijebloskan ke penjara, dan dihukum setelah upacara selesai?”

“Setelah upacara akan ada pengampunan umum. Kalau yang lain diampuni, mereka pun harus diampuni. Kalau mau menghukum, sekarang satu-satunya waktu.”

“Kalau begitu, bukankah sebaiknya kita berdamai saja? Jika tersiar kabar bahwa para bangsawan terkemuka dihukum mati atas perintah Kaisar, para tamu kerajaan dari luar negeri jelas akan mengurungkan niat untuk datang, apa pun alasannya. Kehormatan keluarga kekaisaran memang penting, tapi kepentingan negara pun tak kalah penting, bukan? Jangan dilupakan, Yang Mulia. Anda pernah sekali mengabaikan permohonanku dan menyebabkan kerugian pada negara.”

“Jangan bawa-bawa soal Putra Mahkota!”

Ayahanda berteriak, lalu menoleh pada Franz dengan wajah yang mengerut.

Franz pun terlihat amat kesulitan.

Apa yang dikatakan Permaisuri memang benar. Bila sudah menyangkut kepentingan negara, bahkan kehormatan kekaisaran pun jadi bisa dipertimbangkan. Tapi, jika para pelaku dibiarkan begitu saja, maka akan muncul lagi mereka yang serupa. Itu pun akan merugikan negara.

Bagaimanapun juga, tak ada jalan keluar yang benar-benar menguntungkan kekaisaran.

Ayahanda mengalihkan pandangannya dari Permaisuri dan menatap Laurenz dengan sorot penuh amarah. Laurenz terlihat gentar. Wajar saja. Ujung dari semua kekacauan ini bukan hanya akan menimpa dirinya, tapi orang-orang lain juga.

Seandainya saja dia mundur ketika aku mengungkapkan bahwa aku adalah Leo, semuanya tak akan sampai seperti ini. Kini situasi telah di luar kendaliku.

Saat itulah, suara langkah kaki terdengar.

Kalau saja aku tak harus bergantung padanya, tapi karena Permaisuri sudah turun tangan, aku tak punya pilihan.

Tampaknya bala bantuan yang aku minta pada Fine telah tiba.

“Eh? Kukira Al yang ada di sini, tapi kenapa malah Leo?”

Dengan senyum, senyum yang nakal, ibuku, Mitsuba, masuk ke ruang takhta. Seperti bagaimana ibuku akan bertindak. Tentu saja dia berkata begitu karena tahu akulah Al.

Fine kubiarkan tetap berada di sisi Ibu. Dan jika Permaisuri sampai turun tangan, aku sudah meminta agar Ibu ikut turun juga.

Fine tidak tampak, tapi mungkin itu perhatian dari Ibu.

Meskipun Fine sama sekali tidak bersalah, dia pasti akan merasa bersalah bila berada di sini.

“Ibu, aku sedang menyamar menjadi Kakak.”

“Sejak dulu kalian memang pandai bertukar peran, ya. Tapi jangan lakukan itu di hadapan Kaisar. Itu tidak sopan.”

“Ya, mohon maaf.”

“Leo sudah bertindak kurang ajar, Yang Mulia.”

“Mitsuba... Kamu juga mau apa?”

Ayahanda terlihat kebingungan, dan Franz tampak seperti sedang menahan sakit perut. Pertengkaran antara Kaisar dan Permaisuri saja sudah berat, apalagi kini ditambah Ibu. Tak heran bila beban mental mereka terasa amat berat.

Ini bukan lagi sekadar perselisihan antara pangeran dan bangsawan.

Namun di tengah situasi yang begitu kacau, Ibu tampak sama sekali tidak terganggu.

“Aku datang untuk melihat keadaan setelah mendengar bahwa Yang Mulia Permaisuri menuju ruang takhta. Dan rupanya benar, terjadi perbedaan pendapat.”

“Ny. Mitsuba... Sebaiknya Anda mundur saja.”

“Permaisuri. Aku tidak berniat mengganggu. Aku hanya ingin membantu mencari titik temu di antara kalian.”

“Andalah ibu dari Leonard. Bukankah Anda mungkin memihaknya?”

