NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 2

Hubungan Lezat Dimulai dari Omurice

Sudah satu minggu sejak aku resmi bergabung dengan klub memasak.

Meskipun hanya ada kegiatan tiga kali seminggu, aku mulai terbiasa datang ke klub sedikit demi sedikit. Sementara itu, aku sedang berjuang keras memotong sayuran di meja yang agak terpisah.

Tok, tok—bunyi yang terdengar dari talenan jauh dari kata ritmis. Omong-omong, sejauh ini aku sudah lima kali melukai jariku, dan dua kali diantaranya berakhir di ruang kesehatan. Perihnya saat terkena sabun ketika mandi benar-benar menyiksa.

Nikaidou bahkan sempat tertawa terbahak-bahak sambil memotretku, lalu mengunggahnya ke SNS. Padahal aku serius, tahu! Aku ingin marah, tapi karena kemampuan belum juga meningkat, ya mau bagaimana lagi.

Kalau soal hubungan di dalam klub memasak, memang tidak ada yang terang-terangan mengusikku, tapi aku jelas-jelas terasing. Aku tidak punya kontak siapa pun, bahkan tidak pernah bertemu tatap mata dengan salah satu anggota pun. Pantas saja cowok-cowok yang niatnya cuma karena ada cewek langsung berhenti!

“Midoriya-kun, sayurannya sudah selesai dipotong?”

“Lagi berusaha sekarang.”

“Ah~~ begitu, ya.”

Seorang teman sekelasku yang juga anggota klub memasak sepertinya datang untuk mengecek keadaanku. Setelah melirik sebentar hasil potonganku, ia tersenyum kecut.

“……Umm, boleh aku yang lanjutkan saja?”

“Ah, iya. Tolong ya.”

Jelas sekali aku sedang dikasihani, tapi aku pun cukup paham maksudnya. Karena pekerjaanku terlalu lambat dan tidak akan tepat waktu untuk tahap berikutnya, jadi aku harus menyerahkan talenan padanya. Singkatnya, aku benar-benar jadi beban. Jangan-jangan, aku bukan cuma akan terlibat masalah dengan anak perempuan, tapi malah akan dikeluarkan karena tidak becus.

“Aaahhh……”

Karena sudah dianggap tidak berguna dalam satu-satunya tugas yang diberikan, aku pun melangkah tanpa tujuan dan menghampiri ketua klub.

“Umm, Ketua Miyase. Aku juga ingin mulai melakukan hal lain selain memotong sayuran, gitu—”

“Belum bisa. Masih terlalu dini. Apalagi kalau sampai pakai api, berbahaya.”

“Apapun deh. Misalnya mengaduk sesuatu, atau yang gampang-gampang begitu……”

“Midoriya-kun. Kamu tahu pepatah ‘segala sesuatu dimulai dari dasar’, kan? Jadi, bisa memotong sayuran dengan rata dan cepat dulu, itu yang utama!”

Ketua menyampaikannya dengan nada menasihati, lalu menutupnya dengan kedipan mata. Wajahnya yang menawan membuat semua itu terlihat keren.

Aku mengerti, memang benar begitu.

Tapi aku ingin secepatnya bisa memasak sesuatu yang setidaknya terlihat jadi makanan dan bisa dimakan sendiri. Dengan kata lain, yang ingin kupelajari bukan dasar-dasar, tapi sesuatu yang langsung tampak berbentuk dan bisa mengenyangkan perut.

Aku sadar itu jalan pintas, tapi karena klub memasak adalah kegiatan ekstrakurikuler, tidak mungkin ada yang mengajarkan seluruh proses kepadaku secara pribadi. Sebagian besar kegiatan berupa pembagian tugas untuk menyelesaikan satu hidangan. Jadi, sebagai anggota baru, tugasku hanyalah memotong sayuran. Dan tadi, tugas itu pun sudah diambil alih.

“Aduh, gimana ini.”

Aku memang ingin berusaha. Niat itu ada, tapi hubungan dengan orang lain maupun kemampuanku sama sekali tidak mendukung. Meski begitu, aku sudah bertekad untuk berusaha demi pacarku. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah memulai dari hal kecil.

Aku menghela napas, lalu bangkit untuk membantu pekerjaan ringan seperti menyiapkan piring atau mencuci peralatan.

Beberapa saat kemudian, masakan pun selesai, dan semua anggota duduk bersama.

Hari ini, kebetulan daging ayam sedang murah, jadi meja penuh dengan hidangan ayam seperti karaage dan sayap ayam.

“Baiklah, mari kita nikmati hidangan hari ini.”

Dengan suara ceria ketua, kami semua merapatkan tangan, lalu aku menggigit karaage.

“U-umai……! Perpaduan gurihnya daging dan segarnya rempah begitu pas!”

“Itu lagi, ulasan makanan anehnya Midoriya-kun.”

Terdengar suara celetukan, disusul tawa kecil para anggota.

Ya, mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa makan makanan seenak ini kalau sedang latihan klub. Setidaknya aku sudah berusaha menahan diri bicara pelan, jadi tolonglah hargai sedikit.

“Midoriya-kun, kamu makan dengan sangat lahap ya~. Sampai bikin aku senang lihatnya. Nih, ambil bagianku juga.”

“Boleh!? Terima kasih banyak!”

Aku pun melahapnya penuh semangat. Ketua baik hati membagi makanannya padaku. Katanya, setelah mendengar aku pernah sampai pingsan, dan melihat kalau masakan yang kubuat hanya sebatas telur dadar yang kacau, ia sampai merasa kasihan. Mungkin karena itu, ketua jadi satu-satunya orang yang benar-benar bersikap ramah padaku di klub. Benar-benar seperti malaikat.

Bahkan sisa makanan pun boleh kubawa pulang dalam wadah. Aku sungguh bersyukur bisa masuk sekolah ini. Memang, dari cerita Nikaidou, aku tahu kalau nama dan kelakuanku sering jadi bahan gosip di kelas. Tapi tidak mungkin aku berhenti. Memang aku tidak sepenuhnya kebal terhadap omongan orang, tapi toh dua tahun lagi semua itu tidak ada artinya. Lebih baik aku membuat Yuna merasa tenang, daripada membiarkan gosip-gosip itu menggangguku.

Hari ini aku bukan bagian dari tim bersih-bersih, jadi bisa pulang lebih cepat. Suasana hati sedang baik, mungkin nanti di rumah aku akan latihan sendiri.

Dengan wajah puas, aku hendak pulang sambil menenteng kebahagiaan di dalam ransel, tapi teringat kalau aku meninggalkan botol minum di ruang masak.

Jujur agak malas untuk kembali, tapi aku tidak bisa menambah buruk posisiku di klub. Jadi aku pun berbalik arah. Aku sudah tidak punya kemampuan berarti, jadi satu-satunya cara bertahan di klub hanyalah dengan mengumpulkan simpati—begitulah pikirku sambil membuka pintu ruang masak. Ternyata masih ada orang di dalam.

“Natsukawa-san, bisa tolong cuci semua piring sisanya?”

Di dalam ada tiga orang: Natsukawa Aoi, lalu dua teman sekelas—aku tidak tahu namanya, tapi wajah mereka cukup familiar. Sepertinya memang giliran mereka untuk bersih-bersih hari ini.

“…………”

“Kamu kan lagi nggak sibuk, kan? Atau jangan-jangan sibuk rebut pacar orang?”

