NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 3

 Hari Keberuntungan dengan Beef Stroganoff

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah merapikan berbagai hal, aku bersiap untuk pulang. Hari ini tidak ada kegiatan klub, jadi aku langsung naik kereta, menempuh sekitar satu jam perjalanan, lalu turun. Setelah berjalan di jalan yang sudah kukenal, tampak sebuah apartemen kecil. Grand Heights Nomor 3. Inilah bentengku.

Dari luar terlihat reyot, tapi katanya sudah direnovasi sekitar lima tahun lalu, jadi bagian dalamnya cukup baru. Setelah menaiki tangga spiral dan berbelok ke kanan, kamar 203 di ujung lorong adalah kamarku.

“Selamat datang kembali”

Saat aku selesai menaiki tangga dengan kaki yang terasa letih, aku melihat Sakuraba duduk di depan pintu kamar sambil membawa kantong belanja.

“Yo, cepat sekali. Sudah lama menunggu?”

“Tidak terlalu. Aku kerja mulai jam delapan malam, jadi sebelum itu titip padamu ya”

“Kita masih sempat makan bareng?”

“Kurasa sempat. Hari ini tolong masak yang enak sekali ya〜”

Aku menerima kantong belanja dari Sakuraba lalu membuka kunci kamar. Hari ini adalah kali ketiga aku belajar masak darinya, tapi tetap saja rasanya aneh mengundang gadis lain ke rumah selain Yuna.

Setiap kali begitu, ada sedikit rasa bersalah, tapi tidak ada tempat lain untuk berlatih, jadi kumohon Yuna bisa memaafkannya. Bagaimanapun, ini demi diriku, sekaligus demi Yuna.

“Ngomong-ngomong, dari dulu aku heran deh, rak bukumu luar biasa ya. Kamu suka membaca?”

“Yah… kebanyakan dari masa SMP sih”

Sakuraba, dengan santai, meletakkan tas sekolahnya di lantai lalu menatap rak bukuku dengan kagum.

Aku mencoba bersikap cuek, tapi sebenarnya itu adalah sudut yang paling kubanggakan di kamar ini. Rak itu kuatur dengan rapi, sesuai label penerbit maupun nama pengarang. Jujur saja, aku lumayan bangga.

“Mungkin ada sekitar tiga ratus buku. Sisanya yang tidak muat kukirim ke rumah kakek, jadi yang ada di sini hanya buku favorit”

“Hebat sekali. Apa kamu bercita-cita jadi penulis? Atau mungkin editor!”

“Ah, tidak sama sekali”

“Eh──sayang sekali!”

Aku bahkan belum pernah memikirkannya. Sejak TK hingga SD, orang sering menanyakan cita-citaku. Tapi makin dewasa, pembicaraan soal masa depan lebih banyak terkait nilai akademis. Sejak pacaran dengan Yuna di SMP, aku mulai berpikir samar-samar akan mewarisi rumah sakit. Namun, memang ada pepatah “jadikan hobimu sebagai pekerjaan.” Mendadak aku tersadar, oh, ternyata ada jalan semacam itu juga.

“Tapi ya, kalau sudah baca buku sebanyak ini, pasti tidak ada waktu untuk masak, kan. Midoriya-kun benar-benar hidup tanpa pernah melakukan apa-apa selama ini ya?”

Sakuraba menyipitkan mata sambil tertawa menggoda. Dan memang benar begitu, jadi aku tak bisa membantah. Aku hanya bisa menundukkan kepala.

“……Aku benar-benar tidak bisa membantah”

Awalnya, Sakuraba mengajariku membuat satu menu sederhana: omurice. Tapi melihat betapa tidak bergunanya aku di dapur, dia tampak sangat terkejut.

Hari ini adalah pertemuan ketiga kami untuk belajar masak, tapi perkembanganku masih sangat minim.

“Pertama-tama, biasakan dulu bisa memecahkan telur dengan benar”

“Baik”

“Kalau kamu ketukkan dua telur, salah satunya pasti pecah. Dan bahan masakan asal terpotong saja sudah cukup. Selama tidak salah mengatur api, harusnya bisa jadi……”

“Tapi, ehm”

Di depanku ada hasil karyaku: sebuah “omurice” — atau lebih tepatnya sesuatu yang hanya bisa disebut gumpalan cokelat.

Itu seharusnya jadi makan malam kami hari ini, tapi jelas sekali tidak terlihat bisa dimakan dengan nikmat. Tapi siapa tahu rasanya? Baiklah, coba saja satu suap!

“Ini tidak bisa dimakan”

“Sudah kuduga”

Sakuraba menghela napas kecil.

“Sepertinya aku keburu menerima murid yang cukup merepotkan”

“Kamu tega sekali bilang begitu di depan orangnya?”

“Tapi kan kamu sadar diri, jadi tidak sakit hati, kan〜?”

Memang benar aku tidak sakit hati, tapi melihat gumpalan omurice itu seakan-akan menuduhku, aku merasa sedih. Aku bahkan berpikir: Kalau saja kamu yang dimasakkan Sakuraba, pasti bisa jadi omurice sempurna. Rasanya benar-benar menyesakkan.