“Rasa curiga Anda bisa dimengerti. Tapi kita semua tahu, jika terus bersikukuh, ini tak akan berakhir, bukan begitu?”

Tak bisa membantah, Permaisuri pun terdiam. Dia tahu dia tak bisa terus menantang Ayahanda. Bila Kaisar benar-benar marah, bahkan Permaisuri pun tak akan selamat.

Kata-kata Kaisar adalah mutlak. Jika Ayahanda menghendaki, dia bisa mengabaikan segalanya dan menghukum mati semua orang di sini. Kaisar adalah makhluk seperti itu. Bila dia menemukan satu saja alasan yang cukup kuat, segalanya bisa berakhir.

Saat melihat Permaisuri diam, Ibu mengarahkan pandangannya ke Ayahanda.

Ayahanda pun tampaknya menyadari bahwa situasi tak kunjung membaik dan mengangguk kecil.

“Kalau begitu, biar aku yang mencarikan titik temunya. Meski, pendapatku hanya satu, anggap saja semuanya tidak pernah terjadi.”

Semua orang menunjukkan ekspresi bingung.

Namun hanya aku yang menyipitkan mata. Karena itu adalah solusi yang juga kupikirkan.

“Leo, kamu bisa menjelaskannya? Kupikir kamu lebih pandai menjelaskannya daripada aku.”

“Ya, baiklah.”

“Apa maksudnya itu? Kamu pun, Leonard, mengerti maksudnya?”

“Ya, Yang Mulia. Saya dan Ibu sependapat. Permasalahan terbesar dalam insiden kali ini adalah fakta bahwa Laurenz von Weitling adalah kepala keluarga bangsawan ternama sekaligus pemimpin Persekutuan Camar Putih.”

“Aku tahu itu! Aku ingin tahu bagaimana selanjutnya!”

Entah karena Permaisuri, Ayahanda tampak sangat kesal.

Sebaiknya ini diselesaikan secepat mungkin.

“Karena itu, mari kita anggap saja seolah-olah permintaan duel itu tidak pernah terjadi.”

“Aku mengerti. Itu ide yang cerdik.”

Franz segera memahami maksudnya dan mengangguk berkali-kali.

Namun, karena masih diliputi amarah, Ayahanda yang kurang mampu berpikir tenang memandang dengan raut wajah mencurigakan.

Aku pun mulai menjelaskan dengan hati-hati.

“Marquis Laurenz von Weitling tidak mengajukan permintaan duel dan telah menerima perjanjian damai. Setelah itu, terungkap bahwa saya adalah Leonard, dan untuk membatalkan perjanjian tersebut, dia menantangku dalam duel. Mari kita buat cerita seperti itu. Jika duelnya terjadi setelah dia menerima perjanjian, maka saat itu Laurenz bukan lagi seorang Marquis Weitling. Artinya, dia bukan lagi bangsawan berpengaruh seperti yang dimaksud oleh Yang Mulia Permaisuri. Dengan begitu, dampaknya bisa diminimalkan.”

“Jadi, kamu ingin memutarbalikkan kenyataan? Dan menganggap tidak ada satu pun penghinaan yang terjadi terhadap keluarga kekaisaran, termasuk terhadap diriku?”

“Benar. Asalkan semua orang yang ada di sini menjaga mulutnya, kebenarannya tidak akan tersebar.”

“Itu memang bagus... Tapi, bagaimana dengan soal menjaga wibawa keluarga kekaisaran? Itu sama sekali tidak terpecahkan, bukan?”

Ayahanda memandangku dengan tatapan penuh kekesalan.

Di benaknya, sepertinya satu-satunya cara mempertahankan kehormatan kekaisaran hanyalah dengan mengeksekusi Laurenz.

Dia kehilangan ketenangan karena Permaisuri membahas soal Putra Mahkota.

Topik itu bagaikan larangan di antara suami istri ini.

“Itu bisa diselesaikan dengan hukuman setelah duel. Menantang anggota keluarga kekaisaran untuk duel adalah tindakan sangat tidak hormat. Maka dari itu, saya akan mengajukan syarat. Jika Laurenz von Weitling kalah... Maka semua bangsawan utama dari Persekutuan yang mengangkatnya harus meminum Anggur Racun Kekaisaran. Dengan begitu, banyak orang akan memahami apa konsekuensi menghina keluarga kekaisaran.”