“Katanya, kemarin kamu juga ngerebut pacarnya Yuka, ya? Kamu ini benar-benar nggak punya batasan, ya? Nggak ada rasa bersalah sedikit pun?”

“Kalau memang merasa bersalah, pasti kamu nggak akan melakukannya. Anak ini memang nggak ngerti hal begitu. Waktu sama Misato juga begitu, kan?”

“Ah iya, itu ya. Kasihan banget sih~.”

Gawat. Ini benar-benar situasi gawat darurat!!

Sepertinya aku belum ketahuan, jadi buru-buru aku bersembunyi di balik rak. Keringat dingin mengucur deras, perut pun terasa melilit.

Kenapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini……!?

“……Baik, aku mengerti.”

“Apa yang kamu mengerti?”

“Piring-piringnya, biar aku yang cuci semuanya.”

Dengan suara kecil namun tegas, Natsukawa-san mulai mencuci piring dengan tenang. Aku selalu mengira dia anak yang berkarakter kuat, ternyata mentalnya juga tangguh.

“Itu memang sudah seharusnya. Kamu masih belum paham, ya.”

“Tuh, lihat. Ini tadi masih kotor.”

Mungkin karena semakin kesal, kedua siswi itu kembali menyeret puluhan piring yang sebenarnya sudah bersih ke arah wastafel.

“Lumayan banyak, tapi kamu bisa kok ngerjain semua ini, kan? Apalagi banyak orang yang mau ‘nolongin’ kamu, ya, Natsukawa-san?”

“Ahaha, lucu banget.”

Se…seramnyaaaa!!!!

Tidak bisa. Aku harus pura-pura tidak melihat apa pun. Aku tahu jelas ini tidak baik, tapi aku juga tidak benar-benar paham seperti apa Natsukawa-san itu. Kalau aku ikut campur sekarang dan mencoba membela, justru bisa memperparah keadaan.

Pelan-pelan aku bangkit tanpa menimbulkan suara, lalu berjalan menuju pintu. Namun, tepat ketika tanganku menyentuh gagang pintu, terdengar suara gii~ berderit keras.

“Sss──”

Tiga pasang mata langsung menatap ke arahku. Gawat. Gawat!

Tapi—selama mereka tidak tahu kalau aku mendengar pembicaraan tadi, mungkin masih ada harapan! Ada nggak ya? Atau sudah nggak mungkin? Ada asuransi darurat yang bisa dipakai dalam situasi beginian!?

Dalam kepanikan, aku reflek berpura-pura seolah baru saja masuk.

“Oh, ternyata kalian masih di sini.”

Sambil berkata begitu, aku berjalan santai mengambil botol minum yang tertinggal.

“Aku ketinggalan ini. Balik cuma buat ngambil, tapi ternyata cucian piringnya masih banyak ya.”

“……Ah, iya.”

“Mau aku bantuin? Kayaknya cuma tim piket bersih-bersih nggak akan cukup, deh.”

Apakah ucapanku terdengar terlalu dibuat-buat!? Tapi, setelah melihat kejadian tadi, pura-pura tidak tahu juga rasanya akan mengganggu tidurku nanti.

Saat aku menawarkan bantuan, kedua siswi itu langsung menunjukkan wajah penuh rasa bersalah, menangkupkan tangan seolah minta maaf.

“Sebetulnya, kami berdua memang bukan bagian dari piket bersih-bersih. Hari ini memang giliran Natsukawa-san aja. Anak-anak lain bilang ada urusan terus pulang duluan, jadi tadi kami bantu sebentar, tapi sekarang kami juga ada keperluan……”

“Iya, maaf banget, boleh titip sama kamu aja?”

Jadi, ternyata semua tugas benar-benar ditinggalkan ke Natsukawa-san sendirian, lalu dia malah diperlakukan begitu oleh orang yang bahkan tidak ada hubungannya. Benar-benar neraka!!

Mereka memang memasang wajah imut sambil menangkupkan tangan, tapi setelah melihat sendiri kejadian barusan, kesimpulanku cuma satu: perempuan itu menakutkan.

“Tenang aja. Aku yang paling junior di sini, jadi biar aku yang urus.”

Dengan senyum paksa aku melambaikan tangan, dan mereka berdua pun keluar ruangan sambil cekikikan.

Sungguh, kenapa jadi begini……! Seandainya aku tahu, botol minum itu biar saja tertinggal. Tapi sudah terlanjur, jadi aku menaruh tas, menggulung lengan baju, dan bersiap mencuci. Toh ini bisa jadi kesempatan untuk menaikkan simpati di klub, jadi tidak buruk juga.

Memang agak perhitungan, tapi memberi bantuan pada Natsukawa pun bukan hal yang merugikan. Ketika aku mulai mencuci piring, Natsukawa-san berhenti sejenak dan menatapku dengan wajah terkejut.

“Eh, seriusan mau bantu!?”

“Eh!? Atau aku sebaiknya pulang aja?”

Aku sempat berpikir, jangan-jangan dia justru tidak suka kalau aku ikut mencuci bersamanya. Jadi aku berhenti, tapi Natsukawa-san buru-buru meletakkan piring yang sedang dicuci, lalu mengibaskan tangannya dengan panik.

“Bukan! Maksudku, bukan aku nggak suka. Tadi aku cuma nggak punya

pilihan lain selain ngomong begitu. Soalnya kan, aku sempat bilang hal yang cukup jahat ke Senpai waktu itu.”

“Ya masa gara-gara itu aku biarin kamu sendirian ngerjain semua ini.”

“Senpai itu mungkin orang yang punya rasa keadilan tinggi, ya?”

“Nggak juga. Malah tadi aku sempat mau kabur diam-diam biar nggak ketahuan.”

Sedikit merasa bersalah, aku pun jujur saja. Natsukawa langsung tertawa sambil berkata, “Kenapa baru jujur sekarang, sih!?”

“Padahal bisa jadi kesempatan bagus buat ‘jual’ jasa, Senpai malah buang-buang peluang, deh.”

“Buat apa juga. Aku nggak ada yang mau diminta balik, kok.”

“Masa sih? Senpai aneh juga ya.”

Apa iya aku aneh? Menurutku, siapa pun yang menuntut imbalan dalam situasi begini justru orang jahat. Meski begitu, mungkin kalau ini terjadi sebelum aku kenal Yuna, aku pasti sudah cari alasan supaya nggak ikut campur sejak awal. Jadi mungkin aku memang banyak dipengaruhi oleh rasa keadilan Yuna.

“……Umm. Waktu itu, maaf ya, Senpai.”

“Waktu itu?”

“Pas hari pertama masuk. Aku bilang Senpai nyebelin, terus sikapku jelek banget, kan?”

“Ya, hmm. Iya, lumayan sih.”

“Itu sebenarnya tugas yang diberikan ke aku, Senpai. Karena banyak banget orang yang masuk cuma gara-gara aku, jadi Ketua minta aku bersikap ketus duluan supaya nyaring. Dan ternyata itu lumayan membantu, jadi aku juga ikutan serius.”

“……Oh, begitu.”

Natsukawa-san menambahkan dengan senyum, “Untungnya, cara itu lumayan efektif, jadi aku sendiri juga nggak keberatan.”

“Eh, nggak apa-apa ngomong gitu ke aku?”

“Nggak masalah. Dari cara Senpai nanya aja aku yakin Senpai bukan tipe yang bakal nyebarin.”

Ya, kurasa itu kabar baik.

Jujur, aku sempat merasa sangat tidak nyaman karena dikira ada anggota yang benci banget padaku. Kalau ternyata bukan begitu, lumayan lega rasanya.