“Ya sudah deh, tidak apa-apa”

Melihatku murung, Sakuraba berdiri lalu mulai memecahkan telur dengan cekatan. Dengan gerakan luwes ia mengocoknya, menuangkannya ke wajan, dan dalam sekejap membuat omelet kuning yang cantik.

“Midoriya-kun, tolong ambilkan piring”

“Siap!”

Aku segera mengambil piring seperti yang diminta. Dengan gerakan tanpa sia-sia, Sakuraba meletakkan omelet cantik itu di atas “omurice gagal” milikku. Lalu ia membelah bagian tengah, dan telur setengah matang mengalir keluar, menutupi bentuk asli omurice-ku.

“Sekarang jadi terlihat lebih enak, kan?”

“Bukan cuma lebih enak, ini jadi luar biasa enak! Sensei! Aku akan mengikuti Sensei seumur hidup!”

“Astaga. Kamu benar-benar gampang sekali senangnya”

Memang begitu. Karena tampilannya benar-benar menggugah selera.

“Nasi ayamnya tidak terlalu buruk kok. Jadi ayo kita makan saja. Tapi lain kali aku tidak akan menyelamatkan masakanmu lagi, ingat!”

Sambil mengacungkan jari telunjuk seakan menegurku, Sakuraba lalu mulai membuat omelet untuk dirinya sendiri. Karena dia bilang “makan sebelum dingin,” aku segera menuangkan saus tomat lalu menggambar kucing di atasnya, sebelum akhirnya menyendok bagian pinggir omurice.

“Enak sekali!”

Isi dalamnya memang tetap hasil omurice-ku yang gagal, tapi berkat telur lembutnya, rasa aneh di dalam lumayan tertutupi. Sakuraba memang hebat sekali. Dan ternyata memang lebih nikmat makan dengan piring sungguhan dibanding piring kertas. Untung aku sempat buru-buru membeli piring murah di toko serba-seratus yen, jadi tidak terlihat menyedihkan di hadapannya.

Saat aku makan dengan penuh suka cita, Sakuraba kembali sambil tersenyum malu-malu, lalu berkata:

“Kalau kamu sampai senang begitu, rasanya aku tidak menyesal membantu〜”

“Itadakimasu”

Aku mengucapkannya lalu mulai menyantap hidangan. Sejak mulai hidup sendiri, aku hampir tidak pernah makan bersama orang lain, jadi mendengar seseorang mengucapkan “selamat makan” terasa cukup menyenangkan.

Sakuraba mencicipi makanannya dengan penuh perhatian, lalu menampilkan senyum samar.

“……Hmm. Lain kali coba lebih berusaha lagi ya”

“Kalau dinilai, kira-kira berapa?”

“Tiga puluh lima”

Jawabannya datang seketika. Jujur saja, agak menyakitkan.

“Eh—begini. Anggap saja artinya masih banyak ruang untuk berkembang!”

Sebagai upaya menenangkan, itu terdengar sangat lemah.

Aku pura-pura merajuk dengan jelas, dan karena itu Sakuraba panik lalu menambahkan alasan yang sama lemahnya, yang malah membuatku geli. Aku sengaja memperpanjang sikap itu, dan akibatnya kali ini dia yang merajuk, berkata, “Aku memang tidak cocok jadi guru……”, hingga akhirnya akulah yang harus menenangkannya.

Sakuraba, bila hanya dilihat sekilas, tampak seperti gadis anggun nan rapuh yang seolah sulit didekati, layaknya model sampul majalah perempuan berkesan lembut. Namun, begitu ia berbicara, sikapnya justru sederhana dan akrab, mudah untuk diajak bergaul. Aku jadi paham alasan mengapa ia begitu populer.

Buatku, sifatnya yang terbuka itu sangat membantu. Tetapi sambil mendengar ceritanya, aku bisa membayangkan betapa seringnya orang salah paham mengira ia punya perasaan khusus, dan itu bisa membuatnya kesulitan. Si manajer toko tempatnya bekerja pun pasti salah satunya. Sejak aku mulai mengantar-jemputnya, gangguan itu memang berkurang, jadi sedikit membuatku lega, walau tetap saja belum bisa lengah.

Setelah selesai makan omurice dan mencuci peralatan, waktu yang dijanjikan sudah semakin dekat, jadi aku bersiap untuk keluar rumah.

“Midoriya-kun, bawa tas belanja ya”

“Untuk apa?”

“Hari ini supermarket ada diskon besar. Lebih baik beli persediaan barang yang tahan lama sekalian”

“Wah〜〜, kamu benar-benar telaten ya”

Aku menuruti sarannya dan membawa dua tas belanja. Aku harus ingat mampir ke supermarket sepulang nanti. Tapi herannya, bagaimana bisa dia lebih cepat tahu soal jadwal diskon di supermarket dekat rumahku daripada aku sendiri?

Saat kutanyakan, ternyata dia melihatnya lewat brosur elektronik. Tingkat keterampilan hidupnya benar-benar tinggi.

“Midoriya-kun terlalu bergantung pada Wack. Memang enak sih, tapi tidak baik kalau hanya makan fast food terus”

“Tapi bukankah lebih baik daripada tidak makan?”