Begitu nama anggur itu disebut, semua orang yang hadir menegang.

Anggur Racun Kekaisaran adalah racun paling kuat dan paling mengerikan milik kaisar.

Seteguk saja cukup membuat seseorang mengalami berbagai gejala penyakit selama tujuh hari tujuh malam. Efek itu berasal dari berbagai racun yang dicampurkan, dan setiap hari gejalanya berbeda. Anehnya, selama periode itu, si peminum tidak akan mati, hanya menderita di ambang hidup dan mati.

Setelah melewati penderitaan yang tiada akhir itu, orang yang meminumnya pasti akan mati.

Racun ini hanya digunakan untuk penjahat kelas berat, dan selama masa pemerintahan Ayahanda, belum pernah digunakan sekali pun.

“...Kalau diketahui bahwa aku yang memberikan racun itu, kamu pikir para tamu dari luar negeri masih akan datang?”

“Yang memberikannya bukanlah Yang Mulia. Laurenz von Weitling menantangku duel dengan syarat itu. Maka dari itu, reputasi kekaisaran pun tidak akan jatuh. Dia mengambil risiko dengan meminum racun demi menghindari hukuman, dan kemudian kalah. Jika dia mati, itu adalah tanggung jawabnya sendiri.”

Mendengar itu, wajah para bangsawan muda dari Persekutuan semakin pucat. Bangsawan utama yang dimaksud adalah mereka yang hadir di tempat ini.

Jika Laurenz kalah, mereka juga harus meminum racun itu.

“Kalau begitu, bukankah akan ada penjahat lain di masa depan yang melakukan hal yang sama untuk menghindari hukuman mati?”

“Tak masalah, Yang Mulia Permaisuri. Setelah semua ini selesai, kita cukup membuat hukum yang melarangnya. Anggap saja ini pengecualian satu kali.”

“...Begitu, ya.”

“Bagaimana menurut kalian? Wibawa kekaisaran tetap terjaga, dan reputasi kekaisaran tidak rusak.”

Mendengar itu, Permaisuri melirik Therese.

Therese mengangguk perlahan, seolah menyadari bahwa diberikan kesempatan kedua saja sudah patut disyukuri. Meskipun hasilnya adalah kekalahan dan kematian yang mengerikan.

“...Ide yang bagus. Tapi aku tetap tak puas. Apa untungnya bagimu, Leonard?”

Ayahanda menatapku lurus.

Ya, memang tidak ada keuntungan bagiku.

Tidak ada manfaat untuk menerima duel. Aku adalah pihak yang dirugikan, dan pihak lawan akan mati meski aku tak melakukan apa-apa. Memberikan mereka kesempatan untuk bangkit terasa tidak masuk akal.

Namun, justru karena itu nilainya tinggi.

“Saya... Adalah orang yang mengincar takhta kekaisaran. Bahwa kekaisaran menjadi kacau karena kejadian ini adalah fakta. Saya punya kewajiban untuk menanggung tanggung jawab itu.”

“Oh? Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan jika kalah? Kamu bicara seolah pasti menang.”

“Jika saya kalah, maka saya serahkan pada Yang Mulia. Mau dibuang dari keluarga kekaisaran atau dipancung, saya terima. Seseorang yang kalah dalam pertarungan seperti ini tidak layak menjadi kaisar.”

Ucapan yang sungguh nekat. Aku menyamar sebagai Leo dan mempertaruhkan segalanya atas nama Leo. Tapi kupikir Leo pun akan mengatakan hal yang sama. Dan bila tidak, dia harus bisa mengatakannya.

Mendengar kata-kataku, Ayahanda tertawa. Tawa itu adalah tawa yang muncul saat beliau merasa puas dengan seseorang.

Sekarang, harapan terhadap Leo akan semakin tinggi.

“Bagus! Itulah semangat yang seharusnya dimiliki oleh calon kaisar! Aku sempat khawatir kamu terlalu lembek, tapi... Rupanya dalam perebutan takhta ini, kamu pun mulai tumbuh.”

