NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V6 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Bab 4: Gadis Suci Leticia

Bagian 1

Beberapa hari kemudian, istana dipenuhi oleh suasana yang sibuk. Hari itu adalah hari kedatangan sang Gadis Suci Leticia, perwakilan dari Kerajaan Perlan, yang datang lebih awal sebelum upacara berlangsung.

Yang bertugas menyambutnya adalah Leo. Aku mengamati semua itu dari balkon.

“Hm, sepertinya belum tiba juga, ya?”

“Tak bisakah kamu sedikit bersabar? Dari tadi berapa kali kamu mengulang kalimat itu?”

“Yang terlambatlah yang salah.”

Dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun, Orihime menjawab demikian. Orihime tiba di ibu kota kekaisaran pagi ini. Meski sedang berkeliling, tampaknya dia memang sudah berada di dekat ibu kota. Setelah membaca surat, katanya dia teringat soal upacara. Betul-betul orang yang bebas.

“Ngomong-ngomong, kenapa adikmu itu tampak gelisah?”

“Mungkin karena akan menyambut sang Gadis Suci yang terkenal di seluruh benua.”

“Gadis Suci? Maksudmu Gadis Suci dari Kerajaan Perlan?”

“Benar. Wanita yang memegang Tongkat Suci, salah satu dari Empat Relik Pusaka yang konon dibuat dari meteor, sama seperti Pedang Suci. Bisa dibilang dia Elna versi Kerajaan.”

“Empat Relik Pusaka, ya? Bahkan aku pun tahu soal itu. Empat pusaka suci, termasuk Pedang Suci, bukan? Tak kusangka salah satunya dimiliki oleh seorang Gadis Suci.”

“Keumuman orang hanya tahu itu sebagai tongkat legendaris. Relik Pusaka sendiri penuh misteri. Katanya dibuat jauh lebih lama sebelum zaman sihir kuno, dan efeknya pun beragam. Meski disebut sejajar, Pedang Suci berada setidaknya tiga tingkat di atas yang lain.”

“Pengetahuanmu cukup luas, ya?”

“Aku dibesarkan bersama teman masa kecil yang membawa Pedang Suci, soalnya.”

Sambil membalas demikian, aku menengadah menatap langit. Orihime yang melihatku tampak heran dan memiringkan kepalanya.

“Kenapa melihat ke langit?”

“Gadis Suci dari Kerajaan Perlan bukan hanya memegang Tongkat Suci. Dia juga salah satu dari sedikit orang yang bisa menunggangi griffon di kerajaan itu.”

Begitu aku mengatakannya, tujuh atau delapan griffon terlihat datang dari arah langit.

Di barisan terdepan, melesat seekor griffon putih yang ditunggangi oleh seorang wanita berambut pirang keemasan pucat.

Rambutnya panjang yang mencapai punggung, dan ciri khasnya adalah hiasan kepala yang dipakainya.

Wanita itu memancarkan aura penuh misteri, dan kecantikannya sungguh luar biasa. Bukan hanya dari penampilan luar. Dia memiliki kecantikan murni, bak salju putih yang belum ternoda.

Seorang wanita tanpa cela. Itulah sosok Gadis Suci Leticia.

Di belakang Leticia, ada griffon hitam tanpa penunggang, diikuti oleh para kesatria penunggang griffon yang bertugas mengawal.

Rombongan Leticia itu disambut oleh Leo dengan anggukan hormat penuh kesopanan.

Karena merasa penasaran, aku menggunakan sihir untuk menguping percakapan mereka.

“Selamat datang di ibu kota kekaisaran, Gadis Suci Leticia. Terima kasih atas perjalanannya yang panjang. Selama berada di ibu kota, saya, Pangeran Kedelapan Leonard, akan bertugas sebagai pendamping Anda.”

“Terima kasih telah menyambutku, Pangeran Leonard. Dan sudah lama tidak bertemu, ya? Sekitar lima tahun, mungkin?”

“Ya. Sudah lama sekali.”

Si Leo itu, dia kelihatan gugup. Biasanya dia akan memuji Leticia yang telah tumbuh dewasa, tapi sekarang dia hanya mengatakan hal-hal yang aman. Mungkin dia berpikir untuk tidak mengatakan sesuatu yang aneh. Leticia yang melihat sikap Leo itu pun tersenyum geli.

“Pangeran, apakah dalam lima tahun ini persahabatan kita telah hilang?”

“T-Tidak! Sama sekali tidak!”

“Kalau begitu, tolong santai saja. Melihatmu kaku seperti itu, aku pun jadi ikut kaku.”


“M-Maafkan aku. Itu karena... Kamu terlihat sangat cantik... Sampai-sampai aku jadi gugup...”

“Terima kasih. Pangeran Leonard juga telah tumbuh menjadi pria yang tampan. Tidak, seharusnya aku tidak mengatakannya seperti itu. Yang benar, kamu telah menjadi sangat terhormat. Kini namamu pun bergema hingga ke kerajaan kami. Sebagai pangeran pahlawan yang menolong rakyat.”

“Itu... Aku hanya dikelilingi orang-orang yang selalu membantuku.”

“Meski begitu, keputusan untuk menolong rakyat tetap datang darimu, bukan? Aku sangat senang mengetahui bahwa kebaikan hatimu tidak pernah berubah.”

Sambil berkata demikian, Leticia mengulurkan tangannya ke arah Leo. Dengan raut tegang, Leo menyambut uluran tangan itu dan mereka pun berjabat tangan. Setelah bertukar beberapa kata lagi, keduanya mulai melangkah menuju istana.

Di tengah perjalanan itu, Leticia sempat menatap ke arahku.

Mata birunya yang jernih bagaikan langit musim semi menangkap sosokku, lalu Leticia tersenyum manis dan melambaikan tangan ke arahku. Karena tak mungkin membalas lambaian itu dengan cara yang sama, aku hanya membalas dengan anggukan kecil.

Dia tetap orang yang sama. Di mana pun dan kapan pun, dia tetap menjadi dirinya sendiri. Bisa dibilang, dia orang yang selalu berjalan dengan iramanya sendiri.

“Hmm...”

“Ada apa?”

“Memang luar biasa ya, sang Gadis Suci. Aku pun sampai terpana melihatnya! Baiklah, aku akui. Dia mungkin cantik di bawahku dua tingkat.”

“Kamu memang tak pernah kehilangan rasa percaya diri, ya... Jadi, siapa yang ada tepat di bawahmu?”

“Itu tentu saja wanita tercantik di Kekaisaran ini.”

Kalau yang dia maksud adalah Fine, berarti mereka sudah sempat bertemu tanpa sepengetahuanku. Tapi ya, berbeda dengan sebelumnya, sekarang Orihime datang sebagai tamu resmi. Mungkin Fine datang memberi salam secara formal.

Namun tetap saja, kalau bahkan Fine hanya ditempatkan satu tingkat di bawahnya, Orihime ini benar-benar luar biasa. Tak salah memang punya rasa percaya diri, tapi kalau terlalu berjalan dengan irama sendiri, orang-orang di sekitarnya yang jadi repot.

“Kalau begitu, Elna ada di peringkat berapa?”

“Di luar kategori.”

“Tolong jangan ucapkan itu di depan orangnya nanti...”

Aku pun menghela napas panjang.

Kedatangan tokoh penting artinya juga datangnya potensi masalah.

Semoga saja tidak ada banyak masalah yang akan muncul.

Dengan harapan itu dalam hati, aku pun meninggalkan balkon.


Bagian 2

“Pasukan Ketiga Kesatria Pengawal hadir. Kami ditugaskan sebagai pengawal Pangeran Arnold dan Yang Mulia Orihime.”

“Baiklah, terima kasih atas kerja kerasmu!”

Setiap perwakilan negara akan mendapatkan pengawalan dari pasukan kesatria pengawal. Yang bertugas menjaga Orihime adalah Elna, yang secara resmi telah kembali sebagai kapten pasukan kesatria pengawal.

Yah, itu sih tak masalah, tapi...

“Kenapa di sini rasanya seperti kelebihan kekuatan?”

“Karena di sini ada perisai dan tombak terkuat di benua ini. Bahkan jika mengesampingkan betapa lemahnya Anda, Tuan Arnold, ini tetap berlebihan.”

“Jangan bilang aku lemah. Ini perintah Ayahanda, ya?”

“Benar. Katanya karena ini tugas pertamaku setelah sekian lama, lebih mudah kalau bersama orang yang sudah kukenal.”

“Tapi justru itu yang bikin aku tidak nyaman.”

“Aku tidak tahu soal itu.”

Diperlakukan dingin seperti itu, aku menghela napas dalam-dalam.

Kalau hanya butuh orang yang dikenal, bukannya Leo juga bisa? Ah, tidak bisa. Kalau begitu nanti akan ada dua pengguna Relik Pusaka.

Aku merasa tak salah kalau menyimpulkan bahwa selama yang diajukan serupa, lebih baik dilempar saja ke aku.

Sungguh, Ayahanda benar-benar membuat repot.

“Kapten Elna. Sekarang kamu pengawalku, bukan?”