“Ya, itu memang benar, tapi……”

“Ah! Lihat itu. Ada produk baru!”

Kebetulan kami lewat di depan Wack, dan mataku menangkap poster menu terbaru. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas, sementara Sakuraba menatapku dengan wajah tak habis pikir.

“Wah, set baru juga menarik”

“Kamu masih makan set anak-anak di usia segini?”

“Eh, tapi kamu tidak ingin mainan mobil-mobilannya?”

“Aku sih tidak perlu…… tapi, ya, sedikit mengerti. Kadang-kadang memang suka ingin punya begituan”

Sakuraba tertawa kecil. Yuna tidak pernah mau menanggapi hal seperti ini — bahkan ia sama sekali tidak pernah mau masuk ke Wack — jadi aku merasa senang ada yang bisa diajak bicara tentang hal sepele ini.

“Aku sebenarnya agak kagum dengan set anak-anak itu. Dulu waktu kecil, orang tuaku tidak pernah membelikannya”

“Kalau begitu pesan saja”

“Tidak mau. Aku kan bukan seperti Midoriya-kun”

Jawabannya tegas sekali.

“Tak apa. Aku hanya tidak ingin kehilangan hati kekanak-kanakan”

Saat aku memeriksa mainan yang dipajang di depan toko, Sakuraba yang semula menatapku dengan wajah heran juga ikut mendekat. Ia memperhatikan mainan kolaborasi dengan ekspresi serius. Aku tidak tahu persis kolaborasi dengan apa, tapi sepertinya berupa aksesori.

“Ada yang terlihat bagus?”

“……Iya. Ternyata barang anak-anak tidak bisa diremehkan, ya. Cincin warna merah muda ini lumayan lucu. Aku agak ingin memilikinya”

“Oh, bagus tuh. Kayaknya cocok denganmu”

“Sudahlah! Jangan menggodaku!”

“Aku tidak menggoda kok. Memang Sakuraba itu imut, dan terasa pas denganmu”

“…………”

Wajahnya merona, lalu untuk menutupi rasa malu, ia menggembungkan pipinya dan berkata, “Sudah tidak ada waktu, ayo berangkat!” sambil menarik lengan bajuku. Padahal sudah sering mendapat pujian “imut” dari banyak orang, tapi entah kenapa kali ini ia tetap saja terlihat begitu tersipu.

Setelah mengantarnya ke tempat kerja, dalam perjalanan pulang aku kembali melihat poster set anak-anak. Untuk camilan malam, aku membeli set pancake mini. Mainan yang kudapat adalah gelang berbentuk bintang. Bukan yang kuincar, jadi kuletakkan begitu saja di depan televisi. Di tengah kamar yang terasa polos dan dingin, pernak-pernik anak-anak itu memantulkan cahaya berkilau.

Sejak kecil aku sering pindah sekolah, mungkin karena itu aku tumbuh tanpa terlalu banyak keterikatan. Dari Ishikawa, Aichi, Wakayama, Mie, hingga Tokyo — total lima tempat — dengan lima kali pindah rumah. Dengan begitu sering berpindah, teman-teman yang dulu bilang “meski jauh kita tetap bersama” pun perlahan jarang menulis surat, dan akhirnya menjadi asing. Kelompok akrab yang dulu mengadakan pesta perpisahan untukku pun tetap bersenang-senang tanpa ada aku di sana.

Sejak cukup umur memegang ponsel, hubungan memang bisa terus terjalin, tapi setiap kali melihat story di Instagram, aku merasa sedih sendiri, hingga akhirnya memilih memutuskan notifikasi mereka. Lagipula bukan berarti mereka mengucilkanku, jadi aku tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Lambat laun aku terbiasa berpikir: memang begitulah hidup. Aku pun berhenti berusaha menjalin hubungan dekat dengan siapa pun. Karena itu, bisa tetap bersama Yuna sejak pertama kali bertemu di kelas satu SMP — saat aku berada di masa paling sinis — adalah sebuah keajaiban bagiku.

───Jangan jadikan alasan untuk meninggalkanku. Berusahalah.

Itulah pertama kalinya seseorang mengatakan hal semacam itu padaku. Dan memang benar, aku selalu menganggap putus hubungan setelah pindah sekolah adalah sesuatu yang wajar, sebuah cara untuk tidak terluka.

Pada akhirnya, aku hanya malas berusaha. Tapi aku tidak ingin hal itu terjadi dengan Yuna. Untuk Yuna, aku ingin mencoba yang disebut “usaha” itu. Maka, sekarang aku berjuang keras memotong sayuran.

“Midoriya-kun, kamu makin cepat ya”

“Tuh kan, aku juga berkembang”

“Kalau begitu ini juga tolong ya”

“……Baik”

Aku menerima bawang dari ketua klub, lalu mulai mengupas kulitnya. Sudah sekitar satu setengah bulan sejak aku bergabung dengan klub memasak. Keterampilan memasakku perlahan mulai meningkat. Itu berkat bimbingan intensif dari Sakuraba, dan juga karena posisiku yang berada di hierarki paling bawah, yang kerjaannya hanya memotong sayur tanpa henti. Berkat itu, aku jadi bisa memotong sayuran dengan cukup ritmis sekaligus rapi. Sekarang, entah itu potongan tipis ataupun potongan dadu, semua bisa kuatasi. Rasanya sebentar lagi aku pantas naik tingkat.