“Saya masih jauh dari sempurna.”

“Rendah hati, ya? Baiklah. Akan kulakukan seperti yang kamu katakan. Setelah perjanjian damai disepakati, terungkap bahwa kamu adalah Leonard, dan Laurenz menantang duel atas nama Persekutuan Camar Putih. Dengan syarat, jika kalah, harus meminum Anggur Racun Kekaisaran. Itu ceritanya. Setuju?”

Perintah Kaisar bersifat mutlak.

Ayahanda akhirnya mengeluarkan kekuasaan tertingginya karena beliau sendiri telah merasa puas. Semua orang yang hadir pun segera berlutut dan menyatakan setuju.

Namun suara Laurenz yang terdengar dari sampingku terdengar gemetar.

Sekarang dia hanya punya dua pilihan, mati tanpa perlawanan, atau menantangku dalam duel.

Jika dia protes sekarang, Ayahanda akan langsung memerintahkannya mati. Dan sepertinya dia cukup sadar untuk tidak melawan.

Setelah Permaisuri dan Therese menerima keputusan ini, tak ada lagi tempat untuknya lari.

“Kalau begitu, Marquis Weitling, mohon tandatangani ini.”

Duke Kleinert mengarahkan dokumen kepadanya.

Dengan tangan gemetar, Laurenz mencoba menandatangani, tapi pena terlepas dari genggamannya.

Aku memungut pena itu dan meletakkannya di tangannya dengan erat.

“Ayo, silakan.”

“Ah...”

Didesak olehku, Laurenz kembali menghadap dokumen.

Salah satu bagian dokumen itu telah diperbaiki. Entah Jurgen atau Duke Kleinert yang melakukannya saat situasi kacau tadi. Tadinya tertulis bahwa dia akan mundur dari jabatan kepala keluarga, tapi kini diganti menjadi diusir dari garis keturunan.

Artinya, begitu menandatangani, Laurenz dan para bangsawan utama lainnya akan menjadi rakyat biasa. Keluarga mereka tidak akan dihukum. Duel ini pun dianggap sebagai tanggung jawab pribadi, seperti yang diinginkan oleh Laurenz.

Meski sebenarnya semua bisa berubah dengan satu kata dari Kaisar, itu tetaplah bantuan yang brilian.

Namun, Laurenz yang gemetar tidak menyadarinya.

Setelah dia selesai menandatangani, aku pun langsung menandatangani.

Dengan itu, penandatanganan selesai, dan Laurenz serta kawanannya secara resmi menjadi rakyat biasa.

Aku pun perlahan memungut sarung tangan yang terjatuh di lantai.

“...Leonard Lakes Ardler menerima permintaan duelmu.”

Dengan itu, aku sebagai Leo menerima tantangan duel dari Laurenz.

Begitu mendengar itu, bahu Laurenz bergetar.

Yang terpancar di wajahnya hanyalah ketakutan. Mungkin dia siap mempertaruhkan nyawanya, tapi jelas dia tak pernah siap untuk meminum racun paling mematikan di kekaisaran. Semangat juangnya menghilang secara nyata.

Bagi orang yang paham akan pertarungan, hanya dengan melihat postur kami, mereka akan tahu siapa yang akan menang.

Kemenangan tidak akan berpihak pada orang yang gentar menghadapi maut.

Yah, maafkan aku, tapi kalau sudah sejauh ini, tak ada pilihan lain. Aku sebenarnya ingin menghindari pertumpahan darah. Tapi merekalah yang menolak semua upaya itu.

Jadilah pijakan bagi Leo untuk melangkah maju, Laurenz.


Bagian 12

“Jika tanpa sengaja membunuh lawan pun, kamu tidak akan dihukum. Tapi, usahakan sebisa mungkin untuk tidak menumpahkan darah.”

Ayahanda menyampaikan permintaan yang begitu sulit dengan suara tenang, seolah itu hal sepele.

Lalu, dari para kesatria, pedang yang masih tersarung diserahkan kepada kami.