“Aku ditugaskan menjaga Pangeran dan Putri Pertapa.”

“Artinya kamu pengawalku!”

“...Benar juga.”

Orihime duduk di sofa sambil menunjukkan wajah puas.

Melihat itu, Elna menunjukkan ekspresi jengkel.

Merasa firasat tak enak, aku mengambil jarak dari Orihime yang duduk di sampingku.

“Kalau begitu, Kapten Elna! Bahuku pegal!”

“Begitu, ya.”

“Jangan ‘begitu, ya’! Kamu pengawalku sekarang! Pijat bahuku, cepat!”

Hmph! kata Orihime dengan senyum penuh kemenangan, sementara urat di pelipis Elna mulai menonjol.

Kalau saja Elna bisa membalas dengan diplomatis seperti memijat bukan bagian dari tugas, pasti urusannya tak akan runyam. Tapi Elna bukan orang yang bisa berkata seperti itu. Bukan tak bisa, melainkan memang tidak mau.

Dia merasa seperti kalah kalau menolak begitu saja, dan itu membuat segalanya jadi rumit.

“Baiklah. Akan kupijat bahumu.”

Dengan senyum yang tampak mengandung niat membunuh, Elna perlahan berjalan ke belakang Orihime.

Sementara itu, Orihime tampak sangat puas karena berhasil membuat Elna menuruti perintahnya.

Itulah sebabnya ida tak menyadari bahwa senyum Elna semakin melebar dari belakangnya.

“Seperti ini cukup, bukan?”

“Aaaaargh!! Bahuku hancur!!!!”

Elna mencengkeram bahu Orihime seolah ingin menghancurkannya.

Itu jelas bukan lagi tindakan memijat.

Orihime berusaha memberontak, tapi Elna malah semakin menambah tekanan.

“Sakit! Sakit! Aku sudah bilang sakit!!”

“Justru yang sakit itu yang enak, tahu?”

“Nanti bahuku hilang! Jangan-jangan kamu iri pada dadaku, ya? Karena dadamu kecil, jadi bahu pun tak bisa pegal, uwaaaaaah!!!!”

“Sepertinya ini masih kurang keras! Aku akan tambahkan tenagaku lagi!”

Perkataan Orihime yang tak hati-hati berhasil menyulut amarah Elna, dan kini dia tampak seperti iblis yang siap menghancurkan kedua bahu Orihime.

Karena situasinya makin berbahaya, aku segera menghentikan Elna.

“Elna.”

“Hmph!”

Begitu mendengar suaraku, Elna melepaskan cengkeramannya dari bahu Orihime dan memalingkan muka sambil mendengus.

Akhirnya bebas dari genggaman maut Elna, Orihime dengan mata berkaca-kaca memeluk pinggangku.

“Uuu... Sakit... Sakit sekali... Arnold...”

“Iya, iya. Itu karena kamu main-main dengan Elna.”

Sambil menghela napas, aku mengelus kepala Orihime.

Beberapa saat kemudian, setelah rasa sakitnya mereda, Orihime yang masih setengah menangis menunjuk ke arah Elna dan berteriak.

“Bagaimana bisa seorang pengawal menyakiti orang yang dijaganya!”

“Aku cuma memijat bahumu.”

“Kamu mau menghancurkannya!”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kuulangi dari awal?”

“Hiiiiii!!”

Saat Elna menggerakkan tangan kanannya seolah sedang meremukkan sesuatu, Orihime menjerit dan bersembunyi di belakangku sambil mengingat kembali rasa sakit tadi.

“Arnold! Elna jahat! Dia menyiksaku!”

“Haaah... Itu berlebihan, Elna.”

“Apa? Kamu membela dia sekarang?”

“Hmph! Arnold selalu membelaku! Karena dia tuan rumah untukku!”

“Itu tidak ada hubungannya! Argh! Hentikan kebiasaanmu memanjakan si rubah itu! Itu tidak akan berakhir baik!”

“Padahal sekarang saja sudah kacau.”

Begitu aku berkata demikian, Orihime menjulurkan lidah dan mengejek Elna.

Terpancing dengan provokasi murah itu, Elna mencoba menangkap Orihime, tapi Orihime dengan lincah bersembunyi di belakangku sebagai tameng.

“Berhenti di situ!”

“Tidak mau!”

“Dasar!”

“Aaaah! Arnold! Dia mau memukulku barusan!”

“Aku cuma mau mengelus kepalamu!”

“Bohong! Itu jelas-jelas tinju yang terkepal!”

Maka dimulailah kejar-kejaran di sekelilingku.

Elna berusaha menangkap Orihime, sedangkan Orihime menggunakan tubuhku sebagai pelindung untuk melarikan diri.

Mereka berdua terus berputar mengelilingiku. Yang satu adalah seorang Pahlawan, yang lain adalah Putri Pertapa.

Orihime membentangkan penghalang untuk menghindar, yang langsung dihancurkan oleh Elna dalam sekejap.

Pertarungan mereka terlihat sederhana, tapi sebenarnya cukup rumit. Suara retakan seperti kaca yang pecah terus terdengar di sekelilingku.

“Bagaimana mungkin kamu bisa lari meninggalkan tuanmu, sebagai seorang kepala pelayan?”

“Aku punya prinsip untuk tidak ikut campur dalam pertengkaran wanita.”

“Baru pertama kali aku mendengarnya.”

“Memang baru saya ucapkan hari ini.”

Aku mencoba menegur Sebas yang sudah mengamankan diri dengan jarak yang aman, tapi dia malah menjawab dengan santai.

Lalu dia menyeruput tehnya tanpa ekspresi.

Sialan, kepala pelayan ini benar-benar tidak berniat ikut campur.

Aku tak bisa berharap bantuan dari luar. Dan kalau aku berusaha menghentikannya, pasti akan muncul pertengkaran baru soal siapa yang kubela.

Kalau begitu, lebih baik aku menunggu dengan tenang sampai permainan kejar-kejaran yang terlalu rumit ini selesai.

Saat aku mulai pasrah, Fine masuk ke dalam ruangan.

“Permisi, Tuan Al.”

“Selamat datang di ruangan yang riuh ini.”

“Hehe, sungguh meriah, ya.”

Sambil tersenyum lembut, Fine mulai menuang teh dengan gerakan yang sudah sangat terbiasa.

Bagi Fine, situasi seperti ini hanyalah suasana yang ramai dan menyenangkan.

“Nona Orihime. Apakah Anda ingin minum teh?”

“Tentu! Aku akan minum! Teh buatan Fine itu lezat!”

“Kalau begitu, silakan duduk dan tunggu sebentar. Bagaimana denganmu, Nona Elna?”

“Aku...”

Melihat Orihime yang tadinya dikejar malah duduk rapi di sofa karena ajakan Fine, Elna terlihat kebingungan dengan tangannya yang masih terangkat, tak tahu harus berbuat apa.

Fine pun tersenyum hangat ke arah Elna.

“Aku juga sudah menyiapkan camilan. Bagaimana kalau kita menikmatinya bersama-sama?”

“...Baiklah. Aku akan ikut.”

“Baik. Silakan duduk, ya.”

Begitulah, Fine berhasil membuat dua orang yang dijuluki tombak dan perisai terkuat di benua ini menjadi penurut hanya dengan kata-kata lembutnya.

Sungguh keterampilan yang luar biasa. Menjinakkan dua orang yang seperti binatang buas bukanlah perkara mudah.

Memang harus diakui, dia luar biasa.

“Silakan, Tuan Al.”

“Terima kasih. Kamu benar-benar penyelamat.”

“Ah, saya juga datang karena ingin berbicara. Sepertinya Tuan Leo sedang cukup kesulitan sebagai tuan rumah bagi Gadis Suci. Apalagi karena di sana juga ada pengawalnya.”

Memang agak sulit untuk bicara secara pribadi. Tapi ya, wajar saja. Mereka adalah tamu penting.

“Itu hal yang normal. Asalkan bukan orang seperti seseorang di sini yang meninggalkan pendampingnya begitu saja, biasanya para tamu penting datang dengan pengawal dan asisten.”

Sambil berkata begitu, aku melirik Orihime.

Namun, Orihime tampak tak peduli dan dengan senang hati menikmati camilan buatan Fine.

“Kamu meninggalkan pendampingmu?”

“Katanya dia meninggalkannya di markas besar guild. Karena pengawalan dari markas sampai ke kekaisaran diurus oleh Pasukan Kesatria Kedua, ya aman-aman saja... Tapi tetap saja itu tidak wajar.”

“Dia benar-benar tak tahu sopan santun.”

“Diamlah, kalian berdua. Nanti camilannya jadi tidak enak. Ya, walaupun tidak enak pun tetap lezat. Lagipula, aku bukan meninggalkan mereka. Aku memerintahkan mereka untuk siaga.”

“Itu sama saja dengan meninggalkan mereka.”

“Aku hanya mempertimbangkan keadaan Kekaisaran. Yang ikut denganku itu hanya para tetua yang cerewet. Kalau mereka ikut, pasti akan banyak aturan ini-itu. Sudah pasti perjalanan ke ibu kota akan tertunda beberapa hari.”