Saat melirik ke arah ketua klub yang sudah pindah ke tim memasak, mataku bertemu dengan Natsukawa yang berada di sebelahnya. Ia langsung berteriak, “Senpai! Pasti sudah lapar kan! Sebentar lagi selesai kok!”

Bukan, bukan begitu. Aku bukan menatap ke sana karena kelaparan.

Sejak saat aku dan Natsukawa sama-sama terasing di klub memasak, sampai sekarang pun kami masih berdua saja. Akibatnya aku jadi terkena gosip dan rasa iri dari sekitar, tapi karena aku memang tak banyak kenalan, ditambah Nikaidou membantu menjelaskan dengan baik, situasi perlahan mereda.

Selama ini aku selalu berpikir, toh nanti juga pindah rumah lagi, jadi tak masalah kalau dibenci siapa pun. Tapi kalau aku benar-benar melanjutkan ke universitas dengan sistem eskalator ini, berarti aku tidak akan pindah dalam waktu dekat. Kalau begitu, pola pikirku yang lama bisa jadi berbahaya. Lagipula aku sudah keburu nekat tanpa pikir panjang saat memutuskan masuk klub memasak dan saat menyelamatkan Sakuraba.

Aku juga ingin, layaknya orang lain pada umumnya, bisa menikmati yang namanya masa muda tanpa dihantui ketakutan akan “reset” hubungan setiap kali pindah.

Sambil memikirkan itu, aku terus mengiris bawang. Tiba-tiba ponsel di saku celanaku bergetar. Setelah mengelap tangan dengan lap, aku mengecek notifikasi. Tertulis: 『Aku tidak bisa masak』.

Apa maksudnya? Kulihat pengirimnya—ternyata dari Suzu.

“……Benar juga, aku memang pernah kirim pesan itu”

Sepertinya dia baru membalas pesanku satu setengah bulan yang lalu.

Akiba Suzu—dialah sahabatku sejak SD. Kami bertemu saat aku masih tinggal di Nagoya. Walaupun usianya satu tahun lebih tua dariku, entah bagaimana kami cepat akrab.

Sekolah kami memang biasa-biasa saja untuk jurusan reguler, tapi jurusan seni terkenal sebagai pintu masuk bagi seniman berbakat. Suzu sejak dulu memang pandai menggambar, dan ternyata itu diakui juga oleh mata para profesional. Ia mendapat rekomendasi untuk melanjutkan sekolah ke Tokyo dari Nagoya.

Kami memang tetap saling terhubung lewat Instagram, tapi sebenarnya sudah agak renggang. Namun, tahun lalu aku sempat unggah story bahwa aku masuk sekolah ini, dan ternyata dia membalas DM—rupanya dia juga murid di sini, di jurusan seni. Itu jadi pertemuan kembali yang tak terduga.

Sejak itu, kami sesekali bermain atau ia datang ke rumah. Tapi karena jurusan seni dan reguler berada di gedung yang berbeda, aku hampir tidak pernah melihat Suzu di sekolah. Apalagi, katanya dia mendapat keringanan tidak wajib hadir demi fokus berkarya.

Begitu sudah tenggelam dalam proses membuat karya, ia langsung menghilang tanpa kabar. Kali ini, memang masa hilangnya agak lama. Balas pesan dalam bentuk pertanyaan setelah satu setengah bulan? Benar-benar susah dipercaya kalau dia itu kakak kelas. Apakah memang begitulah seniman pada umumnya?

Saat aku membuka aplikasi dan memberinya tanda baca, segera masuk pesan baru: 『Aku tahu tempat untuk mendapatkannya』.

Pesan yang aneh, tapi sudah biasa. Aku biarkan terbaca tanpa balasan, lalu menutup ponsel. Tiba-tiba sesuatu menabrak keras dari belakang. Apa-apaan!?

“Shii-kun!!”

“!?”

Aku kaget, berbalik, dan melihat wajah yang kukenal tersenyum cerah. Aroma khas yang sulit diungkapkan menyeruak—bau cat minyak.

“Suzu!?”

Rambut pendek tipisnya berkilau lembut, bob lurus yang dipotong rata sebatas dagu sangat cocok dengannya. Suzu memiliki tinggi badan yang cukup menjulang untuk ukuran perempuan, sekilas terlihat seperti “pangeran” dari sekolah khusus putri. Tapi jika diperhatikan lebih dekat, raut wajahnya masih kekanak-kanakan, bahunya memang ramping, namun tubuhnya tetap jelas menunjukkan sisi femininnya.

Sungguh, aku tidak ingin memikirkan hal-hal seperti ini tentang sahabatku sendiri. Rasanya canggung, jadi aku berusaha menyingkirkan lengannya yang terus melingkar padaku.

“Kamu tetap saja aneh soal jarak ya……”

“Kok dingin sih. Dulu kan kamu selalu balas pelukan”

Suzu menyeringai tanpa rasa bersalah. Tapi tolonglah, berhenti bersikap seakan-akan masih anak SD.