Pedang itu terlalu berat untuk tubuh lemahkuku. Bahwa aku, yang menyamar sebagai Leo, harus bertarung dengannya, itu sungguh di luar batas. Terlebih lagi, Ayahanda mengira aku adalah Leo ketika menyampaikan permintaan itu.

Sementara itu, Laurenz yang menjadi lawanku tampak begitu kaku bahkan saat menerima pedangnya, tangannya masih gemetar, mungkin tak bisa dihentikannya.

Keputusan untuk menantang duel pastilah datang dari rasa percaya diri yang cukup tinggi. Namun, pikirannya kini dipenuhi dengan ketakutan atas konsekuensi kekalahan. Dia jelas tidak berada dalam kondisi layak bertarung.

Racun Kekaisaran adalah racun yang begitu melegenda. Hanya dengan menyebutnya, pembunuh bayaran dikabarkan bisa mengkhianati majikannya. Kisah dan rumor yang mengelilinginya tak terhitung jumlahnya.

Hanya dengan memikirkan kemungkinan meminum racun itu, tubuh siapa pun pasti akan gemetar. Lagipula, dia awalnya berpikir akan melawan Arnold.

Namun begitu Ibu menyebutku Leonard, semua orang di tempat ini langsung percaya bahwa aku adalah Leo.

Reputasi keberanian Leo jelas terlihat dari berbagai pencapaian terakhirnya. Bahkan sejak kecil, dia belum pernah kalah dalam duel pedang. Tak mungkin bangsawan biasa bisa menang darinya.

Karena itu, aku tak bisa memperlihatkan kelemahan sedikit pun.

“Kalau begitu, bersiaplah kalian berdua.”

Mendengar perintah Ayahanda, aku menarik pedang dari sarungnya.

Laurenz pun melakukan hal yang sama dan bersiap. Posisi kuda-kudanya sangat dasar, tapi jelas dia punya sedikit pemahaman dasar. Jika aku bertarung sebagai diriku sendiri, aku pasti kalah.

Sungguh... Aku semakin terpaksa menggunakan cara-cara yang enggan kupakai.

Sebenarnya semua ini tidak harus sampai ke duel.

Harusnya semua akan diselesaikan melalui perdamaian dalam situasi yang membingungkan, di mana tidak jelas siapa Leo atau Al.

Tapi Laurenz menghancurkan itu semua. Dia bertindak tanpa mempertimbangkan pengaruh dirinya atau suasana yang ada, hingga situasi menjadi rumit dan seseorang harus jadi korban.

Jika itu terjadi, maka Fine akan berduka. Aku telah berusaha keras untuk mencegah itu... Tapi karena kebodohan pria di hadapanku yang menyeret orang lain ke dalamnya, aku kehilangan kendali atas keadaan.

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah terus berpura-pura sebagai Leo dan meningkatkan reputasinya.

Kalau pria ini mati karena tindakannya sendiri, itu urusannya. Tapi yang tak bisa kumaklumi adalah bahwa dia telah mengambil dari tanganku satu-satunya pilihan yang tidak membuat Fine sedih.

Aku sudah bilang pada Fine bahwa tidak akan ada hal menyedihkan yang terjadi. Tapi pasti ucapanku akan jadi kebohongan.

Fine pasti akan merasa bersalah atas kematian mereka. Tak peduli seberapa banyak aku menjelaskan, dia tetap akan menyalahkan dirinya sendiri.

Satu-satunya jalan untuk mencegah masa depan itu... Adalah mengungkapkan bahwa aku sebenarnya bukan Leo, melainkan Al. Dengan begitu, tak akan ada yang perlu jadi korban. Seperti biasa, aku yang menanggung semuanya dan ditertawakan. Tapi yang berbeda dari biasanya adalah, jika aku melakukannya sekarang, aku harus menjauh dari sisi Fine.

Aku tidak punya ambisi untuk tetap jadi anggota keluarga kekaisaran. Bahkan kalau bukan anggota kekaisaran sekalipun, aku masih bisa melindungi Leo.

Namun, jika aku bukan bagian dari keluarga kekaisaran, aku tidak bisa tetap berada di sisi Fine.

Aku menyukai masa kini. Masa kini di mana Fine berada di sisiku.