“Klub kita banyak banget masalahnya. Dari luar kelihatannya keren, padahal cuma permukaan. Meskipun aku berusaha pasang ‘barrier’, tetap saja ujung-ujungnya ribut soal pacar siapa direbut siapa……”

“Eh, kalau gitu, kenapa kamu masih bertahan di klub ini?”

Kalau aku sih, sudah kabur dari hari pertama.

“Ya sama kayak Senpai, aku juga punya tujuan! Detailnya masih rahasia, sih. Tapi selain itu, sebenarnya aku juga punya senior yang dekat banget, cuma belakangan aja dia jadi jarang datang~.”

"…Oh, begitu ya."

"Eh, apa itu, tatapan hangat setengah mengejek. Benar-benar ada kok, senior itu!?"

Kalau memang benar ada, aku harap senior yang dia maksud cepat kembali. Soalnya aku tidak bisa keluar dari klub memasak, jadi suasana internal klub lebih baik kalau kondusif.

"Ngomong-ngomong, Senpai. Katanya masuk klub memasak demi pacar, itu serius?"

"Serius. Aku kirim foto makanan yang kumakan setiap hari."

"Eh… tipe posesif gitu?"

"Bukan posesif, lebih kayak khawatiran aja. Soalnya sekarang kami lagi LDR."

Ketika aku menceritakan alasan mulai hidup sendiri, dan juga kisah waktu aku sampai pingsan karena kelaparan, dia sampai tertawa terpingkal-pingkal sambil bilang, "nggak banget itu." Saat tertawa, di pipinya muncul lesung pipit kecil di satu sisi, membuatnya terlihat polos dan manis.

Memang, ini manis banget. Selama ini aku hanya melihat wajahnya yang selalu datar tanpa ekspresi, jadi meskipun dia cantik luar biasa, aku sempat bertanya-tanya kenapa dia begitu populer. Tapi setelah melihat ini, aku bisa paham alasannya.

"Haaah… heheh, Senpai ternyata lebih bodoh dari yang aku kira…"

"Itu penghinaan?"

"Itu pujian, kok. Senpai ternyata lucu. Padahal tadi kelihatan keren, sekarang jadi begitu konyol, heheh, sampai keluar air mata nih."

Ini jelas meremehkan, kan.

Dia mengusap air matanya dengan jari telunjuk, lalu dengan wajah antusias bertanya:

"Orang seperti apa pacar Senpai?"

"Eh, kamu tertarik soal itu?"

Natsukawa mengangguk kecil. Aku sebenarnya tidak terlalu pandai pamer soal pacar…

"Pintar, cantik, baik hati, pokoknya nyaris sempurna sampai aku nggak bisa bilang ada kekurangannya. Terus walau LDR, dia masih bela-belain naik perjalanan enam jam pulang-pergi buat menemuiku, segitu cintanya sama aku."

"…Pamer yang menyebalkan banget, sih."

Padahal yang nanya dia sendiri.

Saat aku melirik ke arahnya, ekspresinya justru lembut, seolah-olah merenungkan sesuatu, lalu dia berbisik pelan sambil menahan perasaan:

"Enaknya, ya…"

"Ngomong-ngomong, soal gosip itu beneran? Katanya kamu merebut pacar orang?"

"Mana mungkin! Nggak ada nilainya sama sekali. Bahkan aku tidak tahu namanya. Kayaknya aku juga nggak pernah ngobrol sama dia. Itu murni karena dia sendiri yang keburu suka."

"Benar-benar merepotkan, ya."

"Tepat sekali! Yah, mau bagaimana lagi. Soalnya aku kan, cantik."

Dia mengedip nakal, bercanda. Dan memang benar, Natsukawa-san memang cantik. Tapi kalau ditanya apakah semua keributan ini bisa dimaklumi hanya karena itu, menurutku jelas tidak. Yang salah ya orang-orang di sekitarnya.

Aku terdiam tanpa sadar, dan dia mungkin mengira ucapannya barusan agak gagal, jadi dengan malu-malu dia manyun dan berkata:

"Apa-apaan itu. Senpai harusnya ketawa, dong."

"Oh, maaf. …Tapi, gimana ya. Seandainya saja hal-hal seperti ‘mau bagaimana lagi’ itu nggak ada, mungkin akan lebih baik."

──Dulu pernah ada yang bilang padaku: karena tidak bisa cepat berbaur, jadi kalau dibully wajar saja.

Itu saat aku baru pindah sekolah. Karena sering pindah-pindah, aku kesulitan menyesuaikan diri, ditambah lagi aku tidak bisa memakai dialek lokal, sehingga jadi bahan ejekan setengah bullying. Mungkin, itu memang dianggap wajar. Tapi meskipun begitu, dipaksa untuk menerima itu sebagai kewajaran tetaplah menyakitkan.

Natsukawa-san tampak sedikit terkejut dengan jawabanku, lalu mengangguk kecil sambil menyembunyikan sesuatu dengan senyum lebar.

"Padahal sering dibilang genit atau suka manja, sebenarnya aku hanya suka bicara dengan orang yang kusukai, lho~"

"…Oh begitu."

"Makanya, aku susah banget mengingat nama orang. Tapi, hmm…"

Sambil berkata begitu, dia menyelesaikan piring terakhir, lalu memutar keran hingga air berhenti mengalir.

"Lihat ya, Midoriya Shiki-senpai."

Dia menyebutkan namaku lengkap dengan nada sengaja dibuat-buat, lalu menggerakkan bibir indahnya dengan senyum paling cerah.

"Aku mungkin suka sama Senpai!"

"…Eh, aku kan sudah punya pacar."

"Maksudnya sebagai orang, kok. Ya ampun, Senpai ini, sok pede banget sih."

……………Hah??

Kesimpulannya, sejak saat itu aku benar-benar jadi dekat dengan Natsukawa Aoi.

"Senpaaiii♡ Selamat pagi!"

"Pagi, Natsukawa."

"Aduh, bilangnya Aoi aja, dong."

Sudah berapa kali aku menegur supaya jangan terlalu manja di depan orang, tapi dia sama sekali tidak peduli. Aku akhirnya menyerah dan setidaknya masih memanggil dengan nama keluarga sebagai bentuk perlawanan kecil.

"Senpai ini ternyata punya pertahanan cukup kuat, ya. Ayo akrab, dong?"

"Itu biasanya kalimat dari pihak cowok, tahu?"

Bagaimana bisa jadi begini. Aku menghela napas, tapi Natsukawa malah menaruh telunjuknya di depan mulut membentuk tanda silang, lalu tersenyum ceria, "Nanti kebahagiaan kabur, lho~." Padahal ini semua salahmu.

Masalahnya, ‘suka’ yang dimaksud Natsukawa hanyalah ‘suka sebagai manusia’. Buktinya, seberapa sering pun aku membicarakan tentang Yuna, Natsukawa hanya menanggapinya dengan tawa, "Senpai kalau ngomongin dia jadi super lancar ya," tanpa ada tanda-tanda cemburu sedikit pun.

Gara-gara itu, aku tidak bisa benar-benar menolaknya mentah-mentah. Aku tidak mau jadi cowok yang salah paham, tapi kalau sampai ikut-ikutan manja ke Natsukawa, itu sama saja mengkhianati Yuna. Jadi pada akhirnya aku memutuskan untuk memperlakukan Natsukawa sebagai semacam "monster malang" yang tidak pernah belajar menjaga jarak dengan orang lain karena terbiasa sendirian, dan akulah yang harus mengajarinya tentang batasan yang tepat.