Meski kini Orihime bisa bertingkah bebas, di negerinya sendiri dia memegang posisi simbolik, seperti seorang gadis kuil.

Tentu saja ada banyak adat dan aturan yang mengikat.

Sepertinya dia merasa semua itu mengganggu.

“Kalau ada pengawas, aku tidak bisa bermain, bukan?”

“Itu maksudmu yang sebenarnya, ya?”

“Tepat sekali!”

Sambil berkata begitu, Orihime terus menyantap camilan dengan semangat.

Seakan ingin menghabiskannya sendiri.

Ketika Orihime tengah melahap camilan dengan antusias, tamu lain kembali datang.

“Kakak Al! Aku bawa Sieg, lho!”

“Chupii!”

“Oooh! Enta! Sudah puas bermain, ya?”

“Chupii!”

Yang datang ke ruangan adalah Christa dan Rita.

Christa menggendong Sieg yang tampak lemas, sementara Rita memeluk Enta.

Entah sejak kapan, Enta juga sudah menjadi bagian dari kelompok Christa. Orihime yang dengan mudah menerima hal itu tanpa merasa terganggu memang benar-benar berbeda. Rita masuk ke ruangan dengan santai, tapi dalam situasi normal, itu bisa dianggap kurang sopan. Meski sikapnya seenaknya, dia tetap memiliki wibawa, mungkin itulah sebabnya dia tak pernah dibenci.

Tapi, kembali ke pokok masalah.

“Kenapa Sieg kelihatan gosong begitu?”

“Sieg mendekati kamar Gadis Suci dan terkena penghalang pertahanan, kata Lynfia begitu.”

“Buang saja dia.”

“K-Keparat... Menggunakan penghalang itu curang...”

Dengan lemah, Sieg mengeluh.

Melihat Sieg seperti itu, Fine meletakkan tangannya di pipi dengan ekspresi bingung.

“Apa sebaiknya memang dia dikeluarkan saja dari sini?”

“Kalau di luar pun merepotkan, lebih baik dipenjara saja.”

“Eh, perlakuan kalian ke aku keterlaluan...”

Jeritan menyedihkan Sieg menggema, tapi tak ada yang merasa kasihan.

Wajar saja. Itu semua akibat ulahnya sendiri.

Sambil menghela napas panjang, aku pun kembali menyesap tehnya.


Bagian 3

“Pangeran Arnold.”

Di lorong istana, aku dipanggil dengan suara seperti itu.

Saat menoleh ke belakang, aku melihat Leticia berdiri di sana bersama para pengawalnya. Leticia menyuruh para pengawal menunggu agak jauh, lalu berjalan mendekat ke arahku.

“Salam hormat, Gadis Suci Leticia. Sudah lama tidak bertemu.”

“Ya, sudah lama tidak bertemu.”

Leticia berdiri tepat di hadapanku.

Tingginya mungkin sekitar seratus enam puluh sentimeter. Lima tahun lalu, tinggi kami tak jauh berbeda, jadi melihatnya sedikit lebih pendek dari pandanganku sekarang terasa agak aneh.

“Kamu tumbuh lebih tinggi, ya.”

“Yah, kami ini kembar. Kalau Leo tumbuh tapi aku tetap pendek, itu aneh, bukan?”

“Itu benar juga. Tapi sepertinya kepribadian kalian tetap berlawanan, ya.”

“Kalau sampai kepribadian kami juga sama, itu malah menyeramkan, kan? Leo orangnya serius, jadi aku cukup jadi yang agak santai saja. Lalu, ada keperluan apa? Tidak puas dengan sambutan Leo?”

“Tidak, Pangeran Leonard sudah melayani dengan sangat baik. Aku hanya ingin menyapamu secara langsung.”

Begitu katanya sambil tersenyum.

Senyuman tanpa niat tersembunyi. Sejak dulu dia memang begitu.

Meski begitu, sepertinya bukan hanya itu saja yang tidak berubah.

“Begitu ya. Tadinya kupikir dia terlalu kaku dan membuat suasana jadi tegang, tapi sepertinya itu hanya kekhawatiranku saja.”

“Kaku... Aku sama sekali tidak merasa begitu, kok.”

“Berarti, kamu memang merasa dia terlalu kaku?”

“T-Tidak, maksudku bukan seperti itu... Hanya saja...”

“Hanya saja?”

“Aku hanya berpikir, mungkin dia bisa bersikap sedikit lebih akrab. Tapi ini bukan keluhan, bukan ketidakpuasan! Hanya semacam saran perbaikan, kalau memang harus menyebutkannya!”

Melihat Leticia yang mati-matian menjelaskan bahwa itu bukan keluhan, aku hanya bisa tersenyum masam.

Dia tetap saja orang yang canggung. Kalau berhadapan dengan niat jahat, dia bisa bersikap tegas, tapi saat berhadapan dengan kebaikan, dia jadi sangat lemah, dia tak bisa bicara dengan terus terang, itulah kelemahan Leticia.

Lima tahun lalu pun, waktu dia berbicara dengan ibuku, isinya pun tentang hal seperti itu.

Dia mengeluhkan para pelayan wanita yang masuk ke kamar mandi tanpa diminta. Leticia tidak lahir dari keluarga bangsawan tinggi.

Dia menjadi orang penting karena diakui oleh Tongkat Suci, tapi asal-usulnya berbeda. Jadi, keberadaan orang lain di kamar mandi adalah hal yang tidak biasa baginya.

Karena itu, dia datang meminta saran kepada ibuku yang dulunya juga orang biasa. Sebenarnya dia hanya cukup bilang tidak perlu, tapi karena para pelayan melakukannya dengan niat baik, dia tidak sanggup menolaknya. Akhirnya, ibuku sendiri yang berbicara pada mereka dan menyelesaikannya.

Dan sekarang, sepertinya kelemahan itu masih ada.

“Apa-apaan itu senyumanmu! Menertawakan orang yang sedang kesulitan itu jahat, tahu!”

“Kamu sedang kesulitan?”

“I-Itu hanya kiasan! Aku tidak sedang kesulitan! Hanya merasa sikapnya terlalu menjaga jarak!”

“Kalau begitu, katakan saja langsung pada Leo.”

“Itu...”

Leticia bergumam dengan wajah bingung. Mungkin memang dia datang ke sini bukan hanya untuk menyapa, tapi juga ingin aku melakukan sesuatu terhadap sikap Leo yang terlalu serius.

Sejak awal, dia mungkin memang memilih antara aku atau Leo justru karena tidak ingin dilayani dengan cara seperti itu.

Kalau dipikir-pikir, itu mudah dimengerti, tapi karena Leo terlalu serius, dia malah melayaninya sebaik mungkin.

Itulah yang membuat Leticia merasa tidak nyaman. Tapi karena Leo begitu tulus, dia juga tidak bisa menegurnya secara langsung.

Begitulah mungkin.

Karena itu, sambil tertawa kecil, aku menyanggupi.

“Baiklah. Akan aku sampaikan pada Leo. Kamu tenang saja. Aku akan bilang Gadis Suci tidak suka diperlakukan terlalu kaku, dan justru karena itu menunjuk dia.”

“Terima kasih banyak! Pangeran Arnold memang orang yang baik... Eh!? Jadi kamu sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu tadi!?”

“Aku hanya jahil sedikit karena kamu tak mau terus terang.”

“Jahil!? Itu terdengar seperti tindakan jahat! Pangeran Arnold! Mungkin kamu lupa, tapi aku lebih tua darimu!”

“Oh ya? Soalnya aku tak pernah melihat sisi lebih tua darimu.”

“Apa!? Itu tidak bisa dibiarkan begitu saja!”

Sejak dulu Leticia memang senang menonjolkan kalau dia lebih tua. Dulu waktu dia lebih tinggi sedikit dariku, dia suka mengklaim dirinya yang lebih dewasa, tapi sekarang dia tak bisa melakukannya lagi.

Aku jadi penasaran bagaimana dia akan menampilkan dirinya sebagai yang lebih tua sekarang, jadi aku memutuskan untuk jahil lagi.

“Jelas sekali aku lebih tua! Aku wanita yang dewasa dan tenang! Itulah wujud kedewasaan!”

“Memangnya kamu tenang sekarang?”

“Aku tenang sekarang!”

Saat aku memandangnya seolah ingin bertanya bagian mana yang tenang, dia tetap bersikukuh tanpa goyah.

Kalau dia sendiri sudah yakin bahwa dirinya tenang, apa pun yang aku katakan akan percuma. Dia memang orang seperti itu.

Tapi biasanya orang yang tenang tidak menaiki seekor griffon.

“Yah, anggap saja begitu.”

“Ada nada aneh di balik ucapan itu...”

“Aku tidak bermaksud apa-apa, sungguh.”

Sambil menahan tawa, aku menjawab begitu. Pandangannya jelas penuh curiga, tapi aku berpura-pura tidak tahu.

Mungkin sudah waktunya berhenti menjahilinya.

Kalau sampai membuatnya marah, itu bisa jadi masalah.

“Kalau begitu, serahkan urusan Leo padaku. Akan kusampaikan dengan baik.”