Ini pasti tindakan yang egois dan menyedihkan.

Sama seperti mereka yang tak memikirkan perasaan Fine. Aku juga ingin tetap bersama Fine, meski itu berarti dia akan bersedih.

Dengan alasan egois, aku ingin mempertahankan Fine di sisiku. Aku ingin dia terus menjadi orang yang berbagi rahasiaku.

Dengan tekad di hati, aku mengangkat pedang hingga sejajar dengan wajah.

Itu adalah ritual kehormatan seorang kesatria sebelum duel. Aku melakukannya dengan sopan, seperti Leo seharusnya. Dan di tengah ritual itu, aku mengaktifkan satu sihir kuno.

Sihir yang kusebut sebagai kartu terlarang dalam diriku.

Namanya adalah Epigonen.

Sihir yang memungkinkan untuk meniru seseorang dalam ingatan dengan sempurna, dari kemampuan fisik hingga teknik bertarung. Sihir yang praktis dan sangat berguna, namun dengan efek samping yang parah. Itulah sebabnya aku selalu menghindarinya. Namun, sekarang tak ada pilihan lain.

Tubuhku dipenuhi tenaga. Pandanganku menjadi luas, mampu menangkap bahkan gerakan halus Laurenz.

Itu adalah penglihatan Leo dalam ingatanku.

Saat ini, dalam sekejap ini, aku benar-benar menjadi Leo.

“Mulai!”

“Uooooaaa!!”

Laurenz menyerang dengan nekat.

Dia tidak memiliki teknik, hanya dorongan penuh dengan keberanian.

Serangan mendadak sebagai langkah pertama. Mungkin dia menganggap itu satu-satunya peluang menang.

Jika kalah, dia mati. Maka, tak ada jalan lain selain menyerang dengan sekuat tenaga. Keputusasaan itu memberinya keberanian tersendiri.

Namun, perbedaan kekuatan kami terlalu jauh untuk dijembatani hanya dengan semangat.

Aku memutar tubuh, menghindar, dan membiarkan serangannya meleset. Tak bisa menghentikan momentum, Laurenz tersungkur ke lantai secara menyedihkan. Dia meringis kesakitan, namun segera teringat bahwa ini duel sungguhan, mengambil kembali pedangnya dan menoleh ke arahku.

Selama momen penuh celah itu, aku tidak bergerak.

Karena Leo tak akan menyerang dalam kondisi seperti itu. Ini bukan sekadar pertarungan, ini adalah duel. Seharusnya dilangsungkan secara terhormat.

“Hah... Hah... U-U-Uwaaaahhh!!”

Tak tahan dengan tekanan yang menyesakkan, Laurenz menyerang lagi. Tapi mungkin karena tadi sempat terhindar, kekuatan serangannya tak sekuat sebelumnya.

Tanpa teknik, tanpa tenaga, serangan itu tak akan bisa menembus Leo.

Aku memutar pedangku untuk menyapu serangan tusuknya ke atas.

Pedangnya meluncur dari genggamannya dan terbang ke udara.

Di saat itu, wajah Laurenz dipenuhi keputusasaan.

Sambil memandangi pedangnya yang melambung, dia perlahan berlutut.

Pedang itu jatuh lurus ke arah Laurenz, dan dia sempat menunjukkan ekspresi penuh harap. Namun, aku menangkap pedang yang jatuh itu dan dengan kedua tanganku, aku arahkan ujungnya ke leher Laurenz.


“Masih ingin melanjutkan?”

“A-Ah... Y-Yang Mulia... M-Mohon ampun... Aku, tidak, saya hanya... Hanya memikirkan Nona Fine...”

“Kalau hanya memikirkan, tak akan berakhir seperti ini. Kamu telah bertindak. Dalam insiden yang melibatkan Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri ini, tak akan selesai tanpa ada yang menjadi korban. Jika kamu memiliki kebanggaan sebagai bangsawan Kekaisaran... Maka demi menjaga kewibawaan keluarga kekaisaran, kuharap kamu yang berkorban.”

“T-Tidak... Tidak! Kalau harus minum racun, lebih baik saya mati di sini!!”