"Oh iya, ayo pulang bareng hari ini!"

"Ya sudah, kita berdoa saja supaya kebetulan ketemu di loker sepatu nanti."

"Jahat! Senpai kok kejam banget sih! Kan bisa nungguin aku."

Singkatnya, walaupun aku selalu bersikap dingin, Natsukawa justru semakin bersemangat. Malah sepertinya sejak awal dia memang mengharapkan perlakuan dingin dariku. Apa karena selalu disukai orang, dia jadi punya kecenderungan masokis begitu? Dan kalau kau penasaran, aku sempat berpikir mungkin dia begini juga ke orang lain. Tapi ternyata tidak sama sekali. Setiap kali aku melihatnya di sekolah, dia tetap sendirian.

Bahkan, ketika di lorong Nikaidou melihat Natsukawa berlari ke arahku dengan senyum penuh kebahagiaan, dia sampai ternganga dan berkata, "Apa yang harus terjadi sampai bisa jadi begitu?" Sebagai tambahan, dia juga menasihatiku, "Ini pasti kayak modus penipuan pakai cewek cantik, deh. Kalau nanti ditawari beli guci atau semacamnya, jangan beli ya."

Sampai sekarang memang belum ada barang apa pun yang coba dijual padaku, tapi tetap saja aku akan berhati-hati. Karena hal itu, di dalam klub memasak aku secara sepihak dianggap sebagai ‘pihak Natsukawa’, dan akhirnya aku yang awalnya terisolasi, serta Natsukawa yang sejak dulu dikucilkan, jadi berdua saja.

Awalnya kupikir ini terburuk, tapi ternyata punya teman bicara membuat pekerjaan jadi lebih cepat selesai, dan Natsukawa juga sering memberiku trik-trik kecil, jadi mungkin justru bagus juga.

Ngomong-ngomong, ketua klub memang tidak pernah bilang secara langsung, tapi dia jelas senang karena dengan dua ‘anak bermasalah’ itu menyatu, suasana klub jadi lebih tenang. Hei, itu cukup menyakitkan, tahu.

Bagaimanapun juga, aku sebenarnya tidak dirugikan, dan terus terang, sebagai seseorang yang sering pindah sekolah, ini pertama kalinya ada adik kelas yang begitu akrab denganku. Jadi jujur, aku juga merasa senang. Bukan hanya di klub memasak, bahkan saat melihatku di lorong, Natsukawa langsung tersenyum cerah, lalu berlari menghampiriku sambil mengibaskan side-tail yang diikat dengan scrunchie berbulu halus. Dan memang, itu terlihat sangat manis. Seperti anjing kecil—tahu kan, yang berbulu tebal dengan kaki pendek itu.

Menjelang sore di musim semi, ketika bunga sakura mulai berguguran. Sambil memikirkan hal itu, aku mendatangi kelas sebelah.

"Permisi. Apa Sakuraba Haru ada?"

Aku bertanya pada seorang siswi di sekitar sana—sepertinya teman sekelas Sakuraba Haru. Dia hanya menatapku dengan ekspresi setengah putus asa, seakan berkata "lagi-lagi," lalu pergi memanggilnya.

Tak lama kemudian, seorang gadis dengan wajah rupawan yang dibalut aura rapuh datang menghampiri dengan rambut indah bergelombang rapi yang bergoyang halus. Ekspresinya tampak heran.

Wajar saja. Ini kan pertama kali bertemu, dan aku tiba-tiba memanggilnya keluar. Tapi tetap saja, dia benar-benar cantik. Keseimbangan antara keimutan dan kecantikan dalam dirinya terlihat pas. Penampilannya yang anggun sekaligus lembut membuatnya tampak begitu baik hati. Julukan ‘dewi’ yang pernah disebutkan Nikaidou, katanya dia populer baik di kalangan laki-laki maupun perempuan, ternyata tidak sepenuhnya bohong. Aku bisa menerima itu sepenuhnya. Dan, dia jelas mirip seseorang. Raut wajah yang begitu teratur, juga bibir berwarna serupa kelopak sakura itu, terasa familiar. Mungkin aku memang pernah bertemu dengannya, hanya saja aku lupa?


"Ano... ada perlu apa denganku?"

"Maaf sudah memanggilmu tiba-tiba. Aku, namaku Midoriya Shiki, anggota baru klub memasak."

"…Ah!"

Begitu aku menyebut klub memasak, ekspresinya langsung berubah cerah.

"Aku sudah dengar dari ketua. Jarang sekali ada yang masuk klub di masa-masa seperti ini ya."

"Ya, begitulah. Bisa dibilang karena ada alasan khusus juga, yang sebenarnya jadi alasan kenapa aku memanggilmu sekarang..."

Saat aku berkata begitu, dia menatap dengan wajah bingung lalu bergumam, "Alasan khusus?"

Yang kubutuhkan sekarang adalah sesegera mungkin bisa mempelajari masakan rumahan yang cukup enak. Namun, di klub memasak sistemnya tetap pembagian tugas, dan menunya sering kali rumit, jadi tidak bisa langsung kupraktikkan untuk memasak sendiri.

Karena itu, aku sempat berpikir apakah ada seseorang yang pandai memasak masakan rumahan yang bisa mengajariku. Saat kutanyakan pada ketua, jawabannya, "Entah dia mau atau tidak, tapi kalau Haru-chan, dia pandai mengajar. Dia yang paling jago memasak di klub." Karena itu, aku memutuskan untuk langsung menemuinya.

Aku tidak menyebutkan soal harus mengirim foto ke Yuna, tapi aku jelaskan secara berurutan bahwa aku mulai tinggal sendiri dan sempat jatuh pingsan di rumah. Mendengar itu, dia memasang senyum paksa dengan wajah seolah merasa bersalah.

"Uhm, kalau mengajarkan secara pribadi agak sulit. Belakangan ini aku sedang sibuk."

"Ah... begitu ya."

"…Iya. Maaf ya."

"Enggak, malah aku yang minta maaf. Aku dengar kamu juga sudah sekitar setengah tahun tidak aktif di klub, jadi memang aku nggak terlalu berharap, cuma sekadar coba saja."

Ingin rasanya aku bertanya, di sekolah kita yang bukan sekolah unggulan dan bahkan melarang kerja paruh waktu, apa yang membuatnya begitu sibuk? Tapi pasti dia punya alasan sendiri.

Lagipula, meski dengan modal nekat, tetap saja yang memohon dengan agak lancang pada orang yang baru pertama kali ditemui itu adalah aku. Kalau aku memaksa terus, malah bisa membuatnya berhenti dari klub, itu benar-benar akan jadi bumerang. Jadi aku hanya bisa menatap punggungnya yang tergesa-gesa meninggalkan kelas.

Setelah itu aku pasrah dan pulang, tapi bukan berarti aku mendapat alternatif lain. Aku bahkan sudah mencoba meminta pada ketua, tapi dia menolak dengan alasan, "Tahun ini kan aku kelas tiga, harus persiapan ujian." Kalau minta ke Natsukawa, mengingat soal Yuna, aku merasa agak tidak enak. Meminta pada anggota lain jelas tidak masuk akal, dan kalaupun bisa, aku ingin diajari oleh orang yang benar-benar jago masak.

"Haa... kalau hari tanpa kegiatan klub itu bikin susah."