“Terima kasih. Soalnya... Aku ingin menikmati yang terakhir ini.”

“Yang terakhir?”

“Itu hanya urusanku. Jangan khawatir. Aku tidak akan merepotkan siapa pun.”

Setelah berkata begitu, Leticia tersenyum dan membalikkan badan.

Namun punggungnya tampak sedikit kesepian. Aku sempat bingung, apakah harus mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak berkata apa pun.

Bertindak tanpa informasi hanya akan menimbulkan masalah.

“Sebas.”

“Ya, saya di sini.”

Meski tak terlihat, aku tahu dia ada. Aku memanggil nama kepala pelayanku.

Dan tanpa suara, Sebas pun muncul.

“Sepertinya dia sedang menghadapi suatu masalah.”

“Tampaknya begitu.”

“Selidiki. Tanpa informasi, aku tidak bisa bergerak.”

“Sebaiknya Anda jangan terlalu ikut campur dalam urusan negara lain.”

“Aku juga butuh informasi untuk memutuskan itu. Dia memakai kata ‘terakhir’. Itu bukan kata yang biasa dia gunakan. Pasti ada sesuatu yang terjadi.”

“Itu saja? Bukankah maksudnya hanya kunjungan terakhir ke kekaisaran? Mungkin dia akan menikah, dan tidak bisa bergerak bebas lagi?”

“Kalau memang begitu, ya sudah. Aku tidak peduli siapa yang akan dia nikahi karena urusan kerajaan. Tapi kalau ada alasan lain, itu bisa jadi masalah besar.”

“Anda mencurigai... Bahwa beliau sedang dalam bahaya?”

“Tepat sekali. Bayangkan jika dia terbunuh di wilayah kekaisaran? Itu akan menjadi masalah besar. Dan yang menjadi tuan rumahnya adalah Leo.”

“Mungkin Anda terlalu khawatir...”

Sebas bergumam begitu. Memang, kemungkinan besar aku hanya terlalu khawatir.

Kata “terakhir” bisa digunakan oleh siapa saja. Tapi saat aku mendengarnya...

“Aku merasa tidak enak. Dan sialnya, firasatku yang buruk sering jadi kenyataan.”

“Kalau begitu, akan saya selidiki. Tapi jika saya menyelidiki ini, saya tak bisa lanjutkan penyelidikan tentang iblis, bagaimana?”

“Tidak masalah. Intuisiku mengatakan, ini lebih mendesak.”

Di sisi Leticia sudah ada para Kesatria Griffon dan Kesatria Pengawal. Keamanannya sebenarnya cukup terjamin. Tapi firasat buruk ini tak bisa diabaikan.

“Kalau memang nyawanya sedang terancam, pasti ada jejak yang tertinggal. Dia tokoh penting, jadi tidak akan mudah disembunyikan.”

“Dimengerti. Serahkan pada saya,” ucap Sebas lalu menghilang dari tempat itu.

“Haah, kapan aku bisa benar-benar beristirahat, sih...”

Sambil mengeluh sendirian, aku pun meninggalkan tempat itu.


Bagian 4

Peringatan dua puluh lima tahun penobatan Ayahanda.

Ini adalah sebuah perayaan yang dilaksanakan oleh seluruh kekaisaran. Di setiap kota, festival diadakan demi sang kaisar, namun apa yang terjadi di ibu kota tidak bisa dibandingkan dengan tempat lain.

Tiga hari sebelum upacara, festival sudah dimulai, dan bahkan setelah upacara berakhir, perayaan masih terus berlangsung.

Menjelang festival sebesar itu, antusiasme di ibu kota perlahan mulai memuncak.

Tentu saja, secara resmi upacaranya belum dimulai. Meski begitu, suasana meriah ibu kota sudah sangat terasa hanya dengan sekali pandang.

Demi semakin memeriahkan suasana ibu kota, sebuah pertunjukan tengah dipersiapkan.

Wajah dua orang penting yang telah lebih dulu tiba di ibu kota diperlihatkan kepada khalayak.

“Lihat! Itu Gadis Suci!”

“Yang di sampingnya, apakah itu Putri Pertapa!?”

“Hidup Gadis Suci! Hidup Kekaisaran!”

“Putri Pertapa!!”

Yang menampakkan diri dari balkon istana adalah Leticia dan Orihime.

Nama Gadis Suci Leticia dan Putri Pertapa Orihime telah menggema ke seluruh penjuru benua.

Terutama Leticia, berkat catatan militernya, bahkan di dalam kekaisaran pun dia memiliki popularitas yang tinggi.

Leticia berjasa besar dalam perang melawan Persatuan Kerajaan.

Sebelas tahun yang lalu, kerajaan tersebut berperang melawan kekaisaran, dan meskipun mereka berhasil mempertahankan garis pertahanan berkat bantuan dari Kerajaan Albatro, kekuatan negara mereka melemah. Akibatnya, mereka diserang oleh negara-negara lain yang dipimpin oleh Persatuan Kerajaan Egret.

Saat situasi di berbagai tempat mengalami kemunduran, di sanalah Leticia muncul.

Meskipun berada dalam posisi yang sangat menguntungkan, Persatuan Kerajaan terus mengalami kekalahan, dan gagal mendapatkan wilayah di benua.

Jika saat itu Leticia tidak muncul, susunan tiga kekuatan besar di benua pasti sudah berubah saat ini.

Dialah sang Gadis Suci yang mengubah sejarah. Itulah Leticia.

Karena tokoh-tokoh penting seperti mereka telah muncul, para pangeran yang bertugas menyambut mereka pun ikut keluar.

Karena Leticia dan Orihime berada di tengah, aku dan Leo berdiri agak di belakang mereka.

“Nona Leticia. Anda tidak lelah? Setelah perjalanan panjang, bila Anda merasa letih, silakan kembali ke dalam...”

Ketika Leticia melambaikan tangan dengan senyum, Leo justru mengucapkan hal yang tidak perlu, dan aku langsung menginjak kakinya tanpa sepatah kata.

Leo memandangku dengan ekspresi seolah berkata “Ada apa!?”, tapi akulah yang ingin menanyakan hal itu.

“Kamu dengar pembicaraan tadi?”

“Tapi kita harus memperhatikan kenyamanan tamu!”

“Itulah yang salah. Kita ini bertugas sebagai penyambut. Tugas kita adalah menciptakan suasana yang nyaman. Dia memilihmu bukan karena ingin dilayani dengan formalitas. Bukannya aku sudah bilang?”

“Aku dengar, tapi...”

“Kalau dengar, maka lakukan. Kenapa malah menyuruhnya kembali ke dalam? Jelas-jelas dia menikmati melihat rakyat.”

“Tapi bisa jadi dia memang lelah...”

“Kalau begitu, biar dia sendiri yang bilang. Dia bukan anak kecil. Kamu hanya perlu memperlakukannya sebagai teman lama.”

“Walau Kakak bilang kita teman lama... Kita hanya bertemu beberapa hari lima tahun lalu... Lagipula dia itu Gadis Suci, bukan?”

Mungkin dia tidak sampai menyembah Leticia, tapi perasaannya mendekati itu.

Sosok tak tersentuh yang tak boleh didekati, mungkin dia memandang Leticia seperti itu.

“Itu tak ada hubungannya. Kamu menilai orang dari status?”

“Tapi...”

“Ya ampun, kenapa kamu selalu gagal dalam situasi seperti ini.”

Sambil menghela napas, aku mengalihkan pandangan ke Orihime.

Sepertinya dia sangat senang mendengar sorakan rakyat. Dia melambaikan tangan dengan kedua tangannya dan tubuhnya condong jauh ke depan.

“Orihime, hati-hati.”

“Hmm? Benarkah? Tapi kalau aku jatuh, tak masalah. Aku bisa bertahan dengan penghalang.”

“Kelihatannya tetap berbahaya.”

“Hmmm, kalau begitu, baiklah.”

Orihime pun sedikit mundur.

Melihat itu, aku menoleh pada Leo dan berkata, “Begitu caranya. Lakukan seperti itu.”

“Mustahil! Nona Leticia berbeda dengan Nona Orihime!”

“Orihime juga seorang Putri Pertapa.”

“Tapi kepribadiannya berbeda!”

“Kamu ini merepotkan. Sudahlah, mulai dulu dengan memanggil namanya tanpa embel-embel.”

“Aku tak mungkin bisa memanggil Gadis Suci tanpa gelar kehormatan!!”

Leo menggeleng kuat, tetap ingin menjaga jarak.

Itulah Leo. Dalam situasi seperti ini, memaksanya mendekat hanya akan jadi bumerang, tapi Leticia sendiri yang menginginkannya, jadi tak ada pilihan lain.

“Coba saja seperti saat kamu berbicara dengan Fine.”

“Itu beda... Aku terbiasa dengan putri bangsawan, tapi Nona Leticia itu lain...”

“Kamu ini, karena terlalu sering dikelilingi wanita, jadi seperti ini saat harus berinisiatif.”

“Itu tak ada hubungannya! Lagipula, aku tidak pernah dikelilingi wanita.”