Sambil berkata begitu, Laurenz meluncur ke arah pedang yang kupegang, berniat menabraknya.

Namun aku sudah menduga tindakannya. Aku mundur beberapa langkah dan menghentikannya dari bunuh diri.

“Cukup! Tangkap dia!”

“Yang Mulia! Ampunilah hamba! Yang Mulia! Ayah!! Ayah!! Tolong aku!!”

Laurenz, kehilangan kendali, memohon pada Ayahanda dan Tuan Weitling.

Melihat itu, Ayahanda mengernyit dengan ekspresi jijik.

“Kamu gagal mendidiknya, ya, Edmund.”

“Maafkan hamba... Dengan ini, saya tak pantas hidup. Mohon, izinkan saya juga meminum Racun Kekaisaran...”

Begitu ucap Tuan Weitling, meminta racun itu atas kehendaknya sendiri.

Kenapa putranya bisa jadi seperti ini, aku tak mengerti.

Rasanya bukan karena didikan yang buruk. Putri sulungnya menjadi istri mendiang Putra Mahkota, dan putri keduanya bahkan menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengawal istana. Tak adil jika semua kesalahan ditumpahkan pada orang tua.

Saat aku memikirkan hal itu, Ayahanda menggeleng pelan.

“Tidak boleh. Kamu harus bertanggung jawab atas kejadian ini dan mendidik pengganti Marquis Weitling berikutnya dengan baik. Sampai saat itu, hidupmu akan aku jaga.”

“Yang Mulia...”

“Semua orang, mundurlah. Insiden ini selesai sampai di sini. Tangkap mereka. Mengerti? Jangan biarkan mereka bunuh diri.”

Usai mengatakan itu, Ayahanda bangkit dari singgasananya dan keluar dari ruangan.

Franz yang tertinggal segera bergerak, menyelesaikan urusan dan memberi perintah dengan cekatan.

Di tengah itu, Permaisuri meninggalkan ruangan, disusul oleh Ibu.

Tersisa hanya aku, Therese, dan Tuan Weitling.

“...Kalau aku menyimpan dendam padamu, itu tak pantas, Leonard.”

“Tidak apa-apa jika engkau membenciku.”

“Tidak... Aku justru berterima kasih karena kamu memberiku kesempatan... Tapi bagaimana denganmu? Apa kamu menyalahkanku? Karena aku bertindak untuk menyelamatkan adikku yang bodoh...”

“Aku tidak menyalahkanmu. Keinginan untuk menyelamatkan seseorang adalah hal yang mulia. Tapi... Kakak, caramu salah. Dengan cara itu... Mereka tak bisa diselamatkan.”

Therese telah lama mengurung diri di Istana Timur.

Tak punya sumber informasi lain, dia mungkin hanya bisa bergantung pada Permaisuri.

Mungkin tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Saat kehilangan Putra Mahkota, dia seolah menjadi pertapa.

Namun meski sudah menyingkir dari dunia, dia tak bisa meninggalkan keluarganya.

“Tuan Weitling. Bisakah Anda berdiri?”

“...Untuk saat ini, izinkan saya tetap begini... Saya memang bodoh, dan telah mempermalukan diri... Tapi bagaimanapun, dia tetap anak saya...”

“...Saya mengerti. Kakak, tolong jaga Tuan Weitling.”

Dengan berkata demikian, aku menyerahkan mereka kepada Therese dan meninggalkan Ruang Penghakiman.

Kalau sampai sesuatu terjadi, itu akan menjadi masalah, jadi aku memberi isyarat lewat pandangan kepada Sebas untuk tetap waspada. Dia segera menghilang dari pandangan, seolah sudah mengerti. Jika mereka nekat melakukan sesuatu, Sebas pasti akan menghentikannya.

Setelah itu, aku kembali ke kamarku.

Aku yakin Fine pasti sedang menungguku di sana.

“...”

“Selamat datang kembali, Tuan Al.”

Fine menyambutku dengan ucapan itu.

Namun aku hanya bisa berdiri mematung tanpa sepatah kata pun.

“Tuan Al?”

“...Maaf.”

“Mengapa Anda meminta maaf?”