Padahal perutku sudah cukup lapar, tapi aku hanya punya perasaan samar ingin makan sesuatu yang enak, tanpa tahu ingin makan apa tepatnya. Lagipula, sekalipun terpikirkan, pasti bukan sesuatu yang bisa kubuat sendiri. Ujung-ujungnya hanya ada dua pilihan: membeli makanan seadanya, atau malah merasa kosong. Tapi aku harus tetap makan supaya Yuna tidak khawatir.

Masalahnya, kondisi keuanganku sangat ketat...! Pusing memikirkan-nya, aku akhirnya menyerah dan mulai bermain game. Saat kuangkat kepala di momen yang pas, jam sudah menunjukkan pukul sembilan.

Gawat, aku harus kirim foto atau Yuna akan marah!!

Aku buru-buru mematikan game dan berlari ke Wac, restoran burger cepat saji terkenal. Kalau Wac, rasanya sudah pasti enak, jadi dalam situasi seperti ini tidak ada pilihan lain. Wac memang yang terbaik.

Hidup Wac.

"…Oke, hari ini aku pasti makan Samurai Burger!"

Mendadak aku merasa bersemangat. Aku berganti baju olahraga, hanya membawa dompet, dan berjalan ke arah pusat perbelanjaan dekat rumah dengan langkah ringan.

Aku memang baru pindah, jadi belum tahu apa saja yang ada di sekitar, tapi sejak hari pertama aku tahu kalau di pusat perbelanjaan semuanya tersedia. Terutama area restoran cepat saji tempat Wac berada, aku sudah cukup terbiasa ke sana.

Seperti biasa, aku masuk ke Wac, memesan Samurai Burger, lalu menerima nomor antrean. Saat menunggu, aku melihat wajah yang familiar di area meja.

Poni ekor kuda yang tampak acak tapi entah bagaimana terlihat elegan. Wajah cantik yang sekilas tampak sulit didekati, namun alisnya yang sedikit menurun memberi kesan hangat dan ramah.

"Sakuraba Haru...?"

Gaya rambutnya memang berbeda, tapi pakaiannya masih seragam sekolah, dan kecantikan seperti itu jelas tidak mungkin salah orang.

Di depannya duduk seorang pria yang tampak berusia akhir 30-an. Wajahnya sulit dikira sebagai ayah, pacar, ataupun teman biasa. Sepertinya mereka sudah selesai makan, kini sedang bercakap-cakap santai.

"…Papa-katsu?"

Melihat sikap seriusnya ketika berbicara tadi, sulit kubayangkan. Tapi kalau kupikir dia sedang kesulitan uang hingga terjun ke papa-katsu, alasannya tidak bisa datang ke klub karena sibuk jadi masuk akal. Tapi, papa-katsu kok di restoran cepat saji? Meski begitu, begitu aku memikirkan itu, rasanya kemungkinan lain tidak muncul.

"…Kelihatannya ada sesuatu di balik ini."

Aku sempat berpikir menggunakan hal ini sebagai alasan untuk memintanya mengajar, tapi kalau salah langkah dan aku malah terseret ke masalah, itu lebih merepotkan. Jadi aku memutuskan untuk segera pergi sebelum ketahuan, dan bilang pada kasir ingin ubah pesananku jadi dibawa pulang.

"Permisi, bisa pesan ini jadi take out..."

"Eh, Midoriya-kun, ya?"

"Eh?"

Saat aku menoleh, ternyata Sakuraba sendiri berdiri di sana, sedang membawa baki bekas makanannya.

Sial, waktunya paling buruk!!

"Ah... i-iya, kebetulan sekali ya~"

"Iya. Padahal sekolah kita lumayan jauh dari sini."

Sakuraba berkata begitu sambil tersenyum, lalu meletakkan baki ke tempat pengembalian. Kalau ini memang papa-katsu, seharusnya dia lebih panik karena ada teman sekelas yang mungkin melihat. Tapi karena dia terlihat sangat tenang, mungkin sebenarnya bukan papa-katsu?

"Aku, rumahku memang dekat sini. Kalau Sakuraba?"

"Nggak, aku kebetulan saja."

Kebetulan jauh-jauh ke sini!? Nggak mungkin!

Aku kehilangan timing untuk bilang ke pegawai soal take out. Anehnya, Sakuraba juga tidak beranjak dari sisiku, jadi aku malah sibuk memikirkan apa yang harus kuobrolkan. Saat itu, pria yang tadi bersamanya berjalan mendekat.

"Haru-chan."

"…Enoshima-san."

"Sudah malam, biar aku antar pulang. Yuk."

Benar juga, sebaiknya cepat pulang. Aku akan berpura-pura tidak melihat apa pun. Rasanya agak menakutkan juga.

Saat aku berpikir begitu dan membalikkan badan ke arah berlawanan dari Sakuraba agar terlihat seperti orang asing, dia entah kenapa menggenggam lenganku erat-erat.

"Ano, tidak apa-apa. Aku sudah dijemput olehnya."

Sekejap saja detak jantungku melonjak, rasanya hampir 200 BPM.

Dia!? Siapa!? Aku!? Seram sekali! Apa sebenarnya yang dia katakan!?

"Eh, Haru-chan ternyata punya pacar ya."

"Dia teman sekelas. Teman saja."

Sakuraba melirik ke arahku seolah ingin berkata “begitu kan”, tapi aku benar-benar tidak bisa membaca situasinya.

Jujur saja, aku hanya ingin cepat pulang. Aku hanya ingin makan hamburger enak, tidak lebih…! Sama seperti dengan Natsukawa, akhir-akhir ini aku terlalu sering terseret ke hal-hal merepotkan. Sepertinya aku perlu melakukan upacara tolak bala. Dimana ya kuil terdekat? Rasanya sudah waktunya aku benar-benar pergi.

"Dia tinggal di sekitar sini, jadi bisa mengantarku sampai stasiun. Jadi hari ini, sampai di sini saja, ya."

"Tapi Haru-chan, sebelumnya juga kamu bilang begitu lalu langsung pulang. Bukankah itu dingin sekali?"

"Ahaha. Kebetulan saja, kok."

Sakuraba menjawab sambil tersenyum ramah, tapi pria itu memasang wajah kesal lalu menoleh ke arahku.

"Katanya cuma teman, tapi sebenarnya kau suka sama Haru-chan kan? Kalau aku teman sekelasnya, pasti aku juga bakal jatuh cinta sama dia."

『Nomor 852. Nomor 852, ada?』

Dari belakang terdengar suara memanggil nomor antrean. Nomor 852. Itu nomor yang tertulis di struk yang kudapat.

Benar juga. Aku harus cepat pulang. Lagipula aku lapar, dan sudah lama tidak makan Samurai Burger. Namun, tangan Sakuraba yang masih menggenggam lenganku terasa gemetar.

"Hei, cepat jawab. Kau suka kan?"

Aku tidak mau ikut campur dalam hal merepotkan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan jujur saja aku takut. Lagi pula, aku tidak punya kewajiban untuk menolongnya. Tapi, kalau itu Yuna. Kalau Yuna ada di sini, dia pasti akan menolongnya. Bahkan Natsukawa bilang, aku banyak berubah berkat Yuna.

Tanpa sadar, aku sudah menggenggam tangan Sakuraba.

"Aku menyukainya."

"…Eh!?"

"Kalau begitu, kami pergi dulu."

Dengan begitu, aku meninggalkan Samurai Burger, lalu menarik tangan Sakuraba yang masih terkejut, dan segera keluar dari restoran. Kami berlari melewati jalan pertokoan yang dipenuhi cahaya neon, seakan melarikan diri. Angin hangat bertiup dari belakang, seperti mendorong langkah kami.

