NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ippanjin no Ore o Geinouka Joshi-tachi ga Nigashite Kurenai Ken [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Epilogue

 Penerjemah: Hanzel

Proffreader: Rion


Epilogue

Sahabat Masa Kecil Tetap Dekat Satu Sama Lain


Mungkin sudah sekitar dua jam sejak Nagisa dan yang lainnya pulang.

Ponsel-ku bergetar, memberitahuku bahwa ada pesan masuk.

{Akari: Boleh aku ke rumahmu sekarang?}

Sebuah pesan dari Akari.

{Yuto: Jarang-jarang kamu datang jam segini. Tapi ya, silakan saja.}

Jam yang tertera di bagian atas layar ponsel menunjukkan sudah lewat pukul sepuluh malam.

Pesanku langsung dibaca, tak lama setelah kukirim.

Sepertinya Akari sudah tahu kalau aku takkan menolak. Hanya beberapa puluh detik setelah pesanku dibaca, terdengar suara pintu depan dibuka.

Langkah kaki Akari yang datang dari pintu depan terdengar lebih cepat dari biasanya, dan berhenti tepat di depan pintu kamarku.

"Ada apa? Tiba-tiba---"

Saat kubuka pintu kamar untuk menyambut teman masa kecilku yang datang mendadak, Akari masuk pelan-pelan dan langsung menjatuhkanku ke atas tempat tidur.

"…Badanmu, panas?"

"…Karena aku habis mandi."

"Oh, begitu."

Meskipun suasana dan sikap Akari berbeda dari biasanya, aku sengaja tak menanyakan alasannya dan memilih bercakap seadanya seperti biasa.

"…Boleh tanya sesuatu.... atau lebih tepatnya, tolong tanyakan."

Tapi sepertinya itu adalah pilihan yang salah.

"Ada apa?"

Menuruti permintaannya, aku bertanya seperti itu. Akari, yang membalikkan wajahnya dan menyembunyikan muka di dadaku, terdiam sejenak sebelum berbisik,

"Aku... hari ini aneh banget ya?"

"…Yah, sedikit."

"Yang sebenarnya?"

"Jujur saja, kamu cukup aneh hari ini."

Aku sengaja menyampaikan dengan kata-kata yang lebih halus, tapi tampaknya Akari sudah bisa menebaknya.

"Kan, benar," katanya sambil tersenyum kecil, lalu menarik napas dan kembali membuka mulutnya pelan-pelan.

“…Kalau teman masa kecil yang selalu bersamamu sejak kecil tiba-tiba ciuman sama temen di depan matamu… wajar dong kalau jadi aneh.”

Saat mendengar itu, aku akhirnya mengerti alasan sikap aneh Akari, secara otomatis muncul gambaran dalam pikiranku tentang Akari dan Souma yang berciuman.

…Menjijikkan banget.

“…Aku memang sudah bertanya, ‘Kalian ciuman, ya?’ Tapi sebenarnya aku sudah tahu. Sikap kalian berdua juga aneh.”

“Maaf. Kalau aku lebih hati-hati, hal itu mungkin nggak akan terjadi.”

Sebenarnya, kalau saja aku memakai topeng dengan benar saat itu, ujian seharusnya bisa selesai tanpa masalah.

“Nagisa melakukan itu untuk melindungi rahasiaku setelah dia tahu tentang urusan ayah dan aku,” ujarku.

"Jadi, kamu sudah cerita ke Nagisa? Tentang Yuya-san?"

"Yah, banyak hal terjadi."

Aku menyampaikan itu sambil menyembunyikan ketegangan yang sempat terjadi di antara kami. Akari hanya bergumam, “Begitu ya,” dengan nada pelan.

"Jadi, aku kehilangan satu hak istimewa sebagai teman masa kecil..."

"Apa itu hak istimewa teman masa kecil?"

"Hmn...?"

Akari sedikit berpikir dengan suara lembut.

"...Yuto, usap kepalaku?"

"Kenapa?"

Aku sedikit bingung, tapi tetap mengelus kepala Akari yang ada di dekat dadaku.

"Seperti ini."

"Ah, begitu."

Memang, jika selain Akari ada yang meminta untuk mengusap kepalanya dalam keseharian, aku pasti akan curiga ada sesuatu yang salah.

Setelah mendengar kata-kata yang agak masuk akal itu, percakapan kami pun terhenti.

Namun, yang terdengar hanya suara napas Akari.

"...Kalau Yuto punya pacar, apa aku masih bisa jadi teman masa kecilmu?"

Dengan suara sedikit bergetar, Akari bertanya.

"...Tak masalah, ciuman itu hanya kecelakaan, jadi kami nggak akan jadi pasangan atau apapun itu."