“Kamu bahkan tak menyadarinya. Dosa besar itu.”

Karena percakapan ini tak kunjung selesai, aku memutuskan mengambil langkah drastis.

Maafkan aku, adikku.

“Gadis Suci Leticia.”

“Ya?”

“Apakah kamu melihat rumah besar di sana?”

“Ah, ya. Aku melihatnya.”

“Sebetulnya, ada iblis yang tinggal di sana. Bisakah kamu melakukan penyucian selagi berada di ibu kota? Terutama menyucikan kepribadiannya.”

“Benar, benar! Yang tinggal di sana memang iblis! Aku sudah berkali-kali dibuat menangis olehnya!”

Orihime langsung menimpali ceritaku.

Dan, seperti biasa, Orihime tidak tahu batasan. Dia mengucapkan kata-kata terlarang.

“Gadis Suci pasti bisa menyucikannya. Bersihkan semua sifat buruk iblis berdada rata itu!”

Itu keterlaluan. Begitu aku berpikir demikian, terdengar suara logam yang mengancam dari belakang.

Elna, yang bertugas mengawal dari posisi lebih jauh di belakang kami, menatap ke arah kami dengan pandangan membunuh.

Melihat Elna dengan ekspresi yang seharusnya tidak dimiliki seorang gadis, Orihime menggigilkan ekor dan telinganya, lalu bersembunyi di belakangku untuk menghindari tatapan itu.

“Jangan bergerak, Arnold! Aku bisa dilihat olehnya!”

“Dasar bodoh! Jangan jadikan aku tameng! Yang membuatnya marah itu kamu!”

“Tapi yang mulai membicarakannya itu kan kamu!?”

Sambil berdebat seperti itu, kami perlahan menjauh dari Leticia.

Tujuannya tentu saja untuk menghindari tatapan mematikan Elna, dan juga memberi Leo dorongan agar dia berusaha lebih keras.

Aku melirik Leo sambil melemparkan sebuah kedipan, dan dia membalas dengan ekspresi seolah berkata “Kenapa Kakak melakukan ini padaku!?”. Jarang sekali melihat Leo semenyedihkan ini.

Tak ada pilihan lain. Aku akan membantunya sedikit saja.

“Gadis Suci Leticia. Ah, menyebut Gadis Suci setiap kali itu merepotkan. Boleh aku memanggilmu tanpa gelar?”

“Hehe, silakan. Sesukamu saja.”

“Kalau begitu, Leticia. Kalau ada yang ingin kamu ketahui tentang ibu kota, tanyakan saja pada Leo. Dia ini, bagaimanapun juga, adalah Jenderal Kehormatan Pasukan Pengawal Ibu Kota. Harusnya dia tahu lebih banyak dari siapa pun tentang ibu kota.”

“Benarkah? Kalau begitu, Pangeran Leonard. Bangunan itu, apa sebenarnya?”

“Eh, ah, itu adalah...”

Begitulah percakapan antara Leticia dan Leo pun dimulai.

Selanjutnya tinggal tergantung pada usaha Leo. Dulu rasanya dia bisa bersikap lebih akrab. Mungkin karena dalam diri Leo, sosok Leticia terlalu besar untuk didekati.

Namun, tembok itu sudah sedikit retak. Sampai di sini saja bantuan dariku.

Yah, kalau itu Leo, dia pasti bisa mengatasinya. Masalahnya adalah aku sendiri.

“Al~? Sepertinya ada yang perlu kamu katakan, ya~?”

“Arnold!! Perempuan itu sedang tersenyum! Menyeramkan! Benar-benar iblis!!”

“Jangan memprovokasi lebih jauh!! Tunggu, Elna! Dengarkan dulu!”

“Kalau mau bicara, bicara saja di dalam. Pasukan Kesatria Ketiga, Pangeran dan Putri Pertapa sedang tidak enak badan, kita kembali ke dalam.”

“Apa!? Aku masih ingin menerima lebih banyak pujian dari rakyat!”

“Sudah cukup. Selama ada Gadis Suci bersama kita, rakyat pasti senang. Pangeran dan Putri Pertapa, mari kita kembali ke dalam. Dan setelah itu, mari kita dengarkan siapa yang sebenarnya disebut iblis.”

Mendengar suara dingin Elna, aku dan Orihime spontan gemetar bersamaan.

Setelah itu, aku dan Orihime pun berakhir dengan duduk bersimpuh menerima ceramah panjang.

Di tengah-tengah ceramah itu, aku sempat melirik keadaan Leo dan Leticia, tapi tampaknya mereka belum bisa disebut akrab.

Meski begitu, terdengar lebih banyak tawa daripada sebelumnya, itu bisa dianggap kemajuan.

“Al! Kamu dengar tidak!?”

“Dengar, dengar kok... Tapi, Elna, kakiku mulai kesemutan.”

“Itu tak penting! Duduklah terus begitu sambil mendengarkan sejarah Keluarga Pahlawan! Dengan begitu kamu akan tahu betapa bodohnya menyebutku iblis!”

“Tapi yang pertama bilang itu kan Arnold...”

“Heh, jangan lempar kesalahan padaku.”

“Itu kan memang kenyataannya!”

Saling lempar tanggung jawab seperti itu, aku dan Orihime pun harus terus duduk bersimpuh dalam waktu yang cukup lama.


Bagian 5

Hari berikutnya.

Ketika aku membuka mata dan seperti biasa duduk di depan meja menatap dokumen, Fine datang menghampiri.

Aku sempat mengira Orihime yang akan datang, jadi aku agak terkejut.

“Fine?”

“Selamat pagi, Tuan Al.”

“Ah, selamat pagi. Ada perlu apa?”

“Ya. Saya membawakan sedikit makanan ringan.”

“Terima kasih. Tapi ini agak jarang, ya?”

Fine hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku.

Lalu dia diam-diam menunjuk ke arah jam.

Saat kulihat, jarum menunjukkan pukul sepuluh. Jauh lebih siang dari waktu bangunku biasanya.

Karena aku tidak merasa tidur selama itu, aku tidak melihat jam sebelumnya, tapi sepertinya aku benar-benar bangun kesiangan.

“Tadi saya datang pada waktu biasanya untuk membangunkan Anda, tapi Anda terlihat tidur sangat lelap, jadi saya biarkan saja. Mungkin Anda sedang kelelahan?”

“Begitu ya... Yah, memang belakangan ini banyak hal yang terjadi.”

“Itulah sebabnya saya meminta Nona Orihime pergi ke tempat Putri Christa. Lagipula, Putri Christa juga sepertinya tertarik pada Nona Orihime.”

“Begitu... Maaf sudah merepotkanmu.”

“Tidak apa-apa, ini adalah hal kecil yang bisa saya bantu. Oh ya, Nona Orihime dijaga oleh Nona Elna. Ada juga Tuan Sieg, jadi dari segi keamanan, saya rasa tidak akan ada masalah. Hanya saja, semoga Nona Orihime tidak cepat bosan. Tapi beliau tipe yang pandai bergaul, jadi saya yakin akan cepat akrab dengan Putri Christa.”

Melihat Fine menjelaskan situasi dengan begitu cekatan, aku sempat merasa kagum.

Dulu, saat baru tiba di sini, dia adalah gadis polos dan lugu yang benar-benar tak tahu apa-apa tentang dunia. Tapi sekarang, dia sudah banyak belajar dan mampu menangani berbagai hal.

Sifat lugunya pun, belakangan ini, sepertinya tak terlihat lagi.

“Au... Sakit...”

...

Tampaknya aku keliru.

Saat hendak menuang teh, dia menabrakkan kakinya ke meja dan mengerang kesakitan. Melihatnya begitu, aku harus mengakui bahwa sisi lugunya memang belum hilang.

Kenapa bisa menabrak meja di situasi seperti itu? Benar-benar misteri.

Wajahnya yang nyaris menangis saat menuang teh membuatku sedikit khawatir.

Tapi yah, sisi cerobohnya itu juga adalah bagian dari diri Fine.

“Ini tehnya...”

“Kenapa bisa nabrak meja?”

“Ah... Maaf...”

Saat aku bertanya dengan nada sedikit heran, Fine menundukkan wajahnya dengan malu.

Melihat tingkahnya itu, aku pun mengambil dokumen yang ada di atas meja.

Saat itulah Fine bereaksi.

“Ah! Jangan!”

Dia berusaha merebut dokumen itu dariku dengan tangan terulur sekuat tenaga.

Namun aku dengan mudah menghindar, dan karena terlalu condong ke depan, Fine kehilangan keseimbangan.

“Uwaah!!”

“Sungguh...”

Aku menopang bahunya dengan tangan yang kosong agar dia tidak jatuh.

Setelah dia kembali seimbang, aku menunjuk ke arah dokumen itu.

“Baiklah. Sekarang jelaskan.”

“Aaaahhh... Tuan Al sudah masuk mode interogasi...”

Melihat tatapanku yang sedikit menyipit, Fine terlihat gemetar.

Setelah mengalihkan pandangan untuk beberapa saat, akhirnya dia menyerah dan mengaku.