"…Kamu, apa benar-benar suka padaku?"

"Tidak mungkin. Itu hanya kebohongan supaya kita bisa keluar dari sana berdua."

"Begitu ya… maaf ya."

Setelah berjalan cukup jauh—hampir sampai di dekat rumahku—Sakuraba akhirnya berjongkok. Dari dekat terlihat kakinya gemetar,

sepertinya sudah tidak sanggup berdiri lagi.

"Tadi aku agak terkejut. Kamu mengatakannya terlalu alami, sampai aku sempat berpikir kalau ucapanmu siang tadi juga sebenarnya bermakna lain."

Aku berharap dia berhenti memaksakan diri untuk tersenyum dengan wajah pucat begitu. Karena itu hanya membuatku kecewa pada diriku sendiri yang tidak tahu harus bagaimana, tidak bisa melakukan apa pun.

"…Jadi begini. Bisa jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi?"

"Iya… benar juga. Tempat untuk duduk sebentar…"

Sakuraba menoleh ke sekeliling, tapi meski aku baru pindah sebulan lebih, aku tahu di sekitar sini tidak ada tempat yang cocok.

"Kalau kamu tidak keberatan, datang saja ke rumahku."

Setelah menolongnya, jelas tidak ada pilihan untuk meninggalkan dia dalam keadaan seperti ini. Bagai pepatah, sudah terlanjur naik perahu. Apalagi dengan wajah secantik itu, kalau dia sampai duduk di jalan, pasti akan menarik masalah yang lebih besar. Kalau sampai begitu, semua yang kulakukan tadi jadi sia-sia. Aku memang merasa bersalah pada Yuna, tapi aku yakin Yuna lebih marah kalau aku membiarkan Sakuraba begitu saja.

"Orang tadi mungkin masih di sekitar sini, dan ini sudah malam, berbahaya juga. Aku tinggal sendirian, jadi kamu tidak perlu sungkan."

"Ngomong-ngomong, kamu memang bilang begitu ya… Tapi,"

"Selain itu, dinding rumahku sangat tipis."

"Eh?"

"Maksudku, kalau aku sampai melakukan hal buruk padamu, kamu bisa teriak, pasti terdengar ke tetangga dan kamu bisa segera ditolong. Yah… aku tahu itu bukan alasan yang bikin benar-benar tenang, tapi…"

"…Tidak, aku mengerti. Kalau begitu, aku terima ajakanmu. Lagipula aku juga ingin mengucapkan terima kasih dengan benar."

Dengan wajah yang seperti perpaduan tangis dan senyum, Sakuraba menopang dirinya dengan tangan di trotoar lalu berdiri kembali.

Setelah sampai di rumahku, Sakuraba duduk dengan gelisah di depan meja makan yang biasa kupakai.

"Kamarmu rapi sekali ya."

"Yah, memang kujaga begitu."

Yuna punya asma, dan kalau berada di tempat berdebu, serangannya bisa kambuh hingga membuatnya batuk parah. Karena itu, aku selalu menjaga kamar tetap bersih, siapa tahu Yuna datang kapan saja.

"Kalau begitu, duduk saja. Untuk minum…"

"Ah, tidak usah. Aku sudah terlalu merepotkanmu. Setelah menjelaskan, aku akan langsung pulang. Jadi jangan repot-repot."

"Setidaknya biar aku ambilkan teh. Minum sesuatu bisa bikin kamu lebih tenang."

Entah dia sedang waspada atau hanya sungkan. Mungkin keduanya. Tapi karena kami tadi berlari di area pertokoan, seharusnya dia juga haus.

Jadi aku masuk ke dapur, menuangkan teh ke gelas kertas, lalu membawanya ke meja.

Aku minta maaf karena bukan gelas yang layak, tapi aku hanya punya satu set piring dan gelas bagus. Aku terlalu malas untuk mencuci banyak peralatan, jadi kupikir dia bisa memaklumi.

Sakuraba, yang masih tampak meringkuk, menerima gelas kertas itu dan berkata "Terima kasih", lalu menyesapnya.

"…Kamu orang baik ya, Midoriya-kun. Mau saja ikut dalam cerita yang tidak jelas tadi."

"Yah, bagaimanapun juga kita satu klub. Jadi bukan orang asing."

"Itu… syukurlah. Untung aku tidak keluar dari klub."

Meskipun merasa agak canggung melihat Sakuraba yang menunduk, setelah terlanjur menolong, setidaknya aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku menarik napas dalam, lalu memberanikan diri untuk membuka mulut.

"Jadi, sebenarnya tadi itu situasi apa? Apa semacam pacaran dengan om-om yang berakhir ribut?"

"Ha!? Tentu saja tidak!"

Sakuraba mendongak dengan cepat, seolah merasa benar-benar disalahpahami.

"…Orang itu manajer di tempat aku kerja paruh waktu."

"Serius!? Kamu kerja paruh waktu!?"

"Tolong jangan bilang siapa-siapa, ya!? Aku cerita ini cuma ke kamu, tahu!?"

Ternyata Sakuraba bekerja diam-diam sebagai staf dapur di sebuah restoran keluarga yang cukup jauh dari sekolah, supaya tidak ketahuan pihak sekolah.

Aku memang tahu ada siswa yang melanggar aturan larangan kerja paruh waktu, tapi tidak menyangka benar-benar ada di sekitarku. Aku sendiri pernah kepikiran untuk kerja di tempat yang ada makanannya juga, tapi takut dikeluarkan, jadi kubatalkan. Hebat juga dia.

"Keluargaku cuma ada ibu. Aku memang siswa beasiswa, tapi itu saja tidak cukup…"

"Eh, jadi meski kamu siswa beasiswa, tetap kerja paruh waktu!?"

"Jangan keras-keras! Aku belum pernah cerita ke siapa pun. Kalau sampai ada yang tahu, berarti itu bocor darimu!"

"Aku nggak bakal bilang siapa-siapa kok. Terus, kamu kerja di sana karena itu?"

"Iya. Ibuku kerja terus-menerus, jadi aku ingin sedikit meringankan bebannya. Makanya aku mulai kerja di restoran keluarga itu, tapi… belakangan manajernya jadi aneh. Sering kirim pesan yang nggak ada hubungannya, aku curiga juga difoto diam-diam, terus hampir tiap kali dipaksa ikut makan di luar… hari ini juga begitu."

Masalahnya ternyata jauh lebih berat dari dugaanku. Bukan sekadar “pacaran dengan om-om” untuk uang, malah dia sama sekali tidak dapat apa-apa dan justru mengalami hal menakutkan. Rasanya memang pantas aku mengorbankan Samurai Burger tadi untuk menolongnya.

Benar-benar langkah tepat.

"Kalau begitu, kenapa nggak ganti tempat kerja aja? Terus kontaknya diblokir?"

"…Aku nggak bisa berhenti. Kalau keluar, mungkin nggak ada lagi tempat yang mau nerima. Lagi pula gajinya lumayan tinggi dan jadwalnya fleksibel. Kalau berhenti, justru aku yang kesulitan. Setidaknya sampai lulus SMA… aku nggak bisa berhenti."

Kalau menurutku, sekalipun begitu, kalau sudah sampai merasa terancam, harusnya berani berhenti. Tapi kurasa dia sudah mempertimbangkan segalanya sebelum mengambil keputusan itu.