Aku juga salah sih. Karena gaya tomboy Suzu waktu kecil, aku sempat mengira dia laki-laki dan memperlakukannya seperti teman cowok. Bahkan baru beberapa tahun lalu, ketika melihat Instagram, aku baru benar-benar sadar ternyata dia perempuan.

Saat aku sedang teringat masa itu, Suzu menggenggam tanganku dengan gembira.

“Hehe. Shii-kun, lama tidak bertemu. Aku kangen”

“Aku juga, tapi kenapa kamu ada di sini? Kamu jelas-jelas tidak mungkin masuk klub memasak”

Benar, ini ruang klub memasak. Dapur yang digunakan juga ada di gedung reguler. Seorang murid jurusan seni seperti dia tidak mungkin datang ke sini tanpa alasan.

Aku bertanya heran, dan Suzu dengan polos menjawab,

“Aku bukan anggota. Hanya datang untuk makan”

Dengan santainya, ia membuka lemari, mengambil gelas, lalu duduk di meja makan seakan itu sudah kebiasaannya. Jelas-jelas aneh, tapi tak ada satu pun anggota yang menegurnya.

“Suzu-chan? Kamu datang rupanya. Lama tidak bertemu”

“Lama tidak bertemu”

Bahkan ketua klub pun bicara dengannya seperti biasa. Serius? Jangan bercanda.

“Um, ketua? Dia itu bukan anggota, kan? Tapi kok bisa dengan wajah seluwes itu duduk di sini??”

“Oh, jadi Midoriya-kun kenal dia? Memang dia bukan anggota, tapi kadang datang untuk makan”

“Iya. Kalau menggambar bikin lapar”

Suzu berkata begitu sambil memegang perutnya dengan kedua tangan. Ketua klub hanya tersenyum manis.

“Ya sudah, toh makanan sering lebih. Lagi pula, dia manis”

“Karena dia manis”? Itu alasan macam apa. Kalau begitu aku juga ingin begitu!

“Kalau begitu, bagaimana kalau aku juga ambil posisi itu?”

“Senpai tidak boleh〜. Soalnya tidak imut”

Natsukawa menyela dari samping sambil tertawa terbahak-bahak. Dunia ini memang kejam. Tapi, aku bisa mengerti kenapa mereka membiarkan Suzu begitu saja. Rasanya memang seperti seekor kucing cantik yang tiba-tiba jinak padamu. Dan jujur saja, aku pun bisa merasakan sedikit rasa senang karena itu.

Natsukawa berkata, "Senpai! Tolong bantu aku!" sambil membawa piring yang sudah selesai disajikan kembali ke dapur. Aku pun ikut membantunya mengantarkan masakan. Menu hari ini adalah beef stroganoff. Seperti biasa, mereka selalu membuat sesuatu yang cukup rumit. Tentu saja, Suzu tetap duduk di meja seakan itu sudah menjadi hal yang wajar.

"Shii-kun di sini," katanya.

Ketika aku selesai mengantarkan makanan dan hendak duduk, Suzu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya sambil memanggilku. Terpaksa aku duduk di sana. Padahal dia bukan anggota klub, tapi sikapnya seenaknya benar-benar keterlaluan.

Akibatnya, hari ini aku semakin dijauhi oleh anggota klub memasak lainnya. Walaupun terlihat akrab dengan ketua, sepertinya Suzu juga tidak begitu disukai oleh para anggota. Wajar saja, siapa yang tidak kesal dengan gadis cantik yang hanya datang sesekali untuk makan gratis.

"Ngomong-ngomong, kenapa kalian bisa akrab?"

"Aku dan Suzu?"

"Ya. Soalnya, kelihatannya kalian sama sekali tidak punya kesamaan."

Setelah semua orang mengucapkan "itadakimasu", Natsukawa yang duduk di seberang meja mengajukan pertanyaan itu tanpa menyentuh beef stroganoff miliknya.

Mulutku masih penuh, jadi aku menepuk bahu Suzu agar dia yang menjawab. Namun, ia hanya berkata, "Karena di ruang UKS?" lalu langsung menyuapkan sesendok stroganoff ke mulutnya. Bukan itu maksudnya.

Seperti yang kuduga, Natsukawa mengernyitkan dahi dan tampak kesulitan memahami. Aku akhirnya meneguk teh untuk menelan makananku dengan paksa.

"…Pernah kubilang kalau aku anak keluarga yang sering pindah, kan? Nah, waktu aku di Nagoya, aku bertemu Suzu. Kami teman sejak SD."

"Oh, begitu. Jadi kalian bertemu di UKS dan mulai akrab di sana?"

"Kira-kira begitu."

Sebenarnya ceritanya tidak sesederhana itu, tapi menjelaskan lebih rinci hanya akan merepotkan dan menyangkut privasi, jadi aku mengangguk seadanya.

Suzu memang sudah pandai menggambar sejak kecil, tapi kalau sedang fokus, ia tidak bisa memikirkan hal lain sama sekali. Karena itu, ia jadi sulit bertahan di kelas dan lebih sering berada di UKS.