“Saya membicarakan soal kelelahan Tuan Al dengan Nona Elna... Lalu kami memutuskan agar Anda sebisa mungkin tidak bekerja hari ini...”

“Elna itu, kadang menyuruh kerja, kadang melarang kerja. Merepotkan.”

Sambil mengeluh, aku mengembalikan dokumen itu ke meja.

Isinya adalah data situasi rekonstruksi di wilayah selatan. Sebenarnya itu tugas Leo untuk membacanya, tapi karena dia sangat sibuk, aku berencana membacanya dan menyusun ringkasan untuknya.

Ini adalah hal penting. Hal yang tidak bisa dianggap remeh. Namun, bahkan jika aku menyusunnya sekarang, Leo tidak akan punya waktu untuk menanganinya. Sedikit keterlambatan tidak akan jadi masalah.

Maaf untuk rakyat selatan, tapi sepertinya aku akan mengambil libur hari ini.

Lagi pula, kalau aku membuat orang di sekitarku khawatir, itu juga tidak baik.

“Begini cukup?”

“Ya!”

Melihat Fine yang tersenyum bahagia, aku hanya bisa membalasnya dengan senyum getir, lalu berdiri dari kursi.

Kalau tidak bekerja, tak ada gunanya duduk di meja.

Aku lalu berpindah ke sofa dan duduk dengan santai, menyandarkan tubuh.

“Namun, kalau tidak bekerja, jadi bosan juga ya. Kalau aku tiba-tiba pergi keluar meninggalkan tugas sebagai penyambut tamu, Ayahanda pasti akan murka.”

“Serahkan pada saya! Saya sudah memikirkan hal semacam itu!”

Sambil berkata demikian, Fine menghamparkan tumpukan permainan di depanku.

Sebagian besar adalah papan permainan. Aku memang sudah lama tidak memainkannya, tapi dulu aku sering bermain bersama Leo.

“Wah, jadi nostalgia.”

“Ayo kita main! Saya ini cukup ahli dalam permainan seperti ini.”

“Oh? Kebetulan sekali. Aku juga cukup jago.”

“Kalau begitu ayo kita mulai! Saya tidak akan kalah!”

Fine menantangku dengan penuh semangat. Sungguh berani.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertaruh sesuatu?”

“Bertaruh? Baik! Apa yang akan kita pertaruhkan?”

“Jasa kerja seharian.”

“Maaf?”

“Dulu aku sering bertaruh begitu dengan Leo. Yang kalah harus melakukan semua pekerjaan kecil.”

“Baiklah. Saya setuju! Tapi saya peringatkan, saya belum pernah kalah dari keluarga saya.”

“Begitu ya. Lagi-lagi kebetulan. Aku juga nyaris tak pernah kalah.”

“Maaf?”

Mendengar ucapanku yang sedikit mencurigakan, Fine memandangku dengan wajah penuh curiga. Tapi aku mengabaikannya dan mulai menyiapkan permainan.

* * *

“Ahhh!! Ratu!! Harus diselamatkan!”

“Boleh saja kamu menyelamatkannya, tapi rajamu jadi terbuka, lho?”

“Eh!? Sejak kapan!? T-Tunggu sebentar!”

“Sudah keberapa kalinya ini? Yah, aku tak keberatan sih.”

Itu adalah langkah akhir yang secara mutlak akan mengakhiri permainan, namun aku mengembalikan posisi papan ke satu langkah sebelumnya.


Meski begitu, pilihannya hanya antara ratu dan raja. Sekalipun kembali satu langkah, kemungkinan tindakannya sangat terbatas. Fine berpikir keras, namun dari titik ini mustahil baginya untuk membalikkan keadaan. Apa pun yang dia pilih, tetap akan berujung pada posisi terpojok.

Sepertinya dia menyadari hal itu, dan akhirnya dia menunduk pasrah dan mengakui kekalahannya.

“Saya kalah... Uh... Saya benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa...”

“Berarti ini kemenangan ketigaku berturut-turut.”

Setelah kekalahan pertamanya, Fine sempat mengganti permainan dan kembali menantangku.

Sayangnya baginya, aku memang cukup ahli dalam hampir semua jenis permainan papan.

“Baiklah, itu berarti kamu harus melakukan pekerjaan kecil selama tiga hari.”

“Ugh... Saya malah memperburuk keadaan sendiri...”

Berusaha membalas kekalahan pertama justru menjadi kesalahan. Tapi meskipun disebut pekerjaan kecil, Fine memang sudah banyak membantuku dalam urusan sehari-hari, jadi sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan biasanya.

Saat aku sedang memikirkan hal itu, pintu kamar terbuka.

“Arnold! Kamu sudah bangun?”

“Syukurlah, iya, sudah.”

“Oh! Jadi kamu memang sudah bangun! Kupikir memang waktunya sekarang!”

“Penilaian yang bagus. Apa kamu sudah akrab dengan Christa?”

“Heheh, tentu saja! Aku sudah banyak mengobrol dengan Christa juga!”

“Bagus.”

Saat kami tengah berbincang seperti itu, Christa, Rita, dan Elna datang dari arah belakang Orihime.

Tidak terlihat sosok Sieg. Mungkin dia sudah kehabisan tenaga dan ditinggalkan entah di mana.

Yah, kalau itu Sieg tidak masalah.

“Kakak Al. Selamat pagi...”

“Selamat pagi, Christa.”

“Kak Al, main yuk!”

“Hei, Rita! Sekarang kamu sedang bertugas menjaga, tahu?”

Elna menegurnya dengan nada marah, membuat Rita tersentak dan buru-buru menghentikan langkahnya yang hendak berlari ke arahku.

Meski Rita hanyalah seorang calon kesatria, secara formal dia memang bertugas sebagai pengawal Christa. Tapi lebih tepatnya, dia adalah teman bermain Christa.

“Sungguh disiplin. Seperti yang diharapkan dari Kapten Kesatria Pengawal yang baru.”

“Kamu juga ingin bermain denganku, bukan?”

“Aku tidak ingin bermain!”

Orihime menyenggol Elna dengan kata-kata tajam, dan Elna langsung membalasnya.

Sambil melakukan hal itu, Orihime tanpa ragu duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Fine, tepat di hadapanku.

“Aku sangat mahir dalam permainan papan! Aku anggap ini sebagai tantangan!”

“Ah, Nona Orihime... Tuan Al itu...”

“Jangan katakan apa pun! Mengetahui gerakan lawan lebih dulu adalah tindakan pengecut!”

Orihime tertawa terbahak-bahak.

Elna dan Christa hanya bisa menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

“Nona Orihime... Kakak Al itu tidak akan menahan diri, lho...”

“Tak perlu menahan diri!”

“Sudahlah, lebih baik kamu urungkan saja. Bermain permainan seperti ini dengan Al hanya akan berakhir sia-sia.”

“Hmm! Jadi dia prajurit tangguh! Itulah yang pantas menjadi pendamping jamuan bangsawan sepertiku! Silakan mulai kapan saja!”

“Yah, kalau kamu memang bersikeras. Bagaimana kalau kita bertaruh sesuatu?”

“Hmm... Bagaimana kalau makan malam hari ini?”

“Baiklah. Artinya kamu akan melewatkan makan malam.”

Aku memutar bahu perlahan, mempersiapkan diri. Melihat itu, Elna menghela napas panjang dengan wajah putus asa.

“Haaah... Aku peringatkan ya, Al justru akan bersungguh-sungguh dalam hal-hal remeh seperti ini, oke?”

Mendengar komentar Elna, aku langsung memulai permainan tanpa belas kasihan.

Beberapa waktu kemudian, suara tangisan Orihime menggema di seluruh ruangan.

“Uwaaaah! Kenapa begini!? Ini aneh! Ini pasti curang! Yang barusan tidak dihitung! Ulangi lagi!”

“Itu sudah yang ketiga kalinya, bukan? Tiga permainan yang berbeda dan kamu kalah semuanya. Terimalah. Kamu tidak dapat jatah makan malam.”

“Tidak masuk akal! Kamu pasti curang! Bagaimana bisa hanya kamu yang selalu mendapat angka bagus dalam permainan dadu!? Uwaaaah! Aku tidak terima! Aku tidak akan mengakuinya!”

“Sedikit saja, bisakah kamu bersikap seperti penjamu tamu yang baik...”

“Pertarungan tetaplah pertarungan.”

Sambil menyeringai, aku memilih permainan berikutnya. Apa pun yang dipilih, aku tidak merasa akan kalah.

Bukan hanya hari ini, besok dan lusa pun aku akan membuatnya menjalani hukuman tanpa makan malam.

“Kalau kamu menang di permainan selanjutnya, aku akan menghapus semua kekalahanmu. Bagaimana?”

“Benarkah? Hmm! Aku terima tantangan itu!”

“Tapi kalau kamu kalah, kamu juga tidak akan makan malam besok dan lusa.”

“Sudah dimulai... Eksploitasi gaya Al.”

“Dari dulu memang begitu ya...?”

“Iya... Entah sudah berapa kali aku dan Leo jadi korban...”

Elna memandang jauh seolah mengenang masa lalu dengan wajah kesal.