"Begitu, ya. Meski aku khawatir, kalau memang begitu, mau bagaimana lagi."

"Aku sudah sangat merepotkanmu, Midoriya-kun. Maaf sekali. Aku pasti akan membalas budi ini…"

"Kalau begitu… bagaimana kalau kita bikin syarat tukar-menukar?"

"Syarat tukar-menukar?"

Sakuraba menatapku dengan bingung. Sebenarnya sambil mendengarkan ceritanya tadi, aku sudah kepikiran. Kalau dijalankan dengan baik, ini bisa jadi cukup menguntungkan juga.

"Pertama, aku akan pura-pura jadi pacarmu."

"Eh!?"

"Tempat kerjamu dekat sini, kan? Aku bisa antar jemput. Dengan begitu paling tidak bisa jadi semacam pencegah. Sebagai gantinya, kamu ajarin aku masak."

"Sejujurnya itu sangat menolong sih, tapi…"

"Tapi?"

"Maaf, boleh aku lihat isi kulkasmu sebentar?"

"Ya, silakan saja."

Aku tidak begitu paham maksudnya, tapi tidak ada yang perlu ditutupi juga.

Kami ke dapur, lalu kubuka kulkas. Isinya hanya minuman energi dan makanan fungsional. Melihat itu, Sakuraba langsung menutup mulut dengan tangannya, terdiam.

"Ini sih tamat. Tamat, Midoriya-kun."

"Hah, separah itu?"

"Bukan cuma parah. Kamu benar-benar tinggal di ruangan ini?"

Tentu saja aku tinggal di sini. Saat hendak menjawab begitu, perutku malah berbunyi keras.

"Oh iya, aku belum makan apa pun."

"Padahal tadi di Wac, kan?"

"Soalnya aku ketemu kamu pas lagi nunggu pesanan lewat aplikasi."

Selamat tinggal Samurai Burger. Paling sekarang sudah dibuang. Begitu kujelaskan, Sakuraba terlihat sangat merasa bersalah, lalu dengan wajah penuh tekad ia berdiri.

"Ayo pergi."

"Hah, ke mana?"

"Belanja! Sebagai permintaan maaf, biar aku yang masak makan malam untukmu!"

Beberapa menit kemudian, kami berdua sudah sampai di minimarket.

Awalnya Sakuraba mau ke supermarket, tapi ternyata sudah tutup. Jadi kami belanja bahan makanan di minimarket dekat sini.

Sakuraba, yang mengenakan jaket sukajan yang kupinjamkan agar tidak kedinginan, tampak kebesaran dan agak kebingungan, lalu mengangkat lengannya seperti penguin.

"Aku nggak bisa bikin masakan yang rumit, jadi omurice nggak apa-apa?"

"Omurice itu sudah cukup rumit. Jangan bilang ‘cuma’, aku malah mau omurice."

"Waduh, tekanannya tinggi banget. Hehe, aku jadi tambah semangat nih."

Sambil berkata begitu, ia mengambil bahan-bahan ke dalam keranjang sambil mengeluh, "Mahal banget!" dengan wajah masam.

"Memang di supermarket lebih murah ya?"

"Tentu saja! Semua barang di minimarket harganya lebih mahal. Beli telur di minimarket itu jalan terakhir! Itu sudah sangat boros!"

"Serius segitunya?"

"Serius! …Entah kenapa, lihat kamu jadi bikin aku khawatir. Tinggal sendirian tapi gaya hidupnya kayak gini, aku takut kamu nggak bertahan lama."

"Eh, tapi aku bisa cuci baju dan bersih-bersih, lho."

"Tapi masakannya parah banget, kulkasmu kosong begitu. Bisa-bisa kamu meninggal tanpa sadar."

Aku tidak bisa membantah, jadi akhirnya terdiam. Sakuraba malah terkekeh melihatnya.

"Pokoknya, malam ini aku akan masak yang terbaik untukmu. Jadi tunggu saja!"

Sesuai dengan ucapannya, setelah sampai di rumah, omurice yang dibuat Sakuraba tampak berkilau bagaikan permata. Padahal tadi hanya bahan makanan biasa, tapi entah sejak kapan sudah berubah menjadi omurice yang bahkan kalau disajikan di restoran mewah pun tidak akan terasa aneh. Di atasnya, dengan saus tomat, Sakuraba menggambar seekor kucing yang agak jelek bentuknya.

"Uwaaah! Kelihatannya enak banget!"

"Enak kok. Aku benar-benar menuangkan rasa terima kasihku ke dalamnya."

Sakuraba tersenyum penuh percaya diri, seolah berkata "silakan," jadi aku buru-buru memotretnya, lalu segera menyatukan tangan dan mulai makan. Pertama, satu suap dari pinggir.

"Enak banget!!"

Telurnya selembut penampilannya, sementara nasi tomat klasiknya punya tekstur yang pas. Aku hampir menelannya begitu saja dan langsung berlanjut ke suapan kedua.

"Sakuraba, ini luar biasa. Dari semua omurice yang pernah aku makan,

ini benar-benar yang paling enak. Kamu hebat banget, Sakuraba. Rasanya kayak koki profesional kalah."

"Ahaha, syukurlah kalau begitu."

Sakuraba sendiri tidak makan, karena katanya tadi sudah makan di Wac, jadi dia hanya melihatku melahap omurice. Kebetulan juga di rumah memang hanya ada satu piring layak pakai. Belakangan aku sudah terbiasa makan sendirian, jadi rasanya agak canggung saat ada orang lain.

"Ngomong-ngomong, sudah malam begini. Kamu nggak apa-apa pulang sekarang, Sakuraba? Di luar sudah cukup gelap. Jangan-jangan ibumu khawatir?"

"Nggak apa-apa. Kalau soal pulang larut, waktu kerja paruh waktu pun sering begitu. Lagi pula, ibuku kerja shift malam, jadi dia belum akan pulang. …Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ada orang yang makan masakanku."

"Jadi di rumah kamu juga sering masak?"

"Iya. Sejak kecil aku sering mengurus pekerjaan rumah, jadi aku ingin makin mahir. Karena itu aku masuk klub memasak."

"Oh begitu."

Astaga. Jarak kualitas hidupnya jauh sekali dariku. Usia enam belas tahun tapi aku bahkan jarang menyentuh pisau dapur. Bahkan menyedot debu saja belum pernah. Malu sekali.

Sambil terus melahap omurice, aku menatap lekat mata besar Sakuraba. Sekitar lima detik kemudian, dia mengalihkan pandangannya.

"…Apa?"

"Aku lagi mengirimkan sinyal hormat. Aku benar-benar kagum."

"Apa sih itu. …Fufu. Midoriya-kun ini agak aneh, ya."

"Itu pujian?"

"Iya. Aku suka orang yang agak aneh."

Sambil berkata begitu, dia tersenyum lembut.

"Soal jadi muridku, boleh kok. Aku akan ajarkan masak."

"Eh, serius!?"

"Iya. Sebagai gantinya, aku titip padamu ya, pacar pura-pura."

Pacar pura-pura. Kata itu tiba-tiba membuatku teringat Yuna.

Memang, demi melindungi Sakuraba dari manajernya, aku menerima peran itu. Tapi mungkin sebaiknya aku konsultasikan dulu dengan Yuna. Namun, sebenarnya aku hanya akan antar-jemput ke tempat kerja dan belajar masak. Tidak akan ada apa pun lebih dari itu.

Kalau Yuna mendengar ceritanya, bagaimana reaksinya? Dia sendiri sekarang sedang banyak beban, jadi aku tidak mau membuatnya gelisah.