Aku yang sering pindah sekolah juga jarang merasa betah di kelas, jadi kerap berpura-pura sakit dan ke UKS. Dari situlah kami mulai ngobrol dan akhirnya berteman. Ngomong-ngomong, ternyata beef stroganoff ini sangat enak. Hari ini benar-benar keberuntungan bagi Suzu.

"Ngomong-ngomong, Shii-kun. Kamu masuk klub memasak, ya?"

"Ya. Sudah kuceritakan soal aku mau hidup sendiri, kan? Karena itu aku butuh belajar masak untuk makan sehari-hari."

"Jadi kamu benar-benar sudah mulai hidup sendiri," Suzu berkedip cepat.

Tentu saja. Itu dimulai sejak bulan April. Sekarang sudah awal Juni. Lagi pula aku sudah memberitahunya soal itu.

"Hidup sendiri repot, kan?"

"Ya ampun, jangan ditanya. Waktu luangku benar-benar terkuras."

Masa-masa ketika aku masih penuh harapan, berpikir hidup sendiri berarti bebas melakukan apa saja, sudah terasa jauh. Tidak kusangka kegiatan sehari-hari memakan waktu sebanyak ini. Masih mending aku masih pelajar. Kalau orang dewasa bekerja harus menjalani ini semua, rasanya mengerikan.

"Shii-kun memang orangnya penuh prinsip,"

"Kalau dibandingkan denganmu, hampir semua orang bisa dibilang penuh prinsip."

Suzu memang sudah hidup sendiri sejak kelas satu SMA. Karena tidak terlalu peduli pada makanan, ia hanya mengandalkan nutrition bar dan suplemen setiap hari. Kalau aku mencoba hidup seperti itu, pasti lebih memilih tidak makan sama sekali—alias mati kelaparan.

"Aku hanya ingin makan makanan enak setiap hari…"

Natsukawa tertawa kecil, "Makanya Senpai terlalu berusaha keras."

"Lagi pula, Senpai bukan sekadar punya prinsip, tapi sudah terobsesi dengan makanan. Tapi berkat itu aku bisa bertemu Senpai, jadi aku beruntung!"

"Ah, tidak sekuat itu juga."

"Eh!? Jangan-jangan Senpai sedang mengabaikan pengakuan manis dari Aoi-chan yang imut ini? Senpai juga merasa beruntung bertemu aku, kan!?"

"Iya iya, aku beruntung, aku beruntung,"

Tapi memang, makan itu dilakukan tiga kali sehari. Rasanya sudah seperti bagian langsung dari hidup. Justru orang seperti Suzu lah yang sulit kupahami.

Sambil menanggapi Natsukawa seadanya, aku melirik wajah samping Suzu. Ia tampak melamun, lalu tiba-tiba berkata,

"Aku juga mau masuk klub memasak."

"…Apa?"

"Aku bilang, aku mau masuk klub memasak."

Aku jelas mendengar, tapi otakku menolak menerima. Suzu? Masuk klub memasak?

"Tunggu. Suzu, kamu bisa masak?"

"Tidak."

Jangan jawab seolah itu hal yang biasa saja.

"Kalau kamu tidak tahu, pemula di klub ini biasanya hanya disuruh memotong sayur tanpa henti."

"…Apa maksudmu? Aku masuk karena ingin lebih banyak waktu bersama Shii-kun. Jadi aku hanya akan makan."

"Tidak bisa. Siapa yang tidak bekerja, tidak boleh makan. Kalau mau jadi anggota klub, kamu harus ikut memotong sayur bersamaku."

Kalau hanya sebagai tamu, mungkin bisa dibiarkan. Tapi kalau resmi masuk klub lalu hanya makan, itu tidak bisa diterima. Bukan cuma karena citraku makin buruk, tapi juga demi keadilan.

"Senpai, apa Kamu sedang berusaha mencari teman seperjuangan?"

Natsukawa tertawa. Tepat sekali.

"Tidak apa-apa. Kalau bisa bersama Shii-kun, aku relakan apa saja."

Aku sempat mengira dia akan langsung mundur, tapi ternyata Suzu dengan mudah menyetujui, lalu langsung pergi ke ketua untuk mengajukan pendaftaran. Ia menulis sesuatu di kertas, lalu segera kembali dengan wajah berseri-seri sambil mengacungkan tanda V kepadaku.

"Aku resmi jadi anggota."

"Eh… apa…?"

Begitulah, Suzu akhirnya masuk klub memasak. Sepertinya hari-hari ke depan akan semakin ramai.

Setelah selesai beres-beres, aku meninggalkan Natsukawa yang mengeluh, "Padahal aku ingin pulang bareng!" lalu berjalan menuju loker sepatu. Aku mengeluarkan sneakers dari loker dan melemparkannya ke lantai. Karena tali sepatuku kebetulan terlepas, aku jongkok untuk mengikatnya kembali. Saat itu, terdengar suara datar di telingaku.

"Onii-chan. Lama sekali."

"Kamu yang duluan pulang tanpa izin, kan…"

Padahal tadi masih makan bersama, tapi begitu giliran membereskan, dia langsung menghilang.

Suzu, pemilik suara itu, berjongkok di depanku sambil memasang wajah polos seolah ada tanda tanya besar di atas kepalanya. Aku pun mengetuk dahinya dengan jari. Anehnya, dia malah tersenyum senang, rambutnya yang halus bergoyang ringan.