Kalau itu adalah kenangan buruk bagi Elna, berarti itu adalah kenangan menyenangkan bagiku.

“Kakak Al... bahkan kepada Christa pun tak mau menahan diri...”

Christa mencibir sambil memanyunkan bibirnya di sampingku.

Aku menepuk kepala Christa dengan lembut sambil bersiap menghadapi Orihime yang kini menyala-nyala semangatnya.

“Makan malammu akan jadi milikku.”

Dan tak lama setelah itu, jeritan Orihime kembali menggema di dalam ruangan.


Bagian 6

 “Aku kabur! Aku akan kabur dari sini!”

Setelah terus-menerus kalah dariku, Orihime mengucapkan pernyataan itu lalu keluar dari ruangan.

Dengan ekspresi kelelahan, Elna mengejarnya, diikuti oleh Christa dan Rita.

Akhirnya, hanya aku dan Fine yang tertinggal di dalam ruangan.

Seolah badai telah berlalu, aku bersandar santai di sofa. Tapi, seseorang memanggilku.

Begitu mendengar suara itu, aku menjentikkan jari dengan ringan.

“Tuan Arnold.”

“Sebas, ya. Bagaimana hasil penyelidikan yang kuminta?”

“Tidak terlalu menggembirakan. Kami memang tengah melacak gerakan mencurigakan di dalam ibu kota, namun yang muncul hanya informasi-informasi sepele. Sepertinya masih butuh waktu untuk menemukan sesuatu yang benar-benar penting.”

“Segerakan. Kalau mereka berencana melakukan sesuatu selama masih berada di ibu kota, seharusnya sudah mulai bergerak sekarang.”

“Baik, akan segera kami percepat.”

Setelah berkata demikian, Sebas pun kembali menghilang.

Meski percakapan seperti itu baru saja terjadi, Fine tetap tenang menuangkan teh seperti biasa. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan hal semacam ini.

“Silakan, tehnya.”

“Maaf merepotkan, terima kasih.”

“Ada masalah lagi?”

“Ya, kali ini agak merepotkan.”

“Kalau begitu, berarti seperti biasa, ya.”

Fine berkata sambil tersenyum kecil, lalu melirik ke arah pintu dan mengangguk pelan.

Aku menjentikkan jari tadi untuk membentuk penghalang suara agar percakapanku dengan Sebas tak terdengar oleh para kesatria pengawal yang berjaga di luar.

Dan Fine, yang memahami maksud dari gerakanku itu, mengangguk untuk memberi isyarat bahwa penghalang bisa dilepaskan.

Dia benar-benar sudah terbiasa, pikirku sambil menghapus penghalang itu.

Tanpa mengubah ekspresi, Fine kemudian membuka topik tentang Orihime.

“Kira-kira ke mana perginya Nona Orihime, ya? Katanya mau kabur, tapi...”

“Entahlah. Tapi tempat yang bisa dia datangi juga terbatas. Paling-paling ke Leo atau ke Ibu.”

“Kalau begitu, tidak bisa dibilang kabur dari sini...”

Lagipula, tidak mungkin seseorang bisa keluar dari istana begitu saja.

Dengan begitu, satu-satunya tempat tujuan yang masuk akal adalah orang-orang yang sudah dikenal dekat. Dan sekepribadian Orihime, kecil kemungkinan dia akan pergi ke Ayahanda.

Selain itu, mengenalnya, dia pasti tidak akan tinggal diam setelah kalah. Kemungkinan besar, dia sedang mencari bala bantuan demi mendapatkan kembali jatah makan malam. Kalau begitu, Ibu bisa dicoret dari daftar. Orang seperti beliau hanya akan menanggapinya dengan senyum halus dan mengalihkan pembicaraan. Dengan kata lain...

“Tak ada pilihan. Ayo kita ke tempat Leo. Pasti sekarang dia sedang merengek pada Leo atau Leticia.”

“Kalau sampai mengganggu mereka, akan merepotkan juga.”

“Mengganggu, ya...”

Akan sangat menyenangkan kalau hubungan mereka sudah sejauh itu, tapi kalau mengingat kepribadian Leo, rasanya sulit.

Aku ingin mereka bisa lebih akrab dan Leo bisa menggali informasi dari Leticia dengan santai.

“Fine. Dari sudut pandang perempuan, bagaimana Leo itu? Sebagai seorang pria?”

“Sebagai pria? Rasanya hampir tak ada wanita yang akan mengeluhkan Tuan Leo. Dia tampan, dan juga lembut.”

“Benar juga.”

Kenapa dia tidak memanfaatkan itu dengan lebih baik? Gumamku sambil menghela napas. Fine hanya tersenyum kecut.

“Anda khawatir dengan hubungan Nona Leticia dan Tuan Leo?”

“Kamu bisa tahu?”

“Itu pertama kalinya saya melihat Tuan Leo seperti itu. Tapi saya rasa Anda tidak perlu khawatir. Keduanya tampaknya ingin lebih dekat, tinggal menunggu pemicunya saja.”

“Pemicu, ya?”

Dan itulah yang paling sulit. Dengan pikiran seperti itu, aku dan Fine pun keluar dari ruangan.

* * *

“Merampas sesuatu dari orang yang tidak menginginkannya bukanlah perbuatan baik. Aku merasakan niat buruk di dalamnya.”

Begitu aku memasuki kamar Leo, ceramah Leticia pun langsung dimulai.

Di belakang Leticia berdiri Orihime, yang berkali-kali mengangguk setuju dengan setiap kata Leticia.

“Kamu pasti menyampaikan cerita dengan versi yang menguntungkan dirimu lagi, ya?”

“Aku tidak melakukan hal semacam itu!”

“Benarkah? Waktu itu aku bertanya mau taruhan apa, dan kamu sendiri yang bilang makan malam, bukan? Lalu saat kalah, kamu malah menangis-nangis pada Leticia. Tidakkah itu terlalu menyedihkan?”

“Guh...! Jangan sok bicara begitu! Aku tidak mengakui pertandingan itu! Pasti ada kecurangan! Kita bertanding lagi di depan Gadis Suci! Leticia, awasi pertandingan ini!”

“Dimengerti! Aku tidak akan membiarkan adanya kecurangan!”

Dengan penuh semangat, Orihime bersama Leticia meletakkan sebuah permainan di atas meja.

Itu adalah permainan menangkap raja lawan yang sebelumnya juga kugunakan saat bermain dengan Fine.

Ini permainan yang paling kuunggulkan, tapi tampaknya Orihime percaya bahwa jika tidak ada kecurangan, dia tidak akan kalah dariku.

“Berani juga. Padahal kamu sudah kalah telak berkali-kali.”

“D-Diam! Jika kita bertanding secara adil, aku yang akan menang! Leonard! Kamu juga harus mengawasi perbuatan kakakmu!”

“A-Aku juga...?”

Leo yang tadinya terlihat tidak ada hubungannya, tiba-tiba ditarik masuk ke kubu Orihime. Dengan Leticia yang bersumpah akan mencegah kecurangan, dan Orihime yang penuh semangat ingin menang, Leo hanya bisa menunjukkan ekspresi kaku.

“Nona Orihime... Maaf, tapi kakak itu, meskipun memang hebat bermain curang, saat bermain biasa pun dia tetap hebat.”

“Tidak mungkin! Dalam permainan dadu itu, hanya aku yang terus-menerus mendapat angka kecil! Itu jelas sudah diatur! Dan orang yang biasa curang, kemampuannya akan menurun saat tidak bisa curang! Di depan Gadis Suci, dia tidak akan bisa melakukannya! Artinya, aku pasti menang!”

“Haa...”

Leo hanya bisa menjatuhkan bahunya dengan lemas.

Ya, dia pasti teringat masa lalu, saat teman masa kecilnya berkata hal serupa dan tetap kalah. Tak heran jika semangatnya turun.

Dan kini, teman masa kecil itu, Elna, tampaknya tak tahan lagi dan hendak meninggalkan ruangan.

“Kalau begitu, aku tunggu di luar. Panggil aku kalau sudah selesai.”

“Eh? Kamu tidak menonton?”

“Tak seru menonton pertandingan yang hasilnya sudah bisa ditebak. Lagipula, aku sudah belajar sejak kecil. Jika kamu mulai bermain, lebih baik menjauh.”

Dengan kata-kata itu, Elna pun keluar dari ruangan. Bahkan Leticia tampak menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tapi sudah terlalu terlambat untuk mundur. Dia pun terus mengawasi gerak-gerikku dengan tajam.

Yah, aku memang tidak melakukan kecurangan. Jadi dia boleh mengawasi sesering mungkin.

“Baiklah, kita mulai. Tapi ingat, kalau aku menang tanpa curang kali ini juga, taruhan makan malam saja tidak cukup.”

“Muh... Maksudmu makan malam saja tidak sepadan!?”

“Tentu saja. Kalau sudah terbukti tak ada kecurangan, maka permainan yang kita lakukan di kamarku juga sah. Itu berarti makan malammu sudah jadi milikku. Harus ada taruhan baru agar aku punya motivasi.”