“Akhirnya, Laurenz dan yang lain tetap akan mati. Sebenarnya ada cara untuk menyelamatkan mereka. Tapi... Walau aku tahu kamu akan bersedih, aku tidak memilih jalan itu.”

Aku melangkah maju selangkah.

Namun di saat itu, sihir peniru yang kugunakan pun lenyap.

Dan tubuhku yang dipaksa untuk meniru pun diserang efek sampingnya.

“Ugh...”

“Tuan Al!?”

Kepalaku terasa berdenyut, dan aku langsung berlutut di tempat.

Rasa sakit yang amat tajam mengaburkan pandanganku. Indra tubuhku pun jadi tak jelas.

Inilah efek sampingnya. Sebagai kompensasi karena memaksa tubuh untuk melakukan gerakan yang sebenarnya tak mampu dilakukan, otakku menerima beban besar dan rasa sakit yang mengerikan muncul. Karena menjadi orang lain sepenuhnya, koordinasi tubuhku pun menjadi kacau.

Aku ingin menggerakkan tangan, tapi tak bisa sesuai keinginan. Perasaan tubuh Leo dan perasaanku sendiri bercampur, membuat tubuh bingung.

Tak sanggup berdiri, aku disangga oleh Fine hingga bisa sampai ke sofa, dan langsung terbaring di sana. Posisi tubuhku membuatku bersandar padanya, dan aku pun tak mampu memperbaikinya.

“Hah... Hah... Makanya aku tidak ingin menggunakannya...”

“Efek samping sihir...?”

“Ya... Sakit kepala ini bisa berlangsung dua hari... Pergeseran sensasi tubuh bahkan lebih lama. Dengan keuntungan hanya dalam beberapa menit, efek sampingnya terlalu besar. Itu sebabnya aku selalu menghindarinya...”

“Begitu parahnya...”

“Tidak ada pilihan lain... Aku harus terus berpura-pura sebagai Leo... Kalau kalah, aku akan kehilangan ‘saat’ ini...”

Aku mengerang menahan nyeri.

Melihat itu, Fine membaringkanku di sofa. Kepalaku jatuh ke pangkuannya, dan sedikit demi sedikit sakit di kepalaku mereda.

Saat aku membuka mata perlahan, wajah Fine yang penuh kekhawatiran ada di sana.

“...Kamu tidak menangis, ya?”

“Nyonya Mitsuba bilang... Seorang wanita tak boleh menangis saat menyambut pria yang telah berjuang. Dia harus menyambutnya dengan senyuman... Itulah etika yang diajarkannya.”

Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, Fine tersenyum lembut padaku.

Itulah ibuku, benar-benar berkata yang tepat.

Benar. Senyuman jauh lebih indah dari isak tangis.

“...Maafkan aku. Aku memaksakan keinginanku. Aku pikir aku bisa menjalani semuanya tanpa membuatmu bersedih... Tapi satu hal yang tidak bisa kuterima adalah... Berpisah darimu.”

“Begitu ya... Jangan khawatir. Saya tidak akan meninggalkanmu. Ke mana pun Anda pergi, saya akan mengikutimu. Saya berada di sini karena saya menginginkannya. Tak peduli siapa yang berkata apa, tempat saya adalah di sisi Anda.”

“Oh... Syukurlah. Kalau begitu, aku bisa tenang... Aku sempat khawatir kalau kamu akan membenciku...”

Aku tersenyum kecut, lalu memejamkan mata.

Tubuhku benar-benar menginginkan istirahat. Rasa sakit di kepala pun masih menusuk, aku ingin segera terlelap.

“Fine...”

“Ya?”

“Karena aku sedang menyamar sebagai Leo... Sampai dia kembali, perlakukan aku sebagai Leo...”

“Baik. Kalau begitu, tidurlah, Tuan Leo. Serahkan sisanya padaku.”

Fine berkata begitu sambil lembut mengelus kepalaku. Setiap kali dia melakukannya, sakit di kepalaku sedikit demi sedikit mereda.

Dengan rasa damai, aku pun jatuh tertidur, sambil meyakini bahwa tempatku memang di sini.



Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment


close