"Aku senang. Sudah lama tidak diperlakukan seperti ini."

"Jangan senang. Dan berhentilah memanggilku Onii-chan."

"Tidak apa-apa, kan. Lagian sekarang hanya ada kita berdua."

Dinding pun punya telinga, pintu geser pun punya mata. Sekolah ini tidak bisa ditebak, siapa saja bisa mendengar. Aku tidak mau terjebak lagi dalam situasi seperti waktu bersama Natsukawa.

"Ayo cepat jalan."

"Tidak bisa berdiri. Tarik aku."

"…Dasar merepotkan."

Aku meraih tangan mungilnya yang masih berlumur noda cat, lalu menariknya berdiri.

Saat hendak melepas, dia menggeleng keras, jadi aku terpaksa tetap menggandengnya keluar gerbang.

Sejak dulu, aku memang lemah terhadap permintaan Suzu. Suzu memanggilku "Onii-chan" itu kebiasaan lama. Dulu, ketika selalu bertemu di UKS, dia terlihat kecil untuk ukuran anak laki-laki. Aku pun mengira dia lebih muda. Rupanya, dia juga salah paham mengira aku lebih tua, sehingga sejak saat itu dia memanggilku begitu. Padahal, kesalahannya sudah sejak awal: "untuk ukuran anak laki-laki." Nyatanya, dia bukan laki-laki. Tapi aku sama sekali tidak sadar, justru senang karena merasa punya adik, lalu memanjakannya. Begitulah sampai aku pindah sekolah dan hubungan kami terputus.

Suzu itu polos, ekspresi wajahnya datar, jadi sering kali aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi, di depan orang lain, dia tidak pernah memanggilku "Onii-chan." Seperti saat bersama Natsukawa, dia memanggilku "Shii-kun." Artinya, kalau mau, dia bisa. Namun, setiap kali kutegur, dia berpura-pura tidak dengar.

Jadi besar kemungkinan dia sengaja memanggilku "onii-chan" hanya ketika menguntungkan baginya.

"Kamu pikir kalau memanggilku 'Onii-chan', aku akan selalu menuruti keinginanmu, ya?"

"Memangnya kamu keberatan?"

"Keberatan sih tidak, tapi rasanya aneh."

"Jahat. Padahal kita seperti kakak-adik yang akrab."

Kamu itu yang lebih tua, kalau soal usia.

"Aku ingin makan es krim sepulangnya."

"Jadi pembicaraan barusan sudah selesai?"

Suzu mengangguk kecil. Protesku, seperti biasa, dengan mudah diabaikan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Yuna?"

"Baik. Beberapa waktu lalu dia datang ke sini, kelihatannya sehat."

"Oh begitu. Aku sempat lihat dia ke Tokyo lewat story. Jadi memang untuk bertemu Shii-kun, ya."

Yuna memang kenal dengan Suzu. Keluarga Suzu juga di bidang medis. Karena Aichi dan Mie masuk wilayah yang sama, orang tua mereka sering bertemu di seminar, jadi hubungan keluarga cukup akrab. Mereka berdua sendiri tidak terlihat terlalu dekat, tapi tetap saling terhubung lewat media sosial. Sesekali juga muncul dalam pembicaraan.

"Aku juga boleh main ke rumah barumu?"

"Tentu. Datanglah, kita main game lagi."

"Baik. Aku akan membuatmu kalah telak."

"Mana bisa! Aku juga sudah berkembang!"

"Itu belum tentu."

Kenapa auranya seperti karakter terkuat. Padahal faktanya, aku memang hampir selalu kalah.

Game yang selalu kumainkan dengan Suzu sejak kecil adalah Smash Beasts, game pertarungan dengan karakter hewan. Kami mulai dari generasi pertama, dan sekarang sudah sampai generasi keempat.

"Hanya di game fighting aku tidak pernah kalah."

Suzu menggerakkan tangannya seakan sedang memainkan stik kontrol, wajahnya penuh percaya diri.

"Aku juga tidak akan kalah lagi!" kataku, sambil spontan merangkul bahunya. Tapi tanpa sengaja, aku menariknya agak kencang.

"Hah, kamu kurusan ya, Suzu?"

"Masa? Aku tidak merasa begitu."

Padahal tubuh Suzu terbilang berisi, tapi saat benar-benar kurasakan, ternyata sangat ringkih.

"Jangan cuma makan suplemen. Makanlah makanan sungguhan. Aku jadi khawatir."

"Hm, kalau Shii-kun yang khawatir, mungkin tidak apa-apa."

"Tidak, itu tetap tidak baik."

Aku bagaimanapun juga kakak (?), jadi sudah seharusnya mengkhawatirkan kesehatan adik (?). Meski sebenarnya dia lebih tua dariku, aku tetap tidak akan pernah memanggilnya "kakak," walaupun hanya bercanda.

"Tapi kalau bukan dengan Shii-kun, aku tidak punya selera makan."

"Jadi kamu hanya bisa makan kalau bersamaku?"

"Iya."

Entah kenapa dia tersenyum lebar sekali.

Ucapannya mungkin terdengar keterlaluan, tapi mendengarnya tidak membuatku merasa buruk.