“Uhh... Baiklah! Kalau begitu, kita jadikan makan malam Leticia sebagai taruhan juga!”

“Eeeeeeh!? K-Kita benar-benar mempertaruhkan makan malamku!?”

“Tidak apa-apa! Percayakan saja padaku!”

“M-Makanan di Kekaisaran ini lezat, dan itu adalah kebahagiaan harian... Tapi baiklah! Aku sudah terlibat, jadi aku tidak akan lari! Aku pertaruhkan makan malamku hari ini!”

“Bagus. Berarti kalian berdua tidak akan makan malam ini.”

Dengan kalimat itu, aku mulai menyusun bidak-bidak permainan.

Dan tak lama kemudian, teriakan Orihime pun menggema di ruangan.

“Uwaaaah!! Tidak! Tidak! Jangan ambil bidakku lagi!!”

“Kalau begitu, aku ambil rajamu.”

“Itu juga tidak boleh! Waaah! Apa pun yang kulakukan, dia tetap bisa mengambilnya! Uuuhh... Pasukanku tinggal dua bidak saja...”

Pertandingan sudah hampir selesai. Yang tersisa dari pihak Orihime hanyalah raja dan satu bidak lain. Tak ada harapan membalikkan keadaan.

Di samping Orihime, Leticia pun tampak pucat. Itu karena tidak ada tanda-tanda kecurangan sedikit pun.

Sementara di belakang, Leo menempelkan tangan ke dahinya dan menghela napas.

“Menyerahlah. Kamu sudah kalah.”

“A-Aku belum kalah...!”

“Kamu keras kepala sekali... Bagaimana kalau kita ganti pemain?”

“Apa? Maksudmu apa?”

“Kalau Leticia yang bermain menggantikanmu, kita mulai ulang dari awal. Lagipula, Leticia pasti tidak mau kehilangan makan malam hanya karena kekalahan orang lain.”

“B-Benar juga! Nona Orihime! Biar aku yang membalas kekalahanmu!”

“B-Baiklah! Aku percayakan padamu, Leticia!”

Leticia, seolah melihat cahaya ilahi, matanya bersinar dan segera menukar tempat dengan Orihime.

Pasti dia menganggap ini sebagai kesempatan untuk merebut kembali makan malamnya. Tapi itu akan jadi kesalahan fatal.

“Meski begitu, kalau hanya itu taruhannya, aku rugi. Bagaimana kalau kita pertaruhkan satu hari pekerjaan kecil juga?”

“B-Baiklah! Taruhan tidak sah kalau tidak ada keuntungan di kedua pihak!”

“L-Leticia! Jangan membuat perjanjian seperti itu dengan kakakku!”

“Tidak apa-apa! Aku juga pernah berada di medan perang! Permainan ini pun merupakan simulasi peperangan! Pengalamanku akan berguna di sini!”

“Tapi, kurasa itu tidak ada hubungannya...”

Leo berusaha mencegahnya, tapi Leticia sudah sangat bersemangat untuk melawanku.

Setidaknya sekarang dia sudah cukup nyaman hingga memanggil Leticia dengan “-san”. Aku pun merasa kagum, lalu tersenyum lebar.

Melihat senyumanku itu, Leo gemetar.

“K-Kakak... K-Kakak akan bermain dengan santai, kan...?”

“Membuat Gadis Suci dan Putri Pertapa mengenakan seragam pelayan, itu ide yang tidak buruk.”

“A-Apa maksud dari senyuman jahat dan ide iblis itu!?”

Hehehe.

Aku punya prinsip, jika melakukan sesuatu, maka lakukan dengan serius. Apalagi dalam permainan, aku tidak akan menahan diri.

Bersiaplah!

* * *

“Ah... Tidak mungkin...”

“Ini akhir dari semuanya!”

Sambil mengucapkan itu, aku tanpa ragu menjatuhkan raja milik Leticia yang terdiam kaku.

Dengan ini, pertandingan telah selesai.

“Seragam pelayan, ya. Kamu boleh melihatku makan malam nanti.”

“Senyuman yang penuh keburukan...!! Apa kamu tidak punya belas kasihan!? Nona Orihime sampai terdiam karena syok!!”

“Aku tak peduli. Menantangku dalam permainan adalah kesalahan kalian.”

“Kuh, P-Pangeran Leonard! Tolonglah aku!”

“Eh!?”

Sepertinya dia tak menyangka akan dilimpahkan tugas itu.

Leo mengeluarkan suara kaget saat Leticia buru-buru menyerahkan kursinya padanya.

“Tolonglah! Ini demi makan malamku dan Nona Orihime! Aku tak masalah memakai seragam pelayan, tapi kalau harus melihatmu makan di depan mataku, aku pasti menangis karena iri!”

“Itu agak berlebihan... Tapi apa dia juga benar-benar akan mengambil jatah makan malam kalian...”

“Aku tidak pernah berbohong soal taruhan.”

“Benar juga...”

Aku menjawab dengan wajah serius, dan Leo memegangi kepalanya.

Dia tetap seperti itu beberapa saat, lalu perlahan mengangkat wajahnya dengan ekspresi yang sudah bulat.

“Tak ada pilihan lain... Ayo bertanding, Kakak!”

“Hmph, kamu lupa sejarah pertandingan kita?”

“Itu kan, dulu banget!”

“Kita sudah bertanding seratus kali. Kamu menang sekali dan kalah sembilan puluh sembilan kali. Kamu sampai berhenti main karena tak mau mengalami kekalahan yang ke-100. Dan sekarang, kamu datang sebagai orang dewasa untuk mempermalukan diri sendiri. Bersiaplah.”

Sambil menggenggam bidak, aku tersenyum. Leo mulai menyusun bidaknya, mencoba untuk tidak terbawa dalam ritmeku, meskipun keringat dingin menetes di pelipisnya.

Dan pertandingan pun dimulai. Memang benar, kami adalah saudara kembar. Leo bisa membaca langkah-langkahku dengan sangat baik. Dalam hal ini, dia jauh lebih menyulitkan dibanding Orihime atau Leticia.

Namun, dia tidak bisa menyerangku. Tapi itu juga berarti aku bisa membaca langkahnya. Itu sudah jadi pola sejak kami kecil.

Yang menentukan kemenangan adalah bagaimana mengejutkan lawan.

Dalam urusan permainan pikiran seperti ini, Leo tidak akan pernah bisa mengalahkanku.

“Ratunya, aku tangkap!”

Leo secara tiba-tiba melancarkan serangan dan menumbangkan ratuku.

Tapi itu hanyalah jebakan. Kamu masih terlalu polos.

Aku menggerakkan bidak yang sudah sejak tadi diam-diam kudekatkan pada raja miliknya.

“Terlalu naif. Ini akhirnya.”

“...Benarkah?”

Leo menyela dan menempatkan bidaknya di antara rajanya dan bidakku.

Padahal dia sedang dalam posisi menyerang, tapi ternyata menyisakan satu untuk bertahan.

Aku pun tertahan satu langkah. Dalam keadaan diserang seperti ini, itu adalah penundaan yang fatal. Dan akhirnya...

“Aku menang...!?”

Leo menjatuhkan rajaku.

Dia bergumam seperti tidak percaya dengan kemenangan itu sendiri.

Di sebelahnya, Leticia dan Orihime bersorak kegirangan.

“Hebat sekali! Seperti yang diharapkan dari Pangeran Leonard! Makan malamku terselamatkan!”

“Hebat sekali! Aku tahu kamu adalah pria yang akan membuktikan diri suatu saat nanti!”

Dipuji seperti pahlawan oleh keduanya, Leo menggaruk pipinya dengan malu-malu.

Melihat itu, aku berdiri dari kursiku sambil tersenyum kecut.

“Jangan besar kepala, oke? Sekarang kita sudah bertanding seratus satu kali, dan kamu baru menang dua kali. Aku masih jauh lebih kuat.”

“Ya, aku tahu.”

Leo menjawab sambil tertawa. Melihat senyumannya, aku keluar dari ruangan sambil menunjukkan ekspresi kesal.

“Anda sengaja mengalah, ya?”

“Siapa tahu.”

Fine, yang mengikuti dari belakang, bertanya padaku, tapi aku hanya mengangkat bahu dan mengelak.

Melihat tingkahku itu, Fine tertawa kecil.

“Hehe... Anda memang tidak jujur.”

“Aku tidak mengalah.”

“Benarkah?”

“Tentu. Aku bermain sepenuh tenaga. Aku mempertimbangkan semua langkah terbaik. Tapi bukan berarti aku benar-benar serius.”

“??? Jadi sepenuh tenaga dan serius itu beda, ya?”

“Aku mengeluarkan semua kemampuanku. Tapi aku tidak punya tekad mutlak untuk menang. Kalau aku benar-benar serius, aku mungkin akan curang atau melakukan apa pun untuk menang. Sepenuh tenaga, tapi tidak benar-benar serius, begitulah maksudku.”

Sambil menjelaskan itu, aku tersenyum mendengar suara tawa dari ruangan di belakang.

Sepertinya ini menjadi pemicu yang baik.



Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment


close