"Mohon bantuannya."

Aku menggenggam tangan Sakuraba. Aku pun memutuskan untuk tidak memberi tahu Yuna secara detail. Justru karena aku tidak punya niat buruk sedikit pun, aku tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman. Kalau sampai itu menghalangiku menolong Sakuraba, aku akan merasa bersalah. Dan aku sendiri juga akan kesulitan. Alasan aku ingin bisa memasak hanyalah demi Yuna.

Suatu hari nanti, jika aku membuatkan Yuna omurice seperti yang dimasak Sakuraba hari ini, kira-kira ekspresi senangnya seperti apa? Aku pasti harus belajar resepnya.

Sambil memikirkan itu, semangatku untuk belajar memasak semakin besar. Genggamanku pada tangan Sakuraba pun tanpa sadar semakin erat.

Setelah itu, aku mengantar Sakuraba sampai stasiun. Saat melihat jam sudah pukul 22:58, aku pun menelepon Yuna lewat video call dalam perjalanan pulang.

"Halo~"

『……Foto hari ini mana?』

"Waduh!"

Aku benar-benar lupa karena banyak hal terjadi.

Segera kukirim foto omurice buatan Sakuraba. Yuna berkata dengan suara rendah, 『Aku tadi sudah mulai beres-beres barangku.』

Dia memang pernah pingsan sekali, jadi itu tidak terdengar berlebihan. Sulit sekali punya “catatan buruk” seperti ini!

『Tapi omurice ini kelihatan enak banget, ya?』

"Kan! Keren, ini beneran luar biasa. Teman dari klub memasak yang bikin, kualitasnya udah dewa. Rasanya kayak restoran kalah jauh."

『Jadi enak banget, ya.』

"Parah enaknya. Aku baru saja selesai mengantarnya ke stasiun, sekarang lagi jalan pulang."

Sakuraba Haru memang pandai memasak. Awalnya aku memang ingin belajar darinya, tapi ternyata keahliannya jauh melampaui bayanganku. Bahkan setelah mempertimbangkan semua masalah yang menyeretku, hasilnya tetap lebih dari sepadan.

『Kamu sudah punya teman, ya.』

"Hah?"

『Dari klub memasak. Shiki kan biasanya bukan tipe yang gampang bergaul, jadi aku agak kaget.』

"Yah… iya juga, sih."

Bagaimanapun, ini demi menepati janji dengan Yuna dan demi kelangsungan hidupku yang nyaman.

『Apa kamu sudah dapat banyak teman juga?』

"Nggak bisa dibilang banyak, tapi ada satu adik kelas yang cukup dekat denganku."

『……Begitu, ya. Syukurlah kalau begitu.』

Dengan suara lembut, Yuna mengucapkan itu. Dari seberang terdengar suara kertas berisik. Layar tidak menampilkannya, tapi kurasa dia sedang duduk di meja belajarnya.

"Kamu belajar sampai jam segini?"

『Baru jam sebelas, kan.』

"Ini sudah jam sebelas. Jangan memaksakan diri, kamu kan kondisi tubuhnya lemah."

『……Tidak usah terlalu khawatir. Belakangan ini serangan dan migrainku juga makin jarang, kok.』

“Oh, bagus tuh. Tapi jangan sampai lengah ya!”

『Aku tahu kok. Shiki juga hati-hati supaya tidak kena flu ya』

“Tentu saja”

『Kalau begitu, selamat malam』

“Hm. Selamat malam”

Setelah menutup telepon, aku menghela napas.

Bagaimanapun, Yuna pasti akan tetap belajar sekitar tiga jam lagi setelah ini.

Kebetulan aku sudah sampai di rumah, jadi aku menyimpan ponsel lalu membuka kunci pintu. Langsung menuju kamar mandi, mencuci tangan dengan saksama, dan sambil berkumur aku teringat pada masa lalu.

Aku pertama kali bertemu Yuna saat musim dingin di kelas satu SMP. Waktu itu aku benar-benar sedang sakit jiwa—atau lebih tepatnya, sedang berada di puncak masa chuunibyou—dan selalu sendirian tanpa berhubungan dengan siapa pun.

Melihat teman sekelas yang riang, aku berpura-pura bijak dengan berpikir bahwa toh mereka juga akan segera renggang, jadi percuma saja.

Aku pasti terlihat sebagai orang yang sangat menyebalkan.

Itulah sebabnya aku membaca buku setiap hari. Karena kalau aku terus sendirian, orang tua pasti akan khawatir, maka aku putuskan untuk berpura-pura suka sendirian.

Saat membaca, tak ada yang mengajakku bicara, malah sering dipuji karena dianggap rajin, dan itu membuatku nyaman. Lama-lama aku benar-benar ketagihan membaca dan mulai rutin ke perpustakaan.

Suatu hari. Seperti biasa aku pergi ke perpustakaan, dan di sana ada seorang gadis cantik yang sedang meringkuk. Gadis itu adalah Yuna. Begitu melihatku, kalimat pertama yang ia ucapkan adalah:

“Jangan bilang siapa pun kalau aku pingsan!”

Tangan yang kupegang dengan panik terasa dingin seakan tak dialiri darah. Meski hampir tak sadarkan diri, Yuna terus-menerus berbisik seolah menanamkan pada dirinya sendiri: 『Semuanya sia-sia』『Tak ada arti hidup』『Aku harus jadi dokter』.

Aku baru tahu kemudian bahwa Yuna adalah putri penerus sebuah rumah sakit besar. Melihatnya begitu menderita, sampai merasa mual hanya karena berpikir harus menjadi dokter, padahal tubuhnya sendiri sedang lemah, membuatku sangat khawatir. Aku khawatir karena ia berada dalam lingkungan yang memaksanya menyalahkan dirinya sendiri meski sedang sakit.

Aku bahkan sempat berpikir, kalau sesakit itu, lebih baik lari saja. Karena aku sendiri yang paling tahu bahwa jika sudah menjauh, mau tak mau hubungan akan terputus. Sejak pertama bertemu hingga sekarang, aku belum pernah sekalipun mendengar Yuna mengucapkan kata-kata “aku ingin jadi dokter.”

─────Namun sekarang, justru aku yang membuat Yuna berada dalam keadaan sulit untuk sekadar lari dari rumah.

Aku memuntahkan air dari mulut, lalu mengelap bibir dengan handuk. Gelas kertas yang ditinggalkan Sakuraba di atas meja kubuang ke tempat sampah.

“Teman…… ya”

Bolehkah aku menyebut Sakuraba sebagai teman?

Karena sulit dijelaskan, aku bilang pada Yuna bahwa dia temanku. Tapi sebenarnya lebih tepat disebut hubungan kerja sama. Aku belum cukup mengenal Sakuraba untuk bisa menyebutnya teman, dan kata “hubungan kerja sama” terasa lebih pas karena menjaga jarak.

Bagaimana kalau suatu saat Yuna tiba-tiba datang ketika aku sedang belajar memasak dengan Sakuraba? Bisa jadi akan berakhir menjadi situasi genting. …Tidak. Pada dasarnya semua ini demi Yuna, dan sama sekali tidak ada niat tersembunyi. Tapi beginilah repotnya hubungan jarak jauh.

“Padahal aku sayang banget sama dia……”

Semoga cepat. Semoga semuanya cepat selesai, dan hari di mana kami bisa bersama segera tiba. Sambil memikirkan hal itu, aku mulai mencuci piring.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close