Aku menanggapi untuk menenangkan apa yang mungkin sedang dipikirkan Akari.

"Bahkan jika itu bukan Nagisa, kita tetap akan jadi teman masa kecil, kan?"

Aku tak mengerti apa yang ada di pikiran Akari saat dia berkata begitu. Namun, aku menggenggam tangannya untuk meyakinkannya.

"Hubungan teman masa kecil nggak bisa begitu saja berubah."

Mendengar itu, Akari mulai bergerak sedikit, meletakkan wajahnya di bahuku, dan memeluk leherku dengan lengan.

"...Jangan terlalu berubah, ya?"

Telingaku terasa sedikit geli saat Akari membisikkan itu.

"Manusia nggak bisa berubah begitu saja."

Aku menjawab, kemudian Akari tertawa kecil dengan balasan, "Mungkin juga."

"..."

"..."

Setelah itu, tak ada percakapan lagi. Kami berdiam dalam posisi yang seolah sedang berpelukan, merasakan suhu tubuh dan detak jantung masing-masing.

"...Omong-omong, bagaimana? Aku ganti sampo, lho."

Sejak tadi, ada aroma lembut seperti lavender yang menggelitik rongga hidungku.

Karena kejadian sebelumnya, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi setelah mendengar kata-kata Akari, perhatianku jadi terfokus pada indera penciumanku.

“...Wanginya enak.”

Aku benar-benar bingung memilih kata---apapun yang kukatakan rasanya akan terdengar aneh. Bahkan jika kuputar otak sekalipun, sepertinya tidak ada pilihan kata yang bisa membuatnya terdengar tidak kikuk.

“Itu aroma yang Yuto suka?”

“...Nggak ada hubungannya sama seleraku, kan?”

Suara Akari yang membisik di telingaku kembali menyerang titik lemahnya diriku, membuat suhu tubuhku perlahan naik.

“Suka, nggak?”

Meski aku berusaha menghindar dengan jawaban yang samar, Akari tak membiarkanku lolos begitu saja.

“...Suka, kok.”

Padahal aku hanya bilang kalau suka aromanya, tapi entah kenapa, rasanya sangat memalukan.

“Yuto memang nggak berubah ya, tetap saja punya suka wangi-wangian.”

Teman masa kecilku berbisik dengan nada riang di telingaku, membuatku menyerah dalam hati seolah mengibarkan bendera putih.

“Yah... sebenarnya aku juga sedikit tahu perasaan itu.”

Setelah mengatakan begitu, aku mendengar suara hidung Akari mengendus-endus pelan di dekat telingaku.

“Aku suka sekali bau tubuh Yuto. Rasanya bisa membuatku tenang.”

Akari mulai terdengar seperti biasanya lagi, ceria dan ringan. Aku tak tega menyela suasana itu dengan rasa malu yang sedang menyesakkan dadaku. Sebaliknya, aku berpikir untuk membalasnya.

Dengan sengaja, aku letakkan tanganku di belakang kepalanya dan mengendus dengan berlebihan, berusaha menggoda balik.

“Itu geli tahu... Tapi nggak apa-apa, kok. Kalau itu yang Yuto mau.”

Dengan senyuman kecil yang polos dan nada suara yang sepenuhnya tanpa pertahanan, Akari seolah ingin menghancurkan sisa-sisa rasionalitasku.

Aku sudah tak sanggup lagi bermain-main atau menggoda balik. Akhirnya, aku pasrah dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Akari.

Kemudian, saat Akari tertidur sambil memelukku, aku menggendongnya seperti seorang putri dan membawanya ke tempat tidurnya di rumahnya.

Dibandingkan saat itu, rasa malu yang kurasakan ketika menggendong Akari yang tertidur sambil memelukku itu ternyata tak bisa dibandingkan---sesuatu yang baru kusadari setelah semua ini berlalu.


🔸◆🔸


Keesokan harinya, saat aku keluar rumah sambil mengingat kejadian tadi malam dan merasakan suhu tubuhku naik tanpa alasan, aku melihat teman masa kecilku berdiri di sana dengan senyuman yang tak berbeda dari biasanya.

“Pagi, Yuto!”

“...Pagi.”

Ekspresi cemas yang ia tunjukkan kemarin entah sudah ke mana. Bahkan, bisa dibilang hari ini ia terlihat lebih ceria dari biasanya.

“Makasih ya sudah mengantarku kemarin! Mama menceritakannya.”

Sambil masuk ke lift yang kali ini langsung terbuka tanpa menunggu, Akari berbicara.

“Entah kenapa kemarin aku merasa gelisah, rasanya seperti Yuto makin lama makin berubah.”