"Dasar kamu ini…"

Mungkin ini salahku juga. Karena terus memanjakan Suzu, jadinya begini. Yuna juga sering menegurku soal itu, tapi sudah terlambat.

"Kalau begitu, bagus juga kamu masuk klub memasak. Pastikan kamu rajin datang."

"Shii-kun juga ada, kan?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu aku akan berusaha datang sesering mungkin."

Suzu tersenyum lembut, ekspresinya yang biasanya datar berubah manis. Walaupun wajahnya sudah jauh lebih dewasa, sisa kepolosan masa kecilnya masih tetap ada.

Pada akhirnya, meski lebih tua, dia tetaplah sahabat yang bagiku terasa seperti adik sendiri—dan aku menyayanginya.

Sebentar lagi pukul sebelas malam. Aku berusaha menyelesaikan cuci piring sebelum itu, tapi belum sempat selesai, telepon keburu masuk. Dengan tergesa aku mencuci tangan lalu mengangkat panggilan.

“Halo?”

『Halo. Sekarang sedang tidak sibuk? 』

“Tidak sama sekali. Tadi cuma lagi cuci piring.”

Aku memiringkan ponsel untuk memperlihatkan wastafel. Yuna tampak terkejut melihatnya.

『Shiki bisa cuci piring juga, ya.』

“Tentu bisa~. Aku ini, meskipun kelihatannya begini, sudah benar-benar hidup sendiri, lho.”

『Padahal dulu kamu pakai piring kertas. Rupanya sekarang sudah menjalani hidup yang layak, ya.』

Kalau hal sepele seperti itu saja membuatnya senang, justru agak menyedihkan. Tapi memang benar, waktu Yuna datang dulu, aku masih hidup dengan gelas dan piring kertas. Sekarang aku sudah berubah. Bagaimanapun, masakan super enak buatan Sakuraba akan terasa lebih nikmat bila disajikan di piring yang bagus.

『Dari foto yang kulihat, itu masakan apa namanya?』

“Katanya sih Beef Stroganoff. Baru pertama kali makan, tapi rasanya luar biasa enak.”

『Mungkin aku juga belum pernah makan. Lain kali buatkan aku juga, ya. 』

“Tidak bisa. Bagian yang kulakukan hanya motong sayuran saja.”

『Yah, kalau begitu percuma dong,』 kata Yuna sambil tertawa.

Senyumnya tetap sangat manis meski hanya kulihat lewat layar.

“Oh ya, hari ini aku ketemu Suzu lagi setelah sekian lama.”

『…Suzu?』

“Bahkan dia bilang mau masuk klub memasak. Mengejutkan banget, kan.”

Bagi diriku, Suzu memang tidak lain adalah sahabat. Walau berbeda jenis kelamin, aku berharap Yuna percaya tidak ada apa-apa di antara kami. Tapi karena hubungan kami sedang jarak jauh, aku ingin menghilangkan hal-hal yang bisa membuatnya khawatir.

Ketika kusebut soal Suzu, Yuna tampak terkejut dan berkata,

『Tidak disangka. Dia kan sejak dulu hanya fokus pada seni rupa. 』

“Iya, kan. Tapi karena dia juga hidup sendiri, aku senang dia mau makan makanan yang lebih sehat.”

『Bagaimana kalau ternyata Suzu lebih cepat jago daripada Shiki?』

“Itu… agak menyakitkan, sih.”

Tolong jangan tertawa, Yuna-san. Aku benar-benar sempat membayangkan kemungkinan itu dan jadi sedikit down.

『Fufu, Shiki juga semangatlah.』

“Aku jelas tidak akan kalah. …Ngomong-ngomong, Yuna, belakangan ini kesehatanmu bagaimana?”

『Hmm… sejak masuk musim hujan, perubahan tekanan udara terasa sekali, jadi agak buruk. Tapi tidak apa-apa.』

Aku bertanya karena wajahnya terlihat pucat, dan ternyata dugaanku tepat. Saat jarak jauh begini, aku benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa merasa tidak berdaya.

“Malam ini tidurlah lebih awal, pastikan cukup istirahat.”

『…Iya. Aku tahu kok.』

“Aku serius, aku mengatakannya karena khawatir. Kalau sampai tidak bisa kuhubungi, aku akan segera ke sana.”

『Kamu berlebihan. Ini cuma migrain biasa.』

Tapi migrain Yuna bukan hal sepele. Bukan hanya sekadar sakit kepala. Saat parah, dia pernah sampai muntah. Kalau tekanan udara berubah drastis, dia pasti terbaring. Nama penyakitnya mungkin terdengar sederhana, tapi gejalanya sama sekali tidak ringan.

Aku menatap Yuna dengan wajah serius. Dia hanya membalas dengan senyum tipis yang tampak lemah.

『Jangan terlalu khawatir. Aku mau tidur dulu, ya. Selamat malam.』

“Selamat malam.”

Aku menutup telepon. Sudah masuk tahun kedua hubungan jarak jauh ini, tapi jarak yang tidak bisa segera kutempuh tetap membuatku frustrasi.

Sambil berdoa semoga dia bisa bermimpi indah, aku meneguk segelas air.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close