Di dalam lift yang mulai turun, Akari bersandar pada dinding dan bergumam pelan.

“...Aku nggak berubah, kan?”

Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana aku terlihat di mata Akari. Karena aku sendiri tak menyadari perubahan dalam diriku.

“Enggak, kamu memang berubah.”

Ia berkata dengan senyum kecil, namun ada nada sedih yang samar dalam suaranya.

“Tapi sekarang aku tahu kalau semuanya baik-baik saja.”

Begitu keluar dari lift dan melangkah melewati pintu otomatis, Akari tertawa ceria sambil disinari cahaya matahari.

“Soalnya aku tahu kalau perasaan Yuto kepadaku nggak berubah.”

Teman masa kecilku itu berjalan di depan sambil bersenandung. Aroma lavender yang terbawa angin sepoi-sepoi mengingatkanku pada kejadian semalam.

Hari-hari setelah itu berjalan tanpa perubahan---berangkat sekolah seperti biasa, pulang bersama setelah jam pelajaran usai, lalu setelah makan malam Akari datang bermain dan kami bermain game.

Aku tak menghentikannya, tapi juga tak ikut bermain. Aku hanya melakukan hal yang ingin kulakukan dan menghabiskan waktu sesuka hati.

Tak lama kemudian, Nagisa yang baru pulang kerja juga datang ke rumah. Ia membaca manga sambil sesekali mengomentari layar game Akari.

Kehidupan seperti itu membuatku merasa cukup puas.

Tempat ini terasa nyaman.

Sepertinya Akari baru saja kalah dalam game, dan ia melemparkan dirinya ke pelukan Nagisa, minta dihibur.

Nagisa menerimanya dengan ekspresi yang setengah bingung, setengah senang. Saat melihat mereka bercanda dengan riang, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong... aku lupa kasih tahu Murai-san.”

Akari mengangkat sedikit wajahnya yang tadi ia tekan ke perut Nagisa, lalu menatap ke arahku.

“Lupa soal apa~?”

“Soal Ayah. Aku sebenarnya sudah cerita ke Aida-san, waktu ujian.”

“Ah~ jadi benar-benar kehilangan hak istimewa sebagai teman masa kecil, ya...”

“Anggap saja kamu sekarang punya lebih banyak teman yang bisa berbagi rahasia.”

Aku berkata dengan nada setengah kesal pada Akari yang menjatuhkan bahunya secara dramatis. Mendengarnya, Akari tertawa ringan dan berkata, “Cuma bercanda, kok.”

“Lagipula, aku masih punya seratus hak istimewa sebagai teman masa kecil!”

Ia berkata demikian dengan ekspresi percaya diri, tapi karena ia sedang memeluk Nagisa dan wajahnya tertanam di perutnya, ucapannya terdengar seperti lelucon saja.

Aku mengabaikannya dan menunduk menatap novel di tanganku, tapi terdengar suara protes darinya, “Muu~…”

“Ah, dan menurutku, lebih baik kamu jangan bilang ke Hinata-chan soal ini.”

Sambil bangkit berdiri dan menjauh dari Nagisa, Akari berkata.

“Mungkin kalau Hinata-chan yang dengar, dia bakal bilang, ‘Jangan kasih tahu aku rahasia sebesar itu, dong~!’ begitu.”

Akari menirukan cara bicara Murai-san dengan nada dibuat-buat. Kalau memang itu adalah imitasi Murai-san, kualitasnya bahkan tak mencapai tiga puluh persen.

Tapi entah kenapa, justru kualitas rendah itulah yang membuat Nagisa tertawa terbahak-bahak, seolah itu hal paling lucu yang pernah ia dengar.

Setelah tertawa selama beberapa detik dan menyeka air matanya, ia mulai bicara, “Tapi, memang bisa jadi Hinata bakal bilang begitu.”

“Kalau bahkan Nagisa juga ikut bilang begitu, ya sudahlah.”

Imitasi tadi terlepas dari pembicaraan, tapi jika dua orang yang akrab dengan Murai-san mengatakan demikian, mungkin memang sebaiknya aku tak menceritakannya.

Lagipula Aida-san saja terlihat cukup bingung dengan beratnya rahasia itu, dan tergantung kepribadian, bisa saja orang benar-benar kesulitan jika diberi beban seperti itu.

Akari kembali bermain game.

Sementara Nagisa, sambil membaca manga, tampak terkekeh kecil seperti mengingat kembali kejadian barusan.

Dikelilingi oleh suasana seperti ini, kurasa begini juga kami akan menjalani hari esok.

Sambil memandangi mereka berdua, aku berpikir seperti itu tanpa alasan yang jelas.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close